PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG HUKUM
MENGAMALKAN HADITS DHA'IF
-----
Di susun oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
=====
SHAHIH ATAU DHA‘IF ADALAH BERDASARKAN PENILAIAN LAHIRIAH SEMATA.
Penilaian terhadap hadits sebagai hadits shahih atau dha‘if adalah berdasarkan penilaian lahiriah semata.
Para ulama telah membuat definisi untuk setiap jenis hadits. Maka jika suatu hadits memenuhi definisi tersebut, ia diberi hukum sesuai dengan itu secara lahir.
Al-Hafidz al-Muhaddits Ibnu ash-Sholah (Wafat 643 H) dalam "Muqaddimah"-nya (hal. 13) berkata:
[وَمَتَى قَالُوا: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ فَمَعْنَاهُ: أَنَّهُ اتَّصَلَ سَنَدُهُ مَعَ سَائِرِ الْأَوْصَافِ الْمَذْكُورَةِ، وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِهِ أَنْ يَكُونَ مَقْطُوعًا بِهِ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ، إِذْ مِنْهُ مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ عَدْلٌ وَاحِدٌ، وَلَيْسَ مِنَ الْأَخْبَارِ الَّتِي أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى تَلَقِّيهَا بِالْقَبُولِ. وَكَذَلِكَ إِذَا قَالُوا فِي حَدِيثٍ: إِنَّهُ غَيْرُ صَحِيحٍ فَلَيْسَ ذَلِكَ قَطْعًا بِأَنَّهُ كَذِبٌ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ، إِذْ قَدْ يَكُونُ صِدْقًا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهِ أَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ إِسْنَادُهُ عَلَى الشَّرْطِ الْمَذْكُورِ، وَاللهُ أَعْلَمُ] اهـ.
“Apabila mereka mengatakan: Ini adalah hadits shahih, maka maksudnya adalah bahwa sanadnya bersambung dengan seluruh sifat yang telah disebutkan. Tidak disyaratkan bahwa ia pasti benar secara hakiki; karena bisa jadi hadits itu hanya diriwayatkan oleh satu orang yang adil, namun tidak termasuk dari hadits-hadits yang telah disepakati oleh umat untuk diterima.
Demikian juga jika dikatakan: Hadits ini tidak shahih, maka bukan berarti pasti dusta secara hakiki; karena bisa jadi benar secara hakiki, hanya saja sanadnya tidak sahih menurut syarat yang disebutkan.”
===****===
TELAH ADA PERBEDAAN PENDAPAT ANTAR PARA ULAMA
TENTANG HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHA’IF
====
Yaitu ada tiga pendapat :
===***===
PENDAPAT PERTAMA :
HADITS DHO’IF BOLEH DIAMALKAN SECARA MUTLAK.
Ini adalah pendapat Imam Abu Daud, Abu Hanifah, Imam Ahmad, Abdullah
bin Al-Mubarak, Abdur Rahman bin Mahdi, dan Sufyan Ats-Tsawri, Ibnu Abdil Barr,
semoga Allah merahmatinya .
Hadits Dha’if Boleh Diamalkan secara mutlak , baik hadits itu
berhubungan dengan aqidah, hukum syari’maupun Fadloilul a’maal [فَضَائِلُ الْأَعْمَالِ] akan tapi dengan Syarat
–syarat tertentu:
Mereka membolehkan secara mutlak, Yakni tidak ada batasan pada hadits
dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum
syari’, Fadloilul a’maal (فَضَائِلُ
الْأَعْمَالِ) dan
lain sebagainya.
Semuanya boleh, tapi DENGAN SYARAT :
1]. Tidak ada satupun dalil shahih mengenai suatu bab kecuali hadits
dha’if tersebut
2]. dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya / bertentangan .
[Baca : ٱلْفُتُوحَاتُ ٱلرَّبَّانِيَّةُ (1/182) dan حُكْمُ قَبُولِ ٱلْحَدِيثِ ٱلضَّعِيفِ
فِي فَضَائِلِ ٱلْأَعْمَالِ
karya Abdul Khaliq hal 3].
Pernyataan Abu Daud :
Dalam penulisan kitab Sunan, beliau tidak sekedar mengeluarkan
hadis-hadis shahih saja, namun juga hadis-hadis yang disepakati para ulama untuk
tidak meninggalkannya , yakni meskipun tidak shahih akan tetapi di amalkan oleh
sebagian ulama .
Hal itu diketahui ketika dirinya berkirim surat pada ahli Makkah (رِسَالَةٌ إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ) sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunan-nya :
"كَتَبْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ خَمْسَمِائَةِ
أَلْفِ حَدِيثٍ، ٱنْتَخَبْتُ مِنْهَا مَا ضَمَّنْتُهُ هَذَا ٱلْكِتَابَ، جَمَعْتُ
فِيهِ أَرْبَعَةَ آلَافٍ وَثَمَانِمِائَةِ حَدِيثٍ، ذَكَرْتُ ٱلصَّحِيحَ وَمَا يُشْبِهُهُ
وَيُقَارِبُهُ".
''Aku mendengar dan menulis hadis Rasulullah ﷺ sebanyak 500 ribu hadits. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800
hadis yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut,
aku himpun hadis-hadis sahih, semi sahih, dan yang mendekati sahih.
[ Lihat : Ma'aalim as-Sunan 4/365 karya al-Khoth-thoobi ] .
Dan Abu Daud juga berkata :
لَيْسَ فِي
الْكتاب حَدِيث عَن مَتْرُوك . وَلَيْسَ فِي كتاب السّنَن الَّذِي صنفته عَن رجل
مَتْرُوك الحَدِيث شَيْء
Dalam kitab itu, aku tidak mencantumkan satu hadis pun dari orang yang haditsnya
ditinggalkan oleh para ulama . [ “الرِّسَالَةٌ
إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ”
hal. 25 ].
وَمَا كَانَ فِي
كِتَابِي مِنْ حَدِيثٍ فِيهِ وَهْنٌ شَدِيدٌ فَقَدْ بَيَّنْتُهُ، وَمِنْهُ مَا لَا
يَصِحُّ سَنَدُهُ، وَمِنْهُ مَا لَمْ أَذْكُرْ فِيهِ شَيْئًا فَهُوَ صَالِحٌ، وَبَعْضُهَا
أَصَحُّ مِنْ بَعْضٍ.
Mengenai hadis dalam kitabku yang mengandung kelemahan, maka ku jelaskan
sebagai hadis macam ini, dan sebagian ada hadis yang tidak sahih sanadnya.
Dan sebagian lain ada hadis yang tidak kuberi penjelasan sedikit pun, maka hadis tersebut bernilai sahih, dan sebagian hadits ada yang lebih shahih dari yang lain “. (SELESAI)
Dan beliau Abu Daud juga menyatakan dalam “الرِّسَالَةٌ
إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ”
hal. 25 :
وَأَمَّا الْمَرَاسِيلُ:
فَقَدْ كَانَ يَحْتَجُّ بِهَا الْعُلَمَاءُ فِيمَا مَضَى، مِثْلَ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ،
وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، وَالْأَوْزَاعِيِّ، حَتَّى جَاءَ الشَّافِعِيُّ فَتَكَلَّمَ
فِيهَا، وَتَابَعَهُ عَلَى ذَلِكَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُ رِضْوَانُ اللَّهِ
عَلَيْهِمْ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مُسْنَدٌ غَيْرَ الْمَرَاسِيلِ، وَلَمْ يُوجَدِ الْمُسْنَدُ:
فَالْمُرْسَلُ يُحْتَجُّ بِهِ، وَلَيْسَ هُوَ مِثْلَ الْمُتَّصِلِ فِي الْقُوَّةِ.
