Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين. والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. أما بعد:
Ada sebagian para ulama yang mengklaim bahwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang mensyariatkan ACARA PERINGATAN atau PERAYAAN HARI KELAHIRAN NABI MUHAMMAD sallallaahu alaihi wa sallam. Yang di kenal di kita dengan istilah MAULIDAN.
Mereka mengklaim demikian berdasarkan perkataan Syeikul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “اقتضاء الصراط المستقيم مخالفة أصحاب الجحيم” di jilid 2 hal.126:
(فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم ؛ لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، كما قدمت أنه يستحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد)
(Mengagungkan hari kelahiran dan menjadikannya musiman sebagian orang mungkin melakukannya dan baginya mendapat pahala yang besar ; karena niat baiknya dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW, seperti yang telah lalu saya sampaikan bahwa ada sesuatu yang dianggap bagus oleh sebagian manusia, namun dianggap jelek oleh seorang mukmin yang diberi petunjuk yang lurus). (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 124))
Ini adalah kutipan penggalan perkataan Syekhul Islam dalam kitabnya “Iqtidhoo al-Shiraath al-Mustaqiim” yang di jadikan sandaran oleh orang-orang yang mengatakan bahwa syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mensyariatkan acara peringatan Maulid Nabi SAW, dan bagi orang-orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang agung.
BENARKAH?
JAWABANNYA: PENULIS AKAN MENGUTIP TEXS LENGKAPNYA TERLEBIH DAHULU
Sebelum kita membahas lebih jauh untuk membuktikan kebenaran dakwaan dan klaiman yang tersebut di atas, penulis akan mengutip texs lengkap perkataan Syeikul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “اقتضاء الصراط المستقيم”, yang diambil dari tiga tempat:
Pertama: Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 123):
"وإنما الغرض أن اتخاذ هذا اليوم (أي: يوم غدير خم) عيدًا محدثٌ لا أصل له، فلم يكن في السلف لا من أهل البيت ولا من غيرهم-مَنِ اتخذ ذلك اليوم عيدًا، حتى يحدث فيه أعمالًا. إذ الأعياد شريعة من الشرائع، فيجب فيها الاتباع، لا الابتداع. وللنبي صلى الله عليه وسلم خطب وعهود ووقائع في أيام متعددة: مثل يوم بدر، وحنين، والخندق، وفتح مكة، ووقت هجرته، ودخوله المدينة، وخطب له متعددة يذكر فيها قواعد الدين. ثم لم يوجب ذلك أن يتخذ أمثال تلك الأيام أعيادًا.
وإنما يفعل مثل هذا النصارى الذين يتخذون أمثال أيام حوادث عيسى عليه السلام أعيادًا، أو اليهود، وإنما العيد شريعة، فما شرعه الله اتبع. وإلا لم يحدث في الدين ما ليس منه. وكذلك ما يحدثه بعض الناس، إما مضاهاةً للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام، وإما محبةً للنبي صلى الله عليه وسلم، وتعظيمًا، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد، لا على البدع- من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدًا، مع اختلاف الناس في مولده- فإن هذا لم يفعله السلف، مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه لو كان خيرًا. ولو كان هذا خيرًا محضا، أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا، وهم على الخير أحرص. ".
"Dan adapun tujuannya adalah bahwa menjadikan hari ini (yaitu hari Ghadir Khum) sebagai hari perayaan itu adalah muhdats (bid’ah) yang tidak memiliki dasar, dan tidak ada pada masa Salaf, baik dari kalangan Ahlul Bait maupun dari orang lain - yang mengambil hari itu sebagai hari perayaan, sampai terjadi munculnya amalan-amalan baru didalamnya.
Karena perayaan itu adalah salah satu hukum Syar’i, maka wajib al-ittibaa’, bukan al-ibtidaa’. Dan bagi Nabi SAW terdapat khutbah-khutbah, perjanjian-perjanjian, dan kejadian-kejadian pada hari-hari tertentu, seperti hari perang Badar, Hunain, al-Khandaq, penaklukan Mekah, waktu hijrahnya, masuknya ke Madinah, dan baginya banyak khotbahnya yang menyebutkan pondasi-pondasi agama. Namun Beliau SAW tidak mewajibkan untuk menjadikan hari-hari tersebut sebagai hari perayaan.
Dan yang melakukan hal demikian itu hanyalah orang-orang Kristen yang menjadikan hari-hari semisal peristiwa Isa alaihissalam sebagai hari perayaan, atau orang-orang Yahudi. Karena hari raya itu adalah hukum Syar’i, maka apa yang telah ditetapkan oleh Allah harus diikuti. Jika tidak, maka tidak boleh membikin perkara baru dalam agama yang bukan darinya. Demikian juga perkara baru yang diciptakan oleh sebagian manusia, baik meniru-niru orang-orang Kristen pada kelahiran Isa alaihissalam atau karena kecintaannya kepada Nabi SAW, dan pengagungannya.
Dan Allah Ta’ala mungkin memberikan mereka pahala atas kecintaannya ini dan kesungguhannya, bukan untuk BID’AH dengan menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai perayaan, meskipun terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang hari kelahirannya.
Karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh salaf, meskipun telah ada kebutuhan yang menuntut untuk itu dan juga tidak ada penghalang darinya jika itu murni kebaikan. Dan jika ini murni kebaikan atau yang raajih, maka para salaf, semoga Allah meridhoi mereka, akan lebih berhak untuk mengamalkannya daripada kita ; karena mereka sangat lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah SAW daripada kita, dan mereka lebih suka berbuat kebaikan.
Kesempurnaan kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya dengan cara mengikutinya, menaatinya, mengamalkan perintahnya, menghidupkan kembali Sunnahnya lahir dan batin, dan menyebarkan apa yang dengannya beliau diutus, dan berjihad di atasnya dengan hati, tangan, dan lisan ; karena ini adalah jalan para pendahulu yang pertama dari Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan). (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 123))
Kedua: Syeikhul Islam berkata di jilid 2 hal.124:
"وإنما كمال محبته (الرسول صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا، ونشر ما بعث به، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان. فإن هذه طريقة السابقين الأولين، من المهاجرين والأنصار، والذين اتبعوهم بإحسان. وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرصاء على أمثال هذه البدع، مع ما لهم من حسن القصد، والاجتهاد الذين يرجى لهم بهما المثوبة، تجدهم فاترين في أمر الرسول، عما أمروا بالنشاط فيه، وإنما هم بمنزلة من يحلي المصحف ولا يقرأ فيه، أو يقرأ فيه ولا يتبعه وبمنزلة من يزخرف المسجد، ولا يصلي فيه، أو يصلي فيه قليلاً...".
“Dan sesungguhnya kesempurnaan cinta seseorang kepada Rasulullah, sallallahu alaihi wa sallam serta mengagungkannya hanya dengan cara mengikutinya, mematuhinya, mengikuti perintahnya, menghidupkan kembali Sunnahnya lahir dan batin, dan menyebarkan apa yang dengannya beliau diutus, dan berjihad di atasnya dengan hati, tangan, dan lisan ; karena ini adalah jalan para pendahulu yang pertama dari Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan
Dan kebanyakan dari mereka yang Anda temukan, mereka tertarik pada jenisi-jenis bid’ah seperti ini meskipun mereka berniat baik dan bersungguh-sungguh, yang diharapkan oleh mereka adalah pahala baginya.
Dan anda akan menemukan mereka tidak bersemangat dalam perintah Rasul yang isinya memerintahkan mereka agar bersemangat dalam mengamalkannya.
Dan sesungguhnya mereka itu hanyalah seperti orang yang yang menghiasi Al-Qur'an namun tidak membaca di dalamnya atau dia membaca di dalamnya namun tidak mengikutinya.
Dan seperti orang mendekorasi masjid, namun dia tidak sholat di dalamnya, atau jarang sholatnya di dalamnya.
Dan seperti halnya mereka yang menggunakan tasbih dan sajadah yang dipenuhi dengan hiasan.
Dan yang semisal ini adalah hiasan-hiasan yang bermunculan yang tidak disyariatkan kemudian disertai dengan rasa riya yang besar dan menyibukkan diri dengan amalan yang merusak kondisi pemiliknya. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 124))
Ketiga: Syeikhul Islam berkata di jilid 2 hal.124:
"فتعظيمُ المولد، واتخاذُه موسمًا، قد يفعله بعضُ الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم، كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس، ما يستقبح من المؤمن المسدد. ولهذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء: إنه أنفق على مصحفٍ ألفَ دينار، أو نحو ذلك فقال: دعهم، فهذا أفضل ما أنفقوا فيه الذهب، أو كما قال. مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة. وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجويد الورق والخط. وليس مقصود أحمد هذا، إنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة، وفيه أيضًا مفسدة كُرِهَ لأجلها. فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا، وإلا اعتاضوا بفسادٍ لا صلاح فيه، مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور: من كتب الأسمار أو الأشعار، أو حكمة فارس والروم".
(Mengagungkan hari kelahiran dan menjadikannya musiman sebagian orang mungkin melakukannya dan baginya mendapat pahala yang besar ; karena niat baiknya dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW, seperti yang telah lalu saya sampaikan bahwa ada sesuatu yang dianggap bagus oleh sebagian manusia, namun dianggap jelek oleh seorang mukmin yang diberi petunjuk yang lurus)
Oleh karena itu pernah di katakan kepada Imam Ahmad tentang sebagian para penguasa:
Dia menghabiskan seribu dinar hanya untuk menghias sebuah Mushaf al-Qur’an, atau sesuatu seperti itu?
Maka beliau berkata: "Biarkan mereka, karena ini lebih baik dari pada mereka belanjakan untuk emas “, atau seperti yang dia katakan. Meskipun madzhab beliau adalah bahwa menghias Al-Quran adalah makruh. Sebagian sahabat-shabat beliau menafsirkan bahwa ia membelanjakannya untuk memperbagus kertas dan kaligrafinya.
Yang benar maksud Imam Ahmad bukan demikian, melainkan yang ia maksudkan adalah bahwa dalam perbuatan tsb terdapat mashlahat, dan di dalamnya juga terdapat mafsadat, yang ia tidak suka karenanya “. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 126))
Ini adalah kutipan kata-kata Syekh al-Islam dari tiga tempat dalam kitabnya “Iqtidhoo al-Shiraath al-Mustaqiim” yang di jadikan sandaran oleh orang-orang yang mengatakan bahwa syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mensyariatkan acara peringatan Maulid Nabi SAW, dan bagi orang-orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala.
