Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MENGHADAP SUTROH KETIKA SHOLAT MUNFARID ATAU MENJADI IMAM

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

******

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

أما بعد:

Dari Abu Sa’iid al-Khudry RA, bahwa Rosulullah bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila seorang di antara kamu shalat dengan memasang sutrah yang membatasinya dari orang-orang, lalu ada seseorang yang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia mencegahnya. Bila ia tidak mau, perangilah dia sebab sesungguhnya dia adalah setan “ [HR. Al-Bukhaariy no. 509 dan Muslim no. 505 ].

Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan:

فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ


“Sesungguhnya dia bersama al-qarin (setan)”.

MAKNA SUTRAH:

Sutrah merupakan tabir penghalang yang dipasang di depan orang shalat.

Atau sesuatu yang dijadikan oleh orang yang shalat berada di hadapannya bisa berupa kursi, atau tongkat atau dinding atau tempat tidur atau yang lainnya untuk mencegah lewatnya seseorang dihadapannya.

Tidak ada perbedaan antara sutrah itu diambil dari sesuatu yang bersifat permanen seperti dinding dan tiang atau tidak permanen, menurut Imam Madzhab yang tiga namun tidak demikian halnya dengan madzhab Syafi’i.” [Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib al-arba’ah 1/243]

=====

HUKUM MENGHADAP SUTRAH 
BAGI IMAM SHOLAT DAN YANG MUNFARID:

-------

Ada dua pendapat hukum shalat menghadap sutrah bagi orang yang menjadi Imam atau orang yang shalat munfarid [shalat sendirian]. 

-----

PENDAPAT PERTAMA: SUNNAH MUAKKADAH

Fatwa Syeikh BIN BAAZ, beliau berkata:

الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة فإن لم يجد شيئًا منصوبًا أجزأه الخط

“ Sholat menghadap ke sutrah adalah sunnah muakkadah dan tidak wajib. Jika dia tidak menemukan sesuatu yang dipancangkan, maka cukup dengan garis “.

Referensi: Bagian dari pertanyaan yang ditujukan kepada Syeikh bin Baaz, yang dicetak oleh Saudara Muhammad Al-Shaayi’ dalam kitab “مجموع فتاوى ومقالات الشيخ ابن باز” 11/96-97).

Dalam “الموسوعة الفقهية” di sebutkan:

السُّترةُ بين يدَيِ المُصلِّي إذا كان إمامًا أو منفرِدًا سنَّةٌ مؤكَّدةٌ، وذلك باتِّفاقِ المذاهبِ الفِقهيَّةِ الأربعةِ: الحنفيَّةِ ، والمالكيَّةِ، والشافعيَّةِ، والحنابلةِ، وحُكِيَ الإجماعُ على ذلك

Sutrah di hadapan orang sholat, jika dia seorang imam atau sholat sendirian (munfarid), adalah Sunnah muakkadah, menurut kesepakatan empat mazhab fiqih: Hanafi (1), Maliki (2), Syafi'i (3) dan Hanbali (4).

Lihat Referensi masing-masing madzhab empat:

(1) – Baca: ((Al-Durr Al-Mukhtar oleh Al-Hashkafii dan Haashiyah Ibnu Abidin)) (1/637, 636), dan lihat: ((Al-Muhiith Al-Burhani)) oleh Ibn Maazah (1/432)

(2) – Baca: ((Al-Kaafii)) oleh Ibn Abd Al-Bar (1/209), dan lihat: ((Bidaayat Al-Mujtahid)) oleh Ibn Rusyd (1/113), ((Sharh Mukhtashar Khalil)) oleh Al-Khurosyi (1/278)

(3) – Baca: ((Al-Majmu’) oleh Al-Nawawi (3/247), ((Nihaayat Al-Muhtaaj)) oleh Al-Ramli (2/52).

(4) – Baca: ((Kasyaaf Al-Qinaa’)) oleh Al-Bahuutii (1/382), dan lihat: ((Al-Mughni)) oleh Ibnu Quddaamah (2/174)

Bahkan banyak para ulama yang menukil adanya Ijma akan Sunnah Muakkadah nya hukum Sutroh. Diantaranya adalah sbb:

Ibn Rusyd dari madzhab Maaliki berkata:

(واتَّفق العلماء بأجمعهم على استحباب السُّترة بين المصلِّي والقِبلة، إذا صلّى منفردًا كان أو إمامًا)

(Para ulama sepakat tentang mustahabnya sutrah antara orang yang sholat dan kiblat, baik dia sholat sendirian, maupun dia itu seorang imam). ((Baca: Bidaayat al-Mujtahid (1/113)).

 Al-Nawawi dari Madzhab asy-Syaafi’ii berkata:

(السنَّة للمصلِّي أن يكون بين يديه سُترة من جدار أو سارية أو غيرهما، ويدنو منها، ونقل الشيخ أبو حامد الإجماعَ فيه)

(Sunnah bagi seorang yang sholat, didepannya ada sutrah dari dinding atau tiang atau sesuatu yang lain, dan dia mendekatinya. Dan Syekh Abu Hamid menukil Ijma para ulama tentang itu). ((Baca: Al-Majmu' 3/247)).

