Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM SAHUR SETELAH SHUBUH PADA BULAN RAMADHAN, BESERTA MUNAQOSYAH DALILNYA

HUKUM SAHUR SETELAH  SHUBUH BESERTA MUNAQOSYAH DALILNYA

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ:

*****

AWAL WAKTU IMSAK PUASA RAMADHAN

IMSAK adalah batas awal waktu menahan diri dari larangan ketika hendak berpuasa.

======

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG AWAL WAKTU IMSAK

Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang awal mulai imsak puasa Ramadhan.

Ada 3 pendapat dalam masalah ini:

RINGKASNYA ADALAH SBB :

-----

PENDAPAT Pertama :

Boleh Imsak setelah subuh . Yakni : sahur setelah fajar terbit atau setelah sholat shubuh selama cahayanya belum menyebar berwarna kemerah-merahan.

Mereka mengatakan : “Imsak di mulai sejak munculnya Cahaya Fajar Merah di langit setelah datangnya cahaya fajar putih bersamaan tampaknya dengan mega merah”.

Ini diriwayatkan dari Hudzaifah, lbnu Mas'ud dan lainnya.

-----

PENDAPAT Kedua :

Sebelum waktu shubuh (sebelum Fajar shoodiq terbit) sekitar bacaan 50 ayat al-Quran (atau 10 menit).


PENDAPAT Ketiga :

Jumhur ulama berpendapat bahwa di mulainya imsak semenjak munculnya fajar kedua yang bergaris putih.

Kemudian pendapat ke tiga ini terpecah menjadi dua pendapat tentang hal-hal berikut:

A. Tentang orang yang tidak melihat fajar, padahal sebenarnya fajar sudah terbit, namun dia masih tetap makan dan minum:

Pertama: Tidak sah puasanya dan wajib mengqodlo.

Kedua: Sah puasanya dan tidak wajib mengqodlo.

B. Tentang seseorang yang sedang makan Sahur atau seseorang yang sedang memegang segelas air minum, tiba-tiba terdengar adzan?

Ada dua pendapat:

Pertama: Boleh melanjutkan makan sahurnya dan boleh meminum air di gelas tsb.

Kedua: Tidak boleh dan harus segera menghentikannya. Jika tidak maka tidak shah puasanya dan wajib mengqodhonya.

(Baca: “بِدَايَةِ الْمُجْتَهِدِ وَنِهَايَةِ الْمُقْتَصِدِ “karya Ibnu Rusyd (Lahir: 520 H – Wft: 595 H) (lihat: “الْهُدَىٰيَةُ فِي تَخْرِيجِ أَحَادِيثِ الْبِدَايَةِ” 5/139-143)

****

RINCIAN PENDAPAT PERTAMA : YANG MEMBOLEHKAN SAHUR SETELAH SUBUH
BESERTA MUNAQOSYAH DALIL-DALILNYA

Menurut pendapat ini bahwa Imsak di mulai ketika Cahaya Fajar merah muncul di langit setelah cahaya fajar putih menyebar dengan sempurna, yang bersamaan tampaknya dengan mega merah.

Dengan demikian: Boleh makan dan minum setelah fajar terbit, bahkan boleh setelah sholat shubuh selama cahaya Fajar kemerah-merahan dari arah timur belum menyebar.

Ibnu Rusyd mengutip pendapat ini dengan mengatakan:

“هُوَ الْفَجْرُ الْأَحْمَرُ الَّذِي يَكُونُ بَعْدَ الْأَبْيَضِ الَّذِي هُوَ نَظِيرُ الشَّفَقِ الْأَحْمَرِ. “

“Batasannya adalah fajar merah yang muncul sesudah fajar putih yang bersamaan nampaknya dengan mega merah”. (Baca: “البداية مطبوع مع الهداية” 5/142)

Pendapat ini di riwayatkan dari Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman RA dan Sahabat Abdullah bin Mas’ud.

Ibnu al-Qoyyim al-Jauzi dlm kitabnya “حاشية سنن أبي داود” 6/341 berkata:

وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، فَرَوَى إِسْحَاقُ بْنُ رَاهُوَيْهِ عَنْ وَكِيعٍ أَنَّهُ سَمِعَ الْأَعْمَشَ يَقُولُ لَوْلَا الشُّهُرَةُ لَصَلَّيْتُ الْغَدَاةَ ثُمَّ تَسَحَّرْتُ. ثُمَّ ذَكَرَ إِسْحَاقُ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَلِيٍّ وَحُذَيْفَةَ نَحْوَ هَذَا ثُمَّ قَالَ وَهَؤُلَاءِ لَمْ يَرَوْا فَرْقًا بَيْنَ الْأَكْلِ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.

Dan telah diperselisihkan hukum dalam masalah ini. Maka Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan dari Wakii’ bahwa dia mendengar Al-A'mash berkata: “Jika bukan karena khawatir akan menjadi ramai, sungguh saya akan melakukan sholat shubuh, lalu saya makan sahur”.

Kemudian Ishaq menyebutkan dari Abu Bakar Al-Siddiq, Ali (bin Abi Thalib) dan Hudzaifah perkataan seperti ini, lalu dia berkata: “Dan mereka ini tidak melihat perbedaan antara waktu makan (sahur) dan waktu sholat fardlu (waktu sholat shubuh)”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dlm Fathul Bari 4/137 di bawah hadits no. 1818:

وَرَوَى مِنْ طَرِيقِ وَكِيعٍ عَنْ الْأَعْمَشِ أَنَّهُ قَالَ: "لَوْلَا الشُّهُرَةُ لَصَلَّيْتُ الْغَدَاةَ ثُمَّ تَسَحَّرْتُ". قَالَ إِسْحَاقُ: "هَؤُلَاءِ رَأَوُا جَوَازَ الْأَكْلِ وَالصَّلَاةِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ الْمُعْتَرِضِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ". قَالَ إِسْحَاقُ: "وَبِالْقَوْلِ الْأُوَّلِ أَقُولُ لَكَ، لَكِنْ لَا أُطْعُنُ عَلَى مَنْ تَأَوَّلَ الرُّخْصَةَ كَالْقَوْلِ الثَّانِي وَلَا أَرَى عَلَيْهِ قَضَاءً وَلَا كَفَّارَةً". قُلْتُ: "وَفِي هَذَا تَعَقُّبٌ عَلَى الْمُوَفَّقِ وَغَيْرِهِ حَيْثُ نَقَلُوا الْإِجْمَاعَ عَلَى خِلَافِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْأَعْمَشُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ".

Diriwayatkan dari Al-A'mash bahwa dia mengatakan:

“Jika bukan karena khawatir jadi ramai, sungguh saya akan sholat shubuh kemudian makan sahur. Ishak berkata: “Mereka ini berpendapat diperbolehkannya makan sahur dan sholat setelah fajar terbit sampai putihnya siang tampak jelas dari gelapnya malam.

Ishak berkata: “Dan pada pendapat yang pertama saya sependapat, tetapi saya tidak mencela orang yang mentakwilkan bahwa sahur setelah fajar terbit itu boleh, yaitu seperti pendapat yang kedua, dan saya tidak berpendapat bahwa dia harus mengqodlo atau bayar kafarat.

Saya (yakni al-Haafidz) katakan: Di sini terdapat kritikan terhadap Al-Muwaffaq (Ibnu Quddaamah) dan lainnya, di mana mereka menukil Ijma’ bahwa Ijma’ para ulama menyelishi pendapat al-A’masy”. (Selesai)

=====

DALIL-DALIL PENDAPAT PERTAMA: 
YANG MEMBOLEHKAN SAHUR SETELAH SUBUH

Yakni : pendapat yang membolehkan sahur setelah fajar terbit atau setelah sholat shubuh selama cahayanya belum menyebar berwarna kemerah-merahan.

-----

DALIL PERTAMA: HADITS HUDZAIFAH RA.

Berpegang kepada Hadits Zirr bin Hubaisy dari Hudzaifah RA, berkata:

“ تَسَحَّرْتُ مَعَ النَّبِيِّ - ﷺ - وَلَوْ أَشَاءُ أَنْ أَقُولَ هُوَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ”.

“Saya makan sahur bersama Rasulullah , seandainya saya mau mengatakannya: saat itu sudah siang, hanya saja matahari belum muncul”.

Hadit ini Shahih.

HR. An-Nasa'i (4/ 142), di dalam as-Sunan Al Kubra (2462), Ibnu Majah (1695) dan Ahmad (5/ 399,400,405) at-Thohawi dlm “شرح معاني الآثار” 2/52 dan al-Haazimy “الاعتبار في الناسخ والمنسوخ من الآثار” hal 145-146.

Dan Hadits ini dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah.

Dan dalam Hadits riwayat Thohawi dari Zirr bin Hubaisy dengan lafadz;

تَسَحَّرْتُ ثُمَّ انْطَلَقْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَمَرَرْتُ بِمَنْزِلِ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ بِلَقْحَةٍ فَحُلِبَتْ، وَبِقِدْرٍ فَسُخِّنَتْ، ثُمَّ قَالَ: “ ادْنُ فَكُلْ “، فَقُلْتُ: إِنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فَقَالَ: “ وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ “، فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا، ثُمَّ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ، فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ قَالَ حُذَيْفَةُ: “ هَكَذَا فَعَلَ بِي رَسُولُ اللهِ ﷺ “، قُلْتُ: أَبَعْدَ الصُّبْحِ؟ قَالَ: “ نَعَمْ، هُوَ الصُّبْحُ غَيْرَ أَنْ لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ “، قَالَ: وَبَيْنَ بَيْتِ حُذَيْفَةَ، وَبَيْنَ الْمَسْجِدِ كَمَا بَيْنَ مَسْجِدِ ثَابِتٍ وَبُسْتَانِ حَوْطٍ. وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا.

وَقَالَ حُذَيْفَةُ: “ هَكَذَا صَنَعْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، وَصَنَعَ بِيَ النَّبِيُّ ﷺ".

“Aku makan sahur kemudian aku pergi ke masjid, aku melewati rumah Hudzaifah bin Al Yaman, aku masuk kemudian ia meminta unta perahan, lalu diperah susunya, kemudian dihangatkan dalam gidir.

Lalu Ia Hudzaifah bin Al Yaman berkata; “Mendekatlah lalu makanlah”.

Aku Zirr berkata; “Aku mau puasa”.

Ia Hudzaifah bin Al Yaman berkata; “Aku juga mau puasa”.

Lalu kami pun makan dan minum, setelah itu kami pergi ke masjid, shalat pun di iqomati.

Kemudian Hudzaifah bin Al Yaman berkata; Seperti itulah yang Rasulullah  lakukan bersamaku.

Aku Zirr berkata; (Makan Sahur) Setelah shubuh?

Hudzaifah bin Al Yaman berkata; “Ya, itulah shubuh hanya saja matahari belum terbit.

Berkata Zirr: “Jarak antara rumah Hudzaifah bin Al Yaman dengan masjid sejauh antara masjid Tsabit dengan taman kebun”.

Hamad Berkata: Berkata Hudzaifah bin Al Yaman: “Seperti itulah yang aku lakukan bersama Nabi  dan yang beliau lakukan bersamaku.

Syu’aib al-Arna’uth dlm Ta’liq Musnad Imam Ahmad berkata:

"رجالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، فَهُوَ صَدُوقٌ حَسَنُ الْحَدِيثِ، لَكِنَّهُ قَدْ خُولِفَ فِي رَفْعِ الْحَدِيثِ، فَقَدْ رَوَاهُ مَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ فَوَقَّفَهُ، وَقَالَ النَّسَائِيُّ كَمَا فِي "تُحْفَةِ الْأَشْرَافِ" (3/32): لَا نَعْلَمُ أَحَدًا رَفَعَهُ غَيْرُ عَاصِمٍ.

وَأَخْرَجَهُ الطَّحَاوِيُّ فِي "شَرْحِ مَعَانِي الْآثَارِ" (2/52)، وَفِي "شَرْحِ الْمَشْكِلِ" (5505) مِنْ طَرِيقِ رُوحِ بْنِ عُبَادَةَ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلْمَةَ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ".

Para perawinya dapat dipercaya, selain ‘Aashim bin Bahdalah, dia adalah seorang yang shoduq, hadits nya bagus, akan tetapi dia itu diperselisihkan dalam memarfu’kan hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh seseorang yang lebih dapat dipercaya daripada dia (‘Aaashim) namun dia meriwayatkan secara mauquf.

Al-Nasa'i berkata - seperti dalam “Tuhfat al-Ashraf” 3/3 -: “Kami tidak tahu seoarang pun yang memarfu’kannya selain ‘Aashim”.

At-Thahawi memasukkannya ke dalam kitab “ شرح معاني الآثار “ 2/52, dan dalam “ شرح المشكل” (5505) dari Ruh ibn Ubadah, dari Hammad bin Salamah, dengan sanad ini.

Dan dalam riwayat Imam Ahmad no. 22342 & 22345 dengan lafadz:

قُلتُ -يعني لحُذَيفةَ-: يا أبا عبدِ اللهِ، تَسحَّرتَ مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ؟ قال: نَعَمْ، قُلتُ: أكان الرَّجُل يُبصِرُ مَواقِعَ نَبْلِه؟ قال: نَعَمْ، هو النَّهارُ إلَّا أنَّ الشَّمسَ لم تَطلُعْ

Aku bertanya – yakni kepada Hudhayfah -: “Wahai Abu Abdullah, apakah engkau sahur dengan Rasulullah  “? Dia menjawab: “Ya”.

Saya bertanya lagi: Apakah orang itu bisa melihat dengan jelas posisi-posisi anak panahnya?
Ia (Hudzaifah) menjawab: Ya, itu sudah siang hanya saja matahari belum terbit”.

Syu’aib al-Arna’uth dlm Ta’liq Musnad Imam Ahmad berkata:

"رجالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ غَيْرُ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ، فَهُوَ صَدُوقٌ حَسَنُ الْحَدِيثِ، لَكِنَّهُ قَدْ خُولِفَ فِيهِ كَمَا سُلِّفَ بَيَانُهُ عِنْدَ الرَّوَايَةِ رَقَمَ (23361)، وَغَيْرُ شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ -وَهُوَ النَّخَعِيُّ- فَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ، لَكِنَّهُ قَدْ تُوبِعَ."