انتهى
“ Adapun hadits-hadits MURSAL : maka telah dijadikan hujjah oleh para ulama di masa lalu, seperti Sufyan Al-Tsauri, Malik bin Anas, dan Al-Awza’i, sampai Asy-Syafi'i datang dan berbicara tentang hadits-hadits mursal tersebut (yakni : Asy-Syafi'i mempermasalahkan-nya) . Lalu Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya mengikutinya - semoga Allah meridhoi mereka -.
Maka jika tidak ada hadits yang
musnad (muttashil) selain hadits-hadist mursal, alias hadits yang musnad tidak ditemukan, maka
hadits mursal dijadikan hujjah, namun demikian hadits mursal tidaklah seperti
hadits yang muttashil sanadnya dalam segi kekuatan hujjahnya “.
Dan beliau berkata pula dalam “الرِّسَالَةٌ
إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ”
di hal. 30 :
وَإِنَّ مِنَ الْأَحَادِيثِ
فِي كِتَابِي السُّنَنِ مَا لَيْسَ بِمُتَّصِلٍ، وَهُوَ مُرْسَلٌ وَمُدَلَّس، وَهُوَ
إِذَا لَمْ تُوجَدِ الصِّحَاحُ عِندَ عَامَّةِ أَهْلِ الْحَدِيثِ عَلَى مَعْنَى أَنَّهُ
مُتَّصِلٌ. انتهى
" Dan jika ada hadits dalam Kitab Sunnahku yang tidak
muttashil sanadnya, maka itu adalah Mursal dan mudallas ( مُدَلَّس = perkataan perawi yang disusupkan ) . Dan yang demikian itu
jika tidak ditemukan hadits-hadits sahih yang semakna pada para pakar hadits
pada umumnya, maka sesungguhnya itu dianggap Muttashil “.
Dan Abu Daud berkata :
وَلَا أَعْلَمُ
شَيْئًا بَعْدَ الْقُرْآنِ أَلْزَمَ لِلنَّاسِ أَنْ يَتَعَلَّمُوهُ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ،
وَلَا يَضُرُّ رَجُلًا أَنْ لَا يَكْتُبَ مِنَ الْعِلْمِ بَعْدَ مَا يَكْتُبُ هَذِهِ
الْكُتُبَ شَيْئًا، وَإِذَا نَظَرَ فِيهِ وَتَدَبَّرَهُ وَتَفَهَّمَهُ، حِينَئِذٍ يَعْلَمُ
مِقْدَارَهُ.
Kami tidak mengetahui sebuah kitab sesudah Alquran yang harus
dipelajari, selain daripada kitab ini. Dan tidak mengapa seorang laki-laki
tidak menuliskan suatu ilmu pun setelah dia menulis kitab-kitab ini, dan jika
dia melihatnya, merenungkannya , mentadabburinya dan memahaminya, maka dia akan
mengetahui nilainya. [ “الرِّسَالَةٌ
إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ”
di hal. 28 ].
Adapun Perkataan Imam Ahmad, maka sebagai contohnya
adalah sbb:
Imam Ahmad berkata :
إِنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ خَيْرٌ مِنَ الرَّأْيِ.
“Sesungguhnya
hadits dho’if lebih baik daripada pendapat (akal manusia)”. [lihat : Minhaj
as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah 4/341].
Abdul Karim Khudhair dalam Syarah al-Muwaththa 42/7
setelah mengutip perkataan Imam Ahmad diatas, lalu dia berkata :
وَهَذَا مَأْثُورٌ أَيْضًا عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ
-رَحِمَهُ ٱللّٰهُ-، أَلَّا يُعْتَقَدَ عِنْدَ ٱلْعَمَلِ بِهِ ثُبُوتُهُ، وَإِنَّمَا
يُعْتَقَدَ ٱلِٱحْتِيَاطُ.
"Ungkapan ini dikutip pula dari Abu Hanifah rahimahullah, namun dengan syarat tidak diyakini keshahihan hadits tersebut saat mengamalkannya, melainkan hanya meyakininya sebagai bentuk kehati-hatian".
As-Sam'uuni
al-Jazaairy ad-Dimasyqi berkata dalam pembahasannya tentang hadits dha'if:
وَقَدْ نُقِلَ فِي حُكْمِ الْحَدِيثِ الضَّعِيفِ
قَوْلٌ ثَالِثٌ، وَهُوَ أَنَّهُ يُؤْخَذُ بِهِ فِي الْأَحْكَامِ أَيْضًا إِذَا لَمْ
يُوجَدْ فِي الْبَابِ غَيْرُهُ، وَقَدْ نُسِبَ ذَٰلِكَ إِلَى أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ،
وَاشْتُهِرَ عَنْهُ غَايَةَ الْاشْتِهَارِ.
"Telah dinukil dalam masalah hukum hadits dha'if
pendapat ketiga, yaitu bahwa hadits dha'if juga dapat dijadikan pegangan dalam
hukum apabila tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Ahmad bin Hanbal dan sangat masyhur dinukil darinya." [Baca
: Tawjiih an-Nadzor Ilaa Ushuulil Atsar 2/658 karya as-Sam’uuni]
Dan Imam Ahmad membolehkan Talqin Mayit setelah di kubur dan tidak mewajibkannya dengan alasan hadits Talqin tersebut dho’if . Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitab Majmu' al-Fatawa 24/296 :
هَذَا التَّلْقِينُ ٱلْمَذْكُورُ (يَعْنِي
تَلْقِينُ ٱلْمَيْتِ بَعْدَ ٱلدَّفْنِ) قَدْ ثَبَتَ عَنْ طَائِفَةٍ مِّنَ ٱلصَّحَابَةِ
أَنَّهُمْ أَمَرُوا۟ بِهِۦ كَأَبِي أُمَامَةَ ٱلْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِۦ. وَرُوِيَ
فِيهِ حَدِيثٌ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَٰكِنَّهُۥ مِمَّا لَا يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِۦ
وَلَمْ يَكُنْ كَثِيرٌ مِّنَ ٱلصَّحَابَةِ يَفْعَلُونَ ذَٰلِكَ. فَلِهَٰذَا قَالَ ٱلْإِمَامُ
أَحْمَدُ وَغَيْرُهُۥ مِنَ ٱلْعُلَمَاءِ۟: إِنَّ هَٰذَا ٱلتَّلْقِينِ لَا بَأْسَ بِهِۦ،
فَرَخَّصُوا۟ فِيهِ وَلَمْ يَأْمُرُوا۟ بِهِۦ. وَٱسْتَحَبَّهُۥ طَائِفَةٌ مِّنْ أَصْحَابِ
ٱلشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَكَرِهَهُۥ طَائِفَةٌ مِّنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرِهِۦ.
“Talqin mayyit ini (yakni menuntun mayit setelah dikubur) ditetapkan
dari sekelompok sahabat seperti Abu Umamah al-Baahili dan lain-lain. Mereka
memerintahkan untuk melakukan hal itu.
Dalam masalah Talqin Mayit ini
telah diriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ, namun hadis ini tidak dinilai
sebagai hadis shahih dan tidak banyak sahabat Nabi ﷺ yang
melakukannya. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan sekelompok ulama lainnya
menyatakan, bahwa talqin mayit tidak apa-apa diamalkan. Dalam
arti, mereka hanya merukhshoh kannya dan tidak memerintahkan orang-orang untuk
melakukannya.
Namun sekelompok sahabat - sahabat Syafi’iy dan Ahmad memandangnya
mustahab. Sementara sekelompok dari sahabat sahabat Maliki dan
ulama`lainnya memakruhkan nya. (Majmu' al-Fatawa 24/296)
Begitu juga pendapat Imam Ahmad berkaitan dengan at-Tariif , yaitu berkumpul
di masjid di daerah masing-masing untuk berdo’a dan dzikir pada waktu sore hari
Arafah .