Ibnu Quddaamah dari Madzhab Hanbali berkata:

(وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُصَلِّي أَنْ يُصَلِّيَ إلَى سُتْرَةٍ، فَإِنْ كَانَ فِي مَسْجِدٍ أَوْ بَيْتٍ صَلَّى إلَى الْحَائِطِ أَوْ سَارِيَةٍ، وَإِنْ كَانَ فِي فَضَاءٍ صَلَّى إلَى شَيْءٍ شَاخِصٍ بَيْنَ يَدَيْهِ، أَوْ نَصَبَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَرْبَةً أَوْ عَصًا، أَوْ عَرَضَ الْبَعِيرَ فَصَلَّى إلَيْهِ، أَوْ جَعَلَ رَحْلَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ. وَسُئِلَ أَحْمَدُ: يُصَلِّي الرَّاحِلُ إلَى سُتْرَةٍ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ؟ قَالَ: نَعَمْ، مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ. وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا)

(Ringkasnya: dianjurkan / mustahabb bagi seorang yang sholat untuk sholat menghadap kepada sutrah, dan jika dia berada di masjid atau rumah, maka dia sholatlah menghadap ke dinding atau tiang.

Dan jika dia berada di tempat terbuka, maka dia menghadap kepada sesuatu yang berdiri di depannya, atau meletakkan tombak atau tongkat di depannya, atau melintangkan unta lalu sholat menghadap kepadanya, atau pelana tunggangannya di depannya.

Imam Ahmad ditanya: “ Orang yang dalam perjalanan apakah shalatnya menghadap sutrah, baik ketika masih di kampung halamannya maupun dalam perjalanan ?

Dia menjawab: Ya, seperti sholat dibelakang pelana tunggangannya. Dan kami tidak mengetahui akan adanya perbedaan pendapat akan ke mustahabannya). ((Baca: Al-Mughni 2/174).)

Burhanuddin Ibnu Muflih dari Madzhab Hanbali berkata:

("ويستحبُّ أن يصلِّي إلى سُترة" مع القدرة عليها، بغير خلاف نعلمه)

“Dianjurkan / mustahab hukumnya seseorang sholat menghadap sutrah” meskipun dia mampu melakukannya, dan tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui). ((Baca “المبدع” (1/437).

FATWA SYEIKH ‘ATHIYAAH SHAQR:

Syaikh ‘Athiyah Shaqr – mantan mufti Mesir- mengatakan:

واستحباب جعل السترة يستوى فيه خشية مرور أحد وعدم الخشية كما قال الشافعية والحنابلة وقال الحنفية والمالكية: إذا أمن مرور أحد فلا يستحب ، لأن ابن عباس رضى اللّه عنهما قال: إن النبى صلى الله عليه وسلم صلى فى فضاء وليس بين يديه شيء. رواه أحمد وأبو داود ورواه البيهقى وقال: له شاهد بإسناد أصح من هذا عن الفضل بن عباس.

Dan disunahkan meletakkan sutrah, sama saja baik keadaan khawatir adanya orang yang lewat atau tidak, sebagaimana yang dikatakan kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Sedangkan, Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan: “Jika telah aman dari orang yang lewat maka tidaklah disunahkan.”

Karena Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalat di lapangan luas dan di hadapannya tidak ada penghalang apa-apa.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan juga Al Baihaqi, dan dia berkata: “Hadits ini memiliki syahid (saksi/penguat) dengan sanad yang lebih shahih dari ini, dari jalur Al Fadhl bin Abbas.” (Fatawa Al Azhar, 9/7)

FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIIN:

Beliau berkata:

السترة للمأموم ليست بمشروعة؛ لأن سترة الإمام سترةٌ له ولمن معه، وأما للإمام والمنفرد فهي مشروعة، فيسن أن لا يصلي إلا إلى سترة؛ ولكنها ليست بواجبة على القول الراجح الذي عليه جمهور أهل العلم لحديث ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في منى إلى غير جدار، وكان راكباً على حمار أتان؛ أي أنثى، فمر بين يديه بعض الصف، فلم ينكر ذلك عليه أحد، فقوله إلى غير جدار قال بعض أهل العلم: إنما أراد رضي الله عنه إلى غير السترة؛ لأن الغالب في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم أن منى ليس فيها بناء، ولحديث أبي سعيد: إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره من الناس، فأراد أحد أن يجتاز بين يديه، فليدفعه، فقوله إذا صلى إلى شيء يستره. يدل على أن الصلاة إلى السترة ليس بلازمة، وإلا لما احتيج إلى القيد، وعلى هذا فيكون الأمر بالسترة أمراً بالندب، وليس بالوجوب، هذا هو القول الراجح في اتخاذ السترة،

“Sutrah bagi makmum tidaklah disyariatkan, karena sutrahnya imam adalah sutrah baginya juga, dan orang-orang di belakangnya.

Ada pun bagi Imam dan orang yang shalatnya sendirian, maka itu disyariatkan, maka DI SUNNAH KAN agar jangan shalat melainkan dengan adanya sutrah.

Tetapi hal itu TIDAK WAJIB berdasarkan pendapat yang Raajih / kuat yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) ulama.

Sebagaimana hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Sebagian ulama mengatakan, bahwa maksud Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu adalah tanpa menghadap ke sutrah. Sebab, pada masa Rasulullah secara umum kota Mina tidak memiliki bangunan.

Juga hadits Abu Said, “Jika salah seorang kalian shalat maka hendaknya dia membuat penghalang dari manusia.” Maka, maksudnya adalah seorang boleh mencegah orang yang di hadapannya.

Lalu sabdanya: “Jika shalat hendaknya membuat penghalang” menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat menghadap sutrah bukanlah kelaziman, jika hal itu lazim kenapa pemakaiannya dikaitkan karena adanya kebutuhan?

