Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MENCIUM TANGAN DAN KAKI KEDUA ORANG TUA DAN ORANG YANG SEDERAJAT DENGAN MEREKA

Hukum mencium tangan dan kaki kedua orang tua dan orang yang setara kedudukannya dengan mereka

Di Tulis Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

Cilamaya - Karawang

.

<< DOWNLOAD PDF >>

DAFTAR ISI :

  • HADITS-HADITS CIUM TANGAN, CIUM KAKI DAN PENGHORMATAN DENGAN CARA MEMBUNGKUK 
  • PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG CIUM TANGAN DAN KAKI:
  • KISAH IMAM MUSLIM MENCIUM KAKI IMAM BUKHORI:
  • SYARAT, ATURAN DAN BATASAN DALAM MENCIUM TANGAN DAN KAKI:
  • HUKUM MEMBUNGKUKKAN BADAN KETIKA MENCIUM TANGAN :
  • HUKUM MEMBUNGKUKKAN BADAN SEBAGAI SALAM HORMAT :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ

*****

HADITS-HADITS CIUM TANGAN, CIUM KAKI DAN PENGHORMATAN DENGAN CARA MEMBUNGKUK 

Ada beberapa hadits yang berkenaan dengan masalah mencium kedua kaki dan juga ada sebuah Kisah bahwa Imam Muslim pernah mencium kedua kaki Imam Bukhori :

ADAPUN HADITS-HADITS TERSEBUT maka adalah sbb :

Hadits ke 1:

Dari Ummu Aban bintil Wazi’ bin Zari’ dari kakeknya Zari’ saat itu ia sedang bersama rombongan utusan Abdu Qais, ia berkata,

لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ .

قَالَ : وَانْتَظَرَ الْمُنْذِرُ الْأَشَجُّ حَتَّى أَتَى عَيْبَتَهُ فَلَبِسَ ثَوْبَيْهِ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : " لَهُ إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ ".

قَالَ : " يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمْ اللَّهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا ؟ "

قَالَ : " بَلْ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا " .

قَالَ : " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ ".

“Ketika kami tiba di Madinah, kami saling berlomba memacu kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan Nabi  dan kaki beliau.”

Ia (perawi) berkata : “Al Mundzir Al Asyaj masih menunggu hingga tempat pakaiannya tiba, lalu ia kenakan pakaiannya tersebut. Setelah itu ia datang menemui Nabi .

Beliau  lantas bersabda kepada Al Mundzir: “Sesungguhnya engkau mempunyai dua tabiat yang disukai oleh Allah dan rasul-Nya; santun dan sabar.”

Al Mundzir bertanya, “Wahai Rasulullah, memang aku berakhlak demikian atau Allah yang memberikan itu kepadaku?”

Beliau menjawab: “Allah yang memberikan itu kepadamu.”

Al Mundzir berkata, “Segala puji milik Allah yang telah memberiku dua tabiat yang disukai oleh Allah dan rasul-Nya.”

(HR. Abu Daud No. 5227 .

Dianggap bagus sanadnya oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab “فتح الباري” 11/57 .

Dan di Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dlm Shahih Sunan Abi Daud , dan beliau berkata : “ Hasan , tanpa menyebutkan dua kaki “.

Abu Daud membuatkan Bab untuk hadits ini , dengan mengatakan:

بَاب فِي قُبْلَةِ الرِّجْلِ

“Bab tentang mencium kaki ”

Hadits ke 2 :

Dari Abdullah bin Salamah dari Shafwan bin ‘Assal ia berkata;

قَالَ يَهُودِيٌّ لِصَاحِبِهِ : " اذْهَبْ بِنَا إِلَى هَذَا النَّبِيِّ ! " . فَقَالَ صَاحِبُهُ : " لَا تَقُلْ نَبِيٌّ إِنَّهُ لَوْ سَمِعَكَ كَانَ لَهُ أَرْبَعَةُ أَعْيُنٍ ".

فَأَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَاهُ عَنْ تِسْعِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ . فَقَالَ لَهُمْ : " لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلَا تَسْرِقُوا ، وَلَا تَزْنُوا ، وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ، وَلَا تَمْشُوا بِبَرِيءٍ إِلَى ذِي سُلْطَانٍ لِيَقْتُلَهُ ، وَلَا تَسْحَرُوا ، وَلَا تَأْكُلُوا الرِّبَا ، وَلَا تَقْذِفُوا مُحْصَنَةً ، وَلَا تُوَلُّوا الْفِرَارَ يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَعَلَيْكُمْ خَاصَّةً الْيَهُودَ أَنْ لَا تَعْتَدُوا فِي السَّبْتِ ".

قَالَ : فَقَبَّلُوا يَدَهُ وَرِجْلَهُ ، فَقَالَا : " نَشْهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ ". قَالَ : " فَمَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تَتَّبِعُونِي " . قَالُوا : " إِنَّ دَاوُدَ دَعَا رَبَّهُ أَنْ لَا يَزَالَ فِي ذُرِّيَّتِهِ نَبِيٌّ وَإِنَّا نَخَافُ إِنْ تَبِعْنَاكَ أَنْ تَقْتُلَنَا الْيَهُودُ ".

وَفِي الْبَاب عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ وَابْنِ عُمَرَ وَكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Seorang Yahudi berkata kepada sahabatnya; “Marilah kita berangkat bersama menemui Nabi ini!” Sahabatnya menjawab: “Jangan katakan Nabi, sungguh apabila dia mendengar perkataanmu, maka dia akan memiliki empat mata (bahasa kiasan dari senang), “

Lalu keduanya mendatangi Rasulullah  dan bertanya kepada beliau tentang sembilan ayat bayyinat, beliau  bersabda kepada mereka:

“Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, jangan mencuri, jangan berzina, jangan membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan benar, jangan menjelek-jelekkan orang yang tidak bersalah kepada penguasa agar penguasa membunuhnya, jangan melakukan sihir, jangan memakan riba, jangan menuduh (berbuat zina) wanita-wanita suci, jangan berpaling lari dari medan pertempuran, dan kepada kalian khususnya wahai orang-orang Yahudi, janganlah kalian melampaui batas pada hari sabtu.”

