Studi HADITS ketika tersesat jalan, berseru lah:
“WAHAI PARA HAMBA ALLAH TUNJUKI LAH AKU JALAN”
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
>> DOWNLOAD PDF <<
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
Di Kutip dari buku karya Abu Haitsam Fakhri "Mari Bertawassul”.
*****
بسم الله الرحمن الرحيم
PENDAHULUAN:
Dalam menyikapi perbedaan hukum tentang bertawassul dengan orang yang sudah wafat dengan berkeyakinan: hanya sebatas sebagai sebab agar Allah SWT berkenan mengabulkan do'anya. Jadi pada hakikatnya Allah lah yang memiliki kemampuan mengabulkan doa.
Syeikh Ibnu Taimiah setelah menyebutkan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah tawassul jenis ini, beliau berkata:
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إنَّ مَنْ قَالَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَقَدْ كَفَرَ وَلَا وَجْهَ لِتَكْفِيرِهِ فَإِنَّ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ خَفِيَّةٌ لَيْسَتْ أَدِلَّتُهَا جَلِيَّةً ظَاهِرَةً وَالْكُفْرُ إنَّمَا يَكُونُ بِإِنْكَارِ مَا عُلِمَ مِنْ الدِّينِ ضَرُورَةً أَوْ بِإِنْكَارِ الْأَحْكَامِ الْمُتَوَاتِرَةِ وَالْمُجْمَعِ عَلَيْهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَاخْتِلَافُ النَّاسِ فِيمَا يُشْرَعُ مِنْ الدُّعَاءِ وَمَا لَا يُشْرَعُ كَاخْتِلَافِهِمْ هَلْ تُشْرَعُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ عِنْدَ الذَّبْحِ ؛ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ مَسَائِلِ السَّبِّ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ.
“Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini adalah masalah yang samar-samar, dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum (diketahui) secara darurat merupakan bagian dari agama secara pasti atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma') atau semisal itu.
Dan perbedaan manusia tentang cara berdoa yang di syariatkan dan yang tidak di syariatkan, sama seperti perbedaan mereka tentang hukum membaca sholawat kepada Nabi SAW ketika menyembelih binatang sembelihan. dan itu bukan termasuk dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan mencaci maki salah seorang dari kaum muslimin”. (Majmu' Fatawa 1/106)
Di antara dalil-dalil yang di jadikan hujjah oleh sebagian saudara-saudara kita yang berpendapat dibolehkannya bertawassul dan beristighotsah dengan orang-orang sudah wafat, yaitu hadits berikut ini.
Sebuah hadits yang kandungannya menjelaskan bahwa Nabi SAW menganjurkan umat nya ketika tersesat jalan dipadang pasir, di hutan belantara atau tempat lainya agar meminta bantuan kepada para malaikat tertentu untuk menunjukkan jalan.
[Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah kepada kita dan saudara-sauadara kita yang berbeda pendapat ke jalan yang Allah ridhoi, amiin yaa robbal ‘aalamiin!]
PEMBAHASAN HADITS:
Hadits tsb terdapat tiga riwayat dari tiga sahabat RA:
RIWAYAT PERTAMA:
Hadits Ibn 'Abbas RA bahwa Rosulullah SAW bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً فِي الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ ، يَكْتُبُونَ مَا سَقَطَ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ ، فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاةٍ فَلْيُنَادِ: أَعِينُوا عِبَادَ اللَّهِ!
“Sesungguhnya Allah memilki para malaikat di bumi selain malaikat hafadzah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian di timpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku (tunjukkan jalan), wahai para hamba Allah”.
(HR. Al-Bazzaar dalam Musnadnya no. 4922 (11/181). Dan diriwayatkan pula oleh Imam Baihaqi dalam Sya’bul Imaan dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya.
Al-Bazzaar berkata:
"هَذَا الْكَلامُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَن النَّبِيّ ﷺ بِهَذَا اللَّفْظِ إلاَّ مِن هَذَا الْوَجْهِ بِهَذَا الإِسْنَادِ"
“Perkataan ini kami tidak mengetahuinya diriwayatkan dari Nabi SAW dengan lafadz seperti ini kecuali dari arah yang satu ini dengan sanad ini”.
Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaaid 10/132 berkata : " Para perawinya tsiqoot”.
