BERKUMPUL PADA HARI ARAFAH SETELAH ASHAR DI MESJID-MESJID PELOSOK NEGERI UNTUK BERDZIKIR DAN BERDO'A
YANG DI KENAL DENGAN ISTILAH: AT-TA’RIIF (التَّعْرِيْف)
*****
---
DITULIS OLEH ABU HAITSAM FAKHRY
KAJIAN NIDA AS-ISLAM
KARAWANG 14 NOV 2020
====
بسم الله الرحمن الرحيم
*****
RINGKASAN PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA SALAF DAN
KHOLAF:
******
DEFINISI “AT-TA’RIIF (التعريف)":
هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ وَالْأَمْصَارِ
بَعْدَ عَصْرِ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَالْأُخْذُ فِي الدُّعَاءِ وَالثَّنَاءِ وَالذِّكْرِ
وَالضِّرَاعَةِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ، كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ
عَرَفَةَ بِمَكَّةَ الْمُكَرَّمَةِ. [ اقْرَأ: الْمَوْسُوعَةُ الْفِقْهِيَّةُ الْكُوَيْتِيَّةُ
(45/335) ]
At-Ta’riif adalah orang-orang
berkumpul di mesjid-mesjid pelosok negeri dan di daerah-daerah setelah Ashar
pada hari Arafah, dalam rangka untuk berdoa, memuji, berdzikir dan bermunajat
kepada Allah swt hingga matahari terbenam, seperti yang dilakukan oleh
orang-orang hajian yang wukuf di padang Arafah di Makkah al-Mukarromah.
SIAPAKAH ORANG PERTAMA YANG MEMULAI AT-TA’RIIF?
Orang yang memulai melakukan
At-Ta’rif adalah sbb:
Pertama
: Di Bashrah adalah Abdullah bin Abbas RA.
Kedua
: Sementara di Kuufah adalah ‘Amr bin Huraits RA. Dan ada yang mengatakan:
Mush’ab bin az-Zubair.
(Baca: “السنن الكبرى” karya al-Baihaqi 5/188, “سير أعلام النبلاء” 3/351 karya ad-Dzahabi pada biografi
Ibnu Abbas dan lihat pula “الباعث على إنكار البدع والحوادث” karya Abu
Syaamah hal. 31, dan “البدع الحولية” karya Abdullah at-Tuwaijiry
hal. 363.
PERTAMA: IBNU ABBAS DI BASHRAH:
Para ulama mengatakan:
فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِالْبَصْرَةِ
حِينَ كَانَ خَلِيفَةً لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
Yang pertama kali melakukannya
adalah Abdullah bin ‘Abbas RA di Bashrah pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
RA. (Lihat: “اقتضاء الصراط المستقيم” karya Ibnu
Taimiyah 2/151 dan “الموسوعة الفقهية الكويتية” 12/252)
Abd al-Razzaq meriwayatkan di kitab “al-Musannaf” (4/376), Ibn al-Ja’ad di
“al-Musnad” (279) dan (987), dan Ibn Abi Shaybah di “al-Musannaf” (19/600),
dengan SANAD YANG SHAHIH ke al-Hasan al-Basri berkata:
(أَوَّلُ مَنْ صَنَعَ ذَاكَ ابْنُ عَبَّاسٍ، يَعْنِي: اجْتِمَاعَ
النَّاسِ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي الْمَسَاجِدِ)، وَفِي لَفْظِ: (أَوَّلُ مَنْ عَرَّفَ
بِالْبَصْرَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ)
Artinya: (Orang Yang pertama kali
melakukannya adalah Ibnu Abbaas, artinya Orang-orang berkumpul pada hari Arafah
di masjid.) Dan dalam lafadz lain: Yang pertama kali melakukan at-Ta’rif di
Basrah adalah Ibnu Abbas)
Dan Abd al-Razzaq meriwayatkan di “al-Musannaf” (4/377), dan Ibn Sa'ad di
“al-Tabaq al-Kubra” 2/367) dengan SANAD YANG SHAHIH ke al-Hasan al-Basri yang
berkata:
(أَوَّلُ مَنْ عَرَّفَ بِأَرْضِنَا ابْنُ عَبَّاسٍ، كَانَ يَتَّعِدُ
عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ الْبَقَرَةَ يُفَسِّرُهَا آيَةً آيَةً)
(Orang pertama yang melakukan
at-Ta’rif di bumi kami adalah Ibnu Abbas, biasanya dilakukan pada waktu sore
hari Arafah, maka dia membaca Al-Qur'an, surat al-Baqarah, menafsirkannya ayat
demi ayat),
Dan Abu ‘Aroubah Al-Harraani meriwayatkan dalam “الأوائل” (hal. 138)
di bawah judul: “Orang pertama yang melakukan at-Ta’rif di temapt selain Mekah”
dengan DENGAN SANAD YANG SAHIH kepada Muhammad bin Sirin berkata:
(أوَّلُ مَنْ عَرَّفَ هَا هُنَا ابْنُ عَبَّاسٍ، رَحْمَةُ اللَّهِ
عَلَيْهِ)
(Yang pertama melakukan at-Tarif
di sini adalah Ibn Abbas, semoga Allah merahmati beliau).
KEDUA : ‘AMR BIN HURAITS RA (عمر بن حريث) DI KUUFAH:
Ibn Abi Shaybah meriwayatkan di kitab “al-Musannaf” (8/419) dengan SANAD
YANG SHAHIH kepada Musa bin Abi Aishah, yang berkata:
(رَأَيْتُ
عَمْرَو بْنَ حَرِيثٍ يَخْطُبُ يَوْمَ عَرَفَةَ، وَقَدْ اجْتَمَعَ النَّاسُ إلَيْهِ)
(Aku melihat Amr bin Huraith
berkhotbah pada hari Arafah, dan orang-orang berkumpul kepadanya) Yakni,
berkumpul di mesjid di daerahnya.
Dan dalam kitab: “مسائل الإمام أحمد بن حنبل “, riwayat
Ishaq bin Ibrahim bin Hani al-Naisaabuuri (1/94):
وسُئِلَ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْقُرَى؟ فَقَالَ: قَدْ فَعَلَهُ
ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، وَفَعَلَهُ عَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ بِالْكُوفَةِ. قَالَ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَلَمْ أَفْعَلْهُ أَنَا قَطُّ، وَهُوَ دُعَاءٌ، دَعْهُمْ، يُكَثِّرُ
النَّاسُ، قِيلَ لَهُ: فَنَرَى أَنْ يُنْهَوْا؟ قَالَ: لَا، دَعْهُمْ، لَا يُنْهَوْنَ،
وَقَالَ مُبَارَكٌ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَابْنَ سِيرِينَ، وَنَاسًا يَفْعَلُونَهُ،
سَأَلْتُهُ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْأَمْصَارِ؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ.
Artinya: “ Beliau – Imam Ahmad - ditanya
tentang at-Ta’riif di desa-desa?
Dia berkata: “Ibn Abbas melakukannya di Basrah, dan Amr bin Huraith
melakukannya di Kufah, "
Abu Abdullah – yakni Imam Ahmad - berkata: Saya tidak pernah melakukannya, dan
itu adalah berdoa, biarlah mereka memperbanyak oarang-orang – untuk
melakukannya -.
Dan dikatakan pada nya: “Lalu apakah kita melarang mereka?
Dia berkata: "Tidak, biarkanlah, mereka jangan di larang“.
Dan Mubarak berkata: Saya melihat al-Hassan, Ibn Siiriin, dan orang-orang
melakukannya, saya bertanya kepadanya tentang at-Ta’riif di daerah-daerah? Dia
berkata: “Tidak ada yang salah dengan itu“)
Dan dalam kitab “طبقات الحنابلة” (1/39) dalam biografi Abu
Thalib Ahmad bin Humaid: (Abu Thalib berkata:
"قَالَ أَحْمَدُ: وَالتَّعْرِيفُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ فِي
الْأَمْصَارِ لَا بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا هُوَ دُعَاءٌ وَذِكْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ،
وَأَوَّلُ مَنْ فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ، وَفَعَلَهُ إِبْرَاهِيمُ."
“Imam Ahmad berkata: At-Ta’riif
pada waktu sore di hari Arafah di daerah-daerah, itu tidak lah mengapa, itu
hanya doa dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dan orang yang pertama
melakukannya adalah Ibnu Abbas dan ‘Amr Ibn Huraits. Dan Ibrahim juga
melakukannya”)
Akan tetapi dalam kitab “البدع الحولية” karya Abdullah at-Tuwaijiry
hal. 363 di katakan:
"وَقِيلَ : إِنَّ أَوَّلَ مَنْ عَرَّفَ بِالْكُوفَةِ مُصْعَبُ
بْنُ الزُّبَيْرِ".
Ada yang mengatakan: bahwa orang
yang pertama kali melakukan amalan at-Ta’riif di Kuufah adalah Mush’ab bin
az-Zubair.
(Baca: “السنن الكبرى” karya al-Baihaqi 5/188, “سير أعلام النبلاء” 3/351 karya ad-Dzahabi pada biografi
Ibnu Abbas dan lihat pula “الباعث على إنكار البدع والحوادث” karya Abu
Syaamah hal. 31 )
MACAM-MACAM AT-TA’RIIF:
At-Ta’riif ini ada beberapa macam,
diantara nya:
Macam
Pertama:
هُوَ مُشَابَهَةُ أَهْلِ عَرَفَةَ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ، كَالتَّجْرِيدِ
عَنِ الْمَخِيطِ وَكَشْفِ الرَّأْسِ وَالتَّلْبِيةِ وَالْوُقُوفِ وَنَحْوِ ذَلِكَ،
أَوْ تَخْصِيصِ بُقْعَةٍ بِعَيْنِهَا لِلتَّعْرِيفِ فِيهَا وَشَدِّ الرُّحَالِ إِلَيْهَا،
كَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، أَوْ عِنْدَ الْمَشَاهِدِ، أَوْ رَفْعِ الْأَصْوَاتِ فِي
الْمَسَاجِدِ بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالْغِنَاءِ وَالرَّقْصِ وَالتَّصْفِيقِ وَالصِّيَاحِ
وَالتَّبَاكِيِ وَاخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَجَعْلِ جَمِيعِ ذَلِكَ مِنْ
سُنَّةِ الْيَوْمِ وَشُعَائِرِ الدِّينِ مُضَاهَاةً لأهل عرفة.
