Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

DIROSAH KISAH UTSMAN BIN HUNAIF (R.A) : “DIA MENGAJARI SESEORANG BER-TAWASSSUL DENGAN NABI ﷺ”.

DIROSAH KISAH UTSMAN BIN HUNAIF (R.A) : “DIA MENGAJARI SESEORANG BER-TAWASSSUL DENGAN NABI ”.

-----

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

-----

-----

[Di kutip dari Buku “Mari Bertawassul” Karya Abu Haitsam Fakhri]

**** 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

SEKILAS BIOGRAFI UTSMAN BIN HUNAIF AL-ANSHARY (R.A)

Utsman bin Hunaif al-Anshary -radhiyallahu ‘anhu- adalah seorang sahabat dari Anshar dari Bani Hanasy bin ‘Auf dari al-Aus. Dia ikut serta bersama Nabi Muhammad semua peperangan setelah Badr. Dan Umar bin Al-Khattab menugaskannya sebagai pengelola penghasilan Tanah Sawad Irak, kemudian Ali bin Abi Thalib mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah sebelum pernag Jamal. Dan dia meninggal pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan -radhiyallahu ‘anhu-.

---

KISAH TAWASSUL INI TERJADI PADA MASA KHALIFAH UTSMAN BIN ‘AFFAAN -radhiyallahu ‘anhu-:

Yaitu: Kisah seseorang yang tidak di tanggapi oleh kholifah Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- ketika meminta bantuan kepadanya, kemudian orang tersebut - atas saran Utsman bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu- berdoa kepada Allah dengan doa tawassul yang pernah Rosulullah ajarkan pada orang buta (dhorir). Dan setelah orang tersebut mengamalkannya, maka kholifah Utsman -radhiyallahu ‘anhu- mengabulkan-nya.

SHAHIHKAH KISAH INI? Mari kita kaji!

Ath-Thabrany dalam kitabnya "Mu'jam Kabiir" 9/30 no. 8311 dan "Mu'jam Shogiir" 1/306 no. 508 meriwayatkan melalui jalur: Abdullah bin Wahab, dari Syabiib bin Sa'id al-Makki, dari Rauh bin Qosim, dari Abu Ja'far al-Khuthomi al-Madani, dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif, dari pamannya Utsman bin Hunaif:

أَنَّ رَجُلًا كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فِي حَاجَةٍ لَهُ فَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِي حَاجَتِهِ فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قُلِ:

"اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ ﷺ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فَيَقْضِي لِي حَاجَتِي".

وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ، وَرُحْ إِلَيَّ حِينَ أَرُوحُ مَعَكَ .

فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ فَجَاءَ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ وَقَالَ: حَاجَتُكَ؟ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ فَقَضَاهَا لَهُ

ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا ذَكَرْتَ حَاجَتَكَ حَتَّى كَانَتْ هَذِهِ السَّاعَةُ، وَقَالَ: مَا كَانَتْ لَكَ مِنْ حَاجَةٍ فَائْتِنَا.

ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ فَقَالَ لَهُ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مَا كَانَ يَنْظُرُ فِي حَاجَتِي وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَيَّ حَتَّى كَلَّمْتَهُ فِيَّ.

فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: وَاللَّهِ مَا كَلَّمْتُهُ وَلَكِنْ «شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَأَتَاهُ رَجُلٌ ضَرِيرٌ فَشَكَا إِلَيْهِ ذَهَابَ بَصَرِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: “أَوَ تَصْبِرُ؟ “

فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ وَقَدْ شَقَّ عَلَيَّ،

فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: “ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ ادْعُ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ»

فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: فَوَاللَّهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَطَالَ بِنَا الْحَدِيثُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ الرَّجُلُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرَرٌ قَطُّ.

Seseorang telah datang menghadap Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- untuk suatu kebutuhan, akan tetapi Utsman -radhiyallahu ‘anhu- tidak memperdulikannya dan tidak memperhatikannya, kemudian orang tersebut bertemu Utsman bin Hunaif -radhiyallahu ‘anhu-, maka dia mengadukan hal tersebut padanya, lalu berkatalah Utsman bin Hunaif -radhiyallahu ‘anhu-:

“Ambillah air wudhu dan berwudhulah, lalu masuklah ke masjid dan shalat lah dua rakaat, lalu katakanlah (berdoalah dengan doa):

“Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, dengan Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap dengan dirimu kepada Rabbmu (Tuhanmu)dalam hajatku ini, agar Dia mengabulkan hajatku ",

Lalu kamu sebutkan kebutuhanmu. Dan nanti selepas kau lakukan itu, datanglah kepada ku, dan kita berangkat sama-sama !!! “.

Maka orang itupun melakukan apa yang di katakan padanya, lalu berangkat menuju rumah Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- dan berhenti di depan pintunya, tidak lama kemudian seorang penjaga pintu datang menghampirinya serta memegang tangannya dan membawanya masuk (menghadap Utsman bin 'Affan), lalu menyuruhnya duduk bersama dengannya di atas tikar.

Kemudian beliau bertanya: “apa hajatmu?”.

Maka orang itu menyebutkan hajatnya, dan beliau (Utsman)pun memberinya. Kemudian beliau berkata padanya:

“Kamu tidak pernah menyebutkan kebutuhanmu kecuali saat ini, jika kamu ada kebutuhan lagi, datanglah pada kami!".