Shafwan berkata; Mereka langsung mencium kedua tangan dan kaki beliau, lalu keduanya mengatakan; “Kami bersaksi bahwa engkau adalah Nabi.”

Beliau bertanya: “Lalu apa yang menghalangi kalian tidak mengikutiku?”

Shafwan berkata; Mereka mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Daud berdo’a kepada Rabbnya agar senantiasa ada dari keturunannya seorang nabi, sesungguhnya kami takut jika mengikutimu orang-orang Yahudi akan membunuh kami.”

Dan dalam bab ini, ada hadits lain dari Yazid bin Al Aswad, Ibnu Umar dan Ka’ab bin Malik. ( HR. Turmudzi No. 2733 , Nasa’i No. 4078 dan Ibnu Majah No. 3705.

Abu Isa Turmudzi berkata; “ Hadits ini hasan shahih “. Dan Al-Turmudzi telah menjadikan bab untuk hadits ini dengan judul :

" بَابُ مَا جَاءَ فِي قِبْلَةِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ"

"Bab tentang apa yang datang keterangan tentang mencium tangan dan Kaki ."

Dan Hadits Ini Di Shahihkan oleh banyak para ulama , diantaranya : al-Hafidz Ibnu Hajar dlm “التلخيص الحبير” 5/240 , Ibnu al-Mulaqqin dlm “البدر المنير” 9/48 dan Imam an-Nawawi dlm “المجموع” 4/640 dan “رياض الصالحين” hadits no. 889 . Namun di Dhaifkan oleh al-Albaani dalam “ضعيف الترمذي “

Ibnu Katsir berkata :

وَهُوَ حَدِيثٌ مُشْكِلٌ، وَعَبْدُ اللَّهِ بِنْ سَلِمَةَ فِي حِفْظِهِ شَيْءٌ، وَقَدْ تَكَلَّمُوا فِيهِ، وَلَعَلَّهُ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ التِّسْعُ الآيَاتِ بِالْعَشْرِ الْكَلِمَاتِ، فَإِنَّهَا وَصَايَا فِي التَّوْرَاةِ لَا تُعَلِّقُ لَهَا بِقِيَامِ الْحُجَّةِ عَلَى فِرْعَوْنَ

Itu adalah hadits yang bermasalah , dan Abdullah bin Salamah ini hafalannya ada yang tidak beres, dan mereka para ulama hadits telah membicarakannya, dan mungkin telah terjadi isytibah / kekeliruan antara sembilan mukjizat dengan sepuluh kalimat , karena kalimat-kalimat itu adalah perintah-perintah dalam Taurat yang tidak ada kaitannya dengan penegakan hujjah (mukjizat) dalam melawan Fir'aun “. (Baca : Tafsir Ibnu Katsir 5/125)

Dan Az-Zaila’i berkata :

وَالْحَدِيثُ فِيهِ إِشْكَالَانِ:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ سَأَلُوا عَنْ تِسْعَةٍ، وَأَجَابَ فِي الْحَدِيثِ بِعَشَرَةٍ، وَهَذَا لَا يَرِدُ عَلَى رَوَايَةِ أَبِي نَعِيمٍ وَالطَّبَرَانِيِّ؛ لِأَنَّهُمَا لَمْ يَذْكُرَا فِيهِ "السِّحْرَ"، وَلَا عَلَى رَوَايَةِ أَحْمَدَ أَيْضًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ "الْقَذْفَ" مَرَّةً، وَشَكَّ فِي أُخْرَى، فَيَبْقَى الْمَعْنَى فِي رَوَايَةِ غَيْرِهِمْ: أَيْ: "خُذُوا مَا سَأَلْتُمُونِي عَنْهُ وَأَزِيدُكُمْ مَا يَخْتَصُّ بِكُمْ لِتَعَلَّمُوا وَقُوفِي عَلَى مَا يَشْتَمِلُ عَلَيْهِ كِتَابُكُمْ".

الإِشْكَالُ الثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ وَصَايَا فِي التَّوْرَاةِ، لَيْسَ فِيهَا حُجَجٌ عَلَى فِرْعَوْنَ وَقَوْمِهِ، فَأَيُّ مُنَاسَبَةٍ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ إِقَامَةِ الْبَراهِيْن عَلَى فِرْعَوْنَ؟! وَمَا جَاءَ هَذَا إِلَّا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بِنْ سَلِمَةَ؛ فَإِنَّ فِي حِفْظِهِ شَيْءً، وَتَكَلَّمُوا فِيهِ، وَأَنَّ لَهُ مَنَاكِرَ، وَلَعَلَّ ذَيْنِكَ الْيَهُودِيِّينَ إِنَّمَا سَأَلُوا عَنْ الْعَشْرِ الْكَلِمَاتِ، فَاشْتَبَهَ عَلَيْهِ بِالتِّسْعِ الآيَاتِ، فَوَهِمَ فِي ذَلِكَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan dalam Hadits ini terdapat dua problem :

Salah satunya:

Mereka bertanya tentang sembilan, dan dia menjawab sepuluh dalam hadits, dan kata-kata ini tidak ada dalam riwayat Abu Naim dan al-Tabarani. Karena mereka tidak menyebutkan "sihir" di dalamnya. Dan juga tidak ada dalam riwayat Ahmed ; karena dia terkadang tidak menyebut "fitnah" , dan dia ragu pada yang lainnya , namun maknanya tetap ada dalam riwayat orang lain : Yaitu, "Ambillah apa yang kalian tanyakan padaku dan tambahkan kepada kalian apa yang khusus berkenaan dengan kalian , sehingga kalian dapat mengetahui bahwa diriku berdiri diatas apa yang tercakup dalam kitab kalian “.

