Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MEMANFAATKAN BARANG GADAI

Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

Bismillah,

DUA HADITS UTAMA TENTANG GADAI:


HADITS PERTAMA:


Hadits Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ، وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ


"Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya." (HR. Ibnu Majah no. 2453, Malik no. 1422, al-Hakim no. 2280 dan al-Baihaqi no. 10509). Dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan no. 6034.

Dan di riwayatkan Abu Daud no. 172 dari Sa’id Bin Musayyib secara mursal dari Nabi SAW.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dlam "Bulughul Maram" no. 880:

رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَالُهُ


Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadis itu mursal.

Muhammad Syamsul Haq al-‘Adzim Abadi berkata dlm "عون المعبود" 9/348 no. 3526:

"رواه الشافعي والدارقُطني عن أبي هريرة وقال: هذا إسناد حسن متصل.

وأخرجه كذلك الحاكم والبيهقي وابن حبان في صحيحه، وابن ماجه من طريق أخرى، ولكن صحَّح أبو داود والبزَّار والدارقطني وابن القطان إرساله عن سعيد بن المسيَّب دون ذكر أبي هريرة والمعروف أن الحديث المُرْسَل ما سقط منه الصحابي، أي رواه التابعي عن النبي صلى الله عليه وسلم

قال في التلخيص: وله طرق في الدارقطني والبيهقي كلُّها ضعيفة ".


Asy-SSafi'i dan Al-Daraqutni meriwayatkannya dari Abu Hurairah, dan dia berkata: "Ini adalah Sanad yang hasan dan nyambung (Muttashil)".

Dan hadits tsb dimasukkan pula oleh Al-Hakim, Al-Bayhaqi, Ibn Hibban dalam Sahih-nya, dan Ibn Majah dari jalur lain. Akan tetapi Abu Dawud, al-Bazzar, al-Daraqutni dan Ibn al-Qattan menshahihkan sanadnya MURSAL dari Sa’iid bin al-Musayyib tanpa menyebutkan Abu Hurairah.


Dan sudah maklum adanya bahwa hadits mursal adalah hadits yang tanpa menyebutkan nama para sahabat dari Beliau SAW, Yakni: diriwayatkan oleh Tabi'i dari Nabi SAW.

Dia (Ibnu Hajar) berkata dalam "التلخيص": Hadits ini memiliki jal di al-Daraqutni dan al-Bayhaqi, yang semuanya lemah / dhaif.

Dan Muhammad Syamsul Haq al-‘Adzim berkata pula:

وساقه ابن حزم من طريق قاسم بن أَصْبغ وقال: إسناده حسن


Ibn Hazm meriwayatkannya melalui jalur Qasim bin Ashbagh dan berkata: Sanadnya Hasan.

HADITS KEDUA:


Hadits lain dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda:

 " لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ ".

قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ عِنْدَنَا صَحِيحٌ


"Jika digadaikan maka susu hewan boleh diperah sesuai dengan nafkah yang diberikan kepada hewan tersebut, dan punggung hewan boleh ditunggangi. Orang yang menungganginya dan memerahnya wajib memberikan nafkahnya." (HR. Abu Daud no. 3059)

Abu Daud berkata, "Menurut kami hadits ini lebih shahih." Dan di shahihkan pula oleh al-Albaani dlm Shahih al-Jaami’ no. 5060

Dalam lafadz Bukhori no 2328 dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda:

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذَا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذَا كانَ مَرْهُونًا، وعلَى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ.


"(Hewan) yang gadaikan boleh dikendarai dengan menanggung nafkahnya jika di gadaikan, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan menanggung nafkahnya, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib menanggung nafkahnya".

MACAM JENIS TRANSAKSI HUTANG PIUTANG:


Ada dua macam: Ad-Dain (دَيْنٌ = hutang) dan Qordl (قَرْضٌ = hutang pinjaman)

Ad-Dain (دَيْنٌ / hutang) lebih umum daripada Qordl (قَرْضٌ / hutang pinjaman), karena pinjaman Qordl adalah salah satu jenis Ad-Dain / hutang, sehingga Ad-Dain / hutang dapat timbul dari pinjaman Qordl, atau mungkin terjadi dari sesuatu yang lainnya, seperti transaksi jual beli atau ganti rugi kerusakan barang, atau sejenisnya.

Tujuan utama akad pinjaman Qordl (قَرْضٌ) adalah ibadah dalam rangka mencari pahala akhirat, bukan berbisnis mencari keuntungan duniawi.
 