Kemudian orang itu keluar menemui Ustman bin Hunaif -radhiyallahu ‘anhu- dan berkata:

“Semoga Allah membalas kebaikan mu, (karena)sebelumnya dia tidak pernah mau memandang kebutuhanku, dan tidak pernah memperhatikannya sampai kamu berbicara padanya ".

Maka Utsman bin Hunaif -radhiyallahu ‘anhu- menjawab:

“Demi Allah, aku tidak bicara apa-apa padanya (pada Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu-) tentangmu, cuma aku pernah menyaksikan Rasulullah (ketika itu) datang padanya seorang yang buta (dhorir ), dia mengadu padanya tentang penglihatanya yang hilang.

Lalu Nabi berkata padanya: “Sabar lah!". Diapun berkata lagi: “Wahai Rosulullah, tidak ada yang menuntunku, dan sungguh amat susah pada diriku ".

Maka Nabi berkata: “Bawalah air wudlu dan berwudlu lah, lalu sholatlah dua rakaat, kemudian berdoalah dengan doa-doa ini!".

Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, tidak berselang lama kami berpisah dan belum lama kami berbincang-bincang, tiba-tiba orang itu keluar kepada kami, seakan-akan dia tidak pernah buta ".

DERAJAT HADITS :

Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitabnya Majma' Zawaid 2/565 berkata:

“Dan sungguh setelah itu Thabrani berkata: “Hadits tersebut sahih“.

(Pensahihan Thabroni ini di katakan) setelah dia menyebutkan jalur-jalur hadits yang meriwayatkannya".

Hujjah yang diambil dari kisah diatas adalah bahwa doa ini tentunya dibaca setelah wafatnya Rasulullah , dan itu diajarkan oleh Utsman bin Hunaif dan dikabulkan Allah.

TANGGAPAN TERHADAP KUTIPAN PEN-SHAHIHAN ATH-THABARANI :

Pertama: Jika seandainya benar kisah Utsman bin Hanif ini, maka ini adalah ijtihad dari beliau.

Kedua: Bantahan terhadap penukilan Al-Haitsami atas kata-kata pensahihan Thabrani.

Yang benar ath-Thabrani tidak bermaksud mensahihkan hadits yang di riwayatkan melalui jalur Syabib bin Said, melainkan mensahihkan hadits lain yang di riwayatkan oleh Syu'bah, yaitu: hadits ضَرِيْرٌ (orang buta)yang tidak menyebutkan kisah tambahan tentang kisah kholifah Utsman bin Affaan -radhiyallahu ‘anhu- dengan orang yang punya hajat tadi.

Berikut ini teks aslinya dari kitab Mu'jam Shogiir 1/306 no. 508 karya Thabrani:

لَمْ يَرْوِهِ عَنْ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ إِلَّا شَبِيبُ بْنُ سَعِيدٍ أَبُو سَعِيدٍ الْمَكِّيُّ، وَهُوَ ثِقَةٌ، وَهُوَ الَّذِي يُحَدِّثُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ شَبِيبٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ الْأَبْلِيِّ.

وَقَدْ رَوَى هٰذَا الْحَدِيثَ شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْخَطْمِيِّ، وَاسْمُهُ عُمَيْرُ بْنُ يَزِيدَ، وَهُوَ ثِقَةٌ، تَفَرَّدَ بِهِ عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ بْنِ فَارِسَ بْنِ شُعْبَةَ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ.

“Tidak ada yang meriwayatkannya dari Rauh bin Al-Qosim kecuali Syabib bin Said Abu Said al-Makki, dan dia tsiqoh (dipercaya ), dan dia yang menceritakan hadits dari Ahmad bi Syabib dari bapaknya (Syabib bin Said)dari Yunus bin Yazid al-Abully.

Dan telah meriwayatkan pula hadits tersebut Su'bah dari Abu Ja'far Al-Khuthomi yang nama lengkapnya Umair bin Yazid, dan dia itu Tsiqoh (dipercaya ). Secara tunggal Utsman bin Umar bin Faris bin Syu'bah meriwayatkannya dengan sanad ini, dan hadist tersebut sahih ".

Tiada keraguan akan kesahihan hadits Syu'bah tentang dhorir (orang buta)yang bertawassul dengan Nabi semasa hidupnya seperti yang telah penulis sebutkan pada pembahasan Tawassul dengan orang saleh dan lainnya semasa hidupnya dan hadir di hadapannya.

Kisah ini diriwayatkan pula oleh ath-Thabrani dalam kitab Mu‘jam al-Kabīr 9/17-18.

Ketiga : Hadits Utsman bin Hunaif ini adalah Dho’if dan Munkar:

Abdur ro’uf Muhammad Utsman dalam Mahabbatur Rasul hal. 267 berkata :

هٰذِهِ الْقِصَّةُ ضَعِيفَةُ الْإِسْنَادِ مُنْكَرَةٌ لَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ بِهَا (لِضَعْفِ حِفْظِ رَاوِيهَا، وَتَفَرُّدِهِ بِهَا، وَمُخَالَفَتِهِ لِلثِّقَاتِ الَّذِينَ رَوَوُا الْحَدِيثَ بِدُونِ ذِكْرِ هٰذِهِ الْقِصَّةِ. اُنْظُرْ: الْقَاعِدَةُ الْجَلِيلَةُ، ص ٩٧ - ١٠٣، وَالتَّوَسُّلُ، ص ٩٢ - ٩٤). 

