BATAS JARAK DAN STANDAR TINGGI BESARNYA SUTRAH DALAM SHOLAT
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
MAKNA SUTRAH:
Sutrah merupakan tabir penghalang yang dipasang di depan orang shalat. Atau sesuatu yang dijadikan oleh orang yang shalat berada di hadapannya bisa berupa kursi, atau tongkat atau dinding atau tempat tidur atau yang lainnya untuk mencegah lewatnya seseorang dihadapannya.
Tidak ada perbedaan antara sutrah itu diambil dari sesuatu yang bersifat permanen seperti dinding dan tiang atau tidak permanen, menurut Imam Madzhab yang tiga namun tidak demikian halnya dengan madzhab Syafi’i.” [Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib al-arba’ah 1/243]
A. TINGGI SUTRAH:
Dari Tholhah bin ‘Ubaidillah, bahwa Rosulullah SAW bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Jika salah seorang dari kalian meletakkan di depannya sesuatu setinggi kayu sandaran belakang pelana Unta ’ kemudian dia sholat, maka tidak mengapa jika ada orang yang berlalu lalang di depannya”. (HR. Muslim no. 499).
Dalam lafadz lain, masih dari hadits Tholhah RA:
كُنَّا نُصَلِّي والدَّوَابُّ تَمُرُّ بيْنَ أيْدِينَا فَذَكَرْنَا ذلكَ لِرَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَقالَ: مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ تَكُونُ بيْنَ يَدَيْ أحَدِكُمْ، ثُمَّ لا يَضُرُّهُ ما مَرَّ بيْنَ يَدَيْهِ. وَقالَ ابنُ نُمَيْرٍ: فلا يَضُرُّهُ مَن مَرَّ بيْنَ يَدَيْهِ.
"Kami pernah shalat, sedangkan hewan ternak melewati di depan kami, lalu kami menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, maka beliau bersabda, 'Kalaulah sudah ada benda seperti seperti kayu yang ada di punggung unta dan diletakkan di depan salah seorang dari kalian, maka sesuatu yang lewat di hadapan mereka tidak akan membahayakan (membatalkan shalatnya)." Ibnu Numair berkata, "Maka orang yang lewat di hadapannya tidak akan membahayakannya." (HR. Muslim no. 499, 770)
Dan dalam riwayat Abu Dzarr, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ، إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ
“Jika salah seorang di antara kalian shalat, sesungguhnya terbatasi ia jika di depannya terdapat seukuran bagian belakang ar-rahl (pelana unta) ” [HR. Muslim no. 510 ].
Makna: “مُؤخِّرةُ الرَّحلِ”:
Adalah “الخَشبةُ الَّتي يَستنِدُ إليها الرَّاكبُ على البَعيرِ” artinya: Tiang kayu pelana di atas unta, tempat penunggangnya bersandar padanya. (Baca: “لسان العرب” oleh Ibnu Mandzur 4/12)
Sutrah PALING AFDHOL dan DISUNNAHKAN bagi orang yang shalat adalah meletakkan di depannya sesuatu yang berdiri, tingginya seukuran kayu sandaran belakang pelana Unta (مُؤْخِرةِ الرَّحلِ), yaitu tingginya sekitar satu hasta atau lebih dari itu. Bisa juga dengan tembok, tiang, kursi, dan sejenisnya.
Ini adalah madzhab Jumhur para Ulama: Hanafi (1), Syafi'i (2), dan Hanbali (3)
Referensi masing-masing dari 3 madzhab:
(1) - Lihat: ((البحر الرائق)) oleh Ibn Nujaim (18/2, 19).
(2) – ((Tuhfat Al-Muhtaaj)) oleh Ibn Hajar Al-Haytami (2/157), dan lihat: ((Asnaa Al-Matalib)) oleh Zakaria Al-Ansari (1/184).
(3) - ((Kashaf Al-Qinaa’)) oleh Al-Bahuuti (1/383), dan lihat: ((Al-Mughni)) oleh Ibnu Qudamah (2/175, 177).
Al-Nawawi berkata:
" وَفِي الْحَدِيث النَّدْب إِلَى السُّتْرَة بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي ، وَبَيَان أَنَّ أَقَلّ السُّتْرَة مُؤْخِرَة الرَّحْل ، وَهِيَ قَدْر عَظْم الذِّرَاع, هُوَ نَحْو ثُلُثَيْ ذِرَاع, وَيَحْصُل بِأَيِّ شَيْء أَقَامَهُ بَيْن يَدَيْهِ هَكَذَا "
“ Dalam hadits, di SUNNAH kan ada sutrah di depan orang sholat, dan menunjukkan bahwa tinggi sutrah paling sedikit seukuran kayu sandaran belakang pelana unta. Dan itu adalah seukuran tulang lengan, yaitu sekitar dua pertiga hasta, dan itu dapat menggunakan dengan apa saja yang dia di tegakkan di hadapannya seperti itu “. (Baca: “شرح مسلم للنووي” 4/216)
Syekh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, ditanya:
Berapa kah ukuran sutrah untuk seorang yang sholat ?