Problem kedua :

Perintah-perintah ini ada dalam Taurat, yang tidak mengandung hujah-hujah (mukjizat) dalam melawan Firaun dan kaumnya, jadi hubungannya apa antara yang ini dengan mukjizat-mukjizat dalam melawan Firaun ?! Dan riwayat ini hanya datang dari seorang yang bernama Abdullah bin Salamah , dan dia itu orang yang hafalannya bermasalah, mereka para ulama hadits membicarakannya, dan baginya terdapat kemungkaran-kemungkaran . Dan kemungkinan dua orang Yahudi itu bertanya tentang sepuluh kalimat, lalu terjadi kekeliruan pada dirinya dengan sembilan mukjizat, dan terjadi wahm / kekaburan dalam hal itu , Wallaahu a’lam. ( Baca : “تخريج الكشاف” 2/293 ).

Hadits ke 3 : Hadits Usamah bin Syariik :

وَمِنْ حَدِيثِ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ قُمْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَسَنَدُهُ قَوِيٌّ 

“ Dan dari hadits Usamah bin Shraik, dia berkata, Kami bangkit menghadap Nabi  , dan kami mencium tangannya, dan SANADNYA KUAT . (Lihat : “جامع السنة وشروحها “ No. 6265)

Hadits ke 4 : Hadits Jabir :

وَمِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ أَنَّ عُمَرَ قَامَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلَ يَدَهُ

Dan dari Hadits Jabir bahwa Umar berdiri menyambut Nabi  lalu mencium tangannya. (Lihat : “جامع السنة وشروحها “ No. 6265)

Hadits ke 5 : hadits Buraidah : 

 وَمِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ فِي قِصَّةِ الْأَعْرَابِيِّ وَالشَّجَرَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي أَنْ أُقَبِّلَ رَأَسَكَ وَرِجْلَيْكَ فَأَذِنَ لَهُ

Dan dari hadits Buraidah dalam Kisah al-A’raabi dan kisah pohon . Dia berkata, ‘Ya Rasulullah, beri saya izin untuk mencium kepala engkau dan kedua kaki engkau , lalu beliau mengizinkannya . (Lihat : “جامع السنة وشروحها “ No. 6265)

Hadits ke 6 :

Imam Bukhori berkata : telah bercerita kepada kami Aththaf bin Khalid berkata, telah bercerita padaku Abdul Rahman bin Raziin berkata:

مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ فَقِيلَ لَنَا ‏:‏ " هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ "، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ فَقَالَ ‏:‏ " بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللهِ صلى الله عليه وسلم ". فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ ، فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا.

Kami melewati Rabdzah, dan diberitahu kepada kami: “ Di ​​sini lah Salamah ibn al-Akwa. Lalu kami mendatanginya dan kami mengucapkan salam padanya .

Lalu dia mengulurkan kedua tangannya dan berkata : Dengan kedua tangan ini aku membaiat Rasulullah  .

Dia mengulurkan telapak tangannya yang besar seakan-akan telapak kaki unta, lalu kami bangkit dan kami menciumnya. “ ( HR. Bukhori dlm “الأدب المفرد” dan Dihasankan oleh syeikh al-Albaani dalam “صحيح الأدب المفرد” 747/973 hal. 372).

Hadits ke 7 :

Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu :

قالَ رجلٌ : يا رسولَ اللَّهِ ، الرَّجلُ منَّا يَلقى أخاهُ أو صديقَهُ أينحَني لَهُ ؟ قالَ : لا ، قالَ : فيَلتزمُهُ ويقبِّلُهُ ؟ قالَ : لا ، قالَ : فيأخذُ بِيدِهِ ويصافحُهُ ؟ قالَ: نعَم

Seorang pria berkata, "Wahai Rasulullah, ketika seseorang dari kami bertemu saudaranya atau temannya, apakah dia harus membungkukkan dirinya untuknya?" Beliau bersabda, "Tidak." Dia bertanya, "Apakah dia harus memeluknya dan menciumnya?" Beliau menjawab, "Tidak." Dia bertanya lagi, "Apakah dia boleh menggenggam tangannya dan berjabat tangan dengannya?" Beliau menjawab, "Ya."

[HR. Al-Tirmidzi (2728), Ibnu Majah (3702), dan Ahmad (13044) dengan perbedaan kecil. Di Hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Haiyatur Ruwaah 4/328 dan al-Albanni dalam Shahih Tirmidzi no. 2728]

Hadits ke 8 :

Dalam kitab Musannaf Ibnu Abi Syaibah (8/461), disebutkan :

أَنَّ الرَّسُولَ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَعَثَ عَمْرُو بْنُ أُمَيَّةَ إِلَى النَّجَاشِي، فَلَمَّا أَتَاهُ وَجَدَ لَهُمْ بَابًا صَغِيرًا يَدْخُلُونَ مُكْفِرِينَ "أَي: مُنْحَنِينَ" فَوَلَّى ظَهْرَهُ الْقَهْقَرِي.... وَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْحَبَشَةِ فِي مَجْلِسِهِمْ عِنْدَ النَّجَاشِيِّ حَتَّى هَمُّوا بِهِ، وَقَالُوا لِلنَّجَاشِيِّ : إِنْ هَذَا لَمْ يَدْخُلْ كَمَا دَخَلْنَا، قَالَ : مَا مَنَعَكَ أَنْ تَدْخُلَ كَمَا دَخَلُوا ؟ قَالَ عَمْرُو : إِنَّا لَا نَصْنَعُ هَذَا بِنَبِيِّنَا، وَلَوْ صَنَعْنَاهُ بِأَحَدٍ صَنَعْنَاهُ بِهِ، قَالَ النَّجَاشِيُّ : صَدَقَ...".

bahwa Rasulullah  mengutus 'Amr bin Umayyah kepada raja Najasyi. Ketika 'Amr sampai di sana, ia melihat mereka masuk melalui pintu kecil dengan cara membungkuk. Maka 'Amr membalikkan punggungnya membelakangi mereka. 