أَمَّا مِنْ نَاحِيَةِ الْمَتْنِ فَلَيْسَ فِيهِ حُجَّةٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ، لِأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ - لَوْ صَحَّتْ هٰذِهِ الْقِصَّةُ عَنْهُ - لَمْ يُعَلِّمْ ذٰلِكَ الرَّجُلَ دُعَاءَ الضَّرِيرِ بِتَمَامِهِ، فَإِنَّهُ أَسْقَطَ مِنْهُ جُمْلَةً: «اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ، وَشَفِّعْنِي فِيهِ»، لِأَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ ذٰلِكَ الْقَوْلَ يَسْتَلْزِمُ أَنْ يَكُونَ الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَاعِيًا لِذٰلِكَ الرَّجُلِ، كَمَا كَانَ دَاعِيًا لِلْأَعْمَى، وَلَمَّا كَانَ هٰذَا غَيْرَ مُمْكِنٍ شَرْعًا وَلَا قَدَرًا لَمْ يَذْكُرْ هٰذِهِ الْجُمْلَةَ. 

وَأَيْضًا لَوْ قُدِّرَ ثُبُوتُ هٰذِهِ الْقِصَّةِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ لَكَانَ هٰذَا مِمَّا تَفَرَّدَ بِهِ ذٰلِكَ الصَّحَابِيُّ عَنْ غَيْرِهِ، إِذْ لَمْ يُوَافِقْهُ غَيْرُهُ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلَى ذٰلِكَ، وَمِثْلُ هٰذَا لَا تُثْبَتُ بِهِ سُنَّةٌ يُمْكِنُ الْعَمَلُ بِهَا. 

وَالثَّابِتُ عَنْ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ عُدُولُهُمْ عَنِ التَّوَسُّلِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ إِلَى التَّوَسُّلِ بِدُعَاءِ غَيْرِهِ. كَمَا قَدْ صَحَّ ذٰلِكَ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَمُعَاوِيَةَ وَغَيْرِهِمَا (اُنْظُرْ: قَاعِدَةٌ جَلِيلَةٌ، ص ١٠٤ - ١٠٨). 

وَفِي هٰذِهِ الْقِصَّةِ جُمْلَةٌ إِذَا تَأَمَّلَهَا الْعَارِفُ بِفَضَائِلِ الصَّحَابَةِ وَأَحْوَالِهِمْ وَجَدَهَا دَلِيلًا عَلَى نَكَارَتِهَا وَضَعْفِهَا، وَهِيَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ لَا يَنْظُرُ فِي حَاجَةِ ذٰلِكَ الرَّجُلِ وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ! فَهٰذِهِ الْجُمْلَةُ مُنَافِيَةٌ لِمَا عُرِفَ مِنْ خُلُقِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الَّذِي كَانَتْ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ لِشِدَّةِ حَيَائِهِ، هٰذَا مَعَ مَا عُرِفَ عَنْهُ مِنْ رِفْقٍ وَلِينٍ وَتَوَاضُعٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ (اُنْظُرْ: التَّوَسُّلُ، ص ٩٩). 

وَبِهٰذَا يَتَبَيَّنُ لَنَا أَنَّ الِاسْتِدْلَالَ بِهٰذِهِ الْقِصَّةِ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ اسْتِدْلَالٌ بَاطِلٌ.

Kisah ini sanad-nya lemah dan mungkar, tidak boleh dijadikan hujjah (karena lemahnya hafalan perawinya, keterasingannya dalam meriwayatkan kisah ini sendirian, dan penyelisihannya terhadap para perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits tanpa menyebut kisah ini. Lihat: *Al-Qāidah al-Jalīlah*, hlm. 97–103, dan *At-Tawassul*, hlm. 92–94).

Adapun dari sisi matan, maka tidak terdapat dalil di dalamnya yang membolehkan tawassul dengan Nabi setelah wafatnya, karena ‘Utsman bin Hunaif – seandainya kisah ini sah darinya – tidak mengajarkan kepada orang itu doa si buta secara lengkap, karena dia menghilangkan kalimat: *“Allāhumma fa-syaffi‘hu fiyya wasyaffi‘nī fīhi”*, karena dia tahu bahwa ucapan itu mengandung makna bahwa Rasulullah mendoakan orang tersebut, sebagaimana beliau mendoakan orang buta. Dan karena hal itu tidak mungkin secara syar‘i maupun secara takdir, maka kalimat itu tidak disebutkan.

Juga, seandainya kisah ini sah dari ‘Utsman bin Hunaif, maka itu termasuk hal yang beliau riwayatkan sendiri tanpa ada sahabat lain yang menyetujuinya. Dan hal seperti ini tidak bisa dijadikan dasar untuk menetapkan suatu sunnah yang bisa diamalkan.

Yang sahih dari para sahabat senior adalah bahwa mereka meninggalkan tawassul dengan Nabi setelah wafatnya, dan berpindah kepada tawassul dengan doa orang lain. Sebagaimana hal ini sah dari perbuatan ‘Umar, Mu‘awiyah, dan lainnya (lihat: *Al-Qāidah al-Jalīlah*, hlm. 104–108).