Ibnu ‘Allan dalam (الفتوحات الربانية) 10/132 mengutip perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar:
Artinya : ini adalah hadits yang sanadnya Hasan , gharib sekali ".
Dihasankan pula oleh al-Hafidz as-Sakhoowi dalam (الابتهاج بأذكار المسافر والحاج hal.39).
Dalam riwayat lain masih dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz:
“إن لله ملائكةً في الأرض يكتبون ما يقع في الأرض من ورق الشجر، فإن أصابت أحدًا منكم عرجة، أو احتاج إلى عون بفلاة من الأرض، فليقل: أعينوا عباد الله رحمكم الله، فإنه يعان إن شاء الله”.
“Sesungguhnya Allah memilki para malaikat di bumi yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian di timpa عرجة (kaki jadi pincang) atau butuh pertolongan di suatu padang yang luas maka hendaklah mengatakan: ‘ tolonglah aku wahai para hamba Allah, semoga Allah merahmati kalian’, Maka sungguh dia akan di tolong, insya Allah”. (HR. Al-Baihaqy dalam kitab”الآداب”hal. 269 dan Syu'ab al-Iiman 10/140-141).
RIWAYAT KE DUA:
Hadits‘Utban bin Ghozwaan RA dari Nabi SAW bersabda:
“إذا أضل أحدكم شيئًا، أو أراد أحدكم عونًا، وهو بأرض ليس بها أنيس، فليقل: يا عباد الله، أغيثوني، يا عباد الله، أغيثوني، فإن لله عبادًا لا نراهم”.
قال الطبراني: “وقد جُرِّب ذلك".
“Jika salah seorang diantara kalian kehilangan sesuatu, atau salah seorang diantara kalian menginginkan pertolongan, dan dia sedang berada di atas bumi yang tidak ada keramahan (menyeramkan), maka katakanlah: wahai para hamba Allah tolongilah aku! wahai para hamba Allah tolongilah aku! Maka sesungguhnya Allah swt memiliki para hamba yang kita tidak bisa melihatnya”
Ath-Thabraany berkata: “Dan sungguh itu telah teruji”. (المعجم الكبير)17/117.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabraany dalam (المعجم الكبير) 17/117.
RIWAYAT KE TIGA:
Hadits Abdullah bin Mas’ud RA, bahwa Rosulullah SAW bersabda:
“إذا انفلتت دابَّة أحدكم بأرض فلاةٍ فليناد: يا عباد الله ، احبسوا! يا عباد الله، احبسوا! فإن لله حاضرًا في الأرض سيحبسه".
“Jika binatang tunggangan salah seorang diantara kalian lepas di padang belantara, maka seru lah: wahai para hamba Allah, tahanlah! wahai para hamba Allah, tahanlah! Maka sesungguhnya bagi Allah swt ada (malaikat) yang hadir di bumi yang akan menahannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dlm Mushonnaf nya (no. 5269), Thabrany dlm (المعجم الكبير 10/217) dan Ibnus Sinny dlm (عمل اليوم والليلة 508).
Hadits ini adalah dalil akan dibolehkannya bertawassul dan beristighotsah dengan orang-orang yang sudah meninggal, serta minta bantuan kepada nya. Terutama kepada Nabi Muhammad SAW dan orang-orang shaleh yang telah wafat.
BANTAHAN:
Pertama: Hadits ‘Utban bin Ghozwaan RA (عتبة بن غزوان)
Ibnu Hajar al-Haitsamy berkata:
“رجاله وثقوا على ضعف في بعضهم، إلا أن زيد بن علي لم يدرك عتبة”.
“Para perawi nya tsiqoot, tapi ada yang dhoifnya sebagian, kecuali Zaid bin ‘Ali tidak pernah ketemu ‘Utbah”. (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد) 10/132.
Kedua: Hadits Abdullah bin Mas’ud RA,
Al-Haitsami dalam (مجمع الزوائد 10/132) berkata: “di dalam nya terdapat Ma’ruf bin Hasan, dan dia adalah dhoif”.
Dan as-Sakhowi dalam (الابتهاج بأذكار المسافر والحاج hal. 39) berkata: “Dan sanadnya dhoif”.
Riwayat ini juga di dhoifkan oleh syeikh al-Albaany (سلسلة الأحاديث الضعيفة 2/108).