Hal itu membuat para Habasyah merasa terganggu di majelis mereka di hadapan Najasyi hingga mereka berkata kepada Najasyi: "Orang ini tidak masuk seperti yang kami masuki." 

Najasyi bertanya: "Apa yang menghalangi kamu untuk masuk seperti yang mereka lakukan?" 

'Amr menjawab: "Kami tidak melakukan hal seperti ini terhadap Nabi kami, dan jika kami melakukannya terhadap seseorang, maka tentunya kami pun akan melakukannya terhadap beliau."

Najasyi berkata: "Benar..."

*****

PENDAPAT PARA ULAMA :

Ada Beberapa pendapata para ulama , di antaranya:

Pertama : bahwa mencium tangan dan kaki ini khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Kedua : bahwa hal ini bukan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Syaikh Al-Mubarakfury berkata,

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ تَقْبِيلِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ.

“Hadits tersebut menunjukkan bolehnya mencium tangan dan kaki.” [Tuhfatul ahwadzi 7/437] 

Syaikh Al-‘Utsaimin berkata,

وَفِي هَذَا: جَوَازُ تَقْبِيلِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ، لِلْإِنْسَانِ الْكَبِيرِ الشَّرَفِ وَالْعِلْمِ، كَذَلِكَ تَقْبِيلُ الْيَدِ وَالرِّجْلِ مِنَ الْأَبِّ وَالْأُمِّ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ لَهُمَا حَقًّا، وَهَذَا مِنَ التَّوَاضُعِ.

Hadits ini (yakni hadits dua orang yahudi yang mencium kaki Nabi ) menunjukkan bolehnya mencium tangan dan kaki orang tua, orang yang kedudukan mulia dan berilmu, demikian juga mencium tangan dan kaki ayah dan ibu dan yang semisalnya.” [Syarh Riyadhus Shalihin 4/451]

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa hendaknya mencium kaki tidak dalam keadaan seperti sujud dan orang yang dicium tidak dalam keadaan berdiri.

Syaikh Shalih Al-Fauzan

Beliau mencontohkan, misalnya anak dan orang tuanya dalam keadaan sama-sama duduk, kemudian sang anak mencium kaki orang tuanya.

Simak rekaman video beliau berikut ini:

 

Namun ada beberapa ulama memberikan saran agar meninggalkan mencium kaki karena untuk menutup arah ke penghormatan berlebihan yang ujung-ujungnya bisa mengarah kepada sikap pengkultusan padanya .

Syaikh Abdul Aziz bin Baz :

Beliau ditanya hukum mencium kaki kedua orang tua, lalu beliau menjawab,

لَا، الْمُصَافَحَةُ تَكْفِي، أَوْ تَقْبِيلُ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ رَأْسَهُ تَرْكُهُ أَوْلَى، تَرْكُهُ أَوْلَى.

 “Tidak, cukup dengan menjabat tangan mereka atau mencium kening mereka, meninggalkannya (mencium kaki) lebih baik, meninggalkannya (mencium kaki) lebih baik.” [Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/2457986]

Ibnu Baththool berkata :

قَالَ الْأَبْهَرِيُّ: "وَإِنَّمَا كَرِهَهَا مَالِكٌ إذَا كَانَتْ عَلَى وَجْهِ التَّكَبُّرِ، وَالتَّعْظِيمِ لِمَنْ فُعِلَ ذَلِكَ بِهِ، وَأَمَّا إذَا قَبَّلَ إِنْسَانٌ يَدَ إِنْسَانٍ، أَوْ وَجْهَهُ، أَوْ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ – مَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً - عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ إِلَى اللَّهِ، لِدِينِهِ، أَوْ لِعِلْمِهِ، أَوْ لِشَرَفِهِ: فَإِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ."

Al-Abhari berkata : Adapun yang membuat Malik memakruhkan mencium tangan dan kaki , itu jika dalam bentuk kesombongan, dan pengagungan terhadap orang yang diperlakukan itu padanya .

Dan adapun jika seseorang mencium tangan seseorang atau wajahnya, atau sesuatu dari tubuhnya - selama itu bukan 'aurat – dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah , yang disebabkan karena agama orang tsb , karena ilmunya, atau karena untuk kemuliaannya ; maka itu diperbolehkan “ ( Baca : “شرح صحيح البخارى” 9/46 ) .

Dan Syekh Muhammad Bin Saleh Al-Utsaimin berkata :

الْحَاصِلُ: أَنَّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ قَبَّلا يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرِجْلَهُ، فَأَقَرَّهُمَا عَلَى ذَلِكَ، وَفِي هَذَا: جَوَازُ تَقْبِيلِ الْيَدِ، وَالرِّجْلِ، لِلْإِنْسَانِ الْكَبِيرِ الشَّرَفِ وَالْعِلْمِ، كَذَلِكَ تَقْبِيلُ الْيَدِ، وَالرِّجْلِ، مِنَ الْأَبِّ، وَالْأُمِّ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ لَهُمَا حَقًّا، وَهَذَا مِنَ التَّوَاضُعِ.