PEMBAHASAN:
Untuk membahas nash-nash yang musytabah ini, pertama-tama kami katakan:
Mari kita perhatikan pada awal pembahasan tentang Maulid dalam kitab “Iqtidhoo al-Shiraath al-Mustaqaim” hal. 2/123, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang orang-orang yang menjadikan maulid sebagai hari perayaan untuk mewujudkan rasa cinta kepada Nabi SAW:
(والله تعالى قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد ، لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيداً ، مع اختلاف الناس في مولده ، فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا ؛ فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ، وهم على الخير أحرص ، وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطناً وظاهراً ، ونشر ما بعث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان ، فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان).
(Dan Allah Ta’ala mungkin memberikan mereka pahala atas kecintaannya ini dan kesungguhannya, bukan pahala atas BID’AH menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai perayaan, di tambah lagi dengan adanya perbedaan pendapat tentang hari kelahirannya SAW.
Dan karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para salaf, meskipun dengan adanya kebutuhan untuk itu dan juga tidak ada penghalang darinya. Dan jika seandainya ini murni kebaikan atau yang raajih, maka para salaf, semoga Allah meridhoi mereka, akan lebih berhak untuk melakukannya dari pada kita ; karena mereka sangat lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah SAW daripada kita, dan mereka lebih suka berbuat kebaikan.
Kesempurnaan kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya dengan cara mengikutinya, menaatinya, mengikuti perintahnya, menghidupkan kembali Sunnahnya lahir dan batin, dan menyebarkan apa yang dengannya beliau diutus, dan berjihad di atasnya dengan hati, tangan, dan lisan ; karena ini adalah jalan para pendahulu yang pertama dari Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan). (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 123))
Ini adalah pernyataan dari Syekh Islam bahwa pemberian pahala kepada orang yang menjadikan maulid sebagai amalan musiman yang disebabkan oleh rasa cintanya kepada Nabi SAW, ITU HANYA DALAM HAL NIATNYA, bukan berarti disyariatkannya menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai perayaan setiap tahun dan itu bukan pula sebagai amal kebajikan.
Dan jika seandainya ini adalah murni kebaikan atau yang raajih, maka para salaf, semoga Allah meridhoi mereka, akan lebih berhak untuk mengamalaknnya daripada kita ; karena mereka sangat lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah SAW daripada kita, dan mereka lebih suka berbuat kebaikan.
Kemudian setelah itu, Syeikhul Islam memberi kecaman terhadap orang-orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari perayaan. Dan beliau berkata dalam “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 124)):
(أكثر هؤلاء تجدهم حرصاء على أمثال هذه البدع مع ما لهم فيها من حسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم به المثوبة ، تجدونهم فاترين في أمر الرسول عما أمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ، أو يصلي فيه قليلاً ، وبمنزلة من يتخذ المسابح والسجادات المزخرفة ، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تشرع ويصحبها من الرياء الكبير والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها).
(Anda akan menemukan sebagian besar dari orang-orang ini tertarik pada hal-hal bid’ah seperti ini meskipun mereka niat baik dan bersungguh-sungguh yang diharapkan oleh mereka adalah pahala baginya.
Kalian akan menemukan mereka tidak bersemangat dalam perintah Rasul yang isinya memerintahkan mereka agar bersemangat dalam mengamalkannya.
Dan sesungguhnya mereka itu hanyalah seperti orang yang mendekorasi masjid, namun dia tidak sholat di dalamnya, atau jarang sholatnya di dalamnya.
Dan seperti halnya mereka yang menggunakan tasbih dan sajadah yang dipenuhi dengan hiasan. Dan yang semisal ini adalah hiasan-hiasan yang bermunculan yang tidak disyariatkan dan disertai dengan rasa riya yang besar dan menyibukkan diri dengan amalan yang merusak kondisi pemiliknya”. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 124)):
Dan beliau dengan jelas menyatakan pada (2/ 290):
بأن إثابة الواقع في المواسم المبتدعة متأولاً أو مجتهداً على حسن قصده لا تمنع النهي عن تلك البدع والأمر بالاعتياض عنها بالمشروع الذي لا بدعة فيه ، وذكر أن ما تشتمل عليه تلك البدع من المشروع لا يعتبر مبرراً لها
“Bahwa pemberian pahala bagi orang yang terjatuh pada amalan-amalan bid'ah musiman yang tidak disengaja yang disebabkan karena dia mentakwil atau berijtihad atas dasar niatnya yang baik ; maka itu tidak menghalangi untuk melarang bid’ah-bid’ah tsb dan memerintahkan untuk menggantinya dengan kegiatan yang tidak mengandung bid'ah. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 290)):
TIDAK ADA KONTRADIKSI
Tidak ada kontradiksi antara ucapan beliau “ bid'ahnya merayakan kelahiran Nabi SAW” dan antara ucapannya “ ada harapan pelakunya mendapat pahala karena niat baiknya “.
Karena pendekatan Ibnu Taimiyah yang ia ikuti adalah harapan imbalan dan pahala bagi seorang muslim dengan niat dan tujuan yang baik dalam hal-hal yang sedemikian rupa sehingga telah menimbulkan kekeliruan atas banyak umat Islam dalam memahami hukum yang dimaksud karena ketidaktahuan atau salah penafsiran.
