Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PERBEDAAN PENDAPAT: HUKUM HALAL & HARAMNYA UPAH MENGAJAR "AL-QURAN" DAN "ILMU-ILMU SYAR'I".

HUKUM MENGAMBIL UPAH DARI MENGAJAR AL-QUR’AN DAN ILMU-ILMU SYAR’I

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

-----

DAFTAR ISI :

  • PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG : “ HUKUM MENGAMBIL UPAH DARI MENGAJAR AL-QUR’AN DAN ILMU-ILMU SYAR’I”.
  • BATASAN PEMBAHASAN MASALAH
  • PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG : “HUKUM MENERIMA UPAH MENGAJAR AL-QUR’AN DAN ILMU-ILMU AGAMA”.
  • URAIAN SINGKAT 5 PENDAPAT :
  • RINCIAN MASING-MASING DARI 5 PENDAPAT BESERTA DALILNYA :
  • PENDAPAT PERTAMA : BOLEH mengambil upah dari mengajar al-Qur’an , tapi HARAM upah dari mengajar ilmu agama selain al-Qur’an , seperti Ilmu Fiqih , Hadits , Tafsir ... dll .
  • PENDAPAT KE DUA : BOLEH mengambil upah dari mengajar al-Qur’an , tapi MAKRUH upah dari mengajar ilmu agama selain al-Qur’an , seperti Ilmu Fiqih , Hadits , Tafsir ... dll
  • PENDAPAT KE TIGA : Boleh bagi yang Muhtaaj / محتاج ( Faqir atau Miskin )  mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya . Dan Haram bagi yang ekonominya berkecukupan.
  • PENDAPAT KEMPAT : BOLEH ( SECARA MUTLAK ) : Yakni : Boleh atau Halal secara mutlak mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya .
  • PENDAPAT KELIMA : TIDAK BOLEH / HARAM SECARA MUTLAK. Yakni : Haram secara mutlak mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya.
  • SARAN DAN PERTIMBANGAN !

 *****

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ . أَمَّا بَعْدُ :

****

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG:
“HUKUM MENGAMBIL UPAH DARI MENGAJAR AL-QUR’AN DAN ILMU-ILMU SYAR’I”.

****

BATASAN PEMBAHASAN MASALAH :

POINT KE 1 :

الأَصْلُ فِي أَعْمَالِ الْقُرْبِ كَتَعْلِيمِ الْعِلْمِ وَنَحْوِهِ أَنْ يَقُومَ بِهَا الإِنْسَانُ مُحْتَسِبًا مُخْلِصًا لِوَجْهِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُرِيدُ بِذَلِكَ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، وَهَذَا هُوَ الأَفْضَلُ بِلَا شَكٍّ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ.

Pada asalnya hukum semua amalan yang diperuntukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti mengajarkan ilmu agama dan sejenisnya, adalah seseorang melakukannya harus betul-betul ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan tujuan agar mendapatkan pahala dari-Nya. Tidak bertujuan untuk memperoleh dunia , dan Ini adalah yang paling afdlol tidak diragukan lagi, dan itulah yang diamalkan oleh para Sahabat dan Taabi'in

Ringkasnya : Belajar dan mengajar ilmu agama serta berdakwah itu masuk dalam katagori IBADAH .

POINT KE 2 :

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إِنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةٍ أَصْلًا. ا.هـ.  

Para Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin , dan ulama lainnya yang masyhur akan keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits dan Fikih, sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah , dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengajar ilmu agama dengan menerima upah sama sekali . ( Baca : مختصر الفتاوى المصرية hal. 481 dan مجموع الفتاوى jilid 30 hal. 204 ).

POINT KE 3 :

Para Fuqohaa telah sepekat bolehnya menerima tunjangan dari baitul maal ( Kas Negara ) atas pengajaran ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya .

POINT KE 4 :

Dan sama halnya mereka juga sepakat bahwa titik permasalahan yang di khilafkan adalah dalam ilmu-ilmu yang khusus , yaitu ilmu-ilmu syar’i , yang jika seseorang telah menguasinya, maka akan dia gunakan untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah Ta’aala.

Lihat: “المغني” (8/138), “الفتاوى الكبرى” (30/206), “التاج والإكليل” (2/117), “مواهب الجليل” (1/456), “الموسوعة الفقهية” (33/101), “حاشية ابن قاسم” (5/321), “أحكام التصرف في المنافع” (135), dan “أحكام التصرف في الكسب الحرام” (438)

JADI : Yang diperselisihkan itu adalah upah mengajar ilmu-ilmu Syar’i , yang mana ilmu tersebut diamalkannya khusus untuk ibadah dan taqorrub (mendekatkan diri kepada Allah Ta’aala), maka dengan demikian, tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu selainnya . ( Baca : “شرح المنتهى” 2/366 ).

===****===

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG
HUKUM MENERIMA UPAH MENGAJAR AL-QUR’AN DAN ILMU-ILMU AGAMA

****

ADA LIMA PENDAPAT :

URAIAN SINGKAT 5 PENDAPAT  :

Pendapat Pertama :

Boleh mengambil upah dari mengajar al-Qur’an , tapi haram upah dari mengajar ilmu agama selain al-Qur’an, seperti Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir, Faroidh dan lainnya .

Pendapat Kedua :

Boleh mengambil upah dari mengajar al-Qur’an , tapi makruh upah dari mengajar ilmu agama lainnya .

Pendapat Ketiga :

Boleh bagi yang Muhtaaj [seperti Faqir atau Miskin] mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya . Dan Haram bagi yang ekonominya berkecukupan .

Pendapat Keempat :

Halal secara mutlak mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya .

Pendapat Kelima :

Haram secara mutlak mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya .

*****

RINCIAN MASING-MASING DARI 5 PENDAPAT BESERTA DALILNYA :

Penulis akan menyebutkannya sesuai urutan pendapat yang paling sedikit dalilnya :

====

PENDAPAT PERTAMA :

BOLEH mengambil upah dari mengajar al-Qur’an , tapi HARAM upah dari mengajar ilmu agama selain al-Qur’an , seperti Ilmu Fiqih , Hadits , Tafsir ... dll .  

Ini adalah pendapat Madzhab Imam asy-Syafi’i .

Lihat referensinya :

روضة الطالبين: (5/ 188)، أسنى المطالب: (2/ 41)، نهاية المحتاج: (5/ 293)، شرح الغرر البهية: (3/ 318-321)، حاشية قليوبي وعميرة: (3/ 76)، تحفة المحتاج: (6/ 157)، حاشية الجمل: (3/ 540)، التجريد لنفع العبيد: (3/ 171)

DALIL NYA :

Argumentasi mereka adalah sbb :

Pertama : Qiyas . Dalil dibolehkannya dalam upah mengajar al-Quran adalah dianalogikan dengan upah ruqyah dengan baca al-Qur’an .

Kedua : Pengajaran Al-Qur'an itu bisa terukur kadarnya dan ada batasannya, berbeda dengan ilmu-ilmu agama yang lain, tidak terukur dan tidak terbatas karena masalah-masalah dan ilmu-ilmu selain al-Qur’an itu sangat banyak dan luas , tetapi jika pembelajarannya ada ukuran dan batasannya ; maka itu diperbolehkan.

Lihat : “الأم” (2/140), “أسنى المطالب” (2/41) dan “شرح الغرر البهية” (3/318).

*****

PENDAPAT KE DUA :

BOLEH mengambil upah dari mengajar al-Qur’an , tapi MAKRUH upah dari mengajar ilmu agama selain al-Qur’an , seperti Ilmu Fiqih , Hadits , Tafsir ... dll . 

Ini adalah pendapat Madzhab Maliki .

Lihat referensinya :

المدونة: (1/ 160)، الكافي: (2/ 755)، الذخيرة: (5/ 405)، التاج والإكليل: (7/ 534)، مواهب الجليل: (5/ 418)، حاشية الخرشي: (7/ 17)، الفواكه الدواني: (2/ 115)، حاشية العدوي على شرح كفاية الطالب الرباني: (2/ 197)، حاشية الدسوقي: (4/ 16)، منح الجليل: (7/ 476).

DALILNYA :

Argumentasi mereka adalah :

Pertama : Bahwa mengambil upah untuk mengajar ilmu-ilmu agama Islam itu tidak pernah dilakukan oleh penduduk Madinah.

Lihat: “البيان والتحصيل”(8/452-454), “حاشية الدسوقي” (4/18) dan “حاشية العدوي على شرح كفاية الطالب الرباني” (2/197).

Bantahan :

Amalan penduduk Madinah tidak mesti mengharamkan meminta upah mengajar Ilmu Syar’i, kemudian juga bertentangan dengan realitanya, karena yang sudah maklum dari penduduk Madinah bahwa mereka mengambil upah untuk itu . [Lihat: “البيان والتحصيل”(8/452) dan “حاشية الرهوني” 7/14]

Kedua : Memungut biaya untuk mengajarkan ilmu agama selain al-Qur’an dikhawatirkan akan mengakibatkan minimnya ilmu agama dan hilangnya syariat, karena akan membuat kaum muslimin meninggalkannya, tidak seperti Al-Qur’an, karena tidak dikhawatirkan akan hilang dan berkurang . [ Lihat: “حاشية الدسوقي” (18/4)].

Bantahan :

Mafsadah khawatir minim dan hilang nya ilmu syar’i ini bertentangan dengan mafsadah yang lebih besar dari itu, yaitu mafsadah yang akan menyebabkan kurangnya guru dan kurangnya orang-orang yang mengabdikan diri untuk mengajar ilmu agama ; Karena orang-orangnya disibukkan dengan mencari nafkah, maka kebodohan akan menyebar dan ilmu agama akan hilang

Ketiga : Al-Qur'an adalah kebenaran secara keseluruhan, tidak ada keraguan tentang itu, sehingga diperbolehkan untuk mengambil biaya untuk itu, tidak seperti ilmu-ilmu yang lain, di mana ada kebenaran dan ada kebatilan . [Lihat: “حاشية الدسوقي” (18/4) dan “الفواكه الدواني” 2/115]

Bantahan :

Jika demikian halnya, berarti tidak boleh juga memungut biaya untuk ilmu-ilmu pengetahuan yang halal seperti aritmatika, aljabar, dan lain-lain, karena di dalamnya ada kebenaran dan kebatilan.

*****

PENDAPAT KE TIGA :

Boleh bagi yang Muhtaaj / محتاج ( Faqir atau Miskin )  mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya . Dan Haram bagi yang ekonominya berkecukupan .

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah . Beliau memilih pendapat boleh mengambil upah karena adanya hajat / kebutuhan hidup , dengan demikian beliau menyelisihi yang masyhur dalam madzhab Hanbali .

[ “مجموع الفتاوى” 23/367 dan 24/316 dan “الفتاوى الكبرى” 3/33 ].

Dan ini adalah Qoul ke3 dalam madzhab Hanbali .

( Baca : “الفروع” 4/435 . “الإنصاف” 6/46 , “المبدع” 5/90 , “الاختيارات” hal. 152 ).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah , pernah di tanya tentang hukum mengambil upah mengajar ilmu agama , maka beliau menjawab :

الْحَمْدُ لِلَّهِ . أَمَّا تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهُوَ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ وَأَحَبُّهَا إلَى اللَّهِ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الإِسْلامِ لَيْسَ هَذَا مِمَّا يَخْفَى عَلَى أَحَدٍ مِمَّنْ نَشَأَ بِدِيَارِ الإِسْلامِ . وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنْ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ . وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةِ أَصْلاً . فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّ وَافِرٍ . وَالأَنْبِيَاءُ رضوان الله تعالى عليهم أجمعين إنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ الْعِلْمَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ.

“ Alhamdulillah , adapun mengajar al-Qur’an dan Ilmu agama tanpa upah , maka itu adalah amalan yang paling afdhol dan paling dicintai oleh Allah. Dan ini adalah perkara yang sangat jelas dan dimaklumi secara darurat dalam agama Islam, ini bukan perkara yang samar dan tersembunyi bagi orang yang hidup dan tumbuh besar di negeri-negeri Islam ( Yakni : semua orang pasti tahu banget . pen. ) .

Para sahabat , para tabi’iin , para tabi’it tabi’iin dan lainnya dari para ulama yang masyhur di kalangan para imam akan keilmuannya , baik ilmu al-Quran , Hadits dan Fiqih , sesungguhnya mereka semuanya tidak ada yang mengambil upah dalam mengajar . Dan sama sekali tidak ada satu pun yang mengajar dengan upah . Karena sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar , maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan Ilmu , maka barang siapa yang mengambil ilmu tsb , maka dia telah mengambil keberuntungan yang melimpah . Dan para nabi , mereka ketika mengajarkan ilmu , tanpa mengambil upah “. ( Baca : “مجموع الفتاوى” 30/204).

------

DALIL-DALIL PENDAPAT KE TIGA  :

Dalil Pertama :

Mereka menyimpulkan dalil-dalil dari dua pihak yang membolehkan secara mutlak dan yang mengharamkan secara mutlak , serta menggabungkan keduanya , membatasi kebolehannya itu jika ada kebutuhan dan melarangnya ketika tidak ada kebutuhan .

Dalil Kedua :

Mereka merdalil dengan qaidah :

"إِنَّ الحَاجَةَ العَامَةَ تَنْزِلُ مَنْزِلةَ الضَّرُوْرَةِ"

“Sesungguhnya kebutuhan umum itu sama statusnya dengan kebutuhan yang darurat”.

Dan kebutuhan pendidikan adalah kebutuhan umum untuk orang-orang dewasa dan anak-anak . Dan kebutuhan mereka terhadap para guru agama ini tidak akan bisa di peroleh kecuali jika mereka itu banyak jumlahnya dan mereka meluangkan waktunya seacara khushus untuk mengajar dan berdakwah serta benar-benar fokus padanya .

Kemudian, mengenai para guru agama yang merupakan kebutuhan umum, jika mereka itu tidak mendapatkan upah , kemudian mereka tidak bekerja cari nafkah ; maka akan sulit bagi dirinya dan anak-anaknya, dan kefaqir miskinan akan menimpa mereka.

[Lihat: “المنثور” (2/24), “الأشباه والنظائر” (88), “غمز عيون البصائر” (1/293) dan “درر الحكام” (1/42)].

Dalil Ketiga :

Minimnya dana dari kas negara untuk gaji para guru agama itu membuat negara tidak mampu untuk menggaji mereka . Kalau seandainya kas negara mencukupi untuk semua gaji guru agama ; maka pungutan upah mengajar al-Qur’an dan ilmu agama tidak diperlukan dari para murid atau orang-orang yang diajarinya . 

Para ulama Madzahab Hanafi generasi pertama telah mengharamkannya , namun di kemudian hari ketika generasi berikutnya melihat munculnya kelambanan dan sikap apatis dalam masalah agama, dan kemalasan para guru agama dalam mengajar ilmu dengan imbalan pahala ; maka ketika mereka melihat kondisi seperti ini, mereka segera mengubah pendapat madzhab para pendahulunya , lalu mereka mengeluarkan fatwa baru tentang bolehnya upah berdasarkan dalil istihsan karena adanya kebutuhan umum untuk itu, dan mereka menjadikannya sebagai salah satu kebutuhan yang menyeluruh (مَا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى).

[Lihat: “شرح العناية” (9/98), “البناية” (9/342), “حاشية ابن عابدين” (6/58), “غمز عيون البصائر” (1/287) dan “عموم البلوى” (373, 415) ].

Dalil Keempat :

Dalil Qiyas / analogi ;

Yaitu di qiyaskan kepada Hukum Wali Anak Yatim yang mengelola Harta Anak Yatim . Wali anak yatim yang berkecukupun tidak boleh mengambil upah dari pengelolaan harta anak yatim . Tapi bagi wali yang faqir , maka hukumnya boleh mengambil upahnya secara makruf alias upah standar yang diketahui . Sebagaimana firman Allah SWT :

﴿ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ﴾ 

“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut”. ( QS. An-Nisaa’ : 6 ).

AYAT LENGKAPNYA :

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ ۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.

Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.

Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”. (QS. An-Nisa': 6)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

كَمَا أَذِنَ اللهُ لِوَلِيِّ الْيَتِيمِ أَنْ يَأْكُلَ مَعَ الْفَقْرِ وَيَسْتَغْنِيَ مَعَ الْغِنَى ا.هـ.

Sebagaimana Allah telah memberi idzin kepada wali anak yatim untuk memakannya karena kondisi nya miskin , maka tidak di perboleh kan ketika dalam kondisi berkecukupan “ .

[ “مجموع الفتاوى” (24/316), (30/206) ].

Dalil Kelima :

Dengan menerima upah itu tidak menghalanginya keikhlasan dan memperoleh pahala, karena ia berniat karena Allah, dan mengambil upah demi untuk memenuhi kebutuhannya.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

فَإِذَا فَعَلَهَا الْفَقِيرُ لِلَّهِ، وَإِنَّمَا أَخَذَ الأُجْرَةَ لِحَاجَتِهِ إِلَى ذَلِكَ وَلِيَسْتَعِينَ بِذَلِكَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ، فَاللهُ يَأْجُرُهُ عَلَى نِيَّتِهِ ا.هـ.

Jika orang miskin melakukannya karena Allah, dan dia hanya mengambil upah karena dia membutuhkannya dan agar dengannya bisa membantu dirinya dalam ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala  atas niatnya. [ “مجموع الفتاوى” (24/316), (30/206) ].

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata :

إِنَّ الإِنْفَاقَ عَلَى الأَهْلِ وَاجِبٌ، فَمَنْ عَجَزَ عَنْ التَّكَسُّبِ فِي حَالِ تَعْلِيمِهِ فَيَجُوزُ لَهُ أَخْذُ الأُجْرَةِ لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَقُلْ بِالْوُجُوبِ.

Menafkahi keluarga adalah wajib, maka barang siapa yang tidak mampu mencari nafkah karena sibuk dalam kegiatan mengajar, maka baginya boleh mengambil upah karena atas dirinya punya kewajiban nafkah , meski tidak dikatakan bahwa mengambil upah itu wajib . [“مجموع الفتاوى” (30/206) ].

Ibnu Taimiyah berkata:

الْمُحْتَاجُ إِذَا اكْتَسَبَ بِهَا أَمْكَنَهُ أَنْ يَنْوِيَ عَمَلَهَا لِلَّهِ، وَيَأْخُذَ الأُجْرَةَ لِيَسْتَعِينَ بِهَا عَلَى الْعِبَادَةِ؛ فَإِنَّ الْكَسْبَ عَلَى الْعِيَالِ وَاجِبٌ أَيْضًا، فَيُؤَدِّي الْوَاجِبَاتِ بِهَذَا، بِخِلَافِ الْغَنِيِّ، لِأَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى الْكَسْبِ، فَلَا حَاجَةَ تَدْعُوهُ أَنْ يَعْمَلَهَا لِغَيْرِ اللهِ، بَلْ إِذَا كَانَ اللهُ قَدْ أَغْنَاهُ، وَهَذَا فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ كَانَ هُوَ مُخَاطَبًا بِهِ، وَإِذَا لَمْ يَقُمْ إِلَّا بِهِ كَانَ ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَيْهِ عَيْنًا ا.هـ.

“Orang yang muhtaaj ( faqir ) jika dia kerja mencari rizki dengan cara mengajar ilmu agama ; maka itu memungkinkan dirinya berniat karena Allah dalam melakukannya dan dia pun mendapat pahala karena hasilnya digunakan untuk beribadah. Karena sesungguhnya mencari nafkah untuk keluarganya itu wajib juga. Maka dengan demikian dia telah menunaikan kewajibannya dengan ini. 

Berbeda dengan orang berkecukupan, karena dia tidak perlu mencari nafkah (dengan mengajar ilmu agama), maka dia tidak perlu melakukannya untuk selain Allah , bahkan jika Allah telah memberikan kecukupan pada seseorang , maka hukumnya FARDHU KIFAYAH baginya , yakni berkewajiban untuk mengajar ilmu agama , dan jika tidak ada selainnya orang yang mengajarkan ilmu agama , maka hukumnya menjadi FARDHU ‘AIN atas dirinya “.

[ “مجموع الفتاوى” (30/207) ].

Dalil Keenam :

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وَأُصُولُ الشَّرِيعَةِ كُلُّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى هَذَا الأَصْلِ، أَنَّهُ يُفَرَّقُ فِي الْمَنْهِيَّاتِ بَيْنَ الْمُحْتَاجِ وَغَيْرِهِ، كَمَا فِي الْمَأْمُورَاتِ. وَلِهَذَا أُبِيحَتِ الْمُحَرَّمَاتُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ، لَا سِيَّمَا إِذَا قُدِّرَ أَنَّهُ يَعْدِلُ عَنْ ذَلِكَ إِلَى سُؤَالِ النَّاسِ، فَالْمَسْأَلَةُ أَشَدُّ تَحْرِيمًا؛ وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ: يَجِبُ أَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، وَإِنْ لَمْ تَحْصُلْ إِلَّا بِالشُّبُهَاتِ أ.هـ

Dan prinsip-prinsip dasar Syariah semuanya didasarkan pada prinsip dasar ini, yang membedakan dalam hal-hal dilarang antara yang membutuhkan dan yang lain, seperti dalam perintah-perintah . Itulah sebabnya segala yang di haramkan menjadi boleh jika dalam keadaan darurat. Apalagi jika diperkirakan dia akan berpaling dari itu kepada perbuatan minta-minta atau mengemis pada manusia , maka masalah minta-minta itu lebih dahsyat keharamannya “.

Lalu Ibnu Taimiyah berkata :

وَلِهَذَا اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُرْزَقُ الْحَاكِمُ وَأَمْثَالُهُ عِنْدَ الْحَاجَةِ، وَتَنَازَعُوا فِي الرِّزْقِ عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ، وَأَصْلُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فِي قَوْلِهِ فِي وَلِيِّ الْيَتِيمِ: ﴿ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ﴾ .

فَهَكَذَا يُقَالُ فِي نَظَائِرِ هَذَا؛ إذ الشَّرِيعَةُ مَبْنَاهَا عَلَى تَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا، وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا، وَالْوَرَعُ تَرْجِيحُ خَيْرِ الْخَيْرَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا، وَدَفْعُ شَرِّ الشَّرَّيْنِ وَإِنْ حَصَلَ أَدْنَاهُمَا ا.هـ.

Itulah sebabnya para ulama sepakat bahwa seorang hakim dan yang semisalnya diberi rizki / gaji ketika membutuhkan, dan mereka memperdebatkan tentang gaji mereka ketika tidak membutuhkan .

Itu berdasarkan firman Allah dalam dalam al-Qura’an tentang wali anak yatim :

﴿ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ﴾

Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. ( QS. An-Nisaa : 83 ).

Maka demikian pula berlaku pada hal-hal yang sebanding dengannya . Syariah ini dibangun diatas dasarkan pada pencapaian mashlahat-mashalat dan penyempurnaannya, serta memandulkan mafsadah dan memperkecilnya.

Dan sifat Waro’ itu adalah mengutamakan yang terbaik dari dua kebaikan dengan melewatkan yang lebih kecil dari keduanya , dan menolak yang terburuk dari dua keburukan, meskipun dia mendapatkan yang paling rendah dari keduanya . [ “مجموع الفتاوى” (30/193) ]

*****

PENDAPAT KEMPAT : BOLEH ( SECARA MUTLAK ) :

Yakni : Boleh atau Halal secara mutlak mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya .

Ini pendapat : Muhammad bin Hazem adz-Dzoohiri , Generasi akhir dari madzhab Hanafi , sebagian ulama madzhab Maliki , yang nampak dari perkataan Imam Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad .

Referensi Ibnu Hazem adz-Dzoohiri dlm kitabnya “المحلى” 7/4 No. 1288.

Referensi Generasi akhir dari madzhab Hanafi . Lihat : “شرح العناية” 9/97-98 , “شرح فتح القدير” 9/97 , “حاشية ابن عابدين” 6/58 dan “البناية” 9/342 .

Referensi Maliki : Lihat “التاج والإكليل” 7/537-539 dan “حاشية الدسوقي” 4/18 .

Referensi : Perkataan Imam Syafi’i dalam kitab “الأم  2/140 adalah membolehkannya .

Referensi : riwayat dari Imam Ahmad : 

 [المحرر: (1/ 357)، المغني: 8/ 138)، الشرح الكبير: (3/ 332)، الآداب الشرعية: (1/ 74)، الفروع: (4/ 435)، الإنصاف: (6/ 46)، تصحيح الفروع: (4/ 435)، المبدع: (5/ 90)، مطالب أولي النهى: (3/ 637) ]

Ibnu Hazem berkata :

«وَالإِجَارَةُ جَائِزَةٌ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ، وَعَلَى تَعْلِيمِ الْعِلْمِ مُشَاهَرَةً وَجُمْلَةً، وَكُلُّ ذَلِكَ جَائِزٌ، وَعَلَى الرُّقَى، وَعَلَى نَسْخِ الْمَصَاحِفِ، وَنَسْخِ كُتُبِ الْعِلْمِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ فِي النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ نَصٌّ، بَلْ قَدْ جَاءَتِ الإِبَاحَةُ».

“Dibolehkan upah mengupah untuk mengajarkan Al-Qur’an, dan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan secara terbuka dan umum, dan semua itu diperbolehkan, dan untuk ruqyah-ruqyah , dan untuk menyalin Al-Qur’an, dan menyalin buku-buku ilmu pengetahuan. Karena tidak ada nash yang melarang hal itu, justru kebolehan lah yang ada .” [ al-Muhallaa 8/193].

------

DALIL PENDAPAT KE 4 YANG MEMBOLEHKAN UPAH SECARA MUTLAK - 

YAITU SBB :

DALIL KE 1 :

Hadits Abu Sa’id (RA), ia berkata:

انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ ﷺ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ

“Sebagian sahabat Nabi  pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan dari perkampungan-perkampungan Arab, lalu mereka meminta dijamu oleh penduduk tersebut , tetapi mereka menolaknya,

lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan binatang berbisa , kemudian penduduknya berusaha mengobatinya dengan segala sesuatu tetapi tetap tidak ada faidahnya.

Kemudian sebagian mereka berkata, “Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?”

Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, “Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan binatang berbisa  dan kami telah berusaha mengobatinya dengan segala sesuatu, tetapi tidak ada manfaatnya . Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?”

Lalu di antara sahabat ada yang berkata, “Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak mau menjamu kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau menjajikan untuk kami JU’AL ( جعلا = imbalan ).”

Maka mereka pun berdamai dan sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.

Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka telah sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, “Bagikanlah ! .”

Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, “Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi  lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita tunggu apa yang Beliau perintahkan kepada kita.”

Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah  dan menyebutkan masalah itu.

Kemudian Beliau bersabda, “Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?”

Kemudian Beliau bersabda, “Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu.” (HR. Bukhari no. 2115 , 2276 dan Muslim no. 2201)

NOTE : bahwa orang yang diruqyah dan dimintai JU’AL itu orang Kafir . Berarti tujuan JU’AL di sini murni sebagai upah kesembuhan , bukan dalam rangka belajar mengajar al-Quran .

Dalam lafadz lain :

Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu :

" أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ ﷺ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ ".

Artinya : “ Bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut disengat binatang berbisa, lalu mereka berkata :

‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’

Para sahabat pun menjawab :

‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian menjanjikan Ju’al ( imbalan ) pada kami.’ lalu mereka pun menjanjikan untuk mereka sekawanan kambing sebagai JU’AL ( imbalan ) , lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah tsb , dan mereka memberikan kambing.

Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, hingga kami bertanya pada Rasulullah.’

Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah,  maka Beliau   tertawa dan berkata: ‘Tahu kah kamu bahwa itu adalah Ruqyah ? Ambillah, dan berilah bagian untukku’.” (HR Bukhari no. 5295 , 5736 ).

DALIL KE 2 : HADITS IBNU ‘ABBAAS

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

“ Bahwa beberapa sahabat Nabi  melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata;

"Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa."

Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing.

Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya.

Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah."

Maka Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah."

DALIL KE 3 :

Dari Khorijah ibnush Sholt, dari pamannya –yaitu: ‘Alaqoh bin Shuhar radhiyallahu ‘anhu-:

"أَنَّهُ مَرَّ بِقَوْمٍ فَأَتَوْهُ فَقَالُوا إِنَّكَ جِئْتَ مِنْ عِنْدِ هَذَا الرَّجُلِ بِخَيْرٍ فَارْقِ لَنَا هَذَا الرَّجُلَ ‏.‏ فَأَتَوْهُ بِرَجُلٍ مَعْتُوهٍ فِي الْقُيُودِ فَرَقَاهُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ غُدْوَةً وَعَشِيَّةً كُلَّمَا خَتَمَهَا جَمَعَ بُزَاقَهُ ثُمَّ تَفَلَ فَكَأَنَّمَا أُنْشِطَ مِنْ عِقَالٍ ( أي حل من وثاق ) فَأَعْطُوهُ شَيْئًا فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَهُ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ ‏:

"‏ كُلْ فَلَعَمْرِي لَمَنْ أَكَلَ بِرُقْيَةٍ بَاطِلٍ لَقَدْ أَكَلْتَ بِرُقْيَةٍ حَقٍّ"

“Bahwasanya beliau melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau seraya berkata:

“Engkau datang dengan kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi  ), maka ruqyahlah untuk kami orang ini,”

Lalu mereka mendatangkan orang yang gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an selama tiga hari pagi dan sore. Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah beliau lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan.

Maka mereka memberi beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi , seraya menceritakan hal itu. Maka beliau bersabdalah: 

“Makanlah pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (HR. Abu Dawud (3420)/shohih)).

Di shahihkan oleh asy-Syaukani dalam نيل الأوطار 6/31 dan Syeikh al-Albaani dlm Shahih Abu Daud no. 3896 .

Mulla Ali Al Qoriy rahimahullah berkata:

“Dalam sabda beliau: “ada orang memakan (upah) dengan ruqyah yang batil” itu adalah sebagai jawaban sumpah.

Yaitu: “Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, seperti dengan cara menyebut bintang-bintang dan minta tolong pada jin.

dan sungguh engkau memakan ( upah ) dengan ruqyah yang haq (benar)

yaitu: dengan menyebut nama Alloh ta’ala dan firman-Nya. Dan hanyalah beliau bersumpah dengan umur beliau karena Alloh ta’ala bersumpah dengan itu sebagaimana dalam firman-Nya:

﴿ لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ .

“Demi umurmu (wahai Muhammad ), sungguh mereka itu terombang-ambing berada di dalam kemabukan yang sangat.”

DALIL YANG DIPETIK DARI HADITS-HADITS DIATAS :

Ibnu Hazm رحمه الله berkata:

“Maka sudah sahlah bahwasanya memakan dengan hasil dari Al Qur’an adalah termasuk dalam kebenaran. Dan dalam pengajarannya adalah kebenaran juga. Dan bahwasanya yang harom hanyalah jika dia memakan dengan hasil Al Qur’an tadi dalam rangka riya, atau karena selain Alloh ta’ala.” (“Al Muhalla”/8/hal. 815).

BANTAHAN :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam bantahan beliau pada orang yang membolehkan mengambil upah dari sekedar bacaan Al Qur’an berkata:

“Iya, telah ada ketetapan bahwasanya Nabi  bersabda:

« إِنْ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أُجْرًا كِتَابُ اللَّهِ «

 “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al-Bukhori no. (5737)).

Akan tetapi beliau mengucapkan ini dalam hadits ruqyah, karena dulu orang-orang menjadikan untuk para Shahabat tadi IMBALAN karena mereka membacakan ruqyah pada saudara mereka yang sakit, sehingga dia sembuh.

Maka IMBALAN tadi adalah karena KESEMBUHANNYA , bukan karena sekedar bacaan. Maka beliau bersabda:

« لَعَمْرِي لِمَنْ أَكَلَ بَرْقِيَةَ باطِلٍ لَقَدْ أَكَلْتُمْ بَرْقِيَةَ حَقٍّ «.

“Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh kalian memakan dengan ruqyah yang benar.”

« إِنْ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أُجْرًا كِتَابُ اللَّهِ «

“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al-Bukhori no. (5737)).

Dengan upah ruqyah ini para ulama menafsirkan hadits, bukan dengan mengambil upah karena semata-mata bacaan, karena semata-mata bacaan itu tidak boleh mengambil upah, dengan ijma’. Adapun tentang upah pengajar, maka ada perselisihan.” (“Ahaditsul Qishosh” karya Ibnu Taimiyyah , hal. 114-115).

Al-Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata:

“Adapun mengambil upah dari ruqyah, maka sungguh Ahmad memilih bolehnya hal itu, dan beliau berkata: “Tidak apa-apa.”

Dan beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id. Dan perbedaan antara upah ruqyah dan perkara yang diperselisihkan (upah ta’lim dsb) adalah: bahwasanya ruqyah itu sejenis pengobatan. Harta yang diambil karena ruqyah tadi merupakan “ju’l” (imbalan).

Dan memang diperbolehkan mengambil upah dari pengobatan.” (“Al-Mughni” karya Ibnu Quddaamah , 6/143).

JIKA ADA YANG BERKATA :

“Tiga puluh ekor kambing tadi bukanlah IMBALAN atas kesembuhannya dengan sebab ruqyah, akan tapi Upah bacaan al-Fatihah.”

MAKA JAWABAN KITA - dengan taufiq Alloh semata – ADALAH SBB :

Jawaban pertama :

Pensyaratan para Shahabat kepada penduduk kampung tadi adalah: “Kalian tidak mau menjamu kami. Dan kami tidak akan mengobati sampai kalian menjanjikan untuk kami JU’AL (imbalan) .”

Mungkin sebagai imbalan kesembuhan dengan ruqyah, dan mungkin pula sebagai hak tamu “ضِيَافَة”. Akan tetapi tidak mungkin karena upah bacaan al-Fatihah .

Namun kemungkinannya sebagai IMBALAN ruqyah itu lebih jelas dan lebih kuat karena mereka menyebutkan tiga puluh ekor kambing tadi sebagai “جُعْلٌ” (imbalan).

Andaikata itu sebagai pemuliaan tamu, niscaya mereka menamakannya dengan “نُزُوْل” (hidangan orang yang datang), atau “ضِيَافَة” (pemuliaan tamu), dan semisalnya.

Jawaban kedua:

Sesungguhnya tiga puluh ekor kambing itu terlalu besar untuk menjadi nuzul atau dhiyafah, apalagi upah baca “al-Fatihah” , terutama bahwasanya penduduk kampung tadi telah menampakkan kepelitan mereka terhadap para Shahabat Rosululloh  .

Maka posisinya sebagai upah kesmbuhan dengan ruqyah itu lebih jelas, dan jumlah kambing yang banyak tadi adalah sebagai bentuk kegembiraan mereka karena sembuhnya pemimpin mereka yang tersengat binatang berbisa , bukan karena mereka memuliakan para Shahabat Rosululloh  dan juga mustahil dikarenakan bacaan al-Fatihah. Apalagi masyarakat perkampungan tsb nampaknya mereka itu bukan kaum muslimin . 

Jawaban ketiga:

Sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan pada kebiasaan Arab saat memuliakan tamu adalah: mereka itu memasak daging, menghidangkan makanan yang sudah siap, dan semisalnya, bukannya memberikan kambing hidup-hidup sehingga tetap saja para tamu mengalami kerepotan.

Maka tiga puluh ekor kambing tadi lebih jelas menjadi IMBALAN kesembuhan dengan sebab RUQYAH daripada menjadi jamuan tamu “ضِيَافَة”, dan mustahil menjadi upah baca al-Fatihah.

DALIL KE 4 :

Hadits Mahar menikahi seorang wanita dengan mengajarkan kepadanya hafalan al-Quran .

Dari Sahal bin Saad radhiallahu’anhu berkata :

أَتَتْ النَّبِيَّ ﷺ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ ﷺ فَقَالَ : مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ ، فَقَالَ رَجُلٌ : زَوِّجْنِيهَا قَالَ : أَعْطِهَا ثَوْبًا ، قَالَ : لَا أَجِدُ قَالَ : أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ ، فَاعْتَلَّ لَهُ ، فَقَالَ : مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ؟ قَالَ : كَذَا وَكَذَا قَالَ : فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ) .

“Ada seorang wanita datang kepada Nabi  dan berkata, “Sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untuk Allah dan RasulNya.

Maka Nabi , ‘Saya tidak membutuhkan wanita.

Ada seseorang berkata: “(Tolong) nikahkan dia denganku!”.

Nabi  berkata : ‘Berikan dia baju ! “. (Orang tadi) berkata, ‘Saya tidak mempunyai.’

Nabi  berkata : “ Berikan dia meskipun dengan cincin dari besi !“.

Maka dia bersedih (karena tidak mendapatkannya).

Nabi  berkata : ‘Apakah anda mempunyai (hafalan) Al-Qur’an?

Dia berkata, ‘( Saya hafal ) ini dan itu .’

Nabi  berkata : ‘Sungguh saya telah menikahkan anda dengan dia dengan Al-Qur’an yang anda hafal .’ [ HR. Bukhori, 4741. Muslim, 1425].

Makna kata “ فَاعْتَلَّ لَهُ / Fa’talla lahu “ adalah sedih dan menyesal karena dia atau sakit karena tidak mendapatkan.

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

“Dalam haditst ini sebagai dalil diperbolehkan memberikan mahar dengan mengajarkan AL-Qur’an dan diperbolehkan menyewa untuk mengajarkan Al-Qur’an. Keduanya diperbolehkan menurut Syafi’i, dan ini juga pendapat Atha’, Hasan bin Sholeh, Malik, Ishaq dan selain dari mereka.

Sebagian kelompok para ulama melarangnya, diantaranya adalah Az-Zuhri dan Abu Hanifah.

Hadits ini dan hadits yang shohih : ‘Sesungguhnya yang layak untuk anda ambil upahnya adalah Kitab Allah’ sebagai bantahan bagi pendapat yang melarang akan hal itu.

Dinukilkan dari Al-Qoodhi ‘Iyaadh bahwa diperbolehkan menyewa untuk mengajarkan AL-Qur’an dari seluruh ulama’ selain Abu Hanifah. ( ‘Syarkh Muslim, 9/214, 215 )

BANTAHAN :

A. Dalam hadits ini Nabi  mengizinkan mahar nikah dengan mengajarkan hafalan al-Quran ketika sudah tidak ada pilihan lain termasuk cincin besi sekalipun . Nampaknya dibolehkannya dalam kondisi yang sangat mendesak atau darurat .

B. Ini adalah kejadian langka , karena setelah itu sepengetahuanku tidak ada lagi sahabat yang menikah dengan mahar mengajarkan hafalan al-Quran pada istrinya .

C. Ada sebuah kaidah fiqih mengatakan :

"الْحُكْمُ عَلَى الْأَغْلَبِ وَالنَّادِرُ لَا حُكْمَ لَهُ"

Artinya : Hukum itu pada yang umum atau kebanyakan, adapun yang jarang, maka itu tidak bisa dijadikan hukum “.

Abu Bakar al-Jashshoosh dalam kitabnya “أحكام القرآن” 1/78 ( Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah . Tahqiq Abdus Salam Syahiin ) :

" أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُكْمَ فِي كُلِّ مَنْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ يَتَعَلَّقُ بِالْأَعَمِّ الْأَكْثَرِ دُونِ الْأَخَصِّ الْأَقَلِّ ".اهـ

“ Tidak kah kau lihat bahwa hukum berlaku dalam setiap orang yang tinggal di Dar al-Islam dan Dar al-Harb bergantung kepada yang lebih umum yang mayoritas , bukan kepada yang lebih khusus yang minoritas “.

Ibnu Muflih ulama madzhab Hanbali berkata dalam kitabnya “المبدع شرح المقنع” 3/254 ( Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah . Tahqiq Muhammad Hasan ay-Syafi’i ) :

"الَأَكْثَرُ يَقُومُ مَقَامَ الْكُلِّ، بِخِلَافِ الْيَسِيرِ، فَإِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ".اهـ

Artinya : Mayoritas itu menduduki kedudukan keseluruhan , berbeda dengan yang sedikit , maka yang sedikit itu di hukumi tidak ada “.

*****

PENDAPAT KELIMA : TIDAK BOLEH / HARAM SECARA MUTLAK

Yakni : Haram secara mutlak mengambil upah dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama lainnya.

Ini adalah pendapat Imam az-Zuhri , Madzhab al-Hanafi . Dan juga madzhab al-Hanbali dalam mengajar al-Qur’an . Begitu juga yang masyhur dalam madzhab al-Hanbali TIDAK BOLEH pula mengambil upah di dalam mengajar ilmu hadits dan Fiqh .

Lihat referensi Madzhab al-Hanafi sbb :

 [ المبسوط: (16/ 37)، بدائع الصنائع: (4/ 191-194)، تبيين الحقائق: (5/ 124)، الجوهرة النيرة: (1/ 269)، البحر الرائق: (8/ 22)، مجمع الأنهر: (2/ 384)، شرح العناية: (9/ 97-98)، درر الحكام: (2/ 233)، حاشية ابن عابدين: (6/ 58) ].

Lihat referensi Madzhab al-Hanbali sbb :

[ المحرر: (1/ 357)، رؤوس المسائل الخلافية للعكبري: (3/ 1003)، المذهب الأحمد لابن الجوزي: (108)، المغني: (8/ 138)، الشرح الكبير: (3/ 332)، الفروع: (4/ 435)، الآداب الشرعية: (1/ 74)، المبدع: (5/ 90)، تصحيح الفروع: (4/ 435)، الإنصاف: (6/ 46)، كشاف القناع: (4/ 12)، شرح المنتهى: (2/ 360)، الروض المربع: (5/ 321)، مطالب أولي النهى: (3/ 637)، مسائل الإمام أحمد الفقهية المنقولة عنه في طبقات الحنابلة لأبي يعلى في غير العبادات: (215)].

-------

DALIL-DALIL PENDAPAT KE 5, YANG MENGHARAMKAN SECARA MUTLAK

 YAITU SBB :

====

DALIL PERTAMA AYAT-AYAT AL-QUR’AN

---

AYAT-AYAT YANG MENJELASKAN BAHWA PARA NABI DAN ROSUL TIDAK MENERIMA UPAH DALAM BERDAKWAH:

AYAT KE 1 :

Firman Allah Ta’aalaa dalam surat Huud : 29 :

وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ

“Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah . ( QS. Huud : 29 ).

AYAT KE 2 :

Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita  :

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba : 47 ).

TAFSIR AL-MUYASSAR :

Yang dimaksud dengan perkataan ini ialah bahwa Rasulullah  sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka. Tetapi yang diminta Rasulullah  sebagai upah ialah agar mereka beriman kepada Allah. Dan iman itu adalah buat kebaikan mereka sendiri.

TAFSIRNYA : Katakanlah (wahai Rasul) kepada orang-orang kafir : Aku tidak meminta atas kebaikan yang aku bawa kepada kalian sebuah upah, sebaliknya ia untuk kalian saja. Upahku yang aku nanti-nantikan telah ditanggung oleh Allah Yang Maha Mengetahui amalku dan amal kalian, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya. Dia membalas semua orang sesuai dengan apa yang menjadi haqnya.

AYAT KE 3 :

Dan Allah swt juga berfirman di akhir Surah Shaad .

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ (86) إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (87) وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ (88)

“Katakanlah (hai Muhammad), "Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.”

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata :

Allah Swt. berfirman, "Katakanlah, hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu, bahwa tidaklah kamu meminta imbalan kepada mereka atas risalah yang kami sampaikan kepada mereka dan nasihat yang kamu berikan kepada mereka suatu upah pun dari harta duniawi ini."

وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

“ .... dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (Shad:86)

Aku tidak mempunyai kehendak sedikit pun, tidak pula kemauan untuk menambah-nambahi apa yang diamanatkan oleh Allah Swt. kepadaku untuk manyampaikannya. Tetapi apa yang aku diperintahkan untuk menyampai­kannya, maka hal itu kusampaikan dengan utuh tanpa ada penambahan atau pengurangan. Dan sesungguhnya kutunaikan tugasku ini hanyalah semata-mata menginginkan rida Allah dan kebahagiaan di hari kemudian.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy dan Mansur, dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa kami mendatangi Abdullah ibnu Mas'ud r.a. Maka ia berkata,

"Hai manusia, barang siapa yang mengetahui sesuatu, hendaklah ia mengutarakannya; dan barang siapa yang tidak mengetahui, hendaklah ia mengatakan, 'Allah lebih mengetahui.' Karena sesungguhnya termasuk ilmu bila seseorang tidak mengetahui sesuatu mengatakan, 'Allah lebih Mengetahui." Sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman kepada nabi kalian:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

Katakanlah, "Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (Shad: 86)

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan asar ini melalui Al-A'masy dengan sanad yang sama.

AYAT KE 4 :

Dan firmannya dalam surat ath-Thuur dan al-Qalam :

{أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ}

“Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang?”. (QS. Ath-Thuur : 40 dan Surat al-Qalam : 46)

TAFSIR AL-MUYASSAR : Bahkan apakah kamu, wahai Rasul, meminta kepada orang-orang musyrik upah atas penyampaian risalah, sehingga mereka berada dalam kesulitan akibat terbebani hutang yang kamu minta dari mereka?

AYAT KE 5 :

Dan Allah berfirman dalam Surat Al-An'am:

{قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ}

{ Katakanlah : Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quraan). Al-Quraan itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. } ( QS. Al-Ana’aam : 90 ).

TAFSIR AL-MUYASSAR : Katakan kepada orang-orang musyrikin : Aku tidak mencari ganjaran dunia dari kalian sebagai imbalan penyampaian Islam kepada kalian, karena ganjaranku di tanggung oleh Allah. Islam hanyalah mengajak manusia ke jalan yang lurus dan peringatan bagi kalian dan orang-orang yang semisal dengan kalian dari orang-orang yang tetap memegang kebatilan, agar kalian mengingat apa yang bermanfaat bagi kalian dengannya.

AYAT KE 6 :

Dan Allah berfirman tentang Nabi Hud dalam Surat Hud :

يَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Hai Kaumku, aku tidak meminta upah kepada kalian bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku, maka tidak kah kamu memikirkannya ?” (QS 11:51).

Tafsir Ibnu Katsir : Nuh As juga Memberitahukan kepada mereka bahwa dia (Huud as) tidak meminta dari mereka upah atas nasihat dan penyampaian dari Allah ini, akan tetapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala yang telah menciptakannya. Apakah kamu tidak berfikir; orang yang mengajakmu kepada perbaikan dunia dan akhirat tanpa mengharapkan upah,

AYAT KE 7 :

Dan Allah berfirman dalam Surat Asy-Su’aroo tentang Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth, dan Shu’aib alaihimus salaam :

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS. Asy-Syu’aroo : 109 , 127 , 145 , 164 dan 180 ).

Tafsir Jalalain :

(Dan aku sekali-kali tidak meminta kepada kalian atas ajakan-ajakan itu) imbalan dari menyampaikannya (suatu upah pun, tidak lain) (upahku) pahalaku (hanyalah dari Rabb semesta alam).

Dan Yang Mahakuasa berkata dalam utusan desa yang disebutkan di Yassin: {Wahai manusia, ikuti para utusan * Ikuti mereka yang tidak meminta hadiah kepadamu ...},

AYAT KE 8 :

Dan dalam Surat Yasin Allah swt berfirman :

وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ ۝ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ

Artinya, Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegasgegas ia berkata,“Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta upah/balasan kepad kalian; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin, 20-21

TAFSIRNYA :

Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitabnya “ أضواء البيان “  ketika menafsiri surat Hud : 29 , berkata :

قُولُهُ تَعَالَى: { وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ } ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابِلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يُبْذِلُ لَهُمْ ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي مُقَابِلِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ،

Firman Allah Ta’aalaa : Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah “.

Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh u, bahwa dia memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah . Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat : bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul, عليهم السلام .

Seperti yang Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita,  :

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba : 47 ).

Kemudian Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi menyebutkan ayat-ayat seperti yang di atas , lalu berkata :

وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يُبْذِلُوا مَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ.. انتهى

Diambil dari ayat-ayat luhur ini:

Tugas para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah U , begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram “. ( Selesai perkataan Asy-Syinqiti).

-----

AYAT-AYAT YANG MELARANG MEMPERJUAL BELIKAN AYAT-AYAT ALLAH SWT:

Terdapat banyak dalil yang melarang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.

Diantaranya adalah sbb :

AYAT KE 1 :

Firman Allah :

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan bertaqwalah hanya kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 41)

AYAT KE 2 :

Allah juga berfirman, menceritakan karakter orang yang baik,

لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا

Mereka tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. (QS. Ali Imran: 199)

AYAT KE 3 :

Allah juga berfirman di ayat lain,

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sdikit”. (QS. al-Maidah: 44)

Dan ayat yang semakna dengan ini ada banyak dalam al-Quran.

Yang dimaksud dengan “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit) atau harga yang murah adalah dunia seisinya.

Abdullah bin Mubarak mengatakan : Dari Harun bin Yazid, bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang makna firman Allah, “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit). Lalu beliau mengatakan,

الثَّمَنُ الْقَلِيلُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا

“At-Tsaman al-Qalil (harga murah) adalah dunia berikut semua isinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/243).

Sementara makna, ‘Jangan kalian menjual’ adalah jangan menukar (I’tiyadh). Sehingga makna ayat, janganlah kalian menukar ayat Allah untuk mendapatkan bagian dari kehidupan dunia.

Para ahli tafsir mengatakan, ayat ini berbicara tentang pelanggaran yang dilakukan orang yahudi. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui agar pengikutnya tetap loyal dan tidak diasingkan dari masyarakat mereka. Mereka mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, tapi mereka tidak mau menyampaikan ini agar tetap bisa ditokohkan di tengah Yahudi. Dengan ini, mereka bisa mendapatkan penghasilan. (Baca : Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).

----

WAJIB MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA DAN HARAM MENYEMBUNYIKANNYA

Berikut ini ayat-ayat tentang kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya .

AYAT KE 1 :

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 159-160].

Al-Imam Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :

"أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الَّذِي يَكْتُمُ مَا أُنْزِلَ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مَلْعُونٌ. وَاخْتُلِفُوا مَنْ الْمُرَادِ بِذَلِكَ، فَقِيلَ: أَحْبَارُ الْيَهُودِ وَرُهْبَانُ النَّصَارَى الَّذِينَ كَتَمُوا أَمْرَ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَقَدْ كَتَمَ الْيَهُودُ أَمْرَ الرَّجْمِ. وَقِيلَ: الْمُرَادُ كُلُّ مَنْ كَتَمَ الْحَقَّ، فَهِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ اللَّهِ يَحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ ، ...... ".

“Allah ta’ala telah mengkhabarkan orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk yang diturunkan Allah termasuk orang yang terlaknat. Para ulama berselisih pendapat maksud orang yang terlaknat tersebut.

Dikatakan : Mereka adalah para rahib Yahudi dan pendeta Nashara yang menyembunyikan perkara Muhammad . Orang-orang Yahudi juga telah menyembunyikan ayat rajam.

Dikatakan juga bahwa yang dimaksud orang yang terlaknat tersebut adalah orang yang menyembunyikan kebenaran. Dan hal itu berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu agama Allah yang seharusnya disebarluaskan…..

[Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 2/479-483 tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427 – dengan peringkasan].

Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah berkata :

هَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِمَنْ كَتَمَ مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ مِنَ الدَّلَائِلِ الْبَيِّنَاتِ عَلَى الْمَقَاصِدِ الصَّحِيحَةِ وَالْهُدَى النَّافِعِ لِلْقُلُوبِ، مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ فِي كُتُبِهِ التِّي أَنْزَلَهَا عَلَى رُسُلِهِ.

“Ini merupakan peringatan yang keras bagi orang yang menyembunyikan apa saja yang diturunkan dengannya para Rasul, berupa ajaran dan petunjuk yang bermanfaat bagi hati, setelah Allah ta’ala terangkan kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya.  [‘Umdatut-Tafsiir, 1/279-280].

Abu Hurairah - رضي الله عنه - berkata :

إِنَّ النَّاسَ يقولونَ أكْثَرَ أبو هُرَيْرَةَ، ولَوْلَا آيَتَانِ في كِتَابِ اللَّهِ ما حَدَّثْتُ حَدِيثًا، ثُمَّ يَتْلُو {إنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ ما أنْزَلْنَا مِنَ البَيِّنَاتِ والهُدَى} [البقرة: 159] إلى قَوْلِهِ {الرَّحِيمُ} [البقرة: 160] إنَّ إخْوَانَنَا مِنَ المُهَاجِرِينَ كانَ يَشْغَلُهُمُ الصَّفْقُ بالأسْوَاقِ، وإنَّ إخْوَانَنَا مِنَ الأنْصَارِ كانَ يَشْغَلُهُمُ العَمَلُ في أمْوَالِهِمْ، وإنَّ أبَا هُرَيْرَةَ كانَ يَلْزَمُ رَسولَ اللَّهِ ﷺ بشِبَعِ بَطْنِهِ، ويَحْضُرُ ما لا يَحْضُرُونَ، ويَحْفَظُ ما لا يَحْفَظُونَ.

“Orang-orang berkata : ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika saja bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan meriwayatkan hadits”.

Kemudian ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah : 

‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Baqarah : 159-160”

Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan Muhajirin mereka disibukkan dengan perdagangan di pasar-pasar, dan saudara-saudara kami dari kalangan Anshar, mereka disibukkan dengan pekerjaan mereka dalam mengurus harta mereka.

Sementara Abu Hurairah selalu menyertai Rosulullah  dalam keadaan lapar, ia selalu hadir saat orang-orang tidak bisa hadir, dan ia dapat menghafal saat orang-orang tidak bisa menghafalnya.” [HR. Al-Bukhori no. 118].

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah saat mengomentari hadits di atas berkata :

وَمَعْنَاهُ: لَوْلا أَنَّ اللَّهَ ذَمَّ الْكَاتِمِينَ لِلْعِلْمِ مَا حَدَثَ أَصْلًا، لَكِنْ لَمَّا كَانَ الْكَتْمَانُ حَرَامًا وَجَبَ الْإِظْهَارُ، فَلِهَذَا حَصُلَتْ الْكَثْرَةُ لِكَثْرَةِ مَا عِنْدَهُ.

“Dan makna dari perkataan ‘jika saja bukan karena dua ayat’ adalah : Jikalau bukan karena Allah mencela orang-orang yang menyembunyikan ilmu, aku tidak akan meriwayatkan hadits sama sekali. Namun karena menyembunyikan ilmu itu adalah diharamkan dan harus disampaikan, maka ia pun banyak meriwayatkan karena banyak hadits yang ia miliki” [Fathul-Baariy, 1/214].

=====

DALIL KEDUA :
HADITS DAN ATSAR LARANGAN MENERIMA UPAH BACA ALQURAN DAN MENGAJARNYA

----

PERTAMA : LARANGAN MEMBACA ALQURAN UNTUK MENDAPATKAN HARTA DAN YANG SEMISALNYA .

HADITS KE 1 :

Orang durhaka adalah orang yang makan dan minumnya hasil dari al-Qur'an :

Dari  Abu Sa’id Al-Khudri , dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah  bersabda: 

"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".

قال بَشِيْر  : قُلْتُ للوَلِيْد : مَا هَؤلَاء الثَّلاثةُ؟ قَالَ : المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به، والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ

Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.

Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai membaca Al-Quran , tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.

Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang Mukmin , orang munafiq, dan orang durhaka.

Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga macam orang tersebut : "Siapa sajakah mereka itu?"

Maka Al-Walid menjawab : "Orang Mukmin adalah orang yang beriman kepada Al-Quran , orang Munafiq  adalah orang yang ingkar terhadap Al-Quran , sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran."

[HR. Ahmad no. 11340]. 

Derajat Hadits :

Ibnu Katsir dalam kitab البداية والنهاية  (6/233) berkata :

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ السُّنَنِ

"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab as-Sunan".

Dan Syeikh al-Albaani dalam السلسلة الصحيحة 1/520 berkata :

"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".

"Para perawinya tsiqoot [ dipercaya] selain al-Wallid , maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan , dan haditst tsb bagaimana pun juga layak dan baik sebagai syahid ".

HADITS KE 2 :

Hadits riwayat Imran bin Hushain - رضي الله عنه - ia berkata: aku mendengar Rasulullah  bersabda :

« مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيْ أَقْوَامٌ يَقْرَءُوْنَ القرآنَ وَيَسْأَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ » .

Artinya : " Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta ( upah ) kepada manusia dengan Al Quran itu".

( HR. Ahmad , Turmudzi , Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami' Al Kabir ). Hadits ini di sahihkan oleh Al-Bany dalam kitab-kitabnya : Islahus Saajid hal. 106 , silsilah sahihan 1/461 , sahih Targhib no. 1433 , dan lainnya ).

HADITS KE 3 :

Dari Imran bin Hushain - رضي الله عنه - :

‏ ‏" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ ‏ ‏يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏ﷺ ‏‏يَقُولُ: " ‏مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ ".

“Suatu ketika ia melewati seorang qori sedang membaca Al-Qur'an , kemudian setelah membacanya meminta ( upah ) kepada orang-orang , maka Imran ber istirja’ ( Yakni berkata : Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji’uun dan menyuruhnya untuk mengembalikan ) , dan berkata : Aku mendengar Rosulullah  bersabda :

" Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta ( upah ) kepada manusia dengan ( bacaan ) Al Quran itu ".

( HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau berkata : " Hadits Hasan ". Dan Syeikh Al-Bany dalam sahih Targhib 2/80 no. 1433 mengatakan : " Sahih karena ada yang lainnya ". Dan dalam Sahih wa Dloif al-Jami' no. 11413 serta Shahih wa Dloif Sunan Turmudzi 6/417 no. 2917 beliau mengatakan : " Hasan " .

SYARAH HADITS: 

Al-Mubaarokfuury dalam Syarah Sunan Tirmidzi berkata : 

قَوْلُهُ (يَقْرَأُ) أَي: يَقْرَأُ القُرْآنَ.

وَقَوْلُهُ: (ثُمَّ سَأَلَ) أَي: طَلَبَ القَارِئُ مِنَ النَّاسِ شَيْئًا مِنَ الرِّزْقِ لِقِرَاءَتِهِ القُرْآنَ.

وَقَوْلُهُ: (فَاِسْتَرْجَعَ) أَي: قَالَ عُمَرَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ" [البَقَرَة: 156]؛ لِابْتِلَاءِ القَارِئِ بِهَذِهِ الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عُمَرَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُصَائِبِ.

Sabdanya : (Membaca) Yakni membaca al-Qur'an

Dan Sabdanya : ( Kemudian meminta ) yakni : si Qori tersebut meminta sesuatu dari rizki pada manusia atas bacaan al-Qur'annya..  

Dan sabdanya: (Maka dia meminta untuk mengembalikannya ) . Yakni Amran berkata : "Innaa lillaahi wa Innaa Ilaihi Roji'un" . Dia berkata demikian karena perbuatan itu adalah bala [bencana] yang menimpa Qoori.

Atau karena Imran (ra) merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang mana perbuatan tsb merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat. [Baca : Tuhfatul Ahwadzi 8/235] .

Ibnu al-Malak al-Hanafi rahimahullah berkata: 

قَوْلُهُ: «مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللَّهَ بِهِ» أَيْ: فَلْيَطْلُبْ مِنَ اللَّهِ بِالْقُرْآنِ مَا شَاءَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، لَا مِنَ النَّاسِ.

“Sabda Nabi : *“Barang siapa membaca Al-Qur’an, hendaklah ia meminta kepada Allah dengannya”*, maksudnya adalah hendaklah ia meminta kepada Allah dengan Al-Qur’an apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, bukan kepada manusia”. [Lihat : Syarah al-Mashoobih karya Ibnu al-Malak 3/64].

Mulla Ali al-Qari rahimahullah berkata: 

«مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللَّهَ بِهِ» أَيْ: فَلْيَطْلُبْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى بِالْقُرْآنِ مَا شَاءَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، لَا مِنَ النَّاسِ. 

أَوِ الْمُرَادُ: أَنَّهُ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ فَلْيَسْأَلْهَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، أَوْ بِآيَةِ عُقُوْبَةٍ فَيَتَعَوَّذْ إِلَيْهِ بِهَا مِنْهَا. 

وَإِمَّا بِأَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ عَقِيبَ الْقِرَاءَةِ بِالْأَدْعِيَةِ الْمَأْثُوْرَةِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الدُّعَاءُ فِي أَمْرِ الْآخِرَةِ، وَإِصْلَاحِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي مَعَاشِهِمْ وَمَعَادِهِمْ.

 Sabda Nabi : *“Barang siapa membaca Al-Qur’an, hendaklah ia meminta kepada Allah dengannya”*, maksudnya adalah hendaklah ia meminta kepada Allah Ta’ala dengan Al-Qur’an apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, bukan kepada manusia. 

Atau maksudnya: apabila ia melewati ayat rahmat, maka hendaklah ia memohonnya kepada Allah Ta’ala, atau jika melewati ayat siksaan, maka hendaklah ia berlindung kepada-Nya darinya. 

Atau bisa juga maksudnya adalah berdoa kepada Allah setelah membaca Al-Qur’an dengan doa-doa yang diajarkan dalam syariat. Hendaknya doa itu berkaitan dengan urusan akhirat serta kebaikan kaum muslimin dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. 

(*Marqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Masabih*, 4/1513)

====

ATSAR PARA SAHABAT DAN PARA TABI’II :

Ada banyak atsar dari para Sahabat Nabi  bahwa mereka menolak untuk menerima upah mengajar ilmu agama , mereka membencinya atau melarangnya , diantara nya :

------

ATSAR SAHABT KE 1 : ABDULLAH BIN SYAQIIQ AL-ANSHORI

Dari Abdullah bin Syaqiiq al-Anshori , berkata :

يُكْرَهُ أَرْشُ المُعَلِّمِ، فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ كَانُوا يُكْرِهُونَهُ وَيَرَوْنَهُ شَدِيدًا

“ Upah mengajar itu di benci , maka sesungguhnya para sahabat Rosulullah  sangat membencinya , dan sangat keras melarangnya “.

( Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 6/223 no. 884 dari kitab “البيوع والأقضية” , bab “من كره أجر المعلم” . Lihat juga “المحلى” 7/20 .

Dan di riwayatkan pula dari sahabat lainnya seperti Ubadah dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu Hazem dlm kitabnya “المحلى” 7/20 no. 1307 telah menyebutkan atsar yang banyak dari para sahabat رضي الله عنهم .

-----

ATSAR SAHABAT KE 2 : ‘AMR BIN AN-NU’MAAN - رضي الله عنه - :

Dari Abi Iyyaas , dia berkata :

كُنْتُ نَازِلاً عَلَى عَمْرِو بْنِ النُّعْمَانِ فَأَتَاهُ رَسُولُ مُصْعَبِ ابْنِ الزُّبَيْرِ حِينَ حَضَرَهُ رَمَضَانُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ : إِنَّ الأَمِيرَ يُقْرِئُكَ السَّلامَ وَقَالَ إِنَّا لَمْ نَدَعْ قَارِئًا شَرِيفًا إِلا وَقَدْ وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَّا مَعْرُوفٌ فَاسْتَعِنْ بِهَذَيْنِ عَلَى نَفَقَةِ شَهْرِكَ هَذَا .فَقَالَ : ( أَقْرِئِ الأمِيرَ السَّلامَ وَقُلْ لَهُ إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَرَأْنَا الْقُرْآنَ نُرِيدُ بِهِ الدُّنْيَا وَدِرْهَمَهَا )

Dulu aku pernah singgah di rumah ‘Amr bin Nu’maan . Lalu datanglah kepadanya utusan Mush’ab bin Zubair ketika Bulan Ramadhan tiba sambil membawa uang 2000 dirham , maka dia berkata :

“ Sesungguhnya gubernur kirim salam pada anda , dan dia berkata : Sesungguhnya kami tidak akan membiarkan seorang qoori’ yang terhormat kecuali aku mengirim untuknya bantuan kebaikan , maka dengan uang 2000 dirhan ini semoga bisa membantu mu untuk nafkah satu bulan ini “.

Maka beliau menjawab : Sampaikan salamku kepada Gubernur , dan tolong sampaikan pula padanya : Demi Allah sesungguhnya kami  membaca al-Qur’an bukan karena dunia dan dirhamnya .

( HR, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya , كتاب فضائل القرآن , من كره أن يتآكل بالقرآن 7/164).

-----

ATSAR TABI’II : ABDURRAHMAN BIN MA’QIL ( عبد الرحمن بن مَعْقِل بن مُقَرّن المُزَني )

Dari Ubeid bin al-Hasan , berkata :

قَسَمَ مُصْعَبُ بْنُ الزُّبَيْرِ مَالاً فِي قُرَّاءِ أَهْلِ الْكُوفَةِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَبَعَثَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْقِلٍ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ لَهُ اسْتَعِنْ بِهَا فِي شَهْرِكَ هَذَا ، فَرَدَّهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَعْقِلٍ وَقَالَ :{ لَمْ نَقْرَأِ الْقُرْآنَ لِهَذَا }

Mush’ab bin az-Zubeir bagi-bagi uang untuk para Qoori’ Ahli Kuufah ketika masuk bulan Romadhan , lalu dia mengirim untuk Abdurrahman bin Mi’qool 2000 dirham , dan berkata kepadanya : “ Semoga dengan 2000 dirham ini bisa membantumu untuk satu bulan ini “.

Maka Abdurrahman bin Mi’qool menolaknya dan mengambalikannya , sambil berkata : “ Kami membaca al-Qur’an bukan untuk ini “. ( HR. Ad-Daarimii dalam Sunan nya , di Muqoddimah , bab Shiyanatul ilmi 1/152 no. 574 )

=====

KEDUA : HADITS LARANGAN ILMU AGAMA DI JADIKAN ALAT UNTUK MENDAPATKAN HARTA DARI PARA PENGUASA [ PEMERINTAH].

HADITS KE 1 :

Dari Ibnu Abbaas RA dari Nabi  , bersabda :

»إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أُمَّتِي سَيَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَقُولُونَ: نَأْتِي الْأُمَرَاءَ فَنُصِيبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ وَنَعْتَزِلُهُمْ بِدِينِنَا وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ كَمَا لَا يُجْتَنَى مِنْ الْقَتَادِ إِلَّا الشَّوْكُ كَذَلِكَ لَا يُجْتَنَى مِنْ قُرْبِهِمْ إِلَّا قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ كَأَنَّهُ يَعْنِي الْخَطَايَا«

“Sesungguhnya ada manusia-manusia dari kalangan umatku yang mereka mendalami ilmu agama dan membaca al-Quran, dan mereka berkata, “Kami akan mendatangi para pemimpin dari pemerintah, hingga kami mendapatkan sebagian dunia mereka , tapi kami membatasi diri kami dari  mereka dengan agama kami ( yakni : tidak ikut-ikutan melakukan dosa-dosa kedzaliman).

Yang demikian itu tidak mungkin terjadi ( yakni : dapat uangnya penguasa sekaligus agamanya terselamatkan). Sebagaimana tidak ada orang yang memetik dari pohon al-Qataad ( pohon yang hanya dipenuhi duri ), kecuali hanya mendapatkan duri.  Demikian pula, tidak ada seseorang yang memetik dari kedekatan dengan penguasa, kecuali dosa-dosa”. [HR. Imam Ibnu Majah No. 255 ]

Hadits ini di dhoifkan oleh syeikh al-Albaani dlm “تخريج مشكاة المصابيح” No. 253 & 262  , “صحيح وضعيف سنن ابن ماجة” 1/327 , “الضعيفة” no. 1250 dan “التعليق الرغيب” 1/69 . Lihat “الدرر السنية” hadits No. 103321.

HADITS KE 2 :

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi  bersabda:

" تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحَزَنِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ ؟ قال : وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ كلَّ يومٍ أربعَمائةِ مرَّةٍ . قيل : يا رسولَ اللهِ من يدخلُه ؟ قال : أُعِدَّ للقُرَّاءِ المُرائين بأعمالِهم ، وإنَّ من أبغضِ القُرَّاءِ إلى اللهِ الَّذين يُزورُون الأمراءَ الجَوَرةَ "

“Berlindunglah kalian kepada Allah swt dari jubb al-hazan. 

Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, apa jubb al-hazan? 

Nabi  menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 400 kali setiap hari”. 

Para shahabat bertanya, “Siapa yang memasukinya? Nabi  menjawab : “ [ Jub al-hazan ] Disediakan bagi para pembaca al-Quran yang riya`( ingin dipuji manusia ) sesuai dengan amal perbuatan mereka.  Sesungguhnya, para pembaca al-Quran yang paling dibenci Allah adalah mereka yang mengunjungi para penguasa yang lalim tidak adil”.

[HR. Al-Mundziri dlm “الترغيب والترهيب” 4/341 , at-Turmudzy No. 2383 dan Ibnu Majah No. 256 .  Di dhoifkan oleh Syeikh al-Albaani dlm “ضعيف ابن ماجه” no. 50 . Dan al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب” 1/51berkata : “لا يتطرق إليه احتمال التحسين” ].

HADITS KE 3 ;

Dari Ali bin Abi Tholib , bahwa Nabi  bersabda :

" تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحزَنِ أو وادي الحزَنِ ، قيل : يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ أو وادي الحزَنِ ؟ قال : وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ كلَّ يومٍ سبعين مرَّةً أعدَّه اللهُ للقُرَّاءِ المُرائين ".

“Berlindunglah kalian kepada Allah swt dari jubb al-hazan.  Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, apa jubb al-hazan?  Nabi  menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 70 kali setiap hari”. Allah swt telah menyiapkannya untuk para qori al-Qura’an yang riya ( ingin dipuji manusia ) “.

( Lihat : “الترغيب والترهيب للمنذري” karya al-Mundziri 4/341 . Sanad nya Hasan . Lihat “الدرر السنية” hadits no. 112 )

====

KETIGA : HADITS LARANGAN BERDAKWAH DAN MENGAJAR ILMU AGAMA DIJADIKAN SEBAGAI SUMBER MATA PENCAHARIAN .

HADITS KE 1 :

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu , Rasululullah  bersabda,

بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ، وَالرِّفْعَةِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمِ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ  .

“Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, ketinggian, kemenangan dan kekokohan di muka bumi. Barang siapa di antara mereka melakukan amalan ukhrawi untuk meraih dunia; pada hari akhirat kelak ia tidak akan memperoleh bagian (pahala)”.

( HR. Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Haakim. Dan dinilai sahih oleh al-Hakim, adz-Dzahaby, adh-Dhiya’ al-Maqdisy juga Syeikh al-Albany  dalam “صحيح الترغيب والترهيب” 23-(2) hal.116/1876 )

HADITS KE 2 :

Dari Abu ad-Dardaa’ RA , Rosulullah  bersabda :

مَنْ أخذَ علَى تعليمِ القرآنِ قوْسًا ، قلَّدَهُ اللهُ مكانَها قوسًا مِنْ نارِ جَهَنَّمَ يومَ القيامَةِ

“ Barang siapa menerima pemberian Busur Panah dari Mengajar al-Qur’an , maka Allah akan mengalungkan sebagai gantinya kelak busur dari api neraka Jahannam pada hari Kiamat “.

( HR. al-Tabarani dalam " مسند الشاميين" (279) , Abu Na'im dalam " حلية الأولياء" (6/86) dan Imam al-Baihaqi dlm “السنن الكبرى” 6/126 dan lainnya .

Di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam kitab “صحيح الجامع “ no. 5982 dan dalam kitab “السلسلة الصحيحة “ 1/113 no. 256 )

HADITS KE 3 :

Dari Ubadah bin ash-Shoomit RA , berkata :

" عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَلأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ . قَالَ ﷺ ( إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا )

وعند ابن ماجه ( إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا )

وعنه في رواية أخرى :ُ فَقُلْتُ مَا تَرَى فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ ﷺ : (جَمْرَةٌ بَيْنَ كَتِفَيْكَ تَقَلَّدْتَهَا أَوْ تَعَلَّقْتَهَا) .

Artinya: Aku telah mengajarkan Al Qur’an pada seseorang dari Ahli ash-Shuffah kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku berkata :

“ Ini bukanlah harta , tetapi ini bisa digunakan untuk berjihad fii sabilillah , namun demikian aku harus menghadap dulu ke Rosulullah  , aku mau menanyakannya , lalu aku mendatangi beliau  , dan aku berkata pada nya  :

“ Wahai Rosulullah , seseorang telah menghadiahi ku Busur panah , orang tsb salah seorang yang aku mengajarkan al-Kitab dan al-Qur’an padanya, dan ini bukan HARTA ,  dan aku bisa memanfaatkannya untuk berjihad di jalan Allah “.

Rosulullah  menjawab : “ Jika kau suka busur itu kelak akan dikalung kan pada dirimu dari api Neraka , maka silahkan ambil !!! “.  Lalu aku pun mengembalikannya.”

Dalam lafadz lain : “ Itu Bara Api diantara dua pundakmu , kamu telah melingkarkannya atau kamu mengalungkannya “.

( HR. Imam Ahmad No. 21632 , Abu Daud no. 2964 dan Ibnu Majah No. 2148 . Di Shahihkan oleh al-Haakim dan Syeikh al-Albaani dlm “سلسلة الأحاديث الصحيحة” 1/115 , Shahih Abu Daud no. 3416 dan dalam Shahih Turmudzi “.

HADITS KE 4 :

Dari Ubay bin Ka’ab RA , berkata :

" عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ ( إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ ) فَرَدَدْتُهَا ".

“ Aku mengajar al-Qur’an pada seseorang , lalu dia menghadiahkan Busur panah pada ku . Maka aku menceritakannya pada Rosulullah  , maka beliau bersabda : “ Jika kamu mengambilnya , maka kamu telah mengambil busur dari api neraka “. Lalu Aku mengembalikannya .

( HR. Ibnu Majah No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh al-Albaani dalam kitab “ إرواء الغليل “ No. 1493 ).

HADITS KE 5 :

Dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi , berkata :

" خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ – يَوْمًا وَنَحْنُ نَقْرَؤُا فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، كِتَابُ اللَّهِ وَاحِدٌ، وَفِيكُمُ الْأَحْمَرُ وَفِيكُمُ الأبْيَضُ وفيكم الأسْوَد اقْرَؤوهُ قَبْل أنْ يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ ".

“ Pada suatu hari Rosulullah  keluar menemui kami , dan saat itu kami sedang membaca al-Qur’an , maka beliau  bersabda :

“ Al-Hamdulillah , Kitab Allah satu , sementara di dalam kalian ada yang berkulit merah , berkulit putih dan berkulit hitam ( Yakni ada etnis Arab dan Non Arab ) , bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an , mereka menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan ( yakni mereka memperbagus bacaannya ) ,  namun dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan tidak menundanya ( untuk akhirat ) .

( HR. Abu Daud 1/220 No. 831 . Di Shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dlm Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata : Hasan Shahih ).

Syarah Hadits :

قَوْلُهُ: « يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَوَّمُ السَّهْمُ » أَي: يُحَسِّنُونَ النُّطْقَ بِهِ. وَقَوْلُهُ: « يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُهُ » أَي: يَطْلُبُ بِذَلِكَ أَجْرَ الدُّنْيَا مِنْ مَالٍ وَجَاهٍ وَمَنْصِبٍ، وَلَا يَطْلُبُ بِهِ أَجْرَ الْآخِرَةِ. انْظُرْ: جَامِعُ الْأُصُولِ، لِابْنِ الْأَثِيرِ. (2/ 450-451)

Sabda beliau  : "Mereka menegakkan bacaannya seperti halnya anak panah diluruskan " Yakni : mereka memperbagus dalam pengucapannya .

Dan sabdanya : “dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan tidak menundanya ( untuk akhirat )”. Artinya : dia dengan bacaanya itu untuk mencari upah duniawi , berupa harta , kehormatan dan kedudukan. Dia tidak bertujuannya dengannya itu untuk mencarai pahala akhirat .

[ Baca : جامع الأصول karya Ibnu al-Atsiir 2/450 – 451 ]

HADITS KE 6 :

Dari Jabir bin Abdullah , berkata :

دَخَلَ النَّبي ﷺ المسجدَ، فإذا فيه قومٌ يَقرَؤُونَ القُرآنَ، قال: « اقْرَؤُوا القُرآنَ، وابْتَغُوا به اللهَ مِن قَبْلِ أن يَأتِيَ قَوْمٌ يُقِيمونَه إِقَامَةَ القِدْحِ، يَتَعَجَّلُونَه ولا يَتَأَجَّلُونَه«.

Nabi  masuk masjid , dan ternyata di dalamya terdapat orang-orang yang sedang baca al-Qur’an .

Beliau  bersabda : “ Bacalah kalian al-Qur’an , dan dengannya semata-mata karena mengharapkan Allah  , sebelum datangnya kaum yang menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan ( yakni mereka memperbagus bacaanya ) , namun dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan tidak menundanya ( untuk akhirat ).

( HR. Imam Ahmad 3/357 dan Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shohih Sunan Abu Daud 1/156 no. 740 .

Muhammad Syamsul haq al-Adziim Aabadi dalam kitabnya “عَوْنُ الْمَعْبُودِ” 3/42 berkata : 

"فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ مَجِيءِ أَقْوَامٌ بَعْدَهُ يُصْلِحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ وَيَتَكَلَّفُونَ فِي مَرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ - وَهُوَ السَّهْمُ قَبْلَ أَنْ يُعْمَلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ - وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ. أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكَرَامُ .. هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا ثَوَابَ قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفَعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ عَلَى الْآجِلَةِ وَيَتَآكَلُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ هَجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ".

Maka sungguh Nabi  telah mengkabarkan : sesudahnya akan munculnya kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya , bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran , seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di pasangkan bulu-bulu dan besi tajam diujungnya .

Maksudnya : Mereka sangat berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia , popularitas , berbangga-banggaan dan ketenaran .

Wahai para ikhwan yang mulia , mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan upah bacaan al-Qurannya di dunia , mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan pahala di akhirat .

Sesungguhnya perbutan mereka itu adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat , dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la . Dan ini adalah jenis perbuatan meng hajer / MEMBOIKOT al-Quran yang paling dahsyat , maka ini adalah sebusuk-busuknya yang mereka lakukan . ( Baca : “عون المعبود شرح سنن أبي داود” 3/42) 

HADITS KE 7 :  

Dari Abu Sa’id al-Khudri , bahwa Rasulullah  bersabda:

تَعَلَّموا القرآنَ، وَسَلُوا اللهَ بِهِ الجنَّةَ، قَبْلَ أنْ يَتعَلَّمَهُ قَوْمٌ، يَسْأَلُونَ به الدُّنْيا، فَإِنَّ القُرآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاثَةٌ: رَجُلٌ يُباهِي بِهِ، وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ لله ) .

“Kalian Belajarlah Al-Quran dan mintalah kepada Allah surga dengannya, sebelum muncul satu kaum yang mempelajari Al-Quran untuk tujuan duniawi.

Sesungguhnya ada tiga kelompok yang mempelajari Al-Quran:

·  Seseorang yang mempelajarinya untuk membanggakan diri,

·  Seseorang yang mencari makan darinya,

·  dan seseorang yang membaca karena Allah Subhanahu Wata’ala.”

(HR. Baihaqi dan Abu ‘Ubeid dalam kitab “فضائل القرآن” , Bab : القارئ يستأكل بالقرآن hal. 206 .  Hadits di sebutkan oleh Syeikh al-Albaani dalam “السلسلة الصحيحة “ 1/118-119 No. 258 , dan beliau berkata :

وَلِلْحَدِيثِ شَوَاهِدُ أُخْرَى تُؤَيِّدُ صَحَّتَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ.

“ Hadits ini memiliki syahid-syahid lain yang memperkuat keshahinnya dari jemaah para sahabat “.

====

AMALAN PENDUDUK MADINAH  :

Mereka berkata :

إِنَّ أَخْذَ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ لَيْسَ عَلَيْهِ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ.

Masyarakat Madinah al-Munawwarah tidak ada yang mengambil upah dalam mengajarkan ilmu-ilmu syar’i .

انظر: البيان والتحصيل: (8/ 452 - 454)، حاشية الدسوقي: (4/ 18)، حاشية العدوي على شرح كفاية الطالب الرباني: (2/ 197).

=====

KEEMPAT : BELAJAR MENGAJAR ILMU AGAMA ITU KEWAJIBAN AGAMA , BUKAN UNTUK BISNIS

HADITS KE 1 :

Rosulullah  bersabda :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, no. 224. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan , tapi Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224))

Allah SWT menyatakannya dalam Al-Quran bahwa « طلب العلم » itu bagian dari pada Jihad Fi Sabilillah , Allah berfirman :

] وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلّ فِرْقَةٍ مّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لّيَتَفَقّهُواْ فِي الدّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوَاْ إِلَيْهِمْ لَعَلّهُمْ يَحْذَرُونَ [

 

Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122)

Dan Allah swt berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Dan janganlah kamu melakukan sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati , semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban ." ( QS. Al-Israa : 36 ).

HADITS KE 2 :

Tentang kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya .

Dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi  bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa ( tidak berdosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka".

HR. Bukhari (hadis nomor 3202) , Abu Dawud, Hadis Nomor 3177; al-Tirmidzi, Hadis Nomor 2593; dan Imam Ahmad, Hadis Nomor 6198.

HADITS KE 3 :

Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah  bersabda :

مَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ ثُمَّ لَا يُحَدِّثُ بِهِ كَمَثَلِ الَّذِي يَكْنُزُ الْكَنْزَ فَلَا يُنْفِقُ مِنْهُ.

“Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menyampaikannya adalah seperti orang yang menyimpan harta namun tidak meninfaq-kan sebagian darinya (membayarkan zakatnya)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 689; shahih – lihat Ash-Shahiihah no. 3479].

HADITS KE 4 :

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr : Bahwasannya Rasulullah  pernah bersabda :

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلْجَامٍ مِنْ نَارٍ.

“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 96, Al-Haakim 1/102, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 5/38-39; hasan].

HADITS KE 5 :

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah  :

"مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلْجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".

“Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu lalu menyembunyikannya, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak” 

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3658, At-Tirmidziy no. 2649, Ath-Thayalisiy no. 2534, Ibnu Abi Syaibah 9/55, Ahmad 2/263 & 305 & 344 & 353 & 499 & 508, Ibnu Maajah no. 261, Ibnu Hibbaan no. 95, Al-Haakim 1/101, Al-Baghawiy no. 140, dan yang lainnya; shahih].

=====

KELIMA : DALAM BELAJAR ILMU AGAMA ITU TIDAK BOLEH BERTUJUAN UNTUK DUNIAWI
Atau UNTUK POPULARITAS
atau AGAR BANYAK ORANG JADI PENGIKUTNYA
atau AGAR MENGUASAI BANYAK MAJLIS-MAJLIS ILMU
atau AGAR BANJIR UNDANGAN CERAMAH

-----

HADITS KE 1:

Dari Ka’ab bin Malik - رضي الله عنه -, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda,

" مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ "

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya bertujuan untuk menunjukkan kepada para ulama bahwa dirinya lah yang paling berilmu atau bertujuan untuk mendebat orang-orang bodoh ( yakni : sehingga membuat bingung orang awam pen. ) atau agar dengan ilmunya tersebut wajah-wajah para manusia tertuju pada dirinya ( yakni : supaya semua orang jadi pengikutnya, pen.), maka Allah akan memasukannya ke dalam api neraka.”

(HR. Tirmidzi no. 2654 , AL-‘Uaqaily dlm “الضعفاء الكبير” 1/103 dan Ibnu Hibban dalam “المجروحين” . Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih at-Turmudzi no. 2654 bahwa hadits ini hasan. Lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)

HADITS KE 2 :

Dari Jabir bin ‘Abdillah - رضي الله عنه -, ia berkata, Nabi  bersabda,

" لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ".

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan dengan ilmunya itu agar orang-orang memilih dia untuk mengisi di majelis-majlis . Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah no. 254.  Al-Mundziri dalam kitabnya “الترغيب والترهيب” 1/92 :

إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ أَوْ مَا قَارَبَهُمَا.

Artinya : “ Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.

Dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

HADITS KE 3 :

Dari Hudzaifah bin al-Yamaan , bahwa Nabi  bersabda :

لا تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتَبَاهَوْا بِهِ عَلَى الْعُلَمَاءِ أَوْ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِتَصْرِفُوا وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْكُمْ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ فِي النَّارِ.

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan agar wajah-wajah manusia tertuju pada diri kalian . Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya .” ( HR. Ibnu Majah dan di hasankan oleh syeikh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 210 )

HADITS KE 4 :

Adanya hadits-hadits yang melarang mencari Popularitas dan hobby pamer , diantaranya :

Hadits Ibnu Umar RA , bahwa Nabi  bersabda : 

( مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )

“Barang siapa memakai pakaian syuhroh ( pakaian yang bisa membuatnya terkenal ) di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat “.

( HR. Abu Daud No. 4029 ) , an-Nasaa’i dlm “السنن الكبرى” 5/460 , Ibnu Majah No. 3606 , Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya . Hadits ini di Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dan al-Arna’uth ).

Al-Imam as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya “المبسوط” 30/268 berkata :

وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الْحُسْنِ وَالْجُودَةِ فِي الثِّيَابِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الثِّيَابِ الْخَلِقِ – الْقَدِيمِ الْبَالِي - عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إِلَى الْإِسْرَافِ وَالْآخَرُ يَرْجِعُ إِلَى التَّقْتِيرِ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا. انتهى

“ Dan yang di maksud  adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya . Atau memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan  agar jari-jari manusia menunjukkan padanya . Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan , sementara yang kedua karena terlalu pelit , dan sebaik-baiknya semua perkara adalah tengah-tengahnya “ . (Selesai)

HADITS KE 5 :

Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash , bahwa Nabi  bersabda :

( كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ )

“ Makan lah kalian , bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias pamer ) “.

( HR. An-Nasaa’i No. 2559 . Dan di hasankan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa’i).

HADITS KE 6 :

Dari Abu Dzar - رضي الله عنه -, dari Nabi  bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ لَبِسَ ثَوْبَ شَهْرَةٍ إِلَّا أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى يَنْزَعَهُ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ حَبِيبًا."

“Tidaklah seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah ( ketenaran ) kecuali Allah akan berpaling dari manusia tersebut hingga ia melepaskannya , meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya“.

(HR Ibnu Majah, Al Hafizh Al Iraqy dalam takhrij hadits al ihya’ berkata: sanad hadits ini Jayyid (baik) , tapi tanpa perkataan : “meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya “

HADITS KE 7 :

Dari Mua’adz bin Anas - رضي الله عنه -, bahwasanya Nabi  bersabda:

«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»

Barangsiapa yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya / memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan / pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai” (HR. At Tirmidzi no. 2405 9/21, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Jaami’ No. 6145 )

===

ATSAR PARA SAHABAT , TABI’IIN DAN TABI’T TABI’IIN :

Ibnu Abbas RA berkata :

" كُلْ ‌مَا ‌شِئْتَ ‌وَالْبَسْ ‌مَا ‌شِئْتَ ‌مَا ‌أَخْطَأَتْكَ ‌خَصْلَتَانِ ‌سَرَفٌ ‌وَمَخِيلَةٌ "

“Makan lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu , tidak ada yang menyalahkanmu kecuali dua gaya : berlebihan dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias pamer ) “ .

[ HR. Bukhori secara mu'allq dalam Shahihnya, Kitab al-Libaas (77) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/171 secara maushul ].

DAN BERIKUT INI KUTIPAN DARI KITAB “صيد الفوائد” :

1. Dari Syahr bin Hausyab , berkata :

" ‌مَنْ ‌رَكِبَ ‌مَشْهُوْراً ‌مِنَ ‌الدَّوَابِّ، ‌وَلَبِسَ ‌مَشْهُوْراً ‌مِنَ ‌الثِّيَابِ، ‌أَعْرَضَ ‌اللهُ ‌عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ كَرِيْماً "

“ Barang siapa menunggangi kendaraan masyhur dan pakaian masyhur , maka Allah berpaling darinya meskipun dia seorang yang dermawan “. [ Baca سير أعلام النبلاء 4/375]

Al-Imam al-Baihaqi berkata :

" كُلُّ شَيْءٍ صَارَ صَاحِبَهُ شَهْرَةً، فَحَقُّهُ أَنْ يَجْتَنِبَهَا".

“ Segala sesuatu yang mengantarkan dirinya pada pada Syuhroh ( pusat perhatian ) , maka hak dia adalah dijauhi “.

2. Dari Sufyan ats-Tsaury , berkata :

" إِيَاكَ وَالشَّهْرَةَ؛ فَمَا أَتَيْتَ أَحَدًا إِلَّا وَقَدْ نَهَى عَنْ الشَّهْرَةِ"

Waspadalah terhadap popularitas , maka tidak sekali-kali aku mendatangi seseorang kecuali dia telah melarang popularitas “.

3. Ibrahim bin Adham berkata :

" مَا صَدَقَ اللَّهَ عَبْدٌ أَحَبَّ الشَّهْرَةَ. "

“Seorang hamba yang cinta popularitas , tidak percaya Allah “.

4. Ayyub as-Sakhtiyani berkata :

" مَا صَدَقَ عَبْدٌ قَطُّ، فَأَحَبَّ الشَّهْرَةَ. "

“ Tidak sekali-kali seorang hamba tidak percaya kepada Allah , maka dia mencintai popularitas“.

5. Bisyer bin al-Haarits berkata :

 " مَا اتَّقَى اللَّهَ مَنْ أَحَبَّ الشَّهْرَةَ"

“Seorang hamba yang cinta popularitas , tidaklah bertaqwa kepada Allah “.  ( Washaya As Salaf wal Fuqaha No. 63)

6. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah berkata:

إِنَّ الشَّهْوَةَ الْخَفِيَّةَ: حُبُّ اطْلَاعِ النَّاسِ عَلَى الْعَمَلِ.

Sesungguhnya syahwat tersembunyi itu adalah suka menampakkan amal kebajikan di hadapan manusia. (Washaya As Salaf wal Fuqaha No. 62).

====

SYAIR IBNU AL-MUBARAK TENTANG CELAAN JUALAN AGAMA

Nasihat Al-Imam Ibnu al-Mubarok rahimahullah (wafat 181 H) kepada Ibnu ‘Ulayyah rahimahullah:

يَا جَاعِلَ الْعِلْمِ لَهُ بَازِيًا *

يَصْطَادُ أَمْوَالَ الْمَسَاكِينِ احْتَلَّتْ لِلدُّنْيَا وَلَذَاتِهَا *

بِحِيْلَةٍ تَذْهَبُ بِالدِّيْنِ فَصِرْتَ مَجْنُوْنًا بِهَا بَعْدَمَا *

كُنْتَ دَوَاءً لِلْمَجَانِيْنَ أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِيْمَا مَضَى *

عَنْ ابْنِ عَوُنَ وَابْنِ سِيْرِيْنَ وَدَرْسِكَ الْعِلْمِ بِآثَارِهِ *

فِي تَرْكِ أَبْوَابِ السُّلاَطِيْنَ تَقُوْلُ: أُكْرِهْتُ، فَمَاذَا كَذَا *

زَلَّ حِمَارُ الْعِلْمِ فِي الطِّيْنِ لَا تَبْعَ الدِّيْنَ بِالدُّنْيَا كَمَا *

يَفْعَلُ ضَلَالُ الرُّهَابِيْنَ

“Wahai orang yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan untuk menjaring harta orang-orang miskin,

diambil demi dunia dan kesenangannya.

Dengan tipu daya engkau menghilangkan agama,

lalu engkau menjadi orang yang gila setelah dulunya engkau adalah obat bagi orang-orang gila.

Di manakah riwayat-riwayatmu yang lampau dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin.

Dan manakah ilmu yang kamu pelajari dengan atsar-atsarnya yang berisi anjuran untuk meninggalkan pintu-pintu penguasa? Kamu berkata: “Aku terpaksa.” Lalu apa?

Demikianlah keledai ilmu tergelincir di tanah liat yang basah.

Janganlah kamu jual agama dengan dunia sebagaimana perbuatan para rahib yang sesat.” (“Siyar A’lamin Nubala”/9/110).

****

SARAN DAN PERTIMBANGAN !

Sebelum memutuskan hukum yang ditarjih dari 5 pendapat diatas, maka sebaiknya perhatikan sabda-sabda Nabi berikut ini :

Pertama : Rasulullah  bersabda : 

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

”Tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu, dan kerjakanlah sesuatu yang tidak membuatmu ragu.” 

(HR. At Tirmidzi no. 2518, an-Nasa’i no. 5711 dan Ahmad no. 1723. At Tirmidzi berkata: Bahwa hadits ini derajatnya hasan shahih)

Dishahihkan sanadnya oleh al-Albaani dalam al-Irwaa 1/44.

Kedua : Rasulullah  bersabda: 

(إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهيَ اْلقَلْبُ)

”Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang (samar), tidak diketahui oleh mayoritas manusia.

Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya.

Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram, seperti  seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima), dikhawatirkan dia akan masuk ke dalamnya.

Ketahuilah, bahwa setiap raja itu mempunyai hima (tanah larangan), ketahuilah bahwa hima Allah subhanahu wa ta’ala adalah segala yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan.

Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging. Apabila daging tersebut baik maka baik pula seluruh tubuhnya dan apabila daging tersebut rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah kalbu (hati). [HR. Imam al Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599]

Ketiga : Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah bersabda :

« لَا يدْخُلُ الْجنَّة لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ وكلُّ لحَمْ نبَتَ مِنْ سُحْتٍ فالنَّارُ أوْلى بِه »

Artinya : " Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari yang haram . Dan setiap daging yang tumbuh dari yang haram , maka api neraka lebih berhak dengannya ".

(HR. Tabrany 19/135 , Darimi 2/318 , Ibnu Hibban ( no. 1569 dan 1570 ) , Hakim 4/127, Baihaqi di Sya'bul Iman 2/172/2 dan Imam Ahmad 3/321 dan 399 ) .

Di Shahihkan Al-Albaany dlm Shahih Tirmidzi no. 614 . Dan beliau mengatakan di Silsilah Shahihah 6/108 : Sanadnya Jayyid / bagus sesuai syarat Muslim .

SELESAI . ALHAMDULILAH . SEMOGA BERMANFAAT !!!!


 

 

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar