Di tulis oleh: Abu
Haitsam Fakhry.
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
>> DOWNLOAD
PDF <<
===
===
DAFTAR ISI :
- DALIL KE ENAM: DALIL PENDAPAT YANG MENSYARIATKAN TAWASSUL DENGAN ORANG YANG TELAH WAFAT.
- HADITS MALIK AD-DAAR TENTANG MIMPI SEORANG PRIA SETELAH "ISTISQO DI MAKAM NABI ﷺ"
- VERSI-VERSI HADITS KISAH MIMPI LAINNYA:
- HADIST PERTAMA: RIWAYAT SAIF BIN UMAR
- HADITS KE DUA: RIWAYAT IMAM AL-BAIHAQI.
- HADITS KE TIGA: RIWAYAT ATH-THABRAANY
- HADITS KE EMPAT: RIWAYAT AL-BUKHOORY
- HADITS KE LIMA: RIWAYAT ABU BAKAR IBNU ABI AD-DUNYA:
- RINCIAN PEMBAHASAN ATSAR MALIK AD-DAAR (MUNAQOSYAH)
- BENARKAH IBNU HAJAR AL-ASQALANY MENSHAHIHKAN SANAD KISAH TERSEBUT secara keseluruhan hingga termasuk di dalamnya Malik Ad-Dar ?
- MUATAN KISAH YANG DIRIWAYATKAN MALIK AD-DAAR ADALAH MUNGKAR
- BOLEHKAH MIMPI DI JADIKAN SEBAGAI DASAR PIJAKAN HUKUM ??? Terutama yang berkaitan dengan akidah ?
*****
Di Kutip Dari Buku
”MARI BERTAWASSUL”
Karya Abu Haitsam Fakhry.
===
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
====****====
DALIL KE ENAM:
DALIL PENDAPAT YANG MENSYARIATKAN
TAWASSUL DENGAN ORANG YANG TELAH WAFAT.
*****
HADITS MALIK AD-DAAR: TENTANG MIMPI SEORANG PRIA SETELAH "ISTISQO DI MAKAM NABI ﷺ".
SHAHIHKAH HADITS TERSEBUT ??? MARI KITA KAJI !!!
Imam Baihaqi dalam kitab
Dalailun Nubuwwah 8/91 no. 2974 meriwayatkan dengan sanadnya: ”Telah mengkabari
kami Abu Nasher bin Qatadah dan Abu Bakar Al-Farisy, mereka berdua berkata:
Telah mengkabari kami Abu Bakar bin 'Ali Adz-Dzihli dia berkata: telah
mengkabari kami Yahya, dia berkata: telah mengkabari kami Abu Mu'awiyah, dari
Al-A'mash dari Abu Soleh As-Samman dari Malik Ad-Dar, dia berkata:
أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى
قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ, اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ
فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا, فَأَتَاه رَسُولَ اللهِ ﷺ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ
لَهُ: « ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ, وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْقُوْنَ
وَقُلْ لَهُ: عَلَيْك الْكَيْسُ (1) الْكَيْسُ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ
فَبَكَى عُمَرُ، ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
“Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglah seorang lelaki ke kubur Nabi ﷺ lalu berkata:
"Wahai
Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah
binasa.”
Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah ﷺ dalam mimpinya. Beliau bersabda,
"Datanglah kepada
Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian
akan diberi hujan. Katakan juga padanya: hendaknya kamu bijak bermurah hati !
hendaknya kamu bijak bermurah hati !.”
Lalu lelaki itu
mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun
menangis kemudian berkata,
"Ya Rabb, aku tidak
akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya."
[Ket: (1) Makna (الْكَيْسُ): yang pandai, cerdas, bijak, dermawan, murah hati, luwes, manis dan elok. Atau kecerdasan, kedermawanan, kemurahan hati dan keelokan. (Kamus al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir hal. 1334)].
===
TAKHRIJ HADITS MALIK AD-DAAR:
[Diriwayatkan pula oleh
Imam Bukhori dalam”التَّارِيْخُ
الْكَبِيْرُ” ringkasan 7/04, Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf
6/356 dan Ibnu Asaakr dalam “تَارِيخُ
دِمَشْقَ” (44/345) dari jalur Abu Sholeh dari Malik ad-Daar]
Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf 6/236 no. 32002 dengan sanadnya:
Ibnu Abi Syaibah
berkata:”Telah menceritakan pada kami Abu Mu'awiyah dan dia dari Al-A'mash dari
Abu Soleh As-Samman dari Malik Ad-Dar – saat itu dia sebagai penjaga
gudang logistik Umar - dia berkata:
أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ
النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ
هَلَكُوا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ: «ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ
السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَسْقُونَ، وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسُ،
عَلَيْكَ الْكَيْسُ»، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ، ثُمَّ قَالَ: يَا
رَبِّ، لَا آلُو إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.
Manusia ditimpa
kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglah seorang lelaki ke kubur
Nabi ﷺ lalu berdoa: ”Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah
untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa.”
Lalu datanglah kepada
lelaki tadi dalam mimpinya, maka di katakan padanya:
"Datanglah kepada
Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian
akan diberi hujan. Katakan juga padanya: hendaknya kamu berlaku bijaklah
(cerdas dan murah hati) ! berlaku bijaklah !.”
Lalu lelaki itu
mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis
kemudian berkata : ”Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku
tidak mampu melakukannya".
Dalam lafadz lain bagi
al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah:
وَقَالَ: « إِيتَ عُمَرَ فَمُرْهُ أَنْ يَسْتَسْقِيَ لِلنَّاسِ،
فَإِنَّهُمْ سَيُسْقُونَ، وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسُ الْكَيْسُ »
“Dan beliau ﷺ berkata: datang lah pada
Umar, maka suruhlah dia beristisqo untuk manusia, maka niscaya mereka akan di
beri hujan. Dan katakan padanya: hendaknya kamu berlaku bijak (pandai dan
cerdas) ! berlaku bijak !".
(Lafadz yang
ketiga ini di nukil dari:”al-Istī‘aab”karya
Ibnu Abdil Barr, 1/355,”ar-Riyāḍh an-Naḍhrah fī Manāqib al-‘Asyarah”
(1/355) karya Muhib at-Tabary 1/152 dan”Samṭhu an-Nujūm al-‘Awālī fī Anbā’ al-Awā’il wa at-Tawāalī” karya 'Ishoomi 1/457).
Mengenai hadist Malik Ad-Dar ini Al Hafizh Ibnu Katsir telah menshahihkannya dalam kitabnya “Al Bidayah wan Nihayah”7/105, beliau berkata: "Sanad hadits ini shahih.”.
Begitu juga Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya Fathul Bary 2/495, beliau berkata:
“Hadits ini di riwayatkan
Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih dari riwayat Abu Saleh As-Samman dari
Malik Ad-Daar, dan dia itu adalah penjaga gudang logistik Umar
radhiyallaahu ‘anhu“.
Pokok hukum yang bisa di
ambil dari kisah ini adalah: dibolehkan nya beristisqo (minta didoakan turun
hujan) kepada Nabi ﷺ setelah beliau wafat
berada di Alam Barzakh. Dan tidak ada halangan untuk itu, karena doa Nabi ﷺ kepada Rabb nya dalam kondisi seperti itu tidaklah
terlarang.
====
BANTAHAN TERHADAP PEN-SHAHIH-HAN HADITS INI :
Kisah mimpi ini banyak sekali versi nya, padahal terjadai di masa yang sama. Kisah mimpi ini berkaitan dengan kisah bencana kekeringan dan kelaparan di Hijaz yang dikenal dengan (عَامُ الرَّمَادَةِ: TAHUN RAMADAH) dan berkaitan pula dengan riwayat ISTISQO NYA UMAR BIN AL-KHOTHTHOOB beserta masyarakat Madinah.
-----
(((Foot note: APA ITU TAHUN RAMADAH ?
Ibnu Katsir dalam kitab [ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ (7/85)] menjelaskan, dinamakan tahun ramadah disebabkan permukaan
bumi menjadi hitam kering karena sedikitnya turun hujan, hingga warnanya sama
dengan ramad (debu), ada yang mengatakan bahwa sebab dinamakan tahun ramadah
karena angin selalu membawa debu, seolah-olah ramad (abu).
Ibnu Saad dalam kitab (ٱلطَّبَقَاتُ ٱلْكُبْرَى) mensifati tahun
ramadah dengan mengatakan, manusia tertimpa bencana berat, di mana
daerah-daerah kekeringan, binatang mati bergelimangan dan manusia kelaparan,
hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang-lubang
tikus untuk mengeluarkan apa yang terdapat didalamnya.
Dari berbagai referensi
yang ada, terdapat perbedaan mengenai kapan tepatnya tahun ramadah ini terjadi.
Mayoritas riwayat sepakat mengatakan bahwa krisis tahun ramadah terjadi pada
tahun 18 H.
Namun juga terdapat
riwayat yang memberikan penjelasan bahwa krisis ini terjadi pada akhir tahun 17
H.
Dalam suatu riwayat juga
disebutkan bahwa tahun ramadah terjadi setelah haji tahun 18 H, artinya
mencakup mayoritas tahun 19 H.
As-Suyuthi misalnya,
menyebutkan bahwa tahun ramadah terjadi pada tahun 17 H.
Lamanya masa paceklik
tahun ramadah ini terjadi juga terdapat perbedaan pendapat.
Al-Hafidz Ibnu Katsir dlm
kitab (ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ (7/85):
وَاِسْتَمَرَّ هَذَا الْحَالُ فِي النَّاسِ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ
تَحَوَّلَ الْحَالُ إِلَى الْخُصْبِ وَالدَّعَةِ.
“Keadaan sperti ini
menimpa manusia berlangsung selama 9 bulan. Kemudian setelah itu keadaan
berubah menjadi subur dan makmur”.
Berbeda dengan Ibnu Abdil
Barr, beliau mengatakan bahwa tahun Ramadah adalah bencana berat yang menimpa
banyak orang selama dua atau tiga tahun. Sedangkan al-Qurthubi menyebutkan
bahwa tahun Ramadah terjadi lima tahun.
(Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab..., h. 352 35 Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab…, h. 353 36 Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab…, h. 353 )). SELESAI TENTANG TAHUN RAMADAH.
===****===
VERSI-VERSI KISAH MIMPI LAIN-NYA:
Ada beberapa riwayat atsar tentang istisqonya Umar bin Khoththob beserta masyarakat Madinah, begitu juga ada beberapa riwayat orang-orang yang datang kepada Umar menyampaikan mimpinya bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ.
Al-Hafidz Ibnu Katsir
menyebutkannya dlm kitab (ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ (7/85-87) selain kisah
mimpi riwayat MALIK AD-DAAR yang seperti di atas, juga beliau menyebutkan
versi-versi kisah mimpi lainnya, yaitu sebagai berikut:
****
HADIST PERTAMA: RIWAYAT SAIF BIN UMAR
Hadits tentang kisah
mimpinya Bilal bin al-Haarits al-Muzani. Ada dua riwayat dari Saif ini.
