Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

AKAD JI'ALAH [Transaksi Jasa Dan Sayembara]

DI SUSUN: OLEH ABU HAITSAM FAKHRY

GRUP KAJIAN NIDA AL-ISLAM

****

بسم الله الرحمن الرحيم

PENGERTIAN JU’ALAH / JI’ALAH / JA’ALAH:

Ji’alah “جعالة” dinamakan juga ju’l “جُعْل” dan ja’iilah “جَعِيْلَة”, yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena perbuatan yang dilakukannya.
 
Istilah JI’ALAH ini diambil dari perkataan dalam hadits Ruqyah, yaitu:

فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا

Artinya: “aku tidak akan meruqyah untuk kalian sehingga kalian mau menjadikan untuk kami sebuah JU’AL / JI’ALAH (imbalan)”.

Contoh Akad Ji'alah . Misalnya seorang JA’IL (جاعل) mengatakan,

  • a. “Barang siapa yang bisa mengembalikan budak ku yang kabur, maka ia akan mendapatkan dari ku harta sekian”.
  • b. Atau mengatakan: “Barang siapa yang berhasil menyembuhkan sakit ku ini, maka dia akan mendapatkan imbalan dari ku harta sekian”. Termasuk dengan cara MERUQYAH. Lalu kapan orang yang meruqyah itu berhak mendapatkan imbalan ? jawabnya: ketika yang diruqyahnya sembuh.
  • c. Atau ia mengatakan, “Siapa yang menemukan motorku yang hilang, maka ia akan mendapatkan 2 juta rupiah”.
  • d. Atau: “Barang siapa yang bisa membangunkan tembok ini, maka ia akan mendapatkan ini dan itu”.
  • e. Atau: “Barang siapa memasukkan jemaah haji atau umroh ke travel saya, maka ia akan mendapatkan ini dan itu”.  
  • f. Atau: “Barang siapa yang bisa menjualkan motor saya, maka dia akan mendapatkan ini dan itu”.
  • g. dll.

DEFINISI JU’ALAH, JI’ALAH, JA’ALAH

Definisi nya dalam Madzhab Syafi’i:

إنها التزامُ عوض معلوم، على عمل معيَّن معلوم، أو مجهول يَعسُر ضبطه‏.

JUA’LAH adalah transaksi yang berkosekwensi untuk memberikan kompensasi, yang dimaklumi jumlahnya, untuk orang yang berhasil melakukan tindakan tertentu yang diketahui, atau tidak diketahui karena sulit untuk menentukannya

Definisi nya dalam Madzhab Hanbali:

إنها تسميةُ مال معلوم لمن يعمل للجاعل عملًا مباحًا، ولو كان مجهولًا، أو لمن يعمل له مدة ولو كانت مجهولة‏.

JUA’LAH adalah penentuan dana imbalan yang diketahui oleh orang yang hendak melakukan pekerjaan untuk JA’IL (seseorang yang menawarkan pekerjaan tertentu dengan imbalan dana tertentu), pekerjaaan itu halal, meskipun tidak dimaklumi akan keberadaan target pekerjaannya dan keberhasilannya, atau JA’IL tsb menawarkannya kepada siapa saja orangnya yang mau melakukannya untuk nya, untuk suatu periode meskipun tidak ditentukan masanya. (Baca: الموسوعة الفقهية الكويتية hal. 127).

Definisi menurut Madzhab Maliki:

إنها الإجارة على منفعةٍ مظنون حصولُها ، مثل قول القائل: مَن ردَّ عليَّ دابَّتي الشاردة، أو متاعي الضائع، أو بنى لي هذا الحائط ، أو حفر لي هذا البئر حتى يصل الماء، أو خاط قميصًا أو ثوبًا – فله كذا.

