Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

JANGAN BERDEBAT ! DAN HINDARILAH PERDEBATAN ITU!


Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Amr disebutkan bahwa Rasulullah SAW melewati para sahabatnya, ketika itu mereka sedang berselisih mengenai takdir. Maka memerahlah wajah beliau bagaikan buah delima yang terbelah karena murka.

Beliau bersabda:

بِهَذَا أُمِرْتُمْ ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟ تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ

“Apakah untuk ini kalian diperintahkan atau apakah untuk ini kalian diciptakan? Kalian membenturkan sebagian ayat Al-Qur’an dengan sebagian yang lain. Gegara hal semacam inilah umat-umat sebelum kalian itu binasa!”

Abdullah bin Amr lalu berkata, “Aku tidak terlalu menyesal dengan majelis yang tidak aku ikuti bersama Rasulullah sebagaimana menyesalnya diriku karena majelis tersebut (tempat bersengketa tentang Al-Qur’an dan takdir) dan ketidakhadiranku di situ.” (HR Ibnu Majah)

Dalam riyawat yang lain, dari Abu Hurairah r.a ia berkata,

“Rasulullah SAW keluar kepada kami ketika kami sedang berselisih dalam masalah takdir. Beliau lalu marah sekali hingga memerah wajah beliau. Pipi beliau seakan-akan buah delima yang dibelah. Beliau bersabda:

أَبِهَذَا أُمِرْتُمْ أَمْ بِهَذَا أُرْسِلْتُ إِلَيْكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الْأَمْرِ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلَّا تَتَنَازَعُوا فِيهِ

“Apakah dengan ini kalian diperintahkan atau apakah dengan ini aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya binasalah orang-orang sebelum kalian ketika mereka berselisih dalam perkara ini. Aku perintahkan kepada kalian untuk tidak berselisih di dalamnya.” (HR. Tirmidzi dihasankan oleh Imam Al Albani)

Asy-Syaikh Ubaidillah bin Muhammad al-Mubarokfuriy dalam kitabnya Muroo’atul Mafaatiih Syarah Misykatul Mashoobiih (1/201) berkata :

فالمقصود من الحديث الزجر والمنع من التكلم في القدر والخوض فيه لعدم الفائدة فيه سوى السؤال والمناقشة يوم القيامة

Maksud dari hadits adalah larangan dari membincangkan masalah qodar dan mendalam-ndalam padanya, karena tidak ada faedahnya, selain pertanyaan dan perdebatan pada hari kiamat-selesai-.

Oleh karena itu sebaiknya kita tinggalkan perdebatan dalam masalah agama yang tidak ada faedah didalamnya. Bahkan sekalipun kita di pihak yang benar, tetap meninggalkan perdebatan adalah jalan yang terbaik.

Nabi SAW memberikan garansi kepada umatnya yang mampu meninggalkan perdebatan, sekalipun ia benar dengan rumah di surga. Dari Abu Umamah RA ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

"Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan PERDEBATAN meskipun benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan meskipun hanya bergurau, Dan aku juga menjamin rumah di syurga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik." ( HR. Abu Daud : 4167 dihasankan oleh Imam Al Albani)

Syahid dari hadits ini yang terkait dengan al-Miroo’, bahwa Nabi SAW memotivasi umatnya untuk meninggalkan miroo’, dan mengganjarnya dengan pahala yang besar .

Dan berikut ini hadits lain yang melarang al-miroo / perdebatan :

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Huroiroh RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

لا يُؤْمِنُ العَبْدُ الإيمانَ كُلَّه حتى يَتْرُكَ الكذِبَ فِي المِزَاِح ، ويَتْرُكَ المِرَاءَ وإنْ كَانَ صَادِقًا

Tidak beriman seorang hamba dengan keimanan yang menyeluruh, hingga ia meninggalkan dusta, sekalipun bercanda dan meninggal al-Miroo’, sekalipun ia jujur

(didhoifkan oleh Syaikh Syu’aib Arnauth).

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

لا تُمَارِ أَخَاكَ

Janganlah berdebat dengan saudaramu (didhoifkan oleh Imam Al Albani).