RIWAYAT SAIF BIN UMAR KE
1 :
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: “Saif
bin ‘Umar berkata: Dari Sahl bin Yusuf as-Salami dari Abdurrahman bin Ka’ab bin
Malik, berkata:
"كَانَ عَامُ
الرَّمَادَةِ فِي آخِرَ سَنَةِ سَبْعَ عَشْرَةَ، وَأَوَّلَ سَنَةِ ثَمَانِيَ
عَشْرَةَ، أَصَابَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ وَمَا حَوْلَهَا جَوْعٌ فَهَلَكَ كَثِيرٌ
مِنَ النَّاسِ، حَتَّى جَعَلَتِ الْوَحْشُ تَأْوِي إِلَى الْإِنْسِ، فَكَانَ
النَّاسُ بِذَلِكَ وَعَمْرٌ كَالْمُحْصُورِ عَنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ حَتَّى
أَقْبَلَ بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ الْمُزَنِّيُّ فَاِسْتَأْذَنَ عَلَى عُمَرَ
فَقَالَ: أَنَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ إِلَيْكَ، يَقُولُ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَقَدْ عَهِدْتُكَ كِيسًا، وَمَا زِلْتَ
عَلَى ذَلِكَ، فَمَا شَأْنُكَ؟" قَالَ: مَتَى رَأَيْتَ هَذَا؟ قَالَ:
الْبَارِحَةَ. فَخَرَجَ فَنَادَى فِي النَّاسِ "ٱلصَّلَاةُ جَامِعَةٌ!!!"،
فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ
أَنْشِدُكُمُ اللَّهَ هَلْ تَعْلَمُونَ مِنِّي أَمْرًا غَيْرَهُ خَيْرًا مِنْهُ؟
فَقَالُوا: اللَّهُمَّ لَا، فَقَالَ: إِنَّ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ يَزْعُمُ
ذَيَّةً وَذَيَّةً. قَالُوا: صَدَقَ بِلَالٌ فَاِسْتَغَاثَ بِاللَّهِ ثُمَّ
بِالْمُسْلِمِينَ. فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ - وَكَانَ عُمَرُ عَنْ ذَلِكَ مَحْصُورًا -
فَقَالَ عُمَرُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، بَلَغَ الْبَلَاءُ مُدَّتَهُ فَانْكَشَفَ. مَا
أَذِنَ لِقَوْمٍ فِي الطَّلَبِ إِلَّا وَقَدْ رُفِعَ عَنْهُمُ الْأَذَى
وَالْبَلَاءُ. وَكَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَمْصَارِ أَنْ أَغِيثُوا أَهْلَ
الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهَا، فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَ جُهُودُهُمْ. وَأَخْرَجَ
النَّاسُ إِلَى الِاسْتِسْقَاءِ فَخَرَجَ وَخَرَجَ مَعَهُ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ مَاشِيًا، فَخَطَبَ وَأَوْجَزَ وَصَلَّى ثُمَّ جَثَى لِرُكْبَتَيْهِ
وَقَالَ: اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَارْضَ عَنَّا. ثُمَّ انْصَرَفَ فَمَا بَلَغُوا
الْمَنَازِلَ رَاجِعِينَ حَتَّى خَاضُوا الْغَدْرَانِ."
Tahun Ramadah terjadi
pada akhir tahun 17 H dan awal tahun 18 H. Penduduk Madinah dan sekitarnya
tertimpa kelaparan. Maka banyak manusia yang binasa. sehingga membuat yang buas
cenderung melindungi yang jinak, maka para manusia pun berubah seperti itu.
Dan Umar seperti
terkepung oleh para penduduk dari berbagai macam negeri, sehingga datang Bilal
bin al-Haarits al-Muzani minta izin menghadap kepada Umar, lalu Bilal berkata:
‘ Aku utusan Rosulullah ﷺ kepada mu. Rosulullah ﷺ berkata pada mu”Sungguh aku pernah menjumpai mu agar kamu berlaku
bijak (cerdas dan bermurah hati), tapi kamu tetap masih seperti itu. Ada apa
denganmu ?”.
Umar bertanya: Kapan kamu
bermimpi ini ? Bilal menjawab: Malam kemarin.
Maka Umar keluar sambil
berseru: ”ٱلصَّلَاةُ جَامِعَةٌ !”, maka beliau
sholat dua rokaat bersama mereka, lalu berdiri dan berkata:
“Wahai para manusia, aku
bersumpah kepada Allah atas kalian, agar kalian menjawab pertanyaanku, apakah
kalian mengetahui dariku perkara yang lain yang lebih baik darinya?”.
Mereka menjawab:”Ya
Allah, enggak”.
Maka Umar
berkata:”Sesungguhnya Bilal bin al-Harits mengira begini dan begini”.
Mereka menjawab:”Bilal
benar, minta bantuanlah kepada Allah kemudian kepada kaum muslimiin !”.
Maka Umar menemui mereka
– karena saat itu Umar dalam keaadan terkepung para pengungsi -, lalu
berkata:”Alloohu Akbar, malapetaka ini sudah sampai pada masa akhir, maka akan
segera hilang”. Tidak sekali-kali Dia mengambulkan permohonan bantuan suatu
kaum, kecuali terangkatlah malapetaka tersebut.
Lalu ‘Umar kirim surat ke
seluruh pelosok negeri agar mereka mengulurkan bantuan kepada masyarakat
Madinah dan sekitarnya, karena sesungguhnya mereka telah sampai pada tahap yang
kritis.
Lalu Umar mengerahkan
manusia untuk sholat istisqo, maka dia keluar bersama al-‘Abbaas bin ‘Abdul
Mththolib sambil jalan kaki. Maka dia berkhutbah dengan khuthbah yang singkat
dan sholat, lalu dia berlutut, dan berdoa:
“Ya Allah, hanya kepada
Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada Mu lah kami minta pertolongan !!! Ya
Allah, ampunilah kami, rahmatilah kami, ridhoi lah kami !!!”
Kemudian dia pulang, maka
ketika mereka ke arah pulang dan belum sampai rumah, mereka sudah harus
melintasi air mengalir di sungai kecil. (ٱلْبِدَايَةُ وَٱلنِّهَايَةُ 7/86).
RIWAYAT SAIF BIN UMAR KE
2:
Al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata:
ثُمَّ رَوَى سَيْفٌ عَنْ مُبَشِّرِ بْنِ الْفَضِيلِ، عَنْ جُبَيرَ
بْنِ صَخْرٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ:
أَنَّ رَجُلاً مِنْ مُزَيِّنَةِ عَامُ الرَّمَادَةِ سَأَلَهُ
أَهْلُهُ أَنْ يَذْبَحَ لَهُمْ شَاةً فَقَالَ: لَيْسَ فِيهِنَّ شَيْءٌ. فَأَلْحَوْا
عَلَيْهِ فَذَبَحَ شَاةً فَإِذَا عَظَامُهَا حُمْرٌ فَقَالَ يَا مُحَمَّدَاهْ.
فَلَمَّا أَمْسَى أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَهُ: "أَبَشِّرْ بِالْحَيَاةِ، إِيتَ عُمَرَ
فَأُقْرِهِ مِنِّي السَّلَامَ وَقُلْ لَهُ إِنَّ عَهْدِي بِكَ وَفِي الْعَهْدِ
شَدِيدُ الْعَقْدِ، فَالْكَيْسُ الْكَيْسُ يَا عُمَرُ"، فَجَاءَ حَتَّى أَتَى
بَابَ عُمَرَ فَقَالَ لِغُلَامِهِ اسْتَأْذِنْ لِرَسُولِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَفَزِعَ، ثُمَّ صَعِدَ
عُمَرُ الْمِنْبَرَ فَقَالَ لِلنَّاسِ: أَنْشِدُكُمُ اللَّهَ الَّذِي هَدَاكُمْ
لِلْإِسْلَامِ هَلْ رَأَيْتُمْ مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ؟ فَقَالُوا:
"اللَّهُمَّ لَا، وَعَمَّ ذَاكَ؟" فَأَخْبَرَهُمْ بِقَوْلِ
الْمُزَنِّيِّ - وَهُوَ بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ - فَفَطَنُوا وَلَمْ يَفْطَنُوا.
فَقَالُوا: إِنَّمَا اسْتَبْطَأَكَ فِي الِاسْتِسْقَاءِ فَاسْتَسْقِ بِنَا.
فَنَادَى فِي النَّاسِ فَخَطَبَ فَأَوْجَزَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَأَوْجَزَ
ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ عَجِزْتُ عَنَّا أَنْصَارَنَا، وَعَجِزَ عَنَّا حَوْلَنَا
وَقُوَّتَنَا، وَعَجِزَتْ عَنَّا أَنْفُسَنَا، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِكَ، اللَّهُمَّ اسْقِنَا وَأَحْيِ الْعِبَادَ وَالْبِلَادَ.
Kemudian Saif
meriwayatkan dari Mubasysyir bin al-Fadhel dari Jubair bin Shookhr dari ‘Asheem
bin ‘Umar bin al-Khoththoob:
“Ada seorang pria
dari Muzainah pada tahun Ramaadah, keluarganya meminta kepadanya untuk
disembelihkan seekor kambing untuk mereka, maka ia berkata,”dalam tubuh
kambing-kambingnya tidak terdapat daging sedikit pun”
Namun mereka terus
merengek kepadanya, hingga akhirnya disembelihlah kambing untk mereka, ketika
dia mengulitinya, ternyata hanya tulang-tulangnya yang merah. Maka dia berkata:
“يَا مُحَمَّدَاهْ / Wahai Muhammad !!!”,
maka disore harinya dia
bermimpi bahwa Rosulullah ﷺ berkata kepadanya:
“Bergembiralah dengan
datangnya kehidupan, datanglah kepada ‘Umar, lalu sampaikan kepadanya salam
dariku, dan katakan kepadanya: ”Sesungguhnya janjiku denganmu dan janjiku itu
amat kukuh ikatannya, berlaku bijaklah wahai ‘Umar bijaklah !!!.
Maka dia pun pergi,
sehingga ketika dia sampai di pintu rumah Umar, maka berkata pada anak
lelakinya: mintakan izin untuk utusan Rosulullah ! lalu dia mendatangi Umar dan
mengkabarkannya, maka Umar pun terkejut.
Kemudian Umar naik
mimbar, dan berkata:
“Aku bersumpah atas
kalian dengan menyebut Allah zat yang telah menghidayahkan kalian kepada Islam
- agar kalian berkenan menjawab pertanyaanku. Apakah kalian ada melihat dariku
sesuatu yang kalian tidak suka ?”
Mereka menjawab:”Ya
Allah, tidak. Tentang apa itu ?”.
Maka beliau
mengkabarkannya kepada mereka tentang perkataan al-Muzany – dia itu Bilal bin
al-Harits - Maka mereka semua faham, akan tetapi ‘Umar masih belum faham. Lalu
mereka berkata:”Hanya saja engkau lambat tidak segera melaksanakan al-Istisqa,
maka lakukanlah al-Istisqa dengan kami.”
Maka Umar pun memanggil
masyarakat untuk beristisqo dan berkhuthbah dengan singkat, kemudian sholat dua
rokaat dengan singkat, lalu dia berdoa:”
Ya Allah,
penolong-penolong kami sudah tidak mampu, daya dan upaya kami sudah tidak
mampu, jiwa-jiwa kami sudah tidak mampu, tidak ada daya dan upaya kecuali
dengan Mu, Ya Allah, turunkanlah hujan untuk kami, dan berilah kehidupan untuk
para hamba dan negeri ! (Lihat: ٱلْبِدَايَةُ وَٱلنِّهَايَةُ 7/86).
====
PEMAHAMAN DARI ATSAR INI
Dari Atsar riwayat Saif
yang PERTAMA:
- Lewat mimpi Bilal al-Muzany,
pesan Rosulullah ﷺ mengisyaratkan agar Umar segera
melaksanakan sholat Istisqo dalam mengatasi kemarau panjang yang sedang
melanda masyarakatnya.
