Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KEWAJIBAN BER AMAR MARUF NAHYI MUNKAR DAN KUTUKAN BAGI YANG MENINGGALKANNYA

KEWAJIBAN BER AMAR MAR'UF NAHYI MUNKAR DAN KUTUKAN BAGI YANG MENINGGALKAN-NYA

****

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---


===

DAFTAR ISI:

PERTAMA: HUKUM BER AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR [2]

  • APAKAH YANG BERAMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ITU HARUS BERILMU, AHLI IBADAH DAN BERMANHAJ TERTENTU? [11]
  • SIKAP PARA SALAF KETIKA DI KATAKAN PADANYA: “BERTAQWA LAH KEPADA ALLAH !” [15].

KEDUA: TRAGEDI KUTUKAN PENDUDUK ELIYA AKIBAT MENGABAIKAN NAHYI MUNKAR

A. LARANGAN BERBURU IKAN DI HARI SABTU [16]

B. TAFSIR DAN KISAH SINGKAT [18].

C. RINGKASAN: KRONOLOGI PELANGGARAN BERBURU IKAN DI HARI SABTU sbb:

  • Pertama: Merubah syariat hari khusus ibadah dari Jum’at ke hari Sabtu [19]
  • Kedua: Larangan berburu ikan di hari Sabtu [19]
  • Ketiga: Ujian melimpahnya ikan di hari Sabtu dan langka nya ikan di hari selainnya [19]
  • Keempat: Tipu Daya terhadap larangan. Yang diawali oleh satu orang [19]
  • Kelima: Dampak pelanggaran yang dikemas dengan Kilah oleh satu orang terhadap masyarakat [20]
  • Keenam: Masyarakat Eilia terpecah menjadi 3 kelompok [20]

D. RINCIAN TAFSIR KISAH KUTUKAN BAGI PENDUDUK EILIA YANG BERBURU IKAN DI HARI SABTU [22]

E. RIWAYAT-RIWAYAT TENTANG TRAGEDI HARI SABTU [23].

F. TAFSIR FIRMAN ALLAH SWT TENTANG KUTUKAN MENJADI KERA DAN BABI [29]

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

PERTAMA: HUKUM BER AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR:

Para ulama sepakat dan ber Ijma’bahwa amar ma'ruf nahi munkar itu hukum nya wajib. Al-Imam al-Qurthubi berkata dalam Tafsirnya “Al-Jāmi‘ li Akām al-Qur’ān”, 6/188:

" الْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ فَرْضٌ لِمَنْ أَطَاقَهُ وَأَمِنَ الضَّرَرَ عَلَى نَفْسِهِ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ خَافَ فَيُنْكِرْ بِقَلْبِهِ وَيَهْجُرْ ذَا الْمُنْكَرِ وَلَا يُخَالِطْهُ".

Ibnu Athiyyah berkata: “Telah ada ketetapan Ijma Ulama bahwa Nahyi Munkar adalah fardlu (kewajiban) bagi orang yang memiliki kemampuan dan aman dari bahaya pada dirinya sendiri dan kaum Muslimin. Jika dia takut, maka dia cukup mengingkarinya dalam hatinya dan meninggalkan kemungkaran tsb dan tidak bercampur baur dengan kemungkaran tsb.

Dan al-Imam An-Nawawi berkata:

وَأَمَّا قَوْلُهُ: "فَلْيُغَيِّرْهُ" فَهُوَ أَمْرُ إِيجَابٍ بِإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ، وَقَدْ تَطَابَقَ عَلَى وُجُوبِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ، وَهُوَ أَيْضًا مِنَ النَّصِيحَةِ الَّتِي هِيَ الدِّينُ، وَلَمْ يُخَالِفْ فِي ذَلِكَ إِلَّا بَعْضُ الرَّافِضَةِ، وَلَا يُعْتَدُّ بِخِلَافِهِمْ، كَمَا قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْمَعَالِي إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ: لَا يُكْتَرَثُ بِخِلَافِهِمْ فِي هَذَا، فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَنْبُغَ هَؤُلَاءِ، وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ.

Adapun sabdanya, “maka hendaklah ia mengubahnya,” itu adalah perintah yang bersifat wajib menurut ijmak umat. Telah sepakat bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijmak umat. Ia juga termasuk bagian dari nasihat yang merupakan bagian dari agama. Tidak ada yang menentang hal ini kecuali sebagian kelompok Rafidhah, dan perbedaan pendapat mereka tidak dianggap, sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Al-Ma’ali, Imam Al-Haramain: “Tidak perlu memperhatikan perbedaan pendapat mereka dalam hal ini, karena umat Islam telah berijmak atasnya sebelum mereka muncul, dan kewajibannya ditetapkan oleh syariat, bukan oleh akal.”

[Baca : *Al-Minhāj fī Syar aḥīḥ Muslim*, 2/22, cetakan pertama 1929 M, Al-Mabaah Al-Miriyyah bil-Azhar].

Allah swt berfirman:

﴿كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ﴾

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik “. [QS. Ali Imran : 110].

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا دخَلَ النَّقْصُ عَلَى بَنِي إِسْرائيلَ أَنَّه كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى الرَّجُلَ فَيَقُولُ: يَا هَذَا اتَّق اللَّه وَدعْ مَا تَصْنَعُ فَإِنَّهُ لاَ يَحِلُّ لَكَ، ثُم يَلْقَاهُ مِن الْغَدِ وَهُو عَلَى حالِهِ، فَلا يمْنَعُه ذلِك أَنْ يكُونَ أَكِيلَهُ وشَرِيبَهُ وَقعِيدَهُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ ضَرَبَ اللَّه قُلُوبَ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ"

ثُمَّ قَالَ: ﴿لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ تَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ﴾ إِلَى قوله ﴿فَاسِقُونَ ﴾ [المائدة: 78،81]

ثُمَّ قَالَ: "كَلاَّ، وَاللَّه لَتَأْمُرُنَّ بالْمعْرُوفِ، وَلَتَنْهوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، ولَتَأْخُذُنَّ عَلَى يَدِ الظَّالِمِ، ولَتَأْطِرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ أَطْراً، ولَتقْصُرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ قَصْراً، أَوْ لَيَضْرِبَنَّ اللَّه بقُلُوبِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ، ثُمَّ لَيَلْعَنكُمْ كَمَا لَعَنَهُمْ"

‘Sesungguhnya kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Isra’il ialah ketika seseorang bertemu kawannya yang sedang berbuat kemungkaran, lalu dia menegurnya:

‘Ya fulan! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang kamu perbuat karena itu tidak halal bagimu ’.

Kemudian pada esok harinya mereka berdua bertemu lagi, sedangkan ia masih berbuat maksiat yang sama, maka ia sudah tidak mau mencegahnya dari lagi. Bahkan ia menjadi teman makan minum dan teman duduknya. Lalu ketika mereka melakukan hal seperti itu, maka Allah menutup mata hati sebagian mereka dengan sebagian yang lain, kemudian Allah SWT berfirman:

﴿لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ. تَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ. وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَٰكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ﴾

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.

Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Kalian melihat kebanyakan dari mereka saling tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.

Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi wali-wali (pemimpin atau penolong), tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Qs. Al Maaidah: 78-81).

Kemudian Rasulullah bersabda:

"كَلاَّ، وَاللَّه لَتَأْمُرُنَّ بالْمعْرُوفِ، وَلَتَنْهوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، ولَتَأْخُذُنَّ عَلَى يَدِ الظَّالِمِ، ولَتَأْطِرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ أَطْراً، ولَتقْصُرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ قَصْراً، أَوْ لَيَضْرِبَنَّ اللَّه بقُلُوبِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ، ثُمَّ لَيَلْعَنكُمْ كَمَا لَعَنَهُمْ"

“Janganlah seperti mereka. Demi Allah! kalian harus memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan mengambil hak dari tangan orang zhalim, dan kalian harus benar-benar mengembalikannya ke jalan yang hak dan kalian juga harus benar-benar membatasinya dalam hak tersebut. Jika kalian tidak berbuat demikian, maka Allah akan menutup mata hati sebagian kalian dengan sebagian yang lain, kemudian melaknat kalian, sebagaimana Allah melaknat mereka.”

(HR. Abu Dawud (4336), Al-Tirmidzi (2/175), Ibn Majah (4006), Al-Tahawi dalam “Al-Mushkal” (2/61-62), Ibn Jarir dalam “Al-Tafsir ” (6/305) dan Ahmad dalam “Al-Musnad” (1/391)

Dalam lafazh hadits yang diriwayatkan Tirmidzi adalah Rasulullah bersabda,

لمَّا وقعَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ في المَعَاصِي نهاهُمْ عُلَماؤُهُمْ فلمْ يَنْتَهوا فَجَالَسُوهُمْ في مَجَالِسِهمْ ووَاكَلوهُمْ وشَارَبُوهُمْ فَضربَ اللهُ قُلوبَ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ ولَعَنَهُمْ على لسانِ دَاوُدَ وعِيسَى ابنِ مريمَ ذلكَ بِما عَصَوْا وكَانُوا يَعْتَدُونَ فجلسَ رسولُ اللهِ وكان مُتَّكِئًا فقال لا والذي نَفسي بيدِهِ حتى تَأْطُرُوهُمْ على الحَقِّ أَطْرًا


“Ketika kemaksiatan sudah melanda pada Bani Isra’il, maka para ulama mereka berusaha melarangnya, akan tapi mereka tidak mau berhenti melakukannya. Sehingga para ulama mereka ikut serta duduk – duduk dalam majelis mereka, dan makan minum bersama, maka Allah menutup hati mereka dan melaknat mereka, melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam, disebabkan kemaksiatan mereka yang melampui batas “.