Dalam kitab : “مَسَائِلُ
ٱلْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ“,
riwayat Ishaq bin Ibrahim bin Hani al-Naisaabuuri (1/94) di sebutkan :
(وَسُئِلَ
عَنْ التَّعْرِيفِ فِي ٱلْقُرَىٰ؟ فَقَالَ: قَدْ فَعَلَهُ ٱبْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ،
وَفَعَلَهُ عَمْرُو بْنُ حُرَيْثٍ بِالْكُوفَةِ.
قَالَ أَبُو عَبْدِ ٱللَّهِ: وَلَمْ أَفْعَلْهُ أَنَا قَطُّ،
وَهُوَ دُعَاءٌ، دَعْهُمْ، يُكثِّرُ ٱلنَّاسُ. قِيلَ لَهُ: فَنَرَىٰ أَنْ يَنْهَوْا؟
قَالَ: لَا، دَعْهُمْ، لَا يَنْهَوْنَ، وَقَالَ مُبَارَكٌ: رَأَيْتُ ٱلْحَسَنَ، وَابْنَ
سِيرِينَ، وَنَاسًا يَفْعَلُونَهُ، سَأَلْتُهُ عَنْ التَّعْرِيفِ فِي ٱلْأَمْصَارِ؟
قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ.)
Artinya : “ Beliau – Imam Ahmad - ditanya tentang at-Ta’riif di
desa-desa?
Dia berkata : “Ibn Abbas melakukannya di Basrah, dan Amr bin Huraith
melakukannya di Kufah, "
Abu Abdullah – yakni Imam Ahmad - berkata : Saya tidak pernah
melakukannya, dan itu adalah berdoa , biarlah mereka memperbanyak oarang-orang
– untuk melakukannya - .
Dan dikatakan pada nya : “ Lalu apakah kita melarang mereka ?
Dia berkata: Tidak, biarkanlah , mereka jangan di larang “.
Dan Mubarak berkata : Saya melihat al-Hassan, Ibn Siiriin, dan
orang-orang melakukannya, saya bertanya kepadanya tentang at-Ta’riif di
daerah-daerah? Dia berkata: “ Tidak ada yang salah dengan itu“.
====
URAIAN LEBIH RINCI PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN-NYA SECARA MUTLAK
Hukum mengamalkan hadits dha‘if, hukum asalnya adalah boleh untuk tidak
diamalkan; karena hadits tersebut tidak bersifat mutawatir sehingga memberikan
ilmu (keyakinan), dan tidak pula hadits ahad yang shahih yang memberikan dugaan
kuat (ٌّظَن).
Namun ada beberapa kondisi di mana seseorang boleh mengamalkan hadits
dha‘if –bukan hadits yang sangat lemah (وَاهِي)– dalam hukum-hukum syariat, di
antaranya:
Pertama :
Ketika hanya ada hadits dha‘if dan tidak ditemukan hadits shahih yang
menentangnya dalam masalah tersebut:
Imam Ibnu an-Najjar al-Hanbali berkata dalam *Syarh al-Kaukab al-Munīr* (2/573, cet. Maktabah al-‘Ubaikān):
[وَفِي "جَامِعِ الْقَاضِي": أَنَّ
الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ لا يُحْتَجُّ بِهِ فِي الْمَآثِم. وَقَالَ الْخَلاَّلُ:
مَذْهَبُهُ -يَعْنِي: الإِمَام أَحْمَد- أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ إذَا لَمْ
يَكُنْ لَهُ مُعَارِضٌ قَالَ بِه. وَقَالَ فِي كَفَّارَةِ وَطْءِ الْحَائِضِ:
مَذْهَبُهُ فِي الأَحَادِيثِ، وإنْ كَانَتْ مُضْطَرِبَةً وَلَمْ يَكُنْ لَهَا
مُعَارِضٌ قَالَ بِهَا. وَقَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ عَبْدِ اللهِ: طَرِيقِي
لَسْت أُخَالِفُ مَا ضَعُفَ مِنَ الْحَدِيثِ إذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْبَابِ مَا
يَدْفَعُهُ] اهـ.
“Dalam *Jāmi‘ al-Qādhī* disebutkan bahwa hadits dha‘if tidak bisa dijadikan hujjah dalam
masalah dosa (kemaksiatan).
Dan al-Khallāl berkata: ‘Madzhabnya –yakni Imam
Ahmad– adalah bahwa hadits dha‘if jika tidak memiliki mu’aridh (tidak
berlawanan dengan dalil shahih), maka beliau berpendapat dengannya.’
Dalam masalah kaffarat orang yang menyetubuhi wanita haid, beliau juga
berkata: ‘Madzhab beliau dalam hadits, walaupun haditsnya mudhtharib (labil),
jika tidak ada dalil penentangnya, maka beliau mengambilnya.’
Dan Ahmad berkata dalam riwayat dari Abdullah: ‘Metodeku adalah aku
tidak menyelisihi hadits dha‘if jika tidak ada dalam bab tersebut sesuatu yang
menolaknya.’”
Imam Ibnu ash-Sholah dalam *Muqaddimah*-nya (hal. 36, cet. Dār al-Fikr) berkata:
[حَكَى أَبُو عَبْدِ اللهِ بْنُ مَنْدَه
الْحَافِظُ أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ سَعْدٍ الْبَاوَرْدِيَّ بِمِصْرَ
يَقُولُ: "كَانَ مِنْ مَذْهَبِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيِّ أَنْ
يُخْرِجَ عَنْ كُلِّ مَنْ لَمْ يُجْمَعْ عَلَى تَرْكِهِ". وَقَالَ ابْنُ
مَنْدَه: "وَكَذَلِكَ أَبُو دَاوُدَ السِّجِسْتَانِيُّ يَأْخُذُ مَأْخَذَهُ،
وَيُخْرِجُ الْإِسْنَادَ الضَّعِيفَ إِذَا لَمْ يَجِدْ فِي الْبَابِ غَيْرَهُ؛
لِأَنَّهُ أَقْوَى عِنْدَهُ مَنْ رَأْيِ الرِّجَال"] اهـ.
“Abu ‘Abdillah Ibnu Mandah al-Hafizh menyebutkan bahwa ia mendengar
Muhammad bin Sa‘d al-Bāwardī di Mesir
berkata: ‘Termasuk dari madzhab Abu ‘Abdirrahman an-Nasā’ī adalah meriwayatkan dari siapa saja
yang tidak disepakati untuk ditinggalkan.’ Ibnu Mandah berkata: ‘Demikian pula
Abu Dawud as-Sijistānī, ia mengikuti
jalan ini dan meriwayatkan sanad yang dha‘if jika tidak menemukan selainnya
dalam bab tersebut; karena menurutnya hadits tersebut lebih kuat daripada
pendapat akal para ulama.’”
Imam ‘Ali bin Hazm dalam *al-Muhallā* (3/61, cet.
Dār al-Fikr) berkata:
[وَهَذَا الْأَثَرُ (قُنُوتُ الْفَجْرِ)
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِمَّا يُحْتَجُّ بِمِثْلِهِ فَلَمْ نَجِدْ فِيهِ عَنْ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآله وسَلَّمَ غَيْرَهُ، وَقَدْ قَالَ الإمام
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللهُ: ضَعِيفُ الْحَدِيثِ أَحَبُّ إلَيْنَا مِنَ
الرَّأْيِ، قَالَ عَلِيٌّ: وَبِهَذَا نَقُولُ] اهـ.
“Hadits (tentang qunut subuh) ini meskipun bukan termasuk hadits yang
bisa dijadikan hujjah dengan sendirinya, namun kami tidak mendapati dalam
masalah ini selainnya dari Rasulullah ﷺ. Dan telah berkata Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah: ‘Hadits dha‘if lebih aku sukai daripada pendapat
(ro’yu).’ ‘Ali berkata: ‘Dan kami pun berpendapat demikian.’”