Kesimpulannya :

Kedua orang ini mencium tangan dan kaki Nabi  dan beliau menyetujui mereka atas hal itu . Dalam hal ini : diperbolehkan untuk mencium tangan dan kaki orang yang sangat terhormat dan berilmu . Begitu juga mencium tangan dan kaki dari ayah dan ibu, dan yang semisalnya ; karena mereka berdua punya hak, dan ini adalah bentuk kerendahan hati / tawadlu’. (Baca : “شرح رياض الصالحين” 4/451)

Syeikh Abdul-Muhsin al-Abbaad pernah ditanya:

أَبِي - أَحْيَانًا - يُؤْمِرُنِي بِتَقْبِيلِ رِجْلِهِ مَازِحًا؟ فَأَجَابَ: لَا مَانِعَ مِنْ أَنْ تَقْبِلَهَا.

Ayahku - terkadang - dia menyuruhku mencium kakinya dengan bercanda? .

Beliau menjawab : Tidak ada larangan untuk menciumnya. ( Baca : “شرح سنن أبي داود” 29/342 )

*****

KISAH IMAM MUSLIM MENCIUM KAKI IMAM BUKHORI:

Ada sebuah kisah yang masyhur bahwa Imam Muslim pernah mencium kaki Imam Bukhari, sambil memujinya karena ilmunya . Namun yang benar : tidak ada dalam kisah itu sebuah bukti yang memastikannya kecuali kisah beliau mencium apa yang ada di antara kedua mata Imam Al-Bukhari, dan Imam Muslim hanya meminta izin kepada Al-Bukhari untuk mencium kakinya, akan tetapi didalam kisah itu tidak disebutkan bahwa beliau benar-benar melakukannya .

Dalam "تاريخ بغداد" (13/102) di riwayatkan :

عَنْ أَحْمَدِ بْنِ حَمْدُونَ الْقُصَّارِ قَالَ: سَمِعْتُ مُسْلِمَ بْنَ الْحَجَّاجِ وَجَاءَ إِلَى مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ فَقَبَّلَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَقَالَ: دَعَنِي حَتَّى أُقَبِّلَ رِجْلَيْكَ، يَا أُسْتَاذَ الْأُسَاذَةِ، وَسَيِّدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَطَبِيبَ الْحَدِيثِ فِي عُلُلِهِ.

Dari Ahmad bin Hamduun Al-Qashshaar, dia berkata: Saya mendengar Muslim bin Al-Hajjaj bahwa dia datang ke Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, dan dia mencium di antara dua matanya . Dan dia berkata : Biarkan aku mencium kedua kakimu, wahai Ustadz para ustadz, pimpinan para ahli hadits , dan dokter hadits tentang penyakit-penyakitnya”.

Begitu pula dalam kitab “تاريخ دمشق” 52/68 :

فَقَبَّلَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: دَعَنِي حَتَّى أُقَبِّلَ رِجْلَيْكَ، يَا أُسْتَاذَ الْأُستَاذِيْن، وَسَيِّدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَطَبِيبَ الْحَدِيثِ. انتهى.

Maka dia mencium di antara dua matanya . Dan dia berkata : Biarkan aku mencium kedua kakimu, wahai Ustadz para ustadz, pimpinan para ahli hadits , dan dokter hadits tentang penyakit-penyakitnya”.

FAIDAH : Kisah ini dilemahkan oleh al-Hafidz al-Iraqi, akan tetapi muridnya Al-Hafidz Ibnu Hajar menjawab bahwa itu terbukti dan shahih

Al-Hafiz Al-Iraaqi berkata: 

وَالْغَالِبُ عَلَى الظَّنِّ: عَدَمُ صِحَّتِهَا، وَأَنَا أَتَّهِمُ بِهَا "أَحْمَدُ بْنُ حَمْدُونَ الْقُصَّارُ" رَاوِيهَا عَنْ مُسْلِمٍ؛ فَقَدْ تُكَلَّمَ فِيهِ.

Kemungkinan besar : itu tidak shahih, dan saya menuduh "Ahmad bin Hamduun Al-Qashshaar" meriwayatkannya darp Muslim. Dan dia itu orang yang diperbincangkan. (Baca : “التقييد والإيضاح شرح مقدمة ابن الصلاح” hal. 118 ).

Al-Hafiz Ibnu Hajar membantah terhadap al-Iraaqi, maka dia berkata: 

الحكاية صَحِيحَةٌ، قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ الْحَاكِمِ عَلَى الصَّحَّةِ، مِنْ غَيْرِ نَكَارَةٍ، وَكَذَا رَوَاهَا الْبَيْهَقِيُّ عَنْ الْحَاكِمِ عَلَى الصَّوَابِ، كَمَا سَنُوضِّحُهُ؛ لِأَنَّ الْمُنْكَرَ مِنْهَا إِنَّمَا هُوَ قَوْلُهُ: "إِنَّ الْبُخَارِيَّ قَالَ: لَا أَعْلَمُ فِي الدُّنْيَا فِي هَذَا الْبَابِ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ الْوَاحِدِ الْمَعْلُولِ"، وَالْوَاقِعُ: أَنَّ فِي الْبَابِ عِدَّةُ أَحَادِيثَ لَا يَخْفَى مِثْلُهَا عَلَى الْبُخَارِيِّ.