Dalam hadits ini dan yang semisalnya Nabi SAW mengingatkan semua perkara yang tidak layak disandang seorang Muslim dan tidak pantas menjadi akhlaknya. Diantara akhlak yang tidak diridhoi adalah al-Miroo’, maksudnya secara bahasa adalah meluapkan kemarah kepada yang diajak berdebat. Ini berasal dari kata “مريت الشاة” jika engkau memeras susunya.

Hakikat al-Miroo’ yang dilarang adalah seorang mencela ucapannya orang lain, untuk menyudutkannya, tidak ada tujuan lain, kecuali untuk meremehkan ucapannya yang berbeda dengannya. Sekalipun orang yang melakukan perbuatan ini diatas kebenaran, namun tidak boleh untuk menempuh metode ini, karena tidak ada maksud dibelakang itu, selain meremehkan selain dan mengalahjannya.

Adapun al-Jidaal adalah berasal dari kata al-Jadal, yang secara bahasa artinya mengalahkan lawan dan mampu menguasainya. Hakikat jidal dalam istilah syar’i adalah mengcounter ucapan lawan dari maksudnya yang batil. Jadal diperintakan, jika dengan keadilan dan untuk menampakkan kebenaran.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Iidhooh berkata :

“ketahuilah semoga Allah memberikan taufik kepada kita, bahwa mengenal ilmu jidal tidak hanya cukup dengan teori, tanpa ada praktek. Karena hal tersebut menjelaskan shahihnya dalil dari kerusakannya, secara tahrir dan taqrir, seandainya ia meninggalkan ilmu ini, niscaya akan hilang dan tidak terjaga” –selesai-.

Para ulama telah membahas tentang jidal dan mujadilah sangat banyak sekali, mereka telah menulis banyak karya tentang hal ini, telah dijelaskan pokok-pokok dan tujuannya, telah dibakukan adab dan akhlaknya.

Diantaranya adalah pada yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Iidhooh :

“yang pertama kali wajib dimulai dengannya adalah bagusnya niat dalam menampakkan kebenaran, mengharapkan pahala disisi Allah, maka jika terbetik dalam dirinya untuk berpaling dari tujuan yang benar, hendaknya ia tahan dirinya sekuat mungkin, jika tidak bisa maka tinggalkan perdebatan dalam majelis tersebut…..

Kemudian pada akhir jawabannya, asy-Syaikh berkata :

“adapun jidal maka ada 2 kondisi,

Yang pertama : jidal yang terpuji yaitu dalam rangka menjelaskan kebenaran dan menampakkannya dan memadamkan kebatilan dan merontokkannya, ini adalah perkara yang diperintahkan oleh dalil-dalil syar’i dan telah dilakukan oleh ulama yang dulu maupun yang sekarang.

Yang kedua : jidal yang tercela yang tujuannya adalah untuk mengalahkannya dan membela dirinya serta semisalnya, ini yang dikandung oleh dalil-dalil syar’i yang melarang perdebatan, dan jidal ini seperti al-Miroo’, yang keduanya haram.

Mungkin seorang dapat mengetahui apakah itu adalah al-Miroo’ atau Jidal dari nada pembicaraannya dan kesesuainnya dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil yang shahih. Sehingga itu disebut jidal jika dalam rangka menjelaskan keberan dan menerima dalil yang shahih serta mengamalkan konsekuansinya, kecuali jika ada disisinya dalil yang lebih kuat yang menentangnya.

Oleh karena itu engkau dapati kebanyakan orang yang berdebat dengan kebenaran akan rujuk kepada ucapannya jika jelas bagi mereka kesalahannya dan mengambil ucapan yang lebih kuat, karena tujuannya adalah mendapatkan kebenaran, bukan membela dirinya.

Adapun orang yang al-Miroo, engkau akan mendapatinya ngeyel diatas pendapatnya tanpa dalil, tidak akan menerima dalil, kecuali yang sesuai dengan pendapatnya, oleh karena itu ia akan memaksakan membantah dalil dan takwil serta memalingkan dalil-dalil shohih dan yang semisal dengannya, yang menunjukkan ia tidak menghendaki kebenaran, tujuannya adalah membela dirinya dan meremehkan orang lain” – selesai

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين . والحمد لله رب العالمين
Di bawah bimbingan Abu Haitsam Fakhry.




Posting Komentar

0 Komentar