Kedua : Ketika hadits tersebut diterima oleh umat:
Imam as-Sakhāwī dalam *Fath
al-Mughīts bi-Syarh Alfiyyah al-Hadīts* (1/350, cet. Maktabah as-Sunnah,
Mesir) berkata:
[وَكَذَا إِذَا تَلَقَّتِ الْأُمَّةُ
الضَّعِيفَ بِالْقَبُولِ يُعْمَلُ بِهِ عَلَى الصَّحِيحِ، حَتَّى إِنَّهُ
يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الْمُتَوَاتِرِ فِي أَنَّهُ يَنْسَخُ الْمَقْطُوعَ بِهِ؛
وَلِهَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي حَدِيثِ: «لَا
وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»: إِنَّهُ لَا يُثْبِتُهُ أَهْلُ
الْحَدِيثِ، وَلَكِنَّ الْعَامَّةَ تَلَقَّتْهُ بِالْقَبُولِ، وَعَمِلُوا بِهِ
حَتَّى جَعَلُوهُ نَاسِخًا لِآيَةِ الْوَصِيَّةِ لَهُ] اهـ.
“Demikian juga jika umat menerima hadits dha‘if, maka boleh diamalkan
menurut pendapat yang shahih, bahkan ia dianggap seperti hadits mutawatir dalam
hal bahwa ia bisa menghapus sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, Imam asy-Syāfi‘i rahimahullah berkata mengenai hadits: ‘Tidak ada wasiat bagi ahli
waris’: ‘Para ahli hadits tidak menetapkannya sebagai hadits yang shahih,
tetapi masyarakat umum menerimanya dan mengamalkannya hingga menjadikannya
sebagai penghapus ayat wasiat untuk ahli waris.’”
Ketiga : Bersifat ihtiyath (berhati-hati) dalam mengamalkan-nya:
Imam as-Sakhāwī dalam *Fath
al-Mughīts* (1/351) berkata:
[أَوْ كَانَ فِي مَوْضِعِ احْتِيَاطٍ؛ كَمَا
إِذَا وَرَدَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ بِكَرَاهَةِ بَعْضِ الْبُيُوعِ أَوِ الْأَنْكِحَةِ،
فَإِنَّ الْمُسْتَحَبَّ -كَمَا قَالَ الإمام النَّوَوِيُّ- أَنْ يُتَنَزَّهَ
عَنْهُ، وَلَكِنْ لَا يَجِبُ، وَمَنَعَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ الْمَالِكِيُّ
الْعَمَلَ بِالضَّعِيفِ مُطْلَقًا. وَلَكِنْ قَدْ حَكَى النَّوَوِيُّ فِي عِدَّةٍ
مِنْ تَصَانِيفِهِ إِجْمَاعَ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ عَلَى الْعَمَلِ بِهِ
فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا خَاصَّةً] اهـ.
“Atau jika berada pada tempat ihtiyath (kehati-hatian), seperti bila
ada hadits dha‘if yang menunjukkan makruh dalam sebagian jual beli atau
pernikahan, maka yang dianjurkan –sebagaimana dikatakan Imam an-Nawawi– adalah
menghindarinya, namun tidak wajib. Dan Ibnu al-‘Arabī al-Mālikī melarang mengamalkan hadits dha‘if secara
mutlak. Tetapi an-Nawawi telah menyebutkan dalam beberapa kitabnya adanya ijma‘
para ahli hadits dan lainnya atas bolehnya mengamalkan hadits dha‘if dalam
keutamaan amal dan semacamnya secara khusus.”
Imam as-Suyūṭī dalam *Tadrīb ar-Rāwī* (1/351, cet. Dār Ṭayyibah) berkata:
[وَيُعْمَلُ بِالضَّعِيفِ أَيْضًا فِي
الْأَحْكَامِ إِذَا كَانَ فِيهِ احْتِيَاطٌ] اهـ.
“Dan juga diamalkan hadits dha‘if dalam hukum-hukum jika mengandung
sisi kehati-hatian (ihtiyath).”
Keempat : Anjuran dalam fadhoil (keutamaan amal):
Al-‘Allāmah Ibnu al-Humām dalam *Fath
al-Qadīr* (2/133, cet. Dār al-Fikr) berkata:
[«مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ، وَمَنْ
حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ» حَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَهُ الْجُمْهُورُ، وَلَيْسَ
فِي هَذَا وَلَا فِي شَيْءٍ مِنْ طُرُقِ عَلِيٍّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ، لَكِنَّ طُرُقَ حَدِيثِ
عَلِيٍّ كَثِيرَةٌ، وَالِاسْتِحْبَابُ يَثْبُتُ بِالضَّعْفِ غَيْرِ الْمَوْضُوعِ] اهـ.
“‘Barang siapa memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi. Dan barang
siapa membawanya, maka hendaklah ia berwudhu.’ Hadits ini dinilai hasan oleh
at-Tirmidzi dan dianggap dha‘if oleh jumhur. Dan tidak ada dalam hadits ‘Ali
jalur yang shahih, namun jalur hadits ‘Ali sangat banyak. Dan anjuran (istihbāb) dapat ditetapkan dengan hadits dha‘if selama bukan hadits yang palsu
(maudhu‘).”
KESIMPULAN PENDAPAT PERTAMA :
Karena keadaan demikian itu bersifat kemungkinan, dan dalam bab fikih tidak ditemukan hadits shahih yang menentang hadits dha‘if tersebut, sementara ada kemungkinan hadits dha‘if itu benar dan sebagian para ulama mengamalkan maknanya, maka ini menunjukkan bahwa makna tersebut benar menurut sebagian ulama.
*****
DALIL PENDAPAT PERTAMA : BOLEH SECARA MUTLAK
Dalil bolehnya meriwayatkan sebuah informasi yang belum di ketahui keshahihannya secara ilmu sanad dan jarh wat-ta’diil :
Dalil Pertama :
Dari Abdullah ibn ‘Amr: Bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka . ( HR. Bukhori no. 3461 ).
Dalam hadits ini Rosullullah ﷺ mengijinkan umatnya untuk menyampaikan ilmu yang datang dari Bani Israil , selama tidak ada unsur kesengajaan berdusta . Dan sudah dipastikan riwayat-riwayat Israiliyat sebelum Islam datang itu tidak bersanad , bahkan belum ada ilmu jarh wat ta’diil.
Kedua :
Jika disyaratkan harus shahih sanadnya , maka ini bisa di pastikan banyak ilmu-ilmu agama Islam yang hilang , baik yang berkaitan dengan hukum maupun sejarah dan lainnya .
Rosulullah ﷺ membenarkan sebuah amalan yang diajarkan dari si pendusta jika amalan itu benar . Dan itu beliau ﷺ membolehkan untuk mengamalkannya . Sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih berikut ini :
Dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah kisah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ ، فَأَتَانِى آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ .
وَقُلْتُ وَاللَّهِ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ .
قَالَ إِنِّى مُحْتَاجٌ ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ ، وَلِى حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ .
قَالَ : فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ ﷺ :« يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » . قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً فَرَحِمْتُهُ ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ .
قَالَ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ «.
فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِنَّهُ سَيَعُودُ . فَرَصَدْتُهُ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ : لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ .
قَالَ : دَعْنِى فَإِنِّى مُحْتَاجٌ ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ لاَ أَعُودُ ، فَرَحِمْتُهُ ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ .
فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ « يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ «.
فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ، وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ أَنَّكَ تَزْعُمُ لاَ تَعُودُ ثُمَّ تَعُودُ .
قَالَ : دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا . قُلْتُ : مَا هُوَ ؟
قَالَ : " إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ" .
فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » .
قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « مَا هِىَ ؟ » .
قُلْتُ : قَالَ لِى : إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ .
فَقَالَ النَّبِىُّ ﷺ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ؟» .