Syeikh Abdul Karim Al-Khudair menjelaskan perbedaan yang detail antara Ad-Dain (دَيْنٌ = hutang) dan Qordl (قَرْضٌ = hutang pinjaman) dengan mengatakan:

القرض هو بذل المال لمن يحتاجه من غير فائدة، والأصل فيه أنه بدون أجل، والدين لا بد أن يكون بأجل، والغالب أنه تبعاً لهذا الأجل يكون فيه فائدة للبائع زائد على قدر الثمن، فالقرض يختلف عن الدين؛ لأن الدين لا بد أن يكون مؤجلاً، كما قال الله جل وعلا: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ} [(282) سورة البقرة] والقرض لا أجل له، وعند الجمهور لا يقبل التأجيل، يعني لو قال: أقرضك هذا الألف إلى مدة سنة، لا يقبل التأجيل عند الأكثر، المالكية يرون قبوله التأجيل، ويرجحه شيخ الإسلام، والمسلمون على شروطهم، وعلى كل حال الفرق ظاهر بينهما، في الدين ينتفع صاحب الدين، وفي القرض لا ينتفع نفعاً في الدنيا وإن كان له الأجر والثواب من الله جل وعلا. اهـ


Qordl (قَرْضٌ = hutang pinjaman) adalah memberikan uang kepada seseorang yang membutuhkannya tanpa bunga / faidah. Prinsip dasar di dalamnya adalah tidak ditentukan jangka waktunya, berbeda dengan Ad-Dain (دَيْنٌ / hutang) maka harus ditentukan waktu pembayarannya, dan pada umumnya dengan adanya batas waktu pembayaran maka didalamnya ada faidah untuk si penjual sebagai kelebihan yang di sesuikan dengan kadar harga.

Maka Qordl (قَرْضٌ = hutang pinjaman) berbeda dari Ad-Dain (دَيْنٌ / hutang) ; karena hutang Ad-Dain itu harus ditentukan batas waktunya, seperti yang Allah Azza wa Jalla firmankan:


 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ .


"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya". (QS. Al-Baqarah: 282)

Sementara Qordl (قَرْضٌ = hutang pinjaman) tidak di batasi waktunya ; karena menurut Jumhur para ulama bahwa pinjaman Qordl tidak menerima penentuan waktu pembayaran, artinya jika dia berkata: Saya pinjamkan seribu ini kepada Anda untuk jangka waktu satu tahun, maka penentuan waktu tsb tidak diterima untuk pendapat sebagian besar para ulama.

Berbeda dengan pendapat para ulama madzhab Maliki, mereka berpendapat boleh nya pembatasan waktu pembayaran pinjaman qordl (قَرْضٌ). Dan ini yang rajih kan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dengan alasan karena orang-orang Islam itu berkewajiban menunaikan apa-apa yang di syaratkan dalam akadnya.
 

Kesimpulannya:


Perbedaannya terlihat di antara keduanya: Dalam hutang Ad-Dain (دَيْنٌ) pemberi hutang boleh mengambil manfaat. Dan dalam pinjaman Qordl (قَرْضٌ) dia tidak berhak mengambil manfaat di dunia ini, namun dia mendapat upah dan pahala dari Allah Azza wa Jalla. (Lihat: Syarah Bulughul Maraam karya Asy-Syaikh ‘Abdul Karim al-Khudhair hal. 2428).

Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunah:

عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا


Akad Gadai adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang. dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka tidak halal bagi murtahin / penerima barang gadai untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang yang memberikan keuntungan, statusnya riba. (Fiqh Sunah, 3/156).

MACAM DAN KATAGORI BARANG YANG DI GADAIKAN:


Ada dua:

Pertama     : Barang yang tidak memerlukan perawatan, seperti rumah, tanah dll.
Kedua         : Barang yang membutuhkan perawatan, seperti kuda, unta dll.

HUKUM MEMAMFAATKAN BARANG GADAI:


Mengingat akad gadai bisa dimasukkan dalam banyak transaksi, seperti utang qordh, utang ad-Dain jual beli, sewa menyewa dan yang lainnya. Jadi tidak semua para ulama sepakat melarang pemanfaatan barang gadai.

PERTAMA: MADZHAB HANAFI:


Di dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 23/183 disebutkan:

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّاهِنِ وَلَا لِلْمُرْتَهِنِ اْلِانْتِفَاعُ بِالْمَرْهُوْنِ مُطْلَقًا، لَا بِالسُّكْنَى وَلَا بِالرُّكُوبِ، وَلَا غَيْرِهِمَا، إِلاَّ بِإِذْنِ الآخَرُ، وَفِي قَوْلٍ عِنَدَهُمْ‏:‏ لَا يَجُوزُ الْاِنْتِفَاعُ لِلْمُرْتَهِنِ وَلَوْ بِإذْنِ الرَّاهِنِ‏‏ لِأَنَّهُ رِبًا


Maka Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya penggadai dan penerima gadaian tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak, baik dengan menempati (rumah yang digadaikan), menaiki kendaraan (yang digadaikan), ataupun selainnya, kecuali dengan seizin pihak lainnya. Dalam satu pendapat menurut mereka, bagi penerima gadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin penggadai (rahin), karena itu riba. (Lihat pula: "حاشية الطحطاوي" 4/236 dan "ابن عابدين" 5/310).

KEDUA: MADZHAB MALIKI:


Dalam "Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah" 23/183 disebutkan:

وقال المالكية: غلات المرهون للراهن، وينوب في تحصيلها المرتهن، حتى لا تجول يد الراهن في المرهون، ويجوز للمرتهن الانتفاع بالمرهون بشروط هي:

1 - أن يشترط ذلك في صلب العقد.

2 - وأن تكون المدة معينة.

3 - ألا يكون المرهون به دين قرض.


فإن لم يشرط في العقد وأباح له الراهن الانتفاع به مجانا لم يجز ; لأنه هدية مديان، وهي غير جائزة، وكذا إن شرط مطلقا ولم يعين مدة للجهالة، أو كان المرهون به دين قرض، لأنه سلف جر نفعا. انتهى.


Dan Madzhab Maliki berkata: Yang dihasilkan dari barang gadai adalah milik si penggadai, sementara si penerima gadai hanya mewakili untuk mengambilkannya, agar tangan si penggadai tidak menguasai barang yang digadaikannya itu.

Dan si penerima gadai boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1 - Bahwa pemanfaatannya itu harus di sebutkan dalam transaksi sebagai syarat.
2 - Bahwa masa pemanfaatannya harus ditentukan.
3- Barang yang digadaikan tidak boleh menjadi jaminan hutang pinjaman (قرض).

Jika tidak disyaratkan dalam transaksi dan penggadai mengizinkannya untuk menggunakannya secara cuma-cuma, maka itu tidak boleh; karena itu adalah hadiah untuk pemberi hutang, yang tidak diperbolehkan,

Demikian pula jika syaratnya mutlak dan tidak ditentukan masanya (tidak boleh) ; karena adanya ketidak jelasan. Atau jika utang yang digadaikan adalah pinjaman qordl (tidak boleh pula), karena itu adalah merupakan bentuk pinjaman yang mendatangkan manfaat. (SELESAI).

(Lihat: "بلغة السالك على الشرح الصغير" 2/112, "حاشية الدسوقي" 3/246 dan "القوانين الفقهية" hal. 319).

Dikatakan dalam kitab fikih Imam Malik, yaitu kitab al-Mudawwanah (4/149):

" قُلْتُ: أَرَأَيْتَ الْمُرْتَهِنَ, هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَشْتَرِطَ شَيْئًا مِنْ مَنْفَعَةِ الرَّهْنِ ؟ "


Aku berkata: Pernahkah anda melihat orang yang menerima barang gadai, apakah boleh baginya untuk mensyaratkan sesuatu dari manfaat barang gadai ?

قَالَ: إنْ كَانَ مِنْ بَيْعٍ فَذَلِكَ جَائِزٌ, وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مِنْ قَرْضٍ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ ; لِأَنَّهُ يَصِيرُ سَلَفًا جَرَّ مَنْفَعَةً. قُلْتُ: وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ ؟ قَالَ: نَعَمْ... " انتهى


Dia berkata: Jika itu berasal dari transaksi jual beli, maka itu boleh, dan jika hutangnya dari pinjaman (qordl), maka itu tidak boleh. Karena itu menjadi pinjaman yang menarik manfaat darinya ". Aku berkata: Apakah ini yang dikatakan Malik? Dia berkata: Ya".

KESIMPULAN NYA

Jika utang yang asetnya digadaikan bukan karena hutang Qordl / قرض (Qordl itu contohnya hutang uang bayar uang), melaiankan karena hutang dari harga jual atau sewa rumah dan sebagainya, dan pemilik barang gadai (yang berhutang) telah memberikan izin kepada penerima barang gadai (Pemberi hutang) untuk menggunakannya, maka tidak ada salahnya dia melakukan itu.

Penulis katakan: Kenapa dalam madzhab Maliki, membolehkan si penerima barang gadai untuk memanfaatkan nya jika hutangnya itu bukan pinjaman Qordl, melainkan dari transaksi jual beli atau sewa menyewa ?

Jawabannya: karena pemanfaatan barang gadai bagi si penerima gadai dlm transaksi tsb masuk dalam harga sesuatu yang ditransaksikan, oleh karena itu wajib di batasi waktu pemanfaatannya agar ada kejelasan harga.

Seolah-olah harga barang tsb umpamanya: 1 juta + pemanfaatan barang gadai 1 tahun.


KETIGA: MADZHAB SYAFI’I:


Dalam "Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah" 23/183 disebutkan:

وقال الشافعية: ليس للمرتهن في المرهون إلا حق الاستيثاق فيمنع من كل تصرف أو انتفاع بالعين المرهونة، أما الراهن فله عليها كل انتفاع لا ينقص القيمة كالركوب ودر اللبون، والسكنى والاستخدام، لحديث: "الظهر يركب بنفقته إذا كان مرهونا"، وحديث: "الرهن مركوب ومحلوب"

وقيس على ذلك ما أشبهه من الانتفاعات.

أما ما ينقص القيمة كالبناء على الأرض المرهونة والغرس فيها فلا يجوز له إلا بإذن المرتهن؛ لأن الرغبة تقل بذلك عند البيع


Para ulama Madzhab Syafi'i berkata:

Penerima barang gadai tidak memiliki apa pun dalam barang yang digadaikan kecuali hak kepercayaan / jaminan, sehingga ia dicegah dari setiap pengelolaan atau memanfaatkan barang yang digadaikan.

Adapun untuk pemilik barang gadai, maka ia berhak memiliki setiap manfaat dari barang gadai selama tidak mengurangi nilainya, seperti: mengendarai, mengemudi, menempati, dan menggunakan. Berdasarkan hadits:

" Hewan tunggangan boleh di kendarai dengan resiko menafkahinya jika digadaikan "

dan hadits: " Hewan yang digadaikan boleh di tunggangi dan diperah susunya ".

Itu bisa dianalogikan dengan apa saja yang serupa dengannya dari sisi manfaat-manfaatnya.

Adapun barang gadai yang akan berkurang nilainya jika dimanfaatkan, seperti membangun bangunan di atas tanah yang digadaikan dan menanaminya ; maka itu tidak boleh kecuali dengan seizin si penerima barang gadai ; karena menyebabkan ketertarikan pasar padanya akan berkurang ketika hendak menjualnya.

(Lihat: "روضة الطالبين" 4/79-99 dan "أسنى المطالب" 2/161).

KEEMPAT: MADZHAB HANBALI:


Dalam "Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah" 23/183 disebutkan:

وفرق الحنابلة بين المرهون المركوب أو المحلوب وبين غيرهما، وقالوا: إن كان المرهون غير مركوب أو محلوب، فليس للمرتهن ولا للراهن الانتفاع به إلا بإذن الآخر.


أما المرتهن فلأن المرهون ونماءه ومنافعه ملك للراهن، فليس لغيره أخذها بدون إذنه، وأما الراهن فلأنه لا ينفرد بالحق، فلا يجوز له الانتفاع إلا بإذن المرتهن.

فإن أذن المرتهن للراهن بالانتفاع بالمرهون جاز، وكذا إن أذن الراهن للمرتهن بشرط:

1- أن لا يكون المرهون به دين قرض.

2- وأن لا يأذن بغير عوض، فإن أذن الراهن للمرتهن بالانتفاع بغير عوض، وكان المرهون به دين قرض، فلا يجوز له الانتفاع به؛ لأنه قرض جر نفعا، وهو حرام، أما إن كان المرهون بثمن مبيع أو أجرة دار، أو دين غير القرض جاز للمرتهن الانتفاع بإذن الراهن، وكذا إن كان الانتفاع بعوض، كأن يستأجر الدار المرهونة من الراهن بأجرة مثلها في غير محاباة؛ لأنه لم ينتفع بالقرض بل بالإجارة، وإن شرط في صلب العقد أن ينتفع بها المرتهن فالشرط فاسد؛ لأنه ينافي مقتضى العقد.


Para ulama madzhab Hanbali membedakan antara barang gadai berbentuk hewan tunggangan atau hewan yang diperah susunya dengan barang gadai yang lain.

JIKA BARANG GADAI BUKAN HEWAN TUNGGANGAN ATAU BUKAN HEWAN PERAH


Dan mereka berkata: Jika barang yang digadaikan itu BUKAN hewan tunggangan atau bukan hewan perah, maka baik yang menggadaikan maupun yang menerima barang gadaian sama-sama tidak boleh mengambil manfaat darinya kecuali dengan izin dari yang lain.

Adapun penerima barang gadai, karena barang yang digadaikan beserta pertumbuhannya dan manfaatnya adalah milik si penggadai, sehingga tidak ada orang lain yang berhak mengambilnya tanpa seizinnya.

Adapun penggadai, karena dia sudaha tidak sendirian lagi dalam kepemilikan haknya, maka tidak boleh baginya mengambil manfaat kecuali dengan seizin si penerima barang gadai.

Jika si penerima barang gadai memberikan izin kepada si penggadai untuk menggunakan barang yang digadaikan, maka boleh, begitu pula jika si penggadai memberikan izin kepada si penerima barang gadai, tapi dengan syarat sbb:

  1. Bahwa yang digadaikan bukanlah karena transaksi pinjaman qordl.
  2. Dan tidak boleh memberikannya tanpa bayaran (cuma-cuma).


Maka jika si penggadai memberi wewenang kepada si penerima barang gadai untuk mengambil manfaat darinya tanpa bayaran / gratis, dan barang yang digadaikannya itu karena untuk jaminan pinjaman qordl ; maka tidak boleh baginya untuk mengambil manfaat darinya, sebab yang demikian itu masuk dalam katagori pinjaman yang menarik manfaat, dan itu haram.


Tetapi jika yang digadaikan itu adalah untuk jaminan hutang transaksi jual beli atau sewa rumah, atau utang selain pinjaman qordh, maka si penerima barang gadai boleh mengambil manfaat darinya dengan izin dari si penggadai.

Demikian pula jika mengambil manfaatnya itu dengan bayaran alias tidak gratis, seperti dengan cara menyewa rumah yang digadaikan dari si penggadai dengan biaya sewa yang standar tanpa adanya pilih kasih ; karena dia mengambil manfaatnya bukan karena pinjaman qordh, tetapi dari sewa.

Jika dalam akadnya disyaratkan bahwa si penerima barang gadai berhak mengambil manfaat darinya, maka syaratnya tidak sah. Karena tidak sesuai dengan aturan transaksi gadai yang syar’i.

JIKA BARANG GADAINYA HEWAN TUNGGANGAN ATAU HEWAN PERAH

 

أما المركوب، والمحلوب، فللمرتهن أن ينفق عليه، ويركب، ويحلب بقدر نفقته متحريا العدل - من غير استئذان من الراهن بالإنفاق، أو الانتفاع - سواء تعذر إنفاق الراهن أم لم يتعذر. واستدلوا بحديث الظهر يركب بنفقته إذا كان مرهونا، ولبن الدر يشرب بنفقته إذا كان مرهونا، وعلى الذي يركب ويشرب النفقة.


وقالوا: إن قوله صلى الله عليه وسلم: "بنفقته " يشير إلى الانتفاع بعوض النفقة، ويكون هذا في حق المرتهن، أما الراهن فإنفاقه وانتفاعه ليسا بسبب الركوب وشرب الدر، بل بسبب الملك. فإن لم يتفقا على الانتفاع بالعين المرهونة في غيرهما لم يجز الانتفاع بها، فإن كان دارا أغلقت، وإن كانت حيوانا تعطلت منافعه حتى يفك الرهن.


Adapun hewan tunggangan dan hewan yang diperah susunya, maka bagi penerima barang gadai mengeluarkan biaya perawatan untuknya, mengendarainya, dan memerah susunya sesuai dengan pengeluaran nya, seadil mungkin - tanpa harus izin dulu dari penggadai, baik untuk mengeluarkan biaya perawatan atau memanfaatkannya – baik si penggadainya ber udzur dalam mengeluarkan biaya perawatan ataupun tidak.

Mereka berdalil dengan hadits:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ إذَا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ إذَا كانَ مَرْهُونًا، وعلَى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ.


"(Hewan) tunggangan boleh dikendarai dengan menanggung nafkahnya jika di gadaikan, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan menanggung nafkahnya, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib menanggung nafkahnya".

Dan mereka berkata: Sabdanya SAW " dengan menanggung nafkahnya" mengacu pada manfaat dari kompensasi untuk nafkah yang ditanggungnya, dan ini berlaku untuk penerima barang gadai.

Adapun si penggadai, maka pengeluaran dan memanfaatkannya itu bukan karena menungganginya dan meminum susunya, melainkan karena kepemilikan.

Jika mereka berdua tidak setuju untuk memanfaatkan barang yang digadaikan pada orang lain selain mereka berdua, maka tidak boleh memanfaatkannya.

Lalu jika itu berupa rumah maka harus ditutup, dan jika berupa hewan maka ditangguhkan manfaatnya sampai transaksi gadainya dilunasi (Lihat "Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah" 23/183).

Ibnu Quddamah dari madzhab Hanbali berkata:

"ما لَا يَحْتَاجُ إلَى مُؤْنَةٍ, كَالدَّارِ وَالْمَتَاعِ وَنَحْوِهِ, فَلَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَهِنِ الِانْتِفَاعُ بِهِ بِغَيْرِ إذْنِ الرَّاهِنِ بِحَالٍ. لَا نَعْلَمُ فِي هَذَا خِلَافًا ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ مِلْكُ الرَّاهِنِ, فَكَذَلِكَ نَمَاؤُهُ وَمَنَافِعُهُ, فَلَيْسَ لِغَيْرِهِ أَخْذُهَا بِغَيْرِ إذْنِهِ, فَإِنْ أَذِنَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الِانْتِفَاعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ, وَكَانَ دَيْنُ الرَّهْنِ مِنْ قَرْضٍ ، لَمْ يَجُزْ ; لِأَنَّهُ يُحَصِّلُ قَرْضًا يَجُرُّ مَنْفَعَةً ، وَذَلِكَ حَرَامٌ. قَالَ أَحْمَدُ: أَكْرَهُ قَرْضَ الدُّورِ ، وَهُوَ الرِّبَا الْمَحْضُ. يَعْنِي: إذَا كَانَتْ الدَّارُ رَهْنًا فِي قَرْضٍ يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُرْتَهِنُ.

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ بِثَمَنِ مَبِيعٍ, أَوْ أَجْرِ دَارٍ, أَوْ دَيْنٍ غَيْرِ الْقَرْضِ, فَأَذِنَ لَهُ الرَّاهِنُ فِي الِانْتِفَاعِ, جَازَ ذَلِكَ " انتهى.


"Barang gadai yang tidak memerlukan perawatan, seperti rumah, barang, dan sejenisnya, maka orang yang menerima gadai (المرتهن) sama sekali tidak boleh memanfaatkannya tanpa seidzin penggadai (الراهن).

Dalam hal ini kami tidak mengatahui adanya perbedaan pendapat ; karena barang gadai itu hak milik penggadai, maka begitu pula hasil dan manfaatnya, maka selain penggadai tidak boleh mengambilnya tanpa seidzinnya.

Lalu jika si penggadai mengizinkan kepada si penerima gadai untuk memanfaatkannya secara cuma-cuma/ gratis, sementara hutang gadainya itu berbentuk pinjaman qordl ; maka tidak boleh hukumnya ; karena itu sama dengan pinjaman yang menarik manfaat, dan itu HARAM.

Ahmad berkata: Aku benci pinjaman qordh rumah-rumah, dan itu adalah murni riba. Artinya: Jika rumah itu digadaikan karena pinjaman Qordh, lalu dimanfaatkan oleh si penerima barang gadai.

Dan jika barang gadai itu untuk sebuah transaksi jual beli, atau sewa rumah, atau utang selain pinjaman qordl / قرض, maka jika si penggadai itu mengizinkan untuk memanfaatkannya, maka itu boleh. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin – keduanya ulama tabi’in – ". SELESAI (al-Mughni 4/250)

Lalu Ibnu Qudddamah berkata:

فأما إن كان الانتفاع بعوض مثل أن أستأجر المرتهن الدار من الراهن بأجرة مثلها من غير محاباة جاز في القرض وغيره لكونه ما انتفع بالقرض بل بالإجارة وإن حاباه فحكمه حكم الانتفاع بغير عوض لا يجوز في القرض ويجوز في غيره


Tetapi jika memanfaatkannya dengan memberi ‘iwadh / dibayar, seperti jika si penerima gadai itu menyewa rumah dari si penggadai dengan harga sewa yang sesuai standar tanpa ada pilih kasih harga, maka diperbolehkan dalam akad pinjaman qordl dan lainnya.

JIKA BARANG GADAINYA MEMBUTUHKAN PERAWATAN, SEPERTI HEWAN TUNGGANGAN ATAU HEWAN YANG DIPERAH SUSUSNYA


Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin (yang berutang). At-Thahawi mengatakan,

وأجمع أهل العلم أن نفقة الرهن على الراهن لا على المرتهن


"Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin dan bukan murtahin / penerima barang gadai." (Syarh Ma’ani al-Atsar, 4/99)

Selanjutnya, jika ar-Raahin (Penggadai) tidak bersedia menanggung biaya perawatan, bolehkah murtahin (penerima barang gadai) memanfaatkan barang gadai sebagai ganti dari biaya perawatan?

Menurut MADZHAB HANBALI - seperti yang sudah di sebutkan di atas -:

Jika barang gadai yang ada di tangan murtahin (penerima barang gadai) membutuhkan biaya perawatan, seperti binatang, maka murtahin (penerima barang gadai) berhak untuk mengambil manfaat dari binatang itu, dengan diperah susunya atau dijadikan tunggangan, sebagai kompensasi atas biaya yang dia keluarkan.

Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

 " لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ ".

قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ عِنْدَنَا صَحِيحٌ


"Jika digadaikan maka susu hewan boleh diperah sesuai dengan nafkah yang diberikan kepada hewan tersebut, dan punggung hewan boleh ditunggangi. Orang yang menungganginya dan memerahnya wajib memberikan nafkahnya." (HR. Abu Daud no. 3059)

Abu Daud berkata, "Menurut kami hadits ini lebih shahih." Dan di shahihkan pula oleh al-Albaani dlm Shahih al-Jaami’ no. 5060

Dalam lafadz Bukhori no 2328 dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda:

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذَا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذَا كانَ مَرْهُونًا، وعلَى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ.


"(Hewan) yang gadaikan boleh dikendarai dengan menanggung nafkahnya jika di gadaikan, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan menanggung nafkahnya, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib menanggung nafkahnya".

Dalam Fiqh Sunah dinyatakan:

فإن كان دابة أو بهيمة فله أن ينتفع بها نظير النفقة عليها فإن قام بالنفقة عليها كان له حق الانتفاع، فيركب ما أعد للركوب كالابل والخيل والبغال ونحوها ويحمل عليها، ويأخذ لبن البهيمة كالبقر والغنم ونحوها


Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau binatang ternak, maka murtahin / penerima barang gadai boleh memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia keluarkan untuk itu. Orang yang menanggung biaya, dia berhak untuk memanfaatkan barang itu. Dia boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti kuda, onta, atau bighal. Dan boleh dipakai untuk ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil susunya jika hewannya bisa diperah, seperti kambing atau sapi. (Fiqh Sunah, 3/157)

Ini BERBEDA dengan PENDAPAT JUMHUR ULAMA yang melarang sama sekali pemanfaatan barang gadai oleh murtahin / penerima barang gadai.

Namun pendapat Madzhab Hambali dalam hal ini lebih kuat, berdasarkan hadits Abu Haurairah RA diatas.

BAGAIMANA JIKA SI PENGGADAI TIDAK MAU MEMBIAYAI PERAWATAN HEWAN YANG DI GADAIKANNYA ?


Jika si penggadai - yaitu pemilik barang yang digadaikan - tidak mau membiayai perawatannya, seperti pakan ternak, misalnya, maka si penerima gadai memiliki hak untuk membiayainya, dan mengambil manfaat dari susunya dan menungganginya dalam kadar yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkannya.

Yang demikian itu jika membiayai perawatannya dan memanfaatkannya dengan seizin pemilik barang yang digadaikan, maka tidak ada perselisihan pendapat mengenai kebolehannya itu.

Akan tetapi jika itu tanpa izinnya, maka ada perbedaan pendapat:

PERTAMA:


Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Al-Layth dan Al-Hasan berkata: Penerima barang gadai - pemilik hutang – boleh mengambil manfaat dari barang gadai sebagai imbalan atas apa yang dia belanjakan untuk pemeliharaan dan penjagaannya, meskipun pemilik barang gadai tidak mengizinkannya.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas.

Dan ada lafadz lain dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:

إِذَا كَانَتْ الدَّابَّةُ مَرْهُونَةً فَعَلَى الْمُرْتَهِنِ عَلَفُهَا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ وَعَلَى الَّذِي يَشْرَبُهُ نَفَقَتُهُ وَيَرْكَبُ

"Jika binatang ternak menjadi jaminan, maka hendaklah orang yang mengambil jaminan itu memberinya makan, dan susunya boleh diminum dan hendaklah orang yang meminum susunya mencarikan makan untuknya dan ia juga boleh menungganginya." (HR. Ahmad no. 6828).
Dan ada lafadz-lafadz lainnya pula.
Adapun Syaratnya, yaitu harus sebanding antara biaya yang dikeluarkan dengan pemanfaatannya, berdasarkan hadits yang ada pada Hammad bin Salamah di kitab JAMI’-nya dengan lafadz:

إذَا ارْتَهَنَ شَاةً شَرِبَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلَفِهَا، فَإِنْ اسْتَفْضَلَ مِنْ اللَّبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ الْعَلَفِ فَهُوَ رِبًا


Artinya "Apabila seekor kambing dijadikan sebagai jaminan hutang, maka al-murtahin dapat mengambil susunya dengan ukuran sesuai yang dibutuhkan untuk pemeliharaannya, apabila pengambilan susu itu berlebih dari harga pemeliharaan, maka kelebihan itu merupakan riba’." (lihat di Foot note Mukhtashar Shahih Bukhori karya Syeikh al-Albaani di bawah hadits no. 534 dan 535. 2/167)

KEDUA:


Jumhur ulama mensyaratkan adanya izin dari penggadai bagi si penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai sebagai imbalan atas biaya pengeluarannya. (Lihat: Neilul Awthoor karya asy-Syaukaani 5/248-250).

Berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Al-Bukhary no. 2435 dengan redaksi:

لَا تُحْلَبُ مَاشِيَةُ امْرِئٍ بِغَيْرِ إذْنِهِ


Artinya "janganlah diperas susu binatang ternak seseorang yang dijadikan jaminan hutang, tanpa seizinnya".

BANTAHAN:


Akan tetapi hadits ini bersifat umum untuk setiap hak milik, dan tidak diperbolehkan bagi siapa pun selain pemiliknya untuk mengambil manfaat darinya tanpa izin. Dan hadits hak tanggungan / gadai itu khusus, maka yang umum di bawa kepada yang khusus.

Cara mengkompromikan kedua hadis tersebut menurut Al-Auza’iy, Al-Laits dan Abu Tsur adalah apabila al-rahin / penggadai tidak mau membayar biaya pemeliharaan barang gadainya, maka dalam hal ini al-murtahin / penerima gadai dibolehkan untuk mengambil manfaat barang gadai dan kemanfaatannya itu digunakan untuk pemeliharaan barang tersebut bukan bertujuan untuk mencari keuntungan).

HUKUM MENSYARATKAN MANFAAT BARANG GADAI UNTUK SI PENERIMA GADAI:


Ketika al-rahin / penggadai memberi izin kepada al-murtahin untuk mengambil manfaat benda yang dijaminkan kepadanya, dalam hal ini harus dibedakan antara izin yang disyaratkan dalam akad dan izin yang terpisah dengan akad.

Apabila dalam akad disyaratkan adanya izin al-rahin / penggadai agar al-murtahin/penerima gadai dapat memanfaatkan benda yang dijaminkan, maka syarat yang demikian termasuk syarat fasid yang berakibat merusak akad al-rahn / Gadai, karena syarat yang demikian bertentangan dengan tujuan akad, yaitu berfungsi untuk al-tautsiq (kepercayaan), hal mana dengan adanya jaminan tersebut al-murtahin percaya dan yakin uang atau barang yang dipinjamkan kepada al-rahin / penggadai akan kembali tepat waktu.

Selain itu akad al-rahn / Gadai bukanlah akad yang memberikan kewenangan untuk mengambil manfaat dari barang yang dijaminkan. Demikian pula syarat dibolehkan mengambil manfaat dalam akad akan menimbulkan kemadaratan di pihak lain yang dalam hal ini al-rahin / penggadai.

Adapun bila izin al-rahin / penggadai terpisah dengan akad atau bukan merupakan syarat dalam akad dan tidak pula menjadi budaya dan tradisi dalam masyarakat, maka menurut hukum al-murtahin dibolehkan untuk memanfaatkan al-marhun selama tidak merugikan pihak lain.

Ada Sebuah fatwa dari Sheikh Muhammad Bakhit Al-Mutai'i, "الفتاوى الإسلامية" 1/112" dan dalam sebuah fatwa Sheikh Abdul Majeed Salim, "الفتاوى الإسلامية" 3/955:

اتِّفاق الفقهاء على حُرمة انتفاع المرْتهن بالرَّهن بدُون إذْن الراهن، واختَلفت كلمتهم في حِلِّ انتفاعه بإذنه، ونُقل عن جواهر الفتاوَى أنه إذا كان الانتفاع مشروطًا صار قرْضًا فيه منفعة وهو ربا، وإلا فلا بأس. ثم ذكر أن الفقهاء قالوا: إن المعروف عُرفًا كالمشروط شرطًا


Para ahli fiqih sepakat tentang larangan si penerima gadai memanfaatkan barang gadai tanpa izin dari si penggadai.

Namun mereka berselisih tentang diperbolehkan memanfaatkannya jika dengan izinnya.
Dan di nukil dari kitab "جواهر الفتاوَى": bahwa jika memanfaatkannya itu di syaratkan dalam akad, maka itu menjadi pinjaman dengan imbalan manfaat dan itu adalah riba. Jika tidak, tidak mengapa dengan itu.

Kemudian beliau menyebutkan bahwa para fuqaha berkata:

إن المعروف عُرفًا كالمشروط شرطًا


"Apa saja yang sudah menjadi tradisi adalah sama seperti syarat yang disyaratkan ". SELESAI

APAKAH HUKUM MEMANFAAT KENDARAAN BERMOTOR BISA DI ANALOGIKAN KEPADA HEWAN TUNGGANGAN ATAU HEWAN PERAH SUSUNYA ?


JAWAB: tentu saja ini tidak berlaku untuk kendaraan bermotor. Karena kendaraan bermotor tidak perlu biaya perawatan. Kalaupun harus dipanasi, itu hanya sebentar dan jika murtahin / penerima barang gadai (orang yang menerima barang gadai) tidak rela, bisa diganti biaya perawatan itu dengan memakai kendaraan bermotor tersebut untuk keperluan yang sebanding dengan biaya perawatan. Wallahu A’lam.

FATWA aneh dari SYEIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA


Setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah:

«الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنِ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَة»


"(Hewan) tunggangan boleh dikendarai dengan menanggung nafkahnya jika di gadaikan, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan menanggung nafkahnya, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib menanggung nafkahnya".

Syeikh Muhammad Rashid Ridha berkata:

هذا الحديث يدل على أن الانتفاع بالرهن مشروع في الجملة، وأنه ليس من الربا، فمن أراد الحق بدليله فهو جواز الانتفاع، ما لم يكن هناك احتيال على الربا، أو شرط عدم الانتفاع برضا المرتهن ثم غدر وخالف الشرط، والله أعلم


Hadits ini menunjukkan bahwa memanfaatkan barang gadai diperbolehkan secara umum, dan bukan termasuk riba. Barang siapa menginginkan kebenaran dengan dalilnya, maka boleh mengambil manfaat barang gadai, selama tidak ada tipu muslihat / rekayasa dalam riba, atau si penggadai mensyaratkan si penerima gadai dengan keridhoannya untuk tidak mengambil manfaat dari barang gadai, lalu dia berkhianat dan melanggar syarat itu. Wallahu a’lam. (Baca: "al-Manaar" 9/576-577 no. 1904).




Posting Komentar

2 Komentar

  1. Ma sya Allah penuh dengan hikmat,, dan semoga menjadi amal ibadah bagi penulisnya

    BalasHapus