Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

STUDI KOMPREHENSIF TENTANG HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF SHALAT SERTA MENUTUP CELAH.

STUDI KOMPREHENSIF TENTANG HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF SHALAT SERTA MENUTUP CELAH

Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

==============

CUPILKAN SINGKAT DARI ARTIKEL INI :

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata :

حَدِيْثُ أَنَسٍ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مُحَاذَاةِ الْمَنَاكِبِ وَالْأَقْدَامِ

“Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ini menunjukan bahwa “ meluruskan shaf-shaf “ itu adalah mensejajarkan bahu-bahu dan telapak kaki-telapak kaki ” . ( Baca : “فتح الباري” 5/144)

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata : 

وَلَيْسَ مَعْنَى رَصِّ الصُّفُوفِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْجُهَّالِ الْيَوْمَ مِنْ فَحْجِ رَجُلَيْهِ حَتَّى يُضَايِقَ مَنْ بِجَانِبِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا الْعَمَلَ يُوجِدُ فَرَجًا فِي الصُّفُوفِ، وَيُؤْذِي الْمُصَلِّينَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ.

“Bukanlah makna merekatkan shaf, seperti apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG BODOH di hari ini, berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan memunculkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [ Baca : “الملخص الفقهي” : 124 ].

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : 

وَمِنَ الْغُلُوِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ كُونِهِ يَلْصِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ وَيَفْتَحُ قَدَمَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُمَا حَتَّى يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ جَارِهِ فَرَجَةً فَيَخَالِفُ السُّنَّةَ فِي ذَلِكَ، وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْمَنَاكِبَ وَالْأَكْعَبَ تَتَسَاوَى

 “Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shaff), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundah temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu adalah lurus sejajar (bukan melekatkannya).” [Fatawa Arkanil Islam : 312]. 

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata :

فَإِنَّ إِلْزَاقَ الْعُنُقٌ بِالْعُنُقٌ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الْكَتِفِ بِالْكَتِفِ فِي كُلِّ قِيَامٍ تَكَلُّفٌ ظَاهِرٌ، وَإِلْزَاقَ الرُّكْبَةِ بِالرُّكْبَةِ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الْكَعْبِ بِالْكَعْبِ فِيهِ مِنَ التَّعَذُّرِ وَالتَّكَلُّفِ.

“Melekatkan leher dengan leher [makmum lain] itu mustahil . Melekatkan pundak dengan pundak [makmum lain] dalam setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberat-beratkan diri) yang sangat jelas. 

Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.” [ Baca : لا جديد في أحكام الصلاة : 11 ].

====================

DAFTAR ISI PEMBAHASAN :

  1. PENDAHULUAN
  2. HADITST-HADITS PERINTAH MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF
  3. HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF. APAKAH ITU SUNNAH ATAU WAJIB?
  4. BATASAN RAPAT NYA SHAFF MENURUT PENDAPAT YG MEWAJIBKAN LURUS DAN RAPAT.
  5. APAKAH LAFADZ HADITS “SALING MENEMPELKAN MATA KAKI DAN BAHU” DALAM SHAFF BERMAKNA HAKIKI ATAU MAJAAZI?
  6. BATASAN RAPATNYA SHAFF MENURUT PENDAPAT YG MEN-SUNNAH-KAN LURUS DAN RAPAT.
  7. KEUTAMAAN MELURUSKAN DAN MENUTUP CELAH SHAFF DALAM SHALAT
  8. SEMPURNAKAN SHAFF PERTAMA LALU BERIKUTNYA!:
  9. KEUTAMAAN SHOLAT DI SHAFF PERTAMA DAN KEUTAMAAN MENUTUP CELAH:
  10. HUKUM MENYEMPURNKAN SHAFF AWAL, LALU BERIKUTNYA???
  11. RESIKO DAN KERUGIAN BAGI YANG BER KEBIASAAN SHOLAT DI SHAFF BELAKANG:

=====

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

====****====

PENDAHULUAN

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَىٰ رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ. أَمَّا بَعْدُ:

Meluruskan shaff makmum dalam shalat berjamaah dan merapatkannya adalah perkara yang di syariatkan. Dan para fuqohaa‘ bersepakat akan hal itu; karena berdasarkan hadits-hadits shahih yang mutawàtir. Dan juga karena merapatkan barisan itu terkait dengan rukun Islam yang paling utama, yaitu shalat.

Imam Ibnu Abdil-Barr berkata tentang pelurusan shaff dalam shalat:

“هُوَ أَمْرٌ مُجْتَمَعٌ عَلَيْهِ، وَالْآثَارُ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَثِيرَةٌ فِيهِ”.

“Ini adalah perkara yang disepakati secara ijma’, dan ada banyak riwayat dari Nabi, , tentang hal itu". (Baca: “الاستذكار”2/28)

Beliau juga berkata:

وَأَمَّا تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ فِي الصَّلَاةِ فَالْآثَارُ فِيهَا مُتَوَاتِرَةٌ مِنْ طُرُقٍ شَتَّى، صِحَّاحُ كُلُّهَا ثَابِتَةٌ فِي أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ، وَعَمَلَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ بِذَلِكَ بَعْدَهُ، وَهَذَا مَا لَا خِلَافَ فِيمَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِيهِ.

“Adapun untuk meluruskan shaf-shaf dalam shalat, hadits-hadits tentangnya itu mutawaatir dari berbagai jalur yang shahih semuanya ditetapkan atas perintah Rasulullah untuk meluruskan Shaff. Dan para khulafaur roosyidiin juga melakukannya setelah beliau , dan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang hal itu “. (Baca: “الاستذكار”2/288)

Al-Hafidz Al-Iraqi (guru al-Hafidz Ibnu Hajar) berkata:

" وَالأَحَادِيثُ فِي هَذَا المَعْنَى كَثِيرَةٌ ".

“Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak”[Baca “طرح التثريب”3/ 68].

Imam an-Nawawi berkata:

وَمِنَ السُّنَنِ المُهْمَلَةِ المَغْفُولِ عَنْهَا: تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ وَالتَّرَاصُّ فِيهَا، وَقَدْ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَوَلَّى فِعْلَ ذَلِكَ بِنَفْسِهِ، وَيُكْثِرُ التَّحْرِيضَ عَلَيْهِ وَالأَمْرَ بِهِ۔

"Dan di antara sunnah yang terabaikan dan terlalaikan adalah meluruskan shaff dan merapatkannya, dan beliau sendiri senantiasa mengaturnya dan sering memberikan semangat terhadapnya dan perintah untuk melakukannya. (Baca “إعانة الطالبين”2/28)

Dan Asy-Syaukani, semoga Allah merahmatinya, berkata:

لَا شَكَّ أَنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ وَالتَّرَاصَّ وَإِلْزَاقَ الْكِعَابِ بِالْكِعَابِ سُنَّةٌ ثَابِتَةٌ، وَشَرِيعَةٌ مُسْتَقِرَّةٌ۔

“Tidak ada keraguan bahwa meluruskan shaf, merapatkannya, dan menempelkan mata kaki ke mata kaki adalah SUNNAH yang ada ketetapannya, dan hukum syar’i yang patent.” [Baca السَّيْلُ الجَرَّارُ المُتَدَفِّقُ عَلَى حَدَائِقِ الأَزْهَارِ”1/158]

====*****====

HADITST-HADITS PERINTAH MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF

Banyak para sahabat yang meriwayatkan hadits Nabi tentang perintah meluruskan shaff dan merapatkannya dalam shalat berjamaah.

Di antaranya: (1) Bara’ bin Azib, (2) Busyair bin Yasar; (3) Jabir bin Samurah, (4) Abu Suhail dari bapaknya, (5) Ibnu Abbas, (6) Anas bin Malik, (7) Nu’man bin Basyir, (8) Abu Mas’ud al-Anshary dan (9) Ibnu Umar.

---

PERTAMA: Hadits Bara’ bin Azib رضي الله عنه

Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم يَتَخَلَّلُ الصُّفُوفَ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ ، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا وَصُدُورَنَا ، وَيَقُولُ: لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

Rasulullah . memeriksa celah-celah shaf dari satu sisi ke sisi yang lain, sambil mengusap pundak-pundak kami dan dada-dada kami seraya bersabda:

“Janganlah kalian berselisih, sehingga hati kalian menjadi berselisih (berantakan)”.

(HR Abu Dawud: 664; Nasai: 811; Ahmad: 18539). Di Shahihkan oleh al-Waadi’i dalam Shahih al-Musnad no. 138, dan oleh al-Albaani dlm Shahih an-Nasaa’i no. 810

Dari Al Baraa` ia berkata; Rasulullah bersabda:

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ لَا يَتَخَلَّلُكُمْ كَأَوْلَادِ الْحَذَفِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا أَوْلَادُ الْحَذَفِ قَالَ سُودٌ جُرْدٌ تَكُونُ بِأَرْضِ الْيَمَنِ

"Luruskanlah shaf kalian, jangan sampai ada celah diantara shaf kalian, sebagaimana celah pada Aulaadul Hadzaf (anak-anak kambing)." Kemudian ditanyakanlah kepada Rasulullah , "Lalu apakah (Aulaadul Hadzaf) itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Anak kambing hitam yang berada di puncang gunung di negeri Yaman."

(HR. Ahmad 17875 dan al-Hakim 1/474 no. 817)

Al-Hakim berkata:

هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ.

 “Hadits ini shahih sesuai syarat Bukhori dan Muslim, namun mereka tidak meriwaytakannya dengan lafadz ini”

----

KEDUA: hadits Abu Mas’ud Al-Anshori رضي الله عنه:

Dari Abi Mas’ud Al-Anshori, dia berkata:

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا في الصَّلَاةِ، ويقولُ: اسْتَوُوا، ولَا تَخْتَلِفُوا، فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، لِيَلِنِي مِنكُم أُولو الأحْلَامِ والنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قالَ أبو مَسْعُودٍ: فأنْتُمُ اليومَ أشَدُّ اخْتِلَافًا

"Dulu Rasulullah pernah mengusap bahu-bahu kami sebelum shalat sambil bersabda,:

Kalian luruskan lah, janganlah kalian berselisih, karena (Jika kalian berselisih) maka hati kalian akan berselisih. Hendaklah yang berdiri di belakangku adalah orang-orang dewasa yang bijak dan berilmu, kemudian setelah mereka adalah orang yang kapasitasnya kurang dari mereka, dan begitu selanjutnya."

Abu Mas'ud berkata; "Sesungguhnya kalian pada hari ini sangat sering berselisih. (HR. Muslim 122, 432 & 653).

----

KETIGA: hadits Abdullah bin Umar رضي الله عنه:

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bersabda:

((أَقِيمُوا الصُّفُوفَ ، وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ ، وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ)).

(Luruskanlah barisan kalian, dan jadikanlah pundak-pundak kalian saling menempel dan penuhilah jarak yang masih renggang, dan dekatkanlah tangan kalian dengan tangan-tangan saudara kalian, dan janganlah kalian memberikan celah untuk syetan. Dan barangsiapa menyambung barisan shalat, Allah akan menjalin hubungan terhadapnya, sebaliknya barangsiapa memutuskan shaf, Allah juga memutus hubungan terhadapnya.

(HR Ahmad no. 5466, Abu Dawud no. 666, Nasai no. 819 dan Baihaqi no. 4967). Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dlm Takhrij al-Musnad 8/82 dan Syeikh al-Albaani dlm shahih Abi Daud no. 666.

----

KE EMPAT: hadits Jabir bin Samurah رضي الله عنه:

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

((خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟) فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ قَالَ: (يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ))

Rasulullah keluar untuk menemui kita seraya bersabda:

(Tidakkah kalian merapikan barisan-barisan kalian sebagaimana para malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?)

Maka kamipun bertanya: Wahai Utusan Allah dan bagaimanakah para Malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?

Beliau bersabda: (Mereka menyempurnakan barisan-barisan yang pertama dan mereka tersusun rapi dan lurus dalam barisan). (HR. Imam Muslim (430))

----

KE LIMA: Hadits Abu Suhail dari Bapaknya رضي الله عنه

Dari Abu Suhail dari Bapaknya radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata:

كُنْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَامَتْ الصَّلَاةُ وَأَنَا أُكَلِّمُهُ فِي أَنْ يَفْرِضَ لِي فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ وَهُوَ يُسَوِّي الْحَصْبَاءَ بِنَعْلَيْهِ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الصُّفُوفَ قَدْ اسْتَوَتْ فَقَالَ لِي اسْتَوِ فِي الصَّفِّ ثُمَّ كَبَّرَ

"Aku pernah bersama [Utsman bin Affan], iqamah pun dikumandangkan, sementara aku masih berbicara dengannya minta agar ia memberi suatu kewajiban. Dan aku tetap mengajaknya bicara sedangkan ia meratakan kerikil-kerikil dengan dua sandalnya. Sehingga ketika beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang dan mengabarkan kepadanya bahwa shaf telah lurus, ia berkata kepadaku, 'Luruskan shaf.' Setelah itu ia bertakbir."

(HR Malik no. 374, Baihaqi no. 2126, Abdurrozaaq no. 2321 dan Ibnu Abi Syaibah 3494). Di Shahihkan sanadnya oleh Syu’aib al-Arnauth dlm “تخريج شرح السنة”3/369 dan oleh syeikh al-Albaani dlm “بوابة صوتيات الشيخ الألباني”Kaset 118.

----

KE ENAM: Hadits Ibnu Abbas رضي الله عنه:

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda:

خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ

“Sebaik-baik kalian adalah yang lunak pundaknya ketika berbaris dalam shalat”.

(HR. Abu Dawud no. 672, Ibnu Khuzaimah no.1566 Ibnu Hibban no. 1756 dan Baihaqi no. 4969). Di Shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih Abi Daud no. 627 dan Shahih at-Targhiib no. 497.

-----

KE TUJUH: Hadits Abu Syajarah, Katsir bin Murrah:

Dari Abu Syajarah, Katsir bin Murrah, bahwa Nabi () bersabda:

"‏ أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ ‏،‏‏ وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ ‏"‏ ‏.

“Susunlah shaf, berdirilah sejajar antara bahu dengan bahu, tutuplah celah-celahnya, jadilah luwes dan lunak terhadap tangan saudara-saudara kalian, dan jangan tinggalkan celah untuk setan. Barang siapa yang menyambung suatu barisan, maka Allah akan menyambungkannya, tetapi barang siapa yang memutuskan suatu barisan, maka Allah akan memotongnya”.

[HR. Abu Daud no. 666. Hadits ini di Shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud].

Abu Dawud berkata:

وَمَعْنَى ‏"‏ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ ‏"‏ ‏.‏ إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلَيِّنَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ

Makna “jadilah luwes dan lunak terhadap tangan saudara-saudara kalian”, yakni: Jika seorang datang lalu masuk ke dalam shaff, maka seyogyanya setiap orang agar melunakkan bahu-bahunya untuknya di dalam shaff.

----

KE DELAPAN: Hadits Abu Umamah رضي الله عنه

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah bersabda;

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَى الثَّانِي قَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَى الثَّانِي قَالَ وَعَلَى الثَّانِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَسُدُّوا الْخَلَلَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ يَعْنِي أَوْلَادَ الضَّأْنِ الصِّغَارَ

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat mendoakan shaf pertama."

Mereka bertanya: Dan shaf kedua?.

Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat mendoakan shaf pertama."

Mereka bertanya: Dan shaf kedua?.

Maka Rasulullah pun bersabda: "Dan shaf kedua”.

Lalu Rasulullah bersabda: "Luruskan shaf-shaf kalian, ratakan pundak-pundak kalian, bersikaplah lembut pada tangan-tangan saudara kalian dan tutuplah celah karena sesungguhnya setan menyela diantara kalian seperti anak-anak domba kecil.

(HR. Ahmad no. 22317. Di Dhaifkan oleh al-Albaani dlm “مشكاة المصابيح”1/242).

-----

KE SEMBILAN: hadits Anas bin Malik رضي الله عنه:

Hadits tentang tata cara Merapatkan Shaf Shalat Berjamaah :

Ke 1: Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Bahwa Rasulullah bersabda:

(أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ)

(Sempurnakan oleh kalian barisan yang terdepan kemudian baru barisan-barisan berikutnya, maka jika memang ada di antara shaf-shaf itu yang kurang maka jadikanlah sebagai shaf yang paling akhir). [HR. Abu Dawud (671) dan An Nasa’i (818). Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam shahih Abu Dawud dan yang lainnya].

Ke 2: Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

"Ketika iqamah shalat telah dikumandangkan, Rasulullah menghadap kepada kami seraya bersabda:

"Luruskanlah shaf dan rapatkanlah, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku." (H.R. Bukhari no. 678)

Ke 3: Dari Anas bin Malik dari Nabi , beliau bersabda:

"أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي". وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

"Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku."

Anas berkata: Dan setiap orang dari kami merapatkan bahunya kepada bahu temannya, dan kakinya pada kaki temannya. (HR. Bukhori no. 683)

Ke 4: Tambahan dalam riwayat lain:

وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal yang melawan”

Lengkapnya: Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:

"لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ".

“Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya.

Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan.”

(HR. Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la al-Maushily 6/381 dan Ibnu Abi Syaibah 1/386).

Syeikh al-Albaani berkata:

"سَنَدُهُ صَحِيحٌ أَيْضًا عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ"

Sanad nya shahih juga sesuai syarat Syaikhoon. (Baca: “السِّلْسِلَةُ الصَّحِيحَةُ”1/39 no. 31).