- ‘Umar pun segera beristisqo
bersama kaum muslimin.
Dari Atsar riwayat Saif
yang KEDUA:
- Hukum Menyeru Nabi Muhammad ﷺ yang sudah wafat dan minta tolong
kepadanya dalam menghadapi kesulitan dengan mengatakan”يَا مُحَمَّدَاهْ / Wahai Muhammad !”???.
Ini diambil dari kisah amalan lelaki majhul yang menyembelih kambing
kurus, yang ketika dikulitinya ternyata hanya tulang-tulang merah, lalu
dia berseru ”يَا
مُحَمَّدَاهْ”, maka dia bermimpi bertemu Rosulullah, memberi kabar
gembira dan menyuruhnya menyampaikan pesan kepada ‘Umar.
- Lewat mimpi lelaki itu, pesan
Rosulullah ﷺ tidak menyuruh Umar utk mempraktekkan
amalan lelaki tersebut, akan tetapi berisi isyarat agar Umar segera
melaksanakan sholat Istisqo.
- Umar pun segera beristisqo
bersama kaum muslimin. Beliau dan kaum muslimin tidak ada yang meminta
bantuan kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan cara berseru
“يَا مُحَمَّدَاهْ”seperti yang di contoh lelaki itu.
====
DERAJAT KESHAHIHAN ATSAR:
Kisah yang diriwayatkan
Saif bin Umar ini, dua duanya dianggap dho’if oleh banyak ulama ahli hadits.
Karena Perawi yang bernama Saif tersebut nama lengkapnya adalah Saif bin Umar
At-Tamimy Adl-Dlabby Al-Useidy, penulis kitab ”ٱلْفُتُوحُ”dan”ٱلرِّدَّةُ”dia banyak
meriwayatkan dari orang-orang yang majhul.
Riwayatnya ini adalah batil,
serta tidak halal berkesaksian dengan riwayatnya ini, karena disini Saif
sendirian meriwayatkannya dengan adanya kata-kata tambahan tadi, dia dho’if
(lemah) sesuai kesepakatan para ulama ahli hadits, bahkan ada yang mengatakan: sesungguhnya
dia telah memalsukan hadits, dan dia tertuduh sebagai zindiq”. (Lihat: هٰذِهِ مَفَاهِيمُنَا hal.65).
Begitu juga Seperti yang
dikatakan Ibnu Hibban:
“Dia meriwayatkan
hadits-hadits palsu (dengan berdusta bahwa hadits-hadits tersebut) dari
orang-orang yang kuat hafalannya lagi dipercaya. Mereka (para ulama ahli
hadits) mengatakan: sesungguhnya dia telah memalsukan hadist”.
Dan Al-Hakim telah
mengecapnya sebagai Zindiq. Yahya bin Ma'in berkata:”Dia itu dho’if”.
Abu Hatim berkata:”Dia
hadistnya matruk (di tinggalkan atau tidak kepakai)”..
Ibnu Adiy berkata:”Pada
umumnya hadits nya adalah mungkar”.
Dan Abu Daud berkata:”Dia
tidak ada apa-apanya (tidak ada nilainya)”.
Daruquthny telah
memasukannya ke dalam kitab Adl-Dlu'afa wal Matrukin (kumpulan orang-orang yang
lemah dan orang-orang yang haditsnya di tinggalkan)
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar
sendiri dalam Taqriibut Tahdzib mengatakan tentang Saif ini:
“Lemah haditsnya (ضعيف الحديث)”[Lihat Hadzihi
Mafahimuna hal: 64]
(Lihat: Adl-Dlu'afa wal
Matrukin karya Daruquthny ha. 283, Tahdzibul Kamal 12/2676, Al-Lisan karya
Adz-Dzahaby 2/256, Al-Mizan 2/197, Dlu'afa An-Nasai hal. 187 dan Tahdzibut
Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalany 4/295, Mausu'atur Rodd 'Alash Shufiyah
98/37, Bulughul Amani Fir Radd 'Ala Miftahit Tijany 1/36, Mausu'atur Rodd
'Alash Shufiyah 98/37, Mausu'ah Aqwal Daruquthny 17/231).
Syeikh Al-Albaany dalam
kitab”at-Tawassul”hal. 120 berkata:”Penyebutan nama Bilal dalam riwayat Saif
ini tidak berpengaruh apa-apa, karena Saif ini adalah Saif bin Umar At-Tamimy,
orang yang telah di sepakati oleh para ulama ahli hadist akan kedlaifannya”.
====
Kemudian hadits riwayat
Saif ini selain lemah nya Saif bin Umar sendiri, terdapat pula dua illat
lainnya:
Illat Pertama: adl-Dlohaak bin Yarbu’.
Dia ini hadits nya tidak lurus. Dan dia termasuk orang-orang yang majhul, yang
biasa Saif bin Umar meriwayatkan hadits dari mereka secara tunggal [Lihat
Hazihi Mafahimuna hal: 65]
Illat Kedua: Yarbu’ dan Seorang
perawi As-Suhaimy termasuk orang-orang yang majhul / tidak dikenal. [Lihat
Hazihi Mafahimuna hal: 65]
Dengan demikian sanad
hadits Saif ini adalah sanad GELAP GULITA. Dengan satu illat saja dari tiga
illat tersebut sudah cukup untuk melemahkan hadits, lalu bagaimana jika ketiga
– tiganya kumpul dalam satu sanad.
****
HADITS KE DUA: RIWAYAT IMAM AL-BAIHAQI.
Hadits riwayat MALIK
AD-DAAR, hadits yang sedang kita bahas. Yaitu hadits kisah lelaki yang datang
ke Kuburan Nabi ﷺ dan meminta kepadanya
agar Nabi ﷺ beristisqo untuk umatnya
…. Dst.
Yang bisa diambil dari
Atsar ini:
- Kalau seandainya hadits ini
benar dan shahih, bolehkah ketika ada hajat, kita mendatangi kuburan Nabi ﷺ dalam rangka meminta bantuan doa
kepadanya (bertawassul dan beristighotsah) dengan hujjah meneladani amalan
lelaki majhul yang datang ke kuburan tadi ? Dan yang benar hadits ini dho’if.
- Dalam atsar tersebut tidak
disebutkan sikap Umar dan kata-katanya yang menunjukkan pengingkaran
terhadap apa yang dilakukan oleh lelaki itu ketika di kuburan Nabi ﷺ, yaitu meminta kepada Nabi ﷺ agar beristisqo untuk umatnya. Apakah
Umar membenarkannya ? Atau lelaki itu hanya sebatas menyampaikan pesan
Nabi ﷺ saja?
- Namun dalam realitanya setelah
itu, Umar radhiyallaahu ‘anhu beserta kaum muslimin langsung
melaksanakan sholat istisqoo, tidak ada satupun dari mereka yang
mengamalkan perbuatan lelaki tadi.
Derajat keshahihan atsar
ini: akan di bahas nanti dalam munaqosyah dalil-dalil.
*****
HADITS KE TIGA: RIWAYAT ATH-THABRAANY
Al-Hafidz Ibnu Katsir [al-Bidayah
wan Nihayah 7/92 cet.as-Sa’adah] berkata:
Ath-Thabraani [dalam al-Mu’jam
al-Kabiir 1/72 no. 84] berkata:
Telah berbicara kepada
kami Abu Muslim al-Kasysyi, telah berbicara kepada kami Abu Muhammad
al-Anshaary, telah berbicara kepada kami ayahku, dari Tsumamah ibnu Abdullah
bin Anas dari Anas:
أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَرَجَ يَسْتَسْقِي، وَخَرَجَ بِالْعَبَّاسِ
مَعَهُ يَسْتَسْقِي فَيَقُولُ: «اللهُمَّ إِنَّا كُنَّا إِذَا قَحَطْنَا عَلَى عَهْدِ
نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَوَسَّلْنَا إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا عَلَيْهِ
السَّلَامُ، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَرَضِيَ عَنْهُ»
“bahwa ‘Umar pernah
keluar untuk beristisqoo. Dan keluar juga bersamanya al-‘Abbas sama-sama untuk
beristisqoo, beliau berkata:
‘ Ya Allah, dulu
kami ketika kami tertimpa kemarau panjang / kekeringan pada masa Nabi Kami,
kami bertawassul kepada Mu dengan Nabi kami. Dan sungguh sekarang kami
bertawassul kepada Mu dengan paman Nabi Mu”.
****
HADITS KE EMPAT: RIWAYAT AL-BUKHOORY
Al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata:
“Dan al-Bukhory
meriwayatkannya dari al-Hasan bin Muhammad, dari Muhammad bin Abdullah, dengan
sanad riwayat ath-Thabrani diatas. Dan lafadznya:
"عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ كَانَ إِذَا
قَحَطُوا يَسْتَسْقِي بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَيَقُولُ:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِينَا
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا. قَالَ: فَيَسْقُونَ"
“Dari Anas, bahwa ‘Umar
dulu ketika mereka tertimpa kemarau panjang / kekeringan, beliau ber istisqa
dengan perantara al-‘Abbaas bin ‘Abdul Muththolib, maka beliau berdoa:
“Ya Allah, kami
dulu bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau pun turunkan
hujan. Dan sekarang kami bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka
turunkanlah hujan untuk kami !!!. Dia (Anas) berkata:”Maka diturunkanlah hujan
untuk mereka”.
(HR. al-Bukhori dlm kitab
Shahinya no. 1010. Juga al-Baihaqi dalam kitab دلائل النبوة 6/147)
Kesimpulan: dari Hadits
At-Thabrani dan Bukhori ini adalah sama:
- ‘Umar beserta para sahabat dan
kaum muslimin lainnya melaksanakan sholat istisqo.
- Di samping sholat Istisqo,
mereka juga dalam doanya bertawassul dengan orang yang shaleh yang masih
hidup yaitu Abbas bin Abdul Muththolib radhiyallaahu ‘anhu, paman
Nabi ﷺ. Dan saat itu juga
Abbas radhiyallaahu ‘anhu hadir, ikut sholat istisqo dan berdoa
bersama mereka.
Derajat atsar: Shahih
sanadnya dan matannya.
*****
HADITS KE LIMA: RIWAYAT ABU BAKAR IBNU ABI AD-DUNYA:
Ada dua riwayat:
Riwayat pertama:
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata:
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي الدُّنْيَا - فِي كِتَابِ الْمَطْرِ
وَفِي كِتَابِ مُجَابِي الدَّعْوَةِ - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ النَّيْسَابُورِيُّ
ثَنَا عَطَاءُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ الْعُمَرِيِّ عَنْ خَوَاتِ بْنِ جَبِيرٍ قَالَ:
خَرَجَ عُمَرُ يَسْتَسْقِي بِهِمْ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ:
"اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَغْفِرُكَ
وَنَسْتَسْقِيكَ". فَمَا بَرِحَ مِنْ مَكَانِهِ حَتَّى مَطَرُوا فَقَدَّمَ
أَعْرَابٌ فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بَيْنَنَا نَحْنُ فِي وَادِينَا
فِي سَاعَةٍ كَذَا إِذْ أَظْلَمَتْنَا غَمَامَةٌ فَسَمِعْنَا مِنْهَا صَوْتًا:
أَتَاكَ الْغَوْثُ أَبَا حَفْصٍ، أَتَاكَ الْغَوْثُ أَبَا حَفْصٍ".
Abu Bakar bin Abid-Dunya
berkata dalam kitab al-Mathor dan Kitab Mujaabu ad-Da’awaat -: telah bercerita
kepada kami Abu Bakar an-Naysaabuuriy, telah bercerita ‘Atho bin Muslim, dari
al-‘Amriy dari Khowaat bin Jubair, berkata: ‘Umar telah keluar untuk
beristisqoo bersama mereka, maka dia sholat dua roka’at, lalu berkata:
“Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon ampunan padaMu, dan kami memohon hujan pada Mu !!!”,
Maka ketika Umar belum
beranjak dari tempatnya, hujanpun turun kepada mereka. Lalu datanglah
orang-orang Badui, mereka berkata: Wahai Amiirul Mu’minin, ketika kami sedang
berada di waadi/lembah kami, pada waktu demikian, tiba-tiba awan menaungi kami,
maka dari arah awan tersebut kami mendengar suara:
“telah datang
padamu bantuan, Abu Hafash. telah datang padamu bantuan, Abu Hafash”.
Riwayat kedua:
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata:
قَالَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا: ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
ثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُطْرَفِ بْنِ طَرِيفٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ: خَرَجَ
عُمَرُ يَسْتَسْقِي بِالنَّاسِ فَمَا زَادَ عَلَى الِاسْتِغْفَارِ حَتَّى رَجَعَ
فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا نَرَاكَ اسْتَسْقَيْتَ.
فَقَالَ: "لَقَدْ طَلَبْتُ الْمَطَرَ بِمُحَادِيجِ السَّمَاءِ
الَّتِي يَسْتَنْزِلُ بِهَا الْمَطَرُ".
ثُمَّ قَرَأَ *: (اِسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا) * [نوح: 11]
ثُمَّ قَرَأَ * (وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا
إِلَيْهِ) * الآية [هود: 3].
Ibnu Abid-Dunya berkata:
telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ismaa’iil, telah bercerita kepada kami
Sufyaan, dari Mathraf bin Thuraif dari asy-Sya’bi, berkata:
‘Umar telah
keluar untuk beristisqoo bersama orang-orang. Beliau hanya beristgfar hingga
belaiu kembali pulang. Maka orang-orang berkata:”Wahai Amiirul Mu’miniin, kami
tidak melihat engkau beristisqoo.
Maka beliau
menjawab:”Sungguh aku telah meminta hujan dengan pengikat / dinding langit
(yakni istighfaar) yang bisa dimintai turun hujan dengannya, lalu beliau
membacaya ayat:
“Maka aku katakan kepada
mereka: Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat”. (QS.
Nuuh: 10-11)
Kemudian beliau membaca
ayat lainnya:
“Dan agar kalian memohon
ampun kepada Rabb kalian, kemudian bartaubatlah kepadanya”. (QS. Huud: 3).
(Lihat: ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ 7/87).
Kesimpulan atsar istisqo
‘Umar riwayat Ibnu Abi Ad-Dunya:
Riwayat
pertama : ‘Umar meminta turun hujan
dengan cara sholat istisqo.
Riwayat
kedua :
Dengan cara beristighfaar saja.
Inilah atsar-atsar atau
hadits-hadits istisqo nya ‘Umar bin al-Khoththob radhiyallaahu ‘anhu pada
Tahun Ramaadah yang disebutkan oleh al-Haafidz Ibnu Katsir dalam kitab ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ.
Kalau kita perhatikan
dengan seksama dari atsar-atsar yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya,
beliau seakan-akan mengajak para pembaca untuk berfikir dan menentukan sbb:
- Atsar manakah yang paling shahih
sanad dan matannya ?
- Atsar manakah yang rajih dan
yang paling kuat untuk diamalkan ?
- Mana kah yang diamalkan ‘Umar,
para sahabat dan kaum muslim pada saat itu dalam meminta hujan ?
Mendatangi Kuburan Nabi ﷺ serta bertawassul dengannya ?
Atau sholat Istisqo disertai tawassul dengan paman Nabi ﷺ yang masih hidup yang hadir ditempat dan
ikut berdoa ?
Ringkasan dari
atsar-atsar tersebut:
Riwayat Saif yang
pertama: adalah dalil para ulama yang membolehkan minta bantuan langsung kepada
Nabi ﷺ dan lainnya yang sudah wafat dimana saja orang itu berada
dengan menyerunya, contohnya seperti dalam atsar ini:”يَا مُحَمَّدَاهْ / wahai Muhammad. Sanad atsar ini dan matannya lemah.
Riwayat al-Baihaqi: adalah dalil para ulama
yang membolehkan bagi setiap orang yang punya hajat untuk mendatangi kuburan
Nabi ﷺ atau kuburan orang-orang
yang sudah wafat, lalu meminta bantuan kepada penghuni kubur agar berdoa kepada
Allah swt untuk hajat dirinya.
Contoh nya seperti dalam
atsar ini:
"يَا رَسُولَ اللهِ، اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ!"
“Wahai Rosulullah,
mintakanlah hujan untuk umat mu !”.
Sanad atsar ini dan
matannya dho’if.
Riwayat Imam Bukhori dan
ath-Thabrani: dalil para ulama yang membolehkan bertawassul dengan orang sholeh
yang masih hidup, hadir ditempat dan ikut berdoa. Contohnya seperti perkataan
Umar radhiyallaahu ‘anhu dalam atsar ini:
"اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ فَتُسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا
فَاسْقِنَا، قُمْ يَا عَبَّاسُ فَادْعُ". فَقَامَ الْعَبَّاسُ فَدَعَا
لَهُمْ، فَاسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُمْ.
“Ya Allah, kami dulu
bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau pun turunkan hujan. Dan
sekarang kami bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan untuk kami, Berdirilah wahai Abbaas, berdoalah !”.
Lalu Abbaas
radhiyallaahu ‘anhu pun berdiri dan berdoa untuk mereka, maka Allah
mengabulkan nya untuk mereka.
===***===
RINCIAN PEMBAHASAN ATSAR MALIK AD-DAAR (MUNAQOSYAH)
Di sini Al-Hafidz Ibnu
Katsir menyertakan dua perawi hadits mimpi yang kandungan matannya
berbeda-beda:
Yang pertama : melalui
Saif bin ‘Umar terdapat dua riwayat.
Yang
kedua : melalui al-Baihaqi ada satu riwayat.
Riwayat Saif ini sengaja Al-Hafidz
Ibnu Katsir letakkan sebelum riwayat al-Baihaqi. Dimana riwayat Saif ini adalah
penjelas kepada maksud “الْكَيْسُ“ berbanding
riwayat al-Baihaqi. Karena itu beliau meletakkan riwayat al-Baihaqi di tempat
yang kedua dan riwayat Saif di tempat pertama.
Ini yang dimaksudkan oleh Al-Hafidz
Ibnu Katsir seperti yang dijelaskan oleh al-Syeikh Soleh Aali al-Syeikh di
dalam (هٰذِهِ مَفَاهِيمُنَا hal. 60-61)
Al-Hafidz Ibnu Katsir
hendak menjelaskan, sekalipun dengan hadis yang dho’if ini, ia menunjukkan
tidak disyariatkannya pergi meminta tolong ke kubur Nabi ﷺ dan tindakan lelaki itu pergi ke kubur Nabi ﷺ adalah sesuatu yang salah lagi mungkar dan tidak
disyariatkan.
Isyarat ini ada di dalam
riwayat Saif dan tidak ada di dalam riwayat al-Baihaqi. Dimana dikatakan Nabi ﷺ bersabda:
“Berlaku bijaklah (cerdas
dan murah hati) wahai ‘Umar berlaku bijaklah.”
Yaitu berlaku bijak
dengan segera menunaikan solat al-Istisqa apabila berlaku kemarau panjang.
Bukan membiarkan perkara yang tidak disyariatkan berlaku seperti yang dilakukan
oleh lelaki tersebut sehingga pergi ke kubur Nabi. Sebaliknya hendaklah
menunaikan al-Istisqa. Arahan ini tidak difahami oleh ‘Umar, namun difahami
oleh para sahabat lainnya.
Oleh karena itu di dalam
riwayat Saif dinyatakan:
فَفَطِنُوْا ولَمْ يَفْطَنْ
Artinya:”Maka mereka
semua faham, akan tetapi ‘Umar masih belum faham.”
Dalam riwayat Saif ini
ada dinyatakan setelah lelaki yang bermimpi itu datang kepada ‘Umar dan
menceritakan mimpinya bertemu dengan Nabi ﷺ dan beliau berkata:
إِنَّ عَهْدِي بِكَ وَفِي الْعَهْدِ ، شَدِيدَ الْعَقْدِ ، فَالْكَيْسُ
الْكَيْسُ يَا عُمَرُ
Maksudnya:”Sesungguhnya
janjiku denganmu dan janjiku itu amat kukuh ikatannya, justeru bijaklah wahai
‘Umar bijaklah.”
Setelah itu di dalam
riwayat Saif ini dinyatakan:”kemudian ‘Umar menaiki mimbar dan berkata kepada
orang ramai:
أَنْشُدُكُمْ اللهَ الَّذِي هَدَاكُمْ لِلْإِسْلَامِ ، هَلْ
رَأَيْتُمْ مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ ؟
Artinya:”Aku benar-benar
bersumpah atas kalian dengan menyebut Allah yang telah menghidayahkan kalian
dengan Islam. Apakah kamu semua ada melihat dariku sesuatu yang kalian tidak
suka?”
‘Umar melakukan
perkara ini karena beliau bimbang barangkali dalam dirinya ada sesuatu yang dia
abaikan terhadap hak Allah atau hak orang banyak, sehingga Nabi ﷺ mengatakan sedemikian
rupa kepada beliau. Lalu mereka menjawab:
اللهُمَّ لاَ ، وعَمَّ ذَاكَ ؟
Artinya:”Tidak ada, dan
mengapa engkau bertanya demikian?”
Lalu ‘Umar menceritakan
kepada mereka semua perkhabaran al-Muzani – beliau ialah Bilal bin al-Harith –
lalu mereka semua faham, namun ‘Umar masih belum faham.”Lalu mereka berkata
kepada ‘Umar:
إنَّما اسْتَبْطَأَكَ فِيْ الاِسْتِسْقَاءِ فاسْتَسْقِ بِنَا
Artinya:”Hanya saja
engkau lambat tidak bersegera dalam melaksanakan al-Istisqa, maka lakukan
al-Istisqa dengan kami.”[Lihat al-Tawassul: hal: 132]
Maka para sahabat
menjelaskan maksud: فالْكَيْسُ
الْكَيْسُ ”Berlaku bijaklah ‘Umar berlaku bijaklah” adalah bimbingan agar
segera menunaikan al-Istisqa (Sholat minta hujan), bukan dengan mengabaikan
solat al-Istisqa yang disyariatkan ketika kemarau sehingga berlaku perkara yang
tidak disyariatkan seperti yang dilakukan oleh lelaki tersebut yang pergi ke
kubur Nabi ﷺ.
Sebagai buktinya adalah
Umar tidak beristisqo dengan cara lelaki yang datang ke kuburan Nabi ﷺ, melainkan beliau beserta kaum muslimin
melaksanakan sholat Istisqo.
Oleh sebab itu Al-Hafidzd
Ibnu Katsir setelah menyebutkan Atsar Bilal bin al-Haarits al-Muzany yang
diriwayatkan oleh Saif dan atsar Malik ad-Dar yang diriwayatkan oleh
al-Baihaqi, beliau langsung menyebutkan atsar riwayat ath-Thabraani dan
al-Bukhory yang menceritkan tentang sholat Istisqoonya Umar bersama kaum
muslimiin dan dalam istisqonya beliau bertawassul dengan Abbaas
radhiyallaahu ‘anhu, paman Nabi ﷺ, beliau masih hidup, hadir ditempat dan ikut berdoa.