Beliau menjawab:
" السترة التي يضعها المصلي الأفضل أن تكون كمؤخرة الرحل نحو ثلثي ذراع ، وإن كانت أقل من ذلك ، فلا حرج حتى لو كانت سهماً أو عصاً ، فإنه تجزئ "
“ Sutroh yang diletakan oleh orang shalat yang LEBIH AFDHOL adalah seperti kayu sandaran belakang pelana unta, kira-kira dua pertiga hasta, dan jika kurang dari itu, maka tidak mengapa meskipun hanya berupa anak panah atau tongkat, maka itu semua mencukupi “. (Baca: “مجموع فتاوى ابن عثيمين” 13/326)
Berbeda dengan Syeikh al-Baani beliau mengatakan dlm “صفة صلاة النبي” bahwa sutrah itu WAJIB tinggi ke atas:
ويجبُ أن تكون السترة مرتفعة عن الأرض نحو شبر ، أو شبرين ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: (إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَة) هي العمود الذي في آخر الرحل. و(الرَّحْلِ) هو للجمل بمنزلة السَّرْج للفرس (الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ) وفي الحديث إشارة إلى أن الخط على الأرض لايجزي, والحديث المروي فيه ضعيف.
Dan WAJIB keadaan sutroh itu tinggi keatas dari permukaan tanah seukuran SATU JENGKAL atau dua jengkal ; berdasarkan sabda Nabi SAW:
“ (Jika salah seorang dari kalian meletakkan di depannya sesuatu seperti “مُؤْخِرَة”) yaitu tiang kayu sandaran belakang pelana. Dan “الرَّحْلِ” itu pelana untuk Unta, sama dengan “السَّرْج” yaitu pelana untuk Kuda. (kemudian dia sholat, maka tidak mengapa jika ada orang yang berlalu lalang di depannya)”
Di dalam hadits ini ada indikasi bahwa garis di tanah tidak mencukupi, dan hadits yang diriwayatkan tentangnya lemah / dhaif.
Dan Syeikh al-Albaani berkata:
وتجوزُ الصلاة إلى العصا المغروزة في الأرض أونحوها ، وإلى شجرةٍ ، أو أسطونة ، وإلى امرأته المضطجعَة على السرير ، وهي تحت لحافِها ، وإلى الدابة ، ولو كانت جَمَلا.
“Dibolehkan shalat menghadap ke arah tongkat yang ditancapkan di tanah atau yang semisalnya, atau menghadap ke pohon atau tabung, atau kepada istrinya yang sedang berbaring di tempat tidurnya dalam selimutnya, dan kepada seekor binatang meskipun ia adalah seekor binatang unta “. (Selesai)
Dan dijelaskan pula oleh ‘Athoo, Qotaadah, Ats-Tsauri, dan Naafi’ bahwa ar-rahl itu seukuran 1 dzira’ (1 hasta).
Ibnu Qudamah, semoga Allah merahmatinya, berkata:
" وَقَدْرُ السُّتْرَةِ فِي طُولِهَا ذِرَاعٌ أَوْ نَحْوُهُ. قَالَ الْأَثْرَمُ: سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَنْ آخِرَةِ الرَّحْلِ كَمْ مِقْدَارُهَا؟ قَالَ: ذِرَاعٌ. كَذَا قَالَ عَطَاءٌ: ذِرَاعٌ. وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ، أَنَّهَا قَدْرُ عَظْمِ الذِّرَاعِ. وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ.
Dan perkiraan ukuran panjang sutrah itu: satu hasta atau yang semisalnya.
Al-Atsram berkata: Abu Abdullah ditanya tentang sandaran belakang Pelana unta, berapa ukuran nya?
Dia menjawab: sehasta. Inilah yang dikatakan pula oleh ‘Athoo: sehasta. Dan inilah pula yang dikatakan oleh Al-Tsauri dan para ahli ar-Ro’yi (madzhab Hanafi. Pen.).
Dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad, bahwa “آخرة الرحل” itu adalah seukuran tulang lengan (dua pertiga hasta Pen.). Dan Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam al-Syafi'i “.