“Para perawinya dipercaya, mereka para perawi yang di pakai oleh Bukhori dan Muslim selain ‘Aashim bin Abu An-Nujuud, dia adalah perawi yang shoduuq dan baik haditsnya, namun ia menyelisihi riwayat perawi lain dalam hadits ini - seperti yang disebutkan sebelumnya dalam riwayat hadits No. (23361). Dan kecuali Sharaik bin Abdullah – dia adalah al-Nakho'i - dia buruk hafalannya, akan tetapi terdapat mutaaba’ah”.

Para Pembaca yang bijak, hadits Hudzaifah ini telah membuat ulama kelelahan untuk menjawabnya dan mempelajarinya.

Al-Hafiz Ibn Rajab berkata dalam kitabnya Fathul Bari [4/103]:

((قَالَ الْجُوزْجَانِيُّ: "هُوَ حَدِيثٌ أَعْيَا أَهْلَ الْعِلْمِ مَعْرِفَتَهُ"))

“Al-Jawzajaani berkata: Ini adalah hadits yang melelahkan para ulama untuk memahaminya”.

====

DALIL KEDUA: HADITS UBAY BIN KA’AB:

Dari ‘Aashim, dari Zirr, dia berkata:

قُلْتُ لأَبِي بْنِ كَعْبٍ: "كَيْفَ كَانَ سُحُورُكُمْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - ؟" قَالَ: "نَعَمْ، هُوَ الصُّبْحُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ".

Aku berkata kepada Ubay Bin Ka’ab: Bagaimana Sahurmu dengan Rasulullah ?

Dia berkata: Ya, itu di waktu Shubuh, hanya saja matahari tidak muncul”.

(HR. al-Haazimy dalam kitab “الاعتبار في الناسخ والمنسوخ من الآثار” hal. 361 di kitab Puasa, Bab: Sahur stelah Fajar kedua”.

====

DALIL KETIGA: HADITS THALQ BIN ALI RA:

Abu Daud meriwayatkan hadits dari Qais bin Thalq bin Ali dari ayahnya, bahwa Rasulullah  bersabda:

“ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصَعَّدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ “

“Makan dan minumlah dan janganlah kamu menjadi bimbang karena cahaya yang memancar ke atas. Makanlah dan minumlah sehingga tampak melebar (melintang) pada kalian CAHAYA MERAH.”

Abu Daud berkata:

هَذَا مَا تَفَرَّدَ بِهِ أَهْلُ الْيَمَامَةِ وَهَذَا شُذُوذٌ ، فَإِنَّ قَوْلَهُ - تَعَالَى -: (حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ) نَصٌّ فِي ذَلِكَ أَوْ كَالنَّصِّ. انتهى

Ini adalah hadits yang di riwayatkan oleh penduduk Yamamah secara tunggal dan ini termasuk syaadz karena nash Al Qur'an telah jelas: “Hingga nampak jelas bagi kalian benang putih...”. (Baca: الْهُدَىٰيَةُ فِي تَخْرِيجِ أَحَادِيثِ الْبِدَايَةِ 5/141).

Berbeda dengan Al-Tirmidzi beliau meriwayatkan pula hadits tsb dan berkata setelahnya:

((وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ لَا يُحْرَمُ عَلَى الصَّائِمِ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ حَتَّى يَكُونَ الْفَجْرُ الْأَحْمَرُ الْمُعْتَرِضُ؛ وَبِهِ يَقُولُ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ.))

((Dan perbuatannya menurut para ulama adalah bahwa orang yang berpuasa tidak dilarang makan dan minum sampai fajar merah yang melebar, dan inilah yang dikatakan oleh para ulama pada umumnya))

Menurut riwayat Imam Ahmad, lafadznya spt berikut ini:

((لَيْسَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ فِي الْأُفُقِ وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِضُ الْأَحْمَرُ.))

((Fajar itu bukanlah yang memanjang (ke atas / vertical) di cakrawala, akan tetapi yang melebar / horizontal kemerah-merahan)

Dan menurut riwayat Ibn Khuzaimah:

((كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَغُرَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصَعَّدُ، وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ.))

((Makan dan minum lah kalian, dan jangan tertipu dengan cahaya memancar ke atas, dan makan dan minum sampai cahaya merah melebar nampak pada kalian))

Makna: (ولا يهيدنكم) Yakni: “لا يزعجنَّكم فتمتنعوا عن السحور” artinya: janganlah fajar tsb mengganggu kalian, sehingga membuat kalian menahan diri dari makan dan minum karena fajar tsb.

Makna (
الساطع المصعَّد), yakni:

أَيّ: الصُّبْحُ الَّذِي أَوَّلُ مَا يَنْشَقُ يَسْطُعُ مُرْتَفِعًا طُولًا قَبْلَ أَنْ يُعْتَرَضَ مُمْتَدًّا بِالْأُفُقِ.

Yakni: Shubuh yang pada saat pertama kali terbelah memancar, bersinar tinggi ke atas (vertikal) dan memanjang, sebelum melebar (horizontal) dan meluas ke cakrawala.

Dan yang sudah maklum bahwa cahaya kemerah-merahan hanya muncul dari arah ufuk setelah cahaya keputih-putihan telah sempurna, cahayanya menyebar, dan kegelapan malam semakin berkurang yang di mulai dari arah timur terlebih dahulu.
Kemudian cahaya putih tipis dari sisa-sisa kegelapan itu memancar panjang keatas, lalu menghilang, dan kemudian cahaya itu muncul lagi tersebar di cakrawala.

Kemudian cahaya putih tsb semakin bertambah hingga warnanya kemerah-merahan; dan ini adalah fajar kedua.

Namun menurut Ibnu Quddaamah dlm kitabnya “المغني” 1/429 berkata:

((وَقْتُ الصُّبْحِ يَدْخُلُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي إجْمَاعًا، وَقَدْ دَلَّتْ عَلَيْهِ أَخْبَارُ الْمَوَاقِيتِ؛ وَهُوَ الْبَيَاضُ الْمُسْتَطِيرُ الْمُنْتَشِرُ فِي الْأُفُقِ، وَيُسَمَّى الْفَجْرُ الصَّادِقُ: لِأَنَّهُ صَدَقَكَ عَنِ الصُّبْحِ وَبَيَّنَهُ لَكَ، وَالصُّبْحُ مَا جَمَعَ بَيَاضًا وَحُمْرَةً، وَمِنْهُ سُمِّيَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي لَوْنِهِ بَيَاضٌ وَحُمْرَةٌ: أَصْبَحَ. فَأَمَّا الْفَجْرُ الْأَوَّلُ فَهُوَ الْبَيَاضُ الْمُسْتَدِقُّ صَعُدًا مِنْ غَيْرِ اعْتِرَاضٍ، فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ؛ وَيُسَمَّى الْفَجْرُ الْكَاذِبُ)). وَيُقْصَدُ بِـ(الْمُسْتَدِقُّ): الَّذِي صَارَ دَقِيقًا رَقِيقًا أَيْ نَاعِمًا)).

Waktu Shubuh dimulai dengan terbitnya fajar kedua, menurut Ijma’ para ulama, dan ini telah diperkuat dengan adanya dalil dari hadits-hadits tentang batasan waktu, yaitu adalah hamparan putih yang menyebar di cakrawala.

Dan itu disebut fajar shodiq (fajar yang sejati): karena dia membenarkan anda tentang waktu Shubuh dan menjelaskannya kepada Anda.

Dan waktu shubuh itu adalah waktu yang menggabungkan antara cahaya putih dan cahaya merah. Dan dari istilah ini di katakan pula jika ada orang yang warna kulitnya putih kemerah-merahan: “أصْبَحَ” (yakni orang itu warna kulitnya keshubuh-shubuhan pen.).

Adapun cahaya awal subuh warnanya putih meruncing ke atas, tanpa ada cahaya melebar, maka yang ini tidak ada hukumnya. Dan ittu disebut dengan fajar dusta.

Dan yang dimaksud dengan (meruncing): menjadi lembut dan tipis, yakni lunak”. (Selesai)

Dan begitu juga menurut Syeikh Al-Albani berkata dalam “السلسلة الصحيحة” [5/50]:

((وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ بَيْنَ وَصْفِهِ ﷺ لِضَوْءِ الْفَجْرِ الصَّادِقِ بِـ “الْأَحْمَرِ” وَوَصْفِهِ تَعَالَى إِيَّاهُ بِقَوْلِهِ: “الْخِيطِ الْأَبْيَضِ”؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ - وَاللَّهُ أَعْلَمُ - بَيَاضٌ مَشْوُبٌ بِحُمْرَةٍ، أَوْ تَارَةً يَكُونُ أَبْيَضًا وَتَارَةً يَكُونُ أَحْمَرً؛ يَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ الْفُصُولِ وَالْمَطَالِعِ)).

Ketahuilah bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang Nabi  jelaskan tentang cahaya fajar shodiq dengan kata “ الأحمر = merah “ dan antara apa yang Allah SWT gambarkannya dengan firman-Nya: “ الخيط الأبيض = benang putih”; karena yang dimaksud - والله أعلم - adalah putih diwarnai dengan kemerahan, atau terkadang putih dan terkadang merah, itu berubah-rubah tergantung pada musim dan posisi kemunculannya”.

====

DALIL KE 4: HADITS ABU HURAIRAH RA:

Hadits riwayat Imam Ahmad no. 10408, Abu Dawud no. 2003, 2350, ath-Thobari dlm Tafsirnya 2/175 dan Baihaqi dlm as-Sunan al-Kubroo 4/218 dari Abu Hurairah رضي الله عنه Nabi  bersabda,

(إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ)

“Apabila salah seorang di antara kalian mendengar adzan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya (sahurnya).

Dikatakan dalam kitab “ علل ابن أبي حاتم” (No. 340, 759):

قال أبي: هذا الحديث ليس بصحيح

“Ayahku berkata: Hadits ini tidak Shahih.”

Ibnu Al-Qaththan berkata:

وهو حديث مشكوك في رفعه

“Ini adalah hadits yang diragukan.” Baca kitab “بيان الوهم والإيهام” (2/282).

Namun oleh Syeikh Al-Albany dalam shoheh Abu Dawud di katakan: “sanadnya hasan shohih”.

Ahmad Syaakir dlm Tahqiq dan takhriij Musnad Imam Ahmad no. 10408 berkata:

"إِسْنَادُهُ حَسَنٌ مِنْ أَجْلِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْروٍ - وَهُوَ ابْنُ عَلْقَمَةَ اللَّيْثِيُّ -، وَبَاقِي رِجَالِهِ ثِقَاتُ رِجَالِ الصَّحِيحِ. حَمَّادٌ: هُوَ ابْنُ سَلْمَةَ".

Sanadnya Hasan dikarenakan terdapat Muhammad ibn ‘Amr - yang merupakan putra ‘Alqoomah al-Leitsi -, dan para perawi lainyanya adalah orang-orang yang dapat dipercaya, mereka para perawi kitab hadits-hadits Shahih. Hammad: Dia adalah putra Salamah

Dan Dishohihkan pula oleh Al-Haakim, adz-Dzahaby dan Abdul Haq Al-Isybilly. Dan dijadikan hujjah oleh Ibnu Hazm.” (Lihat pula: “تمام المنة” karya syeikh al-Albaani hal. 417-418).

Hadits ini dalam riwayat Imam Ahmad yang lain no. 10251 terdapat tambahan kata:

(( وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ))

Artinya: “Dan juru adzan mengumandangkan adzannya ketika fajar terbit “

Ibnu al-Atsiir berkata dlam kitab (النهاية في غريب الحديث 1/319):

((البُزُوغ: الطلوع؛ يقال: بزغت الشمس وبَزَغ القمر وغيرهما إذا طَلَعت)).

((al-Buzuug adalah: terbit; dikatakan: matahari sudah buzuug, bulan sudah bujuug, dan lain-lain jika telah terbit)

Ahmad Syaakir dlm Ta’liq nya terhadap Musnad Imam Ahmad no. 10251 berkata:

إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، حَمَّادٌ - وَهُوَ ابْنُ سَلْمَةَ - وَعَمَّارُ بْنُ أَبِي عَمَّارٍ مِنْ رِجَالِ مُسْلِمٍ. لَكِنْ قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ فِي “الْعِلَلِ” 1/123-124 وَ256-257 عَنْ أَبِيهِ: حَدِيثُ عَمَّارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفٌ. كَذَا قَالَ، وَلَمْ نَقِفْ عَلَيْهِ مَوْقُوفًا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرِيُّ فِي “تَفْسِيرِهِ” 2/175، وَابْنُ حَزْمٍ فِي “الْمُحَلَّى” 6/232، وَالْبَيْهَقِيُّ 4/218 مِنْ طَرِيقِ رُوحِ بْنِ عَبَّادَةَ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ.

وَأَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ 1/203 مِنْ طَرِيقِ عَفَّانَ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلْمَةَ، بِهِ.

وَانْظُرْ مَا قَبْلَهُ.

قَوْلُهُ: “وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ” هُوَ مِنْ قَوْلِ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ كَمَا فِي رِوَايَةِ ابْنِ حَزْمٍ.

Sanadnya shahih sesuai standar shahih Muslim. Hammad - yang adalah Ibnu Salamah - dan Ammar ibn Abi Ammar adalah dari para perawi dalam shahih Muslim. Namun Ibnu Abi Haatim mengatakan dalam “العلل” 1 / 123-124 dan 256-257 ayahnya:

Hadits Ammaar dari Abu Hurairah adalah mawquuf (موقوف). Begitulah yang dia katakan, dan kami tidak mendukungnya, Wallaahu a’lam.

Ath-Thobari memasukkannya dalam “Tafsirnya” 2/175, dan Ibnu Hazm dalam “Al-Muhalla” 6/232, dan Al-Bayhaqi 4/218 melalui Rouh ibn ‘Ubaadah, dengan sanad ini.
Al-Haakim 1/203 meriwayatkannya melalui Affan bin Muslim, dari Hammad bin Salamah, dengan sanad itu. Silahkan lihat yang sebelumnya !

Tambahan kata:

"وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ"

“Dan muadzin akan mengumandangkan Adzan ketika fajar menyingsing”

Ini adalah berasal dari perkataan Ammar bin Abi Ammar seperti dalam riwayat Ibnu Hazem. (Selesai kutipan dari Syu’aib al-Arnauth).