Dalam doanya, Umar
berkata:
“Ya Allah, kami
dulu bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau pun turunkan
hujan. Dan sekarang kami bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka
turunkanlah hujan untuk kami !!!. Berdirilah wahai Abbaas, berdoalah !”.
Kemudian setelah itu
al-Hafidz Ibnu Katsir menambahkan dua atsar lagi riwayat Ibnu Abi ad-Dunya,
yang kandungannya adalah yang pertama dengan cara sholat Istisqo, dan yang ke
dua dengan cara banyak beritighfar.
Inilah pemahaman yang
bisa diambil dari susunan atsar-atsar yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu
Katsir dalam kitab ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ. Dengan atsar-atsar ini belaiu ingin menjelaskan cara yang
benar yaitu sholat istisqa dan beristighfar, bukan meminta pertolongan dengan
cara pergi ke kubur Nabi ﷺ seperti yang dilakukan oleh
lelaki tersebut. Maka hendaklah setiap orang memperhatikan perkara ini sehingga
menjadi jelas kepadanya maksud dan tujuan para huffaz hadis dan ketelitian
dalam penulisan mereka.
Oleh karena itu, tidak
ada walaupun seorang dari kalangan sahabat yang melakukan perbuatan yang sama
dengan lelaki tersebut yang pergi ke kubur Nabi ﷺ untuk meminta diturunkan hujan. Sebaliknya semua para sahabat
menunaikan sholat al-Istisqa apabila terjadi kemarau panjang. [Lihat Hazihi
Mafahimuna hal: 60-61]
===****===
BENARKAH IBNU HAJAR AL-ASQALANY MENSHAHIHKAN SANAD KISAH TERSEBUT secara keseluruhan hingga termasuk di dalamnya Malik Ad-Dar ?
Kalau kita perhatikan
secara seksama, akan kita temukan bahwa beliau hanya mansahihkan sanad tersebut
hingga sampai kepada Abu Saleh As-Samman saja, tidak sampai kepada Malik
Ad-Dar. Kalau seandainya sanad tersebut sahih hingga Malik Ad-Dar, dia pasti
tidak akan mengatakan:
« dengan sanad yang sahih
dari riwayat Abu Saleh As-Samman dari Malik Ad-Daar », akan tetapi dia
mengatakan: « dengan sanad yang sahih dari Malik Ad-Daar ».
Sengaja beliau lakukan
demikian untuk memancing perhatian para pembaca agar waspada akan adanya
sesuatu yang perlu di perhatikan dalam sanad tersebut.
Yang demikian itu biasa
dilakukan oleh para ulama dikarenakan adanya beberapa faktor, diantaranya
adalah:
- Karena mereka tidak menguasi
pengetahuan yang cukup tentang biografi sebagian para rawi, maka mereka
tidak membiarkan dirinya membuang sanad secara keseluruhan hanya karena di
dalamnya terdapat keraguan akan kesahihan nya terutama saat berargumentasi
dengannya, akan tetapi mereka cukup dengan mengetengahkan point
permasalahan yang perlu diperhatikan. Dan itulah kira-kira yang telah di
lakukan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar.
- Dan seolah-olah beliau
mengisyaratkan bahwa Abu Saleh As-Samman adalah satu-satunya perawi yang
meriwayatkan kisah tersebut dari Malik Ad-Dar, persis seperti yang di
tegaskan Ibnu Abu Hatim dalam kitab Jarh wa Ta'dil 4/1 – 213, dan
kata-katanya mengarah kepada wajibnya bertatsabbut (pengecekan yang sangat
teliti) akan kondisi Malik Ad-Dar atau mengisyaratkan bahwa dia itu orang
tak di kenal.
JAWABAN-NYA:
Ini adalah sebuah
kecerobohan dan tuduhan yang tidak benar terhadap Ibnu Hajar. Pernyataan Ibnu
Hajar diselewengkan dari makna sebenarnya.
Seandainya sanad itu
hanya shahih sampai Abu Shalih saja, pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti
ini,”… dengan sanad shahih sampai Abu Shalih,”bukan”… dengan sanad shahih dari
riwayat Abu Shalih.”Kata”dari riwayat”hanyalah penjelasan mengenai sumber riwayat
itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai Abu Shalih saja. Berbeda
dengan kata”sampai”yang menunjukkan pembatasan.
Hal itu maklum diketahui
oleh siapapun yang pernah membaca Fathul Bari secara keseluruhan dan mengamati
istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Hajar di dalamnya.
BANTAHAN:
Itu bukan sebuah
kecerobohan, karena yang kami katakan itu bisa di bandingkan dengan sanad
semisalnya dalam kisah lain seperti yang disebutkan oleh Al-Hafidz Al-Mundziri
dalam kitab At-Targhib 2/41-42 dari riwayat Malik Ad-Dar dari Umar
radhiyallaahu ‘anhu, kemudian Al-Mundziry berkata:
"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي
”الْكَبِيرِ"، وَرَوَاتُهُ إِلَى مَالِكِ الدَّارِ ثِقَاتٌ مَشْهُورُونَ،
وَمَالِكُ الدَّارِ لَا أَعْرِفُهُ"
“At-Tabrani telah
meriwayatkannya dalam Mu'jam Kabir, dan para perawinya hingga sampai kepada
Malik Ad-Dar semuanya tsiqoot masyhurun (dipercaya dan mereka orang-orang
masyhur), adapun Malik Ad-Dar sendiri aku tidak mengenalnya”.
Begitu juga sama dengan
yang dikatakan Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitab Majma' Zawaid 3/125. (Lihat:
At-Tawassul karya Syeikh Al-Bany hal. 118 – 119 dan Bulughul Amani fir Radd
'Ala Miftahit Tiijaani 1/36).
Sementara Imam
adz-Dzahabi dalam kitab (سِيَرُ
أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ (2/412) berkata:
وَقَالَ الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ...
فَإِنَّهُ لَمْ يَحْكُمْ بِصَحَّتِهِ وَلَا بِضَعْفِهِ وَإِنَّمَا ذَكَرَ
الْإِسْنَادَ فَقَطْ.
“Dan al-A’masy berkata
dari Abu Sholeh dari Malik ad-Daar …. Maka sesungguhnya tidak dihukumi
keshohihannya dan kedho’ifannya, dan sesungguhnya dia hanya menyebutkan sanad
saja”.
Kemudian tentang
pernyataan al-Hafidz Ibnu Katsir setelah menguraikan hadits Malik al-Dar ini
melalui riwayat al-Baihaqi, beliau berkata:
وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ
Artinya:”Dan Isnad ini
adalah Sahih.”
Perkataan beliau ini
hanya bermaksud sahih dari segi Sanad saja. Tidak bermaksud HADIS ini SAHIH.
Dan ini bisa dibuktikan
pada perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir pada riwayat kisah lain sebelum riwayat
al-Baihaqi ini:
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam
al-Biayah wan Nihayah 7/85-86 berkata:
أَنَّ عُمَرَ عَسَّ الْمَدِينَةَ ذَاتَ لَيْلَةٍ عَامُ الرَّمَادَةِ
فَلَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَضْحَكُ، وَلَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ فِي مَنَازِلِهِمْ
عَلَى الْعَادَةِ، وَلَمْ يَرَ سَائِلًا يَسْأَلُ، فَسُئِلَ عَنْ سَبَبِ ذَلِكَ
فَقِيلَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ السُّؤَالَ سَأَلُوا فَلَمْ
يُعْطَوْا فَقَطَعُوا السُّؤَالَ، وَالنَّاسُ فِي هَمٍّ وَضِيقٍ فَهُمْ لَا
يَتَحَدَّثُونَ وَلَا يَضْحَكُونَ. فَكَتَبَ عُمَرُ إِلَى أَبِي مُوسَى
بِالْبَصْرَةِ أَنْ يَا غَوْثَاهُ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ. وَكَتَبَ إِلَى عَمْرو بْن
الْعَاصِ بِمِصْرَ أَنْ يَا غَوْثَاهُ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ. فَبَعَثَ إِلَيْهِ
كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِقَافِلَةٍ عَظِيمَةٍ تَحْمِلُ الْبَرَّ وَسَائِرَ
الْأَطْعِمَةِ، وَوَصَلَتْ مِيرَةُ عَمْرُو فِي الْبَحْرِ إِلَى جِدَّةَ وَمِنْ
جِدَّةَ إِلَى مَكَّةَ.
…. Bahwa Umar pernah
mengontrol rakyatnya di Madinah pada suatu malam di tahun Ramaadah (عَامُ الرَّمَادَةِ).
Umar tidak mendapati satu
orang pun yang tertawa, atau berbincang-bincang di rumah sebagaimana biasanya.
Umar tidak pula mendapati
ada yang meminta-minta, maka ia bertanya apa sebabnya, ada yang berkata kepada
Umar,:”Mereka pernah meminta tetapi tidak ada yang dapat diberikan, akhirnya
mereka tidak lagi meminta, sementara mereka benar-benar dalam keadaan yang
menyedihkan dan sangat memprihatinkan, oleh karena itu mereka tidak lagi bisa
berkata-kata ataupun tertawa”.
Maka Umar mengirim surat
kepada Abu Musa di Bashrah agar mengirim bantuan untuk umat Mahammad. Dan juga
mengirim surat kepada ‘Amr bin ‘Ash di Mesir agar mengirim bantuan untuk umat
Mahammad. Maka masing-masing dari mereka berdua mengirim bantuan dengan armada
yang besar mengangkut gandum dan berbagai macam makanan. Dan logistik ‘Amr
lewat laut tiba di Jeddah, dari Jeddah ke Makkah”.
Lalu al-Hafidz Ibnu
Katsir berkata:
"وَهَذَا الْأَثَرُ جَيِّدُ
الْإِسْنَادِ، لَكِنْ ذَكَرُ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فِي عَامُ الرَّمَادَةِ
مُشْكِلٌ، فَإِنَّ مِصْرَ لَمْ تَكُنْ فُتِحَتْ فِي سَنَةِ ثَمَانِي عَشْرَةَ،
فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ عَامُ الرَّمَادَةِ بَعْدَ سَنَةِ ثَمَانِي عَشْرَةَ، أَوْ
يَكُونَ ذَكَرُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فِي عَامُ الرَّمَادَةِ وَهُمْ".
“Dan atsar ini sanad nya
bagus, akan tetapi penyebutan ‘Amr bin ‘Ash pada Tahun Ramaadah itu problem /
sulit diterima. Dikarenakan Mesir pada tahun 18 H belum di taklukan. Kecuali
kalau Tahun Ramaadah itu terjadi setelah tahun 18 H, atau penyebutan ‘Amr bin
‘Ash pada Tahun Ramaadah itu khayalan (وهم)”. (Selesai perkataan Ibnu Katsir)
Hal ini karena sesuatu
hadis sebelum dihukumi sebagai Hadis Sahih maka harus dipastikan memenuhi
syarat-syaratnya. Karena itu ulama memberikan definisi kepada Hadis Sahih
sebagai brkt:
الصَّحِيحُ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ
عَنْ مِثْلِهِ وَسَلِمَ عَنْ شُذُوذٍ وَعِلَّةٍ.