Kemudian Ibnu Quddaamah berkata:
وَالظَّاهِرُ أَنَّ هَذَا عَلَى سَبِيلِ التَّقْرِيبِ لَا التَّحْدِيدِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدَّرَهَا بِآخِرَةِ الرَّحْلِ، وَآخِرَةُ الرَّحْلِ تَخْتَلِفُ فِي الطُّولِ وَالْقِصَرِ، فَتَارَةً تَكُونُ ذِرَاعًا، وَتَارَةً تَكُونُ أَقَلَّ مِنْهُ، فَمَا قَارَبَ الذِّرَاعَ أَجْزَأَ الِاسْتِتَارُ بِهِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan yang nampak (dari ukuran sutrah yang diperselisihkan oleh para ulama Pen.) adalah hanya SEBATAS PERKIRAAN saja, BUKAN KEPASTIAN. Karena Nabi SAW memperkirakan nya dengan seukuran kayu sandaran belakang pelana. Sementara kayu sandaran belakang pelana itu berbeda-beda panjang dan pendeknya, terkadang ada yang seukuran satu hasta, dan terkadang kurang dari itu. Maka ukuran panjang yang mendekati ukuran lengan, dianggap cukup untuk dijadikan sutrah “ (Baca: al-Mughni 2/38).
B. KETEBALAN SUTRAH DEPAN ORANG SHOLAT:
Ibnu Quddaamah berkata:
فَأَمَّا قَدْرُهَا فِي الْغِلَظِ وَالدِّقَّةِ فَلَا حَدَّ لَهُ نَعْلَمُهُ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ دَقِيقَةً كَالسَّهْمِ وَالْحَرْبَةِ، وَغَلِيظَةً كَالْحَائِطِ، فَإِنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَسْتَتِرُ بِالْعَنَزَةِ.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: كُنَّا نَسْتَتِرُ بِالسَّهْمِ وَالْحَجَرِ فِي الصَّلَاةِ. وَرُوِيَ عَنْ سَبْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «اسْتَتِرُوا فِي الصَّلَاةِ وَلَوْ بِسَهْمٍ». رَوَاهُ الْأَثْرَمُ.
وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: يُجْزِئْهُ السَّهْمُ وَالسَّوْطُ.
قَالَ أَحْمَدُ: وَمَا كَانَ أَعْرَضَ فَهُوَ أَعْجَبُ إلَيَّ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ قَوْلَهُ " وَلَوْ بِسَهْمٍ " يَدُلُّ عَلَى أَنَّ غَيْرَهُ أَوْلَى مِنْهُ
Adapun nilai ketebalan dan keakuratan Sutrah tidak ada batasan yang kita ketahui. Maka dibolehkan menggunakan sutroh yang kecil tipis seperti anak panah dan tombak, dan boleh juga yang tebal seperti tembok, karena Nabi SAW pernah menggunakan tombak pendek sebagai sutrah.
Abu Sa’iid berkata: Kami biasa menggunkan Sutrah dengan anak panah dan batu dalam shalat. Dan diriwayatkan dari Sabroh bahwa Nabi -SAW bersabda:
«اسْتَتِرُوا فِي الصَّلَاةِ وَلَوْ بِسَهْمٍ»
"Ber sutrah lah kalain dalam shalat, meskipun dengan anak panah ". (Al-Atsroom meriwayatkannya).
Al-Awza'i berkata: Cukuplah dengan anak panah dan cambuk sebagai sutrah.
Imam Ahmad berkata: “ Apa pun yang lebih lebar, itu lebih menakjubkan ku. Ini karena sabdanya "meskipun dengan panah" menunjukkan bahwa ada orang lain yang lebih baik darinya”. ((Baca: al-Mughni 2/38))
Dari 'Aun bin Abu Juhaifah berkata: "Aku mendengar Bapakku berkata:
خرَجَ علينا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بالمُهاجرةِ، فأُتِيَ بوَضوءٍ فتوضَّأ، فصلَّى بنا الظُّهرَ والعصرَ، وبين يديه عَنَزةٌ ، والمرأةُ والحِمارُ يمرُّون مِن ورائِها
"Nabi SAW keluar menemui kami saat terik matahari. Kemudian beliau diberi bejana berisi air, lalu beliau berwudlu dan mengerjakan shalat Zhuhur dan 'Ashar bersama kami. Sementara itu dihadapannya ditancapkan sebuah tombak pendek (عَنَزةٌ), sementara para wanita dan keledai berlalu lalang di belakang tombak kecil tersebut." (HR. Bukhori no. 499 dan Muslim no. 503).