Ini adalah transaksi sewa menyewa jasa untuk mendapatkan sebuah manfaat yang kemungkinan ada hasilnya. Seperti seseorang yang berkata: Siapa pun orang nya yang bisa mengembalikan binatang tungganganku yang kabur atau harta bendaku yang hilang, atau membangun tembok ini untuk saya, atau menggali sumur ini untuk saya sampai air keluar, atau menjahit kemeja atau pakaian – maka baginya akan mendapatkan ini-dan-itu. (Baca: “القوانين الفقهية” hal. 275, “الشرح الكبير للدردير” 4/60, “بداية المجتهد” 2/232).

Ringkasnya: “JU’ALAH menurut hukum syar’i adalah:

التزام عوضٍ معلوم، على عمل معين، بقطع النظر عن فاعله.

Konsekwensi hukum memberikan imbalan tertentu untuk pekerjaan terntentu, tanpa menentukan siapa yang harus melakukannya”. Contoh nya: “Barang siapa yang menemukan mobil ku yang hilang, maka baginya akan mendapat 10 juta rupiah”. (Baca: الفقه الميسر؛ لجمع من العلماء، طبعة مجمع الملك فهد، 1424، hal. 263)

TRANSAKSI YANG BISA MASUK DALAM KATAGORI JU’ALAH

 Diantaranya sbb:

1. Sayembara
2. Jasa pencarian barang hilang
3. Jasa Percaloan
4. Agent-agent marketing free land
5. Jasa penagihan hutang
6. Jasa pengadaan tenaga kerja
7. Jasa Pengobatan, seperti RUQYAH dll.
8. Jasa Pengeboran, seperti pengeboran air dan menggali sumur.
9. Jasa Pendidikan. seperti: barang siapa yg bisa mengajarkan anak saya MATEMATIKA, maka saya siap bayar sekian....
10. Perlombaan
11. Biro Jodoh
12. Dll

PERBEDAAN ANTARA JI’ALAH DENGAN IJAROH 
(Transaksi Sewa Menyewa dan Jasa pekerjaan).

Perbedaan Antara Ji’alah dengan Ijarah:

  1. Ji’alah berbeda dengan ijarah dalam beberapa hal:
  2. Untuk keabsahan ji’alah tidak disyaratkan harus mengetahui tugasnya, berbeda dengan ijarah. Ijarah disyaratkan tugasnya harus diketahui.
  3. Ji’alah tidak disyaratkan harus mengetahui lamanya kerja. Berbeda dengan ijarah yang ditentukan lamanya kerja.
  4. Bahwa pekerja dalam ji’alah tidak mesti bekerja. Berbeda dengan ijarah, dimana dalam ijarah, pekerja telah siap untuk bekerja (harus bekerja).
  5. Ji’alah tidak disyaratkan ditentukan siapa pekerjanya, berbeda dengan ijarah yang disyaratkan demikian.
  6. Ji’alah adalah akad yang dibolehkan bagi masing-masingnya untuk membatalkan tanpa izin yang lain. Sedangkan ijarah adalah akad yang mesti. Tidak boleh yang satunya membatalkan kecuali dengan keridhaan yang lain. (Baca:موسوعة الفقه الإسلامي والقضايا المعاصرة، مرجع سابق، ص: 586).

CATATAN:

كلُّ ما جاز أخذ العوض عليه في الإجارة من الأعمال، جاز أخذه - أي: العوض - في الجعالة، وما لا يجوز أخذ العوض عليه في الإجارة؛ كالغناء، والزمر، وسائر المحرمات - لا يجوز أخذ الجعل عليه؛ لقوله تعالى: ﴿ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾.

Segala sesuatu yang dibolehkan mengambil upah dalam transaksi sewa menyewa dari pekerjaan-pekerjaan, maka boleh mengambil upah dalam al-Ji’alah. Dan segala apa yang tidak dibolehkan untuk dijadikan upah dalam transaksi sewa menyewa – seperti nyanyi-nyanyi, alat musik dan lainnya – maka tidak boleh pula dalam trnsaksi Ji’alah ; karena Firman Allah swt: 

﴿ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾ [المائدة: 2 ]

Janganlah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. (QS. Al-Maaidah: 2) (Baca: كشاف القناع عن متن الإقناع، مرجع سابق، الجزء الرابع، باب الجعالة).