وَالْحَقُّ أَنَّ الْبُخَارِيَّ لَمْ يُعْبَّرْ بِهَذِهِ الْعَبَارَةِ، وَقَدْ رَأَيْتُ أَنْ أَسُوْقَ لَفْظَ الْحِكَايَةِ مِنَ الطَّرِيقِ الَّتِي ذَكَرَهَا الْحَاكِمُ وَضَعَّفَهَا الشَّيْخُ، ثُمَّ أُسَوِّقَهَا مِنَ الطَّرِيقِ الْأُخْرَى الصَّحِيحَةِ الَّتِي لَا مُطَاعَنَ فِيهَا، وَلَا نَكَارَةٍ، ثُمَّ أُبَيِّنَ حَالَ الْحَدِيثِ، وَمَنْ أَعَلَّهُ، أَوْ صَحَّحَهُ لِتَتَمَّ الْفَائِدَةُ.

Kisah ini shahih, sungguh telah diriwayatkan pula oleh selain al-Hakim secara shahih tanpa adanya pengingkaran. Al-Bayhaqi juga meriwayatkannya dari al-Hakim dengan benar, seperti yang akan kami jelaskan. Karena yang diingkari itu adalah perkataannya:

“Sesungguhnya Bukhari berkata : Aku tidak tahu di dunia dalam Bab ini kecuali hadits yang tunggal ini yang terdapat illat di dalamnya.

Yang benar adalah bahwa Al-Bukhari tidak mengungkapkan frasa ini, dan anda bisa melihat bahwa saya menyebutkan lafadz Kisah tsb dari jalur yang disebutkan oleh al-Hakim dan Syekh (yakni al-Iraaqi) mendhaifkannya

Kemudian saya menyebutkan nya pula dari jalur lain yang tidak ada cacat atau tidak ada pengingkaran , lalu saya menjelaskan keadaan hadits tersebut, dan juga orang yang menganggapnya ber illat atau orang yang menshahihkannya agar kemanfaatannya bisa sempurna ... (Baca : “النكت على كتاب ابن الصلاح” 2/715 – 716 ).

*****

SYARAT, ATURAN DAN BATASAN DALAM MENCIUM TANGAN DAN KAKI:

Kalau kita perhatikan perkataan para ulama yang membolehkan mencium kedua kaki , kita menemukan bahwa mereka telah menetapkan aturan dan syarat akan bolehnya mencium kaki. Diantara yaitu sbb :

Pertama :

أَنْ يَكُونَ هَذَا التَّقْبِيلُ لِلْوَالِدَيْنِ، وَأَهْلِ الْعِلْمِ.

Ciuman tsb hanya kepada kedua orang tua dan orang-orang berilmu. Seperti yang dikatakan oleh Syeikh Utsaimiin dan syeikh al-‘Abbad diatas.

Kedua :

أَنْ يَكُونَ التَّقْبِيلُ قُرْبَةً إِلَى اللَّهِ، لَا لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، وَلَا مَعَ ذَلٍّ يَلْحَقُهُ.

Ciuman tsb bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah , bukan karena dunia yang ingin didapatkannya, atau diiringi dengan rasa menghinakan diri pada orang yang di cium kakinya.

Al-Nawawi berkata:

وَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِهِ لِغِنَاهُ، وَدُنْيَاهُ، وَشُوكَتِهِ، وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا بِالدُّنْيَا وَنَحْوِ ذَلِكَ: فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ، وَقَالَ الْمُتَوَلِّي: لَا يَجُوزُ، فَأَشَارَ إِلَى تَحْرِيمِهِ.

Dan adapun jika mencium tangannya karena kekayaannya, keduniawiannya, kehebatan nya, dan visibilitasnya di sisi para pecinta dunia karean hartanya dan yang semisalnya : maka ini sangat makruh. Bahkan al-Mutawalli berkata : “ Tidak boleh” , maka dia telah mengisyaratkan keharamannya . ( Baca : Al-Majmu’ 'Sharh al-Muhadzdzab (4/636)

Dan dia berkata :

وَتَقْبِيلُ رَأْسِهِ وَرِجْلِهِ: كَيَدِه.

Dan mencium kepala dan kakinya sama hukumnya seperti mencium tangannya . (Baca : “Al-Majmu 'Sharh al-Muhadzdzab (4/636, 637).

Ketiga :

أَنْ لَا يُفْعَلَ هَذَا التَّقْبِيلُ مَعَ مَنْ يَحْرُصُ عَلَيْهِ، وَمَنْ حَرُصَ عَلَى أَنْ يُقَبِّلَ النَّاسُ يَدَهُ: لَمْ يَسْتَحِقُّ تَقْبِيلُهَا، فَكَيْفَ بِتَقْبِيلِ رِجْلَيْهِ؟!

Bahwa ciuman tsb tidak dilakukan pada seseorang yang suka diperlakukan seperti itu, dan siapa pun orangnya yang punya keinginan agar orang-orang mencium tangannya , maka dia tidak berhak untuk diciumnya, jika demikian bagaimana mungkin dia boleh dicium kakinya ?!.

Syekhul-Islam Ibnu Taymiyyah, berkata:

وَأَمَّا ابْتِدَاءُ مَدِّ الْيَدِ لِلنَّاسِ لِيَقْبِّلُوهَا، وَقَصْدُهُ لِذَلِكَ: فَيُنْهَى عَنْ ذَلِكَ، بِلَا نِزَاعٍ، كَائِنًا مَنْ كَانَ، بِخِلَافِ مَا إذَا كَانَ الْمُقَبِّلُ الْمُبْتَدِئَ بِذَلِكَ.

Adapun orang yang dia sendiri sengaja memulai mengulurkan tangannya kepada orang lain agar menciumnya, dan bertujuan untuk itu , maka itu dilarang melakukannya , siapapun orangnya. Berbeda jika yang melakukannya adalah orang yang hendak menciumnya lalu dia yang memulai mengulurkan nya . (Baca : “المستدرك على مجموع الفتاوى” (1/29).

