PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT SUNNAH “QOBLIYAH
JUM’AT”. BESERTA RINCIAN DALIL NYA.
-----
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
DAFTAR ISI:
- PENDAHULUAN :
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT SUNNAH “QOBLIYAH JUM’AT”. BESERTA RINCIAN DALIL NYA.
- MAKNA QOBLIYAH
- ADA DUA MACAM SHOLAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT JUM'AT
- PERTAMA: SHOLAT SUNNAH MUTHLAK SEBELUM SHOLAT JUMAT
- KEDUA: SHOLAT SUNNAH RAWAATIB SEBELUM SHOLAT JUM’AT/QOBLIYAH JUMAT
- PENDAPAT PERTAMA: DI SUNNAHKAN SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT
- PENDAPAT KE DUA: TIDAK DISYARIATKAN SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH JUM'AT
- DALIL MASING-MASING PENDAPAT
- 8. DALIL PENDAPAT PERTAMA: YAITU SHALAT QOBLIYAH JUMA’AT ITU SUNNAH
- 9. DALIL PENDAPAT KE DUA: YAITU SHOLAT QOBLIYAH JUMAT TIDAK DI SYARI'ATKAN
- 10. MUNAQOSYAH DALIL DARI YANG MEMBID'AHKAN QOBLIYAH JUM'AT SERTA BANTAHAN TERHADAP YANG MENSUNNAHKAN-NYA
- 11. PERTAMA: SYEIKH AL-ALBAANI رحمه الله تعالى
- 12. KEDUA: ABU SYAAMAH رحمه
الله تعالى (w. 665)
- 13. MUNAQOSYAH DALIL DARI YANG MENSUNNAHKAN QOBLIYAH JUM'AT & JAWABAN TERHADAP BANTAHAN YANG MEMBID'AHKANNYA
- 14. PERTAMA: DR. SYAUQI 'ALLAAM
- 15. KEDUA: AL-HAAFIDZ IBNU ROJAB, DARI MADZHAB HANBALI
- 16. KESIMPULAN AKHIR
- 17. MESKI BERBEDA PENDAPAT, TETAPLAH BERSATU DAN JANGAN BERPECAH BELAH!
- 18. APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU YANG BENAR?
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
أَمَّا بَعْدُ:
===***===
PENDAHULUAN :
Perbedaan pendapat tentang di syariatkan shalat
sunnah qobliyah Jum'at ini adalah masalah yang sudah lama dan bukan masalah
baru, dan orang-orang yang membicarakan nya pada hari ini tidak lebih dari apa
yang dibicarakan oleh orang-orang yang terdahulu.
Sikap Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap orang
yang mengamalkan Qobliyah Jum’at :
"مَنْ فَعَلَ ذَٰلِكَ ذَٰلِكَ لَمْ يُنْكَرْ
عَلَيْهِ"
"Siapa pun yang melakukan itu (Qobliyah Jumat)
; maka tidak boleh di ingkari". [Di nukil oleh al-Mardawaih dalam "Al-Inshāf",
jilid 2, halaman 406 ].
Imam Bukhori dalam kitab Shahih-nya menulis “BAB : QOBLIYAH JUM'A'T”.
Hadits-hadits yang imam Al-Bukhari sebutkan dalam bab tersebut, telah mendorong dirinya untuk menulis Bab dalam “Shahih” nya:
بَابُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
وَقَبْلَهَا
BAB: Sholat setelah [Ba'diyah] Jum'at dan sebelum nya [Qobliyah] ".
Oleh sebab itu Al-Hafidz Ibnu Rajab – rahimahullah- (wafat 795 H) seorang Ahli Hadits terkemuka dan ahli Fiqih dari madzhab Hanbali, beliau dalam kitabnya "Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhori" (8/331) menjelaskan :
وَقَدْ رَوَى ٱبْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ
فِي "تَارِيخِهِ" مِنْ طَرِيقِ ٱلْأَعْمَشِ، عَنِ ٱلنَّخَعِيِّ، قَالَ: مَا
قُلْتُ لَكُمْ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ، فَهُوَ ٱلَّذِي أَجْمَعُوا عَلَيْهِ.
Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dalam “Taarikh”nya
melalui jalur Al-A'mash, dari Al-Nakho'ii, dia berkata:
“Apa yang saya katakan: mereka menganggap mustahabb
[empat rokaat sebelum sholat Jum'at], oleh karena itu mereka telah ber IJMA'
[sepakat dengan suara bulat bahwa qobliyah Jum’at itu disunnahkan]”.
Lalu Ibnu Rajab melanjutkan perkataan-nya :
وَمِمَّنْ ذَهَبَ إِلَى ٱسْتِحْبَابِ
أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ: حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ، وَٱلنَّخَعِيُّ،
وَٱلثَّوْرِيُّ، وَٱبْنُ ٱلْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.
وَرَوَى حَرْبٌ بِإِسْنَادِهِ، عَنِ
ٱبْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ فِي بَيْتِهِ أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يَأْتِي ٱلْمَسْجِدَ فَلَا يُصَلِّي قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا.
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ سُنَّةَ
ٱلْجُمُعَةِ عِنْدَ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَبْلَهَا لَا بَعْدَهَا.
Di antara mereka yang berpendapat bahwa empat
rakaat sebelum shalat Jumat itu mustahab adalah: Habib bin Abi Tsabit (wafat
tahun 119 H.), Al-Nakho'ii (w. 96 H.), Ats-Tsawri (w. 161 H.), Ibnu
Al-Mubarak (w. 181 H.), Imam Ahmad (w. 241 H.) dan Ishaq bin
Rahawiah (w. 238 H.).
Harb telah meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ibnu
Abbas, bahwa dia biasa sholat Jumat empat rakaat di rumahnya, kemudian dia
pergi ke masjid dan dia tidak sholat sebelum atau sesudah sholat Jum'at di
masjid. [Fathul Baari karya Ibnu Rojab 8/331 ]
DOA DAN HARAPAN SAYA SEBAGAI PENULIS :
Penulis do’akan:
رَحِمَ ٱللَّهُ ٱلشُّيُوخَ ٱلَّذِينَ
يَزِنُونَ كَلَامَهُمْ بِمِيزَانِ ٱلْفِقْهِ وَيُكْرِهُونَ تَفَرُّقَ ٱلْمُسْلِمِينَ
وَٱخْتِلَافَهُمْ.
“Semoga Allah merahmati para syeikh yang menimbang
kata-kata mereka dengan neraca fikih serta membenci terjadinya perpecahan
diantara umat Islam dan perselisihan! “. Aamiin!!!
Dan penulis harapkan :
Mari kita ambil teladan dari apa yang telah
dilakukan oleh para imam mujtahid dulu, yang diriwayatkan lebih dari satu orang
bahwa sebagian dari mereka ada yang berkata:
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ ٱلْخَطَأَ،
وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ ٱلصَّوَابَ
Pendapat saya benar dan ada kemungkinan salah, dan
pendapat orang lain salah dan ada kemungkinan benar.
Dalam hadits ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu
di sebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ
ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ ".
“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar,
maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia
memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].
Kami juga menginginkan agar para ulama yang memperdebatkan
hukum masalah-masalah furu’iyyah agar senantiasa memperhatikan qaidah-qaidah
dasar perdebatan yang sudah makruf, yaitu diantaranya:
ٱلدَّلِيلُ إِذَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ
ٱلْاِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ ٱلْاِسْتِدْلَالُ فَلَا يَتَمَسَّكُ بِٱلدَّلِيلِ لِإِثْبَاتِ
ٱلْوُجُوبِ أَوِ ٱلْحُرْمَةِ إِذَا ٱحْتَمَلَ ٱلنَّدْبَ أَوِ ٱلْكَراهَةَ، وَٱلْاِحْتِمَالُ
قَدْ يَكُونُ فِي ثُبُوتِ ٱلدَّلِيلِ وَقَدْ يَكُونُ فِي دَلَٰلَتِهِ. وَيَكْفِي ٱلْمُتَعَبِّدِ
أَنْ يَصِلَ إِلَىٰ مَعْرِفَةِ ٱلْحُكْمِ وَلَوْ بِطَرِيقِ غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ، فَذَٰلِكَ
وُسْعُهُ ٱلَّذِي لَا يُكَلِّفُهُ ٱللَّهُ إِلَّا بِهِ.
Sebuah Dalil jika padanya terdapat kemungkinan
untuk dalil yang lain atau kebalikannya, maka gagal-lah berdalil dengannya,
maka dia tidak boleh berpegang pada dalil tsb untuk menetapkan hukum wajib atau
haram jika ada kemungkinan untuk sunnah atau makruh. Dan kemungkinan itu
terkadang dalam ketetapan dalil dan terkadang dalam signifikansinya (dalil yang
diisyaaratkan darinya).
Dan cukuplah bagi seorang yang mau beribadah untuk
mendapatkan pengetahuan tentang hukum, meskipun dengan praduga yang rajih (غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ), karena yang demikian itu sesuai dengan batas kemampuannya,
yang mana Allah ﷺ tidak
akan membebaninya kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Al-Imam Asy-Syawkani berkata dalam Neilul
Awthor (2/231) :
“Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai
menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam”.
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid berkata :
لَا نَرَى أَنْ يَتَعَامَلَ ٱلْمُسْلِمُ
مَعَ ٱلْمَسَائِلِ ٱلِاجْتِهَادِيَّةِ بَيْنَ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ بِمِثْلِ هَذِهِ ٱلْحَسَّاسِيَّةِ،
فَيَجْعَلَ مِنْهَا سَبَبًا لِحُصُولِ ٱلْفُرْقَةِ وَٱلْفِتَنِ بَيْنَ ٱلْمُسْلِمِينَ.
Kami berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh
sensitif dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
dengan menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di kalangan umat
Islam. [ ISALMQA : no. 9036 Publikasi : 09-10-2002].
Syekh Ibnu Utsaimin – rahimahullah- ketika melihat runcingnya perpecahan yang
disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang rakaat tarawih, dia berkata :
"وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي
ٱلْأُمَّةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يُسَاغُ
فِيهَا ٱلْخِلَافُ، فَتَجْعَلَ ٱلْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِٱخْتِلَافِ ٱلْقُلُوبِ،
فَٱلْخِلَافُ فِي ٱلْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ ٱلصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَٰلِكَ بَقِيَتْ
قُلُوبُهُمْ مُتَّفِقَةً.
فَٱلْوَاجِبُ عَلَى ٱلشَّبَابِ خَاصَّةً،
وَعَلَى كُلِّ ٱلْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛
لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمُ ٱلدَّوَائِرَ."
“Sangat menyedihkan bagi kami bahwa kami menemukan
di antara umat Islam banyak kelompok yang berselisih tentang hal-hal di mana
perbedaan pendapat dapat diterima, dan mereka menjadikan perbedaan ini sebagai
sarana untuk menyebabkan perpecahan.
Padahal perbedaan-perbedaan dalam ummat ini telah
ada pada masa Sahabat, namun mereka tetap bersatu.
Para pemuda khususnya dan semua yang berkomitmen
pada Islam harus tetap bersatu, karena diluar sana ada banyak musuh umat Islam
yang terus memantau .” (Al-Sharh al-Mumti' 4/225)
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT SUNNAH “QOBLIYAH JUM’AT”. BESERTA RINCIAN DALIL NYA.
*****
MAKNA QOBLIYAH
Makna Qobliyah (قَبْلِيَّة) adalah “Yang Sebelum”. Sholat Sunnah
Qobliyah Jum’at artinya Sholat Sunnah sebelum sholat Jum’at’
ADA DUA MACAM SHOLAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT JUM’AT:
1. Pertama: Sholat Sunnah Mutlak.
2. Kedua: sholat Sunnah Rawatib Qobliyah Jum’at.
Maka yang ditanyakan disini : hukum shalat sunnah
yang mana dulu ? Apakah yang dimaksud adalah Hukum Sholat sunnah Mutlak sebelum
shalat Jum’at, atau yang dimaksud adalah sholat sunnah qobliyah rawaatib
sebelum shalat Jum’at ?
Berikut ini penjelasannya:
===****===
PERTAMA: SHOLAT SUNNAH MUTHLAK SEBELUM SHOLAT JUMAT
Adapun sholat sunnah Mutlak sebelum sholat Jum’at ;
maka tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya di kalangan fuqaha’. Hal
ini diperbolehkan dan bahkan disunnnahkan, dan dalil-dalil untuk itu adalah
sbb:
Dari Salman Al Farsi berkata, "Nabi ﷺ
bersabda:
لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ
أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ
اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ
الْإِمَامُ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
"Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari
Jum'at lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak
wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju Masjid, ia tidak memisahkan dua
orang pada tempat duduknya lalu dia shalat yang dianjurkan baginya dan diam
mendengarkan khutbah Imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada
antara Jum'atnya itu dan Jum'at yang lainnya." (HR. Bukhori no. 837)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau
bersabda:
«مَنِ اغْتَسَلَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ، فَصَلَّى
مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي
مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى، وَفَضْلُ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ»
“Barangsiapa mandi kemudian menghadiri shalat
Jum’at, lalu mengerjakan shalat sesuai kemampuannya, selanjutnya ia diam
sehingga imam selesai dari khutbahnya dan kemudian mengerjakan shalat
bersamanya, maka akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at
tersebut ke Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari” [HR. Muslim no. 857].
“Dari Abu Ayyub al-Anshari [diriwayatkan bahwa] ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ
ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ
وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ
كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى.
Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dan memakai
wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaian yang terbaik, kemudian ia keluar
sehingga ia sampai di masjid kemudian ia shalat semampunya dan tidak mengganggu
siapapun, kemudian berdiam diri sambil memperhatikan kepada khutbah Imam sejak
ia datang sampai ia berdiri shalat, maka perbuatan tersebut menjadi pembebas
dosa antara Jum’at hari itu dan Jum’at yang lain.” [[HR. oleh Ahmad 5/420-421;
hasan dengan penguat hadits sebelumnya].]
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ ﷺ
يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ؟ قَالَ:
لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ
Seorang laki-laki datang (masuk masjid) dan Nabi ﷺ sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Beliau ﷺ bersabda: “Apakah engkau sudah shalat wahai Fulaan ?”.
Ia menjawab: “Belum”. Beliau ﷺ bersabda:
“Berdiri dan shalatlah” [Diriwayatkan oleh Bukhori no. 930 dan Muslim no. 875
(54)].
Dalam riwayat lain, laki-laki yang datang tersebut
adalah Sulaik Al-Ghothofaaniy radliyallaahu ‘anhu:
Dari Jaabir bahwasannya ia berkata:
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَعَدَ
سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: أَرَكَعْتَ
رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْهُمَا
Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari
Jum’at sedangkan Rasulullah ﷺ duduk di
atas mimbar. Maka Sulaik pun duduk sebelum mengerjakan shalat. Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah shalat dua
raka’at ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau ﷺ bersabda:
“Berdiri lalu shalatlah dua raka’at” [HR. Muslim no. 875 (58)].
===***===
KEDUA: SHOLAT SUNNAH RAWAATIB SEBELUM SHOLAT JUM’AT (QOBLIYAH JUM'AT)
Adapun sunnah rawaatib sebelum shalat Jumat, maka
para ulama berbeda pendapat.
Ada dua pendapat:
****
PENDAPAT PERTAMA:
DI SUNNAHKAN SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT
Bahwa dalam sholat Jum'at terdapat sholat Sunnah
Rawaatib Qobliyah.
Ini adalah pendapat para ulama salaf sebagai
berikut :
1. Pendapat madzhab Hanafi,
2. Madzhab Syafi'i menurut yang paling jelas dari
dua pendapat (فِي أَظْهَرِ الْوَجْهَيْنِ).
3. Madzhab Hanbali dalam salah satu dari dua
riwayat.
4. Al-Awzaa’i (wafat. tahun 157 H)
5. Ats-Tsauri (w. 161 H)
6. Abdullah Ibnu al-Mubaarak (w.181 H).
7. Abu Mijlaz, Lahiq bin Humaid al-Bashri al-A’war
(106 H)
8. Thoowus bin Kiisan al-Yamaani, murid Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu (w. 106).
9. An-Nakho’i, Ibrahim bin Yazid (w. 96 H).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"مَنْ فَعَلَ ذَٰلِكَ ذَٰلِكَ لَمْ يُنْكَرْ
عَلَيْهِ"
"Siapa pun yang melakukan itu (Qobliyah Jumat)
; maka tidak boleh di ingkari". [Di nukil oleh al-Mardawaih dalam "Al-Inshāf",
jilid 2, halaman 406 ].
Ibnu al-Arabi dari madzhab Maliki berkata dalam Sharh al-Tirmidzi (2/312):
"وَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَهَا يَعْنِي
الجُمُعَةَ فَإِنَّهُ جَائِزٌ" ا هـ.
“Adapun shalat qobliyah, yaitu sebelum shalat
Jumat, maka itu diperbolehkan.”
Ini adalah pendapak mayoritas para ulama, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab
al-Hanbali.
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam “فَتْحُ
البَارِي”
(8/333-334, Cetk. مَكْتَبَةُ الغُرَبَاءِ):
[وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي الصَّلَاةِ قَبْلَ الجُمُعَةِ:
هَلْ هِيَ مِنَ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ كَسُنَّةِ الظُّهْرِ قَبْلَهَا، أَمْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ
مُرَغَّبٌ فِيهَا كَالصَّلَاةِ قَبْلَ العَصْرِ؟ وَأَكْثَرُ العُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا
سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ، مِنْهُمْ: الأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ،
وَأَصْحَابُهُ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ ذَكَرَهُ القَاضِي أَبُو يَعْلَى
فِي "شَرْح الْمَذْهَبِ" وَابْنُ عَقِيلٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِ
الشَّافِعِيِّ. وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا: لَيْسَتْ سُنَّةً
رَاتِبَةً، بَلْ مُسْتَحَبَّةٌ] إهـ.
[Telah terjadi perbedaan pendapat tentang shalat
sebelum sholat Jum’at:
Apakah itu termasuk sunnah rawaatib, seperti sunnah
qobliyah zuhur, ataukah itu adalah sholat mustahabbah yang dianjurkan seperti
salat mustahabbah sebelum salat Ashar?
Mayoritas para ulama menganggapnya sebagai sunnah
rawaatib, diantaranya: Al-Awza'i (w. 157
H), Al-Tsawri (w. 161 H), Abu Hanifah (w. 150), dan para sahabatnya, dan itu
yang nampak dari pendapat Imam Ahmad, dan Al-Qadhi Abu Ya'la menyebutkannya
dalam " شَرْح الْمَذْهَبِ ", dan juga pendapat Ibnu Aqiil, dan
yang shahih menurut para sahabat Imam Al-Syafi'i.
Dan banyak dari sahabat kita (Madzhab Hanbali.
Pen.) dari kalangan Mutaakhirin berkata: Bahwa Ini bukan sunnah rawaatib,
melainkan mustahabbah “. (Selesai kutipan).
Al-‘Allaamah Al-Mardawai al-Hanbali berkata dalam “الإِنْصَاف” (5/266-267, cet. هجر):
وَعَنْهُ: لَهَا (أَيْ لِلْجُمُعَةِ)
رَكْعَتَانِ، اخْتَارَهُ ابْنُ عَقِيلٍ. قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: هُوَ قَوْلُ
طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الإِمَامِ أَحْمَدَ، قُلْتُ: اخْتَارَهُ الْقَاضِي مُصَرَّحًا
بِهِ فِي "شَرْح الْمَذْهَبِ"، قَالَهُ ابْنُ رَجَبٍ فِي كِتَابِ "نَفْيِ
الْبِدْعَةِ عَنِ الصَّلَاةِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ".
وَعَنْهُ: أَرْبَعٌ بِسَلَامٍ أَوْ
سَلَامَيْنِ، قَالَهُ فِي "الرِّعَايَةِ" أَيْضًا، قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ
الدِّينِ: هُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا أَيْضًا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ:
رَأَيْتُ أَبِي يُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
رَكَعَاتٍ، وَقَالَ: رَأَيْتُهُ يُصَلِّي رَكَعَاتٍ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، فَإِذَا قَرُبَ
الْأَذَانُ أَوِ الْخُطْبَةُ تَرَبَّعَ وَنَكَّسَ رَأْسَهُ. وَقَالَ ابْنُ هَانِئٍ:
رَأَيْتُهُ إِذَا أَخَذَ فِي الْأَذَانِ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا،
قَالَ: وَقَالَ: أَخْتَارُ قَبْلَهَا رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا سِتًّا، وَصَلَاةُ أَحْمَدَ
تَدُلُّ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ. ا.هـ.
[Dan dari nya (yakni: dari sebagian riwayat-riwayat
dari Imam Ahmad): Baginya (yaitu bagi shalat Jumat) ada dua rakaat, ini yang
dipilih oleh Ibnu Aqiil. Syekh Taqiyud-Diin berkata: Ini adalah pendapat
sekelompok dari sahabat-sahabat Imam Ahmad.
Aku berkata: Ini adalah yang dipilih oleh al-Qodhi
sebagaimana secara eksplisit disebutkan dalam “شَرْح
الْمَذْهَبِ”. Ibnu
Rajab mengatakannya dalam kitab “نفي
البِدْعَةِ عن الصَّلاةِ قبلَ الجُمُعَة” (menolak pengklaiman bid'ah tentang shalat qobliyah Jumat).”
Dan dari nya (dari Imam Ahmad Pen.): “Empat rokaat
dalam satu salam atau dua salam”, disebutkan pula dalam "الرِّعَايَةِ" juga.
Syekh Taqiyud-Din berkata: Ini adalah perkataan
sekelompok sahabat kita juga.
Abdullah (bin Imam Ahmad) berkata:
“Saya melihat ayah saya sholat beberapa rokaat di
masjid ketika muadzin telah mengumandangkan adzan pada hari Jumat “. Dan dia
berkata: “Saya melihatnya sholat dua rakaat sebelum khutbah “.
Ibnu Hani' berkata: “Aku melihatnya (imam Ahmad)
jika Muzdin telah mengumandangkan adzan, maka dia bangun dan sholat dua atau
empat rakaat”.
Dia berkata: “Dan dia berkata: Saya memilih dua
rakaat sebelumnya (sebelum sholat Juma’at Pen.) dan enam rokaat setelahnya. Dan
dengan adanya shalat Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa itu adalah mustahab.] (Selesai).
Menurut Madzhab Hanafi: Sunnah Rawaatib Qobliyah Jumat adalah empat
Rokaat, dan sholat Sunnah Rawaatib Ba’diyah juga empat rokaat.
Al-‘Allaamah Ibnu Abidin al-Hanafi mengatakan dalam “رَدُّ
الْمُحْتَارِ عَلَى الدُّرِّ الْمُخْتَارِ” (1/452, Cet. إحياء التراث):
وَسُنَّ مُؤَكَّدًا أَرْبَعٌ قَبْلَ
الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَأَرْبَعٌ بَعْدَها بِتَسْلِيمَةٍ اهـ.
[Adalah disunnahkan sunnah muakkad empat rakaat sebelum
sholat dzuhur, empat rakaat sebelum Jumat, dan empat rokaat setelahnya dengan
satu kali salam ]. (Selesai).
(Lihat pula kitab “(الاختيار
لتعليل المختار)” 1/2228 karya
Abdullah bin Mahmud bin Maudud Al-Maushili Al-Hanafi).
Madzhab Syafi'i mengatakan: Minimal rokaat sholat sunnah rawaatib adalah dua
rakaat sebelumnya, dan dua rakaat setelahnya. (المنهاج
1/216).
Al-‘Allaamah al-Khothiib al-Sharbiini asy-Syafi'i berkata dalam " مغني
المحتاج "
(1/220, cet. Dar al-Fikr):
وَبَعْدَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعٌ،
وَقَبْلَهَا مَا قَبْلَ الظُّهْرِ؛ أَيْ: رَكْعَتَانِ مُؤَكَّدَتَانِ وَرَكْعَتَانِ
غَيْرَ مُؤَكَّدَتَيْنِ اهـ.
[Dan setelah Jumat ada empat rokaat, dan yang
sebelumnya sama seperti sebelum sholat dzuhur; yaitu, dua rakaat yang sunnah
muakkad dan dua rakaat yang tidak mu’akkadi]. (Sls).
****
PENDAPAT KE DUA:
TIDAK DISYARIATKAN SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH JUM'AT
Yakni: Pada sholat Jum'at tidak disyariatkan sholat
sunnah rawaatib qobliyah, namun tetap di syariatkan sholat sunnah mutlak
sebelum Jum’at.
Ini adalah pendapat Madzhab Maliki, dan salah satu
dari dua pendapat dalam madzhab Hanbali.
Adapun Madzhab Maliki: mereka berpendapat tidak ada
sholat sunnah Rawaatib dalam semua sholat fardhu yang lima waktu, baik
sebelumnya (قَبْلِيَّة) maupun sesudahnya (بَعْدِيَّة), namun membolehkan sholat sunnah mutlak.
Al-‘Allamah Ibnu Syaas al-Maliki mengatakan dalam “عَقْدُ الجَوَاهِرِ الثَّمِينَةِ فِي مَذْهَبِ
عَالِمِ الْمَدِينَةِ” (1/133
cet. دار الغرب الإسلامي):
الفَصْلُ الأوَّلُ: فِي الرَّوَاتِبِ،
وَهِيَ المَفْعُولَةُ تَبَعًا لِلْفَرَائِضِ، كَرَكْعَتَيْ الفَجْرِ، وَرَكْعَةِ الوَتْرِ.
وَعَدَّ القَاضِي أَبَا مُحَمَّدٍ، مِنْ ذَٰلِكَ الرُّكُوعِ قَبْلَ العَصْرِ، وَبَعْدَ
المَغْرِبِ. وَقَالَ فِي الْكِتَابِ: قُلتُ: هَلْ كَانَ مَالِكٌ يُؤَقِّتُ قَبْلَ الظُّهْرِ
مِنَ النَّافِلَةِ رَكَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ أَوْ بَعْدَ الظُّهْرِ، أَوْ قَبْلَ العَصْرِ،
أَوْ بَعْدَ المَغْرِبِ، فِيمَا بَيْنَ المَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، أَوْ بَعْدَ العِشَاءِ؟
قَالَ: لَا، وَإِنَّمَا يُؤَقِّتُ فِي هَذَا أَهْلُ الْعِرَاقِ. ا.هـ.
[Pasal Pertama: Tentang sholat sunnah Rawaatib,
yaitu yang dilakukannya mengikuti shalat-shalat Fardhu, seperti dua rakaat
Subuh dan satu rakaat Witir.
Dan Al-Qoodhi Abu Muhammad menyatakan bahwa
termasuk dari rawaatib adalah sholat sunnah sebelum Ashar, dan setelah Maghrib.
Dan dia berkata dalam kitabnya itu: Aku berkata:
Apakah Imam Malik menentukan sebelum Dzuhur jumlah rakaat tertentu dari shalat
Sunnah atau setelah Dzuhur, atau sebelum shalat ashar, atau setelah Maghrib,
antara maghrib dan Isya, atau setelah Isya ?
Dia berkata: Tidak, akan tetapi yang yang
menentukan dalam hal ini adalah penduduk Iraq] (Sls).
Dalam "(Al-Syarḥ al-Ṣaghīr)" 1/511 karya Abu al-Barokaat ad-Dardiir di
sebutkan:
يُكْرَهُ لِشَخْصٍ يُقْتَدَى بِهِ
- كَعَالِمٍ - التَّنَفُّلُ عِندَ الْأَذَانِ الْأَوَّلِ، لَا قَبْلَهُ، لِجَالِسٍ
فِي الْمَسْجِدِ، لَا دَاخِلٍ؛ خَوْفَ اعْتِقَادِ الْعَامَّةِ وُجُوبَهُ، أَمَّا عِندَ
الْأَذَانِ الثَّانِي فَحَرَامٌ، لَكِنْ هَذَا أَيْضًا فِي حَقِّ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ
مِنَ الْعُلَمَاءِ وَوُلَاةِ الْأُمُورِ.
"Makruh bagi seseorang tokoh - seperti seorang
ulama - untuk melakukan sholat sunnah pada adzan pertama bukan sebelumnya, itu
bagi seseorang yang duduk di dalam masjid, bukan bagi yang baru masuk masjid ;
karena khawatir akan menjadi keyakinan masyarakat bahwa itu wajib.
Adapun ketika adzan yang kedua, maka itu adalah
haram, tetapi hal ini juga berlaku haram atas tokoh yang diteladani dari
kalangan para ulama dan para penguasa".
Namun Imam ash-Shofti (الصَّفْتِيّ) dari madzhab Maliki mengatakan dalam
catatan kaki/hasyiyah, ketika mengomentari masalah ini:
فَائِدَةٌ: إِذَا كَانَ شَخْصٌ مَالِكِيًّا
بِحَضْرَةِ جَمَاعَةٍ شَافِعِيَّةٍ أَوْ حَنَفِيَّةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ عِندَ
الْأَذَانِ - أَيِ الْأَوَّلِ - كَمَا قَرَّرَهُ بَعْضُ شُيُوخِنَا
“Faidah: Jika seorang yang bermadzhab Maliki berada
di hadapan jemaah madzhab Syafi'i atau Hanafi, maka tidak mengapa dia sholat
sunnah pada saat adzan - yaitu, yang pertama - seperti yang telah ditetapkan
berdasarkan keputusan sebagian para syeikh kami.” ("Al-Jawāhir
al-Zakiyyah" 2/74)
MADZHAB HANBALI
Adapun MADZHAB HANBALI: maka mereka sepakat bahwa
sholat sunnah sebelum Jum’at itu adalah mustahab. Namun sebagian dari mereka
menjadikannya sebagai sholat sunnah rawaatib (Qobliyah Jumat), dan sebagian lagi
menjadikannya sebagai sholat sunnah mutlak.
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam “فَتْحُ البَارِي” (8/333-334, Cetl. مَكْتَبَةُ
الغُرَبَاءِ):
[أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ
رَاتِبَةٌ، مِنْهُمْ: الْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُ،
وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ ذَكَرَهُ الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى فِي
"شَرْح الْمَذْهَبِ" وَابْنُ عَقِيلٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِ
الشَّافِعِيِّ. وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا: لَيْسَتْ سُنَّةً
رَاتِبَةً، بَلْ مُسْتَحَبَّةٌ] اهـ.
[Mayoritas para ulama menganggapnya (Qobliyah
Jum’at) sebagai sunnah rawaatib, diantaranya: Al-Awza'i (w. 157 H), Al-Tsawri
(w. 161 H), Abu Hanifah (w. 150), dan para sahabatnya, dan itu yang nampak dari
pendapat Imam Ahmad, dan Al-Qadhi Abu Ya'la menyebutkannya dalam " شَرْح الْمَذْهَبِ ", dan juga pendapat Ibnu Aqiil, dan yang shahih menurut
para sahabat Imam Al-Syafi'i.
Dan banyak dari sahabat kita (Madzhab Hanbali.
Pen.) dari kalangan Mutaakhirin berkata: Bahwa Ini bukan sunnah rawaatib,
melainkan mustahabbah “. (Sls).
====*****====
DALIL MASING-MASING PENDAPAT
*****
DALIL PENDAPAT PERTAMA: YAITU SHALAT QOBLIYAH JUMA’AT ITU SUNNAH.
====
KLASIFIKASI DALIL PERTAMA:
DALIL UMUM TENTANG FADLHILAH DAN ANJURAN SHOLAT
SUNNAH SEBELUM SHOLAT DZUHUR:
Fadhilah dan anjuran dalam hadits-hadits berikut
ini bersifat umum, baik di hari Jum'at maupun lainnya. Wallahu A'lam
KE 1: Dari Ummu Habiibah radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
" مَنْ
حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ
عَلَى النَّارِ ".
"Barang siapa yang menjaga shalat empat rakaat
sebelum sholat Dzuhur dan sesudahnya, maka haram baginya api neraka."
(HR. Abu Daud, no. 1269 dan Tirmizi, no. 428. Abu
Isa berkata: "Hadits Hasan Shahih". Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam
Al-Majmu, 4/7, dan Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)
KE 2: Dari Ummu Habibah binti Abi Sufyan radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
"مَنْ
صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي
الجَنَّةِ: أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ
صَلَاةِ الْفَجْرِ صَلَاةِ الْغَدَاةِ".
Barang siapa yang shalat sehari-semalam dua belas
rakaat, maka akan dibangunkan rumah di surga, yaitu: empat rakaat sebelum
Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat
setelah Isya, dan dua rakaat sebelum shalat Fajar, yakni shalat Subuh.”
(HR. Tirmidzi no. 415, ia berkata, “Hasan shahih”.
Dishahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih Turmudzi. Dan Imam Muslim
meriwayatkannya secara ringkas).
KE 3: Dari Abdullah bin as-Saib radhiyallahu ‘anhu
أَنَّ رسولَ اللَّهِ ﷺ كانَ
يُصَلِّي أَرْبعًا بعْدَ أَن تَزول الشَّمْسُ قَبْلَ الظُّهْرِ، وقَالَ:إِنَّهَا
سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبوابُ السَّمَاءِ، فأُحِبُّ أَن يَصعَدَ لِي فيهَا
عمَلٌ صَالِحٌ
"Bahwasanya Rasulullah ﷺ shalat empat rakaat sunnah setelah matahari lingsir
-tergelincir- yaitu sebelum shalat Zuhur -yang wajib- dan bersabda:
"Bahwasanya ini adalah saat dibukanya
pintu-pintu langit, maka saya senang kalau amalan shalihku naik di saat
itu."
(HR. Ahmad no. 15396 [Syu'aib Al-Arna'oot
mengatakan: Sanadnya Shahih]dan Al-Tirmidzi no. 478 dan berkata: Hasan Shahih
[dan Sheikh Ahmad Syaakir mengatakan itu Shahih dan dan sanadnya muttashil],
dan Muhammad at-Tibriizy dalam “Mishkat Al-Mashaabih” no. 1169 [dan Al-Albani
menshahihkannya]).
====
KLASIFIKASI DALIL KEDUA:
AMALAN NABI ﷺ DALAM
MENJAGA SHALAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT DZUHUR:
Nabi ﷺ tidak
pernah meninggalkan Qobliyah Dzuhur, dan mungkin termasuk pada hari Jum'at.
KE 1:
Dalam hadits Ibnu 'Umar dikatakan:
كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللهِ ﷺ
الَّتِي لَا يَدَعُ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ.
Dulu Sholat Rasulullah ﷺ yang
tidak pernah beliau tinggalkan adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua dua rokaat setelah Isya, dan dua
rakaat sebelum Shubuh. (HR. Ahmad no. 7/126, Sanadnya dishahihkan oleh Ahmad
Syaakir).
KE 2:
Dari Aisyah radhiallahu 'anha
أنَّ النَّبيَّ ﷺ كَانَ لا يَدَعُ أرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ
Bahwasanya Nabi ﷺ itu
tidak meninggalkan shalat sunnah sebanyak empat rakaat sebelum Zuhur."
(HR. Bukhari. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1114)
KE 3:
Dari Aisyah radhiallahu 'anha:
أنَّ النَّبيَّ ﷺ كَانَ إذا لَمْ يُصَلِّ أربَعًا قَبلَ
الظُّهْرِ، صَلاَّهُنَّ بَعْدَهَا.
"Bahwasanya Nabi ﷺ apabila
tidak shalat empat rakaat sebelum Zuhur, maka beliau ﷺ shalat
empat rakaat itu sesudah Zuhur."
(HR. Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini
adalah hadis hasan. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1113)
KE 4:
Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula, katanya:
كَانَ
النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي في بَيْتِي قَبْلَ
الظُّهْرِ أرْبَعًا، ثُمَّ يَخْرُجُ، فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ يَدْخُلُ
فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ. وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ المَغْرِبَ، ثُمَّ يَدْخُلُ
فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَيُصَلِّي بِالنَّاسِ العِشَاءِ، وَيَدْخُلُ بَيتِي
فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.
"Nabi ﷺ shalat
di rumahku empat rakaat sebelum Zuhur kemudian keluar lalu shalat bersama orang
banyak, terus masuk rumah lagi lalu shalat dua rakaat. Beliau ﷺ itu juga shalat Maghrib bersama orang banyak lalu
masuk rumah terus shalat dua rakaat sunnah dan beliau ﷺ shalat
Isya' dengan orang banyak dan masuk rumah lalu shalat dua rakaat sunnah. (HR.
Muslim no. 730, Ahmad no. 24019 dan Abu Daud no. 1251. Dikutip dari Riyadhush
sholihin no. 1115)
KE 5:
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ
رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا.
"Saya shalat bersama Rasulullah ﷺ dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat
sesudahnya." (Muttafaq 'alaih B. 1165. Dikutip dari Riyadhush sholihin no.
1113)
Ibnul Qoyyim dalam "زاد
المعاد" 1/425 berkata:
" قَدْ
ذَكَرَ أبو داود عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ
صَلَّى أَرْبَعًا، وَإِذَا صَلَّى فِي بَيْتِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ".
“Abu Dawud telah menyebutkan dari Ibnu Umar bahwa
ketika dia sholat di masjid dia sholat empat rokaat, dan ketika dia akan sholat
di rumahnya ; sholat dua rokaat.”
[Lihat: Sunan al-Tirmidzi No. (523), Syarah Shahih
al-Bukhari oleh Ibnu Battal 2/525, Zad al-Ma'ad 1/425, Tuhfat al-Ahwadzi 3/48,
Hujjatullah al-Bālighah 2/25 dan Mirqāt al-Mafātīḥ Syarḥ Misykāt al-Maṣābīḥ* 4/143].
====
KLASIFIKASI DALIL KETIGA:
SHOLAT JUM’AT ADALAH PENGGANTI SHOLAT DZUHUR.
Adapun bilangan rokaat nya dua rokaat, maka ada
beberapa hadits yang menjelaskan bahwa pada asalnya sholat dzuhur itu dua
rokaat, diantaranya:
Dari 'Aisyah radliyallaahu 'anha, dia berkata:
"
أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ اَلصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ،
فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ اَلسَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ اَلْحَضَرِ".
"Sholat itu awalnya diwajibkan dua rakaat,
lalu ia ditetapkan sebagai sholat dalam safar (perjalanan jauh), dan sholat
dalam keadaan mukim disempurnakan (ditambah)". Muttafaq Alaihi. (Bukhori.
No.350 dan Muslim no. 1107. Lihat pula Bulughul Maraam no. 453)
Menurut riwayat Imam Bukhari:
"ثُمَّ
هَاجَرَ، فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا، وَأُقِرَّتْ صَلَاةُ اَلسَّفَرِ عَلَى اَلْأَوَّلِ ".
Kemudian beliau hijrah, lalu diwajibkan sholat
empat rakaat, dan sholat dalam perjalanan ditetapkan seperti semula. [Lihat
Bulughul Maraam no. 454 ]
Imam Ahmad menambahkan:
إِلَّا اَلْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا
وِتْرُ اَلنَّهَارِ، وَإِلَّا اَلصُّبْحَ، فَإِنَّهَا تَطُولُ فِيهَا
اَلْقِرَاءَةُ
Kecuali Maghrib karena ia witir sholat siang dan
kecuali Shubuh karena bacaan di dalamnya panjang. [Lihat Bulughul Maraam no.
455 ]
Dan Waktu shalat Jum'at adalah waktu shalat dzuhur,
maka sunnahnya sama seperti sunnah shalat dzuhur.
Ada hadits dari Ummu Habiibah radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
"
مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ
الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ ".
"Barang siapa yang menjaga shalat empat rakaat
sebelum Dzuhur dan sesudahnya, maka haram baginya api neraka."
(HR. Abu Daud, no. 1269 dan Tirmizi, no. 428. Abu
Isa berkata: "Hadits Hasan Shahih". Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam
Al-Majmu, 4/7, dan Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)
Dan Nabi ﷺ tidak
pernah meninggalkan Qobliyah Dzuhur, termasuk pada hari Jum'at.
Dari Aisyah radhiallahu 'anha
أنَّ النَّبيَّ ﷺ كَانَ لا يَدَعُ أرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ
Bahwasanya Nabi ﷺ itu
tidak pernah meninggalkan shalat sunnah empat rakaat sebelum Dzuhur." (HR.
Bukhari. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1114)
Dari Aisyah radhiallahu 'anha:
أنَّ النَّبيَّ ﷺ كَانَ إذا لَمْ يُصَلِّ أربَعًا قَبلَ
الظُّهْرِ، صَلاَّهُنَّ بَعْدَهَا.
Bahwasanya Nabi ﷺ apabila
tidak sempat shalat empat rakaat sebelum Zuhur, maka beliau ﷺ shalat empat rakaat itu sesudah Zuhur."
Dan dalam hadits Ibnu 'Umar dikatakan:
كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ الَّتِي لَا يَدَعُ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ.
Dulu Sholat Rasulullah ﷺ yang
tidak pernah beliau tinggalkan adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua dua rokaat setelah Isya, dan dua
rakaat sebelum Shubuh. (HR. Ahmad no. 7/126, Sanadnya dishahihkan oleh Ahmad
Syaakir).
IMAM BUKHORI menulis "BAB : QOBLIYAH JUM'A'T".
Mungkin dengan adanya hadits-hadits yang di
sebutkan yang mendorong imam Al-Bukhari untuk menulis Bab dalam “Shahih” nya:
بَابُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
وَقَبْلَهَا
BAB: Sholat setelah [Ba'diyah] Jum'at dan sebelum
nya [Qobliyah] ".
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan hadits Abdullah
bin Umar radhiyallahu 'anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ
يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَ
الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَبَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ
لَا يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Bahwa Rosulullah ﷺ biasa
melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat
setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak
mengerjakan sholat setelah pelaksanaan Sholat Jum’at hingga beliau pulang ke
rumah, lalu beliau ﷺ sholat
dua rakaat." (HR. Bukhori no. 895).
Dalam hal ini Imam al-Bukhari rahimahullah
berpandangan bahwa shalat Jum'at sama seperti sholat Dzuhur, meskipun Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma menyebutkan dua rakaat shalat setelah shalat Jumat, dan
tidak menyebutkan apa pun sebelumnya.
Dengan demikian, maka Imam al-Bukhari berpendapat
bahwa sholat sunnah qobliyah Jum'at itu adalah sholat qobliyah yang disebutkan
oleh Ibnu Umar sebelum sholat dzuhur, oleh karena itu Imam Bukhori berkata:
بَابُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
وَقَبْلَهَا
"BAB: Sholat setelah [Ba'diyah] Jum'at dan
sebelum nya [Qobliyah]".
Imam an-Nawawi berkata dalam “مِنْهَاجُ الطَّالِبِينَ” (hal. 36, Cet. Dar al-Fikr):
قُلتُ: هُمَا سُنَّةٌ عَلَى الصَّحِيحِ؛
فِي "صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ" الْأَمْرُ بِهِمَا وَبَعْدَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعٌ،
وَقَبْلَهَا مَا قَبْلَ الظُّهْرِ.
[Aku berkata: Dua rokaat itu adalah Sunnah menurut
pendapat yang Shahih; karena dalam "Shahih Al-Bukhari" ada perintah
untuk melakukannya, dan empat setelah Jumat, dan adapun sebelum Jum’at maka
sama dengan sebelum sholat Dzuhur ]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ
البَارِي” 2/126 berkata:
قَالَ ابن الْمُنِيرِ فِي الْحَاشِيَةُ
كَأَنَّهُ يَقُولُ الْأَصْلُ اسْتِوَاءُ الظُّهْرِ وَالْجُمُعَةِ حَتَّى يَدُلَّ
دَلِيلٌ عَلَى خِلَافِهِ لِأَنَّ الْجُمُعَةَ بَدَلُ الظُّهْرِ قَالَ وَكَانَتْ
عِنَايَتُهُ بِحُكْمِ الصَّلَاةِ بَعْدَهَا أَكْثَرَ وَلِذَلِكَ قَدَّمَهُ فِي
التَّرْجَمَةِ عَلَى خِلَافِ الْعَادَةِ فِي تَقْدِيمِ الْقَبْلِ عَلَى الْبَعْدِ
انْتَهَى
Ibnu al-Munir mengatakan dalam “الْحَاشِيَةُ”: seolah-olah dia (Bukhori) mengatakan bahwa pada hukum asalnya
Dzuhur dan Jumat itu sama rata, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa Jumat
berbeda dengan dzuhur ; Karena sebenarnya Jum’at itu pengganti Dzuhur.
Dia mengatakan: bahwa perhatiannya (Bukhori)
terhadap shalat sunnah Qobliyah lebih banyak dari pada Ba’diyah oleh karena itu
dia mendahulukan penyebutannya dalam BAB, yang mana itu menyelisihi
kebiasaannya dalam hal mendahulukan pembahasan qobliyah dari pada Ba’diyah “.
====
KLASIFIKASI DALIL KEEMPAT :
SETIAP SHOLAT FARDHU TERDAPAT SHOLAT SUNNAH
QOBLIYAH:
Shalat Jum'at adalah shalat FARDHU.
الأصْلُ أَنْ كُلَّ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ
يُشْرَعُ قَبْلَهَا صَلاةُ رَكْعَتَيْنِ.
“Pada prinsip dasarnya adalah bahwa setiap shalat
fardhu disyariatkan sholat sunnah dua rakaat sebelumnya”.
Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu 'anhuma, dia
berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«مَا مِنْ صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلَّا وَبَيْنَ
يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ»
“Tidak ada shalat furdhu. kecuali sebelumnya ada
dua raka 'at."
Hadis ini dimasukkan oleh Abbas At-Tarqufi di dalam
kitab hadisnya (Q.14/1). Ibnu Nasher di dalam Qiyamul-Lail (hal. 26). Ar-Ruyani
di dalam Musnad-nya (Q. 1/238).
Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya (hadis no.
615), Ath-Thabrani di dalam Al-Mu'jamid-kabir (juz II/210/69), lbnu Adi di
dalam Al-Kamil (Q/46), dan Ad-Daruquthni di dalam kitab Sunan-nya (hal. 99),
dari dua jalur yang berasal dari Tsabit bin Ijlan. dari Sulaim bin Amir dari Abdillah
bin Zubair secara marfu'.
Hadits ini di Shahihkan oleh Ibnu Hibbaan dan Ibnu
as-Sakan.
Syeikh al-Albaani dalam *Silsilat al-Aḥādīth
al-Ṣaḥīḥah*
109/118 no. 232 berkata:
“Saya menilai: Dengan demikian maka hadisnya
SHAHIH. Sebab ia tidak berbeda dengan perawi-perawi tsiqah. Bahkan sesuai
dengan hadis Abdullah bin Mughaffal yang diriwayatkannya secara marfu', dengan
matan:
«بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ»
"Di antara dua adzan terdapat shalat. Di
antara dua adzan terdapat shalat “. Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga
kalinya: “Bagi siapa saja yang menghendakinya ". (Mutataqun alaihi /Al-Bukhari
(627) dan Muslim (838)). (Selesai kutipan dari al-Albaani).
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” 3/351, berkata:
وَأَقْوَى مَا يَتَمَسَّكُ بِهِ
مِن مَشْرُوعِيَّةِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ عُمُومُ مَا صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ
مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوعًا: (مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ
إِلَّا بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ).
"Dalil yang paling kuat yang dijadikan
pegangan dalam hal disyariatkannya dua rakaat sebelum shalat Jum'at adalah
keumuman dari hadits yang shahihkan oleh Ibnu Hibban dari Abdullah bin
Al-Zubair radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang marfu':
«مَا مِنْ صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلَّا وَبَيْنَ
يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ»
“Tidak ada shalat furdhu. kecuali sebelumnya ada
dua raka 'at."
Begitu pula sholat sunnah sebelum sholat Maghrib:
Dari Abdullah bin Mughoffal radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi ﷺ bersabda:
صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ
المَغْرِبِ، قالَ في الثَّالِثةِ: لِمَن شاءَ؛ كَراهيةَ أنْ يَتَّخِذَها النَّاسُ
سُنَّةً.
"Shalatlah kalian sebelum Maghrib."
Kemudian beliau ber¬sabda untuk yang ketiga kalinya '' Bagi siapa saja vang
menghendakinya ". Beliau khawatir manusia akan menganggapnya sunnah."
(HR. Bukhori no. 1183).
Dalam lafadz Riwayat Abdullah al-Muzani
radhiyallahu ‘anhu
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ صَلَّى
قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: (صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ).
ثُمَّ قَالَ عِندَ الثَّالِثَةِ: (لِمَن شَاءَ) خَافَ أَنْ يَحْسَبَها النَّاسُ سُنَّةً.
Bahwa Rosulullah ﷺ sholat
dua rokaat sebelum maghrib, kemudian beliau bersabda:
"Shalatlah dua raka'at sebelum Maghrib".
Kemudian beliau ber¬sabda untuk yang ketiga kalinya'' Bagi siapa saja yang
menghendakinya. Beliau khawatir manusia akan menganggapnya sunnah." (HR.
Ibnu Hibbaan dalam Shahihnya no. 1588)
Maksud dari kata: " Beliau khawatir manusia
akan menganggapnya sunnah."
يَعْنِي: طَرِيقَةً لَازِمَةً يُوَاظِبُونَ
عَلَيْهَا، وَيُنكِرُونَ تَرْكَهَا؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أُمِرُوا بِأَمْرٍ اَلْتَزَمُوهُ
حَتَّى يَظُنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَيْهِمْ.
Yakni: khawatir di kiranya sebuah keharusan yang
harus mereka lakukan terus menerus, dan orang-orang akan mengingkari jika
meninggalkannya; Karena biasanya jika mereka diperintahkan untuk melakukan
sesuatu, mereka akan mematuhinya dan menekuninya sehingga ada yang mengira
bahwa itu diwajibkan atas mereka.
FAIDAH DAN MANFAAT SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH :
Imam Abu al-Fath Ibnu Daqiiq al-‘Iid berkata dalam
“إِحْكَامُ الْأَحْكَامِ” (1/1999, Cet. مطبعة
السنة المحمدية):
[وَفِي تَقْدِيمِ السُّنَنِ عَلَى الْفَرَائِضِ
وَتَأْخِيرِهَا عَنْهَا: مَعْنًى لَطِيفٌ مُنَاسِبٌ.
أَمَّا فِي التَّقْدِيمِ: فَلَأَنَّ
الْإِنسَانَ يَشْتَغِلُ بِأُمُورِ الدُّنْيَا وَأَسْبَابِهَا، فَتَتَكَيَّفُ النَّفْسُ
مِنْ ذَٰلِكَ بِحَالَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ حُضُورِ الْقَلْبِ فِي الْعِبَادَةِ وَالْخُشُوعِ
فِيهَا الَّذِي هُوَ رُوحُهَا، فَإِذَا قُدِّمَتِ السُّنَنُ عَلَى الْفَرِيضَةِ تَأَنَّسَتِ
النَّفْسُ بِالْعِبَادَةِ، وَتَكَيَّفَتْ بِحَالَةٍ تَقْرُبُ مِنَ الْخُشُوعِ، فَيَدْخُلُ
فِي الْفَرَائِضِ عَلَى حَالَةٍ حَسَنَةٍ لَمْ تَكُنْ تَحْصُلُ لَهُ لَوْ لَمْ تُقَدَّمِ
السُّنَّةُ؛ فَإِنَّ النَّفْسَ مَجْبُولَةٌ عَلَى التَّكَيُّفِ بِمَا هِيَ فِيهِ، لَا
سِيَّمَا إِذَا كَثُرَ أَوْ طَالَ، وَوُرُودُ الْحَالَةِ الْمُنَافِيَةِ لِمَا قَبْلَهَا
قَدْ يَمْحُوْ أَثَرَ الْحَالَةِ السَّابِقَةِ أَوْ يُضْعِفُهُ.
وَأَمَّا السُّنَنُ الْمُتَأَخِّرَةُ:
فَلِمَا وَرَدَ أَنْ النَّوَافِلَ جَابِرَةٌ لِلنُّقْصَانِ فِي الْفَرَائِضِ. فَإِذَا
وَقَعَ الْفَرْضُ نَاسَبَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَهُ مَا يُجَبِّرُ خَلَلًا فِيهِ إِنْ
وَقَعَ.]. اهـ.
[Dalam mendahulukan (sholat) Sunnah sebagai
pendahuluan sebelum melaksanakan sholat-sholat Fardhu dan mengakhirkannya
setelah sholat sunnah terdapat makna yang lembut dan tepat sesuai kondisi.
Adapun sholat sunnah dijadikan pendahuluan: karena
seseorang itu disibukkan dengan hal-hal duniawi dan sebab-sebabnya, maka jiwa
akan berusaha menyesuaikan diri dengan suasana ibadah dari kondisi sebelumnya
yang jauh dari suasana kehadiran hati dalam ibadah dan kekhusyu’an di dalamnya,
yaitu RUH-nya.
Jika sunnah didahulukan dari yang wajib, maka jiwa
menjadi siap dan familiar untuk ibadah, dan telah terkondisikan dengan keadaan
khusyuk. Ketika dia masuk ke dalam ibadah fardhu maka dia dalam kondisi yang
bagus yang tidak akan bisa didapatkan jika sunnah tidak didahulukan. Karena
karakter jiwa itu butuh beradaptasi dengan apa yang ada di dalamnya, apalagi
jika itu sering atau berkepanjangan.
Dan terjadinya keadaan yang bertentangan dengan apa
yang mendahuluinya dapat menghapus efek dari keadaan sebelumnya atau melemahkannya.
Adapun sunnah-sunnah yang sesudah sholat Fardhu
(Sunnah Ba’diyah): maka karena adanya keterangan bahwa sunnah-sunnah itu untuk
menutupi kekurangan dalam shalat-shalat Fardhu. Dengan demikian jika selesai
malaksankan yang Fardhu, maka setelah itu akan ada sesuatu yang bisa menutupi
cacat di dalamnya, jika itu benar terjadi adanya”. ((Selesai kutipan))
====
KLASIFIKASI DALIL KELIMA :
ANTARA ADZAN DAN IQOMAH ADA SHOLAT SUNNAH:
Hadits Abdullah bin Mughaffal رضي الله عنه bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
«بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ»
"Di antara dua adzan terdapat shalat. Di
antara dua adzan terdapat shalat “. Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga
kalinya: “Bagi siapa saja yang menghendakinya ".
(Hadits Mutataqun alaihi /Al-Bukhari (627) dan
Muslim (838))..
Dan Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam “المَجْمُوعُ” (4/10 Cet. Dar Al-Fikr):
أَنْ هَذَا الْحَدِيثُ هُوَ الْعُمْدَةُ
فِي مَشْرُوعِيَّةِ سُنَّةِ الْجُمُعَةِ القَبْلِيَّةِ.
“Hadits ini merupakan pilar utama dalam
pensyariatan sholat sunnah qobliyah Jumat”.
Imam Ibnu al-Mulaqqin al-Syaafi'i mengatakan dalam
Risalah-nya tentang masalah ini:
[الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ ﷺ: «بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ»:
الْأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَمَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ ذَٰلِكَ] اهـ.
[Apa yang dimaksud dengan sabda Nabi ﷺ:
"di antara setiap dua adzan": yakni adzan dan iqaamah, dan apa yang
kita bahas di sini (Qobliyah Jumat) adalah bagian dari itu] (Sls). [Lihat Sharḥ Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī
2/252 karya Ibnu Baththool]
Ibn Baththool dalam Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 2/252 dan Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” 2/106 menukil IJMA’ tentang sunnahnya sholat dua rakaat di antara dua
adzan.
Kecuali di MAGHRIB ; Mereka berbeda pendapat dalam
hal qobliyah maghrib. Namun ada beberapa hadits shahih tentang Qobliyah
Maghrib, diantaranya hadits Anas radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:
كُنَّا بِالمَدِينَةِ فَإذَا
أذَّنَ المُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ المَغْرِبِ، ابْتَدَرُوا السَّوَارِيَ، فَرَكَعُوا
رَكْعَتَيْنِ، حَتَّى إنَّ الرَّجُلَ الغَريبَ لَيَدْخُلُ المَسْجِدَ فَيَحْسَبُ
أنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا
"Kita semua ada di Madinah, maka jikalau
muazzin telah selesai adzan untuk shalat Maghrib, maka orang-orang sama
bersegera ke ruang dalam masjid lalu shalat dua rakaat, sehingga sesungguhnya
seorang yang asing -yang tempatnya bukan di Madinah-, kalau ia masuk masjid
pasti mengira bahwa shalat wajib Maghrib sudah selesai dikerjakan karena
banyaknya orang yang shalat sunnah dua rakaat sebelum Maghrib itu."
(HR. Bukhori no. 625 dan Muslim no. 837. Dan ini
lafadz Muslim).
Hadits Abdullah bin Mughaffal, dan Abdullah bin
Al-Zubair radhiyallahu ‘anhuma yang disebutkan diatas adalah hadits yang paling
kuat dijadikan pegangan dalam pensyaritan sholat Sunnah Qobliyah Jumat ;
Seperti yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” (4/3 Cet. Dar Al-Ma’rifah).
====
KLASIFIKASI DALIL KEENAM :
SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT YANG DILAKUKAN OLEH NABI ﷺ:
Hadits ke 1:
Ibnu Majah meriwayatkan:
Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya,
menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Abdi Robbih, menceritakan kepada kami
Mubasysyir bin Ubaid dari Hajjaj bain Arthoh, dari ‘Athiyyah Al Ufiy dari Ibnu
Abbas radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata
"كَانَ
النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا لا يَفْصِلُ فِي شَيْءٍ
مِنْهُمَا".
Dulu Nabi ﷺ biasa
shalat sebelum jum’at empat raka’at dan beliau tidak memisahkan dengan apa pun
dari keduanya (Yakni: 4 rakaat dengan satu salam). [HR. Ibnu Majah no. 1129]
Dalam lafadz Thabrani dalam “المَعْجَمُ الكَبِيرُ” dari Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhu:
"كَانَ
رَسُولُ الله ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا لا
يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ"
Rosulullah ﷺ dulu
biasa shalat sebelum shalat Jumat empat rakaat, dan setelahnya empat rakaat.
Dan beliau ﷺ tidak memisahkan diantara keempatnya dengan salam
Al-Hafidz berkata dalam “التَّلْخِيصُ
الْحَبِيرُ”:
وَفِي ابْنِ مَاجَهْ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لَا
يُفَصِّلُ بَيْنَهُنَّ بِشَيْءٍ، وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدًّا.
Dan dalam Sunan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: Nabi ﷺ dulu melakukan sholat empat rakaat sebelum shalat
Jumat, tidak dipisahkan oleh apa pun, dan sanadnya sangat lemah. [Liahat التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ (2/149) Cet. مؤسسة قرطبة].
Dan dalam *‘Awn al-Ma‘būd* 3/477 dalam syarah Hadits no. 1115 di katakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ جِدًّا
وَلَا تَقُومُ بِهِ الْحُجَّةُ، بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ كَثِيرُ التَّدْلِيسِ، وَمُبَشِّرٌ
مُنْكِرُ الْحَدِيثِ. قَالَ أَحْمَدُ: كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ. وَالْحَجَّاجُ بْنُ
أَرْطَأَةَ تَرَكَهُ يَحْيَى الْقَطَّانُ وَابْنُ مَهْدِيٍّ، وَعَطِيَّةُ ضَعَّفَهُ
الْجُمُهُورُ.
" Hadits ini sangat lemah dan tidak bisa di
jadikan hujjah. Baqiyyah ibnu al-Waliid adalah banyak melakukan tadliis, dan
Mubasyar hadits nya munkar. Ahmad berkata: Dia biasa memalsukan hadits.
Al-Hajjaj bin Artho'ah ditinggalkan haditsnya oleh Yahya Al-Qaththan dan Ibnu
Mahdii, dan Athiyyah dilemahkan oleh Jumhur "
Syeikh al-Albaani berkata dalam الِأَجْوِبَةِ ٱلنَّافِعَةِ no. 32: "Dho'if sekali ".
Dan ini - meskipun para ulama mendhaifkannya – akan
tetapi hadits-hadits shahih yang akan disebutkan sebelum dan sesudah ini adalah
sebagai Syahid baginya.
Ibnu Qudamah mengatakan dalam “Al-Mughni”:
فَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ
فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ إِلَّا مَا رُوِيَ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَرْكَعُ
مِنْ قَبْلِ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا". رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ.
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ سَعِيدِ بْنِ
الْعَاصِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنْتُ أَلْقَى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَإِذَا
زَالَتِ الشَّمْسُ قَامُوا فَصَلَّوْا أَرْبَعًا.
“Adapun shalat Qobliyah Jumat, saya tidak tahu
apa-apa tentang itu kecuali apa yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ dulu pernah sholat empat rakaat sebelum shalat
Jum'at”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Dan Amr bin Saeed bin Al-Aas meriwayatkan dari
ayahnya, dia berkata:
Saya bertemu dengan para sahabat Rasulullah ﷺ, maka
ketika matahari tergelincir condong ke barat, mereka berdiri lalu shalat empat
rakaat “.
Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan sebagian dari apa
yang digunakan para ulama madzhab Syafi'i sebagai dalil untuk Madzhab nya [ٱلْمُغْنِي (4/220)].
Pernyataan Ibnu Qudaamah di atas mengisyaratkan
akan keshahihan riwayat Sunnah Qobliyah Jum'at dari Nabi ﷺ.
Wallaahu a'lam.
Hadits ke 2:
Diriwayatkan dari Hushoin bin Nashr Abi Jaafar,
telah bercerita pada kami Khalifah, telah bercerita pada kami Muhammad bin
Abdur-Rahman al-Sahmi, telah bercerita pada kami Hushoin, dari Abu Ishaq, dari
Ashim bin Dhomroh dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
"كَانَ
رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا ، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا ؛
يَجْعَلُ التَّسْلِيمَ فِي آخِرِهِنَّ رَكْعَةً"
"Rasulullah ﷺ sholat
sebelum Jum’at empat, dan setelahnya empat; menjadikannya dalam satu salam
diakhir rakaat keempat."
[HR. ath-Thabrani dalam “ٱلْأَوْسَطُ”, dan di dhaifkan sanadnya oleh al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي (2/126)”.
Hadits ini disebutkan pula oleh al-Hafidz Ibnu
Hajar dengan sanadnya dalam "Lisān al-Mīzān" 5/245, biografi no.849.
Di dalam sanad hadits terdapat perawi yang berna ma
Muhammad bin Abdul Rahman Al-Sahmi. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ
السَّهْمِيُّ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حُصَيْنٍ. قَالَ الْبُخَارِيُّ : "لَا يُتَابَعُ
عَلَى رِوَايَتِهِ". وَقَالَ الْفَلَّاسُ: "تُوُفِّيَ سَنَةَ سَبْعٍ وَثَمَانِينَ
وَمِائَةٍ". وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ: "عِنْدِي لَا بَأْسَ بِهِ، رَوَى عَنْهُ
ابْنُ الْمُثَنَّى وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ. انْتَهَى. وَقَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ:
"ضَعِيفٌ". وَنَقَلَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي
الثِّقَاتُ.
“(Riwayat) Muhammad ibnu Abdur-Rahman al-Sahmi
al-Baahili, dari Husain, Imam al-Bukhari berkata, “Dia tidak bisa di jadikan
mutaba’ah pada riwayatnya ”.
Al-Falas berkata, “Dia meninggal pada tahun seratus
delapan puluh tujuh.” Ibnu ‘Adiy berkata, “Tidak masalah dengannya, telah
meriwayatkan darinya Ibnu Al-Mutsanna dan Nashr bin Ali.(Sls).
Yahya bin Ma’in mengatakan: “dia lemah”. Dan itu
dikutip oleh Ibnu Abi Haatim.
Dan Ibnu Hibban menyebutkan dia dalam kitab “الثِّقَاتُ” (Yakni: kumpulan para perawi yang dipercaya)”. [Lihat "Lisān
al-Mīzān"
5/245, biografi no.849 ].
Maskipun di dalam sanadnya ada perawi yang
diperdebatkan tentang dirinya, yaitu Muhammad bin Abdul Rahman Al-Sahmi, namun
Syeikh ‘Ali Al-Qaari (w. 1014 H) mengatakan dalam kitabnya “مِرْقَاةُ الْمَفَاتِيحِ شَرْحُ مِشْكَاةِ
الْمَصَابِيحِ”:
وَقَدْ جَاءَ فِي إِسْنَادٍ جَيِّدٍ
– كَمَا قَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِيُّ – أَنَّهُ ﷺ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَهَا أَرْبَعًا
“Diriwayatkan dengan Sanad Jayyid/bagus,
sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz al-‘Iraqi: “Bahwa Rasulullah ﷺ shalat empat rakaat sebelum Jum’at “.”.
Hadits ke 3:
Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya Imam ath-Thabrani
dari Abu Hurairah:
كَانَ النَّبِيّ ﷺ يُصَلِّي
قَبْلَ الجُمْعَةِ رَكْعَتَيْن وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ
Dulu Nabi ﷺ senantiasa
melaksanakan shalat dua rakaat sebelum Jum’at dan dua rakaat setelahnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan
hadits ini dalam kitab “التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ” tanpa komentar, maka ini hadits shahih
atau hadits hasan menurut kaedah Al-Hafidz yang masyhur.
Namun dalam “فَتْحُ
البَارِي (2/162) al-Hafidz Ibnu Hajar dengan tegas
mengatakan dho’if sanadnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَوَاهُ
الْبَزَّارُ بِلَفْظِ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا
أَرْبَعًا وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, diriwayatkan
oleh al-Bazzar dengan lafadz:
“Bahwa Beliau ﷺ senantiasa
shalat dua rakaat sebelum Jumat dan setelahnya empat “.
Dan dalam Sanad ada kelemahan “.
Hadits ke 4:
Dari Nafi’, berkata:
"كَانَ
ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي
بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ، وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ
يَفْعَلُ ذَلِكَ"
“Ibnu Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum
(shalat) Jum’at, dan shalat (sunah) setelahnya dua raka’at di rumahnya, dia
mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ juga
melakukan yang demikian itu.”
[HR. Abu Daud, no. 1128, Tirmidzi, no. 522, Nasai,
no. 1429, Ibnu Majah, no. 1130. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (2/349), dan
Ibnu Hibbaan dalam Sahih Ibnu Hibban (6/220). Lafaz hadis ini sesuai redaksi
periwayatan Abu Daud]
Di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan.
Dalam kitab "Khulāṣat al-Aḥkām" 2/812, Imam an-Nawawi menyatakan:
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي
"سُنَنِهِ"، وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ فِي "صَحِيحَيْهِمَا"،
وَإِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ.
“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, Ibnu Khuzaymah
dalam shahinya dan Ibnu Hibban dalam Shahih nya. Dan Sanadnya sesuai dengan
syarat Shahih al-Bukhari “.
[Di nukil pula dalam "Naṣhbur Rāyah" 2/244 karya az-Zaila’i w. 762 ].
Abu Abdur-Rahman Syarf al-Haq al-‘Adziim Abaadi
mengatakan dalam kitab "ʿAwn
al-Maʿbūd" 1/438:
قُلْتُ: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي
شَرَحَهُ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَة: صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ،
وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ: إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لَا جَرَمَ،
وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ. اهـ.
“Aku berkata: Hadits Ibnu Umar yang telah
dijelaskannya, Al-Nawawi mengatakan dalam "Al-Khulāṣah": “Ini sahih sesuai ketentuan Al-Bukhari”.
Dan al-Iraqi berkata dalam Sharh al-Tirmidzi:
Sanadnya shahih, dan tidak ada pelanggaran. Dan riwayatkan pila oleh Ibnu
Hibbaan dalam Shahihnya “. (Selesai).
Lafadz dalam Riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Naafi’,
ia berkata:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ
Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke masjid)
pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar (untuk
berkhuthbah)”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403;
sanadnya shahih].
Syeikh Ahmad Syarif an-Na’saan berkata dalam
fatwanya no. 4976:
" رَوَى الطَّحَاوِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ كَمَا فِي
آثَارِ السُّنَنِ عَنْ عَبْدِ الله بنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: (أَنَّهُ
كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ،
ثُمَّ بَعْدَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا)".
Ath-Thohaawi meriwayatkan - dan sanadnya SHAHIH,
seperti dalam atsar-atsar Sunan, dari Abdullah bin Umar - semoga Allah meridhoi
keduanya -:
(Bahwa Dia biasa shalat empat rakaat sebelum Jumat,
tidak memisahkan antara empat rakaat tsb dengan Salam, kemudian setelah Jumat
dua rakaat kemudian empat “.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/426:
ٱحْتَجَّ بِهِ النَّوَوِيُّ فِي
ٱلْخُلَاصَةِ عَلَى إِثْبَاتِ سُنَّةِ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا.
“Dengan hadits ini Al-Nawawi dalam “ٱلْخُلَاصَة” berargumentasi untuk menetapkan Sunnah nya sholat Qoblyah
Jumat “.
Dan Al-Iraqi berkata: Sanadnya Shahih.
BANTAHAN:
Al-Zarqani mengatakan pada "Al-Mawāhib
al-Laduniyyah" 8/29:
وَٱحْتَجَّ بِهِ ٱلنَّوَوِيُّ فِي
ٱلْخُلَاصَةِ عَلَى إِثْبَاتِ سُنَّةِ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا؛ لِأَنَّ ٱسْمَ
ٱلْإِشَارَةِ (ذَلِكَ) يَرْجِعُ إِلَى ٱلْأَمْرَيْنِ ـ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَهَا وَٱلصَّلَاةِ
بَعْدَهَا فِي ٱلْبَيْتِ ـ لَٰكِنِ ٱلصَّحِيحُ أَنَّ ٱسْمَ ٱلْإِشَارَةِ رَاجِعٌ إِلَى
ٱلثَّانِي ـ ٱلصَّلَاةِ ٱلْبَعْدِيَّةِ ـ لِمَا رَوَاهُ ٱللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ
نَافِعٍ عَنِ ٱبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى ٱلْجُمُعَةَ ٱنْصَرَفَ فَسَجَدَ
سَجْدَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ قَالَ: كَانَ ٱلنَّبِيُّ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ. رَوَاهُ
مُسْلِمٌ.
وَأَمَّا إِطَالَةُ ٱبْنِ عُمَرَ
ٱلصَّلَاةَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ فَإِمَّا أَنْ تَكُونَ بَعْدَ دُخُولِ ٱلْوَقْتِ، وَذَٰلِكَ
لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَرْفُوعًا؛ لِأَنَّ ٱلنَّبِيَّ كَانَ يَخْرُجُ إِذَا زَالَتِ
ٱلشَّمْسُ فَيَشْتَغِلُ بِٱلْخُطْبَةِ ثُمَّ بِصَلَاةِ ٱلْجُمُعَةِ وَلَا يَتَنَفَّلُ،
وَإِمَّا أَنْ تَكُونَ قَبْلَ دُخُولِ ٱلْوَقْتِ فَذَٰلِكَ مُطْلَقُ نَافِلَةٍ لَا
صَلَاةَ رَاتِبَةٍ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ لِسُنَّةِ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا، وَقَدْ
وُرِدَ ٱلتَّرْغِيبُ فِي ٱلتَّنَفُّلِ قَبْلَ وَقْتِ ٱلْجُمُعَةِ. أهـ.
Al-Nawawi berargumentasi dengannya dalam “ٱلْخُلَاصَة” sebagai dalil akan Sunnahnya Qobliyah Jum’at. Karena isim
Isyarah/kata tunjuk (ذَلِكَ) di sini mengacu pada dua hal - sholat sebelum dan sholat
sesudahnya di rumah -.
Akan tetapi yang shahih bahwa isim isyarah/kata
tunjuk tsb mengacu pada yang kedua – yaitu setelah sholat Jum’at, berdasarkan
hadits riwayat al-Laits bin Sa’ad dari Naafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu:
أنَّهُ كانَ إذَا صَلَّى
الجُمُعَةَ انْصَرَفَ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ في بَيْتِهِ، ثُمَّ قالَ: كانَ
رَسولُ اللهِ ﷺ يَصْنَعُ ذلكَ
Bahwa ketika dia selesai shalat Jumat, maka dia
pulang dan melakukan sholat dua rokaat di rumahnya, lalu dia berkata:
Rasulullah ﷺ senantiasa melakukan demikian “. (HR. Muslim no.
882).
Adapun Ibnu Umar yang memanjangkan shalat-nya
sebelum shalat Jum'at, jika itu terjadi setelah masuknya waktu, maka itu tidak
bisa dikatakan Marfu’ kepada Nabi ﷺ, Karena Nabi biasa keluar ketika matahari
telah condong ke barat (masuk waktu dzuhur), maka beliau akan sibuk
menyampaikan khotbah, kemudian sibuk dengan sholat Jumat, maka beliau tidak
akan punya waktu untuk sholat sunnah (Qobliyah).
Dan jika sholat sunnahnya sebelum waktunya, maka
itu adalah shalat sunnah mutlak, bukan sunnah rawaatib, dengan demikian maka
tidak ada dalil di dalamnya untuk sunnah qobliyah Jum'at, dan adapun adanya
anjuran untuk sholat sunnah itu maka itu sebelum masuk waktu sholat Jum'at”.
(Selesai kutipan).
Al-Hafidz Ibnu Hajar juga dlam (فَتْحُ البَارِي (2/125), syarah hadits no. 937) berkata mirip seperti diatas:
وَأَمَّا قَوْلُهُ كَانَ
يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ فَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ بَعْدَ دُخُولِ
الْوَقْتِ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَرْفُوعًا لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ
إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَيَشْتَغِلُ بِالْخُطْبَةِ ثُمَّ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ
وَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَذَلِكَ مُطْلَقُ نَافِلَةٍ
لَا صَلَاةٌ رَاتِبَةٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ لِسُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي
قَبْلَهَا بَلْ هُوَ تَنَفُّلٌ مُطْلَقٌ وَقَدْ وَرَدَ التَّرْغِيبُ فِيهِ
“Dan adapaun perkataanya: “memperpanjang shalat
sebelum Jum'at “, maka jika yang dimaksud adalah setelah masuk waktunya ; maka
itu tidak shahih dinyatakan marfu’ kepada Nabi ﷺ ;
karena beliau ﷺ biasa
keluar ketika matahari tergelincir condong ke barat, maka beliau disibukkan
dengan khuthbah kamudian sholat Jum’at.
Dan jika yang dimaksud itu sebelum masuk waktunya ;
maka itu sholat sunnah mutlak, bukan sholat sunnah rawaatib, maka tidak bisa di
jadikan hujjah untuk sunnah qobliyah Jum’at, melainkan sunnah muthlaq, karena
telah ada hadits yang menganjurkannya “. [Selesai].
JAWABAN:
Jawaban pertama:
Abu Abdur-Rahman Syarf al-Haq al-‘Adziim Abaadi
mengatakan dalam kitab "ʿAwn
al-Maʿbūd" 1/438:
وَٱلْحَدِيثُ - أَيِ ٱلْحَدِيثُ
ٱبْنِ عُمَرَ ٱلْمُتَقَدِّمُ - يَدُلُّ عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّةِ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ
وَلَمْ يَتَمَسَّكِ ٱلْمَانِعُ مِنْ ذَٰلِكَ إِلَّا بِحَدِيثِ ٱلنَّهْيِ عَنْ ٱلصَّلَاةِ
وَقْتَ ٱلزَّوَالِ وَهُوَ مَعَ كَوْنِ عُمُومِهِ مُخَصَّصًا بِيَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ لَيْسَ
فِيهِ مَا يَدُلُّ عَلَىٰ ٱلْمَنَعِ مِنَ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ عَلَىٰ ٱلْإِطْلَاقِ
وَغَايَةُ مَا فِيهِ ٱلْمَنَعُ فِي وَقْتِ ٱلزَّوَالِ وَهُوَ غَيْرُ مَحِلِّ ٱلنِّزَاعِ
وَٱلْحَاصِلُ أَنَّ ٱلصَّلَاةَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ مُرَغَّبٌ فِيهَا عُمُومًا.
Dan hadits – yaitu hadits Ibnu Umar sebelumnya –
menunjukkan disyariatkannya shalat qobliyah Jum’at, dan seseorang tidak bisa
melarangnya kecuali jika ada hadits larangan sholat pada waktu zawaal (dzuhur),
dan itu meskipun berpredikat umum yang dikhusuhkan dengan hari jum’at, namun
itu tidak ada dalil yang menunjukkan larangan sholat sebelum sholat Jum’at
secara mutlak atau absolut. Ujung-ujungnya dalam permasalahan ini adalah
larangan sholat pada waktu zawaal (matahari tergelincir condong ke barat), dan
itu diluar masalah yang kita perdebatkan. Dan kesimpulannya shalat sebelum
Jumat pada umumnya dianjurkan”.
Jawaban ke dua:
Nabi ﷺ telah
shalat empat rakaat atau dua rokaat sebelum khutbah Jumat, itu dilakukan di
rumahnya sebelum beliau pergi ke mesjid untuk khotbah Jumat.
Dalam riwayat Bukhori: Dari Abdullah bin Umar:
أنَّ رَسولَ اللَّهِ ﷺ كانَ
يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ، وبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ، وبَعْدَ
المَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ في بَيْتِهِ، وبَعْدَ العِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ، وكانَ لا
يُصَلِّي بَعْدَ الجُمُعَةِ حتَّى يَنْصَرِفَ، فيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.
"Bahwa Rosulullah ﷺ biasa
melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat
setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak
mengerjakan sholat setelah pelaksanaan Sholat JUM’AT hingga beliau pulang, lalu
sholat dua rakaat." (HR. Bukhori no. 937)
Dan Nabi ﷺ tidak
pernah meninggalkan Qobliyah Dzuhur, termasuk pada hari Jum'at. Dalam lafadz
lain dari hadits Ibnu 'Umar, beliau berkata:
كَانَتْ صَلاةُ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ الَّتِي لَا يَدَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ.
Dulu Sholat Rasulullah ﷺ yang tidak pernah beliau ﷺ tinggalkan adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua
rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua dua rokaat setelah Isya, dan
dua rakaat sebelum Shubuh. (HR. Ahmad no. 7/126, Sanadnya dishahihkan oleh
Ahmad Syaakir).
Ibnul Qoyyim dalam "Zād al-Ma'ād" 1/425 berkata:
قَدْ ذَكَرَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ
إِبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى فِي ٱلْمَسْجِدِ صَلَّى أَرْبَعًا، وَإِذَا
صَلَّى فِي بَيْتِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
“Abu Dawud telah menyebutkan dari Ibnu Umar bahwa
ketika dia sholat di masjid dia sholat empat rokaat, dan ketika dia akan sholat
di rumahnya ; sholat dua rokaat.”
[Lihat: Sunan al-Tirmidzi No. (523), Syarah Shahih
al-Bukhari oleh Ibnu Battal 2/525, Zad al-Ma'ad 1/425, Tuhfat al-Ahwadzi 3/48, "Hujjatullah
al-Bālighah"
2/25, "Mirqāt al-Mafātīḥī Sharḥ Mishkāt al-Maṣābīḥ" 4/143]
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam "Ath-Ṭhabaqāt"
8/491 dari Yazid bin Harun, dari Hammaad bin Salamah, dari Shaafiyyah (صَافِيَة).
Hammaad mendengar Shaafiyyah (صَافِيَة) berkata:
"
رَأَيْتُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيِّ صَلَّتْ أَرْبَعًا
قَبْلَ خُرُوجِ الإمَامِ وَ صَلَّتْ الجُمْعَةَ مَع الإمَامِ
رَكْعَتَيْنِ".
“Saya melihat Shofiyyah (صَفِيَّة) binti
Huyayy shalat empat rakaat sebelum imam keluar, dan dia shalat Jumat bersama
imam dua rakaat.”
Az-Zaila'i (w. 762) menyebutkan dalam "Naṣhbur
Rāyah"
1/31:
أَنَّ ابْنَ سَعِيدٍ رَوَى فِي ٱلطَّبَقَٰتِ
أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ صَلَّتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ
لِلْجُمُعَةِ ثُمَّ صَلَّتِ ٱلْجُمُعَةَ مَعَ ٱلْإِمَامِ رَكْعَتَيْنِ.
Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat bahwa
Shofiyyah binti Huyyay shalat empat rakaat sebelum imam keluar untuk shalat
Jumat, kemudian shalat Jumat bersama imam dua rakaat.
Dan Ibnu Hajar menyebutkannya dalam “فَتْحُ البَارِي” (3/553):
وَرَوَى ابنُ سَعْدٍ عَنْ
صَفِيَّةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ مَوْقُوفًا نَحْوَ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Shofiyyah, istri Nabi ﷺ dengan sanad mauquf, mirip hadits Abu Hurairah.
Dan al-Hafidz ibnu Hajar tidak berkomentar, ini
menunjukkan bahwa atsar tsb shahih atau hasan menurutnya seperti biasa nya.
Shofiyyah itu adalah istri Nabi ﷺ, maka
kemungkinan besar atau pada umumnya dia melihat Nabi ﷺ melakukan
itu sebelum beliau pergi ke masjid.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al Hasan
Abdurrahman bin Muhammad bin Yasir dalam (hadits Abu Qasim Ali bin Ya’kub, 108)
dari Ishaq bin Idris, telah menceritakan kepada kami Aban, telah bercerita
kepada kami, Ashim Al-Ahwal dari Nafi’ dari ‘Aisyah secara marfu’ dengan
lafazh:
كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ
الْجُمْعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي أَهْلِهِ
Rasulullah biasa shalat dua raka’at sebelum Jum’at
di rumahnya.
Maka hadits ini batil lagi palsu. Ishaq telah
merusaknya. Dia adalah al-Aswari al-Bashari. Ibnu Mu’ayyan berkata tentang
Ishaq,” Dia seorang pendusta, pemalsu hadits.” (Lihat "الِأَجْوِبَةِ ٱلنَّافِعَةِ" hlm. 28). Ishaq ini, hanya seorang diri dalam
meriwayatkan hadits ini.
Namun ada riwayat hadits lain masih dari 'Aisyah
radhiyallaahu ‘anha, disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Rajab dalam Fathul Baari
8/334:
وَفِي "صَحِيحِ ابْنِ حِبَّانِ"،
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَرَجَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
وَرَوَيْنَاهُ مِنْ وَجْهِ آخَرَ
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: مَا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ عِندِي قَطُّ إِلَّا صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ.
" Dalam Shahih Ibnu Hibban, dari Aisyah
radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Dulu Rasulullah ﷺ terbiasa
jika hendak keluar, maka dia sholat dua rakaat terlebih dahulu.
Dan kami meriwayatkannya dari sisi lain dari Aisyah
radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ sama
sekali tidak pernah keluar dari rumah ku kecuali setelah shalat dua
rakaat". (Sls)
====
KLASIFIKASI DALIL KETUJUH:
PERINTAH NABI ﷺ UNTUK
SHALAT SUNNAH QOBLIYAH JUM'AT:
Dari Jaabir bin ‘Abdillah رضي الله
عنه, ia
berkata:
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ ﷺ
يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ ؟
قَالَ: لَا ، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ
Seorang laki-laki datang (masuk masjid) dan Nabi ﷺ sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Beliau ﷺ bersabda: “Apakah engkau sudah shalat wahai Fulaan
?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau ﷺ bersabda:
“Berdiri dan shalatlah” [Diriwayatkan oleh Bukhori no. 930 dan Muslim no. 875
(54)].
Dalam riwayat lain, laki-laki yang datang tersebut
adalah Sulaik Al-Ghothofaaniy radliyallaahu ‘anhu:
Dari Jaabir bahwasannya ia berkata:
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَعَدَ
سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: أَرَكَعْتَ
رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْهُمَا
Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari
Jum’at sedangkan Rasulullah ﷺ duduk di atas
mimbar. Maka Sulaik pun duduk sebelum mengerjakan shalat. Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah shalat dua
raka’at ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau ﷺ bersabda:
“Berdiri lalu shalatlah dua raka’at” [HR. Muslim no. 875 (58)].
ADANYA TAMBAHAN KATA DALAM RIWAYAT LAIN :
Dalam riwayat Ibnu Maajah terdapat tambahan kata
dalam matannya, yaitu kata:
“Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum
engkau datang [ke mesjid] ?
Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu
Hurairah dan dari Jaabir, keduanya berkata:
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ
وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: " أَصَلَّيْتَ
رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "، قَالَ: لَا، قَالَ: " فَصَلِّ
رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
“Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid)
sedangkan Rasulullah ﷺ sedang
berkhuthbah. Maka Nabi ﷺ bersabda
kepadanya:
“Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum
engkau datang ?”. Ia berkata: “Belum”.
Beliau ﷺ bersabda:
“Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah” [HR. Ibnu Maajah no. 1114].
Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’laa no. 1946 dan Ibnu
al-A’roobi dalam Mu’jam-nya.
Dari Abu Hurairah. Dan dari Jaabir, keduanya
berkata:
جَاءَ سُلَيْكُ الْغَطَفَانِيُّ
وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ: "
أَصَلَّيْتَ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "، قَالَ: لا، قَالَ: " فَصَلِّ
رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
“Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid)
sedangkan Rasulullah ﷺ sedang
berkhuthbah. Maka Nabi ﷺ bersabda
kepadanya:
“Apakah engkau sudah shalat sebelum engkau datang
?”. Ia berkata: “Belum”.
Beliau ﷺ bersabda:
“Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah”
DERAJAT HADITS :
Imam Majdud-Diin Ibnu Taimiyah al-Hanbali
menyatakan: Sanadnya Tsiqoot (orang-orang yang di percaya).
Dan di Shahikan pula oleh al-‘Iraaqi asy-Syaafi’i.
(Lihat: "Nayl al-Awtār" 4/355 Cet. Dār Ibnu al-Qoyyim)
Al-Hafidz Waliyud-Din Al-Iraqi mengatakan tentang
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, semoga Allah
meridhoinya:
رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِ
بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ. اهـ.
“Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya
dengan Sanad yang shahih “.
Lalu dia berkata tentang hadits Jabir, yang juga
diriwayatkan oleh Ibnu Majah (5):
قَالَ وَالِدِي – يَعْنِي ٱلْحَافِظَ
عَبْدَ ٱلرَّحِيمِ ٱلْعِرَاقِيِّ – رَحِمَهُ ٱللَّهُ فِي شَرْحِ ٱلتِّرْمِذِيِّ: وَإِسْنَادُهُ
صَحِيحٍ. اهـ.
“Ayahku – artinya Hafiz Abdur-Rahim al-‘Iraaqi –
semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam Syarah al-Tirmidzi: “dan sanadnya
shahih ‘. (Baca: "Ṭhorḥ at-Tatsrīb fī Sharḥ at-Taqrīb" 3/42).
Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Ibnu Majah
no. 922:
صَحِيحٌ دُونَ قَوْلِهِ: "قَبْلَ
أَنْ تَجِيء" فَإِنَّهُ شَاذٌّ.
“Shahih tanpa perkataannya: “sebelum kamu datang “,
karena, itu adalah syaadz “.
FIQIH HADITS
Majdud-Diin Ibnu Taimiyah al-Hanbali berkata dalam
“مُنْتَقَى ٱلْأَخْبَار” (di cetak dengan syarahnya "Nayl al-Awthār"
4/355 Cet. Dār
Ibnu al-Qayyim):
وَقَوْلُهُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ»
يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ سُنَّةٌ لِلْجُمُعَةِ قَبْلَهَا، وَلَيْسَتْ
تَحِيَّةً لِلْمَسْجِدِ. ا.هـ.
[Dan ucapan beliau ﷺ: "sebelum kamu datang" ini
menunjukkan bahwa dua rakaat ini adalah sholat Sunnah sebelum shalat Jumat
(Sunnah Qobliyah Jumat), dan bukan sebagai tahiyyatul masjid.] (Sls).
BANTAHAN:
Pernyataan Majdud-Diin Ibnu Taimiyah ini di bantah
oleh cucunya yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan juga oleh al-Hafidz al-Mizzy,
dan diikuti oleh Ibnu al-Qoyyim serta lainnya dengan mengatakan bahwa itu
adalah تَصْحِيفٌ (ada
yang dirubah) dari riwayat “sebelum kamu duduk”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah
berkata:
لَمْ يَذْكُرْ الرَّافِعِيُّ
فِي سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا حَدِيثًا، وَأَصَحُّ مَا فِيهِ مَا
رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ عَنْ دَاوُد بْنِ رُشَيْدٍ، عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، عَنْ
الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ،
عَنْ جَابِرِ قَالَ: «جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ
يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ: أَصْلَيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ قَالَ: لَا،
قَالَ: فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا». قَالَ الْمَجْدُ ابْنُ
تَيْمِيَّةَ فِي الْمُنْتَقَى: قَوْلُهُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ» دَلِيلٌ عَلَى
أَنَّهُمَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا، لَا تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ.
وَتَعَقَّبَهُ الْمَزِيُّ: بِأَنَّ الصَّوَابَ: أَصَلَّيْت رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ
أَنْ تَجْلِسَ؟ فَصَحَّفَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ
“Ar-Raafi’iy tidak menyebutkan hadits tentang
shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Dan hadits yang paling shahih tentangnya adalah
adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dari Daud bin Rusyaid, dari Hafsh
bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dan dari Abu
Sufyaan, dari Jaabir, keduanya berkata:
Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) sedangkan
Rasulullah ﷺ sedang berkhuthbah. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah shalat dua
raka’at sebelum engkau datang ?”. Ia berkata: “Belum”. Beliau ﷺ bersabda: “Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah”.
Al-Majd bin Taimiyyah berkata dalam Al-Muntaqaa:
“Sabda beliau ﷺ: ‘sebelum engkau datang’, merupakan dalil bahwa shalat dua raka’at
tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at, bukan tahiyyatul-masjid”.
Al-Mizziy mengkritiknya bahwasannya yang benar:
‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau duduk ?’. Sebagian
perawinya telah melakukan tashhiif (terjadi perubahan)” [التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ (2/149)].
Perkataan Al-Mizziy ini dinukil juga oleh
Ibnul-Qayyim [زاد المعاد (1/434)] dan Al-Mubaarakfuriy [تحفة الأحوذي (2/61)].
JAWABAN :
Imam Ibnu Al-Mulaqqin Al-Syafi'i menjawab bantahan
diatas dalam Risalah nya diberi judul: “اَلتَّكْلِيمُ
عَلَىٰ سُنَّةِ الْجُمُعَةِ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا” (hal. 37-38, Cet. حلب). Dia berkata:
لَا شَكَّ فِي بُعْدِ هَذَا عَنْ
ٱلتَّصْحِيفِ؛ فَٱلنُّسَخُ ٱلْمُتَقَنَةُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ»، وَكَذَٰلِكَ وَقَعَ
فِي سَمْعِنَا، وَهِيَ زِيَادَةٌ مِّنْ ثِقَةٍ، مِنْ غَيْرِ مُعَارَضَةٍ لِمَا فِي
ٱلصَّحِيحِ فَتُقْبَلُ، وَقَدْ أَفْصَحَ بِمَا قُلْنَا الشَّيْخُ مَجْدُ ٱلدِّينِ بْنُ
تَيْمِيَّةَ. اهـ
Tidak ada keraguan bahwa ini jauh dari adanya تَصْحِيفٌ
(perubahan tulisan) ; karena nuskhoh nya (salinannya) sempurna dan meyakinkan,
yaitu: "sebelum kamu datang" dan begitu pula yang terjadi dalam
pendengaran kami (simaa’/سماع), dan itu adalah tambahan lafadz hadits dari orang yang
tsiqoh/dipercaya, tanpa adanya pertentangan dengan yang terdapat dalam kitab
ash-Shahih (Shahih Muslim. Pen), maka (tambahan ini) harus diterima. Dan apa
yang kami katakan ini, telah di jelaskan oleh Syekh Majdud-Din bin Taimiyyah
dengan gamblang “.
Al-‘Allaamah Muhammad Anwar Shah al-Kashmiri dalam
“فَيْضُ ٱلْبَارِي عَلَىٰ صَحِيحِ ٱلْبُخَارِيّ” (2/443, Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyya)
mengatakan:
كَيْفَ يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِٱلتَّصْحِيفِ
وَمَعَ أَنَّ ٱلْإِمَامَ ٱلْأَوْزَاعِيَّ وَإِسْحَاقَ بْنَ رَاهُوَيْهِ رَحِمَهُمَا
ٱللَّهُ تَعَالَىٰ بَنَيَا عَلَيْهِ مَذْهَبَهُمَا، فَذَهَبَآ إِلَىٰ أَنَّهُۥ يُصَلِّيهِمَا
فِي ٱلْبَيْتِ وَإِلَّا فَفِي ٱلْمَسْجِدِ، وَإِنْ دَخَلَ ٱلْإِمَامُ فِي ٱلْخُطْبَةِ،
وَقَدْ مَرَّ مَعَنَآ أَنَّ ٱلْحَدِيثَ إِذَا ظَهَرَ بِهِ ٱلْعَمَلُ انْقَطَعَ عَنْهُ
ٱلْجَدَلُ. اهـ
Bagaimana bisa itu dihukumi adanya تَصْحِيفٌ
(perubahan tulisan) padahal Imam Al-Awza'i (w. 157 H) dan Ishaq bin Rahawayh
(w. 238 H) رحمهما الله, mereka berdua telah membangun madzhabnya dalam hal tersebut diatas
hadits ini, sehingga mereka berdua berpendapat bahwa seseorang shalat dua
rokaat di rumahnya, dan jika tidak maka di masjid, meskipun imam sudah masuk
dalam khutbahnya.
Dan telah lewat pembahasan bersama kami bahwa jika
ada sebuah hadits sudah nampak diamalkan ; maka putuslah perdebatan “.
Al-Hafidz berkata dalam التَّلْخِيصُ
الْحَبِيرُ:
وَفِي ابْنِ مَاجَهْ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لَا
يُفَصِّلُ بَيْنَهُنَّ بِشَيْءٍ، وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدًّا. وَفِي الْبَابِ عَنْ
ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَلِيٍّ -رَضِيَ اللَّهِ عَنْهُ- فِي الطَّبَرَانِيِّ ٱلْأَوْسَطِ.
وَصَحَّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مِنْ فِعْلِهِ رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَفِي الطَّبَرَانِيِّ
ٱلْأَوْسَطِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ
رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ رَوَاهُ فِي تَرْجَمَةِ أَحْمَدَ بْنِ عَمْرٍو.
Dan dalam Sunan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: Nabi ﷺ dulu melakukan sholat empat rakaat sebelum shalat
Jumat, tidak dipisahkan oleh apa pun, dan sanadnya sangat lemah.
Dalam bab ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ali
- semoga Allah meridhoinya - oleh al-Tabarani dalam al-Awsath.
Dan telah Shahih dari Ibnu Mas'ud dari amalannya,
itu diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq.
Dan al-Tabarani dalam al-Awsat meriwayatkan dari
Abu Huraira bahwa Nabi ﷺ biasa
shalat dua rakaat sebelum shalat Jumat dan kemudian dua rakaat sesudahnya,
diriwayatkan dalam biografi Ahmad bin Amr. [Liahat التَّلْخِيصُ
الْحَبِيرُ (2/149)
Cet. مؤسسة قرطبة].
Dalam "Ad-Diroyah" 1/217-218 al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata:
أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ
ابْنِ مَسْعُودٍ كَانَ يَأْمُرُ بِذَٰلِكَ. وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ.
Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dari Ibnu Mas`ud:
“Bahwa dia menyuruh untuk itu”. Perawinya dapat dipercaya
====
KLASIFIKASI DALIL KEDELAPAN :
ATSAR PARA SAHABAT DAN TAABI'IIN:
Atsar Para as-salaf ash-shalih dari kalangan para
sahabat dan para Tabi’iin dan orang-orang yang susudah mereka dari para imam
yang diikuti.
-----
PERTAMA: ATSAR UMMUL MUKMININ SHOFIYYAH BINTI
HUYYAY radhiyallaahu ‘anhu, ISTRI NABI ﷺ:
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam “الطبقات” 8/491 dari Yazid bin Harun, dari Hammaad bin Salamah, dari Shaafiyyah
(صَافِيَة).
Hammaad mendengar Shaafiyyah (صَافِيَة) berkata:
"
رَأَيْتُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيِّ صَلَّتْ أَرْبَعًا
قَبْلَ خُرُوجِ الإمَامِ وَ صَلَّتْ الجُمْعَةَ مَع الإمَامِ
رَكْعَتَيْنِ".
“Saya melihat Shofiyyah (صَفِيَّة) binti
Huyayy shalat empat rakaat sebelum imam keluar, dan dia shalat Jumat bersama
imam dua rakaat.”
Al-Zaila'i (w. 762) menyebutkan dlam "Naṣhbur
Rāyah"
1/31:
أَنَّ ابْنَ سَعْدٍ رَوَى فِي ٱلطَّبَقَاتِ
أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ صَلَّتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ
لِلْجُمُعَةِ ثُمَّ صَلَّتِ ٱلْجُمُعَةَ مَعَ ٱلْإِمَامِ رَكْعَتَيْنِ.
"Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat
bahwa Shofiyyah binti Huyyay shalat empat rakaat sebelum imam keluar untuk
shalat Jumat, kemudian shalat Jumat bersama imam dua rakaat".
Di sebutkan pula oleh Ibnu Rojab dalam “فَتْحُ البَارِي (8/329), dia berkata:
رَوَى ابْنُ سَعْدٍ فِي "طَبَقَاتِهِ"
بِإِسْنَادِهِ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّهَا صَلَّتِ
الْجُمُعَةَ مَعَ الْإِمَامِ، فَصَلَّتْ قَبْلَ خُرُوجِهِ أَرْبَعًا. وَقَالَ النَّخَعِيُّ:
كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يُصَلُّوا قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا. خَرَّجَهُ ابْنُ
أَبِي الدُّنْيَا فِي "كِتَابِ الْعِيدَيْنِ" بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.
Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat dengan
sanadnya dari Shofiyyah binti Huyyay Ummul Mukminin رضي الله
عنها:
Bahwa dia shalat empat rakaat sebelum imam keluar
untuk shalat Jumat, kemudian shalat Jumat bersama imam dua rakaat.
An-Nakha'i berkata: Mereka menyukai shalat empat
rakaat sebelum sholat Jumat.
Itu dimasukkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam "كِتَابُ الْعِيدَيْنِ" dengan SANAD YANG SHAHIH". (Selesai).
Dan Ibnu Hajar menyebutkannya dalam “فَتْحُ البَارِي” (3/553):
وَرَوَى ابنُ سَعْدٍ عَنْ
صَفِيَّةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ مَوْقُوفًا نَحْوَ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Shofiyyah, istri Nabi ﷺ dengan sanad mauquf, mirip hadits Abu Hurairah.
Dan al-Hafidz ibnu Hajar tidak berkomentar, ini
menunjukkan bahwa atsar tsb shahih atau hasan menurutnya seperti biasa nya.
Shofiyyah itu adalah istri Nabi ﷺ, maka
kemungkinan besar atau pada umumnya dia melihat Nabi ﷺ melakukan
itu sebelum beliau pergi ke masjid.
------
KEDUA: ATSAR IBNU MAS'UD :
Atsar dari Ibnu Mas’ud رضي الله
عنه:
(أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا
وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا)
Beliau biasa shalat empat rakaat sebelum dan
sesudah shalat Jum'at.
[HR. Al-Tirmidzi (2/399, di bawah no.: 523).
Al-Tirmidzi meriwayatkannya secara mu’allaq dengan shighat at-Tamriidh, MAUQUF
kepada Ibnu Masoud ].
Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dalam “al-Mushonnaf”
(3/247 no. 5524) dari Muammar dari Qatada:
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَبَعْدَهَا أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ.
“Ibnu Masoud radhiyallahu ‘anhu, biasa shalat empat
rakaat sebelum shalat Jumat dan empat rakaat sesudahnya..”
Di shahihkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar
al-‘Asqalaani dalam “التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ (2/149) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
" وَصَحَّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مِنْ فِعْلِهِ رَوَاهُ عَبْدُ
الرَّزَّاقِ.
“Dan telah Shahih dari Ibnu Mas’ud dari amalannya,
itu diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq. [Lihat التَّلْخِيصُ
الْحَبِيرُ 2/149. Cet. مؤسسة قرطبة].
Yang dzohir/nampak dari atsar ini adalah
bersumber/tauqiif dari Nabi ﷺ. Dan bukan merupakan hasil ijtihad dari Ibnu Masoud, semoga
Allah meridhoinya.
Dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (1/463)
meriwayatkan:
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُصَلِّي
قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا.
“Bahwa Ibnu Masoud biasa shalat empat rakaat
sebelum sholat Jumat “.
Dari Abu Abdur Rahman as-Sulami, dia
berkata:
" كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
يَأْمُرُنَا أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا،
حَتَّى جَاءَنَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ بَعْدَهَا
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَرْبَعًا.
“Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu biasa
memerintahkan kita untuk shalat empat rakaat sebelum Jumat, dan sesudahnya
empat. Sehingga Ali radhiyallahu ‘anhu datang kepada kami, maka dia
memerintahkan kami untuk shalat dua rakaat sesudah sholat Jumat, kemudian
empat.”
Itu dimasukkan oleh Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf
3/247 no. 5525, dan oleh al-Tabarani dalam al-Mu`jam al-Kabir 9/310.
Syeikh Ahmad Syarif an-Na’saan berkata dalam
fatwanya no. 4976:
وَجَاءَ فِي "آثَارِ السُّنَنِ":
إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ، وَهُوَ مَوْقُوفٌ فِي حُكْمِ الْمَرْفُوعِ، فَإِنَّ الظَّاهِرَ
أَنَّهُ إِنَّمَا أَمَرَ بِهٰذَا لِمَا ثَبَتَ عِنْدَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ فِيهِ شَيْءٌ.
Dan itu ada dalam kitab “آثَارِ السُّنَنِ”: Sanadnya Shahih, dan itu MAUQUF dalam
hukum MARFU’, karena tampaknya dia tidak sekali-kali menyuruhnya kecuali karena
telah ada ketetapan dari Nabi ﷺ tentang
hal itu.
Sa'iid bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya:
أَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَكَانَ ابْنُ
مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ،
وَبَعْدَهَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ.
Para sahabat, radhiyallahu 'anhum, biasa shalat
empat rakaat sebelum shalat Jumat, dan Ibnu Mas’ud, radhiyallahu 'anhu, biasa
shalat empat rakaat sebelum shalat Jumat., dan kemudian empat rakaat
setelahnya. [Lihat pula: *Maʿrifat
as-Sunan wa al-Ātsār* 4/338, karya al-Baihaqi. Cet. Dār
al-Waʿy.]
Dalam kitab *Ad-Dirayah fi Takhrīj
Aḥādīth
al-Hidāyah*
1/217-218. al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ
ابْنِ مَسْعُودٍ كَانَ يَأْمُرُ بِذَٰلِكَ. وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ.
“Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dari Ibnu Mas`ud:
“Bahwa dia dulu menyuruhnya untuk itu (sholat sunnah sebelum sholat jumat
Pen.). Perawinya dapat dipercaya “.
Dalam kitab “إِطْفَاءُ
الفِتَنِ عَلَى إِعْلَاءِ السُّنَنِ” karya
Asyrof ‘Ali at-Tahaanuwii di sebutkan:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْمُرُنَا
أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا. رَوَاهُ عَبْدُ
الرَّزَّاقِ فِي مُصَنَّفِهِ إِلَّا هُوَ.
“Bahwa dia dulu menyuruh kami agar kami sholat
empat Rokaat sebelum Jum’at dan empat rokaat sesudahnya. HR. Abdurrozaaq dalam
Mushonnaf nya “
Dan dalam “آثار
السنن”:
“Sanadnya Shahih “. (Sls).
Ada sebagian ulama yang berkomentar:
لَا يُقَالُ: إِنَّ هَذَا نَفْلٌ
مُطْلَقٌ لَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ لِلْجُمُعَةِ، فَالنَّفْلُ الْمُطْلَقُ يُرَغَّبُ فِيهِ
تَرْغِيبًا عَامًّا وَلَا يُعَلَّمُ وَلَا يُؤْمَرُ بِهِ أَمْرَ إِرْشَادٍ بِهَذِهِ
الْعِنَايَةِ وَهَذَا التَّأْكِيدِ مِنْ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَهَذَا الْأَثَرُ ٱلْمَوْقُوفُ
لَهُ حُكْمُ ٱلْمَرْفُوعِ؛ لِأَنَّ ٱلظَّاهِرَ أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ عَنْهُ مِنَ النَّبِيِّ
ـ ﷺ ـ فِيهِ شَيْءٌ، وَإِلَّا لَمَا أَمَرَ بِهِ. يَقُولُ ٱلْكَمَالُ بْنُ ٱلْهَمَامِ
تَعْلِيقًا عَلَىٰ قَوْلِ صَاحِبِ "ٱلْهِدَايَةِ" "وَلَمْ يَكُنْ عَلَىٰ
عَهْدِ رَسُولِ ٱللَّهِ ـ ﷺ ـ إِلَّا هَذَا الْأَذَانِ": إِنَّ مَا رُوِيَ عَنْ
ابْنِ مَسْعُودٍ ذَهَبَ إِلَيْهِ ابْنُ ٱلْمُبَارَكِ وَٱلثَّوْرِيُّ.
Tidak boleh dikatakan: Ini adalah Sunnah mutlak,
bukan sunnah rawaatib untuk shalat Jum'at. Karena Sunnah mutlak itu anjurannya
bersifat umum, tidak diajarkan dan tidak diperintahkan dengan perintah
bimbingan yang penuh perhatian seperti ini, dan ini adalah ta’kiid/pengukuhan
dari Ibnu Mas’ud.
Dan atsar ini MAUQUF pada Ibnu Mas’ud namun
berhukum MARFU’, Karena tampaknya telah ada ketetapan dari Nabi ﷺ bahwa ada sesuatu di dalamnya, jika tidak, maka
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak akan memerintahkannya. (Selesai).
Al-Kamaal bin Al-Hamaam berkata, mengomentari
perkataan penulis kitab “الهداية”:
وَلَمْ يَكُنْ عَلَىٰ عَهْدِ رَسُولِ
ٱللَّهِ ـ ﷺ ـ إِلَّا هَذَا الْأَذَانُ.
“Pada masa Rasulullah ﷺ, tidak ada apa-apa selain adzan ini “.
Jawabannya:
إِنَّ مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
ذَهَبَ إِلَيْهِ ابْنُ ٱلْمُبَارَكِ وَٱلثَّوْرِيُّ.
Pada kenyataanya apa yang diriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud, itu menjadi madzhab Ibnu al-Mubarak dan ats-Tsauri”.
[Lihat pula: *‘Awn al-Ma‘bud* 3/447. syarah hadits
no. 1115.
RIWAYAT MARFU’:
Dalam kitab *Tuḥfat al-Aḥwadzī* 3/41 (Cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah).:
أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَرَوَاهُ
الطَّبَرَانِيُّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوعًا، وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ وَانْقِطَاعٌ
كَذَا فِي فَتْحِ الْبَارِي.
Abd al-Razzaq dan al-Tabarani meriwayatkannya dari
Ibnu Mas`ud dengan sanad marfu’ kepada Nabi ﷺ. Namun dalam sanad nya ada kelemahan dan
terputus, seperti itu lah dalam Fathul -Bari..
Dan dalam *Fatāwā "Al-Lajnah Ad-Dā'imah"* juga di sebutkan:
وَنَقَلَ شَارِحُ التِّرْمِذِيِّ:
عَنْ الْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ، أَنَّ عَبْدَ الرَّزَّاقِ وَالطَّبَرَانِيَّ
أَخْرَجَاهُ مَرْفُوعًا، وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ وَانْقِطَاعٌ، وَمِثْلُ هَذَا لَا يُحْتَجُّ
بِهِ.
Dan penulis Syarah al-Tirmidzi menukil: dari
al-Hafidz Ibnu Hajar, semoga Allah merahmatinya, bahwa Abdur-Razzaq dan al-Thabarani
meriwayatkannya dengan sanad marfu’ kepada Nabi ﷺ. Dan di dalam sanadnya ada kelemahan dan
keterputsan, dan yang seperti itu tidak bisa di jadikan hujjah “.
Dan Syeikh al-Albaani dalam *As-Silsilah
Adh-Dha'ifah* 3/83 berkata: “Munkar”
------
KETIGA: ATSAR ALI BIN ABI THALIB, IBNU 'UMAR DAN
LAINNYA:
Abu Iisa at-Tirmidzy berkata:
رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَ أَنْ يُصَلَّى بَعْدَ الْجُمُعَةِ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَرْبَعًا ، وقال عطاء: قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ صَلَّى
بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ أَرْبَعًا ".
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu, bahwa beliau memerintahkan sholat setelah sholat Jum'at sebanyak dua
rakaat, kemudian empat rakaat.
'Atha rahimahullah berkata: "Aku melihat Ibnu
Umar sholat setelah sholat Jum'at sebanyak dua rakaat, lalu sholat setelah itu
empat rakaat."
(Sunan At-Tirmidzi No. 523 dan *Tuḥfat
al-Aḥwadhī*
3/47 no. 523 ]
Syeikh Ahmad Syarif an-Na’saan berkata dalam
fatwanya no. 4976:
رَوَى الطَّحَاوِيُّ وَإِسْنَادُهُ
صَحِيحٌ كَمَا فِي «آثَارِ السُّنَنِ» عَنْ عَبْدِ الله بنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا: (أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ
بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ، ثُمَّ بَعْدَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا)".
Ath-Thohaawi meriwayatkan - dan sanadnya SHAHIH,
seperti dalam atsar-atsar Sunan, dari Abdullah bin Umar - semoga Allah meridhoi
keduanya -:
(Bahwa Dia biasa shalat empat rakaat sebelum Jumat,
tidak memisahkan antara empat rakaat tsb dengan Salam, kemudian setelah Jumat
dua rakaat kemudian empat “.
Dari Nafi’, berkata:
"كَانَ
ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي
بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ، وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ
يَفْعَلُ ذَلِكَ"
“Ibnu Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum
(shalat) Jum’at, dan shalat (sunah) setelahnya dua raka’at di rumahnya, dia
mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ juga
melakukan yang demikian itu.”
[HR. Abu Daud, no. 1128, Tirmidzi, no. 522, Nasai,
no. 1429, Ibnu Majah, no. 1130. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (2/349), dan
Ibnu Hibbaan dalam Sahih Ibnu Hibban (6/220). Lafaz hadis ini sesuai redaksi
periwayatan Abu Daud]
Di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan.
Dalam kitab *Khulasat al-Ahkam* 2/812, Imam an-Nawawi menyatakan:
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي
"سُنَنِهِ"، وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانِ فِي "صَحِيحَيْهِمَا"،
وَإِسْنَادُهُ عَلَىٰ شَرْطِ الْبُخَارِيِّ.
“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, Ibnu Khuzaymah
dalam shahinya dan Ibnu Hibban dalam Shahih nya. Dan Sanadnya sesuai dengan
syarat Shahih al-Bukhari “.
[Di nukil pula dalam *Nashbur-Rāyah*
2/244 karya az-Zaila’i w. 762 ].
Abu Abdur-Rahman Syarf al-Haq al-‘Adziim Abaadi
mengatakan dalam kitab *‘Awn al-Ma‘bud* 1/438:
قُلتُ: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي
شَرَحَهُ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَةِ: صَحِيحٌ عَلَىٰ شَرْطِ الْبُخَارِيِّ
وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ: إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لَا جَرَمَ
وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانِ فِي صَحِيحِهِ" اَهْـ.
“Aku berkata: Hadits Ibnu Umar yang telah
dijelaskannya, Al-Nawawi mengatakan dalam “ٱلْخُلَاصَة”: “Ini sahih sesuai ketentuan Al-Bukhari”.
Dan al-Iraqi berkata dalam Sharh al-Tirmidzi:
Sanadnya shahih, dan tidak ada pelanggaran. Dan riwayatkan pila oleh Ibnu
Hibbaan dalam Shahihnya “. (Selesai).
Lafadz dalam Riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Naafi’,
ia berkata:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ
Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke
masjid) pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar
(untuk berkhuthbah)”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403;
sanadnya shahih].
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/426:
" اِحْتَجَّ بِهِ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَةِ عَلَىٰ
إِثْبَاتِ سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا.
“Dengan hadits ini Al-Nawawi dalam “ٱلْخُلَاصَة” berargumentasi untuk menetapkan Sunnah nya sholat Qoblyah
Jumat “.
Dan Al-Iraqi berkata: “Sanadnya Shahih”.
ATSAR ABU MIJLAZ:
Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (1/463)
meriwayatkan dari Abu Mijlaz (أَبُو مِجْلَزْ):
إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِهِ
رَكْعَتَيْنِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.
" Bahwa ia biasa shalat dua rakaat di rumahnya
pada hari Jumat,
----
KEEMPAT: ATSAR PARA TABIIAN DAN LAINNYA:
Dari Abdullah bin Thaawus dari ayahnya:
إِنَّهُ كَانَ لَا يَأْتِي الْمَسْجِدَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ.
Dia tidak datang ke masjid pada hari Jumat kecuali
sebelumnya dia sholat dua rakaat di rumahnya.
Dan dari Al-A’mash dari Ibrahim (an-Nakhoo’i), dia
berkata:
كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَهَا،
أَيْ: الْجُمُعَةِ، أَرْبَعًا.
“Mereka biasa sholat sebelumnya – yakni Jum’at -
empat rakaat”..
[Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (1/463)].
Dari Ibnu Shihab, dari Tsa’labah bin Abi Malik
Al-Qurodhi/القُرضيِّ:
(أنَّه أخبره أنَّهم كانوا في زمانِ عُمرَ بنِ
الخَطَّابِ يُصلُّونَ يومَ الجُمُعةِ حتى يخرجَ عمرُ، فإذا خرَجَ عُمرُ وجلَس على المنبرِ
وأذَّنَ المؤذِّنون، قَال ثعلبةُ: جَلَسْنا نتحدَّث، فإذا سكَتَ المؤذِّنونَ وقام عُمرُ
يَخطُبُ، أَنصَتْنا فلم يتكلَّمْ منَّا أحدٌ)
(bahwasannya dia menceritakan padanya bahwa pada
masa Umar bin Al-Khattab mereka biasa shalat sunnah pada hari Jumat hingga Umar
keluar.
Maka jika Umar keluar dan duduk di atas mimbar dan
para muadzin mengumandangkan adzan, Tsa’labah berkata: “Kami duduk berbicara,
dan jika para muadzin terdiam dan Umar menyampaikan khotbah, maka kami mendengarkannya
dan tidak seorang pun dari kami yang berbicara.
[HR. Malik (1/103) (7), Asy-Syafi'i dalam *Al-Umm*
(1/227), Ath-Thohawi dalam *Syarh Ma'ani Al-Atsar* (2174), dan Al-Tabarani
dalam *Musnad Asy-Syamiyyin* (3229). Al-Bayhaqi dalam *As-Sunan Al-Kubra*
(5684).
Di shahihkan oleh Al-Nawawi dalam “ٱلْخُلَاصَة” (2/808).
Dan Adz-Dzahabi mengatakan dalam “المهذب”
(3/1123).):
“فِيهِ ثَعْلَبَةُ احْتَجَّ بِهِ البُخَارِيُّ”
“Di dalam sanadnya terdapat Tsa’labah, al-Bukhori
berhujjah dengannya “.
Di shahihkan sanadnya oleh Al-Aini dalam “نخب الأفكار” (6/48), dan Al-Albani mengatakan dalam “تمام المنة” (hal. 399):
لَهُ مُتَابِعٌ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ
Dia memiliki mutaabi’ yang sanadnya nya shahih “.
*****
DALIL PENDAPAT KE DUA:
SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT TIDAK DI SYARI'ATKAN
Pendapat yang mengatkan: bahwa pada sholat Jum'at
tidak ada sholat sunnah rawaatib qobliyah, namun tetap di syariatkan sholat
sunnah mutlak sebelum Jum’at.
Jadi yang shahih adalah disunnahkan mengerjakan
shalat sunnah mutlak semampunya, yang tidak dibatasi jumlahnya, sampai imam
datang untuk berkhuthbah. Inilah yang diamalkan para shahabat sebelum
pelaksanaan shalat Jum’at.
BERIKUT INI KLASIFIKASI DALIL-DALILNYA:
====
KLASIFIKASI DALIL PERTAMA:
DALIL YANG MENUNJUKKAN DISUNNAHKANNYA SHOLAT SUNNAH
MUTLAK, BUKAN QOBLIYAH JUM'AT:
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah shalat sunnah mutlak,
KE 1: Dari
Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(لاَ
يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ
، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ،
فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ
يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْجُمُعَةِ الأُخْرَى)
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia
bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di
rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di
masjid), kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, lalu ia diam
ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara
Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
KE 2:
Dari Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy:
أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ،
فَإِذَا خَرَجَ عُمَرُ وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ.
قَالَ ثَعْلَبَةُ: جَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ، وَقَامَ
عُمَرُ يَخْطُبُ أَنْصَتْنَا فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ
Bahwasannya mereka di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab
mengerjakan shalat sunnah hingga ‘Umar keluar. Ketika ‘Umar keluar dan duduk di
atas mimbar, muadzdzin mengumandangkan adzan. Tsa’labah berkata: “Kami duduk
dan berbincang-bincang. Apabila muadzdzin telah diam (selesai) dan ‘Umar
berdiri untuk berkhuthbah, kami pun diam dan tidak ada seorang pun di antara
kami yang berbicara” [HR. Maalik 1/446 no. 247; shahih].
Dalam lafadz lain: Dari Tsa’labah bin Abi Malik:
أنَّ النَّاسَ كَانُوا في زمَن
عُمرَ رَضِيَ اللهُ عَنْه يُصلُّون يومَ الجُمُعةِ حتى يخرُجَ عُمرُ
Bahwa orang-orang pada zaman ‘Umar bin Al Khoththob
melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (sebagai imam
dan khotib). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1/103 (7), Ibnu Al-Mundhir dalam
“Al-Awsat” (1837), dan Al-Bayhaqi dalam “Al-Sunan Al-Kubra” (5684). Dishahihkan
oleh An Nawawi dalam "خلاصة الأحكام" (2/808) dan Al Majmu’ 4/550).
Yang dimaksudkan orang-orang di sini adalah para
shahabat dan taabi’iin yang hidup di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththaab
radliyallaahu ‘anhu. Maksud shalat di sini adalah shalat sunnah mutlak yang
dilakukan sebelum imam keluar dan dikumandangkannya adzan, sedangkan adzan di
jaman ‘Umar hanya dilakukan sekali.
KE 3:
Dari Ummul Mukminin Ummu Habibah radhiyallahu ‘anhu:
Imam an-Nasaa'i dalam Sunannya no. 1774, 1797 dan
As-Sunan al-Kubro 2/181 no. 1472 meriwayatkan:
Telah mengabarkan kepadaku Ibrahim bin Al Hasan dia
berkata; telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad dia berkata; Ibnu
Juraij berkata;
قُلْتُ لِعَطَاءٍ بَلَغَنِي
أَنَّكَ تَرْكَعُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مَا بَلَغَكَ
فِي ذَلِكَ قَالَ أَخْبَرَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ عَنْبَسَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:
" مَنْ رَكَعَ اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي الْيَوْمِ
وَاللَّيْلَةِ سِوَى الْمَكْتُوبَةِ بَنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بَيْتًا فِي
الْجَنَّةِ"
"Aku berkata kepada Atha', 'Telah sampai
kepadaku bahwa engkau shalat dua belas rakaat sebelum shalat Jum'at! Apa yang
telah sampai kepadamu? ' Ia menjawab; `Aku diberitahu bahwa Ummu Habibah
menceritakan kepada Anbasah bin Abu Sufyan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda:
"Barangsiapa mengerjakan shalat dua belas
rakaat pada siang dan malamnya selain shalat wajib, maka Allah Azza wa Jalla
akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga."
Diriwayatkan pula oleh Abdurrozzaaq dalam
al-Mushoonaf 2/246 no. 5521.
Para perawi haditsnya Tsiqoh:
Dia berkata:
[Ibrahim bin Al-Hassan memberitahuku].
Dia adalah Ibrahim bin Al-Hassan Al-Mushaishi, dan
dia dapat dipercaya/tsiqoh. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Al-Nasa'i.
[Hajjaj bin Muhammad memberitahu kami].
Dia adalah Al-Mushaishi, dan dia dapat
dipercaya,/tsiqoh, haditsnya diambil oleh para penulis al-kutub as-sittah.
[Dari Ibnu Juraij].
Dia adalah Abd al-Malik Ibnu Juraij al-Makki, dan
dia dapat dipercaya, seorang yang faqiih, namun dia suka memursalkan, dan seorang
mudallis, dan haditsnya diriwayatkan oleh penulis enam kitab sunan.
KE 4:
Dari Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ
سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ
الْجُمُعَةِ فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ فَفِي بَيْتِهِ
“Aku pernah Shalat bersama Nabi ﷺ dua sujud (raka’at) sebelum Shalat Zhuhur dan dua
raka’at sesudah Shalat Zhuhur, dua raka’at sesudah Shalat Maghrib, dua raka’at
sesudah Shalat 'Isya, dan dua raka’at sesudah Shalat Jum’at.
Dari Naafi’, ia berkata:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ
الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ
وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum
shalat Jum'at, dan shalat sunnah setelahnya dua raka'at di rumahnya; dan ia
mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ juga
melakukan yang demikian itu
[Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1128, Ibnu
Khuzaimah 3/168 no. 1836, Ibnu Hibbaan 6/227 no. 2476, dan yang lainnya;
shahih].
Memanjangkan shalat di sini dilakukan sebelum imam
keluar untuk berkhuthbah.
Dari Naafi’, ia berkata:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ
Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke
masjid) pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar
(untuk berkhuthbah)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403; sanadnya
shahih].
PERHATIAN !:
Sebagian orang berhujjah dengan riwayat ini tentang
dimasyru’kannya shalat rawaatib qabliyyah Jum’at.
Ini jelas keliru, karena yang dikerjakan Ibnu ‘Umar
adalah shalat sunnah mutlak sebelum imam keluar untuk berkhuthbah. Tidak ada
shalat sunnah lain yang dilakukan para shahabat sebelum adzan dan imam naik
mimbar di zaman Nabi ﷺ kecuali
shalat sunnah mutlak.
Dikarenakan sifatnya mutlak, maka jumlah raka’at
dikerjakan salaf sangatlah variatif. Mereka mengerjakannya sesuai dengan
keinginan/kemampuan masing-masing.
Berikut sebagian riwayat-riwayatnya:
Pertama:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy:
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Saliim bin Basyiir bin Hajl
Al-‘Aisyiy, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas:
"أَنَّهُ
كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ
يَجْلِسُ، فَلا يُصَلِّي شَيْئًا، حَتَّى يَنْصَرِفَ "
Bahwasannya ia biasa shalat sebelum mendatangi
shalat Jum’at sebanyak delapan raka’at, kemudian duduk dan tidak shalat
(sunnah) lagi hingga ia pulang” [HR. Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1844;
shahih].
Kedua:
Telah menceritakan kepada kami Fahd, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ma’bad, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami ‘Ubaidullah, dari Zaid, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ
الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ، ثُمَّ بَعْدَ
الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا
Bahwasannya ia biasa mengerjakan shalat sebelum
(shalat) Jum’at sebanyak empat raka’at dan tidak memisahnya dengan salam.
Kemudian setelah shalat Jum’at sebanyak dua raka’at, kemudian empat raka’at”
[HR. Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar
1/335 no. 1965].
Ketiga:
Dari Naafi’, ia berkata:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُصَلِّي قَبْلَ
الْجُمُعَةِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
“Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12
raka’at.”
(Ibnu Rojab dalam Fathul Bari 8/329 mengutipnya
dari ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya).
Keempat:
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari
Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, ia berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ
يَأْمُرُنَا أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا،
حَتَّى جَاءَنَا عَلِيٌّ فَأَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
أَرْبَعًا
“Dulu ‘Abdullah (bin Mas’uud) menyuruh kami shalat
sebelum Jum’at sebanyak empat raka’at dan setelahnya empat raka’at, hingga
‘Aliy datang kepada kami lalu menyuruh kami shalat sebanyak dua raka’at
setelahnya, kemudian empat raka’at” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5525;
shahih].
Abu Syaamah rahimahullah berkata:
ٱلْمُرَادُ مِنْ صَلَاةِ عَبْدِ
ٱللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ أَرْبَعًا أَنَّهُ كَانَ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ
تَطَوُّعًا إِلَىٰ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ كَمَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ.
“Yang dimaksudkan dari shalat ‘Abdullah bin Mas’uud
sebelum Jum’at sebanyak empat raka’at, maka ia melakukannya sebagai shalat
sunnah (mutlak) hingga keluarnya imam sebagaimana yang telah lalu
penyebutannya” [ٱلْبَاعِثُ عَلَىٰ إِنْكَارِ
ٱلْبِدَعِ وَٱلْحَوَادِثِ, hal.
97].
Namun perkataan Abu Syaamah ini di bantah oleh
penulis kitab "عون المعبود" 3/477 dengan mengatakan:
" وَقَالَ ٱلتِّرْمِذِيُّ: وَرُوِيَ عَنْ ٱبْنِ مَسْعُودٍ
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا. وَإِلَيْهِ
ذَهَبَ ٱلثَّوْرِيُّ وَٱبْنُ ٱلْمُبَارَكِ.
"At-Tirmidzi berkata: Diriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud bahwa ia biasa shalat empat rakaat sebelum sholat Jumat dan empat rakaat
setelahnya, dan ini jadikan madzhab oleh Al-Tsauri dan Ibnu al-Mubarak".
Imam An-Nawawiy ketika mensyarahi hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata:
وَفِيهِ أَنَّ التَّنَفُّل
قَبْل خُرُوج الْإِمَام يَوْم الْجُمُعَة مُسْتَحَبّ ، وَهُوَ مَذْهَبنَا
وَمَذْهَب الْجُمْهُور. وَفِيهِ أَنَّ النَّوَافِل الْمُطْلَقَة لَا حَدَّ لَهَا
لِقَوْلِهِ ﷺ: (فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ).
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa shalat
sunnah sebelum keluarnya imam pada hari Jum’at adalah mustahab. Itu adalah
madzhab kami dan madzhab jumhur ulama. Dan dalam hadits tersebut terdapat dalil
bahwa shalat sunnah mutlak tidak ada batasan (raka’at)-nya berdasarkan sabda
beliau ﷺ: ‘lalu
mengerjakan shalat sesuai kemampuannya”.
[Syarh Shahiih Muslim, 6/146].
KESIMPULAN:
Yang ada riwayatnya adalah shalat sunnah mutlak
tanpa dikhususkan jumlahnya.
Shalat Jumat tidak ada sunnah sebelumnya
(qabliyah). Karena tidak ada riwayat tersebut dari Nabi ﷺ. Tidak
terdapat riwayat dari shahabat radhiallahu anhum yang menyatakan bahwa terdapat
shalat rawatib yang khusus sebelum shalat Jumat.
Dan Tidak benar jika shalat Jumat diqiyaskan dengan
shalat Zuhur, sehingga disimpulkan adanya sunnah rawatib sebelum Jumat
sebagaiman disunnahkannya rawatib sebelum Zuhur. Karena shalat Jumat berbeda
dengan shalat Zuhur dalam banyak ketentuan, dan karena qiyas ini bertentangan
dengan perkara yang tampak dari sunnah Nabi ﷺ yang
tidak melakukan shalat rawatib sebelum Jumat. Sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi ﷺ.
Seandainya Nabi ﷺ melakukan
shalat itu, niscaya akan disampaikan riwayatnya kepada kita. Maka ketika tidak ada
riwayatnya, kita dapat mengetahui bahwa Nabi ﷺ tidak
melakukan shalat rawatib sebelum Jumat.
=====
KLASIFIKASI DALIL KEDUA:
KEWAJIBAN MAKMUM MENDENGARKAN KHUTBAH JUMAT
Ketika imam berkhuthbah, kewajiban yang ada
hanyalah mendengarkannya:
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
Telah bersabda Nabi ﷺ:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ
كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ
الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا
يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu
masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu
(untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar),
mereka menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan adz-dzikr
(khutbah)” [HR. Bukhori no. 3211].
Dari Maalik bin Abi ‘Aamir:
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ
كَانَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ، قَلَّمَا يَدَعُ ذَلِكَ إِذَا خَطَبَ: " إِذَا
قَامَ الْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَاسْتَمِعُوا وَأَنْصِتُوا،
فَإِنَّ لِلْمُنْصِتِ الَّذِي لَا يَسْمَعُ مِنَ الْحَظِّ مِثْلَ مَا لِلْمُنْصِتِ
السَّامِعِ، فَإِذَا قَامَتِ الصَّلَاةُ فَاعْدِلُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا
بِالْمَنَاكِبِ، فَإِنَّ اعْتِدَالَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ، ثُمَّ
لَا يُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَهُ رِجَالٌ، قَدْ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ
الصُّفُوفِ، فَيُخْبِرُونَهُ أَنْ قَدِ اسْتَوَتْ فَيُكَبِّرُ "
Bahwasannya ‘Utsmaan bin ‘Affaan pernah berkata
dalam khuthbahnya dan jarang ia meninggalkannya dalam khuthbahnya:
"Apabila imam telah berdiri berkhutbah pada hari Jum'at, maka dengarkanlah
dan diamlah. Sesungguhnya orang yang diam tetapi tidak mendengarkan, pahalanya
tidak sama dengan orang yang diam dan tetap mendengarkan. Apabila shalat hendak
ditegakkan, maka luruskanlah shaff dan rapatkan antara bahu dengan bahu.
Sesungguhnya lurusnya shaff termasuk bagian dari sempurnanya shalat”
[HR. Maalik 1/447 no. 248; shahih].
Setelah imam keluar dan adzan dikumandangkan,
shalat sunnah mutlak tidak lagi dikerjakan.
Berdasarkan hadits Malik bin Amir dari Utsman ini,
maka Az-Zuhriy rahimahullah berkata:
فَخُرُوجُ الْإِمَامِ يَقْطَعُ
الصَّلَاةَ وَكَلَامُهُ يَقْطَعُ الْكَلَامَ
“Keluarnya imam menghentikan shalat (sunnah), dan
perkataan imam (yang berkhuthbah) menghentikan pembicaraan/obrolan”
[Diriwayatkan oleh Maalik 1/446 no. 247].
====
KLASIFIKASI DALIL KEEMPAT:
TIDAK WAKTU DAN KESMPATAN UNTUK QOBLIYAH JUM'AT
Tidak ada shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’ah
karena tidak ada waktu dan kesempatan untuk mengerjakannya.
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata:
كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ إِذَا
جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِذَا نَزَلَ
أَقَامَ، ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا
“Dulu Bilaal mengumandangkan adzan apabila
Rasulullah ﷺ telah duduk di atas mimbarnya pada hari Jum'at.
Apabila beliau turun (dari mimbar), ia beriqamat. Begitu juga yang terjadi pada
jaman Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [HR, oleh An-Nasaa’iy no.
1394; shahih].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
كَانَ إذَا فَرَغَ بِلَالٌ مِنْ
الْأَذَانِ أَخَذَ النّبِيّ ﷺ فِي الْخُطْبَةِ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ
الْبَتّةَ وَلَمْ يَكُنْ الْأَذَانُ إلّا وَاحِدًا وَهَذَا يَدُلّ عَلَى أَنّ
الْجُمُعَةَ كَالْعِيدِ لَا سُنّةَ لَهَا قَبْلَهَا وَهَذَا أَصَحّ قَوْلَيْ
الْعُلَمَاءِ وَعَلَيْهِ تَدُلّ السّنّةُ فَإِنّ النّبِيّ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ مِنْ
بَيْتِهِ فَإِذَا رَقِيَ الْمِنْبَرَ أَخَذَ بِلَالٌ فِي أَذَانِ الْجُمُعَةِ
فَإِذَا أَكْمَلَهُ أُخِذَ النّبِيّ ﷺ فِي الْخُطْبَةِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ وَهَذَا
كَانَ رَأْيَ عَيْنٍ فَمَتَى كَانُوا يُصَلّونَ السّنّةَ ؟ وَمَنْ ظَنّ أَنّهُمْ
كَانُوا إذَا فَرَغَ بِلَالٌ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ مِنْ الْأَذَانِ قَامُوا
كُلّهُمْ فَرَكَعُوا رَكْعَتَيْنِ فَهُوَ أَجْهَلُ النّاسِ بِالسّنّةِ وَهَذَا
الّذِي ذَكّرْنَاهُ مِنْ أَنّهُ لَا سُنّةَ قَبْلَهَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
وَأَحْمَدَ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ وَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِ الشّافِعِيّ.
“Dulu apabila Bilaal selesai mengumandangkan adzan,
Nabi ﷺ langsung berkhuthbah dan tidak ada seorang pun yang
melakukan shalat sunnah dua raka’at. Adzan tidak dilakukan (waktu itu) kecuali
sekali saja. Hal ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at seperti shalat ‘Ied, tidak
ada shalat sunnah qabliyyah-nya.
Dan ini merupakan yang paling benar dari dua
pendapat yang beredar di kalangan ulama dan yang ditunjukkan oleh sunnah. Nabi ﷺ keluar dari rumahnya, dan apabila beliau telah naik
mimbar, Bilaal langsung mengumandangkan adzan.
Apabila ia (Bilaal) telah menyempurnakan adzannya,
Nabi ﷺ langsung berkhuthbah tanpa adanya selang waktu. Dan
inilah yang disaksikan waktu itu. Lantas, kapan mereka (para shahabat)
melakukan shalat sunnah ?.
Dan barangsiapa yang menyangka bahwasannya ketika
Bilaal radliyallaahu ‘anhu selesai mengumandangkan adzan, mereka semuanya
berdiri melakukan shalat sunnah dua raka’at; maka ia adalah orang yang paling
jahil terhadap sunnah. Yang kami sebutkan bahwasannya tidak ada shalat sunnah
(rawaatib) qabliyyah (Jum’at) merupakan madzhab Maalik, yang masyhur dari
pendapat Ahmad, dan salah satu dari dua pendapat dari Ashhaab Asy-Syaafi’iy”
[Zaadul-Ma’aad, 1/417].
Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:
لَمْ يُنْقَلْ عَنِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ لِأَنَّهُ كَانَ يَخْرُجُ إِلَيْهَا فَيُؤَذَّنُ
بَيْنَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَخْطُبُ.
" Tidak ada nukilan dari Nabi ﷺ bahwa Beliau melakukan shalat Sunnah Qobliyah
Jum'at ; karena ketika beliau ﷺ keeluar
[menuju mimbar khuthbah ], maka adzan dikumandangkan di hadapan beliau,
kemudian beliau berkhuthbah” [Lihat Naylul Awṭhār, 3/255].
Jika dikatakan: Shalat sunnah rawaatib qabliyyah
Jum’at dilakukan di jaman ‘Utsmaan bin ‘Affaan saat adzan Jum’at dilakukan
lebih dari sekali dan itu dilakukan antara adzan pertama dan kedua.
Maka dijawab: Tidak ada dalil yang shahih dan
sharih yang menunjukkan hal itu, karena apa yang dilakukan para shahabat
terkait sunnah-sunnah Jum’at di jaman ‘Utsmaan secara umum sama seperti di
jaman Nabi ﷺ, selain
jumlah adzannya. Adzan tambahan dilakukan karena sebab, yaitu ketika manusia
bertambah banyak dan rumah-rumah berjauhan, sehingga adzan awal dilakukan di
Zauraa’ sebelum zawal.
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata:
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ
عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ
عَلَى الزَّوْرَاءِ "، قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ
بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
“Dahulu pada jaman Nabi ﷺ, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk
di atas mimbar. Ketika ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu (menjadi khalifah) dan
orang-orang bertambah banyak, maka ia menambah adzan ketiga di Zauraa".
Abu Abdillah (Bukhori) berkata: “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar
Madinah” [HR. Bukhori no. 912].
Dalam riwayat lain:
فَأَذَّنَ بِالزَّوْرَاءِ
قَبْلَ خُرُوجِهِ، يُعْلِمُ النَّاسَ أَنَّ الْجُمُعَةَ قَدْ حَضَرَتْ
“Maka muadzin mengumandangkan adzan di Zauraa’
sebelum ia (‘Utsmaan) keluar (di atas mimbar), untuk memberitahukan orang-orang
bahwa waktu Jum’at telah tiba” [HR. Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/173 no.
6643].
Tentu saja itu berbeda dengan yang dilakukan
orang-orang sekarang.
Saat adzan pertama dikumandangkan di Zauraa’,
orang-orang segera berhenti dari kesibukannya untuk segera mempersiapkan diri
berangkat shalat Jum’at. Setelah mereka sampai di masjid, mereka melakukan
sunnah-sunnah sebagaimana sunnah-sunnah yang berlaku di jaman Nabi ﷺ (shalat tahiyyatul-masjid, shalat sunnah mutlak,
hingga keluarnya imam).
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengerjakan
shalat sunnah mutlak antara adzan pertama dan adzan kedua, maka boleh lagi baik
(jaaizah hasanah). Ini bukan shalat rawaatib seperti shalat qabliyyah Maghrib.
Barangsiapa yang melakukannya tidak diingkari dan barangsiapa yang
meninggalkannya tidak diingkari pula
[lihat: Majmuu’ Al-Fataawaa li-Syaikhil-Islaam Ibni
Taimiyyah, 24/194-195].
=====
KLASIFIKASI DALIL KE LIMA:
TIDAK ADA QOBLIYAH SUBUH ANTARA ADZAN BILAL DAN
IBNU UMMI MAKTUM
Masalahnya, banyak orang melakukannya dengan
anggapan bahwa itu adalah shalat rawaatib qabliyyah Jum’at. Waktu dan raka’at
mungkin sama, tapi keyakinannya berbeda.
Seandainya ada yang bersikukuh mengerjakan shalat sunah
rawaatib qabliyyah Jum’at dengan cara menggabungkan pendalilan antara hadits
‘Abdullah bin Al-Mughaffaal dan As-Saaib bin Yaziid ini
Hadis Abdullah bin Mughaffal yang diriwayatkannya
secara marfu':
«بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ»
"Di antara dua adzan terdapat shalat. Di
antara dua adzan terdapat shalat “. Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga
kalinya: “Bagi siapa saja yang menghendakinya ". (Mutataqun alaihi /Al-Bukhari
(627) dan Muslim (838))..
Adapun hadits As-Saaib bin Yaziid, maka ia berkata:
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ
عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ
عَلَى الزَّوْرَاءِ "، قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ
بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
“Dahulu pada jaman Nabi ﷺ, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk
di atas mimbar. Ketika ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu (menjadi khalifah) dan
orang-orang bertambah banyak, maka ia menambah adzan ketiga di Zauraa".
Abu Abdillah (Bukhori) berkata: “Az-Zaura’ adalah
nama satu tempat di pasar Madinah” [HR. Bukhori no. 912].
Yang dimaksud dua Adzan dalam hadits hadits
‘Abdullah bin Al-Mughaffaal adalah Adzan dan Iqomat. Sementara dua adzan dalam
hadits As-Saaib bin Yaziid adalah adzan pertama dan adzan kedua dalam shalat
Jum’at.
Lalu mengapa mereka tidak melakukannya untuk shalat
sunnah rawaatib qabliyyah Shubuh dilakukan pada malam hari setelah adzan
pertama ?.
Bukankah dimasyru’-kan juga – berdasarkan hadits shahih
– mengumandangkan adzan pertama di waktu malam sebelum dikumandangkannya adzan
Shubuh ?.
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ
بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ
أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilaal adzan pada waktu malam. Maka
Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi
Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar
shaadiq” [HR. Bukhori no. 1918, 1919]
Kenyataannya, mereka tidak melakukannya. Yang
mereka lakukan pada waktu itu adalah shalat malam (tahajjud atau witir),
sedangkan shalat sunnah rawaatib qabliyyah Shubuh mereka lakukan setelah adzan
masuknya waktu Shubuh.
----
KESIMPULAN ISTIDLAL DARI DALIL-DALIL DIATAS:
Tidak benar jika dalil-dalil di atas dimaksudkan
untuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at. Karena seandainya yang dimaksud
adalah shalat rawatib tersebut, maka Nabi ﷺ tidak
pernah punya kesempatan melakukannya. Ketika shalat Jum’at, kebiasaan beliau ﷺ adalah beliau keluar dari rumah, lalu langsung naik
mimbar (tanpa ada shalat tahiyyatul masjid bagi beliau), lalu beliau berkhutbah
di mimbar, lantas turun dari mimbar dan melaksanakan shalat Jum’at.
Jika ada yang menyatakan adanya shalat sunnah
rawatib sebelum Jum’at, maka kami katakan,
“Kapan waktu melakukan shalat tersebut di masa Nabi
ﷺ?”
Jika dijawab, setelah adzan. Maka tidaklah benar
karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Yang terjadi di masa Nabi ﷺ, adzan
Jum’at hanya sekali.
Jika dijawab, sebelum adzan. Maka seperti itu
bukanlah shalat sunnah rawatib. Itu disebut shalat sunnah mutlak.
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al
Asqolani rahimahullah berkata,
وَأَمَّا سُنَّةُ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي
قَبْلَهَا فَلَمْ يَثْبُتْ فِيهَا شَيْءٌ.
“Adapun shalat sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka
tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)
Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan,
وَكَانَ إِذَا فَرَغَ بِلاَلٌ مِنَ
ٱلْأَذَانِ أَخَذَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ فِي ٱلْخُطْبَةِ، وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ يُرَكِّعُ رَكْعَتَيْنِ
ٱلْبَتَّةَ، وَلَمْ يَكُنِ ٱلْأَذَانُ إِلَّا وَاحِدًا، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ
ٱلْجُمُعَةَ كَٱلْعِيدِ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا، وَهَذَا أَصَحُّ قَوْلَيِ ٱلْعُلَمَاءِ،
وَعَلَيْهِ تَدُلُّ ٱلسُّنَّةُ، فَإِنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ،
فَإِذَا رَقِيَ ٱلْمِنْبَرَ أَخَذَ بِلاَلٌ فِي أَذَانِ ٱلْجُمُعَةِ، فَإِذَا أَكْمَلَهُ
أَخَذَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ فِي ٱلْخُطْبَةِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ، وَهَذَا كَانَ رَأْيَ عَيْنٍ،
فَمَتَىٰ كَانُوا يُصَلُّونَ ٱلسُّنَّةَ؟
“Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum’at,
Nabi ﷺ langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri
melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. (Di masa beliau), adzan Jum’at hanya
dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat
‘ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qobliyah sebelumnya. Inilah di
antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits.
Nabi ﷺ dahulu
pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun
mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi ﷺ pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk
shalat sunnah kala itu).
Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan
waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”
Jadi ketika kita masuk masjid, jika kita bukan
imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul masjid dan boleh menambah shalat sunnah
dua raka’at tanpa dibatasi. Shalat sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam
naik mimbar. Dan shalat sunnah yang dimaksud bukanlah shalat sunnah qobliyah
Jum’at, namun shalat sunnah mutlak.
BANTAHAN terhadap ADANYA TAMBAHAN KATA " sebelum
engkau datang " DALAM HADITS SULAIK.
Adapun Hadits kisah Sulaik Al-Ghothofaaniy yang
diriwayatkan Ibnu Maajah dan Abu Ya'la dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan
Jabir radhiyallahu ‘anhu yang terdapat tambahan Sabda Nabi ﷺ:
"
أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "
“Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum
engkau datang ?”
Daud bin Rusyaid dalam periwayatan dari Hafsh bin
Ghiyats di sini diselelisihi oleh:
1. Muhammad bin Mahbuub (tsiqah) dan Ismaa’iil bin
Ibraahiim (tsiqah lagi ma’muun); sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud no.
1116 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 3/276.
2. Ibnu Numair (tsiqah, haafidh, lagi faadlil);
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2276.
3. Ibnu Abi Syaibah (tsiqah lagi haafidh, dan
mempunyai banyak tulisan) dalam Al-Mushannaf 2/110 (4/69) no. 5204 & 2/116
(4/85) 5252.
4. Umar bin Hafsh bin Ghiyaats adalah Tsiqoh,
seperti yang di riwayatkan oleh al-Bukhori
dalam Al-Qiraa’ah no. 157 dan Ath-Thahawiy dalam
Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/365 no. 2153.
Semuanya itu meriwayatkan tanpa tambahan lafadh
"sebelum engkau datang". Lafadh hadits yang mereka bawakan adalah
sebagai berikut:
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ: " يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
تَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ يَتَجَوَّزُ فِيهِمَا
“Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada
hari Jum’at sedangkan Rosulullah ﷺ sedang
berkhuthbah, lalu ia (Sulaik) langsung duduk.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wahai Sulaik, berdiri, lalu shalatlah dua raka’at
yang ringan dan cepatkanlah”.
Kemudian beliau ﷺ melanjutkan:
“Apabila salah seorang diantara kalian datang (ke masjid) dan imam sedang
berkhuthbah, hendaklah ia shalat dua raka’at yang ringan dan mempercepatnya”
[Ini adalah lafadh Bukhori dalam Al-Qiraa’ah no.
157 dari jalan ‘Umar bin Hafsh, dari ayahnya].
Riwayat jumhur para sahabat Hafsh bin Ghiyaats
tersebut – terutama yang dibawakan oleh ‘Umar bin Hafsh – menjelaskan bahwa
konteks perintah shalat dua raka’at saat masuk masjid ketika imam sedang
berkhuthbah adalah shalat sunnah tahiyyatul-masjid, bukan shalat qabliyyah
Jum’at.. Sama seperti riwayat Bukhori dan Muslim yang disebutkan di atas.
Dikuatkan lagi bahwa dalam jalan yang lain, Daud
bin Rusyaid sendiri membawakan riwayat tanpa lafadh ‘sebelum engkau datang’.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Abdillah Al-Hadlramiy: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Qathii’iy
dan Daud bin Rusyaid, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami
Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah (ح), dan
dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, mereka berdua berkata:
"جَاءَ
سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ:
"صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا"
Sulaik Al-Ghothofaaniy datang sementara Nabi ﷺ sedang berkhuthbah. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/192 no. 6698].
Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy dalam
periwayatan dari Daud bin Rusyaid mempunyai mutaba’ah dari Ahmad bin ‘Aliy bin
Al-Mutsannaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 6/246 2500.
Sanadnya shahih hingga Hafsh bin Ghiyaats. Namun
Abu Ma’mar Al-Qathii’iy dalam jalan riwayat yang lain membawakan dengan lafadh
‘sebelum engkau datang’:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad
bin ‘Abdil-Wahhaab: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Haaruun bin
Sulaimaan: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Qathii’iy: Telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih,
dari Abu Hurairah; dan Abu Suyaan, dari Jaabir, ia berkata:
"جَاءَ
سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ،
فَقَالَ لَهُ: " صَلَّيْتَ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ قَالَ: لا، قَالَ: صَلِّ
رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
" Sulaik Al-Ghothofaaniy datang sementara Nabi
ﷺ sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah engkau shalat sebelum
datang ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau bersabda: “Shalatlah dua raka’at dan
cepatkanlah”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
Ma’rifatush-Shahaabah no. 3661].
Sayangnya, sanad Abu Nu’aim ini lemah karena
Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab, seorang yang majhuul al-haal, sehingga
tambahan lafadh ‘sebelum engkau datang’ dalam poros sanad Abu Ma’mar
Al-Qathii’iy di sini tidak sah karena menyelisihi riwayat yang dibawakan
Ath-Thabaraaniy yang sanadnya jauh lebih shahih.
Hafsh bin Ghiyaats dalam periwayatan dari Al-A’masy
mempunyai mutaba’ah dari:
1.‘Iisaa bin Yuunus ; sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim no. 875 (59), Ibnu Khuzaimah 3/167 no. 1835, Ibnu Hibbaan 6/247-248 no.
2502, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/194 (275) no. 5692
2. Abu Mu’aawiyyah Muhammad bin Khaazim;
sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 3/116, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 1/365 no. 2152, Ad-Daaraquthniy 2/325 no. 1611, Al-Baihaqiy
dalam Al-Kubraa 3/194 (275) no. 5692.
3. Sufyaan Ats-Tsauriy dan Ma’mar ; sebagaimana
diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5514, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no.
1841, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/192 no. 6697.
[Note: Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaad
wal-Matsaaniy no. 1279 dan Ad-Daaraquthniy 2/325-326 no. 1612 meriwayatkan
jalan ‘Abdurrazzaaq, dari Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, dari
Jaabir, dari Sulaik]
4. Syariik bin ‘Abdillah ; sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Ya’laa no. 2186
5. Daud Ath-Thaaiy ; sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Hibbaan 6/247 no. 2501
6. Zaaidah bin Qudaamah ; sebagaimana diriwayatkan
oleh ‘Abd bin Humaid 2/138-139 no. 1022.
Semuanya itu membawakan riwayat dari Al-A’masy
tanpa lafadh ‘sebelum engkau datang’.
Lafadh yang dibawakan Muslim adalah:
"جَاءَ
سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ
فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ " يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ،
وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "، ثُمَّ قَالَ: " إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ
فِيهِمَا "
Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari
Jum’at sedangkan Rasulullah ﷺ sedang
berkhuthbah, lalu ia (Sulaik) langsung duduk. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya:
“Wahai Sulaik, berdiri, lalu shalatlah dua raka’at
dan cepatkanlah”.
Kemudian beliau ﷺ melanjutkan:
“Apabila salah seorang diantara kalian datang pada hari Jum’at dan imam sedang
berkhuthbah, hendaklah ia shalat dua raka’at dan cepatkanlah” [Shahiih Muslim
no. 875 (59)].
Konteks lafadh lafadh ini sama seperti lafadh
jama’ah, yaitu perintah untuk tetap shalat dua raka’at ringan sebelum duduk
meskipun imam telah berdiri berkhuthbah, yaitu shalat tahiyyatul-masjid,
sebagaimana dipahami para ulama.
Tentu saja, riwayat Muslim – apalagi ia dikuatkan
dengan banyak jalan – mesti didahulukan daripada selainnya, sehingga lafadh
‘sebelum engkau datang’ adalah syaadz yang boleh jadi merupakan tashhiif
sebagaimana ditegaskan oleh Al-Hafidz Al-Mizziy rahimahullah, yang dilakukan
oleh Daud bin Rusyaid atau perawi setelahnya.
Yang pasti, lafadh tersebut tidak mahfuudh, karena
perintah Nabi ﷺ untuk
melakukan shalat tahiyyatul-masjid tersebut berlaku bagi mereka yang datang ke
masjid meskipun imam telah berkhuthbah, dan tidak digugurkan dengan shalat
sunnah dua raka’at yang dilakukan di rumah (sebelum berangkat ke masjid).
Riwayat Daud Ath-Thaaiy dari Al-A’masy yang
dibawakan Ibnu Hibbaan terdapat qariinah yang menguatkan perkataan Al-Mizziy,
yaitu seharusnya lafadnya adalah ‘sebelum engkau duduk’.
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Umair
bin Jaushaa di Damaskus: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa
Ash-Shuufiy: Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur: Telah
menceritakan kepada kami Daud Ath-Thaaiy, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan,
dari Jaabir, ia berkata:
دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ،
وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ " صَلِّ
رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ "
“Seorang laki-laki (yaitu Sulaik A;-Ghthafaaniy)
datang ke masjid sementara Nabi ﷺ sedang
berkhuthbah pada hari Jum’at. Maka beliau bersabda kepadanya: “Shalatlah dua
raka’at yang ringan sebelum engkau duduk” [HR. Ibnu Hibbaan 6/247 no. 2501].
Sanadnya shahih sampai Al-A’masy.
*****
MUNAQOSYAH DALIL
DARI PIHAK YANG MEMBID'AHKAN QOBLIYAH JUM'AT
SERTA
BANTAHAN TERHADAP YANG MENSUNNAHKAN-NYA
=====
PERTAMA: SYEIKH AL-ALBAANI رحمه
الله تعالى:
Dan Syeikh Al-Albaani dalam "Silisilah al-Aḥādīth
al-Ṣaḥīḥah"
109/118 berkata:
“Sebagian ulama muta'akhirin menggunakannya sebagai
dalil disyari'atkannya shalat sunnat qabliyah Jumat.
Pemakaian daliil ini tidak benar. Sebab pada masa
Nabi ﷺ hanya ada satu adzan dan iqamat. Di antara keduanya
hanya terdapat khutbah.
Hal itu telah saya jelaskan di dalam kitab "الِأَجْوِبَةِ ٱلنَّافِعَةِ".
Oleh karena itu, Al-Bushairi di dalam Az-Zuwa’id
menyatakan: Itulah dalil terbaik yang diduga untuk qabliyah Jumat, (Q.I/72)
tepatnya: "Hal ini sulit digambarkan bagi shalat Nabi. Sebab di antara
adzan dan iqamat hanya terdapat khutbah.
Dengan demikian. tidak ada shalat antara
keduanya."
Semua hadis yang menjelaskan qabliyah Jum'ah tidak
ada yang shahih. Bahkan ada yang sangat dha'if, seperti dijelaskan oleh
Az-Zaila'i di dalam Nashbur-Rayah (2/206-207). Ibnu Hajar di dalam Al-Futh
(2/341) dan yang lain. Di dalam Silsilatul-Ahadilsidh-Dha'ifah saya telah
men¬jelaskan sebagian yang dibahas dalam Al-Ajwibah.
Yang benar adalah bahwa hadis itu menunjukkan
disyari'atkannya shalat sunnah sebelum shalat fardhu. Dalam hal ini Nabi ﷺ mempraktikkan bahkan memerintahkan untuk
melakukannya”. (Selesai kutipan dari syeikh al-Abaani).
****
KEDUA: ABU SYAAMAH رحمه
الله تعالى (w.
665):
Abu Syaamah dalam "ٱلْبَاعِثُ
عَلَىٰ إِنْكَارِ ٱلْبِدَعِ وَٱلْحَوَادِثِ" hal. 92 cet النهضة
الحديثة berkata:
فَصْلٌ: وَجَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ
أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ بَيْنَ الْأَذَانَيْنِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مُتَنَفِّلِينَ بِرَكْعَتَيْنِ
أَوْ أَرْبَعٍ وَنَحْوِ ذَٰلِكَ، إِلَىٰ خُرُوجِ الْإِمَامِ وَذَٰلِكَ جَائِزٌ وَمُبَاحٌ
وَلَيْسَ بِمُنْكَرٍ مِنْ جِهَةِ كَوْنِهِ صَلَاةً، وَإِنَّمَا الْمُنْكَرُ اعْتِقَادُ
الْعَامَّةِ مِنْهُمْ، وَمُعْظَمُ الْمُتَفَقِّهِةِ مِنْهُمْ: أَنَّ ذَٰلِكَ سُنَّةٌ
لِلْجُمُعَةِ قَبْلَهَا كَمَا يُصَلُّونَ السُّنَّةَ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَيُصَرِّحُونَ
فِي نِيَّتِهِمْ بِأَنَّهَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ، وَيَقُولُ مَنْ هُوَ عِندَ نَفْسِهِ،
مُعْتَمِدًا عَلَىٰ قَوْلِهِ: إِنْ قُلْنَا: الْجُمُعَةُ ظُهْرٌ مَقْصُورَةٌ، فَلَهَا
كَالظُّهْرِ، وَإِلَّا فَلَا.
وَكُلُّ ذَٰلِكَ بِمَعْزِلٍ عَنْ
التَّحْقِيقِ، وَالْجُمُعَةُ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا، كَالْعِشَاءِ وَالْمَغْرِبِ،
وَكَذَا الْعَصْرُ عَلَىٰ قَوْلٍ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِندَ بَعْضِهِمْ، وَهِيَ صَلَاةٌ
مُسْتَقِلَّةٌ بِنَفْسِهَا...
وَالدَّلِيلُ عَلَىٰ أَنَّهُ لَا
سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا: أَنَّ الْمُرَادَ مِنْ قَوْلِنَا: الصَّلَاةُ ٱلْمُسَنَّوَةُ
أَنَّهَا مَنْقُولَةٌ عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ، قَوْلًا وَفِعْلًا، وَالصَّلَاةُ قَبْلَ
الْجُمُعَةِ لَمْ يَأْتِ مِنْهَا شَيْءٌ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّهَا
سُنَّةٌ، وَلَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ فِي شَرْعِيَّةِ الصَّلَوَاتِ.
" PASAL: Telah menjadi kebiasaan orang-orang
bahwa mereka shalat di antara dua adzan pada hari Jumat, sholat sunnah dua
roka'at atau empat rakaat, dan seterusnya, sampai imam keluar, dan itu boleh
dan mubah dan bukanlah suatu kemungkaran dalam hal sholatnya.
Adapun hal yang kemungkarannya adalah keyakinan
orang-orang awam di antara mereka, dan sebagian besar para fuqohaa di antara
mereka, bahwa itu adalah shalat sunnah qobliyah Jumat, sebagaimana mereka salat
sunnah qobliyah dzuhur, dan mereka menyatakan dalam niat mereka bahwa itu
adalah shalat sunnah jum'at. Dan dia mengatakannya dari dirinya sendiri [tanpa
dalil], dengan bersandar pada perkataannya: " Jika kita mengatakan: Jum'at
adalah sholat Dzuhur yang di qoshor, maka Jum'at itu seperti dzhuhur, jika
tidak maka tidak.
Semua ini terlepas keluar dari penelitian/tahqiq,
yang benar Jumat itu tidak memiliki sunnah qobliyah, seperti Isya dan Maghrib,
serta shalat Ashar menurut pendapat yang Shahih dari sebagian mereka. Dan itu
adalah shalat yang berdiri sendiri.
Dalil bahwa tidak ada sunnah qobliyah Jum’at adalah
bahwa yang dimaksud dari perkataan kami: “shalat sunnah “adalah yang datang
dari Rasulullah ﷺ, baik dari perkataannya maupun perbuatannya. Dan shalat
Qobliyaht Jumat tidak ada satupun hadits yang datang dari Nabi ﷺ yang menunjukkan bahwa itu adalah Sunnah".
Abdurrahman bin Qoosim dalam kitabnya "Al-Iḥkām
Sharḥ Uṣūl
al-Aḥkām"
1/460 berkata:
قَالَ أَبُو شَامَةَ: وَمَا وَقَعَ
مِنْ بَعْضِ ٱلصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ فَمِنْ
بَابِ ٱلتَّطَوُّعِ، وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا يُبَكِّرُونَ وَيُصَلُّونَ حَتَّىٰ يَخْرُجَ
ٱلْإِمَامُ، وَذَٰلِكَ جَائِزٌ وَلَيْسَ بِمُنْكَرٍ، وَإِنَّمَا ٱلْمُنْكَرُ ٱعْتِقَادُ
ٱلْعَامَّةِ مِنْهُمْ، وَبَعْضُ ٱلْمُتَفَقِّهِةِ أَنَّ ذَٰلِكَ سُنَّةٌ لِلْجُمُعَةِ
قَبْلَهَا، كَمَا يُصَلُّونَ السُّنَّةَ قَبْلَ ٱلظُّهْرِ، وَكُلُّ ذَٰلِكَ بِمَعْزِلٍ
عَنْ ٱلتَّحْقِيقِ، وَٱلْجُمُعَةُ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا كَالْمَغْرِبِ وَٱلْعِشَاءِ.
قَالَ ٱلشَّيْخُ: وَٱلْأَوْلَىٰ
لِمَنْ جَاءَ إِلَىٰ ٱلْجُمُعَةِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالصَّلَاةِ حَتَّىٰ يَخْرُجَ ٱلْإِمَامُ،
وَلِمَا فِي ٱلصَّحِيحِ: ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ـ وَقَالَ: بَلْ أَلْفَاظُهُ
ﷺ فِيهَا ٱلتَّرْغِيبُ فِي ٱلصَّلَاةِ إِذَا قَدِمَ ٱلرَّجُلُ ٱلْمَسْجِدَ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ
مِنْ غَيْرِ تَوْقِيتٍ، وَهُوَ ٱلْمَأْثُورُ عَنْ ٱلصَّحَابَةِ، وَكَانُوا إِذَا أَتَوْا
ٱلْمَسْجِدَ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ يُصَلُّونَ مِنْ حِينِ يَدْخُلُونَ مَا تَيَسَّرَ،
فَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي عَشَرَ رَكَعَاتٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي أَقَلَّ مِنْ
ذَٰلِكَ، وَلِذَا كَانَ جَمَاهِيرُ ٱلْأَئِمَّةِ مُتَّفِقِينَ عَلَىٰ أَنَّهُ لَيْسَ
قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ سُنَّةٌ مُؤَقَّتَةٌ بِوَقْتٍ، مُقَدَّرَةٌ بِعَدَدٍ، قَالَ: وَٱلصَّلَاةُ
قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ حَسَنَةٌ، وَلَيْسَتْ بِسُنَّةٍ رَاتِبَةٍ، وَإِنْ فَعَلَ أَوْ
تَرَكَ لَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ، وَهَذَآ أَعْدَلُ ٱلْأَقْوَالِ. وَحِينَئِذٍ فَقَدْ
يَكُونُ ٱلتَّرْكُ أَفْضَلَ إِذَا ٱعْتَقَدَ ٱلْجُهَّالُ أَنَّهَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ.
وَٱخْتَارَ أَنَّهُ لَا تَكْرَهُ ٱلصَّلَاةُ فِي وَقْتِ ٱلْزُّوَالِ لِأَنَّ مَنْ أَتَىٰ
ٱلْجُمُعَةِ يُسْتَحَبُّ لَهُۥٓ أَنْ يُصَلِّيٓ إِلَىٰ أَنْ يَخْرُجَ ٱلْإِمَامُ. اِنْتَهَىٰ.
Abu Syaamah berkata:
Apa yang terjadi pada sebagian sahabat bahwa mereka
shalat sebelum shalat Jum'at, itu adalah sunnah, dan karena mereka biasa datang
lebih awal dan mereka shalat sampai imam keluar.
Dan hal itu boleh dan tidak diingkari, adapun yang
diingkari adalah keyakinan orang-orang awam di antara mereka, dan sebagian para
ahli fqih bahwa ini adalah shalat sunnah qobliyah Jumat, sebagaimana mereka
shalat sunnah qobliyah dzuhur.
Syekh berkata: Lebih baik bagi orang yang datang ke
shalat Jumat untuk menyibukkan diri dengan shalat sampai imam keluar. Dan
berdasarkan hadits Shahih: “Kemudian dia sholat sesuai yang tertulis untuknya”.
Dan dia berkata: Bahkan, sabda-sabdanya ﷺ,
mengandung dorongan untuk sholat jika seseorang datang ke masjid pada hari
Jumat tanpa batasan waktu, dan ini adalah apa yang diriwayatkan dari para
sahabat. Ketika mereka datang ke masjid pada hari Jumat, mereka akan sholat
sebanyak yang mereka mampu, dan sebagian dari mereka ada yang sholat sepuluh
rakaat, dansebagian lagi ada yang sholat kurang dari itu.
Itulah sebabnya Jumhur/mayoritas para imam sepakat
bahwa tidak ada sunnah yang ditentukan dengan waktu tertentu dan dengan
bilangan rokaatnya sebelum shalat Jumat.
Dia berkata: Sholat sebelum sholat Jum'at adalah
baik, dan itu bukan sunnah rowaatib.
Dan jika dia melakukannya atau meninggalkannya,
maka dia tidak usah di cela atau diingkari, dan ini adalah ucapan yang paling
adil dan bijak.
Dengan demikian, mungkin meninggalkannya itu lebih,
jika orang-orang bodoh meyakininya bahwa itu adalah sunnah rowatib. Dan dia
memilih bahwa tidak makruh untuk sholat pada waktu zawaal ; karena siapa saja
yang datang ke sholat Jum’at ; mustahab baginya untuik shalat hingga imam
keluar “.
[Di kutip dari kitab "Al-Iḥkām
Sharḥ Uṣūl
al-Aḥkām"
1/460 karya Abdurrahman bin Qoosim ].
*****
MUNAQOSYAH DALIL
DARI PIHAK YANG MENSUNNAHKAN QOBLIYAH JUM'AT
&
JAWABAN TERHADAP BANTAHAN YANG MEMBID'AHKANNYA
=====
PERTAMA: DR. SYAUQI 'ALLAAM:
Dr. Shawqi ‘Allaam, Mufti Jumhuriyah Mesir berkata:
فَسُنَّةُ ٱلْجُمُعَةِ ٱلْقَبْلِيَّةُ
مَشْرُوعَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ بِٱلْأَحَادِيثِ ٱلنَّبَوِيَّةِ ٱلصَّحِيهَةِ، وَلَا وَجْهَ
لِلْقَوْلِ بِكَرَاهَتِهَا فَضْلًا عَنْ بِدْعِيَّتِهَا أَوْ تَحْرِيمِهَا؛ سَوَاءً
قُلْنَا: إِنَّ لِلْجُمُعَةِ سُنَّةً رَاتِبَةٌ قَبْلِيَّةً؛ كَمَا هُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ
ٱلْعُلَمَاءِ، أَوْ قُلْنَا: لَا رَاتِبَةَ لَهَا بِخُصُوصِهَا؛ كَمَا يَقُولُ ٱلْمَالِكِيَّةُ
وَٱلْحَنَابِلَةُ فِي رَأْيٍ، فَهِيَ نَافِلَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ مُتَّفَقٌ عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّتِهَا
بَيْنَ عُلَمَاءِ ٱلْأُمَّةِ سَلَفًا وَخَلَفًا، وَقَدْ وَرَدَ فِعْلُهَا عَنْ ٱلنَّبِيِّ
ﷺ وَجَمَاعَةٍ مِنَ ٱلصَّحَابَةِ ٱلْكِرَامِ وَٱلسَّلَفِ ٱلصَّٰلِحِ رَضِيَ ٱللَّهُ
عَنْهُمْ، وَاتَّفَقَ عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّتِهَا وَٱسْتِحْبَابِهَا أَهْلُ ٱلْمَذَاهِبِ
ٱلْمُعْتَمَدَةِ، وَٱلْقَوْلُ بِبِدْعِيَّتِهَا هُوَ ٱلْبِدْعَةُ ٱلْمُنْكَرَةُ.
Sunnah Qobliyah Jum'at adalah disyari’atkan dan
mustahabbah berdasarkan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih, dan tidak ada
alasan untuk mengatakan bahwa itu dimakruhkan, apalagi dikatakan bid'ah atau
mengharamkannya, baik kita mengatakan bahwa: Jumat memiliki sholat sunnah
qobliyah rawaatib – seperti yang dikatakan oleh mayoritas para ulama - atau
kami berkata: Tidak ada sunnah qobliyah rawaatib yang khushush untuknya -
seperti yang dikatakan madzhab Maliki dan madzhab Hanbali dalam salah satu
pendapat, maka itu adalah sholat sunnah mustahabbah, dan disyari’atakannya itu
telah disepakati oleh para para ulama, salaf dan kholaf.
Dan telah ada riwayat bahwa itu telah dilakukan
oleh Nabi ﷺ dan jemaah para sahabat yang mulia dan para
salafush-shoolih, semoga Allah meridhoi mereka.
Para ulama madzhab-madzhab yang mu’tmad telah
sepakat akan disyaritkannya dan mustahabnya. Dan perkataan bahwa itu adalah
bid'ah, maka perkataan tsb adalah bid'ah yang munkaroh “.
Refferensi:
https://www.amrkhaled.net. Artikel yang berjudul.
[هَلْ سُنَّةُ ٱلْجُمُعَةِ ٱلْقَبْلِيَّةُ
"بِدْعَةٌ"؟ (ٱلْمُفْتِي يَحْسِمُ ٱلْجَدَلَ) - عَمْرُو خَالِد]
****
KEDUA: AL-HAAFIDZ IBNU ROJAB, DARI MADZHAB HANBALI:
Al-Hafidz Ibnu Rajab – rahimahullah- (wafat 795 H) seorang
Ahli Hadits dan ahli Fiqih dari madzhab Hanbali. Beliau berkata tentang Qobliyah
Jum’at dalam kitabnya "فَتْحُ البَارِي" (8/331):
وَقَدْ رَوَى ٱبْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ
فِي "تَارِيخِهِ" مِنْ طَرِيقِ ٱلْأَعْمَشِ، عَنِ ٱلنَّخَعِيِّ، قَالَ: مَا
قُلْتُ لَكُمْ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ، فَهُوَ ٱلَّذِي أَجْمَعُوا عَلَيْهِ.
وَمِمَّنْ ذَهَبَ إِلَى ٱسْتِحْبَابِ
أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ: حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ، وَٱلنَّخَعِيُّ،
وَٱلثَّوْرِيُّ، وَٱبْنُ ٱلْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.
وَرَوَى حَرْبٌ بِإِسْنَادِهِ، عَنِ
ٱبْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ فِي بَيْتِهِ أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يَأْتِي ٱلْمَسْجِدَ فَلَا يُصَلِّي قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا.
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ سُنَّةَ
ٱلْجُمُعَةِ عِنْدَ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَبْلَهَا لَا بَعْدَهَا.
Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dalam “Taarikh”nya
melalui Al-A'mash, dari Al-Nakho'ii, dia berkata:
Apa yang saya katakan: mereka menganggap mustahabb [empat
rokaat sebelum sholat Jum'at], oleh karena itu mereka telah ber IJMA' [sepakat
dengan suara bulat bahwa qobliyah Jum’at itu disunnahkan].
Di antara mereka yang bermadzhab bahwa empat rakaat
sebelum shalat Jumat itu mustahab adalah: Habib bin Abi Tsabit (w. 119 H),
Al-Nakho'ii (w. 96 H) , Ats-Tsawri (w. 161 H), Ibnu Al-Mubarak (w. 181 H), Imam
Ahmad (w. 241 H) dan Ishaq bin Rahawiah (w. 238 H).
Harb telah meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ibnu
Abbas, bahwa dia biasa sholat Jumat empat rakaat di rumahnya, kemudian dia
pergi ke masjid dan dia tidak sholat sebelum atau sesudah sholat Jum'at di
masjid. [Fathul Baari karya Ibnu Rojab 8/331 ]
Dan Ibnu Rojab berkata:
" بَعْدَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ، وَقَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ،
فَهَذَا ٱلْوَقْتُ يُسْتَحَبُّ ٱلصَّلَاةُ فِيهِ بِغَيْرِ خِلَافٍ نَعْلَمُهُ بَيْنَ
ٱلْعُلَمَاءِ سَلَفًا وَخَلَفًا، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ: إِنَّهُ
يُكْرَهُ ٱلصَّلَاةُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ، بَلِ ٱلْقَوْلُ بِذَلِكَ خَرْقٌ لِإِجْمَاعِ
ٱلْمُسْلِمِينَ، إِنَّمَا ٱخْتَلَفُوا فِي وَقْتِ قِيَامِ ٱلشَّمْسِ.
[Sholat sunnah Jumat] Setelah matahari lingsir
condong ke barat, dan sebelum imam keluar, maka itu adalah waktu yang mustahab
untuk shalat di dalamnya tanpa ada perbedaan pendapat yang kita ketahui di
antara para ulama sebelum dan sesudahnya, dan tidak ada seorang pun dari kaum
muslimin yang mengatakan: Sesungguhnya dimakruhkan sholat di hari Jum'at,
melainkan jika ada perkataan seperti itu maka itu telah mendobrak IJMA' kaum
Muslim, adapun yang mereka berbeda pendapat itu adalah tentang sholat pada
waktu matahari berada tegak diatas kepala. [Fathul Baari karya Ibnu Rojab 8/331
]
Lalu Ibnu Rojab berkata:
وَقَدْ زَعَمَ بَعْضُهُمْ: أَنَّ
حَدِيثَ ٱبْنِ عُمَرَ ٱلْمُخْرَجَ فِي هَذَا ٱلْبَابِ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ
ﷺ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُ ذَكَرَ صَلَاتَهُ بَعْدَ
ٱلْجُمُعَةِ، وَذَكَرَ صَلَاتَهُ قَبْلَ ٱلظُّهْرِ وَبَعْدَهَا، فَدَلَّ عَلَىٰ ٱلْفَرْقِ
بَيْنَهُمَا.
وَهَذَا لَيْسَ بِشَيْءٍ؛ فَإِنَّ
ٱبْنَ عُمَرَ قَدْ رُوِيَ عَنْهُ مَا يَدُلُّ عَلَىٰ صَلَاةِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ،
كَمَا سَبَقَ، وَلَعَلَّهُ إِنَّمَا ذَكَرَ ٱلرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ ٱلْجُمُعَةِ؛ لِأَنَّ
ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّيهِمَا فِي بَيْتِهِ، بِخِلَافِ ٱلرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ
ٱلظُّهْرِ وَبَعْدَهَا؛ فَإِنَّهُ كَانَ أَحْيَانًا يُصَلِّيهَا فِي ٱلْمَسْجِدِ، فَبِهَذَا
يَظْهَرُ ٱلْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.
Sebagian dari mereka mengklaim: bahwa hadits Ibnu
Omar, yang disebutkan dalam BAB ini, menunjukkan bahwa Nabi ﷺ sama
sekali tidak shalat sebelum shalat Jumat ; Karena dia menyebutkan sholatnya
setelah sholat Jum'at, dan dia menyebutkan sholatnya sebelum dan sesudah zuhur,
yang menunjukkan perbedaan di antara keduanya.
Klaiman ini tidak ada apa-apa nya ; Ibnu Umar telah
diriwayatkan darinya apa yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ sholat
sebelum shalat Jumat, seperti yang disebutkan di atas.
Mungkin Ibnu Umar hanya menyebut dua rakaat setelah
shalat Jumat. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat di
rumahnya, tidak seperti dua rakaat sebelum dan sesudah zuhur. Namun
Kadang-kadang shalat qobliyah dzuhur di masjid, sehingga menunjukkan perbedaan
di antara keduanya. (Fathul-Baari 8/333)
Lalu Ibnu Rojab berkata:
وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ
ﷺ كَانَ إِذَا عَمِلَ عَمَلًا دَاوَمَ عَلَيْهِ، وَلَمْ يَكُنْ يَنْقُصُهُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ
وَلَا غَيْرِهَا، بَلْ كَانَ ٱلنَّاسُ يَتَوَهَّمُونَ أَنَّهُ كَانَ يَزِيدُ فِي صَلَاتِهِ
يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ بِخُصُوصِهِ، فَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْأَلُ عَنْ ذَٰلِكَ، فَتَقُولُ:
لَا، بَلْ كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً.
وَقَدْ صَحَّ عَنْهُ ﷺ، أَنَّهُ
كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا.
وَفِي "صَحِيحِ ٱبْنِ حِبَّانَ"،
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ إِذَا خَرَجَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
وَرَوَيْنَاهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: مَا خَرَجَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ مِنْ عِنْدِي قَطُّ إِلَّا
صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
وَقَدْ كَانَ مِنْ هَدْيِ ٱلْمُسْلِمِينَ
صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ عِندَ خُرُوجِهِمْ مِنْ بُيُوتِهِمْ، مِنَ ٱلصَّحَابَةِ وَمَنْ
بَعْدَهُمْ، وَخُصُوصًا يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ، وَمِمَّنْ كَانَ يَفْعَلُهُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ
ٱبْنُ عَبَّاسٍ، وَطَاوُوسٌ، وَأَبُو مِجْلَزٍ، وَرَغِبَ فِيهِ ٱلزُّهْرِيُّ.
وَقَالَ ٱلْأَوْزَاعِيُّ: كَانَ
ذَٰلِكَ مِنْ هَدْيِ ٱلْمُسْلِمِينَ.
وَقَدْ سَبَقَ فِي "بَابِ:
ٱلصَّلَاةِ إِذَا دَخَلَ ٱلْمَسْجِدَ وَٱلْإِمَامُ يَخْطُبُ" مَا يَدُلُّ عَلَىٰ
ذَٰلِكَ - أَيْضًا.
وَحِينَئِذٍ؛ فَلَا يُسْتَنْكَرُ
أَنْ يَكُونَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ خُرُوجِهِ
إِلَى ٱلْجُمُعَةِ.
Dan telah ada ketetapan bahwa Nabi ﷺ jika dia melakukan suatu amalab ; maka dia akan
selalu melakukannya, dan dia tidak akan menguranginya karena hari Jumat atau
karena yang lainnya. Bahkan Sebaliknya, orang-orang akan mengira bahwa beliau ﷺ lebih banyak sholat pada hari Jumat karena adanya
kekhushusan di dalamnya. Oleh sebab itu Aisyah radhiyallahu ‘anhu pernah
ditanya tentang hal itu, dan dia berkata:
لَا، بَلْ كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً.
"Tidak, melainkan dulu amalannya senantiasa
berkesinambungan "..
Telah diriwayatkan secara shahih dari Beliau ﷺ bahwa beliau biasa shalat dua atau empat rakaat
sebelum sholat Dzuhur.
Dalam Shahih Ibnu Hibban, dari Aisyah radhiyallaahu
‘anhu, dia berkata: Dulu Rasulullah ﷺ terbiasa
jika hendak keluar, maka dia sholat dua rakaat.
Dan kami meriwayatkannya dari sisi lain dari Aisyah
radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ sama
sekali tidak pernah keluar dari rumah ku kecuali setelah shalat dua rakaat.
Dan Itu sudah menjadi kebiasaan umat Islam untuk
shalat dua rakaat ketika mereka meninggalkan rumah, dari kalangan para sahabat
dan orang-orang setelah mereka, terutama pada hari Jumat.
Di antara mereka yang melakukannya pada hari Jumat
adalah Ibnu Abbas, Tawus dan Abu Mijlaz. Dan al-Zuhri menganjurkannya.
Al-Awza'i berkata: Ini dari hidayah kaum muslimin.
Telah disebutkan sebelumnya dalam “Bab: Sholat
ketika dia memasuki masjid ketika imam sedang menyampaikan khotbah” dalil untuk
itu - juga.
Dengan demikian ; maka itu tidak bisa diingkari
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat dua rakaat
di rumahnya sebelum berangkat sholat Jum'at. (Fathul-Baari 8/334)
Lalu Ibnu Rojab berkata:
فَإِنْ قِيلَ: فَهُوَ كَانَ يَخْرُجُ
إِلَى ٱلْجُمُعَةِ عَقِبَ ٱلزَّوَالِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ؛ بِدَلِيلِ مَا سَبَقَ مِنَ
ٱلْأَحَادِيثِ مِنْ صَلَاتِهِ ٱلْجُمُعَةَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ.
قِيلَ: هَذِهِ دَعْوَىٰ بَاطِلَةٌ،
لَا بُرْهَانَ عَلَيْهَا، وَلَوْ كَانَتْ حَقًّا لَكَانَتْ خُطْبَتُهُ دَائِمًا أَوْ
غَالِبًا قَبْلَ ٱلزَّوَالِ، إِذَا كَانَتْ صَلَاتُهُ عَقِبَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ مِنْ
غَيْرِ فَصْلٍ، وَلَمْ يَقُلْ ذَٰلِكَ أَحَدٌ.
وَأَيْضًا؛ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ
كَانَ يُصَلِّي ٱلظُّهْرَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ، كَمَا تَقَدَّمَ فِي "ٱلْمَوَاقِيتِ"،
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إِنَّهُ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ لَا يُصَلِّي
قَبْلَ ٱلظُّهْرِ شَيْئًا.
Jika ada yang protes: bahwa Beliau ﷺ biasa keluar untuk Jum'at setelah matahari lingsir
condong ke barat, tanpa ada jeda. berdasrkan dalil hadits di atas tentang
shalat jum'atnya jika matahari tergelincir.
Dijawab: Ini adalah klaim yang baathil, dan tidak
ada dalil untuk itu, dan jika itu benar, maka tentunya khotbahnya akan selalu
atau sering sebelum waktu zawaal, jika salatnya setelah matahari lingsir tanpa
ada jeda, dan tidak ada seorangpun yang mengatakan seperti itu.
Dan juga; Diriwayatkan bahwa beliau ﷺ biasa shalat zuhur ketika matahari lingsir condong
ke barat, seperti yang telah di bahas dalam "المواقيت", dan tidak ada seorang pun yang
mengatakan: bahw itu menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak
pernah sholat apa pun sebelum dzuhur. [Fathul Baari 8/335 ].
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali menulis dua kitab
independen tentang masalah ini di mana ia
menetapkan disyariatkannya shalat qobliyah Jumat, yaitu:
Kitab ke 1: “نَفْيُ
البِدْعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ” artinya: Menafikan/meniadakan anggapan bahwa sholat Qobliyah
jumat itu bid’ah.
Kitab ke 2: “إِزَالَةُ
الشَّنَعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ” artinya: menghilangkan serangan terhadap shalat Qobliyah
Jum’at”.
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata:
[فَإِنْ قِيلَ: فَهُوَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى ٱلْجُمُعَةِ
عَقِبَ ٱلزَّوَالِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ؛ بِدَلِيلِ مَا سَبَقَ مِنَ ٱلْأَحَادِيثِ مِنْ
صَلَاتِهِ ٱلْجُمُعَةَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ.
قِيلَ: هَذِهِ دَعْوَىٰ بَاطِلَةٌ،
لَا بُرْهَانَ عَلَيْهَا، وَلَوْ كَانَتْ حَقًّا لَكَانَتْ خُطْبَتُهُ دَائِمًا أَوْ
غَالِبًا قَبْلَ ٱلزَّوَالِ، إِذَا كَانَتْ صَلَاتُهُ عَقِبَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ مِنْ
غَيْرِ فَصْلٍ، وَلَمْ يَقُلْ ذَٰلِكَ أَحَدٌ.
وَأَيْضًا؛ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ
كَانَ يُصَلِّي ٱلظُّهْرَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ، كَمَا تَقَدَّمَ فِي "ٱلْمَوَاقِيتِ"،
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إِنَّهُ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ لَا يُصَلِّي
قَبْلَ ٱلظُّهْرِ شَيْئًا.
وَقَدْ كَتَبْتُ فِي هَذِهِ ٱلْمَسْأَلَةِ
جُزْءًا مُفْرَدًا، سَمَّيْتُهُ: "نَفْيَ ٱلْبِدْعَةِ عَنِ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ
ٱلْجُمُعَةِ"، ثُمَّ ٱعْتَرَضَ عَلَيْهِ بَعْضُ ٱلْفُقَهَاءِ ٱلْمُشَارِ إِلَيْهِ
فِي زَمَانِنَا، فَأَجَبْتُ عَمَّا ٱعْتَرَضَ بِهِ فِي جُزْءٍ آخَرَ سَمَّيْتُهُ:
"إِزَالَةَ ٱلشُّنْعَةِ عَنِ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ"، فَمَنْ أَحَبَّ
ٱلزِّيَادَةَ عَلَىٰ مَا ذَكَرْنَاهُ هَهُنَا فَلْيَقِفْ عَلَيْهِمَا إِنْ شَاءَ ٱللَّهُ
تَعَالَىٰ] اهـ
[Jika ada yang mengkritisi dengan mengatakan:
Bahwa Beliau ﷺ biasa
keluar menuju sholat Jum’at setelah waktu zawaal (Dzuhur) tanpa ada pemisah,
berdasarkan dalil hadits-hadits di atas tentang shalat Jum'at beliau ﷺ ketika matahari telah tergelincir condong ke barat
(masuk waktu Dzuhur).
Dijawab dengan mengatakan:
Ini adalah klaim yang bathil, dan tidak ada
dalilnya, dan jika itu benar, maka tentunya khotbahnya akan selalu atau sering
sebelum zawal (sebelum dzuhur). Jika sholatnya langsung setelah matahari
tergelicir tanpa pemisah, maka tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian.
Dan juga; Diriwayatkan bahwa beliau ﷺ biasa salat zuhur ketika matahari telah tergelincir
condong ke barat, seperti dalam pembahasan yang lalu dalam "ٱلْمَوَاقِيتِ". Dan tidak ada seorang pun yang mengatakan: “Ini
menunjukkan bahwa Nabi ﷺ sama
sekali tidak pernah sholat apapun sebelum Dzuhur..
Saya menulis tentang masalah ini satu juz
tersendiri, yang saya beri judul:
"نَفْيُ
البِدْعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ "
"Meniadakan anggapan bid'ah tentang shalat
Qobliyah Jumat."
Kemudian ada sebagian para ahli Fiqih di zaman kita
sekarang yang menentangnya dan membantahnya.
Maka Saya telah menjawab apa yang dia bantah dalam
satu juz tulisan yang lain, yang saya beri judul:
"إِزَالَةُ
الشَّنَعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ"
"Menghilangkan serangan keji dan buruk
terhadap shalat Qobliyah Jum'at."
Maka siapa saja yang ingin tambahan informasi
tentang apa yang telah kami sebutkan di sini, maka baginya bisa mendapatkannya
pada keduanya, insya Allah. [“Fathul-Bari” (8/335)]
===***===
KESIMPULAN AKHIR
Dari hasil penelitian terhadap perbedaan pendapat
ini beserta dalil-dalilnya, tampak bahwa keduanya saling berdekatan. Maka
masimg-masing menganjurkan shalat sunnah sebelum imam duduk di atas mimbar
untuk menyampaikan khutbah Jumat, sesuai dengan sebuah hadits:
Dari Salman Al Faarisi berkata: "Nabi ﷺ
bersabda:
لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ
أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ
اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ
الْإِمَامُ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
"Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari
Jum'at lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak
wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju Masjid, ia tidak memisahkan dua
orang pada tempat duduknya lalu dia shalat yang dianjurkan baginya dan diam
mendengarkan khutbah Imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada
antara Jum'atnya itu dan Jum'at yang lainnya." (HR. Bukhori no. 834).
Tetapi shalat sunnah yang dilakukan sebelum shalat
Jum'at ini, apakah shalat sunnah mutlak, yang tiada kaitannya dengan sholat
Jum’at, seperti yang dikatakan Madzhab Maliki dan Hanbali, dan karena itu
dilakukannya sebelum adzan kedua yang dikumandangkan ketika khotib sudah diatas
mimbar ?
Ataukah ini merupakan sholat sunnah yang ada
kaitannya dengan Jum'at yang dilakukan sebelum shalat Fardhu Jumat, meskipun
imam sudah berada di atas mimbar, sebagaimana pendapat Madzhab Hanafi dan
Syafi'i?
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam “فَتْحُ البَارِي” (8/333-334, Cetl. مَكْتَبَةُ الغُرَبَاءِ):
"بَعْدَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ وَقَبْلَ خُرُوجِ
ٱلْإِمَامِ – يَعْنِي يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ –: هَذَا ٱلْوَقْتُ يُسْتَحَبُّ ٱلصَّلَاةُ
فِيهِ بِغَيْرِ خِلَافٍ نَعْلَمُهُ بَيْنَ ٱلْعُلَمَاءِ سَلَفًا وَخَلَفًا، وَلَمْ
يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ إِنَّهُ يُكْرَهُ ٱلصَّلَاةُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ،
بَلِ ٱلْقَوْلُ بِذَلِكَ خَرْقٌ لِإِجْمَاعِ ٱلْمُسْلِمِينَ".
"Setelah matahari tergelincir condong kebarat
dan sebelum imam keluar - yakni pada hari Jumat - Ini adalah waktu yang
dimustahab-kan untuk shalat tanpa ada perbedaan pendapat yang kami ketahui di
antara para ulama sebelum dan sesudahnya. Dan tidak ada seorang pun dari kaum
muslimin yang mengatakan bahwa sholat di hari Jumat itu makruh, bahkan
perkataan makruh itu telah mendobrak Ijma’ umat Islam “
Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan banyak atsar dari
para sahabat tentang mustahabnya shalat ini. Kemudian dia berkata:
[وَقَدِ ٱخْتُلِفَ فِي ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ:
هَلْ هِيَ مِنَ ٱلسُّنَنِ ٱلرَّوَاتِبِ كَسُنَّةِ ٱلظُّهْرِ قَبْلَهَا، أَمْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ
مُرَغَّبٌ فِيهَا كَٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْعَصْرِ؟ وَأَكْثَرُ ٱلْعُلَمَاءِ عَلَىٰ أَنَّهَا
سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ، مِنْهُمْ: ٱلْأَوْزَاعِيُّ، وَٱلثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ،
وَأَصْحَابُهُ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ ذَكَرَهُ ٱلْقَاضِي أَبُو
يَعْلَىٰ فِي "شَرْحِ ٱلْمَذْهَبِ" وَٱبْنُ عَقِيلٍ، وَهُوَ ٱلصَّحِيحُ عِنْدَ
أَصْحَابِ ٱلشَّافِعِيِّ. وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا: لَيْسَتْ
سُنَّةً رَاتِبَةً، بَلْ مُسْتَحَبَّةٌ] اهـ.
[Telah terjadi berbeda pendapat tentang shalat
sebelum Jum’at:
Apakah itu termasuk sunnah rawaatib, seperti sunnah
qobliyah zuhur, ataukah itu adalah sholat mustahabbah yang dianjurkan seperti
salat mustahabbah sebelum salat Ashar?
Mayoritas para ulama menganggapnya sebagai sunnah
rawaatib, diantaranya: Al-Awza'i (w. 157 H), Al-Tsawri (w. 161 H), Abu Hanifah
(w. 150), dan para sahabatnya, dan itu yang nampak dari pendapat Imam Ahmad,
dan Al-Qadi Abu Ya'la menyebutkannya dalam " شَرْح
الْمَذْهَبِ ",
dan juga pendapat Ibnu Aqil, dan yang shahih menurut para sahabat Imam Al-Syafi'i.
Dan banyak dari sahabat kita dari kalangan
Mutaakhirin berkata: Bahwa Ini bukan sunnah rawaatib, melainkan mustahabbah “.
(Sls).
Madzhab Hanafi dan Syafi'i telah menyebutkan
dalil-dalil mereka, di antaranya adalah hadits Sulaik al-Ghothofaani, yaitu
kisah Sulaik masuk masjid di saat Nabi ﷺ sedang
berkhuthbah.
Adapun Madzhab Maliki dan Hanbali, maka dalil
mereka adalah bahwa tidak ada nash atau hadits dalam hal ini menurut sudut
pandang mereka, dengan catatan bahwa pada masa Nabi ﷺ hanya
ada satu Adzan untuk Jum’at, yaitu ketika Nabi ﷺ duduk
diatas mimbar.
Pada Zaman Nabi ﷺ pengamatan
waktu tidak seakurat di zaman kita. Dan ini nampak dari ketidak adanya
kesepakatan sebelumnya tentang waktu Jumat ; karena sebagian para ulama
berpandangan bahwa Nabi ﷺ biasa
mempercepatnya seolah-olah itu berada pada waktu sebelum Zawaal (sebelum
condong kebarat) seperti pendapat madzhab Hanbali.
Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa beliau ﷺ biasa mengakhirkannya sampai setelah Zawaal -
seperti pendapat Madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi'i - dan Nabi ﷺ terbiasa mengerjakan semua shalat sunnah di
rumahnya.
Mungkin Beliau ﷺ telah
melaksanakan shalat sunnah qobliyah Jum'at di rumahnya, kemudian keluar dan
naik mimbar, lalu muadzin mengumandangkan Adzan di hadapannya.
Maka Masalah ini menjadi fifty fifty alias
berimbang yang memungkinkan pendapat yang rajih itu pada masing-masing madzhab.
Namun sikap dan pernyataan para Fuqoha dari Madzhab
Maliki dan Hanbali yang menyatakan makruh atau melarangnya, itu tidak keras,
melainkan luas dalam masalah ini. Sebagai Contohnya penulis buku “ٱلْجَوَاهِرُ ٱلزَّكِيَّةُ” oleh Sheikh Ahmad bin Turk Al-Maliki mengatakan:
"يُكْرَهُ لِلْجَالسِ أَنْ يَتَنَفَّلَ عِندَ
ٱلْأَذَانِ ٱلْأَوَّلِ كَمَا يَفْعَلُهُ ٱلشَّافِعِيَّةُ وَٱلْحَنَفِيَّةُ خِيفَةَ
ٱعْتِقَادِ وُجُوبِهِ."
“Makhruh bagi orang yang duduk untuk melakukan
sholat Sunnah pada adzan pertama, seperti yang dilakukan oleh madzhab Syafi’i
dan Hanafi karena khawatir meyakini bahwa itu wajib.” [ٱلْجَوَاهِرُ
ٱلزَّكِيَّةُ (2/74)]
Artinya, alasan makruhnya itu karena takut
campuraduk antara sunnah dan wajib, bukan karena dilarang.
Imam ash-Shofti (الصَّفْتِيّ) mengatakan dalam catatan kaki,
mengomentari masalah ini:
"فَائِدَةٌ: إِذَا كَانَ شَخْصٌ مَالِكِيًّا
بِحَضْرَةِ جَمَاعَةٍ شَافِعِيَّةٍ أَوْ حَنَفِيَّةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ عِندَ
ٱلْأَذَانِ - أَيِ ٱلْأَوَّلِ - كَمَا قَرَّرَهُ بَعْضُ شُيُوخِنَا"
“Faidah: Jika seorang yang bermadzhab Maliki berada
di hadapan jemaah madzhab Syafi'i atau Hanafi, maka tidak mengapa dia sholat
sunnah pada saat adzan - yaitu, yang pertama - seperti yang telah ditetapkan
berdasarkan keputusan sebagian para syekh kami.” [ٱلْجَوَاهِرُ
ٱلزَّكِيَّةُ (2/74)].
Dan Ibnu Qudamah mengatakan dalam “Al-Mughni”:
"فَأَمَّا ٱلصَّلَاةُ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ
فَلَا أَعْلَمُ فِيهَا إِلَّا مَا رُوِيَ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَرْكَعُ قَبْلَ
ٱلْجُمُعَةِ أَرْبَعًا" رَوَاهُ ٱبْنُ مَاجَهْ، وَرَوَىٰ عَمْرُو بْنُ سَعِيدِ
بْنِ ٱلْعَاصِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنْتُٓ أُلْقِيٓ أَصْحَابَ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ فَإِذَا
زَالَتِ ٱلشَّمْسُ قَامُوا فَصَلَّوْا أَرْبَعًا".
“Adapun shalat Qobliyah Jumat, saya tidak tahu
apa-apa tentang itu kecuali apa yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ dulu pernah sholat empat rakaat sebelum shalat
Jum'at”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Dan Amr bin Saeed bin Al-Aas meriwayatkan dari
ayahnya, dia berkata:
Saya bertemu dengan para sahabat Rasulullah ﷺ, maka
ketika matahari tergelincir condong ke barat, mereka berdiri lalu shalat empat
rakaat “. [ٱلْمُغْنِي (4/220)].
Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan sebagian dari apa
yang digunakan para ulama madzhab Syafi'i sebagai dalil untuk Madzhab nya
Perkataan Ibnu Quddaamah diatas mengisyaratkan
bahwa dirinya cenderung memilih pendapat yang mensunnahkannya.
Dulu pada masa awal-awal, masalah khilafiyah sunnah
qobliyah ini tidak meruncing.
Ada yang mengatakan bahwa ulama yang memulai
menentang keras sunnah qobliyah Jumat adalah Abu Syaamah (w. 665 H/1267 M) dan
Ibnu Qoyyim al-Jauzi (w. 751 H). Wallahu a’lam. saya belum meneliti lebih jauh
tentang kebenarannya dan kapan mulai nya.
Sementara Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
sendiri berkata:
"مَن فَعَلَ ذَٰلِكَ لَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ"
"Siapa pun yang melakukan itu (Qobliyah Jumat)
; maka tidak boleh di ingkari". [Di nukil oleh al-Mardawaih dalam “الإِنْصَاف” 2/406 ].
===****===
MESKI BERBEDA PENDAPAT, TETAPLAH BERSATU DAN JANGAN BERPECAH BELAH!
Dengan tulisan ini, penulis sangat berkeinginan agar
umat Islam sadar betul bahwa perselisihan tentang masalah ini adalah
perselisihan pada salah satu cabang-cabang fikih, di mana tidak layak bagi
seorang pun dengan penuh kefanatikan terhadap pendapatnya lalu menentang keras
pendapat orang lain dan melontarkan gelar-gelar yang bermakna cacian dan
berdampak pada permusuhan. Padahal salah satu sebab diharamkannya minuman keras
dan judi itu karena berdampak pada permusuhan dan kebencian.
Karena Syarat dalam mengingkari sesuatu itu adalah
bahwa yang diingkarinya itu secara IJMA' dianggap sebagai kemungkaran, seperti
halnya tidak layak bagi seseorang yang memiliki sebuah pendapat yang berbeda,
lalu melontarkan julukan pada lawannya dengan julukan sebagai PELAKU MAKSIAT
dan PELAKU BID'AH.
Mari kita ambil teladan dari apa yang telah
dilakukan oleh para imam mujtahid dulu, yang diriwayatkan lebih dari satu orang
bahwa sebagian dari mereka ada yang berkata:
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ ٱلْخَطَأَ،
وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ ٱلصَّوَابَ
Pendapat saya benar dan ada kemungkinan salah, dan
pendapat orang lain salah dan ada kemungkinan benar.
Kami juga menginginkan agar para pendebat
senantiasa memperhatikan qaidah-qaidah dasar perdebatan yang sudah makruf,
yaitu diantaranya:
ٱلدَّلِيلُ إِذَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ
ٱلْاِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ ٱلْاِسْتِدْلَالُ فَلَا يَتَمَسَّكُ بِٱلدَّلِيلِ لِإِثْبَاتِ
ٱلْوُجُوبِ أَوِ ٱلْحُرْمَةِ إِذَا ٱحْتَمَلَ ٱلنَّدْبَ أَوِ ٱلْكَراهَةَ، وَٱلْاِحْتِمَالُ
قَدْ يَكُونُ فِي ثُبُوتِ ٱلدَّلِيلِ وَقَدْ يَكُونُ فِي دَلَٰلَتِهِ. وَيَكْفِي ٱلْمُتَعَبِّدِ
أَنْ يَصِلَ إِلَىٰ مَعْرِفَةِ ٱلْحُكْمِ وَلَوْ بِطَرِيقِ غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ، فَذَٰلِكَ
وُسْعُهُ ٱلَّذِي لَا يُكَلِّفُهُ ٱللَّهُ إِلَّا بِهِ.
Sebuah Dalil jika padanya terdapat kemungkinan
untuk dalil yang lain atau kebalikannya, maka gagal lah berdalil dengannya,
maka dia tidak boleh berpegang pada dalil tsb untuk menetapkan hukum wajib atau
haram jika ada kemungkinan untuk sunnah atau makruh. Dan kemungkinan itu
terkadang dalam ketetapan dalil dan terkadang dalam signifikansinya (dalil yang
diisyaaratkan darinya). Dan cukuplah bagi seorang yang mau beribadah untuk
mendapatkan pengetahuan tentang hukum, meskipun dengan praduga yang rajih (غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ), karena yang demikian itu sesuai dengan batas kemampuannya,
yang mana Allah ﷺ tidak
akan membebaninya kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Kita kembali ke pembahasan hukum shalat yang
sebagian umat Islam sekarang shalat setelah adzan pertama untuk waktu shalat
Jum'at dan sebelum adzan kedua di depan khatib.
Maka penulis katakan:
Perbedaan pendapat tentang di syariatkan shalat
sunnah qobliyah Jum'at ; maka ini adalah masalah yang sudah lama dan bukan
masalah baru, dan orang-orang yang membicarakan nya pada hari ini tidak lebih
dari apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang terdahulu.
Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar
Rasulullah ﷺ
bersabda :
"
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ
ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ ".
“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar,
maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia
memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid berkata :
لَا نَرَى أَنْ يَتَعَامَلَ ٱلْمُسْلِمُ
مَعَ ٱلْمَسَائِلِ ٱلِاجْتِهَادِيَّةِ بَيْنَ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ بِمِثْلِ هَذِهِ ٱلْحَسَّاسِيَّةِ،
فَيَجْعَلَ مِنْهَا سَبَبًا لِحُصُولِ ٱلْفُرْقَةِ وَٱلْفِتَنِ بَيْنَ ٱلْمُسْلِمِينَ.
Kami berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh
sensitif dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
dengan menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di kalangan umat
Islam. [ ISALMQA : no. 9036 Publikasi : 09-10-2002].
Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya)
mengatakan, ketika melihat runcingnya perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan
pendapat tentang rakaat tarawih, dia berkata :
"وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي
ٱلْأُمَّةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يُسَاغُ
فِيهَا ٱلْخِلَافُ، فَتَجْعَلَ ٱلْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِٱخْتِلَافِ ٱلْقُلُوبِ،
فَٱلْخِلَافُ فِي ٱلْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ ٱلصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَٰلِكَ بَقِيَتْ
قُلُوبُهُمْ مُتَّفِقَةً.
فَٱلْوَاجِبُ عَلَى ٱلشَّبَابِ خَاصَّةً،
وَعَلَى كُلِّ ٱلْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛
لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمُ ٱلدَّوَائِرَ."
“Sangat
menyedihkan bagi kami bahwa kami menemukan di antara umat Islam banyak kelompok
yang berselisih tentang hal-hal di mana perbedaan pendapat dapat diterima, dan
mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sarana untuk menyebabkan perpecahan.
Padahal perbedaan-perbedaan dalam ummat ini telah
ada pada masa Sahabat, namun mereka tetap bersatu.
Para pemuda khususnya dan semua yang berkomitmen
pada Islam harus tetap bersatu, karena diluar sana ada banyak musuh umat Islam
yang terus memantau .” (Al-Sharh al-Mumti' 4/225)
Dan Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya)
juga berkata :
وَهُنَا نَقُولُ: لَا يَنبَغِي لَنَا
أَنْ نَغْلُوَ أَوْ نُفَرِّطَ، فَبَعْضُ ٱلنَّاسِ يَغْلُو مِنْ حَيْثُ ٱلْتِزَامِ ٱلسُّنَّةِ
فِي ٱلْعَدَدِ، فَيَقُولُ: لَا تَجُوزُ ٱلزِّيَادَةُ عَلَى ٱلْعَدَدِ ٱلَّذِي جَاءَتْ
بِهِ ٱلسُّنَّةُ، وَيُنْكِرُ أَشَدَّ ٱلنَّكِيرِ عَلَىٰ مَنْ زَادَ عَلَىٰ ذَٰلِكَ،
وَيَقُولُ: إِنَّهُ آثِمٌ عَاصٍ.
“Di sini kami mengatakan bahwa kami tidak boleh
bertindak ekstrem atau berlebihan .
Ada sebagian orang yang terlalu ekstrim dalam
berpegang teguh jumlah rakaat tarawih yang disebutkan dalam Sunnah, dan
mengatakan bahwa tidak boleh melakukan lebih dari jumlah yang disebutkan dalam
Sunnah, dan mereka secara agresif mencela mereka yang melakukan lebih dari itu,
dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa dan
maksiat". [ (Al-Sharh
al-Mumti' 4/73-75) ]
Dan Penulis katakan:
رَحِمَ ٱللَّهُ ٱلشُّيُوخَ ٱلَّذِينَ
يَزِنُونَ كَلَامَهُمْ بِمِيزَانِ ٱلْفِقْهِ وَيُكْرِهُونَ تَفَرُّقَ ٱلْمُسْلِمِينَ
وَٱخْتِلَافَهُمْ.
“Semoga Allah merahmati para syeikh yang menimbang
kata-kata mereka dengan neraca fikih serta membenci terjadinya perpecahan
diantara umat Islam dan perselisihan! “. Amiin
===****===
APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU YANG BENAR?
Asy-Syawkani berkata dalam kitabnya Irsyaad
al-Fuhuul 2/231 :
"وَقَدِ اخْتَلَفُوا
فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا طَوِيلًا، وَاخْتَلَفَ النَّقْلُ عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ
اخْتِلَافًا كَثِيرًا:
فَذَهَبَ جَمْعٌ جَمٌّ إِلَى أَنَّ
كُلَّ قَوْلٍ مِنْ أَقْوَالِ الْمُجْتَهِدِينَ فِيهَا حَقٌّ، وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمْ مُصِيبٌ، وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ، وَالرُّويَانِيُّ، عَنِ الْأَكْثَرِينَ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ قَوْلُ
أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَالْمُعْتَزِلَةِ.
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ،
وَالشَّافِعِيُّ، وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْحَقَّ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ،
وَلَمْ يَتَعَيَّنْ لَنَا، وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ مُتَعَيَّنٌ، لِاسْتِحَالَةِ أَنْ
يَكُونَ الشَّيْءُ الْوَاحِدُ، فِي الزَّمَانِ الْوَاحِدِ، فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ
حَلَالًا وَحَرَامًا، وَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يُخطِّئ بَعْضُهُمْ
بَعْضًا، وَيَعْتَرِضُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَلَوْ كَانَ اجْتِهَادُ كُلِّ مُجْتَهِدٍ
حَقًّا، لَمْ يَكُنْ لِلتَّخْطِئَةِ وَجْهٌ".
Dan mereka berselisih dalam hal ini [ tentang
apakah yang benar itu satu atau berbilang] untuk waktu yang lama, dan perbedaan
kutipan riwayat dari mereka pun terdapat perbedaan yang banyak, sehingga ada
sekelompok besar yang berpendapat bahwa setiap pendapat para mujtahid adalah
benar, dan bahwa setiap hasil ijtihad dari mereka adalah dibenarkan .
Al-Mawardi dan Al-Ruyani meriwayatkan nya dari mayoritas. Al-Mawardi berkata:
Ini adalah pendapat Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan Mu'tazilah.
Sementara Abu Hanifah, Malik , Asy-Syafi'i dan
kebanyakan para Ahli Fikih berpendapat bahwa yang Hak atau yang benar dari
semua pendapat adalah hanya satu . Akan tetapi tidak bisa kita tentukan yang
mana yang hak , itu hanya ada di sisi Allah ketentuannya.
Alasannya; karena tidak mungkin hal yang sama, pada
saat yang sama, pada orang yang sama, terdapat dua hukum halal dan haram. Dan
para sahabat – radhiyallahu 'anhum - sering menyalahkan salah satu sama lain,
dan saling membantah , dan jika ijtihad setiap mujtahid itu benar, maka tidak akan
saling menyalahkan".
Lalu Asy-Syawkani berkata (2/231) :
“Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai
menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam”.
0 Komentar