****

HUKUM JI’ALAH

Terdapat dua pendapat:

PENDAPAT PERTAMA: HUKUMNYA BOLEH

Ini pendapat Jumhur Ulama, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan lainnya.

PENDAPAT KE DUA: TIDAK BOLEH.

Ini pendapat Madzhab al-Hanafi dan Muhammd bin Hazem adz-Dzoohiri.

Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalanya terdapat unsur penipuan (gharar) dan ketidak jelasan (Jahaalah), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya.

Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan, baik pekerja itu sendiri, maupun upah dan waktunya.

Akan tetapi, mereka hanya membolehkan  − dengan dalil istihsan − memberikan hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu – umpamnya  sebesar empat puluh dirham - untuk menutupi biaya selama perjalanan.

[Baca: Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 432.]

Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan.

Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya.

Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.

Dan Muhammad Ibnu Hazem adz-Dzohiri berkata dalam kitabnya “المحلى”:

“Tidak boleh menetapkan ju’al (upah) terhadap seseorang”.

Oleh karena itu barang siapa yang berkata, “Jika kamu datang kepadaku dengan membawa budakku yang kabur, maka kamu akan memperoleh satu dinar,”

atau seorang berkata, “Jika kamu melakukan perbuatan ini dan itu, maka kamu memperoleh satu dirham atau seperti itu,” jika setelahnya ia datang,

atau misalnya ia mengumumkan dengan suara keras dan bersaksi terhadap dirinya, “Barang siapa yang datang kepadaku dengan barang ini, maka ia memperoleh sekian,”
lalu barang itu ada yang membawakannya,

Maka ia TIDAK WAJIB membayarkan apa-apa, hanya saja dianjurkan baginya memenuhi janjinya.

Demikian juga orang yang datang membawa budak yang lari, maka ia tidak perlu memberikan sesuatu kepadanya, baik pembawa budak yang lari mengetahui adanya ji’alah maupun tidak, kecuali jika ia MENYEWANYA untuk mencarikan dalam waktu tertentu atau mendatangkannya dari tempat yang yang sudah dikenal, maka wajib untuknya memperoleh bayaran sewaan itu”.

ADAPUN DALIL YANG MEMBOLEHKAN JU’ALAH, ADALAH SBB:

DALIL PERTAMA:

Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 72 yang berbunyi:

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ

Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf:72)

DALIL KE 2:

Hadits Abu Sa’id berikut, ia berkata:

انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ  فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ  فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ 

“Sebagian sahabat Nabi SAW pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan dari perkampungan-perkampungan Arab, lalu mereka meminta dijamu oleh penduduk tersebut, tetapi mereka menolaknya,

lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan binatang berbisa, kemudian penduduknya berusaha mengobatinya dengan segala sesuatu tetapi tetap tidak ada faidahnya.

Kemudian sebagian mereka berkata, “Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?”

Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, “Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan binatang berbisa  dan kami telah berusaha mengobatinya dengan segala sesuatu, tetapi tidak ada manfaatnya. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?”

Lalu di antara sahabat ada yang berkata, “Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak mau menjamu kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau menjajikan untuk kami JU’AL (جعلا = imbalan)”.

Maka mereka pun berdamai dan sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.

Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka telah sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, “Bagikanlah !”.

Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, “Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi SAW lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita tunggu apa yang Beliau perintahkan kepada kita”.

Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah SAW dan menyebutkan masalah itu.
Kemudian Beliau bersabda, “Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?”

Kemudian Beliau bersabda, “Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

NOTE: bahwa orang yang diruqyah dan dimintai JU’AL itu orang Kafir. Berarti tujuan JU’AL di sini murni sebagai upah kesembuhan, bukan dalam rangka belajar mengajar al-Quran.

Dalam lafadz raiwayat lain:

Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu:

" أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: "وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ ".