Ketika itu Rasulullah duduk bersandar, dan bersabda, ”Tidak, demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, kalian harus membelokkan mereka dan menghentikannya kepada yang benar”.

Derajat kesahihan hadits:

Abu Isa At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan”.

Namun Hadits Ini di Dhoifkan oleh syeikh al-Albaani dalam “Silsilah Al Ahadits Adh-Dhaifah hadits no. 1105; Dhaif Sunan At-Tirmidzi hadits no. 582; Dha’if Sunan Abu Daud hadits no. 932; Dha ‘if Sunan Ibnu Majah hadits no. 867; Al Misykah hadits no. 5148” dan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam “Takhrij Riyadhush-Shalihin hadits no. 196”.

Hadits ini sanadnya dha’if karena ada Abu Ubaidah bin Abduliah bin Mas’ud; ia tidak mendengar sendiri riwayat hadits tersebut, melainkan dari bapaknya, sebagaimana dijelaskan oleh At-Tirmidzi, sehingga hadits ini hukumnya munqati’ (terputus sanadnya).

Ibnu Hibban menegaskan bahwa ia (Abu Ubaidah) sama sekali tidak pernah mendengar sesuatupun dari bapaknya”. Hal ini juga diakui oleh Al Hafizh AI Mizzi (di Tahdzib At-Tahdzib), dan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani.

KUTIPAN DARI TAFSIR IBNU KATSIR:

Al-Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir nya ketika menafsiri ayat 78-81 dari surat al-Maidah, beliau berkata:

وَالأَحَادِيثُ فِي الأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ كَثِيرَةٌ جِدًّا، وَلَنَذْكُرْ مِنْهَا مَا يُنَاسِبُ هَذَا الْمَقَامَ.

“Hadits-hadits yang menerangkan tentang amar ma’ruf dan nahi munkar banyak sekali jumlahnya. Berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini.

PENULIS KATAKAN:

Kemudian setelah itu Ibnu Katsir menyebutkan hadits-hadits berikut ini lengkap dengan sanad nya. Namun untuk mempersingkat di sini penulis akan menyebutkannya tanpa sanad:

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Huzaifah ibnul Yaman, bahwa Nabi bersabda:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لتَأمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ولَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ، أَوْ ليُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقابًا مِنْ عِنْدِهِ، ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيبُ لَكُمْ".

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian benar-benar harus memerintahkan kepada kebajikan dan melarang terhadap kemungkaran, ataukah benar-benar dalam waktu yang dekat Allah akan menimpakan suatu siksaan dari sisi¬Nya kepada kalian, kemudian kalian benar-benar berdoa memohon kepada-Nya, tetapi Dia tidak memperkenankan bagi kalian.

Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ali ibnu Hajar, dari Ismail ibnu Ja'far dengan sanad yang sama, lalu Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:

"مُروا بِالْمَعْرُوفِ، وانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، قَبْلَ أَنْ تَدْعوا فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ".

Ber-amar ma’ruf-lah dan ber-nahi munkar-lah kalian sebelum (tiba masanya) kalian berdoa, lalu tidak diperkenankan bagi kalian.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid, dan Asim orangnya tidak dikenal.

Di dalam kitab Sahih dengan sanadnya dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah . bersabda:

"مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ"

“Barang siapa dari kalangan kalian melihat perkara mungkar (dikerjakan), hendaklah ia mencegahnya dengan tangan (kekuasaan)njva. Jika ia tidak mampu, cegahlah dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu, hendaklah hatinya mengingkarinya; yang demikian itu merupakan iman yang paling lemah”.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua jalur sanadnya dari Addi ibnu Umairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ لَا يُعذِّب العامَّة بعَمَلِ الْخَاصَّةِ، حَتَّى يَرَوا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرانيْهِم، وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ. فَلَا يُنْكِرُونَهُ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَذَّبَ اللَّهُ الْعَامَّةَ وَالْخَاصَّةَ".

Sesungguhnya Allah tidak mengazab orang awam karena perbuat¬an orang-orang khusus sebelum mereka (orang-orang khusus) melihat perkara mungkar dikerjakan di hadapan mereka, sedangkan mereka berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya. Maka apabila mereka berbuat demikian, barulah Allah mengazab orang-orang khusus dan orang-orang awam.

Abu Daud meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-‘Urs (العُرْس : yakni Ibnu Umairah), dari Nabi yang telah bersabda:

"إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَها فكَرِهَها -وَقَالَ مَرَّةً: فَأَنْكَرَهَا-كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَها كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا."

Apabila perbuatan dosa dilakukan di bumi, maka orang yang menyaksikannya lalu membencinya - dan di lain waktu beliau mengatakan bahwa lalu ia memprotesnya - maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak menyaksikannya Dan barang siapa yang tidak menyaksikannya, tetapi ia rela dengan perbuatan dosa itu, maka kedudukannya sama dengan orang yang menyaksikannya (dan menyetujuinya).

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.

Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Abu Syihab, dari Mugirah ibnu Ziyad, dari Addi ibnu Addi secara mursal.

Abu Daud meriwayatkan dengan sanadnya dari Abul Bakhtari dari orang yang pernah mendengar dari Nabi Dan juga Sulaiman mengatakan, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi bahwa Nabi pernah bersabda:

"لَنْ يَهْلَكَ النَّاسُ حَتَّى يعْذِروا - أَوْ: يُعْذِروا - مِنْ أَنْفُسِهِمْ".

“Manusia tidak akan binasa sebelum mereka mengemukakan alasannya - atau diri mereka dimaafkan – “.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa Rasulullah
berdiri menyampaikan khutbahnya, antara lain beliau mengatakan:

"أَلَّا لَا يَمْنَعْنَ رَجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ الْحَقَّ إِذَا عَلِمَهُ".

“Ingatlah !, jangan sekali-kali seorang lelaki merasa enggan karena takut kepada manusia (orang lain) untuk mengatakan perkara yang hak jika ia mengetahuinya”.

Abu Nadhrah melanjutkan kisahnya:

فَبَكَى أَبُو سَعِيدٍ وَقَالَ: قَدْ - وَاللَّه - رَأَيْنَا أَشْيَاءَ، فَهِبْنَا.

"Setelah mengemukakan hadits ini Abu Sa'id menangis, lalu berkata: 'Demi Allah, kami telah melihat banyak hal, tetapi kami takut (kepada orang lain)'."

Di dalam hadits Israil, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ".

“Jihad yang paling utama ialah perkataan yang hak di hadapan sultan yang zalim”.

Hadits ini riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini, hadits berpredikat hasan garib.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Umamah yang menceritakan:

عَرَض لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رجلٌ عِنْدَ الجَمْرة الْأُولَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ فَسَكَتَ عَنْهُ. فَلَمَّا رَمَى الْجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ سَأَلَهُ، فَسَكَتَ عَنْهُ. فَلَمَّا رَمَى جَمْرَةَ العَقَبة، وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الغَرْز لِيَرْكَبَ، قَالَ: "أَيْنَ السَّائِلُ؟ " قَالَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ جَائِرٍ".

“Bahwa seorang lelaki menghadap kepada Rasulullah ketika beliau berada di jumrah pertama, lalu lelaki itu berkata: "Wahai Rasulullah, apakah jihad yang paling utama itu?"

Rasulullah diam, tidak menjawab. Ketika beliau melempar jumrah kedua, lelaki itu kembali bertanya, tetapi Nabi , tetap diam. Setelah Nabi melempar jumrah 'aqabah, lalu meletakkan kakinya pada pijakan pelana kendaraannya untuk mengendarainya, maka beliau bertanya:

"Di manakah orang yang bertanya tadi?". Lelaki itu menjawab: "Saya, wahai Rasulullah."

Rasulullah bersabda: ”Kalimah hak yang diucapkan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang”.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"لَا يَحْقِر أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يَحْقِرُ أَحَدُنَا نَفْسَهُ؟. قَالَ: "يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ فِيهِ مَقَال، ثُمَّ لَا يَقُولُ فِيهِ. فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَقُولَ فِيَّ كَذَا وَكَذَا وَكَذَا؟ فَيَقُولُ: خَشْيَةَ النَّاسِ، فَيَقُولُ: فَإِيَّايَ كُنْتُ أَحَقَّ أَنْ تَخْشَى".

"Janganlah seseorang di antara kalian menghina dirinya sendiri.”

Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang di antara kami menghina dirinya sendiri?”

Rasulullah menjawab: "(Bila) ia melihat suatu urusan menyangkut Allah yang harus diluruskannya, kemudian ia tidak mau mengatakannya. Maka kelak di hari kiamat Allah akan berfirman kepadanya, 'Apakah yang menghalang-halangi kamu untuk mengatakan hal yang benar mengenai Aku dalam masalah anu, anu, dan anu?' Maka ia menjawab, 'Takut kepada manusia (orang lain).' Maka Allah berfirman, 'Sebenarnya Akulah yang harus engkau takuti'."

Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini secara munfarid.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يَقُولَ: مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللَّهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ، قَالَ: يَا رَبِّ، رَجَوْتُكَ وفَرقْتُ مِنَ النَّاسِ".

Sesungguhnya Allah menanyai hamba-hamba-Nya di hari kiamat, sehingga Dia mengatakan, "Apakah yang menghalang-halangimu ketika kamu melihat perkara mungkar untuk mengingkarinya?” Apabila Allah telah mengajarkan kepada seorang hamba alasan yang dikemukakannya, maka hamba itu berkata "Wahai Tuhanku, saya telah berharap kepada-Mu oleh karena itu saya pun rela meninggalkan manusia."