Artinya: Yaitu at-Ta’riif mirip
dengan orang-orang wukuf di Arafah dalam segala hal, seperti menanggalkan
pakaian yang berjahit, membuka penutup kepala, membaca Talbiyah, melakukan
wuquf dan sejenisnya, atau mengkhususkan tempat tertentu untuk ritual Ta’rif
dan bersusah payah utk menuju ke tempat tsb (شَدِّ الرُّحَالِ),
seperti ke Masjid Al-Aqsa, atau tempat-tempat yang dikramatkan, atau
mengeraskan suara di masjid dengan membaca doa, zikir, nyanyian, tarian, tepuk
tangan, nangis-nangis dan pencampuran laki dan perempuan. Dan menjadikan semua
ini adalah sunnah hari tsb dan ritual agama untuk menandingi orang-orang yang
wuquf di padang Arafah
Para ulama berkata tentang at-Ta’riif macam ini:
"هذَا التَّعْرِيفُ بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَبِدْعَةٌ
شَنِيعَةٌ مُنْكَرَةٌ مَحْرُومَةٌ بِاتِّفَاقِ الْأُئِمَّةِ، وَيَنْبَغِي عَلَى وُلاَةِ
الْأَمْرِ مَنْعُهُ وَإِزَالَتُهُ."
Artinya: At-Ta’rif model ini adalah
sebuah kebatilan dan tidak berdasar, dan ini adalah bid’ah yang mengerikan yang
yang mungkar yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para Ulama, dan bagi para
penguasa harus mencegahnya dan menghapusnya.
Silahkan lihat referensinya !:
Lihat: Hashiyah Ibn 'Abidin
(2/177), Kitab al-Hawadits wa al-Bida' (hal. 259-260) oleh al-Tharthushi, al-Syarh al-Kabir li al-Dardir wa Hashiyat al-Dasuqi (1/309), al-Baa'its 'ala Inkar al-Bida' wa al-Hawadith (hal. 110-115)
oleh Abu Syamah, Hidayah al-Saalik (hal. 1171) oleh Ibnu Jama'ah, Iqtidhoo' ash-Shirath al-Mustaqim (2/151-153) oleh Ibnu Taymiyyah, dan Manar al-Sabil
(1/155) oleh Ibnu Dhowyaan.
Macam At-Ta’rif yang kedua:
هُوَ قَصْدُ مَسَاجِدِ الْبَلَدِ بَعْدَ عَصْرِ يَوْمِ عَرَفَةَ
لِلدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالْعِبَادَةِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ تَعَرُّضًا لِنَفَحَاتِ
اللَّهِ تَعَالَى وَاغْتِنَامًا لِفَضَائِلِ الْيَوْمِ.
Yaitu Pergi ke masjid-masjid yang
terdekat di daerah-daerah itu setelah Ashar pada hari Arafah untuk berdoa,
berdzikir dan beribadah sampai matahari terbenam, agar mendapatkan
sentuhan-sentuhan rahmat dari Allah SWT dan memperoleh keutamaan-keutamaan hari
Arafah.
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA SALAF DAN KHALAF TENTANG TA'RIF
At-Ta’rif yang diperselisihkan adalah jenis yang kedua , Yaitu Pergi ke masjid-masjid yang terdekat di daerah-daerah itu setelah Ashar pada hari Arafah untuk berdoa, berdzikir dan beribadah sampai matahari terbenam, agar mendapatkan sentuhan-sentuhan rahmat dari Allah SWT dan memperoleh keutamaan-keutamaan hari Arafah.
Dalam hal ini para Ulama, ada 4 kelompok:
Kelompok pertama: menganjurkannya
dan mengamalkannya
Kelompok kedua: menganjurkannya
tapi tidak mengamalkannya
Kelompok ke tiga: diam dan
membiarkannya
Kelompok ke empat: memakruhkannya
Silahkan lihat referensinya “الموسوعة الفقهية الكويتية (12/25)
****
KELOMPOK PERTAMA:
Para Ulama Yang Menganjurkan AT-TA’RIIF Serta Mengamalkannya
Diantara mereka adalah sbb :
- Abdullah
bin Abbas, semoga Allah SWT meridhoi mereka berdua
- Amr
bin Huraith, semoga Allah SWT meridhoi dia
- Mush’ab
bin az-Zubair
- Sa'id
bin Al-Musayyib
- Bakr
bin Abdullah Al-Muzni
- Hassan
Al Basri
- Muhammad
bin Sirin
- Muhammad
bin Wasi`
- Zabid
bin Al-Harith
- Thabit
bin Aslam al-Banani
- Gilan
bin Jarir
- Ashhab
bin Abdul Aziz
- Ahmed
bin Hanbal
- Yahya
bin Ma'in
- Dan
yang lainnya,
Mereka berkata:
إِنَّهُ دُعَاءٌ وَخَيْرٌ، فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا بِالْبَصْرَةِ حِينَ كَانَ خَلِيفَةً لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَلَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ، وَمَا يُفْعَلُ فِي عَهْدِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ مِنْ غَيْرِ إِنْكَارٍ لَا يَكُونُ بِدْعَةً.
Ini adalah doa dan kebaikan, yang
dilakukan oleh Ibn Abbas RA di Basra pada masa Kholifah Ali bin Abi Thalib RA,
dan beliau tidak mengingkarinya, dan apa saja yang di lakukan pada masa
Khulafaur Rosydiin tanpa ada yang menyangkalnya maka itu bukanlah bidah “.
16. Dan ini adalah pendapat Madzhab Hanbali.
17. Dan sebagian Madzhab Hanafi
18. Dan sebagian Maliki
19. Dan sebagian Syafi'i
20. Dan ini pilihan Syeikh Abd al-Karim bin Abdullah bin Abd al-Rahman
al-Khudloir, dari kalangan ulama zaman sekarang ini.
Ibnu Taimiyah mengatakan :
وَهَذَا الْقَوْلُ ثَابِتٌ عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ، وَاخْتَارَهُ
جَمَاعَةٌ مِنْ أُئِمَّةِ السَّلَفِ، فَلَا يُنْكَرُ عَلَى مَنْ عَمِلَ بِمُقْتَضَاهُ،
لِأَنَّهُ مِمَّا يَسُوغُ فِيهِ الْاجْتِهَادُ، وَلَا شَكَّ أَنَّ مَنْ جَعَلَهُ بِدْعَةً
لَا يُلْحِقُهُ بِفَاحِشَاتِ الْبِدَعِ، بَلْ يُخَفِّفُ أَمْرَهُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى
غَيْرِهِ.
Pendapat ini shahih diamalkan oleh
sebagian para Sahabat, dan dipilih oleh sekelompok ulama salaf, sehingga tidak
perlu diingkari bagi mereka yang mengamalkannya sesuai dengan tuntutan sebuah
ijtihad, karena masalah ini merupakan masalah yang layak untuk ijtihad.
Tidak ada keraguan bahwa siapa pun yang menganggapnya ini adalah bid'ah, maka
tidak boleh mengkatagorikannya pada bid'ah yang sangat parah, melainkan bid’ah
yang sangat ringan di banding bid’ah-bid’ah lainnya.
(Baca: “مجموع الفتاوى” karya Ibnu Taimiyah (1 /
281-282), dan “قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة” karya Ibnu
Taimiyah (hal. 222-223. Dan lihat pula: “الباعث على إنكار البدع والحوادث”
karya Abu Syaamah (hlm. 114-115).
BERIKUT INI RINCIAN RIWAYAT BERSANAD DARI MEREKA:
1. ATSAR IBNU ABBAS RA:
Abd al-Razzaq meriwayatkan di kitab
“al-Musannaf” (4/376), Ibn al-Ja’ad di “al-Musnad” (279) dan (987), dan Ibn Abi
Shaybah di “al-Musannaf” (19/600), dengan SANAD YANG SHAHIH ke al-Hasan
al-Basri berkata:
(أَوَّلُ
مَنْ صَنَعَ ذَاكَ ابْنُ عَبَّاسٍ، يَعْنِي: اجْتِمَاعَ النَّاسِ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي
الْمَسَاجِدِ)، وَفِي لَفْظِ: (أَوَّلُ مَنْ عَرَّفَ بِالْبَصْرَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ)،
Artinya: (Orang Yang pertama kali
melakukannya adalah Ibnu Abbaas, artinya Orang-orang berkumpul pada hari Arafah
di masjid.) Dan dalam lafadz lain: (Yang pertama kali melakukan at-Ta’rif di
Basrah adalah Ibnu Abbas)Dan Abd al-Razzaq meriwayatkan di “al-Musannaf”
(4/377), dan Ibn Sa'ad di “al-Tabaq al-Kubra”(2/367) dengan SANAD YANG SHAHIH
ke al-Hasan al-Basri yang berkata:
(أول من عرَّف بأرضنا ابن عباس، كان يتَّعد عشية عرفة،
فيقرأ القرآن البقرة يفسِّرها آيةً آيةً)،
(Orang pertama yang melakukan
at-Ta’rif di bumi kami adalah Ibnu Abbas, biasanya dilakukan pada waktu sore
hari Arafah, maka dia membaca Al-Qur'an, surat al-Baqarah, menafsirkannya ayat
demi ayat),
Dan Abu ‘Aroubah Al-Harraani meriwayatkan dalam “الأوائل” (hal. 138)
di bawah judul: “Orang pertama yang melakukan at-Ta’rif di temapt selain Mekah”
dengan DENGAN SANAD YANG SAHIH kepada Muhammad bin Sirin berkata:
(أَوَّلُ مَنْ عَرَّفَ هَا هُنَا ابْنُ عَبَّاسٍ، رَحْمَةُ
اللَّهِ عَلَيْهِ)
(Yang pertama melakukan at-Tarif di
sini adalah Ibn Abbas, semoga Allah merahmati beliau).
2. ATSAR ‘AMR
BIN HURAITS RA (عمر بن حريث) DI KUUFAH:
Ibnu Abi Shaybah meriwayatkan di kitab “al-Musannaf” (8/419) dengan SANAD YANG
SHAHIH kepada Musa bin Abi Aishah, yang berkata:
(رَأَيْتُ
عَمْرو بْنَ حَرِيثٍ يَخْطُبُ يَوْمَ عَرَفَةَ، وَقَدْ اجْتَمَعَ النَّاسُ إِلَيْهِ)
(Aku melihat Amr bin Huraith
berkhotbah pada hari Arafah, dan orang-orang berkumpul kepadanya) Yakni,
berkumpul di mesjid di daerahnya.
Dan dalam kitab: “مسائل الإمام أحمد بن حنبل “, riwayat
Ishaq bin Ibrahim bin Hani al-Naisaabuuri (1/94):
وَسُئِلَ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْقُرَى؟ فَقَالَ: قَدْ فَعَلَهُ
ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، وَفَعَلَهُ عَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ بِالْكُوفَةِ.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَلَمْ أَفْعَلْهُ أَنَا قَطُّ،
وَهُوَ دُعَاءٌ، دَعْهُمْ، يُكَثِّرُ النَّاسُ، قِيلَ لَهُ: فَنَرَى أَنْ يُنْهَوْا؟
قَالَ: لَا، دَعْهُمْ، لَا يُنْهَوْنَ، وَقَالَ مُبَارَكٌ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَابْنَ
سِيرِينَ، وَنَاسًا يَفْعَلُونَهُ، سَأَلْتُهُ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْأَمْصَارِ؟
قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ
Artinya: “ Beliau – Imam Ahmad -
ditanya tentang at-Ta’riif di desa-desa?