Oleh karena itu, masalah sutrah ini adalah sesuatu yang sunah bukan wajib, inilah pendapat yang kuat dalam hal pemakaian sutrah.

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb No. 840)

FATWA SYEIKH ABDULLAH AL-JIBRIN

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jabrain Rahimahullah berkata:

وأما السترة التي هي الشاخص أمام المصلي فهي سنة، وليست بواجبه، وذلك أن يصلى إلى سارية أو جدار، أو شيء مرتفع عن الأرض كسرير أو كرسي، فإن لم يجد فليخط خطاً كالهلال، وذلك في حق الإمام والمنفرد، وتتأكد في الصحراء كمصلي العيد، وفي السفر، فأما في المساجد فالأصل عدم الحاجة، والاكتفاء بحيطان ممتدة في الصفوف، أو يكتفى بطرف السجادة التي يصلي عليها، وليس هناك ما يدل على الوجوب، وقد ورد الحديث الذي في السنن بلفظ “إذا صلى أحدكم إلى سترة فليدن منها” وفي حديث آخر “إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره فلا يدعن أحداً يمر بين يديه فإن أبي فليقاتله فإنما هو شيطان” والله أعلم.

“Ada pun sutrah yaitu suatu pembatas di depan orang shalat itu adalah SUNNAH, BUKAN KEWAJIBAN.

Hal itu dengan cara shalat menghadap tiang atau dinding, atau sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi, seperti kasur dan kursi.

Jika tidak ada, maka hendaknya dia membuat garis seperi bulan sabit. Hal ini merupakan hak imam dan shalat sendiri, dan lebih ditekankan lagi ketika shalat di lapangan luas seperti lapangan ketika shalat hari raya dan dalam perjalanan.

Ada pun di masjid, pada dasarnya tidaklah diperlukan. Telah mencukupi dinding yang tersusun di barisan atau ujung sajadah tempat dia shalat.

Tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya.

Telah datang riwayat dalam kitab Sunan dengan lafaz: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya mendekatinya.”

Dalam hadits lain: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya, maka jangan biarkan seorang pun melewati di depannya, jika dia menolak maka bunuhlah sesungguhnya dia itu syetan.” Wallahu A’lam

(Fatawa Ibnu Jibrin, 13/32)

FATWA PARA ULAMA KUWAIT:

Mereka mengatakan:

يستحب للمصلي أن يصلي إلى سترة والأولى أن لا يقصدها بوجهه بل تكون مواجهة لحاجبة الأيمن أو الأيسر والسترة ليست شرطا، فإن صلى إلى غير سترة لم يكن به بأس لما أخرجه البخاري عن عبد الله بن عباس أنه قال: “أقبلت راكباً على حمار أتانٍ يومئذ قد ناهزت الاحتلام ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصفّ فنزلت وأرسلت الأتان ترتع، ودخلت الصف فلم ينكر ذلك عليّ أحد” قال الشافعي: إن المراد بقول ابن عباس ” إلى غير جدار” أي إلى غير سترة، فإن كان في مسجد أو بيت صلى إلى الجدار أو سارية، وإن كان في فضاء صلى إلى شيء شاخص بين يديه، أو نصب بين يديه حربة أو عصاً، وسترة الإمام سترة لمن خلفه لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلّى إلى سترة ولم يأمر أصحابه بنصب سترة أخرى. ويستحب للمصلي أن يدنو من سترته لأن ذلك أبعد عن أن يمر بينه وبينها شيء يحول بينه وبينها. والله أعلم.

Disunahkan bagi orang shalat agar shalat menghadap sutrah. Dan yang utamanya adalah tidak memaksudkannya untuk menghadapnya, bahkan hendaknya menjadikannya sebagai penghalang dari menengok ke kanan atau kiri.

Sutrah bukanlah syarat, maka jika shalat tanpa sutrah tidaklah mengapa. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkata:

“Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.”

Imam Asy Syafi’i berkata:

Sesungguhnya maksud ucapan Ibnu Abbas: “Tidak menghadap tembok” adalah tidak menghadap ke sutrah. Jika shalat di masjid atau di rumah maka shalat menghadap dinding atau tiang. Jika shalatnya di tanah lapang, shalat menghadap sesuatu benda di hadapannya, atau menegakkan dihadapannya tombak atau tongkat.

Dan sutrahnya imam adalah juga sutrah orang di belakangnya, karena ketika Nabi shalat menghadap sutrah, beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membuat sutrah lainnya.

Dan juga disunahkan bagi orang shalat untuk mendekati sutrahnya, karena yang demikian itu dapat menghindarkan orang yang lewat antara dirinya dan sutrah. Wallahu A’lam

(Fatawa Qutha’ Al Ifta bil Kuwait, 4/27. Cet. 1. 1996M-1417H. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

FATWA “دائرة الشئون الإسلامية والعمل الخيري

Arsip No. 55944, Pemerintah Dubai:

اتخاذ السترة للإمام والمنفرد سنة عند جمهور الفقهاء وهو المعتمد ، وقال بعضهم بوجوبها. وأما المأموم فسترة الإمام سترة له.

“Mengambil sutrah untuk sholat sebagai imam dan sholat munfarid adalah SUNNAH menurut Jumhur Ulama, dan itu adalah yang MU’TAMAD. Dan beberapa dari mereka mengatakan bahwa itu wajib. Adapun Makmum, maka sutrah imam adalah sutrahnya”.