Ketiga: Hadits Ibnu Abbas RA.
Ada yang mengatakan bahwa sanad hadits Ibnu ‘Abbaas ini terdapat 3 illat:
Illat pertama:
Sanad hadits ini berporos pada satu orang yaitu pada Usamah bin Zaid al-Laitsy al-Madany. Dia termasuk para perawi yang diperselisihkan antar sesama ulama Jarh wat-Ta’diil. Sebagian mereka ada yang men tsiqoh kannya, dan sebagian lagi men dhoif kannya. Kesimpulannya dalam hafalannya (حفظه) dan keakuratannya (ضبطه) diperdebatkan.
Imam Ahmad berkata:
“إن تدبرت حديثه ستعرف النكرة فيها”.
“Jika kamu tadabburi hadits nya maka kamu akan mengetahui kemungkaran di dalamnya”. [Selesai dari al-Kaamil Fii Dhu'afaa ar-Rijaal 2/76]
Al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata tentang dia:
“صَدُوق يهم ، اخْتلف قَول يحيى الْقطَّان فِيهِ ، وَقَالَ أحْمَد: لَيْسَ بِشَيْء ، وَقَالَ النَّسَائِيّ: لَيْسَ بِالْقَوِيّ ، وَقَالَ ابْن عدي: لَيْسَ بِهِ بَأْس”.
“Dia itu Orang yang jujur tetapi mempunyai wahm [yakni: menunjukkan kejujuran rawi tetapi tidak bisa dipastikan keakuratannya (ضبطه)], sementara perkataan Yahya bin Qoththon berbeda-beda tentang dia. Dan Imam Ahmad berkata: “Tidak ada apa-apanya”. [ Selesai dari al-Mughni Fii adh-Dhu'afaa 1/66]
Dan an-Nasaai berkata: “Dia tidak kuat”. Dan Ibnu ‘Adiy berkata: “Tidak ada cacat padanya”.
Al-Barraqi berkata: “Dia termasuk orang yang lemah”. Dan dia berkata pula: “Yahya telah berkata kepadaku: أنكروا عليه أحاديث / mereka mengingkari hadits-haditsnya”. (baca: هذه مفاهيمنا hal. 50)
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Taqriib (98) berkata: “صدوق يهم”Orang yang jujur tetapi mempunyai wahm”.
Adapun orang-orang yang mentautsiqnya, diantaranya Yahya bin Ma’in dalam riwayat Abu Ya’la, dan begitu juga dalam riwayat ‘Abbaas.
Namun dalam riwayat ad-Daarimy dari Yahya bin Ma’iin, dia berkata: “ليس به بأس / tidak mengapa dengannya”.
Begitu juga Ibnu ‘Adiy, dia berkata: “ليس بحديثه بأس / tidak mengapa dengan haditsnya“. Ibnu Syahiin telah men tautsiq nya, begitu juga Ibnu Hibban tapi ada kata tambahan: “يخطئ / suka salah-salah hafalannya”.
Kesimpulannya: bagi yang mencermati pendapat-pendapat para ulama hadits tentang Usamah bin Zaid al-Laitsy al-Madany, maka tahu bahwa apa yang dia riwayatkan secara sendirian, maka riwayatnya ditolak, tapi kalau ada mutaba’ah maka diterima. Dan diantara hadits-hadits yang dia riwayatkan secara sendirian adalah hadits Ibnu ‘Abbaas ini. (baca: هذه مفاهيمنا hal. 50)
Illat kedua:
Haatim bin Isma’iil, perawi dari Usaamah bin Zaid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Taqriib (98) berkata: “صحيح الكتاب صدوق يهم”Shahih catatannya, dia Orang yang jujur tetapi mempunyai wahm [yakni: menunjukkan kejujuran perawi tetapi tidak bisa dipastikan keakuratannya (ضبطه)]
Syeikh al-Baany berkata: “Ja’far bin ‘Aun telah menyelisihinya, maka dia berkata: telah bercerita kepada kami Usamah bin Zaid …. maka dia meriwayatkannya MAUQUF kepada Ibnu ‘Abbaas. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dlm شعب الإيمان 2/455).