Dan Syeikh al-Albaani berkata pula:

"وَقَالَ الْحَاكِمُ: " صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ " وَوَافَقَهُ الذَّهَبِيُّ، وَفِيهِ نَظَرٌ فَإِنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَمْرٍو إِنَّمَا أَخْرَجَ لَهُ مُسْلِمٌ مَقْرُونًا بِغَيْرِهِ، فَهُوَ حَسَنٌ. نَعَمْ لَمْ يَتَفَرَّدْ بِهِ ابْنُ عَمْرٍو، فَقَدْ قَالَ حَمَّادُ بْنُ سَلْمَةَ أَيْضًا: عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ:

" وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ".

أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (2 / 510) وَابْنُ جَرِيرٍ وَالْبَيْهَقِيُّ. قُلْتُ: وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ. وَلَهُ شَوَاهِدُ كَثِيرَةٌ:....... "

Al-Hakim berkata: “Ini shahih sesuai syarat Shahih Muslim.” Al-Dhahabi setuju dengannya. dan ada yang perlu ditinjau kembali mengenai hal itu, karena Muhammad bin Amr ini hanya dipakai oleh Imam Muslim riawayatnya jika dibarengi oleh orang lain dalam riwayatnya maka jadi dia baik (حسن):

Ya, Ibnu Amr tidak sendirian dalam meriwayatkannya, seperti yang dikatakan oleh Hammad bin Salamah: dari Ammar bin Abi Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi  dengan lafadz hadits yang semisalnya, dan ada tambahan kata:

" وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ".

“Dan muadzin akan mengumandangkan Adzan ketika fajar menyingsing”

Termasuk Ahmad (2/510), Ibnu Jarir dan Al-Bayhaqi

Saya (Syeikh al-Albaani) katakan: Ini adalah Sanad yang Shahih sesuai syarat shahih Muslim. Dan hadits ini punya banyak saksi.......”. (Lihat “السلسلة الصحيحة” 3/382)

====

DALIL KE 5: HADITS ABU UMAMAH

Dari Abu Umamah radhiyalllahu 'anhu,

أقِيمَتِ الصَّلاةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ، قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَشَرِبَهَا “

“Iqomat Sholat Shubuh telah dikumandangkan, sementara Umar masih memegang gelas air minum. Beliau bertanya: ‘Bolehkah aku meminumnya, wahai Rasulullah?’ beliau menjawab, “Ya.” Umarpun meminumnya. (HR. Ibn Jarir 3/527 no. 3017 dengan dengan dua sanad. Dan ini sanadnya HASAN)

====

DALIL KE 6: HADITS BILAL

Dari Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan:

"أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُؤَذِّنُهُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، وَهُوَ يُرِيدُ الصِّيَامَ، فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَشَرِبَ، ثُمَّ نَاوَلَنِي فَشَرِبْتُ، ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلَاةِ".

“Saya mendatangi Nabi  memberi tahu beliau untuk shalat subuh. Ketika itu, beliau hendak puasa. Beliau minta dibawakan air dan beliau meminumnya. Kemudia beliau berikan sisanya kepadaku, dan akupun meminumnya. Kemudian beliau menuju masjid untuk shalat.”

(HR. Ahmad 6/12-13 dan Ibnu Jariir ath-Thobari dlm Tafsirnya 3/529 no. 3018 & 3019).

Syeikh al-Albaani berkata:

وَرِجَالُهُ ثِقَاتُ رِجَالِ الشَّيْخَيْنِ، فَهُوَ إِسْنَادٌ صَحِيحٌ لَوْلاَ أَنَّ أَبَا إِسْحَاقَ وَهُوَ السُّبَيْعِيُّ - كَانَ اخْتَلَطَ، مَعَ تَدْلِيسِهِ. لَكِنَّهُ يَتَقَوَّى بِرِوَايَةِ جَعْفَرَ بْنِ بَرْقَانَ عَنْ شَدَّادِ مَوْلَى عَيَّاضَ ابْنِ عَامِرٍ عَنْ بِلَالٍ نَحْوَهُ. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (6 / 13)

Dan para perawinya nya dapat dipercaya, mereka para perawi dalam shahih Bukhori dan Muslim, maka itu adalah sanad yang shahih jika saja bukan karena Abu Ishaq al-Subai'i, yang mana hafalannya telah campur aduk ditambah lagi dengan Tadlis nya. Namun dia diperkuat dengan riwayat Ja`far bin Burqan dari Shaddaad, mantan budak ‘Iyaadh Ibnu ‘Aamir, dari Bilal. Disebutkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (13/6)”. (Lihat “السلسلة الصحيحة “ 3/381)

====

DALIL KE 7: HADITS ANAS BIN MALIK

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: Nabi  pernah menyuruhnya,

أَنْظُرْ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَادْعُهُ، فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَدَعَوْتُهُمَا، فَأَتَيْتُهُ بِشَيْءٍ، فَوَضَعْتُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَأَكَلَ وَأَكَلُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلَاةَ الْغَدَاةِ.

“Lihatlah !, siapa yang ada di dalam masjid, ajak dia kemari !”.

Akupun masuk masjid, ternyata ada Abu Bakr dan Umar. Aku memanggil keduanya. Lalu aku membawa makanan dan kuhidangkan di hadapan Nabi . Beliau pun makan, Abu Bakr dan Umar-pun ikut makan. Kemudian mereka keluar menuju masjid, dan Rasulullah  mengimami sahabat shalat subuh.

(HR. Al-Bazzar (“كشف الأستار” no. 993) dan berkata:

"لا نَعْلَمُ أَسْنَدَ تَوْبَةَ عَنْ أَنَسٍ إِلاَّ هَذَا وَآخَرَ، وَلاَ رَوَاهُمَا عَنْهُ إِلاَّ مُطِيعٌ"

“Kami tidak pernah tahu jika ada sanad nya Taubah dari Anas RA kecuali ini dan satu lagi yang lainnya. Dan tidak ada yang meriwayatkan keduanya dari kecuali Muthii’”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitsami dalam “زوائد البزار” hal. 106 berkata: “Sanadnya Hasan”.

Begitu juga al-Haitsami berkata dlm kitabnya “مجمع الزوائد “ 3/152.

====

DALIL KE 8: DARI HIBBAN BIN HARITS

Dari Hibban bin Harits , dia berkata 

تَسَحَّرْنَا مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَمَّا فَرَغْنَا مِنَ السُّحُورِ أَمَرَ الْمُؤَذِّنُ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ.

“Kami pernah sahur bersama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Selesai sahur, beliau menyuruh muadzin untuk mengumandangkan iqamah.”

(HR. Ath-Thohawi dlm “شرح المعاني” 1/106 dan al-Mukhlish dalam “الفوائد المنتقاة” 8/11/1.

Para perawinya tsiqoot, disebutkan oleh Ibnu Abi Haatim 1/2/269 dengan riwayat ini, dan beliau tidak menyebutkan jarh dan ta’diil. Dan Adapun Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam kitab “
الثقات” 1/27).

=====

DALIL KE 9: DARI IBNU UMAR

Dan Qais ibn al-Rabii' meriwayatkan dari Zuhair bin Abi Tsabit al-A’maa, dari Tamim bin ‘Iyaadl, dari Ibn Umar, beliau berkata:

" كَانَ عَلْقَمَةُ بْنُ عَلَاثَةَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَجَاءَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُهُ بِالصَّلَاةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: رُوَيْدًا يَا بِلَالُ! يَتَسَحَّرُ عَلْقَمَةُ، وَهُوَ يَتَسَحَّرُ بِرَأْسٍ "

“Suatu ketika ‘Alqoomah bin ‘Allaatsah bersama Rasulullah . Lalu Bilal datang untuk mengumandangkan Adzan untuk sholat, maka Rasulullah  berkata: “Berilah waktu untuknya, wahai Bilal ! ‘Alqoomah sedang makan sahur. Dan dia makan sahur di kepala (Yakni di puncak waktu Fajar pen.)”.

HR. Al-Thoyaaalisii (No. 885 - urutannya) dan Al-Thobrooni di al-Mu’jam Al-Kabiir (lihat di “مجمع الزوائد” (3/153 karya Ibnu Hajar al-Haitsami, dan beliau berkata:

“ وَقَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ وَثَقَّهُ شُعْبَةُ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَفِيهِ كَلَامٌ.”.

 “Qais ibn al-Rabii' dipercaya oleh Syu'bah dan Sufyan al-Thawri, dan ada beberapa omongan tentang dirinya”.

Syeikh al-Albaani berkata:

(قُلْتُ: وَهُوَ حَسَنُ الْحَدِيثِ فِي الشَّوَاهِدِ لِأَنَّهُ فِي نَفْسِهِ صَدُوقٌ، وَإِنَّمَا يَخَشَى مِنْ سُوءِ حِفْظِهِ، فَإِذَا رَوَى مَا وَافَقَ الثِّقَاتِ اعْتُبِرَ بِحَدِيثِهِ. وَمِنَ الْآثَارِ فِي ذَلِكَ مَا رَوَى شُبَيْبٌ مِنْ غُرْقَدَةَ الْبَارِقِيِّ عَنْ حِبَانَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: "تَسَحَّرْنَا مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَمَّا فَرَغْنَا مِنَ السُّحُورِ أَمَرَ الْمُؤَذِّنُ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ".....) إِلَى آخِرِهِ

Saya berkata: Dia itu adalah hadits yang baik dalam kesaksian-kesaksian (الشواهد) hadits lainnya, karena dia itu seorang yang jujur pada dirinya sendiri, namun yang di khawatirkan darinya adalah keburukan daya hafalnya. Akan tetapi jika haditsnya cocok dengan riwayat orang-orang yang di percaya, maka haditsnya mu’tabar”.

Di antara atsar-atsar yang memperkuatnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Shabib (dari Ghorqodah Al-Baariqi) dari Hibbaan bin Al-Harits, yang berkata:

“Kami pernah sahur bersama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Selesai sahur, beliau menyuruh muadzin untuk mengumandangkan iqamah.”..... dst. (Lihat: “السلسلة الصحيحة” 3/384).

====

DALIL KE 10: DARI ABU AL-ZUBAIR

Ibnu Luhay’ah meriwayatkan dari Abu Al-Zubair, dia berkata:

"سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيدُ الصِّيَامَ وَالْإِنَاءَ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ، فَيَسْمَعَ النِّدَاءَ؟ قَالَ جَابِرٌ: كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: لِيَشْرَبْ"

“Saya bertanya kepada Jabir tentang orang yang hendak berpuasa dan semangkuk air ada di tangannya mau diminum, tiba-tiba dia mendengar suara adzan shubuh?

Jabir berkata: Dulu kami pernah sedang berbicara bahwa Nabi  berkata: “ Minum lah.”
Imam Ahmad (3/348) meriwayatkannya: “Musa mengatakan kepada kami bahwa Ibn Luhaya mengatakan kepada kami.... “

Syeikh al-Albaani dlm “السلسلة الصحيحة” ringkasan 3/383 no. 1394 berkata:

قُلْتُ: وَهَذَا إِسْنَادٌ لَا بَأْسَ بِهِ فِي الشَّوَاهِدِ. وَتَابَعَهُ الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيْعَةَ بِهِ. أَخْرَجَهُ أَبُو الْحُسَيْنِ الْكُلَابِيُّ فِي “ نُسْخَةِ أَبِي الْعَبَّاسِ طَاهِرِ بْنِ مُحَمَّدٍ”.

وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ مُسْلِمٍ، غَيْرَ ابْنِ لَهِيْعَةَ فَإِنَّهُ سَيِّءُ الْحِفْظِ، وَأَمَّا الْهَيْثَمِيُّ فَقَالَ فِي “ الْمَجْمَعِ “ (3 / 153): “ رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ ”!

Saya katakan: Sanad ini tidak lah mengapa (cukup bagus) yang dengannya untuk di jadikan saksi-saksi. Dan Al-Walid bin Muslim melakukan mutaaba’ah: “Ibnu Luhay’ah memberi tahu kami tentang hal itu”.

Hadits tsb dimasukkan oleh Abu Al-Hussein Al-Kalabi dalam “salinan (نُسْخَةٌ) Abu Al-Abbas Thohir bin Muhammad”.

Dan para perawinya adalah dapat dipercaya, para perawi dalam shahih Muslim, kecuali Ibnu Luhay’ah, karena dia memiliki hafalan yang buruk. Adapun al-Haitsami, dia berkata di “مجمع الزوائد” '(3/153): “Itu diriwayatkan oleh Ahmad, dan sanadnya Hasan”.

Penulis katakan: Hadits-hadits diatas sangat eksplisit tentang diperbolehkannya mengakhirkam makan sahur hingga fajar menjadi cerah dan jelas.

*****

MUNAAQOSYAH (BANTAHAN DAN JAWABAN) DALIL-DALIL PENDAPAT PERTAMA:

====

BANTAHAN:

Pertama: bahwa hadits Hudzaifah RA yang lebih shahih adalah MAUQUF, artinya disandarkan pada perbuatan Hudzaifah bukan marfu’ dari Nabi .

Kedua: sebagian para ulama mengatakan bahwa hadits Hudzaifah ini berlaku di masa-masa awal Islam, setelah itu di mansukh.

Ketiga: Hadits Hudzaifah ini menyelisihi firman-Nya Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر

“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar”. (QS Al-Baqoroh 187)

Keempat: Hadits Hudzaifah ini dianggap Syaadz (شاذّ)karena menyelisihi Ijma para ulama. Telah ada ketetapan Ijma para Ulama bahwa batas mulai Imsak itu terbitnya fajar shodiq.

Kelima: Jika seandainya hukum marfu’ nya itu dianggap shahih, maka makna hadits tsb adalah: “Siang itu sudah dekat “, bukan “Sudah siang”, sama seperti yang difirmankan oleh Allah SWT:

“ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ “

“Maka apabila telah habis masa ‘iddahnya”.

Maknanya: “jika mereka telah mendekati selesai masa iddahnya”. Dan seperti pepatah yang dikatakan seseorang: “Kami telah sampai rumah “, jika dia sudah mendekatinya. [Tuhfatul Asyrof 3/32]

RINCIAN BANTAHAN:

Bantahan tentang hadits Hudzaifah RA: Kedua riwayat ‘Aashim diatas adalah lemah. Keduanya adalah riwayat ‘Ashim bin Abin Najud dari Zirr bin Hubaiys. ‘Ashim menyendiri dalam mengangkat riwayat ini sampai ke Rosululloh, dan dia juga menyendiri dalam lafazh hadits: “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”.

Selain dia masih ada dua orang lagi yang meriwayatkan hadits dari Zirr, yaitu ‘Adi bin Tsabit dan Shilah bin Zufar, keduanya lebih tsiqoh dibandingkan ‘Ashim. Keduanya menyandarkan kisah hanya sampai Hudzaifah dan tanpa tambahan: “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”.

Imam An-Nasa’iy Rahimahulloh mengatakan: “Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyandarkan hadits ini sampai ke Rosululloh kecuali ‘Ashim. [Tuhfatul Asyrof 3/32]

Ibnu Muflih Rahimahulloh mengatakan: “‘Ashim, dalam haditsnya terdapat kegoncangan dan kemungkaran. Riwayat orang-orang yang lebih kokoh lebih utama”. [Al-Furu’ 3/70]

Al-Jauzaqony Rahimahulloh mengatakan: “Ini adalah hadits yang mungkar. Perkataan ‘Ashim: “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”, adalah kesalahan darinya dan kekeliruan yang parah”. [Al-Abathil 2/105]

Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan: “Dan yang menambah kelemahan hadits ‘Ashim bin Abin Najud, bahwasanya ia menyelisihi firman-Nya Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر

“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar”. (QS Al-Baqoroh 187)

Penulis katakan: Namun ada Sebagian para ulama menyatakan bahwa hadits ini yang lebih tepat (yang raajih) adalah mauquf kepada Hudhayfah RA. Dan ‘Aashim bin Abi Al-Nujuud dia sendirian mengangkat hadits ini kepada Nabi . Dan ‘Aashim ini seperti yang Al-Hafiz Ibnu Hajarkatakan dlm kitab “التقريب” [1 / 285]:

“’Aashim bin Bahdalah, Dia adalah Ibnu Abi Al-Najuud - pakai huruf Nun dan Jim - Al-Asadi, maula mereka adalah Al-Kufi, Abu Bakar Al-Muqri, dia itu Saduq memiliki awhaam / أوهام (ilusi), dan haditsnya di Bukhori dan Muslim adalah Maqrun (Selalu disertai riwayat dari perawi yang lain sebagai penguat)”.

Syeikh Syu’aib Al-Arna`uth merangkum kata-kata tentang alasan tidak mengamalkan hadits Hudzaifah RA ini menurut beberapa ulama dengan mengatakan:

((رجاله ثقات غير عاصم بن بهدلة؛ فهو صدوق حسن الحديث، لكنه قد خولف في رفع الحديث، فقد رواه من هو أوثق منه فوقفه، وقال النسائي كما في تحفة الأشراف 3 / 23: “لا نعلم أحداً رفعه غير عاصم”

وخولف في رفعه فأخرجه النسائي 3 / 142: أخبرنا محمد بن بشار قال حدثنا محمد قال حدثنا شعبة عن عدي قال: سمعت زر بن حبيش قال: تسحرت مع حذيفة ثم خرجنا إلى الصلاة فلما أتينا المسجد صلينا ركعتين وأقيمت الصلاة وليس بينهما إلا هنيهة. فذكره موقوفاً؛ وإسناده صحيح على شرط الشيخين.

“لا نعلم أحداً رفعه غير عاصم؛ فإنْ كان رفعه صحيحاً فمعناه: أنه قرب النهار كقوله تعالى: “ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ “، معناه: إذا قاربن البلوغ، وكقول القائل: بلغنا المنـزل إذا قاربه”.

أخبرنا عمرو بن علي قال حدثنا محمد بن فضيل قال حدثنا أبو يعفور قال حدثنا إبراهيم عن صلة بن زفر قال: تسحرت مع حذيفة ثم خرجنا إلى المسجد فصلينا ركعتي الفجر ثم أقيمت الصلاة فصلينا. وإسناده صحيح على شرط الشيخين أيضاً.

حدثنا الفضل بن دكين قال حدثنا الوليد بن جميع قال ثنا أبو الطفيل أنه تسحر في أهله في الجبانة ثم جاء إلى حذيفة وهو في دار الحارث بن أبي ربيعة فوجده فحلب له ناقة فناوله فقال: إني أُريد الصوم، فقال: وأنا أُريد الصوم، فشرب حذيفة وأخذ بيده فدفع إلى المسجد حين أقيمت الصلاة. وإسناده قوي.
قلنا: وانظر لزاماً كلام الإمام أبي بكر الرازي على هذا الحديث في أحكام القرآن، والإمام الطحاوي في شرح معاني الآثار 2/54، وقال الإمام النووي في شرح المهذب 6 / 305: “وهذا الذي ذكرناه من الدخول في الصوم بطلوع الفجر وتحريم الطعام والشراب والجماع به هو مذهبنا ومذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد وجماهير العلماء من الصحابة والتابعين فمن بعدهم، قال ابن المنذر: وبه قال عمر بن الخطاب وابن عباس وعلماء الأمصار، قال: وبه نقول)) انتهى كلام الأرناؤوط.

Artinya:

“Para perawinya dapat dipercaya, selain ‘Aashim bin Bahdalah, dia adalah seorang yang shoduq, hadits nya bagus, akan tetapi dia itu diperselisihkan dalam memarfu’kan hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh seseorang yang lebih dapat dipercaya daripada dia (‘Aaashim) namun dia meriwayatkan secara mauquf.

Al-Nasa'i berkata - seperti dalam “تحفة الأشراف” 3/3 -: “Kami tidak tahu seoarang pun yang memarfu’kannya selain ‘Aashim”.

Dan adapun riwayat yang menyelisihi marfu’nya hadits, maka Al-Nasa'i menyebutkannya dlm as-Sunan 3/142:

Muhammad ibn Bashar memberi tahu kami, dia berkata: Muhammad memberi tahu kami, dia berkata: talah memberi tahu kami Shu'bah dar ‘Adiy, Dia berkata: Saya mendengar Zirr bin Hubeisy berkata:

((تَسَحَّرْتُ مَعَ حُذَيْفَةَ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلَاةِ فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا إِلَّا هُنَيْهَةٌ))

“Saya makan sahur bersama Hudzaifah, kemudian kami pergi keluar untuk sholat. Ketika kami datang ke masjid, maka kami shalat dua rakaat sunnah lalu kami sholat shubuh, dan diantara keduanya hanya ada jeda sejenak.

Dia menyebutkannya secara MAUQUUF. Dan sanadnya shahih sesuai standar shahih Bukhori dan Muslim”.

Imam An-Nasa’iy Rahimahulloh mengatakan:

“Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyandarkan hadits ini sampai ke Rosululloh kecuali ‘Aashim.

Jika seandainya hukum marfu’ nya itu dianggap shahih, maka artinya: “Siang itu sudah dekat”, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT:

“ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ “

“Maka apabila telah habis masa ‘iddahnya”.

Maknanya: “jika mereka telah mendekati selesai masa iddahnya”. Dan seperti pepatah yang dikatakan seseorang: “Kami telah sampai rumah “, jika dia sudah mendekatinya. [Tuhfatul Asyrof 3/32]

Dia juga meriwayatkannya pula secara Mauquf 4 / 142-143:

“‘Amr bin Ali mengabarkan kepada kami bahwa dia berkata, Muhammad bin Fudhail menceritakan pada kami, dia berkata: Abu Ya`four memberi tahu kami, dia mengatakan Ibrahim memberi tahu kami tentang Shilah Bin Zufar, Dia berkata:

((تَسَحَّرْتُ مَعَ حُذَيْفَةَ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلَّيْنَا رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ ثُمَّ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّيْنَا))

Saya makan sahur bersama Hudzaifah, kemudian kami pergi ke masjid, lalu kami sholat dua rokaat Sunnah Fajar, kemudian kami sholat shubuh”. Dan sanadnya shahih sesuai standar shahih Bukhori dan Muslim”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, dia berkata: Al-Fadlel ibn Dukain memberi tahu kami, dia berkata: Al-Walid bin Jamii’ memberi tahu kami, dia mengatakan bahwa Abu al-Tafil mengatakan:

((أَنَّهُ تَسَحَّرَ فِي أَهْلِهِ فِي الْجُبَانَةِ ثُمَّ جَاءَ إِلَى حُذَيْفَةَ وَهُوَ فِي دَارِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ فَوَجَدَهُ فَحَلَبَ لَهُ نَاقَةً فَنَاوَلَهُ فَقَالَ: "إِنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ"، فَقَالَ: "وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ"، فَشَرِبَ حُذَيْفَةُ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَدَفَعَ إِلَى الْمَسْجِدِ حِينَ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ.))

“Bahwa dia makan sahur bersama keluarganya di al-Jibaanah. Kemudian dia datang ke Hudzaifah ketika dia berada di rumah Al-Harith bin Abi Rabi'ah, dan dia menjumpainya, lalu dia memerah susu unta untuknya dan memberikannya.

Dia berkata: Saya mau berpuasa.

Lalu beliau pun berkata: Saya juga sama mau berpuasa. Maka Huzdzaifah pun minum susu tsb serta mengambilnya dengan tangannya, kemudian pergi ke mesjid ketika iqomat sholat shubuh telah dikumandangkan”.

Dan sanad nya Kuat.

Kami katakan: “Dan anda harus lihat kata-kata Imam Abu Bakar Al-Razi pada hadits ini dalam kitabnya “أحكام القرآن” dan Imam Al-Thohaawi dalam “شرح معاني الآثار” 2/54.

Imam al-Nawawi berkata dalam “شرح المهذب” 6/305: “Dan Inilah yang kami sebutkan tentang batas mulai masuk ke dalam ibadah puasa saat fajar menyingsing dan pengharaman makan dan minum serta bersetubuh diwaktu tsb. Dan ini adalah madzhab kami dan Madzhab Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan jumhur para ulama dari kalangan para Sahabat, Taabi'in, dan para ulama setelah mereka.

Ibnu al-Mundzir berkata: Dan dengan itu Umar ibn al-Khattab, Ibn Abbas dan para ulama dari seluruh negeri berkata: Dan dengan in kami berpendapat”. (Selesai kutipan dari Syu’aib al-Arna’uth).

Dan ada sekelompok para ulama yang mengklaim:

أَنَّ حَدِيثَ حُذَيْفَةَ كَانَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ وَنُسِخَ.

Bahwa hadits Hudzaifah ini berlaku pada masa-masa awal Islam, lalu dihapus (منسوخ).

====

JAWABAN TERHADAP BANTAHAN-BANTAHAN DIATAS:

Adapun jawaban atas penjelasan bahwa hadits itu mauquf (yakni: amalan sahabat Hudzaifah, bukan dari Nabi ):

Maka ini dapat dijawab bahwa apa yang diriwayatkan oleh Shilah bin Zufar, juga oleh Abu Al-Thufail dan Zirr melalui jalur ‘Adiy dari Hudzaifah RA; bahwa itu benar perbuatan Hudzaifah RA bersama mereka. Akan tetapi yang diriwayatkan oleh Zirr melalui jalur ‘Aashim dari Hudzaifah RA, itu adalah pertanyaan khusus tentang waktu sahur beliau bersama Nabi , berarti ceritanya berbeda.

Kemudian jika seandainya ceritanya adalah dalam satu pertemuan, dan ‘Aashim menambahkan pertanyaan tentang batas akhir waktu makan sahur, maka itu tidak ada masalah dan tidak menutup kemungkinan terjadi padanya dua perkara dalam satu perjumpaan antara Zirr bin Hubeisy dengan Hudhaifah.

Setelah itu kemudian Zirr terkadang menceritakan apa yang terjadi padanya, yaitu makan sahur bersama Hudzaifah, dan terkadang menceritakan apa yang Hudzaifah katakan kepadanya ketika Zirr menanyakan batas akhir waktu sahur.

Dan ini terbukti dan nampak jelas dalam riwayat Imam Ahmad dari jalur ‘Aashim bin Bahdalah dari Zirr bin Hubeisy, yaitu seperti berikut ini: Zirr bin Hubeisy berkata:

تَسَحَّرْتُ ثُمَّ انْطَلَقْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَمَرَرْتُ بِمَنْزِلِ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ بِلَقْحَةٍ فَحُلِبَتْ، وَبِقِدْرٍ فَسُخِّنَتْ، ثُمَّ قَالَ: “ ادْنُ فَكُلْ “، فَقُلْتُ: إِنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فَقَالَ: “ وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ “، فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا، ثُمَّ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ، فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ قَالَ حُذَيْفَةُ: “ هَكَذَا فَعَلَ بِي رَسُولُ اللهِ ﷺ “، قُلْتُ: أَبَعْدَ الصُّبْحِ؟ قَالَ: “ نَعَمْ، هُوَ الصُّبْحُ غَيْرَ أَنْ لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ “، قَالَ: وَبَيْنَ بَيْتِ حُذَيْفَةَ، وَبَيْنَ الْمَسْجِدِ كَمَا بَيْنَ مَسْجِدِ ثَابِتٍ وَبُسْتَانِ حَوْطٍ، وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا، وَقَالَ حُذَيْفَةُ: “ هَكَذَا صَنَعْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، وَصَنَعَ بِيَ النَّبِيُّ ﷺ

“Aku makan sahur kemudian aku pergi ke masjid, aku melewati rumah Hudzaifah bin Al Yaman, aku masuk kemudian ia meminta unta perahan, kemudian dimasak dalam tungku.
Ia Hudzaifah bin Al Yaman berkata; Mendekatlah lalu makanlah.

Aku Zirr berkata: Aku mau puasa.

Ia Hudzaifah bin Al Yaman berkata: Aku juga mau puasa.

Lalu kami pun makan dan minum, setelah itu kami pergi ke masjid, shalat pun diiqamati kemudian Hudzaifah bin Al Yaman berkata; Seperti itulah yang Rasulullah  lakukan bersamaku.

Aku Zirr bertanya: “Apakah setelah shubuh?”

Hudzaifah bin Al-Yaman berkata; Ya, itulah waktu shubuh hanya saja matahari belum terbit.
Berkata Zirr: Jarak antara rumah Hudzaifah bin Al Yaman dengan masjid sejauh antara masjid Tsabit dengan taman kebun.

Hamad (Perawi) juga berkata seperti itu.

Berkata Hudzaifah bin Al Yaman: Seperti itulah yang aku lakukan bersama Nabi  dan yang beliau lakukan bersamaku.

(HR. Ahmad 5/396 no. 22272 & 22852 & 23254, Abdur Rozzaaq dlm al-Mushonnaf no. 7538, Ibnu Abi Syaibah no. 8791 dan ath-Thohawi dlm “شرح معاني الآثار” no. 2035 dan dlam “مشكل الآثار” no. 4808)

Syu’aib al-Arna’uth dlm Ta’liq Musnad Imam Ahmad berkata:

“رجاله ثقات غير عاصم بن بهدلة، فهو صدوق حسن الحديث، لكنه قد خولف في رفع الحديث، فقد رواه من هو أوثق منه فوقفه.... “

“Para perawinya dapat dipercaya, selain ‘Aashim bin Bahdalah, dia adalah seorang yang shoduq, hadits nya bagus, akan tetapi dia itu diperselisihkan dalam memarfu’kan hadits. Hadits ini diriwayatkan pula oleh seseorang yang lebih dapat dipercaya daripada dia (‘Aaashim) namun dia meriwayatkan secara mauquf....”.

Lagipula, jika dikatakan bahwa mengakhirkan Sahur ini adalah dari perbuatan Hudzaifah RA, maka masalah in bukan termasuk dalam Bab yang boleh berijtihad, jadi apa yang dilakukan oleh Hudzaifah ini adalah meneladani perbuatan Nabi . Hudzaifah RA faham bahwa masalah ini bukan dalam ranah ijtihad dan beliau tahu betul tentang sahurnya Nabi . Dan tidak mungkin Hudzaifah RA mengada-adakan dan menciptakan syariat dari dirinya sendiri.

Ibnu Abi Shaibah dalam kitabnya “المصنف” [2/277 no. 8751 ] berkata:

حَدَّثَنَا بِنُ فَضِيلٍ عَنْ بِنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: "كَانَ حَذَيْفَةُ يُعَجِّلُ بَعْضَ سُحُورِهِ لِيُدْرِكَ الصَّلَاةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ، فَكَانَ يُرْسِلُ إلَيْهِ فَيَأْكُلُ مَعَهُ حَتَّى يَخْرُجَا إِلَى الصَّلَاةِ جَمِيعًا".

Telah memberitahu kami Ibnu Fudhail dari Ibn Abi Khaalid dari al-Sya’bi, dia berkata:

“Hudzaifah dulu sering mempercepat sebagian waktu-waktu makan sahurnya agar bisa sholat dengan Rasulullah 
. Maka apa yang di lakukan Hudzifah ini sampai informasinya kepada Nabi , lalu Nabi  mengirim utusan kepadanya untuk mengajak Hudzaifah makan sahur bersama Nabi , setelah itu mereka berdua pergi untuk sholat (Shubuh) berjamaah”.

Syeikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dlm “
تَلْخِيصُ درَاسَةِ نُصُوصِ الْأَحَادِيثِ النَّبَوِيَّةِ فِي تَحْدِيدِ مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ” berkata:

أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي “مُصَنَّفِهِ” (3/11) بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إِلَى التَّابِعِيِّ الْفَقِيهِ عَامِرِ الشَّعْبِيِّ...

“Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya dalam Mushonnaf nya 3/11 dangan SANAD yang SHAHIH kepada Seorang Tabi’i yang Faqiih ‘Aamir asy-Sya’bii:.... “

Dan salah satu yang memperkuat pengakhiran waktu Sahur seperti yang dilakukan Hudzaifah adalah bahwa Nabi  pernah melakukannya dan itu adalah bagian dari Sunnah Nabi .

Abdur Razzaq dalam kitab Mushonnaf nya [4/231 no. 7608] meriwayatkan:

عَنْ بِنِ عُيَيْنَةَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ حَكِيمِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ: "جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ وَالنَّبِيُّ ﷺ يَتَسَحَّرُ، فَقَالَ: "الصَّلَاةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ"، قَالَ: فَثَبَّتَ كَمَا هُوَ يَأْكُلُ، ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ: "الصَّلَاةَ"، وَهُوَ حَالَهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: "الصَّلَاةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ وَاللَّهُ أَصْبَحْتُ"، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: ((يَرْحَمُ اللَّهُ بِلَالًا لَوْلَا بِلَالٌ لَرَجَوْنَا أَنْ يُرَخِّصَ لَنَا حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ))

Dari Ibnu Uyaynah, dari Ismail bin Abi Khaled, dari Hakim bin Jabir, dia berkata:

Bilal datang kepada Nabi  dan saat itu Nabi  sedang makan sahur. Lalu Bilal berkata: Sholat (Shubuh), wahai Rasulullah !.

Dia berkata: Namun Nabi  tidak bergeming, beliau tetap makan sahur seperti semula, lalu dia mendatanginya lagi dan berkata: “Sholaat !”. Namun Nabi  pun tidak beranjak dan tetap pada kondisi semula. Lalu dia mendatangi Nabi  yang ketiga kalinya dan berkata: “Sholaat ya Rosulullah ! Sungguh Demi Allah Engkau sudah memasuki waktu shubuh”.

Maka Nabi  bersabda, ‘Semoga Allah merahmati Bilal, seandainya bukan karena Bilal sungguh kami mengharap agar diperbolehkan bagi kami (makan sahur) hingga terbit matahari.”

DERAJAT HADITS :

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam [Al-Fath 4/135]:

(( رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِإِسْنَادٍ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ ))

“((HR. Abd al-Razzaq dengan sanad para perawinya tsiqoot / dipercaya)).

Dia juga berkata dalam Al-Fath [4/136]:

(( وَرَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ ذَلِكَ عَنْ حُذَيْفَةَ مِنْ طُرُقٍ صَحِيحَةٍ ))

((Dan Ibnu Abi Shaybah dan Abdul-Razzaq meriwayatkan nya dari Hudzayfah melalui jalur-jalur sanad yang Shahih)).

Adapun jawaban terhadap pentakwilan hadits Hudzaifah dengan mendekati siang atau mendekati terbitnya fajar, jawabnnya adalah bahwa itu sangat jauh, terutama dalam riwayat yang lafadznya:

أَبَعْدَ الصُّبْحِ؟ قَالَ: “ نَعَمْ، هُوَ الصُّبْحُ غَيْرَ أَنْ لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ “

“Apakah setelah shubuh?”

Hudzaifah bin Al-Yaman berkata; Ya, itu waktu shubuh hanya saja matahari belum terbit.

Redaksi ini tidak bisa diartikan dengan mendekati terbitnya fajar, karena kata “shubuh” tidak dinamakan shubuh kecuali jika fajar sudah terbit. Coba kita perhatikan pula hadits-hadits berikut ini yang menunjukan bahwa waktu shubuh itu setelah terbitnya fajar bukan menjelang terbitnya fajar:

Dari Ibnu 'Umar dan Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah RA:

أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ قَالَ الْقَاسِمُ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانِهِمَا إِلَّا أَنْ يَرْقَى ذَا وَيَنْزِلَ ذَا

Bahwa Bilal biasa melakukan adzan (pertama) di malam hari, maka Rasulullah  berkata:

“Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktum melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit fajar”.

Al Qasim berkata: “Jarak antara adzan keduanya itu tidaklah lama melainkan bila yang satunya naik maka yang satunya lagi turun (maksudnya naik ke dan turun dari menara)”. (HR. Bukhori no. 1785).

Dalam riwayat yang lain:

Dari Salim bin `Abdullah bin Umar: Ayahku berkata bahwa Rasulullah  bersabda:

“‏ إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ‏”‏‏.‏ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلاً أَعْمَى لاَ يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ".

“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan 'Adzan di malam hari, maka makanlah kalian dan minumlah (Suhur) sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan Adzan.”

Salim menambahkan, “Dia adalah orang buta yang tidak akan mengumandangkan Adzan kecuali dia diberitahu: anda sudah memasuki waktu shubuh, anda sudah memasuki waktu shubuh.” (HR. Bukhori no. 617).

Dalam riwayat lain :

Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari Ayahnya: Aku mendengar Rosulullah  bersabda:

“إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ”. وَهُوَ الْأَعْمَى الَّذِي أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ: (عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى) [عبس:1] وَكَانَ يُؤَذِّنُ مَعَ بِلَالٍ. قَالَ سَالِمٌ: وَكَانَ رَجُلا ضريرَ الْبَصَرِ، فَلَمْ يَكْ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ-حِينَ يَنْظُرُونَ إِلَى بُزُوغِ الْفَجْرِ-: أذَّن".

Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga kamu mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.’ Dia adalah seorang laki-laki buta yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

(عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى)

‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. (‘Abasa: 1-2)’.

Dan dia menjadi tukang adzan bersama Bilal.’”

Salim berkata: Dia adalah orang buta, dan dia tidak akan mengumandangkan adzan hingga orang-orang berkata kepadanya ketika mereka melihat fajar menyingsing: “Adzan lah !”.
(HR. Al-Baihaqi dan lainnya. Asal hadits ini terdapat dalam shahih Muslim no. 1092).

Ibnu al-Atsiir berkata dlam kitab (النهاية في غريب الحديث 1/319):

((البُزُوغُ: الطَّلُوعُ؛ يُقَالُ: بَزَغَتِ الشَّمْسُ وَبَزَغَ الْقَمَرُ وَغَيْرُهُمَا إِذَا طَلَعَتْ)).

((al-Buzuug adalah: terbit; dikatakan: matahari sudah buzuug, bulan sudah bujuug, dan lain-lain jika telah terbit)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari [2/100]:

((قَوْلُهُ: “أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ” أَي: دَخَلْتَ فِي الصَّبَاحِ هَذَا ظَاهِرُهُ، وَاِسْتُشْكِلَ لِأَنَّهُ جَعَلَ أَذَانَهُ غَايَةً لِلْأَكْلِ؛ فَلَوْ لَمْ يُؤَذِّنْ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّبَاحِ لَلَزِمَ مِنْهُ جَوَازَ الْأَكْلِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَالْإِجْمَاعُ عَلَى خِلَافِهِ إلَّا مَنْ شَذَّ كَالأَعْمَشِ!!

وَأَجَابَ ابْنُ حَبِيبٍ وَابْنُ عَبْدِ الْبَرٍّ وَالأَصْيَلِيُّ وَجَمَاعَةٌ مِنْ الشُّرَّاحِ بِأَنَّ الْمُرَادَ: قَارَبَتْ الصَّبَاحَ!!. وَيَعْكُرُ عَلَى هَذَا الْجَوَابِ أَنَّ فِي رِوَايَةِ الرُّبَيْعِ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا: “وَلَمْ يَكُنْ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ حِينَ يَنْظُرُونَ إِلَى بَزُوغِ الْفَجْرِ: أَذِّنْ”، وَأَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ: أَنَّ لَفْظَ رِوَايَةِ الْمُصَنَّفِ الَّتِي فِي الصِّيَامِ “حَتَّى يُؤَذِّنَ بِنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ”،

وَإِنَّمَا قُلْتُ: إنَّهُ أَبْلَغُ؛ لِكَوْنِ جَمِيعَهُ مِنْ كَلَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَيْضًا فَقَوْلُهُ: “إنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ” يُشَعِّرُ أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ بِخِلَافِهِ؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ قَبْلَ الصُّبْحِ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بِلَالٍ فَرْقٌ، لَصُدِّقَ أَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا أَذَّنَ قَبْلَ الْوَقْتِ، وَهَذَا الْمَوْضِعُ عِنْدِي فِي غَايَةِ الْإِشْكَالِ)) انتهى كلامُ الحافظ.

((Perkatanya: “أَصْبَحْتً / Engkau sudah memasuki waktu Shubuh 2x”, artinya: kamu telah masuk pada waktu shubuh, ini adalah makna yang terlihat jelas, namun makna ini bermasalah karena dia menajdikan adzannya sebagai batas akhir makan Sahur. Maka jika dia tidak melakukan adzan sampai dia masuk waktu shubuh, maka dengan demikian mengharuskan bolehnya makan sahur hingga setelah fajar terbit, sementara telah ada Ijma’ para ulama yang sebaliknya kecuali bagi mereka yang pendapatnya syadz / menyimpang seperti al-A’masy.

Ibnu Habib, Ibnu Abd al-Barr, al-Ashiili, dan sekelompok para pensyarah menjawab: “bahwa yang dimaksud adalah: WAKTU PAGI TELAH DEKAT”.

Namun jawaban ini dibantah oleh fakta bahwa dalam riwayat Al-Rabii’ 'yang pernah kami ketengahkan:

“وَلَمْ يَكُنْ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ حِينَ يَنْظُرُونَ إِلَى بَزُوغِ الْفَجْرِ: أَذِّنْ”

“Dia tidak akan adzan sampai orang-orang berkata kepadanya ketika mereka melihat fajar telah terbit: Adzan lah!.”

Dan ada yang lebih jelas dan gamblang dari itu: Bahwa dalam riwayat al-Musannaf yang berkaitan dengan Puasa:

“حَتَّى يُؤَذِّنَ بِنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ”

“ Hingga Ibnu Ummi Maktuum mengumandangkan adzan, karena sesungguhnya ia tidak akan mengumandangkan adzan hingga terbitnya fajar.”

Dan sesungguhnya adapun kenapa saya katakan: Ia lebih jelas dan gamblang?. Karena itu semuanya berasal dari sabda Nabi . Dan juga sabda beliau  lainnya:

“إنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ”

“Bilal beradzan untuk sholat malam”.

Ini menunjukkan bahwa Ibnu Ummi Maktum berbeda darinya

Dan karena kalau sendainya yang dimaksud Adzan Ibnu Ummi Maktum adalah sebelum subuh, maka tidak ada bedanya antara dia dan Bilal, karena membenarkan keduanya sama-sama mengumandangkan adzan shubuh sebelum waktunya, dan posisi ini menurut saya sangat bermasalah”. (Selesai Kutipan dari al-Hafidz Ibnu Hajar).

Tidak diragukan lagi akan sangat bermasalah jika kata “Shubuh” ditafsirkan dengan makna “saat sebelum fajar muncul”; Karena jika diartikan sebelum fajar muncul maka tidak ada bedanya antara adzan Bilal dan Ibn Ummi Maktuum. Akan tetapi, memang benar masing-masing keduanya biasa dikatakan: “adzan pada malam hari” atau “sebelum waktu Fajar”.

Ini dengan jelas menunjukkan akan jauhnya penafsiran ucapan Hudzaifah 

((هُوَ النَّهَارُ غَيْرَ أَنَّ لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ))

((Ia adalah Siang namun matahari belum terbit)) dengan arti sebelum fajar muncul. Dan itu yang benar artinya adalah sampai subuh menjadi nampak jelas.

Berkenaan dengan menganalogikan / mengqiyaskan ucapan Hudhayfah (saat itu telah siang, namun matahari belum terbit), dengan masa iddah dalam firman Allah SWT: 

((فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ))

“Maka ketika mereka telah habis masa iddahnya,”

Artinya, maka jika mereka mendekati masa iddahnya habis, lalu apakah perkataan Hudzaifah maknanya mendekati terbitnya fajar????

Mungkin Analogi / qiyas tsb bisa dijawab dengan jawaban berikut ini:

Bahwa arti Firman Allah SWT:

((فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ))

((Maka ketika mereka mencapai batas iddahnya))

Terkadang yang dimaksud dengannya adalah AKHIR dari masa iddah, dengan pasti bukan mendekatinya. Seperti dalam firman Allah SWT tentang iddah wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya:

((وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ))

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)

Begitu dengan makna firman-Nya:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya (QS. Al-Baqarah: 232).

Dan pada makna ini lah para ahli Tafsir bermadzhab dalam menfasirkan dua ayat ini, yaitu makna AKHIR. Namun, terkadang terpaksa harus mentakwil firman Allah ((فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ)) dengan arti MENDEKATI HABIS nya masa iddah karena adanya konteks (قرينة) dari dalam atau dari luar konteks. Interpretasi (التأويل) ini ada dalam sebuah ayat: 

وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ ۗ وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا

Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzhalimi mereka. (QS. Al-Baqarah: 231)

Makna ((فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ)) dalam ayat ini di takwil dengan makna: “Mendekati akhir masa Iddah” dikarenakan adanya qorinah.

Al-Imam Al-Qurtubi رحمه الله berkata dlm kitabnya “الجامع لأحكام القرآن” [3/147]:

((مَعْنَى “بَلَغْنَ”: قَارَبْنَ؛ بِإِجْمَاعٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَلِأَنَّ الْمَعْنَى يَضْطَرُّ إِلَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ بَعْدَ بُلُوغِ الْأَجَلِ لَا خِيَارَ لَهُ فِي الْإِمْسَاكِ))

“Makna dari “بَلَغْنَ” di sini adalah mendekati. Ini berdasarkan dengan Ijma’ para ulama, dikarenakan adanya keterpaksaan (مُضْطَرّ) untuk memaknaninya dengan makna “mendekati”; karena jika di maknai “setelah habis masa iddahnya”, maka otomatis sudah tidak ada pilihan lagi untuk mempertahankan pernikahanannya alias tidak bisa rujuk lagi.

Penafsiran ini dibenarkan oleh dua hal:

Yang pertama : adalah Ijma para ulama,

Dan yang kedua : adalah bahwa karena terpaksa (مُضْطَرّ) untuk memaknainya dengan makna tsb.

Ini berbeda dengan yang terdapat dalam hadits Hudzaifah dan hadits lainnya, karena para ulama berbeda pendapat dalam mentakwil hadits-hadits ini. Ini adalah alasan yang pertama.

Adapun alasan yang kedua: Bahwa maknanya harus diartikan: “setelah fajar terbit”, maka itu karena terpaksa (
مُضْطَرّ), seperti yang telah kita perhatikan dalam problem yang dirasakan oleh Al-Hafiz Ibn Hajar terhadap pentakwilan orang yang mendakwakannya atau mengklaimnya.

Dan KLAIM bahwa Ijma’ para ulama menyelisihi hadits Hudzaifah seperti yang diisyaratkan oleh perkataan Imam al-Qurtubi, klaim ini ditentang habis oleh Imam Ibnu Hazem di dalam kitabnya al-Muhallaa [6/231], maka Ibnu Hazem mengkritiknya dengan keras dan pedas seperti kebiasaannya dengan mengatakan:

((وقد ادَّعى قوم أنَّ قوله تعالى: “حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود”، وقول رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: “حتى يطلع الفجر” و”حتى يقال له: أصبحت أصبحت “ أنَّ ذلك على المقاربة!، مثل قوله تعالى: “فإذا بلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف” إنما معناه: فإذا قاربن بلوغ أجلهن؟ وقائل هذا مستسهل للكذب على القرآن وعلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.

أول ذلك أنه دعوى بلا برهان، وإحالة لكلام الله تعالى عن مواضعه ولكلام رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، وقول عليه بما لم يقل؛ ولو كان ما قالوا لكان بلال وابن أم مكتوم معاً لا يؤذِّنان إلا قبل الفجر، وهذا باطل لا يقوله أحد، لا هم ولا غيرهم.

وأما قوله تعالى: “فإذا بلغن أجلهن” فإقحامهم فيه أنه تعالى أراد: فإذا قاربن بلوغ أجلهن؛ باطل وكذب ودعوى بلا برهان، ولو كان ما قالوه لكان لا يجوز له الرجعة إلا عند مقاربة انتهاء العدة ولا يقول هذا أحدٌ لا هم ولا غيرهم؛ وهو تحريف للكلم عن مواضعه، بل الآية على ظاهرها وبلوغ أجلهن: هو بلوغهن أجل العدة؛ ليس هو انقضاؤها، وهذا هو الحق، لأنهن إذا كنَّ في أجل العدة كله فللزوج الرجعة وله الطلاق، فبطل ما قالوه بيقين لا إشكال فيه)) والله تعالى أعلم.

Beberapa orang mengklaim bahwa firman Allah SWT:

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Artinya: “Hingga benang putih menjadi jelas bagimu dari benang hitam, yaitu fajar. (Al Baqarah: 187)

Dan juga sabda Rasulullah : “حتى يطلع الفجر / hingga fajar terbit “ dan sabdanya: “حتى يقال له: أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ: hingga di katakan padanya: anda telah memasuki waktu shubuh 2x”.

Bahwa itu semua artinya “mendekati?” sama seperti makna firman Allah SWT:

 وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ.....

Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau …... (QS. Al-Baqarah: 231)

Takwil Maknanya: Jika mereka MENDEKATI masa akhir iddah mereka????

Lalu Ibnu Hazem berkata: “Dan seseorang yang berkata seperti ini adalah orang yang mencari-cari cara mudah untuk berdusta terhadap Al-Qur'an dan Rasulullah ”.

Yang pertama adalah bahwa itu adalah dakwaan tanpa bukti, dan mengalihkan firman Allah SWT dari posisi makna nya dan juga sabda Rasulullah . Dan juga mengalihkan perkataan seseoarang kepada sesuatu yang ia tidak mengatakannya.

Dan jika itu memang benar apa yang mereka katakan, maka tentunya Bilal dan Ibnu Ummi Maktuum, mereka berdua mengumandangkan adzan dalam waktua yang bersamaam yaitu sebelum terbit fajar, dan ini adalah bathil dan tidak ada seorangpun yang mengatakannya, baik mereka sendiri maupun yang lainnya.

Adapun firman Allah SWT: “ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ / Ketika mereka mencapai akhir masa iddahnya,” maka pemaksaan mereka makna di dalamnya bahwa Allah SWT menghendaki makna: Jika mereka telah mendekati akhir masa iddah mereka; itu sebuah kebathilan, kebohongan dan dakwaan tanpa bukti.

Dan jika seandainya makna itu yang mereka katakan, maka sungguh sang suami tidak akan diizinkan untuk rujuk kembali kecuali ketika sudah mendekati akhir masa iddah, dan ini tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian, baik mereka maupun orang lain.

Itu adalah distorsi / merubah-rubah perkataan dari makna yang sebenarnya, akan tetapi makna ayat tsb sesuai dengan makna dhohirnya, yaitu yang di maksud mencapai batas waktu mereka adalah bahwa mereka telah mencapai masa iddahnya, bukan ketika berakhirnya masa iddah, dan ini adalah yang benar; karena jika mereka berada pada masa-masa iddah semuanya, maka bagi suami berhak untuk rujuk kembali atau menthalaknya. Dengan demikian apa yang mereka katakan itu bathil dengan yakin dan tidak ada keraguan di dalamya”. (Selesai Kutipan Ibnu Hazem)

Adapun perkataan Abu Bakar Al-Razi tentang hadits Hudzaifah, yang mana beliau berkata dalam kitabnya “أحكام القرآن” [1/285]:

((فإنْ قيل: قد روي عن حذيفة قال: “تسحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان نهاراً إلا أنَّ الشمس لم تطلع”؟ قيل له: لا يثبت ذلك عن حذيفة، وهو مع ذلك من أخبار الآحاد فلا يجوز الاعتراض به على القرآن؛ قال الله تعالى: “حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر”، فأوجب الصوم والإمساك عن الأكل والشرب بظهور الخيط الذي هو بياض الفجر، وحديث حذيفة إنْ حمل على حقيقته كان مبيحاً لِما حظرته الآية، وقال النبي صلى الله عليه وسلم في حديث عدي بن حاتم: “هو بياض النهار وسواد الليل” فكيف يجوز الأكل نهاراً في الصوم مع تحريم الله تعالى إياه بالقرآن والسنة؟! ولو ثبت حديث حذيفة من طريق النقل لم يوجب جواز الأكل في ذلك الوقت لأنه لم يعز الأكل إلى النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما أخبر عن نفسه أنه أكل في ذلك الوقت لا عن النبي صلى الله عليه وسلم، فكونه مع النبي صلى الله عليه وسلم في وقت الأكل لا دلالة فيه على علم النبي صلى الله عليه وسلم بذلك منه وإقراره عليه، ولو ثبت أنه صلى الله عليه وسلم علم بذلك وأقره عليه احتمل أن يكون ذلك كان في آخر الليل قرب طلوع الفجر فسماه نهاراً لقربه منه))

(Jika dikatakan: Diriwayatkan dari Hudzaifah, beliau berkata:

“ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ - ﷺ - وَكَانَ نهَاراً إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ”.

“Kami makan sahur bersama Rasulullah , dan saat itu sudah siang, hanya saja matahari belum muncul”.

Maka Di bantah: Itu tidak terbukti dari Hudzayfah, dan sudah begitu ditambah lagi bahwa itu khabar / hadits ahaad, maka tidak diperbolehkan dengannya untuk menolak Al-Qur'an, Allah SWT telah berfirman:

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Hingga benang putih menjadi jelas bagimu dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah: 187)

Maka ayat ini telah mewajibkan bepuasa dan menahan diri dari makan dan minum dengan munculnya benang putih fajar, dan hadits Hudzaifah jika diangkat pada maknanya yang hakiki maka maknanya memperbolehkan apa yang dilarang oleh ayat tersebut. Dan Nabi 
 bersabda dalam hadits ‘Adiy bin Haatim:

"هُوَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْلِ"

“Ini adalah putihnya siang dan gelapnya malam.”

Maka bagaimana mungkin diperbolehkan makan di siang hari saat berpuasa, padahal Allah SWT melarangnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah?

Dan jika seandainya hadits Hudhayfah dikukuhkan atau di shahihkan melalui jalur sanad, maka tidak diharuskan bolehnya makan pada waktu itu, karena makan sahur pada waktu itu tidak disandarkan kepada Nabi .

Dan sesungguhnya Hudzaifah itu hanya menceritakan tentang dirinya sendiri bahwa dia makan sahur pada saat itu, bukan dari Nabi . Adapun dia berada bersama Nabi  pada saat makan, tidak menunjukkan bahwa Nabi  mengetahui tentang hal ini darinya dan menyetujui terhadap apa yang dia lakukan.

Dan jika seandainya terbukti bahwa Nabi  mengetahui hal ini dan menyetujuinya, maka kemungkinan besar hal itu terjadi di penghujung malam menjelang fajar, maka ia menyebutnya siang karena kedekatannya darinya”. [Selesai kutipan]

Maka JAWABAN terhadap perkataan Abu Bakar Al-Razi di atas:

Jawabannya adalah bahwa itu telah dibuktikan keshahihnnya dari Hudzaifah, bahkan telah dibuktikan bahwa hadits itu shahih dari Nabi .

Adapun klaim bahwa itu adalah hadits Ahaad, dan itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an.

Jawabannya: bahwa hadits itu, baik itu ahaad maupun mutawatir jika ia shahih, maka dalam mengamalkannya tidak dilihat dari sisi ahaad atau mutawatirnya. KarenA jika hadits-hadits itu tidak boleh diamalkan kecuali yang mutawaatir, maka sebagian besar hukum-hukum syar’i akan menjadi mandul tidak boleh diamalkan !!

Dan lagi pula tidak ada kontradiksi antara hadits tsb dengan ayat al-Quran. Dan jika terbukti tidak adanya pertentangan, maka dakwaan atau klaim tsb menjadi batal dari akarnya.

Adapun klaim atau dakwaan bahwa Nabi  tidak mengetahuinya atau tidak menyetujuinya, maka dakwaan itu tidak benar, justru telah terbukti seperti yang telah lalu bahwa kejadian tsb terjadi dihadapan Nabi , bahkan beliau lah yang mengundang Hudzaifah untuk makan sahur bersama pada waktu itu.

Dan adapun kemungkinan bahwa itu terjadi di akhir malam. Lantas apa bedanya antara adzannya (Ibnu Ummi Maktuum) dengan adzannya Bilal?

Dan adapun takwilnya dengan makna “mendekati siang “, itu tertolak dengan alasan-alasan yang telah disebutkan di atas.

Adapun perkataan Imam Ath-Thohaawi, yaitu : dia mengklaim bahwa hadits Hudzayfah ini hukumnya sudah di mansukh / dirubah, dia berkata dlm kitabnya “شرح معاني الآثار” 2/52 sbb:

((وَقَدْ يُحْتَمَلُ حَدِيثُ حُذَيْفَةَ عِنْدَنَا - وَاللَّهُ أَعْلَمُ - أَنْ يَكُونَ كَانَ قَبْلَ نُزُولِ قَوْلِهِ تَعَالَى: “وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخِيطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخِيطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ”)).

Dan kemungkinan untuk hadits Hudhayfah ini dalam pandangan kami bahwa itu terjadi sebelum turunnya firman Allah SWT:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa kalain sampai (datang waktu) malam (QS. al-Baqarah: 187)

Maka JAWABAN nya adalah : Masalah pengklaiman nasakh (penghapusan dan pergantian hukum): bahwa Nasakh (penghapusan dan pergantian hukum) hanya bisa ditetapkan dengan dua syarat:

Pertama: jika nash-nash yang nampak berlawanan itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk digabungkan atau dikombinasikan.

Kedua: jika masing-masing nash tsb diketahui kapan masa awal turunnya atau masa akhir berlakunya. Sementara dalam masalah yang sedang kita bicarakan disini penggabungan nash-nash tsb dimungkinkan, sementara kapan masa awal turunnya dan akhir berlakunya (Nasakh) tidak diketahui, jadi pengklaiman nasakhnya ini tidak bisa dibuktikan.

Syarat-syarat nasakh ( perubahan syariat) tsb telah ada dan tertulis dalam kitab-kitab para ulama, diantaranya seperti yang disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya “Syarh Shahih Muslim” [6/124] dalam masalah lain:

((وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخَ: فَهُوَ مُجَازِفٌ؛ لِأَنَّ النَّسْخَ لَا يُصَارُ إلَّا إذَا عَجَزْنَا عَنِ التَّأْوِيلِ وَالْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ وَعَلِمْنَا التَّارِيخَ، وَلَيْسَ هُنَا شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ))

“Adapun orang yang mengklaim terjadinya perubahan hukum / nasakh: maka dia itu telah bicara serampangan. Karena pembatalan hukum tidak diperoleh sampai kita betul-betul tidak dapat mentakwilnya dan tidak bisa menggabungkan antara hadits-hadits tsb, dan kita harus mengetahui tentang tarikhnya. Sementara dalam masalah ini tidak ada dari semua itu”.(Slsai)

Al-Hafiz Ibn Hajar berkata di Al-Fath [1/714]:

((النسخُ لَا يُصَارُ إلَّا إذَا عُلِمَ التَّارِيخُ وَتَعَذَّرَ الْجَمْعُ، وَالتَّارِيخُ هُنَا لَمْ يَتَحَقَّقْ وَالْجَمْعُ لَمْ يَتَعَذَّرْ)).

“Nasakh / perubahan hukum tidak diperoleh kecuali masa / tarikhnya diketahui dan tidak memungkinkan untuk digabungkan. Dan ternyata tarikh dalam masalah di sini tidak diketahui dan penggabungan antar nash-nash juga tidak mungkin”. (Slsai)

Para Pembaca yang bijak, Anda sekalian harus tahu bahwa hadits Hudzaifah:

“ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ - ﷺ - وَكَانَ نهَاراً إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ”.

“Kami makan sahur bersama Rasulullah , dan saat itu sudah siang, hanya saja matahari belum muncul”.

Hadits ini telah membuat ulama kelelahan untuk menjawabnya dan mempelajarinya.

Al-Hafiz Ibn Rajab berkata dalam kitabnya Fathul Bari [4/103]:

((قال الجوزجاني: هو حديث أعيا أهل العلم معرفته. وقد حمل طائفة من الكوفيين منهم النخعي وغيره هذا الحديث على: جواز السحور بعد طلوع الفجر في السماء حتى ينتشر الضوء على وجه الأرض.

وروي عن ابن عباس وغيره: حتى ينتشر الضوء على رؤوس الجبال، ومَنْ حكى عنهم أنهم استباحوا الأكل حتى تطلع الشمس فقد أخطأ.

وأدَّعى طائفة: أنَّ حديث حذيفة كان في أول الإسلام ونسخ.

ومن المتأخرين مَنْ حمل حديث حذيفة على أنه يجوز الأكل في نهار الصيام حتى يتحقق طلوع الفجر ولا يكتفي بغلبة الظن بطلوعه؛ وقد نصَّ على ذلك أحمد وغيره، فإنَّ تحريم الأكل معلَّق بتبين الفجر.

وقد قال علي بعد صلاته للفجر: الآن تبين الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر.

وأنه يجوز الدخول في صلاة الفجر بغلبة ظن طلوع الفجر كما هو قول أكثر العلماء على ما سبق ذكره؛ وعلى هذا فيجوز السحور في وقت تجوز فيه صلاة الفجر إذا غلب على الظن طلوع الفجر ولم يتيقن ذلك.
وإذا حملنا حديث حذيفة على هذا؛ وأنهم أكلوا مع عدم تيقن طلوع الفجر، فيكون دخولهم في الصلاة عند تيقن طلوعه، والله أعلم.

ونقل حنبل عن أحمد قال: إذا نوّر الفجر وتبين طلوعه حلَّت الصلاة وحرم الطعام والشراب على الصائم؛ وهذا يدل على تلازمهما، ولعله يرجع إلى أنه لا يجوز الدخول في الصلاة إلا بعد تيقن دخول الوقت، وقد روي عن ابن عباس وغيره من السلف تلازم وقت صلاة الفجر وتحريم الطعام على الصائم)) انتهى كلام ابن رجب.

((Al-Jawzajaani berkata: Ini adalah hadits yang melelahkan para ulama untuk memahaminya.

Ada Sekelompok para ulama Kufah, termasuk Al-Nakha'i dan lainnya, membawa hadits ini pada makna: Bolehnya sahur setelah terbitnya fajar di langit sampai cahaya menyebar ke seluruh muka bumi.

Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas serta lainnya: maknanya “sampai cahaya menyebar ke puncak-puncak gunung”.

Dan adapun orang yang meriwayatkan dari mereka bahwa mereka membolehkan makan sampai matahari terbit, maka dia telah membuat kesalahan.

Dan ada kelompok yang menyatakan: bahwa hadits Hudzaifah adalah pada permulaan Islam lalu dimansukh / di hapus.

Dan dikalangan para ulama muta’akhiriin ada yang membawa makna hadits Hudzaifah ini pada diperbolehkannya makan pada saat siang bulan puasa hingga benar-benar terbukti fajar sudah terbit. Karena penyaksian terbitnya fajar itu tidak cukup hanya dengan perkiraan kemungkinan besar telah terbit. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Imam Ahmad dan lainnya, karena larangan makan bergantung pada kejelasan dan kepastian terbitnya shubuh.

Dan Ali bin Thalib berkata setelah beliau shalat Subuh:

الآنَ تَبَيَّنَ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ.

“Sekarang benang putih telah nampak jelas dari benang hitam Fajar”.

Dan sesungguhnya diperbolehkan untuk masuk sholat Subuh ketika mengira kemungkinan besar bahwa fajar telah terbit, sebagaimana pandangan sebagian besar para ulama seperti yang telah disebutkan di atas.

Berdasarkan hal tersebut, maka diperbolehkan sahur pada waktu diperbolehkan shalat Subuh apabila besar kemungkinan diperkirakan subuh telah terbit dan belum dapat dipastikan terbitnya secara menyakinkan.

Jika kita membawa hadits Hudzaifah pada makna ini; berarti mereka boleh makan selama belum ada kepastian yang meyakinkan bahwa fajar telah terbit, berarti bolehnya mereka masuk ke dalam shalat adalah ketika telah yakin dan ada kepastian bahwa fajar telah terbit. Wallahu alam.

Hanbal meriwayatkan bahwa Ahmad berkata: Jika fajar telah besinar dan fajar telah jelas terlihat, maka shalat dibolehkan dan makanan dan minuman dilarang bagi orang yang berpuasa. Ini menunjukkan korelasi keduanya dan kelazimannya.

Barangkali karena kembali kepada tidak dibolehnya masuk shalat sampai waktunya sudah yakin dan pasti. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainya dara para ulama salaf bahwa waktu shalat Subuh dan larangan makan atas orang yang berpuasa itu saling ada keterkaitan”. (Selsai kutipan perkataan Ibnu Rajab).

Dan dalam hal ini ada yang penting dan harus diperhatikan adalah:

Bahwa ada sekelompok para ulama yang mengklaim bahwa waktu Imsak itu berakhir dengan terbitnya matahari, sama seperti waktu berbuka puasa dimulai dengan matahari terbenam. Mereka ini bukan dari para ulama salaf yang biasa mengakhirkan sahur hingga fajar menjadi nampak jelas. Dan dari apa yang mereka jadikan dalil adalah hadits Hudzaifah juga.

Oleh karena itu, ada sekelompok ulama yang kebingungan tentang masalah tersebut, dan mereka mengira bahwa mereka ini adalah mereka itu, dan mangira bahwa semuamya itu adalah satu madzhab, tapi yang benar tidaklah seperti itu (bukan satu madzhab).

Seperti yang terdapat dalam ungkapan Al-Hafiz Ibnu Rajab:

((وَمَنْ حَكَى عَنْهُمْ أَنَّهُمْ اسْتَبَاحُوا الْأَكْلَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَخْطَأَ))

((Dan siapa yang meriwayatkan dari mereka bahwa mereka membolehkan makan sampai matahari terbit, maka dia telah berbuat kesalahan)).

Al-Hafidz Ibnu Katsiir mengatakan dalam Tafsirnya [1/298]:

((وَحَكَى أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ عَنْ بَعْضِهِمْ: أَنَّهُ إنَّمَا يَجِبُ الْإِمْسَاكُ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ كَمَا يَجُوزُ الْإِفْطَارُ بِغُرُوبِهَا. قُلْتُ: وَهَذَا الْقَوْلُ مَا أَظُنُّ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَسْتَقِرُّ لَهُ قَدَمًا عَلَيْهِ، لِمُخَالَفَتِهِ نَصَّ الْقُرْآنِ فِي قَوْلِهِ: “وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخِيطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخِيطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ)).

Abu Jaafar bin Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya dari sebagian mereka: Bahwa di wajibkan nya Imsak itu semenjak terbitnya matahari sebagaimana diperbolehkan untuk berbuka puasa saat matahari terbenam.

Saya katakan: Dan perkataan ini, saya tidak mengira jika ada seorang dari Ahli Ilmu yang kokoh pendiriannya dan ilmunya yang berani menyelisihi nash al-Qur’an, yaitu pada firman-Nya:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam”. (QS. al-Baqarah: 187)”. (Selesai kutipan dari Ibnu Katsir)

Penulis katakan:

Singkatnya dan kesimpulan dari hadits Hudzaifah:

Makna perkataan Hudzaifah RA:

(هُوَ النَّهَارُ إِلَّا إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ)

(Itu adalah siang namun matahari belum terbit)

Sesuai makna dzohirnya yaitu diperbolehkannya sahur setelah terbit fajar, hingga cahaya menjadi terang jelas di ufuk langit dari arah terbitnya matahari.

Dan ini hanya terjadi jika cahaya putih telah melebar dan suatu cahaya kemerahan bercampur dengannya, yang menandakan telah dekatnya matahari terbit, karena setelah adanya cahaya kemerahan akan ada cahaya yang menguning.

Cahaya Menguning adalah merupakan pengaruh dari awal terbitnya matahari,

Maka dengan demikian Hudzaifah RA mengungkapkannya dengan kata yang simple namun cakupan maknanya luas.

Dan tidak ada kontradiksi antara perkataan Hudzaifah RA dan ayat mulia:

حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ

“Hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar”. (QS. al-Baqarah: 187)”.

Karena ayat tersebut mengikat waktu “Imsak” dengan kata “Tabayyun” terhadap terbitnya fajar, dan makna tabayyun adalah melakukan penelitian, pembuktian dan harus benar-benar jelas.

Dan cahaya keputih-putihan tidak bisa dibuktikan kecuali dengan kejernihan dan nampak jelasnya fajar. Nah, pada saat itulah tidak ada seorangpun yang meragukan bahwa fajar benar-benar telah menyingsing.

Mungkin dan bisa jadi - wallaahu a’lam - hikmah di balik kondisi muadzin Nabi  untuk fajar kedua itu seorang yang buta, yaitu Ibnu Umm Maktuum, tujuannya agar terbitnya fajar itu disaksikan oleh sekelompok orang-orang. Karena jika satu orang saja terkadang melakukan kesalahan dan terkadang benar dan tepat. Dan Ibnu Ummi Maktuum tidak akan melakukan adzan kecuali setelah para sahabatnya berkata kepadanya “Adzan lah “, atau mereka mengatakan: “Anda telah memasuki waktu shubuh 2x !!! “seperti dalam hadits yang disebutkan di atas.

Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Khubaib ibnu Abdur Rahman, berkata: Bibiku Aniisah memberitahuku dan berkata:

كَانَ بِلَالٌ وَابْنُ أم مكتوم يؤذنان لِلنَّبِيِّ - ﷺ - فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -: إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَكُنَّا نَحْبِسُ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَنِ الْأَذَانِ فَنَقُولُ: كَمَا أَنْتَ حَتَّى نَتَسَحَّرَ، كَمَا أَنْتَ حَتَّى نَتَسَحَّرَ. وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ أذانيهما إِلَّا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَصْعَدَ هَذَا”

Bilal dan Ibnu Ummi Maktuum adalah juru adzan Nabi . Maka Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya Bilal itu mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”.

Lalu kami berkata: “Seperti halnya engkau bersahur, kami pun bersahur, Seperti halnya engkau bersahur, kami pun bersahur”. Dan tidak ada jeda waktu diantara adzan keduanya kecuali saat yang ini turun dan yang itu naik. “

(HR. Ahmad 6/433, Daud ath-Thoyaalisy hal. 231 dan Al-Bushairi dlm “إتحاف الخيرة المهرة” Bab “السنة في الأذان لصلاة الصبح قبل طلوع الفجر” no. 480, Ibnu Saad 8/364, Baihaqi 1/382, Ibnu Khuzaimah no. 405, ath-Thohaawi di “شرح المعاني” 1/138, Thabrani dlm “المعجم الكبير” 24/191 dan Abu Nu’aim dlm “الصحابة” no. 7520).

Syeikh Nabil bin Manshuur al-Bashooroh dalam kitabnya “أنيس الساري “ 3/290-291 berkata: “Sanadnya Shahih”.

Dan ini adalah amalan para Sahabat dan orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan para senior tabi’iin. Mereka senantiasa mengakhirkan makan sahur sampai cahaya fajar nampak cerah dan jelas. Namum orang-orang yang datang kemudian merubahnya dengan bersahur sebelum fajar terbit.

Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Saliim bin Ubaid al-Asyja’ii yang memiliki predikat sebagai seorang sahabat:

أنَّ أبا بكرٍ رضِي اللهُ تعالَى عنه قالَ لَهُ اخرجْ فانظرْ هلْ طلعَ الفجرُ قالَ فنظرْتُ ثُمَّ أتيتُه فقلْتُ قدْ ابيضَ و سطعَ ثُمَّ قالَ اخرجْ فانظرْ هلْ طلعَ فنظرْتُ فقلْتُ قدْ اعترضَ فقالَ الآنَ أبلغنِي شرابِي

“Bahwa Abu Bakar RA mengatakan kepadanya: “Keluarlah, lalu lihatlah apakah fajar telah terbit?”

Dia berkata: Maka sayapun melihat nya, lalu saya datang kepadanya dan berkata: “Telah nampak cahaya putih dan memancar”. Lalu dia berkata lagi: Keluarlah, lalu lihatlah apakah fajar telah terbit?”

Lalu saya pun melihatnya dan saya katakan: Cahaya fajar telah melintang (melebar). Kemudian dia (Abu Bakar) berkata: Sekarang ia telah mengantarkanku pada minumanku (Yakni: telah datang saat yang tepat untuk minum)”.

Sanadnya shahih, seperti yang dikatakan Ibn Hajar dan Al-Badr Al-Ayni (Lihat: “عمدة القارئ “ karya al-Ayni 10/425 dan “فتح الباري” Karya Ibnu Hajar 4/137 di bawah hadits no. 1818).

Dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dengan SANAD YANG SHAHIH juga – seperti yang dikatan al-Hafidz Ibnu Hajar - dari Ali bin Abi Thalib : bahwa beliau sholat shubuh, kemudian beliau berkata:

((الآن حينَ تَبَيَّنَ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ))

“Sekarang telah nampak jelas benang putih dari benang hitam”.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Athoo dari Ibnu Abbaas RA, beliau berkata:

((الْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يَطْلُعُ بِاللَّيْلِ؛ يَحِلُّ فِيهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَلَا يَحِلُّ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَفَجْرٌ تَحِلُّ فِيهِ الصَّلَاةُ وَيُحَرَّمُ فِيهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ؛ وَهُوَ الَّذِي يَنْتَشِرُ عَلَى رُؤُوسِ الْجِبَالِ))

((Fajar itu ada dua fajar: fajar terbit di malam hari; diperbolehkan makan dan minum di dalamnya dan tidak diperbolehkan untuk sholat didalamnya. Dan fajar diperbolehkan sholat di dalamnya dan di larang makanan dan minuman dilarang di dalamnya, yaitu adalah fajar yang sinarnya menyebar ke puncak-puncak gunung)).

(Diriwayatakan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan Al Kubro no. 8024 dalam “Puasa”, Bab “Waktu yang diharamkan untuk makan bagi orang yang berpuasa” dan Ad Daruquthni dalam “Puasa”, Bab “Waktu makan sahur” no. 2154.

Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya menshahihkannya sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)

Ibnu Rajab berkata dalam kitabnya “فتح الباري” 3/224 :

((وَرَوَاهُ أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ فَرَفَعَهُ، خَرَّجَهُ مِنْ طَرِيقِهِ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَغَيْرِهِ، وَالْمَوْقُوفُ أَصْحُ قَالَهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ))

“Dan Abu Ahmad Al-Zubairi meriwayatkannya dari Sufyan dari Ibn Juraij, maka dia menyandarkannya pada sabda Nabi . Ibn Khuzaymah dan yang lainnya meriwayatkannya pula melalui jalurnya. Namun hadits ini lebih shahih di hukumi mauquf, kata imam Al-Baihaqi dan yang lainnya”.

Syeikh Taqiyud Din al-Hilaali menshahihkan sanadnya dalam Desertasi Doktornya yang berjudul “الفجر الصادق وامتيازه عن الفجر الكاذب”.

وَقَالَ مَسْرُوقٌ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَهُوَ مِنْ كُبَارِ التَّابِعِينَ وَأَبْرَزِ أَصْحَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَدْ التَقَى بِجَمْعٍ مِنَ الصَّحَابَةِ: ((لَمْ يَكُنْ يَعُدُّونَ الْفَجْرَ فَجْرَكُمْ إِنَّمَا كَانُوا يَعُدُّونَ الْفَجْرَ الَّذِي يَمْلَأُ الْبُيُوتَ)).

Masruq, dia adalah salah satu dari para tabiin senior dan salah seorang dari para sahabatnya Ibnu Mas’uud RA yang paling terkemuka, dan dia berguru pada sejumlah para Sahabat. Dia berkata:

((لَمْ يَكُنْ يَعُدُّونَ الْفَجْرَ فَجْرَكُمْ إِنَّمَا كَانُوا يَعُدُّونَ الْفَجْرَ الَّذِي يَمْلَأُ الْبُيُوتَ))

“Mereka tidak menganggap fajar itu adalah fajar kalian, akan tetapi yang mereka anggap adalah fajar yang memenuhi rumah-rumah cahayanya”.

Bahkan, Imam Ibnu Hazem menukil bahwa ini adalah perkataan para sahabat, dan diantara mereka tidak ada satupun yang menyelisihinya.

Ibnu hazem dalam kitab “المحلَّى” [6/234] berkata:

((فَهَؤُلَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَلِيٌّ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَحُذَيْفَةَ وَعُمَّةُ خُبَيْبٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فَهُمْ أَحَدَ عَشَرَ مِنَ الصَّحَابَةِ لَا يُعْرَفُ لَهُمْ مُخَالَفٌ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ؛ إلَّا رِوَايَةَ كَمَالٍ مِنْ طَرِيقِ مَكْحُولٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَلَمْ يَدْرِكْهُ، وَمِنْ طَرِيقِ يَحْيَى الْجَزَّارِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَلَمْ يَدْرِكْهُ. وَمِنَ التَّابِعِينَ: مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ وَأَبُو مِجْلَزٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُسْلِمٍ وَأَصْحَابُ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَطَاءٌ وَالْحَسَنُ وَالْحُكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ وَمُجَاهِدٌ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَجَابِرُ بْنُ زَيْدٍ. وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مُعَمَّرٌ وَالْأَعْمَشُ))

Mereka ini adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbaas, Abu Hurairah, Ibnu Mas’uud, Hudzaifah, Bibi Khubaib, Zaid bin Tsabit, Sa’ad bin Abi Waqash. Mereka adalah sebelas para Sahabat.

Dari kalangan mereka tidak ada seorang pun sahabat yang diketahui yang berselisih, kecuali riwayat Kamaal dari jalur Makhuul dari Abu Sa’iid al-Khudri, namun dia tidak pernah menjumpainya. Dan dari jalan Yahya al-Jazzaar dari Ibn Masoud, namun dia tidak pernah menjumpainya.

Di antara para tabi’iin: Muhammad bin Ali, Abu Mijlaz, Ibrahim, Muslim, para sahabatnya Ibnu Mas’uud, ‘Athoo, Al-Hassan, Al-Hakaam bin ‘Utaibah, Mujaahid, ‘Urwa bin Al-Zubair dan Jaabir bin Zaid.

Di antara para ahli Fiqih: Ma’mar dan Al-A'masy”.

Ibnu Hazem menyebutkan pernyataan-pernyataan mereka dlm kitabnya “المحلّى” dengan sanad-sanadnya setelah dia berkata:

((“وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ” وَهَذَا نَصُّ مَا قُلْنَا؛ لأنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ الْوُطُءَ وَالْأَكْلَ وَالشُّرْبَ إِلَى أَنْ يَتَبَيَّنَ لَنَا الْفَجْرُ، وَلَمْ يَقُلْ تَعَالَى: حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ!!، وَلَا قَالَ: حَتَّى تَشْكُوا فِي الْفَجْرِ. فَلَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَقُولَهُ، وَلَا أَنْ يُوجِبَ صَوْمًا بِطُلُوعِهِ مَا لَمْ يَتَبَيَّنْ لِلْمَرْءِ، ثُمَّ أَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى التَّزَامَ الصَّوْمِ إِلَى اللَّيْلِ))

Artinya: “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam”. (QS. al-Baqarah: 187)

Ini adalah nash dari apa yang telah kami katakan; Karena Allah SWT telah membolehkan berhubungan suami istri, makan dan minum sampai Fajar benar-benar menjadi jelas bagi kita. Dan Allah SWT tidak berfirman: “Sampai fajar terbit”. Dia tidak pula berfirman: “Sampai kalian ragu terhadap terbitnya fajar “, maka itu tidak diperbolehkan siapa pun untuk mengatakannya, dan tidak diwajibkan berpuasa selama fajar belum benar-benar jelas bagi kita, lagi pula Allah SWT mewajibkan berpuasa hingga malam dengan konsekwen”. (Selesai perkataan Ibnu Hazem)

Penulis katakan:

Kalau kita perhatikan Pernyataan para ulama yang disebutkan di atas, maka terdapat dua kelompok:

Pertama: mereka yang jelas-jelas menyatakan bahwa Imsak puasa itu di mulai dengan penyebaran cahaya fajar di rumah-rumah, di jalan-jalan, di puncak-puncak gunung, atau di sekitarnya.

Kedua: mereka tidak terus terang menyatakannya, akan tetapi mereka membolehkan sahur meskipun setelah fajar terbit, sampai fajar menjadi benar-benar jelas dan keraguan itu menjadi hilang. Untuk lebih rinci dan detailnya silahkan baca di referensi-referensi tsb !

Adapun: bagi mereka yang mendakwakan atau mengklaim seperti Ibnu Abdil Barr dalam kitab “التمهيد” dan Ibnu Quddaamah di kitab “المغني”, dan juga al-Hafidz Ibnu Hajar sependapat dengan mereka di suatu halaman dalam kitab “فتح الباري “:

“ أَنَّ هَذَا الْقَوْلَ لَمْ يَقُلْ بِهِ إلَّا الْأَعْمَشُ وَأَنَّهُ شَذَّ لِمُخَالَفَتِهِ إجْمَاعَ الْأُمَّةِ.”.

“Bahwa perkataan ini hanya diucapkan oleh Al-A'masy dan itu adalah menyimpang (شذّ) karena bertentangan dengan Ijma’ umat”.

Maka Penulis katakan:

Ini adalah sebuah dakwaan atau klaim yang bertentangan dengan kenyataan dan realita. Al-Hafiz Ibn Hajar sendiri berkata dalam kitab “فتح الباري “ di halaman lain [4 / 136-137]:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَقَالَ بِهِ الْأَعْمَشُ مِنَ التَّابِعِينَ وَصَاحِبُهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ إِلَى جَوَازِ السُّحُورِ إِلَى أَنْ يَتَضَحَّ الْفَجْرُ.

“Ada segolongan para sahabat yang bermadzhab (seperti dalam hadits Hudzaifah) dan juga Al-A’masy dari kalangan Tabi’iin, dan temannya Abu Bakar bin Ayyash, mereka mengatakan bahwa sahur diperbolehkan sampai fajar menjadi jelas dan terang”.

Lalu al-Haafidz menyebutkan perbedaan pendapat diantara mereka. Dan kemudian beliau berkata:

((قَالَ إِسْحَاقُ: هَؤُلَاءَ رَأَوْا جَوَازَ الْأَكْلِ وَالصَّلَاةِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ الْمُعْتَرِضِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ، قَالَ إِسْحَاقُ: وَبِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ أَقُولُ؛ لَكِنْ لَا أَطْعَنُ عَلَى مَنْ تَأَوَّلَ الرُّخْصَةَ كَالْقَوْلِ الثَّانِي، وَلَا أَرَى عَلَيْهِ قَضَاءً وَلَا كَفَّارَةً، قُلْتُ: وَفِي هَذَا تَعَقُّبٌ عَلَى الْمُوَفَّقِ وَغَيْرِهِ حَيْثُ نَقَلُوا الْإِجْمَاعَ عَلَى خِلَافِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْأَعْمَشُ)).

Ishaq berkata: Orang-orang ini berpendapat diperbolehkan untuk makan (sahur) dan sholat setelah terbitnya nya fajar yang melintang hingga menjadi nampak jelas putihnya siang dari hitamnya malam.

Ishaq berkata: Dengan pendapat pertama aku sependapat, tetapi saya tidak menentang orang yang mentakwilnya sebagai rukhshoh seperti yang dikatakan oleh pendapat kedua, dan saya tidak berpendapat bahwa dia harus mengqodho atau bayar kafarat.

Saya (Yakni al-Hafidz) katakan: Dan di sini ada kritikan terhadap Al-Muwaffaq (Ibnu Quddaamah) dan lainnya, yang mana mereka telah menukil Ijma para ulama dalam menyelisihi apa yang telah menjadi madzhab Al-A’masy”.

Raa’id Aali Thohir (رائد آل طاهر) dalam makalahnya “عون الخالِق في تحقيق مسألة وقت الفجر الصادِق” memberikan kesimpulan sbb:

“إِنَّ وَقْتَ أَذَانِ الْفَجْرِ الصَّادِقِ وَهُوَ الثَّانِي يَكُونُ حِينَ يَتَضَحُّ الْفَجْرُ فِي الْأُفُقِ وَيَنْتَشِرُ الْبَيَاضُ فِيهِ عَلَى طُولِهِ وَتَظْهَرُ فِيهِ أَوَائِلُ حُمْرَةٍ مِنْ جِهَةِ الْمَشْرِقِ وَلَيْسَ وَقْتُهُ بِظُهُورِ أَوَّلِ الْبَيَاضِ فِي الْأُفُقِ”

“Bahwa waktu adzan Fajar shodiq (Shubuh), yakni Fajar yang kedua adalah ketika fajar menjadi jelas cerah di cakrawala dan sinar putih menyebar di sepanjang panjangnya dan warna merah pertama muncul dari arah timur, waktunya bukan saat sinar putih pertama muncul di cakrawala”.

====

LALU MANA YANG RAJIH?

Amalkan yang lebih meyakinkan, lebih hati-hati dan tidak meragukan ! Wallahu a’lam.

Semoga bisa menambah pengetahuan. Amiiin

 

Posting Komentar

0 Komentar