Artinya:”Hadis yang Sahih
ialah hadis yang bersambung sanadnya melalui nukilan periwayat yang adil lagi
dhobith dari periwayat yang sepertinya (sehingga ke hujung sanad) juga bebas
dari Syuzuz dan Illah.”[Qawa’id al-Tahdith Min Funun Mustalah al-Hadith oleh
al-Qasimi. Hal: 112]
Oleh karena itu Sahih
suatu sanad hadis tidak mesti menunjukkan hadis itu sahih. Al-Hafidz Ibnu
Katsir sendiri menyatakan:
الحُكْمُ بِالصَّحِيحِ أَوْ الْحَسَنِ عَلَى الْإِسْنَادِ لَا
يَلْزَمُ مِنْهُ الْحُكْمُ بِذَلِكَ عَلَى الْمَتْنِ، إذ قد يَكُونُ شَاذًا أَوْ
مُعَلَّلاً.
“Hukum Sahih atau Hasan
terhadap suatu Sanad tidak mesti menunjukkan hukum yang sama terhadap Matan,
karena kadang-kala (Matan) itu Sadz atau Mu’allal.”[Ikhtisar Ulum al-Hadis.
Hal: 43]
Al-Hafidz Ibnu Sholah
berkata:
قَوْلُهُم: (هذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ أَوْ حَسَنُ
الْإِسْنَادِ) دُونَ قَوْلِهِم: (هذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ أَوْ حَدِيثٌ حَسَنٌ)
لِأَنَّهُ قَدْ يُقَالُ: هذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ ، وَلا يَصْحُ
لِكَوْنِهِ شَاذًا أَوْ مُعَلَّلاً.
Maksudnya:”Perkataan
mereka (para ulama hadis):”Hadis ini Sahih al-Isnad”atau:“Hasan al-Isnad”tidak
sama dengan perkataan mereka (para ulama hadis)::”Hadis ini Sahih”atau:”Hadis
Hasan.”Ini karena kadang-kala dikatakan:”Hadis ini Sahih al-Isnad,”akan tetapi
hadis itu tidak Sahih karena adanya Syadz atau Mu’allal.”[Muqaddimah Fi ‘Ulum
al-Hadis. Hal: 23]
Karena itu asy-Syeikh
‘Abdus Salam Aali ‘Abdul Karim pentahqiq kitab al-Sawa’iq al-Mursalah
al-Syihabiyyah berkata tentang riwayat Malik al-Dar ini:
"إِنَّ هَذِهِ الْقِصَّةَ مُنْكَرَةُ
الْمَتْنِ، لِمُخَالَفَتِهَا مَا ثُبِتَ فِي الشَّرْعِ مِنْ اسْتِحَبَابِ
إِقَامَةِ صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْحَالَاتِ.
وَلِمُخَالَفَتِهَا مَا اشْتَهَرَ وَتَوَاتَرَ عَنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ،
إذْ مَا جَاءَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَرْجِعُونَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَبْرِ غَيْرِهِ مِنْ الْأَمْوَاتِ عِنْدَ
نُزُولِ النَّوَازِلِ وَاشْتِدَادِ الْقَحْطِ يَسْتَدْفِعُونَهَا بِهِمْ
وَبِدُعَائِهِمْ وَشَفَاعَتِهِمْ. بَلْ كَانُوا يَرْجِعُونَ إِلَى اللَّهِ
وَاسْتِغْفَارِهِ وَعِبَادَتِهِ، وَإِلَى التَّوْبَةِ النَّصُوحِ،
قَالَ تَعَالَى: (وَأَنْ لَوْ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ
لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءَ غَدَقًا..)
وَقَالَ تَعَالَى: (وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مُدْرَارًا..)
وَقَالَ تَعَالَى: (وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ…".
Artinya:”Kisah ini
(riwayat Malik al-Dar) adalah Mungkarah al-Matn, karena bertabrakan dengan apa
yang telah menjadi ketetapan dalam agama akan mustahabnya (sunat) mendirikan
solat al-Istisqa ketika dalam keadaan seperti itu (kemarau).
Demikian juga disebabkan
kisah ini bertabrakan dengan apa yang telah masyhur dan mutawaatir dari para Sahabat
dan Tabi’ien. Karena tidak ada keterangan bahwa mereka pergi ke kubur Nabi ﷺ atau kubur orang-orang
yang sudah wafat lainnya disaat adanya bencana dan kesulitan kemarau panjang,
bertujuan agar melalui mereka ini mereka bisa menolak semua kesulitan-kesulitan
tadi, atau dengan doa dan syafaatnya.
Akan tetapi yang benar,
mereka semua menghadap kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya dan
beribadah kepadaNya, dan juga dengan cara bertaubat Nashuha.
Allah Taala berfirman: ”Dan
bahwasannya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (agama Islam)
benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang
banyak”. (QS. Al-Jinn: 16)
Dan Allah Taala
berfirman: ”Dan wahai kaumku, beristighfarlah kamu semua kepada Tuhan kamu
setelah itu bertaubatlah kepadaNya, nanti Dia akan mengutuskan kepada kamu
semua hujan yang mencurah-curah…”
FirmanNya lagi: ”Dan
sekiranya penduduk suatu tempat beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan
membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi…” [Al-Sawaiq
al-Mursalah al-Syihabiyyah, hal: 196]
****
BANTAHAN-BANTAHAN LAINNYA SERTA JAWABAN-JAWABANNYA:
===
BANTAHAN:
Sanad kisah itu lemah dan
muatannya mungkar.
Kisah Malik Ad-Dar ini
terdapat banyak Illat (penyakit) yang melemahkan kedudukan kisah tersebut, baik
di matannya maupun di sanad nya, diantara illat-illat itu adalah seperti
berikut ini:
===
ILLAT PERTAMA :
Tadlis Al-A'mash. Nama
lengkapnya: Abu Muhammad Sulaiman bin Mihran Al-Asady al-Kaahily al-Kufy (wafat
148 H).
Al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalany dalam kitabnya Tabaqot Mudallisin 1/33 telah memasukkan Al-A'mash
ini pada kelompok tabaqot yang kedua, yaitu mereka yang berkemungkinan
melakukan tadlis. Dan beliau berkata:”Dia seorang mudallis seperti yang
disifati oleh Al-Karobisy, An-Nasai, Ad-Daruquthny dan lainnya.
Abu Zur'ah Al-'Iraqy
dalam kitab Al-Mudallisin menyatakan bahwa: Suleiman Al-A'mash adalah masyhur
sebagai mudallis.
Adz-Dahaby dalam kitab (Ar-Ruwatuts
Tsiqoot Al-Mutakallam Fiihim 1/105) berkata:
”Sulaiman bin Mihran Al-A'mash
adalah hujjah lagi hafidz, akan tetapi dia mentadlis dari orang-orang yang
dloif (lemah)”.
An-Nasai berkata:
”Dia dipercaya dan kokoh
hafalannya (ثقة ثبت), tapi dia termasuk
orang-orang yang mentadlis”.
(lihat: Khulashoh Tadzhibut
Tahdzibul Kamal karya Sofiyuddin Ahmad al-Khojroji 1/155).
Seorang Mudallis meski
dia seorang yang hafidz dan tsiqoh (dipercaya) namun jika dia meriwayatkannya
dengan kata-kata”Dari (عَنْ)”atau”Ia telah
berkata (قَالَ)”maka riwayatnya
di tolak, karena kemungkinan besar ia mengambil hadis itu dari perawi dhaif
sehingga dapat menjadikan hadits itu menjadi lemah oleh sebab itu dia mentadlis
sanad.
Lain halnya dengan
kata-kata yang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar mendengar langsung dari
syeikhnya seperti:”telah berbicara pada kami atau telah mengkhabari kami (أَخْبَرَنَا أَوْ
حَدَّثَنَا)”, maka riwayatnya di terima, karena kata-kata ini menutup
kemungkinan untuk melakukan tadlis, sebagaimana telah maklum dalam Mustholahul
Hadits.
Dalam kisah ini Al-A'mash
meriwayatkan dari syeikhnya Abu Saleh As-Samman menggunakan kata-kata”Dari (عَنْ)”, maka
riwayatnya di tolak.
JAWABAN:
Illat ini sama sekali
tidak berpengaruh, karena Al-A'mash itu meskipun dia itu mudallis akan tetapi
syeikhnya di dalam sanad hadist ini adalah Abu Saleh Dzakwan bin Abdullah.
Telah berbicara
Adz-Dzahaby mengenai dia dalam kitabnya Al-Mizan saat membahas biografi
Al-A'mash, beliau berkata: ”Dia suka mentadlis, dan bisa jadi dia mentadlis
dari orang yang dlaif (lemah) yang dia sendiri tidak tahu tentang orang tersebut.
Maka jika dia
meriwayatkannya dengan kata-kata:”Telah mengatakan pada kami (حَدَّثَنَا)”maka tidak ada
masalah, tapi jika dengan kata-kata:”Dari (عَنْ)”maka ada kemungkinan mentadlis, KECUALI jika dia meriwayatkan
dari Syeikh-syeikhnya yang dia banyak meriwayatkan darinya, seperti: Ibrahim,
Abu Wail dan Abu Soleh As-Samman. Jika dari kelompok ini maka riwayatnya
termasuk katagori nyambung (ittishol atau tidak melakukan tadlis)”.
Kata-kata Adz-Dzahabi
inilah yang lebih bijak. Dan di kisah ini Al-A'mash meriwayatkannya dari
sheikhnya yang bernama Abu Soleh As-Samman, maka sanad kisah ini masuk katagori
nyambung dan tidak ada kemungkinan dia mentadlis meski meriwayatkan nya dengan
menggunakan kata-kata « dari (عَنْ) ».
Ini adalah satu kekhususan dan keistimewaan (عَنْعَنَة) ‘an’anah Al A’masy dari Abu Shalih. Oleh karena itu, Imam Bukhari memasukkannya dalam Shahihnya.
BANTAHAN:
Kalau seandainya kita
terima keterangan Adz-Dzahaby tersebut, yaitu dia tidak mentadlis jika dia
meriwayatkan dari Abu Saleh As-Samman meski menggunakan kata-kata”Dari (عَنْ)”, akan tetapi
masih ada hal lain yang patut di kaji lebih mendalam lagi yaitu:
Abu Mu'awiyah perawi dari
Al-A'mash adalah Mudallis juga.
Al-Hafidz Ibnu Hajar
al-'Asqalany dalam Tabaqat Mudallisin 1/36 berkata tentang Abu Mu'awiyah:”Dia
dikenal dengan luas hafalannya, bahkan dia adalah sahabat (murid) Al-A'mash
yang paling kokoh dalam menghafalkan hadits-hadits nya. Akan tetapi
Ad-Daruquthny mensifatinya dengan sifat pentadlis”.
Begitu juga Ahmad bin Abi
Thahir beliau menyatakan: bahwa Abu Mu'awiyah itu mentadlis.
(Lihat: At-Tabyin Li Asmaail
Mudallisiin, karya Abul Wafa Ibnu 'Ajmy Asy-Syafi'i 1/50).
Di sini dia meriwayatkan hadits
tersebut dengan lafal”Dari (عَنْ)". Padahal,
seorang mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika ia berkata”telah
berbicara pada kami atau telah mengkhabari kami (أَخْبَرَنَا أَوْ حَدَّثَنَا)” dan semisalnya, bukan dengan kata”Dari (عَنْ)”atau”Ia telah
berkata (قَالَ)”.