Artinya: “Bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut disengat binatang berbisa, lalu mereka berkata:

‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’

Para sahabat pun menjawab:

‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian menjanjikan Ju’al (imbalan) pada kami.’ lalu mereka pun menjanjikan untuk mereka sekawanan kambing sebagai JU’AL (imbalan), lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah tsb, dan mereka memberikan kambing.

Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, hingga kami bertanya pada Rasulullah.’

Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah,  maka Beliau SAW  tertawa dan berkata: ‘Tahu kah kamu bahwa itu adalah Ruqyah ? Ambillah, dan berilah bagian untukku’”. (HR Bukhari no. 5295)

DALIL KE 3: HADITS IBNU ‘ABBAAS

Dari Ibnu Abbas RA :

أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ  مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ  إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

“Bahwa beberapa sahabat Nabi SAW melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata;

"Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa."

Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing.

Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya.

Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah."

Maka Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah."

DALIL KE 4:

Dari Khorijah ibnu ash-Sholt, dari pamannya –yaitu: ‘Alaqoh bin Shuhar رضي الله عنه-:

أنه مر بقوم فأتوه فقالوا: إنك جئت من عند هذا الرجل بخير، فارق لنا هذا الرجل، فأتوه برجل معتوه في القيود، فرقاه بأم القرآن ثلاثة أيام غدوة وعشية، وكلما ختمها جمع بزاقه ثم تفل، فكأنما أنشط من عقال (أي حل من وثاق). فأعطوه شيئا فأتى النبي صلى الله عليه و سلم، فذكره له، فقال رسول الله : "كل، فلعمري لمن أكل برقية باطل لقد أكلت برقية حق".


“Bahwasanya beliau melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau seraya berkata:

“Engkau datang dengan kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi صلى الله عليه وسلم), maka ruqyahlah untuk kami orang ini,” lalu mereka mendatangkan orang yang gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an selama tiga hari pagi dan sore.

Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah beliau lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan.

Maka mereka memberi beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم, seraya menceritakan hal itu.

Maka beliau SAW bersabda: “Makanlah pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar”. (HR. Abu Dawud (3420)/shohih)).

Mulla Ali Al Qoriy رحمه الله berkata:

“Dalam sabda beliau: “ada orang memakan dengan ruqyah yang batil” itu sebagai jawaban sumpah.

Yaitu: “Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, seperti menyebut bintang-bintang dan minta tolong pada jin.

Adapun sabdanya “dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar”

yaitu: dengan menyebut nama Alloh ta’ala dan firman-Nya. Dan hanyalah beliau bersumpah dengan umur beliau karena Alloh ta’ala bersumpah dengan itu sebagaimana dalam firman-Nya:

﴿لعمرك إنهم في سكرتهم يعمهون﴾.

 “Demi umurmu (wahai Muhammad), sungguh mereka itu terombang-ambing berada di dalam kemabukan yang sangat”.

DALIL KE 5:

Sabda Nabi Muhammad Saw berikut ini.

اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ

Artinya: “Orang-orang Islam diatas syarat-syarat mereka”. (HR. Abu Daud no. 3594, Ibnu al-Jaaruud dlm kitab al-Muntaqoo no. 1001 dan Ibnu Hibbaan no. 5091). Syeikh al-Baani berkata dalam Shahih Abu Daud no. 3594: “Hasan Shahih”.

TARJIIH:

Yang rajih, bahwa ji’alah itu memiliki dasar dan diperbolehkan.

Bahkan hal itu dibolehkan karena darurat, oleh karena itu dibolehkan dalam ji’alah sesuatu yang tidak dibolehkan pada selainnya, yakni ji’alah itu dibolehkan meskipun pekerjaannya majhul (tidak jelas).