قَالَ لاَ . قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ«
Artinya : Rasulullah ﷺ pernah mewakilkan padaku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada seseorang yang datang dan menumpahkan makanan dan mengambilnya.
Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah ﷺ.”
Lalu ia berkata : “Aku ini benar-benar dalam keadaan butuh. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.”
Abu Hurairah berkata : “Aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi ﷺ berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?”
Aku pun menjawab : “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.”
Nabi ﷺ bersabda : “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.“
Aku pun tahu bahwasanya ia akan kembali sebagaimana yang Rasulullah ﷺ katakan. Aku pun mengawasinya, ternyata ia pun datang dan menumpahkan makanan, lalu ia mengambilnya.
Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah ﷺ.”
Lalu ia berkata : “Biarkanlah aku, aku ini benar-benar dalam keadaan butuh. Aku memiliki keluarga dan aku tidak akan kembali setelah ini.”
Abu Hurairah berkata : “Aku pun menaruh kasihan padanya, aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi ﷺ berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu?”
Aku pun menjawab : “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya pergi.”
Nabi ﷺ bersabda : “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.“
Pada hari ketiga : aku terus mengawasinya, ia pun datang dan menumpahkan makanan lalu mengambilnya.
Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah ﷺ. Ini sudah kali ketiga, engkau katakan tidak akan kembali namun ternyata masih kembali.
Ia pun berkata : “Biarkan aku. Aku akan mengajari suatu kalimat yang akan bermanfaat untukmu.”
Abu Hurairah bertanya, “Apa itu?”
Ia pun menjawab : “Jika engkau hendak tidur di ranjangmu, bacalah ayat kursi : ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum …‘ hingga engkau menyelesaikan ayat tersebut. Maka Allah akan senantiasa menjagamu dan Syaithon tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”
Abu Hurairah berkata : “Aku pun melepaskan dirinya dan ketika pagi hari Rasulullah ﷺ bertanya padaku, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?”
Abu Hurairah menjawab : “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfaat padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.”
Nabi ﷺ bertanya, “Apa kalimat tersebut?”
Abu Hurairah menjawab : “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu bacaan : ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’....... .
Lalu ia mengatakan padaku : bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan Syaithon pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.
Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.”
Nabi ﷺ pun bersabda : “Adapun dia , untuk kali ini sungguh telah berkata benar pada mu, padahal aslinya dia itu pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?”
Dia menjawab : “Tidak” .
Lalu Nabi ﷺ berkata : “Dia adalah Syaithon.” (HR. Bukhari no. 2311).
PENDAPAT KEDUA :
BOLEH DIAMALKAN DALAM FADHOIL A'MAAL.
Hadits Dha’if Hanya BOLEH Diamalkan
dalam Fadhoil A'maal [فَضَائِلُ الْأَعْمَالِ]
dengan Syarat-Syarat Tertentu
Imam An-Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori,
dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menukil : kesepakatan JUMHUR ULAMA dan FUQOHA
atas pendapat yang membolehkan pengamalan hadits dha’if dalam fadhoil a'maal.
Imam Al-Zarkashi Al-Syafi'i mengutip
: “Ijma’ para ulama boleh mengamalkan hadits dho’if dalam faho’ilul a’mal”.
Pendapat ini dijadikan pedoman oleh
banyak para imam, diantaranya : Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Imam Al Luknawi,
Imam Ahmad, Abu Zakariya, dan Ibnu Mahdi.
[ Baca : (حُكْمُ قَبُولِ ٱلْحَدِيثِ ٱلضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ ٱلْأَعْمَالِ) karya Abdul Khaliq, hlm 3]
Imam Ahmad menuturkan pendapat beliau sebagi berikut:
اِذَا
رَاوَيْنَا فِى الحَلاَلِ وَالحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِى الفَضَائِلِ
وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا
Artinya : “Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam masalah halal dan harom kami bersikap tegas, dan jika kami meriwayatkan (hadits) dalam fadhoil dan semisalnya kami bermudah-mudah “ .
[ Baca : حُكْمُ قَبُولِ ٱلْحَدِيثِ ٱلضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ ٱلْأَعْمَالِ, karya Abdul Khaliq, hlm 3].
Abdul Karim Khudhoir dalam Syarah al-Muwaththo 42/4 berkata :
وَنَقَلَ ٱلنَّوَوِيُّ
فِي مُقَدِّمَةِ ٱلْأَرْبَعِينَ ٱلِٱتِّفَاقَ عَلَىٰ هَذَا ٱلْقَوْلِ، وَمِثْلُهُ مَا
قَالَهُ مُلَّا عَلِيٌّ قَارِي نَقَلَ ٱلِٱتِّفَاقَ عَلَى ٱلْعَمَلِ بِٱلْحَدِيثِ ٱلضَّعِيفِ
فِي ٱلْفَضَائِلِ.
“An-Nawawi dalam mukadimah *Al-Arba'in* telah menukil adanya kesepakatan ulama atas pendapat ini, dan serupa dengan itu adalah apa yang dikatakan oleh Mulla 'Ali Al-Qari, yaitu ia menukil adanya kesepakatan atas bolehnya beramal dengan hadits dha'if dalam keutamaan-keutamaan amal (Fadhoilul A’maal)”.
Imam Az-Zarkasyi Al-Syafi'i mengatakan dalam bukunya “ٱلنُّكْتُ عَلَىٰ مُقَدِّمَةِ ٱبْنِ ٱلصَّلَاحِ” :
أَجْمَعَ أَهْلُ
الْحَدِيثِ وَغَيْرُهُمْ عَلَى الْعَمَلِ فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا مِمَّا لَيْسَ
فِيهِ حُكْمٌ وَلَا شَيْءٌ مِنَ الْعَقَائِدِ وَصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْحَدِيثِ
الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ، إِذَا عَلِمْتَ هَذَا فَقَدْ نَازَعَ بَعْضُ
الْمُتَأَخِّرِينَ وَقَالَ جَوَازُهُ مُشْكِلٌ، فَإِنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ النَّبِيِّ
ﷺ، فَإِسْنَادُ الْعَمَلِ إِلَيْهِ يُوْهِمُ ثُبُوتَهُ وَيُؤَدِّي إِلَى ظَنِّ مَنْ
لَا مَعْرِفَةَ لَهُ بِالْحَدِيثِ الصِّحَّةِ فَيَنقُلُونَهُ وَيَحْتَجُّونَ بِهِ،
وَفِي ذَٰلِكَ تَلْبِيسٌ، قَالَ: وَقَدْ نَقَلَ بَعْضُ الْأَثْبَاتِ عَنْ بَعْضِ تَصَانِيفِ
الْحَافِظِ أَبِي بَكْرٍ بْنِ الْعَرَبِيِّ الْمَالِكِيِّ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ الْحَدِيثَ
الضَّعِيفَ لَا يُعْمَلُ بِهِ مُطْلَقًا.اهـ
Para ulama ahli hadits dan yang lainnya dulu telah ber Ijma’ [bersuara
bulat] akan bolehnya mengamalkan hadits-hadits Dhoif dalam Fadloilul a’maal
(فَضَائِلُ الْأَعْمَالِ) dan yang semisalnya, selama
mengamalkan hadits dhoif tersebut tidak berkaitan dengan hukum syar’i dan juga
bukan hal-hal yang berkaitan dengan Aqidah serta sifat-siafat Allah Ta’aala
Jika mengetahui hal ini, maka sungguh setelah masa itu ada sebagian
ulama dari generasi akhir yang memprotesnya dan mengatakan bahwa jika hal tersebut
diperbolehkan , maka itu bermasalah, dengan alasan bahwa yang namanya hadits
dhoif itu hadits yang tidak valid datang dari Nabi ﷺ.
Maka menyandarkan dalil sebuah amalan kepadanya akan memberi kesan
kevalidan hadits tersebut.