Ke 5: Dari Anas bin Malik dari Rasulullah , beliau bersabda:

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقٌ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

"Rapatkan shaf shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil."

[HR. Abu Daud no. 667, Nasaa’i no. 815 dan Ahmad no. 13761] Di shahihkan oleh Ibnu Daqiiq al-‘iid dalam “الاقتراح”no. 93 dan oleh al-Albaani dlm Shahih an-Nasaa’i no. 814.

Ke 6: Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَوْمًا، فَقَالَ: هَلْ تَدْرِي لِمَ صُنِعَ هَذَا العُودُ؟ فَقُلْتُ: لَا وَاللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ عَلَيْهِ يَدَهُ فَيَقُولُ: "اسْتَوُوا وَأَعْدِلُوا صُفُوفَكُمْ".

“Saya shalat di sebelah Anas bin Malik suatu hari, dan dia berkata: Tahukah Anda untuk apa kayu ini digunakan?

Aku berkata: Tidak, demi Allah.

Dia berkata: Dulu Rasulullah senantiasa meletakkan tangannya di atasnya dan berkata:

"Berdiri tegaklah kalian dan luruskanlah barisan kalian."

(HR. Abu Daud no. 669 dan Baihaqi no. 2/22)

Syeikh al-Albaani dlm Dhaif Abi Daud 1/230 berkata:

وَالحَدِيثُ يَصِحُّ مِنْهُ الأَمْرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، وَأَمَّا ذِكْرُ العُودِ فِيهِ؛ فَهُوَ مُنْكَرٌ۔

Dari hadits ini ada yang shahih, yaitu dalam hal perintah meluruskan shaf. Dan adapun penyebutan “Kayu”di dalamnya; maka itu Munkar “.

Berbeda dengan pernyataan muridnya, yaitu Syu’aib al-Arnauth dlm “تخريج شرح السنة”no. 811, beliau mengatakan: “حَسَنٌ بِشَوَاهِدِهِ۔”yakni: Hasan dengan adanya syahid-syahid.

----

KE SEPULUH : Hadits Nu’man bin Basyir رضي الله عنه:

Hadits tentang tata cara Merapatkan Shaf Shalat Berjamaah

Ke 1: Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata:

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا إِذَا قُمْنَا لِلصَّلَاةِ فَإِذَا اسْتَوَيْنَا كَبَّرَ

Rasulullah biasa meluruskan shaf shaf kami apabila kami berdiri untuk shalat. Kalau barisan kami telah lurus, maka beliau bertakbir. (HR. Abu Daud no. 569)

Kedua: Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rosulullah bersabda:

" لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمۡ أَوۡ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيۡنَ وُجُوهِكُمۡ".

“Sungguh-sungguhlah meluruskan dan merapatkan saf-saf kalian atau kalau tidak Allah benar-benar akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.”(Muttafaqun ‘alaih, Bukhori no. 717 dan Muslim no. 436).

Ketiga: Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا، حَتَّى كَأنَّمَا يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأى أنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَ يَومًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ، فَرَأى رَجُلًا بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ، فَقَالَ: «عِبَادَ اللهِ، لتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أو لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ".

Rasulullah dahulu biasa meluruskan saf-saf kami sampai seperti meluruskan anak panah. Sehingga beliau yakin bahwa kami telah memahami pentingnya hal itu.

Kemudian suatu hari, beliau keluar mengimami shalat. Ketika beliau hampir bertakbir, beliau melihat seseorang yang terlihat dadanya menjorok. Lalu beliau pun bersabda:

“Wahai hamba-hamba Allah, bersungguh-sungguhlah kalian meluruskan saf-saf kalian atau kalau tidak Allah benar-benar akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.”(HR. Muslim no. 436).

Keempat : An-Numan bin Basyir berkata;

أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

Rasulullah biasa menghadap kepada jamaah, lalu bersabda: "Luruskanlah shaf shaf kalian! -beliau mengucapkannya tiga kali- Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan shaf shaf kalian, atau Allah benar--benar akan membuat hati kalian saling berselisih." Kata Nu'man; Maka saya melihat seseorang melekatkan (merapatkan) pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian pula antara lutut dan mata kakinya dengan lutut dan mata kaki temannya.

(HR. Abu Daud no. 566, Nasaa’i no. 801 dan Ahmad no. 17703). Di shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud no. 662.

Sebagian dari matannya disebutkan oleh Al-Bukhori dalam Shahih secara Mu’allaq dengan shighot Jazm (بِصِيغَةِ الْجَزْمِ۔) sebelum hadits no. (725), dan diriwayatkan oleh Abu Dawud (662) dengan sanad maushuul dan Al-Bayhaqi no. (5388) dengan sedikit perbedaan.

----

KE SEBELAS: ATSAR PARA SAHABAT DALAM MELURUSKAN SHAFF:

Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَإِذَا جَاءُوهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنْ قَدْ اسْتَوَتْ كَبَّرَ

Bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan agar meluruskan shaf. Jika mereka datang dan mengabarkan kepadanya bahwa shaf telah lurus, maka ia pun takbir." (HR. Malik dlm al-Muwaththa no. 337 dan Turmudzi dalam Sunan Turmudzi di bawah no. 210)

Dari Khoitsamah, dia berkata:

صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَرَأَى فِي الصَّفِّ فُرْجَةً فَأَوْمَأَ إِلَيَّ فَلَمْ أَتَقَدَّمْ، قَالَ: فَتَقَدَّمَ هُوَ فَسَدَّهَا

Saya sholat di samping Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, lalu dia melihat celah di barisan, maka dia memberi isyarat kepada saya, tetapi saya tidak mau maju. Khoitsamah berkata: Dia berkata: Maka dia maju ke depan lalu menutupnya (HR. Ibnu Abi Syaibah dlm al-Mushannaf 1/416).

Imam Turmudzi berkata:

‏وَرُوِيَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَلِيٍّ ‏ ‏وَعُثْمَانَ ‏ ‏أَنَّهُمَا كَانَا يَتَعَاهَدَانِ ذَلِكَ وَيَقُولَانِ اسْتَوُوا ‏ ‏وَكَانَ ‏ ‏عَلِيٌّ ‏ ‏يَقُولُ تَقَدَّمْ يَا فُلَانُ تَأَخَّرْ يَا فُلَانُ ‏

Telah diriwayatkan juga dari Ali dan Utsman, bahwa keduanya selalu memperhatikan hal itu. Keduanya berkata: "Luruskanlah (barisan shalat kalian)." Ali kadang berkata; "Maju wahai fulan, mundur wahai fulan." (Sunan Turmudzi di bawah no. 210)

Dari Malik dari pamannya [Abu Suhail bin Malik] dari [Bapaknya] bahwa dia berkata;

كُنْت مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَامَتْ الصَّلَاةُ وَأَنَا أُكَلِّمُهُ فِي أَنْ يَفْرِضَ لِي فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ وَهُوَ يُسَوِّي الْحَصْبَاءَ بِنَعْلَيْهِ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الصُّفُوفَ قَدْ اسْتَوَتْ فَقَالَ لِي اسْتَوِ فِي الصَّفِّ ثُمَّ كَبَّرَ

"Aku pernah bersama [Utsman bin Affan], iqamah pun dikumandangkan, sementara aku masih berbicara dengannya minta agar ia memberi suatu kewajiban. Dan aku tetap mengajaknya bicara sedangkan ia meratakan kerikil dengan dua sandalnya. Sehingga ketika beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang dan mengabarkan kepadanya bahwa shaf telah lurus, ia berkata kepadaku, 'Luruskan shaf.' Setelah itu ia bertakbir." (al-Muwatha no. 338)

Al-Baaji dalam syarah al-Muwaththa 1/280 berkata:

 ((وَقَوْلُهُ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ دَلِيلٌ عَلَى اهْتِبَالِ الْأَئِمَّةِ بِتَسْوِيَتِهَا لِأَنَّهُ يَلْزَمُ الْأَئِمَّةَ مُرَاعَاتُهُ عَلَى حَسَبِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ فِعْلِ عُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -

Dan perkataan nya “Sehingga ketika beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang”adalah dalil akan perhatian para imam terhadap pelurusan shaff; karena yang demikian itu melazimkan para imam untuk memeliharanya sebagaiman yang telah kami sebutkan dari perbuatan Utsaman dan Ali bin Abi Thalib radhiayllahu ‘anhu.

Lalu Al-Baaji berkata:

قَالَ ابْنُ حَبِيبٍ: وَقَدْ رَأَيْت أَمِيرَ الْمَدِينَةِ وَكَّلَ رِجَالًا بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَمَنْ وَجَدُوهُ دُونَ الصَّفِّ وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ سَارُوا بِهِ بَعْدَ الصَّلَاةِ إلَى السِّجْنِ)).

Ibnu Habib berkata: Saya telah melihat Amir Madinah, dia menunjuk orang-orang untuk meluruskan barisan di masjid Nabawi. - Maka barang siapa yang menemukannya di luar shaf padahal ia bisa memasukinya, maka mereka membawanya setelah shalat ke dalam PENJARA.

-----

KE DUA BELAS: perbuatan sebagian para Sahabat yang memukul orang yang tidak meluruskan shaff.

Ibnu Hazem dalam al-Muhalla (2/379) berkata:

رُوِينَا بِأَصَحِّ إِسْنَادٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: كُنْتُ فِيمَنْ ضَرَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَدَمَهُ لِإِقَامَةِ الصَّفِّ فِي الصَّلَاةِ. قَالَ عَلِيٌّ: مَا كَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - لِيَضْرِبَ أَحَدًا وَيَسْتَبِيحَ بَشَرَةً مُحَرَّمَةً عَلَى غَيْرِ فَرْضٍ)) انتهى

Kami meriwayatkan dengan sanad yang paling shahih dari Abu Utsman Al-Nahdi, katanya: “Saya termasuk orang yang dipukul oleh Umar bin Khattab kakinya untuk mendirikan shaff”.

Ali berkata: “Dia (Umar) tidak akan - semoga Allah meridhoinya - memukul siapa pun dan menghalalkan kulit yang terlarang hanya karena sesuatu yang tidak wajib “. (Selesai)

Dan Ibnu Hazem juga berkata:

(وَعَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عِمْرَانَ الْجُعْفِيِّ عَنْ سُوَيْد بْنِ غَفَلَةَ قَالَ: كَانَ بِلَالٌ - هُوَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَضْرِبُ أَقْدَامَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيُسَوِّي مَنَاكِبَنَا.

فَهَذَا بِلَالٌ مَا كَانَ: لِيَضْرِبَ أَحَدًا عَلَى غَيْرِ الْفَرْضِ. وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ: مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ اعْتِدَالُ الصَّفِّ. وَأَنَّهُ قَالَ: لَأَنْ تَخِرَّ ثَنِيَّتَايَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَرَى خَلَلًا فِي الصَّفِّ فَلَا أَسُدَّهُ)) انتهى

“Dan dari Sufyan ats-Tsauri dari al-A’masy dari ‘Umaarah bin Imran bin Al-Ju’fii dari Suweid bin Ghaflah mengatakan: Bilal - adalah muadzin Rasulullah dulu dia senantiasa memukul kaki kita dalam shalat dan bahkan pundak-pundak kami “.

Maka Bilal ini tidak akan memukul seseorang untuk sesuatu selain yang wajib.

Dan dari Ibnu Umar: “Dari kesempurnaan shalat adalah keseimbangan shaff “.

Dan dia juga berkata: Bahwa rontoknya dua gigi seri saya lebih saya cintai daripada saya melihat celah-celah dalam shaff dan aku tidak menutupnya. (Selesia kutipan dari al-Muhalla)

Namun perkataan Ibnu Hazem tentang wajibnya meluruskan di tanggapi oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath 2/175 dengan mengatakan:

وَفِيهِ نَظَرٌ لِجَوَازِ أَنَّهُمَا كَانَا يَرَيَانِ التَّعْزِيرَ عَلَى تَرْكِ السُّنَّةِ

“Dan di dalamnya ada yang perlu dipertimbangkan; karena boleh saja mereka berdua melakukannya / memukulnya dengan tujuan menta’ziir / sebagai teguran karena meninggalkan sunnah”. (Selesai)

====******====

HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF, APAKAH ITU SUNNAH ATAU WAJIB?

Ada DUA pendapat:

*****

PENDAPAT PERTAMA: SUNNAH MUAKKADAH

Mayoritas para ulama salaf dan khalaf bahwa itu hukum nya Sunnah Muakkadah, bahkan ada yg mengatakan bahwa pendapat ini adalah hampir sepakat seluruh ulama.

Yakni: Sunnah hukumnya meluruskan shaf dalam shalat berjamaah, yaitu dengan cara sebagian jamaah tidak mendahului sebagian yang lain, dan yang berdiri dalam shaff itu sejajar dengan berdempetan, yakni yang berada dalam barisan itu saling bersentuhan bahu dengan bahu, mata kaki dengan telapak kaki, dan tumit ke tumit sehingga tidak ada celah atau ruang dalam shaff. Dan seorang Imam di sunnahkan untuk mengaturnya.

Yakni: yang melakukannya diberi pahala dan yang tidak melakukannya tidak di adzab karena meninggalkannya.

Memang benar ini diperintahkan dan ini dianjurkan secara Syar’i dengan anjuran yang besar, seperti yang kita baca dalam hadits-hadits tentang hal ini. Akan tetapi perkara ini hukumnya adalah SUNNAH, bukan kewajiban.

Mereka menganggap bahwa semua yang disebutkan dalam haditst yang berisi perintah untuk meluruskan shaff dan menutup celah itu adalah Sunnah hukumnya, bukan wajib.

Ini adalah menurut pendapat mayoritas para ulama dari empat madzhab yang diakui, yaitu: madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, bahkan madzhab lainnya.

Dan Al-Qurthubi meriwayatkan Ijma’ akan SUNNAH nya. Dia mengatakan:

"وَهُوَ مِنْ سُنَنِ الصَّلَاةِ بِلا خِلَافٍ".

“Ini adalah salah satu dari sunnah-sunnah dalam shalat yang tanpa ada perselisihan”[Baca: “(المُفهِم شرح مسلم)” 4/123].

Al-Hafidz Al-Iraqi berkata dalam “(طرح التثريب)” 2/325:

(أَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ) هَذَا الْأَمْرُ لِلِاسْتِحْبَابِ، بِدَلِيلِ قَوْلِهِ فِي تَعْلِيلِهِ: «فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ»۔ 

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ إِقَامَةَ الصُّفُوفِ سُنَّةٌ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ فَرْضًا لَمْ يَجْعَلْهُ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ حُسْنَ الشَّيْءِ زِيَادَةٌ عَلَى تَمَامِهِ، وَذَلِكَ زِيَادَةٌ عَلَى الْوُجُوبِ، وَهَذَا مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ۔ وَذَهَبَ ابْنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ إِلَى وُجُوبِهِ۔

Hadits “Dirikanlah kalian shaf dalam shalat “perintah ini mustahab / sunnah, berdasarkan dalil sabdanya dalam nalarnya: “Karena mendirikan shaf adalah bagian dari bagusnya shalat.”

Ibnu Baththool berkata: Ini menunjukkan bahwa mendirikan shaf adalah Sunnah; Karena jika itu adalah kewajiban, maka itu tidak akan membuatnya menjadi bagusnya sholat; Karena bagusnya sesuatu itu adalah tambahan untuk sebuah kesempurnaan, dan tambahan pada amalan wajib meningkatkan wajib.

Ini adalah MADZHAB JUMHUR PARA ULAMA baik dari kalangan SALAF, maupun KHALAF, dan itu adalah pendapat para imam empat madzhab.

Berbeda dengan Ibnu Hazm, beliau bermadzhab WAJIB.

[Baca: طَرْحُ التَّثْرِيبِ فِي شَرْحِ التَّقْرِيبِ (2/325)]

***

PERNYATAAN PARA ULAMA EMPAT (4) MADZHAB

Dan berikut ini kutipan pernyataan para fuqaha dari empat madzhab, dan kami rangkum sebagai berikut:

-----

MADZHAB HANAFI :

Dalam mazhab Hanafi:

إِنْ كَانَ الْإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ فِي الْمَسْجِدِ، وَكَانَ الْمَأْمُومُ خَلْفَ الْإِمَامِ أَوْ بِحِذَائِهِ، يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ، إِنْ كَانَ لَا يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ حَالُ الْإِمَامِ، 

وَقَالُوا: وَلَوْ كَانَ الْمَأْمُومُ فِي أَقْصَى الْمَسْجِدِ وَالْإِمَامُ فِي الْمِحْرَابِ، اتَّصَلَتِ الصُّفُوفُ أَمْ لَا، وَلَوْ كَانَ فَوْقَ سَطْحِ الْمَسْجِدِ، وَلَوْ وَقَفَ عَلَى سَطْحِ الْمَسْجِدِ وَاقْتَدَى بِالْإِمَامِ صَحَّ اقْتِدَاؤُهُ، لِأَنَّ سَطْحَ الْمَسْجِدِ تَبَعٌ لِلْمَسْجِدِ، إِذَا كَانَ لَا يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ حَالُ إِمَامِهِ، فَإِنْ كَانَ يَشْتَبِهُ لَا يَجُوزُ، 

وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عَلَى سَطْحٍ بِجَنْبِ الْمَسْجِدِ، مُتَّصِلٍ بِهِ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا طَرِيقٌ، فَاقْتَدَى بِهِ – صَحَّ اقْتِدَاؤُهُ، وَإِنْ صَلَّى فِي الْمِئْذَنَةِ مُقْتَدِيًا بِإِمَامٍ فِي الْمَسْجِدِ تَجُوزُ صَلَاتُهُ، وَكَذَا فِنَاءُ الْمَسْجِدِ، 

وَنَصُّوا عَلَى أَنَّ كَرَاهَةَ الْمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِّ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ أَوْ عُذْرٍ، وَلَا يُفَوِّتُ مَعَ الْكَرَاهَةِ فَضْلَ الْجَمَاعَةِ عِنْدَهُمْ.