Hadits ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid, dan sanadnya boleh dipakai.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جُنْدَب، عَنْ حُذَيْفَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Huzaifah, bahwa Nabi bersabda:

"لا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ". قِيلَ: وَكَيْفَ يُذِلُّ نَفْسَهُ؟ قَالَ: "يَتَعَرَّضُ مِنَ الْبَلَاءِ لِمَا لَا يُطِيقُ".

"Tidak layak bagi seorang muslim menghina dirinya sendiri.”

Ketika ditanyakan: "Bagaimanakah seseorang dapat menghina dirinya sendiri?”

Nabi menjawab: "Melibatkan dirinya ke dalam bencana yang tidak mampu dipikulnya.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah, semuanya dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Amr ibnu Asim dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, hadits ini (kalau bukan) hasan (berarti) garib.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas ibnu Malik RA, di berkata:

قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَتَى يُتْرَكُ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ؟ قَالَ: "إِذَا ظَهَر فِيكُمْ مَا ظَهَر فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا ظَهَرَ فِي الْأُمَمِ قَبْلَنَا؟ قَالَ: "المُلْك فِي صِغَارِكُمْ، وَالْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ، وَالْعِلْمُ فِي رُذالكم". قَالَ زَيْدٌ: تَفْسِيرُ مَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:" "وَالْعِلْمُ فِي رُذالكم": إِذَا كَانَ الْعِلْمُ فِي الفُسَّاق.

Pernah di tanyakan: “Wahai Rosulullah, kapan kah amar ma’ruf dan nahyi munkar di tinggalkan ?

Maka Rasulullah menjawab: ”Apabila muncul di kalangan kalian hal-hal yang pernah muncul di kalangan umat-umat sebelum kalian “.

Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang pernah muncul di ka¬langan umat-umat sebelum kami?"

Rasulullah bersabda: Kerajaan (kekuasaan) di tangan orang-orang kecil kalian, perbuatan keji dilakukan di kalangan para pembesar kalian, dan ilmu berada di tangan orang-orang rendahan kalian.

Zaid mengatakan sehubungan dengan makna sabda Nabi yang mengatakan: ”Dan ilmu di tangan orang-orang rendahan kalian “. Makna yang dimaksud ialah: “bilamana ilmu dikuasai oleh orang-orang yang fasik “.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid. (Kutipan dari Ibnu Katsir SELESAI).

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadits Jabir, yaitu pada tafsir firman-Nya:

﴿لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ﴾

Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Maidah: 63)

Ibnu Katsir dalam kitab “Tafsir” nya ketika menafsir kan ayat di atas, beliau berkata:

Yakni mengapa para penguasa dan pendeta-pendeta mereka tidak mau melarang mereka melakukan hal tersebut.

Yang dimaksud dengan rabbaniyyun ialah para penguasa yang juga orang alim mereka, sedang¬kan yang dimaksud dengan pendeta adalah para ulama saja.

﴿لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ﴾

Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Maidah: 63)

Yaitu karena para penguasa dan para pendeta itu tidak mau melarang para pengikut mereka dari hal tersebut. Demikianlah menurut penafsiran Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dikatakan demikian kepada mereka di saat mereka tidak melakukan nahyi munkar dan di saat mereka mengerjakan hal-hal yang diharamkan.

Abdur Rahman ibnu Zaid melanjutkan perkataannya, bahwa memang kenyataannya demikian; mereka mengerjakan hal-hal yang diharamkan, padahal mereka mengetahui bahwa itu diharamkan. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Jarir – meriwayatkan dengan sanadnya - dari Ibnu Abbas yang mengatakan:

“Bahwa dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang sangat keras celaannya selain dari ayat ini, yaitu firman-Nya:

﴿لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ﴾

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bahaya dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu “.

Demikianlah menurut qiroo’ah yang diutarakan oleh Ibnu Abbas, kata Ibnu Jarir.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dhahhak:

"Tiada suatu ayat pun dalam Al-Qur'an yang lebih aku takuti daripada ayat ini, yaitu bila kami tidak melakukan nahi munkar ". Demikianlah menurut Ibnu Jarir.

Ibnu Abu Hatim dan Yunus ibnu Habib – meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya ibnu Ya'mur yang menceritakan: Bahwa Ali ibnu Abu Talib berkhotbah. Untuk itu, ia memulainya dengan mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt, kemudian berkata:

"Hai manusia, sesungguhnya telah binasa umat sebelum kalian hanyalah karena mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat dan para pendeta serta para penguasa mereka tidak melarangnya. Setelah mereka berkepanjangan dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka siksaan datang menimpa mereka.

Karena itu, ber-amar maruf-lah kalian dan ber-nahi munkar-lah kalian, sebelum azab yang pernah menimpa mereka menimpa kalian. Dan perlu kalian ketahui bahwa melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar itu tidak akan memutuskan rezeki dan tidak akan menyegerakan ajal."

Imam Ahmad - meriwayatkan dengan sanadnya - dari Al-Mundzir ibnu Jarir, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"مَا مِنْ قَوْمٍ يَكُونُ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ مَنْ يَعْمَلُ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ مِنْهُ وَأَمْنَعُ، لَمْ يُغَيِّرُوا، إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعَذَابٍ".

Tidak sekali-kali suatu kaum yang di hadapan mereka terdapat orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan durhaka, padahal mereka lebih kuat dan lebih perkasa daripada dia, lalu mereka tidak mencegahnya, kecuali Allah menimpakan azab kepada mereka karena ulah orang itu.

Hadits tersebut bila ditinjau dari segi ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.

Abu Daud - meriwayatkan dengan sanadnya - dari Al-Munzir ibnu Jarir, dari Jarir bahwa Rasulullah bersabda:

"مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يَعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي، يَقْدِرُونَ أَنْ يُغِّيرُوا عَلَيْهِ، فَلَا يُغَيِّرُونَ إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ قَبْلَ أَنْ يَمُوتُوا".

“Tiada seorang pun dalam suatu kaum mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan mereka berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka suatu siksaan sebelum mereka mati”.

Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanadnya dari Ubaidillah ibnu Jarir, dari ayahnya dengan lafaz yang sama

Al-Hafiz Al-Mazzi mengatakan bahwa hal yang sama telah diri¬wayatkan oleh Syu'bah, dari Abu Ishaq, dengan lafaz yang sama. (Kutipan dari Ibnu Katsir SELESAI).

****

APAKAH YANG BERAMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ITU HARUS BERILMU, AHLI IBADAH DAN BERMANHAJ TERTENTU ?

Imam at-Turmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Qais bin Abu Hazim dari Abu Bakar Ash Shiddiq ia berkata:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ﴾ وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا ظَالِمًا فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ

“Hai manusia, sesungguhnya kalian sering membaca ayat ini Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudhorot kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk “. (QS Al Ma`idah: 105)

Dan sesungguhnya aku mendengar Rosulullah bersabda:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا ظَالِمًا فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ

“Sesungguhnya jika manusia melihat orang yang berbuat dzalim, namun mereka tidak mencegahnya, hampir saja Allah meratakan siksaan kepada mereka semuanya.”

(HR. Turmudzi no. 2168, Abu Daud no. 4338, Ibnu Majah no. 4005, Abu Ya’la no. 127 cet. Makt Ilmiyah, Ibnu Hibban “موارد الظمآن” 1837 dan Thabroni “مكارم الأخلاق” no. 79)

Abu Isa Turmudzi mengatakan:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ نَحْوَ هَذَا الْحَدِيثِ مَرْفُوعًا وَرَوَى بَعْضُهُمْ عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَوْلَهُ وَلَمْ يَرْفَعُوهُ

“Bahwa Haditst ini Hasan Shahih. Dan diriwayatkan dari beberapa perawi dari Isma’il bin Abu Kholid seperti Hadits ini secara Marfu’, dan sebagian yang lain meriwayatkan dari Isma’il dari Qais dari Abu Bakar mengenai perkataannya tersebut, namun ia tidak memarfu’kan.” (Di Kutip dari Tafsir Ibnu Katsir).

Hadits ini di Shahihkan oleh Ibnu al-Arabi dalam (“An-Nāsikh wa Al-Mansūkh”, jilid 2 halaman 205) . Dan oleh Syeikh al-Albaani dlm Shahih Turmudzi no. 2168, Shahih Abi Daud no. 4338, as-silsilah ash-Shahiihah no. 1563 dan shahih at-Targhiib no. 2317. Dan di shahihkan pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dlm Takhriij Sunan Abdi Daud no. 4338.

Ibnu Rojab berkata:

وَمَعَ هَذَا كُلِّهِ فَلَا بُدَّ لِلْإِنسَانِ مِنَ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْوَعْظِ وَالتَّذْكِيرِ، وَلَوْ لَمْ يَعِظْ إِلَّا مَعْصُومٌ مِنَ الزَّلَلِ لَمْ يَعِظِ النَّاسَ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ، لِأَنَّهُ لَا عِصْمَةَ لِأَحَدٍ بَعْدَهُ.

“Terlepas dari semua ini, seseorang harus menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran, memberikan nasihat (مَوْعِظَة) dan mengingatkan. Dan jika saja tidak diperbolehkan memberikan nasihat (مَوْعِظَة) kecuali orang yang ma’shum (orang yang terjaga dari dosa), maka orang-orang tidak akan berdakwah setelah Rasulullah ; karena tidak ada kema’shuman bagi siapa pun setelah Beliau “.

Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan sebuah Syair:

لَئِنْ لَمْ يَعِظِ النَّاسَ مَنْ هُوَ َمُذنِبٌ *** فَمَنْ يَعِظُ العَاصينَ بَعْدَ مُحَمَّدِ؟!