Dan dampaknya adalah terhadap orang-orang yang tidak faham ilmu hadits,
mereka mengira bahwa hadits tersebut Shahih , lalu mereka menyebarkannya dan
berhujjah dengannya . Dan yang demikian itu adalah bentuk pengelabuan .
Dia berkata : “ Ada beberapa orang-orang yang kokoh lagi di percaya
menukil dari sebagian karya-karya Hafidz Abu Bakr bin Al-Arabi Al-Maliki bahwa
dia mengatakan: Hadis yang lemah itu tidak boleh diamalkan sama sekali “. (SELESAI)
Meskipun demikian ada sebagian dari mereka yang mengatakan : dibolehkan-nya itu tidak berlaku secara mutlak, namun ada beberapa ketentuan yang harus di perhatikan. Seperti yang dijelaskan oleh al-Haafidz ibnu Hajar, ketentuan-ketentuan itu adalah sbb :
١- أَنْ يَكُونَ ٱلضَّعْفُ غَيْرَ شَدِيدٍ، فَلَا
يُعْمَلَ بِحَدِيثٍ ٱنْفَرَدَ بِهِ أَحَدٌ مِنَ ٱلْكَذَّابِينَ أَوِ ٱلْمُتَّهَمِينَ
بِٱلْكَذِبِ أَوْ مَنْ فَحُشَ غَلَطُهُ.
٢- أَنْ يَنْدَرِجَ تَحْتَ أَصْلٍ مَعْمُولٍ بِهِ.
٣- أَلَّا يُعْتَقَدَ عِنْدَ ٱلْعَمَلِ بِهِ ثُبُوتُهُ،
بَلْ يُعْتَقَدَ ٱلِٱحْتِيَاطُ.
1]. Bahwa
kelemahannya tidak parah, maka tidak boleh diamalkan hadits yang hanya
diriwayatkan sendirian oleh seorang pendusta, orang yang dituduh berdusta, atau
orang yang kesalahannya sangat parah.
2]. Hadits
tersebut berada di bawah kaidah umum yang diamalkan.
3]. Tidak
meyakini bahwa hadits tersebut benar-benar sahih ketika diamalkan, tetapi
meyakininya sebagai bentuk kehati-hatian.
Lihat *Tadrīb ar-Rāwī* 1/298–299, *Fatḥ al-Mughīth* 1/268 dan Taysiir Mushtholah al-Hadits hal. 81]
[Maksud bermudah-mudahan, adalah : sikap tidak begitu memperdulikan atau meremehkan cela perawi dalam sanadnya].
[Maksud Berhati-hati (اِحْتَاطَ) adalah : berjaga-jaga bila ternyata hadits tersebut benar dari rosul ﷺ maka ia telah menunaikan haknya (hak hadits untuk diamalkan) atau jika ternyata tidak benar, maka tidak ada dosa bagi yang mengamalkan.]
Dalam kitab “قَوَاعِدُ التَّحْدِيثِ” , Imam al-Hakim menyebutkan pendapat Abu Zakariya Al-Anbari; beliau berkata :
سَمِعْتُ اَبَا
زَكَرِيَّا العَنْبَرِى يَقُوْلُ : " الخَبَرُ وَرَدَ لَمْ يُحَرِّمْ
حَلاَلاً وَلَمْ يُحِلَّ حَرَامًا وَلَمْ يُوْجِبْ حُكْمًا وَكَانَ فِى تَرْغِيْبٍ
اَوْ تَرْهِيْبٍ أُغْمِضَ عَنْهُ وَتُسُوْهِلَ فِى رُوَاتِهِ ".
Aku mendengar Abu Zakariya Al-Anbari menyatakatan : “ khabar [hadits[
yang muatannya tidak mengharamkan yang halal, tidak menghalalkan yang haram,
tidak mewajibkan suatu hukum dan pula kandungannya itu dalam hal targhib
(menanamkan rasa suka) atau tarhib (menakut-nakuti), maka itu dibiarkan dan dipermudah
dalam (hal cacat) para rawinya “. (Baca : Al-Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 114)
Syarat-syarat dibolehkannya mengamal-kan Hadits Dhoif menurut sebagian
para ulama yang berpendapat yang ke dua ini adalah sbb :
1]. Bahwa hadits tersebut tidak terlalu lemah (bukan hadits dhoif
jiddan apalagi maudhu/ palsu)
2]. Hadits dhoif itu tidak boleh diyakini bahwa dia adalah sabda Nabi ﷺ atau perbuatan Beliau ﷺ. Maka hadits diamalkan hanya
karena kehati-hatian dari pada mengamalkan sesuatu yang tidak ada dalilnya .
3]. Hadits tersebut khusus untuk Fadhoilul A’mal atau Targhib wat-tarhib.
Tidak boleh dalam masalah aqidah, hukum, Tafsir Al-Qur’an dan lain-lain yang
usul (prinsip) dari Ad-Din ini.
4]. Orang yang mengamalkan tidak boleh memperkenalkan hadits tersebut
kepada masyarakat awam, karena jika melihat hadits itu mashyur dan banyak
diamalkan akan mengira bahwa itu adalah sunnah yang shohih.
SYEIKH AL-UTSAIMIIN :
Berkenaan dengan hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
“Sedangkan hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama
-rahimahumullah-. Ada yang membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun
mereka memberikan 3 SYARAT dalam masalah ini,
Pertama : Hadits
tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah).
Kedua : Hadits
tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan adanya
pahala dan hukuman.
Ketiga : Tidak
boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi ﷺ. Hadits tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak jazim
(yaitu tidak tegas). Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib
untuk memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.” [Kutipan Selesai]
===****===
PENDAPAT KE TIGA :
TIDAK BOLEH DIAMALKAN SECARA MUTLAK.
Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan
Secara Mutlak
Yakni : pendapat ke tiga ini tidak
membolehkan pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam masalah hukum
syari’, aqidah, fadhoil a'maal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati.
Ini adalah pendapat : Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in,
Abu Bakr ibnu al-Arabi al-Maaliki , Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm
–rahimahullahu- dan lain-lain.
[Baca : *Tadrib ar-Rawi* (1/252), Qowaidut Tahdits, karya al-Qosimi hlm 113 dan, حُكْمُ قَبُولِ ٱلْحَدِيثِ ٱلضَّعِيفِ
فِي فَضَائِلِ ٱلْأَعْمَالِ,
karya Abdul Khaliq hlm. 3]
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Al-Albani rahimahullah. Lihat mukadimah kitab *Shahih at-Targhib wat-Tarhib* (1/47–67).
IMAM BUKHORI :
Benarkah beliau melarang pengamalan hadits dho'if ???
Ada yang mengatakan :
" Bahwa dalam pembahasan tentang Imam Bukhori ini, tidak ada satupun
kitab yang mencantumkan penjelasan Imam Bukhori dan Imam Muslim yang melarang
pengamalan hadits dha’if.
Para ulama hanya menyimpulkan kecenderungan Imam Bukhori dan imam
Muslim kepada pendapat ini setelah melihat kitab shahih mereka berdua yang
seluruh haditsnya shahih.
PENULIS KATAKAN :
Namun penulis menemukan pendapat Imam Bukhory yang menunjukkan bahwa
hadits dhoif yang isinya melarang sebuah amalan yang mentakhshish amalan mutlak
yang mubah, maka hadits dhoif tersebut tidak boleh diamalkan .
Diantaranya : masalah hukum membaca Al-Quran ketika Ruku dan Sujud . Maka
Mayoritas para ulama mengatakan makruh , mereka berhujjah dengan hadits Ali dan
hadits Ibnu Abbas . Sementara Imam Bukhori berpendapat lain, yaitu boleh, seperti
yang di kutip oleh Ibnu Rusyd dalam kitab “بِدَايَةُ
ٱلْمُجْتَهِدِ”, beliau berkata :
اِتَّفَقَ الْجُمْهُورُ
عَلَى مَنْعِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ لِحَدِيثِ عَلِيٍّ
فِي ذَٰلِكَ، قَالَ:
نَهَانِي حِبِّي
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا، أَوْ سَاجِدًا.
