Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SHOLAT "QOBLIYAH JUM'AT". BESERTA DALIL MASING-MASING.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT SUNNAH “QOBLIYAH JUM’AT”. BESERTA RINCIAN DALIL NYA.

-----

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===

****

DAFTAR ISI:

  • PENDAHULUAN :
  • PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT SUNNAH “QOBLIYAH JUM’AT”. BESERTA RINCIAN DALIL NYA.
  • MAKNA QOBLIYAH
  • ADA DUA MACAM SHOLAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT JUM'AT
  • PERTAMA: SHOLAT SUNNAH MUTHLAK SEBELUM SHOLAT JUMAT
  • KEDUA: SHOLAT SUNNAH RAWAATIB SEBELUM SHOLAT JUM’AT/QOBLIYAH JUMAT
  • PENDAPAT PERTAMA: DI SUNNAHKAN SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT
  • PENDAPAT KE DUA: TIDAK DISYARIATKAN SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH JUM'AT
  • DALIL MASING-MASING PENDAPAT
  • 8. DALIL PENDAPAT PERTAMA: YAITU SHALAT QOBLIYAH JUMA’AT ITU SUNNAH
  • 9. DALIL PENDAPAT KE DUA: YAITU SHOLAT QOBLIYAH JUMAT TIDAK DI SYARI'ATKAN
  • 10. MUNAQOSYAH DALIL DARI YANG MEMBID'AHKAN QOBLIYAH JUM'AT SERTA BANTAHAN TERHADAP YANG MENSUNNAHKAN-NYA
  • 11. PERTAMA: SYEIKH AL-ALBAANI رحمه الله تعالى
  • 12. KEDUA: ABU SYAAMAH رحمه الله تعالى (w. 665)
  • 13. MUNAQOSYAH DALIL DARI YANG MENSUNNAHKAN QOBLIYAH JUM'AT & JAWABAN TERHADAP BANTAHAN YANG MEMBID'AHKANNYA
  • 14. PERTAMA: DR. SYAUQI 'ALLAAM
  • 15. KEDUA: AL-HAAFIDZ IBNU ROJAB, DARI MADZHAB HANBALI
  • 16. KESIMPULAN AKHIR
  • 17. MESKI BERBEDA PENDAPAT, TETAPLAH BERSATU DAN JANGAN BERPECAH BELAH!
  • 18. APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU YANG BENAR?

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ:

===***===

PENDAHULUAN :

Perbedaan pendapat tentang di syariatkan shalat sunnah qobliyah Jum'at ini adalah masalah yang sudah lama dan bukan masalah baru, dan orang-orang yang membicarakan nya pada hari ini tidak lebih dari apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang terdahulu.

Sikap Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap orang yang mengamalkan Qobliyah Jum’at :

"مَنْ فَعَلَ ذَٰلِكَ ذَٰلِكَ لَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ"

"Siapa pun yang melakukan itu (Qobliyah Jumat) ; maka tidak boleh di ingkari". [Di nukil oleh al-Mardawaih dalam "Al-Inshāf", jilid 2, halaman 406 ].

Imam Bukhori dalam kitab Shahih-nya menulis “BAB : QOBLIYAH JUM'A'T”.

Hadits-hadits yang imam Al-Bukhari sebutkan dalam bab tersebut, telah mendorong dirinya untuk menulis Bab dalam “Shahih” nya:

بَابُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ وَقَبْلَهَا

BAB: Sholat setelah [Ba'diyah] Jum'at dan sebelum nya [Qobliyah] ".

Oleh sebab itu Al-Hafidz Ibnu Rajab – rahimahullah- (wafat 795 H) seorang Ahli Hadits terkemuka dan ahli Fiqih dari madzhab Hanbali, beliau dalam kitabnya "Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhori" (8/331) menjelaskan :

وَقَدْ رَوَى ٱبْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ فِي "تَارِيخِهِ" مِنْ طَرِيقِ ٱلْأَعْمَشِ، عَنِ ٱلنَّخَعِيِّ، قَالَ: مَا قُلْتُ لَكُمْ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ، فَهُوَ ٱلَّذِي أَجْمَعُوا عَلَيْهِ. 

Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dalam “Taarikh”nya melalui jalur Al-A'mash, dari Al-Nakho'ii, dia berkata:  

“Apa yang saya katakan: mereka menganggap mustahabb [empat rokaat sebelum sholat Jum'at], oleh karena itu mereka telah ber IJMA' [sepakat dengan suara bulat bahwa qobliyah Jum’at itu disunnahkan]”.

Lalu Ibnu Rajab melanjutkan perkataan-nya :

وَمِمَّنْ ذَهَبَ إِلَى ٱسْتِحْبَابِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ: حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ، وَٱلنَّخَعِيُّ، وَٱلثَّوْرِيُّ، وَٱبْنُ ٱلْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ. 

وَرَوَى حَرْبٌ بِإِسْنَادِهِ، عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ فِي بَيْتِهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يَأْتِي ٱلْمَسْجِدَ فَلَا يُصَلِّي قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا. 

وَهَذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ سُنَّةَ ٱلْجُمُعَةِ عِنْدَ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَبْلَهَا لَا بَعْدَهَا.

Di antara mereka yang berpendapat bahwa empat rakaat sebelum shalat Jumat itu mustahab adalah: Habib bin Abi Tsabit (wafat tahun 119 H.), Al-Nakho'ii (w. 96 H.), Ats-Tsawri (w. 161 H.), Ibnu Al-Mubarak (w. 181 H.), Imam Ahmad (w. 241 H.) dan Ishaq bin Rahawiah (w. 238 H.).

Harb telah meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ibnu Abbas, bahwa dia biasa sholat Jumat empat rakaat di rumahnya, kemudian dia pergi ke masjid dan dia tidak sholat sebelum atau sesudah sholat Jum'at di masjid. [Fathul Baari karya Ibnu Rojab 8/331 ]

DOA DAN HARAPAN SAYA SEBAGAI PENULIS :

Penulis do’akan:

رَحِمَ ٱللَّهُ ٱلشُّيُوخَ ٱلَّذِينَ يَزِنُونَ كَلَامَهُمْ بِمِيزَانِ ٱلْفِقْهِ وَيُكْرِهُونَ تَفَرُّقَ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱخْتِلَافَهُمْ.

“Semoga Allah merahmati para syeikh yang menimbang kata-kata mereka dengan neraca fikih serta membenci terjadinya perpecahan diantara umat Islam dan perselisihan! “. Aamiin!!!

Dan penulis harapkan :

Mari kita ambil teladan dari apa yang telah dilakukan oleh para imam mujtahid dulu, yang diriwayatkan lebih dari satu orang bahwa sebagian dari mereka ada yang berkata:

رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ ٱلْخَطَأَ، وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ ٱلصَّوَابَ

Pendapat saya benar dan ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah dan ada kemungkinan benar.

Dalam hadits ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu di sebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

" إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ".

“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].

Kami juga menginginkan agar para ulama yang memperdebatkan hukum masalah-masalah furu’iyyah agar senantiasa memperhatikan qaidah-qaidah dasar perdebatan yang sudah makruf, yaitu diantaranya:

ٱلدَّلِيلُ إِذَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ ٱلْاِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ ٱلْاِسْتِدْلَالُ فَلَا يَتَمَسَّكُ بِٱلدَّلِيلِ لِإِثْبَاتِ ٱلْوُجُوبِ أَوِ ٱلْحُرْمَةِ إِذَا ٱحْتَمَلَ ٱلنَّدْبَ أَوِ ٱلْكَراهَةَ، وَٱلْاِحْتِمَالُ قَدْ يَكُونُ فِي ثُبُوتِ ٱلدَّلِيلِ وَقَدْ يَكُونُ فِي دَلَٰلَتِهِ. وَيَكْفِي ٱلْمُتَعَبِّدِ أَنْ يَصِلَ إِلَىٰ مَعْرِفَةِ ٱلْحُكْمِ وَلَوْ بِطَرِيقِ غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ، فَذَٰلِكَ وُسْعُهُ ٱلَّذِي لَا يُكَلِّفُهُ ٱللَّهُ إِلَّا بِهِ.

Sebuah Dalil jika padanya terdapat kemungkinan untuk dalil yang lain atau kebalikannya, maka gagal-lah berdalil dengannya, maka dia tidak boleh berpegang pada dalil tsb untuk menetapkan hukum wajib atau haram jika ada kemungkinan untuk sunnah atau makruh. Dan kemungkinan itu terkadang dalam ketetapan dalil dan terkadang dalam signifikansinya (dalil yang diisyaaratkan darinya).

Dan cukuplah bagi seorang yang mau beribadah untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum, meskipun dengan praduga yang rajih (غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ), karena yang demikian itu sesuai dengan batas kemampuannya, yang mana Allah tidak akan membebaninya kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Al-Imam Asy-Syawkani berkata dalam Neilul Awthor (2/231) :

“Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam”.

Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid berkata :

لَا نَرَى أَنْ يَتَعَامَلَ ٱلْمُسْلِمُ مَعَ ٱلْمَسَائِلِ ٱلِاجْتِهَادِيَّةِ بَيْنَ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ بِمِثْلِ هَذِهِ ٱلْحَسَّاسِيَّةِ، فَيَجْعَلَ مِنْهَا سَبَبًا لِحُصُولِ ٱلْفُرْقَةِ وَٱلْفِتَنِ بَيْنَ ٱلْمُسْلِمِينَ.

Kami berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh sensitif dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah dengan menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam. [ ISALMQA : no. 9036 Publikasi : 09-10-2002].

Syekh Ibnu Utsaimin – rahimahullah- ketika melihat runcingnya perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang rakaat tarawih, dia berkata :

"وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي ٱلْأُمَّةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يُسَاغُ فِيهَا ٱلْخِلَافُ، فَتَجْعَلَ ٱلْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِٱخْتِلَافِ ٱلْقُلُوبِ، فَٱلْخِلَافُ فِي ٱلْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ ٱلصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَٰلِكَ بَقِيَتْ قُلُوبُهُمْ مُتَّفِقَةً.

فَٱلْوَاجِبُ عَلَى ٱلشَّبَابِ خَاصَّةً، وَعَلَى كُلِّ ٱلْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمُ ٱلدَّوَائِرَ."

“Sangat menyedihkan bagi kami bahwa kami menemukan di antara umat Islam banyak kelompok yang berselisih tentang hal-hal di mana perbedaan pendapat dapat diterima, dan mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sarana untuk menyebabkan perpecahan.

Padahal perbedaan-perbedaan dalam ummat ini telah ada pada masa Sahabat, namun mereka tetap bersatu.

Para pemuda khususnya dan semua yang berkomitmen pada Islam harus tetap bersatu, karena diluar sana ada banyak musuh umat Islam yang terus memantau .” (Al-Sharh al-Mumti' 4/225)

===***===

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT SUNNAH “QOBLIYAH JUM’AT”. BESERTA RINCIAN DALIL NYA.

*****

MAKNA QOBLIYAH

Makna Qobliyah (قَبْلِيَّة) adalah “Yang Sebelum”. Sholat Sunnah Qobliyah Jum’at artinya Sholat Sunnah sebelum sholat Jum’at’

ADA DUA MACAM SHOLAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT JUM’AT:

1. Pertama: Sholat Sunnah Mutlak.

2. Kedua: sholat Sunnah Rawatib Qobliyah Jum’at.

Maka yang ditanyakan disini : hukum shalat sunnah yang mana dulu ? Apakah yang dimaksud adalah Hukum Sholat sunnah Mutlak sebelum shalat Jum’at, atau yang dimaksud adalah sholat sunnah qobliyah rawaatib sebelum shalat Jum’at ?

Berikut ini penjelasannya:

===****===

PERTAMA: SHOLAT SUNNAH MUTHLAK SEBELUM SHOLAT JUMAT

Adapun sholat sunnah Mutlak sebelum sholat Jum’at ; maka tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya di kalangan fuqaha’. Hal ini diperbolehkan dan bahkan disunnnahkan, dan dalil-dalil untuk itu adalah sbb:

Dari Salman Al Farsi berkata, "Nabi bersabda:

لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى

"Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum'at lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju Masjid, ia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya lalu dia shalat yang dianjurkan baginya dan diam mendengarkan khutbah Imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum'atnya itu dan Jum'at yang lainnya." (HR. Bukhori no. 837)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda:

«مَنِ اغْتَسَلَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ، فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى، وَفَضْلُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ»

“Barangsiapa mandi kemudian menghadiri shalat Jum’at, lalu mengerjakan shalat sesuai kemampuannya, selanjutnya ia diam sehingga imam selesai dari khutbahnya dan kemudian mengerjakan shalat bersamanya, maka akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut ke Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari” [HR. Muslim no. 857].

“Dari Abu Ayyub al-Anshari [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى.

Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dan memakai wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaian yang terbaik, kemudian ia keluar sehingga ia sampai di masjid kemudian ia shalat semampunya dan tidak mengganggu siapapun, kemudian berdiam diri sambil memperhatikan kepada khutbah Imam sejak ia datang sampai ia berdiri shalat, maka perbuatan tersebut menjadi pembebas dosa antara Jum’at hari itu dan Jum’at yang lain.” [[HR. oleh Ahmad 5/420-421; hasan dengan penguat hadits sebelumnya].]

Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ

Seorang laki-laki datang (masuk masjid) dan Nabi sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Beliau bersabda: “Apakah engkau sudah shalat wahai Fulaan ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau bersabda: “Berdiri dan shalatlah” [Diriwayatkan oleh Bukhori no. 930 dan Muslim no. 875 (54)].

Dalam riwayat lain, laki-laki yang datang tersebut adalah Sulaik Al-Ghothofaaniy radliyallaahu ‘anhu:

Dari Jaabir bahwasannya ia berkata:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَعَدَ سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: أَرَكَعْتَ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْهُمَا

Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rasulullah duduk di atas mimbar. Maka Sulaik pun duduk sebelum mengerjakan shalat. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah shalat dua raka’at ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau bersabda: “Berdiri lalu shalatlah dua raka’at” [HR. Muslim no. 875 (58)].

===***===

KEDUA: SHOLAT SUNNAH RAWAATIB SEBELUM SHOLAT JUM’AT (QOBLIYAH JUM'AT)

Adapun sunnah rawaatib sebelum shalat Jumat, maka para ulama berbeda pendapat.

Ada dua pendapat:

****

PENDAPAT PERTAMA:
DI SUNNAHKAN SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT

Bahwa dalam sholat Jum'at terdapat sholat Sunnah Rawaatib Qobliyah.

Ini adalah pendapat para ulama salaf sebagai berikut :

1. Pendapat madzhab Hanafi,

2. Madzhab Syafi'i menurut yang paling jelas dari dua pendapat (فِي أَظْهَرِ الْوَجْهَيْنِ).

3. Madzhab Hanbali dalam salah satu dari dua riwayat.

4. Al-Awzaa’i (wafat. tahun 157 H)

5. Ats-Tsauri (w. 161 H)

6. Abdullah Ibnu al-Mubaarak (w.181 H).

7. Abu Mijlaz, Lahiq bin Humaid al-Bashri al-A’war (106 H)

8. Thoowus bin Kiisan al-Yamaani, murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu (w. 106).

9. An-Nakho’i, Ibrahim bin Yazid (w. 96 H).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"مَنْ فَعَلَ ذَٰلِكَ ذَٰلِكَ لَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ"

"Siapa pun yang melakukan itu (Qobliyah Jumat) ; maka tidak boleh di ingkari". [Di nukil oleh al-Mardawaih dalam "Al-Inshāf", jilid 2, halaman 406 ].

Ibnu al-Arabi dari madzhab Maliki berkata dalam Sharh al-Tirmidzi (2/312):

"وَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَهَا يَعْنِي الجُمُعَةَ فَإِنَّهُ جَائِزٌ" ا هـ.

“Adapun shalat qobliyah, yaitu sebelum shalat Jumat, maka itu diperbolehkan.”

Ini adalah pendapak mayoritas para ulama, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali.

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam “فَتْحُ البَارِي” (8/333-334, Cetk. مَكْتَبَةُ الغُرَبَاءِ):

[وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي الصَّلَاةِ قَبْلَ الجُمُعَةِ: هَلْ هِيَ مِنَ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ كَسُنَّةِ الظُّهْرِ قَبْلَهَا، أَمْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ مُرَغَّبٌ فِيهَا كَالصَّلَاةِ قَبْلَ العَصْرِ؟ وَأَكْثَرُ العُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ، مِنْهُمْ: الأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ ذَكَرَهُ القَاضِي أَبُو يَعْلَى فِي "شَرْح الْمَذْهَبِ" وَابْنُ عَقِيلٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا: لَيْسَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً، بَلْ مُسْتَحَبَّةٌ] إهـ.

[Telah terjadi perbedaan pendapat tentang shalat sebelum sholat Jum’at:

Apakah itu termasuk sunnah rawaatib, seperti sunnah qobliyah zuhur, ataukah itu adalah sholat mustahabbah yang dianjurkan seperti salat mustahabbah sebelum salat Ashar?

Mayoritas para ulama menganggapnya sebagai sunnah rawaatib, diantaranya: Al-Awza'i (w. 157 H), Al-Tsawri (w. 161 H), Abu Hanifah (w. 150), dan para sahabatnya, dan itu yang nampak dari pendapat Imam Ahmad, dan Al-Qadhi Abu Ya'la menyebutkannya dalam " شَرْح الْمَذْهَبِ ", dan juga pendapat Ibnu Aqiil, dan yang shahih menurut para sahabat Imam Al-Syafi'i.

Dan banyak dari sahabat kita (Madzhab Hanbali. Pen.) dari kalangan Mutaakhirin berkata: Bahwa Ini bukan sunnah rawaatib, melainkan mustahabbah “. (Selesai kutipan).

Al-‘Allaamah Al-Mardawai al-Hanbali berkata dalam “الإِنْصَاف” (5/266-267, cet. هجر):

وَعَنْهُ: لَهَا (أَيْ لِلْجُمُعَةِ) رَكْعَتَانِ، اخْتَارَهُ ابْنُ عَقِيلٍ. قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: هُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الإِمَامِ أَحْمَدَ، قُلْتُ: اخْتَارَهُ الْقَاضِي مُصَرَّحًا بِهِ فِي "شَرْح الْمَذْهَبِ"، قَالَهُ ابْنُ رَجَبٍ فِي كِتَابِ "نَفْيِ الْبِدْعَةِ عَنِ الصَّلَاةِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ". 

وَعَنْهُ: أَرْبَعٌ بِسَلَامٍ أَوْ سَلَامَيْنِ، قَالَهُ فِي "الرِّعَايَةِ" أَيْضًا، قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: هُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا أَيْضًا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: رَأَيْتُ أَبِي يُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ رَكَعَاتٍ، وَقَالَ: رَأَيْتُهُ يُصَلِّي رَكَعَاتٍ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، فَإِذَا قَرُبَ الْأَذَانُ أَوِ الْخُطْبَةُ تَرَبَّعَ وَنَكَّسَ رَأْسَهُ. وَقَالَ ابْنُ هَانِئٍ: رَأَيْتُهُ إِذَا أَخَذَ فِي الْأَذَانِ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا، قَالَ: وَقَالَ: أَخْتَارُ قَبْلَهَا رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا سِتًّا، وَصَلَاةُ أَحْمَدَ تَدُلُّ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ. ا.هـ.

[Dan dari nya (yakni: dari sebagian riwayat-riwayat dari Imam Ahmad): Baginya (yaitu bagi shalat Jumat) ada dua rakaat, ini yang dipilih oleh Ibnu Aqiil. Syekh Taqiyud-Diin berkata: Ini adalah pendapat sekelompok dari sahabat-sahabat Imam Ahmad.

Aku berkata: Ini adalah yang dipilih oleh al-Qodhi sebagaimana secara eksplisit disebutkan dalam “شَرْح الْمَذْهَبِ”. Ibnu Rajab mengatakannya dalam kitab “نفي البِدْعَةِ عن الصَّلاةِ قبلَ الجُمُعَة” (menolak pengklaiman bid'ah tentang shalat qobliyah Jumat).”

Dan dari nya (dari Imam Ahmad Pen.): “Empat rokaat dalam satu salam atau dua salam”, disebutkan pula dalam "الرِّعَايَةِ" juga.

Syekh Taqiyud-Din berkata: Ini adalah perkataan sekelompok sahabat kita juga.

Abdullah (bin Imam Ahmad) berkata:

“Saya melihat ayah saya sholat beberapa rokaat di masjid ketika muadzin telah mengumandangkan adzan pada hari Jumat “. Dan dia berkata: “Saya melihatnya sholat dua rakaat sebelum khutbah “.

Ibnu Hani' berkata: “Aku melihatnya (imam Ahmad) jika Muzdin telah mengumandangkan adzan, maka dia bangun dan sholat dua atau empat rakaat”.

Dia berkata: “Dan dia berkata: Saya memilih dua rakaat sebelumnya (sebelum sholat Juma’at Pen.) dan enam rokaat setelahnya. Dan dengan adanya shalat Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa itu adalah mustahab.] (Selesai).

Menurut Madzhab Hanafi: Sunnah Rawaatib Qobliyah Jumat adalah empat Rokaat, dan sholat Sunnah Rawaatib Ba’diyah juga empat rokaat.

Al-‘Allaamah Ibnu Abidin al-Hanafi mengatakan dalam “رَدُّ الْمُحْتَارِ عَلَى الدُّرِّ الْمُخْتَارِ” (1/452, Cet. إحياء التراث):

وَسُنَّ مُؤَكَّدًا أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَأَرْبَعٌ بَعْدَها بِتَسْلِيمَةٍ اهـ.

[Adalah disunnahkan sunnah muakkad empat rakaat sebelum sholat dzuhur, empat rakaat sebelum Jumat, dan empat rokaat setelahnya dengan satu kali salam ]. (Selesai).

(Lihat pula kitab “(الاختيار لتعليل المختار)” 1/2228 karya Abdullah bin Mahmud bin Maudud Al-Maushili Al-Hanafi).

Madzhab Syafi'i mengatakan: Minimal rokaat sholat sunnah rawaatib adalah dua rakaat sebelumnya, dan dua rakaat setelahnya. (المنهاج 1/216).

Al-‘Allaamah al-Khothiib al-Sharbiini asy-Syafi'i berkata dalam " مغني المحتاج " (1/220, cet. Dar al-Fikr):

وَبَعْدَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعٌ، وَقَبْلَهَا مَا قَبْلَ الظُّهْرِ؛ أَيْ: رَكْعَتَانِ مُؤَكَّدَتَانِ وَرَكْعَتَانِ غَيْرَ مُؤَكَّدَتَيْنِ اهـ.

[Dan setelah Jumat ada empat rokaat, dan yang sebelumnya sama seperti sebelum sholat dzuhur; yaitu, dua rakaat yang sunnah muakkad dan dua rakaat yang tidak mu’akkadi]. (Sls).

****

PENDAPAT KE DUA:
TIDAK DISYARIATKAN SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH JUM'AT

Yakni: Pada sholat Jum'at tidak disyariatkan sholat sunnah rawaatib qobliyah, namun tetap di syariatkan sholat sunnah mutlak sebelum Jum’at.

Ini adalah pendapat Madzhab Maliki, dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Hanbali.

Adapun Madzhab Maliki: mereka berpendapat tidak ada sholat sunnah Rawaatib dalam semua sholat fardhu yang lima waktu, baik sebelumnya (قَبْلِيَّة) maupun sesudahnya (بَعْدِيَّة), namun membolehkan sholat sunnah mutlak.

Al-‘Allamah Ibnu Syaas al-Maliki mengatakan dalam “عَقْدُ الجَوَاهِرِ الثَّمِينَةِ فِي مَذْهَبِ عَالِمِ الْمَدِينَةِ” (1/133 cet. دار الغرب الإسلامي):

الفَصْلُ الأوَّلُ: فِي الرَّوَاتِبِ، وَهِيَ المَفْعُولَةُ تَبَعًا لِلْفَرَائِضِ، كَرَكْعَتَيْ الفَجْرِ، وَرَكْعَةِ الوَتْرِ. وَعَدَّ القَاضِي أَبَا مُحَمَّدٍ، مِنْ ذَٰلِكَ الرُّكُوعِ قَبْلَ العَصْرِ، وَبَعْدَ المَغْرِبِ. وَقَالَ فِي الْكِتَابِ: قُلتُ: هَلْ كَانَ مَالِكٌ يُؤَقِّتُ قَبْلَ الظُّهْرِ مِنَ النَّافِلَةِ رَكَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ أَوْ بَعْدَ الظُّهْرِ، أَوْ قَبْلَ العَصْرِ، أَوْ بَعْدَ المَغْرِبِ، فِيمَا بَيْنَ المَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، أَوْ بَعْدَ العِشَاءِ؟ قَالَ: لَا، وَإِنَّمَا يُؤَقِّتُ فِي هَذَا أَهْلُ الْعِرَاقِ. ا.هـ.

[Pasal Pertama: Tentang sholat sunnah Rawaatib, yaitu yang dilakukannya mengikuti shalat-shalat Fardhu, seperti dua rakaat Subuh dan satu rakaat Witir.

Dan Al-Qoodhi Abu Muhammad menyatakan bahwa termasuk dari rawaatib adalah sholat sunnah sebelum Ashar, dan setelah Maghrib.

Dan dia berkata dalam kitabnya itu: Aku berkata: Apakah Imam Malik menentukan sebelum Dzuhur jumlah rakaat tertentu dari shalat Sunnah atau setelah Dzuhur, atau sebelum shalat ashar, atau setelah Maghrib, antara maghrib dan Isya, atau setelah Isya ?

Dia berkata: Tidak, akan tetapi yang yang menentukan dalam hal ini adalah penduduk Iraq] (Sls).

Dalam "(Al-Syar al-aghīr)" 1/511 karya Abu al-Barokaat ad-Dardiir di sebutkan:

يُكْرَهُ لِشَخْصٍ يُقْتَدَى بِهِ - كَعَالِمٍ - التَّنَفُّلُ عِندَ الْأَذَانِ الْأَوَّلِ، لَا قَبْلَهُ، لِجَالِسٍ فِي الْمَسْجِدِ، لَا دَاخِلٍ؛ خَوْفَ اعْتِقَادِ الْعَامَّةِ وُجُوبَهُ، أَمَّا عِندَ الْأَذَانِ الثَّانِي فَحَرَامٌ، لَكِنْ هَذَا أَيْضًا فِي حَقِّ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَوُلَاةِ الْأُمُورِ.

"Makruh bagi seseorang tokoh - seperti seorang ulama - untuk melakukan sholat sunnah pada adzan pertama bukan sebelumnya, itu bagi seseorang yang duduk di dalam masjid, bukan bagi yang baru masuk masjid ; karena khawatir akan menjadi keyakinan masyarakat bahwa itu wajib.

Adapun ketika adzan yang kedua, maka itu adalah haram, tetapi hal ini juga berlaku haram atas tokoh yang diteladani dari kalangan para ulama dan para penguasa".

Namun Imam ash-Shofti (الصَّفْتِيّ) dari madzhab Maliki mengatakan dalam catatan kaki/hasyiyah, ketika mengomentari masalah ini:

فَائِدَةٌ: إِذَا كَانَ شَخْصٌ مَالِكِيًّا بِحَضْرَةِ جَمَاعَةٍ شَافِعِيَّةٍ أَوْ حَنَفِيَّةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ عِندَ الْأَذَانِ - أَيِ الْأَوَّلِ - كَمَا قَرَّرَهُ بَعْضُ شُيُوخِنَا

“Faidah: Jika seorang yang bermadzhab Maliki berada di hadapan jemaah madzhab Syafi'i atau Hanafi, maka tidak mengapa dia sholat sunnah pada saat adzan - yaitu, yang pertama - seperti yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan sebagian para syeikh kami.” ("Al-Jawāhir al-Zakiyyah" 2/74)

MADZHAB HANBALI

Adapun MADZHAB HANBALI: maka mereka sepakat bahwa sholat sunnah sebelum Jum’at itu adalah mustahab. Namun sebagian dari mereka menjadikannya sebagai sholat sunnah rawaatib (Qobliyah Jumat), dan sebagian lagi menjadikannya sebagai sholat sunnah mutlak.

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam “فَتْحُ البَارِي” (8/333-334, Cetl. مَكْتَبَةُ الغُرَبَاءِ):

[أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ، مِنْهُمْ: الْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ ذَكَرَهُ الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى فِي "شَرْح الْمَذْهَبِ" وَابْنُ عَقِيلٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا: لَيْسَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً، بَلْ مُسْتَحَبَّةٌ] اهـ.

[Mayoritas para ulama menganggapnya (Qobliyah Jum’at) sebagai sunnah rawaatib, diantaranya: Al-Awza'i (w. 157 H), Al-Tsawri (w. 161 H), Abu Hanifah (w. 150), dan para sahabatnya, dan itu yang nampak dari pendapat Imam Ahmad, dan Al-Qadhi Abu Ya'la menyebutkannya dalam " شَرْح الْمَذْهَبِ ", dan juga pendapat Ibnu Aqiil, dan yang shahih menurut para sahabat Imam Al-Syafi'i.

Dan banyak dari sahabat kita (Madzhab Hanbali. Pen.) dari kalangan Mutaakhirin berkata: Bahwa Ini bukan sunnah rawaatib, melainkan mustahabbah “. (Sls).

====*****====

DALIL MASING-MASING PENDAPAT

*****

DALIL PENDAPAT PERTAMA: YAITU SHALAT QOBLIYAH JUMA’AT ITU SUNNAH.

====

KLASIFIKASI DALIL PERTAMA:
DALIL UMUM TENTANG FADLHILAH DAN ANJURAN SHOLAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT DZUHUR:

Fadhilah dan anjuran dalam hadits-hadits berikut ini bersifat umum, baik di hari Jum'at maupun lainnya. Wallahu A'lam

KE 1: Dari Ummu Habiibah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi bahwa beliau bersabda:

" مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ ".

"Barang siapa yang menjaga shalat empat rakaat sebelum sholat Dzuhur dan sesudahnya, maka haram baginya api neraka."

(HR. Abu Daud, no. 1269 dan Tirmizi, no. 428. Abu Isa berkata: "Hadits Hasan Shahih". Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu, 4/7, dan Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

KE 2: Dari Ummu Habibah binti Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda,

"مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ: أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ صَلَاةِ الْغَدَاةِ".

Barang siapa yang shalat sehari-semalam dua belas rakaat, maka akan dibangunkan rumah di surga, yaitu: empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum shalat Fajar, yakni shalat Subuh.”

(HR. Tirmidzi no. 415, ia berkata, “Hasan shahih”. Dishahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih Turmudzi. Dan Imam Muslim meriwayatkannya secara ringkas).

KE 3: Dari Abdullah bin as-Saib radhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رسولَ اللَّهِ ﷺ كانَ يُصَلِّي أَرْبعًا بعْدَ أَن تَزول الشَّمْسُ قَبْلَ الظُّهْرِ، وقَالَ:إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبوابُ السَّمَاءِ، فأُحِبُّ أَن يَصعَدَ لِي فيهَا عمَلٌ صَالِحٌ

"Bahwasanya Rasulullah shalat empat rakaat sunnah setelah matahari lingsir -tergelincir- yaitu sebelum shalat Zuhur -yang wajib- dan bersabda:

"Bahwasanya ini adalah saat dibukanya pintu-pintu langit, maka saya senang kalau amalan shalihku naik di saat itu."

(HR. Ahmad no. 15396 [Syu'aib Al-Arna'oot mengatakan: Sanadnya Shahih]dan Al-Tirmidzi no. 478 dan berkata: Hasan Shahih [dan Sheikh Ahmad Syaakir mengatakan itu Shahih dan dan sanadnya muttashil], dan Muhammad at-Tibriizy dalam “Mishkat Al-Mashaabih” no. 1169 [dan Al-Albani menshahihkannya]).

====

KLASIFIKASI DALIL KEDUA:
AMALAN NABI DALAM MENJAGA SHALAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT DZUHUR:

Nabi tidak pernah meninggalkan Qobliyah Dzuhur, dan mungkin termasuk pada hari Jum'at.

KE 1: Dalam hadits Ibnu 'Umar dikatakan:

كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللهِ ﷺ الَّتِي لَا يَدَعُ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ.

Dulu Sholat Rasulullah yang tidak pernah beliau tinggalkan adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua dua rokaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh. (HR. Ahmad no. 7/126, Sanadnya dishahihkan oleh Ahmad Syaakir).

KE 2: Dari Aisyah radhiallahu 'anha

أنَّ النَّبيَّ ﷺ  كَانَ لا يَدَعُ أرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ

Bahwasanya Nabi itu tidak meninggalkan shalat sunnah sebanyak empat rakaat sebelum Zuhur." (HR. Bukhari. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1114)

KE 3: Dari Aisyah radhiallahu 'anha:

أنَّ النَّبيَّ ﷺ  كَانَ إذا لَمْ يُصَلِّ أربَعًا قَبلَ الظُّهْرِ، صَلاَّهُنَّ بَعْدَهَا.

"Bahwasanya Nabi apabila tidak shalat empat rakaat sebelum Zuhur, maka beliau shalat empat rakaat itu sesudah Zuhur."

(HR. Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1113)

KE 4: Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ  يُصَلِّي في بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أرْبَعًا، ثُمَّ يَخْرُجُ، فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ. وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ المَغْرِبَ، ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَيُصَلِّي بِالنَّاسِ العِشَاءِ، وَيَدْخُلُ بَيتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.

"Nabi shalat di rumahku empat rakaat sebelum Zuhur kemudian keluar lalu shalat bersama orang banyak, terus masuk rumah lagi lalu shalat dua rakaat. Beliau itu juga shalat Maghrib bersama orang banyak lalu masuk rumah terus shalat dua rakaat sunnah dan beliau shalat Isya' dengan orang banyak dan masuk rumah lalu shalat dua rakaat sunnah. (HR. Muslim no. 730, Ahmad no. 24019 dan Abu Daud no. 1251. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1115)

KE 5: Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ  رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا.

"Saya shalat bersama Rasulullah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sesudahnya." (Muttafaq 'alaih B. 1165. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1113)

Ibnul Qoyyim dalam "زاد المعاد" 1/425 berkata:

" قَدْ ذَكَرَ أبو داود عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ صَلَّى أَرْبَعًا، وَإِذَا صَلَّى فِي بَيْتِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ".

“Abu Dawud telah menyebutkan dari Ibnu Umar bahwa ketika dia sholat di masjid dia sholat empat rokaat, dan ketika dia akan sholat di rumahnya ; sholat dua rokaat.”

[Lihat: Sunan al-Tirmidzi No. (523), Syarah Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Battal 2/525, Zad al-Ma'ad 1/425, Tuhfat al-Ahwadzi 3/48, Hujjatullah al-Bālighah 2/25 dan Mirqāt al-Mafātīḥ Syar Misykāt al-Maṣābīḥ* 4/143].

====

KLASIFIKASI DALIL KETIGA:
SHOLAT JUM’AT ADALAH PENGGANTI SHOLAT DZUHUR.

Adapun bilangan rokaat nya dua rokaat, maka ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa pada asalnya sholat dzuhur itu dua rokaat, diantaranya:

Dari 'Aisyah radliyallaahu 'anha, dia berkata:

" أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ اَلصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ اَلسَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ اَلْحَضَرِ".

"Sholat itu awalnya diwajibkan dua rakaat, lalu ia ditetapkan sebagai sholat dalam safar (perjalanan jauh), dan sholat dalam keadaan mukim disempurnakan (ditambah)". Muttafaq Alaihi. (Bukhori. No.350 dan Muslim no. 1107. Lihat pula Bulughul Maraam no. 453)

Menurut riwayat Imam Bukhari:

"ثُمَّ هَاجَرَ، فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا، وَأُقِرَّتْ صَلَاةُ اَلسَّفَرِ عَلَى اَلْأَوَّلِ ".

Kemudian beliau hijrah, lalu diwajibkan sholat empat rakaat, dan sholat dalam perjalanan ditetapkan seperti semula. [Lihat Bulughul Maraam no. 454 ]

Imam Ahmad menambahkan:

إِلَّا اَلْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا وِتْرُ اَلنَّهَارِ، وَإِلَّا اَلصُّبْحَ، فَإِنَّهَا تَطُولُ فِيهَا اَلْقِرَاءَةُ

Kecuali Maghrib karena ia witir sholat siang dan kecuali Shubuh karena bacaan di dalamnya panjang. [Lihat Bulughul Maraam no. 455 ]

Dan Waktu shalat Jum'at adalah waktu shalat dzuhur, maka sunnahnya sama seperti sunnah shalat dzuhur.

Ada hadits dari Ummu Habiibah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi bahwa beliau bersabda:

" مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ ".

"Barang siapa yang menjaga shalat empat rakaat sebelum Dzuhur dan sesudahnya, maka haram baginya api neraka."

(HR. Abu Daud, no. 1269 dan Tirmizi, no. 428. Abu Isa berkata: "Hadits Hasan Shahih". Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu, 4/7, dan Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Dan Nabi tidak pernah meninggalkan Qobliyah Dzuhur, termasuk pada hari Jum'at.

Dari Aisyah radhiallahu 'anha

أنَّ النَّبيَّ ﷺ  كَانَ لا يَدَعُ أرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ

Bahwasanya Nabi itu tidak pernah meninggalkan shalat sunnah empat rakaat sebelum Dzuhur." (HR. Bukhari. Dikutip dari Riyadhush sholihin no. 1114)

Dari Aisyah radhiallahu 'anha:

أنَّ النَّبيَّ ﷺ  كَانَ إذا لَمْ يُصَلِّ أربَعًا قَبلَ الظُّهْرِ، صَلاَّهُنَّ بَعْدَهَا.

Bahwasanya Nabi apabila tidak sempat shalat empat rakaat sebelum Zuhur, maka beliau shalat empat rakaat itu sesudah Zuhur."

Dan dalam hadits Ibnu 'Umar dikatakan:

كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الَّتِي لَا يَدَعُ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ.

Dulu Sholat Rasulullah yang tidak pernah beliau tinggalkan adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua dua rokaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh. (HR. Ahmad no. 7/126, Sanadnya dishahihkan oleh Ahmad Syaakir).

IMAM BUKHORI menulis "BAB : QOBLIYAH JUM'A'T".

Mungkin dengan adanya hadits-hadits yang di sebutkan yang mendorong imam Al-Bukhari untuk menulis Bab dalam “Shahih” nya:

بَابُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ وَقَبْلَهَا

BAB: Sholat setelah [Ba'diyah] Jum'at dan sebelum nya [Qobliyah] ".

Kemudian Imam Bukhori menyebutkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَبَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ لَا يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Bahwa Rosulullah biasa melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak mengerjakan sholat setelah pelaksanaan Sholat Jum’at hingga beliau pulang ke rumah, lalu beliau sholat dua rakaat." (HR. Bukhori no. 895).

Dalam hal ini Imam al-Bukhari rahimahullah berpandangan bahwa shalat Jum'at sama seperti sholat Dzuhur, meskipun Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma menyebutkan dua rakaat shalat setelah shalat Jumat, dan tidak menyebutkan apa pun sebelumnya.

Dengan demikian, maka Imam al-Bukhari berpendapat bahwa sholat sunnah qobliyah Jum'at itu adalah sholat qobliyah yang disebutkan oleh Ibnu Umar sebelum sholat dzuhur, oleh karena itu Imam Bukhori berkata:

بَابُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ وَقَبْلَهَا

"BAB: Sholat setelah [Ba'diyah] Jum'at dan sebelum nya [Qobliyah]".

Imam an-Nawawi berkata dalam “مِنْهَاجُ الطَّالِبِينَ” (hal. 36, Cet. Dar al-Fikr):

قُلتُ: هُمَا سُنَّةٌ عَلَى الصَّحِيحِ؛ فِي "صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ" الْأَمْرُ بِهِمَا وَبَعْدَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعٌ، وَقَبْلَهَا مَا قَبْلَ الظُّهْرِ.

[Aku berkata: Dua rokaat itu adalah Sunnah menurut pendapat yang Shahih; karena dalam "Shahih Al-Bukhari" ada perintah untuk melakukannya, dan empat setelah Jumat, dan adapun sebelum Jum’at maka sama dengan sebelum sholat Dzuhur ]

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” 2/126 berkata:

قَالَ ابن الْمُنِيرِ فِي الْحَاشِيَةُ كَأَنَّهُ يَقُولُ الْأَصْلُ اسْتِوَاءُ الظُّهْرِ وَالْجُمُعَةِ حَتَّى يَدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى خِلَافِهِ لِأَنَّ الْجُمُعَةَ بَدَلُ الظُّهْرِ قَالَ وَكَانَتْ عِنَايَتُهُ بِحُكْمِ الصَّلَاةِ بَعْدَهَا أَكْثَرَ وَلِذَلِكَ قَدَّمَهُ فِي التَّرْجَمَةِ عَلَى خِلَافِ الْعَادَةِ فِي تَقْدِيمِ الْقَبْلِ عَلَى الْبَعْدِ انْتَهَى

Ibnu al-Munir mengatakan dalam “الْحَاشِيَةُ”: seolah-olah dia (Bukhori) mengatakan bahwa pada hukum asalnya Dzuhur dan Jumat itu sama rata, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa Jumat berbeda dengan dzuhur ; Karena sebenarnya Jum’at itu pengganti Dzuhur.

Dia mengatakan: bahwa perhatiannya (Bukhori) terhadap shalat sunnah Qobliyah lebih banyak dari pada Ba’diyah oleh karena itu dia mendahulukan penyebutannya dalam BAB, yang mana itu menyelisihi kebiasaannya dalam hal mendahulukan pembahasan qobliyah dari pada Ba’diyah “.

====

KLASIFIKASI DALIL KEEMPAT :
SETIAP SHOLAT FARDHU TERDAPAT SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH:

Shalat Jum'at adalah shalat FARDHU.

الأصْلُ أَنْ كُلَّ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ يُشْرَعُ قَبْلَهَا صَلاةُ رَكْعَتَيْنِ.

“Pada prinsip dasarnya adalah bahwa setiap shalat fardhu disyariatkan sholat sunnah dua rakaat sebelumnya”.

Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah   bersabda:

«مَا مِنْ صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلَّا وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ»

“Tidak ada shalat furdhu. kecuali sebelumnya ada dua raka 'at."

Hadis ini dimasukkan oleh Abbas At-Tarqufi di dalam kitab hadisnya (Q.14/1). Ibnu Nasher di dalam Qiyamul-Lail (hal. 26). Ar-Ruyani di dalam Musnad-nya (Q. 1/238).

Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya (hadis no. 615), Ath-Thabrani di dalam Al-Mu'jamid-kabir (juz II/210/69), lbnu Adi di dalam Al-Kamil (Q/46), dan Ad-Daruquthni di dalam kitab Sunan-nya (hal. 99), dari dua jalur yang berasal dari Tsabit bin Ijlan. dari Sulaim bin Amir dari Abdillah bin Zubair secara marfu'.

Hadits ini di Shahihkan oleh Ibnu Hibbaan dan Ibnu as-Sakan.

Syeikh al-Albaani dalam *Silsilat al-Aḥādīth al-aḥīḥah* 109/118 no. 232 berkata:

“Saya menilai: Dengan demikian maka hadisnya SHAHIH. Sebab ia tidak berbeda dengan perawi-perawi tsiqah. Bahkan sesuai dengan hadis Abdullah bin Mughaffal yang diriwayatkannya secara marfu', dengan matan:

«بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ»

"Di antara dua adzan terdapat shalat. Di antara dua adzan terdapat shalat “. Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga kalinya: “Bagi siapa saja yang menghendakinya ". (Mutataqun alaihi /Al-Bukhari (627) dan Muslim (838)). (Selesai kutipan dari al-Albaani).

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” 3/351, berkata:

وَأَقْوَى مَا يَتَمَسَّكُ بِهِ مِن مَشْرُوعِيَّةِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ عُمُومُ مَا صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوعًا: (مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلَّا بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ).

"Dalil yang paling kuat yang dijadikan pegangan dalam hal disyariatkannya dua rakaat sebelum shalat Jum'at adalah keumuman dari hadits yang shahihkan oleh Ibnu Hibban dari Abdullah bin Al-Zubair radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang marfu':

«مَا مِنْ صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلَّا وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ»

“Tidak ada shalat furdhu. kecuali sebelumnya ada dua raka 'at."

Begitu pula sholat sunnah sebelum sholat Maghrib:

Dari Abdullah bin Mughoffal radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ المَغْرِبِ، قالَ في الثَّالِثةِ: لِمَن شاءَ؛ كَراهيةَ أنْ يَتَّخِذَها النَّاسُ سُنَّةً.

"Shalatlah kalian sebelum Maghrib." Kemudian beliau ber¬sabda untuk yang ketiga kalinya '' Bagi siapa saja vang menghendakinya ". Beliau khawatir manusia akan menganggapnya sunnah." (HR. Bukhori no. 1183).

Dalam lafadz Riwayat Abdullah al-Muzani radhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ صَلَّى قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: (صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ). ثُمَّ قَالَ عِندَ الثَّالِثَةِ: (لِمَن شَاءَ) خَافَ أَنْ يَحْسَبَها النَّاسُ سُنَّةً.

Bahwa Rosulullah sholat dua rokaat sebelum maghrib, kemudian beliau bersabda:

"Shalatlah dua raka'at sebelum Maghrib". Kemudian beliau ber¬sabda untuk yang ketiga kalinya'' Bagi siapa saja yang menghendakinya. Beliau khawatir manusia akan menganggapnya sunnah." (HR. Ibnu Hibbaan dalam Shahihnya no. 1588)

Maksud dari kata: " Beliau khawatir manusia akan menganggapnya sunnah."

يَعْنِي: طَرِيقَةً لَازِمَةً يُوَاظِبُونَ عَلَيْهَا، وَيُنكِرُونَ تَرْكَهَا؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أُمِرُوا بِأَمْرٍ اَلْتَزَمُوهُ حَتَّى يَظُنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَيْهِمْ.

Yakni: khawatir di kiranya sebuah keharusan yang harus mereka lakukan terus menerus, dan orang-orang akan mengingkari jika meninggalkannya; Karena biasanya jika mereka diperintahkan untuk melakukan sesuatu, mereka akan mematuhinya dan menekuninya sehingga ada yang mengira bahwa itu diwajibkan atas mereka.

FAIDAH DAN MANFAAT SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH :

Imam Abu al-Fath Ibnu Daqiiq al-‘Iid berkata dalam “إِحْكَامُ الْأَحْكَامِ” (1/1999, Cet. مطبعة السنة المحمدية):

[وَفِي تَقْدِيمِ السُّنَنِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَأْخِيرِهَا عَنْهَا: مَعْنًى لَطِيفٌ مُنَاسِبٌ. 

أَمَّا فِي التَّقْدِيمِ: فَلَأَنَّ الْإِنسَانَ يَشْتَغِلُ بِأُمُورِ الدُّنْيَا وَأَسْبَابِهَا، فَتَتَكَيَّفُ النَّفْسُ مِنْ ذَٰلِكَ بِحَالَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ حُضُورِ الْقَلْبِ فِي الْعِبَادَةِ وَالْخُشُوعِ فِيهَا الَّذِي هُوَ رُوحُهَا، فَإِذَا قُدِّمَتِ السُّنَنُ عَلَى الْفَرِيضَةِ تَأَنَّسَتِ النَّفْسُ بِالْعِبَادَةِ، وَتَكَيَّفَتْ بِحَالَةٍ تَقْرُبُ مِنَ الْخُشُوعِ، فَيَدْخُلُ فِي الْفَرَائِضِ عَلَى حَالَةٍ حَسَنَةٍ لَمْ تَكُنْ تَحْصُلُ لَهُ لَوْ لَمْ تُقَدَّمِ السُّنَّةُ؛ فَإِنَّ النَّفْسَ مَجْبُولَةٌ عَلَى التَّكَيُّفِ بِمَا هِيَ فِيهِ، لَا سِيَّمَا إِذَا كَثُرَ أَوْ طَالَ، وَوُرُودُ الْحَالَةِ الْمُنَافِيَةِ لِمَا قَبْلَهَا قَدْ يَمْحُوْ أَثَرَ الْحَالَةِ السَّابِقَةِ أَوْ يُضْعِفُهُ. 

وَأَمَّا السُّنَنُ الْمُتَأَخِّرَةُ: فَلِمَا وَرَدَ أَنْ النَّوَافِلَ جَابِرَةٌ لِلنُّقْصَانِ فِي الْفَرَائِضِ. فَإِذَا وَقَعَ الْفَرْضُ نَاسَبَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَهُ مَا يُجَبِّرُ خَلَلًا فِيهِ إِنْ وَقَعَ.]. اهـ.

[Dalam mendahulukan (sholat) Sunnah sebagai pendahuluan sebelum melaksanakan sholat-sholat Fardhu dan mengakhirkannya setelah sholat sunnah terdapat makna yang lembut dan tepat sesuai kondisi.

Adapun sholat sunnah dijadikan pendahuluan: karena seseorang itu disibukkan dengan hal-hal duniawi dan sebab-sebabnya, maka jiwa akan berusaha menyesuaikan diri dengan suasana ibadah dari kondisi sebelumnya yang jauh dari suasana kehadiran hati dalam ibadah dan kekhusyu’an di dalamnya, yaitu RUH-nya.

Jika sunnah didahulukan dari yang wajib, maka jiwa menjadi siap dan familiar untuk ibadah, dan telah terkondisikan dengan keadaan khusyuk. Ketika dia masuk ke dalam ibadah fardhu maka dia dalam kondisi yang bagus yang tidak akan bisa didapatkan jika sunnah tidak didahulukan. Karena karakter jiwa itu butuh beradaptasi dengan apa yang ada di dalamnya, apalagi jika itu sering atau berkepanjangan.

Dan terjadinya keadaan yang bertentangan dengan apa yang mendahuluinya dapat menghapus efek dari keadaan sebelumnya atau melemahkannya.

Adapun sunnah-sunnah yang sesudah sholat Fardhu (Sunnah Ba’diyah): maka karena adanya keterangan bahwa sunnah-sunnah itu untuk menutupi kekurangan dalam shalat-shalat Fardhu. Dengan demikian jika selesai malaksankan yang Fardhu, maka setelah itu akan ada sesuatu yang bisa menutupi cacat di dalamnya, jika itu benar terjadi adanya”. ((Selesai kutipan))

====

KLASIFIKASI DALIL KELIMA :
ANTARA ADZAN DAN IQOMAH ADA SHOLAT SUNNAH:

Hadits Abdullah bin Mughaffal رضي الله عنه bahwa Rosulullah bersabda:

«بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ»

"Di antara dua adzan terdapat shalat. Di antara dua adzan terdapat shalat “. Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga kalinya: “Bagi siapa saja yang menghendakinya ".

(Hadits Mutataqun alaihi /Al-Bukhari (627) dan Muslim (838))..

Dan Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam “المَجْمُوعُ” (4/10 Cet. Dar Al-Fikr):

أَنْ هَذَا الْحَدِيثُ هُوَ الْعُمْدَةُ فِي مَشْرُوعِيَّةِ سُنَّةِ الْجُمُعَةِ القَبْلِيَّةِ.

“Hadits ini merupakan pilar utama dalam pensyariatan sholat sunnah qobliyah Jumat”.

Imam Ibnu al-Mulaqqin al-Syaafi'i mengatakan dalam Risalah-nya tentang masalah ini:

[الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ ﷺ: «بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ»: الْأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَمَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ ذَٰلِكَ] اهـ.

[Apa yang dimaksud dengan sabda Nabi : "di antara setiap dua adzan": yakni adzan dan iqaamah, dan apa yang kita bahas di sini (Qobliyah Jumat) adalah bagian dari itu] (Sls). [Lihat Shar aḥīḥ al-Bukhārī 2/252 karya Ibnu Baththool]

Ibn Baththool dalam Shar aḥīḥ al-Bukhārī 2/252 dan Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” 2/106 menukil IJMA’ tentang sunnahnya sholat dua rakaat di antara dua adzan.

Kecuali di MAGHRIB ; Mereka berbeda pendapat dalam hal qobliyah maghrib. Namun ada beberapa hadits shahih tentang Qobliyah Maghrib, diantaranya hadits Anas radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:

كُنَّا بِالمَدِينَةِ فَإذَا أذَّنَ المُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ المَغْرِبِ، ابْتَدَرُوا السَّوَارِيَ، فَرَكَعُوا رَكْعَتَيْنِ، حَتَّى إنَّ الرَّجُلَ الغَريبَ لَيَدْخُلُ المَسْجِدَ فَيَحْسَبُ أنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا

"Kita semua ada di Madinah, maka jikalau muazzin telah selesai adzan untuk shalat Maghrib, maka orang-orang sama bersegera ke ruang dalam masjid lalu shalat dua rakaat, sehingga sesungguhnya seorang yang asing -yang tempatnya bukan di Madinah-, kalau ia masuk masjid pasti mengira bahwa shalat wajib Maghrib sudah selesai dikerjakan karena banyaknya orang yang shalat sunnah dua rakaat sebelum Maghrib itu."

(HR. Bukhori no. 625 dan Muslim no. 837. Dan ini lafadz Muslim).

Hadits Abdullah bin Mughaffal, dan Abdullah bin Al-Zubair radhiyallahu ‘anhuma yang disebutkan diatas adalah hadits yang paling kuat dijadikan pegangan dalam pensyaritan sholat Sunnah Qobliyah Jumat ; Seperti yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي” (4/3 Cet. Dar Al-Ma’rifah).

====

KLASIFIKASI DALIL KEENAM :
SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT YANG DILAKUKAN OLEH NABI :

Hadits ke 1:

Ibnu Majah meriwayatkan:

Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Abdi Robbih, menceritakan kepada kami Mubasysyir bin Ubaid dari Hajjaj bain Arthoh, dari ‘Athiyyah Al Ufiy dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata

"كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا لا يَفْصِلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُمَا".

Dulu Nabi biasa shalat sebelum jum’at empat raka’at dan beliau tidak memisahkan dengan apa pun dari keduanya (Yakni: 4 rakaat dengan satu salam). [HR. Ibnu Majah no. 1129]

Dalam lafadz Thabrani dalam “المَعْجَمُ الكَبِيرُ” dari Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhu:

"كَانَ رَسُولُ الله ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ"

Rosulullah dulu biasa shalat sebelum shalat Jumat empat rakaat, dan setelahnya empat rakaat. Dan beliau tidak memisahkan diantara keempatnya dengan salam

Al-Hafidz berkata dalam “التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ”:

وَفِي ابْنِ مَاجَهْ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لَا يُفَصِّلُ بَيْنَهُنَّ بِشَيْءٍ، وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدًّا.

Dan dalam Sunan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: Nabi dulu melakukan sholat empat rakaat sebelum shalat Jumat, tidak dipisahkan oleh apa pun, dan sanadnya sangat lemah. [Liahat التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ  (2/149) Cet. مؤسسة قرطبة].

Dan dalam *‘Awn al-Ma‘būd* 3/477 dalam syarah Hadits no. 1115 di katakan:

وَهَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ جِدًّا وَلَا تَقُومُ بِهِ الْحُجَّةُ، بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ كَثِيرُ التَّدْلِيسِ، وَمُبَشِّرٌ مُنْكِرُ الْحَدِيثِ. قَالَ أَحْمَدُ: كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ. وَالْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَأَةَ تَرَكَهُ يَحْيَى الْقَطَّانُ وَابْنُ مَهْدِيٍّ، وَعَطِيَّةُ ضَعَّفَهُ الْجُمُهُورُ.

" Hadits ini sangat lemah dan tidak bisa di jadikan hujjah. Baqiyyah ibnu al-Waliid adalah banyak melakukan tadliis, dan Mubasyar hadits nya munkar. Ahmad berkata: Dia biasa memalsukan hadits. Al-Hajjaj bin Artho'ah ditinggalkan haditsnya oleh Yahya Al-Qaththan dan Ibnu Mahdii, dan Athiyyah dilemahkan oleh Jumhur "

Syeikh al-Albaani berkata dalam الِأَجْوِبَةِ ٱلنَّافِعَةِ no. 32: "Dho'if sekali ".

Dan ini - meskipun para ulama mendhaifkannya – akan tetapi hadits-hadits shahih yang akan disebutkan sebelum dan sesudah ini adalah sebagai Syahid baginya.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam “Al-Mughni”:

فَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ إِلَّا مَا رُوِيَ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَرْكَعُ مِنْ قَبْلِ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا". رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ. 

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنْتُ أَلْقَى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ قَامُوا فَصَلَّوْا أَرْبَعًا.

“Adapun shalat Qobliyah Jumat, saya tidak tahu apa-apa tentang itu kecuali apa yang diriwayatkan bahwa Nabi dulu pernah sholat empat rakaat sebelum shalat Jum'at”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dan Amr bin Saeed bin Al-Aas meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata:

Saya bertemu dengan para sahabat Rasulullah , maka ketika matahari tergelincir condong ke barat, mereka berdiri lalu shalat empat rakaat “.

Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan sebagian dari apa yang digunakan para ulama madzhab Syafi'i sebagai dalil untuk Madzhab nya [ٱلْمُغْنِي (4/220)].

Pernyataan Ibnu Qudaamah di atas mengisyaratkan akan keshahihan riwayat Sunnah Qobliyah Jum'at dari Nabi . Wallaahu a'lam.

Hadits ke 2:

Diriwayatkan dari Hushoin bin Nashr Abi Jaafar, telah bercerita pada kami Khalifah, telah bercerita pada kami Muhammad bin Abdur-Rahman al-Sahmi, telah bercerita pada kami Hushoin, dari Abu Ishaq, dari Ashim bin Dhomroh dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

"كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا ، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا ؛ يَجْعَلُ التَّسْلِيمَ فِي آخِرِهِنَّ رَكْعَةً"

"Rasulullah sholat sebelum Jum’at empat, dan setelahnya empat; menjadikannya dalam satu salam diakhir rakaat keempat."

[HR. ath-Thabrani dalam “ٱلْأَوْسَطُ”, dan di dhaifkan sanadnya oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “فَتْحُ البَارِي (2/126)”.

Hadits ini disebutkan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dengan sanadnya dalam "Lisān al-Mīzān" 5/245,  biografi no.849.

Di dalam sanad hadits terdapat perawi yang berna ma Muhammad bin Abdul Rahman Al-Sahmi. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ السَّهْمِيُّ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حُصَيْنٍ. قَالَ الْبُخَارِيُّ : "لَا يُتَابَعُ عَلَى رِوَايَتِهِ". وَقَالَ الْفَلَّاسُ: "تُوُفِّيَ سَنَةَ سَبْعٍ وَثَمَانِينَ وَمِائَةٍ". وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ: "عِنْدِي لَا بَأْسَ بِهِ، رَوَى عَنْهُ ابْنُ الْمُثَنَّى وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ. انْتَهَى. وَقَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: "ضَعِيفٌ". وَنَقَلَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَاتُ.

“(Riwayat) Muhammad ibnu Abdur-Rahman al-Sahmi al-Baahili, dari Husain, Imam al-Bukhari berkata, “Dia tidak bisa di jadikan mutaba’ah pada riwayatnya ”.

Al-Falas berkata, “Dia meninggal pada tahun seratus delapan puluh tujuh.” Ibnu ‘Adiy berkata, “Tidak masalah dengannya, telah meriwayatkan darinya Ibnu Al-Mutsanna dan Nashr bin Ali.(Sls).

Yahya bin Ma’in mengatakan: “dia lemah”. Dan itu dikutip oleh Ibnu Abi Haatim.

Dan Ibnu Hibban menyebutkan dia dalam kitab “الثِّقَاتُ” (Yakni: kumpulan para perawi yang dipercaya)”. [Lihat "Lisān al-Mīzān" 5/245, biografi no.849 ].

Maskipun di dalam sanadnya ada perawi yang diperdebatkan tentang dirinya, yaitu Muhammad bin Abdul Rahman Al-Sahmi, namun Syeikh ‘Ali Al-Qaari (w. 1014 H) mengatakan dalam kitabnya “مِرْقَاةُ الْمَفَاتِيحِ شَرْحُ مِشْكَاةِ الْمَصَابِيحِ”:

وَقَدْ جَاءَ فِي إِسْنَادٍ جَيِّدٍ – كَمَا قَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِيُّ – أَنَّهُ ﷺ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَهَا أَرْبَعًا

“Diriwayatkan dengan Sanad Jayyid/bagus, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz al-‘Iraqi: “Bahwa Rasulullah shalat empat rakaat sebelum Jum’at “.”.

Hadits ke 3:

Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya Imam ath-Thabrani dari Abu Hurairah:

كَانَ النَّبِيّ ﷺ يُصَلِّي قَبْلَ الجُمْعَةِ رَكْعَتَيْن وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ

Dulu Nabi senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat sebelum Jum’at dan dua rakaat setelahnya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan hadits ini dalam kitab “التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ” tanpa komentar, maka ini hadits shahih atau hadits hasan menurut kaedah Al-Hafidz yang masyhur.

Namun dalam “فَتْحُ البَارِي (2/162) al-Hafidz Ibnu Hajar dengan tegas mengatakan dho’if sanadnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَوَاهُ الْبَزَّارُ بِلَفْظِ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan lafadz:

“Bahwa Beliau senantiasa shalat dua rakaat sebelum Jumat dan setelahnya empat “.

Dan dalam Sanad ada kelemahan “.

Hadits ke 4:

Dari Nafi’, berkata:

"كَانَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ، وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ"

“Ibnu Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum (shalat) Jum’at, dan shalat (sunah) setelahnya dua raka’at di rumahnya, dia mengatakan bahwa Rasulullah juga melakukan yang demikian itu.”

[HR. Abu Daud, no. 1128, Tirmidzi, no. 522, Nasai, no. 1429, Ibnu Majah, no. 1130. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (2/349), dan Ibnu Hibbaan dalam Sahih Ibnu Hibban (6/220). Lafaz hadis ini sesuai redaksi periwayatan Abu Daud]

Di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan. Dalam kitab "Khulāṣat al-Akām" 2/812, Imam an-Nawawi menyatakan:

أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي "سُنَنِهِ"، وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ فِي "صَحِيحَيْهِمَا"، وَإِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ.

“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, Ibnu Khuzaymah dalam shahinya dan Ibnu Hibban dalam Shahih nya. Dan Sanadnya sesuai dengan syarat Shahih al-Bukhari “.

[Di nukil pula dalam "Naṣhbur Rāyah" 2/244 karya az-Zaila’i w. 762 ].

Abu Abdur-Rahman Syarf al-Haq al-‘Adziim Abaadi mengatakan dalam kitab "ʿAwn al-Maʿbūd" 1/438:

قُلْتُ: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي شَرَحَهُ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَة: صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ: إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لَا جَرَمَ، وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ. اهـ. ‏

“Aku berkata: Hadits Ibnu Umar yang telah dijelaskannya, Al-Nawawi mengatakan dalam "Al-Khulāṣah": “Ini sahih sesuai ketentuan Al-Bukhari”.

Dan al-Iraqi berkata dalam Sharh al-Tirmidzi: Sanadnya shahih, dan tidak ada pelanggaran. Dan riwayatkan pila oleh Ibnu Hibbaan dalam Shahihnya “. (Selesai).

Lafadz dalam Riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Naafi’, ia berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ

Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke masjid) pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar (untuk berkhuthbah)”

[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403; sanadnya shahih].

Syeikh Ahmad Syarif an-Na’saan berkata dalam fatwanya no. 4976:

" رَوَى الطَّحَاوِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ كَمَا فِي آثَارِ السُّنَنِ عَنْ عَبْدِ الله بنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: (أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ، ثُمَّ بَعْدَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا)".

Ath-Thohaawi meriwayatkan - dan sanadnya SHAHIH, seperti dalam atsar-atsar Sunan, dari Abdullah bin Umar - semoga Allah meridhoi keduanya -:

(Bahwa Dia biasa shalat empat rakaat sebelum Jumat, tidak memisahkan antara empat rakaat tsb dengan Salam, kemudian setelah Jumat dua rakaat kemudian empat “.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/426:

ٱحْتَجَّ بِهِ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَةِ عَلَى إِثْبَاتِ سُنَّةِ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا.

“Dengan hadits ini Al-Nawawi dalam “ٱلْخُلَاصَة” berargumentasi untuk menetapkan Sunnah nya sholat Qoblyah Jumat “.

Dan Al-Iraqi berkata: Sanadnya Shahih.

BANTAHAN:

Al-Zarqani mengatakan pada "Al-Mawāhib al-Laduniyyah" 8/29:

وَٱحْتَجَّ بِهِ ٱلنَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَةِ عَلَى إِثْبَاتِ سُنَّةِ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا؛ لِأَنَّ ٱسْمَ ٱلْإِشَارَةِ (ذَلِكَ) يَرْجِعُ إِلَى ٱلْأَمْرَيْنِ ـ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَهَا وَٱلصَّلَاةِ بَعْدَهَا فِي ٱلْبَيْتِ ـ لَٰكِنِ ٱلصَّحِيحُ أَنَّ ٱسْمَ ٱلْإِشَارَةِ رَاجِعٌ إِلَى ٱلثَّانِي ـ ٱلصَّلَاةِ ٱلْبَعْدِيَّةِ ـ لِمَا رَوَاهُ ٱللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ٱبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى ٱلْجُمُعَةَ ٱنْصَرَفَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ قَالَ: كَانَ ٱلنَّبِيُّ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. 

وَأَمَّا إِطَالَةُ ٱبْنِ عُمَرَ ٱلصَّلَاةَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ فَإِمَّا أَنْ تَكُونَ بَعْدَ دُخُولِ ٱلْوَقْتِ، وَذَٰلِكَ لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَرْفُوعًا؛ لِأَنَّ ٱلنَّبِيَّ كَانَ يَخْرُجُ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ فَيَشْتَغِلُ بِٱلْخُطْبَةِ ثُمَّ بِصَلَاةِ ٱلْجُمُعَةِ وَلَا يَتَنَفَّلُ، وَإِمَّا أَنْ تَكُونَ قَبْلَ دُخُولِ ٱلْوَقْتِ فَذَٰلِكَ مُطْلَقُ نَافِلَةٍ لَا صَلَاةَ رَاتِبَةٍ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ لِسُنَّةِ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا، وَقَدْ وُرِدَ ٱلتَّرْغِيبُ فِي ٱلتَّنَفُّلِ قَبْلَ وَقْتِ ٱلْجُمُعَةِ. أهـ.

Al-Nawawi berargumentasi dengannya dalam “ٱلْخُلَاصَة” sebagai dalil akan Sunnahnya Qobliyah Jum’at. Karena isim Isyarah/kata tunjuk (ذَلِكَ) di sini mengacu pada dua hal - sholat sebelum dan sholat sesudahnya di rumah -.

Akan tetapi yang shahih bahwa isim isyarah/kata tunjuk tsb mengacu pada yang kedua – yaitu setelah sholat Jum’at, berdasarkan hadits riwayat al-Laits bin Sa’ad dari Naafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu:

أنَّهُ كانَ إذَا صَلَّى الجُمُعَةَ انْصَرَفَ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ في بَيْتِهِ، ثُمَّ قالَ: كانَ رَسولُ اللهِ ﷺ  يَصْنَعُ ذلكَ

Bahwa ketika dia selesai shalat Jumat, maka dia pulang dan melakukan sholat dua rokaat di rumahnya, lalu dia berkata: Rasulullah senantiasa melakukan demikian “. (HR. Muslim no. 882).

Adapun Ibnu Umar yang memanjangkan shalat-nya sebelum shalat Jum'at, jika itu terjadi setelah masuknya waktu, maka itu tidak bisa dikatakan Marfu’ kepada Nabi , Karena Nabi biasa keluar ketika matahari telah condong ke barat (masuk waktu dzuhur), maka beliau akan sibuk menyampaikan khotbah, kemudian sibuk dengan sholat Jumat, maka beliau tidak akan punya waktu untuk sholat sunnah (Qobliyah).

Dan jika sholat sunnahnya sebelum waktunya, maka itu adalah shalat sunnah mutlak, bukan sunnah rawaatib, dengan demikian maka tidak ada dalil di dalamnya untuk sunnah qobliyah Jum'at, dan adapun adanya anjuran untuk sholat sunnah itu maka itu sebelum masuk waktu sholat Jum'at”. (Selesai kutipan).

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga dlam (فَتْحُ البَارِي (2/125), syarah hadits no. 937) berkata mirip seperti diatas:

وَأَمَّا قَوْلُهُ كَانَ يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ فَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَرْفُوعًا لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَيَشْتَغِلُ بِالْخُطْبَةِ ثُمَّ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَذَلِكَ مُطْلَقُ نَافِلَةٍ لَا صَلَاةٌ رَاتِبَةٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ لِسُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا بَلْ هُوَ تَنَفُّلٌ مُطْلَقٌ وَقَدْ وَرَدَ التَّرْغِيبُ فِيهِ

“Dan adapaun perkataanya: “memperpanjang shalat sebelum Jum'at “, maka jika yang dimaksud adalah setelah masuk waktunya ; maka itu tidak shahih dinyatakan marfu’ kepada Nabi ; karena beliau biasa keluar ketika matahari tergelincir condong ke barat, maka beliau disibukkan dengan khuthbah kamudian sholat Jum’at.

Dan jika yang dimaksud itu sebelum masuk waktunya ; maka itu sholat sunnah mutlak, bukan sholat sunnah rawaatib, maka tidak bisa di jadikan hujjah untuk sunnah qobliyah Jum’at, melainkan sunnah muthlaq, karena telah ada hadits yang menganjurkannya “. [Selesai].

JAWABAN:

Jawaban pertama:

Abu Abdur-Rahman Syarf al-Haq al-‘Adziim Abaadi mengatakan dalam kitab "ʿAwn al-Maʿbūd" 1/438:

وَٱلْحَدِيثُ - أَيِ ٱلْحَدِيثُ ٱبْنِ عُمَرَ ٱلْمُتَقَدِّمُ - يَدُلُّ عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّةِ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ وَلَمْ يَتَمَسَّكِ ٱلْمَانِعُ مِنْ ذَٰلِكَ إِلَّا بِحَدِيثِ ٱلنَّهْيِ عَنْ ٱلصَّلَاةِ وَقْتَ ٱلزَّوَالِ وَهُوَ مَعَ كَوْنِ عُمُومِهِ مُخَصَّصًا بِيَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ لَيْسَ فِيهِ مَا يَدُلُّ عَلَىٰ ٱلْمَنَعِ مِنَ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ عَلَىٰ ٱلْإِطْلَاقِ وَغَايَةُ مَا فِيهِ ٱلْمَنَعُ فِي وَقْتِ ٱلزَّوَالِ وَهُوَ غَيْرُ مَحِلِّ ٱلنِّزَاعِ وَٱلْحَاصِلُ أَنَّ ٱلصَّلَاةَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ مُرَغَّبٌ فِيهَا عُمُومًا.

Dan hadits – yaitu hadits Ibnu Umar sebelumnya – menunjukkan disyariatkannya shalat qobliyah Jum’at, dan seseorang tidak bisa melarangnya kecuali jika ada hadits larangan sholat pada waktu zawaal (dzuhur), dan itu meskipun berpredikat umum yang dikhusuhkan dengan hari jum’at, namun itu tidak ada dalil yang menunjukkan larangan sholat sebelum sholat Jum’at secara mutlak atau absolut. Ujung-ujungnya dalam permasalahan ini adalah larangan sholat pada waktu zawaal (matahari tergelincir condong ke barat), dan itu diluar masalah yang kita perdebatkan. Dan kesimpulannya shalat sebelum Jumat pada umumnya dianjurkan”.

Jawaban ke dua:

Nabi telah shalat empat rakaat atau dua rokaat sebelum khutbah Jumat, itu dilakukan di rumahnya sebelum beliau pergi ke mesjid untuk khotbah Jumat.

Dalam riwayat Bukhori: Dari Abdullah bin Umar:

أنَّ رَسولَ اللَّهِ   كانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ، وبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ، وبَعْدَ المَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ في بَيْتِهِ، وبَعْدَ العِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ، وكانَ لا يُصَلِّي بَعْدَ الجُمُعَةِ حتَّى يَنْصَرِفَ، فيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.

"Bahwa Rosulullah biasa melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak mengerjakan sholat setelah pelaksanaan Sholat JUM’AT hingga beliau pulang, lalu sholat dua rakaat." (HR. Bukhori no. 937)

Dan Nabi tidak pernah meninggalkan Qobliyah Dzuhur, termasuk pada hari Jum'at. Dalam lafadz lain dari hadits Ibnu 'Umar, beliau berkata:

كَانَتْ صَلاةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الَّتِي لَا يَدَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ.

Dulu Sholat Rasulullah    yang tidak pernah beliau tinggalkan adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua dua rokaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh. (HR. Ahmad no. 7/126, Sanadnya dishahihkan oleh Ahmad Syaakir).

Ibnul Qoyyim dalam "Zād al-Ma'ād" 1/425 berkata:

قَدْ ذَكَرَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ إِبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى فِي ٱلْمَسْجِدِ صَلَّى أَرْبَعًا، وَإِذَا صَلَّى فِي بَيْتِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.

“Abu Dawud telah menyebutkan dari Ibnu Umar bahwa ketika dia sholat di masjid dia sholat empat rokaat, dan ketika dia akan sholat di rumahnya ; sholat dua rokaat.”

[Lihat: Sunan al-Tirmidzi No. (523), Syarah Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Battal 2/525, Zad al-Ma'ad 1/425, Tuhfat al-Ahwadzi 3/48, "Hujjatullah al-Bālighah" 2/25, "Mirqāt al-Mafātīḥī Shar Mishkāt al-Maṣābīḥ" 4/143]

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam "Ath-Ṭhabaqāt" 8/491 dari Yazid bin Harun, dari Hammaad bin Salamah, dari Shaafiyyah (صَافِيَة). Hammaad mendengar Shaafiyyah (صَافِيَة) berkata:

" رَأَيْتُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيِّ صَلَّتْ أَرْبَعًا قَبْلَ خُرُوجِ ‏الإمَامِ وَ صَلَّتْ الجُمْعَةَ مَع الإمَامِ رَكْعَتَيْنِ".‏

“Saya melihat Shofiyyah (صَفِيَّة) binti Huyayy shalat empat rakaat sebelum imam keluar, dan dia shalat Jumat bersama imam dua rakaat.”

Az-Zaila'i (w. 762) menyebutkan dalam "Naṣhbur Rāyah" 1/31:

أَنَّ ابْنَ سَعِيدٍ رَوَى فِي ٱلطَّبَقَٰتِ أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ صَلَّتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ لِلْجُمُعَةِ ثُمَّ صَلَّتِ ٱلْجُمُعَةَ مَعَ ٱلْإِمَامِ رَكْعَتَيْنِ.

Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat bahwa Shofiyyah binti Huyyay shalat empat rakaat sebelum imam keluar untuk shalat Jumat, kemudian shalat Jumat bersama imam dua rakaat.

Dan Ibnu Hajar menyebutkannya dalam “فَتْحُ البَارِي” (3/553):

وَرَوَى ابنُ سَعْدٍ عَنْ صَفِيَّةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ مَوْقُوفًا نَحْوَ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Shofiyyah, istri Nabi dengan sanad mauquf, mirip hadits Abu Hurairah.

Dan al-Hafidz ibnu Hajar tidak berkomentar, ini menunjukkan bahwa atsar tsb shahih atau hasan menurutnya seperti biasa nya.

Shofiyyah itu adalah istri Nabi , maka kemungkinan besar atau pada umumnya dia melihat Nabi melakukan itu sebelum beliau pergi ke masjid.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Abdurrahman bin Muhammad bin Yasir dalam (hadits Abu Qasim Ali bin Ya’kub, 108) dari Ishaq bin Idris, telah menceritakan kepada kami Aban, telah bercerita kepada kami, Ashim Al-Ahwal dari Nafi’ dari ‘Aisyah secara marfu’ dengan lafazh:

كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمْعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي أَهْلِهِ

Rasulullah biasa shalat dua raka’at sebelum Jum’at di rumahnya.

Maka hadits ini batil lagi palsu. Ishaq telah merusaknya. Dia adalah al-Aswari al-Bashari. Ibnu Mu’ayyan berkata tentang Ishaq,” Dia seorang pendusta, pemalsu hadits.” (Lihat "الِأَجْوِبَةِ ٱلنَّافِعَةِ" hlm. 28). Ishaq ini, hanya seorang diri dalam meriwayatkan hadits ini.

Namun ada riwayat hadits lain masih dari 'Aisyah radhiyallaahu ‘anha, disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Rajab dalam Fathul Baari 8/334:

وَفِي "صَحِيحِ ابْنِ حِبَّانِ"، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَرَجَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ. 

وَرَوَيْنَاهُ مِنْ وَجْهِ آخَرَ عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: مَا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ عِندِي قَطُّ إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.

" Dalam Shahih Ibnu Hibban, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Dulu Rasulullah terbiasa jika hendak keluar, maka dia sholat dua rakaat terlebih dahulu.

Dan kami meriwayatkannya dari sisi lain dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah sama sekali tidak pernah keluar dari rumah ku kecuali setelah shalat dua rakaat". (Sls)

====

KLASIFIKASI DALIL KETUJUH:
PERINTAH NABI UNTUK SHALAT SUNNAH QOBLIYAH JUM'AT:

Dari Jaabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه, ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ ؟ قَالَ: لَا ، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ

Seorang laki-laki datang (masuk masjid) dan Nabi sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Beliau bersabda: “Apakah engkau sudah shalat wahai Fulaan ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau bersabda: “Berdiri dan shalatlah” [Diriwayatkan oleh Bukhori no. 930 dan Muslim no. 875 (54)].

Dalam riwayat lain, laki-laki yang datang tersebut adalah Sulaik Al-Ghothofaaniy radliyallaahu ‘anhu:

Dari Jaabir bahwasannya ia berkata:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَعَدَ سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: أَرَكَعْتَ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْهُمَا

Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rasulullah duduk di atas mimbar. Maka Sulaik pun duduk sebelum mengerjakan shalat. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah shalat dua raka’at ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau bersabda: “Berdiri lalu shalatlah dua raka’at” [HR. Muslim no. 875 (58)].

ADANYA TAMBAHAN KATA DALAM RIWAYAT LAIN :

Dalam riwayat Ibnu Maajah terdapat tambahan kata dalam matannya, yaitu kata:

“Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau datang [ke mesjid] ?

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah dan dari Jaabir, keduanya berkata:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: " أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "، قَالَ: لَا، قَالَ: " فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "

“Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) sedangkan Rasulullah sedang berkhuthbah. Maka Nabi bersabda kepadanya:

“Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau datang ?”. Ia berkata: “Belum”.

Beliau bersabda: “Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah” [HR. Ibnu Maajah no. 1114].

Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’laa no. 1946 dan Ibnu al-A’roobi dalam Mu’jam-nya.

Dari Abu Hurairah. Dan dari Jaabir, keduanya berkata:

جَاءَ سُلَيْكُ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ: " أَصَلَّيْتَ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "، قَالَ: لا، قَالَ: " فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "

“Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) sedangkan Rasulullah sedang berkhuthbah. Maka Nabi bersabda kepadanya:

“Apakah engkau sudah shalat sebelum engkau datang ?”. Ia berkata: “Belum”.

Beliau bersabda: “Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah”

DERAJAT HADITS :

Imam Majdud-Diin Ibnu Taimiyah al-Hanbali menyatakan: Sanadnya Tsiqoot (orang-orang yang di percaya).

Dan di Shahikan pula oleh al-‘Iraaqi asy-Syaafi’i. (Lihat: "Nayl al-Awtār" 4/355 Cet. Dār Ibnu al-Qoyyim)

Al-Hafidz Waliyud-Din Al-Iraqi mengatakan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya:

رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ. اهـ.

“Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dengan Sanad yang shahih “.

Lalu dia berkata tentang hadits Jabir, yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (5):

قَالَ وَالِدِي – يَعْنِي ٱلْحَافِظَ عَبْدَ ٱلرَّحِيمِ ٱلْعِرَاقِيِّ – رَحِمَهُ ٱللَّهُ فِي شَرْحِ ٱلتِّرْمِذِيِّ: وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٍ. اهـ.

“Ayahku – artinya Hafiz Abdur-Rahim al-‘Iraaqi – semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam Syarah al-Tirmidzi: “dan sanadnya shahih ‘. (Baca: "Ṭhor at-Tatsrīb fī Shar at-Taqrīb" 3/42).

Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Ibnu Majah no. 922:

صَحِيحٌ دُونَ قَوْلِهِ: "قَبْلَ أَنْ تَجِيء" فَإِنَّهُ شَاذٌّ.

“Shahih tanpa perkataannya: “sebelum kamu datang “, karena, itu adalah syaadz “.

FIQIH HADITS

Majdud-Diin Ibnu Taimiyah al-Hanbali berkata dalam “مُنْتَقَى ٱلْأَخْبَار” (di cetak dengan syarahnya "Nayl al-Awthār" 4/355 Cet. Dār Ibnu al-Qayyim):

وَقَوْلُهُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ» يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ سُنَّةٌ لِلْجُمُعَةِ قَبْلَهَا، وَلَيْسَتْ تَحِيَّةً لِلْمَسْجِدِ. ا.هـ.

[Dan ucapan beliau : "sebelum kamu datang" ini menunjukkan bahwa dua rakaat ini adalah sholat Sunnah sebelum shalat Jumat (Sunnah Qobliyah Jumat), dan bukan sebagai tahiyyatul masjid.] (Sls).

BANTAHAN:

Pernyataan Majdud-Diin Ibnu Taimiyah ini di bantah oleh cucunya yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan juga oleh al-Hafidz al-Mizzy, dan diikuti oleh Ibnu al-Qoyyim serta lainnya dengan mengatakan bahwa itu adalah تَصْحِيفٌ (ada yang dirubah) dari riwayat “sebelum kamu duduk”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:

لَمْ يَذْكُرْ الرَّافِعِيُّ فِي سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا حَدِيثًا، وَأَصَحُّ مَا فِيهِ مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ عَنْ دَاوُد بْنِ رُشَيْدٍ، عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرِ قَالَ: «جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ: أَصْلَيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا». قَالَ الْمَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي الْمُنْتَقَى: قَوْلُهُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا، لَا تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ. وَتَعَقَّبَهُ الْمَزِيُّ: بِأَنَّ الصَّوَابَ: أَصَلَّيْت رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ؟ فَصَحَّفَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ

“Ar-Raafi’iy tidak menyebutkan hadits tentang shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Dan hadits yang paling shahih tentangnya adalah adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dari Daud bin Rusyaid, dari Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dan dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, keduanya berkata:

Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) sedangkan Rasulullah sedang berkhuthbah. Maka Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau datang ?”. Ia berkata: “Belum”. Beliau bersabda: “Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah”.

Al-Majd bin Taimiyyah berkata dalam Al-Muntaqaa: “Sabda beliau : ‘sebelum engkau datang’, merupakan dalil bahwa shalat dua raka’at tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at, bukan tahiyyatul-masjid”.

Al-Mizziy mengkritiknya bahwasannya yang benar: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau duduk ?’. Sebagian perawinya telah melakukan tashhiif (terjadi perubahan)” [التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ  (2/149)].

Perkataan Al-Mizziy ini dinukil juga oleh Ibnul-Qayyim [زاد المعاد (1/434)] dan Al-Mubaarakfuriy [تحفة الأحوذي (2/61)].

JAWABAN :

Imam Ibnu Al-Mulaqqin Al-Syafi'i menjawab bantahan diatas dalam Risalah nya diberi judul: “اَلتَّكْلِيمُ عَلَىٰ سُنَّةِ الْجُمُعَةِ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا” (hal. 37-38, Cet. حلب). Dia berkata:

لَا شَكَّ فِي بُعْدِ هَذَا عَنْ ٱلتَّصْحِيفِ؛ فَٱلنُّسَخُ ٱلْمُتَقَنَةُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ»، وَكَذَٰلِكَ وَقَعَ فِي سَمْعِنَا، وَهِيَ زِيَادَةٌ مِّنْ ثِقَةٍ، مِنْ غَيْرِ مُعَارَضَةٍ لِمَا فِي ٱلصَّحِيحِ فَتُقْبَلُ، وَقَدْ أَفْصَحَ بِمَا قُلْنَا الشَّيْخُ مَجْدُ ٱلدِّينِ بْنُ تَيْمِيَّةَ. اهـ

Tidak ada keraguan bahwa ini jauh dari adanya تَصْحِيفٌ (perubahan tulisan) ; karena nuskhoh nya (salinannya) sempurna dan meyakinkan, yaitu: "sebelum kamu datang" dan begitu pula yang terjadi dalam pendengaran kami (simaa’/سماع), dan itu adalah tambahan lafadz hadits dari orang yang tsiqoh/dipercaya, tanpa adanya pertentangan dengan yang terdapat dalam kitab ash-Shahih (Shahih Muslim. Pen), maka (tambahan ini) harus diterima. Dan apa yang kami katakan ini, telah di jelaskan oleh Syekh Majdud-Din bin Taimiyyah dengan gamblang “.

Al-‘Allaamah Muhammad Anwar Shah al-Kashmiri dalam “فَيْضُ ٱلْبَارِي عَلَىٰ صَحِيحِ ٱلْبُخَارِيّ” (2/443, Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyya) mengatakan:

كَيْفَ يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِٱلتَّصْحِيفِ وَمَعَ أَنَّ ٱلْإِمَامَ ٱلْأَوْزَاعِيَّ وَإِسْحَاقَ بْنَ رَاهُوَيْهِ رَحِمَهُمَا ٱللَّهُ تَعَالَىٰ بَنَيَا عَلَيْهِ مَذْهَبَهُمَا، فَذَهَبَآ إِلَىٰ أَنَّهُۥ يُصَلِّيهِمَا فِي ٱلْبَيْتِ وَإِلَّا فَفِي ٱلْمَسْجِدِ، وَإِنْ دَخَلَ ٱلْإِمَامُ فِي ٱلْخُطْبَةِ، وَقَدْ مَرَّ مَعَنَآ أَنَّ ٱلْحَدِيثَ إِذَا ظَهَرَ بِهِ ٱلْعَمَلُ انْقَطَعَ عَنْهُ ٱلْجَدَلُ. اهـ

Bagaimana bisa itu dihukumi adanya تَصْحِيفٌ (perubahan tulisan) padahal Imam Al-Awza'i (w. 157 H) dan Ishaq bin Rahawayh (w. 238 H) رحمهما الله, mereka berdua telah membangun madzhabnya dalam hal tersebut diatas hadits ini, sehingga mereka berdua berpendapat bahwa seseorang shalat dua rokaat di rumahnya, dan jika tidak maka di masjid, meskipun imam sudah masuk dalam khutbahnya.

Dan telah lewat pembahasan bersama kami bahwa jika ada sebuah hadits sudah nampak diamalkan ; maka putuslah perdebatan “.

Al-Hafidz berkata dalam التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ:

وَفِي ابْنِ مَاجَهْ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَعُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لَا يُفَصِّلُ بَيْنَهُنَّ بِشَيْءٍ، وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدًّا. وَفِي الْبَابِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَلِيٍّ -رَضِيَ اللَّهِ عَنْهُ- فِي الطَّبَرَانِيِّ ٱلْأَوْسَطِ. وَصَحَّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مِنْ فِعْلِهِ رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَفِي الطَّبَرَانِيِّ ٱلْأَوْسَطِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ رَوَاهُ فِي تَرْجَمَةِ أَحْمَدَ بْنِ عَمْرٍو.

Dan dalam Sunan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: Nabi dulu melakukan sholat empat rakaat sebelum shalat Jumat, tidak dipisahkan oleh apa pun, dan sanadnya sangat lemah.

Dalam bab ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ali - semoga Allah meridhoinya - oleh al-Tabarani dalam al-Awsath.

Dan telah Shahih dari Ibnu Mas'ud dari amalannya, itu diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq.

Dan al-Tabarani dalam al-Awsat meriwayatkan dari Abu Huraira bahwa Nabi biasa shalat dua rakaat sebelum shalat Jumat dan kemudian dua rakaat sesudahnya, diriwayatkan dalam biografi Ahmad bin Amr. [Liahat التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ (2/149) Cet. مؤسسة قرطبة].

Dalam "Ad-Diroyah" 1/217-218 al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ كَانَ يَأْمُرُ بِذَٰلِكَ. وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ.

Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dari Ibnu Mas`ud: “Bahwa dia menyuruh untuk itu”. Perawinya dapat dipercaya

====

KLASIFIKASI DALIL KEDELAPAN :
ATSAR PARA SAHABAT DAN TAABI'IIN:

Atsar Para as-salaf ash-shalih dari kalangan para sahabat dan para Tabi’iin dan orang-orang yang susudah mereka dari para imam yang diikuti.

-----

PERTAMA: ATSAR UMMUL MUKMININ SHOFIYYAH BINTI HUYYAY radhiyallaahu ‘anhu, ISTRI NABI :

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam “الطبقات” 8/491 dari Yazid bin Harun, dari Hammaad bin Salamah, dari Shaafiyyah (صَافِيَة). Hammaad mendengar Shaafiyyah (صَافِيَة) berkata:

" رَأَيْتُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيِّ صَلَّتْ أَرْبَعًا قَبْلَ خُرُوجِ ‏الإمَامِ وَ صَلَّتْ الجُمْعَةَ مَع الإمَامِ رَكْعَتَيْنِ".‏

“Saya melihat Shofiyyah (صَفِيَّة) binti Huyayy shalat empat rakaat sebelum imam keluar, dan dia shalat Jumat bersama imam dua rakaat.”

Al-Zaila'i (w. 762) menyebutkan dlam "Naṣhbur Rāyah" 1/31:

أَنَّ ابْنَ سَعْدٍ رَوَى فِي ٱلطَّبَقَاتِ أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ صَلَّتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ لِلْجُمُعَةِ ثُمَّ صَلَّتِ ٱلْجُمُعَةَ مَعَ ٱلْإِمَامِ رَكْعَتَيْنِ.

"Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat bahwa Shofiyyah binti Huyyay shalat empat rakaat sebelum imam keluar untuk shalat Jumat, kemudian shalat Jumat bersama imam dua rakaat".

Di sebutkan pula oleh Ibnu Rojab dalam “فَتْحُ البَارِي (8/329), dia berkata:

رَوَى ابْنُ سَعْدٍ فِي "طَبَقَاتِهِ" بِإِسْنَادِهِ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّهَا صَلَّتِ الْجُمُعَةَ مَعَ الْإِمَامِ، فَصَلَّتْ قَبْلَ خُرُوجِهِ أَرْبَعًا. وَقَالَ النَّخَعِيُّ: كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يُصَلُّوا قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا. خَرَّجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي "كِتَابِ الْعِيدَيْنِ" بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.

Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat dengan sanadnya dari Shofiyyah binti Huyyay Ummul Mukminin رضي الله عنها:

Bahwa dia shalat empat rakaat sebelum imam keluar untuk shalat Jumat, kemudian shalat Jumat bersama imam dua rakaat.

An-Nakha'i berkata: Mereka menyukai shalat empat rakaat sebelum sholat Jumat.

Itu dimasukkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam "كِتَابُ الْعِيدَيْنِ" dengan SANAD YANG SHAHIH". (Selesai).

Dan Ibnu Hajar menyebutkannya dalam “فَتْحُ البَارِي” (3/553):

وَرَوَى ابنُ سَعْدٍ عَنْ صَفِيَّةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ مَوْقُوفًا نَحْوَ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Shofiyyah, istri Nabi dengan sanad mauquf, mirip hadits Abu Hurairah.

Dan al-Hafidz ibnu Hajar tidak berkomentar, ini menunjukkan bahwa atsar tsb shahih atau hasan menurutnya seperti biasa nya.

Shofiyyah itu adalah istri Nabi , maka kemungkinan besar atau pada umumnya dia melihat Nabi melakukan itu sebelum beliau pergi ke masjid.

------

KEDUA: ATSAR IBNU MAS'UD :

Atsar dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه:

(أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا)

Beliau biasa shalat empat rakaat sebelum dan sesudah shalat Jum'at.

[HR. Al-Tirmidzi (2/399, di bawah no.: 523). Al-Tirmidzi meriwayatkannya secara mu’allaq dengan shighat at-Tamriidh, MAUQUF kepada Ibnu Masoud ].

Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dalam “al-Mushonnaf” (3/247 no. 5524) dari Muammar dari Qatada:

أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَبَعْدَهَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ.

“Ibnu Masoud radhiyallahu ‘anhu, biasa shalat empat rakaat sebelum shalat Jumat dan empat rakaat sesudahnya..”

Di shahihkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ (2/149) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

" وَصَحَّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مِنْ فِعْلِهِ رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ.

“Dan telah Shahih dari Ibnu Mas’ud dari amalannya, itu diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq. [Lihat التَّلْخِيصُ الْحَبِيرُ 2/149. Cet. مؤسسة قرطبة].

Yang dzohir/nampak dari atsar ini adalah bersumber/tauqiif dari Nabi . Dan bukan merupakan hasil ijtihad dari Ibnu Masoud, semoga Allah meridhoinya.

Dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (1/463) meriwayatkan:

أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا.

“Bahwa Ibnu Masoud biasa shalat empat rakaat sebelum sholat Jumat “.

Dari Abu Abdur Rahman as-Sulami, dia berkata:

" كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَأْمُرُنَا أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا، حَتَّى جَاءَنَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَرْبَعًا.

“Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu biasa memerintahkan kita untuk shalat empat rakaat sebelum Jumat, dan sesudahnya empat. Sehingga Ali radhiyallahu ‘anhu datang kepada kami, maka dia memerintahkan kami untuk shalat dua rakaat sesudah sholat Jumat, kemudian empat.”

Itu dimasukkan oleh Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf 3/247 no. 5525, dan oleh al-Tabarani dalam al-Mu`jam al-Kabir 9/310.

Syeikh Ahmad Syarif an-Na’saan berkata dalam fatwanya no. 4976:

وَجَاءَ فِي "آثَارِ السُّنَنِ": إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ، وَهُوَ مَوْقُوفٌ فِي حُكْمِ الْمَرْفُوعِ، فَإِنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ إِنَّمَا أَمَرَ بِهٰذَا لِمَا ثَبَتَ عِنْدَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ فِيهِ شَيْءٌ.

Dan itu ada dalam kitab “آثَارِ السُّنَنِ”: Sanadnya Shahih, dan itu MAUQUF dalam hukum MARFU’, karena tampaknya dia tidak sekali-kali menyuruhnya kecuali karena telah ada ketetapan dari Nabi tentang hal itu.

Sa'iid bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَبَعْدَهَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ.

Para sahabat, radhiyallahu 'anhum, biasa shalat empat rakaat sebelum shalat Jumat, dan Ibnu Mas’ud, radhiyallahu 'anhu, biasa shalat empat rakaat sebelum shalat Jumat., dan kemudian empat rakaat setelahnya. [Lihat pula: *Maʿrifat as-Sunan wa al-Ātsār* 4/338, karya al-Baihaqi. Cet. Dār al-Waʿy.]

Dalam kitab *Ad-Dirayah fi Takhrīj Aḥādīth al-Hidāyah* 1/217-218. al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ كَانَ يَأْمُرُ بِذَٰلِكَ. وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ.

“Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dari Ibnu Mas`ud: “Bahwa dia dulu menyuruhnya untuk itu (sholat sunnah sebelum sholat jumat Pen.). Perawinya dapat dipercaya “.

Dalam kitab “إِطْفَاءُ الفِتَنِ عَلَى إِعْلَاءِ السُّنَنِ” karya Asyrof ‘Ali at-Tahaanuwii di sebutkan:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْمُرُنَا أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا. رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ فِي مُصَنَّفِهِ إِلَّا هُوَ.

“Bahwa dia dulu menyuruh kami agar kami sholat empat Rokaat sebelum Jum’at dan empat rokaat sesudahnya. HR. Abdurrozaaq dalam Mushonnaf nya “

Dan dalam “آثار السنن”: “Sanadnya Shahih “. (Sls).

Ada sebagian ulama yang berkomentar:

لَا يُقَالُ: إِنَّ هَذَا نَفْلٌ مُطْلَقٌ لَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ لِلْجُمُعَةِ، فَالنَّفْلُ الْمُطْلَقُ يُرَغَّبُ فِيهِ تَرْغِيبًا عَامًّا وَلَا يُعَلَّمُ وَلَا يُؤْمَرُ بِهِ أَمْرَ إِرْشَادٍ بِهَذِهِ الْعِنَايَةِ وَهَذَا التَّأْكِيدِ مِنْ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَهَذَا الْأَثَرُ ٱلْمَوْقُوفُ لَهُ حُكْمُ ٱلْمَرْفُوعِ؛ لِأَنَّ ٱلظَّاهِرَ أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ عَنْهُ مِنَ النَّبِيِّ ـ ﷺ ـ فِيهِ شَيْءٌ، وَإِلَّا لَمَا أَمَرَ بِهِ. يَقُولُ ٱلْكَمَالُ بْنُ ٱلْهَمَامِ تَعْلِيقًا عَلَىٰ قَوْلِ صَاحِبِ "ٱلْهِدَايَةِ" "وَلَمْ يَكُنْ عَلَىٰ عَهْدِ رَسُولِ ٱللَّهِ ـ ﷺ ـ إِلَّا هَذَا الْأَذَانِ": إِنَّ مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ ذَهَبَ إِلَيْهِ ابْنُ ٱلْمُبَارَكِ وَٱلثَّوْرِيُّ.

Tidak boleh dikatakan: Ini adalah Sunnah mutlak, bukan sunnah rawaatib untuk shalat Jum'at. Karena Sunnah mutlak itu anjurannya bersifat umum, tidak diajarkan dan tidak diperintahkan dengan perintah bimbingan yang penuh perhatian seperti ini, dan ini adalah ta’kiid/pengukuhan dari Ibnu Mas’ud.

Dan atsar ini MAUQUF pada Ibnu Mas’ud namun berhukum MARFU’, Karena tampaknya telah ada ketetapan dari Nabi bahwa ada sesuatu di dalamnya, jika tidak, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak akan memerintahkannya. (Selesai).

Al-Kamaal bin Al-Hamaam berkata, mengomentari perkataan penulis kitab “الهداية”:

وَلَمْ يَكُنْ عَلَىٰ عَهْدِ رَسُولِ ٱللَّهِ ـ ﷺ ـ إِلَّا هَذَا الْأَذَانُ.

“Pada masa Rasulullah , tidak ada apa-apa selain adzan ini “.

Jawabannya:

إِنَّ مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ ذَهَبَ إِلَيْهِ ابْنُ ٱلْمُبَارَكِ وَٱلثَّوْرِيُّ.

Pada kenyataanya apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, itu menjadi madzhab Ibnu al-Mubarak dan ats-Tsauri”.

[Lihat pula: *‘Awn al-Ma‘bud* 3/447. syarah hadits no. 1115.

RIWAYAT MARFU’:

Dalam kitab *Tufat al-Awadzī* 3/41 (Cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah).:

أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوعًا، وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ وَانْقِطَاعٌ كَذَا فِي فَتْحِ الْبَارِي.

Abd al-Razzaq dan al-Tabarani meriwayatkannya dari Ibnu Mas`ud dengan sanad marfu’ kepada Nabi . Namun dalam sanad nya ada kelemahan dan terputus, seperti itu lah dalam Fathul -Bari..

Dan dalam *Fatāwā "Al-Lajnah Ad-Dā'imah"* juga di sebutkan:

وَنَقَلَ شَارِحُ التِّرْمِذِيِّ: عَنْ الْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ، أَنَّ عَبْدَ الرَّزَّاقِ وَالطَّبَرَانِيَّ أَخْرَجَاهُ مَرْفُوعًا، وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ وَانْقِطَاعٌ، وَمِثْلُ هَذَا لَا يُحْتَجُّ بِهِ.

Dan penulis Syarah al-Tirmidzi menukil: dari al-Hafidz Ibnu Hajar, semoga Allah merahmatinya, bahwa Abdur-Razzaq dan al-Thabarani meriwayatkannya dengan sanad marfu’ kepada Nabi . Dan di dalam sanadnya ada kelemahan dan keterputsan, dan yang seperti itu tidak bisa di jadikan hujjah “.

Dan Syeikh al-Albaani dalam *As-Silsilah Adh-Dha'ifah* 3/83 berkata: “Munkar”

------

KETIGA: ATSAR ALI BIN ABI THALIB, IBNU 'UMAR DAN LAINNYA:

Abu Iisa at-Tirmidzy berkata:

رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَ أَنْ يُصَلَّى بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَرْبَعًا ، وقال عطاء: قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ صَلَّى بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ أَرْبَعًا ".

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, bahwa beliau memerintahkan sholat setelah sholat Jum'at sebanyak dua rakaat, kemudian empat rakaat.

'Atha rahimahullah berkata: "Aku melihat Ibnu Umar sholat setelah sholat Jum'at sebanyak dua rakaat, lalu sholat setelah itu empat rakaat."

(Sunan At-Tirmidzi No. 523 dan *Tufat al-Awadhī* 3/47 no. 523 ]

Syeikh Ahmad Syarif an-Na’saan berkata dalam fatwanya no. 4976:

رَوَى الطَّحَاوِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ كَمَا فِي «آثَارِ السُّنَنِ» عَنْ عَبْدِ الله بنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: (أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ، ثُمَّ بَعْدَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا)".

Ath-Thohaawi meriwayatkan - dan sanadnya SHAHIH, seperti dalam atsar-atsar Sunan, dari Abdullah bin Umar - semoga Allah meridhoi keduanya -:

(Bahwa Dia biasa shalat empat rakaat sebelum Jumat, tidak memisahkan antara empat rakaat tsb dengan Salam, kemudian setelah Jumat dua rakaat kemudian empat “.

Dari Nafi’, berkata:

"كَانَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ، وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ"

“Ibnu Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum (shalat) Jum’at, dan shalat (sunah) setelahnya dua raka’at di rumahnya, dia mengatakan bahwa Rasulullah juga melakukan yang demikian itu.”

[HR. Abu Daud, no. 1128, Tirmidzi, no. 522, Nasai, no. 1429, Ibnu Majah, no. 1130. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (2/349), dan Ibnu Hibbaan dalam Sahih Ibnu Hibban (6/220). Lafaz hadis ini sesuai redaksi periwayatan Abu Daud]

Di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan. Dalam kitab *Khulasat al-Ahkam* 2/812, Imam an-Nawawi menyatakan:

أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي "سُنَنِهِ"، وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانِ فِي "صَحِيحَيْهِمَا"، وَإِسْنَادُهُ عَلَىٰ شَرْطِ الْبُخَارِيِّ.

“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, Ibnu Khuzaymah dalam shahinya dan Ibnu Hibban dalam Shahih nya. Dan Sanadnya sesuai dengan syarat Shahih al-Bukhari “.

[Di nukil pula dalam *Nashbur-Rāyah* 2/244 karya az-Zaila’i w. 762 ].

Abu Abdur-Rahman Syarf al-Haq al-‘Adziim Abaadi mengatakan dalam kitab *‘Awn al-Ma‘bud* 1/438:

قُلتُ: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي شَرَحَهُ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَةِ: صَحِيحٌ عَلَىٰ شَرْطِ الْبُخَارِيِّ وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ: إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لَا جَرَمَ وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانِ فِي صَحِيحِهِ" اَهْـ.

“Aku berkata: Hadits Ibnu Umar yang telah dijelaskannya, Al-Nawawi mengatakan dalam “ٱلْخُلَاصَة”: “Ini sahih sesuai ketentuan Al-Bukhari”.

Dan al-Iraqi berkata dalam Sharh al-Tirmidzi: Sanadnya shahih, dan tidak ada pelanggaran. Dan riwayatkan pila oleh Ibnu Hibbaan dalam Shahihnya “. (Selesai).

Lafadz dalam Riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Naafi’, ia berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ

Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke masjid) pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar (untuk berkhuthbah)”

[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403; sanadnya shahih].

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/426:

" اِحْتَجَّ بِهِ النَّوَوِيُّ فِي ٱلْخُلَاصَةِ عَلَىٰ إِثْبَاتِ سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا.

“Dengan hadits ini Al-Nawawi dalam “ٱلْخُلَاصَة” berargumentasi untuk menetapkan Sunnah nya sholat Qoblyah Jumat “.

Dan Al-Iraqi berkata: “Sanadnya Shahih”.

ATSAR ABU MIJLAZ:

Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (1/463) meriwayatkan dari Abu Mijlaz (أَبُو مِجْلَزْ):

إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.

" Bahwa ia biasa shalat dua rakaat di rumahnya pada hari Jumat,

----

KEEMPAT: ATSAR PARA TABIIAN DAN LAINNYA:

Dari Abdullah bin Thaawus dari ayahnya:

إِنَّهُ كَانَ لَا يَأْتِي الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ.

Dia tidak datang ke masjid pada hari Jumat kecuali sebelumnya dia sholat dua rakaat di rumahnya.

Dan dari Al-A’mash dari Ibrahim (an-Nakhoo’i), dia berkata:

كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَهَا، أَيْ: الْجُمُعَةِ، أَرْبَعًا.

“Mereka biasa sholat sebelumnya – yakni Jum’at - empat rakaat”..

[Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (1/463)].

Dari Ibnu Shihab, dari Tsa’labah bin Abi Malik Al-Qurodhi/القُرضيِّ:

(أنَّه أخبره أنَّهم كانوا في زمانِ عُمرَ بنِ الخَطَّابِ يُصلُّونَ يومَ الجُمُعةِ حتى يخرجَ عمرُ، فإذا خرَجَ عُمرُ وجلَس على المنبرِ وأذَّنَ المؤذِّنون، قَال ثعلبةُ: جَلَسْنا نتحدَّث، فإذا سكَتَ المؤذِّنونَ وقام عُمرُ يَخطُبُ، أَنصَتْنا فلم يتكلَّمْ منَّا أحدٌ)

(bahwasannya dia menceritakan padanya bahwa pada masa Umar bin Al-Khattab mereka biasa shalat sunnah pada hari Jumat hingga Umar keluar.

Maka jika Umar keluar dan duduk di atas mimbar dan para muadzin mengumandangkan adzan, Tsa’labah berkata: “Kami duduk berbicara, dan jika para muadzin terdiam dan Umar menyampaikan khotbah, maka kami mendengarkannya dan tidak seorang pun dari kami yang berbicara.

[HR. Malik (1/103) (7), Asy-Syafi'i dalam *Al-Umm* (1/227), Ath-Thohawi dalam *Syarh Ma'ani Al-Atsar* (2174), dan Al-Tabarani dalam *Musnad Asy-Syamiyyin* (3229). Al-Bayhaqi dalam *As-Sunan Al-Kubra* (5684).

Di shahihkan oleh Al-Nawawi dalam “ٱلْخُلَاصَة” (2/808).

Dan Adz-Dzahabi mengatakan dalam “المهذب” (3/1123).):

“فِيهِ ثَعْلَبَةُ احْتَجَّ بِهِ البُخَارِيُّ”

“Di dalam sanadnya terdapat Tsa’labah, al-Bukhori berhujjah dengannya “.

Di shahihkan sanadnya oleh Al-Aini dalam “نخب الأفكار” (6/48), dan Al-Albani mengatakan dalam “تمام المنة” (hal. 399):

لَهُ مُتَابِعٌ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Dia memiliki mutaabi’ yang sanadnya nya shahih “.

*****

DALIL PENDAPAT KE DUA:
SHOLAT QOBLIYAH JUM'AT TIDAK DI SYARI'ATKAN

Pendapat yang mengatkan: bahwa pada sholat Jum'at tidak ada sholat sunnah rawaatib qobliyah, namun tetap di syariatkan sholat sunnah mutlak sebelum Jum’at.

Jadi yang shahih adalah disunnahkan mengerjakan shalat sunnah mutlak semampunya, yang tidak dibatasi jumlahnya, sampai imam datang untuk berkhuthbah. Inilah yang diamalkan para shahabat sebelum pelaksanaan shalat Jum’at.

BERIKUT INI KLASIFIKASI DALIL-DALILNYA:

====

KLASIFIKASI DALIL PERTAMA:
DALIL YANG MENUNJUKKAN DISUNNAHKANNYA SHOLAT SUNNAH MUTLAK, BUKAN QOBLIYAH JUM'AT:

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah shalat sunnah mutlak,

KE 1: Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi bersabda:

(لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى)

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid), kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

KE 2: Dari Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy:

أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ، فَإِذَا خَرَجَ عُمَرُ وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ. قَالَ ثَعْلَبَةُ: جَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ، وَقَامَ عُمَرُ يَخْطُبُ أَنْصَتْنَا فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ

Bahwasannya mereka di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab mengerjakan shalat sunnah hingga ‘Umar keluar. Ketika ‘Umar keluar dan duduk di atas mimbar, muadzdzin mengumandangkan adzan. Tsa’labah berkata: “Kami duduk dan berbincang-bincang. Apabila muadzdzin telah diam (selesai) dan ‘Umar berdiri untuk berkhuthbah, kami pun diam dan tidak ada seorang pun di antara kami yang berbicara” [HR. Maalik 1/446 no. 247; shahih].

Dalam lafadz lain: Dari Tsa’labah bin Abi Malik:

أنَّ النَّاسَ كَانُوا في زمَن عُمرَ رَضِيَ اللهُ عَنْه يُصلُّون يومَ الجُمُعةِ حتى يخرُجَ عُمرُ

Bahwa orang-orang pada zaman ‘Umar bin Al Khoththob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (sebagai imam dan khotib). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1/103 (7), Ibnu Al-Mundhir dalam “Al-Awsat” (1837), dan Al-Bayhaqi dalam “Al-Sunan Al-Kubra” (5684). Dishahihkan oleh An Nawawi dalam "خلاصة الأحكام" (2/808) dan Al Majmu’ 4/550).

Yang dimaksudkan orang-orang di sini adalah para shahabat dan taabi’iin yang hidup di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Maksud shalat di sini adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan sebelum imam keluar dan dikumandangkannya adzan, sedangkan adzan di jaman ‘Umar hanya dilakukan sekali.

KE 3: Dari Ummul Mukminin Ummu Habibah radhiyallahu ‘anhu:

Imam an-Nasaa'i dalam Sunannya no. 1774, 1797 dan As-Sunan al-Kubro 2/181 no. 1472 meriwayatkan:

Telah mengabarkan kepadaku Ibrahim bin Al Hasan dia berkata; telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad dia berkata; Ibnu Juraij berkata;

قُلْتُ لِعَطَاءٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَرْكَعُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مَا بَلَغَكَ فِي ذَلِكَ قَالَ أَخْبَرَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ عَنْبَسَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:‏

"‏ مَنْ رَكَعَ اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ سِوَى الْمَكْتُوبَةِ بَنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ‏"

"Aku berkata kepada Atha', 'Telah sampai kepadaku bahwa engkau shalat dua belas rakaat sebelum shalat Jum'at! Apa yang telah sampai kepadamu? ' Ia menjawab; `Aku diberitahu bahwa Ummu Habibah menceritakan kepada Anbasah bin Abu Sufyan bahwa Nabi pernah bersabda:

"Barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat pada siang dan malamnya selain shalat wajib, maka Allah Azza wa Jalla akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga."

Diriwayatkan pula oleh Abdurrozzaaq dalam al-Mushoonaf 2/246 no. 5521.

Para perawi haditsnya Tsiqoh:

Dia berkata:

[Ibrahim bin Al-Hassan memberitahuku].

Dia adalah Ibrahim bin Al-Hassan Al-Mushaishi, dan dia dapat dipercaya/tsiqoh. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Nasa'i.

[Hajjaj bin Muhammad memberitahu kami].

Dia adalah Al-Mushaishi, dan dia dapat dipercaya,/tsiqoh, haditsnya diambil oleh para penulis al-kutub as-sittah.

[Dari Ibnu Juraij].

Dia adalah Abd al-Malik Ibnu Juraij al-Makki, dan dia dapat dipercaya, seorang yang faqiih, namun dia suka memursalkan, dan seorang mudallis, dan haditsnya diriwayatkan oleh penulis enam kitab sunan.

KE 4: Dari Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ فَفِي بَيْتِهِ

“Aku pernah Shalat bersama Nabi dua sujud (raka’at) sebelum Shalat Zhuhur dan dua raka’at sesudah Shalat Zhuhur, dua raka’at sesudah Shalat Maghrib, dua raka’at sesudah Shalat 'Isya, dan dua raka’at sesudah Shalat Jum’at.

Dari Naafi’, ia berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ

Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum shalat Jum'at, dan shalat sunnah setelahnya dua raka'at di rumahnya; dan ia mengatakan bahwa Rasulullah juga melakukan yang demikian itu

[Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1128, Ibnu Khuzaimah 3/168 no. 1836, Ibnu Hibbaan 6/227 no. 2476, dan yang lainnya; shahih].

Memanjangkan shalat di sini dilakukan sebelum imam keluar untuk berkhuthbah.

Dari Naafi’, ia berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ

Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke masjid) pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar (untuk berkhuthbah)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403; sanadnya shahih].

PERHATIAN !:

Sebagian orang berhujjah dengan riwayat ini tentang dimasyru’kannya shalat rawaatib qabliyyah Jum’at.

Ini jelas keliru, karena yang dikerjakan Ibnu ‘Umar adalah shalat sunnah mutlak sebelum imam keluar untuk berkhuthbah. Tidak ada shalat sunnah lain yang dilakukan para shahabat sebelum adzan dan imam naik mimbar di zaman Nabi kecuali shalat sunnah mutlak.

Dikarenakan sifatnya mutlak, maka jumlah raka’at dikerjakan salaf sangatlah variatif. Mereka mengerjakannya sesuai dengan keinginan/kemampuan masing-masing.

Berikut sebagian riwayat-riwayatnya:

Pertama:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Saliim bin Basyiir bin Hajl Al-‘Aisyiy, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas:

"أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يَجْلِسُ، فَلا يُصَلِّي شَيْئًا، حَتَّى يَنْصَرِفَ "

Bahwasannya ia biasa shalat sebelum mendatangi shalat Jum’at sebanyak delapan raka’at, kemudian duduk dan tidak shalat (sunnah) lagi hingga ia pulang” [HR. Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1844; shahih].

Kedua:

Telah menceritakan kepada kami Fahd, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ma’bad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Zaid, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:

أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ، ثُمَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا

Bahwasannya ia biasa mengerjakan shalat sebelum (shalat) Jum’at sebanyak empat raka’at dan tidak memisahnya dengan salam. Kemudian setelah shalat Jum’at sebanyak dua raka’at, kemudian empat raka’at”

[HR. Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/335 no. 1965].

Ketiga:

Dari Naafi’, ia berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

“Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12 raka’at.”

(Ibnu Rojab dalam Fathul Bari 8/329 mengutipnya dari ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya).

Keempat:

Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, ia berkata:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْمُرُنَا أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا، حَتَّى جَاءَنَا عَلِيٌّ فَأَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَرْبَعًا

“Dulu ‘Abdullah (bin Mas’uud) menyuruh kami shalat sebelum Jum’at sebanyak empat raka’at dan setelahnya empat raka’at, hingga ‘Aliy datang kepada kami lalu menyuruh kami shalat sebanyak dua raka’at setelahnya, kemudian empat raka’at” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5525; shahih].

Abu Syaamah rahimahullah berkata:

ٱلْمُرَادُ مِنْ صَلَاةِ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ أَرْبَعًا أَنَّهُ كَانَ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ تَطَوُّعًا إِلَىٰ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ كَمَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ.

“Yang dimaksudkan dari shalat ‘Abdullah bin Mas’uud sebelum Jum’at sebanyak empat raka’at, maka ia melakukannya sebagai shalat sunnah (mutlak) hingga keluarnya imam sebagaimana yang telah lalu penyebutannya” [ٱلْبَاعِثُ عَلَىٰ إِنْكَارِ ٱلْبِدَعِ وَٱلْحَوَادِثِ, hal. 97].

Namun perkataan Abu Syaamah ini di bantah oleh penulis kitab "عون المعبود" 3/477 dengan mengatakan:

" وَقَالَ ٱلتِّرْمِذِيُّ: وَرُوِيَ عَنْ ٱبْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا. وَإِلَيْهِ ذَهَبَ ٱلثَّوْرِيُّ وَٱبْنُ ٱلْمُبَارَكِ.

"At-Tirmidzi berkata: Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa ia biasa shalat empat rakaat sebelum sholat Jumat dan empat rakaat setelahnya, dan ini jadikan madzhab oleh Al-Tsauri dan Ibnu al-Mubarak".

Imam An-Nawawiy ketika mensyarahi hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata:

وَفِيهِ أَنَّ التَّنَفُّل قَبْل خُرُوج الْإِمَام يَوْم الْجُمُعَة مُسْتَحَبّ ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجُمْهُور. وَفِيهِ أَنَّ النَّوَافِل الْمُطْلَقَة لَا حَدَّ لَهَا لِقَوْلِهِ ﷺ: (فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ).

“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa shalat sunnah sebelum keluarnya imam pada hari Jum’at adalah mustahab. Itu adalah madzhab kami dan madzhab jumhur ulama. Dan dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa shalat sunnah mutlak tidak ada batasan (raka’at)-nya berdasarkan sabda beliau : ‘lalu mengerjakan shalat sesuai kemampuannya”.

[Syarh Shahiih Muslim, 6/146].

KESIMPULAN:

Yang ada riwayatnya adalah shalat sunnah mutlak tanpa dikhususkan jumlahnya.

Shalat Jumat tidak ada sunnah sebelumnya (qabliyah). Karena tidak ada riwayat tersebut dari Nabi . Tidak terdapat riwayat dari shahabat radhiallahu anhum yang menyatakan bahwa terdapat shalat rawatib yang khusus sebelum shalat Jumat.

Dan Tidak benar jika shalat Jumat diqiyaskan dengan shalat Zuhur, sehingga disimpulkan adanya sunnah rawatib sebelum Jumat sebagaiman disunnahkannya rawatib sebelum Zuhur. Karena shalat Jumat berbeda dengan shalat Zuhur dalam banyak ketentuan, dan karena qiyas ini bertentangan dengan perkara yang tampak dari sunnah Nabi yang tidak melakukan shalat rawatib sebelum Jumat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi .

Seandainya Nabi melakukan shalat itu, niscaya akan disampaikan riwayatnya kepada kita. Maka ketika tidak ada riwayatnya, kita dapat mengetahui bahwa Nabi tidak melakukan shalat rawatib sebelum Jumat.

=====

KLASIFIKASI DALIL KEDUA:
KEWAJIBAN MAKMUM MENDENGARKAN KHUTBAH JUMAT

Ketika imam berkhuthbah, kewajiban yang ada hanyalah mendengarkannya:

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Nabi :

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

“Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar), mereka menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan adz-dzikr (khutbah)” [HR. Bukhori no. 3211].

Dari Maalik bin Abi ‘Aamir:

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ كَانَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ، قَلَّمَا يَدَعُ ذَلِكَ إِذَا خَطَبَ: " إِذَا قَامَ الْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَاسْتَمِعُوا وَأَنْصِتُوا، فَإِنَّ لِلْمُنْصِتِ الَّذِي لَا يَسْمَعُ مِنَ الْحَظِّ مِثْلَ مَا لِلْمُنْصِتِ السَّامِعِ، فَإِذَا قَامَتِ الصَّلَاةُ فَاعْدِلُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بِالْمَنَاكِبِ، فَإِنَّ اعْتِدَالَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ، ثُمَّ لَا يُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَهُ رِجَالٌ، قَدْ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، فَيُخْبِرُونَهُ أَنْ قَدِ اسْتَوَتْ فَيُكَبِّرُ "

Bahwasannya ‘Utsmaan bin ‘Affaan pernah berkata dalam khuthbahnya dan jarang ia meninggalkannya dalam khuthbahnya: "Apabila imam telah berdiri berkhutbah pada hari Jum'at, maka dengarkanlah dan diamlah. Sesungguhnya orang yang diam tetapi tidak mendengarkan, pahalanya tidak sama dengan orang yang diam dan tetap mendengarkan. Apabila shalat hendak ditegakkan, maka luruskanlah shaff dan rapatkan antara bahu dengan bahu. Sesungguhnya lurusnya shaff termasuk bagian dari sempurnanya shalat”

[HR. Maalik 1/447 no. 248; shahih].

Setelah imam keluar dan adzan dikumandangkan, shalat sunnah mutlak tidak lagi dikerjakan.

Berdasarkan hadits Malik bin Amir dari Utsman ini, maka Az-Zuhriy rahimahullah berkata:

فَخُرُوجُ الْإِمَامِ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ وَكَلَامُهُ يَقْطَعُ الْكَلَامَ

“Keluarnya imam menghentikan shalat (sunnah), dan perkataan imam (yang berkhuthbah) menghentikan pembicaraan/obrolan” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/446 no. 247].

====

KLASIFIKASI DALIL KEEMPAT:
TIDAK WAKTU DAN KESMPATAN UNTUK QOBLIYAH JUM'AT

Tidak ada shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’ah karena tidak ada waktu dan kesempatan untuk mengerjakannya.

Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata:

كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ، ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

“Dulu Bilaal mengumandangkan adzan apabila Rasulullah telah duduk di atas mimbarnya pada hari Jum'at. Apabila beliau turun (dari mimbar), ia beriqamat. Begitu juga yang terjadi pada jaman Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [HR, oleh An-Nasaa’iy no. 1394; shahih].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:

كَانَ إذَا فَرَغَ بِلَالٌ مِنْ الْأَذَانِ أَخَذَ النّبِيّ ﷺ فِي الْخُطْبَةِ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ الْبَتّةَ وَلَمْ يَكُنْ الْأَذَانُ إلّا وَاحِدًا وَهَذَا يَدُلّ عَلَى أَنّ الْجُمُعَةَ كَالْعِيدِ لَا سُنّةَ لَهَا قَبْلَهَا وَهَذَا أَصَحّ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ وَعَلَيْهِ تَدُلّ السّنّةُ فَإِنّ النّبِيّ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ فَإِذَا رَقِيَ الْمِنْبَرَ أَخَذَ بِلَالٌ فِي أَذَانِ الْجُمُعَةِ فَإِذَا أَكْمَلَهُ أُخِذَ النّبِيّ ﷺ فِي الْخُطْبَةِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ وَهَذَا كَانَ رَأْيَ عَيْنٍ فَمَتَى كَانُوا يُصَلّونَ السّنّةَ ؟ وَمَنْ ظَنّ أَنّهُمْ كَانُوا إذَا فَرَغَ بِلَالٌ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ مِنْ الْأَذَانِ قَامُوا كُلّهُمْ فَرَكَعُوا رَكْعَتَيْنِ فَهُوَ أَجْهَلُ النّاسِ بِالسّنّةِ وَهَذَا الّذِي ذَكّرْنَاهُ مِنْ أَنّهُ لَا سُنّةَ قَبْلَهَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ وَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِ الشّافِعِيّ.

“Dulu apabila Bilaal selesai mengumandangkan adzan, Nabi langsung berkhuthbah dan tidak ada seorang pun yang melakukan shalat sunnah dua raka’at. Adzan tidak dilakukan (waktu itu) kecuali sekali saja. Hal ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at seperti shalat ‘Ied, tidak ada shalat sunnah qabliyyah-nya.

Dan ini merupakan yang paling benar dari dua pendapat yang beredar di kalangan ulama dan yang ditunjukkan oleh sunnah. Nabi keluar dari rumahnya, dan apabila beliau telah naik mimbar, Bilaal langsung mengumandangkan adzan.

Apabila ia (Bilaal) telah menyempurnakan adzannya, Nabi langsung berkhuthbah tanpa adanya selang waktu. Dan inilah yang disaksikan waktu itu. Lantas, kapan mereka (para shahabat) melakukan shalat sunnah ?.

Dan barangsiapa yang menyangka bahwasannya ketika Bilaal radliyallaahu ‘anhu selesai mengumandangkan adzan, mereka semuanya berdiri melakukan shalat sunnah dua raka’at; maka ia adalah orang yang paling jahil terhadap sunnah. Yang kami sebutkan bahwasannya tidak ada shalat sunnah (rawaatib) qabliyyah (Jum’at) merupakan madzhab Maalik, yang masyhur dari pendapat Ahmad, dan salah satu dari dua pendapat dari Ashhaab Asy-Syaafi’iy” [Zaadul-Ma’aad, 1/417].

Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:

لَمْ يُنْقَلْ عَنِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ لِأَنَّهُ كَانَ يَخْرُجُ إِلَيْهَا فَيُؤَذَّنُ بَيْنَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَخْطُبُ.

" Tidak ada nukilan dari Nabi bahwa Beliau melakukan shalat Sunnah Qobliyah Jum'at ; karena ketika beliau keeluar [menuju mimbar khuthbah ], maka adzan dikumandangkan di hadapan beliau, kemudian beliau berkhuthbah” [Lihat Naylul Awṭhār, 3/255].

Jika dikatakan: Shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’at dilakukan di jaman ‘Utsmaan bin ‘Affaan saat adzan Jum’at dilakukan lebih dari sekali dan itu dilakukan antara adzan pertama dan kedua.

Maka dijawab: Tidak ada dalil yang shahih dan sharih yang menunjukkan hal itu, karena apa yang dilakukan para shahabat terkait sunnah-sunnah Jum’at di jaman ‘Utsmaan secara umum sama seperti di jaman Nabi , selain jumlah adzannya. Adzan tambahan dilakukan karena sebab, yaitu ketika manusia bertambah banyak dan rumah-rumah berjauhan, sehingga adzan awal dilakukan di Zauraa’ sebelum zawal.

Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata:

كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ "، قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

“Dahulu pada jaman Nabi , Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Ketika ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu (menjadi khalifah) dan orang-orang bertambah banyak, maka ia menambah adzan ketiga di Zauraa". Abu Abdillah (Bukhori) berkata: “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah” [HR. Bukhori no. 912].

Dalam riwayat lain:

فَأَذَّنَ بِالزَّوْرَاءِ قَبْلَ خُرُوجِهِ، يُعْلِمُ النَّاسَ أَنَّ الْجُمُعَةَ قَدْ حَضَرَتْ

“Maka muadzin mengumandangkan adzan di Zauraa’ sebelum ia (‘Utsmaan) keluar (di atas mimbar), untuk memberitahukan orang-orang bahwa waktu Jum’at telah tiba” [HR. Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/173 no. 6643].

Tentu saja itu berbeda dengan yang dilakukan orang-orang sekarang.

Saat adzan pertama dikumandangkan di Zauraa’, orang-orang segera berhenti dari kesibukannya untuk segera mempersiapkan diri berangkat shalat Jum’at. Setelah mereka sampai di masjid, mereka melakukan sunnah-sunnah sebagaimana sunnah-sunnah yang berlaku di jaman Nabi (shalat tahiyyatul-masjid, shalat sunnah mutlak, hingga keluarnya imam).

Oleh karena itu, jika ada orang yang mengerjakan shalat sunnah mutlak antara adzan pertama dan adzan kedua, maka boleh lagi baik (jaaizah hasanah). Ini bukan shalat rawaatib seperti shalat qabliyyah Maghrib. Barangsiapa yang melakukannya tidak diingkari dan barangsiapa yang meninggalkannya tidak diingkari pula

[lihat: Majmuu’ Al-Fataawaa li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah, 24/194-195].

=====

KLASIFIKASI DALIL KE LIMA:
TIDAK ADA QOBLIYAH SUBUH ANTARA ADZAN BILAL DAN IBNU UMMI MAKTUM

Masalahnya, banyak orang melakukannya dengan anggapan bahwa itu adalah shalat rawaatib qabliyyah Jum’at. Waktu dan raka’at mungkin sama, tapi keyakinannya berbeda.

Seandainya ada yang bersikukuh mengerjakan shalat sunah rawaatib qabliyyah Jum’at dengan cara menggabungkan pendalilan antara hadits ‘Abdullah bin Al-Mughaffaal dan As-Saaib bin Yaziid ini

Hadis Abdullah bin Mughaffal yang diriwayatkannya secara marfu':

«بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ»

"Di antara dua adzan terdapat shalat. Di antara dua adzan terdapat shalat “. Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga kalinya: “Bagi siapa saja yang menghendakinya ". (Mutataqun alaihi /Al-Bukhari (627) dan Muslim (838))..

Adapun hadits As-Saaib bin Yaziid, maka ia berkata:

كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ "، قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

“Dahulu pada jaman Nabi , Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Ketika ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu (menjadi khalifah) dan orang-orang bertambah banyak, maka ia menambah adzan ketiga di Zauraa".

Abu Abdillah (Bukhori) berkata: “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah” [HR. Bukhori no. 912].

Yang dimaksud dua Adzan dalam hadits hadits ‘Abdullah bin Al-Mughaffaal adalah Adzan dan Iqomat. Sementara dua adzan dalam hadits As-Saaib bin Yaziid adalah adzan pertama dan adzan kedua dalam shalat Jum’at.

Lalu mengapa mereka tidak melakukannya untuk shalat sunnah rawaatib qabliyyah Shubuh dilakukan pada malam hari setelah adzan pertama ?.

Bukankah dimasyru’-kan juga – berdasarkan hadits shahih – mengumandangkan adzan pertama di waktu malam sebelum dikumandangkannya adzan Shubuh ?.

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:

أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Sesungguhnya Bilaal adzan pada waktu malam. Maka Rasulullah bersabda: ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shaadiq” [HR. Bukhori no. 1918, 1919]

Kenyataannya, mereka tidak melakukannya. Yang mereka lakukan pada waktu itu adalah shalat malam (tahajjud atau witir), sedangkan shalat sunnah rawaatib qabliyyah Shubuh mereka lakukan setelah adzan masuknya waktu Shubuh.

----

KESIMPULAN ISTIDLAL DARI DALIL-DALIL DIATAS:

Tidak benar jika dalil-dalil di atas dimaksudkan untuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at. Karena seandainya yang dimaksud adalah shalat rawatib tersebut, maka Nabi tidak pernah punya kesempatan melakukannya. Ketika shalat Jum’at, kebiasaan beliau adalah beliau keluar dari rumah, lalu langsung naik mimbar (tanpa ada shalat tahiyyatul masjid bagi beliau), lalu beliau berkhutbah di mimbar, lantas turun dari mimbar dan melaksanakan shalat Jum’at.

Jika ada yang menyatakan adanya shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka kami katakan,

“Kapan waktu melakukan shalat tersebut di masa Nabi ?”

Jika dijawab, setelah adzan. Maka tidaklah benar karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Yang terjadi di masa Nabi , adzan Jum’at hanya sekali.

Jika dijawab, sebelum adzan. Maka seperti itu bukanlah shalat sunnah rawatib. Itu disebut shalat sunnah mutlak.

Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,

وَأَمَّا سُنَّةُ ٱلْجُمُعَةِ ٱلَّتِي قَبْلَهَا فَلَمْ يَثْبُتْ فِيهَا شَيْءٌ.

“Adapun shalat sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)

Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan,

وَكَانَ إِذَا فَرَغَ بِلاَلٌ مِنَ ٱلْأَذَانِ أَخَذَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ فِي ٱلْخُطْبَةِ، وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ يُرَكِّعُ رَكْعَتَيْنِ ٱلْبَتَّةَ، وَلَمْ يَكُنِ ٱلْأَذَانُ إِلَّا وَاحِدًا، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلْجُمُعَةَ كَٱلْعِيدِ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا، وَهَذَا أَصَحُّ قَوْلَيِ ٱلْعُلَمَاءِ، وَعَلَيْهِ تَدُلُّ ٱلسُّنَّةُ، فَإِنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ، فَإِذَا رَقِيَ ٱلْمِنْبَرَ أَخَذَ بِلاَلٌ فِي أَذَانِ ٱلْجُمُعَةِ، فَإِذَا أَكْمَلَهُ أَخَذَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ فِي ٱلْخُطْبَةِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ، وَهَذَا كَانَ رَأْيَ عَيْنٍ، فَمَتَىٰ كَانُوا يُصَلُّونَ ٱلسُّنَّةَ؟

“Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum’at, Nabi langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. (Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat ‘ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qobliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits.

Nabi dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu).

Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”

Jadi ketika kita masuk masjid, jika kita bukan imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul masjid dan boleh menambah shalat sunnah dua raka’at tanpa dibatasi. Shalat sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam naik mimbar. Dan shalat sunnah yang dimaksud bukanlah shalat sunnah qobliyah Jum’at, namun shalat sunnah mutlak.

BANTAHAN terhadap ADANYA TAMBAHAN KATA " sebelum engkau datang " DALAM HADITS SULAIK.

Adapun Hadits kisah Sulaik Al-Ghothofaaniy yang diriwayatkan Ibnu Maajah dan Abu Ya'la dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Jabir radhiyallahu ‘anhu yang terdapat tambahan Sabda Nabi :

" أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "

“Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau datang ?”

Daud bin Rusyaid dalam periwayatan dari Hafsh bin Ghiyats di sini diselelisihi oleh:

1. Muhammad bin Mahbuub (tsiqah) dan Ismaa’iil bin Ibraahiim (tsiqah lagi ma’muun); sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1116 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 3/276.

2. Ibnu Numair (tsiqah, haafidh, lagi faadlil); sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2276.

3. Ibnu Abi Syaibah (tsiqah lagi haafidh, dan mempunyai banyak tulisan) dalam Al-Mushannaf 2/110 (4/69) no. 5204 & 2/116 (4/85) 5252.

4. Umar bin Hafsh bin Ghiyaats adalah Tsiqoh, seperti yang di riwayatkan oleh al-Bukhori

dalam Al-Qiraa’ah no. 157 dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/365 no. 2153.

Semuanya itu meriwayatkan tanpa tambahan lafadh "sebelum engkau datang". Lafadh hadits yang mereka bawakan adalah sebagai berikut:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ يَتَجَوَّزُ فِيهِمَا

“Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rosulullah sedang berkhuthbah, lalu ia (Sulaik) langsung duduk.

Maka Rasulullah bersabda:

“Wahai Sulaik, berdiri, lalu shalatlah dua raka’at yang ringan dan cepatkanlah”.

Kemudian beliau melanjutkan: “Apabila salah seorang diantara kalian datang (ke masjid) dan imam sedang berkhuthbah, hendaklah ia shalat dua raka’at yang ringan dan mempercepatnya”

[Ini adalah lafadh Bukhori dalam Al-Qiraa’ah no. 157 dari jalan ‘Umar bin Hafsh, dari ayahnya].

Riwayat jumhur para sahabat Hafsh bin Ghiyaats tersebut – terutama yang dibawakan oleh ‘Umar bin Hafsh – menjelaskan bahwa konteks perintah shalat dua raka’at saat masuk masjid ketika imam sedang berkhuthbah adalah shalat sunnah tahiyyatul-masjid, bukan shalat qabliyyah Jum’at.. Sama seperti riwayat Bukhori dan Muslim yang disebutkan di atas.

Dikuatkan lagi bahwa dalam jalan yang lain, Daud bin Rusyaid sendiri membawakan riwayat tanpa lafadh ‘sebelum engkau datang’.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Qathii’iy dan Daud bin Rusyaid, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah (ح), dan dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, mereka berdua berkata:

"جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: "صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا"

Sulaik Al-Ghothofaaniy datang sementara Nabi sedang berkhuthbah. Maka Nabi bersabda kepadanya: “Shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/192 no. 6698].

Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy dalam periwayatan dari Daud bin Rusyaid mempunyai mutaba’ah dari Ahmad bin ‘Aliy bin Al-Mutsannaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 6/246 2500.

Sanadnya shahih hingga Hafsh bin Ghiyaats. Namun Abu Ma’mar Al-Qathii’iy dalam jalan riwayat yang lain membawakan dengan lafadh ‘sebelum engkau datang’:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Haaruun bin Sulaimaan: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Qathii’iy: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah; dan Abu Suyaan, dari Jaabir, ia berkata:

"جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ: " صَلَّيْتَ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ قَالَ: لا، قَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "

" Sulaik Al-Ghothofaaniy datang sementara Nabi sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Maka Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau shalat sebelum datang ?”. Ia menjawab: “Belum”. Beliau bersabda: “Shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah”

[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 3661].

Sayangnya, sanad Abu Nu’aim ini lemah karena Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab, seorang yang majhuul al-haal, sehingga tambahan lafadh ‘sebelum engkau datang’ dalam poros sanad Abu Ma’mar Al-Qathii’iy di sini tidak sah karena menyelisihi riwayat yang dibawakan Ath-Thabaraaniy yang sanadnya jauh lebih shahih.

Hafsh bin Ghiyaats dalam periwayatan dari Al-A’masy mempunyai mutaba’ah dari:

1.‘Iisaa bin Yuunus ; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 875 (59), Ibnu Khuzaimah 3/167 no. 1835, Ibnu Hibbaan 6/247-248 no. 2502, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/194 (275) no. 5692

2. Abu Mu’aawiyyah Muhammad bin Khaazim; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 3/116, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/365 no. 2152, Ad-Daaraquthniy 2/325 no. 1611, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/194 (275) no. 5692.

3. Sufyaan Ats-Tsauriy dan Ma’mar ; sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5514, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1841, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/192 no. 6697.

[Note: Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaad wal-Matsaaniy no. 1279 dan Ad-Daaraquthniy 2/325-326 no. 1612 meriwayatkan jalan ‘Abdurrazzaaq, dari Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, dari Sulaik]

4. Syariik bin ‘Abdillah ; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2186

5. Daud Ath-Thaaiy ; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 6/247 no. 2501

6. Zaaidah bin Qudaamah ; sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid 2/138-139 no. 1022.

Semuanya itu membawakan riwayat dari Al-A’masy tanpa lafadh ‘sebelum engkau datang’.

Lafadh yang dibawakan Muslim adalah:

"جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ " يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "، ثُمَّ قَالَ: " إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "

Sulaik Al-Ghothofaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rasulullah sedang berkhuthbah, lalu ia (Sulaik) langsung duduk. Maka Nabi bersabda kepadanya:

“Wahai Sulaik, berdiri, lalu shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah”.

Kemudian beliau melanjutkan: “Apabila salah seorang diantara kalian datang pada hari Jum’at dan imam sedang berkhuthbah, hendaklah ia shalat dua raka’at dan cepatkanlah” [Shahiih Muslim no. 875 (59)].

Konteks lafadh lafadh ini sama seperti lafadh jama’ah, yaitu perintah untuk tetap shalat dua raka’at ringan sebelum duduk meskipun imam telah berdiri berkhuthbah, yaitu shalat tahiyyatul-masjid, sebagaimana dipahami para ulama.

Tentu saja, riwayat Muslim – apalagi ia dikuatkan dengan banyak jalan – mesti didahulukan daripada selainnya, sehingga lafadh ‘sebelum engkau datang’ adalah syaadz yang boleh jadi merupakan tashhiif sebagaimana ditegaskan oleh Al-Hafidz Al-Mizziy rahimahullah, yang dilakukan oleh Daud bin Rusyaid atau perawi setelahnya.

Yang pasti, lafadh tersebut tidak mahfuudh, karena perintah Nabi untuk melakukan shalat tahiyyatul-masjid tersebut berlaku bagi mereka yang datang ke masjid meskipun imam telah berkhuthbah, dan tidak digugurkan dengan shalat sunnah dua raka’at yang dilakukan di rumah (sebelum berangkat ke masjid).

Riwayat Daud Ath-Thaaiy dari Al-A’masy yang dibawakan Ibnu Hibbaan terdapat qariinah yang menguatkan perkataan Al-Mizziy, yaitu seharusnya lafadnya adalah ‘sebelum engkau duduk’.

Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Umair bin Jaushaa di Damaskus: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Ash-Shuufiy: Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur: Telah menceritakan kepada kami Daud Ath-Thaaiy, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, ia berkata:

دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ، وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ " صَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ "

“Seorang laki-laki (yaitu Sulaik A;-Ghthafaaniy) datang ke masjid sementara Nabi sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Maka beliau bersabda kepadanya: “Shalatlah dua raka’at yang ringan sebelum engkau duduk” [HR. Ibnu Hibbaan 6/247 no. 2501].

Sanadnya shahih sampai Al-A’masy.

*****

MUNAQOSYAH DALIL
DARI PIHAK YANG MEMBID'AHKAN QOBLIYAH JUM'AT
SERTA
BANTAHAN TERHADAP YANG MENSUNNAHKAN-NYA

=====

PERTAMA: SYEIKH AL-ALBAANI رحمه الله تعالى:

Dan Syeikh Al-Albaani dalam "Silisilah al-Aḥādīth al-aḥīḥah" 109/118 berkata:

“Sebagian ulama muta'akhirin menggunakannya sebagai dalil disyari'atkannya shalat sunnat qabliyah Jumat.

Pemakaian daliil ini tidak benar. Sebab pada masa Nabi hanya ada satu adzan dan iqamat. Di antara keduanya hanya terdapat khutbah.

Hal itu telah saya jelaskan di dalam kitab "الِأَجْوِبَةِ ٱلنَّافِعَةِ".

Oleh karena itu, Al-Bushairi di dalam Az-Zuwa’id menyatakan: Itulah dalil terbaik yang diduga untuk qabliyah Jumat, (Q.I/72) tepatnya: "Hal ini sulit digambarkan bagi shalat Nabi. Sebab di antara adzan dan iqamat hanya terdapat khutbah.

Dengan demikian. tidak ada shalat antara keduanya."

Semua hadis yang menjelaskan qabliyah Jum'ah tidak ada yang shahih. Bahkan ada yang sangat dha'if, seperti dijelaskan oleh Az-Zaila'i di dalam Nashbur-Rayah (2/206-207). Ibnu Hajar di dalam Al-Futh (2/341) dan yang lain. Di dalam Silsilatul-Ahadilsidh-Dha'ifah saya telah men¬jelaskan sebagian yang dibahas dalam Al-Ajwibah.

Yang benar adalah bahwa hadis itu menunjukkan disyari'atkannya shalat sunnah sebelum shalat fardhu. Dalam hal ini Nabi mempraktikkan bahkan memerintahkan untuk melakukannya”. (Selesai kutipan dari syeikh al-Abaani).

****

KEDUA: ABU SYAAMAH رحمه الله تعالى (w. 665):

Abu Syaamah dalam "ٱلْبَاعِثُ عَلَىٰ إِنْكَارِ ٱلْبِدَعِ وَٱلْحَوَادِثِ" hal. 92 cet النهضة الحديثة berkata:

فَصْلٌ: وَجَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ بَيْنَ الْأَذَانَيْنِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مُتَنَفِّلِينَ بِرَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعٍ وَنَحْوِ ذَٰلِكَ، إِلَىٰ خُرُوجِ الْإِمَامِ وَذَٰلِكَ جَائِزٌ وَمُبَاحٌ وَلَيْسَ بِمُنْكَرٍ مِنْ جِهَةِ كَوْنِهِ صَلَاةً، وَإِنَّمَا الْمُنْكَرُ اعْتِقَادُ الْعَامَّةِ مِنْهُمْ، وَمُعْظَمُ الْمُتَفَقِّهِةِ مِنْهُمْ: أَنَّ ذَٰلِكَ سُنَّةٌ لِلْجُمُعَةِ قَبْلَهَا كَمَا يُصَلُّونَ السُّنَّةَ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَيُصَرِّحُونَ فِي نِيَّتِهِمْ بِأَنَّهَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ، وَيَقُولُ مَنْ هُوَ عِندَ نَفْسِهِ، مُعْتَمِدًا عَلَىٰ قَوْلِهِ: إِنْ قُلْنَا: الْجُمُعَةُ ظُهْرٌ مَقْصُورَةٌ، فَلَهَا كَالظُّهْرِ، وَإِلَّا فَلَا. 

وَكُلُّ ذَٰلِكَ بِمَعْزِلٍ عَنْ التَّحْقِيقِ، وَالْجُمُعَةُ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا، كَالْعِشَاءِ وَالْمَغْرِبِ، وَكَذَا الْعَصْرُ عَلَىٰ قَوْلٍ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِندَ بَعْضِهِمْ، وَهِيَ صَلَاةٌ مُسْتَقِلَّةٌ بِنَفْسِهَا... 

وَالدَّلِيلُ عَلَىٰ أَنَّهُ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا: أَنَّ الْمُرَادَ مِنْ قَوْلِنَا: الصَّلَاةُ ٱلْمُسَنَّوَةُ أَنَّهَا مَنْقُولَةٌ عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ، قَوْلًا وَفِعْلًا، وَالصَّلَاةُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ لَمْ يَأْتِ مِنْهَا شَيْءٌ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّهَا سُنَّةٌ، وَلَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ فِي شَرْعِيَّةِ الصَّلَوَاتِ.

" PASAL: Telah menjadi kebiasaan orang-orang bahwa mereka shalat di antara dua adzan pada hari Jumat, sholat sunnah dua roka'at atau empat rakaat, dan seterusnya, sampai imam keluar, dan itu boleh dan mubah dan bukanlah suatu kemungkaran dalam hal sholatnya.

Adapun hal yang kemungkarannya adalah keyakinan orang-orang awam di antara mereka, dan sebagian besar para fuqohaa di antara mereka, bahwa itu adalah shalat sunnah qobliyah Jumat, sebagaimana mereka salat sunnah qobliyah dzuhur, dan mereka menyatakan dalam niat mereka bahwa itu adalah shalat sunnah jum'at. Dan dia mengatakannya dari dirinya sendiri [tanpa dalil], dengan bersandar pada perkataannya: " Jika kita mengatakan: Jum'at adalah sholat Dzuhur yang di qoshor, maka Jum'at itu seperti dzhuhur, jika tidak maka tidak.

Semua ini terlepas keluar dari penelitian/tahqiq, yang benar Jumat itu tidak memiliki sunnah qobliyah, seperti Isya dan Maghrib, serta shalat Ashar menurut pendapat yang Shahih dari sebagian mereka. Dan itu adalah shalat yang berdiri sendiri.

Dalil bahwa tidak ada sunnah qobliyah Jum’at adalah bahwa yang dimaksud dari perkataan kami: “shalat sunnah “adalah yang datang dari Rasulullah , baik dari perkataannya maupun perbuatannya. Dan shalat Qobliyaht Jumat tidak ada satupun hadits yang datang dari Nabi yang menunjukkan bahwa itu adalah Sunnah".

Abdurrahman bin Qoosim dalam kitabnya "Al-Ikām Shar Uṣūl al-Akām" 1/460 berkata:

قَالَ أَبُو شَامَةَ: وَمَا وَقَعَ مِنْ بَعْضِ ٱلصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ فَمِنْ بَابِ ٱلتَّطَوُّعِ، وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا يُبَكِّرُونَ وَيُصَلُّونَ حَتَّىٰ يَخْرُجَ ٱلْإِمَامُ، وَذَٰلِكَ جَائِزٌ وَلَيْسَ بِمُنْكَرٍ، وَإِنَّمَا ٱلْمُنْكَرُ ٱعْتِقَادُ ٱلْعَامَّةِ مِنْهُمْ، وَبَعْضُ ٱلْمُتَفَقِّهِةِ أَنَّ ذَٰلِكَ سُنَّةٌ لِلْجُمُعَةِ قَبْلَهَا، كَمَا يُصَلُّونَ السُّنَّةَ قَبْلَ ٱلظُّهْرِ، وَكُلُّ ذَٰلِكَ بِمَعْزِلٍ عَنْ ٱلتَّحْقِيقِ، وَٱلْجُمُعَةُ لَا سُنَّةَ لَهَا قَبْلَهَا كَالْمَغْرِبِ وَٱلْعِشَاءِ. 

قَالَ ٱلشَّيْخُ: وَٱلْأَوْلَىٰ لِمَنْ جَاءَ إِلَىٰ ٱلْجُمُعَةِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالصَّلَاةِ حَتَّىٰ يَخْرُجَ ٱلْإِمَامُ، وَلِمَا فِي ٱلصَّحِيحِ: ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ـ وَقَالَ: بَلْ أَلْفَاظُهُ ﷺ فِيهَا ٱلتَّرْغِيبُ فِي ٱلصَّلَاةِ إِذَا قَدِمَ ٱلرَّجُلُ ٱلْمَسْجِدَ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ مِنْ غَيْرِ تَوْقِيتٍ، وَهُوَ ٱلْمَأْثُورُ عَنْ ٱلصَّحَابَةِ، وَكَانُوا إِذَا أَتَوْا ٱلْمَسْجِدَ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ يُصَلُّونَ مِنْ حِينِ يَدْخُلُونَ مَا تَيَسَّرَ، فَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي عَشَرَ رَكَعَاتٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي أَقَلَّ مِنْ ذَٰلِكَ، وَلِذَا كَانَ جَمَاهِيرُ ٱلْأَئِمَّةِ مُتَّفِقِينَ عَلَىٰ أَنَّهُ لَيْسَ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ سُنَّةٌ مُؤَقَّتَةٌ بِوَقْتٍ، مُقَدَّرَةٌ بِعَدَدٍ، قَالَ: وَٱلصَّلَاةُ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ حَسَنَةٌ، وَلَيْسَتْ بِسُنَّةٍ رَاتِبَةٍ، وَإِنْ فَعَلَ أَوْ تَرَكَ لَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ، وَهَذَآ أَعْدَلُ ٱلْأَقْوَالِ. وَحِينَئِذٍ فَقَدْ يَكُونُ ٱلتَّرْكُ أَفْضَلَ إِذَا ٱعْتَقَدَ ٱلْجُهَّالُ أَنَّهَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ. وَٱخْتَارَ أَنَّهُ لَا تَكْرَهُ ٱلصَّلَاةُ فِي وَقْتِ ٱلْزُّوَالِ لِأَنَّ مَنْ أَتَىٰ ٱلْجُمُعَةِ يُسْتَحَبُّ لَهُۥٓ أَنْ يُصَلِّيٓ إِلَىٰ أَنْ يَخْرُجَ ٱلْإِمَامُ. اِنْتَهَىٰ.

Abu Syaamah berkata:

Apa yang terjadi pada sebagian sahabat bahwa mereka shalat sebelum shalat Jum'at, itu adalah sunnah, dan karena mereka biasa datang lebih awal dan mereka shalat sampai imam keluar.

Dan hal itu boleh dan tidak diingkari, adapun yang diingkari adalah keyakinan orang-orang awam di antara mereka, dan sebagian para ahli fqih bahwa ini adalah shalat sunnah qobliyah Jumat, sebagaimana mereka shalat sunnah qobliyah dzuhur.

Syekh berkata: Lebih baik bagi orang yang datang ke shalat Jumat untuk menyibukkan diri dengan shalat sampai imam keluar. Dan berdasarkan hadits Shahih: “Kemudian dia sholat sesuai yang tertulis untuknya”.

Dan dia berkata: Bahkan, sabda-sabdanya , mengandung dorongan untuk sholat jika seseorang datang ke masjid pada hari Jumat tanpa batasan waktu, dan ini adalah apa yang diriwayatkan dari para sahabat. Ketika mereka datang ke masjid pada hari Jumat, mereka akan sholat sebanyak yang mereka mampu, dan sebagian dari mereka ada yang sholat sepuluh rakaat, dansebagian lagi ada yang sholat kurang dari itu.

Itulah sebabnya Jumhur/mayoritas para imam sepakat bahwa tidak ada sunnah yang ditentukan dengan waktu tertentu dan dengan bilangan rokaatnya sebelum shalat Jumat.

Dia berkata: Sholat sebelum sholat Jum'at adalah baik, dan itu bukan sunnah rowaatib.

Dan jika dia melakukannya atau meninggalkannya, maka dia tidak usah di cela atau diingkari, dan ini adalah ucapan yang paling adil dan bijak.

Dengan demikian, mungkin meninggalkannya itu lebih, jika orang-orang bodoh meyakininya bahwa itu adalah sunnah rowatib. Dan dia memilih bahwa tidak makruh untuk sholat pada waktu zawaal ; karena siapa saja yang datang ke sholat Jum’at ; mustahab baginya untuik shalat hingga imam keluar “.

[Di kutip dari kitab "Al-Ikām Shar Uṣūl al-Akām" 1/460 karya Abdurrahman bin Qoosim ].

*****

MUNAQOSYAH DALIL
DARI PIHAK YANG MENSUNNAHKAN QOBLIYAH JUM'AT
&
JAWABAN TERHADAP BANTAHAN YANG MEMBID'AHKANNYA

=====

PERTAMA: DR. SYAUQI 'ALLAAM:

Dr. Shawqi ‘Allaam, Mufti Jumhuriyah Mesir berkata:

فَسُنَّةُ ٱلْجُمُعَةِ ٱلْقَبْلِيَّةُ مَشْرُوعَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ بِٱلْأَحَادِيثِ ٱلنَّبَوِيَّةِ ٱلصَّحِيهَةِ، وَلَا وَجْهَ لِلْقَوْلِ بِكَرَاهَتِهَا فَضْلًا عَنْ بِدْعِيَّتِهَا أَوْ تَحْرِيمِهَا؛ سَوَاءً قُلْنَا: إِنَّ لِلْجُمُعَةِ سُنَّةً رَاتِبَةٌ قَبْلِيَّةً؛ كَمَا هُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ ٱلْعُلَمَاءِ، أَوْ قُلْنَا: لَا رَاتِبَةَ لَهَا بِخُصُوصِهَا؛ كَمَا يَقُولُ ٱلْمَالِكِيَّةُ وَٱلْحَنَابِلَةُ فِي رَأْيٍ، فَهِيَ نَافِلَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ مُتَّفَقٌ عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّتِهَا بَيْنَ عُلَمَاءِ ٱلْأُمَّةِ سَلَفًا وَخَلَفًا، وَقَدْ وَرَدَ فِعْلُهَا عَنْ ٱلنَّبِيِّ ﷺ وَجَمَاعَةٍ مِنَ ٱلصَّحَابَةِ ٱلْكِرَامِ وَٱلسَّلَفِ ٱلصَّٰلِحِ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ، وَاتَّفَقَ عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّتِهَا وَٱسْتِحْبَابِهَا أَهْلُ ٱلْمَذَاهِبِ ٱلْمُعْتَمَدَةِ، وَٱلْقَوْلُ بِبِدْعِيَّتِهَا هُوَ ٱلْبِدْعَةُ ٱلْمُنْكَرَةُ.

Sunnah Qobliyah Jum'at adalah disyari’atkan dan mustahabbah berdasarkan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih, dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa itu dimakruhkan, apalagi dikatakan bid'ah atau mengharamkannya, baik kita mengatakan bahwa: Jumat memiliki sholat sunnah qobliyah rawaatib – seperti yang dikatakan oleh mayoritas para ulama - atau kami berkata: Tidak ada sunnah qobliyah rawaatib yang khushush untuknya - seperti yang dikatakan madzhab Maliki dan madzhab Hanbali dalam salah satu pendapat, maka itu adalah sholat sunnah mustahabbah, dan disyari’atakannya itu telah disepakati oleh para para ulama, salaf dan kholaf.

Dan telah ada riwayat bahwa itu telah dilakukan oleh Nabi dan jemaah para sahabat yang mulia dan para salafush-shoolih, semoga Allah meridhoi mereka.

Para ulama madzhab-madzhab yang mu’tmad telah sepakat akan disyaritkannya dan mustahabnya. Dan perkataan bahwa itu adalah bid'ah, maka perkataan tsb adalah bid'ah yang munkaroh “.

Refferensi:

https://www.amrkhaled.net. Artikel yang berjudul.

[هَلْ سُنَّةُ ٱلْجُمُعَةِ ٱلْقَبْلِيَّةُ "بِدْعَةٌ"؟ (ٱلْمُفْتِي يَحْسِمُ ٱلْجَدَلَ) - عَمْرُو خَالِد]

****

KEDUA: AL-HAAFIDZ IBNU ROJAB, DARI MADZHAB HANBALI:

Al-Hafidz Ibnu Rajab – rahimahullah- (wafat 795 H) seorang Ahli Hadits dan ahli Fiqih dari madzhab Hanbali. Beliau berkata tentang Qobliyah Jum’at dalam kitabnya "فَتْحُ البَارِي" (8/331):

وَقَدْ رَوَى ٱبْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ فِي "تَارِيخِهِ" مِنْ طَرِيقِ ٱلْأَعْمَشِ، عَنِ ٱلنَّخَعِيِّ، قَالَ: مَا قُلْتُ لَكُمْ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ، فَهُوَ ٱلَّذِي أَجْمَعُوا عَلَيْهِ. 

وَمِمَّنْ ذَهَبَ إِلَى ٱسْتِحْبَابِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ: حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ، وَٱلنَّخَعِيُّ، وَٱلثَّوْرِيُّ، وَٱبْنُ ٱلْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ. 

وَرَوَى حَرْبٌ بِإِسْنَادِهِ، عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ فِي بَيْتِهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يَأْتِي ٱلْمَسْجِدَ فَلَا يُصَلِّي قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا. 

وَهَذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ سُنَّةَ ٱلْجُمُعَةِ عِنْدَ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَبْلَهَا لَا بَعْدَهَا.

Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dalam “Taarikh”nya melalui Al-A'mash, dari Al-Nakho'ii, dia berkata:

Apa yang saya katakan: mereka menganggap mustahabb [empat rokaat sebelum sholat Jum'at], oleh karena itu mereka telah ber IJMA' [sepakat dengan suara bulat bahwa qobliyah Jum’at itu disunnahkan].

Di antara mereka yang bermadzhab bahwa empat rakaat sebelum shalat Jumat itu mustahab adalah: Habib bin Abi Tsabit (w. 119 H), Al-Nakho'ii (w. 96 H) , Ats-Tsawri (w. 161 H), Ibnu Al-Mubarak (w. 181 H), Imam Ahmad (w. 241 H) dan Ishaq bin Rahawiah (w. 238 H).

Harb telah meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ibnu Abbas, bahwa dia biasa sholat Jumat empat rakaat di rumahnya, kemudian dia pergi ke masjid dan dia tidak sholat sebelum atau sesudah sholat Jum'at di masjid. [Fathul Baari karya Ibnu Rojab 8/331 ]

Dan Ibnu Rojab berkata:

" بَعْدَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ، وَقَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ، فَهَذَا ٱلْوَقْتُ يُسْتَحَبُّ ٱلصَّلَاةُ فِيهِ بِغَيْرِ خِلَافٍ نَعْلَمُهُ بَيْنَ ٱلْعُلَمَاءِ سَلَفًا وَخَلَفًا، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ: إِنَّهُ يُكْرَهُ ٱلصَّلَاةُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ، بَلِ ٱلْقَوْلُ بِذَلِكَ خَرْقٌ لِإِجْمَاعِ ٱلْمُسْلِمِينَ، إِنَّمَا ٱخْتَلَفُوا فِي وَقْتِ قِيَامِ ٱلشَّمْسِ.

[Sholat sunnah Jumat] Setelah matahari lingsir condong ke barat, dan sebelum imam keluar, maka itu adalah waktu yang mustahab untuk shalat di dalamnya tanpa ada perbedaan pendapat yang kita ketahui di antara para ulama sebelum dan sesudahnya, dan tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mengatakan: Sesungguhnya dimakruhkan sholat di hari Jum'at, melainkan jika ada perkataan seperti itu maka itu telah mendobrak IJMA' kaum Muslim, adapun yang mereka berbeda pendapat itu adalah tentang sholat pada waktu matahari berada tegak diatas kepala. [Fathul Baari karya Ibnu Rojab 8/331 ]

Lalu Ibnu Rojab berkata:

وَقَدْ زَعَمَ بَعْضُهُمْ: أَنَّ حَدِيثَ ٱبْنِ عُمَرَ ٱلْمُخْرَجَ فِي هَذَا ٱلْبَابِ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُ ذَكَرَ صَلَاتَهُ بَعْدَ ٱلْجُمُعَةِ، وَذَكَرَ صَلَاتَهُ قَبْلَ ٱلظُّهْرِ وَبَعْدَهَا، فَدَلَّ عَلَىٰ ٱلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا. 

وَهَذَا لَيْسَ بِشَيْءٍ؛ فَإِنَّ ٱبْنَ عُمَرَ قَدْ رُوِيَ عَنْهُ مَا يَدُلُّ عَلَىٰ صَلَاةِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ، كَمَا سَبَقَ، وَلَعَلَّهُ إِنَّمَا ذَكَرَ ٱلرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ ٱلْجُمُعَةِ؛ لِأَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّيهِمَا فِي بَيْتِهِ، بِخِلَافِ ٱلرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ ٱلظُّهْرِ وَبَعْدَهَا؛ فَإِنَّهُ كَانَ أَحْيَانًا يُصَلِّيهَا فِي ٱلْمَسْجِدِ، فَبِهَذَا يَظْهَرُ ٱلْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.

Sebagian dari mereka mengklaim: bahwa hadits Ibnu Omar, yang disebutkan dalam BAB ini, menunjukkan bahwa Nabi sama sekali tidak shalat sebelum shalat Jumat ; Karena dia menyebutkan sholatnya setelah sholat Jum'at, dan dia menyebutkan sholatnya sebelum dan sesudah zuhur, yang menunjukkan perbedaan di antara keduanya.

Klaiman ini tidak ada apa-apa nya ; Ibnu Umar telah diriwayatkan darinya apa yang menunjukkan bahwa Nabi sholat sebelum shalat Jumat, seperti yang disebutkan di atas.

Mungkin Ibnu Umar hanya menyebut dua rakaat setelah shalat Jumat. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat di rumahnya, tidak seperti dua rakaat sebelum dan sesudah zuhur. Namun Kadang-kadang shalat qobliyah dzuhur di masjid, sehingga menunjukkan perbedaan di antara keduanya. (Fathul-Baari 8/333)

Lalu Ibnu Rojab berkata:

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا عَمِلَ عَمَلًا دَاوَمَ عَلَيْهِ، وَلَمْ يَكُنْ يَنْقُصُهُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ وَلَا غَيْرِهَا، بَلْ كَانَ ٱلنَّاسُ يَتَوَهَّمُونَ أَنَّهُ كَانَ يَزِيدُ فِي صَلَاتِهِ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ بِخُصُوصِهِ، فَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْأَلُ عَنْ ذَٰلِكَ، فَتَقُولُ: لَا، بَلْ كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً.

وَقَدْ صَحَّ عَنْهُ ﷺ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ ٱلظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا. 

وَفِي "صَحِيحِ ٱبْنِ حِبَّانَ"، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ إِذَا خَرَجَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ. 

وَرَوَيْنَاهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: مَا خَرَجَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ مِنْ عِنْدِي قَطُّ إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ. 

وَقَدْ كَانَ مِنْ هَدْيِ ٱلْمُسْلِمِينَ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ عِندَ خُرُوجِهِمْ مِنْ بُيُوتِهِمْ، مِنَ ٱلصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ، وَخُصُوصًا يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ، وَمِمَّنْ كَانَ يَفْعَلُهُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ ٱبْنُ عَبَّاسٍ، وَطَاوُوسٌ، وَأَبُو مِجْلَزٍ، وَرَغِبَ فِيهِ ٱلزُّهْرِيُّ. 

وَقَالَ ٱلْأَوْزَاعِيُّ: كَانَ ذَٰلِكَ مِنْ هَدْيِ ٱلْمُسْلِمِينَ. 

وَقَدْ سَبَقَ فِي "بَابِ: ٱلصَّلَاةِ إِذَا دَخَلَ ٱلْمَسْجِدَ وَٱلْإِمَامُ يَخْطُبُ" مَا يَدُلُّ عَلَىٰ ذَٰلِكَ - أَيْضًا. 

وَحِينَئِذٍ؛ فَلَا يُسْتَنْكَرُ أَنْ يَكُونَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ خُرُوجِهِ إِلَى ٱلْجُمُعَةِ.

Dan telah ada ketetapan bahwa Nabi jika dia melakukan suatu amalab ; maka dia akan selalu melakukannya, dan dia tidak akan menguranginya karena hari Jumat atau karena yang lainnya. Bahkan Sebaliknya, orang-orang akan mengira bahwa beliau lebih banyak sholat pada hari Jumat karena adanya kekhushusan di dalamnya. Oleh sebab itu Aisyah radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang hal itu, dan dia berkata:

لَا، بَلْ كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً.

"Tidak, melainkan dulu amalannya senantiasa berkesinambungan "..

Telah diriwayatkan secara shahih dari Beliau bahwa beliau biasa shalat dua atau empat rakaat sebelum sholat Dzuhur.

Dalam Shahih Ibnu Hibban, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Dulu Rasulullah terbiasa jika hendak keluar, maka dia sholat dua rakaat.

Dan kami meriwayatkannya dari sisi lain dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah sama sekali tidak pernah keluar dari rumah ku kecuali setelah shalat dua rakaat.

Dan Itu sudah menjadi kebiasaan umat Islam untuk shalat dua rakaat ketika mereka meninggalkan rumah, dari kalangan para sahabat dan orang-orang setelah mereka, terutama pada hari Jumat.

Di antara mereka yang melakukannya pada hari Jumat adalah Ibnu Abbas, Tawus dan Abu Mijlaz. Dan al-Zuhri menganjurkannya.

Al-Awza'i berkata: Ini dari hidayah kaum muslimin.

Telah disebutkan sebelumnya dalam “Bab: Sholat ketika dia memasuki masjid ketika imam sedang menyampaikan khotbah” dalil untuk itu - juga.

Dengan demikian ; maka itu tidak bisa diingkari bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat dua rakaat di rumahnya sebelum berangkat sholat Jum'at. (Fathul-Baari 8/334)

Lalu Ibnu Rojab berkata:

فَإِنْ قِيلَ: فَهُوَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى ٱلْجُمُعَةِ عَقِبَ ٱلزَّوَالِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ؛ بِدَلِيلِ مَا سَبَقَ مِنَ ٱلْأَحَادِيثِ مِنْ صَلَاتِهِ ٱلْجُمُعَةَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ. 

قِيلَ: هَذِهِ دَعْوَىٰ بَاطِلَةٌ، لَا بُرْهَانَ عَلَيْهَا، وَلَوْ كَانَتْ حَقًّا لَكَانَتْ خُطْبَتُهُ دَائِمًا أَوْ غَالِبًا قَبْلَ ٱلزَّوَالِ، إِذَا كَانَتْ صَلَاتُهُ عَقِبَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ، وَلَمْ يَقُلْ ذَٰلِكَ أَحَدٌ. 

وَأَيْضًا؛ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي ٱلظُّهْرَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ، كَمَا تَقَدَّمَ فِي "ٱلْمَوَاقِيتِ"، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إِنَّهُ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ لَا يُصَلِّي قَبْلَ ٱلظُّهْرِ شَيْئًا.

Jika ada yang protes: bahwa Beliau biasa keluar untuk Jum'at setelah matahari lingsir condong ke barat, tanpa ada jeda. berdasrkan dalil hadits di atas tentang shalat jum'atnya jika matahari tergelincir.

Dijawab: Ini adalah klaim yang baathil, dan tidak ada dalil untuk itu, dan jika itu benar, maka tentunya khotbahnya akan selalu atau sering sebelum waktu zawaal, jika salatnya setelah matahari lingsir tanpa ada jeda, dan tidak ada seorangpun yang mengatakan seperti itu.

Dan juga; Diriwayatkan bahwa beliau biasa shalat zuhur ketika matahari lingsir condong ke barat, seperti yang telah di bahas dalam "المواقيت", dan tidak ada seorang pun yang mengatakan: bahw itu menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah sholat apa pun sebelum dzuhur. [Fathul Baari 8/335 ].

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali menulis dua kitab independen tentang masalah ini di mana ia menetapkan disyariatkannya shalat qobliyah Jumat, yaitu:

Kitab ke 1: “نَفْيُ البِدْعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ” artinya: Menafikan/meniadakan anggapan bahwa sholat Qobliyah jumat itu bid’ah.

Kitab ke 2: “إِزَالَةُ الشَّنَعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ” artinya: menghilangkan serangan terhadap shalat Qobliyah Jum’at”.

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata:

[فَإِنْ قِيلَ: فَهُوَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى ٱلْجُمُعَةِ عَقِبَ ٱلزَّوَالِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ؛ بِدَلِيلِ مَا سَبَقَ مِنَ ٱلْأَحَادِيثِ مِنْ صَلَاتِهِ ٱلْجُمُعَةَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ. 

قِيلَ: هَذِهِ دَعْوَىٰ بَاطِلَةٌ، لَا بُرْهَانَ عَلَيْهَا، وَلَوْ كَانَتْ حَقًّا لَكَانَتْ خُطْبَتُهُ دَائِمًا أَوْ غَالِبًا قَبْلَ ٱلزَّوَالِ، إِذَا كَانَتْ صَلَاتُهُ عَقِبَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ، وَلَمْ يَقُلْ ذَٰلِكَ أَحَدٌ. 

وَأَيْضًا؛ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي ٱلظُّهْرَ إِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ، كَمَا تَقَدَّمَ فِي "ٱلْمَوَاقِيتِ"، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إِنَّهُ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ لَا يُصَلِّي قَبْلَ ٱلظُّهْرِ شَيْئًا. 

وَقَدْ كَتَبْتُ فِي هَذِهِ ٱلْمَسْأَلَةِ جُزْءًا مُفْرَدًا، سَمَّيْتُهُ: "نَفْيَ ٱلْبِدْعَةِ عَنِ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ"، ثُمَّ ٱعْتَرَضَ عَلَيْهِ بَعْضُ ٱلْفُقَهَاءِ ٱلْمُشَارِ إِلَيْهِ فِي زَمَانِنَا، فَأَجَبْتُ عَمَّا ٱعْتَرَضَ بِهِ فِي جُزْءٍ آخَرَ سَمَّيْتُهُ: "إِزَالَةَ ٱلشُّنْعَةِ عَنِ ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ"، فَمَنْ أَحَبَّ ٱلزِّيَادَةَ عَلَىٰ مَا ذَكَرْنَاهُ هَهُنَا فَلْيَقِفْ عَلَيْهِمَا إِنْ شَاءَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ] اهـ

[Jika ada yang mengkritisi dengan mengatakan:

Bahwa Beliau biasa keluar menuju sholat Jum’at setelah waktu zawaal (Dzuhur) tanpa ada pemisah, berdasarkan dalil hadits-hadits di atas tentang shalat Jum'at beliau ketika matahari telah tergelincir condong ke barat (masuk waktu Dzuhur).

Dijawab dengan mengatakan:

Ini adalah klaim yang bathil, dan tidak ada dalilnya, dan jika itu benar, maka tentunya khotbahnya akan selalu atau sering sebelum zawal (sebelum dzuhur). Jika sholatnya langsung setelah matahari tergelicir tanpa pemisah, maka tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian.

Dan juga; Diriwayatkan bahwa beliau biasa salat zuhur ketika matahari telah tergelincir condong ke barat, seperti dalam pembahasan yang lalu dalam "ٱلْمَوَاقِيتِ". Dan tidak ada seorang pun yang mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa Nabi sama sekali tidak pernah sholat apapun sebelum Dzuhur..

Saya menulis tentang masalah ini satu juz tersendiri, yang saya beri judul:

"نَفْيُ البِدْعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ "

"Meniadakan anggapan bid'ah tentang shalat Qobliyah Jumat."

Kemudian ada sebagian para ahli Fiqih di zaman kita sekarang yang menentangnya dan membantahnya.

Maka Saya telah menjawab apa yang dia bantah dalam satu juz tulisan yang lain, yang saya beri judul:

"إِزَالَةُ الشَّنَعَةِ عَنِ الصَّلاةِ قَبْلَ الجُمْعَةِ"

"Menghilangkan serangan keji dan buruk terhadap shalat Qobliyah Jum'at."

Maka siapa saja yang ingin tambahan informasi tentang apa yang telah kami sebutkan di sini, maka baginya bisa mendapatkannya pada keduanya, insya Allah. [“Fathul-Bari” (8/335)]

===***===

KESIMPULAN AKHIR

Dari hasil penelitian terhadap perbedaan pendapat ini beserta dalil-dalilnya, tampak bahwa keduanya saling berdekatan. Maka masimg-masing menganjurkan shalat sunnah sebelum imam duduk di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jumat, sesuai dengan sebuah hadits:

Dari Salman Al Faarisi berkata: "Nabi bersabda:

لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى

"Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum'at lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju Masjid, ia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya lalu dia shalat yang dianjurkan baginya dan diam mendengarkan khutbah Imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum'atnya itu dan Jum'at yang lainnya." (HR. Bukhori no. 834).

Tetapi shalat sunnah yang dilakukan sebelum shalat Jum'at ini, apakah shalat sunnah mutlak, yang tiada kaitannya dengan sholat Jum’at, seperti yang dikatakan Madzhab Maliki dan Hanbali, dan karena itu dilakukannya sebelum adzan kedua yang dikumandangkan ketika khotib sudah diatas mimbar ?

Ataukah ini merupakan sholat sunnah yang ada kaitannya dengan Jum'at yang dilakukan sebelum shalat Fardhu Jumat, meskipun imam sudah berada di atas mimbar, sebagaimana pendapat Madzhab Hanafi dan Syafi'i?

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam “فَتْحُ البَارِي” (8/333-334, Cetl. مَكْتَبَةُ الغُرَبَاءِ):

"بَعْدَ زَوَالِ ٱلشَّمْسِ وَقَبْلَ خُرُوجِ ٱلْإِمَامِ – يَعْنِي يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ –: هَذَا ٱلْوَقْتُ يُسْتَحَبُّ ٱلصَّلَاةُ فِيهِ بِغَيْرِ خِلَافٍ نَعْلَمُهُ بَيْنَ ٱلْعُلَمَاءِ سَلَفًا وَخَلَفًا، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ إِنَّهُ يُكْرَهُ ٱلصَّلَاةُ يَوْمَ ٱلْجُمُعَةِ، بَلِ ٱلْقَوْلُ بِذَلِكَ خَرْقٌ لِإِجْمَاعِ ٱلْمُسْلِمِينَ".

"Setelah matahari tergelincir condong kebarat dan sebelum imam keluar - yakni pada hari Jumat - Ini adalah waktu yang dimustahab-kan untuk shalat tanpa ada perbedaan pendapat yang kami ketahui di antara para ulama sebelum dan sesudahnya. Dan tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mengatakan bahwa sholat di hari Jumat itu makruh, bahkan perkataan makruh itu telah mendobrak Ijma’ umat Islam “

Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan banyak atsar dari para sahabat tentang mustahabnya shalat ini. Kemudian dia berkata:

[وَقَدِ ٱخْتُلِفَ فِي ٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ: هَلْ هِيَ مِنَ ٱلسُّنَنِ ٱلرَّوَاتِبِ كَسُنَّةِ ٱلظُّهْرِ قَبْلَهَا، أَمْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ مُرَغَّبٌ فِيهَا كَٱلصَّلَاةِ قَبْلَ ٱلْعَصْرِ؟ وَأَكْثَرُ ٱلْعُلَمَاءِ عَلَىٰ أَنَّهَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ، مِنْهُمْ: ٱلْأَوْزَاعِيُّ، وَٱلثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ ذَكَرَهُ ٱلْقَاضِي أَبُو يَعْلَىٰ فِي "شَرْحِ ٱلْمَذْهَبِ" وَٱبْنُ عَقِيلٍ، وَهُوَ ٱلصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِ ٱلشَّافِعِيِّ. وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا: لَيْسَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً، بَلْ مُسْتَحَبَّةٌ] اهـ.

[Telah terjadi berbeda pendapat tentang shalat sebelum Jum’at:

Apakah itu termasuk sunnah rawaatib, seperti sunnah qobliyah zuhur, ataukah itu adalah sholat mustahabbah yang dianjurkan seperti salat mustahabbah sebelum salat Ashar?

Mayoritas para ulama menganggapnya sebagai sunnah rawaatib, diantaranya: Al-Awza'i (w. 157 H), Al-Tsawri (w. 161 H), Abu Hanifah (w. 150), dan para sahabatnya, dan itu yang nampak dari pendapat Imam Ahmad, dan Al-Qadi Abu Ya'la menyebutkannya dalam " شَرْح الْمَذْهَبِ ", dan juga pendapat Ibnu Aqil, dan yang shahih menurut para sahabat Imam Al-Syafi'i.

Dan banyak dari sahabat kita dari kalangan Mutaakhirin berkata: Bahwa Ini bukan sunnah rawaatib, melainkan mustahabbah “. (Sls).

Madzhab Hanafi dan Syafi'i telah menyebutkan dalil-dalil mereka, di antaranya adalah hadits Sulaik al-Ghothofaani, yaitu kisah Sulaik masuk masjid di saat Nabi sedang berkhuthbah.

Adapun Madzhab Maliki dan Hanbali, maka dalil mereka adalah bahwa tidak ada nash atau hadits dalam hal ini menurut sudut pandang mereka, dengan catatan bahwa pada masa Nabi hanya ada satu Adzan untuk Jum’at, yaitu ketika Nabi duduk diatas mimbar.

Pada Zaman Nabi pengamatan waktu tidak seakurat di zaman kita. Dan ini nampak dari ketidak adanya kesepakatan sebelumnya tentang waktu Jumat ; karena sebagian para ulama berpandangan bahwa Nabi biasa mempercepatnya seolah-olah itu berada pada waktu sebelum Zawaal (sebelum condong kebarat) seperti pendapat madzhab Hanbali.

Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa beliau biasa mengakhirkannya sampai setelah Zawaal - seperti pendapat Madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi'i - dan Nabi terbiasa mengerjakan semua shalat sunnah di rumahnya.

Mungkin Beliau telah melaksanakan shalat sunnah qobliyah Jum'at di rumahnya, kemudian keluar dan naik mimbar, lalu muadzin mengumandangkan Adzan di hadapannya.

Maka Masalah ini menjadi fifty fifty alias berimbang yang memungkinkan pendapat yang rajih itu pada masing-masing madzhab.

Namun sikap dan pernyataan para Fuqoha dari Madzhab Maliki dan Hanbali yang menyatakan makruh atau melarangnya, itu tidak keras, melainkan luas dalam masalah ini. Sebagai Contohnya penulis buku “ٱلْجَوَاهِرُ ٱلزَّكِيَّةُ” oleh Sheikh Ahmad bin Turk Al-Maliki mengatakan:

"يُكْرَهُ لِلْجَالسِ أَنْ يَتَنَفَّلَ عِندَ ٱلْأَذَانِ ٱلْأَوَّلِ كَمَا يَفْعَلُهُ ٱلشَّافِعِيَّةُ وَٱلْحَنَفِيَّةُ خِيفَةَ ٱعْتِقَادِ وُجُوبِهِ."

“Makhruh bagi orang yang duduk untuk melakukan sholat Sunnah pada adzan pertama, seperti yang dilakukan oleh madzhab Syafi’i dan Hanafi karena khawatir meyakini bahwa itu wajib.” [ٱلْجَوَاهِرُ ٱلزَّكِيَّةُ (2/74)]

Artinya, alasan makruhnya itu karena takut campuraduk antara sunnah dan wajib, bukan karena dilarang.

Imam ash-Shofti (الصَّفْتِيّ) mengatakan dalam catatan kaki, mengomentari masalah ini:

"فَائِدَةٌ: إِذَا كَانَ شَخْصٌ مَالِكِيًّا بِحَضْرَةِ جَمَاعَةٍ شَافِعِيَّةٍ أَوْ حَنَفِيَّةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ عِندَ ٱلْأَذَانِ - أَيِ ٱلْأَوَّلِ - كَمَا قَرَّرَهُ بَعْضُ شُيُوخِنَا"

“Faidah: Jika seorang yang bermadzhab Maliki berada di hadapan jemaah madzhab Syafi'i atau Hanafi, maka tidak mengapa dia sholat sunnah pada saat adzan - yaitu, yang pertama - seperti yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan sebagian para syekh kami.” [ٱلْجَوَاهِرُ ٱلزَّكِيَّةُ (2/74)].

Dan Ibnu Qudamah mengatakan dalam “Al-Mughni”:

"فَأَمَّا ٱلصَّلَاةُ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ فَلَا أَعْلَمُ فِيهَا إِلَّا مَا رُوِيَ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَرْكَعُ قَبْلَ ٱلْجُمُعَةِ أَرْبَعًا" رَوَاهُ ٱبْنُ مَاجَهْ، وَرَوَىٰ عَمْرُو بْنُ سَعِيدِ بْنِ ٱلْعَاصِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنْتُٓ أُلْقِيٓ أَصْحَابَ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ فَإِذَا زَالَتِ ٱلشَّمْسُ قَامُوا فَصَلَّوْا أَرْبَعًا".

“Adapun shalat Qobliyah Jumat, saya tidak tahu apa-apa tentang itu kecuali apa yang diriwayatkan bahwa Nabi dulu pernah sholat empat rakaat sebelum shalat Jum'at”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dan Amr bin Saeed bin Al-Aas meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata:

Saya bertemu dengan para sahabat Rasulullah , maka ketika matahari tergelincir condong ke barat, mereka berdiri lalu shalat empat rakaat “. [ٱلْمُغْنِي (4/220)].

Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan sebagian dari apa yang digunakan para ulama madzhab Syafi'i sebagai dalil untuk Madzhab nya

Perkataan Ibnu Quddaamah diatas mengisyaratkan bahwa dirinya cenderung memilih pendapat yang mensunnahkannya.

Dulu pada masa awal-awal, masalah khilafiyah sunnah qobliyah ini tidak meruncing.

Ada yang mengatakan bahwa ulama yang memulai menentang keras sunnah qobliyah Jumat adalah Abu Syaamah (w. 665 H/1267 M) dan Ibnu Qoyyim al-Jauzi (w. 751 H). Wallahu a’lam. saya belum meneliti lebih jauh tentang kebenarannya dan kapan mulai nya.

Sementara Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) sendiri berkata:

"مَن فَعَلَ ذَٰلِكَ لَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ"

"Siapa pun yang melakukan itu (Qobliyah Jumat) ; maka tidak boleh di ingkari". [Di nukil oleh al-Mardawaih dalam “الإِنْصَاف” 2/406 ].

===****===

MESKI BERBEDA PENDAPAT, TETAPLAH BERSATU DAN JANGAN BERPECAH BELAH!

Dengan tulisan ini, penulis sangat berkeinginan agar umat Islam sadar betul bahwa perselisihan tentang masalah ini adalah perselisihan pada salah satu cabang-cabang fikih, di mana tidak layak bagi seorang pun dengan penuh kefanatikan terhadap pendapatnya lalu menentang keras pendapat orang lain dan melontarkan gelar-gelar yang bermakna cacian dan berdampak pada permusuhan. Padahal salah satu sebab diharamkannya minuman keras dan judi itu karena berdampak pada permusuhan dan kebencian.

Karena Syarat dalam mengingkari sesuatu itu adalah bahwa yang diingkarinya itu secara IJMA' dianggap sebagai kemungkaran, seperti halnya tidak layak bagi seseorang yang memiliki sebuah pendapat yang berbeda, lalu melontarkan julukan pada lawannya dengan julukan sebagai PELAKU MAKSIAT dan PELAKU BID'AH.

Mari kita ambil teladan dari apa yang telah dilakukan oleh para imam mujtahid dulu, yang diriwayatkan lebih dari satu orang bahwa sebagian dari mereka ada yang berkata:

رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ ٱلْخَطَأَ، وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ ٱلصَّوَابَ

Pendapat saya benar dan ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah dan ada kemungkinan benar.

Kami juga menginginkan agar para pendebat senantiasa memperhatikan qaidah-qaidah dasar perdebatan yang sudah makruf, yaitu diantaranya:

ٱلدَّلِيلُ إِذَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ ٱلْاِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ ٱلْاِسْتِدْلَالُ فَلَا يَتَمَسَّكُ بِٱلدَّلِيلِ لِإِثْبَاتِ ٱلْوُجُوبِ أَوِ ٱلْحُرْمَةِ إِذَا ٱحْتَمَلَ ٱلنَّدْبَ أَوِ ٱلْكَراهَةَ، وَٱلْاِحْتِمَالُ قَدْ يَكُونُ فِي ثُبُوتِ ٱلدَّلِيلِ وَقَدْ يَكُونُ فِي دَلَٰلَتِهِ. وَيَكْفِي ٱلْمُتَعَبِّدِ أَنْ يَصِلَ إِلَىٰ مَعْرِفَةِ ٱلْحُكْمِ وَلَوْ بِطَرِيقِ غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ، فَذَٰلِكَ وُسْعُهُ ٱلَّذِي لَا يُكَلِّفُهُ ٱللَّهُ إِلَّا بِهِ.

Sebuah Dalil jika padanya terdapat kemungkinan untuk dalil yang lain atau kebalikannya, maka gagal lah berdalil dengannya, maka dia tidak boleh berpegang pada dalil tsb untuk menetapkan hukum wajib atau haram jika ada kemungkinan untuk sunnah atau makruh. Dan kemungkinan itu terkadang dalam ketetapan dalil dan terkadang dalam signifikansinya (dalil yang diisyaaratkan darinya). Dan cukuplah bagi seorang yang mau beribadah untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum, meskipun dengan praduga yang rajih (غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ), karena yang demikian itu sesuai dengan batas kemampuannya, yang mana Allah tidak akan membebaninya kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Kita kembali ke pembahasan hukum shalat yang sebagian umat Islam sekarang shalat setelah adzan pertama untuk waktu shalat Jum'at dan sebelum adzan kedua di depan khatib.

Maka penulis katakan:

Perbedaan pendapat tentang di syariatkan shalat sunnah qobliyah Jum'at ; maka ini adalah masalah yang sudah lama dan bukan masalah baru, dan orang-orang yang membicarakan nya pada hari ini tidak lebih dari apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang terdahulu.

Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda :

" إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ".

“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].

Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid berkata :

لَا نَرَى أَنْ يَتَعَامَلَ ٱلْمُسْلِمُ مَعَ ٱلْمَسَائِلِ ٱلِاجْتِهَادِيَّةِ بَيْنَ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ بِمِثْلِ هَذِهِ ٱلْحَسَّاسِيَّةِ، فَيَجْعَلَ مِنْهَا سَبَبًا لِحُصُولِ ٱلْفُرْقَةِ وَٱلْفِتَنِ بَيْنَ ٱلْمُسْلِمِينَ.

Kami berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh sensitif dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah dengan menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam. [ ISALMQA : no. 9036 Publikasi : 09-10-2002].

Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) mengatakan, ketika melihat runcingnya perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang rakaat tarawih, dia berkata :

"وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي ٱلْأُمَّةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يُسَاغُ فِيهَا ٱلْخِلَافُ، فَتَجْعَلَ ٱلْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِٱخْتِلَافِ ٱلْقُلُوبِ، فَٱلْخِلَافُ فِي ٱلْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ ٱلصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَٰلِكَ بَقِيَتْ قُلُوبُهُمْ مُتَّفِقَةً.

فَٱلْوَاجِبُ عَلَى ٱلشَّبَابِ خَاصَّةً، وَعَلَى كُلِّ ٱلْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمُ ٱلدَّوَائِرَ."

 “Sangat menyedihkan bagi kami bahwa kami menemukan di antara umat Islam banyak kelompok yang berselisih tentang hal-hal di mana perbedaan pendapat dapat diterima, dan mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sarana untuk menyebabkan perpecahan.

Padahal perbedaan-perbedaan dalam ummat ini telah ada pada masa Sahabat, namun mereka tetap bersatu.

Para pemuda khususnya dan semua yang berkomitmen pada Islam harus tetap bersatu, karena diluar sana ada banyak musuh umat Islam yang terus memantau .” (Al-Sharh al-Mumti' 4/225)

Dan Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) juga berkata :

وَهُنَا نَقُولُ: لَا يَنبَغِي لَنَا أَنْ نَغْلُوَ أَوْ نُفَرِّطَ، فَبَعْضُ ٱلنَّاسِ يَغْلُو مِنْ حَيْثُ ٱلْتِزَامِ ٱلسُّنَّةِ فِي ٱلْعَدَدِ، فَيَقُولُ: لَا تَجُوزُ ٱلزِّيَادَةُ عَلَى ٱلْعَدَدِ ٱلَّذِي جَاءَتْ بِهِ ٱلسُّنَّةُ، وَيُنْكِرُ أَشَدَّ ٱلنَّكِيرِ عَلَىٰ مَنْ زَادَ عَلَىٰ ذَٰلِكَ، وَيَقُولُ: إِنَّهُ آثِمٌ عَاصٍ.

“Di sini kami mengatakan bahwa kami tidak boleh bertindak ekstrem atau berlebihan .

Ada sebagian orang yang terlalu ekstrim dalam berpegang teguh jumlah rakaat tarawih yang disebutkan dalam Sunnah, dan mengatakan bahwa tidak boleh melakukan lebih dari jumlah yang disebutkan dalam Sunnah, dan mereka secara agresif mencela mereka yang melakukan lebih dari itu, dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa dan maksiat".  [ (Al-Sharh al-Mumti' 4/73-75) ]

Dan Penulis katakan:

رَحِمَ ٱللَّهُ ٱلشُّيُوخَ ٱلَّذِينَ يَزِنُونَ كَلَامَهُمْ بِمِيزَانِ ٱلْفِقْهِ وَيُكْرِهُونَ تَفَرُّقَ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱخْتِلَافَهُمْ.

“Semoga Allah merahmati para syeikh yang menimbang kata-kata mereka dengan neraca fikih serta membenci terjadinya perpecahan diantara umat Islam dan perselisihan! “. Amiin

===****===

APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU YANG BENAR?

Asy-Syawkani berkata dalam kitabnya Irsyaad al-Fuhuul 2/231 :

"وَقَدِ ‌اخْتَلَفُوا ‌فِي ‌ذَلِكَ ‌اخْتِلَافًا ‌طَوِيلًا، ‌وَاخْتَلَفَ ‌النَّقْلُ ‌عَنْهُمْ ‌فِي ‌ذَلِكَ ‌اخْتِلَافًا ‌كَثِيرًا:

فَذَهَبَ جَمْعٌ جَمٌّ إِلَى أَنَّ كُلَّ قَوْلٍ مِنْ أَقْوَالِ الْمُجْتَهِدِينَ فِيهَا حَقٌّ، وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مُصِيبٌ، وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ، وَالرُّويَانِيُّ، عَنِ الْأَكْثَرِينَ.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَالْمُعْتَزِلَةِ.

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْحَقَّ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَلَمْ يَتَعَيَّنْ لَنَا، وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ مُتَعَيَّنٌ، لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَكُونَ الشَّيْءُ الْوَاحِدُ، فِي الزَّمَانِ الْوَاحِدِ، فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ حَلَالًا وَحَرَامًا، وَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يُخطِّئ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَيَعْتَرِضُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَلَوْ كَانَ اجْتِهَادُ كُلِّ مُجْتَهِدٍ حَقًّا، لَمْ يَكُنْ لِلتَّخْطِئَةِ وَجْهٌ".

Dan mereka berselisih dalam hal ini [ tentang apakah yang benar itu satu atau berbilang] untuk waktu yang lama, dan perbedaan kutipan riwayat dari mereka pun terdapat perbedaan yang banyak, sehingga ada sekelompok besar yang berpendapat bahwa setiap pendapat para mujtahid adalah benar, dan bahwa setiap hasil ijtihad dari mereka adalah dibenarkan . Al-Mawardi dan Al-Ruyani meriwayatkan nya dari mayoritas. Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan Mu'tazilah.

Sementara Abu Hanifah, Malik , Asy-Syafi'i dan kebanyakan para Ahli Fikih berpendapat bahwa yang Hak atau yang benar dari semua pendapat adalah hanya satu . Akan tetapi tidak bisa kita tentukan yang mana yang hak , itu hanya ada di sisi Allah ketentuannya.

Alasannya; karena tidak mungkin hal yang sama, pada saat yang sama, pada orang yang sama, terdapat dua hukum halal dan haram. Dan para sahabat – radhiyallahu 'anhum - sering menyalahkan salah satu sama lain, dan saling membantah , dan jika ijtihad setiap mujtahid itu benar, maka tidak akan saling menyalahkan".

Lalu Asy-Syawkani berkata (2/231) :

“Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam”.

Posting Komentar

0 Komentar