RUKUN DAN SYARAT AKAD JI’ALAH

Berikut ini adalah rukun-rukun dalam Ji’alah:

a. Shiigoh / Lafadz, hendaklah lafadz itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, dan tidak ditentukan waktunya.

b. Dua pihak yang bertransaksi Ju’alah.

c. Jenis Pekerjaannya  (contohnya: mencari suatu barang tertentu yang hilang)

d. Imbalan (جُعْل).

SHIGOH AKAD JI’ALAH:

Shiqoh atau lafadz akadnya, yaitu contohnya seseorang berkata:

“Siapa saja orang nya yang bisa mengembalikan barangku yang hilang atau membangun dinding ini untuk ku, maka baginya akan mendapatkan ini dan itu. Maka barang siapa yang berhasil mengerjakannya, maka dia berhak untuk mendapatkan JU’AL / imbalan tsb.  (Baca: عمدة الفقه على مذهب الإمام أحمد، تحقيق السيد بن أحمد يوسف، مكتبة جزيرة الورد، القاهرة hal. 88)

Akad ji’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga akad ji’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya shigah dari yang akan memberi upah (ja’il) dengan shigah-shigah dalam definisi di atas dan yang sejenisnya.

Shigah ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas, menyebutkan imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk itu memenuhinya.

Apabila seseorang pelaksana akad (‘ amil) memulai pekerjaan ji’alah tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekerja dengan sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa.

Tidak disyaratkan bagi ja’il (جاعل) harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu berhak menerima upah tersebut.

Juga tidak disyaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘ amil (pelaksana), sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad ji’alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Akad ji’alah diperbolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il juga dibolehkan untuk memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.

[ Lihat: Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 434].

SYARAT-SYARATNYA:

1. Lafadh, hendaklah dipergunakan lafadh yang jelas dan mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan juga tidak ditentukan waktunya.

2. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang yang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan.

3. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang/benda yang tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru kepada umum: “Barangsiapa yang mendapat barang/bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).
(Baca: Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang. 2005), h. 382.

DI ANTARA HUKUM-HUKUM YANG TERKAIT DENGAN JI’ALAH

1. Ji’alah adalah akad jaiz (عقد جائز / tidak mengikat). Jadi masing-masing berhak membatalkannya.

Jika pembatalan dilakukan oleh pekerja, maka ia tidak berhak mendapatkan ji’alah sedikit pun, karena ia telah menggugurkan haknya. Namun jika pembatalan dari jaa’il (yang menetapkan ji’alah) dan pembatalan itu dilakukan setelah pekerja memulai pekerjaannya, maka orang yang bekerja berhak mendapatkan upah seukuran pekerjaannya, karena kerjanya dengan imbalan yang belum diterimanya.

2. Tidak disyaratkan untuk akad ji’alah ini harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang yang melakukan akad seperti pada akad yang lain, hal ini berdasarkan ayat:

وَلِمَنْ جَاۤءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَا۠ بِهٖ زَعِيْمٌ

Artinya: “Dan bagi siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,“. (QS. Yusuf: 72)

3. Disyaratkan untuk orang yang siap memberikan bayaran harus sah tasharruf (tindakan) nya, sedangkan orang yang bekerja harus mampu melakukannya.

4. Pekerjaan ji’alah itu harus tindakan yang mubah, maka tidak sah terhadap pekerjaan yang haram, seperti memainkan musik, membuatkan khamr (arak), dsb.

5. Pekerjaan ji’alah ini tidak ditentukan batasnya, maka jika seseorang berkata, “Barang siapa yang mengembalikan untaku dalam waktu sepekan, maka ia berhak mendapat lima dinar,” maka ji’alahnya tidak sah.

6. Siapa saja yang telah menyelesaikan tugas ji’alahnya, maka ia berhak memperoleh ju’l (upah), karena akad menjadi tetap dengan sempurnanya pekerjaan. Jika yang melakukan ji’alah adalah beberapa orang, maka mereka membagi rata upahnya antara sesama mereka.

7. Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah (hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal, kecuali jika si pemilik barang tsb bersuka rela pula untuk memberinya sebagai Balas budi atas perbuatannya tsb.