******

PENDAPAT KEDUA: WAJIB MENGHADAP SUTRAH:

Ini adalah pendapat Asy-Syaukaani (lihat: “نيل الأوطار” 3/2 dan “السيل الجرار” 1/176)

Dan pendapat Syeikh al-Albaani (lihat: “تمام المنة” hal. 300 dan “صفة صلاة النبي”) dan Syeikh Muqbil al-Waadi’i (Baca: “تحفة المجيب” hal. 139).

Dan yang nampak dari perkataan Ibnu Hazem dalam “المحلى” 4/8-15.

Mereka mengatakan wajib hukumnya sholat menghadap sutrah, baik bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) maupun bagi imam pada shalat jama’ah.

Sementara itu, Imam Malik membedakan antara orang safar dan mukim. Berikut ini ucapannya:


وَقَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ كَانَ فِي سَفَرٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ إلَى غَيْرِ سُتْرَةٍ وَأَمَّا فِي الْحَضَرِ فَلَا يُصَلِّي إلَّا إلَى سُتْرَةٍ

“Malik berkata: “barang siapa dalam perjalanan maka tidak mengapa shalat dengan tanpa sutrah, ada pun ketika mukim maka janganlah shalat kecuali dengan sutrah.” (Al Mudawwanah, 1/289. Mawqi’ Al Islam)

*******

DALIL MASING-MASING PENDAPAT:

======

DALIL PENDAPAT PERTAMA: 
PENDAPAT SUTRAH ADALAH SUNNAH MUAKKADAH

DALIL KE 1:

Dari 'Abdullah bin 'Abbas RA bahwa dia berkata:

((أقبَلْتُ راكبًا على حمارٍ أتَانٍ، وأنا يومَئذٍ قد ناهَزْتُ الاحتلامَ، ورسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي بمِنًى إلى غيِر جِدارٍ، فمرَرْتُ بين يدَيْ بعضِ الصَّفِّ، وأرسَلْتُ الأتَانَ ترتَعُ، فدخَلْتُ في الصَّفِّ، فلم يُنكَرْ ذلك علَيَّ)).

"Pada suatu hari aku datang sambil menunggang keledai betina dan pada saat itu usiaku hampir baligh. Saat itu Rasulullah sedang shalat bersama orang banyak di Mina tanpa ada dinding (tabir) di hadapannya. Maka aku lewat didepan sebagian shaf, aku lantas turun dan aku biarkan keledaiku mencari makan. Kemudian aku masuk ke barisan shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya terhadap ku. (HR. Bukhori no. 76 dan Muslim no. 504).

Perkataan: “يُصلِّي بمِنًى إلى غيِر جِدارٍ artinya: bahwa Rosulullah sholat di Mina tanpa ada dinding (tabir) di hadapannya “ ini menunjukkan bahwa Imam boleh sholat tanpa menghadap ke sutroh. (Baca Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Baththool 1/162).

DALIL KE 2:

Dari Ibnu Abbas RA:

أَنَّهُ كَانَ عَلَى حِمَارٍ هُوَ وَغُلَامٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَمَرَّ بَيْنَ يَدَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَلَمْ يَنْصَرِفْ وَجَاءَتْ جَارِيَتَانِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَأَخَذَتَا بِرُكْبَتَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَّعَ بَيْنَهُمَا أَوْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يَنْصَرِفْ

Bahwa ia menunggang keledai bersama seorang anak dari bani Hasyim lewat di depan Nabi yang sedang shalat, namun beliau tidak bergeming (dari shalatnya). Lalu datang dua anak perempuan dari bani Abdul Muththalib, keduanya memegangi kedua lutut Nabi SAW, lalu beliau memisahkan keduanya dan beliau juga tidak bergeming (dari shalatnya).

(HR. Ahmad no. 2295, 3001, an-Nasaa’i no. 746, Abu Daud no. 716) Dishahihkan sanadnya oleh Syu’aib al-Arna’uth dlm “تخريج المسند” no. 2295.

Dari Ibnu “Abbaas:

"كان الفضل أكبرَ مني، فكان يردفني، فأكون بين يديه، فارتدفتُ أنا وأخي على حِمارة، فانتهينا إلى النبي صلى الله عليه وسلم وهو يصلي بالناس بعرفة، فنزلنا بين يَديه، فصلَّينا، وتركناه يرعى بين يديه، فلم يقطع صلاتَه".

Al-Fadhel lebih besar dari saya, jadi dia selalu memboncengkan saya, maka saya pun duduk di depannya, lalu saya dan saudara saya mengayuh keledai, hingga kami sampai kepada Nabi, dan Beliau sedang shalat dengan orang-orang di Arafah, maka kami turun di hadapannya, lalu kami pun ikut shalat, dan kami meninggalkan keledai merumput didepannya, dan beliau tidak menghentikan shalatnya.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir no. 2639)

Imam Thabrani berkata:

"لم يَروه عن الحَكم، عن مجاهد، إلاَّ إسماعيلُ بن مسلم"

Tidak ada yang meriwayatkan dari al-Hakam, dari Mujahid, kecuali Isma’il bin Muslim “.

Dan masih dari Ibnu ‘Abbaas:

"ربما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلِّي، والحُمُر تعترك بين يَديه".

“ Terkadang aku melihat Nabi sedang sholat, dan keledai bertarung di hadapannya” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsaath no. 2699)

Dan Thabrani berkata:

لا نعلمه يروى إلاَّ عن ابن عباس، وروي عنه من غير وَجهٍ بألفاظ مختلفة

Kami tidak tahu hadits ini diriwayatkan kecuali dari Ibnu Abbas. Dan hadits ini diriwayatkan pula dari dia lewat jalur lain dengan kata-kata yang berbeda-beda.