Dalam kisah ini juga terdapat satu kalimat yang jika direnungkan oleh orang yang mengenal keutamaan dan keadaan para sahabat, akan tampak jelas bahwa kisah ini mungkar dan lemah. Yaitu bahwa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu tidak memperhatikan kebutuhan orang tersebut dan tidak menoleh kepadanya! Kalimat ini bertentangan dengan akhlak ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang dikenal, yang sampai-sampai malaikat pun merasa malu kepadanya karena sangat besar rasa malunya. Ini di samping kelembutan, kasih sayang, dan kerendahan hati beliau yang sudah terkenal, radhiyallahu ‘anhu wa ‘an ash-hābihi ajma‘īn (lihat: *At-Tawassul*, hlm. 99).

Dengan ini menjadi jelas bahwa berdalil dengan kisah ini untuk membolehkan tawassul dengan Nabi setelah wafatnya adalah dalil yang batil. [SELESAI]

Keempat : Abul Hasan al-Mubarakfuuri dalam Mir’aatul Mafaatih 8/265 berkata :

وَقَالَ الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ حِينَما سُئِلَ عَنِ التَّوَسُّلِ بِالذَّوَاتِ الْفَاضِلَةِ مَا لَفْظُهُ: إِنْ صَحَّ حَدِيثُ الْأَعْمَى فَهُوَ مَقْصُورٌ عَلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَيَكُونُ مِنْ خُصُوصِيَّاتِهِ. وَتَعَقَّبَهُ الْمُجَوِّزُونَ بِقِيَاسِ غَيْرِهِ عَلَيْهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَمِنْ أَدِلَّتِهِمْ أَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَ اللهُ تَعَالَى تَعْظِيمَ أَمْرِهِ وَتَوْقِيرَهُ وَأَلْزَمَ إِكْرَامَهُ، وَقَدْ كَانَتِ الصَّحَابَةُ يَتَبَرَّكُونَ بِآثَارِهِ وَشَعْرِهِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ حُرْمَتَهُ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَعْدَ وَفَاتِهِ وَتَوْقِيرَهُ لَازِمٌ كَمَا كَانَ حَالَ حَيَاتِهِ، كَذَا فِي ((جَلَاءِ الْعَيْنَيْنِ)) (ص ٤٣٨) لِلسَّيِّدِ نُعْمَانِ خَيْرِ الدِّينِ الشَّهِيرِ بِابْنِ الْآلُوسِيِّ الْبَغْدَادِيِّ.

Dan Al-'Izz bin 'Abdus Salam ketika ditanya tentang tawassul dengan zat-zat yang mulia, ia menjawab sebagai berikut: "Jika hadits tentang orang buta itu shahih, maka itu khusus untuk Nabi , dan itu termasuk kekhususan beliau." Pernyataan ini ditanggapi oleh para ulama yang membolehkan dengan melakukan qiyas terhadap selain Nabi . Di antara dalil mereka adalah bahwa Allah Ta'ala telah mewajibkan pengagungan terhadap perintah beliau, penghormatan kepadanya, dan mewajibkan memuliakannya. Para sahabat dahulu bertabarruk dengan peninggalan dan rambut beliau, dan tidak diragukan bahwa kehormatan beliau setelah wafat serta penghormatan kepadanya tetap wajib sebagaimana halnya ketika beliau masih hidup. Demikian disebutkan dalam *Jalā al-‘Aynayn* (hal. 438) karya Sayyid Nu'man Khairuddin yang terkenal dengan nama Ibn al-Alusi al-Baghdadi.

===****===

PROBLEM DALAM KISAH UTSMAN BIN HUNAIF (R.A)

Yang jadi permasalahan di sini adalah tambahan kisah yang secara tunggal, dimana Syabiib bin Sa’id menyebutkannya sendirian, sesuai dengan yang di nyatakan oleh Thabrani sendiri. Kondisi Syabib sendiri masih diperdebatkan terutama jika yang meriwayatkan dari dia adalah Abdullah Ibnu Wahab.

Riwayat Abdullah Ibnu Wahab dari Syabiib bin Sa’id itu dianggap munkar menurut para ulama hadits. Saya lihat ada perbedaan pandangan diantara mereka.

Contohnya: 

Ibnu ‘Adiy dlm kitab “Al-Kāmil fī uafā ar-Rijāl 4/1347“ berkata:

Ibnu Wahab menceritakan darinya hadist-hadist Munkar“.

Kemudian beliau berkata:

" وَلَعَلَّ شَبِيبًا بِمِصْرَ فِي تِجَارَتِهِ إِلَيْهَا كَتَبَ عَنْهُ ابْنُ وَهْبٍ مِنْ حِفْظِهِ فَيَغْلَطَ وَيَهِمَ، وَأَرْجُو أَنَّهُ لَا يَتَعَمَّدُ شَبِيبٌ هٰذَا الْكَذِبَ. اهـ.

“Dan kayaknya ketika Syabiib di Mesir dalam perniagaannya ke sana, Ibnu Wahab menulis dari nya lewat hafalannya, maka terjadi kesalahan hafalan dan wahm (وَهْمٌ ), dan saya berharap bahwa dia tidak dengan sengaja untuk berdusta “.

Dan Kisah ini porosnya pada sanad ini, maka matan nya juga mungkar.

Diperkuat lagi atas kemungkaran kisah ini adalah hadits yang di riwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab “Al-Mustadrak 1/526-527“, dan Ibnu as-Sunny dalam kitab “‘Amal al-Yawm wa al-Laylah, hal. 170“ dari jalur berikut ini:

مِنْ طَرِيقِ أَحْمَدَ بْنِ شَبِيبٍ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْمَدَنِيِّ، وَهُوَ الْخَطْمِيُّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَمِّهِ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، وَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ... دُونَ الْقِصَّةِ.

Dari jalur Ahmad bin Syabiib bin Sa’iid, dia berkata: telah bercerita kepada kami Ayahku, dari Rouh bin Qoosim daro Abu Ja’far al-Madany al-Khuthomy, dari Abu Umamah bin Sahal bin Haniif dari Pamannya ‘Ustman bin Haniif, dia berkata: aku mendengar Rosulullah r, dan datang kepadanya seorang lelaki …. dst, tanpa menyebutkan kisah lelaki yang datang kepada Utsman bin ‘Affan.

Asy-Syeikh Sholeh Aali asy-Syeikh dalam kitab “هٰذِهِ مَفَاهِيمُنَا hal. 39 “:

وَهٰذِهِ الرِّوَايَةُ أَصَحُّ؛ لِأَنَّهَا مِنْ رِوَايَاتِ أَحْمَدَ بْنِ شَبِيبٍ عَنْ أَبِيهِ، قَالَ الْحَافِظُ فِي "التَّقْرِيبِ" فِي تَرْجَمَةِ شَبِيبٍ: "لَا بَأْسَ بِحَدِيثِهِ مِنْ رِوَايَاتِ ابْنِهِ أَحْمَدَ عَنْهُ، لَا مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ وَهْبٍ" اهـ.

فَأَحْمَدُ بْنُ شَبِيبٍ، وَهُوَ الرَّاوِي الْمُخْتَصُّ بِأَبِيهِ، لَمْ يَذْكُرِ الْقِصَّةَ عَنْ أَبِيهِ، وَهِيَ مِنْ نَفْسِ الطَّرِيقِ الَّتِي رَوَاهَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ شَبِيبٍ، فَدَلَّ تَفَرُّدُ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ شَبِيبٍ عَلَى نَكَارَتِهَا، وَدَلَّتْ مُخَالَفَةُ رِوَايَةِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ شَبِيبٍ – وَهِيَ مُنْكَرَةٌ – لِرِوَايَةِ أَحْمَدَ بْنِ شَبِيبٍ عَنْ أَبِيهِ شَبِيبٍ، دَلَّ ذٰلِكَ عَلَى شِدَّةِ نَكَارَتِهَا وَبُطْلَانِهَا، وَأَنَّهَا يُمْكِنُ أَنْ تَكُونَ مَكْذُوبَةً.

“Ini adalah riwayat yang paling shahih ; karena, itu adalah bagian dari riwayat-riwayat Ahmad bin Syabiib dari Ayahnya.

Al-Haafiidz Ibnu Hajar dalam kitab “at-Taqriib “dalam pembahasan biografi Syabiib “, dia berkata:

“Tidaklah mengapa dengan haditsnya jika dari riwayat-riwayat anaknya Ahmad darinya, tapi tidak dari riwayat Ibnu Wahab “.

Maka Ahmad bin Syabib, dia itu adalah perawi khusus dari ayahnya, tapi dia tidak menyebutkan kisah lelaki tersebut dari ayahnya, padahal itu dari jalur yang sama seperti yang diriwayatkan Ibnu Wahab dari Syabiib. Maka ini menunjukkan bahwa Ibnu Wahab secara tunggal meriwayatkan dari Syabiib matan yang mungkar.

Dan dengan adanya riwayat Ibnu Wahab dari Syabib ini menyelisihi riwayat Ahmad bin Syabiib dari Ayahnya – Syabiib – ; ini menunjukkan betapa dasyatnya kemungkaran dan kebatilannya, dan bisa jadi kisah itu dusta yang dibikin-bikin “. (هٰذِهِ مَفَاهِيمُنَا hal. 39).

Di tambah lagi dalam sanad nya terdapat Syeikh nya Imam ath-Thabraany, yaitu Thoohir bin ‘Iisaa (طَاهِرُ بْنُ عِيسَى ), dia itu Majhul tidak dikenal dengan ‘adaalahnya (عَدَالَةٌ)nya seperti yang disebutkan oleh adz-Dzahabi, karena beliau diam tentang dia, tidak men jarh dan tidak pula men ta’diil, maka dia kondisinya tidak dikenal (مَجْهُولُ الْحَالِ), tidak boleh berhujjah dengan khabarnya, apalagi kandungannya menyelisihi al-Quran dan as-Sunnah, seperti yang dikatakan oleh asy-Syeikh Sulaiman bin ‘Abdullah dalam kitab “Taysīr al-Azīz al-amīd hal. 212 “.

Riwayat Ibnu Wahab ini memang ada mutaaba'ah (penguat) riwayat dari dia, yaitu dua putra Syabib yang bernama Ismail dan Ahmad.