قَالَ ٱلطَّبَرِيُّ:
وَهُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ، وَبِهِۦٓ أَخَذَ فُقَهَاءُ ٱلْأَمْصَارِ. وَصَارَ قَوْمٌۭ
مِّنَ ٱلتَّابِعِينَ إِلَىٰ جَوَازِ ذَٰلِكَ، وَهُوَ مَذْهَبُ ٱلْبُخَارِيِّ، لِأَنَّهُۥ
لَمْ يَصِحَّ الْحَدِيثُ عِندَهُۥ. وَٱللَّهُ أَعْلَمُ.
Artinya : Mayoritas para
ulama sepakat bahwa dilarang membaca Al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud,
berdasarkan hadits Ali tentang hal itu, beliau ﷺ bersabda:
نَهَانِي
حِبِّي ﷺ، أنْ أقْرَأَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا
"Kekasihku ﷺ melarangku membaca ( al-Quran )
ruku' atau sujud" [HR. Muslim no.480]
Ath-Thabari berkata:
Ini adalah hadits shahih, dan para ahli fiqih di seluruh pelosok negeri mengamlkannya.
Namun ada satu kaum dari
kalangan para tabi’iin yang membolehkan baca al-Quran ketika ruku dan sujud .
Dan ini adalah MADZHAB IMAM AL-BUKHORI , alasannya karena hadits larangan baca
al-Quran ketika ruku dan sujud menurutnya tidak shahih “.
( Lihat Kitab “بِدَايَةُ
ٱلْمُجْتَهِدِ” karya Ibnu Rusyd 3/46 , di cetak bersama
“ٱلْهِدَايَةُ
فِي تَخْرِيجِ ٱلْبِدَايَةِ” karya al-Muhaddits Ahmad al-Ghumaari
al-Hasani ).
Sementara dalam riwayat lain
larangan tersebut hanya saat sedang ruku saja :
Dari 'Ali - radhiyallahu anhu- berkata :
نَهَانِي
النَّبِيُّ ﷺ عَنْ الْقَسِّيِّ وَالْحَرِيرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ
وَأَنَا رَاكِعٌ وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى وَأَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا
“Rasulullah ﷺ melarangku memakai pakaian
sutra, kain sutra, dan cincin emas, serta melarang membaca (Al Qur'an) saat
ruku.
Dia berkata lagi : dan beliau melarangku membaca (Al Qur'an) saat
ruku'."
[ HR. An-Nasaa'i no. 1040] Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih
an-Nasaa'i no. 1040
SAYA KATAKAN ( Penulis ) :
Pertama :
Hadits Ali dan Ibnu Abbaas tentang larangan baca Al-Quran ketika Ruku dan
Sujud, dua-duanya shahih, di riwayatkan Imam Muslim, Imam Ahmad, Daud, Turmudzi,
Nasai dan lain lain .
Kedua :
Kalo seandainya benar bahwa hadits larangan tersebut lemah, lalu dalil yang di jadikan imam
Bukhori itu apa, sehingga beliau membolehkan baca al-Quran ketika sujud dan
ruku ????
Mungkin dalil beliau itu
adalah keumuman dari firman Allah swt tentang bacaan dalam shalat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ
الْقُرْآنِ
Artinya : “ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran “
( QS. Al-Muzammil : akhir ayat )
Dan Sabda Nabi ﷺ :
إِنَّ هَذِهِ
الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ هَذَا إِنَّمَا هِيَ
التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
"Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada sesuatu kata-kata
orang pun didalamnya, shalat hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al Quran ( HR.
Muslim ).
NOTE :
Dalam pemaparan di atas, ada yg perlu perhatikan , Yaitu sbb :
Pertama :
Antara Imam Bukhori dengan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang keshahihan
hadits larangan baca Al-Quran ketika Ruku dan sujud .
Kedua :
Ada riwayat shahih lainnya yg menyatakan bahwa yang dilarang baca Quran
itu hanya ketika Ruku Saja.
Ketiga :
Imam Bukhori memboleh kan baca al-Quran ketika Ruku dan Sujud TANPA adanya
DALIL YG JELAS .
Karena imam Bukhori hanya berdalil dgn mengatakan bahwa hadits larangan
tersebut Dho'if.
Lalu beliau berdalil dengan mengembalikannya ke hukum asal atau dalil
umum . Yaitu menurut madzhab Imam Bukhori bahwa dalam shalat secara mutlak boleh
baca alquran, dzikir dan Tasbiih .
IMAM MUSLIM :
Adapun Imam Muslim sendiri ; maka beliau berkata di muqoddimah Shahih Muslim :
اعْلَمْ وَفَّقَكَ
ٱللَّهُ أَنَّ ٱلْوَاجِبَ عَلَىٰ كُلِّ أَحَدٍ عَرَفَ ٱلتَّمْيِيزَ بَيْنَ صَحِيحِ
ٱلرِّوَايَاتِ وَسَقِيمِهَا وَثِقَاتِ ٱلنَّاقِلِينَ لَهَا مِنَ ٱلْمُتَّهَمِينَ: أَنْ
لَا يَرْوِيَ مِنْهَا إِلَّا مَا عَرَفَ صِحَّةَ مُخَارِجِهَا وَٱلْسَّتَارَةِ فِي
نَاقِلِيهَا، وَأَنْ يَتَّقِيَ مِنْهَا مَا كَانَ مِنْهَا عَنْ أَهْلِ ٱلتَّهَمِ وَٱلْمُعَانِدِينَ
مِنْ أَهْلِ ٱلْبِدَعِ.
" Ketahuilah - semoga Allah memberi Anda taufiq - bahwa wajib atas setiap orang untuk mengetahui perbedaan antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang tidak shahih, dan mengetahui para perawi yang dapat dipercaya dari para perawi yang tertuduh tidak dipercaya.
Agar masing-masing orang tidak meriwayatkan darinya kecuali apa yang
diketahui keshahihan sumbernya dan tabir tentang kondisi para perawinya.
Dan agar berjaga-jaga darinya jangan sampai mengambil hadits dari
orang-orang yang tertuduh dan orang-orang keras kepala dari kalangan ahli bid'ah".
[Selesai]
Dari perkataan beliau ini bisa di fahami : Bahwa beliau sangat mencela perawi
yang sengaja menebarkan hadits dha’if, terlebih kepada para orang awam. Beliau
mewajibkan periwayatan dari para tsiqoot yang terkenal kejujuran dan amanahnya,
sehingga para peperawi harus berhati-hati dari riwayat ahli bid’ah dan tidak
meriwayatkan kecuali shohih saja.