Sementara Ja’far bin ‘Aun lebih tsiqoh dibanding Hatim bin Ismail. Meskipun kedua duanya perawi yang dipakai Bukhori dan Muslim, namun Ja’far bin ‘Aun ini tidak ada yang men jarh nya sama sekali, berbeda dengan Hatim bin Ja’far, maka an-Nasaaii berkata tentang Hatim ini: “ليس بالقوي dia tidak kuat”.
Dan yang lainnya berkata: “فيه غفلة”.
Oleh karena itu al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “صحيح الكتاب صدوق يهم”, tapi kalau tentang Ja’far beliau hanya mengatakan: “صدوق”saja. (baca: هذه مفاهيمنا hal. 50)
Illat yang ketiga:
Para perawi dari Usamah bin Zaid, mereka berselisih padanya dalam hadits ini, maka diantara mereka ada yang meriwayatkan darinya secara marfu’ dari perkataan Nabi SAW. Dan sebagian lagi ada yang meriwayatkannya mauquf kepada Ibnu Abbas, yakni dari perkataannya bukan dari Nabi SAW.
Sementara yang meriwayatkannya secara mafu’ hanya satu orang saja, yaitu Hatim bin Isma’il, yaitu yang disebutkan oleh Al-Bazzaar dalam Musnadnya no. (4922).
Sedangkan ada empat perawi lainnya menyelisihnya, mereka itu adalah sbb:
- Abdullah bin Farroukh, riwayatnya disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam Sya’bul Iman 1/325.
- Rouh bin ‘Ubadah, riwayatnya disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam Sya’bul Iman 10/140.
- Ja’far bin ‘Aun, riwayatnya disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam Sya’bul Iman 10/140.
- Abu Kholid al-Ahmar riwayatnya disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 6/91.
Keempat-empatnya meriwayatkan dari Usamah bin Zaid al-Laitsy dengan sanad mauquf kepada Ibnu ‘Abbaas.
Maka tidak ada keraguan lagi bahwa riwayat Mauquf di sini lebih rojih ; karena jumlah perawinya lebih banyak, lebih akurat, lebih jauh dari melakukan kesalahan dan wahm.
Oleh sebab itu Syeikh al-Baany dalam (سلسلة الأحاديث الضعيفة 2/112) mentarjih mauquf pada Ibnu ‘Abbaas.
Imam asy-Syaafii berkata:
“وَالْعَدَدُ أَوْلَى بِالْحِفْظِ مِنَ الْوَاحِدِ”انتهى
“Berbilang lebih utama dalam hafalan dari pada tunggal / satu orang”. (Baca: “اختلاف الحديث”hal. 177)
Al-Hafidz Syamsuddin adz-Dzahabi berkata:
“وإن كان الحديثُ قد رواه الثَّبتُ بإسنادٍ ، أو وَقَفَهُ ، أو أرسلَهُ ، ورفقاؤه الأثباتُ يخالفونه ، فالعبرةُ بما اجتمع عليه الثقات ، فإنَّ الواحد قد يَغلَط ، وهنا قد ترجَّح ظهور غلطه فلا تعليل ، والعبرةُ بالجماعة”.
“Jika ada seorang perawi tsabat (kokoh dan dipercaya) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad marfu’ atau mauquf atau mursal, sementara beberapa perawi tsabat lainnya menyelisihinya, maka yang dijadikan ‘ibroh adalah riwayat yang disepakati para perawi tsiqoot ; karena perawi tsabat yang cuma satu orang terkadang melakukan kesalahan, dan dalam kondisi seperti ini telah betul-betul nampak melakukan kesalahan yang nyata, maka tidak alasan lagi, dan yang dijadikan patokan adalah riwayat jamaah”. (Baca: “الموقظة”hal. 52)
Maka yang rojih dalam hadits ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu ‘Abbas, bukan dari perkataan Nabi SAW.
