STUDI KOMPREHENSIF TENTANG HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF SHALAT SERTA MENUTUP CELAH
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
==============
CUPILKAN SINGKAT DARI ARTIKEL INI :
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata :
حَدِيْثُ أَنَسٍ
هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مُحَاذَاةِ الْمَنَاكِبِ
وَالْأَقْدَامِ
“Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ini menunjukan bahwa “ meluruskan
shaf-shaf “ itu adalah mensejajarkan bahu-bahu dan telapak kaki-telapak kaki ”
. ( Baca : “فتح الباري” 5/144)
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata :
وَلَيْسَ مَعْنَى
رَصِّ الصُّفُوفِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْجُهَّالِ الْيَوْمَ مِنْ فَحْجِ
رَجُلَيْهِ حَتَّى يُضَايِقَ مَنْ بِجَانِبِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا الْعَمَلَ يُوجِدُ
فَرَجًا فِي الصُّفُوفِ، وَيُؤْذِي الْمُصَلِّينَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ فِي
الشَّرْعِ.
“Bukanlah makna merekatkan shaf, seperti apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG
BODOH di hari ini, berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai
menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan memunculkan
celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam
syari’at.” [ Baca : “الملخص الفقهي” : 124 ].
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata :
وَمِنَ الْغُلُوِّ
فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ كُونِهِ يَلْصِقُ
كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ وَيَفْتَحُ قَدَمَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُمَا حَتَّى
يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ جَارِهِ فَرَجَةً فَيَخَالِفُ السُّنَّةَ فِي ذَلِكَ،
وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْمَنَاكِبَ وَالْأَكْعَبَ تَتَسَاوَى
“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini
(merapatkan dan meluruskan shaff), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia,
berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua
kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara
pundaknya dengan pundah temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal
itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu adalah
lurus sejajar (bukan melekatkannya).” [Fatawa Arkanil Islam : 312].
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata :
فَإِنَّ إِلْزَاقَ
الْعُنُقٌ بِالْعُنُقٌ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الْكَتِفِ بِالْكَتِفِ فِي كُلِّ
قِيَامٍ تَكَلُّفٌ ظَاهِرٌ، وَإِلْزَاقَ الرُّكْبَةِ بِالرُّكْبَةِ مُسْتَحِيلٌ،
وَإِلْزَاقَ الْكَعْبِ بِالْكَعْبِ فِيهِ مِنَ التَّعَذُّرِ وَالتَّكَلُّفِ.
“Melekatkan leher dengan leher [makmum lain] itu mustahil . Melekatkan
pundak dengan pundak [makmum lain] dalam setiap berdiri (ketika shalat)
termasuk perbuatan takalluf (memberat-beratkan diri) yang sangat jelas.
Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata
kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud)
dan memberatkan diri.” [ Baca : لا جديد في أحكام الصلاة :
11 ].
====================
DAFTAR ISI PEMBAHASAN :
- PENDAHULUAN
- HADITST-HADITS PERINTAH MELURUSKAN DAN
MERAPATKAN SHAFF
- HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF. APAKAH
ITU SUNNAH ATAU WAJIB?
- BATASAN RAPAT NYA SHAFF MENURUT PENDAPAT YG
MEWAJIBKAN LURUS DAN RAPAT.
- APAKAH LAFADZ HADITS “SALING MENEMPELKAN MATA
KAKI DAN BAHU” DALAM SHAFF BERMAKNA HAKIKI ATAU MAJAAZI?
- BATASAN RAPATNYA SHAFF MENURUT PENDAPAT YG
MEN-SUNNAH-KAN LURUS DAN RAPAT.
- KEUTAMAAN MELURUSKAN DAN MENUTUP CELAH SHAFF
DALAM SHALAT
- SEMPURNAKAN SHAFF PERTAMA LALU BERIKUTNYA!:
- KEUTAMAAN SHOLAT DI SHAFF PERTAMA DAN
KEUTAMAAN MENUTUP CELAH:
- HUKUM MENYEMPURNKAN SHAFF AWAL, LALU
BERIKUTNYA???
- RESIKO DAN KERUGIAN BAGI YANG BER KEBIASAAN
SHOLAT DI SHAFF BELAKANG:
=====
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
====****====
PENDAHULUAN
الْحَمْدُ لِلَّهِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَىٰ رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ. أَمَّا بَعْدُ:
Meluruskan shaff makmum dalam shalat
berjamaah dan merapatkannya adalah perkara yang di syariatkan. Dan para
fuqohaa‘ bersepakat akan hal itu; karena berdasarkan hadits-hadits shahih yang
mutawàtir. Dan juga karena merapatkan barisan itu terkait dengan rukun Islam
yang paling utama, yaitu shalat.
Imam Ibnu Abdil-Barr berkata tentang pelurusan shaff dalam
shalat:
“هُوَ أَمْرٌ مُجْتَمَعٌ
عَلَيْهِ، وَالْآثَارُ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَثِيرَةٌ فِيهِ”.
“Ini adalah perkara yang disepakati
secara ijma’, dan ada banyak riwayat dari Nabi, ﷺ,
tentang hal itu". (Baca: “الاستذكار”2/28)
Beliau juga berkata:
وَأَمَّا
تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ فِي الصَّلَاةِ فَالْآثَارُ فِيهَا مُتَوَاتِرَةٌ مِنْ
طُرُقٍ شَتَّى، صِحَّاحُ كُلُّهَا ثَابِتَةٌ فِي أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ، وَعَمَلَ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ بِذَلِكَ بَعْدَهُ، وَهَذَا مَا لَا خِلَافَ فِيمَا بَيْنَ
الْعُلَمَاءِ فِيهِ.
“Adapun untuk meluruskan shaf-shaf
dalam shalat, hadits-hadits tentangnya itu mutawaatir dari berbagai jalur yang
shahih semuanya ditetapkan atas perintah Rasulullah ﷺ
untuk meluruskan
Shaff. Dan para khulafaur roosyidiin juga melakukannya setelah beliau ﷺ, dan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang
hal itu “. (Baca: “الاستذكار”2/288)
Al-Hafidz Al-Iraqi (guru al-Hafidz Ibnu
Hajar) berkata:
" وَالأَحَادِيثُ فِي هَذَا المَعْنَى كَثِيرَةٌ ".
“Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak”[Baca “طرح التثريب”3/ 68].
Imam an-Nawawi berkata:
وَمِنَ السُّنَنِ المُهْمَلَةِ
المَغْفُولِ عَنْهَا: تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ وَالتَّرَاصُّ فِيهَا، وَقَدْ كَانَ عَلَيْهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَوَلَّى فِعْلَ ذَلِكَ بِنَفْسِهِ، وَيُكْثِرُ التَّحْرِيضَ
عَلَيْهِ وَالأَمْرَ بِهِ۔
"Dan di antara sunnah yang terabaikan dan terlalaikan adalah meluruskan shaff dan merapatkannya, dan beliau ﷺ sendiri senantiasa mengaturnya dan sering memberikan semangat terhadapnya dan perintah untuk melakukannya. (Baca “إعانة الطالبين”2/28)
Dan Asy-Syaukani, semoga Allah
merahmatinya, berkata:
لَا شَكَّ أَنَّ تَسْوِيَةَ
الصَّفِّ وَالتَّرَاصَّ وَإِلْزَاقَ الْكِعَابِ بِالْكِعَابِ سُنَّةٌ ثَابِتَةٌ، وَشَرِيعَةٌ
مُسْتَقِرَّةٌ۔
“Tidak ada keraguan bahwa meluruskan
shaf, merapatkannya, dan menempelkan mata kaki ke mata kaki adalah SUNNAH
yang ada ketetapannya, dan hukum syar’i yang patent.” [Baca السَّيْلُ الجَرَّارُ المُتَدَفِّقُ
عَلَى حَدَائِقِ الأَزْهَارِ”1/158]
====*****====
HADITST-HADITS PERINTAH MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF
Banyak para sahabat yang meriwayatkan
hadits Nabi ﷺ tentang perintah meluruskan shaff dan merapatkannya dalam shalat
berjamaah.
Di antaranya: (1) Bara’ bin Azib, (2)
Busyair bin Yasar; (3) Jabir bin Samurah, (4) Abu Suhail dari bapaknya, (5)
Ibnu Abbas, (6) Anas bin Malik, (7) Nu’man bin Basyir, (8) Abu Mas’ud
al-Anshary dan (9) Ibnu Umar.
---
PERTAMA: Hadits Bara’ bin Azib رضي الله عنه
Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ
اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم يَتَخَلَّلُ الصُّفُوفَ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ
، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا وَصُدُورَنَا ، وَيَقُولُ: لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ
قُلُوبُكُمْ
Rasulullah ﷺ.
memeriksa celah-celah shaf dari satu sisi ke sisi yang lain, sambil mengusap
pundak-pundak kami dan dada-dada kami seraya bersabda:
“Janganlah kalian berselisih, sehingga hati kalian menjadi
berselisih (berantakan)”.
(HR Abu Dawud: 664; Nasai: 811; Ahmad:
18539). Di Shahihkan oleh al-Waadi’i dalam Shahih al-Musnad no. 138, dan oleh
al-Albaani dlm Shahih an-Nasaa’i no. 810
Dari Al Baraa` ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
أَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ لَا يَتَخَلَّلُكُمْ كَأَوْلَادِ الْحَذَفِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا أَوْلَادُ الْحَذَفِ قَالَ سُودٌ جُرْدٌ تَكُونُ بِأَرْضِ الْيَمَنِ
"Luruskanlah shaf kalian, jangan
sampai ada celah diantara shaf kalian, sebagaimana celah pada Aulaadul Hadzaf
(anak-anak kambing)." Kemudian ditanyakanlah kepada Rasulullah ﷺ, "Lalu apakah (Aulaadul Hadzaf) itu wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab: "Anak kambing hitam yang berada di
puncang gunung di negeri Yaman."
(HR. Ahmad 17875 dan al-Hakim 1/474 no.
817)
Al-Hakim berkata:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ.
----
KEDUA: hadits Abu
Mas’ud Al-Anshori رضي الله عنه:
Dari Abi Mas’ud Al-Anshori, dia
berkata:
كانَ رَسولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا في الصَّلَاةِ، ويقولُ:
اسْتَوُوا، ولَا تَخْتَلِفُوا، فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، لِيَلِنِي مِنكُم أُولو
الأحْلَامِ والنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
قالَ أبو مَسْعُودٍ: فأنْتُمُ اليومَ أشَدُّ اخْتِلَافًا
"Dulu Rasulullah ﷺ
pernah mengusap
bahu-bahu kami sebelum shalat sambil bersabda,:
Kalian luruskan lah, janganlah kalian
berselisih, karena (Jika kalian berselisih) maka hati kalian akan berselisih.
Hendaklah yang berdiri di belakangku adalah orang-orang dewasa yang bijak dan
berilmu, kemudian setelah mereka adalah orang yang kapasitasnya kurang dari
mereka, dan begitu selanjutnya."
Abu Mas'ud berkata; "Sesungguhnya
kalian pada hari ini sangat sering berselisih. (HR. Muslim 122, 432
& 653).
----
KETIGA: hadits
Abdullah bin Umar رضي الله عنه:
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
ﷺ bersabda:
((أَقِيمُوا الصُّفُوفَ ،
وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ ، وَلِينُوا بِأَيْدِي
إِخْوَانِكُمْ ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا
وَصَلَهُ اللَّهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ)).
(Luruskanlah barisan kalian, dan
jadikanlah pundak-pundak kalian saling menempel dan penuhilah jarak yang masih
renggang, dan dekatkanlah tangan kalian dengan tangan-tangan saudara kalian,
dan janganlah kalian memberikan celah untuk syetan. Dan barangsiapa menyambung
barisan shalat, Allah akan menjalin hubungan terhadapnya, sebaliknya
barangsiapa memutuskan shaf, Allah juga memutus hubungan terhadapnya.
(HR Ahmad no. 5466, Abu Dawud no. 666,
Nasai no. 819 dan Baihaqi no. 4967). Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dlm Takhrij
al-Musnad 8/82 dan Syeikh al-Albaani dlm shahih Abi Daud no. 666.
----
KE EMPAT: hadits
Jabir bin Samurah رضي الله عنه:
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu
dia berkata:
((خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا
تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟) فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ قَالَ: (يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ
الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ))
Rasulullah ﷺ
keluar untuk menemui
kita seraya bersabda:
(Tidakkah kalian merapikan
barisan-barisan kalian sebagaimana para malaikat merapikan barisannya di sisi
Tuhannya?)
Maka kamipun bertanya: Wahai Utusan
Allah dan bagaimanakah para Malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?
Beliau ﷺ
bersabda: (Mereka
menyempurnakan barisan-barisan yang pertama dan mereka tersusun rapi dan lurus
dalam barisan). (HR. Imam Muslim (430))
----
KE LIMA: Hadits Abu Suhail dari Bapaknya رضي الله عنه
Dari Abu Suhail dari Bapaknya
radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata:
كُنْتُ مَعَ
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَامَتْ الصَّلَاةُ وَأَنَا أُكَلِّمُهُ فِي أَنْ
يَفْرِضَ لِي فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ وَهُوَ يُسَوِّي الْحَصْبَاءَ
بِنَعْلَيْهِ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الصُّفُوفَ قَدْ اسْتَوَتْ فَقَالَ لِي اسْتَوِ
فِي الصَّفِّ ثُمَّ كَبَّرَ
"Aku pernah bersama [Utsman bin Affan], iqamah pun
dikumandangkan, sementara aku masih berbicara dengannya minta agar ia memberi
suatu kewajiban. Dan aku tetap mengajaknya bicara sedangkan ia meratakan
kerikil-kerikil dengan dua sandalnya. Sehingga ketika beberapa lelaki yang
diberi tugas untuk meluruskan shaf datang dan mengabarkan kepadanya bahwa shaf
telah lurus, ia berkata kepadaku, 'Luruskan shaf.' Setelah itu ia bertakbir."
(HR Malik no. 374, Baihaqi no. 2126,
Abdurrozaaq no. 2321 dan Ibnu Abi Syaibah 3494). Di Shahihkan sanadnya oleh
Syu’aib al-Arnauth dlm “تخريج شرح السنة”3/369
dan oleh syeikh al-Albaani dlm “بوابة صوتيات الشيخ الألباني”Kaset 118.
----
KE ENAM: Hadits Ibnu
Abbas رضي الله عنه:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
خِيَارُكُمْ
أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ
“Sebaik-baik kalian adalah yang lunak
pundaknya ketika berbaris dalam shalat”.
(HR. Abu Dawud no. 672, Ibnu Khuzaimah
no.1566 Ibnu Hibban no. 1756 dan Baihaqi no. 4969). Di Shahihkan oleh Syeikh
al-Albaani dalam Shahih Abi Daud no. 627 dan Shahih at-Targhiib no. 497.
-----
KE TUJUH: Hadits Abu Syajarah, Katsir bin Murrah:
Dari Abu Syajarah, Katsir bin Murrah,
bahwa Nabi (ﷺ) bersabda:
" أَقِيمُوا الصُّفُوفَ
وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي
إِخْوَانِكُمْ ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا
وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ " .
“Susunlah shaf, berdirilah sejajar
antara bahu dengan bahu, tutuplah celah-celahnya, jadilah luwes dan lunak
terhadap tangan saudara-saudara kalian, dan jangan tinggalkan celah untuk
setan. Barang siapa yang menyambung suatu barisan, maka Allah akan
menyambungkannya, tetapi barang siapa yang memutuskan suatu barisan, maka Allah
akan memotongnya”.
[HR. Abu Daud no. 666. Hadits ini di
Shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud].
Abu Dawud berkata:
وَمَعْنَى "
وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ " . إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلَيِّنَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ
مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ
Makna “jadilah luwes dan lunak terhadap
tangan saudara-saudara kalian”, yakni: Jika seorang datang lalu masuk ke dalam
shaff, maka seyogyanya setiap orang agar melunakkan bahu-bahunya untuknya di
dalam shaff.
----
KE DELAPAN: Hadits Abu Umamah رضي الله عنه
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata;
Rasulullah ﷺ bersabda;
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَعَلَى الثَّانِي قَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
الصَّفِّ الْأَوَّلِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَى الثَّانِي قَالَ وَعَلَى
الثَّانِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا
صُفُوفَكُمْ وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ
وَسُدُّوا الْخَلَلَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ
الْحَذَفِ يَعْنِي أَوْلَادَ الضَّأْنِ الصِّغَارَ
"Sesungguhnya Allah dan para
malaikat mendoakan shaf pertama."
Mereka bertanya: Dan shaf kedua?.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat mendoakan shaf pertama."
Mereka bertanya: Dan shaf kedua?.
Maka Rasulullah ﷺ pun bersabda: "Dan shaf kedua”.
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Luruskan shaf-shaf kalian, ratakan pundak-pundak kalian,
bersikaplah lembut pada tangan-tangan saudara kalian dan tutuplah celah karena
sesungguhnya setan menyela diantara kalian seperti anak-anak domba kecil.
(HR. Ahmad no. 22317. Di Dhaifkan oleh
al-Albaani dlm “مشكاة
المصابيح”1/242).
-----
KE SEMBILAN: hadits
Anas bin Malik رضي الله عنه:
Hadits tentang tata cara Merapatkan
Shaf Shalat Berjamaah :
Ke 1: Dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu Bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
(أَتِمُّوا الصَّفَّ
الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي
الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ)
(Sempurnakan oleh kalian barisan yang
terdepan kemudian baru barisan-barisan berikutnya, maka jika memang ada di
antara shaf-shaf itu yang kurang maka jadikanlah sebagai shaf yang paling
akhir). [HR. Abu Dawud (671) dan An Nasa’i (818). Dan dishahihkan oleh
Al Albani dalam shahih Abu Dawud dan yang lainnya].
Ke 2: Dari sahabat
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
أُقِيمَتْ
الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي
أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
"Ketika iqamah shalat telah
dikumandangkan, Rasulullah ﷺ menghadap kepada kami seraya bersabda:
"Luruskanlah shaf dan rapatkanlah,
sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku." (H.R.
Bukhari no. 678)
Ke 3: Dari Anas bin
Malik dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
"أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي". وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ
مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
"Luruskanlah shaf-shaf kalian,
sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku."
Anas berkata: Dan setiap orang dari
kami merapatkan bahunya kepada bahu temannya, dan kakinya pada kaki
temannya. (HR. Bukhori no. 683)
Ke 4: Tambahan dalam
riwayat lain:
وَلَوْ ذَهَبْتَ
تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ
“Dan seandainya engkau melakukan yang
demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka
seperti bighal yang melawan”
Lengkapnya: Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
"لَقَدْ رَأَيْتُ
أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ،
وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ
شَمُوسٌ".