Syekh Al-Uthaimin, berkata:

الَّذِي يُنتَقَدُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ: أَنَّهُ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ أَحَدٌ: مَدَّ يَدَهُ إِلَيْهِ، وَكَأَنَّهُ يَقُولُ: قَبِّلْ يَدِي! فَهَذَا هُوَ الَّذِي يُسْتَنْكَرُ، وَيُقَالُ لِلْإِنْسَانِ عِنْدَئِذٍ: لَا تَفْعَلْ.

“Yang perlu dikritisi dari amalan sebagian manusia adalah jika seseorang mengucapkan salam dan menyapanya, lalu ia mengulurkan tangannya ke arahnya, seolah-olah dia mengatakan : Ciumlah tanganku! Ini adalah perbuatan yang dikecam atau diingkari. Dan jika menemukan ada seseorang yang melakukan hal demikian maka katakan pada nya saat itu juga: “ Jangan kau lakukan itu !” . (Baca : Sharah Riyadhush Shoolihiin (4/452).

Keempat :

أَنْ لَا يَكُونَ هَذَا التَّقْبِيلُ إِلَّا نَادِرًا، وَحَيْثُ يَقْتَضِيهِ الْفِعْلُ، لَا فِي كُلِّ مَرَّةٍ يَلْقَاهُ فِيهَا.

Bahwa ciuman ini seharusnya tidak dilakukannya kecuali jarang , di sesuaikan dengan kondisi yang menuntutnya , dan tidak di lakukan pada setiap kali dia bertemu dengannya .

Syekh Al-Utsaimin berkata:

أَمَّنْ يُقَبِّلُ يَدَكَ تَكْرِيمًا، وَتَعْظِيمًا، أَوْ رَأْسَكَ، أَوْ جَبْهَتَكَ: فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ، إِلَّا أَنْ هَذَا لَا يَكُونُ فِي كُلِّ مَرَّةٍ يَلْقَاكَ؛ لِأَنَّهُ سَبَقَ أَنْ سُئِلَ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ إِذَا لَاقَى الرَّجُلَ أَخَاهُ أَيَنْحِنِي لَهُ؟

قَالَ: (لَا) قَالَ: أَيُقَبِّلُهُ وَيَعَانِقُهُ؟ قَالَ: (لَا)، قَالَ: أَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: (نَعَم)

لَكِنْ إِذَا كَانَ لِسَبَبٍ: فَلَا بَأْسَ لِلْغَائِبٍ... .

Adapun orang yang mencium tangan Anda untuk menghormati dan memuliakan, atau mencium kepala Anda, atau dahi Anda, maka itu tidak lah mengapa dengannya . Akan tetapi ini jangan dilakukannya pada setiap kali dia bertemu dengan Anda ; karena Rasulullah,  sebelumnya pernah ditanya tentang hal itu:

“ Jika seorang pria bertemu dengan saudaranya, apakah dia menundukkan kepala padanya? Beliau  menjawab : “ (Tidak) “. Orang tsb bertanya lagi : Haruskah dia mencium dan memeluknya? Beliau  menjawab : (Tidak) Orang tsb bertanya lagi : Jabat tangannya? Beliau  menjawab : (Ya).

Akan Tetapi jika karena adanya suatu sebab : maka tidak lah mengapa , seperti bagi orang yang sudah lama tidak berjumpa “. Baca : “شرح رياض الصالحين” 4/452

*****

HUKUM MEMBUNGKUKKAN BADAN KETIKA MENCIUM TANGAN :

Membungkuk sedikit untuk mencium tangan bukanlah termasuk mencium yang membungkuk seperti rukuk yang dilarang, karena membungkuk ini hanya sedikit dan umumnya tangan yang dicium akan diangkat ke arah kepala yang mencium.

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin :

Beliau menjelaskan bahwa : “Nabi  ditanya tentang seseorang yang bertemu saudaranya lalu membungkukkan badan (ruku’) untuknya ? Beliau  menjawab: “tidak boleh”.

Lalu Syeikh Utsaimin berkata :

لأَنَّ الانحِنَاءَ لَا يَجُوزُ إِلَّا لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. وَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِ الْأَبِّ أَوْ الْأُمِّ أَوْ الْأَخِ الْكَبِيرِ أَوْ الْعَالِمِ أَوْ الشَّيْخِ الْكَبِيرِ اِحْتِرَامًا، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ وَلَا إِشْكَالٌ فِيهِ.

Karena membungkukkan badan (ruku’) hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.

Adapun mencium tangan ayah, ibu, kakak, syaikh atau orang alim sebagai bentuk penghormatan maka tidak mengapa.

Dan Syeikh Utsaimin pernah di tanya pula: ‘Bagaiman hukumnya Jika ketika mencium itu terjadi pembungkukkan badan , wahai Syaikh?

Beliau menjawab:

لا يُوجَدُ انحِنَاءٌ أَبَدًا، حَتَّى لَوْ فَرَضْنَا أَنَّ الرَّجُلَ الَّذِي تُرِيدُ أَنْ تَقْبَلَ يَدَهُ قَصِيرٌ وَنَزَلْتَ رَأْسَكَ لِتَقْبِيلِ يَدِهِ فَهَذَا لَيْسَ انحِنَاءً إكْرَامًا، هَذَا الانحِنَاءُ لِلْوُصُولِ لِلتَّقْبِيلِ، مَعَ أَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَأْخُذَ بِيَدِهِ وَيَرْفَعَهَا وَيُقْبِلَهَا وَهُوَ وَاقِفٌ تَمَامًا.

Itu sama sekali tidak termasuk pembungkukkan (yang terlarang). Seandainya orang yang hendak dicium tangannya itu tubuhnya pendek, sehingga Anda harus membungkuk ; maka hal itu bukanlah pembungkukkan untuk pemuliaan / pengagungan , akan tetapi pembungkukan ini bertujuan agar mencapai (tangannya) biar bisa menciumnya, meskipun sebenarnya dia bisa mengangkat tangannya lalu menciumnya tanpa harus membungkuk.” [Liqa Al-bab AL-Maftuh 104]

*****

HUKUM MEMBUNGKUKAN BADAN SEBAGAI SALAM HORMAT

FATWA SYEIKH ALI JUM’AH Mufti MESIR :

Beliau berfatwa :

الَــانْحَــنَاءُ الْخَفِيفُ الَّـذِي تَـشْـبُـهُ مَـا يَـفْـعَـلُـهُ الـمُـؤَدِّي عَـلَى الـمَـسْـرَحِ حِـيـنَـمَا يُـحِـيّ جُـمُـهُـوْرَهُ فَـيـنْـحَـنِـي انْـحِـنَـاءً خَـفِـيـفًا لَا تَـصـلُ إلَى الـرُّكُـوعِ فَـلَا بَـأْسَ بِـذٰلِـكَ.

“Pembungkukkan ringan seperti yang dilakukan oleh seorang pelaku di atas panggung ketika menyapa para hadirin dengan sedikit membungkukkan badannya, tidak sampai ke rukuk, maka tidak masalah”.

Sumber :

حكم الانحناء لتحية الكبير أو الجمهور على المسرح.. الإفتاء ... . https://www.elbalad.news

FATWA SYEIKH AHMAD MAMDUH – DARUL IFTA MESIR :

Prof. Doktor Ahmad Mamdouh, Sekretaris Fatwa di Darul Iftaa Mesir , berkata :

الانْحُنَاءُ وَمَعَ جَرِيَانِ الْعُرْفِ بِأَنْ هَذَا مِنْ قَبِيلِ التَّحِيَّةِ وَالْاِكْرَامِ. فَهَذَا يَكُونُ عَادَةً مُحَكَّمَةً. أَيْ "خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ". وَالْعُرْفُ يُعَمَّلُ بِهِ وَلَا يُخَالِفُ.

وَلَوْ أَنَّ التَّحِيَّةَ عِنْدَ السَّائِلِ بِحَدِّ السُّجُودِ أَوْ الرُّجُولَةِ عَلَى سَبِيلِ الْمِثَالِ فَهَذَا يَكُونُ مُخَالِفًا لِلشَّرِيعَةِ. وَعَلَيْهِ لَا يَجُوزُ ذَلِكَ.. أَمَّا مُجَرَّدُ الانْحِنَاءِ اللَّطِيفِ الَّذِي يَشْبَهُ مَا يَفْعَلُهُ الْمُؤَدِّي عَلَى الْمَسْرَحِ حِينَمَا يُحَيِّي جَمْهُورَهُ بِانْحِنَاءٍ لَا يَصِلُ إلَى حَدِّ الرُّكُوعِ فَلَا بَأْسَ فِي ذَلِكَ.

Membungkuk, karena adanya adat yang berlaku, maka ini merupakan bentuk salam dan hormat. Maka ini termasuk adat muhakkamah [yang dikukuhkan secara syar’i]. Yakni, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang telah menjadi adat.” Adat istiadat boleh diamalkan dan itu bukan termasuk pelanggaran.

Namun, jika penghormatannya adalah dengan cara bersujud atau merendahkan diri, misalnya, maka itu akan bertentangan dengan syariah. Oleh karena itu, hal itu tidak diperbolehkan...

Adapun jika hanya sekadar bersikap sopan dengan sedikit membungkuk yang menyerupai apa yang dilakukan oleh seorang pelaku di atas panggung ketika menyapa para hadirin dengan sedikit membungkuk tanpa mencapai tahap sujud, maka itu tidak masalah.

Sumber : ما حكم الانحناء للغير بقصد الإكرام والتبجيل والتحية؟ الجمهورية أون لين

FATWA AL-AZHAR :

Ditemukan dalam Fatawa Azhar (10/168) menyatakan :

هل يجوز انحناء الممثل على المسرح أمام الجمهور عندما يحيونه ؟ فأتى المفتي بحديث الترمذي، وفيه النهي عن الانحناء.. وقد وجه قول من قال إنها جائزة إلى أنها ليست حراما، فلا ينافي أنها مكروهة. وقد نص على ذلك في فتاوى الرملي (5/172). ومن الحديث وما قاله العلماء أن التحية بالانحناء غير مرغوب فيها، وأقل ما يقال فيها أنها مكروهة لعدم لياقة ذلك بالمسلم الكريم العزيز بإيمانه.

“Bahwa diperbolehkan bagi seorang aktor untuk membungkuk di atas panggung di depan para penonton ketika mereka menyambutnya? Lalu Mufti berdalil dengan hadits Tirmidzi, di yang didalam terdapat larangan untuk membungkuk.

Pernyataan orang-orang yang mengatakan bahwa itu diperbolehkan adalah bahwa itu tidak haram, namun tidak meniadakan hukum bahwa itu adalah makruh. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Fatawa Al-Ramli, 5/172.

Dari hadits dan apa yang dikatakan para ulama, bahwa penghormatan dengan cara membungkuk tidak disukai, dan setidaknya dikatakan bahwa itu makruh karena tidak layak untuk seorang Muslim yang mulia yang terhormat dengan keimanannya”.

Alhamdulillah

Semoga bermanfaat

 

Posting Komentar

0 Komentar