DALIL KE 3:

Dari Al-‘Abbaas RA, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِحِذَائِهِ فِي حَاشِيَةِ الْمَقَامِ وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطُّوَّافِ أَحَدٌ

“Saya melihat Rasulullah berthawaf mengelilingi Baitullah tujuh kali, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan memakai sepatunya di tepian Maqam, dan tidak ada apa-apa antara dia dan orang-orang yang melakukan Tawaf.”

Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasaa’i no. 750, Ahmad (6/399), dan lafadz tsb baginya, dan oleh Abu Dawud (1/315) dan Al-Azraaqi dalam “Akhbaar Makkah” (hal. 305) dan Al-Bayhaqi dalam “Sunan Al -Kubra” (1/273) dari Sufyan bin Uyaynah yang berkata: telah memberitahu kami Kathir bin Kathir bin Al-Muththalib bin Abi Wadaa’ah bahwa dia mendengar sebagian keluarganya menceritakan dari kakeknya hadits tsb.

Syeikh al-Albaani berkata:

"وهذا سند ضعيف لجهالة الواسطة بين كثير وجده. وفيه علة أخرى وهي الاختلاف في إسناده".

“Ini adalah sanad yang lemah karena ketidak jelasan perantara antara Katsir dan kakeknya. Dan ada illat lain, yaitu adanya perbedaan dalam sanadnya”. (Baca: “سلسلة الضعيفة” no. 928

DALIL KE 4:

Katsir bin Katsir bin Al Mutthalib bin Abu Wada'ah dari orang yang pernah mendengar kakeknya (al-Muththolib bin Abi Wadaa'ah) dia berkata:

رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يصلي مما يَلِي بابَ بني سَهْمٍ، والناسُ يَمُرُّونَ بين يديه، ليس بينَه وبينَ الكعبةِ سُتْرَةٌ

"Saya melihat Nabi sholat di depan pintu Bani Sahm, dan orang-orang lewat di depannya, dan tidak ada sutrah antara dia dan tempat tawaf “

(HR. Ahmad no. 25982. di dhaifkan al-Albaani dlm “adh-dha’iifah” no. 928 dan Syu’aib al-Arna’uth dlm Takhriij al-Musnad no. 27242)

DALIL KE 5:

Dari Al-Fadhl bin Abbas berkata:

أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ.

Bahwa Rasulullah () datang kepada kami ditemani oleh Abbas ketika kami berada di tanah terbuka milik kami. Lalu Beliau shalat di padang pasir TANPA SUTRAH di depannya, dan keledai betina kami dan anjing betina kami bermain-main di hadapannya, tetapi beliau tidak menghiraukan hal itu. (HR. Ahmad no. Abu Daud no. 718) Di Dhaifkan oleh Syeikh al-Albaani dlm Misykaatul Mashoobiih no. 784)

Syu’aib al-Arna’uuth berkata dlm Takhriij al-Musnad 13/363:

وسنده ضعيف ، فعباس بن عبيد الله لا يعرف حاله وانفرد ابن حبان بتوثيقه ، وهو لم يدرك عمه الفضل. وروي مرفوعا ولا يقطع الصلاة شيء عن غير واحد من الصحابة ، ولا يصح منها شيء.

وروي موقوفا عن علي وعثمان وابن عمر وغيرهم بأسانيد صحيحة. انظر: سنن الدارقطني 1/367 ، 368 ، 369 ، والعلل لابن الجوزي 1/445 – 446.

Dan sanadnya lemah, karena Abbas bin Ubaidullah tidak diketahui kondisinya, dan hanya Ibnu Hibban yang mentautsiqnya, dan dia tidak menjumpai masa hidup pamannya Al-Fadl.
Dan itu diriwayatkan secara marfu’ (yakni dari Nabi SAW) hadits:

ولا يقطع الصلاة شيء

Dan tidak ada sesuatu apapun yang memutuskan sholat “, lebih dari satu sahabat, dan dari itu semua tidak ada yang Shahih.

Itu diriwayatkan secara mauquuf Ali, Utsman, Ibn Umar dan lainnya dengan dengan sanad-sanad yang SHAHIH. Lihat: Sunan al-Daraqutni 1/367, 368, 369, dan al-Illal oleh Ibn al-Jawzi 1/445-446.

Al-Khoththoobi berkata:

في سنده مَقال، وضعَّفه أيضًا غيرُ واحد؛ منهم: الإشبيلي، وابن القطان. وعند الدارقطني: "فصلى لنا العصر، فما بالى بهما، ولا ردَّهما".

Dalam sanadnya ada yang dibicarakan, dan juga lebih dari satu orang yang mendhaifkannya. Diantaranya: Al-Isybiili, Ibnu Al-Qaththan. Dan dalam lafadz Al-Daraquthni:

“Beliau shalat Ashar untuk kami, dan dia tidak mempedulikan kedua-duanya (keledai dan anjing di depannya), juga tidak mengusir dua-duanya ”. (“سنن الدارقطني” 1/369)
(Di Kutip dari kitab Syarah Sunan Ibnu Majah karya ‘Alaa uddin Mughlathoy hal. 1605)

DALIL KE 6:

Penafsiran hadits Sutrah.

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

Sebagaimana hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Sebagian ulama mengatakan: bahwa maksud Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu adalah tanpa menghadap ke sutrah. Sebab, pada masa Rasulullah secara umum kota Mina tidak memiliki bangunan.

Juga hadits Abu Said: “Jika salah seorang kalian shalat maka hendaknya dia membuat sutrah (penghalang dari manusia).”