Dia berkata: “Ibn Abbas melakukannya di Basrah, dan Amr bin Huraith
melakukannya di Kufah, "
Abu Abdullah – yakni Imam Ahmad -
berkata: Saya tidak pernah melakukannya, dan itu adalah berdoa, biarlah mereka
memperbanyak oarang-orang – untuk melakukannya -.
Dan dikatakan pada nya: “ Lalu apakah
kita melarang mereka?
Dia berkata: Tidak, biarkanlah,
mereka jangan di larang “.
Dan Mubarak berkata: Saya melihat
al-Hassan, Ibn Siiriin, dan orang-orang melakukannya, saya bertanya kepadanya
tentang at-Ta’riif di daerah-daerah? Dia berkata: “Tidak ada yang salah dengan
itu")
Dan dalam kitab “طبقات الحنابلة” (1/39) dalam biografi Abu
Thalib Ahmad bin Humaid: (Abu Thalib berkata:
" قَالَ أَحْمَدُ: وَالتَّعْرِيفُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ
فِي الْأَمْصَارِ لَا بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا هُوَ دُعَاءٌ وَذِكْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ،
وَأَوَّلُ مَنْ فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ، وَفَعَلَهُ إِبْرَاهِيمُ
".
“Imam Ahmad berkata: At-Ta’riif
pada waktu sore di hari Arafah di daerah-daerah, itu tidak lah mengapa, itu
hanya doa dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dan orang yang pertama
melakukannya adalah Ibnu Abbas dan ‘Amr Ibn Huraits. Dan Ibrahim juga
melakukannya “)
3. MUSH’AB BIN
AZ-ZUBAIR:
Ibnu Asaakir dlm kitab “تاريخ الدمشق” meriwayatkan dari al-Hakam:
إِنَّ أَوَّلَ مَنْ عَرَّفَ بِالْكُوفَةِ مُصْعَبُ بْنُ الزُّبَيْرِ.
Seungguhnya orang yang pertama kali
melakukan amalan at-Ta’riif di Kuufah adalah Mush’ab bin az-Zubair. (Lihat: “مختصر تاريخ الدمشق” karya Ibnu Mandzur 7/297)
Dan lihat juga: “السنن الكبرى” karya al-Baihaqi 5/188, “سير أعلام النبلاء” 3/351 karya ad-Dzahabi pada biografi
Ibnu Abbas.
Dan lihat pula “الباعث على إنكار البدع والحوادث” karya Abu
Syaamah hal. 31, dan “البدع الحولية” karya Abdullah at-Tuwaijiry
hal. 363.
4. SA’IID IBNU AL-MUSAYYIB:
Ibn Abi Shaybah meriwayatkan di al-Musannaf (8/419) dengan SANAD YANG SHAHIH ke
Abd al-Rahman ibn Harmalah:
أَنَّهُ رَأَى سَعِيدَ بْنَ المُسَيَّبِ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ
مُسَنَّدًا ظَهْرَهُ إلَى الْمَقْصُورَةِ، وَيَسْتَقْبِلُ الشَّامَ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ.
(bahwa Dia melihat Sa’iid bin
Al-Musayyib pada pada waktu sore Arafah, sambil menyandarkan punggungnya pada
tembok ruangan (المقصورة), dan wajahnya menghadap Syam
hingga matahari terbenam).
5. BAKR BIN
ABDULLAH AL-MUZANI ;
Di sebutkan oleh Imam Ahmad seperti
yang terdapat dlm kitab “” 1/67 karya Ibnu Abi Ya’la al-Farraa.
Dalam kitab “الدر المنثور” (1/555) karya Imam al-Suyuti di
sebutkan:
أَخْرَجَ الْمَرْوَزِيُّ عَنْ مُبَارَكٍ قَالَ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ،
وَبَكْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، وَثَابِتًا الْبَنَانِيَّ، وَمُحَمَّدَ بْنَ وَاسِعٍ،
وَغَيْلَانَ بْنَ جَرِيرٍ يَشْهَدُونَ عَرَفَةَ بِالْبَصْرَةِ.
(Al-Marwazi meriwayatkan dari
Mubarak, beliau berkata: Saya melihat Al-Hassan, Bakr bin Abdullah, Thabit
Al-Banani, Muhammad bin Wasi`, dan Ghaylan bin Jarir mereka menghadiri acara
Arafahan di Basrah)
6. AL-HASAN
AL-BASHRI:
Al-Bayhaqi meriwayatkan di kitab
“Al-Sunan Al-Kubra” (5/191) dengan SANAD YANG SHAHIH dari Abu ‘Awaanah
Al-Wadl-dlooh bin Abdullah Al-Yasykari yang berkata:
"رَأَيْتُ
الْحَسَنَ الْبَصْرِيَّ يَوْمَ عَرَفَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ جَلَسَ، فَدَعَا، وَذَكَرَ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَاجْتَمَعَ النَّاسُ"، وَفِي رَوَايَةٍ: "رَأَيْتُ
الْحَسَنَ خَرَجَ يَوْمَ عَرَفَةَ مِنَ الْمَقْصُورَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَقَعَدَ،
فَعَرَّفَ".
(Aku melihat Al-Hasan Al-Basri
duduk-duduk pada hari Arafah setelah Ashar, dan dia berdoa, dan dia berdzikir
kepada Allah Azza wa Jalla, dan aku melihat orang-orang ikut berkumpul), dan
dalam satu riwayat: “ Pada hari Arafah, saya melihat Al-Hassan meninggalkan
bilik setelah Ashar, lalu dia duduk, dan dia melakukan at-Ta’rif “.
7. MUHAMMAD
BIN SIIRIIN
Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dalam
al-Musannaf (8/420) dengan SANAD YANG SHAHIH kepada Ibn ‘Aun yang berkata:
كَانُوا يَسْأَلُونَ مُحَمَّدًا عَنْ إِتْيَانِ الْمَسْجِدِ
عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَيَقُولُ: لَا أَعْلَمُ بِهِ بَأْسًا، فَكَانَ يَقْعُدُ فِي مَنْزِلِهِ،
فَكَانَ حَدِيثُهُ فِي تِلْكَ الْعَشِيَّةِ حَدِيثُهُ فِي سَائِرِ الْأَيَّامِ.
(Mereka biasa bertanya kepada
Muhammad – bin Siiriin - tentang datang ke masjid pada waktu sore hari Arafah,
dan dia berkata: “ Setahu saya tidaklah mengapa “, sementara dia biasa duduk di
rumahnya, dan pembicaraannya pada sore itu sama seperti pembicaraannya pada
hari-hari yang lain).
8. MUHAMMAD
BIN WAASI’:
Di sebutkan oleh Imam Ahmad seperti
yang terdapat dlm kitab “” 1/67 & 217 karya Ibnu Abi Ya’la al-Farraa.
Dalam kitab “الدر المنثور” (1/555) karya Imam al-Suyuti di
sebutkan:
أَخْرَجَ الْمَرْوَزِيُّ عَنْ مُبَارَكٍ قَالَ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ،
وَبَكْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، وَثَابِتًا الْبَنَانِيَّ، وَمُحَمَّدَ بْنَ وَاسِعٍ،
وَغَيْلَانَ بْنَ جَرِيرٍ يَشْهَدُونَ عَرَفَةَ بِالْبَصْرَةِ.
(Al-Marwazi meriwayatkan dari
Mubarak, beliau berkata: Saya melihat Al-Hassan, Bakr bin Abdullah, Thabit
Al-Banani, Muhammad bin Wasi`, dan Ghaylan bin Jarir mereka menghadiri acara
Arafahan di Basrah)
9. ZUBAID BIN
HARITS:
Ibn Abi Shaybah meriwayatkan di
al-Musannaf (8/420) dengan SANAD YANG SHAHIH bahwa dia berkata:
(مَا
كُنَّا نُعَرِّفُ إِلَّا فِي مَسَاجِدِنَا.)
(Dulu kami tidak lah melakukan
at-Tar’if kecuali di masjid-masjid kami)
(10) TSABIT
BIN ASLAM AL-BANNAANI & (11) GILAN BIN JARIIR
Di sebutkan oleh Imam Ahmad seperti
yang terdapat dlm kitab “” 1/67 & 217 karya Ibnu Abi Ya’la al-Farraa.
Dalam kitab “الدر المنثور” (1/555) karya Imam al-Suyuthi di sebutkan:
أَخْرَجَ الْمَرْوَزِيُّ عَنْ مُبَارَكٍ قَالَ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ،
وَبَكْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، وَثَابِتًا الْبَنَانِيَّ، وَمُحَمَّدَ بْنَ وَاسِعٍ،
وَغَيْلَانَ بْنَ جَرِيرٍ يَشْهَدُونَ عَرَفَةَ بِالْبَصْرَةِ.
(Al-Marwazi meriwayatkan dari
Mubarak, beliau berkata: Saya melihat Al-Hassan, Bakr bin Abdullah, Thabit
Al-Banani, Muhammad bin Wasi`, dan Ghaylan bin Jarir mereka menghadiri acara
Arafahan di Basrah)
(12) ASYHAB
BIN ABDUL AZIZ:
Dalam kitab “ترتيب المدارك” (3/268) karya al-Qoodli Iyaadl:
(قَالَ
سَحْنُونَ: حَضَرْنَا أَشْهَبَ يَوْمَ عَرَفَةَ بِجَامِعِ مِصْرٍ، وَكَانَ مِنْ حَالِهِمْ
إِقَامَتُهُمْ بِمَسْجِدِهِمْ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ، يَعْنِي: لِلذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ
كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ عَرَفَةَ بِهَا، وَكَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، يَعْنِي: النَّافِلَةَ،
وَفِي جَانِبِهِ صَرَّةٌ يُعْطِي مِنْهَا السَّائِلُ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا بِيَدِ سَائِلٍ
دِينَارٌ مِمَّا أَعْطَاهُ، فَذَكَرْتُهُ لَهُ، فَقَالَ لِي: وَمَا كُنَّا نُعْطِي
مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ).
(Sahnuun berkata: Kami menghadiri
AYHAB pada hari Arafah di Masjid Jami Mesir, dan itu sudah menjadi kebiasaan
mereka diam di masjid hingga matahari terbenam, Yakni: untuk berzikir dan
berdoa di dalamnya seperti yang dilakukan orang-orang di padang Arafah.
Dan dia sholatnya sambil duduk, yakni: shalat naafilah, dan di sisinya ada
bungkusan yang akan dia berikan kepada para pengemis, maka tiba-tibu aku
melihat di tangan seorang pengemis ada uang satu dinar, yang ia dapatkan dari
pemberiannya, dan aku tanyakan padanya, lalu dia berkata kepadaku: “ Dan kami
tidak memberikanya sejak pagi hari “.
Lihat pula: “التاج والإكليل” 2/366, “شرح الزرقاني على مختصر خليل”
1/483 dan “لوامع الدرر” 2/343.