Lagi pula Al-A'mash itu
adalah salah seorang ahli hadits yang hadits-hadits nya terhimpun oleh banyak
perawi-perawi yang tsiqot (dipercaya). Akan tetapi kenapa kisah ini hanya
diriwayatkan oleh Abu Mu'awiyah sendirian (تفرُّد) dari Al-A'mash, sementara perawi-perawi tsiqot lainnya tidak
ada yang meriwayatkannya ?
Ketunggalan riwayat Abu
Mu'awiyah ini jelas tidak bisa di terima, terutama bagi orang yang menganggap
hikayat ini sangat berkaitan erat dengan pondasi syariah.
(Lihat: Ahaadits Yahtajju
bihaa Asy-Syiah karya Abdurrahman Muhammad Said Dimasyqiyah 1/29).
Untuk memperkuat akan di
tolaknya riwayat tunggal Abu Mu'awiyah ini adalah keterangan Ibnu Abdil Barr
dalam kitabnya Al-Istii'ab 1/240, beliau menyebutkan pada kasus lain bahwa Abu
Mu'awiyah Adl-Dlorir telah melakukan kesalahan sanad ketika dia secara tunggal
meriwayatkan hadist dari 'Amir bin 'Amr Al-Muzany.
Berikut ini teks asli
dari Ibnu Abdil Barr:
عامرُ بنُ عَمْرو المُزَنّيّ: انْفَرَدَ بِحَدِيثِهِ أَبُو
مُعَاوِيَةَ الضَّرِيرُ. وَيُقَالُ: إنَّهُ أَخْطَأَ فِيهِ لِأَنَّ يَعْلَى بنُ
عُبَيْدٍ قَالَ فِيهِ عَنْ هِلَالِ بنِ عَامِرٍ عَنْ رَافِعِ بنِ عَمْرٍو وَقَالَ
أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِلَالِ بنِ عَامِرٍ عَنْ أَبِيهِ.
Artinya: ”Secara tunggal Abu Mu'awiyah Adl-Dlorir meriwayatkan hadits dari 'Amir bin 'Amr Al-Muzany. Di katakan: bahwa dia telah melakukan kesalahan dalam hal ini, karena Ya'la bin Ubeid telah berkata lain, yaitu: dari Hilal bin 'Amir dari Rofi' bin 'Amr. Sementara Abu Mu'awiyah berkata: dari Hilal bin Amir dari bapaknya ('Amir bin 'Amr Al-Muzany)”. [al-Istī‘aab 1/240]
JAWABAN:
Meski dia mudallis, tapi
dia itu seorang hafidz dan tsiqoh (dipercaya). Berikut ini sekilas tentang Abu
Mu'awiyah:
Dia adalah Muhammad bin
Khozin, Abu Mu'awiyah Adl-Dlorir As-Sa'dy At-Tamimy Al-Kufy (wafat 195 H).
Di gelari Ad-Dlorir
karena beliau buta semenjak kecil di usia empat tahun, dan ada yang mengatakan
di usia delapan tahun. (Lihat: Jarh Wa Ta'dil karya Ibnu Abi Hatim 2/685,
7/246, Al-Ikmal karya Ibnu Makola 2/288, Tarikh Baghdad karya Al-Khottoby
5/242).
Ibnu Hibban berkata:”Dia
seorang yang hafidz dan sangat meyakinkan hafalannya, akan tetapi dia penganut
faham murjiah”. (Ats-Tsiqot karya Ibnu Hibban 7/441).
Al-'Ijly dalam kitabnya Ma'rifat Tsiqot 2/236 berkata:”Dia orang Kufah yang tsiqoh (dipercaya) penganut faham murjiah, lembut tutur katanya, dia mendengar dari sheikhnya Al-A'mash dua ribu hadits, namun setelah terkena sakit, dia lupa enam ratus hadits”.
BANTAHAN:
Meskipun dia itu seorang
yang hafidz lagi tsiqoh (dipercaya) namun sudah menjadi ketetapan para ulama
ahli hadist, jika dia tidak berterus terang mendengar langsung, maka tetap
sanadnya tidak aman dari tadlisnya.
====
ILLAT KEDUA :
Malik Ad-Dar penjaga
logistik Umar adalah orang yang tidak di kenal akan kelurusannya (العَدَالَة) dan kecermatan
hafalan atau catatannya dalam menjaga serta menyampaikan hadist (الضَّبْط). Ini adalah dua
pondasi utama yang di jadikan sebagai syarat mutlak bagi perawi dalam setiap
sanad yang sahih.
Ibnu Solah berkata:”Telah
berlaku ijma' (sepakat) jumhur ulama ahli hadist dan ulama ahli fiqh, bahwa
syarat orang yang bisa di jadikan hujjah dalam riwayatnya harus betul-betul
orang yang lurus (عدل) dan cermat
teliti (ضبط) terhadap yang
ia riwayatkan. (Lihat Muqoddimah Ibnu Sholah hal. 50).
Yang di maksud dengan
lurus (العَدَالَة) disini: yaitu
jiwanya mendalam, bertahan untuk selalu bertaqwa dan berprilaku terpuji
sehingga dia mendapatkan istiqomah dalam kehidupan beragama, terpelihara dari
segala macam kefasikan dan kemaksiatan, terpelihara pula dari perilaku yang
hina yang akan mengurangi karakter terpujinya dan menjatuhkan wibawanya.
Dan yang di maksud cermat
dan teliti (الضَّبْط) ini adalah:
penuh konsentrasi, cermat, teliti dan betul-betul faham terhadap apa yang di
dengarnya, dan hafalannya tetap tidak berubah dari semenjak mendapatkan hadits
tersebut hingga kapan saja ketika dia hendak menyampaikannya kepada yang lain.
Dan secara umum hafalannya selalu tepat dari pada lupanya. Dan jika dia
menyampaikan hadits dari catatannya bukan dari hafalannya di syaratkan harus
betul-betul selalu terjaga catatan tersebut dari semenjak awal menulisnya
hingga saat menyampaikannya pada yang lain, umpamanya dengan cara tidak
meminjamkannya kepada orang yang kurang dipercaya, dan catatan tersebut bisa
dipastikan tidak mungkin ada orang lain yang merubah-rubahnya. (Lihat Akhbarul
Ahad fil Hadits Nabawi 1/32).
Setelah mengetahui dan
memahami dua syarat perawi agar sanad sebuah riwayat tersebut sahih, maka
apakah Malik Ad-Dar telah memenuhi dua syarat tersebut ?
Ibnu Abi Hatim Ar-Rozy
telah menyebutkan tentang Malik Ad-Dar dalam kitabnya Al-Jarh wat-Ta'dil 8/213
namun beliau tidak memberikan komentar apa-apa (blank tentang dia ini), dia
tidak menyebutkan seorang pun yang meriwayatkan dari Malik Ad-Dar selain Abu
Saleh As-Samman Dzakwan al-Madany, ini menunjukan bahwa dia adalah orang yang
tak dikenal akan kelurusannya (العَدَالَة) dan kecermatan hafalannya (الضَّبْط).
Begitu juga Imam Bukhory
menyebutkannya dalam kitabnya At-Tarikh 7/304 dan beliau tidak memberi komentar
apa-apa alias blank, beliau hanya menyebutkan hadits nya saja.
Ibnu Hajar Al-Haitsamy dalam Majma Zawaid 3/125 dengan gamblang mengatakan:”Dan Malik Ad-Dar, aku tidak mengenalnya”. Begitu pula yang diungkapkan Al-Mundziry dalam At-Targhib wat Tarhib 2/42, dia berkata:”Dan Malik Ad-Dar, aku tidak mengenalnya”.
JAWABAN:
Tidak semua perawi yang
didiamkan oleh sebagian para imam itu disebut majhul. Ketidaktahuan bukan tanda
ketiadaan mutlak. Ketidaktahuan seseorang dikalahkan oleh pengetahuan orang
lain.
Apalagi jika ada orang
lain selain Abu Soleh As-Samman telah meriwayatkan dari Malik Ad-Dar, yaitu
At-Tabrani dalam kitabnya Mu'jam Kabir 20/33 meriwayatkan dari Abdurrahman bin
Said bin Yarbu' dari Malik Ad-Dar.
Dan yang demikian itu
telah di isyaratkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib 6/187 bahwa
Abdurrahman bin Said bin Yarbu' meriwayatkan dari Malik Ad-Dar.
Bahkan biografi Malik Ad
Dar itu disebutkan dalam at-Thabaqat karya Ibnu Saad dan al-Ishabah karya Ibnu
Hajar.
Al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam kitabnya Al-Ishobah 6/274 berkata:”Malik bin 'Iyadl, mawla Umar
radhiyallaahu ‘anhu, dan dia yang di kenal dengan sebutan Malik Ad-Dar,
dia bertemu dan mendengar (hadist) dari Abu Bakar Ash-Shiddiq
radhiyallaahu ‘anhu, meriwayatkan (hadits) dari dua orang Syeikh (Abu
Bakar dan Umar), Muadz bin Jabal dan Abu Ubaidah. Dan orang-orang yang telah
meriwayatkan (hadits) dari nya (Malik Ad-Dar) adalah dua putranya 'Aun dan
Abdullah, kemudian Abu Saleh As-Samman”.
Dan Ibnu Sa'ad dalam
kitabnya Ath-Thabaqat 5/12 telah menyebutkannya di bagian angkatan pertama dari
kalangan tabi'in. Ibnu Saad berkata:”Dia orang yang dikenal”.
Dan telah berkata Ali bin
Al-Madiny:”Telah ada Malik Ad-Dar sebagai penjaga gudang logistic untuk Umar”.
(Lihat: Hayatush Shohabah karya Al-Kandahlawi 3/77).
Dengan demikian hilanglah
anggapan bahwa dia adalah sosok orang yang tak di kenal (مَجْهُولُ الْعَيْنِ) sesuai dengan
teori madzhab jemaah ahli hadits. Dan jika memang majhul, tidak mungkin Dua
Hafizh Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir itu berani menshahihkan sanadnya.
Lagi pula Malik Ad-Dar itu telah mendapatkan kepercayaan Umar radhiyallaahu ‘anhu untuk gudang logistik, dan Umar tidak menyerahkan jabatan ini kecuali kepada orang yang dikenal akan kelurusannya.
BANTAHAN:
Kalau seandainya kita
terima bahwa Malik Ad-Dar itu adalah sosok yang di kenal, lurus dan dipercaya,
namun dia tidak dikenal kondisinya (مَجْهُولُ الْحَالِ) ; karena kami tidak mendapatkan kesaksian dari para ulama ahli
hadist yang menyatakan akan kecermatan dan ketepatan hafalannya dalam
meriwayatkan hadits (ٱلضَّبْطُ
فِي ٱلرِّوَايَةِ), dan ini adalah syarat kedua bagi perawi hadits agar sanadnya
dianggap sahih.
Adapun dia di percaya
oleh Umar radhiyallaahu ‘anhu sebagai penjaga gudang logistik, itu juga
masih diperdebatkan di kalangan sebagian ulama ahli hadits, lagi pula pekerjaan
itu tidak membutuhkan kekokohan hafalan seperti kokohnya hafalan hadits.
====
ILLAT KE TIGA :
Riwayat Abu Saleh ini
menyalahi sanad riwayat lainnya yang mursal. Seperti yang diterangkan oleh
Kholily dalam kitab Al-Irsyad 1/316, dia berkata:”Di katakan bahwa Abu Soleh
mendengar hadits ini langsung dari Malik Ad-Dar, sementara orang-orang
selainnya meriwayatkan nya mursal”. Jika memang mursal, maka di sanadnya
terdapat Illat, paling tidak sanadnya mudlthorib (simpang siur).