JAWABAN terhadap bantahan di atas:
Jika seandainya kami menerimanya bahwa hadits ini mauquf dari perkataan Ibnu ‘Abbas, bukan dari perkataan Nabi SAW, namun demikian Imam Baihaqi berkata:
“هَذَا مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ ، مُسْتَعْمَلٌ عِنْدَ الصَّالِحِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِوُجُودِ صِدْقِهِ عِنْدَهُمْ فِيمَا جَرَّبُوا”. انتهى
“Hadits ini mauquf kepada Ibnu Abbaas, namun banyak diamalkan oleh orang-orang sholeh dari kalangan Ahli Ilmu ; karena sudah terbukti pada mereka setelah mereka mencobanya”. (Baca kitab”الآداب”hal. 269)
Dan salah seorang dari para ulama yang mengamalkan hadits ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Seperti yang diriwayatkan oleh putranya, yaitu Abdullah bin Imam Ahmad, beliau berkata:
“سمعت أبي يقول: حججْت خمس حجج ، منها ثنتين راكبًا ، وثلاثة ماشياً أو ثِنْتَيْنِ ماشياً وثلاثة راكبًا ، فضللت الطَّرِيق في حجَّة ، وكنت مَاشِيا ، فجعلت أقول: يا عباد الله دلوني على الطَّرِيق ، فلم أزل أقول ذلك حتى وقفتُ على الطريق”. انتهى
Aku mendengar ayahku berkata: “Aku telah pergi haji lima kali, dua diantaranya berkendaraan dan tiga jalan kaki. Atau dua jalan kaki dan tiga naik kendaraan. Maka dalam salah satu perjalanan haji ku, aku tersesat, saat itu aku berjalan kaki, maka aku menyeru: Wahai para hamba Allah tunjukkan lah aku ke jalan! Dan aku ucapkan kata-kata itu terus menerus sampai aku berada diatas jalan”.
(Di nukil dari”مسائل الإمام أحمد”riwayat Putra beliau Abdullah hal. 245. Dan lihat pula”تاريخ دمشق”karya Ibnu ‘Asaakir 5/298).
Al-Imam an-Nawawi dlm kitab (الأذكار hal. 224) berkata:
"حكى لي بعض شيوخنا الكبار في العلم أنه أفلتت له دابّة -أظنُّها بغلة- وكان يَعرفُ هذا الحديث، فقاله، فحبسَها الله عليهم في الحال، وكنتُ أنا مرّةً مع جماعة، فانفلتت منها بهيمةٌ وعجزوا عنها، فقلتُه، فوقفت في الحال بغيرِ سببٍ سوى هذا الكلام".
Telah bercerita pada ku sebagian dari para syeikh kibaar kami bahwa binatang tunggangan dia pernah lepas / kabur – kalau gak salah binatang baghlah -, dan dia tahu hadits ini, maka dia pun mengucapkan nya, maka seketika itu juga Allah swt menahannya. Dan aku sendiri pernah satu kali bersama jemaah, maka binatang ternak dari meraka kabur, mereka tidak mampu menangkapnya, maka aku pun mengucapkannya, maka seketika itu juga berhenti tanpa adanya sebab selain ucapan ini”.
BANTAHAN:
Ada beberapa batasan Istighotsah yang masuk dalam katagori Istighotsah Syirik, diantaranya yaitu: “meminta kepada selain Allah yang dia tidak mampu melakukannya kecuali hanya Allah saja yang mampu”. Adapun istighotsah kepada makhluk yang ia mampu melakukannya, maka yang demikian itu sama sekali bukan termasuk kesyirikan.
Dan Hadits tsb diatas didalam nya mengkabarkan tentang adanya golongan dari malaikat, dan mereka hidup dalam kehidupan yang alami sejalan dengan kodrat dan kemampuan yang telah Allah takdirkan untuk mereka. Allah swt telah menempatkan mereka di bumi yang diantara tugasnya untuk menolong orang-orang yang tersesat dengan cara membimbing dan menunjukkan nya ke arah jalan. Barang siapa meminta kepada mereka untuk hal tsb, maka dia telah minta bantuan sesuatu kepada makhluk yang hidup yang punya kemampuan atasnya dan hakikatnya Allah swt menunjukkannya lewat mereka.
Berbeda dengan minta bantuan kepada makhluk yang tidak punya kemampuan untuk melakukan hal yang diinginkan oleh peminta nya. Contohnya: minta bantuan atau pertolongan kapada makhluk yang sudah mati atau minta bantuan kepada yang ghaib (yakni tidak hadir ditempat) untuk menyembuhkan penyakitnya atau agar dianugerahi anak atau memudahkan istrinya dalam melahirkan atau minta Ilmu pellet, pengasihan dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang diluar kemampun makhluk tsb. Maka yang demikian itu perbuatan syirik.
Syeikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berkata:
“Al-Istighootsah artinya meminta al-ghouts (الغوث) yang artinya menghilangkan kesulitan. Sama seperti kata al-istinshoor (الانتصار) artinya meminta kemenangan, begitu juga al-isti’aanah (الاستعانة) artinya meminta bantuan. Dan boleh meminta bantuan kepada makhluk dalam perkara-perkara yang dia mampu melakukannya. Seperti yang Allah swt firmankan:
(وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ)
“Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama, maka wajib memberi pertolongan”, (QS Al-Anfal: 72).
Dan firman Allah SWT yang lain:
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
’Maka orang dari kaumnya meminta pertolongan kepada Musa, untuk mengalahkan orang yang merupakan musuhnya.’ [al-Qashash: 15].
Dan firman lainnya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan saling tolong menolong lah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan”.
Adapun meminta sesuatu diluar kemampuan nya kecuali hanya Allah, maka tidak boleh meminta nya kecuali hanya kepada Allah. (Majmu’ al-Fataawaa 1/103).
Dan beliau berkata pula di halaman lain (Majmu’ al-Fataawaa 1/329): “Adapun meminta sesuatu diluar kemampuan nya kecuali hanya Allah, maka tidak boleh meminta nya kecuali hanya kepada Allah, maka tidak boleh memohon kepada selain Allah swt: “ampunilah dosa-dosa aku! turunkan hujan untuk kami!, berilah kami kemenangan terhadap orang-orang kafir! berikan lah hidayah pada hati kami! …. Dan yang semisalnya. Adapun segala sesuatu yang manusia mampu melakukannya, maka tidak termasuk pada bab ini ….”.
Dan pada halaman (1/344): “Dan telah berlalu sunnah bahwa orang yang hidup boleh dimintai doa darinya, sama seperti halnya dimintai bantuan sesuatu yang ia mampu menunaikannya. Adapun makhluk ghaib dan orang mati tidak bisa dimintai sesuatu darinya“.
Dan Syeikh Sholeh Aali al-Syeikh berkata dalam kitabnya [هذه مفاهيمنا (ص: 56)]:
“Dan Hadits diatas tidak menunjukkan seperti yang didakwa kan sebagian orang yang mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil bolehnya meminta bantuan kepada orang-orang yang sudah mati dan yang semisalnya, akan tetapi dalam hadits jelas sekali menyatakan bahwa makhluk yang diajak berdialog oleh orang yang tersesat jalan adalah para malaikat, mereka hidup, mereka mendengar akan perkataan orang yang tersesat itu, mereka tahu jika orang tersesat itu mengajak bicara dengannya, mereka mampu memenuhi permohonannya dengan izin Robb mereka ; karena mereka hidup, memungkinkan untuk menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, mereka adalah para hamba Allah, mereka hidup, mereka mendengar, mereka bisa mengabulkannya dengan kemapuan yang telah Allah berikan padanya, yaitu kemampuan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang tersesat di tanah lapang [الفلاة].
Maka barang siapa yang menjadikan hadits ini sebagai dalil akan boleh nya menyeru atau memanggil orang tertentu - yang sudah mati – maka sungguh dia telah berdusta kepada Rosulullah saw. Dan dia benar-benar tidak memperhatikan dan mentadabburi perkataan Nabi saw, dan yang demikian itu terutam Ahlul Ahwaa’.
Jika telah jelas permasalahannya: Maka atsar (yakni hadits org tersesat jalan) ini masuk dalam katagori bacaan-bacaan dzikir dan doa-doa (الأذكار) yang boleh bermudah-mudahan mengamalkannya meskipun atsar tsb dhoif, selama bacaan tsb berjalan diatas pondasi-pondasi Syariah (جارية على الأصول الشرعية) dan tidak menyelisihi nash-nash al-Quran dan hadits-hadits Nabi saw.
Kemudian kata-katanya nya harus khusus sesuai dalil yang ada [yakni (عباد الله أعينوني) wahai para hamba Allah bantulah aku …!] ; karena ini adalah masalah aqidah yang tidak boleh di qiyaskan kepada yang lain, karena masalah-masalah aqidah itu harus dibangun diatas dalil [العقائد مبناها على التوقيف]
KESIMPULANNYA:
Kesimpulan dari perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syeikh Sholeh Aali al-Syeikh dan lainnya:
“Bahwa segala sesuatu yang diluar kemampuan selain Allah, maka itu adalah bagian dari kekhususan rububiyah Allah swt [من خصائص ربوبيته], seperti: menghidupkan, mematikan, rizki …. dsb, maka ini semua tidak boleh memintanya kepada selain Allah SWT.