13. ATSAR
YAHYA BIN MA’IIN (termasuk ulama salaf yang ber TA’RIIF)
Dalam “طبقات الحنابلة” (1/414)
dalam biografi Ya`qub bin Ibrahim al-Duuroqi:
قَالَ يَعْقُوبُ: رَأَيْتُ يَحْيَى بْنَ مُعِينٍ عَشِيَّةَ
عَرَفَةَ فِي مَسْجِدِ الْجَامِعِ قَدْ حَضَرَ مَعَ النَّاسِ، وَرَأَيْتُهُ يَشْرَبُ
مَاءً، وَلَمْ يَكُنْ بِصَائِمٍ.
(Ya`qub berkata: Saya melihat Yahya
bin Ma’in pada sore hari Arafah di Masjid Al-Jami, dia hadir bersama
orang-orang, dan saya melihatnya minum air, dan dia tidak berpuasa)
Dan lihat juga: “المغني” karya Ibnu Quddaamah 2/296
14. At-Ta’riif
adalah pendapat MADZHAB HANBALI:
Lihat refernsinya:
المغني (2/296)، والفروع (3/216) لابن مفلح، والإنصاف
(2/441) للمرداوي، وكشاف القناع (2/60) للبهوتي، والموسوعة الفقهية الكويتية
(45/335)
15. At-Ta’riif adalah pendapat Sebagian MADZHAB HANAFI
Lihat
referensinya : “حاشية ابن عابدين” 2/177.
16. At-Ta’riif adalah pendapat Sebagian MADZHAB MALIKI
Lihat: “الشرح الكبير للدردير وحاشية الدسوقي” 1/309.
17. At-Ta’riif adalah pendapat Sebagian MADZHAB SYAFI’II
Lihat: “حاشية الشرواني على تحفة المحتاج”
4/108 dan “حاشية الشبراملسي على نهاية المحتاج” 3/297.
Al-Imam an-Nawawi berkata dalam “المجموع” '(8/117) dan
“الإيضاح” (hal. 294):
التَّعْرِيفُ بِغَيْرِ عَرَفَاتٍ، وَهَذَا هُوَ الِاجْتِمَاعُ
الْمَعْرُوفُ فِي الْبِلَادَ، اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيهِ، فَجَاءَ عَنْ جَمَاعَةٍ
اسْتَحَبَّابُهُ وَفِعْلُهُ، فَقَدْ رُوِيَ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ:
أَوَّلُ مَنْ صَنَعَ ذَلِكَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.
(At-Ta’riif di selain Arafat, dan
ini adalah kempul-kumpul yang ma’ruf di negeri-negeri. Para ulama berbeda
pendapat tentang hal itu, dan ada sekelompok jemaah menganggpnya mustahab dan
melakukannya. Sungguh telah diriwayatkan dari Al-Hasan al-Basri bahwa dia
berkata: Yang pertama kali melakukan itu adalah Ibn Abbas, semoga Allah
meridhoi mereka berdua.
18. Dan ini
pilihan Syeikh Abd al-Karim bin Abdullah bin Abd al-Rahman al-Khudloir, dari
kalangan ulama zaman sekarang ini.
Beliau menyatakan pilihannya ini di
beberapa kitab, diantaranya:
Di kitab “شرح الموطأ”, “شرح كتاب التجريد الصريح”, “شرح كتاب المناسك من زاد المستقنع”,
“شرح منسك شيخ الإسلام ابن تيمية” dan “شرح كتاب الحج من صحيح مسلم”.
*****
KELOMPOK KE DUA:
TIDAK MENGAMALKAN AT-TA’RIIF, TAPI MENGANJURKANNYA SERTA
MENGATAKANNYA MUSTAHAB
Dalam kitab: “مسائل الإمام أحمد بن حنبل “, riwayat Ishaq bin Ibrahim bin
Hani al-Naisaabuuri (1/94):
"وَسُئِلَ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْقُرَى؟ فَقَالَ: قَدْ
فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، وَفَعَلَهُ عَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ بِالْكُوفَةِ.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَلَمْ أَفْعَلْهُ أَنَا قَطُّ،
وَهُوَ دُعَاءٌ، دَعْهُمْ، يُكَثِّرُ النَّاسُ، قِيلَ لَهُ: فَنَرَى أَنْ يُنْهَوْا؟
قَالَ: لَا، دَعْهُمْ، لَا يُنْهَوْنَ، وَقَالَ مُبَارَكٌ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَابْنَ
سِيرِينَ، وَنَاسًا يَفْعَلُونَهُ، سَأَلْتُهُ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْأَمْصَارِ؟
قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ".
(Beliau – Imam Ahmad - ditanya
tentang at-Ta’riif di desa-desa?
Dia berkata: “Ibn Abbas melakukannya di Basrah, dan Amr bin Huraith
melakukannya di Kufah "
Abu Abdullah – yakni Imam Ahmad - berkata: Saya tidak pernah melakukannya, dan
itu adalah berdoa, biarlah mereka memperbanyak oarang-orang – untuk
melakukannya -.
Dia ditanyakan kepada nya: “Lalu apakah kita melarang mereka? Beliau jawab:
Tidak, biarkanlah, mereka jangan di larang. Dan Mubarak berkata: “Saya melihat
al-Hassan, Ibn Siiriin, dan orang-orang melakukannya“, lalu saya bertanya
kepada nya (tentang at-Ta’riif di daerah-daerah? Dia berkata: “ Tidak ada yang
salah dengan itu “ “.
Abu Shaamah mengatakan dalam kitab “الباعث على إنكار البدع والحوادث”
(hlm. 114-115):
وَعَلَى الْجُمْلَةِ: فَأَمْرُ التَّعْرِيفِ قَرِيبٌ إلَّا
إذَا جَرَّ مَفْسَدَةً، كَمَا ذَكَرَهُ الطَّرْطُوشِيُّ فِي التَّعْرِيفِ بِبَيْتِ
الْمَقْدِسِ.
(Dan kesimpulannya: Maka perkara
at-Ta’rif itu dekat – dengan sunnah - kecuali jika mengarah pada mafsadah,
seperti yang disebutkan Al-Tarthousyi tentang at-Ta’riif di Bait Al-Maqdis).
Saya katakan:
Kata-kata Abu Syaamah “kecuali jika mengarah pada mafsadah, seperti yang
disebutkan Al-Tarthousyi tentang at-Ta’riif di Bait Al-Maqdis “, beliau meng
isyarat kan kepada apa yang di katakan oleh Al-Tharthoushi berkata dalam kitab “الحوادث والبدع” (hlm.
259-260):
وَقَدْ كُنْتُ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ
عَرَفَةَ، حَشَرَ أَهْلُ السَّوَادِ وَكَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، فَيَقِفُونَ فِي الْمَسْجِدِ مُسْتَقْبِلِينَ
الْقِبْلَةَ مُرْتَفِعَةً أَصْوَاتُهُمْ بِالدُّعَاءِ، كَأَنَّهُ مَوْطِنُ عَرَفَةَ،
وَكُنْتُ أَسْمَعُ هُنَاكَ سَمَاعًا فَاشِيًا مِنْهُمْ أَنَّ مَنْ وَقَفَ بِبَيْتِ
الْمَقْدِسِ أَرْبَعَ وَقَفَاتٍ، فَإِنَّهَا تَعْدِلُ حَجَّةً، ثُمَّ يَجْعَلُونَهُ
ذَرِيعَةً إِلَى إِسْقَاطِ فَرِيضَةِ الْحَجِّ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ.
“ Dan sungguh saya pernah berada di Baitul Maqdis, Jika datang hari Arafah,
para penduduk Ahlus Sawaad dan banyak orang di negeri itu
berdesakan bersama-sama, dan mereka berdiri di masjid, menghadap ke arah
qiblat, sambil berdoa dengan mengeraskan suara, seolah-olah itu adalah padang
Arafah, dan saya mendengar di sana ada salah seorang dari mereka yang
menyebarkan ucapan:
“siapa pun yang berdiri - seperti ini - di Baitul Maqdis empat kali, maka itu
setara dengan ibadah Haji“. Maka dengan demikian mereka telah menjadikannya
sebagai sebab hilangnya kewajiban beribadah haji ke Baitullah al-Haram ”).
Lalu Abu Syaamah berkata dalam kitab “الباعث على إنكار البدع والحوادث”
(hlm. 114-115):
وَقَدْ قَالَ الأَثْرَمُ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ
عَنْ التَّعْرِيفِ فِي الأَمْصَارِ يَجْتَمِعُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَقَالَ: أَرْجُو
أَنْ لَا يَكُونَ بِهِ بَأْسٌ، قَدْ فَعَلَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ، الْحَسَنُ، وَبَكْرٌ،
وَثَابِتٌ، وَمُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، كَانُوا يَشْهَدُونَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ عَرَفَةَ.
وَفِي رَوَايَةٍ قَالَ أَحْمَدُ: لَا بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا
هُوَ دُعَاءٌ، وَذِكْرٌ لِلَّهِ، فَقِيلَ لَهُ: تَفْعَلُهُ أَنْتَ؟ قَالَ: أَمَّا أَنَا
فَلَا، ذَكَرَهُ الشَّيْخُ مُوَفَّقُ الدِّينِ فِي كِتَابِهِ "المُغْنِي".
“ Al-Atsram berkata: Saya bertanya
kepada Ahmad ibn Hanbal tentang at-Ta’riif di daerah-daerah, mereka
kumpul-kumpul pada hari Arafah, maka dia berkata: Saya harap tidak lah mengapa
dengan itu. Sungguh Lebih dari satu orang yang melakukannya, al-Hassan, Bakr, Tsabit,
dan Muhammad ibn Waasi`, mereka biasa mengahadiri masjid pada hari Arafah.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad berkata: “ Tidak ada masalah dengan itu, itu
hanyalah doa, dan dzikir kepada Allah”. Dan dikatakan kepadanya: Apakah kamu
melakukannya? Dia berkata: Adapun saya, tidak “. Syeikh Muwafaq Al-Din
menyebutkannya dalam kitabnya “Al-Mughni”.
Dan dalam kitab “طبقات الحنابلة” (1/39) dalam biografi Abu
Thalib Ahmad bin Humaid:
قَالَ أَبُو طَالِبٍ: قَالَ أَحْمَدُ: وَالتَّعْرِيفُ عَشِيَّةَ
عَرَفَةَ فِي الْأَمْصَارِ لَا بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا هُوَ دُعَاءٌ وَذِكْرُ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ، وَأَوَّلُ مَنْ فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ، وَفَعَلَهُ
إِبْرَاهِيمُ.