8. Para fuqaha menjelaskan bahwa jika ada yang bekerja untuk orang lain tanpa ju’al (upah) dan izin dari orang lain itu, maka ia tidak berhak menerima apa-apa, karena ini sama saja memberikan manfaat tanpa imbalan, sehingga ia tidak mendapatkannya. Di samping itu, seseorang tidak mesti membayar sesuatu yang tidak wajib baginya.

Tetapi dikecualikan dua hal berikut:

Pertama: Jika si pekerja sudah menyiapkan dirinya sebagai pekerja dengan upah. Misalnya pemandu jalan, pengangkut barang dsb. Dalam keadaan ini, jika ia mengerjakan suatu pekerjaan, maka yang demikian dengan izin yang mengharuskan diberi upah, dimana tradisi berjalan seperti itu. Berbeda jika ia belum menyiapkan dirinya untuk itu, maka ia tidak berhak apa-apa, meskipun diizinkan. Kecuali dengan adanya syarat.

Kedua: Orang yang menyelamatkan barang orang lain dari kebinasaan. Misalnya menariknya dari laut, api atau menemukan barang di tempat bahaya yang akan hilang jika ditinggalkan, maka ia berhak mendapatkan upah mitsil (standar) meskipun pemiliknya tidak mengizinkan, karena ia telah khawatir akan binasanya barang atau rusak. Di samping itu, dengan diberikan upah mendorong mereka melakukan perbuatan ini; yaitu menyelamatkan barang dari kebinasaan.


Syaikhul Islam IBNU TAIMIYAH mengatakan:

“Siapa saja yang menyelamatkan harta orang lain dari kebinasaan dan mengembalikannya, maka ia berhak mendapatkan upah mitsl (standar), meskipun tanpa syarat menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, dan inilah yang disebutkan Ahmad dan lainnya”.

IBNUL QOYYIM berkata,

“Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan terhadap harta orang lain tanpa izinnya, agar dengan perbuatan itu ia dapat menyampaikan harta kepada orang itu atau ia melakukannya untuk menjaga harta pemiliknya atau memeliharanya agar tidak hilang, maka yang benar ia mengembalikannya dengan mendapat upah terhadap perbuatannya. Imam Ahmad menyebutkan hal itu di beberapa tempat”.

(Baca: Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, op-cit, h. 382, Abu Bakr Jabiz Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim Minhaajul Muslim, (Jakarta: PT. Darul Falah. 2000), h. 526-527, Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah dll)

PEMBATALAN JI’ALAH

Tiap-tiap keduanya, boleh membatalkan/menghentikan perjanjian sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja dan dia tidak mendapat upah walaupun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dikerjakan. [Lihat: Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, op-cit, h. 382]

HUKUM PERSELISIHAN PEMILIK DAN PELAKSANA (AMIL) ;

Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji’alah (ja’il) dan amil / pelaksana, dalam masalah asal persyaratan IMBALAN, misalkan salah satunya mengingkari persyaratan tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya.

Seperti jika amil / pelaksana berkata: “kamu mensyaratkan memberi upah pada saya,” tapi si pemilik mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu karena asalnya tidak ada persyaratan upah.

Dan jika mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekerjaan (‘amil) tersebut dengan sumpahnya. Karena amil mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka orang yang mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya.

[Lihat: Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 439.]


Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan si pemilik berkata, “kamu bukan yang mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali sendiri”. Maka si pemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada pengembalian.

Dan jika mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama Malikiyyah dan Syafi’iyah berpendapan bahawa keduanya disumpah dan akad ji’alah nya dibatalkan, lalu si pemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku.

Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat:

Bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya. Selain itu, karena si pemilik mengingkari yang diaku oleh amil yang melebihi dari yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang diakui oleh amil. Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika keduanya berselisih tentang besarnya harga.

[Lihat: Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 439.]

Al-Hamdulillah.


 

Posting Komentar

0 Komentar