“Jika orang tidak menegur mereka yang bersalah *** lalu siapa yang akan menegur orang berdosa setelah Muhammad?! (Baca: Tafsir Ibnu Rojab 2/423-424).

Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu menulis kepada beberapa wakilnya di beberapa daerah sebuah kitab yang terdapat nasihat dan maw’idzoh di dalamnya, dan dia berkata di akhir kitab itu:

وَإِنِّي لَأَعِظُكَ بِهَذَا، وَإِنِّي لَكَثِيرُ الْإِسْرَافِ عَلَى نَفْسِي، غَيْرُ مُحْكِمٍ لِكَثِيرٍ مِنْ أَمْرِي، وَلَوْ أَنَّ الْمَرْءَ لَا يَعِظُ أَخَاهُ حَتَّى يُحْكِمَ نَفْسَهُ، إِذًا لَتَوَاكَلَ النَّاسُ الْخَيْرَ، وَإِذًا لَرُفِعَ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَإِذًا لَاسْتُحِلَّتِ الْمَحَارِمُ، وَقَلَّ الْوَاعِظُونَ وَالسَّاعُونَ لِلَّهِ بِالنَّصِيحَةِ فِي الْأَرْضِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ وَأَعْوَانَهُ يَوَدُّونَ أَنْ لَا يَأْمُرَ أَحَدٌ بِمَعْرُوفٍ وَلَا يَنْهَى عَنْ مُنْكَرٍ، وَإِذَا أَمَرَهُم أَحَدٌ أَوْ نَهَاهُمْ، عَابُوهُ بِمَا فِيهِ وَبِمَا لَيْسَ فِيهِ. كَمَا قِيلَ:

وَأَعْلَنَتِ الْفَوَاحِشُ فِي الْبَوَادِي ... وَصَارَ النَّاسُ أَعْوَانَ الْمُرِيبِ

إِذَا مَا عِبْتُهُمْ عَابُوا مَقَالِي ... لِمَا فِي الْقَوْمِ مِنْ تِلْكَ الْعُيُوبِ

وَوَدُّوا لَوْ كَفَفْنَا فَاسْتَوَيْنَا ... فَصَارَ النَّاسُ كَالشَّيْءِ الْمَشُوبِ

وَكُنَّا نَسْتَطِبُّ إِذَا مَرِضْنَا ... فَصَارَ هَلَاكُنَا بِيَدِ الطَّبِيبِ

Dan sungguh aku nasihati Anda dengan ini, dan sesungguhnya aku ini banyak melampaui batas pada diri ku sendiri, dan aku kurang berhati-hati dalam banyak urusan ku.

Dan jika seseorang tidak mau menasehati saudaranya sampai dia menilai dirinya sendiri, maka kebaikan akan saling menyandarkan, dan amar ma’ruf nahyi munkar akan hilang terangkat, dan hal-hal yang diharamkan akan menjadi seperti yang halal, dan menjadi sedikitlah orang-orang yang menyampaikan nashihat dan orang-orang yang berjalan mencari ridho Allah di muka bumi.

Sementara Syeitan dan para pembantunya berharap agar tidak ada orang yang ber amar ma’ruf dan nahyi munkar. Dan jika ada seseorang menyuruh mereka atau melarang mereka, maka mereka menceala dan menghinanya dengan apa saja, baik dengan sesuatu yang ada kaitan di dalamnya maupun dengan sesuatu yang tidak ada kaitan di dalamnya.

Seperti yang dikatakan dalam syair-syair brkt ini:

وَأَعْلَنَتِ الْفَوَاحِشُ فِي الْبَوَادِي ... وَصَارَ النَّاسُ أَعْوَانَ الْمُرِيبِ

Kekejian tersebarluas secara terang-terangan hingga ke kampung-kampung padang sahara... dan orang-orang menjadi para penolong sesuatu yang membuat keraguan.

إِذَا مَا عِبْتُهُمْ عَابُوا مَقَالِي ... لِمَا فِي الْقَوْمِ مِنْ تِلْكَ الْعُيُوبِ

Jika aku tidak mencela mereka, mereka tetap akan mencela maqalah ku... dikarenakan pada orang-orang tsb terdapat aib-aib seperti itu

وَوَدُّوا لَوْ كَفَفْنَا فَاسْتَوَيْنَا ... فَصَارَ النَّاسُ كَالشَّيْءِ الْمَشُوبِ

Mereka berharap agar kita berhenti (menasihati), maka kita menjadi sama dengan mereka... sehingga orang-orang menjadi seperti sesuatu yang tercampur noda

وَكُنَّا نَسْتَطِبُّ إِذَا مَرِضْنَا ... فَصَارَ هَلَاكُنَا بِيَدِ الطَّبِيبِ

Dan dulu kami biasa menggunakan obat sendiri jika kami sakit... Maka sekarang jadi berubah kematian kami ada di tangan dokter yang mengobati. (Baca: Tafsir Ibnu Rojab 2/424-425)

Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata dalam Tafsirnya “Al-Jāmi‘ li Akām al-Qur’ān”, jilid 6, halaman 188:

وَقَالَ حُذَّاقُ أَهْلِ الْعِلْمِ: وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِ النَّاهِي أَنْ يَكُونَ سَلِيمًا عَنْ مَعْصِيَةٍ بَلْ يَنْهَى الْعُصَاةُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

"Berkata Pakarnya ahlul ilmi: Bukanlah syarat orang yang mencegah dari kemungkaran harus orang yang selamat dari kemaksiatan, akan tetapi (wajib) bagi pelaku maksiat jug untuk saling melarang sebagian yang lain".

Kemudian Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata pula:

وَقَالَ بَعْضُ الْأُصُولِيِّينَ: فَرْضٌ عَلَى الَّذِينَ يَتَعَاطَوْنَ الْكُؤُوسَ أَنْ يَنْهَى بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِدَلِيلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ﴾، فَهَذَا يَقْتَضِي اشْتِرَاكَهُمْ فِي الْفِعْلِ وَذَمَّهُمْ عَلَى تَرْكِ التَّنَاهِي.

Dan sebagian para ulama ushul berkata: Wajib bagi orang yang melakukan minum minuman keras untuk saling melarang satu sama lain. Ini berdasarkan dalil Firman Allah Ta’ala:

﴿كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ﴾.

“Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.

Ayat ini menunjukkan bahwa masing-masing mereka dianggap ikut terlibat dalam perbuatan munkar dan celaan jika mereka meninggalkan Nahyi munkar “.(Lihat: Al-Jāmi‘ li Akām al-Qur’ān”, jilid 6, halaman 188).

Shahabat yang mulia Abu Darda' radhiyallahu ‘anhu berkata:

إِنِّي لآمُرُكُمْ بِالأَمْرِ وَمَا أَفْعَلُهُ ، وَلَكِنْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَأْجُرَنِي فِيهِ

"Sesungguhnya aku perintahkan kalian kepada (kebaikan) sedangkan aku tidak mengerjakannya, tetapi aku berharap mudah mudahan Allah memberiku pahala dengannya". (Lihat: “*Al-Madkhal ilā Sunan al-Kubrā* karya Al-Baihaqi no. 679).

Ada seseorang berkata kepada Al Hasan Al Bashri rahimahullah:

إنَّ فُلَانًا لَا يَعِظُ وَيَقُولُ: أَخَافُ أَنْ أَقُولَ مَا لَا أَفْعَلُ. فَقَالَ الْحَسَنُ: وَأَيُّنَا يَفْعَلُ مَا يَقُولُ ؟ وَدَّ الشَّيْطَانُ أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَذَا فَلَمْ يَأْمُرْ أَحَدٌ بِمَعْرُوفٍ وَلَمْ يَنْهَ عَنْ مُنْكَرٍ.

"Sesungguhnya fulan tidak mau memberi nasehat manusia, dan dia berkata: aku khawatir mengajak manusia kepada kebaikan tapi aku sendiri tidak mengerjakannya !

Maka Al Hasan Al Bashri berkata: siapakah diantara kita yang mengerjakan semua yang ia katakan?! dengan ini syaithan berharap agar kalian tidak mengajak kepada kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran". (*Ghid
ā al-Albāb*, jilid 1, halaman 215).

Berkata Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah:

وَلَوْ لَمْ يِعِظِ النَّاسَ إِلَّا مَعْصُومٌ مِنَ الزَّلَلِ، لَمْ يَعِظْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَدٌ لِأَنَّهُ لَا عِصْمَةَ لِأَحَدٍ بَعْدَهُ.

"Kalau seandainya tidak boleh memberi nasehat kecuali orang yang terjaga dari kesalahan saja (ma'shum), niscaya tidak akan ada orang yang memberi nasehat setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena tidak ada seorang pun yang ma'shum (terjaga dari kesalahan) setelah Beliau ". (Lihat “لطائف المعارف” hal. 19 dan tafsir Ibnu Rajab 2/423).

Dan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الْآمِرِ وَالنَّاهِي أَنْ يَكُونَ كَامِلَ الْحَالِ ، مُمْتَثِلًا مَا يَأْمُرُ بِهِ ، مُجْتَنِبًا مَا يَنْهَى عَنْهُ ، بَلْ عَلَيْهِ الْأَمْرُ وَإِنْ كَانَ مُخِلًّا بِمَا يَأْمُرُ بِهِ ، وَالنَّهْيُ وَإِنْ كَانَ مُتَلَبِّسًا بِمَا يَنْهَى عَنْهُ.

فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ شَيْئَانِ: أَنْ يَأْمُرَ نَفْسَهُ وَيَنْهَاهَا ، وَيَأْمُرَ غَيْرَهُ وَيَنْهَاه.