(Abu Thalib berkata: “ Imam Ahmad
berkata: At-Ta’riif pada sore hari Arafah di daerah-daerah tidak ada yang salah
dengan itu, itu kan hanya doa dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dan orang
yang pertama melakukannya adalah Ibnu Abbas dan ‘Amr Ibn Huraits. Dan Ibrahim
juga melakukannya “)
Dan dalam Biografi Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani Al-Atsram (1/67):
قَالَ الأَثْرَمُ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ التَّعْرِيفِ
فِي الْأَمْصَارِ يَجْتَمِعُونَ فِي الْمَسَاجِدِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ قَالَ: أَرْجُو
أَنْ لَا يَكُونَ بِهِ بَأْسٌ، فَعَلَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ:
الْحَسَنُ وَبَكْرٌ وَثَابِتٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ كَانُوا يَشْهَدُونَ الْمَسْجِدَ
يَوْمَ عَرَفَةَ.
(Al-Atsram berkata: aku bertanya
pada Abu Abdullah – Imam Ahmad - tentang at-Ta’rif di daerah-daerah dan mereka
berkumpul di masjid-masjid pada hari Arafah? Abu Abdullah menjawab: “
Al-Hassan, Bakr, Thabit, dan Muhammad ibn Wasi` menghadiri masjid pada hari
Arafah “)
Dalam biografi Abd al-Karim bin al-Haitsam al-‘Aaquuli (1/217):
قَالَ: وَسَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنِ التَّعْرِيفِ
بِهَذِهِ الْقُرَى مِثْلَ جَرْجَرَايَ وَدِيرِ الْعَاقُولِ؟ فَقَالَ: قَدْ فَعَلَهُ
ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، وَعَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ بِالْكُوفَةِ، وَهُوَ دُعَاءٌ،
قِيلَ لَهُ: يُكَثِّرُ النَّاسُ! قَالَ: وَإِنْ كَثُرُوا، هُوَ دُعَاءٌ، وَخَيْرٌ،
وَقَدْ كَانَ يَفْعَلُهُ مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، وَابْنُ سِيرِينَ، وَالْحَسَنُ، وَذَكَرَ
جَمَاعَةً مِنْ الْبَصْرِيِّينَ.
(Dia berkata: Saya bertanya kepada
Abu Abdullah – Imam Ahmad - tentang at-Ta’riif di desa-desa ini, seperti desa
Jarjari dan desa Deir al-Aqoul? Dia berkata: “ Ibn Abbas melakukannya di
Basrah, dan Amr bin Huraith di Kufah, dan itu adalah berdoa. ! Dia diberitahu:
Ada banyak orang! Dia berkata: Dan meskipun mereka bertambah banyak jumlahnya,
itu adalah doa, dan itu baik, dan Muhammad ibn Wasi`, Ibn Sirin, dan al-Hasan
biasa melakukannya “, dan beliau menyebutkan sekelompok jemaah orang-orang
Basrah.
Dan dalam biografi Ya`qub ibn Ibrahim al-Duuroqi (1/414):
قَالَ يَعْقُوبُ الدَّوْرُقِيُّ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ
عَنْ الرَّجُلِ يَحْضُرُ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ قَالَ: لَا بَأْسَ أَنْ
يَحْضُرَ الْمَسْجِدَ، فَيَحْضُرَ دُعَاءَ الْمُسْلِمِينَ، قَدْ عَرَّفَ ابْنُ عَبَّاسٍ
بِالْبَصْرَةِ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ الْمَسْجِدَ، فَيَحْضُرَ دُعَاءَ
الْمُسْلِمِينَ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَرْحَمَهُ، إِنَّمَا هُوَ دُعَاءٌ.
(Ya`qub al-Duuroqi berkata: Saya
bertanya kepada Abu Abdullah – Imam Ahmad - tentang seorang pria yang
menghadiri masjid pada hari Arafah? Dia berkata: Tidak ada salahnya menghadiri
masjid, lalu dia menghadiri doa umat Islam, sungguh Ibn Abbas melakukan
at-Ta’rif di Basrah, jadi tidak ada salahnya ada orang yang datang ke masjid
dan menghadiri doa umat Islam, Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepadanya,
itu kan hanya doa)
Dan Ibnu Taymiyyah berkata dalam kitab “مسألة في المرابطة بالثغور أفضل أم
المجاورة بمكة” (hal. 62):
(وَقَدْ قِيلَ عَنْهُ -أي: عَنِ الإِمَامِ أَحْمَدَ-: أَنَّهُ
يُسْتَحَبُّ)، وَعَلَّقَ الْمُرْدَاوِيُّ فِي الإِنْصَافِ (2/441) عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ:
(وَهِيَ مِنَ الْمُفْرَدَاتِ).
(Dan pernah dikatakan tentang
at-Ta’riif - yakni dari Imam Ahmad -: bahwa itu adalah MUSTAHABB), dan
Al-Mardawi mengomentari dalam Al-Insaaf (2/441) tentang hal itu dan berkata:
(Ini adalah salah satu dari al-mufrodaat (fatwa-fatwa tunggal dari salah
seorang imam 4 madzhab atau lainnya ).
*****
KELOMPOK KE TIGA:
TIDAK MENGAMALKAN AT-TA’RIIF & DIAM, TIDAK
MELARANGNYA ATAU MENGANJURKANNYA
Ada sebagian ulama yang tidak
mengamalkan amalan At-Ta’rif, namun demikian mereka mendiamkan orang-orang yang
mengamalkannya. Diantara nya adalah sbb:
(1) KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ
Ibn ‘Asaakair meriwayatkan dalam
kitab تاريخ الدمشق (59 / 31-32) melalui jalur
Muawiyah ibn al-Rayyan:
(أَنَّ
عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَوْمَ عَرَفَةَ لَمَّا صَلَّى الْعَصْرَ انْصَرَفَ
إِلَى مَنْزِلِهِ، وَلَمْ يَقْعُدْ لِلنَّاسِ، وَهُوَ إِذْ ذَاكَ خَلِيفَةٌ).
(Bahwa Umar ibn Abd al-Aziz pada hari Arafah ketika dia selesai sholat Ashar,
pergi ke rumahnya, dan tidak duduk untuk menemani orang-orang, dan pada saat
itu dia menjadi khalifah),
Dan Ibnu Asaakir meriwayatkannya juga dari jalur lain dari dia, berkata:
(خَرَجْتُ مَعَ سَهْلِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَخِيهِ
عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ حِينَ اسْتَخْلَفَ فَحْصُرٌ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ
عَرَفَةَ، صَلَّى عُمَرُ الْعَصْرَ، فَلَمَّا فَرَغَ انْصَرَفَ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَلَمْ
يَخْرُجْ إِلَّا إِلَى الْمَغْرِبِ).
(Saya pergi dengan Sahl bin Abdul
Aziz kepada saudaranya Umar bin Abdul Aziz ketika dia diangkat sebagai
Khalifah, dan ketika itu pada hari Arafah, dia shalat Ashar Umar, dan ketika
dia selesai, dia pergi ke rumahnya, dan dia tidak keluar kecuali hanya untuk
sholat Maghrib).
(2) ABU WAA’IL
SYAQIQ BIN SALAMAH:
Ibn Wadldlooh meriwayatkan dalam kitab “ما جاء في البدع”
(hal. 103) dengan ISNAAD YANG SHAHIH:
(أنه
كَانَ لَا يَأْتِي الْمَسْجِدَ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ)
(Bahwa dia – Abu Wa’il - tidak
mendatangi masjid pada waktu sore pada hari Arafah).
Dan juga Ibn Abi Shaybah meriwayatkan di al-Musannaf (8/419) dengan ISNAAD YANG
SHAHIH kepada Al-A’mash, dia berkata:
(رَأَيْتُ أَبَا وَائِلٍ وَأَصْحَابَنَا يَجْلِسُونَ يَوْمَ
عَرَفَةَ، فَيَتَحَدَّثُونَ كَمَا كَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فِي سَائِرِ الْأَيَّامِ)
(Aku melihat Abu Wa’il dan
sahabat-sahabat kami duduk-duduk di hari Arafah. Mereka berbicara sama seperti
apa yang mereka bicarakan pada hari-hari lainnya.)
(3) IBRAHIM
BIN YAZIID AN-NAKHO’II
Abd al-Razzaq meriwayatkan di kitab
“al-Musannaf” (4 / 378-379) Dengan ISNAAD YANG SHAHIH:
(أَنَّهُ
كَانَ يَرَى النَّاسَ يُعَرِّفُونَ فِي الْمَسْجِدِ بِالْكُوفَةِ، فَلَا يُعَرِّفُ
مَعَهُمْ.)
(Bahwa dia biasa melihat
orang-orang yang melakukan “ at-Ta’riif “ di masjid di Kufah, akan tetapi dia
tidak ikut “at-Ta’rif” dengan mereka).
(4) AL-LAITS
BIN SAAD:
Dan dalam kitab “الحوادث والبدع” (hlm. 259) karya al-Tartoushi:
قَالَ الْحَارِثُ بْنُ مَسْكِينٍ: كُنْتُ أَرَى اللَّيْثَ بْنَ
سَعْدٍ يَنْصُرِفُ بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَى قُرْبِ
الْمَغْرِبِ.
(Al-Harith bin Maskin berkata: Aku
biasa melihat Al-Layth bin Saad pulang – dari masjid - setelah sholat Ashar
pada hari Arafah, maka dia tidak kembali – ke mesjid - kecuali setelah
mendekati waktu sholat maghrib)
Berbeda lagi dengan perkataan ATHOO BIN ABI ROBAAH:
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab ayahnya “Al-Zuhd” (hal.
305), dan dari jalannya Abu Na`im di kitab “Hilyat Al-Awliya{ (3/314) dengan
ISNAD YANG SHAHIH kepada Umar bin Al-Ward berkata:
(قَالَ لِي عَطَاءٌ: إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَخْلُوَ بِنَفْسِكَ
عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَافْعَلْ.).
(Athoo mengatakan kepada saya: Jika
Anda bisa menyendiri berkhalwat pada malam Arafah, maka lakukanlah).
Saya katakan: berarti menurut Athoo boleh berkhalwat dalam rangkah ibadah di
waktu sore hari Arafah.
*****
KELOMPOK KE EMPAT:
MEMAKRUHKAN AT-TA’RIIF DAN SEBAGIAN MEREKA MENGATAKANNYA
BID’AH ATAU MUHDATS (بِدْعَة أو مُحْدَث ).
Diantara mereka adalah sbb:
(1) ALI BIN ABI THALIB رضي الله عنه
(2) PUTRA ALI رضي الله عنه YANG BERNAMA:
MUHAMMAD BIN AL-HANAFIYYAH
Al-Bukhari meriwayatkan dalam “التاريخ الكبير” (2/301) dari Al-Hasan bin
Athiyyah Al-Kufi dari Isra’il, dari Ismail bin Salman Al-Azraq, dari Dinar Abu
Umar, dari Ibn Al-Hanafiyyah, dari Ali bin Abi Tholib RA, beliau berkata:
(لا
عَرَفَةَ إِلَّا بِعَرَفَاتٍ)
“ Tidak ada acara arafahan kecuali
di padang Arafah “.
Kemudian dia berkata: Telah mengatakan nya kepadaku Al-Hasan bin ‘Athiyyah, dia
mendengar dari Isra’il.