Imam Muslim sangat berpegang teguh dengan hadits yang beliau riwayatkan
dalam shahihnya , yaitu hadits :
مَنْ حَدَّثَ
عَنِّي بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ
“Barang siapa menceritakan suatu hadits tentangku yang ia anggap
bahwa (hadits) itu suatu kedustaan maka ia termasuk salah satu dari pada
pendusta” . (HR. Muslim di Muqoddimah Shahih Muslim 1/8 )
IBNU HAZEM ADZ-DZOOHIRI:
Al-Qosimi menukilkan penuturan Ibnu Hazm dari kitab “ٱلْمِلَلُ وَٱلنِّحَلُ” sebagai berikut :
مَا نَقَلَهُ
أَهْلُ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ أَوْ كَافَّةٌ عَنْ كَافَّةٍ أَوْ ثِقَةٌ عَنْ
ثِقَةٍ حَتَّى يَبْلُغَ اِلَى النَّبِيِّ ﷺ: إِلاَّ أَنَّ فِى الطَّرِيْقِ رَجُلاً
مَجْرُوْحًا بِكِذْبٍ اَوْ غَفْلَةٍ اَوْ مَجْهُوْلِ الحَالِ. فَهَذَا يَقُوْلُ
بِهِ بَعْضُ المُسْلِمِيْنَ وَلاَ يَحِلُّ عِنْدَنَا القَوْلُ بِهِ وَلاَ
تَصْدِيْقُهُ وَلاَ الأَخْذُ بِشَيْئٍ مِنْهُ
”Apa-apa yang dinukil oleh penduduk timur dan barat atau keseluruhan
mereka, atau seorang tsiqot dari tsiqot yang lain hingga sampai (berakhir) pada
Nabi ﷺ. Kecuali jika dalam sanadnya (ada) seorang perawi yang tercela
karena kedustaan, kelalaian, atau tidak diketahui keadaanya. Maka ini diperbolehkan
berpendapat dengannya oleh sebagain muslimin, sedangkan menurut kami tidak
halal berpendapat dengannya (hadits yang ada perawi tercelanya) , tidak halal
membenarkannya , dan tidak pula pengambilan sedikitpun darinya.”
( Baca : Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113)
Maksudnya;
Ibnu Hazm menyatakan bahwa sebagian muslimin membolehkan pengamalan hadits yang
dinukil oleh para perawi tsiqot atau seorang perawi tsiqot dan seterusnya
hingga berakhir pada Nabi ﷺ, selagi hadits itu tidak
terdapat di dalamnya perawi pendusta, lalai, atau tidak diketahui kondisinya.
Menurut beliau : “ Bila memang hadits itu dha’if maka tidak boleh diamalkan secara
mutlak”.
Berkata Asy-Syaikh Al-Muhaddits Ahmad Syakir –رحمه الله- :
“…Bahwasanya tidak ada perbedaan antara masalah ahkam (hukum-hukum)
fadhoilul ‘amal dan yang lainnya tentang tidak bolehnya mengambil hadits dhoif
sebagai pegangan, bahkan seorang tidak boleh berhujjah kecuali dari khabar yang
datangnya dari Rasulullah ﷺ berupa hadits shohih atau hasan”.
Dan perlu diingat bahwa hadits-hadits yang shohih sangatlah banyak dan
sudah cukup untuk mengamalkan Ad-Diin ini dan kita tidak membutuhkan lagi
hadits yang lemah.
Sangat benar perkataan Imam Abdullah bin Mubarak –رحمه الله- : “Pada hadits shohih terdapat kesibukan dari (mengamalkan)
hadits yang lemah”
*****
DALIL-DALIL YANG DI JADIKAN HUJJAH BAGI PENDAPAT KE TIGA :
Pertama :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : "Rasulullah ﷺ bersabda::
مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja
maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (
HR. Bukhori no.3202 dan Muslim no. 4 )
Telah berkata Ibnu Hibban dalam Muqaddimah kitab shohihnya pasal
“Wajibnya masuk neraka seseorang yang menisbatkan sesuatu (perkataan maupun
perbuatan) kepada Al Musthofa ﷺ padahal orang tersebut tidak mengetahui
keshohihan hadits tersebut” kemudian beliau (Ibnu Hibban) mengutip dua hadits
yang menunjukkan kebenaran perkataannya:
Pertama :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah ﷺ :
مَنْ قَالَ
عَلَيَّ مَالَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار .
“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku apa yang aku tidak
katakan, maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di Neraka” .
[HR. Al-Haakim no. 348 dan Ibnu Hibban. Di Hasankan oleh al-Albaani
dalam ash-Shahihah no. 1753].
Hadits ini di riwayatkan pula oleh Imam Bukhori no. 109 dari Salamah
radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
" مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَالَمْ أَقُلْ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار ".
“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku apa yang aku tidak
katakan, maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di Neraka”
Kedua : Dari al-Mughiroh bin Syu’bah , bahwa Nabi ﷺ bersabda :
"مَنْ حَدَّثَ بِحَدِيثٍ، وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ
كَذِبٌ؛ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ"، وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: "فَهُوَ
أَحَدُ الْكَذَّابِينَ".
“Barangsiapa meriwayatkan hadits dariku yang dia tahu bahwa itu
dusta, maka dia adalah salah satu pembohong”.
Dari keterangan di atas : maka seharusnya seseorang yang hendak
menyebarkan hadits-hadits Nabi ﷺ , meneliti terlebih dahulu akan
keshohihannya, karena jika tidak maka dikhawatirkan dia itu termasuk
orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah ﷺ .
(HR. Muslim di Muqoddimah Shahih Muslim 1/8 )
Selain hadits-hadits diatas Nabi ﷺ juga telah bersabda:
إِنَّ كَذِبًا
عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“"Sesungguhnya berdusta atas ( nama ) diri ku tidak sama
dengan orang yang berdusta kepada orang lain. Barangsiapa yang berdusta atas
namaku dengan sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap (mendapat) tempat
duduknya di neraka”(HR. Bukhari no. 1209 dan Muslim no. 4 & 5 )
*****
PERKATAAN ABU DAUD TENTANG PENGUASAAN
HADITS-HADITS NABI ﷺ :
Imam Abu Daud berkata :
وَيَكْفِي
الإِنْسَانَ لِدِينِهِ مِنْ ذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَحَادِيثَ :
أَحَدُهَا :
قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلامُ «الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» .
وَالثَّانِي :
قَوْلُهُ «مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لا يَعْنِيهِ» .
وَالثَّالِثُ :
قَوْلُهُ «لا يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مُؤْمِنًا حَتَّى يَرْضَى لأخيه ما يرضاه
لِنَفْسِهِ» .
وَالرَّابِعُ : قَوْلُهُ « إنَّ الحلالَ بيِّنٌ وإنَّ الحرامَ بيِّنٌ وبينهما أمورٌ مُشتبِهاتٌ لا يعلمهنَّ كثيرٌ من الناس فمنِ اتَّقى الشُّبُهاتِ استبرأ لدِينِه وعِرضِه ، ومن وقع في الشُّبهاتِ وقع في الحرامِ ، كالراعي يرعى حول الحِمى يوشكُ أن يرتعَ فيه ، ألا وإنَّ لكلِّ ملكٍ حمًى، ألا وإنَّ حمى اللهِ محارمُه ، ألا وإنَّ في الجسدِ مُضغةً إذا صلُحتْ صلُح الجسدُ كلُّه وإذا فسدتْ فسد الجسدُ كلُّه ألا وهي القلبُ ».
Empat buah hadis saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi
keberagaman tiap orang.'' Keempat hadis yang disebutkannya itu adalah :
Pertama , hadits tentang niat :
''Sesungguhnya, segala amal itu tergantung pada niatnya...''
Kedua , hadits :
''Termasuk, kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yg tidak
berguna baginya.''
Ketiga , hadits :
''Tidaklah seseorang beriman menjadi Mukmin sejati sebelum ia merelakan
untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.''
Dan keempat, hadits :
''Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Di
antara keduanya terdapat hal-hal syubhat yg tidak diketahui oleh banyak orang.
Barang siapa menghindari syubhat, ia telah membersihkan agama dan kehormatan
dirinya.
Barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, ia telah terjerumus ke dalam
perbuatan haram ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat
tempat terlarang. Ketahuilah sesungguhnya tiap penguasa itu mempunyai larangan.
Ketahuilah sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang
diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam tubuh ini terdapat sepotong daging. Jika ia
baik, baik pulalah semua tubuh. Jika rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah,
ia itu hati.''
[ Lihat : Ma'aalim as-Sunan 4/365 karya al-Khothobi ]
BERSAMBUNG ......
0 Komentar