Adapun Ismail, ia sama sekali tidak di kenal sebagai perawi di kalangan ulama hadits. Sedangkan saudaranya Ahmad adalah shoduq (hafalannya tidak bagus ).

Sementara bapaknya Syabib bin Said dia itu tsiqoh (dipercaya)tapi hafalannya lemah, hadits dia baru bisa di jadikan hujjah jika yang meriwayatkan dari dia adalah putranya Ahmad, dan Syabib sendiri meriwayatkannya dari Yunus bin Yazid, seperti yang dikatakan Thabrani tadi.

(Lihat pula: ميزان الاعتدال karya Adz-Dzahabi 2/262, الجرح والتعديل karya Ibnu Abi Hatim 4/359 no. 1572 dan مقدمة فتح الباري karya Al-Hafidz Ibnu Hajar hal. 133).

Lagi pula riwayat Ahmad putra Syabib ini berbeda-beda, seperti yang diriwayatkan Ibnu Sinni dalam kitabnya “عمل اليوم والليلة hal. 202 “dan Al-Hakim 1/526 melalui tiga jalur dari Ahmad bin Syabib tanpa adanya kisah tambahan.

Begitu juga riwayat ‘Aun bin Ammaaroh al-Bashry, dia berkata: telah bercerita pada kami Rauh bin al-Qosim dan seterusnya dengan sanad yang sama tanpa ada kisah tambahan.

Meskipun Aun ini dlaif, tapi riwayatnya lebih diutamakan dari pada riwayat Syabib, karena cocok dengan riwayat Hammad bin Salamah dari Abu Ja'far al-Khuthomi.

Syeikh Al-Albaani dalam kitab At-Tawassul hal. 85-86 berkata:

“Kesimpulannya: Sesungguhnya kisah tambahan ini lemah dan mungkar, karena ada tiga faktor:

• Lemahnya hafalan perawi tunggal.

• Adanya perbedaan riwayat kisah tambahan dalam hadist.

• Bertabrakan dengan para perawi yang tsiqoot yang tidak menyebutkan kisah tambahan dalam hadits.

• Sementara satu faktor saja dari yang tiga itu sudah cukup untuk menjatuhkan keabsahan dan kesahihan kisah tersebut, maka bagaimana jika kumpul tiga-tiganya?.

===****=== 

PENJELASAN IBNU TAIMIYAH rahimahullah

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata :

وَفِي الْبَابِ حِكَايَاتٌ عَنْ بَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ رَأَى مَنَامًا قِيلَ لَهُ فِيهِ: اُدْعُ بِكَذَا وَكَذَا وَمِثْلُ هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَقَدْ ذَكَرَ بَعْضَ هَذِهِ الْحِكَايَاتِ مَنْ جَمَعَ الْأَدْعِيَةَ

وَرُوِيَ فِي ذَلِكَ أَثَرٌ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ مِثْلُ مَا رَوَاهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ (مُجَابِي الدُّعَاءِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ سَمِعْت كَثِيرَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ رِفَاعَةَ يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبْجَرَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ: بِك دَاءٌ لَا يَبْرَأُ. قَالَ: مَا هُوَ؟ قَالَ: الدُّبَيْلَةُ. قَالَ فَتَحَوَّلَ الرَّجُلُ فَقَالَ: اللَّهَ اللَّهَ اللَّهَ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَجَّهُ إلَيْك بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا يَا مُحَمَّدُ إنِّي أَتَوَجَّهُ بِك إلَى رَبِّك وَرَبِّي يَرْحَمُنِي مِمَّا بِي. قَالَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ: قَدْ بَرِئْت مَا بِك عِلَّةٌ.

Dan dalam bab ini terdapat kisah-kisah dari sebagian orang bahwa ia melihat dalam mimpi, ada yang berkata kepadanya: “Berdoalah dengan doa ini dan itu”. Dan hal seperti ini tidak boleh dijadikan dalil menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Beberapa dari kisah-kisah tersebut disebutkan oleh orang yang mengumpulkan doa-doa.

Diriwayatkan dalam hal ini sebuah atsar dari sebagian salaf, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab *Mujabiy ad-Du‘a*:

Ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Hashim, ia berkata: Aku mendengar Katsir bin Muhammad bin Katsir bin Rifa‘ah berkata:

Seorang laki-laki datang kepada Abdul Malik bin Sa‘id bin Abjar, lalu ia memeriksa perutnya dan berkata: “Engkau mengidap penyakit yang tidak ada kesembuhannya.” Laki-laki itu bertanya: “Penyakit apa?” Ia menjawab: Dubailah (semacam bisul dalam perut).”

Maka laki-laki itu berpaling dan berkata: “Allah, Allah, Allah Rabbku, aku tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat . Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Rabbmu dan Rabbku agar Dia merahmatiku dari apa yang menimpaku.”

Lalu diperiksa kembali perutnya, dan dikatakan: “Engkau telah sembuh, tidak ada lagi penyakit padamu.”

Lalu Ibnu Taimiyah melanjutkan perkataannya:

قُلْت: فَهَذَا الدُّعَاءُ وَنَحْوُهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ دَعَا بِهِ السَّلَفُ وَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ فِي مَنْسَكِ المروذي التَّوَسُّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّعَاءِ وَنَهَى عَنْهُ آخَرُونَ.

فَإِنْ كَانَ مَقْصُودُ الْمُتَوَسِّلِينَ التَّوَسُّلَ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ وَبِمُوَالَاتِهِ وَبِطَاعَتِهِ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ الطَّائِفَتَيْنِ وَإِنْ كَانَ مَقْصُودُهُمْ التَّوَسُّلَ بِذَاتِهِ فَهُوَ مَحَلُّ النِّزَاعِ وَمَا تَنَازَعُوا فِيهِ يُرَدُّ إلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ.

وَلَيْسَ مُجَرَّدُ كَوْنِ الدُّعَاءِ حَصَلَ بِهِ الْمَقْصُودُ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ سَائِغٌ فِي الشَّرِيعَةِ فَإِنَّ كَثِيرًا مِنْ النَّاسِ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ الْكَوَاكِبِ وَالْمَخْلُوقِينَ وَيَحْصُلُ مَا يَحْصُلُ مِنْ غَرَضِهِمْ وَبَعْضُ النَّاسِ يَقْصِدُونَ الدُّعَاءَ عِنْدَ الْأَوْثَانِ وَالْكَنَائِسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَيَدْعُو التَّمَاثِيلَ الَّتِي فِي الْكَنَائِسِ وَيَحْصُلُ مَا يَحْصُلُ مِنْ غَرَضِهِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَدْعُو بِأَدْعِيَةِ مُحَرَّمَةٍ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَيَحْصُلُ مَا يَحْصُلُ مِنْ غَرَضِهِمْ.

فَحُصُولُ الْغَرَضِ بِبَعْضِ الْأُمُورِ لَا يَسْتَلْزِمُ إبَاحَتَهُ وَإِنْ كَانَ الْغَرَضُ مُبَاحًا فَإِنَّ ذَلِكَ الْفِعْلَ قَدْ يَكُونُ فِيهِ مَفْسَدَةٌ رَاجِحَةٌ عَلَى مَصْلَحَتِهِ وَالشَّرِيعَةُ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَإِلَّا فَجَمِيعُ الْمُحَرَّمَاتِ مِنْ الشِّرْكِ وَالْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْفَوَاحِشِ وَالظُّلْمِ قَدْ يَحْصُلُ لِصَاحِبِهِ بِهِ مَنَافِعُ وَمَقَاصِدُ لَكِنْ لَمَّا كَانَتْ مَفَاسِدُهَا رَاجِحَةً عَلَى مَصَالِحِهَا نَهَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ عَنْهَا كَمَا أَنَّ كَثِيرًا مِنْ الْأُمُورِ كَالْعِبَادَاتِ وَالْجِهَادِ وَإِنْفَاقِ الْأَمْوَالِ قَدْ تَكُونُ مُضِرَّةً لَكِنْ لَمَّا كَانَتْ مَصْلَحَتُهُ رَاجِحَةً عَلَى مَفْسَدَتِهِ أَمَرَ بِهِ الشَّارِعُ.

فَهَذَا أَصْلٌ يَجِبُ اعْتِبَارُهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الشَّيْءُ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ يَقْتَضِي إيجَابَهُ أَوْ اسْتِحْبَابَهُ. وَالْعِبَادَاتُ لَا تَكُونُ إلَّا وَاجِبَةً أَوْ مُسْتَحَبَّةً فَمَا لَيْسَ بِوَاجِبِ وَلَا مُسْتَحَبٍّ فَلَيْسَ بِعِبَادَةِ.

وَالدُّعَاءُ لِلَّهِ تَعَالَى عِبَادَةٌ إنْ كَانَ الْمَطْلُوبُ بِهِ أَمْرًا مُبَاحًا.

Aku katakan :

Doa ini dan yang semacamnya telah diriwayatkan bahwa para salaf pernah berdoa dengannya. Dan dari Ahmad bin Hanbal diriwayatkan dalam *Manasik al-Marwadzi* bahwa beliau membolehkan tawassul dengan Nabi dalam doa, sementara sebagian ulama lainnya melarangnya.

Jika yang dimaksud oleh orang-orang yang bertawassul adalah bertawassul dengan iman kepada beliau, cinta kepada beliau, loyalitas kepada beliau, dan ketaatan kepada beliau, maka tidak ada perselisihan antara dua kelompok. Namun jika yang dimaksud adalah bertawassul dengan zat beliau, maka inilah yang menjadi titik perselisihan. Dan segala perkara yang diperselisihkan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Tidaklah hanya sekadar suatu doa terkabul dan tujuan tercapai menjadi dalil bahwa ia dibenarkan dalam syariat. Karena banyak orang yang berdoa kepada selain Allah, seperti kepada bintang-bintang dan makhluk, dan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebagian orang juga mendatangi berhala, gereja, dan tempat semacam itu, lalu berdoa kepada patung-patung yang ada di gereja dan mendapatkan apa yang mereka tuju. Sebagian lagi berdoa dengan doa-doa yang diharamkan menurut kesepakatan kaum muslimin, dan mereka tetap mendapatkan sebagian dari tujuan mereka.

Maka tercapainya tujuan dari sebagian perbuatan, tidak berarti perbuatan itu dibolehkan. Meskipun tujuannya mubah, bisa jadi perbuatan itu mengandung kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya. Syariat datang untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya serta menolak kerusakan dan menguranginya. Kalau tidak, maka seluruh perkara yang diharamkan seperti syirik, khamar, judi, perbuatan keji, dan kezhaliman, bisa saja menghasilkan manfaat dan tujuan bagi pelakunya. Tapi karena kerusakannya lebih besar daripada manfaatnya, Allah dan Rasul-Nya melarangnya.

Sebagaimana banyak hal seperti ibadah, jihad, dan menginfakkan harta bisa jadi tampak merugikan, namun karena manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya, maka syariat pun memerintahkannya.

Inilah kaidah pokok yang wajib diperhatikan. Tidak boleh sesuatu dianggap wajib atau disunnahkan kecuali dengan dalil syar’i yang menuntut kewajiban atau kesunnahannya. Dan ibadah itu tidaklah termasuk kecuali jika ia wajib atau sunnah. Maka apa yang tidak wajib dan tidak pula sunnah, maka bukanlah ibadah.

Doa kepada Allah Ta'ala adalah ibadah jika perkara yang diminta adalah hal yang mubah.

Lalu Ibnu Taimiyah melanjutkan perkataannya:

وَفِي الْجُمْلَةِ فَقَدْ نُقِلَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ وَالْعُلَمَاءِ السُّؤَالُ بِهِ بِخِلَافِ دُعَاءِ الْمَوْتَى وَالْغَائِبِينَ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالصَّالِحِينَ وَالِاسْتِغَاثَةِ بِهِمْ وَالشَّكْوَى إلَيْهِمْ فَهَذَا مِمَّا لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانِ وَلَا رَخَّصَ فِيهِ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ.

وَحَدِيثُ الْأَعْمَى الَّذِي رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِي هُوَ مِنْ الْقِسْمِ الثَّانِي مِنْ التَّوَسُّلِ بِدُعَائِهِ فَإِنَّ {الْأَعْمَى قَدْ طَلَبَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَدْعُوَ لَهُ بِأَنْ يَرُدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ بَصَرَهُ. فَقَالَ لَهُ إنْ شِئْت صَبَرْت وَإِنْ شِئْت دَعَوْت لَك فَقَالَ. بَلْ اُدْعُهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَيُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَيَقُولَ: اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك فَهَذَا تَوَسُّلٌ بِدُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَفَاعَتِهِ وَدَعَا لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِهَذَا قَالَ: " وَشَفِّعْهُ فِيَّ " فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يَقْبَلَ شَفَاعَةَ رَسُولِهِ فِيهِ وَهُوَ دُعَاؤُهُ.

وَهَذَا الْحَدِيثُ ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي مُعْجِزَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدُعَائِهِ الْمُسْتَجَابِ وَمَا أَظْهَرَ اللَّهُ بِبَرَكَةِ دُعَائِهِ مِنْ الْخَوَارِقِ وَالْإِبْرَاءِ مِنْ الْعَاهَاتِ فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَرَكَةِ دُعَائِهِ لِهَذَا الْأَعْمَى أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَصَرَهُ

Secara umum, telah dinukil dari sebagian salaf dan para ulama bahwa mereka memohon kepada Allah dengan menyebut Nabi , berbeda halnya dengan berdoa kepada orang-orang mati dan orang-orang yang tidak hadir, baik dari kalangan nabi, malaikat, maupun orang saleh, serta meminta pertolongan kepada mereka dan mengadukan perkara kepada mereka. Maka ini termasuk perkara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan salaf, baik para sahabat maupun para tabi'in yang mengikuti mereka dengan baik, dan tidak ada satu pun dari imam kaum muslimin yang memberikan keringanan dalam hal ini.

Adapun hadits tentang orang buta yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, maka itu termasuk dalam kategori kedua dari tawassul, yaitu bertawassul dengan doa Nabi . Sesungguhnya orang buta itu meminta kepada Nabi agar beliau mendoakannya supaya Allah mengembalikan penglihatannya. Maka Rasulullah berkata kepadanya: "Jika engkau mau, bersabarlah; dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu." Orang buta itu pun menjawab: "Tolong doakan aku." Maka Rasulullah memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat dua rakaat dan mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu...” Maka ini adalah tawassul dengan doa Nabi dan syafaatnya. Lalu Nabi mendoakannya. Oleh karena itu dalam doanya disebutkan: “dan jadikanlah dia memberi syafaat untukku,” yaitu meminta kepada Allah agar menerima syafaat Rasul-Nya untuk dirinya, yakni doa beliau .

Hadits ini disebutkan oleh para ulama dalam pembahasan tentang mukjizat Nabi dan doa beliau yang mustajab, serta apa yang Allah tampakkan melalui keberkahan doanya berupa hal-hal luar biasa dan penyembuhan dari cacat. Karena sesungguhnya dengan keberkahan doa Nabi kepada orang buta itu, Allah mengembalikan penglihatannya.

[Lihat pula : Qa’idah Jalilah 1/199 dan Mujaabud Du’aa hal. 154].

SELESAI. Al-Hamdulillah, semoga bermanfaat ! Amiiin 

Posting Komentar

0 Komentar