Sementara Imam Waqee’ berkata:
Dari Ismail al-Azraq dari Abu Umar dari Muhammad bin al-Hanafiyyah yang
mengatakan:
(لا عَرَفَةَ إِلَّا بِعَرَفَاتٍ)
“ Tidak ada acara arafahan kecuali
di padang Arafah “.
Dan riwayat Wakee' ini ada di “ Musannaf Ibn Abi Shaybah” (8/420) dari Ibn
al-Hanafiyyah dengan kata-kata:
(إِنَّمَا الْمَعْرِفُ بِمَكَّةَ.)
“ Sesungguhnya orang yang ber
Ta’rif itu hanya di Makkah “.
Akan tetapi perawi yang bernama Ismail al-Azraq ini dhoif. Lihat kitab “تهذيب التهذيب” (1 / 303-304).
(3) IBRAHIM
BIN YAZIID AN-NAKHO’II:
Ibn Wadldlooh (ابن وضاح) meriwayatkan dalam kitab “ما جاء في البدع” (hal. 102) dengan ISNAAD YANG
SHAHIH kepada Ibn ‘Aun yang berkata:
(شَهِدْتُ
إِبْرَاهِيمَ النَّخْعِيَّ سُئِلَ عَنْ اجْتِمَاعِ النَّاسِ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَكَرَّهُهُ،
وَقَالَ: مُحْدَثٌ.)
(Saya menyaksikan Ibrahim
al-Nakha'i, yang ditanyai tentang berkumpulnya orang-orang pada waktu sore
petang hari Arafah, pemikirannya, dan dia berkata: itu perkara yang baru / محدث),
Dan Ibn Abi Shaybah meriwayatkan di al-Musannaf (8/420) dengan ISNAAD YANG
SHAHIH:
(أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ التَّعْرِيفِ فَقَالَ: إِنَّمَا التَّعْرِيفُ
بِمَكَّةَ)
(bahwa dia ditanya tentang definisi
dan berkata: Ini hanya definisi Mekah)
Lihat pula: “مسند ابن الجعد” hal. 278 dan “مصنف ابن أبي شيبة” 8/420.
(4) ‘AAMIR
(5) AL-HAKAM BIN UTAIBAH AL-KINDY
(6) HAMMAD BIN ABI SULAIMAAN:
Ibn Abi Shaybah meriwayatkan di
kitab “al-Musannaf” (8/421) dengan ISNAAD YANG SHAHIH kepada Jabir dari ‘Aamir
dan al-Hakam mereka berkata:
(المُعَرَّف
بِدْعَة)
(At-Ta’riif adalah BID’AH). Dan
lihat pula (8/420).
Ibn al-Ja’ad meriwayatkan di kitab “al-Musnad” (277), Ibn Abi Shaybah di
“al-Musannaf” (8/420), dan al-Bayhaqi di “al-Sunan al-Kubra” (5/191) dengan
ISNAD YANG SHAHIH dari Syu'bah yang mengatakan:
(سَأَلْتُ الْحُكَمَ وَحَمَّادًا عَنْ اجْتِمَاعِ النَّاسِ
يَوْمَ عَرَفَةَ فِي الْمَسَاجِدِ، فَقَالَا: هُوَ مُحْدَثٌ.)
“ Aku bertanya kepada al-Hakam –
bin Utaibah al-Kindy - dan Hammaad – bin Abi Sulaiman - tentang berkumpulnnya
orang-orang pada hari arafah di masjid-masjid, maka mereka berdua berkata: itu
adalah perkara yang baru / مُحدَث).
(7) NAFI’,
MAULA ABDULLAH BIN UMAR BIN AL-KHOTTOB:
Ibnu Wadldlooh meriwayatkan dalam
kitab “ما جاء في البدع” (hal. 102) dengan ISNAAD YANG
SHAHIH kepada Abu Hafs Al-Madani, dia berkata:
(اجتَمَعَ
النَّاسُ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَدْعُونَ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَخَرَجَ نَافِعُ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ مِنْ دَارِ آلِ
عُمَرَ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ الَّذِي أَنْتُمْ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ، وَلَيْسَتْ
بِسُنَّةٍ، إِنَّا أَدْرَكْنَا النَّاسَ وَلَا يَصْنَعُونَ مِثْلَ هَذَا، ثُمَّ رَجَعَ
فَلَمْ يَجْلِسْ، ثُمَّ خَرَجَ الثَّانِيَةَ فَفَعَلَ مِثْلَهَا، ثُمَّ رَجَعَ)
(Orang-orang berkumpul pada hari Arafah di masjid Nabawi untuk berdoa setelah
Ashar, maka Nafe’, Maula Ibnu Umar (budak Ibnu Umar yang telah dibebaskan)
keluar dari rumah keluarga Umar, dan beliau berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya apa yang sedang kalian lakukan adalah bid'ah, dan
bukan Sunnah, sungguh kami telah menjumpai para sahabat dan Mereka tidak ada
yang melakukan sesuatu seperti ini", lalu dia pulang dan tidak ikut duduk,
lalu dia keluar yang kedua kalinya dan melakukan hal yang sama, lalu dia pulang
lagi).
(8) IMAM ABU
HANIIFAH
(9) MUHAMMAD BIN HASAN ASY-SYAIBAANY:
Muhammad ibn al-Hasan al-Shaybani
berkata di kitab “الآثار” (1/339):
(أخبرنا
أبو حنيفة، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ: أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَخْرُجُ يَوْمَ
عَرَفَةَ مِنْ مَنْزِلِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: التَّعْرِيفُ الَّذِي يُصْنَعُهُ
النَّاسُ يَوْمَ عَرَفَةَ مُحْدَثٌ، إِنَّمَا التَّعْرِيفُ بِعَرَفَاتٍ، قَالَ مُحَمَّدٌ:
وَبِهِ نَأْخُذُ.).
(Abu Hanifa mengatakan kepada kami,
dari Hammad, dari Ibrahim: bahw Dia tidak keluar pada hari Arafah dari rumahnya
(ke masjid).
Dan Abu Hanifah berkata: At-Ta’rif yang lakukan orang-orang pada hari Arafah
itu adalah perkara yang diperbarui, tetapi kalau at-Ta’rif di padang Arafah.
Muhammad asy-Syaibaani berkata: Dan kalau yang ini kami mengambilnya
(mengamalkannya) “.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibaani berkata dalam kitab “الجامع الصغير ” (hal. 115):
(وَالتَّعْرِيفُ الَّذِي يَصْنَعُهُ النَّاسُ لَيْسَ بشَيْءٍ.)
(At-Ta’rif yang yang di orang
bukanlah apa-apa.)
Dan di kitabnya “الآثار” (1/339) dia menukil perkataan
syeikhnya, Abu Hanifah: (أنه مُحدثٌ: bahwa at-Ta’riif itu perkara
baru. Lalu beliau berkata: “وبه نأخذ / Dan kalau yang ini kami
mengambilnya (mengamalkannya) “.
(11) SUFYAN
BIN SA’IID ATS-TSAURY:
Ibn Wadldlooh meriwayatkan dalam
kitab “ما جاء في البدع” (hal. 102) dengan ISNAAD YANG
SHAHIH, bahwa Sufyan ats-Tsaury berkata:
(لَيْسَ
عَرَفَةَ إِلاَّ بِمَكَّةَ، لَيْسَ فِي هَذِهِ الأَمْصَارِ عَرَفَةٌ).
(Tidak ada Arafah kecuali yang di
Makkah, tidak ada di daerah-daerah sini Arafah).
(12) IMAM
MALIK BIN ANAS:
Dalam kitab “النوادر والزيادات” (1/531) karya Ibn Abi Zaid
Al-Qayrawani: (Dari Al-Utbiyah, Ibn Al-Qasim, dari Malik:
(وَأَكْرَهُ
أَنْ يَجْلِسَ أَهْلُ الْآفَاقِ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي الْمَسَاجِدِ لِلدُّعَاءِ، وَمَنْ
اجْتَمَعَ إِلَيْهِ النَّاسُ يَوْمَئِذٍ، فَيُكَبِّرُونَ وَيَدْعُونَ، فَلْيَنْصَرِفْ
عَنْهُمْ، وَمَقَامُهُ فِي مَنْزِلِهِ أَحَبُّ إِلَيَّ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ
رَجَعَ، فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ.)،
“ Saya tidak suka orang-orang dari
mana-mana duduk-duduk di masjid pada hari Arafah untuk berdoa, dan barang siapa
menjumpai orang-orang yang berkumpul-kumpul di Masjid pada hari itu, sambil
bertakbir dan berdoa, maka tinggalkanlah mereka, dan dia tinggal dirumahnya
lebih aku sukai, lalu ketika datang waktu sholat, segera kembali ke masjid lalu
sholat di masjid “
Dan yang semisalnya terdapat di kitab “ al-Bayan wa al-Tahseel” (1/274,
362-363, 376-377), (2/324), (17/121) karya Ibnu Rusyd.
Dan dalam kitab “الحوادث والبدع” (hlm. 257-258) karya al-Tartoushi
(الطرطوشي) di sebutkan:
(قَالَ ابْنُ وَهْبٍ: سَأَلْتُ مَالِكًا عَنْ الْجُلُوسِ يَوْمَ
عَرَفَةَ، يَجْلِسُ أَهْلُ الْبَلَدِ فِي مَسْجِدِهِمْ، وَيَدْعُو الْإِمَامُ رِجَالًا
يَدْعُونَ اللَّهَ تَعَالَى لِلنَّاسِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ؟ فَقَالَ: مَا نَعْرِفُ
هَذَا، وَإِنَّ النَّاسَ عِنْدَنَا الْيَوْمَ لِيَفْعَلُونَهُ، قَالَ ابْنُ وَهْبٍ:
وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَسْأَلُ عَنْ جُلُوسِ النَّاسِ فِي الْمَسْجِدِ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ
بَعْدَ الْعَصْرِ، وَاجْتِمَاعُهُمْ لِلدُّعَاءِ؟ فَقَالَ: لَيْسَ هَذَا مِنْ أَمْرِ
النَّاسِ، وَإِنَّمَا مَفَاتِيحُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ مِنَ الْبِدَعِ.. قَالَ مَالِكُ
بْنُ أَنَسٍ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ رِجَالًا مِمَّنْ أَقْتَدِي بِهِمْ يَتَخَلَّفُونَ
فِي عَشِيَّةَ عَرَفَةَ فِي بُيُوتِهِمْ، قَالَ: وَإِنَّمَا مَفَاتِيحُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ
مِنَ الْبِدَعِ، وَلَا أُحِبُّ لِلرَّجُلِ الَّذِي قَدْ عَلِمَ أَنْ يَقْعُدَ فِي الْمَسْجِدِ
فِي تِلْكَ الْعَشِيَّةِ، مَخَافَةَ أَنْ يَقْتَدُوا بِهِ، وَلِيَقْعُدَ فِي بَيْتِهِ.).
