Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MADZHAB PARA ULAMA TENTANG HUKUM SUCI DI SELA SELA MASA HAIDH

Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


بسم الله الرحمن الرحيم

والحمد لله

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum suci yang menyelingi di sela-sela masa haidh:

Pertama:

Dianggap suci . Dan darah yang keluar setelah selingan suci itu digabungkan dengan darah yang keluar sebelumnya , lalu dijadikan dalam masa haidh yang sama. Kemudian apa yang ada di antara keduanya adalah suci . 

Dengan demikian ketika wanita yang sedang haidh itu tidak melihat darah keluar disela-sela masa haidnya ; maka wajib atasnya melaksanakan shalat dan puasa dan diperbolehkan melakukan hubungan suami istri . Dan tidak wajib mengqodho puasa Ramadhan, yang dia telah berpuasa di masa tersebut . 

Pendapat yang mengatakan SUCI ini disebut dengan madzhab “التَّلْفِيْقُ / penggabungan". Yakni : darah sebelumnya dan sesudahnya itu tergabung , tetapi masa tidak keluar darah dianggap terpisah alias tidak ketarik. 

Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan Ahmad, dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi'i.

Kedua:

Dianggap haidh. Dan kedaan suci diantara dua darah itu dinyatakan ketarik ke masa keluar darah . Lalu dihukumi sama dengan saat keluar darah .

Pendapat yang mengatakan HAIDH ini adalah yang dikenal dengan Madzhab “السَّحْبُ / ketarik”. Ini adalah pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi'i dan pendapat Abu Hanifah.

Namun demikian menurut masing-masing dari dua pendapat tersebut : wajib bagi wanita tadi untuk mandi ketika dia melihat tanda-tanda kesuciannya dan wajib melakukan apa yang dilakukan wanita yang suci, dan suaminya boleh menggaulinya, dan tidak ada masalah dengan semua itu.

Akan tetapi bagi yang berpendapat madzhab “السَّحْب / ketarik ”, maka wanita tsb wajib untuk mengqodho puasa Ramadhan atau puasa wajib lainnya meskipun dia berpuasa selama periode السَّحْب itu; karena puasa pada masa tersebut tidak sah.

Adapun shalatnya, maka dia tidak wajib mengqodhonya karena dia kondisinya dihukumi sebagai wanita yang sedang haid, dan wanita haid itu tidak wajib sholat.

Referensi:

1. Lajnah Fatwa “مجمع البحوث الإسلامية” di al-Azhar asy-Syariif.
2. Islam.web. No Fatwa 138491.

Nash Fatwa diatas dalam bahasa arab :

إن العلماء اختلفوا في الطهر المتخلل للحيضة هل يحكم بكونه طهرا صحيحا ويضم الدم إلى الدم ويكون ما بينهما طهرا وهو المعروف بالتلفيق، وهو قول مالك وأحمد وأحد قولي الشافعية، أو يحكم بكونه حيضا وهو الصحيح عند الشافعية وقول أبي حنيفة وهو المعروف بالسحب، وعلى كلا القولين فإنه يجب على المرأة أن تغتسل عند رؤية الطهر وتفعل ما تفعله الطاهرات ولزوجها أن يجامعها ولا حرج في ذلك كله، وإنما يجب عليها على القول بالسحب أن تقضي واجب الصوم إن كانت صامت في أثناء تلك المدة. وأما الصلاة فإنها لا تقضيها لكونها كانت محكوما بحيضها والحائض لا تصلي.

=====

Imam an-Nawawi, ulama Madzhab Syafi’i menjelaskannya dengan rinci, beliau berkata:

وبالتلفيق قال مالك وأحمد وبالسحب أبو حنيفة ، والحاصل أن الراجح عندنا -أي الشافعية- قول السحب.

 قال أصحابنا: وسواء كان التقطع يوما وليلة دما ويوما وليلة نقاء أو يومين ، ويومين أو خمسة وخمسة أو غير ذلك فالحكم في الكل سواء وهو أنه إذا لم يجاوز خمسة عشر فأيام الدم حيض بلا خلاف.

وفي أيام النقاء المتخلل بين الدم القولان، قال المتولي وغيره: إذا قلنا بالتلفيق فلا خلاف أنه لا يجعل كل دم حيضا مستقلا ولا كل نقاء طهرا مستقلا ، بل الدماء كلها حيض واحد يعرف، والنقاء مع ما بعده من الشهر طهر واحد. قال أصحابنا: وعلى القولين إذا رأت النقاء في اليوم الثاني عملت عمل الطاهرات بلا خلاف لأنا نعلم أنها ذات تلفيق لاحتمال دوام الانقطاع قالوا: فيجب عليها أن تغتسل وتصوم وتصلي ولها قراءة القرآن ومس المصحف والطواف والاعتكاف وللزوج وطؤها ، ولا خلاف في شيء من هذا ، فإذا عاودها الدم في اليوم الثالث تبينا أنها ملفقة؛ إن قلنا بالتلفيق تبينا صحة الصوم والصلاة والاعتكاف وإباحة الوطء وغيرها، وإن قلنا بالسحب تبينا بطلان العبادات التي فعلتها في اليوم الثاني ، فيجب عليها قضاء الصوم والاعتكاف والطواف المفعولات عن واجب ، وكذا لو كانت صلت عن قضاء أو نذر، ولا يجب قضاء الصلاة المؤداة لأنه زمن الحيض ، ولا صلاة فيه. انتهى

Dan dengan “التَّلْفِيْقُ” [yakni : dihukumi suci] , Malik dan Ahmad berpendapat. Dan dengan “السَّحْبُ” [yakni dihukumi haidh] Abu Hanifah berpendapat. 

Dan kesimpulannya adalah bahwa yang paling benar menurut kami - yaitu, para ulama madzhab Syafi'i - adalah pendapat “السَّحْبُ” [ketarik dalam haidh].

Para Sahabat kami berkata: Apakah terputus-putusnya itu satu hari dan satu malam keluar darah, satu hari dan satu malam suci. Atau dua hari dan dua hari. Atau lima dan lima. Atau sesuatu yang lain. Hukum semuanya itu adalah sama, dan itu jika tidak melebihi lima belas hari, maka hari-hari keluar darah adalah haidh, dan tidak ada perbedaan pendapat.

Dan adapun di hari-hari suci yang menyelingi antara dua darah, maka ada dua pendapat:

Al-Mutawali dan lain-lain berkata: "Jika kita mengatakan dengan “االتَّلْفِيْقُ”, maka tidak ada perselisihan bahwa itu tidak menjadikan masing-masing darah itu sebagai masa haid yang terpisah, juga tidak menjadikan masing-masing ketika bersih tidak ada darah itu menjadi masa suci yang independen. Melainkan, semua darah tsb adalah satu siklus haid yang ma’ruf, dan masa sucinya adalah bergabung jadi satu dengan masa suci pada bulan setelahnya".

Para Sahabat kami berkata: Menurut masing-masing dua pendapat, jika wanita itu melihat kesucian pada hari kedua, maka dia wajib mengamalkan amalan para wanita suci, tanpa ada perbedaan pendapat, karena kita tahu bahwa itu bisa di gabungkan karena ada kemungkinan terputus darahnya itu terus berkelanjutan. 

Mereka berkata: Diwajibkan baginya untuk mandi, berpuasa, dan shalat, dan dia boleh membaca Al-Qur'an, menyentuh Al-Qur'an, melakukan Tawaf dan I'tikaf, dan suaminya boleh menggaulinya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Jika darah berulang keluar lagi pada hari ketiga, maka menjadi jelas pada kami bahwa itu darah talfiq:

Jika kita berpendapat dengan madzhab “التَّلْفِيْقُ”, maka menjadi jelas pada kami bahwa puasanya sah, begitu juga shalatnya, itikafnya, boleh berhubungan intim, dan lain sebagainya.

Dan jika kita berpendapat dengan madzhab “السَّحْبُ”, maka jelas bagi kita akan batalnya ibadah yang dia lakukan pada hari kedua, maka dia harus mengqadha puasa wajib, i'tikaf wajib, dan tawaf wajib.

Begitu pula jika ia mengqodho shalat atau nazar, dan tidak wajib menggqodho sholat yang dia tunaikan, karena itu adalah pada masa haid dan tidak ada kewajiban shalat selama itu. (Berakhir). (Lihat “المجموع شرح المهذب” karya Imam an-Nawawi 2/516)

Semoga bermanfaat 




Posting Komentar

0 Komentar