Maka, maksudnya adalah seorang boleh mencegah orang yang di hadapannya.

Lalu sabdanya: “Jika shalat hendaknya membuat penghalang” menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat menghadap sutrah bukanlah kelaziman, jika hal itu lazim kenapa pemakaiannya dikaitkan karena adanya kebutuhan?

Oleh karena itu, masalah sutrah ini adalah sesuatu yang sunah bukan wajib, inilah pendapat yang kuat dalam hal pemakaian sutrah. (Lihat: Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb No. 840)

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jabrain Rahimahullah berkata:

Tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya.

Telah datang riwayat dalam kitab Sunan dengan lafaz: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya mendekatinya.”

Dalam hadits lain: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya, maka jangan biarkan seorang pun melewati di depannya, jika dia menolak maka bunuhlah sesungguhnya dia itu syetan.” Wallahu A’lam

(Fatawa Ibnu Jabrain, 13/32)

DALIL KE 7:

Dari Ibnu Abbas RA:

أَنَّهُ كَانَ عَلَى حِمَارٍ هُوَ وَغُلَامٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَمَرَّ بَيْنَ يَدَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَلَمْ يَنْصَرِفْ وَجَاءَتْ جَارِيَتَانِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَأَخَذَتَا بِرُكْبَتَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَّعَ بَيْنَهُمَا أَوْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يَنْصَرِفْ

Bahwa ia menunggang keledai bersama seorang anak laki-laki dari bani Hasyim, lalu lewat di depan Nabi yang sedang shalat, namun beliau tidak bergeming (dari shalatnya). Lalu datang dua anak perempuan dari bani Abdul Muththalib, keduanya memegangi kedua lutut Nabi SAW, lalu beliau memisahkan keduanya dan beliau juga tidak bergeming (dari shalatnya).

(HR. Ahmad no. 2295, 3001, an-Nasaa’i no. 746, Abu Daud no. 716) Dishahihkan sanadnya oleh Syu’aib al-Arna’uth dlm “تخريج المسند” no. 2295.

DALIL KE 8:

Dari Abu As Shohbaa`, Shuhaib Al-Bakry, dia mawlaa Ibnu ‘Abbaas, dia berkata ;

"كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس، فجاءت جاريتان مِن بني عبدالمطلب، اقتتلتا، فَفَرَعَ النبي صلى الله عليه وسلم بينهما، ثم ما بالى ذلك".

Nabi sedang shalat dengan orang-orang, lalu datanglah dua anak perempuan dari Bani Abd al-Muttalib dan mereka bertikai satu sama lain, lalu Nabi beliau melerai keduanya, dan beliau tidak memperdulikan hal itu." (HR. Ibnu Khuzaimah dlm Shahihnya no. 836)

Dalam riwayat Abu Daud dlm Sunannya dari Abu As Shahba berkata `:

تَذَاكَرْنَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ جِئْتُ أَنَا وَغُلَامٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حِمَارٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَنَزَلَ وَنَزَلْتُ وَتَرَكْنَا الْحِمَارَ أَمَامَ الصَّفِّ فَمَا بَالَاهُ وَجَاءَتْ جَارِيَتَانِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَدَخَلَتَا بَيْنَ الصَّفِّ فَمَا بَالَى ذَلِكَ

"Kami membicarakan mengenai sesuatu yang dapat memutuskan shalat di samping Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas berkata ;

"Aku pernah datang bersama seorang anak laki-laki dari Bani Abdul Mutthalib dengan mengendarai seekor keledai, dan Rasulullah sedang melaksanakan shalat, maka anak laki-laki itu turun, aku pun ikut turun lalu aku biarkan keledai tersebut di depan shaff, namun beliau tidak menghiraukannya.

Setelah itu datang pula dua anak perempuan dari Bani Abdul Mutthalib, lalu keduanya masuk ke dalam shaff, namun beliau tetap tidak menghiraukannya."

Lalu Abu Daud berkata:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَدَاوُدُ بْنُ مِخْرَاقٍ الْفِرْيَابِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ بِإِسْنَادِهِ قَالَ فَجَاءَتْ جَارِيَتَانِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اقْتَتَلَتَا فَأَخَذَهُمَا قَالَ عُثْمَانُ فَفَرَّعَ بَيْنَهُمَا

وَقَالَ دَاوُدُ: فَنَزَعَ إِحْدَاهُمَا عَنْ الْأُخْرَى فَمَا بَالَى ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah dan Daud bin Mikhraq Al Firyabi keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dengan hadits ini dengan isnadnya dia mengatakan;

"Kemudian datang pula dua anak perempuan dari Bani Abdul Mutthalib yang sedang bertikai, maka beliau memegang keduanya."

Utsman mengatakan ; "Kemudian beliau melerai keduanya."

Sedangkan Daud mengatakan ; "Lalu beliau melerai salah satu dari keduanya, dan beliau tidak memperdulikan hal itu."

(HR. Abu Daud no. 717, Ahmad no. 2804, Ibnu Khuzaimah no. 882 dan Abu Ya’la no. 2749. Di shahihkan oleh ‘Allaa uddin Mughlathooy dlm Syarah Sunan Ibnu Majah 3/569 dan oleh Syeikh al-Albaani dlm Shahih Abu Daud no. 716).  