Nah ini, beliau mengatakan dalam Majmu' al-Fataawa (12/494) dalam konteks pembasasannya tentang Takfiir (menghukumi kafir seorang Muslim):
فمن كان قد آمن بالله ورسوله ولم يعلم بعض ما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم فلم يؤمن به تفصيلاً إما لأنه لم يسمعه أو سمعه من طريق لا يجب التصديق بها، أو اعتقد معنىً آخر لنوع من التأويل الذي يعذر به، فهذا قد جعل فيه من الإيمان بالله ورسوله ما يوجب أن يثيبه الله عليه، وما لم يؤمن به فلم تقم عليه به الحجة التي يكفر مخالفها. انتهى.
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengetahui sebagian dari apa yang dibawa oleh Rasul SAW dan tidak beriman dengannya secara rinci, baik karena dia tidak mendengarnya, atau mendengarnya dari sumber yang tidak harus percayai, atau dia meyakininya dengan arti lain dari semacam interpretasi yang ma’dzur (dimaafkan).
Maka ini telah membuatnya termasuk orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengharuskan Allah memberinya pahala untuk amalan itu. (Kutipan sudah selesai).
Ini adalah MANHAJ beliau Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menelusuri sesuatu yang bisa dijadikan udzur bagi bagi sebagian umat Islam yang melakukan bid'ah atau perkara yang membuatnya kafir, karena pada dirinya terdapat syubhat-syubhat (keraguan) dan adanya semacam interpretasi yang menghalangi dirinya untuk mengetahui yang benar, maka dengan demikian tidak bisa dikatakan: bahwa Ibnu Taimiyah menyetujui bid'ah ini atau perkara ini yang mengantarkan pada kekafiran. Beliau membedakan antara ini dan itu.
KONSEP UMUM & MANHAJ IBNU TAIMIYAH DALAM “NAHYI MUNKAR”
Pernyataan Syekh al-Islam tentang berpahalanya orang yang terjatuh dalam peringatan maulid Nabi SAW itu tidak menunjukkan disyari’atkannya peringatan maulid ; karena dalam hal mirip seperti ini beliau punya konsep umum yang menyatakan sbb:
أنه "قد يفعل الرجل العمل الذي يعتقده صالحًا، ولا يكون عالمـًا أنه منهي عنه، فيثاب على حسن قصده، ويُعفى عنه لعدم علمه. وهذا باب واسع. وعامة العبادات المبتدعة المنهي عنها، قد يفعلها بعض الناس، ويحل له بها نوع من الفائدة، وذلك لا يدل على أنها مشروعة بل لو لم تكن مفسدتها أغلب من مصلحتها لما نهي عنها. ثم الفاعل قد يكون متأولا، أو مخطئا مجتهدا أو مقلدا، فيغفر له خطؤه ويثاب على ما فعله من الخير المشروع المقرون بغير المشروع، كالمجتهد المخطئ"
Bahwa: "seseorang terkadang melakukan suatu amalan yang dia yakini baik, dan dia tidak tahu bahwa itu dilarang, maka dia akan diberi pahala atas niat baiknya, dan dia akan diampuni karena dia tidak mengetahui. Ini adalah bab yang luas.
Dan semua ibadah bid'ah yang dilarang, terkadang dilakukan oleh sebagian orang, dan itu dibolehkan bagi mereka karena adanya satu macam kemaslahatan, namun ini bukan berarti menunjukkan bahwa itu di syariatkan, akan tetapi kalau bukan karena mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya, maka itu tidak akan dilarang.
Kemudian pelakunya bisa jadi karena dia mentakwilnya, atau dia salah berijtihad atau dia bertaqlid, maka kesalahannya akan diampuni dan dia akan diberi pahala atas apa yang dia lakukan dari kebaikan yang disyari’atkan yang dicampuri dengan yang tidak di syariatkan, sama seperti seorang mujtahid yang salah dalam berijtihad “. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 290))
Dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
"من كان له نيةٌ صالحة أثيب على نيته، وإن كان الفعل الذي فعله ليس بمشروع، إذا لم يتعمد مخالفة الشرع"
“Barangsiapa yang memiliki niat baik, akan diberi pahala atas niatnya, meskipun amalan yang dia lakukan tidak disyariakan, selama dia tidak bermaksud melanggar hukum syar’i”. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/251))
Seperti halnya beliau juga menyatakan dalam pembahasannya tentang tingkatan-tingkatan amalan:
"أن العمل الذي يرجع صلاحه لمجرد حسن القصد ليس طريقة السلف الصالح ، وإنما ابتلى به كثير من المتأخرين ، وأما السلف الصالح فاعتناؤهم بالعمل الصالح المشروع الذي لا كراهة فيه بوجه من الوجوه ، وهو العمل الذي تشهد له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم".
“ Bahwa amalan yang standar kebenarannya hanya bersandar kepada niat baik belaka ; maka itu bukanlah jalan para salaf yang saleh, melainkan itu adalah musibah yang telah menimpa banyak orang dari kalangan muta’akhiriin.
Adapun para salaf yang saleh, maka kepedulian mereka itu terhadap amal saleh yang disyariatkan yang tidak dibenci sedikit pun, dan itu adalah amalan yang berdasarkan sunnah Rasulullah SAW “.