Maka barang siapa beristighotsah dalam perkara-perkara tsb kepada selain Allah, maka dia telah menyekutukan Allah SWT.
Dan adapun perkara-perkara yang makhluk itu melakukannya, maka tidak mengapa meminta bantuan kepadanya:
Dengan demikian bertighotsah kepada para makhluk itu dibolehkan jika memenuhi syarat-syarat sbb:
- Makhluk tsb masih hidup, hadir, mendengar, bisa memahami dan punya kemampuan untuk menunaikannya.
- Tidak ada ritual, amalan-amalan atau syarat-syarat yang mengandung unsur kesyirikan.
Berangkat dari hadits ini dan kisah Nabi Sulaiaman AS, maka Syeikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fataawaa 11/307 menjelaskan tentang:
“HUKUM MANUSIA MEMINTA BANTUAN KEPADA JIN”
Beliau telah memperinci permasalahan ini sbb:
“Bahwa hubungan antara jin dan manusia terdapat beberapa hal:
- Pertama: Barang siapa orangnya telah menyuruh jin untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka dia termasuk orang yang paling utama dalam wali-wali Allah.
- Kedua: Barang siapa yang memperalat Jin dalam perkara-perkara mubaah baginya, maka dia seperti orang yang memperalat sesama manusia dalam perkara itu.
- Ketiga: Barang siapa yang menggunakan jin-jin itu untuk urusan yang di larang oleh Allah dan Rasul-nya, seperti kesyirikan, membunuh orang yang maksum (tidak bersalah) atau menganiaya di bawah pembunuhan, maka jika dia minta pertolongan pada mereka untuk perbuatan kekufuran, maka dia itu kafir. Dan jika untuk perbuatan maksiat, maka dia adalah pelaku maksiat, bisa jadi dia itu seorang fasiq, atau pendosa tapi bukan fasiq. (Diringkas – pen)
Dan dalam kitab al-Majmu’ 62/19 Syeikh Taqiyuddin berkata:
“Dan adapun bertanya kepada Jin atau bertanya kepada orang yang bertanya pada mereka (para jin): maka jika pertanyaan itu dalam bentuk kepercayaan kepada mereka dalam semua informasinya, dan juga dalam bentuk pengagungan terhadap jin yang di tanya, maka itu haram. Dan jika pertanyaan itu hanya sebatas untuk menguji keadaannya, dan menjajaki perkara tsb, namun dia sendiri punya kemampuan untuk membedakan antara kejujurannya dan kedustaanya, maka yang demikian itu boleh”.
Lalu beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
Kemudian beliau berkata lagi: “Dan begitu juga jika seseorang itu mendengar apa-apa yang di katakan dan dikabarkan oleh para jin, (maka sikapnya harus) sama seperti halnya umat Islam mendengar apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dan tukang maksiat, (yaitu) hanya sekedar untuk mengetahui apa yang ada di sisi mereka, lalu mereka menjadikannya hanya sebagai ibroh / pelajaran. Dan (begitu juga) sama halnya seperti mendengar informasi dari orang fasiq, maka harus tabayyun / diperjelas dan tatsabbut / teliti, maka tidak boleh menetapkan kebenaran dan kebohongannya kecuali harus ada bayyinah / bukti”.
Pendapat syeikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ini dijadikan pegangan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin.
NOTE: SAYA PRIBADI BERPENDAPAT:
Jika seandainya hadits itu shahih, maka menurut saya dasar hukum di bolehkannya kita minta bantuan kapada para malaikat untuk menunjuki jalan, adalah karena adanya dalil yang meng khushush kannya atau idzin khusus dari Allah SWT dan Rasul-Nya SAW. Bukan sebatas karena malaikat tsb masih hidup dan punya kemampuan untuk menunjuki jalan.