JAWABAN:
Pernyataan Al-Khalili
tersebut jelas menunjukkan bahwa penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad-Dar adalah
ma’ruf dan tidak diragukan lagi. Yang diragukan adalah penyimakannya tentang
hadis ini, bukan penyimakan secara umum dalam hadis-hadis lain. Perhatikan
kata”hadis ini”dalam pernyataan Al-Khalili di atas, kata tersebut mengkhususkan
keumuman penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar dalam hadis-hadis lain.
Lagipula, Abu Shalih bukan seorang mudallis yang suka mengecoh orang lain
dengan kata”’an / عن”untuk hadits
yang tidak ia dengar, sebagaimana kebiasaan para mudallisin.
BANTAHAN:
Abu Shalih membawakannya
dengan ‘an’anah, sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus
(munqathi’).
JAWABAN:
Pernyataan itu juga
keliru. Kemungkinan terputus itu sangat kecil bahkan mendekati nol, karena Abu
Shalih bukan seorang mudallis. Riwayat ‘an’anah dipermasalahkan jika berasal
dari perawi yang mudallis. Jadi ‘an’anah Abu Shalih diterima dan dianggap
muttashil karena Abu Shalih tsiqoh. Imam Bukhari juga memasukkan ‘an’anah Abu
Shalih ke dalam Shahihnya sebagaimana ‘an’anah Al A’masy dari Abu Shalih.
===
ILLAT KE EMPAT :
Laki-laki yang datang ke
kuburan Nabi ﷺ itu misterius tidak
dikenal, bagaimana mungkin dalam menentukan hukum yang agung ini merujuk kepada
riwayatnya. Dan bagaimana mungkin moment orang yang tidak jelas di jadikan
sebagai landasan hukum ibadah yang paling sangat agung. Apalagi moment tersebut
bertentangan dengan konsensus (Ijma') yang terselenggara sesuai nash-nash
(dalil-dalil) yang ada. Yaitu nash-nash yang mensyariatkan jika terjadi
kekeringan agar beristighfar kepada Allah, berprilaku lurus di atas jalanNya,
beriman dan bertaqwa pada Nya serta berhukum dengan SyariatNya.
JAWABAN:
Illat ini bisa
terbantahkan dengan bantahan: bahwa laki-laki yang misterius itu adalah sahabat
Nabi ﷺ, yang bernama Bilal bin Al-Harits
Al-Muzani, seperti yang di sebutkan dalam riwayat lain.
Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-'Asqalany berkata dalam Fathul Bary 2/496:”Dan sungguh Saif dalam kitabnya
Al-Futuh telah meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi tersebut adalah Bilal
bin Al-Harits Al-Muzany salah seorang sahabat Nabi ﷺ“.
BANTAHAN:
Atsar yang diriwayatkan
Saif bin Umar dalam kitabnya”ٱلْفُتُوحُ”ini Dho’if
seperti yang sudah pernah dijelaskan di atas.
Syeikh Al-Bany dalam
Tawassul hal. 120 berkata:”Penyebutan nama Bilal dalam riwayat Saif ini tidak
berpengaruh apa-apa, karena Saif ini adalah Saif bin Umar At-Tamimy, orang yang
telah di sepakati oleh para ulama ahli hadist akan kedlaifannya”.
===***===
MUATAN KISAH YANG DIRIWAYATKAN MALIK AD-DAAR ADALAH MUNGKAR
Kisah tersebut jelas-jelas
sangat lemah tidak bisa dijadikan hujjah. Lagi pula kalau seandainya iya benar
kisah itu sahih, maka tetap saja tidak bisa dijadikan hujjah, disebabkan itu
adalah amalan sahabat yang menyalahi dalil-dalil yang sahih serta berlawanan
dengan amalan sahabat-sahabat selainnya.
Adapun dia
menyalahi dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah, itu sangat jelas sekali. Yaitu
dalil-dalil yang mensyariatkan jika terjadi kekeringan agar beristighfar kepada
Allah, berprilaku lurus di atas jalanNya, beriman dan bertaqwa pada Nya serta
berhukum dengan SyariatNya.
Allah SWT berfirman:
﴿وَأَن لَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ
لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاءً غَدَقًا﴾
“Dan bahwasanya: jika
mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami
akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).”(QS.
Al-Jin: 16).
Dan Allah SWT berfirman:
﴿وَيَاقَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً
إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ﴾
Dan (Nuh berkata):”Hai
kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia
menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan
kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”(QS. Huud:
52)
Dan Allah SWT berfirman:
﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ
كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾
“Jika sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A'raf: 96).
Dan adapun itu berlawanan
dengan amalan sahabat-sahabat lainnya, maka dalam khabar yang sahih yang telah
disebutkan diatas yaitu dari Umar radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata:
“Ya Allah, dulu kami
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan kepada
kami. Maka saat ini kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami,
turunkanlah hujan kepada kami”, Dan hujan pun turun kepada mereka.”(HR. Bukhari
no. 954).
Tidak ada keterangan yang
sahih yang menerangkan bahwa mereka para sahabat ketika dihadapkan pada
kesulitan kemudian mereka lari ke kuburan Nabi ﷺ atau kuburan orang saleh lainnya.
JAWABAN:
Kemubhaman orang yang
beristisqo di kuburan Nabi ﷺ tersebut tidak berpengaruh apa-apa, karena sesungguhnya yang
menjadi target hujjah dalam kisah ini adalah tidak adanya pengingkaran Umar
radhiyallaahu ‘anhu terhadap kedatangan lelaki tersebut kekuburan Nabi ﷺ untuk beristisqo. Seandainya perbuatan itu keliru, pasti
Umar sudah mengingkarinya. Maka dengan demikian beliau telah membenarkan
perbuatannya.
BANTAHAN:
Dari mana kalian
tahu kalau dia mengkabarkan Umar radhiyallaahu ‘anhu tentang istisqo ini
? sementara riwayat-riwayat yang kami dapatkan tiada lain kecuali mengkabarkan
sebuah mimpi. Barang siapa mengira selain itu, maka buktikan dalilnya !
Tidak ditemukan dalam
kisah tersebut yang menunjukkan bahwa Umar radhiyallaahu ‘anhu membenarkan
apa yang di lakukan lelaki itu.
Dan dalam kisah tersebut
tidak ada nash yang menyatakan bahwa Umar mengetahui perbuatan orang tersebut,
yaitu pergi ke kuburan dan beristisqa (minta hujan) di sana, bahkan yang nampak
jelas dalam kisah tersebut orang itu hanya memberi informasi tentang mimpinya
saja, sebagai bukti atas dasar tersebut beliau Umar radhiyallaahu ‘anhu
hanya menjawab tentang wasiat Nabi ﷺ yang mengatakan:
«وَقُلْ لَهُ: عَلَيْك الْكَيْسُ، عَلَيْك الْكَيْسُ»
Artinya:”Katakan juga
padanya: hendaknya kamu berlaku bijak (cerdik dan cerdas) ! hendaknya kamu
berlaku bijak !."
Sikap Umar dan jawabannya:
«فَبَكَى عُمَرُ، ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لاَ
آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ».
Artinya:”Umar pun
menangis kemudian berkata,”Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa
yang aku tidak mampu melakukannya."
Al-Imam Muhammad bin
Idris asy-Syaafi’iy dalam kitab ”الأم” berkata:
"لا يُنْسَبُ إِلَى سَاكِتٍ قَوْلُ
قَائِلٍ، وَلا عَمَلُ عَامِلٍ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلَى كُلٍّ قَوْلُهُ
وَعَمَلُهُ"
“Orang diam itu tidak
bisa dinisbatkan kepadanya sebuah perkataan seperti orang yang berkata-kata,
dan tidak juga amalan seperti orang yang mengamalkan. Perkataan dan amalan itu
hanya bisa dinisbatkan kepada masing-masing yang melakukannya”.
Referensi : Asy-Syafi'i,
Muhammad Ibnu Idris, Al-Umm, 1/152, Dar al-Ma'arif, Beirut, 1381 H. Dan
lihat pula : As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadzair, hal. 142.
===****===
BOLEHKAH MIMPI DI JADIKAN
SEBAGAI DASAR PIJAKAN HUKUM ???
Terutama yang berkaitan
dengan akidah ?
JAWABANNYA:
Mimpi tidak bisa jadikan
dasar pijakan hukum, kecuali mimpi para Nabi 'alaihimus salaam karena mimpi
mereka adalah wahyu seperti yang telah di jelaskan oleh para ulama.
Maka kesimpulannya bahwa
kisah tersebut secara riawayat sangatlah lemah. Dan kalau seandainya sahih,
maka tetap saja secara diroyah tidak bisa di jadikan hujjah, apa lagi yang
berkaitan dengan masalah aqidah, masalah yang sangat sensitif dan urgent.
DALAM RIWAYAT IMAM BUKHORY
Hadits Malik Ad-Dar ini
diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dalam kitabnya At-Tarikh al-Kabir 7/304 no.
1295 dengan ringkas hanya menyebutkan kata-kata Umar bin Khaththab saja,
berikut ini texs alinya:
قَالَ عَلِيٌّ: عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ خَازِمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ
مَالِكِ بْنِ عِيَاضَ الدَّارِ أَنَّ عُمَرَ قَالَ فِي قَحْطٍ: «يَا رَبَّ لَا
آلُو إلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ»
Ali telah berkata: dari
Muhammad bin Khozim dari Abu Soleh dari Malik bin 'Iyadl Ad-Dar (Malik Ad-Dar):
bahwa Umar berkata di musim kekeringan:
“Ya Rabb, aku
tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya."
Dalam riwayat Imam
Bukhory ini tidak disebutkan kisah kedatangan lelaki tersebut ke kuburan Nabi ﷺ, sudah barang tentu kisah itu adalah
tambahan yang mungkar yang dibikin-dibikin, apalagi kisah itu sangat berlawanan
dengan kisah yang jauh lebih sahih yang telah di riwayatkan Imam Bukhory,
yaitu: jumhur sahabat bertawassul dengan Abbas paman Nabi ﷺ dan meninggalkan bertawassul dengan Nabi ﷺ setelah wafat.
JAWABAN:
Memang tambahan itu tidak
disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu
tidak ada. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya,
bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu
menyebutkan selengkapnya di tempat lain.
Sedangkan tambahan itu
sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya
dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi,
tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh
sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.
BANTAHAN:
Kalaupun Imam Bukhary itu
meringkas sebuah hadits, akan tetapi beliau tanpa mengurangi kandungan makna
hadits secara keseluruhan. Beliau biasa memecah-mecah hadits yang panjang
kemudian beliau menyebarkannya pada bab-bab sesuai dengan tarjamah bab tersebut.
Jadi hadits itu tetap utuh ada pada satu kitab. Lain halnya kisah Malik Ad-Dar
ini, lagi pula kalau memang sahih, tidak mungkin Imam Bukhory meringkasnya sesingkat
itu, sehingga moment pentingnya tidak di ketahui. Hal ini semakin yakin akan
kemungkaran tambahan tersebut menurutnya.
AL-HAMDULILLAH SELESAI.
وَصَلَّى ٱللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِينَ. وَٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ.
DI KUTIP DARI BUKU ”MARI
BERTAWASSUL” KARYA ABU HAITSAM FAKHRY.
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
0 Komentar