DALIL KE 9:

Diriwayatkan dari hadits Umar bin Abdulaziz, dari Anas RA:

 أن النبي صلى الله عليه وسلم صلَّى بالناس، فمرَّ بين أيديهم حِمار، فقال عيَّاش بن أبي زمعة: سُبحان الله، سبحان الله، فلما سلّم رسولُ الله صلى الله عليه وسلم قال: ((مَن المسبِّح آنفًا؟))، قال: أنا يا رسول الله، إني سمعتُ أن الحمار يقطع الصلاة، فقال: ((لا يقطع الصلاةَ شيء))

“ Bahwa Nabi mengimami sholat bersama orang-orang, dan ada seekor keledai lewat di depan mereka. Maka ‘Ayyaasy bin Abi Zam’ah berkata: Subhaanallooh, Subhaanallooh. Ketika Rasulullah mengucapkan salam, beliau bertanya: “ Siapakah yang bertasbih barusan ?”. ‘Ayyaasy menjawab: Aku, ya Rasulullah, aku mendengar bahwa keledai itu memutuskan shalat, maka beliau berkata: ((Tidak ada sesuatu apapun yang memutuskan shalat)).

Al-Khoththoobi berkata:

اختلف في إسناده، والصواب: عن عمر مرسل،

“ Hadits ini berbeda-beda dalam sanadnya, dan yang benar adalah dari Umar secara Mursal”.

(Penulis katakan: Hadits tsb di riwayatkan oleh al-Baihaqi no. 278, 279, ath-Thabrani 8/193 dan Ibnu Abi Syaibah 1/280. Di sebutkan pula dlm: at-Tamhiid 4/190, Nashbur Rooyah 2/76, Kanzul ‘Ummaal no. 19219, Musnad Abi ‘Awaanah 20/46 dan al-‘ilal mutanaahiyah 1/449).

DALIL KE 10:

Dari ‘Aisyah RA:

كُنْتُ أنَامُ بيْنَ يَدَيْ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ورِجْلَايَ، في قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي، فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا، قالَتْ: والبُيُوتُ يَومَئذٍ ليسَ فِيهَا مَصَابِيحُ.

"Saya pernah tidur melintang di hadapan Rasulullah dan kedua kakiku tepat di kiblat beliau. Jika beliau hendak sujud, maka beliau meraba kakiku dan aku pun menarik kedua kakiku. Dan ketika berdiri, maka akupun meluruskan keduanya. Saat itu tidak ada lampu di rumah”. (HR. Bikhori no. 382 dan Muslim no. 512).

Masih dari ‘Aisyah RA, berkata:

" بِئْسَمَا عَدَلْتُمُونَا بِالْحِمَارِ وَالْكَلْبِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يُصَلِّي وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلِي فَضَمَمْتُهَا إِلَيَّ ثُمَّ يَسْجُدُ ".

“Alangkah jeleknya kalian yang menyetarakan kami dengan keledai dan anjing, sungguh aku telah melihat Rasulullah mengerjakan shalat sedangkan saya melintang antara diri beliau dengan kiblat, apabila beliau hendak sujud, beliau meraba kakiku, sebab itu aku menarik kakiku lalu beliau sujud." (HR. Abu Daud no. 612. Dan di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dlm shahih Sunan Abi Daud no. 712)

Perkataan ‘Aisyah RA dlm hadits ini mengisyaratkan kepada Hadist riwayat Imam Muslim sbb:

“Dari Abu Dzarr al-Ghifaari dia berkata ; Rasulullah bersabda:

إِذَا قامَ أحَدُكُمْ يُصَلِّي، فإنَّه يَسْتُرُهُ إذا كانَ بيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فإذا لَمْ يَكُنْ بيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فإنَّه يَقْطَعُ صَلاتَهُ الحِمارُ، والْمَرْأَةُ، والْكَلْبُ الأسْوَدُ.

قُلتُ: يا أبا ذَرٍّ، ما بالُ الكَلْبِ الأسْوَدِ مِنَ الكَلْبِ الأحْمَرِ مِنَ الكَلْبِ الأصْفَرِ؟ قالَ: يا ابْنَ أخِي، سَأَلْتُ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كما سَأَلْتَنِي فقالَ: الكَلْبُ الأسْوَدُ شيطانٌ.

"Apabila salah seorang dari kalian hendak shalat, sebaiknya kamu membuat sutrah (penghalang) di hadapannya yang berbentuk seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, apabila di hadapannya tidak ada sutrah seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, maka shalatnya akan terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.'

Aku bertanya, 'Wahai Abu Dzarr: “ apa perbedaan anjing hitam dari anjing merah dan kuning?”.

Dia menjawab: 'Aku pernah pula menanyakan hal itu kepada Rasulullah sebagaimana kamu menanyakannya kepadaku, maka jawab beliau, 'Anjing hitam itu setan'."(HR. Muslim no. 510)

DALIL KE 11:

Dan ath-Thahawi berkata:

رُوي ذلك عن النبي صلى الله عليه وسلم من غير وجهٍ من حديث عائشة، وأمِّ سلمة، وميمونة: "أنه صلى الله عليه وسلم كان يصلِّي، وكل واحدة منهن مُعترضة بينه وبين القبلة"، وكلها ثابتة.

Diriwayatkan dari Nabi dari arah lain dari hadits Aisyah RA, Ummu Salamah RA, dan Maymuunah RA: “ Bahwasannya Beliau sholat, dan masing-masing dari mereka melintang di antara beliau dan kiblat.” Semua riwayatnya tsaabitah (Shahih). (Baca: “شرح معاني الآثار” 1/461-463)

=====

DALIL PENDAPAT KEDUA: 
SHOLAT MENGHADAP SUTRAH ITU WAJIB.