Sebab kalau alasannya hanya sebatas itu, maka Iblis, syaithan dan para jin juga punya kemampuan jika hanya sekedar menunjukkan jalan. Bahkan dalam al-Quran Allah swt berfirman tentang kemampuan-kempuan para jin, diantaranya Allah SWT berfirman:
{ وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا }
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan (keamanan) kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”(QS. Al Jin: 6).
Dan firman Allah swt lainnya:
{ وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ (37) وَآَخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ }.
“Dan (Kami tundukkan pula kepada Sulaiman) syaitan-syaitan, semua syaithan ahli bangunan dan syaithan penyelam, dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu”. [Q.S. al-Shad: 35-38]
Dan firman Allah swt lainnya:
قَالَ عِفْرِيْتٌ مِّنَ الْجِنِّ اَنَا۠ اٰتِيْكَ بِهٖ قَبْلَ اَنْ تَقُوْمَ مِنْ مَّقَامِكَۚ وَاِنِّيْ عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ اَمِيْنٌ
“Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. (QS. An Naml: 39).
Dan masih banyak dalil-dalil yang semisalnya.
Bahkan Syeikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh sendiri dlm (Majmû’ Al-Fatâwâ: 11/250) pernah menceritkan tentang sebagian kemampuan para jin, beliau berkata:
“Banyak diantara mereka yang bisa terbang di udara, dan dibawa pula oleh Setan (ke berbagai tempat), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat, dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan oleh Allah SWT, serta menghalalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Setan bersedia membantunya karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali ketika dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten diatas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. (jika demikian keadaannya) niscaya setan akan meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain.
Dan aku mengenal banyak orang yang melakukan demikian di Syam, Mesir, Hijaz dan Yaman. Adapun di Jazirah Iraq, khurasân, dan Rûm lebih banyak terjadi dari pada negeri Syam dan selainnya. Dan tentunya dinegeri-negeri kafir dari kalangan kaum musyrikin dan Ahli kitab tentu lebih banyak lagi. (Majmû’ Al-Fatâwâ: 11/250)
Dengan demikian, maka semakin yakin bahwa Allah swt telah melarang kita untuk minta bantun, pertolongan dan perlindungan kepada Iblis, syeitan dan para Jin, meskipun mereka punya kemampuan utk hal itu.
Dan kita tahu pada hakikatnya semua kemampuan yang ada pada makhluk adalah dari Allah SWT, termasuk yang ada pada jin dan manusia, baik kafirnya maupun muslimnya.
Jadi, menurut saya, jika hadits itu memang shahih adanya, maka dasar hukum di bolehkannya itu, karena adanya dalil khusus, bukan karena adanya kemampuan pada makhluk ghaib tsb, termasuk para malaikat.
Jika demikan, maka tidak boleh di analogikan kepada makhluk ghaib yang lainnya, apalagi dianalogikan kepada manusia yang sudah mati, ini sangat jelas tidak boleh.
Adapun minta bantuan kepada Jin dalam perkara Mubah, maka saya lebih condong kepada fatwa Al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta.
FATWA AL-LAJNAH AD-DAAIMAH
PERTANYAAN dari fatwa nomer: 15924.
"Sebagian manusia menggunakan jin untuk mengobati penyakit. Mereka menganggap penyakit yang ada disebabkan oleh Jin. Mereka mengais rezeki dengan pekerjaan (penyembuhan) ini. Apa pendapat agama tentang permasalahan itu? Apakah perkara ini halal atau haram?"
JAWABAN:
Tidak boleh bagi seorang muslim meminta bantuan Jin UNTUK TUJUAN APAPUN. Sebab, mereka (bangsa Jin) tidak akan membantu dirinya kecuali jika orang itu mau menaati mereka (bangsa Jin) dalam kemaksiatan kepada Allah; melakukan kesyirikan dan kekafiran, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{ وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا}
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan" [Al-Jin: 6]
Dan firman Allah Ta’ala:
{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ}
”Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.”Allah berfirman: “Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).”Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [Al-An’am: 128]
(Sehingga) Hasil apapun yang diambil dari pekerjaan ini hukumnya haram.
Tertanda,
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota: Abdullah bin Ghudayan, Sholeh Al Fauzan, Abdul Aziz Alusy-Syaikh, dan Bakr Abu Zaid.
Sumber: “Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah”(1/207).
Wallahu A’lam
SEMOGA BERMANFAAT
0 Komentar