"Tidak disyaratkan bagi yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran harus sempurna dalam segala hal, melaksanakan semua yang ia serukan dan menjahui apa yang ia larang. tapi ia tetap (harus) menyerukan kebaikan meskipun ia masih kurang dalam melaksanakan yang ia serukan dan (kadang) masih jatuh dalam kesalahan yang ia cegah.

Sesungguhnya wajib baginya dua perkara:

  1. Mengajak dirinya (kepada kebaikan) dan mencegah (dari kemungkaran).
  2. Mengajak orang lain (kepada kebaikan) dan mencegah mereka dari (kemungkaran)". (Lihat: *Syar aḥīḥ Muslim*, halaman 223.).

Dan Nabi bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

"Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya". (HR. Muslim no. 1893)

****

SIKAP PARA SALAF KETIKA DI KATAKAN PADANYA: “BERTAQWA LAH KEPADA ALLAH !”

Dulu para salaf, jika dikatakan kepadnya: “takutlah kepada Allah !”, maka dia akan duduk menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla...

Allah swt berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal”. (QS. Al-Anfal: 2)

Berbeda dengan keadaan kita sekarang. Kadang ada diantara kita yang jika kita dinasihati:

“takutlah kepada Allah !

Maka merasa tersinggung, tidak terima, berontak dan protes dengan balik bertanya:

“Emang kita salah apa..??”

Atau : “Uruslah dirimu sendiri !”

Atau : “Emang saya merugikanmu “

Atau : “Lihatlah dulu dirimu sendiri !”

Yang demikian itu adalah karakter para penentang dakwah para nabi dan rasul terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

وَاِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللّٰهَ اَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْاِثْمِ فَحَسْبُهٗ جَهَنَّمُ ۗ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

Dan apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah,” bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya neraka Jahanam, dan sungguh (Jahanam itu) tempat tinggal yang terburuk. (QS. Al-Baqarah: 206)

Dan Allah SWT berfirman:

{يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ}

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) “. (QS. Luqman: 17).

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rosulullah bersabda:

" وَإِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: اتَّقِ اللَّهَ، فَيَقُولَ: عَلَيْكَ نَفْسَكَ"

“Dan sesungguhnya perkataan yang paling dibenci oleh Allah adalah ketika seseorang berkata kepada orang lain: “bertakwalah kamu kepada Allah “.'

Maka orang itu menjawab: “Kamu urus saja dirimu sendiri”

(HR. Nasaa’i dlm “السنن الكبرى” no. 9350, ath-Thabrani dlm “المعجم الكبير” no. 8509, Hannad as-Sirry dlm “الزهد” no. 920 dan Waki’ bin al-Jarraah dlm “الزهد” no. 286).

Syeikh al-Albaani dlm “Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah” (no.2598) berkata: “Sanadnya Shahih, para perawinya tsiqoot “.

Dan masih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rosulullah bersabda:

"إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الذَّنْبِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: اتَّقِ اللَّهَ، فَيَقُولَ: عَلَيْكَ نَفْسَكَ"

“Sesungguhnya salah satu dosa yang paling besar adalah ketika seseorang berkata kepada saudaranya: “Takutlah kepada Allah ! “, lalu dia berkata: “Kamu urus saja dirimu sendiri”.

Di shahihkan oleh Syeikh al-Albani dlm “Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah “6/1056.

===***===

KEDUA: TRAGEDI KUTUKAN PENDUDUK ELIYA AKIBAT MENGABAIKAN NAHYI MUNKAR

****

A. LARANGAN BERBURU IKAN DI HARI SABTU

Ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kutukan terhadap Bani Israil yang disebabkan oleh pelanggaran yang mereka lakukan dan meninggalkan ‘amar ma’ruf nahyi mungkar tersebar dalam beberapa ayat dan surat.

Diantaranya seperti dalam surat al-Baqarah ayat 65, 66, 89, 151, 161. Surat Ali Imran ayat 61. Surat an-Nisaa’ ayat: 46, 47. Surat Al-Maaidah ayat 13, 60, 61, 62, 63, 64, 78. Surat al-A’raf ayat 163, 164, 165, 166. Surat ar-Ra’d ayat 25

Berikut ini contoh beberapa ayat tentang kutukan terhadap meraka akibat pelanggaran hari Sabat / Sabtu serta meninggalkan amar maruf nahi munkar.

Pertama: dalam surat al-A’raf Allah swt berfirman:

﴿وَسْـَٔلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِيْ كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ ۘ اِذْ يَعْدُوْنَ فِى السَّبْتِ اِذْ تَأْتِيْهِمْ حِيْتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَّيَوْمَ لَا يَسْبِتُوْنَ ۙ لَا تَأْتِيْهِمْ ۛ كَذٰلِكَ ۛنَبْلُوْهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ )163( وَاِذْ قَالَتْ اُمَّةٌ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُوْنَ قَوْمًا ۙ ۨاللّٰهُ مُهْلِكُهُمْ اَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا ۗ قَالُوْا مَعْذِرَةً اِلٰى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ )164( فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖٓ اَنْجَيْنَا الَّذِيْنَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوْۤءِ وَاَخَذْنَا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا بِعَذَابٍۢ بَـِٔيْسٍۢ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ )165( فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَّا نُهُوْا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِـِٕيْنَ )166(

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa.”

Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.
Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang. Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al-A’raaf: 163-166).

Kedua: dalam surat Al-Baqarah, ayat 65-66, Allah SWT berfirman:

﴿وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ. فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ﴾

“Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang me¬langgar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera-kera yang hina."

Maka Ka¬mi jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 65-66).

Ketiga: Dalam surat “al-Maaidah” Allah SWT berfirman:

﴿قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (60) وَإِذَا جَاءُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَقَدْ دَخَلُوا بِالْكُفْرِ وَهُمْ قَدْ خَرَجُوا بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَكْتُمُونَ (61) وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (62) لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ (63) ﴾


“Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasan¬nya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan KERA dan BABI dan (orang yang) menyembah tagut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.

Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepada kalian, mereka mengatakan: "Kami telah beriman, " padahal mereka datang kepada kalian dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kalian) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) senantiasa bersegera untuk berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguh¬nya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.

Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maaidah: 60-53)

Dan setelah beberapa ayat berikutnya Allah SWT berfirman:

﴿لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَلٰى لِسَانِ دَاوٗدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۗذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ (78) كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُ ۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ (79)﴾

“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat ”. (QS. Al-Maaidah: 78 – 79)

****

B. TAFSIR DAN KISAH SINGKAT

Ayat-ayat di atas adalah berita tentang penduduk di sebuah pantai yang di adzab dan dikutuk menjadi kera.

Mereka adalah Bani Israaiil penduduk Elia (أَيْلَةُ) tepi pantai antara ‘Aden dan ath-Thur di Palestina, sekarang masuk wilayah jajahan Israel.     

Mereka yang dikutuk tersebut disamping orang-orang yang bermaksiat melakukan pelanggaran berburu ikan di hari sabtu, juga termasuk orang-orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahyi mungkar, tidak berusaha melarangnya, meskipun mereka sendiri tidak ikut serta melakukan maksiat pelanggaran.

C. RINGKASAN: KRONOLOGI PELANGGARAN BERBURU IKAN DI HARI SABTU sbb:

Pertama: Merubah syariat hari khusus ibadah dari Jum’at ke hari Sabtu:

Pada mulanya Bani Israil penduduk pantai Eilia (أيْلَه) di syariatkan Hari Jum’at - seperti umat Islam - sebagai hari khusus untuk ibadah mingguan. Tetapi mereka menggantinya menjadi hari Sabtu, lalu mereka menghormati hari Sab¬tu (sebagai ganti hari Jumat) dan pada hari itu juga mereka meninggalkan apa-apa yang sebelumnya dilarang pada hari jumat.

Kedua: Larangan berburu ikan di hari Sabtu

Setelah mereka bersikeras hanya menetapi hari Sabtu, maka Allah menguji mereka dengan diharamkannya berburu ikan di hari Sabtu itu. Dan diharamkan pula atas mereka banyak hal yang telah dihalal¬kan bagi mereka diselain hari Sabtu.

Ketiga: Ujian melimpahnya ikan di hari Sabtu dan langka nya ikan di hari selainnya.

Adapun bentu ujian di hari Sabatu adalah sbb: Dalam riwayat Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbaas:

“Tersebutlah apabila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan datang kepa¬da mereka terapung-apung di dekat pantai mereka berada. Tetapi apa¬bila hari Sabtu telah berlalu, ikan-ikan itu pergi semua hingga mereka tidak dapat menemukan seekor ikan pun, baik yang besar maupun yang kecil.

Singkatnya, bila hari Sabtu tiba ikan-ikan itu muncul be¬gitu banyak secara misteri; tetapi bila hari Sabtu berlalu, ikan-ikan itu lenyap tak berbekas.

Mereka tetap dalam keadaan demikian dalam waktu yang cukup lama memendam rasa ingin memakan ikan.

Keempat: Tipu Daya terhadap larangan. Yang diawali oleh satu orang.

Setelah cukup lama memendam rasa ingin memakan ikan, pa¬da akhirnya salah seorang dari mereka membuat suatu Hiilah (tipu daya) hukum, bagaimana caranya supaya hukum yang haram itu berubah menjadi halal, dengan tujuan agar dia tetap da¬pat berburu ikan di hari Sabtu.

Yaitu: Dengan cara meletakkan jaring dan perangkap ikan sebelum hari Sabtu. Apabila hari Sabtu tiba dan ikan-ikan banyak didapat sebagaima¬na biasanya, ikan-ikan tersebut terjerat oleh jaring dan perangkap tersebut, tiada suatu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu. Apabila malam hari tiba, dia mengambil ikan-ikan ter¬sebut sesudah hari Sabtu berlalu.