(Ibn Wahab berkata: Saya bertanya
kepada Imam Malik tentang duduk-duduk pada hari Arafah, dan orang-orang
penduduk di sebuah daerah duduk di masjid mereka, dan imam pun memanggil
orang-orang agar datang untuk berdoa kepada Allah hingga matahari terbenam?
Maka dia Imam Malik berkata: Kami tidak mengetahuinya, tapi orang-orang
melakukannya.
Ibn Wahab berkata: Saya mendengar Imam Malik di tanya tentang orang-orang yang
duduk-duduk di masjid pada sore Arafah setelah Ashar, dan mereka berkumpul
untuk berdoa?
Maka dia menjawab: “ Ini bukan perkara yang di amalkan para sahabat, dan
sesungguhnya kunci-kunci dari perkara-perkara ini adalah Bid’ah “.
Malik bin Anas menjawab: Saya telah melihat orang-orang yang dijadikan teladan
oleh mereka, ternyata mereka pada malam Arafah tidak ikut-ikutan dan mereka
tinggal di rumah masing-masing.
Dan Imam Malik berkata: Dan sesungguhnya kunci-kinci dari hal-hal ini adalah
bid'ah, dan saya tidak suka orang yang mengerti ikut duduk-duduk di masjid pada
sore itu, karena takut mereka akan mengikutinya, maka sebaiknya orang yang
berilmu itu duduk di rumahnya).
Masih penyebutan nama para ulama yang memakruhkan at-Tariif
(13) MADZAHAB
HANAFI MEMAKRUHKAN AT-TA’RIF.
Lihat referensinya: “حاشية ابن عابدين” 2/177 dan “الموسوعة الفقهية الكويتية” 45/335
(14) MADZAHAB MALIKI JUGA MEMAKRUHKAN AT-TA’RIF.
Lihat referensinya:
كتاب الحوادث والبدع (ص 257-258) للطرطوشي، والتاج
والإكليل لمختصر خليل (2/366) للمواق، والموسوعة الفقهية الكويتية (45/335).
(15) MADZAHAB SYAFI’II JUGA MEMAKRUHKAN AT-TA’RIF.
Lihat referensinya:
الباعث لإنكار البدع والحوادث (ص 110-115) لأبي شامة،
والمجموع (8/117)، والإيضاح (ص 294) للنووي.
(16) FATWA SYEIKH ABDUL AZIZ BIN BAAZ.
Lihat : “(مجموع فتاوى العلامة عبد العزيز بن باز) 17/2727-275.
(17) SYEIKH NAASHIRUDDIN AL-BAANY.
Lihat kitabnya “حجة النبي صلى الله عليه وسلم كما رواها جابر رضي الله عنه
“ hal. 128.
(18) SEIKH MUHAMMAD BIN SHALEH AL-UTSAIMIIN.
Lihat kitabnya “الشرح الممتع على زاد المستقنع” 5/171-172
Asy-Syeikh Al-Tharthousyi (الطرطوشي) ulama Madzhab Maliki berkata
dalam kitab “الحوادث والبدع”Al- (hlm. 259-260):
فَاعْلَمُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ أَنَّ هَؤُلَاءَ الْأُئِمَّةَ
عَلَّمُوا فَضْلَ الدُّعَاءِ يَوْمَ عَرَفَةَ، وَلَكِنْ عَلَّمُوا أَنَّ ذَلِكَ بِمَوْطِنِ
عَرَفَةَ لَا فِي غَيْرِهَا، وَلَا مَنَعُوا مَنْ خَلَا بِنَفْسِهِ فَحَضَرَتْهُ نِيَّةٌ
صَادِقَةٌ أَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ تَعَالَى، وَإِنَّمَا كَرِهُوا الْحَوَادِثَ فِي الدِّينِ،
وَأَنْ يَظُنَّ الْعَوَامُ أَنَّ مِنْ سُنَّةِ يَوْمِ عَرَفَةَ الِاجْتِمَاعُ بِسَائِرِ
الْآفَاقِ وَالدُّعَاءِ، فَيَتَدَاعَى الْأَمْرُ إِلَى أَنْ يَدْخُلَ فِي الدِّينِ
مَا لَيْسَ مِنْهُ، وَقَدْ كُنْتُ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ عَرَفَةَ،
حَشَرَ أَهْلُ السَّوَادِ وَكَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، فَيَقُفُّونَ فِي الْمَسْجِدِ
مُسْتَقْبِلِينَ الْقِبْلَةَ مُرْتَفِعَةً أَصْوَاتُهُمْ بِالدُّعَاءِ، كَأَنَّهُ مَوْطِنُ
عَرَفَةَ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ هُنَاكَ سَمَاعًا فَاشِيًا مِنْهُمْ أَنَّ مَنْ وَقَفَ
بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ أَرْبَعَ وَقْفَاتٍ، فَإِنَّهَا تُعَدُّلُ حَجَّةً، ثُمَّ يَجْعَلُونَهُ
ذَرِيعَةً إِلَى إِسْقَاطِ فَرِيضَةِ الْحَجِّ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ.
(Maka kalian ketahuilah, semoga
Allah merahmati kalian, bahwa para imam ini tahu akan keutamaan doa pada hari
Arafah, tetapi mereka tahu bahwa itu adanya di padang Arafah dan bukan di
tempat lain.
Dan mereka tidak menghalangi bagi orang yang ingin berkhalwat (ibadah menyendiri),
yang timbul dari dirinya sendiri dengan niat yang tulus untuk berdoa kepada
Allah Ta’aala,
Akan tetapi sebaliknya, mereka tidak menyukai perkara-perkara baru dalam agama,
dan orang-orang awam mengira bahwa amalan Sunnah apada hari arafah adalah berkumpulnya
orang-orang dari segala penjuru untuk berdoa,
Dan perkara ini bisa mengakibatkan: memasukkan ke dalam agama perkara yang
bukan bagian darinya.
Dan sungguh saya pernah berada di Baitul Maqdis, Jika datang hari Arafah, para
penduduk Ahlus ﷺaad dan banyak orang di negeri itu
berdesakan bersama-sama, dan mereka berdiri di masjid, menghadap ke arah
qiblat, sambil berdoa dengan mengeraskan suara, seolah-olah itu adalah padang
Arafah, dan saya mendengar di sana ada salah seorang dari mereka yang menyebarkan
ucapan:
“ siapa pun yang berdiri - seperti itu - di Baitul Maqdis empat kali, maka itu
setara dengan ibadah Haji, maka mereka menjadikannya sebagai sebab hilangnya
kewajiban beribadah haji ke Baitullah al-Haram)
TANGGAPAN SYEIKH AL-ISLAM IBNU TAIMIYAH TENTANG AT-TA’RIIF:
Ibn Taymiyyah berkata dalam “مجموع الفتاوى” (1 / 281-282) dan “قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة” (hal. 222-223):
(وَتَعْرِيفُ
ابْنِ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، وَعَمْرُو بْنُ حُرَيْثٍ بِالْكُوفَةِ، فَإِنَّ هَذَا
لَمَّا لَمْ يَكُنْ مِمَّا يَفْعَلُهُ سَائِرُ الصَّحَابَةِ، وَلَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرْعُهُ لِأُمَّتِهِ لَمْ يَمْكُنْ أَنْ يُقَالَ
هَذَا سُنَّةً مُسْتَحَبَّةً، بَلْ غَايَتُهُ أَنْ يُقَالَ: هَذَا مِمَّا سَاغَ فِيهِ
اجْتِهَادُ الصَّحَابَةِ، أَوْ مِمَّا لَا يُنْكَرُ عَلَى فَاعِلِهِ، لِأَنَّهُ مِمَّا
يَسُوغُ فِيهِ الاجْتِهَادُ، لَا أَنَّهُ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ سُنَّتُهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ، أَوْ يُقَالُ فِي التَّعْرِيفِ: إِنَّهُ
لَا بَأْسَ بِهِ أَحْيَانًا لِعَارِضٍ إِذَا لَمْ يَجْعَلْ سُنَّةً رَاتِبَةً، وَهَكَذَا
يَقُولُ أُئِمَّةُ الْعِلْمِ فِي هَذَا وَأَمْثَالُهُ: تَارَةً يَكْرَهُونَهُ، وَتَارَةً
يَسُوغُونَ فِيهِ الاجْتِهَادُ، وَتَارَةً يُرْخَصُونَ فِيهِ إِذَا لَمْ يَتَّخِذْ
سُنَّةً، وَلَا يَقُولُ عَالِمٌ بِالسُّنَّةِ: إِنَّ هَذِهِ سُنَّةٌ مَشْرُوعَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ،
فَإِنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يُقَالُ فِيمَا شَرَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، إِذْ لَيْسَ لِغَيْرِهِ أَنْ يَسُنَّ وَلَا يَشْرَعَ، وَمَا سَنَّهُ خُلَفَاؤُهُ
الرَّاشِدُونَ فَإِنَّمَا سَنُّوهُ بِأَمْرِهِ فَهُوَ مِنْ سُنَنِهِ، وَلَا يَكُونُ
فِي الدِّينِ وَاجِبًا إِلَّا مَا أَوْجَبَهُ، وَلَا حَرَامًا إِلَّا مَا حَرَّمَهُ،
وَلَا مُسْتَحَبًّا إِلَّا مَا اسْتَحَبَّهُ، وَلَا مَكْرُوهًا إِلَّا مَا كَرِهَهُ،
وَلَا مُبَاحًا إِلَّا مَا أَبَاحَهُ.).
(“ Dan at-Ta’riif Ibn Abbas di Basrah,
dan Amr bin Huraith di Kufah, Dikarenakan ini bukan sesuatu yang diamalkan oleh
para sahabat lainnya, dan Nabi ﷺ juga tidak
mensyari’atkannya untuk umatnya, maka ini tidak bisa dikatakan sebagai sunnah
yang mustahabbah, melainkan maximalnya bisa dikatakan:
Ini adalah bagian dari masalah-masalah yang layak bagi para sahabat untuk
berijtihad, atau ini adalah suatu amalan yang pelakunya tidak perlu diingkari,
karena dibenarkan di dalamnya untuk Ijtihad, tapi ini bukan sunnah yang
mustahabbah yang disunnahkan oleh Nabi ﷺ untuk
ummatnya,
Atau dikatakan dalam “at-Ta’riif” ini:
Tidak ada salahnya bagi seseorang yang berkeinginan mengamalkannnya selama
tidak menjadikannya sebagai sunnah rawaatib (terus menerus).
Dan demikian lah para ulama berkata tentang masalah ini dan masalah-masalah
yang semisalnya, terkadang mereka memakruhkannya, kadang mereka membenarkan
ijtihad di dalamnya, dan kadang mereka merukhshohkannya selama tidak
menjadikannya sebagai amalan Sunnah.
Seorang ulama yang faham Sunnah tidak akan mengatakan: Ini adalah sunnah yang
disyariatkan bagi umat Islam, karena yang demikian itu hanya boleh dikatakan
pada apa yang disyariatkan oleh Rasulullah ﷺ, karena
selain beliau tidak ada orang yang perkataan dan amalannya dijadikan Sunnah
atau syariat.
Dan adapun sunnah Khulafaaur Rosyidin boleh dijadikan sunnah dikarenakan ada
perintah dari Nabi ﷺ, maka itu adalah bagian dari
Sunnah-sunnahnya.
Dan tidak ada kewajiban dalam agama kecuali apa yang beliau ﷺ wajibkan, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau ﷺ haramkan, dan itu tidak ada yang mustahabb kecuali apa yang
beliau ﷺ mustahabb kan, dan tidak ada yang makruh kecuali apa yang
beliau ﷺ makruhkan, dan tidak ada yang mubah kecuali apa yang beliau ﷺ mubahkan“)
Sementara Syaikh Sholih Al Munajjid menerangkan:
“Hal ini menunjukkan bahwa mereka menilai keutamaan hari Arafah tidaklah khusus
bagi orang yang berhaji saja. Walau memang berkumpul-kumpul seperti ini untuk
dzikir dan do’a pada hari Arafah tidaklah pernah ada dasarnya dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Imam Ahmad tidak melakukannya.
Namun beliau beri keringanan dan tidak melarang karena ada sebagian sahabat
yang melakukannya seperti Ibnu ‘Abbas dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu
‘anhum.”
DALIL-DALIL KEUTAMAAN HARI ARAFAH :
Hari Arafah adalah hari yang
istimewa, karena memiliki keutamaan sebagaimana disebutkan Ibnu Rajab Al
Hanbali seperti berikut ini:
1. Doa pada Hari Arofah
adalah doa yang paling terbaik dan mustajab:
Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma, Rosulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا
قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
“Do’a yang paling utama adalah di
hari Arafah. Dan sebaik-baik apa yang aku dan para nabi sebelumku baca pada
hari itu adalah:
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Tiada Tuhan Yang berhak disembah
selain Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian.
Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu’.
(HR. At- Tirmidzi. no. 3585 dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi
(3/184); dan Al-Ahaadits Ash-Shahihah (4/6).
Ada satu riwayat dari Al-Imam Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari
Kakeknya:
كَانَ أَكْثَرَ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.
“Kebanyakan doa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam di hari Arafah adalah: Laa ilaaha illallah (Tidak
ada yang berhak disembah selain Allah).”
Al-Husain bin Al-Hasan Al-Marudzi rahimahullah berkata,
سَأَلْتُ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ عَنْ أَفْضَلِ الدُّعَاءِ
يَوْمَ عَرَفَةَ فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.
“Aku bertanya kepada Sufyan bin
‘Uyainah tentang doa yang paling afdhal di hari Arafah. Beliau berkata: Laa
ilaaha illallah (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah).” [Mir’atul
Mafatih, 9/140]
2. Mengampuni dosa dua tahun
Puasa pada Hari Arafah akan mengampuni dosa dua tahun. Dalam riwayat dari Abu
Qotadah, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ
يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
قَبْلَهُ
Artinya: "Puasa Arafah (9
Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang.
Puasa Asyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR
Muslim Nomor 1162)
3. Pengampunan dosa
Hari Arafah merupakan hari pengampunan dosa dan pembebasan dari siksa neraka.
Dalam riwayat dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ
فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ
يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Artinya: "Di antara hari yang
Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah Hari Arafah. Dia akan
mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka kepada para malaikat.
Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR Muslim Nomor
1348)
Allah pun begitu bangga dengan orang yang sedang melakukan wukuf di Arafah.
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى مَلاَئِكَتَهُ
عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى
أَتَوْنِى شُعْثاً غُبْراً
Artinya: "Sesungguhnya Allah
berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di
Arafah, dan berkata: 'Lihatlah keadaan hamba-Ku, mereka mendatangi-Ku dalam
keadaan kusut dan berdebu." (HR Ahmad 2: 224. Syekh Syu'aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanadnya tidaklah mengapa)
DALIL DAN ARGUMENTASI
BAGI YANG MENGHUKUMI MAKRUH ATAU BID’AH AT-TA’RIIF:
DALIL PERTAMA:
Bahwa Ibnu Abbas RA sama sekali tidak bermaksud membikin bikin amalan
AT-TA’RIIF dan juga tidak bermaksud mengajak orang-orang untuk mengamalkannya.
Berikut ini asal usul dan asal muasal terjadinya tradisi At-Ta’riif :
Abu Shama berkata dalam kitab “الباعث على إنكار البدع والحوادث”
(hal. 114):
(فَإِنَّ
ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَضَرَتْهُ نِيَّةً، فَقَعَدَ، فَدَعَا
وَكَذَلِكَ الْحَسَنُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ لِجَمْعِيَّةٍ، وَمُضَاهَاةٍ
لأَهْلِ عَرَفَةَ، وَإِيهَامٍ لِلْعَوَامِ أَنَّ هَذَا شَعَارٌ مِنْ شُعَائِرِ الدِّينِ،
وَالْمُنْكَرُ إنَّمَا هُوَ مَا اتَّصَفَ بِذَلِكَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، عَلَى أَنَّ
تَعْرِيفَ ابْنِ عَبَّاسٍ قَدْ صَارَ عَلَى صُورَةٍ أُخْرَى غَيْرَ مُسْتَنْكَرَةٍ،
ذَكَرَ أَبُو مُحَمَّدٍ ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي غَرِيبِهِ قَالَ
فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْحَسَنَ ذَكَرَهُ، فَقَالَ: كَانَ أَوَّلَ مَنْ
عَرَّفَ بِالْبَصْرَةِ، صَعِدَ الْمِنْبَرَ، فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ،
وَفَسَّرَهُمَا حَرْفًا حَرْفًا،
فَتَعْرِيفُ ابْنِ عَبَّاسٍ كَانَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، فَسَّرَ
لِلنَّاسِ الْقُرْآنَ، فَإِنَّمَا اجْتَمَعُوا لِاِسْتِمَاعِ الْعِلْمِ، وَكَانَ ذَلِكَ
عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَقِيلَ: عَرَّفَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، لِاجْتِمَاعِ
النَّاسِ لَهُ كَاجْتِمَاعِهِمْ بِالْمَوْقِفِ).
“ Sesungguhnya Ibnu Abbas RA
tiba-tiba timbul dalam dirinya punya niat, lalu dia duduk-duduk, dan dia berdoa
“
Begitu pula yang di lakukan oleh al-Hasan al-Bashry, beliau tanpa ada maksud
untuk mengadakan acara kumpul-kumpul atau bikin tandingan terhadap orang-orang
yang wuquf di padang Arafah atau mengelabui rakyat jelata bahwa ini adalah
syiar dari syiar-syiar agama. Dan justru yang diingkarinya itu adalah apa yang
diwarnai dengan hal-hal itu, dan Allah swt lebih tahu bahwa at-Ta’rif yang
dilakukan Ibnu Abbas telah menjadi bentuk lain yang tidak bisa lagi di sangkal
“.
Abu Muhammad Ibn Qutaybah menyebutkan dalam kitab “Ghoriib” nya, dia berkata
tentang hadits Ibn Abbas bahwa Al-Hassan menyebutkannya, lalu dia berkata: “
Dia adalah orang pertama yang melakukan at-Ta’rif di Basrah, beliau naik ke
mimbar, dan membaca surat al-Baqarah dan suarat ‘Aali Imran, dan menafsirkannya
huruf demi huruf,
Jadi at-Ta’rif yang dilakukan oleh Ibn Abbas itu seperti ini, yaitu beliau
menyampaikan kepada orang-orang tafsir Al-Qur'an, mereka berkumpul hanya untuk
mendengarkan ilmu, dan itu terjadi pada waktu sore hari Arafah.
Lalu tiba-tiba ada yang mengatakan bahwa At-Ta’rif yang dilakukan Ibn Abbas di
Basrah adalah mengajak orang-orang agar berkumpul untuknya seperti kumpulnya mereka
di tempat wukuf padang Arafah). (SELESAI PERKATAAN ABU SYAAMAH)
Dan Abd al-Razzaq meriwayatkan di “al-Musannaf” (4/377), dan Ibn Sa'ad di
“al-Tabaq al-Kubra” (2/367) dengan SANAD YANG SHAHIH ke al-Hasan al-Basri yang
berkata:
(أَوَّلَ مَنْ عَرَّفَ بِأَرْضِنَا ابْنُ عَبَّاسٍ، كَانَ يَتَّعَدُّ
عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ الْبَقَرَةَ يُفَسِّرُهَا آيَةً آيَةً)
(Orang pertama yang melakukan
at-Ta’rif di bumi kami adalah Ibnu Abbas, biasanya dilakukan pada waktu sore
hari Arafah, maka dia membaca Al-Qur'an, surat al-Baqarah, menafsirkannya ayat
demi ayat),
DALIL KE DUA:
Ibadah At-Ta’rif ini tidak ada
contohnya dari Nabi ﷺ. Bahkan di masa Kholifah Abu
Bakar, Umar bin al-Khothob dan Ustman bin Affan (RA) belum ada. Mulai adanya pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan beliau
sendiri dalam riwayat Imam Al-Bukhari dalam “التاريخ الكبير” (2/301)
dengan sanadnya dari Muhammad Ibn Al-Hanafiyyah, dari Ali bin Abi Tholib (RA), beliau berkata:
(لَا
عَرَفَةَ إِلَّا بِعَرَفَاتِ)
“ Tidak ada acara arafahan kecuali
di padang Arafah “.
DALIL KETIGA:
Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf
di kalangan para ulama
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّحْرِيمُ.
“Hukum asal ibadah adalah haram
(sampai adanya dalil)”
(Baca: Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).
Dalil Kaedah
Di antara dalil kaedah adalah firman Allah Ta’ala,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa: 21).
Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara
baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain
disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara baru
dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no.
46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan suatu
ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu ibadah tanpa
ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Perkataan Ulama
Para Ulama Madzhab Syafi’i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf
(diam sampai datang dalil).”
Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu
Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan.
Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka
suatu amalan tidak boleh dilakukan.
Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan.
Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ
تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari
tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ،
وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud
(beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini
disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu
Ruslan disebutkan,
الأَصْلِ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ.
“Hukum asal ibadah adalah tawqif
(menunggu sampai adanya dalil).”
Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah,
أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ
يُتَّخَذَ شَيْءٌ سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ
مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ
“Sesungguhnya amal diniyah (amal
ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan
karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.”
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya-
berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah tauqif
(menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu
Taimiyah, 29: 17)
Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan non-ibadah.
Beliau rahimahullah berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا
يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى. وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي
مَعْنَى قَوْلِهِ: { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ }. وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا
يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ: {
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ
حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا
مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah
tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai
ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang
artinya),
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).
Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka
tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak,
maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya),
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS.
Yunus: 59).
Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang
tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al
Fatawa, 29: 17)
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. والحمد
لله رب العالمين.
Selesai di tulis pd hari Selasa malam Rabu tgl 17 – Nov – 2020
0 Komentar