Makna (العَنَزَة):
“مِثل نِصف الرُّمحِ أو أكبر شيئًا، وفيها سِنانٌ مثل سنان الرُّمح، والعكازة: قريبٌ منها “.
Artinya: “Seperti setengah dari tombak atau sesuatu yang lebih besar, dan memiliki gigi seperti tombak. Dan “العكازة / tongkat penopang “: mirip dengannya.
(Lihat: ((النهاية)) oleh Ibnu Al-Atsiir (3/308) dan ((فتح الباري)) oleh Ibn Rajab (2/629.).
Dari Ibnu 'Umar RA:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا الْأُمَرَاءُ
“Bahwa Rasulullah SAW jika keluar untuk shalat 'ied, beliau meminta sebuah tombak lalu diletakkan di hadapan nya. Kemudian beliau shalat dengan menghadap ke arahnya, sedangkan orang-orang shalat di belakangnya. Beliau juga melakukan hal tersebut dalam safar/perjalanan, lalu dari amalan ini kemudian dijadikan teladan bagi para amir / para pemimpin “. (HR. Bukhori no. 494 dan Muslim no. 501).
Makna: “الْحَرْبَةِ”:
“ وهي العصا التي في آخرها حديدة”
artinya: “ Ia adalah tongkat yang di ujungnya ada besinya “. (Baca: Syarah Sunan Abi Daud no. 90 hal. 35 karya syeikh al-‘Abbaad)
Dari Ibnu 'Umar RA:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يركُزُ - وقال أبو بكر: يغرِزُ - العَنَزةَ ويُصلِّي إليها ((زاد ابنُ أبي شيبةَ: قال عُبَيدُ اللهِ)) وهي الحَرْبةُ))
Bahwa Nabi SAW memfokuskan - dan Abu Bakar berkata: menancapkan - sebuah “العَنَزةَ” dan sholat menghadapnya. ((Ibnu Abi Shaybah menambahkan: Ubaidullah berkata:)), ia adalah “الحَرْبةُ”. (HR. Muslim no. 501).
C. JARAK SUTRAH:
Jarak sutroh dengan tempat berdirinya orang yang shalat, kurang lebih 3 dzira’ (3 hasta) berdasarkan hadits:
كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ ثَلَاثَةُ أَذْرُعٍ
“Jarak antara beliau dengan tembok (yang dipakai untuk sutrah) adalah ada tiga dzira’”
Lengkapnya: Dari Naafi’:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَشَى قِبَلَ وَجْهِهِ حِينَ يَدْخُلُ وَجَعَلَ الْبَابَ قِبَلَ ظَهْرِهِ فَمَشَى حَتَّى يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ الَّذِي قِبَلَ وَجْهِهِ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ صَلَّى يَتَوَخَّى الْمَكَانَ الَّذِي أَخْبَرَهُ بِهِ بِلَالٌ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِيهِ قَالَ وَلَيْسَ عَلَى أَحَدِنَا بَأْسٌ إِنْ صَلَّى فِي أَيِّ نَوَاحِي الْبَيْتِ شَاءَ
Bahwa 'Abdullah bin 'Umar RA, dulu jika ia masuk ke dalam Ka'bah, ia berjalan ke arah depan saat dia masuk, dan memposisikan pintu Ka'bah di belakang punggungnya. Maka Ia terus berjalah hingga antara dia dan dinding dihadapannya kira-kira tiga hasta, lalu dia shalat di tempat dimana [Bilal] mengabarkan bahwa Nabi SAW pernah shalat di posisi itu."
'Abdullah bin 'Umar berkata, "Dan tidak mengapa jika di antara kami shalat di dalam Ka'bah menghadap kemana saja yang dia mau." [HR. Bukhari no. 476 dan Ahmad].
Penolakan terhadap orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat adalah seukuran jarak antara dia dengan sutrah (± 3 dzira’).
Barangsiapa yang lewat di hadapan orang yang shalat (munfarid atau imam) di belakang sutrah, maka dia tidak mengapa. Begitu pula dengan orang yang melakukan shalat tidak perlu menghalangi orang yang lewat seukuran jarak tersebut.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
لم نجد في البعد عن السترة أكثر من هذا، فكان هذا حد البيان في أقصى الواجب من ذلك
“Kami tidak pernah menjumpai jarak antara sutrah yang lebih dari ukuran itu (3 dzira’). Inilah jarak maksimal yang wajib dihindari (untuk dilewati)” [Al-Muhallaa, 1/263].
0 Komentar