Jika imam dan makmum berada di masjid, dan posisi makmum berada di belakang imam atau posisi nya sejajar dengan nya; maka shah hukum sholat bermakmum padanya, selama tidak ada kekaburan untuk mengikuti gerak imam.

Dan mereka berkata: “Jika posisi makmum berada di sudut masjid yang terjauh dan sementara imam berada di mihrab, baik shaf nya nyambung atau tidak, meskipun dia berada di atas atap masjid, dan jika ia berdiri di atap masjid lalu dia mengikuti imam, maka hukum bermakmumnya sah, karena atap masjid itu bagian dari masjid, selama kondisi imamnya tidak ada kekaburan dalam pengamatan makmum tersebut, namun jika ada kekaburan, maka itu tidak boleh.

Demikian juga, jika makmum di atap di samping masjid, yang menyambung dengannya, dan tidak ada jalan pemisah di antara keduanya, lalu dia bermakmum padanya; maka shah sholatnya sebagai makmum.

Jika dia shalat di menara tempat adzan, bermakmum kepada seorang imam di masjid, maka shalatnya shah. Dan begitu juga di serambi masjid.

Dan mereka menyatakan akan makruhnya hukum makmum yang berdiri sendirian di belakang shaff, kecuali karena darurat atau ada hajat. Namun demikian, meskipun makruh akan tetapi dia tetap mendapatkan pahala keutamaan sholat berjamaah.

Baca: “تبيين الحقائق”oleh Al-Zaila’i: (1/136), “حاشية الطحطاوي”(hlm. 206, 207),”(بدائع الصنائع) ”(1/145), dan lain-lain.

Al-Samarqandi berkata:

ثُمَّ الصَّلَاةُ خَلْفَ الصُّفُوفِ مُنْفَرِدًا إِنَّمَا يُكْرَهُ إِذَا وَجَدَ فُرْجَةً فِي الصَّفِّ فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَجِدْ لَا يُكْرَهُ (لِأَنَّ حَالَ الْعُذْرِ مُسْتَثْنَاةٌ) أَلَا تَرَى أَنَّ الْمَرْأَةَ يَجِبُ عَلَيْهَا أَنْ تُصَلِّيَ مُنْفَرِدَةً خَلْفَ الصُّفُوفِ لِأَنَّ مُحَاذَاتَهَا لِلرِّجَالِ مُفْسِدَةٌ لِصَلَاتِهِمْ"

“Kemudian shalat di belakang shaf sendirian dimakruhkannya itu jika ada celah di dalam shaf, tetapi jika tidak ada celah di dalam shaf, maka itu tidak makruh (karena ada udzur yang mengecualikannya). Tidak kah kamu melihat bahwa seorang wanita harus shalat sendirian di belakang shaff karena jika dai sejajar dengan laki-laki, itu merusak shalat mereka”[Baca: “(تحفة الفقهاء)” 1/145].

Jadi hukum masalah yang kami bahas dalam madzhab Hanafi, sebagaimana terlihat dari nash-nash mereka yang telah kami sebutkan: “Hukumnya boleh disertai makruh jika dalam kondisi ada pilihan dan keluasan, bukan karena darurat atau ada hajat.

Dan ini secara eksplisit dinyatakan oleh al-Thahthawi dalam “(حاشية الطحطاوي)” 1/361 mengatakan:

“إِنْ صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ مُنْفَرِدًا مُخْتَارًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ يَجُوزُ وَتُكْرَهُ”

“Jika ia shalat sendiri di belakang shaf, karena kemauan sendiri, bukan karena darurat, maka itu diperbolehkan tapi makruh”. [“(حاشية الطحطاوي)”1/361]

Artinya boleh tanpa makruh dalam kondisi darurat dan hajat, seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.

------

MADZHAB MALIKI

Demikian pula mazhab Maliki, mereka menyatakan:

يُكْرَهُ صَلَاةُ الْمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِّ، وَيُكْرَهُ تَقْطِيعُ الصُّفُوفِ، وَيُكْرَهُ تَقَدُّمُ الْمَأْمُومِ عَلَى مَوْضِعِ إِمَامِهِ، مَعَ صِحَّةِ الصَّلَاةِ فِي كُلِّ مَا سَبَقَ وَلَا يُطْلَبُ مِنْهُ الْإِعَادَةُ، وَذَكَرُوا أَنَّ الْكَرَاهَةَ تُفَوِّتُ فَضِيلَةَ الصَّفِّ لَا الْجَمَاعَةَ إِلَّا لِعُذْرٍ، فَمَعَ الْعُذْرِ لَا كَرَاهَةَ۔

Makruh hukumnya shalat sendirian di belakang shaff, dan dimakruhkan memotong shaff, dan dimakruhkan posisi makmum lebih maju kedepan dari posisi imamnya, namun tetap shah shalatnya di semua kondisi tadi dan dia tidak diwajibkan untuk mengulanginya.

Dan mereka menyebutkan bahwa dimakrukannya itu karena melenyapkan keutamaan shaff, bukan keutamaan sholat jamaah kecuali ada udzur, jika ada udzur maka tidak dimakruhkan.

[Baca: “التنبيه على مبادئ التوجيه”(1/507), “الفواكه الدواني”(1/527), “حاشية الدسوقي على الشرح الكبير”(1/333)]).).

Az-Zarqaani berkata:

"(وَ) جَازَ (صَلَاةُ مُنْفَرِدٍ خَلْفَ صَفٍّ) إِنْ عَسُرَ عَلَيْهِ الْوُقُوفُ فِيهِ وَإِلَّا كُرِهَ مَعَ حُصُولِ فَضْلِ الْجَمَاعَةِ وَفَوَاتِ فَضِيلَةِ الصَّفِّ فِي الْمَكْرُوهِ لَا فِي الْجَائِزِ فَتَحَصَّلَ لِنِيَّتِهِ الدُّخُولُ فِيهِ لَوْلَا تَعَسُّرُهُ".

“(Dan) diperbolehkan (sholat sendirian di belakang shaf) jika sulit baginya untuk berdiri di dalamnya. Jika tidak ada kesulitan, maka dimakruhkan meskipun tetap mendapatkan keutamaan pahala sholat berjamaah akan tetapi tidak mendapakan keutamaan shaff karena dimakruhkan, bukan dibolehkan. Maka ia tidak mendapatkannya karena sengaja niat untuk memasukinya, jika bukan karena kesulitannya “. [Baca: “شرح الزرقاني على مختصر خليل”2/30].

-----

MADZHAB SYAFI’I

Mazhab Syafi’i dalam masalah ini tidak jauh berbeda dari hukum yang tersebut di atas.

Imam Nawawi berkata dlm al-Majmu':

"اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ سَدِّ الْفُرَجِ فِي الصُّفُوفِ وَإِتْمَامِ الصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ إِلَى آخِرِهَا، وَمُقْتَضَى الِاسْتِحْبَابِ عَدَمُ الْبُطْلَانِ بِالتَّرْكِ"

“Sahabat-sahabat kami dan yang lainnya sepakat akan sunnahnya menutup celah pada shaff dan menyempurnkan shaff pertama, lalu shaff berikutnya, lalu shaff berikutnya hingga akhir”. (Baca “المجموع “4/301).

Konsekwensi dari hukum mustahab (sunnah) adalah tidak membatalkan sholat jika meninggalkannya.

Dan para ulama Madzhab Syafii menyatakan:

"أَنَّ الْإِمَامَ وَالْمَأْمُومَ إِنْ كَانَا فِي مَسْجِدٍ وَاحِدٍ، فَيَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ سَوَاءٌ قَرُبَتِ الْمَسَافَةُ بَيْنَهُمَا أَمْ بَعُدَتْ، وَسَوَاءٌ اتَّحَدَ الْبِنَاءُ أَمِ اخْتَلَفَ، كَصَحْنِ الْمَسْجِدِ وَسَطْحِهِ وَسَاحَتِهِ وَالْمِنَارَةِ الَّتِي هِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَتَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي كُلِّ هَذِهِ الصُّوَرِ، إِنْ كَانَتِ الْأَبْنِيَةُ مُتَنَافِذَةً أَبْوَابُهَا بَيْنَهُمَا، وَيُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ صَلَاةِ الْمَأْمُومِ عِلْمُهُ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ، كَأَنْ يُشَاهِدَهُ أَوْ يَسْمَعَ تَكْبِيرَهُ، أَوْ يَسْمَعَ مُبَلِّغًا، أَوْ يَرَى بَعْضَ صَفٍّ مِنَ الْمُقْتَدِينَ بِهِ أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي صَفٍّ، وَأَلَّا يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ أَعْلَى مِنْهُ أَوْ أَسْفَلَ؛ لِأَنَّ الْمَسْجِدَ كُلَّهُ كَالْجَمَاعَةِ الْوَاحِدَةِ"

Jika imam dan makmum berada dalam satu masjid; maka shah bermakmumnya, apakah jarak antara keduanya dekat atau jauh, dan apakah bangunan itu bersatu atau berbeda, seperti di tengah masjid, di bagian atas atapnya, di halamannya dan di menara yang masih bagian dari masjid; maka shalatnya sah dalam semua gambaran tadi.

Yang demikian itu jika bangunan-bangunan tersebut pintu-pintunya saling tembus diantara semuanya.

Dan yang dijadikan i’tibar (standar) sahnya shalat makmum tersebut, yaitu jika bisa mengatahui shalatnya imam. Contohnya: dia melihatnya atau mendengar takbirnya, atau mendengar suara juru sambung suara Imam (Bilal), atau melihat sebagian shaff orang-orang yang langsung mengikuti imam atau salah satu dari mereka, meskipun dia tidak dalam shaff.

Dan dia tidak boleh berada di depannya, apakah dia di atas imam atau di bawahnya; karena seluruh masjid itu seperti satu jamaah”.

[Baca: Al-Majmu’ (4/301), “المنهاج القويم”(hlm. 164) dan “نهاية المحتاج”(2/199)]

Dan begitu juga menurut mereka: Dimakruhkan shaf-shaf yang terputus-putus, dan dimakruhkan seorang makmum sendirian di belakang Shaff tanpa udzur.

Ar-Ramli berkata:

"(بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إِنْ وَجَدَ سَعَةً) بِفَتْحِ السِّينِ فِيهِ بِأَنْ كَانَ لَوْ دَخَلَ فِيهِ وَسِعَهُ وَإِنْ عُدِمَتْ فُرْجَةٌ وَلَوْ وَجَدَهَا وَبَيْنَهُ وَبَيْنَهَا صُفُوفٌ كَثِيرَةٌ خَرَقَ جَمِيعَهَا لِيَدْخُلَ تِلْكَ الْفُرْجَةَ لِأَنَّهُمْ مُقَصِّرُونَ بِتَرْكِهَا…"

“(Melainkan ia memasuki shaf jika menemukan ruang yang mencukupinya)... yakni dengan keadaan jika ia memasuki shaf itu bisa mencukupi dirinya meskipun celah itu awalnya tidak nampak.

Dan jika dia menemukan celah, sementara antara dia dan celah itu ada banyak shaff (yang menghalanginya), maka dia boleh menembus semuanya agar bisa memasuki celah shaff itu, karena mereka telah lalai dengan membiarkannya …..

Kemudian dia berkata:

"فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ كَمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ، بِخِلَافِ تَرْكِ التَّخَطِّي فَإِنَّ الْإِمَامَ يُسَنُّ لَهُ عَدَمُ إِحْرَامِهِ حَتَّى يُسَوِّيَ بَيْنَ صُفُوفِهِمْ، (نَعَمْ إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الْفُرْجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لَمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيرِ)."

Meluruskan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat sebagaimana disebutkan dalam hadits. Berbeda dengan meninggalkan melangkahi pundak (ترك التخطي), karena imam di sunnahkan untuk tidak ber Takbirotul-ihram sampai dia meluruskan shaff-shaff mereka, (ya, jika penundaan mereka dalam menutup celah itu karena adanya udzur seperti waktu bebas di Masjidil Haram, maka itu tidak makruh karena itu bukan melalaikan)”. [Lihat: “نهاية المحتاج”2/196].

Di sebutkan dlm kitab نهاية المحتاج Madzhab Syafii:

"(وَإِنْ كَانَ) الْوَاقِفُ (خَلْفَ بِنَاءِ الْإِمَامِ) (فَالصَّحِيحُ صِحَّةُ الْقُدْوَةِ بِشَرْطِ أَلَّا يَكُونَ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ) أَوِ الشَّخْصَيْنِ الْوَاقِفَيْنِ بِطَرَفَيْ الْبِنَاءَيْنِ (أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ) تَقْرِيبًا، لِأَنَّ هَذَا الْمِقْدَارَ غَيْرُ مُخِلٍّ بِالِاتِّصَالِ الْعُرْفِيِّ بِخِلَافِ مَا زَادَ عَلَيْهَا."

“(Dan jika) orang yang berdiri sendirian (di belakang bangunan imam); (maka yang benar adalah sah hukum bermakmum padanya asalkan tidak berada di antara dua shaff) atau diantara dua orang yang berdiri di dua ujung dua bangunan (lebih dari tiga hasta) kira-kira; Karena kadar ukuran ini tidak menyelisihi hukum bersambung menurut adat, berbeda jika jaraknya lebih jauh dari itu “. (Baca: “نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج”3/267).

Yang di maksud bangunan di sini, penulis kutip perkataan ar-Ramly:

"(فَإِنْ كَانَا) أَيْ الْإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ (فِي بِنَاءَيْنِ كَصَحْنٍ وَصُفَّةٍ أَوْ بَيْتٍ) مِنْ مَكَانٍ وَاحِدٍ كَالْمَدْرَسَةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى هَذِهِ الْأُمُورِ أَوْ مَكَانَيْنِ."

“(Jika mereka berdua (yaitu imam dan makmum) berada di dua bangunan, seperti di ruang tengah dan emperan. Atau rumah) dari suatu tempat, seperti madrasah yang terdiri dari hal-hal tadi (ruang tengah dan emperan Pen.), atau dua tempat “. (Baca: “نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج”3/267)

Jadi maksud dari dua bangunan itu adalah dua ruangan dalam satu gedung seperti ruang tengah dan emperan atau balkon.

Dan ada juga yang menjelaskan;

وَحَدَّدَ الشَّافِعِيَّةُ مَسَافَةَ الْمُسَامَحَةِ اللَّازِمَةِ الَّتِي لَا تَضُرُّ فِي الِاتِّصَالِ بَيْنَ الْوَاقِفِينَ بِطَرَفَيْ بِنَاءَيْنِ فِي صَفٍّ وَاحِدٍ بِأَلَّا تَزِيدَ عَنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ (180 سْم تَقْرِيبًا) لِأَنَّ هَذَا الْمِقْدَارَ غَيْرُ مُخِلٍّ بِالِاتِّصَالِ الْعُرْفِيِّ بِخِلَافِ مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَقِيَاسًا عَلَى هَذَا التَّحْدِيدِ أَيْضًا تَصِحُّ الصَّلَاةُ بِكُلِّ حَالٍ.

“Dan para ulama madzhab Syafi'i menentukan:

Jarak yang diperbolehkan yang laazim dan tidak merusak ketersambungan shaff antar keduanya yang masing-masing berdiri di ujung dua bangunan dalam satu shaff, yaitu tidak boleh melebihi tiga hasta (sekitar 180 cm).

Kadar ukuran ini tidak mengurangi nilai nyambungnya shaff makmum menurut adat kebiasaan, tidak seperti jika melebihinya. Dan berdasarkan analogi dengan spesifikasi ini juga sah shalatnya dalam semua kondisi diatas “.

https://www.elbalad.news ›... “حُكْمُ الصَّلَاةِ مَعَ وُجُودِ الْفُرَجَاتِ بَيْنَ الْمَأْمُومِينَ.. أُسْتَاذٌ بِالْأَزْهَرِ يُوَضِّحُ

------

MADZHAB HANBALI

Dan begitu juga dalam madzhab Hanbali:

لَوْ وَقَفَ الْمُصَلُّونَ خَلْفَ الْإِمَامِ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ مَعَ وُجُودِ فُرْجَةٍ وَلَوْ قَدْرَ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ فَأَكْثَرَ.. لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُمْ

Jika para makmum berdiri di belakang imam atau di sebelah kanannya dengan adanya celah, meskipun diperkirakan celahnya cukup untuk tiga orang atau lebih, maka shalat mereka tidak batal ([Lihat: “الإنصاف”(2/30 dan 4/424), “كشاف القناع”(1/328)

Ar-Ruhaibani mengatakan dalamمَطَالِبُ أُولِي النُّهَى فِي شَرْحِ غَايَةِ الْمُنْتَهَى”:

(وَلَا تَبْطُلُ) الصَّلَاةُ (بِقَطْعِ صَفٍّ مُطْلَقًا)، أَيْ: سَوَاءٌ كَانَ وَرَاءَ الْإِمَامِ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ (إِلَّا) أَنْ يَكُونَ قَطْعُ الصَّفِّ (عَنْ يَسَارِهِ)، أَيْ: الْإِمَامِ (إِذَا بَعُدَ) الْمُنْقَطِعُ (بِقَدْرِ مَقَامِ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ)؛ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهُ. قَالَهُ ابْنُ حَامِدٍ، وَجَزَمَ بِهِ فِي الرِّعَايَةِ الْكُبْرَى. 