“Sungguh aku melihat salah satu dari
kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kakinya dengan kaki
sahabatnya.
Seandainya hari ini kami melakukan hal
ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal
(peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan.”
(HR. Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la
al-Maushily 6/381 dan Ibnu Abi Syaibah 1/386).
Syeikh al-Albaani berkata:
"سَنَدُهُ صَحِيحٌ أَيْضًا
عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ"
Sanad nya shahih juga sesuai syarat
Syaikhoon. (Baca: “السِّلْسِلَةُ
الصَّحِيحَةُ”1/39
no. 31).
Ke 5: Dari Anas bin
Malik dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
رُصُّوا
صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقٌ فَوَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا
الْحَذَفُ
"Rapatkan shaf shaf kalian,
dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi
Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke
dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil."
[HR. Abu Daud no. 667, Nasaa’i no. 815
dan Ahmad no. 13761] Di shahihkan oleh Ibnu Daqiiq al-‘iid dalam “الاقتراح”no. 93 dan oleh al-Albaani dlm Shahih an-Nasaa’i no. 814.
Ke 6: Dari sahabat
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَوْمًا، فَقَالَ: هَلْ تَدْرِي لِمَ صُنِعَ هَذَا العُودُ؟ فَقُلْتُ:
لَا وَاللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ
عَلَيْهِ يَدَهُ فَيَقُولُ: "اسْتَوُوا وَأَعْدِلُوا صُفُوفَكُمْ".
“Saya shalat di sebelah Anas bin Malik
suatu hari, dan dia berkata: Tahukah Anda untuk apa kayu ini digunakan?
Aku berkata: Tidak, demi Allah.
Dia berkata: Dulu Rasulullah ﷺ senantiasa meletakkan tangannya di atasnya dan berkata:
"Berdiri tegaklah kalian dan
luruskanlah barisan kalian."
(HR. Abu Daud no. 669 dan Baihaqi no.
2/22)
Syeikh al-Albaani dlm Dhaif Abi Daud
1/230 berkata:
وَالحَدِيثُ يَصِحُّ
مِنْهُ الأَمْرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، وَأَمَّا ذِكْرُ العُودِ فِيهِ؛ فَهُوَ مُنْكَرٌ۔
Dari hadits ini ada yang shahih, yaitu
dalam hal perintah meluruskan shaf. Dan adapun penyebutan “Kayu”di dalamnya;
maka itu Munkar “.
Berbeda dengan pernyataan muridnya,
yaitu Syu’aib al-Arnauth dlm “تخريج شرح السنة”no. 811, beliau mengatakan: “حَسَنٌ بِشَوَاهِدِهِ۔”yakni: Hasan dengan adanya
syahid-syahid.
----
KE SEPULUH : Hadits
Nu’man bin Basyir رضي الله عنه:
Hadits tentang tata cara Merapatkan
Shaf Shalat Berjamaah
Ke 1: Nu’man bin
Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا إِذَا قُمْنَا لِلصَّلَاةِ
فَإِذَا اسْتَوَيْنَا كَبَّرَ
Rasulullah ﷺ
biasa meluruskan shaf
shaf kami apabila kami berdiri untuk shalat. Kalau barisan kami telah lurus,
maka beliau bertakbir. (HR. Abu Daud no. 569)
Kedua: Nu’man bin
Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
" لَتُسَوُّنَّ
صُفُوفَكُمۡ أَوۡ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيۡنَ وُجُوهِكُمۡ".
“Sungguh-sungguhlah meluruskan dan
merapatkan saf-saf kalian atau kalau tidak Allah benar-benar akan membuat
wajah-wajah kalian berselisih.”(Muttafaqun ‘alaih, Bukhori no. 717 dan Muslim
no. 436).
Ketiga: Nu’man bin
Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا، حَتَّى كَأنَّمَا
يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأى أنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَ
يَومًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ، فَرَأى رَجُلًا بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ
الصَّفِّ، فَقَالَ: «عِبَادَ اللهِ، لتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أو
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ".
Rasulullah ﷺ
dahulu biasa
meluruskan saf-saf kami sampai seperti meluruskan anak panah. Sehingga beliau
yakin bahwa kami telah memahami pentingnya hal itu.
Kemudian suatu hari, beliau keluar
mengimami shalat. Ketika beliau hampir bertakbir, beliau melihat seseorang yang
terlihat dadanya menjorok. Lalu beliau pun bersabda:
“Wahai hamba-hamba Allah,
bersungguh-sungguhlah kalian meluruskan saf-saf kalian atau kalau tidak Allah
benar-benar akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.”(HR. Muslim no. 436).
Keempat : An-Numan bin Basyir berkata;
أَقْبَلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ
لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ
مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ
بِكَعْبِهِ
Rasulullah ﷺ
biasa menghadap
kepada jamaah, lalu bersabda: "Luruskanlah shaf shaf kalian! -beliau
mengucapkannya tiga kali- Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan
shaf shaf kalian, atau Allah benar--benar akan membuat hati kalian saling
berselisih." Kata Nu'man; Maka saya melihat seseorang melekatkan
(merapatkan) pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian
pula antara lutut dan mata kakinya dengan lutut dan mata kaki temannya.
(HR. Abu Daud no. 566, Nasaa’i no. 801
dan Ahmad no. 17703). Di shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud no. 662.
Sebagian dari matannya disebutkan oleh
Al-Bukhori dalam Shahih secara Mu’allaq dengan shighot Jazm (بِصِيغَةِ الْجَزْمِ۔) sebelum hadits no. (725),
dan diriwayatkan oleh Abu Dawud (662) dengan sanad maushuul dan Al-Bayhaqi no.
(5388) dengan sedikit perbedaan.
----
KE SEBELAS: ATSAR PARA SAHABAT DALAM MELURUSKAN SHAFF:
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ كَانَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَإِذَا جَاءُوهُ
فَأَخْبَرُوهُ أَنْ قَدْ اسْتَوَتْ كَبَّرَ
Bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu
memerintahkan agar meluruskan shaf. Jika mereka datang dan mengabarkan
kepadanya bahwa shaf telah lurus, maka ia pun takbir." (HR. Malik dlm
al-Muwaththa no. 337 dan Turmudzi dalam Sunan Turmudzi di bawah no. 210)
Dari Khoitsamah, dia berkata:
صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَرَأَى فِي الصَّفِّ فُرْجَةً فَأَوْمَأَ إِلَيَّ
فَلَمْ أَتَقَدَّمْ، قَالَ: فَتَقَدَّمَ هُوَ فَسَدَّهَا
Saya sholat di samping Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu, lalu dia melihat celah di barisan, maka dia memberi isyarat
kepada saya, tetapi saya tidak mau maju. Khoitsamah berkata: Dia berkata: Maka
dia maju ke depan lalu menutupnya (HR. Ibnu Abi Syaibah dlm al-Mushannaf
1/416).
Imam Turmudzi berkata:
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ
وَعُثْمَانَ أَنَّهُمَا كَانَا يَتَعَاهَدَانِ ذَلِكَ وَيَقُولَانِ اسْتَوُوا
وَكَانَ عَلِيٌّ يَقُولُ تَقَدَّمْ يَا فُلَانُ تَأَخَّرْ يَا فُلَانُ
Telah diriwayatkan juga dari Ali dan
Utsman, bahwa keduanya selalu memperhatikan hal itu. Keduanya berkata:
"Luruskanlah (barisan shalat kalian)." Ali kadang berkata; "Maju
wahai fulan, mundur wahai fulan." (Sunan Turmudzi di bawah no. 210)
Dari Malik dari pamannya [Abu Suhail
bin Malik] dari [Bapaknya] bahwa dia berkata;
كُنْت مَعَ
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَامَتْ الصَّلَاةُ وَأَنَا أُكَلِّمُهُ فِي أَنْ
يَفْرِضَ لِي فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ وَهُوَ يُسَوِّي الْحَصْبَاءَ
بِنَعْلَيْهِ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الصُّفُوفَ قَدْ اسْتَوَتْ فَقَالَ لِي اسْتَوِ
فِي الصَّفِّ ثُمَّ كَبَّرَ
"Aku pernah bersama [Utsman bin
Affan], iqamah pun dikumandangkan, sementara aku masih berbicara dengannya
minta agar ia memberi suatu kewajiban. Dan aku tetap mengajaknya bicara
sedangkan ia meratakan kerikil dengan dua sandalnya. Sehingga ketika beberapa
lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang dan mengabarkan kepadanya
bahwa shaf telah lurus, ia berkata kepadaku, 'Luruskan shaf.' Setelah itu ia
bertakbir." (al-Muwatha no. 338)
Al-Baaji dalam syarah al-Muwaththa
1/280 berkata:
((وَقَوْلُهُ حَتَّى
جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ دَلِيلٌ عَلَى
اهْتِبَالِ الْأَئِمَّةِ بِتَسْوِيَتِهَا لِأَنَّهُ يَلْزَمُ الْأَئِمَّةَ
مُرَاعَاتُهُ عَلَى حَسَبِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ فِعْلِ عُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -
Dan perkataan nya “Sehingga ketika
beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang”adalah dalil
akan perhatian para imam terhadap pelurusan shaff; karena yang demikian itu
melazimkan para imam untuk memeliharanya sebagaiman yang telah kami sebutkan
dari perbuatan Utsaman dan Ali bin Abi Thalib radhiayllahu ‘anhu.
Lalu Al-Baaji berkata:
قَالَ ابْنُ
حَبِيبٍ: وَقَدْ رَأَيْت أَمِيرَ الْمَدِينَةِ وَكَّلَ رِجَالًا بِتَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَمَنْ
وَجَدُوهُ دُونَ الصَّفِّ وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ سَارُوا بِهِ
بَعْدَ الصَّلَاةِ إلَى السِّجْنِ)).
Ibnu Habib berkata: Saya telah melihat Amir Madinah, dia
menunjuk orang-orang untuk meluruskan barisan di masjid Nabawi. - Maka barang
siapa yang menemukannya di luar shaf padahal ia bisa memasukinya, maka mereka
membawanya setelah shalat ke dalam PENJARA.
-----
KE DUA BELAS: perbuatan sebagian para Sahabat yang memukul orang yang tidak meluruskan shaff.
Ibnu Hazem dalam al-Muhalla (2/379)
berkata:
رُوِينَا بِأَصَحِّ
إِسْنَادٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: كُنْتُ فِيمَنْ ضَرَبَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ قَدَمَهُ لِإِقَامَةِ الصَّفِّ فِي الصَّلَاةِ. قَالَ عَلِيٌّ:
مَا كَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - لِيَضْرِبَ أَحَدًا وَيَسْتَبِيحَ بَشَرَةً
مُحَرَّمَةً عَلَى غَيْرِ فَرْضٍ)) انتهى
Kami meriwayatkan dengan sanad yang
paling shahih dari Abu Utsman Al-Nahdi, katanya: “Saya termasuk orang yang
dipukul oleh Umar bin Khattab kakinya untuk mendirikan shaff”.
Ali berkata: “Dia (Umar) tidak akan -
semoga Allah meridhoinya - memukul siapa pun dan menghalalkan kulit yang
terlarang hanya karena sesuatu yang tidak wajib “. (Selesai)
Dan Ibnu Hazem juga berkata:
(وَعَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عِمْرَانَ الْجُعْفِيِّ عَنْ سُوَيْد بْنِ
غَفَلَةَ قَالَ: كَانَ بِلَالٌ - هُوَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَضْرِبُ أَقْدَامَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيُسَوِّي
مَنَاكِبَنَا.
فَهَذَا بِلَالٌ
مَا كَانَ: لِيَضْرِبَ أَحَدًا عَلَى غَيْرِ الْفَرْضِ. وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ: مِنْ
تَمَامِ الصَّلَاةِ اعْتِدَالُ الصَّفِّ. وَأَنَّهُ قَالَ: لَأَنْ تَخِرَّ
ثَنِيَّتَايَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَرَى خَلَلًا فِي الصَّفِّ فَلَا أَسُدَّهُ))
انتهى
“Dan dari Sufyan ats-Tsauri dari al-A’masy dari ‘Umaarah bin
Imran bin Al-Ju’fii dari Suweid bin Ghaflah mengatakan: Bilal - adalah muadzin
Rasulullah ﷺ dulu dia senantiasa memukul kaki kita dalam shalat dan bahkan
pundak-pundak kami “.
Maka Bilal ini tidak akan memukul
seseorang untuk sesuatu selain yang wajib.
Dan dari Ibnu Umar: “Dari kesempurnaan
shalat adalah keseimbangan shaff “.
Dan dia juga berkata: Bahwa rontoknya
dua gigi seri saya lebih saya cintai daripada saya melihat celah-celah dalam
shaff dan aku tidak menutupnya. (Selesia kutipan dari al-Muhalla)
Namun perkataan Ibnu Hazem tentang
wajibnya meluruskan di tanggapi oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath 2/175
dengan mengatakan:
وَفِيهِ نَظَرٌ
لِجَوَازِ أَنَّهُمَا كَانَا يَرَيَانِ التَّعْزِيرَ عَلَى تَرْكِ السُّنَّةِ
“Dan di dalamnya ada yang perlu
dipertimbangkan; karena boleh saja mereka berdua melakukannya / memukulnya
dengan tujuan menta’ziir / sebagai teguran karena meninggalkan sunnah”.
(Selesai)
====******====
HUKUM MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF, APAKAH ITU SUNNAH ATAU WAJIB?
Ada DUA pendapat:
*****
PENDAPAT PERTAMA: SUNNAH MUAKKADAH
Mayoritas para ulama salaf dan
khalaf bahwa itu hukum nya Sunnah Muakkadah, bahkan ada yg mengatakan
bahwa pendapat ini adalah hampir sepakat seluruh ulama.
Yakni: Sunnah hukumnya meluruskan shaf
dalam shalat berjamaah, yaitu dengan cara sebagian jamaah tidak mendahului
sebagian yang lain, dan yang berdiri dalam shaff itu sejajar dengan
berdempetan, yakni yang berada dalam barisan itu saling bersentuhan bahu dengan
bahu, mata kaki dengan telapak kaki, dan tumit ke tumit sehingga tidak ada
celah atau ruang dalam shaff. Dan seorang Imam di sunnahkan untuk mengaturnya.
Yakni: yang melakukannya diberi pahala
dan yang tidak melakukannya tidak di adzab karena meninggalkannya.
Memang benar ini diperintahkan dan ini
dianjurkan secara Syar’i dengan anjuran yang besar, seperti yang kita baca
dalam hadits-hadits tentang hal ini. Akan tetapi perkara ini hukumnya adalah
SUNNAH, bukan kewajiban.
Mereka menganggap bahwa semua yang
disebutkan dalam haditst yang berisi perintah untuk meluruskan shaff dan
menutup celah itu adalah Sunnah hukumnya, bukan wajib.
Ini adalah menurut pendapat mayoritas
para ulama dari empat madzhab yang diakui, yaitu: madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali, bahkan madzhab lainnya.
Dan Al-Qurthubi meriwayatkan Ijma’ akan
SUNNAH nya. Dia mengatakan:
"وَهُوَ مِنْ سُنَنِ
الصَّلَاةِ بِلا خِلَافٍ".
“Ini adalah salah satu dari
sunnah-sunnah dalam shalat yang tanpa ada perselisihan”[Baca: “(المُفهِم شرح مسلم)” 4/123].
Al-Hafidz Al-Iraqi berkata dalam “(طرح التثريب)” 2/325:
(أَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ)
هَذَا الْأَمْرُ لِلِاسْتِحْبَابِ، بِدَلِيلِ قَوْلِهِ فِي تَعْلِيلِهِ: «فَإِنَّ إِقَامَةَ
الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ»۔
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ:
هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ إِقَامَةَ الصُّفُوفِ سُنَّةٌ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ فَرْضًا
لَمْ يَجْعَلْهُ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ حُسْنَ الشَّيْءِ زِيَادَةٌ عَلَى
تَمَامِهِ، وَذَلِكَ زِيَادَةٌ عَلَى الْوُجُوبِ، وَهَذَا مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ
مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ۔ وَذَهَبَ ابْنُ
حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ إِلَى وُجُوبِهِ۔
Hadits “Dirikanlah kalian shaf dalam
shalat “perintah ini mustahab / sunnah, berdasarkan dalil sabdanya dalam
nalarnya: “Karena mendirikan shaf adalah bagian dari bagusnya shalat.”
Ibnu Baththool berkata: Ini menunjukkan
bahwa mendirikan shaf adalah Sunnah; Karena jika itu adalah kewajiban, maka itu
tidak akan membuatnya menjadi bagusnya sholat; Karena bagusnya sesuatu itu
adalah tambahan untuk sebuah kesempurnaan, dan tambahan pada amalan wajib
meningkatkan wajib.
Ini adalah MADZHAB JUMHUR PARA ULAMA
baik dari kalangan SALAF, maupun KHALAF, dan itu adalah pendapat para imam
empat madzhab.
Berbeda dengan Ibnu Hazm, beliau
bermadzhab WAJIB.
[Baca: طَرْحُ التَّثْرِيبِ فِي شَرْحِ التَّقْرِيبِ (2/325)]
***
PERNYATAAN PARA ULAMA EMPAT (4) MADZHAB
Dan berikut ini kutipan pernyataan para
fuqaha dari empat madzhab, dan kami rangkum sebagai berikut:
-----
MADZHAB HANAFI :
Dalam mazhab Hanafi:
إِنْ كَانَ الْإِمَامُ
وَالْمَأْمُومُ فِي الْمَسْجِدِ، وَكَانَ الْمَأْمُومُ خَلْفَ الْإِمَامِ أَوْ بِحِذَائِهِ،
يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ، إِنْ كَانَ لَا يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ حَالُ الْإِمَامِ،
وَقَالُوا: وَلَوْ كَانَ
الْمَأْمُومُ فِي أَقْصَى الْمَسْجِدِ وَالْإِمَامُ فِي الْمِحْرَابِ، اتَّصَلَتِ الصُّفُوفُ
أَمْ لَا، وَلَوْ كَانَ فَوْقَ سَطْحِ الْمَسْجِدِ، وَلَوْ وَقَفَ عَلَى سَطْحِ الْمَسْجِدِ
وَاقْتَدَى بِالْإِمَامِ صَحَّ اقْتِدَاؤُهُ، لِأَنَّ سَطْحَ الْمَسْجِدِ تَبَعٌ لِلْمَسْجِدِ،
إِذَا كَانَ لَا يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ حَالُ إِمَامِهِ، فَإِنْ كَانَ يَشْتَبِهُ لَا
يَجُوزُ،
وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ
عَلَى سَطْحٍ بِجَنْبِ الْمَسْجِدِ، مُتَّصِلٍ بِهِ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا طَرِيقٌ، فَاقْتَدَى
بِهِ – صَحَّ اقْتِدَاؤُهُ، وَإِنْ صَلَّى فِي الْمِئْذَنَةِ مُقْتَدِيًا بِإِمَامٍ
فِي الْمَسْجِدِ تَجُوزُ صَلَاتُهُ، وَكَذَا فِنَاءُ الْمَسْجِدِ،
وَنَصُّوا عَلَى أَنَّ
كَرَاهَةَ الْمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِّ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ أَوْ عُذْرٍ، وَلَا
يُفَوِّتُ مَعَ الْكَرَاهَةِ فَضْلَ الْجَمَاعَةِ عِنْدَهُمْ.
Jika imam dan makmum berada di masjid,
dan posisi makmum berada di belakang imam atau posisi nya sejajar dengan nya;
maka shah hukum sholat bermakmum padanya, selama tidak ada kekaburan untuk
mengikuti gerak imam.
Dan mereka berkata: “Jika posisi makmum
berada di sudut masjid yang terjauh dan sementara imam berada di mihrab, baik
shaf nya nyambung atau tidak, meskipun dia berada di atas atap masjid, dan jika
ia berdiri di atap masjid lalu dia mengikuti imam, maka hukum bermakmumnya sah,
karena atap masjid itu bagian dari masjid, selama kondisi imamnya tidak ada
kekaburan dalam pengamatan makmum tersebut, namun jika ada kekaburan, maka itu
tidak boleh.
Demikian juga, jika makmum di atap di
samping masjid, yang menyambung dengannya, dan tidak ada jalan pemisah di
antara keduanya, lalu dia bermakmum padanya; maka shah sholatnya sebagai
makmum.
Jika dia shalat di menara tempat adzan,
bermakmum kepada seorang imam di masjid, maka shalatnya shah. Dan begitu juga
di serambi masjid.
Dan mereka menyatakan akan makruhnya
hukum makmum yang berdiri sendirian di belakang shaff, kecuali karena darurat
atau ada hajat. Namun demikian, meskipun makruh akan tetapi dia tetap
mendapatkan pahala keutamaan sholat berjamaah.
Baca: “تبيين الحقائق”oleh
Al-Zaila’i: (1/136), “حاشية الطحطاوي”(hlm. 206, 207),”(بدائع الصنائع) ”(1/145), dan lain-lain.
Al-Samarqandi berkata:
ثُمَّ الصَّلَاةُ خَلْفَ
الصُّفُوفِ مُنْفَرِدًا إِنَّمَا يُكْرَهُ إِذَا وَجَدَ فُرْجَةً فِي الصَّفِّ فَأَمَّا
إِذَا لَمْ يَجِدْ لَا يُكْرَهُ (لِأَنَّ حَالَ الْعُذْرِ مُسْتَثْنَاةٌ) أَلَا تَرَى
أَنَّ الْمَرْأَةَ يَجِبُ عَلَيْهَا أَنْ تُصَلِّيَ مُنْفَرِدَةً خَلْفَ الصُّفُوفِ
لِأَنَّ مُحَاذَاتَهَا لِلرِّجَالِ مُفْسِدَةٌ لِصَلَاتِهِمْ"
“Kemudian shalat di belakang shaf
sendirian dimakruhkannya itu jika ada celah di dalam shaf, tetapi jika tidak
ada celah di dalam shaf, maka itu tidak makruh (karena ada udzur yang
mengecualikannya). Tidak kah kamu melihat bahwa seorang wanita harus shalat
sendirian di belakang shaff karena jika dai sejajar dengan laki-laki, itu
merusak shalat mereka”[Baca: “(تحفة الفقهاء)”
1/145].
Jadi hukum masalah yang kami bahas
dalam madzhab Hanafi, sebagaimana terlihat dari nash-nash mereka yang telah
kami sebutkan: “Hukumnya boleh disertai makruh jika dalam kondisi ada pilihan
dan keluasan, bukan karena darurat atau ada hajat.
Dan ini secara eksplisit dinyatakan
oleh al-Thahthawi dalam “(حاشية الطحطاوي)” 1/361 mengatakan:
“إِنْ صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ مُنْفَرِدًا
مُخْتَارًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ يَجُوزُ وَتُكْرَهُ”
“Jika ia shalat sendiri di belakang
shaf, karena kemauan sendiri, bukan karena darurat, maka itu diperbolehkan tapi
makruh”. [“(حاشية الطحطاوي)”1/361]
Artinya boleh tanpa makruh dalam
kondisi darurat dan hajat, seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.
------
MADZHAB MALIKI
Demikian pula mazhab Maliki, mereka
menyatakan:
يُكْرَهُ صَلَاةُ الْمُنْفَرِدِ
خَلْفَ الصَّفِّ، وَيُكْرَهُ تَقْطِيعُ الصُّفُوفِ، وَيُكْرَهُ تَقَدُّمُ الْمَأْمُومِ
عَلَى مَوْضِعِ إِمَامِهِ، مَعَ صِحَّةِ الصَّلَاةِ فِي كُلِّ مَا سَبَقَ وَلَا يُطْلَبُ
مِنْهُ الْإِعَادَةُ، وَذَكَرُوا أَنَّ الْكَرَاهَةَ تُفَوِّتُ فَضِيلَةَ الصَّفِّ
لَا الْجَمَاعَةَ إِلَّا لِعُذْرٍ، فَمَعَ الْعُذْرِ لَا كَرَاهَةَ۔
Makruh hukumnya shalat sendirian di
belakang shaff, dan dimakruhkan memotong shaff, dan dimakruhkan posisi makmum
lebih maju kedepan dari posisi imamnya, namun tetap shah shalatnya di semua
kondisi tadi dan dia tidak diwajibkan untuk mengulanginya.
Dan mereka menyebutkan bahwa
dimakrukannya itu karena melenyapkan keutamaan shaff, bukan keutamaan sholat
jamaah kecuali ada udzur, jika ada udzur maka tidak dimakruhkan.
[Baca: “التنبيه على مبادئ التوجيه”(1/507), “الفواكه الدواني”(1/527), “حاشية
الدسوقي على الشرح الكبير”(1/333)]).).
Az-Zarqaani berkata:
"(وَ) جَازَ (صَلَاةُ مُنْفَرِدٍ خَلْفَ صَفٍّ) إِنْ عَسُرَ عَلَيْهِ الْوُقُوفُ فِيهِ وَإِلَّا كُرِهَ مَعَ حُصُولِ فَضْلِ الْجَمَاعَةِ وَفَوَاتِ فَضِيلَةِ الصَّفِّ فِي الْمَكْرُوهِ لَا فِي الْجَائِزِ فَتَحَصَّلَ لِنِيَّتِهِ الدُّخُولُ فِيهِ لَوْلَا تَعَسُّرُهُ".
“(Dan) diperbolehkan (sholat sendirian di belakang shaf) jika
sulit baginya untuk berdiri di dalamnya. Jika tidak ada kesulitan, maka
dimakruhkan meskipun tetap mendapatkan keutamaan pahala sholat berjamaah akan
tetapi tidak mendapakan keutamaan shaff karena dimakruhkan, bukan dibolehkan.
Maka ia tidak mendapatkannya karena sengaja niat untuk memasukinya, jika bukan
karena kesulitannya “. [Baca: “شرح الزرقاني على مختصر خليل”2/30].
-----
MADZHAB SYAFI’I
Mazhab Syafi’i dalam masalah ini tidak
jauh berbeda dari hukum yang tersebut di atas.
Imam Nawawi berkata dlm al-Majmu':
"اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ
عَلَى اسْتِحْبَابِ سَدِّ الْفُرَجِ فِي الصُّفُوفِ وَإِتْمَامِ الصَّفِّ الْأَوَّلِ
ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ إِلَى آخِرِهَا، وَمُقْتَضَى الِاسْتِحْبَابِ
عَدَمُ الْبُطْلَانِ بِالتَّرْكِ"
“Sahabat-sahabat kami dan yang lainnya
sepakat akan sunnahnya menutup celah pada shaff dan menyempurnkan shaff
pertama, lalu shaff berikutnya, lalu shaff berikutnya hingga akhir”. (Baca “المجموع “4/301).
Konsekwensi dari hukum mustahab (sunnah)
adalah tidak membatalkan sholat jika meninggalkannya.
Dan para ulama Madzhab Syafii menyatakan:
"أَنَّ الْإِمَامَ وَالْمَأْمُومَ
إِنْ كَانَا فِي مَسْجِدٍ وَاحِدٍ، فَيَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ سَوَاءٌ قَرُبَتِ الْمَسَافَةُ
بَيْنَهُمَا أَمْ بَعُدَتْ، وَسَوَاءٌ اتَّحَدَ الْبِنَاءُ أَمِ اخْتَلَفَ، كَصَحْنِ
الْمَسْجِدِ وَسَطْحِهِ وَسَاحَتِهِ وَالْمِنَارَةِ الَّتِي هِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ،
فَتَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي كُلِّ هَذِهِ الصُّوَرِ، إِنْ كَانَتِ الْأَبْنِيَةُ مُتَنَافِذَةً
أَبْوَابُهَا بَيْنَهُمَا، وَيُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ صَلَاةِ الْمَأْمُومِ عِلْمُهُ
بِصَلَاةِ الْإِمَامِ، كَأَنْ يُشَاهِدَهُ أَوْ يَسْمَعَ تَكْبِيرَهُ، أَوْ يَسْمَعَ
مُبَلِّغًا، أَوْ يَرَى بَعْضَ صَفٍّ مِنَ الْمُقْتَدِينَ بِهِ أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي صَفٍّ، وَأَلَّا يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ أَعْلَى
مِنْهُ أَوْ أَسْفَلَ؛ لِأَنَّ الْمَسْجِدَ كُلَّهُ كَالْجَمَاعَةِ الْوَاحِدَةِ"
Jika imam dan makmum berada dalam satu
masjid; maka shah bermakmumnya, apakah jarak antara keduanya dekat atau jauh,
dan apakah bangunan itu bersatu atau berbeda, seperti di tengah masjid, di
bagian atas atapnya, di halamannya dan di menara yang masih bagian dari masjid;
maka shalatnya sah dalam semua gambaran tadi.
Yang demikian itu jika
bangunan-bangunan tersebut pintu-pintunya saling tembus diantara semuanya.
Dan yang dijadikan i’tibar (standar)
sahnya shalat makmum tersebut, yaitu jika bisa mengatahui shalatnya imam.
Contohnya: dia melihatnya atau mendengar takbirnya, atau mendengar suara juru
sambung suara Imam (Bilal), atau melihat sebagian shaff orang-orang yang
langsung mengikuti imam atau salah satu dari mereka, meskipun dia tidak dalam
shaff.
Dan dia tidak boleh berada di depannya,
apakah dia di atas imam atau di bawahnya; karena seluruh masjid itu seperti
satu jamaah”.
[Baca: Al-Majmu’ (4/301), “المنهاج القويم”(hlm. 164) dan “نهاية المحتاج”(2/199)]
Dan begitu juga menurut mereka:
Dimakruhkan shaf-shaf yang terputus-putus, dan dimakruhkan seorang makmum
sendirian di belakang Shaff tanpa udzur.
Ar-Ramli berkata:
"(بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إِنْ
وَجَدَ سَعَةً) بِفَتْحِ السِّينِ فِيهِ بِأَنْ كَانَ لَوْ دَخَلَ فِيهِ وَسِعَهُ وَإِنْ
عُدِمَتْ فُرْجَةٌ وَلَوْ وَجَدَهَا وَبَيْنَهُ وَبَيْنَهَا صُفُوفٌ كَثِيرَةٌ خَرَقَ
جَمِيعَهَا لِيَدْخُلَ تِلْكَ الْفُرْجَةَ لِأَنَّهُمْ مُقَصِّرُونَ بِتَرْكِهَا…"
“(Melainkan ia memasuki shaf jika
menemukan ruang yang mencukupinya)... yakni dengan keadaan jika ia memasuki
shaf itu bisa mencukupi dirinya meskipun celah itu awalnya tidak nampak.
Dan jika dia menemukan celah, sementara
antara dia dan celah itu ada banyak shaff (yang menghalanginya), maka dia boleh
menembus semuanya agar bisa memasuki celah shaff itu, karena mereka telah lalai
dengan membiarkannya …..
Kemudian dia berkata:
"فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ
مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ كَمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ، بِخِلَافِ تَرْكِ التَّخَطِّي
فَإِنَّ الْإِمَامَ يُسَنُّ لَهُ عَدَمُ إِحْرَامِهِ حَتَّى يُسَوِّيَ بَيْنَ صُفُوفِهِمْ،
(نَعَمْ إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الْفُرْجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ
بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لَمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيرِ)."
Meluruskan shaf adalah bagian dari
kesempurnaan shalat sebagaimana disebutkan dalam hadits. Berbeda dengan
meninggalkan melangkahi pundak (ترك التخطي),
karena imam di sunnahkan untuk tidak ber Takbirotul-ihram sampai dia meluruskan
shaff-shaff mereka, (ya, jika penundaan mereka dalam menutup celah itu karena
adanya udzur seperti waktu bebas di Masjidil Haram, maka itu tidak makruh
karena itu bukan melalaikan)”. [Lihat: “نهاية المحتاج”2/196].
Di sebutkan dlm kitab نهاية المحتاج Madzhab Syafii:
"(وَإِنْ كَانَ) الْوَاقِفُ
(خَلْفَ بِنَاءِ الْإِمَامِ) (فَالصَّحِيحُ صِحَّةُ الْقُدْوَةِ بِشَرْطِ أَلَّا يَكُونَ
بَيْنَ الصَّفَّيْنِ) أَوِ الشَّخْصَيْنِ الْوَاقِفَيْنِ بِطَرَفَيْ الْبِنَاءَيْنِ
(أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ) تَقْرِيبًا، لِأَنَّ هَذَا الْمِقْدَارَ غَيْرُ
مُخِلٍّ بِالِاتِّصَالِ الْعُرْفِيِّ بِخِلَافِ مَا زَادَ عَلَيْهَا."
“(Dan jika) orang yang berdiri
sendirian (di belakang bangunan imam); (maka yang benar adalah sah hukum
bermakmum padanya asalkan tidak berada di antara dua shaff) atau diantara dua
orang yang berdiri di dua ujung dua bangunan (lebih dari tiga hasta) kira-kira;
Karena kadar ukuran ini tidak menyelisihi hukum bersambung menurut adat,
berbeda jika jaraknya lebih jauh dari itu “. (Baca: “نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج”3/267).
Yang di maksud bangunan di sini,
penulis kutip perkataan ar-Ramly:
"(فَإِنْ كَانَا) أَيْ الْإِمَامُ
وَالْمَأْمُومُ (فِي بِنَاءَيْنِ كَصَحْنٍ وَصُفَّةٍ أَوْ بَيْتٍ) مِنْ مَكَانٍ وَاحِدٍ
كَالْمَدْرَسَةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى هَذِهِ الْأُمُورِ أَوْ مَكَانَيْنِ."
“(Jika mereka berdua (yaitu imam dan makmum) berada di dua bangunan, seperti di ruang tengah dan emperan. Atau rumah) dari suatu tempat, seperti madrasah yang terdiri dari hal-hal tadi (ruang tengah dan emperan Pen.), atau dua tempat “. (Baca: “نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج”3/267)
Jadi maksud dari dua bangunan itu
adalah dua ruangan dalam satu gedung seperti ruang tengah dan emperan atau
balkon.
Dan ada juga yang menjelaskan;
وَحَدَّدَ الشَّافِعِيَّةُ
مَسَافَةَ الْمُسَامَحَةِ اللَّازِمَةِ الَّتِي لَا تَضُرُّ فِي الِاتِّصَالِ بَيْنَ
الْوَاقِفِينَ بِطَرَفَيْ بِنَاءَيْنِ فِي صَفٍّ وَاحِدٍ بِأَلَّا تَزِيدَ عَنْ ثَلَاثَةِ
أَذْرُعٍ (180 سْم تَقْرِيبًا) لِأَنَّ هَذَا الْمِقْدَارَ غَيْرُ مُخِلٍّ بِالِاتِّصَالِ
الْعُرْفِيِّ بِخِلَافِ مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَقِيَاسًا عَلَى هَذَا التَّحْدِيدِ
أَيْضًا تَصِحُّ الصَّلَاةُ بِكُلِّ حَالٍ.
“Dan para ulama madzhab Syafi'i
menentukan:
Jarak yang diperbolehkan yang laazim
dan tidak merusak ketersambungan shaff antar keduanya yang masing-masing
berdiri di ujung dua bangunan dalam satu shaff, yaitu tidak boleh melebihi tiga
hasta (sekitar 180 cm).
Kadar ukuran ini tidak mengurangi nilai
nyambungnya shaff makmum menurut adat kebiasaan, tidak seperti jika
melebihinya. Dan berdasarkan analogi dengan spesifikasi ini juga sah shalatnya
dalam semua kondisi diatas “.
https://www.elbalad.news ›... “حُكْمُ الصَّلَاةِ مَعَ وُجُودِ الْفُرَجَاتِ
بَيْنَ الْمَأْمُومِينَ.. أُسْتَاذٌ بِالْأَزْهَرِ يُوَضِّحُ”
------
MADZHAB HANBALI
Dan begitu juga dalam madzhab Hanbali:
لَوْ وَقَفَ الْمُصَلُّونَ
خَلْفَ الْإِمَامِ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ مَعَ وُجُودِ فُرْجَةٍ وَلَوْ قَدْرَ ثَلَاثَةِ
رِجَالٍ فَأَكْثَرَ.. لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُمْ
Jika para makmum berdiri di belakang
imam atau di sebelah kanannya dengan adanya celah, meskipun diperkirakan
celahnya cukup untuk tiga orang atau lebih, maka shalat mereka tidak batal
([Lihat: “الإنصاف”(2/30 dan 4/424), “كشاف القناع”(1/328)
Ar-Ruhaibani mengatakan dalam “مَطَالِبُ أُولِي النُّهَى فِي شَرْحِ غَايَةِ الْمُنْتَهَى”:
(وَلَا تَبْطُلُ) الصَّلَاةُ (بِقَطْعِ
صَفٍّ مُطْلَقًا)، أَيْ: سَوَاءٌ كَانَ وَرَاءَ الْإِمَامِ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ (إِلَّا)
أَنْ يَكُونَ قَطْعُ الصَّفِّ (عَنْ يَسَارِهِ)، أَيْ: الْإِمَامِ (إِذَا بَعُدَ) الْمُنْقَطِعُ
(بِقَدْرِ مَقَامِ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ)؛ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهُ. قَالَهُ ابْنُ حَامِدٍ،
وَجَزَمَ بِهِ فِي الرِّعَايَةِ الْكُبْرَى.
(وَيَتَّجِهُ: أَنَّ الْمُرَادَ)
بِبُطْلَانِ صَلَاةِ صَفٍّ انْقَطَعَ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ بِقَدْرِ مَقَامِ ثَلَاثَةِ
رِجَالٍ (مَا لَمْ تَنْوِ)، أَيْ: مَا لَمْ تَنْوِ الطَّائِفَةُ الْمُنْقَطِعَةُ (مُفَارَقَةَ)
الْإِمَامِ، فَإِنْ نَوَتْ مُفَارَقَتَهُ؛ صَحَّتْ، أَوِ اتَّصَلَ الصَّفُّ، أَوْ أَمْكَنَ
انْتِقَالُهَا إِلَى غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ عَمَلٍ كَثِيرٍ؛ صَحَّتْ، وَهَذَا مُتَّجِهٌ.
(وَ) يَتَّجِهُ أَيْضًا: (أَنَّهُ مَنْ بَعُدَ عَنِ الصَّفِّ) مَعَ مُحَاذَاتِهِ لَهُ، وَكَانَ بُعْدُهُ عَنْهُ (قَدْرَ ذَلِكَ)، أَيْ: مَقَامِ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ (فَفَذٌّ)، أَيْ: فَرْدٌ لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ. وَهَذَا لَيْسَ بِوَجِيهٍ، إِذْ قَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِقَطْعِ الصَّفِّ خَلْفَ الْإِمَامِ، وَعَنْ يَمِينِهِ، وَهُوَ يَشْمَلُ الْوَاحِدَ وَالْجَمَاعَةَ.
(Sholat tidak batal dengan memotong shaf sama sekali), yakni:
apakah itu di belakang imam atau di sebelah kanannya (kecuali) terputusnya shaf
itu (di sebelah kirinya), yakni: imam.
(Jika berjauhan) orang yang terputus
shaff (sejauh ukuran tempat berdiri tiga orang); maka batal shalatnya. Ini Ibnu
Hamid telah mengatakannya, dan menegaskannya dalam kitab “الرعاية الكبرى”.
(dan ada cenderungan: bahwa apa yang
dimaksudkan) membatalkan shalat shaf yang terputus di sebelah kiri imam dengan
kadar jarak berdiri tiga orang (selama ia tidak berniat), yaitu: selama
kelompok yang terpustus ini tidak berniat (memisahkan diri dari) imam.
Maka jika kelompok itu berniat untuk
memisahkan diri darinya; maka shah shalatnya, atau shaff nya bersambung. Atau
memungkinkannya untuk pindah ke yang lainnya tanpa banyak gerak; maka shah juga
sholatnya. Dan ini adalah muttajih.
(Dan) ada kecenderungan juga: (bahwa
orang yang jauh dari shaff) dengan posisi dia sejajar dengannya, dan jarak nya
darinya adalah (seukuran itu), yaitu: tempat berdiri tiga orang (maka dia itu
sholat sendiri), yakni: tunggal yang shalatnya tidak sah.
Dan Ini pernyataan yang tidak wajiih,
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak apa-apa memotong shaff di
belakang imam, dan di sebelah kanannya, dan itu mencakup makan satu orang dan
jemaah [Baca “مطالب أولي النهى
“1/695].
Ini adalah sifat yang disebutkan dalam
masalah kami di sini, maka shalat dengan kondisi tersebut dibolehkan menurut
madzhab Hanbali.
-----
Prof. DR. Syauqi Alam, Mufti Jumhuriyah
Mesir berkata:
وَأَكَّدَ أَنَّ الْعُلَمَاءَ
اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ هِيَ مِنَ السُّنَنِ الْمُؤَكَّدَةِ
فِي صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ؛ بَلْ نَصَّ الْحَنَفِيَّةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى أَنَّهَا
وَاجِبَةٌ عَلَى الْإِمَامِ، غَيْرَ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ تَسْوِيَةُ الصَّفِّ
بِالتَّأْلِيفِ وَالْمَحَبَّةِ، خَاصَّةً بَعْدَ قِلَّةِ الْعِلْمِ؛ فَالْأَمْرُ يَتَطَلَّبُ
مَزِيدَ الرِّفْقِ بِالنَّاسِ لِتَعْلِيمِهِمْ وَتَفْقِيهِهِمْ، وَلَكِنْ كُلُّ هَذَا
لَا يَكُونُ عَلَى حِسَابِ الْمَقْصُودِ الْأَصْلِيِّ مِنَ الصَّلَاةِ، وَهُوَ حُضُورُ
الْقَلْبِ وَخُشُوعُهُ، فَالْأَكْمَلُ الِاسْتِنَانُ بِالسُّنَنِ النَّبَوِيَّةِ الظَّاهِرَةِ
وَالْبَاطِنَةِ.
وَإِذَا لَمْ يُمْكِنِ
الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فَالْحِفَاظُ عَلَى خُضُوعِ الْقَلْبِ لِلْبَارِي سُبْحَانَهُ
فِي الصَّلَاةِ وَالتَّآلُفِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْلَى مِنَ الْهَدْيِ الظَّاهِرِ
الْخَالِي عَنْ هَذِهِ الْحَقَائِقِ الْأَصِيلَةِ الْمَقْصُودَةِ لِذَاتِهَا، عَلَى
أَنَّ الْهَدْيَ الظَّاهِرَ مَقْصُودٌ لِغَيْرِهِ، فَمَا كَانَ مَقْصُودًا لِذَاتِهِ
أَوْلَى مِمَّا هُوَ مَقْصُودٌ لِغَيْرِهِ عِنْدَ التَّعَارُضِ، وَالْكَمَالُ بِثُبُوتِهِمَا
مَعًا.
Ditegaskan bahwa para ulama sepakat
bahwa meluruskan shaf adalah salah satu sunnah muakkadah dalam shalat
berjamaah.
Bahkan, madzhab Hanafi dan lainnya
menyatakan bahwa meluruskan shaff itu wajib bagi imam, tetapi seyogyanya dalam
meluruskan shaff harus disertai dengan rasa kasih sayang dan mahabbah, terutama
setelah kurangnya ilmu tentang itu pada umat.
Maka dalam perkara ini dibutuhkan lebih
banyak kelembutan kepada orang-orang untuk mengajari mereka dan memberikan
pemahaman pada nya.
Akan tetapi dari semua ini jangan
sampai mengorbankan tujuan asli dari shalat itu sendiri, yaitu kehadiran hati
dan kekhusyu’annya.
Maka yang paling sempurna dalam
mengamalkan sunnah Nabi ﷺ itu adalah secara lahir dan batin.
Dan jika tidak mungkin untuk
menggabungkan keduanya, maka menjaga ketundukan hati kepada Allah SWT dalam
sholat dan menjaga kerukunan di antara umat Islam itu lebih baik daripada
petunjuk (hidayah) yang dzohir yang kosong dari hakikat-hakikat tujuan yang
pokok, dan apalagi jika pada realitanya petunjuk yang dhohir itu dimaksudkan
untuk hal yang lain.
Maka apa yang dimaksudkan untuk dzatnya
itu lebih utama dari apa yang dimaksudkan untuk selainnya ketika ada
kontradiksi. Dan kesempurnaan itu dengan adanya keketapan untuk keduanya secara
bersama.
Lalu Mufti Prof. DR. Syauqi Alam
menyebutkan apa yang dikatakan oleh ulama Hanafi Kashmir terkemuka dalam “العرف الشذي شرح سنن الترمذي”(1/235, cet. “مؤسسة ضحى”):
[تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ وَاجِبَةٌ
عَلَى الْإِمَامِ كَمَا فِي "الدُّرِّ الْمُخْتَارِ"، وَتَرْكُهَا مَكْرُوهٌ
تَحْرِيمًا.
وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ
بِفَرْضِيَّتِهَا، وَالِاعْتِبَارُ فِي التَّسْوِيَةِ الْكِعَابُ، وَأَمَّا مَا فِي
"الْبُخَارِيِّ" مِنْ إِلْزَاقِ الْكَعْبِ بِالْكَعْبِ؛ فَزَعَمَهُ بَعْضُ
النَّاسِ أَنَّهُ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْحَالُ أَنَّهُ مِنْ مُبَالَغَةِ الرَّاوِي.
وَالْحَقُّ عَدَمُ التَّوْقِيتِ
فِي هَذَا بَلِ الْأَنْسَبُ مَا يَكُونُ أَقْرَبَ إِلَى الْخُشُوعِ.]
“Meluruskan shaf adalah wajib bagi imam, seperti dalam “Al-Durr
Al-Mukhtar”, dan meninggalkannya itu dilarang.
Ibnu Hazm mengatakan fardhu hukumnya,
dan yang mu’tabar dalam meluruskan shaff itu adalah antara mata kaki - mata
kaki. Adapun apa yang ada dalam al-Bukhori tentang mata kaki yang menempel pada
mata kaki; maka sebagian orang-orang mengklaim bahwa itu adalah hakiki, padahal
realitanya bahwa itu adalah dari berlebih-lebihannya seorang perawi.
Yang benar adalah bahwa tidak ada
batasan dalam hal ini, melainkan yang paling tepat adalah yang lebih dekat
dengan kekhusyu’an”
Referensi: «الإفتاء» توضح حكم إلصاق الأقدام ببعضها
فى الصلاة - صدى البلد
https://www.elbalad.news ›
Kesimpulan dari hukum meluruskan shaff dan
menutup celah adalah mustahab. Dan jika tidak mengamalknnya maka hukumnya boleh
tapi makruh. Dan shalat dengan kondisi saling berjauhan antara makmum adalah
sah, meskipun tidak ada hajat atau udzur. Namun jika ada udzur atau hajat, maka
hukum makruhnya menjadi hilang.
===
DALIL YANG MENYATAKAN :
BAHWA MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF ITU SUNNAH
Mereka berpegang pada hadits-hadits
yang menunjukkan bukan wajib, yaitu spt berikut ini:
Hadits pertama:
Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
وَأَقِيمُوا
الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ
"Dan kalian luruskanlah shaf,
karena lurusnya shaf merupakan bagian dari bagusnya shalat." (HR. Bukhori
no. 680)
Hadits kedua:
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda:
((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ
تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ)).
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena
lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”(Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari,
no. 723 dan Muslim, no. 433]
Dalam riwayat Al-Bukhori disebutkan:
((فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ
مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ)).
“Karena lurusnya shaf termasuk
mendirikan shalat.”
Kalimat “bagian dari kebaikan
sholat”atau “bagian dari kesempurnaan sholat.”menujukkan hukum sunnah, tidak
menunjukkan hukum wajib.
Pada zaman para sahabat Nabi dahulu,
tidak ada seorang sahabatpun yang memerintahkan orang yang tidak merapatkan
barisan dalam jamaah sholat untuk mengulang sholatnya. Hal ini juga tidak
menunjukkan hukum wajibnya merapatkan barisan dalam jamaah sholat.
Hadits ke tiga:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"أَقِيمُوا الصُّفُوفَ،
فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ،
وَسُدُّوا الْخَلَلَ، وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا
فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا، وَصَلَهُ اللهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Luruskanlah shaff (barisan), karena
sesungguhnya kalian sedanga berbaris dengan barisan para malaikat. Dan
sejajarkanlah antara pundak-pundak kalian, tutuplah celah-celah kosong shaff,
dan berlunaklah terhadap tangan saudara kalian, dan jangan biarkan celah-celah
kosong shaff untuk dimasuki setan. Dan barang siapa menyambung barisan shalat,
maka Allah akan menjalin hubungan terhadapnya. Sebaliknya barang siapa
memutuskan barisan shalat, Allah akan memutus hubungan terhadapnya.”
(HR. Ahmad 5466 & 5724 dan
kata-katanya adalah miliknya, Abu Daud (666), dan al-Tabarani (13/319) (14113).
Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dlm Takhrij al-Musnad 8/82 dan Syeikh al-Albaani
dlm shahih Abi Daud no. 666.
Dalam hadits ini Rosulullah ﷺ mengatakan:
وَحَاذُوا بَيْنَ
الْمَنَاكِبِ
“Dan sejajarkanlah antara pundak-pundak
kalian”
Makna “mensejajarkan”itu tidak mesti
harus menempel.
*****
PENDAPAT KE DUA: WAJIB MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF.
Sebagian para ulama – termasuk Imam
Bukhori, Ibnu Hazm adz-Dzoohiri, syeikhul Islam Ibnu Taimiah, al-Hafidz Ibnu
Hajar Al-Asqolàni, Syeikh Bin Baaz, Syeikh Ibnu ‘Utsaimin dan beberapa
ulama hadits lainnya – berpendapat bahwa:
“Meluruskan shaf dan merapatkannya
adalah WAJIB”.
Artinya menurut pendapat wajib ini:
jika tidak lurus shaffnya dan tidak rapat; maka berdosa, namun tidak
membatalkan sholatnya, kecuali Ibnu Hazem adz-Dzoohiri, beliau berpendapat batal
dan tidak shah sholat seoarang makmum yang tidak meluruskan shafnya.
Al-Imam Al-Bukhori meriwayatkan dari
Busyair bin Yasar Al Anshari dari Anas bin Malik:
أَنَّهُ قَدِمَ
الْمَدِينَةَ فَقِيلَ لَهُ مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا إِلَّا
أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ
“Bahwa dia (Anas radhiyallahu ‘anhu)
datang ke Madinah, lalu dikatakan kepadanya, "Apakah ada sesuatu yang kamu
ingkari dari perbuatan kami sejak kamu hidup bersama Rasulullah ﷺ?" Anas bin Malik menjawab, "Tidak ada sesuatu yang
aku ingkari dari kalian kecuali kalian tidak meluruskan shaf dalam
shalat." (HR. Bukhori no. 682).
Dan Al-Imam Al-Bukhori menuliskan BAB
untuk hadits ini:
{ بَابُ إِثْمِ مَنْ لَمْ يُتِمَّ
الصُّفُوفَ }
“BAB: tentang dosa orang-orang yang
tidak menyempurnakan shaff “
Seolah-olah beliau berpendapat bahwa
meluruskan shaf itu wajib, dan hal yang sama ada kesesuaian antara atsar Anas
radhiyallahu ‘anhu ini dengan BAB yang di tulis oleh al-Bukhori ini; karena
dalam atsar tersebut Anas radhiyallahu 'anhu, mengingkari mereka yang tidak
mendirikan shaff, dan pengingkarannya ini menunjukkan bahwa dia melihat bahwa
meluruskan shaff itu wajib, maka orang yang meninggalkan kewajiban adalah
berdosa. (Baca: “عمدة القاري شرح
صحيح البخاري”karya
al-‘Aini 8/462).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْبُخَارِيُّ
أَخَذَ الْوُجُوبَ مِنْ صِيغَةِ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ: ((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ))، وَمِنْ عُمُومِ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ((صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي))، وَمِنْ وُرُودِ الْوَعِيدِ
عَلَى تَرْكِهِ؛ فَرَجَحَ عِنْدَهُ بِهَذِهِ الْقَرَائِنِ أَنَّ إِنْكَارَ أَنَسٍ إِنَّمَا
وَقَعَ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبِ، وَإِنْ كَانَ الْإِنْكَارُ قَدْ يَقَعُ عَلَى تَرْكِ
السُّنَنِ".
“Bisa jadi Al-Bukhori dalam menetapkan
hukum wajib dengan mengambil dari ungkapan dalam sabda Nabi ﷺ:
((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ))
“Luruskan lah shaff kalian “.
Dan dari makna umum dalam sabda Nabi ﷺ:
((صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي))
“Sholat lah kalian seperti kalian lihat
aku sholat “.
Dan dengan adanya ancaman atas orang
yang meninggalkannya; maka menurut beliau qarinah-qarinah ini mentarjih bahwa
pengingkaran Anas itu terjadi hanya pada pengabaian kewajiban, meskipun
pengingkaran seperti itu bisa terjadi pada pengabaian Sunah-sunah. [Baca: “الفتح”3/75]
Kemudian Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَمَعَ القَوْلِ بِأَنَّ
تَسْوِيَةَ الصَّفِّ وَاجِبَةٌ فَصَلَاةُ مَنْ خَالَفَ وَلَمْ يُسَوِّ صَحِيحَةٌ، وَيُؤَيِّدُ
ذَلِكَ أَنَّ أَنَسًا مَعَ إِنْكَارِهِ عَلَيْهِمْ، لَمْ يَأْمُرْهُمْ بِإِعَادَةِ
الصَّلَاةِ۔
Meskipun berpendapat bahwa meluruskan
shaf itu wajib, namun sholat orang yang menyelisihinya dan tidak meluruskan
shaff nya itu tetap sah, dan ini diperkuat oleh fakta bahwa sahabat Anas,
meskipun dia mengingkari mereka (yang tidak meluruskan shaff), akan tetapi dia
tidak memerintahkan mereka untuk mengulangi shalatnya”
[Baca: فتح الباري
(2/206 & 3/75).
Dan Baca juga: “شرح صحيح البخاري”karya Ibnu Bath-thool 2/347
dan طرح التثريب (3/68)].
Bahkan al-Hafidz Ibnu Rajab
meriwayatkan Ijma’ para ulama tentang itu, dia mengatakan:
" وَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُبْطِلُ تَرْكُهُ عَمْدًا وَلَا سَهْوًا"
"Tidak ada perselisihan bahwa itu
tidak membatalkannya, baik meninggalkannya dengan sengaja atau karena
kelalaian”. (Baca: “فتح الباري”karya Ibnu Rojab 4/297).
Al-‘Allaamah Ibnu al-Utsaimin,
semoga Allah merahmatinya, memperkuat hal ini, dengan mengatakan bahwa:
"احْتِمَالُ عَدَمِ البُطْلَانِ
مَعَ الإِثْمِ أَقْوَى؛ لِأَنَّ التَّسْوِيَةَ وَاجِبَةٌ لِلصَّلَاةِ لَا وَاجِبَةٌ
فِيهَا؛ يَعْنِي: أَنَّهَا خَارِجٌ عَنْ هَيْئَتِهَا، وَالوَاجِبُ لِلصَّلَاةِ يَأْثَمُ
الإِنْسَانُ بِتَرْكِهِ، وَلَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِهِ؛ كَالأَذَانِ مِثْلًا، فَإِنَّهُ
وَاجِبٌ لِلصَّلَاةِ، وَلَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ"۔
“Kemungkinan tidak membatalkan shalat
itu lebih kuat, karena meluruskan shaf itu wajib untuk shalat, bukan wajib di
dalam shalat. Artinya: diluar rukun gerakan sholat. Dan sesuatu yang wajib
untuk shalat maka seseorang berdosa dengan meninggalkannya, namun shalatnya
tidak batal karenanya. Seperti adzan, misalnya, wajib untuk shalat, tetapi
shalatnya tidak batal dengan meninggalkannya. [Baca: “الشرح الممتع”3/10]
Ini berbeda dengan pendapat Ibnu Hazem, beliau mengatakan: Batal sholatnya.
[baca: “الإحكام في أصول الأحكام”2/186 karya Ibnu Hazm].
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam
al-Fath 2/175:
(وَأَفْرَطَ بن حَزْمٍ فَجَزَمَ
بِالْبُطْلَانِ وَنَازَعَ مَنِ ادَّعَى الْإِجْمَاعَ عَلَى عَدَمِ الْوُجُوبِ
بِمَا صَحَّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ ضَرَبَ قَدَمَ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ
لِإِقَامَةِ الصَّفِّ وَبِمَا صَحَّ عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ قَالَ كَانَ بِلَالٌ
يُسَوِّي مَنَاكِبنَا وَيَضْرِبُ أَقْدَامَنَا فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ مَا كَانَ
عُمَرُ وَبِلَالٌ يَضْرِبَانِ أَحَدًا عَلَى تَرْكِ غَيْرِ الْوَاجِبِ وَفِيهِ
نَظَرٌ لِجَوَازِ أَنَّهُمَا كَانَا يَرَيَانِ التَّعْزِيرَ عَلَى تَرْكِ
السُّنَّةِ)) انتهى
“Dan Ibnu Hazem telah berlebihan dengan
menganggap batal sholat (makmum yang tidak meluruskan shaff), dan terhadap
orang yang mengklaim adanya Ijma’ tidak wajib dia membantah nya dengan riwayat
yang shahih dari Umar: bahwa Umar memukul kaki Abu Utsman an-Nahdi untuk
meluruskan shaff. Dan dengan riwayat yang shahih dari Suwaid bin Ghaflah, dia
berkata: “Bilal biasa meluruskan bahu-bahu kami dan memukul kaki-kaki kami
dalam shalat.”
Lalu Ibnu Hazem berkata: 'Umar dan
Bilal tidak pernah memukul seseorang hanya karena meninggalkan sesuatu yang
tidak wajib “.
Maka Ibnu Hajar menjawabnya: “Dan di
dalamnya ada yang perlu dipertimbangkan; karena boleh saja mereka berdua
melakukannya dengan tujuan menta’ziir / sebagai teguran karena meninggalkan
sunnah”. [Selesai]
Dan kisah Abu Utsman diriwayatkan oleh
Ibn Hazm dalam Al-Muhalla (2/379).
===
DALIL PENDAPAT KEDUA
(yang mengatakan WAJIB meluruskan dan merapatkan shaff)
Dalil Pertama:
Mereka yang berpendapat wajibnya
meluruskan shaff menyatakan bahwa hadits-hadits tentang meluruskan shaff dan
menutup celah itu menunjukkan hukum wajib, bukan Sunnah. (Baca: “الموسوعة الفقهية الكويتية”(27/36).
Dalil Kedua:
Berhujjah dengan atsar para sahabat
radhiyallahu ‘anhu dalam meluruskan Shaff:
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ كَانَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ فَإِذَا جَاءُوهُ
فَأَخْبَرُوهُ أَنْ قَدْ اسْتَوَتْ كَبَّرَ
Bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu
memerintahkan agar meluruskan shaf. Jika mereka datang dan mengabarkan
kepadanya bahwa shaf telah lurus, maka ia pun bertakbir." (HR. Malik dlm
al-Muwaththa no. 337 dan Turmudzi dalam Sunan Turmudzi di bawah no. 210)
Imam Turmudzi berkata:
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ
وَعُثْمَانَ أَنَّهُمَا كَانَا يَتَعَاهَدَانِ ذَلِكَ وَيَقُولَانِ اسْتَوُوا
وَكَانَ عَلِيٌّ يَقُولُ تَقَدَّمْ يَا فُلَانُ تَأَخَّرْ يَا فُلَانُ
Telah diriwayatkan juga dari Ali dan Utsman, bahwa keduanya selalu memperhatikan hal itu. Keduanya berkata: "Luruskanlah (barisan shalat kalian)." Ali kadang berkata; "Maju wahai fulan, mundur wahai fulan." (Sunan Turmudzi di bawah no. 210)
Dari Malik dari pamannya [Abu Suhail
bin Malik] dari [Bapaknya] bahwa dia berkata;
كُنْت مَعَ
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَامَتْ الصَّلَاةُ وَأَنَا أُكَلِّمُهُ فِي أَنْ
يَفْرِضَ لِي فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ وَهُوَ يُسَوِّي الْحَصْبَاءَ
بِنَعْلَيْهِ حَتَّى جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الصُّفُوفَ قَدْ اسْتَوَتْ فَقَالَ لِي اسْتَوِ
فِي الصَّفِّ ثُمَّ كَبَّرَ
"Aku pernah bersama [Utsman bin
Affan], iqamah pun dikumandangkan, sementara aku masih berbicara dengannya
minta agar ia memberi suatu kewajiban. Dan aku tetap mengajaknya bicara
sedangkan ia meratakan kerikil dengan dua sandalnya. Sehingga ketika beberapa
lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang dan mengabarkan kepadanya
bahwa shaf telah lurus, ia berkata kepadaku, 'Luruskan shaf.' Setelah itu ia
bertakbir." (al-Muwatha no. 338)
Dari Khoitsamah, dia berkata:
صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَرَأَى فِي الصَّفِّ فُرْجَةً فَأَوْمَأَ إِلَيَّ
فَلَمْ أَتَقَدَّمْ، قَالَ: فَتَقَدَّمَ هُوَ فَسَدَّهَا
Saya sholat di samping Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu, lalu dia melihat celah di barisan, maka dia memberi isyarat
kepada saya, tetapi saya tidak mau maju. Khoitsamah berkata: Dia berkata: Maka
dia maju ke depan lalu menutupnya (HR. Ibnu Abi Syaibah dlm al-Mushannaf
1/416).
Al-Baaji dalam syarah al-Muwaththa
1/280 berkata:
((وَقَوْلُهُ حَتَّى
جَاءَهُ رِجَالٌ قَدْ كَانَ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ دَلِيلٌ عَلَى
اهْتِبَالِ الْأَئِمَّةِ بِتَسْوِيَتِهَا لِأَنَّهُ يَلْزَمُ الْأَئِمَّةَ
مُرَاعَاتُهُ عَلَى حَسَبِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ فِعْلِ عُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -
Dan perkataan nya “Sehingga ketika
beberapa lelaki yang diberi tugas untuk meluruskan shaf datang”adalah dalil
akan perhatian para imam terhadap pelurusan shaff; karena yang demikian itu
melazimkan para imam untuk memeliharanya sebagaiman yang telah kami sebutkan
dari perbuatan Utsaman dan Ali bin Abi Thalib ardhiyallahu ‘anhu.
Lalu Al-Baaji berkata:
قَالَ ابْنُ
حَبِيبٍ: وَقَدْ رَأَيْت أَمِيرَ الْمَدِينَةِ وَكَّلَ رِجَالًا بِتَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَمَنْ
وَجَدُوهُ دُونَ الصَّفِّ وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ سَارُوا بِهِ
بَعْدَ الصَّلَاةِ إلَى السِّجْنِ)).
Ibnu Habib berkata: Saya telah melihat
Amir Madinah, dia menunjuk orang-orang untuk meluruskan barisan di masjid
Nabawi. - Maka barang siapa yang menemukannya di luar shaf padahal ia bisa
memasukinya, maka mereka membawanya setelah shalat ke dalam PENJARA.
Dalil Ketiga:
Berhujjah dengan perbuatan sebagian
para Sahabat yang memukul orang yang tidak meluruskan shaff.
Ibnu Hazem dalam al-Muhalla (2/379)
berkata:
رُوِينَا بِأَصَحِّ
إِسْنَادٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: كُنْتُ فِيمَنْ ضَرَبَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ قَدَمَهُ لِإِقَامَةِ الصَّفِّ فِي الصَّلَاةِ۔. قَالَ عَلِيٌّ:
مَا كَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - لِيَضْرِبَ أَحَدًا وَيَسْتَبِيحَ بَشَرَةً
مُحَرَّمَةً عَلَى غَيْرِ فَرْضٍ)) انتهى
Kami meriwayatkan dengan sanad yang paling shahih dari Abu Utsman Al-Nahdi, katanya: “Saya termasuk orang yang dipukul oleh Umar bin Khattab kakinya untuk mendirikan shaff”.
Ali berkata: “Dia (Umar) - semoga Allah
meridhoinya - tidak akan memukul siapa pun dan menghalalkan kulit yang
terlarang hanya karena sesuatu yang tidak wajib “. (S)
Dan Ibnu Hazem juga berkata:
(وَعَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عِمْرَانَ الْجُعْفِيِّ عَنْ سُوَيْد بْنِ
غَفَلَةَ قَالَ: كَانَ بِلَالٌ - هُوَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَضْرِبُ أَقْدَامَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيُسَوِّي
مَنَاكِبَنَا.
فَهَذَا بِلَالٌ
مَا كَانَ: لِيَضْرِبَ أَحَدًا عَلَى غَيْرِ الْفَرْضِ. وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ: مِنْ
تَمَامِ الصَّلَاةِ اعْتِدَالُ الصَّفِّ. وَأَنَّهُ قَالَ: لَأَنْ تَخِرَّ
ثَنِيَّتَايَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَرَى خَلَلًا فِي الصَّفِّ فَلَا
أَسُدَّهُ)) انتهى
“Dan dari Sufyan ats-Tsauri dari al-A’masy dari ‘Umaarah bin
Imran bin Al-Ju’fii dari Suweid bin Ghaflah mengatakan: Bilal - adalah muadzin
Rasulullah ﷺ dulu dia senantiasa memukul kaki kita dalam shalat dan bahkan
pundak-pundak kami “.
Maka Bilal ini tidak akan memukul
seseorang untuk sesuatu selain yang wajib.
Dan dari Ibnu Umar: “Dari kesempurnaan
shalat adalah keseimbangan shaff “.
Dan dia juga berkata: Bahwa rontoknya
dua gigi seri saya lebih saya cintai daripada saya melihat celah-celah dalam
shaff dan aku tidak menutupnya. (Selesai kutipan dari al-Muhalla)
Namun perkataan Ibnu Hazem tentang
wajibnya meluruskan di tanggapi oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath
2/175 dengan mengatakan:
وَفِيهِ نَظَرٌ
لِجَوَازِ أَنَّهُمَا كَانَا يَرَيَانِ التَّعْزِيرَ عَلَى تَرْكِ السُّنَّةِ
“Dan di dalamnya ada yang perlu
dipertimbangkan; karena boleh saja mereka berdua melakukannya / memukulnya
dengan tujuan menta’ziir / sebagai teguran karena meninggalkan sunnah”.
(Selesai)
===****===
BATASAN RAPAT NYA SHAFF
MENURUT PENDAPAT YG MEWAJIBKAN LURUSNYA SHAFF
Menurut pendapat ini, bagaimana batasan
rapat nya Shaff dan jarak nya?
Ada dua pendapat:
Pendapat Pertama: antara mata kaki para makmum harus
menempel / melekat.
Pendapat Kedua: Ibnu Hazem mengatakan tidak
harus nempel, yang penting Shaff lurus.
Dalam kitab “العرف الشذي شرح سنن الترمذي”(1/235, cet. “مؤسسة ضحى”) di sebutkan:
[تَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ وَاجِبَةٌ
عَلَى الْإِمَامِ كَمَا فِي "الدُّرِّ الْمُخْتَارِ"، وَتَرْكُهَا مَكْرُوهٌ
تَحْرِيمًا.
وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ
بِفَرْضِيَّتِهَا، وَالِاعْتِبَارُ فِي التَّسْوِيَةِ الْكِعَابُ، وَأَمَّا مَا فِي
"الْبُخَارِيِّ" مِنْ إِلْزَاقِ الْكَعْبِ بِالْكَعْبِ؛ فَزَعَمَهُ بَعْضُ
النَّاسِ أَنَّهُ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْحَالُ أَنَّهُ مِنْ مُبَالَغَةِ الرَّاوِي.
وَالْحَقُّ عَدَمُ التَّوْقِيتِ
فِي هَذَا بَلِ الْأَنْسَبُ مَا يَكُونُ أَقْرَبَ إِلَى الْخُشُوعِ]
Meluruskan shaf adalah wajib bagi imam,
seperti dalam “Al-Durr Al-Mukhtar”, dan meninggalkannya itu makruh tahrim
(Haram).
Ibnu Hazm mengatakan fardhu hukumnya,
dan yang mu’tabar dalam meluruskan shaff itu adalah antara mata kaki - mata
kaki.
Adapun apa yang ada dalam al-Bukhori
tentang mata kaki yang menempel pada mata kaki; maka sebagian orang-orang
mengklaim bahwa itu adalah hakiki, padahal realitanya bahwa itu adalah
kata-kata yang berlebihan dari seorang perawi.
Yang benar adalah bahwa tidak ada
batasan dalam hal ini, melainkan yang paling tepat adalah yang lebih dekat
dengan kekhusyu’an]
*****
APAKAH LAFADZ HADITS :
“SALING MENEMPELKAN
MATA KAKI DAN BAHU DALAM SHAFF SHALAT" :
BERMAKNA HAKIKI ATAU MAJAAZI?
Ungkapan kata-kata tersebut di ambil
dari perkataan sebagian para perawi dari kalangan para sahabat, bukan dari
sabda Nabi ﷺ. Yaitu perkataan Nu’man bin Basyiir radhiyallahu ‘anhu dan Anas
bin Malik radhiayllahu ‘anhu.
Texs Perkataan Sahabat Nu’man bin Basyiir
radhiayllahu ‘anhu:
فَرَأَيْتُ
الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ
صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Dan texs Perkataan Sahabat Anas radhiayllahu ‘anhu:
وَكَانَ أَحَدُنَا
يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Dan setiap orang dari kami melekatkan (menempelkan) bahunya
kepada bahu temannya, dan kakinya pada kaki temannya”. (HR. Bukhori no. 683)
Makna “إِلْزَاقٌ”
menurut bahasa:
لَزِقَ الشَّيءُ بِالشَّيءِ:
عَلِقَ بِهِ وَاسْتَمْسَكَ بِمَادَّةٍ غِرَائِيَّةٍ
Sesuatu melekat pada sesuatu: yakni
mengait padanya dan merekat kuat dengan menggunakan bahan LEM perekat.
لَزِقَ الشَّيءُ بِالشَّيءِ:
اتَّصَلَ بِهِ، لَا يَكُونُ بَيْنَهُمَا فَجْوَةٌ.
Sesuatu melekat pada sesuatu:
bersambung dengannya, tidak ada celah di antara keduanya.
لَزِقَ بَيْتُهُ بِبَيْتِي:
لَصِقَ بِهِ.
Rumahnya melekat dengan rumahku: yakni
menempel dengannya
*******
APAKAH KATA “إِلْزَاقٌ [ ilzaaq ]” DALAM HADITS :
BERMAKNA KIASAN ATAU HAKIKI?
ADA DUA PENDAPAT
PENDAPAT PERTAMA:
BERMAKNA MAJAZI (مَجَازِي:
KIASAN):
Mereka mengatakan: yang lebih rajih
makna “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”itu bukanlah makna hakiki, yaitu menempelkan kaki dan
bahu satu sama lain, akan tapi maknanya kiasan / MAJAZI, yakni mubalaghah
(hiperbolik) atau ungkapan berlebihan sebagai penyemangat dalam meluruskan dan
merapat kan shaf serta menutup celah, namun tidak harus menempel.
Ini adalah pendapat Jumhur ulama (Baca:
فيض الباري شرح صحيح البخاري 2/486).
====
ARGUMENTASI DAN QORINAHNYA ADALAH SBB:
----
ARGUMENTASI PERTAMA:
Karena makna hakiki “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”adalah melekatkan atau menempelkan. Maka di sini makna
yang lebih cocok adalah makna majazi yaitu ungkapan maximal (mubalaghah)
tentang perintah meluruskan dan merapatkan shaf serta menutup celah yang
lowong.
Al-hafidz Ibnu Hajar dlam “فتح الباري”2/211 berkata:
(قَوْلُهُ بَابُ إِلْزَاقِ
الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ) الْمُرَادُ
بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
“(Bab: menempelkan pundak dengan
pundak; kaki dengan kaki dalam shaf), yang maksud dengan itu adalah ungkapan
hiberbolis (mubalaghah) tentang lurusnya shaf dan menutup celah-celah “. (Selesai).
Dan yang al-Hafidz Ibnu Hajar katakan
ini adalah sesuai dengan pemahaman para Imam empat madzhab (Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal).
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi (w.1353 H) berkata:
قَالَ الحَافِظُ: المُرَادُ
بِذَلِكَ المُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ. قُلْتُ: وَهُوَ مُرَادُهُ
عِنْدَ الفُقَهَاءِ الأَرْبَعَةِ.
“Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Yang
dimaksud dengan itu adalah agar berlebihan dalam semangat meluruskan shaf dan
menutup celah-celahnya (yang kosong).”
Aku (Al-Kasymiri) berkata: Dan ini
adalah makna yang dikehendaki oleh para Imam yang empat “. [Baca: فيض الباري على صحيح البخاري 2/302].
Begitu juga al-Hafidz Ibnu Rajab
Al-Hanbali berkata:
وَحَدِيثُ أَنَسٍ هَذَا
يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ: مُحَاذَاةُ المَنَاكِبِ وَالأَقْدَامِ.
“Hadits Anas ini menunjukkan,
sesungguhya meluruskan shaf-shaf itu adalah pensejajaran pundak dan telapak
kaki.”[Baca “فتح الباري”: 6/282].
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
–rahimahullah- berkata
الصَّحَابَةُ -رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ- فَإِنَّهُمْ كَانُوا يُسَوُّونَ الصُّفُوفَ بِإِلْصَاقِ الْكَعْبَيْنِ
بَعْضِهِمَا بِبَعْضٍ، أَي إِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يُلْصِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ
جَارِهِ لِتَحْقِيقِ الْمُحَاذَاةِ وَتَسْوِيَةِ الصَّفِّ، فَهُوَ لَيْسَ مَقْصُودًا
لِذَاتِهِ لَكِنَّهُ مَقْصُودٌ لِغَيْرِهِ كَمَا ذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَلِهَذَا
إِذَا تَمَّتِ الصُّفُوفُ وَقَامَ النَّاسُ يَنْبَغِي لِكُلِّ وَاحِدٍ أَنْ يُلْصِقَ
كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ لِتَحْقِيقِ الْمُسَاوَاةِ، وَلَيْسَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنْ
يُلَازِمَ هَذَا الْإِلْصَاقَ وَيَبْقَى مُلَازِمًا لَهُ فِي جَمِيعِ الصَّلَاةِ.
“Para sahabat, sesungguhnya mereka
meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian
yang lain,
Yakni: bahwa masing-masing dari mereka
semua menempelkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya hanya untuk
memastikan kesejajaran dan lurusnya Shaff.
Dan ini (yakni, melekatkan mata kaki
dan pundak), bukanlah yang dimaksud itu pada dzatnya, akan tetapi yang dimaksud
adalah untuk hal yang lain, sebagaimana yang di sebutkan oleh sebagian para
ulama’.
Oleh karena itu, jika shaf telah
sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk
menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan
kelurusan (shaf). Bukan berarti maknanya bahwa seseorang harus terus menerus
melekatkannya, dan tetap melekatkannya seacara terus menerus sepanjang shalat“.
[Baca: “فتاوى أركان الإسلام
/ Fatawa Arkanil Islam: 312].
Pendekatan uraian Syeikh al-‘Utsaimin
ini mirip seperti dalam baris berbaris, ada perintah dengan istilah:
“Lencang kanan gerak!” atau “setengah
lencang kanan gerak!”.
Dua perintah ini, hanyalah
“istilah”untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Jika ttelah lurus, maka
tangan pun segera diturunkan. Bukan berarti tangan harus lencang terus. Ini
adalah termasuk masalah-masalah yang kita maklumi bersama.
Dan Syaikh Bakr bin Abdullah Abu
Zaid–rahimahullah- berkata:
فَهَذَا فَهْمُ الصَّحَابِيِّ
– رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي التَّسْوِيَةِ: الِاسْتِقَامَةُ، وَسَدُّ الْخَلَلِ،
لَا الْإِلْزَاقُ وَإِلْصَاقُ الْمَنَاكِبِ وَالْكِعَابِ.
“Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu
Hajar) merupakan pemahaman para sahabat –radhiallahu ‘anhum- dalam meluruskan
(shaf), yaitu: lurus dan menutup celah, bukan melekatkan dan menempelkan pundak
dan mata kaki.”[Baca: لا جديد في أحكام
الصلاة: 12].
Dan begitu juga dengan makna kalimat “تَرَاصُّوْا “atau “رُصُّوا
صُفُوفَكُمْ
“dalam hadits-hadits, yang maksud adalah merapatkan barisan, tanpa harus
menempelkan, sebagaimana dalam pembahasan makna kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”. [Lihat إرشاد الساري 2/67
dan عمدة القارئ 5/259]
-----
ARGUMENTASI KEDUA:
Rasulullah ﷺ
juga memerintahkan
kita untuk “melunakan pundak”dalam shaff Sholat, yaitu dalam sabdanya:
" وَلِينُوا بِأَيْدِي
إِخْوَانِكُمْ "
“Jadilah luwes dan lunak terhadap
tangan saudara-saudara kalian”.
Maksudnya memberi celah bagi makmum
yang ingin masuk dalam shaf, sebagaiman yang di tafsiri oleh Abu Daud no. 666:
وَمَعْنَى "
وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ " . إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلَيِّنَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ
مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ
Makna “jadilah luwes dan lunak terhadap
tangan saudara-saudara kalian”, yakni: Jika seorang datang lalu masuk ke dalam
shaff, maka seyogyanya setiap orang agar melunakkan bahu-bahunya untuknya di
dalam shaff.
Perintah diatas menunjukkan bahwa shaf
para sahabat itu tidak saling menempelkan kaki, bahu dan lututnya. Jika
seandainya benar ditempelkan; tentunya tidak akan ada kesempatan atau kecil
kemungkinan dapat memberi celah bagi makmum yang lain untuk memasuki shaf.
Dengan demikian makna hadits tersebut
adalah:”Dan lunakanlah (menggeser untuk celah kosong) terhadap kedua
tangan saudara kalian (masuk dalam shaf)”.
Dan Nabi ﷺ
bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ
مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling
lunak/lembut pundaknya di dalam shalat.”[HR. Abu Dawud].
Menurut Al-Khathabi bahwa kata “paling
lembut pundaknya”, maknanya:
وَمَعْنَاهُ لُزُومُ
السَّكِينَةِ فِي الصَّلَاةِ، وَالطُّمَأْنِينَةِ فِيهَا، لَا يَلْتَفِتُ وَلَا يُحَاكُّ
مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ صَاحِبِهِ.
“Harus senantiasa tenang dan
thuma’ninah dalam shalat, tidak menoleh dan pundaknya tidak mengusik pundak
orang lain.”
[Baca: معالم السنن
di haamisy Sunan Abi Daud 1/307 di bawah hadits no. 672. di Ta’liq oleh Izzat
as-Sayyid. cet. Dar Ibnu Hazem].
Menurut Al-Munawi –rahimahullah-:
وَلَا يُحَاشِرْ مَنْكِبُهُ
مَنْكِبَ صَاحِبِهِ.
“Pundaknya tidak mendesak pundak
sahabatnya.”[Baca: فَيْضُ الْقَدِيرِ (3/466)].
------
ARGUMENTASI KETIGA:
Perintah menutup celah dalam shaf
adalah agar tidak masuk setan didalamnya, dengan perumpamaan sbb:
- Diumpamakan dengan anak
kambing yang masuk pada celah shaf.
- Nabi ﷺ sendiri yang memeriksa shaf para sahabat,
yaitu dengan cara lalu lalang dari satu ujung ke ujung yang lain diantara
shaf. Dengan demikian ukuran rapatnya shaf itu selama tidak masuk orang
atau anak kambing, dan hal tersebut tidak mesti dirapatkan.
Ini difahami dari kalimat: “وَسُدُّوا الْخَلَلَ “. Artinya: “Dan tutuplah
celah-celah (pada shaf)”.
Diperkuat pula dengan riwayat lain yang
lafadznya sbb:
فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ
كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di
Tangan-Nya, sungguh saya melihat setan masuk ke dalam celah-celah shaf itu,
seakan-akan seperti anak kambing kecil”.
Dan dalam riwayat lain:
كَانَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ
“Dulu Rasulullah ﷺ senantiasa memasuki celah-celah shaf, dari satu ujung ke ujung yang
lain”.
Dengan demikian merapatkan shaf, bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan shalat. Dimana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet (tidak nempel).
BATASAN RAPAT NYA SHAFF
:
Menurut pendapat yang men-SUNNAH-kan lurus dan rapatnya shaff:
Ada sebagian ulama yang mengatakan: Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershaf yang bisa di isi oleh satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka itu tidak dilarang, akan tetapi dianjurkan.
Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri
Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan:
أَيْ: أَنْ لَا يَتْرُكَ
فِي الْبَيْنِ فُرْجَةً تَسَعُ فِيهَا ثَالِثًا۔ بَقِيَ الْفَصْلُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ:
فَفِي «شَرْحِ الْوِقَايَةِ» أَنَّهُ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِقَدْرِ أَرْبَعِ أَصَابِعَ،
وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، وَفِي قَوْلٍ آخَرَ: قَدْرُ شِبْرٍ
“Yakni: Janganlah seorang meninggalkan
celah (jarak) di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk
satu orang ketiga di dalamnya.
Tinggal masalah jarak antara kedua
kaki, maka di dalam “Syarh Al-Wiqoyah”: bahwa itu di sela (dipisah) di antara
keduanya dengan seukuran empat jari. Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i.
Dan dalam pendapat lain: ukuran satu jengkal.” [Baca: فيض الباري
(2/302)].
Dalam kitab “Bughyatul
Mustarsyidin”(140) di sebutkan:
وَتُعْتَبَرُ الْمَسَافَةُ
فِي عَرْضِ الصُّفُوفِ بِمَا يُهَيَّأُ لِلصَّلَاةِ، وَهُوَ مَا يَسَعُهُمْ عَادَةً
مُصْطَفِّينَ مِنْ غَيْرِ إِفْرَاطٍ فِي السَّعَةِ وَالضِّيقِ
“Dan jarak yang mu’tabar dalam
kerenggangan shaf-shaf dengan apa yang seorang bisa menyiapkan dirinya untuk
shalat. Yaitu adalah apa yang secara adat kebiasaan membuat mereka biasa LELUASA,
mereka berbaris tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan”.
Maka dengan demikian yang dimaksud
dengan sabda Nabi ﷺ:
وسُدُّوا الخَلَلَ
، ولا تذَرُوا فُرُجاتٍ للشيطانِ
“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian
tinggalkan celah-celah untuk syetan.”
Maksudnya, yang dilarang adalah
meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada
celah (jarak) sama sekali.
Sama seperti ketika Nabi ﷺ memerintahkan kita untuk shalat di awal waktu, bukan berarti kita sudah
harus takbiratul Ihram pas detik pertama waktu shalat masuk. Tapi ada jaraknya,
untuk berpakaian, untuk wudhu, dan juga berjalan ke masjid. Ini perkara yang
dimaklumi bersama. [Baca: “إحكام الأحكام شرح
عمدة الأحكام”karya
Ibnu Daqiq al-‘Ied 2/38].
-----
ARGUMENTASI KE EMPAT:
Seandainya kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”di maknai dengan makna Hakiki, maka dalam prakteknya
dapat mengganggu kekhusyuan antar makmum dan sulit untuk melaksanakan sholat
secara thuma’ninah dalam sholat berjamaah. Padahal kita diperintahkan untuk melaksanakan
sholat secara khusyu dan thuma’ninah.
Bahkan kita diperintahkan untuk
menjauhi hal-hal yang bisa mengganggu kekhusyuan dan kethuma’ninahan dalam
sholat. Rosulullah ﷺ bersabda:
ثُمَّ ارْكَعْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ
اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ
كُلِّهَا
Kemudian rukuklah sampai kamu
thuma'ninah (tenang) dalam rukuk, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu
berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma'ninah sujudnya,
lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma'ninah.
Maka lakukanlah itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu." (HR. Bukhori no.
6174)
-----
ARGUMENTASI KE LIMA:
Seandainya kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”di maknai dengan makna Hakiki; maka seharusnya ada
dalil lain yang menjelaskan pada saat kondisi apa saja? apakah saat berdiri
saja?
Karena jika tidak ada dalil yang
membatasinya, maka konsekwensinya harus dilakukan dalam setiap keadaan dan
gerakan dalam sholat, termasuk dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk diantara dua
sujud dan duduk tasyahud.
Ini akan menyulitkan dalam
pengamalannya. Dan kami belum menemukan dalil yang berkenaan dengan perintah
atau anjuran untuk melepaskan tempelan kaki, bahu dan lutut secara khusus dalam
shaf sholat.
-----
ARGUMENTASI KE ENAM:
Seandainya kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”di maknai dengan makna Hakiki; maka akan menyulitkan
para makmum, karena masing-masing makmum dalam shaf harus menempelkan mata kaki
dan bahu antar para makmum dalam shaff, sedangkan ukuran manusia berbeda-beda
tinggi dan besarnya. Apalagi jika harus saling menempelkan lutut, maka itu
mendekati mustahil. Sementara syariat ini diturunkan sesuai dengan kemampuan
manusia.
----
ARGUMENTASI KE TUJUH:
Jika kita menyetujui bahwa kalimat “إِلْزَاقٌ / ilzaaq”dalam hadits itu benar-benar di maknai dengan makna
Hakiki; maka “perbuatan sahabat dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki
“maksudnya adalah hanya pada awal sebelum sholat saja untuk meluruskan shaff,
salah satunya dengan cara menempelkan antar mata kaki dan bahu para makmum.
Dan tidak ada riwayat hadits yang
menyuruh melakukan hal tersebut berkesinambungan hingga sholat selesai; karena
tujuannya adalah untuk mengekpresikan keseriusan dalam kerapihan berbaris
ketika sholat hendak di mulai.
Akan tetapi jika shaff telah rapih dan
lurus, maka tidak ada kebutuhan lagi untuk melakukannya secara konsisten dalam
sholat.
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh
al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali :
حَدِيْثُ أَنَسٍ
هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مُحَاذَاةِ الْمَنَاكِبِ
وَالْأَقْدَامِ
“Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ini
menunjukan bahwa “meluruskan shaf-shaf “itu adalah mensejajarkan bahu-bahu dan
telapak kaki-telapak kaki”. (Baca: “فتح الباري”5/144)
-----
ARGUMENTASI KE DELAPAN:
Mari kita pelajari dan kita perhatikan
ungkapan Sahabat Anas bin Malik radhiayllahu ‘anhu:
وَكَانَ أَحَدُنَا
يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Dulu salah satu orang dari kami ada
yang menempelkan bahunya kepada bahu temannya, telapak kakinya kepada telapak
kakinya”.
Ini menunjukan hanya salah satu orang
sahabat saja yang melakukannya. Sedangkan sahabat yang lainnya yang mayoritas
tidak terlihat menempelkan. Sekiranya saling menempelkan bahu dan kaki itu
mayoritas para sahabat ketika itu, tentunya kalimatnya bukan dengan menggunakan
أَحَدُنَا, melainkan كُلُّنَا atau yang semisalnya.
Dan yang dilakukan oleh mayoritas para
sahabat itu sudah sesuai dengan dalil-dalil yang lain, yaitu dalil perintah
merapatkan dan meluruskan shaf tanpa harus menempelkan bahu dan mata kaki antar
para makmum.
Dan begitu juga yang terdapat dalam
ungkapan sahabat Nu’man bin Basyir radhiayllahu ‘anhu:
فَرَأَيْتُ
الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ
“Maka saya melihat seorang laki-laki
menempelkan pundaknya dengan pundak temannya”.
Maka baik dalam ungkapan Anas bin Malik
maupun ungkapan Nu’man bin Basyir, masing-masing menyatakan bahwa orang yang
sengaja menempelkan bahu kakinya pada temanny itu hanya seorang sahabat saja.
Dan ada kemungkinan apa yang
diriwayatkan oleh keduanya merujuk kepada seorang sahabat yang sama.
Mafhumnya: tentu banyak sahabat waktu itu yang
berjamaah, namun yang terlihat melakukan hal tersebut hanya satu orang sahabat
saja. Oleh karena itu bisa difahami, secara mafhum mukhalafah, bahwa mayoritas
sahabat yang lain, itu tidak menempelkan bahu dan mata kakinya satu sama lain.
Perbuatan hanya seorang sahabat bukan
dalil dalam hukum syar’i, apalagi nama sahabat tersebut tidak diketahui,
sementara mayoritas para sahabat lain tidak ada keterengan bahwa mereka
melakukannya.
Ada sebuah kaidah fiqih mengatakan:
" الحُكْم عَلَى الأغْلَبِ
و النَّادِرُ لا حُكْمَ لَه "
“Hukum itu pada yang umum atau
kebanyakan, adapun yang jarang, itu tidak bisa dijadikan hukum “.
Abu Bakar al-Jashshoosh berkata dalam
kitabnya “أحكام القرآن”1/78 (Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Abdus Salam Syahiin):
" أَلَا تَرَى أَنَّ
الْحُكْمَ فِي كُلِّ مَنْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ يَتَعَلَّقُ
بِالْأَعَمِّ الْأَكْثَرِ دُونِ الْأَخَصِّ الْأَقَلِّ ".اهـ
“Tidak kah kau lihat bahwa hukum
berlaku dalam setiap orang yang tinggal di Dar al-Islam dan Dar al-Harb
bergantung kepada yang lebih umum yang mayoritas, bukan kepada yang lebih
khusus yang minoritas “.
Ibnu Muflih ulama madzhab Hanbali
berkata dalam kitabnya “المبدع شرح
المقنع”3/254
(Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Muhammad Hasan ay-Syafi’i):
"الْأَكْثَرُ يَقُومُ مَقَامَ
الْكُلِّ، بِخِلَافِ الْيَسِيرِ، فَإِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ".اهـ
“Mayoritas itu menduduki kedudukan
keseluruhan, berbeda dengan yang sedikit, maka yang sedikit itu di hukumi tidak
ada “.
-----
ARGUMENTASI KE SEMBILAN:
Berdasarkan sejumlah argumentasi,
qorinah dan penjelasan diatas, maka wajarlah jika kelak ada sebagian makmum
yang menentang nya ketika ada makmum di sampingnya yang berusaha menempelkan
bahu, mata kaki dan lutut nya.
Oleh sebab itu Anas bin Malik berkata:
"لَقَدْ رَأَيْتُ
أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ،
وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ
شَمُوسٌ".
“Sungguh aku melihat salah satu dari
kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kakinya dengan kaki
sahabatnya.
Seandainya hari ini kamu melakukan hal
ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal
(peranakan kuda dan keledai) yang menentang (melawan)”. [6/381].
Karena yang demikian itu dapat mengganggu kekhusyuan dan kethuma’ninahan sholat antar makmum.
ANGGAPAN GHULUW, TAKALLUF & GHORIIB .
Bahkan, ada sebagian para ulama abad
sekarang yang jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk perbuatan
yang GHULUW (melampaui batas), TAKALLUF (memaksakan diri) serta GHORIIB (aneh).
Di antara para ulama tersebut adalah sbb:
Pertama: Syeikh al-‘Utsaimin:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata:
وَمِنَ الْغُلُوِّ فِي
هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ كَوْنِهِ يُلْصِقُ كَعْبَهُ
بِكَعْبِ صَاحِبِهِ وَيَفْتَحُ قَدَمَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُمَا حَتَّى يَكُونَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ جَارِهِ فِي الْمَنَاكِبِ فُرْجَةٌ فَيُخَالِفُ السُّنَّةَ فِي ذَلِكَ، وَالْمَقْصُودُ
أَنَّ الْمَنَاكِبَ وَالْأَكْعُبَ تَتَسَاوَى۔
“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui
batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shaff), apa yang dilakukan
oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki
sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga
terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundah temannya. Maka dia telah
menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata
kaki-mata kaki itu adalah lurus sejajar (bukan melekatkannya).”[Fatawa Arkanil
Islam: 312].
Kedua: Syeikh Bakr bin Abdullah
Abu Zaid:
Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu
Zaid–rahimahullah- berkata:
فَإِنَّ إِلْزَاقَ العُنُقٌ
بِالعُنُقٌ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الكَتِفِ بِالكَتِفِ فِي كُلِّ قِيَامٍ تَكَلُّفٌ
ظَاهِرٌ، وَإِلْزَاقَ الرُّكْبَةِ بِالرُّكْبَةِ مُسْتَحِيلٌ، وَإِلْزَاقَ الكَعْبِ
بِالكَعْبِ فِيهِ مِنَ التَّعَذُّرِ وَالتَّكَلُّفِ.
“Melekatkan pundak dengan pundak dalam
setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri)
yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil.
Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat
sulit (terwujud) dan memberatkan diri.”[Baca: لا جديد في أحكام الصلاة: 11].
Ketiga: Syeikh Shalih Al-Fauzan:
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
–hafidzahullah- berkata:
وَلَيْسَ مَعْنَى رَصِّ
الصُّفُوفِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الجُهَّالِ اليَوْمَ مِنْ فَحْجِ رِجْلَيْهِ حَتَّى
يُضَايِقَ مَنْ بِجَانِبِهِ، لِأَنَّ هَذَا العَمَلَ يُوجِدُ فُرَجًا فِي الصُّفُوفِ،
وَيُؤْذِي المُصَلِّينَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ.
“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa
yang dilakukan oleh sebagai ORANG-ORANG BODOH di hari ini berupa perenggangan
(ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena
sesungguhnya amalan ini akan memunculkan celah di dalam shaf, menganggu orang
yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.”[Baca: الملخص الفقهي (124)].
----
ARGUMENTASI KE SEPULUH:
Dulu pada zaman Nabi ﷺ, lantai masjid nabawi itu pasir, tidak ada garis-garis untuk
shaf para makmum dalam shalat. Maka para sahabat berusaha semaksimal mungkin
meluruskan Shaff tanpa garis lantai. Sehingga ada salah seorang dari para
sahabat yg berijtihad dengan cara menempelkan mata kaki dan pundaknya ke mata
kaki dan pundak orang yang berada di sebelah kanan-kirinya.
Berikut ini hadits-hadits yang
membuktikan hal di atas:
Ke 1: hadits etika meludah dan membuang
dahak ketika sholat di mesjid nabawi, baik sendirian maupun berjemaah.
Nabi ﷺ
menyarankan bagi
orang yg sholat di mesjid nabawi, baik sendirian maupun sholat berjamaah, jika
dia ingin meludah atau membuang dahak; maka agar meludahnya ke lantai di
sebelah kirinya atau di ujung bajunya.
Rosulullah ﷺ
bersabda:
مَا بَالُ
أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ، أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ، تَحْتَ قَدَمِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ
فَلْيَقُلْ هَكَذَا ، وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ
بَعْضَهُ عَلَى بَعْض
“Mengapa ada di antara kalian yang
menghadap Rabb-nya lalu ia meludah ke arah depan? Apakah dia mau kalau ada
orang yang meludah di depannya?
Kalau di antara kalian ada yang ingin
meludah ketika shalat maka meludahlah ke arah kiri dibawah telapak kakinya.
Kalau tidak bisa maka lakukan seperti ini.”
Al Qasim, sang perawi hadits,
menjelaskan dengan cara meludah di tepi baju lalu mengusap sebagian bajunya ke
sebagian yang lain. (HR. Muslim no. 855)
Berarti boleh ada sedikit ruang di
sebelah kiri makmum.
Ke 2: Kafarat meludah di lantai
pasir masjid:
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah ﷺ bersabda:
«البُصاقُ في المَسْجِدِ
خَطِيئَةٌ، وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا»
"Berludah di masjid adalah suatu
perbuatan dosa, sedang dendanya/ kafaratnya ialah menimbun / mengubur ludah
tersebut." (Muttafaq alaih) Lihat Riyadhusholihin no. 309.
Ke 3: Para sahabat mengadu kepada
Nabi ﷺ akan panasnya pasir lantai masjid Nabawi:
Dari Khabab bin al-Arts dia berkata;
أَتَيْنَا رَسولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَشَكَوْنَا إلَيْهِ حَرَّ الرَّمْضَاءِ، فَلَمْ
يُشْكِنَا. قالَ زُهَيْرٌ: قُلتُ لأَبِي إسْحَاقَ: أَفِي الظُّهْرِ؟ قالَ: نَعَمْ،
قُلتُ: أَفِي تَعْجِيلِهَا؟ قالَ: نَعَمْ.
"Kami pernah menemui Rasulullah ﷺ sambil berkeluh kesah kepada beliau akan panas kerikil yang sangat
panas, namun beliau tidak mempedulikan keluh kesah kami."
Zuhair mengatakan; Lalu kukatakan
kepada Abu Ishaq; "Apakah yang dimaksud ketika shalat zhuhur?" dia
menjawab; "Benar."
Aku berkata lagi; "Itu maksudnya
supaya menyegerakannya?" Jawab Abu Ishaq; "Benar." (HR. Muslim
no. 982)
Dalam lafadz lain: dari Khabbab dia
berkata;
شَكَوْنَا إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَّ الرَّمْضَاءِ فَلَمْ
يُشْكِنَا قِيلَ لِأَبِي إِسْحَقَ فِي تَعْجِيلِهَا قَالَ نَعَمْ
"Kami mengadu kepada Rasulullah ﷺ dari teriknya panas, tetapi beliau ﷺ
tidak menanggapi
aduan kami." Abu Ishaq pernah ditanya tentang menyegerakannya (shalat
Zhuhur) lalu ia menjawab, "Ya".
(HR. Nasaa’i no. 493 dan Ibnu Majah no.
555. Di shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih Ibnu Majah)
Ke 4: Ketika hujan, Rosulullah ﷺ sujud di atas lumpur dan air di Mesjid Nabawi.
Dari Abu Salama dari Abi Said
al-Khudri, berkata:
اعْتَكَفَ رَسولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ الأُوَلِ مِن رَمَضَانَ واعْتَكَفْنَا
معهُ، فأتَاهُ جِبْرِيلُ، فَقالَ: "إنَّ الذي تَطْلُبُ أمَامَكَ، فَاعْتَكَفَ
العَشْرَ الأوْسَطَ".
فَاعْتَكَفْنَا
معهُ فأتَاهُ جِبْرِيلُ فَقالَ: "إنَّ الذي تَطْلُبُ أمَامَكَ ".
فَقَامَ النبيُّ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَطِيبًا صَبِيحَةَ عِشْرِينَ مِن رَمَضَانَ فَقالَ:
"مَن كانَ اعْتَكَفَ مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلْيَرْجِعْ،
فإنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ القَدْرِ، وإنِّي نُسِّيتُهَا، وإنَّهَا في العَشْرِ
الأوَاخِرِ، في وِتْرٍ، وإنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أسْجُدُ في طِينٍ ومَاءٍ ".
وكانَ سَقْفُ
المَسْجِدِ جَرِيدَ النَّخْلِ، وما نَرَى في السَّمَاءِ شيئًا، فَجَاءَتْ
قَزَعَةٌ، فَأُمْطِرْنَا، فَصَلَّى بنَا النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حتَّى
رَأَيْتُ أثَرَ الطِّينِ والمَاءِ علَى جَبْهَةِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه
وسلَّمَ وأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيقَ رُؤْيَاهُ
"Suatu ketika Rasul Allah
melakukan i`tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan kami pun
melakukan hal yang sama dengannya.
Lalu Jibril mendatanginya dan berkata:
'Malam yang kamu cari adalah di depanmu.'
Maka Nabi melakukan I`tikaf di tengah
(kedua) sepuluh hari bulan Ramadhan dan kami juga melakukan I`tikaf bersamanya.
Jibril mendatanginya dan berkata:
“Malam yang kamu cari ada di depanmu “.
' Di pagi hari tanggal 20 Ramadhan Nabi
menyampaikan khotbah dengan mengatakan:
“Siapapun yang telah melakukan i`tikaf
dengan saya harus melanjutkannya. Saya telah ditunjukkan Malam
"Qadr", tetapi saya telah lupa tanggalnya, tetapi pada malam-malam
ganjil dari sepuluh malam terakhir. Saya melihat dalam mimpi saya bahwa saya
sedang bersujud di LUMPUR dan AIR “.
Pada masa itu atap masjid terbuat dari
dahan pohon kurma. SAAT ITU LANGIT CERAH dan tidak ada awan yang terlihat,
namun tiba-tiba awan datang dan turun hujan.
Nabi ﷺ
memimpin kami dalam
sholat dan saya melihat jejak lumpur di dahi dan di hidung Rasulullah ﷺ.
Maka itu adalah pembuktian atas
kebenaran mimpinya itu. (HR. Bukhori no. 813)
Ke 5: kisah Badui yang kencing di
masjid:
Dari Anas bin Malik radhiayllahu ‘anhu,
dia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ
فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى
بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ
فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا
الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ
بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ
"Ketika kami berada di masjid
bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seorang
Badui yang kemudian berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat Rasulullah
ﷺ berkata: 'Cukup, cukup!'."
Anas berkata, "Rasulullah ﷺ lantas berkata: "Janganlah kalian menghentikan kencingnya,
biarkanlah dia hingga dia selesai kencing."
Kemudian Rasulullah ﷺ memanggilnya seraya berkata kepadanya:
"Sesungguhnya masjid ini tidak
layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Dan sesungguhnya masjid
itu hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur'an"
atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah ﷺ.
Anas melanjutkan ucapannya: "Lalu
beliau memerintahkan seorang laki-laki dari para sahabat (mengambil air), lalu
dia membawa air satu ember dan mengguyurnya."
=====
KESIMPULAN :
Kesimpulan dari PENDAPAT PERTAMA yang
mengatakan bahwa makna “إلزاق”dalam haditst adalah makna
Majazi bukan hakiki, yaitu sbb:
لِأُمُورٍ: الأَوَّلُ:
أَنَّ هَذَا الفَهْمَ السَّطْحِيَّ لِلْإِلْزَاقِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ، وَلَمْ
يَكُنِ العَمَلُ عَلَيْهِ. الثَّانِي: تَعَذُّرُ هَذَا الإِلْزَاقِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ
بِالمَنَاكِبِ وَالأَقْدَامِ. الثَّالِثُ: اِسْتِحَالَةُ هَذَا الإِلْزَاقِ عَلَى بَعْضِ
مَا ذُكِرَ؛ كَالرُّكَبِ، وَالأَعْنَاقٌ [جَمْعُ عُنُقٌ، وَهِيَ الرَّقَبَةُ]، وَهِيَ
رِوَايَةٌ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عِنْدَ النَّسَائِيِّ رَقْمَ:
(814).
Karena adanya hal-hal berikut ini:
Yang pertama :
Bahwa yang mengatakan makna hakiki
adalah pemahaman yang dangkal tentang lafadz “إلزاق”,
ini tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian, dan tidak ada yang mengamalkannya.
Yang kedua :
Ketidakmungkinan dan mustahil
penempelan ini pada bahu dan kaki
Yang Ketiga :
Ketidakmungkinan dan mustahil pula
penempelan ini pada sebagian yang disebutkan atas, seperti lutut (dengkul) dan
leher [“أَعْنَاقٌ”jamak dari “عُنُقٌ”, yaitu “الرَّقَبَةُ / leher]. Dan ini terdapat dalam riwayat hadits Anas
radhiyallahu 'anhu, pada Sunan Al-Nasa'i No.: (814).
Dan lihat: Apa yang dikatakan oleh
Syeikh Bakr Abu Zaid, semoga Allah merahmatinya, dalam kitab nya: “لا جديد في الصلاة”(hal. 12-17). Ini penting.
===***===
PENDAPAT KE DUA:
KATA “إِلْزَاقٌ” DALAM HADITS BERMAKNA
HAKIKI, BUKAN MAJAAZI:
Sebagian ulama ada yang berpendapat
bahwa lafazd “إِلْزَاقٌ /Ilzaaq “dalam hadits adalah
bermakna hakiki, artinya: melekatkan atau menempelkan. Maka dengan demikian
tata cara (kaifiyat) merapatkan shaf adalah dengan cara saling menempelkan mata
kaki dan bahu.
Diantara para ulama yang berpendapat
seperti ini adalah:
- Al-Kirmani (الكواكب الدرري 5/97)
- Ahmad bin Ismail al-Kawarani
(الكوثر الجاري)
- Syeikh al-Albani (سلسلة الأحاديث الصحيحة 6/77)
- Syamsul-Haqq Al-‘Adziim
Aabaadiy (عون المعبود 2/256)
****
Argumentasinya adalah sebagai berikut:
---
ARGUMENTASI PERTAMA:
Berdasarkan
sebuah kaidah, yang menyatakan:
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ
الْحَقِيقَةُ
“Pada asalnya dalam kalimat itu bemakna
hakiki”
Makna “إِزْلاَق
/ Ilzaq “ada kesamaan dengan “إلْصَاق /ilshaq”, artinya: melekatkan
atau menempelkan.
Imam Bukhori dalam ash-Shahihnya
menulis sebuah BAB khusus untuk ini, yaitu:
-3-47 - بَابُ: إِلْزَاقِ
الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ ، والقَدَمِ بِالقَدَمِ في الصَّفَّ.
-3- 47 - “BAB: Melekatkan bahu dengan
bahu, dan telapak kaki dengan telapak kaki “.
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan
hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu secara Mu’allaq dengan shighat
Jazem, lalu menyebutkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dengan sanadnya no. 692.
Imam al-Kirmani mendukung pemaknaan
secara hakiki ini, beliau menyebutkan:
(بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ
بِالْمَنْكِبِ) اَلْإلْزَاقُ هُوَ اَلْإلصَاقُ
“Bab ilzaq bahu dengan bahu”makna
al-ilzaq itu adalah al-ilshaq (artinya melekatkan). [baca: “الكواكب الدرري في شرح صحيح البخاري”5/97].
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
وَكَانَ أَحَدُنَا
يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Salah satu dari kami ada yang
menempelkan bahunya dengan bahu sahabatnya dan telapak kakinya dengan telapak
kakinya “.
Maksud kalimat diatas adalah
menempelkan bahu dan kaki satu sama lain secara hakiki, tidak ada qorinah yang
mengharuskannya berpaling dari makna hakiki kepada makna majazi.
Hadits diatas merupakan penjelasan
praktek (al-fi’li) atau tata cara (kaifiyat) terkait bagaimana merapatkan dan
meluruskan shaf para sahabat. Dan mereka itu merupakan generasi terbaik, oleh
karena itu Ucapan dan Amalan mereka bisa dijadikan hujjah.
Ditambah lagi bahwa Rasulullah ﷺ tidak melarang perbuatan sahabat tersebut bahkan mentaqrir nya. Dan itu
menunjukkan pembenaran dari Rosuluulah ﷺ,
sesuai dengan kaidah yang menyatakan:
تَأْخِيْرُ
اْلبَيَانِ عَنْ وَقْتِ اْلحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ
“Mengakhirkan penjelasan dari
waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh”.
----
ARGUMENTASI KEDUA:
Yang di maksud
dengan perintah merapatkan shaf dalam hadits adalah menempelkan satu sama lain:
Dalam kitab Syahus Sunnah 3/365 karya
Imam al-Baghowi di sebutkan:
قَوْلُهُ:
"تَرَاصُّوْا " ، أَيْ: تَلَاصَقُوْا حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَكُمْ
فَرَجٌ
---
ARGUMENTASI KETIGA:
Mafhum
mukholafah dari “Perintah untuk mengisi celah yang kosong “adalah melarang
adanya celah, sedangkan jika tidak dirapatkan atau ditempelkan, maka
keumungkinan besar akan terbuka celah masuknya setan. Berdasar kan sabda Nabi ﷺ:
وَسُدُّوا
الْخَلَلَ
“Dan kalian tutuplah celah-celah (dalam
shaf)”
Lalu Nabi ﷺ
bersabda:
فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ
كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di
TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu,
tak ubahnya bagai anak kambing kecil”
----
ARGUMENTASI KE EMPAT:
Di sebutkan
dalam riwayat Abu Ya’la dalam Mushonnafnya dari sahabat Anas bin Malik, bahwa
dia berkata:
وَلَوْ ذَهَبْتَ
تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ
“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (keledai) yang menentang”
Menunjukan bahwa perintah menempelkan
satu sama lain dalam shaf itu akan ditinggalkan sehingga wajib bagi kita untuk
menghidupkannya kembali.
---
ARGUMENTASI KE LIMA:
Syariat yang
Allah turunkan itu tidak memberatkan, akan tetapi syariatnya mudah untuk
diamalkan. Oleh karena itu jalankan syariat tersebut semampunya. Dan perintah
menempelkan mata kaki dan bahu dalam shaf shalat itu tidak memberatkan, bisa
dilakukan oleh semua orang yang sehat dengan mudah dan ringan.
Rosulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَمْ
يَبْعَثْنِي مُعْنِتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا.
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku
untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang
memudahkan.”(HR. Muslim, dari ‘Aisyah radhiayllahu ‘anha.)
Kemudian beliau ﷺ melanjutkan sabdanya:
فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
وَأَبْشِرُوا.
“Maka tepatkanlah, atau dekatkanlah
(miripkanlah), dan bergembiralah.”
Maknanya adalah lakukanlah sesuatu
dengan tepat sesuai dengan ketentuan, dan benar. Maka jika kamu tidak mampu
melakukan yang demikian maka usahakan mendekatinya (mendekati yang benar) oleh
sebab itu beliau bersabda:“dekatkanlah (miripkanlah)”. Huruf wawu (dan) dalam
hadits ini artinya auw (atau). Yakni, tepatkanlah jika memungkinkan, jika tidak
memungkinkan maka miripkanlah (mendekati yang benar).
Sabda beliau ﷺ
“Dan bergembiralah” maksudnya: bergembiralah kalian jika
kalian telah tepat dan benar (dalam beragama) atau mirip dengan yang benar.
Maka bergembiralah dengan pahala yang besar, kebaikan, dan pertolongan dari
Allah SWT.
Referensi:
1. al-Kawakib ad-Darari fi Syarh Sahih
al-Bukhori, 5/97 karya al-Kirmaani
2. al-Kaustar al-Jari ila Riyadh
ahadits al-Bukhori, karya Ahmad bin Ismail al-Kawarani
3. Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah
kara al-Albaani 6/77
4. Aun al-Ma’bud, 2/256 karya
Syamsul-Haqq Al-‘Aadhiim Aabaadiy
===*****===
KEUTAMAAN MELURUSKAN DAN MENUTUP CELAH SHAFF DALAM SHALAT
******
Pertama:
Allah dan para Malaikat-Nya bersholawat terhadap orang-orang yang
menyambung shaf yaitu yang meluruskan dan merapatkannya.
A’isyah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan
dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ
وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ وَسَدَّ
فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً
“Sesungguhnya Alloh beserta malaikatnya
bersholawat kepada orang-orang yang menyambung shaf dan barang siapa yang
menutupi celah kosong niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.”
(H.R Ahmad 4/269, Ibnu Majah no. 997,
hadits ini shahih karena adanya beberapa penguat/syawahid, lihat Ash Shahihah
no. 2532 karya Asy Syaikh Al Albani)
====
Kedua:
Mendapatkan balasan yang sangat besar di sisi Allah
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ
مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ، وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا
رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا.
“Sebaik-baik kalian adalah yang lunak
pundaknya ketika berbaris dalam shalat. Dan tidak ada satu langkah pun yang
lebih besar balasannya (dari Allah) dari pada langkah seseorang yang mengisi
kekosongan pada shaf kemudian menutupinya (merapatkannya).”
[HR. al-Tabarani dalam al-Awsat
(1/32/2), dan al-Bazzar No.: (5922)].
Di Hasankan sanadnya oleh al-Mundziri
dalam “الترغيب والترهيب”1/234.
Dan di hasankan pula sanadnya oleh
al-Albaani, namun hanya pada paruh pertama saja. [Lihat: “الصحيحة”(6/74) No.: (2533 dan 1892)]
Dari Aisyah radhiayllahu ‘anhu, bahwa
Rosulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً
رَفَعَ الله بِهَا دَرَجَةً وُبُنِىَ لَهُ بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menutup (memasuki)
celah kosong diantara shaf, maka Allah akan meninggikan derajatnya dan
membangunkan rumah baginya di al Jannah.”
(HR. At-Thabrani dalam “المعجم الأوسط”. Lihat “صحيح الترغيب
والترهيب”no.
555 oleh Syeikh Al-Albani)
Al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب”1/233 berkata:
[إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ
أَوْ مَا قَارَبَهُمَا]
“Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang
mendekati dua-duanya”.
===
SEMPURNAKANLAH SHAFF PERTAMA LALU BERIKUTNYA!
Dari Anas bin Malik dia berkata;
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَتِمُّوا الصَّفَّ
الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي
الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
"Sempurnakanlah shaf yang pertama,
kemudian yang berikutnya. Kalaupun ada shaf yang kurang, maka hendaklah dia
shaf belakang."
[HR. Abu Daud no. 574, Nasaa’i no. 809
dan Ahmad no. 11902]
Di Shahihkan oleh Ahmad Syakir dlm
Tahqiq al-Musnad 21/114, Syu’aib al-Arna’uth dlm Takhrij al-Musnad 3/233,
Syeikh Muqbil dlm al-Jaami’ ash-Shahih 2/280. Dan Hasankan oleh Imam an-Nawawi
dlm al-Majmu’ 4/227.
Dari Al-Bara` bin Azib dia berkata;
كُنَّا نَقُومُ فِي
الصُّفُوفِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
طَوِيلًا قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ قَالَ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَلُونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ خُطْوَةٍ يَمْشِيهَا يَصِلُ بِهَا صَفًّا
Kami pernah berdiri lama sekali pada shaf shalat pada masa Rasulullah ﷺ (dalam rangka menunggu beliau) sebelum shalat dilaksanakan. Dan beliau ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah dan para
Malaikatnya bershalawat bagi orang-orang yang berada pada shaf shaf pertama,
dan tidak ada suatu langkah yang lebih Allah sukai daripada langkah seseorang
untuk menuju shaf yang paling depan”.
(HR. Abu Daud no. 457, Nasaa’i no. 642,
Ibnu Majah no. 985 dan Ahmad no. 17641)
Al-Albani menilainya sahih dalam Shahih
At-Targhiib No. 507, kemudian mencabut pernyataan shahihnya dalam Al-Dha’ifah
(1/194) No. (86), dan beliau hanya menshahihkan: “shalat pada shaf-shaf pertama
“saja, tanpa menyebutkan langkahnya (وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ...
dst). Dan kadar ini pula yang di shahihkan oleh syeikh Muqbil dalam Al-Jami’
Al-Sahih (2/79).
=====
KEUTAMAAN SHOLAT DI SHAFF PERTAMA DAN KEUTAMAAN MENUTUP CELAH:
Dari Al-Bara` bin Azib dia berkata;
كُنَّا نَقُومُ فِي
الصُّفُوفِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
طَوِيلًا قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ قَالَ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَلُونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ خُطْوَةٍ يَمْشِيهَا يَصِلُ بِهَا صَفًّا
Kami pernah berdiri lama sekali pada
shaf shalat pada masa Rasulullah ﷺ
(dalam rangka
menunggu beliau) sebelum shalat dilaksanakan. Dan beliau ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah dan para
Malaikatnya bershalawat bagi orang-orang yang berada pada shaf shaf pertama,
dan tidak ada suatu langkah yang lebih Allah sukai daripada langkah seseorang
untuk menuju shaf yang paling depan”.
(HR. Abu Daud no. 457, Nasaa’i no. 642,
Ibnu Majah no. 985 dan Ahmad no. 17641)
Al-Albani menilainya sahih dalam Shahih
At-Targhiib No. 507, kemudian mencabut pernyataan shahihnya dalam Al-Dha’ifah
(1/194) No. (86), dan beliau hanya menshahihkan: “shalat pada shaf-shaf pertama
“saja, tanpa menyebutkan langkahnya (وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ...
dst). Dan kadar ini pula yang di shahihkan oleh syeikh Muqbil dalam Al-Jami’
Al-Sahih (2/79).
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ
النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا
أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي
التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ
وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
"Seandainya manusia mengetahui
(kebaikan) apa yang terdapat pada panggilan shalat dan shaf pertama lalu mereka
tidak dapat meraihnya melainkan dengan cara mengundinya tentulah mereka akan
mengundinya.
Seandainya mereka mengetahui apa yang
terdapat pada bersegera melaksanakan shalat tentulah mereka akan berlomba untuk
melakukannya.
Dan seandainya mereka mengetahui apa
yang terdapat pada 'Atmah (shalat 'Isya') dan Shubuh tentulah mereka akan
mendatanginya walaupun harus dengan merangkak". (HR. Bukhori no. 2492 dan
Muslim no. 661)
Hadits ini menunjukkan adanya keutamaan
dan pahala khusus pada shaf pertama, bersegera ke masjid setealh adzan, sholat
isya dan suhubuh berjamaah.
Dari Abu Hurairah radhiayllahu ‘anhu,
bahwa Rasul ﷺ juga bersabda:
خيْرُ صُفُوفِ
الرِّجَالِ أَوَّلُهَا ، وَشَرُّهَا آخِرُهَا ، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ
آخِرُهَا ، وَشَرُّهَا أوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah
yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang.
Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek
adalah yang paling depan.“(HR. Muslim. 440)
Hadits ini menunjukkan keutamaan shaf
pertama bagi laki-laki.
Hal ini juga menunjukkan bahwa amal itu
bertingkat-tingat yang sekaligus juga menunjukkan bahwa pelaku amal
bertingkat-tingkat.
Imam An-Nawawi rahimahullah
menjelasakan:
“Bahwa yang dimaksud “shaf yang jelek
pada laki-laki maupun wanita”, artinya: sedikit pahala dan keutamaanya, karena
berada pada posisi yang semakin jauh dari yang diperintahkan syariat.
Adapun yang dimaksud dimaksud dengan
“shaf pertama”adalah: shaf yang berada di belakang imam, baik orang itu datang
ke masjid di awal waktu maupun datang belakangan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa
patokan shaf pertama adalah ditinjau dari awal kedatangannya ke masjid meskipun
dia shalat di barisan belakang, maka ini tidak tepat. (Lihat Syarh Shahih
Muslim)
===
PERLU DI PERHATIKAN!
Kapan posisi shaf wanita yang paling
baik itu di belakang?
Jawab: itu berlaku ketika para wanita shalat
berjamaah bersama-sama di belakang shaf laki-laki.
Adapun jika wanita shalat di belakang
imam wanita, atau shalat di belakang imam laki-laki akan tetapi terpisah dari
jamaah laki-laki, di tempat tersendiri, maka yang terbaik bagi wanita adalah
shaf yang paling depan.
Dalil ini diambil dari keumuman hadits
yang menunjukkan akan keutamaan sholat di shaff pertama. (Lihat Shahiih Fiqh
Sunnah)
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
rahimahullah juga menjelaskan:
“bahwa shaf terbaik bagi wanita adalah
yang paling belakang. Hal ini disebabkan karena posisinya berada paling jauh
dari barisan jamaah laki-laki.
Berdasarkan alasan ini, maka seandainya
para wanita shalat berjamaah di tempat khusus yang terpisah dari laki-laki,
maka kita katakan bahwa sebaik-baik shaf wanita adalah yang di depan dan yang
paling jelek adalah yang paling belakang.
Demikian pula jika para wanita shalat
bersama laki-laki namun terdapat pembatas yang memisahkan antara shaf wanita
dan shaf laki-laki.
(At Ta’liiq ‘alaa Shahih Muslim)
===****===
HUKUM MENYEMPURNKAN SHAFF AWAL, LALU BERIKUTNYA???
Menurut pendapat yang mengatakan wajib
meluruskan dan merapatkan shaff, maka WAJIB pula mendahulukan shaf pertama,
lalu berikutnya dalam hal tersebut. Jika tidak, maka berdosa, namum sholatnya
tetap shah.
Berbeda dengan yang berpendapat bahwa
merapatkan shaff itu Sunnah, maka hukumnya Sunnah pula untuk mendahulukan shaff
pertama, lalu berikutnya.
Berikut ini pernyataan para ulama yang
mewajibkannya:
Al-Baaji Rahimahullah berkata:
"يَجِبُ أَنْ يَكْمُلَ
الْأَوَّلُ فَالْأَوَّلُ ، فَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَفِي الْمُؤَخَّرِ "
“Wajib untuk menyempurnakan Shaf yang
terdepan dan berikutnya, maka jika ada shaf yang kurang sempurna maka
jadikanlah dia shaf yang paling akhir”. dari kitab “المنتقى”Syarh
Al Muwattha (1/386).
Dan dalam kitab “Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah”(27/36) disebutkan:
"وَمِنْ تَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ إِكْمَال الصَّفِّ الأوَّل فَالأَوَّل ، وَأَنْ لاَ يُشْرَعَ فِي
إِنْشَاءِ الصَّفِّ الثَّانِي إِلاَّ بَعْدَ كَمَال الأوَّل ، وَهَكَذَا. وَهَذَا
مَوْضِعُ اتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ.
وَعَلَيْهِ ، فَلاَ
يَقِفُ فِي صَفٍّ وَأَمَامَهُ صَفٌّ آخَرُ نَاقِصٌ أَوْ فِيهِ فُرْجَةٌ ، بَل
يَشُقُّ الصُّفُوفَ لِسَدِّ الْخَلَل أَوِ الْفُرْجَةِ الْمَوْجُودَةِ فِي
الصُّفُوفِ الَّتِي أَمَامَهُ " انتهى.
“Dan diantara maksud dari menyetarakan shaf atau barisan adalah
menyempurnakan shaf pertama sesempurna mungkin dan tidak terburu-buru untuk
membuat shaf yang kedua kecuali telah sempurna shaf yang pertama. Dalam hal ini
tidak ada perselisihan antar para ulama’ Fiqih dan mereka bersepakat akan hal
tersebut.
Maka tidak diperkenankan berdiri dalam
satu Shaf sedang shaf yang di depannya terdapat celah dan ada yang masih
kurang, bahkan wajib untuk memecah shaf yang berikutnya jika memang diperlukan
untuk memenuhi kekurangan atau celah yang terdapat pada shaf yang berada di
depannya”.
Syeikh Abdullah bin Baaz Rahimahullah
pernah ditanya:
Apabila berkurang jumlah orang yang
berada pada salah satu shaf dalam shalat taraweh atau salah seorang keluar
meninggalkan shaf, maka apakah seorang Imam harus meminta kepada yang berada
pada shaf yang berikutnya untuk memenuhi shaf yang di depannya?
Beliau menjawab:
"الوَاجِبُ عَلَى المَأْمُومِينَ
فِي الفَرْضِ وَالنَّفْلِ أَنْ يُكَمِّلُوا الصَّفَّ الأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ؛ لِأَنَّ
النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ بِذَلِكَ وَحَثَّ عَلَيْهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: (سَوُّوا صُفُوفَكُمْ،
وَسُدُّوا الفُرَجَ)، وَقَوْلِهِ ﷺ: (أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ المَلَائِكَةُ
عِندَ رَبِّهَا؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ المَلَائِكَةُ عِندَ
رَبِّهَا؟ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأُوَلَ
وَيَتَرَاصُّونَ)." انتهى
“Yang wajib dilakukan oleh setiap
makmum baik di dalam shalat fardlu maupun shalat sunnah adalah agar mereka
menyempurnakan shaf yang pertama baru kemudian membentuk shaf yang berikutnya;
karena sesungguhnya Nabi ﷺ memerintahkan dan menganjurkan yang
demikian itu, sebagaimana sabda beliau:
"سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ ،
وَسُدُّوْا الفُرَجَ".
“Luruskanlan shaf-shaf kalian dan
tutuplah celah-celah shaff”
Dan sabda Rasulullah ﷺ:
" أَلاَ تَصُفُّونَ
كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا " . فَقُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا . قَالَ : "
يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ ".
“Tidakkah kalian merapikan barisan-barisan
kalian sebagaimana para malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?”.
Maka kamipun bertanya: “Wahai Utusan
Allah dan bagaimanakah para Malaikat merapikan barisannya di sisi Tuhannya?”
Beliau ﷺ
bersabda: “Mereka
menyempurnakan barisan-barisan pertama dari ujung ke ujung dan saling rapi dan
lurus dalam barisan “. [Dari kitab “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”(30/124-125)].
Dan Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah
berkata:
"طَلَبُ الأَئِمَّةِ تَسْوِيَةَ
الصُّفُوفِ فِي صَلَاةِ العِيدِ وَفِي صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ مَشْرُوعٌ كَغَيْرِهَا
مِنَ الصَّلَوَاتِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ النَّاسَ إِذَا لَمْ يُنَبَّهُوا عَلَى هَذَا
رُبَّمَا يَغْفُلُونَ عَنْهُ، فَكُلُّ صَلَاةٍ يُشْرَعُ فِيهَا الجَمَاعَةُ فَإِنَّهُ
يُشْرَعُ لِلْإِمَامِ إِذَا كَانَ النَّاسُ صُفُوفًا أَنْ يُنَبِّهَهُمْ وَأَنْ يَقُولَ:
اسْتَوُوا، اعْتَدِلُوا." انتهى
“Permintaan dan perintah para Imam
untuk meluruskan dan meratakan shaf-shaf baik dalam shalat Ied, shalat Istisqa’
adalah suatu hal yang disyari’atkan sebagaimana dalam shalat-shalat yang
lainnya; yang demikian itu karena apabila umat manusia tidak diingatkan akan
hal ini bisa jadi mereka akan lupa.
Jadi setiap shalat yang disyari’atkan
di dalamnya dengan berjama’ah, maka bagi sang Imam agar memberikan peringatan
kepada semua orang jika mereka telah berdiri membuat shaf dengan mengatakan:
ratakanlah dan luruskanlah barisan kalian”. [Dari kitab “لقاء الباب المفتوح”(9/46)].
Beliau juga menyatakan:
"أَهْمَلَ كَثِيرٌ مِنَ الأَئِمَّةِ
وَكَثِيرٌ مِنَ المَأْمُومِينَ مَسْأَلَةَ التَّرَاصِ، فَتَجِدُ الصَّفَّ تَكُونُ فِيهِ
الفُرَجُ الكَثِيرَةُ لَا يَسُدُّهَا أَحَدٌ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ
أَمَرَ بِالتَّرَاصِ، وَأَخْبَرَ أَنَّ المَلَائِكَةَ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
يَتَرَاصُّونَ." انتهى.
“Banyak di antara para makmum dan para
Imam yang tidak begitu menghiraukan tentang masalah meluruskan dan merapatkan
barisan dalam shaf shalat, dan anda bisa melihat bagaimana ada shaf yang masih
ada celah lebar dan terdapat di banyak titik tapi tidak ada seorangpun yang memenuhinya,
dan hal ini jelas salah sekali, karena sesungguhnya Nabi ﷺ memerintahkan untuk merapatkan dan meluruskan bariasan sebelum
dilaksanakan shalat, dan beliau memberitakan bahwasannya para Malaikat berbaris
lurus dan rapi di sisi Allah Azza wa Jalla”. [Dari “فتاوى نور على الدرب”oleh
Ibnu Utsaimin (161/111)].
Dan jikalau umat manusia sedang
melaksanakan shalat dan di dalam shaf mereka terdapat celah maka shalat mereka
termasuk buruk, akan tetapi shalat mereka dianggap sah.
==****==
RESIKO DAN KERUGIAN BAGI YANG BER KEBIASAAN SHOLAT DI SHAFF BELAKANG:
Shaff laki-laki dalam shalat jamaah
semakin di depan maka semakin baik dan utama.
Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiayllahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي أَصْحَابِهِ تَأَخُّرًا
فَقَالَ لَهُمْ: "تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ
بَعْدَكُمْ لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ
اللَّهُ".
“Bahwa Rasulullah ﷺ melihat pada para sahabatnya keterlambatan, maka beliau bersabda kepada
mereka:
'Kalian majulah, dan berimakmum lah
denganku, dan hendaklah orang sesudah kalian bermakmum kepada kalian. Jika
suatu kaum membiasakan diri melambat-lambatkan shalatnya, maka Allah juga
melambatkan diri (Yakni: memasukkannya ke surga, atau melambatkan diri untuk
mengentaskannya dari neraka')." (HR. Muslim no. 662)
Imam An Nawawi rahimahullah
menjelaskan:
“Yang dimaksud dalam hadits ini adalah
orang-orang yang datang akhir sehingga tidak mendapat shaf pertama maka Allah
pun akan mengakhirkan bagi orang tersebut rahmat-Nya, kemuliaan dan keutamaan,
ketinggian kedudukan, ilmu yang bermanfaat, dan kebaikan lainnya “. (Lihat
Syarh Shahih Muslim)
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah
menjelaskan makna hadits ini sebagai berikut,
“Bahwasanya Nabi ﷺ pernah melihat satu kaum mengambil tempat belakang di masjid.
Yakni: tidak mau maju ke
barisan-barisan depan. Kemudian beliau ﷺ
bersabda,
لا يَزَالُ قَوْمٌ
يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ
“Suatu kaum masih saja bersikap lambat
(dalam ketaatan kepada Allah -pent) sehingga Allah akan memperlambat mereka
(dari rahmat-Nya).”
Tidak diragukan lagi juga, bahwa
menerlambatkan diri dari shalat itu lebih (buruk,-pent) daripada menerlambatkan
diri dari barisan pertama.
Dari sini, dikhawatirkan, apabila
seseorang membiasakan dirinya terlambat dalam ibadah maka Allah ‘Azza wa Jalla
akan menghukumnya dengan mengakhirkannya (menjadikan ia terlambat) dalam semua
proyek kebaikan. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin: 13/54)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga
mengingatkan:
“Bahwa dalam hadits ini terdapat
ancaman dari Nabi ﷺ tentang bahaya mengakhirkan datang ke
masjid. Apabila seseorang mengakhirkan dari shaf pertama, kedua, dan ketiga,
maka Allah pun akan menghukum hatinya dengan menyukai mengakhirkan amal-amal
shalih yang lainnya –wal ‘iyadzubillah-.
Maka berupaya lah! agar bisa
mendapatkan posisi di shaff yang paling depan ketiak sholat berjemaah. (Lihat
Syarh Rhiyadis Shaalihiin)
Oleh karena itu tidak selayakanya
seseorang mempunyai kebiasaan mengakhirkan datang ke masjid sehingga malas
berusaha untuk mendapat shaf pertama dalam shalat berjamaah.
Al-Hamdulillah,
SEMOGA BERMANFAAT. AMIIIN
0 Komentar