DALIL KE 1:

Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Nabi bersabda:

"لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ".

“Janganlah kamu shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan kamu biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia membangkang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)”

(HR. Ibnu Khuzaimah no. 800, 820, 841 dan Ibnu Hibbaan no. 2362. Syeikh Al Albani dalam “صفة الصلاة” (82) mengatakan bahwa “ sanadnya jayyid” dan menshahiknnya dlam “التعليقات الحسان” no. 2356. Dan dishahihkan pula oleh Su’aib al-Arna’uuth dlm “تخريج صحيح ابن حبان” no. 2362.

DALIL KE 2:

Dari Abu Sa’iid al-Khudry RA, bahwa Rosulullah bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila seorang di antara kamu shalat dengan memasang sutrah yang membatasinya dari orang-orang, lalu ada seseorang yang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia mencegahnya. Bila ia tidak mau, perangilah dia sebab sesungguhnya dia adalah setan “ [HR. Al-Bukhaariy no. 509 dan Muslim no. 505].

Dan dalam riwayat lain dari Abu Sa’iid al-Khudry, bahwa Rosulullah bersabda:

"إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا، [لَا يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ".

“ Jika salah seorang dari kalian shalat, maka menghadaplah ke sutrah, lalu mendekatlah darinya, agar syaitan tidak memutuskan sholatnya “.
(HR. Abu Dawud no. 698, Ibnu Majah no. 954.

Dan apa yang tertulis di antara dua kurung [ ] itu tambahan dari Ibn Khuzaymah no. (803, 840), dan al-Hakim no. (922) dari hadits Sahl bin Abi Hatsmah RA. Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam " صحيح الجامع '" no. (641, 650).

DALIL KE 3:

“Dari Abu Dzarr al-Ghifaari dia berkata ; Rasulullah bersabda:

إِذَا قامَ أحَدُكُمْ يُصَلِّي، فإنَّه يَسْتُرُهُ إذا كانَ بيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فإذا لَمْ يَكُنْ بيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فإنَّه يَقْطَعُ صَلاتَهُ الحِمارُ، والْمَرْأَةُ، والْكَلْبُ الأسْوَدُ.

قُلتُ: يا أبا ذَرٍّ، ما بالُ الكَلْبِ الأسْوَدِ مِنَ الكَلْبِ الأحْمَرِ مِنَ الكَلْبِ الأصْفَرِ؟ قالَ: يا ابْنَ أخِي، سَأَلْتُ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كما سَأَلْتَنِي فقالَ: الكَلْبُ الأسْوَدُ شيطانٌ.

"Apabila salah seorang dari kalian hendak shalat, sebaiknya kamu membuat sutrah (penghalang) di hadapannya yang berbentuk seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, apabila di hadapannya tidak ada sutrah seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, maka shalatnya akan terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.'

Aku bertanya, 'Wahai Abu Dzarr: “ apa perbedaan anjing hitam dari anjing merah dan kuning?”.

Dia menjawab: 'Aku pernah pula menanyakan hal itu kepada Rasulullah sebagaimana kamu menanyakannya kepadaku, maka jawab beliau, 'Anjing hitam itu setan'."(HR. Muslim no. 510)

DALIL KE 4:

Dari 'Aun bin Abi Juhaifah dari Ayahnya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ بِالْبَطْحَاءِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ يَمُرُّ خَلْفَ الْعَنَزَةِ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ

“Bahwasanya Nabi pernah mengerjakan shalat bersama mereka di Bathha`, sementara di depan beliau ditancapkan sebuah tombak kecil, beliau mengerjakan shalat Zhuhur dua rakaat dan Ashar dua rakaat, dan di belakang tombak kecil itu lewat seorang wanita dan seekor keledai “. (HR Bukhari no. 495 dan Abu Daud No. 590)

MAKNA: (BATHAA’ / بَطْحاءُ), itu muannats. Mudzakarnya (أَبْطَحُ), jamak mudzakkarnya (أباطِحُ dan بِطاح). Dan Jamak untuk Mu’annats nya (بَطْحَاوات dan بِطاح).

أرض مُنْبِسطة فسيحة الأرجاء، يسيل فيها الماء تاركًا فيها الرّملَ وصغارَ الحَصَى

Artinya: Tanah datar dan luas ke semua penjuru, di mana kadang air mengalir, meninggalkan pasir dan kerikil kecil di dalamnya.

DALIL KE 5:

Dari 'Aisyah ia berkata:

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَصِيرٌ يُبْسَطُ بِالنَّهَارِ وَيَحْتَجِرُهُ بِاللَّيْلِ يُصَلِّي إِلَيْهِ

"Rasulullah mempunyai tikar yang dibentangkan di siang hari, dan menggulungnya (seperti batu) di malam hari, lalu shalat menghadap ke arahnya. " (HR. Ibnu Majah no. 932)

Dalam lafadz Bukhory: Dari 'Aisyah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَهُ حَصِيرٌ يَبْسُطُهُ بِالنَّهَارِ وَيَحْتَجِرُهُ بِاللَّيْلِ فَثَابَ إِلَيْهِ نَاسٌ فَصَلَّوْا وَرَاءَهُ

“Bahwa Nabi memiliki tikar yang di waktu siang digelar, sedang pada waktu malam menggulungnya (seperti batu). Maka orang-orang berkumpul di malam hari menghadapnya lalu mereka shalat di belakangnya ". (HR. Bukhori no. 688)

  




Posting Komentar

0 Komentar