(وَيَتَّجِهُ: أَنَّ الْمُرَادَ) بِبُطْلَانِ صَلَاةِ صَفٍّ انْقَطَعَ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ بِقَدْرِ مَقَامِ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ (مَا لَمْ تَنْوِ)، أَيْ: مَا لَمْ تَنْوِ الطَّائِفَةُ الْمُنْقَطِعَةُ (مُفَارَقَةَ) الْإِمَامِ، فَإِنْ نَوَتْ مُفَارَقَتَهُ؛ صَحَّتْ، أَوِ اتَّصَلَ الصَّفُّ، أَوْ أَمْكَنَ انْتِقَالُهَا إِلَى غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ عَمَلٍ كَثِيرٍ؛ صَحَّتْ، وَهَذَا مُتَّجِهٌ. 

(وَ) يَتَّجِهُ أَيْضًا: (أَنَّهُ مَنْ بَعُدَ عَنِ الصَّفِّ) مَعَ مُحَاذَاتِهِ لَهُ، وَكَانَ بُعْدُهُ عَنْهُ (قَدْرَ ذَلِكَ)، أَيْ: مَقَامِ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ (فَفَذٌّ)، أَيْ: فَرْدٌ لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ. وَهَذَا لَيْسَ بِوَجِيهٍ، إِذْ قَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِقَطْعِ الصَّفِّ خَلْفَ الْإِمَامِ، وَعَنْ يَمِينِهِ، وَهُوَ يَشْمَلُ الْوَاحِدَ وَالْجَمَاعَةَ.

(Sholat tidak batal dengan memotong shaf sama sekali), yakni: apakah itu di belakang imam atau di sebelah kanannya (kecuali) terputusnya shaf itu (di sebelah kirinya), yakni: imam.

(Jika berjauhan) orang yang terputus shaff (sejauh ukuran tempat berdiri tiga orang); maka batal shalatnya. Ini Ibnu Hamid telah mengatakannya, dan menegaskannya dalam kitab “الرعاية الكبرى”.

(dan ada cenderungan: bahwa apa yang dimaksudkan) membatalkan shalat shaf yang terputus di sebelah kiri imam dengan kadar jarak berdiri tiga orang (selama ia tidak berniat), yaitu: selama kelompok yang terpustus ini tidak berniat (memisahkan diri dari) imam.

Maka jika kelompok itu berniat untuk memisahkan diri darinya; maka shah shalatnya, atau shaff nya bersambung. Atau memungkinkannya untuk pindah ke yang lainnya tanpa banyak gerak; maka shah juga sholatnya. Dan ini adalah muttajih.

(Dan) ada kecenderungan juga: (bahwa orang yang jauh dari shaff) dengan posisi dia sejajar dengannya, dan jarak nya darinya adalah (seukuran itu), yaitu: tempat berdiri tiga orang (maka dia itu sholat sendiri), yakni: tunggal yang shalatnya tidak sah.

Dan Ini pernyataan yang tidak wajiih, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak apa-apa memotong shaff di belakang imam, dan di sebelah kanannya, dan itu mencakup makan satu orang dan jemaah [Baca “مطالب أولي النهى “1/695].

Ini adalah sifat yang disebutkan dalam masalah kami di sini, maka shalat dengan kondisi tersebut dibolehkan menurut madzhab Hanbali.

-----

Prof. DR. Syauqi Alam, Mufti Jumhuriyah Mesir berkata:

وَأَكَّدَ أَنَّ الْعُلَمَاءَ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ هِيَ مِنَ السُّنَنِ الْمُؤَكَّدَةِ فِي صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ؛ بَلْ نَصَّ الْحَنَفِيَّةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الْإِمَامِ، غَيْرَ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ تَسْوِيَةُ الصَّفِّ بِالتَّأْلِيفِ وَالْمَحَبَّةِ، خَاصَّةً بَعْدَ قِلَّةِ الْعِلْمِ؛ فَالْأَمْرُ يَتَطَلَّبُ مَزِيدَ الرِّفْقِ بِالنَّاسِ لِتَعْلِيمِهِمْ وَتَفْقِيهِهِمْ، وَلَكِنْ كُلُّ هَذَا لَا يَكُونُ عَلَى حِسَابِ الْمَقْصُودِ الْأَصْلِيِّ مِنَ الصَّلَاةِ، وَهُوَ حُضُورُ الْقَلْبِ وَخُشُوعُهُ، فَالْأَكْمَلُ الِاسْتِنَانُ بِالسُّنَنِ النَّبَوِيَّةِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ. 

وَإِذَا لَمْ يُمْكِنِ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فَالْحِفَاظُ عَلَى خُضُوعِ الْقَلْبِ لِلْبَارِي سُبْحَانَهُ فِي الصَّلَاةِ وَالتَّآلُفِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْلَى مِنَ الْهَدْيِ الظَّاهِرِ الْخَالِي عَنْ هَذِهِ الْحَقَائِقِ الْأَصِيلَةِ الْمَقْصُودَةِ لِذَاتِهَا، عَلَى أَنَّ الْهَدْيَ الظَّاهِرَ مَقْصُودٌ لِغَيْرِهِ، فَمَا كَانَ مَقْصُودًا لِذَاتِهِ أَوْلَى مِمَّا هُوَ مَقْصُودٌ لِغَيْرِهِ عِنْدَ التَّعَارُضِ، وَالْكَمَالُ بِثُبُوتِهِمَا مَعًا.

Ditegaskan bahwa para ulama sepakat bahwa meluruskan shaf adalah salah satu sunnah muakkadah dalam shalat berjamaah.

Bahkan, madzhab Hanafi dan lainnya menyatakan bahwa meluruskan shaff itu wajib bagi imam, tetapi seyogyanya dalam meluruskan shaff harus disertai dengan rasa kasih sayang dan mahabbah, terutama setelah kurangnya ilmu tentang itu pada umat.

Maka dalam perkara ini dibutuhkan lebih banyak kelembutan kepada orang-orang untuk mengajari mereka dan memberikan pemahaman pada nya.

Akan tetapi dari semua ini jangan sampai mengorbankan tujuan asli dari shalat itu sendiri, yaitu kehadiran hati dan kekhusyu’annya.

Maka yang paling sempurna dalam mengamalkan sunnah Nabi itu adalah secara lahir dan batin.

Dan jika tidak mungkin untuk menggabungkan keduanya, maka menjaga ketundukan hati kepada Allah SWT dalam sholat dan menjaga kerukunan di antara umat Islam itu lebih baik daripada petunjuk (hidayah) yang dzohir yang kosong dari hakikat-hakikat tujuan yang pokok, dan apalagi jika pada realitanya petunjuk yang dhohir itu dimaksudkan untuk hal yang lain.

Maka apa yang dimaksudkan untuk dzatnya itu lebih utama dari apa yang dimaksudkan untuk selainnya ketika ada kontradiksi. Dan kesempurnaan itu dengan adanya keketapan untuk keduanya secara bersama.

Lalu Mufti Prof. DR. Syauqi Alam menyebutkan apa yang dikatakan oleh ulama Hanafi Kashmir terkemuka dalam “العرف الشذي شرح سنن الترمذي”(1/235, cet. “مؤسسة ضحى”):

[تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْإِمَامِ كَمَا فِي "الدُّرِّ الْمُخْتَارِ"، وَتَرْكُهَا مَكْرُوهٌ تَحْرِيمًا. 

وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ بِفَرْضِيَّتِهَا، وَالِاعْتِبَارُ فِي التَّسْوِيَةِ الْكِعَابُ، وَأَمَّا مَا فِي "الْبُخَارِيِّ" مِنْ إِلْزَاقِ الْكَعْبِ بِالْكَعْبِ؛ فَزَعَمَهُ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّهُ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْحَالُ أَنَّهُ مِنْ مُبَالَغَةِ الرَّاوِي. 

وَالْحَقُّ عَدَمُ التَّوْقِيتِ فِي هَذَا بَلِ الْأَنْسَبُ مَا يَكُونُ أَقْرَبَ إِلَى الْخُشُوعِ.]

“Meluruskan shaf adalah wajib bagi imam, seperti dalam “Al-Durr Al-Mukhtar”, dan meninggalkannya itu dilarang.

Ibnu Hazm mengatakan fardhu hukumnya, dan yang mu’tabar dalam meluruskan shaff itu adalah antara mata kaki - mata kaki. Adapun apa yang ada dalam al-Bukhori tentang mata kaki yang menempel pada mata kaki; maka sebagian orang-orang mengklaim bahwa itu adalah hakiki, padahal realitanya bahwa itu adalah dari berlebih-lebihannya seorang perawi.

Yang benar adalah bahwa tidak ada batasan dalam hal ini, melainkan yang paling tepat adalah yang lebih dekat dengan kekhusyu’an”

Referensi: «الإفتاء» توضح حكم إلصاق الأقدام ببعضها فى الصلاة - صدى البلد https://www.elbalad.news ›

Kesimpulan dari hukum meluruskan shaff dan menutup celah adalah mustahab. Dan jika tidak mengamalknnya maka hukumnya boleh tapi makruh. Dan shalat dengan kondisi saling berjauhan antara makmum adalah sah, meskipun tidak ada hajat atau udzur. Namun jika ada udzur atau hajat, maka hukum makruhnya menjadi hilang.

===

DALIL YANG MENYATAKAN :
BAHWA MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF ITU SUNNAH

Mereka berpegang pada hadits-hadits yang menunjukkan bukan wajib, yaitu spt berikut ini:

Hadits pertama:

Dari Abu Hurairah dari Nabi , beliau bersabda:

وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ

"Dan kalian luruskanlah shaf, karena lurusnya shaf merupakan bagian dari bagusnya shalat." (HR. Bukhori no. 680)

Hadits kedua:

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda:

((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ)).

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”(Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433]

Dalam riwayat Al-Bukhori disebutkan:

((فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ)).

“Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”

Kalimat “bagian dari kebaikan sholat”atau “bagian dari kesempurnaan sholat.”menujukkan hukum sunnah, tidak menunjukkan hukum wajib.

Pada zaman para sahabat Nabi dahulu, tidak ada seorang sahabatpun yang memerintahkan orang yang tidak merapatkan barisan dalam jamaah sholat untuk mengulang sholatnya. Hal ini juga tidak menunjukkan hukum wajibnya merapatkan barisan dalam jamaah sholat.

Hadits ke tiga:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi bersabda:

"أَقِيمُوا الصُّفُوفَ، فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ، وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا، وَصَلَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Luruskanlah shaff (barisan), karena sesungguhnya kalian sedanga berbaris dengan barisan para malaikat. Dan sejajarkanlah antara pundak-pundak kalian, tutuplah celah-celah kosong shaff, dan berlunaklah terhadap tangan saudara kalian, dan jangan biarkan celah-celah kosong shaff untuk dimasuki setan. Dan barang siapa menyambung barisan shalat, maka Allah akan menjalin hubungan terhadapnya. Sebaliknya barang siapa memutuskan barisan shalat, Allah akan memutus hubungan terhadapnya.”

(HR. Ahmad 5466 & 5724 dan kata-katanya adalah miliknya, Abu Daud (666), dan al-Tabarani (13/319) (14113). Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dlm Takhrij al-Musnad 8/82 dan Syeikh al-Albaani dlm shahih Abi Daud no. 666.

Dalam hadits ini Rosulullah mengatakan:

وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ

“Dan sejajarkanlah antara pundak-pundak kalian”

Makna “mensejajarkan”itu tidak mesti harus menempel.

*****

PENDAPAT KE DUA: WAJIB MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF.

Sebagian para ulama – termasuk Imam Bukhori, Ibnu Hazm adz-Dzoohiri, syeikhul Islam Ibnu Taimiah, al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolàni, Syeikh Bin Baaz, Syeikh Ibnu ‘Utsaimin dan beberapa ulama hadits lainnya – berpendapat bahwa:

“Meluruskan shaf dan merapatkannya adalah WAJIB”.

Artinya menurut pendapat wajib ini: jika tidak lurus shaffnya dan tidak rapat; maka berdosa, namun tidak membatalkan sholatnya, kecuali Ibnu Hazem adz-Dzoohiri, beliau berpendapat batal dan tidak shah sholat seoarang makmum yang tidak meluruskan shafnya.

Al-Imam Al-Bukhori meriwayatkan dari Busyair bin Yasar Al Anshari dari Anas bin Malik:

أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَقِيلَ لَهُ مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ

“Bahwa dia (Anas radhiyallahu ‘anhu) datang ke Madinah, lalu dikatakan kepadanya, "Apakah ada sesuatu yang kamu ingkari dari perbuatan kami sejak kamu hidup bersama Rasulullah ?" Anas bin Malik menjawab, "Tidak ada sesuatu yang aku ingkari dari kalian kecuali kalian tidak meluruskan shaf dalam shalat." (HR. Bukhori no. 682).

Dan Al-Imam Al-Bukhori menuliskan BAB untuk hadits ini:

{ بَابُ إِثْمِ مَنْ لَمْ يُتِمَّ الصُّفُوفَ }

“BAB: tentang dosa orang-orang yang tidak menyempurnakan shaff “

Seolah-olah beliau berpendapat bahwa meluruskan shaf itu wajib, dan hal yang sama ada kesesuaian antara atsar Anas radhiyallahu ‘anhu ini dengan BAB yang di tulis oleh al-Bukhori ini; karena dalam atsar tersebut Anas radhiyallahu 'anhu, mengingkari mereka yang tidak mendirikan shaff, dan pengingkarannya ini menunjukkan bahwa dia melihat bahwa meluruskan shaff itu wajib, maka orang yang meninggalkan kewajiban adalah berdosa. (Baca: “عمدة القاري شرح صحيح البخاري”karya al-‘Aini 8/462).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

"يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْبُخَارِيُّ أَخَذَ الْوُجُوبَ مِنْ صِيغَةِ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ))، وَمِنْ عُمُومِ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ((صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي))، وَمِنْ وُرُودِ الْوَعِيدِ عَلَى تَرْكِهِ؛ فَرَجَحَ عِنْدَهُ بِهَذِهِ الْقَرَائِنِ أَنَّ إِنْكَارَ أَنَسٍ إِنَّمَا وَقَعَ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبِ، وَإِنْ كَانَ الْإِنْكَارُ قَدْ يَقَعُ عَلَى تَرْكِ السُّنَنِ".

“Bisa jadi Al-Bukhori dalam menetapkan hukum wajib dengan mengambil dari ungkapan dalam sabda Nabi :

((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ))

“Luruskan lah shaff kalian “.

Dan dari makna umum dalam sabda Nabi :

((صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي))

“Sholat lah kalian seperti kalian lihat aku sholat “.

Dan dengan adanya ancaman atas orang yang meninggalkannya; maka menurut beliau qarinah-qarinah ini mentarjih bahwa pengingkaran Anas itu terjadi hanya pada pengabaian kewajiban, meskipun pengingkaran seperti itu bisa terjadi pada pengabaian Sunah-sunah. [Baca: “الفتح”3/75]

Kemudian Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَمَعَ القَوْلِ بِأَنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ وَاجِبَةٌ فَصَلَاةُ مَنْ خَالَفَ وَلَمْ يُسَوِّ صَحِيحَةٌ، وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ أَنَّ أَنَسًا مَعَ إِنْكَارِهِ عَلَيْهِمْ، لَمْ يَأْمُرْهُمْ بِإِعَادَةِ الصَّلَاةِ۔

Meskipun berpendapat bahwa meluruskan shaf itu wajib, namun sholat orang yang menyelisihinya dan tidak meluruskan shaff nya itu tetap sah, dan ini diperkuat oleh fakta bahwa sahabat Anas, meskipun dia mengingkari mereka (yang tidak meluruskan shaff), akan tetapi dia tidak memerintahkan mereka untuk mengulangi shalatnya”

[Baca: فتح الباري (2/206 & 3/75). Dan Baca juga: “شرح صحيح البخاري”karya Ibnu Bath-thool 2/347 dan طرح التثريب (3/68)].

Bahkan al-Hafidz Ibnu Rajab meriwayatkan Ijma’ para ulama tentang itu, dia mengatakan:

" وَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُبْطِلُ تَرْكُهُ عَمْدًا وَلَا سَهْوًا"

"Tidak ada perselisihan bahwa itu tidak membatalkannya, baik meninggalkannya dengan sengaja atau karena kelalaian”. (Baca: “فتح الباري”karya Ibnu Rojab 4/297).

Al-‘Allaamah Ibnu al-Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, memperkuat hal ini, dengan mengatakan bahwa:

"احْتِمَالُ عَدَمِ البُطْلَانِ مَعَ الإِثْمِ أَقْوَى؛ لِأَنَّ التَّسْوِيَةَ وَاجِبَةٌ لِلصَّلَاةِ لَا وَاجِبَةٌ فِيهَا؛ يَعْنِي: أَنَّهَا خَارِجٌ عَنْ هَيْئَتِهَا، وَالوَاجِبُ لِلصَّلَاةِ يَأْثَمُ الإِنْسَانُ بِتَرْكِهِ، وَلَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِهِ؛ كَالأَذَانِ مِثْلًا، فَإِنَّهُ وَاجِبٌ لِلصَّلَاةِ، وَلَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ"۔

“Kemungkinan tidak membatalkan shalat itu lebih kuat, karena meluruskan shaf itu wajib untuk shalat, bukan wajib di dalam shalat. Artinya: diluar rukun gerakan sholat. Dan sesuatu yang wajib untuk shalat maka seseorang berdosa dengan meninggalkannya, namun shalatnya tidak batal karenanya. Seperti adzan, misalnya, wajib untuk shalat, tetapi shalatnya tidak batal dengan meninggalkannya. [Baca: “الشرح الممتع”3/10]

Ini berbeda dengan pendapat Ibnu Hazem, beliau mengatakan: Batal sholatnya. [baca: “الإحكام في أصول الأحكام”2/186 karya Ibnu Hazm].