Kelima: Dampak pelanggaran yang dikemas dengan Kilah oleh satu orang terhadap masyarakat.

Pada hari-hari Sabtu berikutnya pelaku hiilah itu terus menerus melakukan hal yang sama, yang pada akhirnya ada sebagian orang-orang di sekitarnya mencium bau ikan itu.

Maka penduduk kampung berkata: "Demi Allah, kami mencium bau ikan."

Kemudian mereka menemukan orang yang melakukan hal tersebut, lalu mereka pun ikut-ikutan mengikuti jejak si lelaki itu setelah mendengar penjelasan dari si lelaki itu bahwa yang dia lakukan itu bukan pelanggaran ; karena dia tidak pergi berburu ikan di hari sabtu, akan tetapi hanya memasang jaring dan perangkap di hari jum’at lalu menganggkatnya setelah hari sabtu berlalu. Merekapun membenarkannya dan mengikuti jejaknya. Namun demikian mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dalam waktu cukup lama.

Allah sengaja tidak menyegerakan siksaan-Nya terhadap mereka, sebelum mereka melakukan perburuan ikan secara terang-terangan dan men¬jualnya di pasar-pasar.

Keenam: Masyarakat Eilia terpecah menjadi 3 kelompok:

Pada awalnya Hiilah pelanggran tsb mereka melakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun setelah melewati waktu yang cukup lama ; maka mereka mulai berani melakukan perburuan ikan secara terang-terangan dan men¬jualnya di pasar-pasar. Dan mereka merasa yakin bahwa hiilah yang mereka lakukan itu tidak melanggar hukum Syar’i.

Segolongan orang-orang dari kalangan mereka yang tidak ikut berburu ikan berkata:

"Celakalah kalian ini, bertakwalah kepada Allah."

Golongan ini melarang apa yang diperbuat oleh kaumnya itu.

Sedangkan segolongan lainnya yang tidak ikut berburu dan tidak pula melarang kaum dari perbuatan mereka, berkata:

"Apa gunanya kamu menasihati suatu kaum yang bakal diazab oleh Allah atau Allah akan mengazab mereka dengan azab yang keras."

Lalu mereka yang memberi peringatan kepada kaumnya menjawab:

"Sebagai permintaan maaf (udzur) kepada Tuhan kalian, kami tidak menyukai perbuatan mereka, dan barangkali saja mereka mau bertakwa (kepada Allah)."

====

Singkatnya penduduk desa Eilia terpecah menjadi 3 kelompok

Pertama: pelaku maksiat, yaitu pelanggar larangan berburu ikan dihari Sabtu.

Kedua: Tidak melanggar, tapi mereka tidak melakukan amar ma’ruf dan nahyi mungkar. Bahkan mereka menegur kelompok yang aktif ber amar maruf nahi munkar dengan mengatakan:

“Mengapa kalian menasihati kaum ? Allah lah yang akan membinasakan mereka atau mengadzabnya dengan azab yang sangat keras” (QS. al-A’raaf: 164)

Ketiga     : Tidak melanggar dan mereka aktif beramar ma’ruf dan nahyi mungkar, meskipun mendapat kecaman dan teguran dari golongan kedua tadi. Dan kelompok ini menjawab teguran tsb dengan mengatakan:

Mereka – golongan ketiga - menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian, dan agar mereka bertakwa.” (QS. al-A’raaf: 164).

Keenam: Turunnya kutukan:

Setelah sekian lama berjalan dan segala macam bentuk nasihat serta peringatan sudah tidak dipedulikan lagi, maka Allah swt timpakan adzab yang menghinakan kepada golongan pertama dan kedua serta mengutuknya menjadi kera. Dan Allah swt hanya menyelamatkan golongan ketiga saja yang aktif beramar maruf nahi munkar.

Oleh karena itu Rosulullah melarang umatnya untuk melakukan tipu muslihat untuk merubah hukum Allah SWT. Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah telah bersabda:

"لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَتِ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ"

“Janganlah kalian melakukan pelanggaran seperti pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karenanya kalian akan menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan hiilah yang paling rendah (tipu muslihat) “. (HR. Ibnu Bath-thah dlm “إِبْطَالُ الْحِيَلِ” no. 58)

Derajat hadits:

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/293 berkata:

«هَذَا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ مُسْلِمٌ هَذَا وَثَّقَهُ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ الْبَغْدَادِيُّ، وَبَاقِي رِجَالِهِ مَشْهُورُونَ عَلَى شَرْطِ الصَّحِيحِ».


Sanad hadits ini berpredikat jayyid (baik) ; karena sesungguhnya Ahmad ibnu Muhammad ibnu Salam ini disebutkan oleh Al-Khatib di dalam kitab Tarikh-nya, bahwa dia orangnya siqah. Sedangkan perawi lainnya berpredikat masyhur sesuai syarat ash-shahih “.

Imam Turmuzi menilai sahih kebanyakan sanad dengan kriteria seperti ini.

Ibnu al-Qoyyim mengatakan dalam “تَهْذِيبُ السُّنَنِ” (5/103):

« إِسْنَادُهُ حَسَنٌ، وَإِسْنَادُهُ مِمَّا يُصَحِّحُهُ التِّرْمِذِيُّ»

“Sanadnya hasan, dan sanad seperti ini adalah termasuk yang di shahihkan oleh al-Tirmidzi.”

Al-Albani berkata dalam (Irwa Al-Ghalil 5/375):

« وَهَذَا إِسْنَادٌ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ مَعْرُوفُونَ مِنْ رِجَالِ التَّهْذِيبِ، غَيْرَ أَبِي الْحَسَنِ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، وَهُوَ الْمُخَرَّمِيُّ».

“Sanad ini para perawinya, semuanya dapat dipercaya dan terkenal di antara para perawi dalam kitab “Tahdziib”, selain Abu Al-Hasan Ahmed bin Muhammad bin Muslim, yang mana ia adalah Al-Makharami.

****

D. RINCIAN:

TAFSIR KISAH KUTUKAN BAGI PENDUDUK EILIA YANG BERBURU IKAN DI HARI SABTU:

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya ketika menafsiri ayat di atas ayat 163-166 Surat al-A’raf, dia berkata:

Artinya: tanyakanlah kepada orang-orang Yahudi yang ada di dekatmu tentang kisah teman-teman mereka yang menentang perintah Allah Swt. lalu mereka ditimpa siksa Allah yang mengejutkan akibat dari perbuatan mereka, pelanggaran mereka, dan tipu daya mereka dalam menentang perintah-Nya. Allah juga memperingatkan mereka agar jangan menyembunyikan sifat Nabi yang mereka jumpai dalam kitab-kitab mereka, agar mereka tidak ditimpa oleh siksaan yang pernah menimpa teman-teman mereka yang terdahulu.

Kota yang dimaksud ialah kota Ailah / Eilia, terletak di tepi Laut Qalzum (Laut Merah).

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang kota yang terletak di dekat laut “. (Al-A'raf: 163)

Kota tersebut dikenal dengan nama Ailah / Eilia, terletak di antara kota Madyan dan Bukit Tur.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Qatadah, dan As-Saddi.

Kemudian Ibnu Katsir berkata:

Firman Allah Swt.:

﴿إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ﴾

“ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu “. (Al-A'raf: 163)

Maksudnya, mereka melakukan' pelanggaran di hari Sabtu dan menentang perintah Allah yang mengharuskan mereka agar menjaga kesuciannya di masa itu.

﴿إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا﴾

“Di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air pada hari Sabtunya”. (Al-A'rif: 163)

Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna “شُرَّعًا” ialah: “terapung-apung di permukaan air “.

Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas juga, makna yang dimaksud ialah: “ikan-ikan itu bermunculan dari semua tempat (di laut itu)”.

Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini:

﴿وَّيَوْمَ لَا يَسْبِتُوْنَ ۙ لَا تَأْتِيْهِمْ ۛ كَذٰلِكَ ۛنَبْلُوْهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ﴾

“Dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka. (Al-A'raf: 163)

Yakni Kami mencoba mereka dan menguji mereka dengan memuncul¬kan ikan-ikan itu bagi mereka terapung-apung di permukaan air pada hari larangan melakukan perburuan. Kemudian Kami lenyapkan ikan-ikan itu dari mereka pada hari-hari lainnya yang membolehkan mereka melakukan' perburuan.

﴿كَذٰلِكَ ۛنَبْلُوْهُمْ﴾

“Demikianlah Kami mencoba mereka “. (Al-A'raf: 163). Yaitu Kami menguji mereka.

﴿بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ﴾

“Disebabkan mereka berlaku fasik “. (Al-A'raf: 163).

Artinya, karena kedurhakaan maka mereka tidak mau taat kepada Allah dan membangkang terhadap perintah-Nya.

Mereka adalah suatu kaum yang menggunakan hailah (tipu muslihat) untuk melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah, yaitu dengan cara menggunakan sarana-sarana fisik yang pengertiannya secara tidak langsung menunjukkan pelanggaran terhadap hal yang diharamkan “. (KUTIPAN DARI IBNU KATSIR SELESAI).

Dan ketika menafsiri ayat 65-66 surat al-Baqarah:

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ. فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ

“Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang me¬langgar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera-kera yang hina."

Maka Ka¬mi jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 65-66).

Imam Ibnu Katsir berkata:

“Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya kalian -hai orang-orang Yahudi- telah mengetahui azab yang menimpa penduduk kampung itu yang durhaka terhadap perintah Allah dan melanggar perjanjian dan ikrar-Nya yang telah Dia ambil dari kalian. Yaitu kalian harus mengagungkan hari Sabtu dan menaati perintah-Nya.

Dikatakan demikian karena hal tersebut disyariatkan bagi mereka. Akan tetapi, pa¬da akhirnya mereka membuat Hiilah (tipu daya) agar mereka tetap da¬pat berburu ikan di hari Sabtu, yaitu:

Dengan cara meletakkan jaring-¬jaring dan perangkap-perangkap ikan sebelum hari Sabtu. Apabila hari Sabtu tiba dan ikan-ikan banyak didapat sebagaima¬na biasanya, ikan-ikan tersebut terjerat oleh jaring-jaring dan perang¬kap-perangkap tersebut, tiada suatu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu.

Apabila malam hari tiba, mereka mengambil ikan-ikan ter¬sebut sesudah hari Sabtu berlalu.

Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah mengutuk rupa mereka menjadi kera.

Kera adalah suatu binatang yang rupanya lebih mirip dengan manusia, tetapi kera bukan jenis manusia. Dengan kata lain, demikian pula perbuatan dan tipu muslihat mereka, mengingat apa yang mereka lakukan itu menurut lahiriah mirip dengan perkara yang hak, tetapi batiniahnya berbeda bahkan kebalikannya.

Maka pembalasan dikutuk menjadi kera itu merupakan balasan dari perbuatan mereka sendiri yang disesuaikan dengan jenis pelanggarannya.

****

E. RIWAYAT-RIWAYAT TENTANG TRAGEDI HARI SABTU

Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat tentang kisah Hari Sabtu, diantaranya:

RIWAYAT PERTAMA :

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnu Abul Hudari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:

"Sesungguhnya hal yang difardukan oleh Allah kepada kaum Bani Israil pada mulanya adalah sama dengan hari yang difardukan oleh Allah kepada kalian dalam hari raya kalian, yaitu hari Jumat. Tetapi mereka menggantinya menjadi hari Sabtu, lalu mereka menghormati hari Sabtu (sebagai ganti hari Jumat) dan mereka meninggalkan apa-apa yang diperintahkan kepadanya.

Tetapi setelah mereka membangkang dan hanya menetapi hari Sabtu, maka Allah menguji mereka dengan hari Sabtu itu dan diharamkan atas mereka banyak hal yang telah dihalalkan bagi mereka diselain hari Sabtu.

Mereka yang melakukan demi¬kian tinggal di suatu kampung yang terletak di antara Ailah dan Tur, yaitu Madyan. Maka Allah mengharamkan mereka melakukan perbu¬man ikan di hari Sabtu, juga mengharamkan memakannya di hari itu.

Tersebutlah apabila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan datang kepa¬da mereka terapung-apung di dekat pantai mereka berada. Tetapi apa¬bila hari Sabtu telah berlalu, ikan-ikan itu pergi semua hingga mereka tidak dapat menemukan seekor ikan pun, baik yang besar maupun yang kecil.

Singkatnya, bila hari Sabtu tiba ikan-ikan itu muncul be¬gitu banyak secara misteri; tetapi bila hari Sabtu berlalu, ikan-ikan itu lenyap tak berbekas.

Mereka tetap dalam keadaan demikian dalam waktu yang cukup lama memendam rasa ingin memakan ikan. Kemudian ada seseorang dari kalangan mereka sengaja menangkap ikan dengan sembunyi-sembunyi di hari Sabtu, lalu ia mengikat ikan tersebut dengan benang (jaring), kemudian melepaskannya ke laut; sebelum itu ia mengikat be¬nang itu ke suatu pasak yang ia buat di tepi laut, lalu ia pergi meninggalkannya.

Keesokan harinya ia datang ke tempat itu, lalu mengambil ikan tersebut dengan alasan bahwa ia tidak mengambilnya di hari Sabtu. Selanjutnya ia pergi membawa ikan tangkapannya itu, kemu¬dian dimakannya.

Pada hari Sabtu berikutnya ia melakukan hal yang sama, temyata orang-orang mencium bau ikan itu. Maka penduduk kampung berkata: "Demi Allah, kami mencium bau ikan."

Kemudian mereka menemukan orang yang melakukan hal tersebut, lalu mereka mengikuti jejak si lelaki itu. Mereka melakukan hal tersebut dengan sembunyi-sembunyi dalam waktu cukup lama; Allah sengaja tidak menyegerakan siksaan-Nya terhadap mereka, sebelum mereka melakukan perburuan ikan secara terang-terangan dan men¬jualnya di pasar-pasar.

Segolongan orang dari kalangan mereka yang tidak ikut berburu berkata, "Celakalah kalian ini, bertakwalah kepada Allah."

Golongan ini melarang apa yang diperbuat oleh kaumnya itu. Sedangkan go¬longan lainnya yang tidak memakan ikan dan tidak pula melarang kaum dari perbuatan mereka berkata:

"Apa gunanya kamu menasihati suatu kaum yang bakal diazab oleh Allah atau Allah akan mengazab mereka dengan azab yang keras."

Mereka yang memberi peringatan kepada kaumnya menjawab: "Sebagai permintaan maaf (udzur) kepada Tuhan kalian, kami tidak menyukai perbuatan mereka, dan barangkali saja mereka mau bertakwa (kepada Allah)."

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya:

"Ketika mereka dalam keadaan demikian, maka pada pagi harinya orang-orang yang tidak ikut berburu di tempat perkumpulan dan masjid-masjidnya merasa kehi¬langan orang-orang yang berburu, mereka tidak melihatnya.

Kemudian sebagian dari kalangan mereka berkata kepada sebagian yang lain:

“`Orang-orang yang suka berburu di hari Sabtu sedang sibuk, ma¬rilah kita lihat apakah yang sedang mereka lakukan”.'

Lalu mereka be¬rangkat untuk melihat keadaan orang-orang yang berburu di rumah-rumah mereka, ternyata mereka menjumpai rumah-rumah tersebut da¬lam keadaan terkunci. Rupanya mereka memasuki rumahnya masing-¬masing di malam hari, lalu menguncinya dari dalam, seperti halnya orang yang mengurung diri.

Ternyata pada pagi harinya mereka men¬jadi kera di dalam rumahnya masing-masing, dan sesungguhnya orang-orang yang melihat keadaan mereka mengenal seseorang yang dikenalnya kini telah berubah bentuk menjadi kera. Para wanitanya menjadi kera betina, dan anak-anaknya menjadi kera kecil."

Ibnu Abbas mengatakan: seandainya Allah tidak menyelamatkan orang-orang yang melarang mereka berbuat kejahatan itu, niscaya se¬muanya dibinasakan oleh Allah. Kampung tersebut adalah yang disebut oleh Allah Swt. dalam firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu:

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut”. (Al-A'raaf: 163) hingga akhir ayat.

Ad-Dahhak meriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Abbas r.a.”

----

RIWAYAT KEDUA

Ibnu Katsir menyebutkan riwayat lain nya, yaitu:

As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

“Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina”. (QS. Al-Baqarah: 65)

Mereka adalah penduduk kota Ailah, yaitu suatu kota yang terletak di pinggir pantai.

Tersebutlah bila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan bermunculan. sedangkan Allah telah mengharamkan orang-orang Yahudi melakukan suatu pekerjaan pun di hari Sabtu. Bila hari Sabtu tiba, tiada seekor ikan pun yang ada di laut itu yang tidak bermunculan sehingga ikan-ikan tersebut menampakkan songot (kumis)nya ke permukaan air. Tetapi bila hari Ahad tiba, ikan-ikan itu menetap di dasar laut, hingga tiada seekor ikan pun yang tampak, dan baru muncul lagi pada hari Sabtu mendatang.

Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya:

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat taut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di.ctictu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di se¬kitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. (Al-A'raaf: 163)

Maka sebagian dari mereka ada yang ingin makan ikan, lalu sese¬orang (dari mereka) menggali pasir dan membuat suatu parit sampai ke laut yang dihubungkan dengan kolam galiannya itu.

Apabila hari Sabtu tiba, ia membuka tambak paritnya, lalu datanglah ombak membawa ikan hingga ikan-ikan itu masuk ke dalam kolamnya. Ketika ikan-ikan itu hendak keluar dari kolam tersebut, ternyata tidak mam¬pu karena paritnya dangkal, hingga ikan-ikan itu tetap berada di dalam kolam tersebut.

Apabila hari Ahad tiba, maka lelaki itu datang, lalu mengambil ikan-ikan tersebut. Lalu seseorang memanggang ikan hasil tangkapannya dan ternyata tetangganya mencium bau ikan bakar.

Ketika si tetangga menanyakan kepadanya, ia menceritakan apa yang telah dilakukannya. Maka si tetangga tersebut melakukan hal yang sama seperti dia, hingga tersebarlah kebiasaan makan ikan di kalangan mereka.

Kemudian ulama mereka berkata:

"Celakalah kalian, sesungguh¬nya kalian melakukan perburuan di hari Sabtu, sedangkan hari tersebut tidak dihalalkan bagi kalian."

Mereka menjawab:

"Sesungguhnya kami hanya menangkapnya pada hari Ahad, yaitu di hari kami meng-ambilnya."

Maka orang-orang yang ahli dan pakar hukum membelanya:

"Tidak, melainkan kalian menangkapnya di hari kalian membuka jalan air baginya, lalu ia masuk."

Akhirnya mereka tidak dapat mencegah kaumnya menghentikan hal tersebut. Lalu ada sebagian orang yang melarang mereka berkata ke¬pada sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan oleh Firman Nya:

“Mengapa kalian menasihati kaum ?, Allahlah akan membinasa¬kan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat ke¬ras” (Al-A'raaf: 164)

Dengan kata lain, mengapa kalian bersikeras menasihati mereka, pa¬dahal kalian telah menasihati mereka, tetapi ternyata mereka tidak mau menuruti nasihat kalian. Maka sebagian dari mereka berkata, se¬perti yang disitir oleh firman-Nya:

“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa “. (Al-A'raaf: 164)

Ketika mereka menolak nasihat tersebut, maka orang-orang yang taat kepada perintah Allah berkata:

"Demi Allah, kami tidak mau hidup bersama kalian dalam satu kampung."

Lalu mereka membagi kampung itu menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah tembok penghalang.

Lalu kaum yang taat pada perintah Allah membuat suatu pintu khusus buat mereka sendiri, dan orang-orang yang melanggar pada hari Sabtu membuat pintunya sendiri pula. Nabi Daud a.s. melaknat mereka yang melanggar di hari Sabtu itu. Kaum yang taat pada perintah Allah keluar memakai pintunya sendiri, dan orang-orang yang ka¬fir keluar dari pintunya sendiri pula.

Pada suatu hari orang-orang yang taat pada perintah Tuhannya keluar, sedangkan orang-orang yang kafir tidak membuka pintu khusus mereka. Maka orang-orang yang taat melongok keadaan mereka dengan menaiki tembok penghalang tersebut setelah merasakan bah¬wa mereka tidak mau juga membuka pintunya. Ternyata mereka yang kafir itu telah berubah ujud menjadi kera, satu sama lainnya saling melompati. Kemudian orang-orang yang taat membuka pintu mereka, lalu kera-kera tersebut keluar dan pergi menuju suatu tempat.

Yang demikian itu dijelaskan di dalam firman-Nya:

“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dila¬rang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina!” (Al-A'raaf: 166)

Kisah inilah yang pada mulanya disebutkan oleh firman-Nya:

{لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ. تَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ. وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَٰكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ}

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.

Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Kalian melihat kebanyakan dari mereka saling tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.

Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi wali-wali (pemimpin atau penolong), tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Qs. Al Maaidah: 78-81).

Merekalah yang dikutuk menjadi kera-kera itu

****

F. TAFSIR FIRMAN ALLAH SWT TENTANG KUTUKAN MENJADI KERA DAN BABI

Dalam surat Al-Maaidah: 60-53:

{قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (60) وَإِذَا جَاءُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَقَدْ دَخَلُوا بِالْكُفْرِ وَهُمْ قَدْ خَرَجُوا بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَكْتُمُونَ (61) وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (62) لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ (63)}

Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasan¬nya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan KERA dan BABI dan (orang yang) menyembah tagut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.

Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepada kalian, mereka mengatakan: "Kami telah beriman, " padahal mereka datang kepada kalian dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kalian) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) senantiasa bersegera untuk berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguh¬nya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.

Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maaidah: 60-53)

TAFSIR

Tafsir firman Allah SWT:

{قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (60)}

“Katakanlah, "Apakah akan aku beri tahukan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah?" (QS. Al Maidah:60)

Ibnu Katsir berkata:

Yakni apakah harus aku ceritakan kepada kalian pembalasan yang lebih buruk daripada apa yang kalian duga terhadap kami kelak di hari kiamat di sisi Allah? Yang melakukan demikian itu adalah kalian sendiri, karena semua sifat yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya ada pada kalian, yaitu:

{مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ}

“... yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah”.

Dikutuk artinya "dijauhkan dari rahmat-Nya", dan dimurkai artinya "Allah murka kepada mereka dengan murka yang tidak akan reda sesudahnya untuk selama-lamanya.

وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

“... di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi”.

Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan:

“Bahwa Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ ، أَهِيَ مِمَّا مَسَخَ اللَّهُ تَعَالَى؟ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُهْلِكْ قَوْمًا - أَوْ قَالَ: لَمْ يَمْسَخْ قَوْمًا - فَيَجْعَلْ لَهُمْ نَسْلا وَلَا عَقِبًا وَإِنَّ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ كانت قبل ذلك".

“Bahwa Rasulullah pernah ditanya mengenai kera dan babi, apakah kedua binatang itu berasal dari kutukan Allah ?.

Maka beliau menjawab:

“Sesungguhnya Allah tidak pernah membinasakan suatu kaum - atau beliau mengatakan bahwa Allah belum pernah mengutuk suatu kaum - lalu menjadikan dari mereka keturunan dan anak cucunya. Dan sesungguhnya kera dan babi telah ada sebelum peristiwa kutukan itu“.

Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Sufyan As-Sauri dan Mis'ar, keduanya dari Mugirah ibnu Abdullah Al-Yasykuri dengan lafaz yang sama.

Dan Abu Daud At-Tayalisi dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:

سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ، أَهِيَ مِنْ نَسْلِ الْيَهُودِ؟ فَقَالَ: "لَا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَلْعَنْ قَوْمًا فَيَمْسَخُهُمْ فَكَانَ لَهُمْ نَسْلٌ، وَلَكِنْ هَذَا خَلْقٌ كَانَ، فَلَمَّا غَضِبَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ فَمَسَخَهُمْ، جَعَلَهُمْ مِثْلَهُمْ".

Bahwa kami pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kera dan babi, apakah kera dan babi yang ada sekarang merupakan keturunan dari orang-orang Yahudi yang dikutuk Allah Swt ?.

Maka Rasulullah menjawab:

“Tidak, sesungguhnya Allah sama sekali belum pernah mengutuk suatu kaum, lalu membiarkan mereka berketurunan. Tetapi kera dan babi yang ada merupakan makhluk yang telah ada sebelumnya. Dan ketika Allah murka terhadap orang-orang Yahudi, maka Dia mengutuk mereka dan menjadikan mereka seperti kera dan babi “.

Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadits Daud ibnu Abul Furat dengan lafaz yang sama.

Adapun Tafsir Firman Allah Swt.:

﴿لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ﴾

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (Al-Maidah: 63)

Ibnu Katsir menafsirinya sbb:

Yakni: mengapa para penguasa dan pendeta-pendeta mereka tidak mau melarang mereka melakukan hal tersebut. Yang dimaksud dengan rabbaniyyun ialah para penguasa yang juga orang alim mereka, sedang¬kan yang dimaksud dengan pendeta adalah para ulama saja.

﴿لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ﴾

“Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (Al-Maidah: 63)

Yaitu karena para penguasa dan para pendeta itu tidak mau melarang para pengikut mereka dari hal tersebut.

Demikianlah menurut penafsiran Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan: “bahwa dikatakan demikian kepada mereka di saat mereka tidak melakukan nahi munkar dan di saat mereka mengerjakan hal-hal yang diharamkan “.

Abdur Rahman ibnu Zaid melanjutkan perkataannya: “bahwa memang kenyataannya demikian; mereka mengerjakan hal-hal yang diharamkan, padahal mereka mengetahui bahwa itu diharamkan “.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Jarir – meriwayatkan dengan sanadnya - dari Ibnu Abbas yang mengatakan:

“Bahwa dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang sangat keras celaannya selain dari ayat ini, yaitu firman-Nya:

﴿لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ﴾

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bahaya dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu “.

Demikianlah menurut qiroo’ah yang diutarakan oleh Ibnu Abbas, kata Ibnu Jarir.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dhahhak:

"Tiada suatu ayat pun dalam Al-Qur'an yang lebih aku takuti daripada ayat ini, yaitu bila kami tidak melakukan nahi munkar ". Demikianlah menurut Ibnu Jarir.

Ibnu Abu Hatim dan Yunus ibnu Habib – meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya ibnu Ya'mur yang menceritakan: Bahwa Ali ibnu Abu Talib berkhotbah. Untuk itu, ia memulainya dengan mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt, kemudian berkata:

"Hai manusia, sesungguhnya telah binasa umat sebelum kalian hanyalah karena mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat dan para pendeta serta para penguasa mereka tidak melarangnya. Setelah mereka berkepanjangan dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka siksaan datang menimpa mereka.

Karena itu, ber-amar maruf lah kalian dan ber-nahi munkar-lah kalian, sebelum azab yang pernah menimpa mereka menimpa kalian. Dan perlu kalian ketahui bahwa melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar itu tidak akan memutuskan rezeki dan tidak akan menyegerakan ajal."

Imam Ahmad - meriwayatkan dengan sanadnya - dari Al-Mundzir ibnu Jarir, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"مَا مِنْ قَوْمٍ يَكُونُ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ مَنْ يَعْمَلُ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ مِنْهُ وَأَمْنَعُ، لَمْ يُغَيِّرُوا، إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعَذَابٍ".

Tidak sekali-kali suatu kaum yang di hadapan mereka terdapat orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan durhaka, padahal mereka lebih kuat dan lebih perkasa daripada dia, lalu mereka tidak mencegahnya, kecuali Allah menimpakan azab kepada mereka karena ulah orang itu.

Hadits tersebut bila ditinjau dari segi ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.

Abu Daud - meriwayatkan dengan sanadnya - dari Al-Munzir ibnu Jarir, dari Jarir bahwa Rasulullah
bersabda:

"مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يَعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي، يَقْدِرُونَ أَنْ يُغِّيرُوا عَلَيْهِ، فَلَا يُغَيِّرُونَ إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ قَبْلَ أَنْ يَمُوتُوا".

“Tiada seorang pun dalam suatu kaum mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan mereka berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka suatu siksaan sebelum mereka mati”.

Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanadnya dari Ubaidillah ibnu Jarir, dari ayahnya dengan lafaz yang sama

Al-Hafiz Al-Mazzi mengatakan bahwa hal yang sama telah diri¬wayatkan oleh Syu'bah, dari Abu Ishaq, dengan lafaz yang sama. (Kutipan dari Ibnu Katsir SELESAI).

===****===

ADAB DAN STRATEGI BERDAKWAH DAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR

Bersambung....


 

 

Posting Komentar

0 Komentar