Kemudian beliau berkata:
(وهذا هو الذي يجب تعلمه وتعليمه ، والأمر به على حسب مقتضى الشريعة من إيجاب واستحباب)
(Inilah yang harus dipelajari dan diajarkan, dan perintah itu sesuai dengan tuntunan syariat, seperti wajib dan istihbaab). (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/128))
Lalu tambahkan ke ini perkataan Syekhul-Islam tentang pahala maulid Nabi SAW, yaitu:
(فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم ؛ لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم... إلخ)
(Mengagungkan hari kelahiran dan menjadikannya musiman sebagian orang mungkin melakukannya dan baginya mendapat pahala yang besar ; karena niat baiknya dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW... dst).
Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Sheikh dlm “ملحق رسالة " حكم المولد والرد على من أجازه "” menjelaskannya:
إنما ذكره بصدد الكلام على عدم محاولة إنكار المنكر الذي يترتب على محاولة إنكاره الوقوع فيما هو أنكر منه ، يعني أن حسن نية هذا الشخص ـ ولو كان عمله غير مشروع ـ خير من إعراضه عن الدين بالكلية.
“Akan tetapi beliau menyebutkannya itu dalam konteks berbicara tentang: tanpa adanya usaha untuk mengingkari kemungkaran, yang dikhawatirkan jika diingkarinya itu malah akan menyebabkannya jatuh ke dalam sesuatu yang ia ingkari - yakni niat baik orang ini - meskipun amalannya itu tidak disyariatkan, namun itu lebih baik dari pada dia meninggalkan agama sepenuhnya”.
(Referensi: ملحق رسالة " حكم المولد والرد على من أجازه " للشيخ محمد بن إبراهيم.... http://www.saaid.net › Maoled)
Dan sehubungan dengan MANHAJ NAHYI MUNKAR, jika itu akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, Syeikhul Islam berkata:
(إذا رأيت من يعمل هذا ـ أي المنكر ـ ولا يتركه إلا إلى شر منه فلا تدع إلى ترك منكر بفعل ما هو أنكر منه ، أو بترك واجب أو مندوب تركه أضر من فعل ذلك المكروه).
(Jika Anda melihat seseorang yang melakukan ini - yaitu kemungkaran - dan dia tidak akan meninggalkannya kecuali untuk sesuatu yang lebih buruk dari itu, maka anda jangan menyerukannya untuk meninggalkan sebuah kemungkaran dengan melakukan sesuatu yang lebih mungkar darinya, atau dengan meninggalkan suatu perbuatan wajib atau sunnah yang jika ditinggalkannya akan lebih berbahaya bagi orang yang melakukan perbuatan yang tidak disukai itu). (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/125))
Dalam hal ini beliau mempertimbangkan konsekuensi dari upaya untuk menghilangkannya, karena khawatir jatuh pada yang lebih mungkar dari nya, ini sebagai udzur untuk tidak berupaya mengingkarinya. Dan masuk dalam Bab mempertimbangkan kadar mashlahat dan mafsadat. Dan Syeikul Islam telah menjelaskannya panjang dan lebar dalam Risalahnya: “الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر”
Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Sheikh dlm “ملحق رسالة: حكم المولد والرد على من أجازه” berkata:
وليس النهي عن الاحتفال بالمولد من ناحية قراءة السيرة ، بل من ناحية اعتقاد ما ليس مشروعاً ، والتقرب إلى الله تعالى بما لم يقم دليل على التقرب به إليه
Larangan merayakan Maulid bukan dari sudut membaca Siiroh (biografi), melainkan dari sudut pandang meyakini sesuatu yang tidak disyariatkan dalam Islam, dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tidak ada dalil untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
(Referensi: ملحق رسالة " حكم المولد والرد على من أجازه " للشيخ محمد بن إبراهيم.... http://www.saaid.net › Maoled)
Dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
إِذَا تَعَارَضَتِ اْلمَصَالِحُ وَالْمَفَاسِدُ وَالْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ أَوْ تَزَاحَمَتْ، فَإِنَّهُ يَجِبُ تَرْجِيحُ الرَّاجِحِ مِنْهَا فِيمَا إِذَا اْزدَحَمَتِ اْلمَصَالِحُ وَالْمَفَاسِدُ، وَتَعَارَضَتِ اْلمَصَالِحُ وَالْمَفَاسِدُ. فَإِنَّ اْلأَمْرَ وَالنَّهْيَ وَإِنْ كَانَ مُتَضَمِّنًا لِتَحْصِيلِ مَصْلَحَةٍ وَدَفْعِ مَفْسَدَةٍ فَيُنْظَرُ فِي اْلمُعَارِضِ لَهُ، فَإِنْ كَانَ الَّذِي يَفُوتُ مِنَ اْلمَصَالِحِ أَوْ يَحْصُلُ مِنَ اْلمَفَاسِدِ أَكْثَرُ، لَمْ يَكُنْ مَأْمُورًا بِهِ، بَلْ يَكُونُ مُحَرَّماً إِذَا كَانَتْ مَفْسَدَتُهُ أَكْثَرَ مِنْ مَصْلَحَتِهِ لَكِنْ اِعْتِبَارُ مَقَادِيرِ اْلمَصَالِحِ وَالْمَفَاسِدِ هُوَ بِمِيزَانِ الشَّرِيعَةِ، فَمَتَى قَدَرَ اْلإِنْسَانُ عَلىَ اِتَّبَاعِ النُّصُوصِ لَمْ يَعْدِلْ عَنْهَ، وَإِلاّ اِجْتَهَدَ رَأْيَهُ لِمَعْرِفَةِ اْلأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ.
" Jika terjadi kontradiksi atau campur baur antara beberapa maslahat dan beberapa kerusakan, beberapa kebaikan dan beberapa keburukan, wajib diadakan tarjih (menentukan yang lebih besar dan dominan). Sekalipun perintah dan larangan (syariat) mengandung pencapaian maslahat dan penolakan mafsadah, namun perlu dilihat juga kebalikannya. Jika maslahat yang lepas lebih besar, atau mafsadah yang terjadi lebih besar, maka saat itu (perintah syariat) tersebut tidak diperintahkan, bahkan diharamkan apabila mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya.
Namun pertimbangan kadar maslahat dan mafsadat adalah dengan parameter (tolok ukur) syariat. Kapan seseorang mampu untuk mengikuti nash-nash syariat, ia tidak boleh keluar darinya. Jika tidak mampu mengikuti nash, maka ia harus berijtihad untuk mengetahui hal-hal yang semisal dan serupa dengan perintah yang harus dikerjakan tersebut." (Baca: Majmu' Fatawa 28/129).
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya “إعلام الموقعين” 4/339-340 menegaskan pandangan gurunya, syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah tentang Nahyi Munkar yang berbasis maslahat:
إنكار المنكر أربع درجات: الأولى: أن يزول ويخلُفُه ضدُّه. الثانية: أن يقل وإن لم يزل بجملته. الثالثة: أن يخلُفَه ما هو مثُلُه. الرابعة: أن يخلفه ما هو شر منه. فالدرجتان الأوليَاَنِ مشروعتان، والثالثة موضع اجتهاد، والرابعة محرمة
“Ada empat tingkatan dalam mengubah kemungkaran:
Pertama: kemungkaran harus lenyap dan digantikan dengan kebalikannya, yakni yang ma’ruf;
Kedua: kemungkaran harus diminimalisir, meski sebagian besarnya masih tetap ada;
Ketiga: kemunkaran harus diganti dengan kemungkaran serupa;
Keempat: kemungkaran harus diganti dengan yang lebih mungkar lagi.
Dua tingkatan pertama sesuai dengan syariat. Yang ketiga masih dalam ranah ijtihad. Sedangkan yang keempat, diharamkan.”
Kemudian Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menambahkan:
فإذا رأيت أهل الفجور والفسوق يلعبون بالشطرنج كان إنكارك عليهم من عدم الفقه والبصيرة إلا إذا نقلتهم منه إلى ما هو أحبّ إلى الله ورسوله كَرَمْي النشَّاب وسباق الخيل ونحو ذلك. وإذا رأيت الفساق قد اجتمعوا على لهو ولعب أو سماع مُكاءَ وتَصْدِية (صفير) فإن نقلتهم عنه إلى طاعة الله فهو المراد، وإلا كان تركهم على ذلك خيراً من أن تفرغهم لما هو أعظم من ذلك، فكان ما هم فيه شاغلاً لهم عن ذلك، وكما إذا كان الرجل مشتغلاً بكُتُب المجون ونحوها وخِفْتَ من نقله عنها انتقاله إلى كتب البدع والضلال والسحر فَدَعْهُ وكتبه الأولى
“Jika engkau melihat orang fasik bermain catur lalu engkau berusaha untuk menegurnya, maka teguran engkau ke mereka itu adalah berasal dari ketidakpahaman soal fikih dan bashiirah. Kecuali, jika engkau bisa mengalihkan mereka ke kegiatan yang lebih disukai oleh Allah dan Rasulnya seperti berlatih memanah, balapan kuda dan seterusnya.
Jika engkau melihat orang fasik sedang kumpul bersenang-senang, bermain-main atau mendengar mereka bertepuk-tepuk tangan dan bersiul-siul (bersuit-suit), maka jika engkau bisa mengalihkan mereka kepada ketaatan kepada Allah, ini tentu yang dimaksud dalam agama.
Jika tidak bisa mengalihkan mereka, maka membiarkan mereka tetap berbuat seperti itu adalah lebih baik daripada akan berdampak kepada mudarat yang lebih besar. Karena tindak tanduk seperti itu memang sudah merupakan kebiasaan mereka, maka biarkan saja.
Ini sama seperti halnya jika ada seorang laki-laki yang sibuk membaca buku cerita-cerita yang tak berguna dan lain-lain dan engkau khawatir jika mencoba menegurnya, dia malah beralih membaca buku-buku bi’dah, kesesatan dan sihir. Jadi biarkan saja dia seperti itu.”
Kemudian Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menambahkan lagi:
" فإذا كان إنكار المنكر يستلزم ما هو أنكر منه وأبغض إلى الله ورسوله فإنه لا يسوغ إنكاره، وإن كان الله يبغضه وأهله. وهذا كالإنكار على الملوك والوُلاَة بالخروج عليهم؛ فإنه أساس كل شر وفتنة إلى آخر الدهر. وقد استأذن رسولَ الله في قتال الأمراء الذين يؤخرون الصلاة عن وقتها، وقالوا: أفلا نقاتلهم؟ فقال: لا، ما أقاموا الصلاة». وقال: «مَنْ رأى من أميره ما يكرهه فليصبر ولا ينزعَنَّ يداً من طاعته"
“Jika menegur adanya kemungkaran akan mendatangkan hal yang lebih mungkar dan lebih dibenci lagi oleh Allah, janganlah engkau lakukan, meski di mata Allah kemungkaran seperti itu dan para pelakunya paling dibencinya. Ini ibarat berusaha mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh raja dan gubernurnya dengan cara memberontak kepada mereka.
Pemberontakan kepada pemerintah adalah sumber kejahatan dan malapetakan sampai hari kiamat nanti.
Ada sahabat yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk memerangi para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, dan para sahabat itu bertanya:
“ Haruskah kita perangi mereka ya Rasulallah?
Rasulullah SAW menjawab: “ tidak, selagi mereka mendirikan shalat.”
Dan Beliau SAW kemudian bersabda: “barangsiapa yang melihat pemimpinnya melakukan perbuatan yang dibenci, bersabarlah dan jangan sampai dia melepaskan ketaatan kepadanya.”
(Baca: “إعلام الموقعين” 4/339-340, cet ke 1, thn 1427, Dar Ibnu al-Jauzi)
Lalu Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah bercerita:
وَسَمِعْت شَيْخَ الْإِسْلَامِ بن تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ وَنَوَّرَ ضَرِيحَهُ يقول مَرَرْت أنا وَبَعْضُ أَصْحَابِي في زَمَنِ التَّتَارِ بِقَوْمٍ منهم يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ فَأَنْكَرَ عليهم من كان مَعِي فَأَنْكَرْت عليه وَقُلْت له إنَّمَا حَرَّمَ اللَّهُ الْخَمْرَ لِأَنَّهَا تَصُدُّ عن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ وَهَؤُلَاءِ يَصُدُّهُمْ الْخَمْرُ عن قَتْلِ النُّفُوسِ وَسَبْيِ الذُّرِّيَّةِ وَأَخْذِ الْأَمْوَالِ فَدَعْهُمْ) وهذا من عظيم فقهه، فقد نظر فوجد أن المصلحة المجتباة من منعهم تتعارض بمفسدة قتل المسلمين وسلبهم، فقدم درء المفسدة على جلب المصلحة
”Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruh beliau dan menerangi kuburnya-, beliau berkata: Aku dan sebagian sahabatku di zaman Tar Tar melewati sebagian tentara Tar Tar sedang minum Khomr.
Orang yang bersama aku mengingkari mereka, maka akupun mengingkari perbuatan sahabatku ini, aku katakan kepada mereka: Bahwa Allah mengharamkan Khomr karena ia menghalangi manusia dari dzikir dan shalat. Sedangkan para tentara Tar Tar ini, mereka dihalangi oleh Khomr dari membunuh manusia dan memperbudak wanita serta merampas harta, jadi biarkan saja mereka.
Ini menunjukkan betapa besarnya pemahaman beliau (Syaikhul Islam), beliau melihat dan mendapatkan bahwa manfaat terbesar yang didapatkan dengan cara menghalangi tentara Tar Tar minum Khamr, berbenturan dengan musibah akan terbunuhnya kaum muslimin. Sehingga beliau mendahulukan untuk menolak kerusakan dari pada mengambil manfaat.”
(Baca: “إعلام الموقعين” 4/340, cet ke 1, thn 1427, Dar Ibnu al-Jauzi)
Abu Daud dalam “مسائل الإمام أحمد” hal. 372 meriwayatkan:
فقد سئل الإمام أحمد رحمه الله عن رجل له والدة تسيء الصلاة والوضوء. فقال: يأمرها ويعلمها. قال: تأبى أن يعلمها ، تقول: أنا أكبر منك تعلمني ! قال: فترى له أن يهجرها أو يضربها على ذلك ؟ قال: لا ، ولكن يعلمها ويقول لها ، وجعل يأمره أن يأمرها بالرفق
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang memiliki ibu yang melakukan shalatnya dan wudhunya dengan cara yang buruk.
Maka beliau berkata: Suruh laki-laki itu memerintahkannya dan mengajarinya.
Dia berkata: Ibunya menolak untuk diajari oleh anaknya dengan mengatakan: Aku lebih tua darimu, bagaimana mungkim kamu mengajariku ? “.
Dia bertanya: Apakah anda berpendapat agar lelaki itu meng hajer ibunya (mengukucilkannya) atau memukulnya karena hal itu?
Beliau menjawab: “Tidak, tetapi dia tetap harus mengajarinya dan berkata kepadanya”, Lalu beliau menasihatinya agar menyuruh ibunya dengan lembut. (Baca: “مسائل الإمام أحمد” riwayat Abu Daud hal. 372).
ARGUMENT TAMBAHAN
Perkataan Ibnu Taimiyah ini tiada lain hanyalah pahala untuk niat dan tujuan yang baik, dan pernyataan itu tidak berarti mensyariatkan suatu kegiatan yang muncul dari ungkapannya. Oleh karena itu, Syekh al-Islam menyebutkan bahwa tindakan ini - yaitu merayakan hari lahir (maulidan) itu tercela bagi seorang mukmin yang lurus.
Di antara dalil-dalil yang menguatkan bahwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak bermaksud membenarkan perayaan maulid adalah pernyataannya dalam kitab-kitabnya yang lain yang melarangnya.
Beliau mengatakan dalam (Majmu' al-Fatawa 25/298):
(أما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول التي يقال: إنها ليلة المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال: عيد الأبرار فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف الصالح ولم يفعلوها).
Adapun menjadikan amalan musiman selain amalan-malan musiman yang syar’i, seperti beberapa malam di bulan Rabi' al-Awwal, yang dikatakan sebagai malam Maulid, atau beberapa malam Rajab, atau delapan belas Dzul-Hijjah, Atau Jumat pertama Rajab, atau kedelapan Syawal, yang dinamai oleh orang-orang bodoh sebagai: hari raya orang-orang saleh, maka sesungguhnya itu adalah salah satu dari bid'ah-bid’ah yang tidak disukai dan tidak dilakukan oleh para salaf yang saleh “. (Majmu' al-Fatawa 25/298)
Dan beliau juga berkata dalam sebagian fatwa-fatwanya:
(فأما الاجتماع في عمل المولد على غناء ورقص ونحو ذلك ، واتخاذه عبادة ، فلا يرتاب أحد من أهل العلم والإيمان أن هذا من المنكرات التي ينهى عنها ، ولا يستحب ذلك إلا جاهل أو زنديق)
(Adapun berkumpul dalam amalan maulid (perayaan hari kelahiran) dengan nyanyi-nyanyi dan joget-joget dan sejenisnya, dan menjadikannya sebagai ibadah, maka tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang berilmu dan beriman yang meragukan bahwa ini adalah salah satu dari kemungkaran-kemungkaran yang dilarang, dan hanya orang bodoh atau zindiq yang menyukai itu). (Lihat: Risalah “حكم الاحتفال بالمولد” 1/34)
KESIMPULAN
Kata-kata Syekhul-Islam di sini sama sekali tidak menunjukkan diperbolehkannya bid'ah merayakan Maulid Nabi SAW.
Dan adapun jawaban terhadap orang yang membolehkannya dan berdalil dengan perkataan Syekhul-Islam, maka bisa dijawab dari dua sisi:
Pertama: Perkataan Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berlaku khushus bagi orang-orang yang melakukannya secara jahil.
Syekh Abdul Aziz bin Baz berkata:
"والشيخ تقي الدِّين أحمد بن تيمية رحمه الله ممن يُنكِرُ ذلك (الاحتفال بذكرى المولد النبوي) ويرى أنه بدعة. ولكنه في كتابه (اقتضاء الصراط المستقيم مخالفة أصحاب الجحيم) ذكر في حق مَن فعله جاهلاً، ولا ينبغي لأحدٍ أن يغترَّ بمن فعله من الناس أو حبَّذ فعله أو دعا إليه...؛ لأن الحجة ليست في أقوال الرجال وإنما الحجة فيما قال الله سبحانه أو قاله رسولُه صلى الله عليه وسلم أو أجمع عليه سلف الأمة"
“Dan Syeikh Taqiyuddin Ahmad bin Taymiyyah, semoga Allah merahmatinya, beliau termasuk orang yang mengingkari bahwa “ perayaan maulid Nabi ”. Beliau menganggap bahwa itu adalah bid'ah, akan tetapi dalam kitabnya “ Iqtidha al-Shiraath al-Mustaqiim, mukhoolifata Ashhaabil jahiim “, dia menyebutkan tentang hak orang yang melakukannya karena ketidaktahuan. Dan tidak selayaknya bagi seseorang mau tertipu oleh orang-orang yang melakukannya atau menyukai atau menyerukannya... karena yang benar hujjah itu bukan dari perkataan manusia, akan tetapi hujjah itu adalah apa yang difirmankan Allah SWT atau di sabdakan Rasul-Nya atau Ijma; salaful Ummah ”.
[Baca: “مجموع فتاوى” oleh Syeikh Abdul ‘Aziz bin Baaz (9/211), disusun dan dicetak oleh: Muhammad bin Saad al-Syuway’ir].
Kedua: perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam tiga kutipan kalimat nya diatas ditafsirlan dengan kata-katanya yang barusan kita sebutkan dan ditafsirkan pula dengan perkataannya dalam berbagai kitabnya yang lain, diantaranya:
أن "سائر الأعياد والمواسم المبتدعة من المنكرات المكروهات سواء بلغت الكراهة التحريم أو لم تبلغه"
“Bahwa "Semua bid’ah perayaan dan bid’ah musiman adalah bagian dari kemungkaran-kemungkaran yang dimakruhkan,, baik makruhnya itu sampai pada haram atau tidak sampau padanya ”. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/28))
Dan juga di tafsirkan dengan perkataanya yang lain:
إن "ما أحدث من المواسم والأعياد فهو منكر وإن لم يكن فيه مشابهة لأهل الكتاب"
Sesunnguhnya “Apa pun yang muhdats (bid’ah) dari ibadah musiman dan perayaan ; maka itu adalah mungkar, meskipun tidak menyerupai Ahlul Kitab”. (Baca: “اقتضاء الصراط المستقيم” (2/251))
Ini adalah yang penulis Fahami dari perkataan-perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Wallahu A’lam.
0 Komentar