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam al-Fath 2/175:

(وَأَفْرَطَ بن حَزْمٍ فَجَزَمَ بِالْبُطْلَانِ وَنَازَعَ مَنِ ادَّعَى الْإِجْمَاعَ عَلَى عَدَمِ الْوُجُوبِ بِمَا صَحَّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ ضَرَبَ قَدَمَ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ لِإِقَامَةِ الصَّفِّ وَبِمَا صَحَّ عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ قَالَ كَانَ بِلَالٌ يُسَوِّي مَنَاكِبنَا وَيَضْرِبُ أَقْدَامَنَا فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ مَا كَانَ عُمَرُ وَبِلَالٌ يَضْرِبَانِ أَحَدًا عَلَى تَرْكِ غَيْرِ الْوَاجِبِ وَفِيهِ نَظَرٌ لِجَوَازِ أَنَّهُمَا كَانَا يَرَيَانِ التَّعْزِيرَ عَلَى تَرْكِ السُّنَّةِ)) انتهى

“Dan Ibnu Hazem telah berlebihan dengan menganggap batal sholat (makmum yang tidak meluruskan shaff), dan terhadap orang yang mengklaim adanya Ijma’ tidak wajib dia membantah nya dengan riwayat yang shahih dari Umar: bahwa Umar memukul kaki Abu Utsman an-Nahdi untuk meluruskan shaff. Dan dengan riwayat yang shahih dari Suwaid bin Ghaflah, dia berkata: “Bilal biasa meluruskan bahu-bahu kami dan memukul kaki-kaki kami dalam shalat.”

Lalu Ibnu Hazem berkata: 'Umar dan Bilal tidak pernah memukul seseorang hanya karena meninggalkan sesuatu yang tidak wajib “.

Maka Ibnu Hajar menjawabnya: “Dan di dalamnya ada yang perlu dipertimbangkan; karena boleh saja mereka berdua melakukannya dengan tujuan menta’ziir / sebagai teguran karena meninggalkan sunnah”. [Selesai]

Dan kisah Abu Utsman diriwayatkan oleh Ibn Hazm dalam Al-Muhalla (2/379).

===

DALIL PENDAPAT KEDUA 

(yang mengatakan WAJIB meluruskan dan merapatkan shaff)

Dalil Pertama: 

Mereka yang berpendapat wajibnya meluruskan shaff menyatakan bahwa hadits-hadits tentang meluruskan shaff dan menutup celah itu menunjukkan hukum wajib, bukan Sunnah. (Baca: “الموسوعة الفقهية الكويتية”(27/36).

Dalil Kedua: 

Berhujjah dengan atsar para sahabat radhiyallahu ‘anhu dalam meluruskan Shaff:

Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَإِذَا جَاءُوهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنْ قَدْ اسْتَوَتْ كَبَّرَ

Bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan agar meluruskan shaf. Jika mereka datang dan mengabarkan kepadanya bahwa shaf telah lurus, maka ia pun bertakbir." (HR. Malik dlm al-Muwaththa no. 337 dan Turmudzi dalam Sunan Turmudzi di bawah no. 210)

Imam Turmudzi berkata:

‏وَرُوِيَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَلِيٍّ ‏ ‏وَعُثْمَانَ ‏ ‏أَنَّهُمَا كَانَا يَتَعَاهَدَانِ ذَلِكَ وَيَقُولَانِ اسْتَوُوا ‏ ‏وَكَانَ ‏ ‏عَلِيٌّ ‏ ‏يَقُولُ تَقَدَّمْ يَا فُلَانُ تَأَخَّرْ يَا فُلَانُ ‏

Telah diriwayatkan juga dari Ali dan Utsman, bahwa keduanya selalu memperhatikan hal itu. Keduanya berkata: "Luruskanlah (barisan shalat kalian)." Ali kadang berkata; "Maju wahai fulan, mundur wahai fulan." (Sunan Turmudzi di bawah no. 210)

Dari Malik dari pamannya [Abu Suhail bin Malik] dari [Bapaknya] bahwa dia berkata;

كُنْت مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَامَتْ الصَّلَاةُ وَأَنَا أُكَلِّمُهُ فِي أَنْ يَفْرِضَ لِي فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ وَهُوَ يُسَوِّي الْحَصْبَاءَ بِنَعْلَيْهِ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الصُّفُوفَ قَدْ اسْتَوَتْ فَقَالَ لِي اسْتَوِ فِي الصَّفِّ ثُمَّ كَبَّرَ

"Aku pernah bersama [Utsman bin Affan], iqamah pun dikumandangkan, sementara aku masih berbicara dengannya minta agar ia memberi suatu kewajiban. Dan aku tetap mengajaknya bicara sedangkan ia meratakan kerikil dengan dua sandalnya. Sehingga ketika beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang dan mengabarkan kepadanya bahwa shaf telah lurus, ia berkata kepadaku, 'Luruskan shaf.' Setelah itu ia bertakbir." (al-Muwatha no. 338)

Dari Khoitsamah, dia berkata: 

صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَرَأَى فِي الصَّفِّ فُرْجَةً فَأَوْمَأَ إِلَيَّ فَلَمْ أَتَقَدَّمْ، قَالَ: فَتَقَدَّمَ هُوَ فَسَدَّهَا

Saya sholat di samping Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, lalu dia melihat celah di barisan, maka dia memberi isyarat kepada saya, tetapi saya tidak mau maju. Khoitsamah berkata: Dia berkata: Maka dia maju ke depan lalu menutupnya (HR. Ibnu Abi Syaibah dlm al-Mushannaf 1/416).

Al-Baaji dalam syarah al-Muwaththa 1/280 berkata:

 ((وَقَوْلُهُ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ دَلِيلٌ عَلَى اهْتِبَالِ الْأَئِمَّةِ بِتَسْوِيَتِهَا لِأَنَّهُ يَلْزَمُ الْأَئِمَّةَ مُرَاعَاتُهُ عَلَى حَسَبِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ فِعْلِ عُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -

Dan perkataan nya “Sehingga ketika beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang”adalah dalil akan perhatian para imam terhadap pelurusan shaff; karena yang demikian itu melazimkan para imam untuk memeliharanya sebagaiman yang telah kami sebutkan dari perbuatan Utsaman dan Ali bin Abi Thalib ardhiyallahu ‘anhu.

Lalu Al-Baaji berkata:

قَالَ ابْنُ حَبِيبٍ: وَقَدْ رَأَيْت أَمِيرَ الْمَدِينَةِ وَكَّلَ رِجَالًا بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَمَنْ وَجَدُوهُ دُونَ الصَّفِّ وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ سَارُوا بِهِ بَعْدَ الصَّلَاةِ إلَى السِّجْنِ)).

Ibnu Habib berkata: Saya telah melihat Amir Madinah, dia menunjuk orang-orang untuk meluruskan barisan di masjid Nabawi. - Maka barang siapa yang menemukannya di luar shaf padahal ia bisa memasukinya, maka mereka membawanya setelah shalat ke dalam PENJARA.

Dalil Ketiga: 

Berhujjah dengan perbuatan sebagian para Sahabat yang memukul orang yang tidak meluruskan shaff.

Ibnu Hazem dalam al-Muhalla (2/379) berkata:

رُوِينَا بِأَصَحِّ إِسْنَادٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: كُنْتُ فِيمَنْ ضَرَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَدَمَهُ لِإِقَامَةِ الصَّفِّ فِي الصَّلَاةِ۔. قَالَ عَلِيٌّ: مَا كَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - لِيَضْرِبَ أَحَدًا وَيَسْتَبِيحَ بَشَرَةً مُحَرَّمَةً عَلَى غَيْرِ فَرْضٍ)) انتهى

Kami meriwayatkan dengan sanad yang paling shahih dari Abu Utsman Al-Nahdi, katanya: “Saya termasuk orang yang dipukul oleh Umar bin Khattab kakinya untuk mendirikan shaff”.

Ali berkata: “Dia (Umar) - semoga Allah meridhoinya - tidak akan memukul siapa pun dan menghalalkan kulit yang terlarang hanya karena sesuatu yang tidak wajib “. (S)

Dan Ibnu Hazem juga berkata:

(وَعَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عِمْرَانَ الْجُعْفِيِّ عَنْ سُوَيْد بْنِ غَفَلَةَ قَالَ: كَانَ بِلَالٌ - هُوَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَضْرِبُ أَقْدَامَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيُسَوِّي مَنَاكِبَنَا.

فَهَذَا بِلَالٌ مَا كَانَ: لِيَضْرِبَ أَحَدًا عَلَى غَيْرِ الْفَرْضِ. وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ: مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ اعْتِدَالُ الصَّفِّ. وَأَنَّهُ قَالَ: لَأَنْ تَخِرَّ ثَنِيَّتَايَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَرَى خَلَلًا فِي الصَّفِّ فَلَا أَسُدَّهُ)) انتهى

“Dan dari Sufyan ats-Tsauri dari al-A’masy dari ‘Umaarah bin Imran bin Al-Ju’fii dari Suweid bin Ghaflah mengatakan: Bilal - adalah muadzin Rasulullah dulu dia senantiasa memukul kaki kita dalam shalat dan bahkan pundak-pundak kami “.

Maka Bilal ini tidak akan memukul seseorang untuk sesuatu selain yang wajib.

Dan dari Ibnu Umar: “Dari kesempurnaan shalat adalah keseimbangan shaff “.

Dan dia juga berkata: Bahwa rontoknya dua gigi seri saya lebih saya cintai daripada saya melihat celah-celah dalam shaff dan aku tidak menutupnya. (Selesai kutipan dari al-Muhalla)

Namun perkataan Ibnu Hazem tentang wajibnya meluruskan di tanggapi oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath 2/175 dengan mengatakan:

وَفِيهِ نَظَرٌ لِجَوَازِ أَنَّهُمَا كَانَا يَرَيَانِ التَّعْزِيرَ عَلَى تَرْكِ السُّنَّةِ

“Dan di dalamnya ada yang perlu dipertimbangkan; karena boleh saja mereka berdua melakukannya / memukulnya dengan tujuan menta’ziir / sebagai teguran karena meninggalkan sunnah”. (Selesai)

===****===

BATASAN RAPAT NYA SHAFF 
MENURUT PENDAPAT YG MEWAJIBKAN LURUSNYA SHAFF

Menurut pendapat ini, bagaimana batasan rapat nya Shaff dan jarak nya? 

Ada dua pendapat:

Pendapat Pertama: antara mata kaki para makmum harus menempel / melekat.

Pendapat Kedua: Ibnu Hazem mengatakan tidak harus nempel, yang penting Shaff lurus.

Dalam kitab “العرف الشذي شرح سنن الترمذي”(1/235, cet. “مؤسسة ضحى”) di sebutkan:

[تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْإِمَامِ كَمَا فِي "الدُّرِّ الْمُخْتَارِ"، وَتَرْكُهَا مَكْرُوهٌ تَحْرِيمًا. 

وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ بِفَرْضِيَّتِهَا، وَالِاعْتِبَارُ فِي التَّسْوِيَةِ الْكِعَابُ، وَأَمَّا مَا فِي "الْبُخَارِيِّ" مِنْ إِلْزَاقِ الْكَعْبِ بِالْكَعْبِ؛ فَزَعَمَهُ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّهُ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْحَالُ أَنَّهُ مِنْ مُبَالَغَةِ الرَّاوِي. 

وَالْحَقُّ عَدَمُ التَّوْقِيتِ فِي هَذَا بَلِ الْأَنْسَبُ مَا يَكُونُ أَقْرَبَ إِلَى الْخُشُوعِ]

Meluruskan shaf adalah wajib bagi imam, seperti dalam “Al-Durr Al-Mukhtar”, dan meninggalkannya itu makruh tahrim (Haram).

Ibnu Hazm mengatakan fardhu hukumnya, dan yang mu’tabar dalam meluruskan shaff itu adalah antara mata kaki - mata kaki.

Adapun apa yang ada dalam al-Bukhori tentang mata kaki yang menempel pada mata kaki; maka sebagian orang-orang mengklaim bahwa itu adalah hakiki, padahal realitanya bahwa itu adalah kata-kata yang berlebihan dari seorang perawi.

Yang benar adalah bahwa tidak ada batasan dalam hal ini, melainkan yang paling tepat adalah yang lebih dekat dengan kekhusyu’an]

*****

APAKAH LAFADZ HADITS :
SALING MENEMPELKAN MATA KAKI DAN BAHU DALAM SHAFF SHALAT" :
BERMAKNA HAKIKI ATAU MAJAAZI?

Ungkapan kata-kata tersebut di ambil dari perkataan sebagian para perawi dari kalangan para sahabat, bukan dari sabda Nabi . Yaitu perkataan Nu’man bin Basyiir radhiyallahu ‘anhu dan Anas bin Malik radhiayllahu ‘anhu.

Texs Perkataan Sahabat Nu’man bin Basyiir radhiayllahu ‘anhu:

فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

 Maka saya melihat seseorang melekatkan (menempelkan) pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian pula antara lutut dan mata kakinya dengan lutut dan mata kaki temannya. (HR. Abu Daud no. 566, Nasaa’i no. 801 dan Ahmad no. 17703). Di shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud no. 662.

Dan texs Perkataan Sahabat Anas radhiayllahu ‘anhu:

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Dan setiap orang dari kami melekatkan (menempelkan) bahunya kepada bahu temannya, dan kakinya pada kaki temannya”. (HR. Bukhori no. 683)

Makna “إِلْزَاقٌ” menurut bahasa:

لَزِقَ الشَّيءُ بِالشَّيءِ: عَلِقَ بِهِ وَاسْتَمْسَكَ بِمَادَّةٍ غِرَائِيَّةٍ

Sesuatu melekat pada sesuatu: yakni mengait padanya dan merekat kuat dengan menggunakan bahan LEM perekat.

لَزِقَ الشَّيءُ بِالشَّيءِ: اتَّصَلَ بِهِ، لَا يَكُونُ بَيْنَهُمَا فَجْوَةٌ.

Sesuatu melekat pada sesuatu: bersambung dengannya, tidak ada celah di antara keduanya.

لَزِقَ بَيْتُهُ بِبَيْتِي: لَصِقَ بِهِ.

Rumahnya melekat dengan rumahku: yakni menempel dengannya

*******

APAKAH KATA “إِلْزَاقٌ [ ilzaaq ]” DALAM HADITS :
BERMAKNA KIASAN ATAU HAKIKI?

ADA DUA PENDAPAT

PENDAPAT PERTAMA: 
BERMAKNA MAJAZI (مَجَازِي: KIASAN):

Mereka mengatakan: yang lebih rajih makna “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”itu bukanlah makna hakiki, yaitu menempelkan kaki dan bahu satu sama lain, akan tapi maknanya kiasan / MAJAZI, yakni mubalaghah (hiperbolik) atau ungkapan berlebihan sebagai penyemangat dalam meluruskan dan merapat kan shaf serta menutup celah, namun tidak harus menempel.

Ini adalah pendapat Jumhur ulama (Baca: فيض الباري شرح صحيح البخاري 2/486).

====

ARGUMENTASI DAN QORINAHNYA ADALAH SBB:

----

ARGUMENTASI PERTAMA: 

Karena makna hakiki “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”adalah melekatkan atau menempelkan. Maka di sini makna yang lebih cocok adalah makna majazi yaitu ungkapan maximal (mubalaghah) tentang perintah meluruskan dan merapatkan shaf serta menutup celah yang lowong.

Al-hafidz Ibnu Hajar dlam “فتح الباري”2/211 berkata:

(قَوْلُهُ بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ) الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

“(Bab: menempelkan pundak dengan pundak; kaki dengan kaki dalam shaf), yang maksud dengan itu adalah ungkapan hiberbolis (mubalaghah) tentang lurusnya shaf dan menutup celah-celah “. (Selesai).

Dan yang al-Hafidz Ibnu Hajar katakan ini adalah sesuai dengan pemahaman para Imam empat madzhab (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal).

Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi (w.1353 H) berkata:

قَالَ الحَافِظُ: المُرَادُ بِذَلِكَ المُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ. قُلْتُ: وَهُوَ مُرَادُهُ عِنْدَ الفُقَهَاءِ الأَرْبَعَةِ.

“Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan itu adalah agar berlebihan dalam semangat meluruskan shaf dan menutup celah-celahnya (yang kosong).”

Aku (Al-Kasymiri) berkata: Dan ini adalah makna yang dikehendaki oleh para Imam yang empat “. [Baca: فيض الباري على صحيح البخاري 2/302].

Begitu juga al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata:

وَحَدِيثُ أَنَسٍ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ: مُحَاذَاةُ المَنَاكِبِ وَالأَقْدَامِ.

“Hadits Anas ini menunjukkan, sesungguhya meluruskan shaf-shaf itu adalah pensejajaran pundak dan telapak kaki.”[Baca “فتح الباري”: 6/282].

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata

الصَّحَابَةُ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ- فَإِنَّهُمْ كَانُوا يُسَوُّونَ الصُّفُوفَ بِإِلْصَاقِ الْكَعْبَيْنِ بَعْضِهِمَا بِبَعْضٍ، أَي إِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يُلْصِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ جَارِهِ لِتَحْقِيقِ الْمُحَاذَاةِ وَتَسْوِيَةِ الصَّفِّ، فَهُوَ لَيْسَ مَقْصُودًا لِذَاتِهِ لَكِنَّهُ مَقْصُودٌ لِغَيْرِهِ كَمَا ذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَلِهَذَا إِذَا تَمَّتِ الصُّفُوفُ وَقَامَ النَّاسُ يَنْبَغِي لِكُلِّ وَاحِدٍ أَنْ يُلْصِقَ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ لِتَحْقِيقِ الْمُسَاوَاةِ، وَلَيْسَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنْ يُلَازِمَ هَذَا الْإِلْصَاقَ وَيَبْقَى مُلَازِمًا لَهُ فِي جَمِيعِ الصَّلَاةِ.

“Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain,

Yakni: bahwa masing-masing dari mereka semua menempelkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya hanya untuk memastikan kesejajaran dan lurusnya Shaff.

Dan ini (yakni, melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah yang dimaksud itu pada dzatnya, akan tetapi yang dimaksud adalah untuk hal yang lain, sebagaimana yang di sebutkan oleh sebagian para ulama’.

Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf). Bukan berarti maknanya bahwa seseorang harus terus menerus melekatkannya, dan tetap melekatkannya seacara terus menerus sepanjang shalat“.

[Baca: “فتاوى أركان الإسلام / Fatawa Arkanil Islam: 312].

Pendekatan uraian Syeikh al-‘Utsaimin ini mirip seperti dalam baris berbaris, ada perintah dengan istilah:

“Lencang kanan gerak!” atau “setengah lencang kanan gerak!”.

Dua perintah ini, hanyalah “istilah”untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Jika ttelah lurus, maka tangan pun segera diturunkan. Bukan berarti tangan harus lencang terus. Ini adalah termasuk masalah-masalah yang kita maklumi bersama.

Dan Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata:

فَهَذَا فَهْمُ الصَّحَابِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي التَّسْوِيَةِ: الِاسْتِقَامَةُ، وَسَدُّ الْخَلَلِ، لَا الْإِلْزَاقُ وَإِلْصَاقُ الْمَنَاكِبِ وَالْكِعَابِ.

“Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu Hajar) merupakan pemahaman para sahabat –radhiallahu ‘anhum- dalam meluruskan (shaf), yaitu: lurus dan menutup celah, bukan melekatkan dan menempelkan pundak dan mata kaki.”[Baca: لا جديد في أحكام الصلاة: 12].

Dan begitu juga dengan makna kalimat “تَرَاصُّوْا “atau “رُصُّوا صُفُوفَكُمْ “dalam hadits-hadits, yang maksud adalah merapatkan barisan, tanpa harus menempelkan, sebagaimana dalam pembahasan makna kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”. [Lihat إرشاد الساري 2/67 dan عمدة القارئ 5/259]

-----

ARGUMENTASI KEDUA: 

Rasulullah juga memerintahkan kita untuk “melunakan pundak”dalam shaff Sholat, yaitu dalam sabdanya:

‏"‏ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ ‏"‏

“Jadilah luwes dan lunak terhadap tangan saudara-saudara kalian”.

Maksudnya memberi celah bagi makmum yang ingin masuk dalam shaf, sebagaiman yang di tafsiri oleh Abu Daud no. 666:

وَمَعْنَى ‏"‏ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ ‏"‏ ‏.‏ إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلَيِّنَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ

Makna “jadilah luwes dan lunak terhadap tangan saudara-saudara kalian”, yakni: Jika seorang datang lalu masuk ke dalam shaff, maka seyogyanya setiap orang agar melunakkan bahu-bahunya untuknya di dalam shaff.

Perintah diatas menunjukkan bahwa shaf para sahabat itu tidak saling menempelkan kaki, bahu dan lututnya. Jika seandainya benar ditempelkan; tentunya tidak akan ada kesempatan atau kecil kemungkinan dapat memberi celah bagi makmum yang lain untuk memasuki shaf.

Dengan demikian makna hadits tersebut adalah:”Dan lunakanlah (menggeser untuk celah kosong) terhadap kedua tangan saudara kalian (masuk dalam shaf)”.

Dan Nabi bersabda:

خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ.

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak/lembut pundaknya di dalam shalat.”[HR. Abu Dawud].

Menurut Al-Khathabi bahwa kata “paling lembut pundaknya”, maknanya:

وَمَعْنَاهُ لُزُومُ السَّكِينَةِ فِي الصَّلَاةِ، وَالطُّمَأْنِينَةِ فِيهَا، لَا يَلْتَفِتُ وَلَا يُحَاكُّ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ صَاحِبِهِ.

“Harus senantiasa tenang dan thuma’ninah dalam shalat, tidak menoleh dan pundaknya tidak mengusik pundak orang lain.”

[Baca: معالم السنن di haamisy Sunan Abi Daud 1/307 di bawah hadits no. 672. di Ta’liq oleh Izzat as-Sayyid. cet. Dar Ibnu Hazem].

Menurut Al-Munawi –rahimahullah-:

وَلَا يُحَاشِرْ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ صَاحِبِهِ.

“Pundaknya tidak mendesak pundak sahabatnya.”[Baca: فَيْضُ الْقَدِيرِ (3/466)].

------

ARGUMENTASI KETIGA: 

Perintah menutup celah dalam shaf adalah agar tidak masuk setan didalamnya, dengan perumpamaan sbb:

  1. Diumpamakan dengan anak kambing yang masuk pada celah shaf.
  2. Nabi sendiri yang memeriksa shaf para sahabat, yaitu dengan cara lalu lalang dari satu ujung ke ujung yang lain diantara shaf. Dengan demikian ukuran rapatnya shaf itu selama tidak masuk orang atau anak kambing, dan hal tersebut tidak mesti dirapatkan.

Ini difahami dari kalimat: “وَسُدُّوا الْخَلَلَ “. Artinya: “Dan tutuplah celah-celah (pada shaf)”.

Diperkuat pula dengan riwayat lain yang lafadznya sbb:

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh saya melihat setan masuk ke dalam celah-celah shaf itu, seakan-akan seperti anak kambing kecil”.

Dan dalam riwayat lain:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ

“Dulu Rasulullah senantiasa memasuki celah-celah shaf, dari satu ujung ke ujung yang lain”.

Dengan demikian merapatkan shaf, bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan shalat. Dimana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet (tidak nempel).

BATASAN RAPAT NYA SHAFF  : 
Menurut pendapat yang men-SUNNAH-kan lurus dan rapatnya shaff:

Ada sebagian ulama yang mengatakan: Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershaf yang bisa di isi oleh satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka itu tidak dilarang, akan tetapi dianjurkan. 

Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan:

أَيْ: أَنْ لَا يَتْرُكَ فِي الْبَيْنِ فُرْجَةً تَسَعُ فِيهَا ثَالِثًا۔ بَقِيَ الْفَصْلُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ: فَفِي «شَرْحِ الْوِقَايَةِ» أَنَّهُ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِقَدْرِ أَرْبَعِ أَصَابِعَ، وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، وَفِي قَوْلٍ آخَرَ: قَدْرُ شِبْرٍ

“Yakni: Janganlah seorang meninggalkan celah (jarak) di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di dalamnya.

Tinggal masalah jarak antara kedua kaki, maka di dalam “Syarh Al-Wiqoyah”: bahwa itu di sela (dipisah) di antara keduanya dengan seukuran empat jari. Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i. Dan dalam pendapat lain: ukuran satu jengkal.” [Baca: فيض الباري (2/302)].

Dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidin”(140) di sebutkan:

وَتُعْتَبَرُ الْمَسَافَةُ فِي عَرْضِ الصُّفُوفِ بِمَا يُهَيَّأُ لِلصَّلَاةِ، وَهُوَ مَا يَسَعُهُمْ عَادَةً مُصْطَفِّينَ مِنْ غَيْرِ إِفْرَاطٍ فِي السَّعَةِ وَالضِّيقِ

“Dan jarak yang mu’tabar dalam kerenggangan shaf-shaf dengan apa yang seorang bisa menyiapkan dirinya untuk shalat. Yaitu adalah apa yang secara adat kebiasaan membuat mereka biasa LELUASA, mereka berbaris tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan”.

Maka dengan demikian yang dimaksud dengan sabda Nabi :

وسُدُّوا الخَلَلَ ، ولا تذَرُوا فُرُجاتٍ للشيطانِ

“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah-celah untuk syetan.”

Maksudnya, yang dilarang adalah meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada celah (jarak) sama sekali.

Sama seperti ketika Nabi memerintahkan kita untuk shalat di awal waktu, bukan berarti kita sudah harus takbiratul Ihram pas detik pertama waktu shalat masuk. Tapi ada jaraknya, untuk berpakaian, untuk wudhu, dan juga berjalan ke masjid. Ini perkara yang dimaklumi bersama. [Baca: “إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام”karya Ibnu Daqiq al-‘Ied 2/38].

-----

ARGUMENTASI KE EMPAT: 

Seandainya kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”di maknai dengan makna Hakiki, maka dalam prakteknya dapat mengganggu kekhusyuan antar makmum dan sulit untuk melaksanakan sholat secara thuma’ninah dalam sholat berjamaah. Padahal kita diperintahkan untuk melaksanakan sholat secara khusyu dan thuma’ninah.

Bahkan kita diperintahkan untuk menjauhi hal-hal yang bisa mengganggu kekhusyuan dan kethuma’ninahan dalam sholat. Rosulullah bersabda:

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Kemudian rukuklah sampai kamu thuma'ninah (tenang) dalam rukuk, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma'ninah sujudnya, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma'ninah. Maka lakukanlah itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu." (HR. Bukhori no. 6174)

-----

ARGUMENTASI KE LIMA: 

Seandainya kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”di maknai dengan makna Hakiki; maka seharusnya ada dalil lain yang menjelaskan pada saat kondisi apa saja? apakah saat berdiri saja?

Karena jika tidak ada dalil yang membatasinya, maka konsekwensinya harus dilakukan dalam setiap keadaan dan gerakan dalam sholat, termasuk dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud dan duduk tasyahud.

Ini akan menyulitkan dalam pengamalannya. Dan kami belum menemukan dalil yang berkenaan dengan perintah atau anjuran untuk melepaskan tempelan kaki, bahu dan lutut secara khusus dalam shaf sholat.

-----

ARGUMENTASI KE ENAM: 

Seandainya kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”di maknai dengan makna Hakiki; maka akan menyulitkan para makmum, karena masing-masing makmum dalam shaf harus menempelkan mata kaki dan bahu antar para makmum dalam shaff, sedangkan ukuran manusia berbeda-beda tinggi dan besarnya. Apalagi jika harus saling menempelkan lutut, maka itu mendekati mustahil. Sementara syariat ini diturunkan sesuai dengan kemampuan manusia.

----

ARGUMENTASI KE TUJUH: 

Jika kita menyetujui bahwa kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”dalam hadits itu benar-benar di maknai dengan makna Hakiki; maka “perbuatan sahabat dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki “maksudnya adalah hanya pada awal sebelum sholat saja untuk meluruskan shaff, salah satunya dengan cara menempelkan antar mata kaki dan bahu para makmum.

Dan tidak ada riwayat hadits yang menyuruh melakukan hal tersebut berkesinambungan hingga sholat selesai; karena tujuannya adalah untuk mengekpresikan keseriusan dalam kerapihan berbaris ketika sholat hendak di mulai.

Akan tetapi jika shaff telah rapih dan lurus, maka tidak ada kebutuhan lagi untuk melakukannya secara konsisten dalam sholat.

Hal ini seperti yang dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali :

حَدِيْثُ أَنَسٍ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مُحَاذَاةِ الْمَنَاكِبِ وَالْأَقْدَامِ

“Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ini menunjukan bahwa “meluruskan shaf-shaf “itu adalah mensejajarkan bahu-bahu dan telapak kaki-telapak kaki”. (Baca: “فتح الباري”5/144)

-----

ARGUMENTASI KE DELAPAN: 

Mari kita pelajari dan kita perhatikan ungkapan Sahabat Anas bin Malik radhiayllahu ‘anhu:

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Dulu salah satu orang dari kami ada yang menempelkan bahunya kepada bahu temannya, telapak kakinya kepada telapak kakinya”. 

Ini menunjukan hanya salah satu orang sahabat saja yang melakukannya. Sedangkan sahabat yang lainnya yang mayoritas tidak terlihat menempelkan. Sekiranya saling menempelkan bahu dan kaki itu mayoritas para sahabat ketika itu, tentunya kalimatnya bukan dengan menggunakan أَحَدُنَا, melainkan كُلُّنَا atau yang semisalnya.

Dan yang dilakukan oleh mayoritas para sahabat itu sudah sesuai dengan dalil-dalil yang lain, yaitu dalil perintah merapatkan dan meluruskan shaf tanpa harus menempelkan bahu dan mata kaki antar para makmum.

Dan begitu juga yang terdapat dalam ungkapan sahabat Nu’man bin Basyir radhiayllahu ‘anhu:

فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ

“Maka saya melihat seorang laki-laki menempelkan pundaknya dengan pundak temannya”.

Maka baik dalam ungkapan Anas bin Malik maupun ungkapan Nu’man bin Basyir, masing-masing menyatakan bahwa orang yang sengaja menempelkan bahu kakinya pada temanny itu hanya seorang sahabat saja.

Dan ada kemungkinan apa yang diriwayatkan oleh keduanya merujuk kepada seorang sahabat yang sama.

Mafhumnya: tentu banyak sahabat waktu itu yang berjamaah, namun yang terlihat melakukan hal tersebut hanya satu orang sahabat saja. Oleh karena itu bisa difahami, secara mafhum mukhalafah, bahwa mayoritas sahabat yang lain, itu tidak menempelkan bahu dan mata kakinya satu sama lain.

Perbuatan hanya seorang sahabat bukan dalil dalam hukum syar’i, apalagi nama sahabat tersebut tidak diketahui, sementara mayoritas para sahabat lain tidak ada keterengan bahwa mereka melakukannya.

Ada sebuah kaidah fiqih mengatakan:

" الحُكْم عَلَى الأغْلَبِ و النَّادِرُ لا حُكْمَ لَه "

“Hukum itu pada yang umum atau kebanyakan, adapun yang jarang, itu tidak bisa dijadikan hukum “.

Abu Bakar al-Jashshoosh berkata dalam kitabnya “أحكام القرآن”1/78 (Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Abdus Salam Syahiin):

" أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُكْمَ فِي كُلِّ مَنْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ يَتَعَلَّقُ بِالْأَعَمِّ الْأَكْثَرِ دُونِ الْأَخَصِّ الْأَقَلِّ ".اهـ

“Tidak kah kau lihat bahwa hukum berlaku dalam setiap orang yang tinggal di Dar al-Islam dan Dar al-Harb bergantung kepada yang lebih umum yang mayoritas, bukan kepada yang lebih khusus yang minoritas “.

Ibnu Muflih ulama madzhab Hanbali berkata dalam kitabnya “المبدع شرح المقنع”3/254 (Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Muhammad Hasan ay-Syafi’i):

"الْأَكْثَرُ يَقُومُ مَقَامَ الْكُلِّ، بِخِلَافِ الْيَسِيرِ، فَإِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ".اهـ

“Mayoritas itu menduduki kedudukan keseluruhan, berbeda dengan yang sedikit, maka yang sedikit itu di hukumi tidak ada “.

-----

ARGUMENTASI KE SEMBILAN: 

Berdasarkan sejumlah argumentasi, qorinah dan penjelasan diatas, maka wajarlah jika kelak ada sebagian makmum yang menentang nya ketika ada makmum di sampingnya yang berusaha menempelkan bahu, mata kaki dan lutut nya.

Oleh sebab itu Anas bin Malik berkata:

"لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ".

“Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya.

Seandainya hari ini kamu melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang (melawan)”. [6/381].

Karena yang demikian itu dapat mengganggu kekhusyuan dan kethuma’ninahan sholat antar makmum.

ANGGAPAN GHULUW, TAKALLUF & GHORIIB .

Bahkan, ada sebagian para ulama abad sekarang yang jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk perbuatan yang GHULUW (melampaui batas), TAKALLUF (memaksakan diri) serta GHORIIB (aneh).

Di antara para ulama tersebut adalah sbb:

Pertama: Syeikh al-‘Utsaimin:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata:

وَمِنَ الْغُلُوِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ كَوْنِهِ يُلْصِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ وَيَفْتَحُ قَدَمَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُمَا حَتَّى يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ جَارِهِ فِي الْمَنَاكِبِ فُرْجَةٌ فَيُخَالِفُ السُّنَّةَ فِي ذَلِكَ، وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْمَنَاكِبَ وَالْأَكْعُبَ تَتَسَاوَى۔

“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shaff), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundah temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu adalah lurus sejajar (bukan melekatkannya).”[Fatawa Arkanil Islam: 312].

Kedua: Syeikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid:

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata:

فَإِنَّ إِلْزَاقَ العُنُقٌ بِالعُنُقٌ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الكَتِفِ بِالكَتِفِ فِي كُلِّ قِيَامٍ تَكَلُّفٌ ظَاهِرٌ، وَإِلْزَاقَ الرُّكْبَةِ بِالرُّكْبَةِ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الكَعْبِ بِالكَعْبِ فِيهِ مِنَ التَّعَذُّرِ وَالتَّكَلُّفِ.

“Melekatkan pundak dengan pundak dalam setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri) yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.”[Baca: لا جديد في أحكام الصلاة: 11].

Ketiga: Syeikh Shalih Al-Fauzan:

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata:

وَلَيْسَ مَعْنَى رَصِّ الصُّفُوفِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الجُهَّالِ اليَوْمَ مِنْ فَحْجِ رِجْلَيْهِ حَتَّى يُضَايِقَ مَنْ بِجَانِبِهِ، لِأَنَّ هَذَا العَمَلَ يُوجِدُ فُرَجًا فِي الصُّفُوفِ، وَيُؤْذِي المُصَلِّينَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ.

“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa yang dilakukan oleh sebagai ORANG-ORANG BODOH di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan memunculkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.”[Baca: الملخص الفقهي (124)].

----

ARGUMENTASI KE SEPULUH: 

Dulu pada zaman Nabi , lantai masjid nabawi itu pasir, tidak ada garis-garis untuk shaf para makmum dalam shalat. Maka para sahabat berusaha semaksimal mungkin meluruskan Shaff tanpa garis lantai. Sehingga ada salah seorang dari para sahabat yg berijtihad dengan cara menempelkan mata kaki dan pundaknya ke mata kaki dan pundak orang yang berada di sebelah kanan-kirinya.

Berikut ini hadits-hadits yang membuktikan hal di atas:

Ke 1: hadits etika meludah dan membuang dahak ketika sholat di mesjid nabawi, baik sendirian maupun berjemaah.

Nabi menyarankan bagi orang yg sholat di mesjid nabawi, baik sendirian maupun sholat berjamaah, jika dia ingin meludah atau membuang dahak; maka agar meludahnya ke lantai di sebelah kirinya atau di ujung bajunya.

Rosulullah bersabda:

مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ، تَحْتَ قَدَمِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا ، وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْض

“Mengapa ada di antara kalian yang menghadap Rabb-nya lalu ia meludah ke arah depan? Apakah dia mau kalau ada orang yang meludah di depannya?

Kalau di antara kalian ada yang ingin meludah ketika shalat maka meludahlah ke arah kiri dibawah telapak kakinya. Kalau tidak bisa maka lakukan seperti ini.”

Al Qasim, sang perawi hadits, menjelaskan dengan cara meludah di tepi baju lalu mengusap sebagian bajunya ke sebagian yang lain. (HR. Muslim no. 855)

Berarti boleh ada sedikit ruang di sebelah kiri makmum.

Ke 2: Kafarat meludah di lantai pasir masjid:

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda:

«البُصاقُ في المَسْجِدِ خَطِيئَةٌ، وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا»

"Berludah di masjid adalah suatu perbuatan dosa, sedang dendanya/ kafaratnya ialah menimbun / mengubur ludah tersebut." (Muttafaq alaih) Lihat Riyadhusholihin no. 309.

Ke 3: Para sahabat mengadu kepada Nabi akan panasnya pasir lantai masjid Nabawi:

Dari Khabab bin al-Arts dia berkata;

 أَتَيْنَا رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَشَكَوْنَا إلَيْهِ حَرَّ الرَّمْضَاءِ، فَلَمْ يُشْكِنَا. قالَ زُهَيْرٌ: قُلتُ لأَبِي إسْحَاقَ: أَفِي الظُّهْرِ؟ قالَ: نَعَمْ، قُلتُ: أَفِي تَعْجِيلِهَا؟ قالَ: نَعَمْ.

"Kami pernah menemui Rasulullah sambil berkeluh kesah kepada beliau akan panas kerikil yang sangat panas, namun beliau tidak mempedulikan keluh kesah kami."

Zuhair mengatakan; Lalu kukatakan kepada Abu Ishaq; "Apakah yang dimaksud ketika shalat zhuhur?" dia menjawab; "Benar."

Aku berkata lagi; "Itu maksudnya supaya menyegerakannya?" Jawab Abu Ishaq; "Benar." (HR. Muslim no. 982)

Dalam lafadz lain: dari Khabbab dia berkata;

شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَّ الرَّمْضَاءِ فَلَمْ يُشْكِنَا قِيلَ لِأَبِي إِسْحَقَ فِي تَعْجِيلِهَا قَالَ نَعَمْ

"Kami mengadu kepada Rasulullah dari teriknya panas, tetapi beliau tidak menanggapi aduan kami." Abu Ishaq pernah ditanya tentang menyegerakannya (shalat Zhuhur) lalu ia menjawab, "Ya".

(HR. Nasaa’i no. 493 dan Ibnu Majah no. 555. Di shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Ibnu Majah) 

Ke 4: Ketika hujan, Rosulullah sujud di atas lumpur dan air di Mesjid Nabawi.

Dari Abu Salama dari Abi Said al-Khudri, berkata:

اعْتَكَفَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ الأُوَلِ مِن رَمَضَانَ واعْتَكَفْنَا معهُ، فأتَاهُ جِبْرِيلُ، فَقالَ: "إنَّ الذي تَطْلُبُ أمَامَكَ، فَاعْتَكَفَ العَشْرَ الأوْسَطَ".

فَاعْتَكَفْنَا معهُ فأتَاهُ جِبْرِيلُ فَقالَ: "إنَّ الذي تَطْلُبُ أمَامَكَ ".

فَقَامَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَطِيبًا صَبِيحَةَ عِشْرِينَ مِن رَمَضَانَ فَقالَ: "مَن كانَ اعْتَكَفَ مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلْيَرْجِعْ، فإنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ القَدْرِ، وإنِّي نُسِّيتُهَا، وإنَّهَا في العَشْرِ الأوَاخِرِ، في وِتْرٍ، وإنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أسْجُدُ في طِينٍ ومَاءٍ ".

وكانَ سَقْفُ المَسْجِدِ جَرِيدَ النَّخْلِ، وما نَرَى في السَّمَاءِ شيئًا، فَجَاءَتْ قَزَعَةٌ، فَأُمْطِرْنَا، فَصَلَّى بنَا النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حتَّى رَأَيْتُ أثَرَ الطِّينِ والمَاءِ علَى جَبْهَةِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيقَ رُؤْيَاهُ

"Suatu ketika Rasul Allah melakukan i`tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan kami pun melakukan hal yang sama dengannya.

Lalu Jibril mendatanginya dan berkata: 'Malam yang kamu cari adalah di depanmu.'

Maka Nabi melakukan I`tikaf di tengah (kedua) sepuluh hari bulan Ramadhan dan kami juga melakukan I`tikaf bersamanya.

Jibril mendatanginya dan berkata: “Malam yang kamu cari ada di depanmu “.

' Di pagi hari tanggal 20 Ramadhan Nabi menyampaikan khotbah dengan mengatakan:

“Siapapun yang telah melakukan i`tikaf dengan saya harus melanjutkannya. Saya telah ditunjukkan Malam "Qadr", tetapi saya telah lupa tanggalnya, tetapi pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir. Saya melihat dalam mimpi saya bahwa saya sedang bersujud di LUMPUR dan AIR “.

Pada masa itu atap masjid terbuat dari dahan pohon kurma. SAAT ITU LANGIT CERAH dan tidak ada awan yang terlihat, namun tiba-tiba awan datang dan turun hujan.

Nabi memimpin kami dalam sholat dan saya melihat jejak lumpur di dahi dan di hidung Rasulullah .

Maka itu adalah pembuktian atas kebenaran mimpinya itu. (HR. Bukhori no. 813)

Ke 5: kisah Badui yang kencing di masjid:

Dari Anas bin Malik radhiayllahu ‘anhu, dia berkata:

بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ

"Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah , tiba-tiba datanglah seorang Badui yang kemudian berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat Rasulullah berkata: 'Cukup, cukup!'."

Anas berkata, "Rasulullah lantas berkata: "Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkanlah dia hingga dia selesai kencing."

Kemudian Rasulullah memanggilnya seraya berkata kepadanya:

"Sesungguhnya masjid ini tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Dan sesungguhnya masjid itu hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur'an" atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah .

Anas melanjutkan ucapannya: "Lalu beliau memerintahkan seorang laki-laki dari para sahabat (mengambil air), lalu dia membawa air satu ember dan mengguyurnya."

=====

KESIMPULAN :

Kesimpulan dari PENDAPAT PERTAMA yang mengatakan bahwa makna “إلزاق”dalam haditst adalah makna Majazi bukan hakiki, yaitu sbb:  

لِأُمُورٍ: الأَوَّلُ: أَنَّ هَذَا الفَهْمَ السَّطْحِيَّ لِلْإِلْزَاقِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ، وَلَمْ يَكُنِ العَمَلُ عَلَيْهِ. الثَّانِي: تَعَذُّرُ هَذَا الإِلْزَاقِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالمَنَاكِبِ وَالأَقْدَامِ. الثَّالِثُ: اِسْتِحَالَةُ هَذَا الإِلْزَاقِ عَلَى بَعْضِ مَا ذُكِرَ؛ كَالرُّكَبِ، وَالأَعْنَاقٌ [جَمْعُ عُنُقٌ، وَهِيَ الرَّقَبَةُ]، وَهِيَ رِوَايَةٌ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عِنْدَ النَّسَائِيِّ رَقْمَ: (814).

Karena adanya hal-hal berikut ini:

Yang pertama 

Bahwa yang mengatakan makna hakiki adalah pemahaman yang dangkal tentang lafadz “إلزاق”, ini tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian, dan tidak ada yang mengamalkannya.

Yang kedua 

Ketidakmungkinan dan mustahil penempelan ini pada bahu dan kaki

Yang Ketiga : 

Ketidakmungkinan dan mustahil pula penempelan ini pada sebagian yang disebutkan atas, seperti lutut (dengkul) dan leher [“أَعْنَاقٌ”jamak dari “عُنُقٌ”, yaitu “الرَّقَبَةُ / leher]. Dan ini terdapat dalam riwayat hadits Anas radhiyallahu 'anhu, pada Sunan Al-Nasa'i No.: (814).

Dan lihat: Apa yang dikatakan oleh Syeikh Bakr Abu Zaid, semoga Allah merahmatinya, dalam kitab nya: “لا جديد في الصلاة”(hal. 12-17). Ini penting.

===***===

PENDAPAT KE DUA: 
KATA “إِلْزَاقٌ” DALAM HADITS BERMAKNA HAKIKI, BUKAN MAJAAZI:

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa lafazd “إِلْزَاقٌ /Ilzaaq “dalam hadits adalah bermakna hakiki, artinya: melekatkan atau menempelkan. Maka dengan demikian tata cara (kaifiyat) merapatkan shaf adalah dengan cara saling menempelkan mata kaki dan bahu.

Diantara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah:

  • Al-Kirmani (الكواكب الدرري 5/97)
  • Ahmad bin Ismail al-Kawarani (الكوثر الجاري)
  • Syeikh al-Albani (سلسلة الأحاديث الصحيحة 6/77)
  • Syamsul-Haqq Al-‘Adziim Aabaadiy (عون المعبود 2/256)

****

Argumentasinya adalah sebagai berikut:

---

ARGUMENTASI PERTAMA: 

Berdasarkan sebuah kaidah, yang menyatakan:

الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ

“Pada asalnya dalam kalimat itu bemakna hakiki”

Makna “إِزْلاَق / Ilzaq “ada kesamaan dengan “إلْصَاق /ilshaq”, artinya: melekatkan atau menempelkan.

Imam Bukhori dalam ash-Shahihnya menulis sebuah BAB khusus untuk ini, yaitu:

-3-47 - بَابُ: إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ ، والقَدَمِ بِالقَدَمِ في الصَّفَّ.

-3- 47 - “BAB: Melekatkan bahu dengan bahu, dan telapak kaki dengan telapak kaki “.

Kemudian Imam Bukhori menyebutkan hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu secara Mu’allaq dengan shighat Jazem, lalu menyebutkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dengan sanadnya no. 692.

Imam al-Kirmani mendukung pemaknaan secara hakiki ini, beliau menyebutkan:

(بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ) اَلْإلْزَاقُ هُوَ اَلْإلصَاقُ

“Bab ilzaq bahu dengan bahu”makna al-ilzaq itu adalah al-ilshaq (artinya melekatkan). [baca: “الكواكب الدرري في شرح صحيح البخاري”5/97].

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Salah satu dari kami ada yang menempelkan bahunya dengan bahu sahabatnya dan telapak kakinya dengan telapak kakinya “.

Maksud kalimat diatas adalah menempelkan bahu dan kaki satu sama lain secara hakiki, tidak ada qorinah yang mengharuskannya berpaling dari makna hakiki kepada makna majazi.

Hadits diatas merupakan penjelasan praktek (al-fi’li) atau tata cara (kaifiyat) terkait bagaimana merapatkan dan meluruskan shaf para sahabat. Dan mereka itu merupakan generasi terbaik, oleh karena itu Ucapan dan Amalan mereka bisa dijadikan hujjah.

Ditambah lagi bahwa Rasulullah tidak melarang perbuatan sahabat tersebut bahkan mentaqrir nya. Dan itu menunjukkan pembenaran dari Rosuluulah , sesuai dengan kaidah yang menyatakan:

تَأْخِيْرُ اْلبَيَانِ عَنْ وَقْتِ اْلحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ

 “Mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh”.

----

ARGUMENTASI KEDUA: 

Yang di maksud dengan perintah merapatkan shaf dalam hadits adalah menempelkan satu sama lain:

Dalam kitab Syahus Sunnah 3/365 karya Imam al-Baghowi di sebutkan:

 

قَوْلُهُ: "تَرَاصُّوْا " ، أَيْ: تَلَاصَقُوْا حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَكُمْ فَرَجٌ

 “Maksud kalimat “taraashuu”yaitu: “saling tempel lah (kaki) kalian sehingga tidak ada celah yang kosong”(Lihat: Syarh as-Sunnah, 3/365)

---

ARGUMENTASI KETIGA: 

Mafhum mukholafah dari “Perintah untuk mengisi celah yang kosong “adalah melarang adanya celah, sedangkan jika tidak dirapatkan atau ditempelkan, maka keumungkinan besar akan terbuka celah masuknya setan. Berdasar kan sabda Nabi :

وَسُدُّوا الْخَلَلَ

“Dan kalian tutuplah celah-celah (dalam shaf)”

Lalu Nabi bersabda:

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil”

----

ARGUMENTASI KE EMPAT: 

Di sebutkan dalam riwayat Abu Ya’la dalam Mushonnafnya dari sahabat Anas bin Malik, bahwa dia berkata:

وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (keledai) yang menentang”

Menunjukan bahwa perintah menempelkan satu sama lain dalam shaf itu akan ditinggalkan sehingga wajib bagi kita untuk menghidupkannya kembali.

---

ARGUMENTASI KE LIMA: 

Syariat yang Allah turunkan itu tidak memberatkan, akan tetapi syariatnya mudah untuk diamalkan. Oleh karena itu jalankan syariat tersebut semampunya. Dan perintah menempelkan mata kaki dan bahu dalam shaf shalat itu tidak memberatkan, bisa dilakukan oleh semua orang yang sehat dengan mudah dan ringan.

Rosulullah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعْنِتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا.

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.”(HR. Muslim, dari ‘Aisyah radhiayllahu ‘anha.)

Kemudian beliau melanjutkan sabdanya:

فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا.

“Maka tepatkanlah, atau dekatkanlah (miripkanlah), dan bergembiralah.”

Maknanya adalah lakukanlah sesuatu dengan tepat sesuai dengan ketentuan, dan benar. Maka jika kamu tidak mampu melakukan yang demikian maka usahakan mendekatinya (mendekati yang benar) oleh sebab itu beliau bersabda:“dekatkanlah (miripkanlah)”. Huruf wawu (dan) dalam hadits ini artinya auw (atau). Yakni, tepatkanlah jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan maka miripkanlah (mendekati yang benar).

Sabda beliau “Dan bergembiralah” maksudnya: bergembiralah kalian jika kalian telah tepat dan benar (dalam beragama) atau mirip dengan yang benar. Maka bergembiralah dengan pahala yang besar, kebaikan, dan pertolongan dari Allah SWT.

Referensi:

1. al-Kawakib ad-Darari fi Syarh Sahih al-Bukhori, 5/97 karya al-Kirmaani

2. al-Kaustar al-Jari ila Riyadh ahadits al-Bukhori, karya Ahmad bin Ismail al-Kawarani

3. Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah kara al-Albaani 6/77

4. Aun al-Ma’bud, 2/256 karya Syamsul-Haqq Al-‘Aadhiim Aabaadiy

===*****===

KEUTAMAAN MELURUSKAN DAN MENUTUP CELAH SHAFF DALAM SHALAT

******

Pertama: 
Allah dan para Malaikat-Nya bersholawat terhadap orang-orang yang menyambung shaf yaitu yang meluruskan dan merapatkannya.

A’isyah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah , bahwa beliau bersabda:

 إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ وَسَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً

“Sesungguhnya Alloh beserta malaikatnya bersholawat kepada orang-orang yang menyambung shaf dan barang siapa yang menutupi celah kosong niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.”

(H.R Ahmad 4/269, Ibnu Majah no. 997, hadits ini shahih karena adanya beberapa penguat/syawahid, lihat Ash Shahihah no. 2532 karya Asy Syaikh Al Albani)

====

Kedua: 
Mendapatkan balasan yang sangat besar di sisi Allah

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda:

خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ، وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا.

“Sebaik-baik kalian adalah yang lunak pundaknya ketika berbaris dalam shalat. Dan tidak ada satu langkah pun yang lebih besar balasannya (dari Allah) dari pada langkah seseorang yang mengisi kekosongan pada shaf kemudian menutupinya (merapatkannya).”

[HR. al-Tabarani dalam al-Awsat (1/32/2), dan al-Bazzar No.: (5922)].

Di Hasankan sanadnya oleh al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب”1/234.

Dan di hasankan pula sanadnya oleh al-Albaani, namun hanya pada paruh pertama saja. [Lihat: “الصحيحة”(6/74) No.: (2533 dan 1892)]

Dari Aisyah radhiayllahu ‘anhu, bahwa Rosulullah bersabda:

 مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَ الله بِهَا دَرَجَةً وُبُنِىَ لَهُ بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menutup (memasuki) celah kosong diantara shaf, maka Allah akan meninggikan derajatnya dan membangunkan rumah baginya di al Jannah.”

(HR. At-Thabrani dalam “المعجم الأوسط”. Lihat “صحيح الترغيب والترهيب”no. 555 oleh Syeikh Al-Albani)

Al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب”1/233 berkata:

[إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ أَوْ مَا قَارَبَهُمَا]

“Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati dua-duanya”.

===

SEMPURNAKANLAH SHAFF PERTAMA LALU BERIKUTNYA!

Dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah bersabda:

أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ

"Sempurnakanlah shaf yang pertama, kemudian yang berikutnya. Kalaupun ada shaf yang kurang, maka hendaklah dia shaf belakang."

[HR. Abu Daud no. 574, Nasaa’i no. 809 dan Ahmad no. 11902]

Di Shahihkan oleh Ahmad Syakir dlm Tahqiq al-Musnad 21/114, Syu’aib al-Arna’uth dlm Takhrij al-Musnad 3/233, Syeikh Muqbil dlm al-Jaami’ ash-Shahih 2/280. Dan Hasankan oleh Imam an-Nawawi dlm al-Majmu’ 4/227.

Dari Al-Bara` bin Azib dia berkata;

كُنَّا نَقُومُ فِي الصُّفُوفِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَوِيلًا قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ قَالَ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَلُونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ خُطْوَةٍ يَمْشِيهَا يَصِلُ بِهَا صَفًّا

Kami pernah berdiri lama sekali pada shaf shalat pada masa Rasulullah (dalam rangka menunggu beliau) sebelum shalat dilaksanakan. Dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bershalawat bagi orang-orang yang berada pada shaf shaf pertama, dan tidak ada suatu langkah yang lebih Allah sukai daripada langkah seseorang untuk menuju shaf yang paling depan”.

(HR. Abu Daud no. 457, Nasaa’i no. 642, Ibnu Majah no. 985 dan Ahmad no. 17641)

Al-Albani menilainya sahih dalam Shahih At-Targhiib No. 507, kemudian mencabut pernyataan shahihnya dalam Al-Dha’ifah (1/194) No. (86), dan beliau hanya menshahihkan: “shalat pada shaf-shaf pertama “saja, tanpa menyebutkan langkahnya (وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ... dst). Dan kadar ini pula yang di shahihkan oleh syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Al-Sahih (2/79). 

=====

KEUTAMAAN SHOLAT DI SHAFF PERTAMA DAN KEUTAMAAN MENUTUP CELAH:

Dari Al-Bara` bin Azib dia berkata;

كُنَّا نَقُومُ فِي الصُّفُوفِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَوِيلًا قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ قَالَ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَلُونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ خُطْوَةٍ يَمْشِيهَا يَصِلُ بِهَا صَفًّا

Kami pernah berdiri lama sekali pada shaf shalat pada masa Rasulullah (dalam rangka menunggu beliau) sebelum shalat dilaksanakan. Dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bershalawat bagi orang-orang yang berada pada shaf shaf pertama, dan tidak ada suatu langkah yang lebih Allah sukai daripada langkah seseorang untuk menuju shaf yang paling depan”.

(HR. Abu Daud no. 457, Nasaa’i no. 642, Ibnu Majah no. 985 dan Ahmad no. 17641)

Al-Albani menilainya sahih dalam Shahih At-Targhiib No. 507, kemudian mencabut pernyataan shahihnya dalam Al-Dha’ifah (1/194) No. (86), dan beliau hanya menshahihkan: “shalat pada shaf-shaf pertama “saja, tanpa menyebutkan langkahnya (وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ... dst). Dan kadar ini pula yang di shahihkan oleh syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Al-Sahih (2/79).

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

"Seandainya manusia mengetahui (kebaikan) apa yang terdapat pada panggilan shalat dan shaf pertama lalu mereka tidak dapat meraihnya melainkan dengan cara mengundinya tentulah mereka akan mengundinya.

Seandainya mereka mengetahui apa yang terdapat pada bersegera melaksanakan shalat tentulah mereka akan berlomba untuk melakukannya.

Dan seandainya mereka mengetahui apa yang terdapat pada 'Atmah (shalat 'Isya') dan Shubuh tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak". (HR. Bukhori no. 2492 dan Muslim no. 661)

Hadits ini menunjukkan adanya keutamaan dan pahala khusus pada shaf pertama, bersegera ke masjid setealh adzan, sholat isya dan suhubuh berjamaah.

Dari Abu Hurairah radhiayllahu ‘anhu, bahwa Rasul juga bersabda:

خيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا ، وَشَرُّهَا آخِرُهَا ، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا ، وَشَرُّهَا أوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan.“(HR. Muslim. 440)

Hadits ini menunjukkan keutamaan shaf pertama bagi laki-laki.

Hal ini juga menunjukkan bahwa amal itu bertingkat-tingat yang sekaligus juga menunjukkan bahwa pelaku amal bertingkat-tingkat.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelasakan:

“Bahwa yang dimaksud “shaf yang jelek pada laki-laki maupun wanita”, artinya: sedikit pahala dan keutamaanya, karena berada pada posisi yang semakin jauh dari yang diperintahkan syariat.

Adapun yang dimaksud dimaksud dengan “shaf pertama”adalah: shaf yang berada di belakang imam, baik orang itu datang ke masjid di awal waktu maupun datang belakangan.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa patokan shaf pertama adalah ditinjau dari awal kedatangannya ke masjid meskipun dia shalat di barisan belakang, maka ini tidak tepat. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

===

PERLU DI PERHATIKAN!

Kapan posisi shaf wanita yang paling baik itu di belakang?

Jawab: itu berlaku ketika para wanita shalat berjamaah bersama-sama di belakang shaf laki-laki.

Adapun jika wanita shalat di belakang imam wanita, atau shalat di belakang imam laki-laki akan tetapi terpisah dari jamaah laki-laki, di tempat tersendiri, maka yang terbaik bagi wanita adalah shaf yang paling depan.

Dalil ini diambil dari keumuman hadits yang menunjukkan akan keutamaan sholat di shaff pertama. (Lihat Shahiih Fiqh Sunnah)

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan:

“bahwa shaf terbaik bagi wanita adalah yang paling belakang. Hal ini disebabkan karena posisinya berada paling jauh dari barisan jamaah laki-laki.

Berdasarkan alasan ini, maka seandainya para wanita shalat berjamaah di tempat khusus yang terpisah dari laki-laki, maka kita katakan bahwa sebaik-baik shaf wanita adalah yang di depan dan yang paling jelek adalah yang paling belakang.

Demikian pula jika para wanita shalat bersama laki-laki namun terdapat pembatas yang memisahkan antara shaf wanita dan shaf laki-laki.

(At Ta’liiq ‘alaa Shahih Muslim) 

===****===

HUKUM MENYEMPURNKAN SHAFF AWAL, LALU BERIKUTNYA???

Menurut pendapat yang mengatakan wajib meluruskan dan merapatkan shaff, maka WAJIB pula mendahulukan shaf pertama, lalu berikutnya dalam hal tersebut. Jika tidak, maka berdosa, namum sholatnya tetap shah.

Berbeda dengan yang berpendapat bahwa merapatkan shaff itu Sunnah, maka hukumnya Sunnah pula untuk mendahulukan shaff pertama, lalu berikutnya.

Berikut ini pernyataan para ulama yang mewajibkannya:

Al-Baaji Rahimahullah berkata:

"يَجِبُ أَنْ يَكْمُلَ الْأَوَّلُ فَالْأَوَّلُ ، فَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَفِي الْمُؤَخَّرِ "

“Wajib untuk menyempurnakan Shaf yang terdepan dan berikutnya, maka jika ada shaf yang kurang sempurna maka jadikanlah dia shaf yang paling akhir”. dari kitab “المنتقى”Syarh Al Muwattha (1/386).

Dan dalam kitab “Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah”(27/36) disebutkan:

"وَمِنْ تَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ إِكْمَال الصَّفِّ الأوَّل فَالأَوَّل ، وَأَنْ لاَ يُشْرَعَ فِي إِنْشَاءِ الصَّفِّ الثَّانِي إِلاَّ بَعْدَ كَمَال الأوَّل ، وَهَكَذَا. وَهَذَا مَوْضِعُ اتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ.

وَعَلَيْهِ ، فَلاَ يَقِفُ فِي صَفٍّ وَأَمَامَهُ صَفٌّ آخَرُ نَاقِصٌ أَوْ فِيهِ فُرْجَةٌ ، بَل يَشُقُّ الصُّفُوفَ لِسَدِّ الْخَلَل أَوِ الْفُرْجَةِ الْمَوْجُودَةِ فِي الصُّفُوفِ الَّتِي أَمَامَهُ " انتهى.

“Dan diantara maksud dari menyetarakan shaf atau barisan adalah menyempurnakan shaf pertama sesempurna mungkin dan tidak terburu-buru untuk membuat shaf yang kedua kecuali telah sempurna shaf yang pertama. Dalam hal ini tidak ada perselisihan antar para ulama’ Fiqih dan mereka bersepakat akan hal tersebut.

Maka tidak diperkenankan berdiri dalam satu Shaf sedang shaf yang di depannya terdapat celah dan ada yang masih kurang, bahkan wajib untuk memecah shaf yang berikutnya jika memang diperlukan untuk memenuhi kekurangan atau celah yang terdapat pada shaf yang berada di depannya”.

Syeikh Abdullah bin Baaz Rahimahullah pernah ditanya:

Apabila berkurang jumlah orang yang berada pada salah satu shaf dalam shalat taraweh atau salah seorang keluar meninggalkan shaf, maka apakah seorang Imam harus meminta kepada yang berada pada shaf yang berikutnya untuk memenuhi shaf yang di depannya?

Beliau menjawab:

"الوَاجِبُ عَلَى المَأْمُومِينَ فِي الفَرْضِ وَالنَّفْلِ أَنْ يُكَمِّلُوا الصَّفَّ الأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ بِذَلِكَ وَحَثَّ عَلَيْهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: (سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، وَسُدُّوا الفُرَجَ)، وَقَوْلِهِ ﷺ: (أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ المَلَائِكَةُ عِندَ رَبِّهَا؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ المَلَائِكَةُ عِندَ رَبِّهَا؟ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ)." انتهى

“Yang wajib dilakukan oleh setiap makmum baik di dalam shalat fardlu maupun shalat sunnah adalah agar mereka menyempurnakan shaf yang pertama baru kemudian membentuk shaf yang berikutnya; karena sesungguhnya Nabi memerintahkan dan menganjurkan yang demikian itu, sebagaimana sabda beliau:

"سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ ، وَسُدُّوْا الفُرَجَ".

“Luruskanlan shaf-shaf kalian dan tutuplah celah-celah shaff”

Dan sabda Rasulullah :

‏"‏ أَلاَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ‏"‏ ‏.‏ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا . قَالَ : ‏"‏ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ ".

“Tidakkah kalian merapikan barisan-barisan kalian sebagaimana para malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?”.

Maka kamipun bertanya: “Wahai Utusan Allah dan bagaimanakah para Malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?”

Beliau bersabda: “Mereka menyempurnakan barisan-barisan pertama dari ujung ke ujung dan saling rapi dan lurus dalam barisan “. [Dari kitab “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”(30/124-125)].

Dan Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata:

"طَلَبُ الأَئِمَّةِ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ فِي صَلَاةِ العِيدِ وَفِي صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ مَشْرُوعٌ كَغَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ النَّاسَ إِذَا لَمْ يُنَبَّهُوا عَلَى هَذَا رُبَّمَا يَغْفُلُونَ عَنْهُ، فَكُلُّ صَلَاةٍ يُشْرَعُ فِيهَا الجَمَاعَةُ فَإِنَّهُ يُشْرَعُ لِلْإِمَامِ إِذَا كَانَ النَّاسُ صُفُوفًا أَنْ يُنَبِّهَهُمْ وَأَنْ يَقُولَ: اسْتَوُوا، اعْتَدِلُوا." انتهى

“Permintaan dan perintah para Imam untuk meluruskan dan meratakan shaf-shaf baik dalam shalat Ied, shalat Istisqa’ adalah suatu hal yang disyari’atkan sebagaimana dalam shalat-shalat yang lainnya; yang demikian itu karena apabila umat manusia tidak diingatkan akan hal ini bisa jadi mereka akan lupa.

Jadi setiap shalat yang disyari’atkan di dalamnya dengan berjama’ah, maka bagi sang Imam agar memberikan peringatan kepada semua orang jika mereka telah berdiri membuat shaf dengan mengatakan: ratakanlah dan luruskanlah barisan kalian”. [Dari kitab “لقاء الباب المفتوح”(9/46)].

Beliau juga menyatakan:

"أَهْمَلَ كَثِيرٌ مِنَ الأَئِمَّةِ وَكَثِيرٌ مِنَ المَأْمُومِينَ مَسْأَلَةَ التَّرَاصِ، فَتَجِدُ الصَّفَّ تَكُونُ فِيهِ الفُرَجُ الكَثِيرَةُ لَا يَسُدُّهَا أَحَدٌ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ بِالتَّرَاصِ، وَأَخْبَرَ أَنَّ المَلَائِكَةَ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَتَرَاصُّونَ." انتهى.

“Banyak di antara para makmum dan para Imam yang tidak begitu menghiraukan tentang masalah meluruskan dan merapatkan barisan dalam shaf shalat, dan anda bisa melihat bagaimana ada shaf yang masih ada celah lebar dan terdapat di banyak titik tapi tidak ada seorangpun yang memenuhinya, dan hal ini jelas salah sekali, karena sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk merapatkan dan meluruskan bariasan sebelum dilaksanakan shalat, dan beliau memberitakan bahwasannya para Malaikat berbaris lurus dan rapi di sisi Allah Azza wa Jalla”. [Dari “فتاوى نور على الدرب”oleh Ibnu Utsaimin (161/111)].

Dan jikalau umat manusia sedang melaksanakan shalat dan di dalam shaf mereka terdapat celah maka shalat mereka termasuk buruk, akan tetapi shalat mereka dianggap sah.

==****==

RESIKO DAN KERUGIAN BAGI YANG BER KEBIASAAN SHOLAT DI SHAFF BELAKANG:

Shaff laki-laki dalam shalat jamaah semakin di depan maka semakin baik dan utama.

Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiayllahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي أَصْحَابِهِ تَأَخُّرًا فَقَالَ لَهُمْ: "تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ".

“Bahwa Rasulullah melihat pada para sahabatnya keterlambatan, maka beliau bersabda kepada mereka:

'Kalian majulah, dan berimakmum lah denganku, dan hendaklah orang sesudah kalian bermakmum kepada kalian. Jika suatu kaum membiasakan diri melambat-lambatkan shalatnya, maka Allah juga melambatkan diri (Yakni: memasukkannya ke surga, atau melambatkan diri untuk mengentaskannya dari neraka')." (HR. Muslim no. 662)

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan:

“Yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang-orang yang datang akhir sehingga tidak mendapat shaf pertama maka Allah pun akan mengakhirkan bagi orang tersebut rahmat-Nya, kemuliaan dan keutamaan, ketinggian kedudukan, ilmu yang bermanfaat, dan kebaikan lainnya “. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menjelaskan makna hadits ini sebagai berikut,

“Bahwasanya Nabi pernah melihat satu kaum mengambil tempat belakang di masjid.

Yakni: tidak mau maju ke barisan-barisan depan. Kemudian beliau bersabda,

لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

“Suatu kaum masih saja bersikap lambat (dalam ketaatan kepada Allah -pent) sehingga Allah akan memperlambat mereka (dari rahmat-Nya).”

Tidak diragukan lagi juga, bahwa menerlambatkan diri dari shalat itu lebih (buruk,-pent) daripada menerlambatkan diri dari barisan pertama.

Dari sini, dikhawatirkan, apabila seseorang membiasakan dirinya terlambat dalam ibadah maka Allah ‘Azza wa Jalla akan menghukumnya dengan mengakhirkannya (menjadikan ia terlambat) dalam semua proyek kebaikan. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin: 13/54)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengingatkan:

“Bahwa dalam hadits ini terdapat ancaman dari Nabi tentang bahaya mengakhirkan datang ke masjid. Apabila seseorang mengakhirkan dari shaf pertama, kedua, dan ketiga, maka Allah pun akan menghukum hatinya dengan menyukai mengakhirkan amal-amal shalih yang lainnya –wal ‘iyadzubillah-.

Maka berupaya lah! agar bisa mendapatkan posisi di shaff yang paling depan ketiak sholat berjemaah. (Lihat Syarh Rhiyadis Shaalihiin)

Oleh karena itu tidak selayakanya seseorang mempunyai kebiasaan mengakhirkan datang ke masjid sehingga malas berusaha untuk mendapat shaf pertama dalam shalat berjamaah.

Al-Hamdulillah,

SEMOGA BERMANFAAT. AMIIIN

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar