BENARKAH IMAM SYAFI'I
BERTABARRUK DI KUBURAN IMAM ABU HANIFAH ?
Di Tulis oleh Abu Haitsam
Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بِسْمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
RIWAYAT AL-KHOTHIB AL-BAGHDADI
Di dalam kitab تَارِيخُ بَغْدَادَ karya Al-Khothiib Al-Baghdaadi disebutkan dengan sanadnya :“Bahwa Imam Syafii senantiasa datang berziarah ke kuburan Imam Abu Hanifah dalam rangka untuk bertabarruk (ngalap berkah)”.
Berikut ini teks aslinya:
"وَبِالْجَانِبِ
الشَّرْقِيِّ مَقْبَرَةُ الخَيْزُرَانِ فِيهَا قَبْرُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ
يَسَارٍ صَاحِبِ السِّيرَةِ، وَقَبْرُ أَبِي حَنِيفَةَ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ إِمَامِ
أَصْحَابِ الرَّأْيِ".
أَخْبَرَنَا القَاضِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الحُسَيْنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ الصَّيْمَرِيُّ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عُمَرُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ المُقْرِئُ، قَالَ: نَبَّأَنَا مُكْرِمُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: نَبَّأَنَا
عُمَرُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: نَبَّأَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: "إِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيفَةَ،
وَأَجِيءُ إِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ - يَعْنِي زَائِرًا - فَإِذَا عَرَضَتْ
لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللَّهَ تَعَالَى
الحَاجَةَ عِنْدَهُ، فَمَا تَبْعُدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى".
Artinya : "Di
sebelah timur terdapat kuburan Al-Khaizuran, yang di dalamnya terdapat kuburan
Muhammad bin Ishaaq penulis as-Siiroh, dan kuburan Abu Hanifah Nu'man bin
Tsabit, Imamnya para ahli ro'yi ".
Al-Khathiib al-Baghdaadi
berkata :
Telah mengkabari kami Al-Qadli Abu Abdillah Al-Husain bin
Ali bin Muhammad Ash-Shaimari, dia berkata : telah memberi berita kepada
kami Umar bin Ibrahim Al-Muqri’, dia berkata : telah memberi berita
kepada kami Makrom bin Ahmad , dia berkata : telah memberi berita kepada
kami Umar bin Ishaq bin Ibrahim , dia berkata : telah memberi berita kepada
kami Ali bin Maimun berkata :
"Saya pernah mendengar Asy-Syafii berkata : Sungguh aku
benar-benar telah mengambil berkah ( tabarruk ) dengan Abu Hanifah. Aku telah datang
ke kuburannya setiap hari, yakni sebagai peziarah. Jika aku memiliki keinginan (hajat) aku shalat
dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan memohon kepada Allah di situ. Tak
lama kemudian biasanya hajatku dipenuhi". (تَارِيخُ بَغْدَادَ 1/123)
Syeikh Al-Kautsary berkata tentang para perawi sanadnya :
«وَرِجَالُ هَذَا السَّنَدِ كُلُّهُمْ
مُوَثَّقُونَ عِنْدَ الخَطِيبِ»
"Para perawi sanad ini semuanya adalah
orang-orang yang di tautsiq ( dipercaya ) oleh Al-Khothiib ". ( Lihat : التَّنْكِيلُ
بِمَا فِي الكَوْثَرِيِّ مِنَ الأَبَاطِيلِ 1/63 ) .
**BANTAHAN :**
Adapun tentang sanad riwayat Al-Khathiib
diatas , maka Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany rahimahullah menyatakan:
“Ini adalah riwayat yang
dho'if bahkan baathil.
Adapun kata-kata Al-Kautsary
: " Para perawi sanad ini semuanya adalah orang-orang yang di tautsiq (
dipercaya ) di sisi Al-Khothiib ".
Maka yang benar adalah
hanya beberapa perawi saja dalam sanad tersebut yang di tautsiq
( dipercaya ) oleh Al-Khothiib dalam Tarikh nya, yaitu Al-Qadli Abu Abdillah Al-Husain bin Ali
bin Muhammad Ash-Shaimar dan gurunya Umar bin Ibrahim bin Ahmad adalah
Al-Kattani Al-Muqri’ Al-Baghdadi .
Kemudian perawi yang bernama “Makrom
bin Ahmad”, dia ini memang di tautsiq
(dipercaya) pula oleh Al-Khothiib ketika menulis biografinya dan tidak
ditemukan orang lain yang menyalahinya , akan tetapi Al-Khothiib sendiri
(4/209) ketika membahas biografi “Ahmad bin Ash-Shult bin al-Mughollas
Al-Hammaani”, dia berkata :
" Telah bercerita padaku Abul Qosim Al-Azhary , dia
berkata : telah di tanya Abul Hasan Ali bin Umar Ad-Daruquthni - dan saya
mendengarkannya - tentang buku yang berisi kumpulan Fadloil Abu Hanifah yang di
himpun oleh Makrom bin Ahmad ?
Maka dia menjawab : PALSU, semuanya DUSTA, yang
memalsukannya adalah Ahmad bin Mughollas al-Hammaani … ".
Dan nampaknya hikayat tersebut
di ambil dari kitabnya « Manaqib Abu Hanifah » , sebuah kitab karya Makrom bin
Ahmad yang terkenal saat itu .
Al-Muhaddits Abdurrahman Al-Mu’allimi
Al-Yamani menjelaskan kemungkinan yang dzahir dari penjelasan Imam
Ad-Daraquthni bahwa yang mengarang kitab tersebut adalah Ahmad bin
Al-Mughallas, sedangkan muridnya (Mukarram bin Ahmad) mendapat ijazah kitab
tersebut darinya. ( Lihat : التَّنْكِيلُ بِمَا فِي الكَوْثَرِيِّ مِنَ الأَبَاطِيلِ1/63 ).
BAGAIMANA TINGKAT KEJUJURAN
AHMAD BIN AL-MUGHALLAS AL-HAMMANI ?
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata:
" Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Abil Fawaris bahwa Ahmad bin Ash-Shalt bin Al-Mughallas memalsu hadits ". ( Lihat : Al-Bidaayah wan Nihaayah: 11/151).
Adapun perawi yang bernama Umar
bin Ishaq bin Ibrahim , apakah dia ini termasuk yang di tautsiq oleh
Al-Khothobi seperti yang dikatakan Syeikh Al-Kautsary tadi ?
Yang benar sesuai dengan hasil
penelusuran Syeikh al-Albaany dalam kitab التَّنْكِيلُ 1/65 beliau
menyatakan bahwa Al-Khothiib tidak pernah mentautsiqnya .
Dan beliau menegaskan pula
dalam kitab سِلْسِلَةُ
الأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ 1/99 :
" Bahwa dia itu tidak
dikenal. Tidak ada penyebutan tentang dirinya sedikitpun dalam kitab-kitab
tentang para perawi. Bisa jadi yang dimaksud adalah ‘Amr ( dengan fathah pada
‘ain ) bin Ishaq bin Ibrohim bin Humaid bin as-Sakan , Abu Muhammad at-Tuunisi
.
Al-Khothiib (al-Baghdady)
menyebutkan biografinya dan menyatakan bahwa ia adalah Bukhory (berasal dari
Bukhoro) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan ibadah haji pada tahun 341
H.
Tetapi (Al-Khothiib) tidaklah
menyebutkan jarh (celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi
ini ia adalah majhuulul haal ( kondisinya tidak diketahui ).
(Akan tetapi) kemungkinan (
bahwa ia itu adalah ‘Amr ) ; maka itu jauh , karena tahun kematian syeikhnya
: Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak
kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga amat jauh adanya
kemungkinan bahwa keduanya pernah berjumpa ” . ( Lihat : سِلْسِلَةُ
الأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ 1/99 ).
Kemudian yang berikutnya , yaitu Ali bin Maimun
ar-Roqi perawi yang meriwayatkan langsung dari Imam Syafii, apakah
dia juga termasuk yang di tautsiq oleh Al-Khothiib ?
Dalam
kitab التَّنْكِيلُ 1/65 Syeikh Al-Albany menceritakan :
“Bahwa
hasil dari penelitian dan penelusuran pada kitab تَارِيخُ
بَغْدَادَ
karya Al-Khothiib tidak di ketemukan tanggapan apa-apa tentang dia , tidak ada
tautsiq dan tidak ada jarh . Akan tetapi di temukan dalam kitab lainnya : bahwa
Ali bin Maimun Ar-Roqi ini meriwayatkan dari sebagian para syeikh Syafi'i , dan
dia memang di tautsiq ( dipercaya ) , akan tetapi tidak di ketemukan keterangan
yang menyatakan bahwa dia pernah meriwayatkan langsung dari Imam Syafii “.
Dan Syeikh
Al-Albaani telah menelusuri pula dalam kitab تَوَالِي
التَّأْسِيسِ لِمَعَالِي مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيسَ karya Ibnu Hajar Al-'Asqalany ,
di mana kitab ini adalah kitab yang sengaja di tulis oleh al-Hafidz Ibnu Hajar
secara khusus untuk mengumpulkan semua perawi yang meriwayatkan langsung dari Imam
Syafii , akan tetapi di dalam kitab tersebut ternyata tidak diketemukan perawi
yang bernama Ali bin Maimun . ( lihat : تَوَالِي
التَّأْسِيسِ لِمَعَالِي مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيسَ hal. 81).
Telah berkata Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al-Jarh wat Ta’dil:
6/206 tentang Ali bin Maimun Abul Hasan Al-Aththar Ar-Raqqii : "Ayahku
ditanya tentangnya, maka beliau menyatakan : tsiqat" . ( Lihat pula :
Tahdzibut Tahdzib : 7/340).
KESIMPULAN-NYA :
Riwayat ini adalah lemah (dha'if) dan bathil.
Salah
satu hal yang menunjukkan kebatilan kisah ini : adalah tidak mungkin ketemunya Ali bin Maimun
Ar-Raqqii yang wafat pada tahun 246 H dengan Umar bin Ibrahim Al-Kattaani
Al-Muqri’ yang lahir pada tahun 300 H.
Kebatilan ini dikutip dari
kisah yang diambil oleh Umar bin Ibrahim Al-Kattani dari kitab «Manaqib Abu
Hanifah» milik gurunya yaitu Mukarrom bin Ahmad. Sedangkan Mukarram
sendiri, mendapat ijazah kitab tersebut dari Ahmad bin Al-Mughallis, seorang
PENDUSTA. (التَّنْكِيلُ بِمَا فِي الكَوْثَرِيِّ مِنَ الأَبَاطِيلِ :1/63 ).
====****===
LATAR BELAKANG MUNCULNYA CERITA TABARRUKNYA IMAM SYAFI'I DI KUBURAN ABU HANIFAH :
Sudah masyhur dan maklum bagi
para peneliti sejarah bahwa pada masa itu terjadi saling fanatik antara para
pengikut Madzhab Hanafiyah dan para pengikut madzhab Syafi’iyah. Masing-masing
pengikut madzhab menulis dan mengarang hadits palsu untuk membela dan
mengunggulkan martabat para imam mereka.
Di antara hadits-hadits yang
dibikin-bikin oleh sebagian para ulama Hanafiyah yang sangat fanatik adalah
hadits palsu berikut ini , bahwa Nabi ﷺ bersabda
:
«يَكُونُ فِي أُمَّتِي رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: مُحَمَّدُ
بْنُ إِدْرِيسَ أَضَرُّ عَلَى أُمَّتِي مِنْ إِبْلِيسَ، وَيَكُونُ فِي أُمَّتِي رَجُلٌ
يُقَالُ لَهُ أَبُو حَنِيفَةَ، هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِي»
" Akan ada di
kalangan umatku seorang laki-laki yang bernama Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’i)
yang lebih berbahaya dari Iblis. Dan akan ada di kalangan umatku
seseorang ynag bernama Abu Hanifah. Dialah lentera umatku, dialah lentera
umatku ".
Al-Imam Ibnul Jauzi berkata:
“Ini hadits palsu. Semoga Allah SWT mengutuk pemalsunya.” (Al-Maudlu’at:
2/48).
Al-Hafizh As-Suyuthi berkata:
“Hadits ini dipalsukan oleh Ma’mun atau Al-Juwaibari.”
(Baca : اللَّآلِئُ
ٱلْمَصْنُوعَةُ فِي ٱلْأَحَادِيثِ ٱلْمَوْضُوعَةِ۔ :
Kitab Baqiyatul Manaqib (11) hal 21).
Termasuk cerita palsu yang dibikin-bikin
oleh para fanatikus Hanafiyah adalah kisah tabaruknya Al-Imam Asy-Syafi’i di
kuburan Al-Imam Abu Hanifah.
===***===
REALITA KONDISI DAN FAKTA SEJARAH PADA MASA TERSEBUT :
Yang
penulis sebutkan diatas adalah dari segi sanad dan latar belakang , adapun dari
sisi realita situasi dan kondisi medan pada masa itu ; maka telah
berkata Syeikh Al-Aluusy ( lihat : فَتْحُ ٱلْمَنَّانِ hal. 372-373 ) dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam ٱقْتِضَاءُ
ٱلصِّرَاطِ ٱلْمُسْتَقِيمِ hal. 165:
وَهَذَا كَذَلِكَ مَعْلُومٌ كَذِبُهُ بِٱلٱضْطِرَارِ عِندَ مَنْ
لَهُ مَعْرِفَةٌ بِٱلنَّقْلِ، فَإِنَّ ٱلشَّافِعِيَّ لَمَّا قَدِمَ بَغْدَادَ لَمْ
يَكُنْ بِبَغْدَادَ قَبْرٌ يُنْتَابُ لِلدُّعَاءِ عِنْدَهُ ٱلْبَتَّةَ، بَلْ وَلَمْ
يَكُنْ هَذَا عَلَىٰ عَهْدِ ٱلشَّافِعِيِّ مَعْرُوفًا، وَقَدْ رَأَى ٱلشَّافِعِيُّ
بِٱلْحِجَازِ وَٱلْيَمَنِ وَٱلشَّامِ وَٱلْعِرَاقِ وَمِصْرَ مِنْ قُبُورِ ٱلْأَنْبِيَاءِ
وَٱلصَّحَابَةِ وَٱلتَّابِعِينَ، مَنْ كَانَ أَصْحَابُهَا عِنْدَهُ وَعِنْدَ ٱلْمُسْلِمِينَ
أَفْضَلَ مِنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَمْثَالِهِ مِنَ ٱلْعُلَمَاءِ. فَمَا بَالُهُ لَمْ
يَتَوَخَّ ٱلدُّعَاءَ إِلَّا عِنْدَهُ؟
ثُمَّ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ٱلَّذِينَ أَدْرَكُوهُ مِثْلُ
أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ وَزُفَرَ وَٱلْحَسَنِ بْنِ زِيَادٍ وَطَبَقَتِهِمْ، وَلَمْ
يَكُونُوا يَتَحَرَّوْنَ ٱلدُّعَاءَ لَا عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَلَا غَيْرِهِ.
ثُمَّ قَدْ تَقَدَّمَ عِنْدَ ٱلشَّافِعِيِّ مَا هُوَ ثَابِتٌ
فِي كِتَابِهِ مِنْ كَرَاهَةِ تَعْظِيمِ قُبُورِ ٱلْمَخْلُوقِينَ خَشْيَةَ ٱلْفِتْنَةِ
بِهَا، وَإِنَّمَا يَضَعُ مِثْلَ هَذِهِ ٱلْحِكَايَاتِ مَنْ يَقِلُّ عِلْمُهُ وَدِينُهُ۔
“Yang demikian ini
juga telah dimaklumi kedustaannya dengan sangat pasti (idlthirar) bagi orang
yang memiliki pengetahuan tentang penukilan. Karena sesungguhnya As-Syafi’i
ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi
(khusus) untuk berdoa di sisinya sama sekali.
Bahkan tidak pernah dikenal
yang demikian itu pada masa Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i pernah datang
dan melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi,
Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau
dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan yang semisalnya dari
kalangan para Ulama’.
Lalu mengapa beliau tidak sengaja
datang kecuali hanya ke sana (kuburan Abu Hanifah).
Kemudian, para Sahabat Abu
Hanifah sendiri yang sempat hidup sezaman bersama Abu Hanifah semisal Abu
Yusuf, Muhammad, Zufar, al-Hasan bin Ziyaad dan yang sepantaran dengan mereka. Mereka
tidak ada yang menyengaja datang berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu
Hanifah ataupun yang lainnya.
Kemudian, telah ada
penjelasan dari Asy-Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau
tentang dibencinya pengagungan terhadap kuburan para makhluq karena
dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah ( yakni : kemusyrikan . Pen ).
Sesungguhnya hikayat yang semacam ini sengaja dibikin-bikin oleh orang yang
sedikit ilmu dan (pemahaman) terhadap agamanya”.
[Selesai Kutipan dari
al-Aluusi dan Ibnu Taimiyah . Lihat pula : مَجَلَّةُ ٱلْبُحُوثِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ 64/239].
BANTAHAN LAIN :
Bantahan
lain untuk lebih meyakinkan akan kedustaan kisah tersebut , yaitu : dengan
mengenali pribadi Imam As-Syafii lewat ucapan dan praktek nya terhadap kuburan sesuai
dengan yang beliau tulis dalam kitab-kitabnya atau di kutip oleh para murid-muridnya
.
Al-Imam asy-Syafii
pernah berkata :
« مَثَلُ الَّذِي يَطْلُبُ الْحَدِيْثَ بِلاَ إِسْنَادٍ كَمَثَلِ
حَطَّابِ لَيْلٍ حَزْمَةَ حَطَبٍ وَفَيْهِ أَفْعَى وَهُوَ لاَ يَدْرِي »
"Perumpamaan
orang yang mencari hadits tanpa sanad ; maka seperti pencari kayu bakar dimalam
hari yang mengumpulkan seikat kayu, padahal di dalam ikatan tersebut ada ular
dan dia tidak mengetahuinya ". [ Lihat : فيض القدير (1/433)]
Salah satu argumentasi yang jelas-jelas menunjukkan kedustaan kisah tersebut adalah : bahwa Imam Asy-Syafi’i sendiri pernah berkata :
«
وَأَكْرَهُ أَنْ يُعَظَّمَ مَخْلُوقٌ
حَتَّى يُجْعَل قَبْرُهُ مَسْجِدًا مَخَافَةَ الْفِتْنَةِ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ
بَعْدَهُ مِنَ النَّاسِ » .
“Dan aku benci ada
makhluq yang diagungkan , sehingga kuburannya dijadikan sebagai masjid,
(karena) dikhawatirkan adanya fitnah pada dirinya ( diri si mayit ) dan pada
orang-orang sesudahnya” .
[ Lihat : ٱلْأُمُّ karya Imam Asy-Syafi’i 1/317 dan ٱلْمَجْمُوعُ karya Imam An-Nawawi
5/314].
Lagi pula di masa hidup Imam
Asy-Syafi’i tidak ada kuburan yang dibangun dan disediakan tempat yang
memungkinkan untuk berdoa khusus di sisinya. Hal ini karena memang para
pemerintah muslim pada zaman itu memerintahkan untuk menghancurkan
bangunan-bangunan yang ada pada kuburan-kuburan. Dan sikap pemerintah muslim
tersebut tidak dicela oleh para fuqaha’ (ahli fiqh) pada zaman itu, sebagaimana
yang katakan sendiri oleh al-Imam Asy-Syafi’i:
« وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها
فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك »
“Dan aku telah
melihat para waliyyul amri ( pemerintah muslim ) di Mekkah yang menghancurkan
bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para Fuqoha’
(Ulama’ ahli fiqh) mencela hal itu” .
[ Lihat : ٱلْأُمُّ karya Imam Asy-Syafi’i 1/316 dan ٱلْمَجْمُوعُ karya Imam An-Nawawi
5/298].
Bahkan al-Imam As-Syafii dikenal sebagai sosok yang tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata dalam kitabnya ( ٱلْأُمُّ 1/277) :
وَأُحِبُّ
أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه
تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا
وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ
وَالْخُيَلَاءَ.
"Aku menyukai jika kuburan tidak ditambah dengan tanah
selain dari (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah tanah
dari selain (galian) kuburan jika dengan penambahannya itu tidak menjadikannya
sangat tinggi. Aku hanya suka jika kuburan dinaikan diatas tanah setinggi satu
jengkal atau yang semisalnya.
Dan aku menyukai jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena
hal itu menyerupai penghiasan dan kesombongan ".
Al-Imam An-Nawawi – dan dia merupakan ulama terkemuka dari madzhab As-Syafi'i - telah mengutip kesepakatan para ulama dalam mengingkari bentuk-bentuk pengagungan terhadap kuburan. Beliau berkata tentang kuburan Nabi ﷺ :
لَا
يَجُوزُ أَنْ يُطَافَ بِقَبْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُكْرَهُ إِلْصَاقُ
الظَّهْرِ وَالْبَطْنِ بِجِدَارِ الْقَبْرِ، قَالَهُ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَلِيمِيُّ
وَغَيْرُهُ، قَالُوا: وَيُكْرَهُ مَسْحُهُ بِالْيَدِ وَتَقْبِيلُهُ، بَلِ الْأَدَبُ
أَنْ يُبْعِدَ مِنْهُ كَمَا يُبْعِدُ مِنْهُ لَوْ حَضَرَهُ فِي حَيَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي قَالَهُ الْعُلَمَاءُ وَأَطْبَقُوا
عَلَيْهِ، وَلَا يُغْتَرَّ بِمُخَالَفَةِ كَثِيرِينَ مِنَ الْعَوَامِّ وَفِعْلِهِمْ
ذَلِكَ.
" Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi ﷺ dan dibenci menempelkan
punggung dan perut ke dinding kuburan Nabi ﷺ , sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah Al-Hulaimi dan yang lainnya.
Mereka ( para ulama juga ) berkata : Dan dibenci mengusapkan tangan ke
kuburan dan mencium kuburan, akan tetapi adab (yang benar) adalah ia menjauh
dari kuburan Nabi ﷺ sebagaimana ia menjauh dari Nabi ﷺ jika ia menemuinya tatkala Nabi ﷺ masih hidup.
Inilah yang benar yang telah dikatakan oleh para ulama dan mereka
bersepakat atas perkataan ini.
Dan janganlah terpedaya dengan penyelisihan banyak orang awam dan
perbuatan mereka akan kesalahan-kesalahan tersebut ".
Lalu Imam
Nawawi berkata pula :
فَإِنَّ
الِاقْتِدَاءَ وَالْعَمَلَ إِنَّمَا يَكُونُ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَأَقْوَالِ
الْعُلَمَاءِ وَلَا يُلْتَفَتُ إِلَى مُحْدَثَاتِ الْعَوَامِّ وَغَيْرِهِمْ وَجَهَالَاتِهِمْ،
وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ قَالَ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي دِينِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» وَفِي
رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»،
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَا
تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ
مَا كُنْتُمْ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.
" Sesungguhnya teladan dan amalan hanyalah dengan
berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama, dan janganlah
menengok kepada bid'ah-bid'ah dan kebodohan-kebodohan yang dilakukan oleh orang
awam dan selain mereka.
Telah ada ketetapan dalam shahih Al-Bukhari dan sahih Muslim dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa
yang melakukan perkara-perkara baru dalam agama kita yang bukan darinya maka
tertolak".
Dan dalam riwayat Muslim : "Barangsiapa yang melakukan amalan yang
tidak ada contohnya dari amalan kami maka tertolak".
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda : "Janganlah kalian menjadikan kuburanku
sebagai 'ied ( tempat perayaan atau tempat mondar-mandir ), bersholawatlah
kepadaku, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian
berada". Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih".
Lalu Imam Nawawi melanjutkan perkataanya :
وَقَالَ
الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ - رَحِمَهُ اللَّهُ، مَا مَعْنَاهُ -: اتَّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى
وَلَا يَضُرُّكَ قِلَّةُ السَّالِكِينَ، وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلَالَةِ، وَلَا تَغْتَرَّ
بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ، وَمَنْ خَطَرَ بِبَالِهِ أَنَّ الْمَسْحَ بِالْيَدِ وَنَحْوَهُ
أَبْلَغُ فِي الْبَرَكَةِ فَهُوَ مِنْ جَهَالَتِهِ وَغَفْلَتِهِ؛ لِأَنَّ الْبَرَكَةَ
إِنَّمَا هِيَ فِيمَا وَافَقَ الشَّرْعَ، وَكَيْفَ يُبْتَغَى الْفَضْلُ فِي مُخَالَفَةِ
الصَّوَابِ؟
Dan Al-Fudhail bin 'Iyaadh rahimahullah berkata , yang maknanya adalah
: "Ikutilah jalan-jalan kebaikan dan tidak akan memudhorotkanmu dengan
sedikitnya orang yang menempuh jalan-jalan kebaikan tersebut. Dan waspadalah
terhadap jalan-jalan kesesatan, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya
orang-orang yang binasa (karena mengikuti jalan-jalan kesesatan
tersebut)". Barangsiapa yang terbetik di dalam benaknya bahwa mengusap
kuburan Nabi ﷺ dengan tangannya atau yang semisalnya lebih banyak memperoleh berkah
maka hal ini termasuk kebodohannya dan kelalaiannya, karena berkah hanyalah
diperoleh dengan mencocoki syari'at, dan bagaimana mungkin bisa diperoleh
kemuliaan dengan menyelisihi kebenaran?" (Lihat : ٱلْمَجْمُوعُ karya Imam An-Nawawi 8/275)
Dan beliau
juga berkata dalam kitab yang sama :
وَقَالَ
ٱلْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ الزَّعْفَرَانِيُّ وَكَانَ مِنَ
الْفُقَهَاءِ الْمُحَقِّقِينَ فِي كِتَابِهِ فِي الْجَنَائِزِ: وَلَا يَسْتَلِمُ الْقَبْرَ
بِيَدِهِ وَلَا يُقَبِّلُهُ. قَالَ: وَعَلَى هَذَا مَضَتِ السُّنَّةُ. قَالَ أَبُو
الْحَسَنِ: وَاسْتِلَامُ الْقُبُورِ وَتَقْبِيلُهَا الَّذِي يَفْعَلُهُ الْعَوَامُّ
الْآنَ مِنَ الْمُبْتَدَعَاتِ الْمُنْكَرَةِ شَرْعًا يُنْبَغِي تَجَنُّبُ فِعْلِهِ
وَيُنْهَى فَاعِلُهُ. قَالَ: فَمَنْ قَصَدَ السَّلَامَ عَلَى مَيِّتٍ سَلَّمَ عَلَيْهِ
مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ، وَإِذَا أَرَادَ الدُّعَاءَ تَحَوَّلَ عَنْ مَوْضِعِهِ وَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ. قَالَ أَبُو مُوسَى وَقَالَ الْفُقَهَاءُ الْمُتَبَحِّرُونَ الْخُرَاسَانِيُّونَ:
الْمُسْتَحَبُّ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَنْ يَقِفَ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلًا
وَجْهَ الْمَيِّتِ، يُسَلِّمُ وَلَا يَمْسَحُ الْقَبْرَ وَلَا يُقَبِّلُهُ وَلَا يَمَسُّهُ،
فَإِنَّ ذَلِكَ عَادَةُ النَّصَارَى. قَالَ: وَمَا ذَكَرُوهُ صَحِيحٌ لِأَنَّهُ قَدْ
صَحَّ النَّهْيُ عَنْ تَعْظِيمِ الْقُبُورِ.
" Imam Abul Hasan Muhammad bin Marzuuq Az-Za'farooni –dan
beliau termasuk para ulama ahli tahqiq ( pakar peniliti dari Madzhab Syafii ) -
dalam kitabnya di bagian bab jenazah berkata:
"Dan dia tidak boleh mengusap kuburan dengan tangannya dan juga
tidak menciumnya…".
Lalu ia berkata : "Dan demikianlah sunnah yang berlaku".
Abul Hasan berkata : "Dan mengusap kuburan serta menciumnya yang
dilakukan oleh orang-orang awam termasuk bid'ah-bid'ah yang mungkar dalam
timbangan syari'at yang hendaknya perbuatan tersebut dijauhi dan pelakunya
dilarang ".
Lalu dia berkata : "Siapa saja yang hendak memberikan ucapan salam
kepada mayat ; maka hendaknya ia memberikan salam di hadapan wajah si mayat.
Dan jika ia hendak berdoa ; maka hendaknya dia pindah dari tempatnya dan
menghadap kiblat.
Abu Musa dan para fuqoha dari Khurosan yang sangat mendalam ilmunya ,
mereka berkata :
Yang sesuai dengan sunnah dalam berziarah kubur adalah si penziarah
berdiri membelakangi kiblat dan menghadap ke wajah si mayit lalu memberi salam
kepada si mayit dan tidak mengusap kuburan, tidak menciumnya, serta tidak
menyentuhnya ; karena hal itu merupakan adat kebiasaan orang-orang
Nasrani".
Dan apa yang telah dikatakan oleh mereka (para ulama diatas) adalah
benar, karena telah shahih (dari Nabi ﷺ ) adanya larangan untuk mengkultuskan kuburan" .
[Lihat : ٱلْمَجْمُوعُ karya Imam An-Nawawi 5/311]
****
PERTANYAAN dan JAWABAN :
Jika memang tabarruk dengan kuburan tersebut diperbolehkan
menurut Imam asy-Syaafi'i
, kenapa dikhususkan pada makam Abu Hanifah ?
Padahal beliau tidak pernah berguru
dan mengambil ilmu langsung dari Abu Hanifah.
Bagaimana bisa mengambil
ilmu, jika tahun kematian Abu Hanifah bertepatan dengan tahun kelahiran beliau? Imam Abu Hanifah wafat pada tahun
150 H , berbarengan dengan tahun kelahiran Imam Syafi'i pada tahun 150 H juga .
Lagi pula Imam As-Syafii sebelum berpindah ke Mesir beliau lama tinggal
di Madinah, bahkan beliau berguru dengan Imam Malik di Madinah. Dan di Madinah
terdapat banyak sekali kuburan orang-orang yang jauh lebih baik daripada Imam
Abu Hanifah. Betapa banyak kuburan para sahabat. Bahkan ada kuburan Nabi ﷺ .
Lantas kenapa tidak ada riwayat bahwa Imam As-Syafi'i setiap hari
berziarah ke makam Nabi ﷺ untuk bertabarruk ?
Kemudian disebutkan pula
dalam kisah tersebut bahwa Imam asy-Syafi'i «setiap hari» berkunjung ke
kuburan Abu Hanifah.
Bagi orang yang berakal, dan
paham tentang perjalanan hidup Asy-Syafi’i jelas akan melihat sisi lain dari
kedustaan kisah tersebut.
Al-Imam Asy-Syafi’i banyak
melakukan perjalanan menuntut ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain.
Beliau dilahirkan di daerah
Gaza (Syam) dan tumbuh besar di tanah suci Mekkah).
Beliau mempelajari fiqh
awalnya di Mekkah dari Muslim bin Kholid Az-Zanji dan Imam-imam Mekkah yang
lain seperti Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin ‘Iyaadl.
Kemudian beliau pindah ke
Madinah menuntut ilmu pada Imam Maalik.
Selanjutnya beliau pindah ke
Yaman untuk berguru pada Muthorrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf al-Qodhy, dan
beberapa ulama’ lain.
Dari Yaman beliau menuju Iraq
(Baghdad) untuk bermulaazamah (fokus menuntut ilmu) pada ahli fiqh Iraq yaitu
Muhammad bin al-Hasan.
Beliau mengambil ilmu juga
pada Isma’il bin ‘Ulyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqofy, dan beberapa Ulama’ yang
lain.
Setelah beberapa lama di
Iraq, beliau kemudian pindah ke Mesir, dan di Mesir inilah pendapat-pendapat
baru (qoul jadiid ) Imam Asy-Syafi’i sering dijadikan rujukan
[Lihat : تَهْذِيبُ
الْأَسْمَاءِ وَاللُّغَةِ karya Imam an-Nawawi (1/49) ].
Perhatikanlah kata : “demikian
sibuk Imam Asy-Syafi’i dengan menuntut ilmu dari satu Syaikh (guru) ke syaikh
yang lain. Beliau juga menempuh perjalanan lintas negeri. Bagaimana mungkin
setiap hari beliau berdoa di makam Abu Hanifah? “
===***===
PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG KISAH IMAM SYAFI'I TERSEBUT :
Ada penjelasan dari Ulama’
lain bahwa kisah tersebut adalah DUSTA & PALSU.
Al-Imam Ibnul Qoyyim
al-Jauziyyah menyatakan :
“Hikayat yang dinukilkan dari
Asy-Syafi’i bahwa beliau memaksudkan doa di sisi kuburan Abu Hanifah adalah
kedustaan yang jelas” ( Lihat : إِغَاثَةُ اللَّهْفَانِ (1/246)).
Tidak ada sahabat/ murid
dekat Abu Hanifah yang bertabarruk dengannya :
Hal lain yang menunjukkan
sisi kelemahan kisah itu –sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah- :
“Adalah tidak adanya Sahabat (murid
dekat) Abu Hanifah yang melakukan hal itu. Tidak ada di antara mereka yang
sering datang ke kuburan Abu Hanifah untuk berdoa dan bertawassul agar doanya
lebih mudah dikabulkan.
Bagaimana mungkin, jika
perbuatan semacam itu dibenci oleh Abu Hanifah. Beliau tidak suka jika makhluk
dijadikan perantara dalam doa seorang hamba kepada Allah.
Al-Imam Abu Hanifah berkata:
لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ إِلَّا بِهِ،
وَالدُّعَاءُ الْمَأْذُونُ فِيهِ، الْمَأْمُورُ بِهِ، مَا اسْتُفِيدَ مِنْ قَوْلِهِ
تَعَالَى: ﴿وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ [الأَعْرَافِ:
180].
“ Tidak
sepantasnya bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali denganNya, dan doa
yang diijinkan dan diperintahkan adalah apa yang bisa diambil faidah dari
firman Allah:
‘ Hanya milik Allah asmaa-ul
husna,, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan ’ . "
(Lihat : الدُّرُّ
الْمُخْتَارُ مِنْ حَاشِيَةِ الْمُخْتَارِ (6/396-397)).
Berkata pula Imam Abu
Hanifah dan dua sahabatnya Abu Yusup dan Muhammad bin al-Hasan:
« يُكْرَهُ أَنْ
يَقُولَ الدَّاعِي : أَسْأَلُكَ بِحَقِّ فُلَانٍ ، أَوْ بِحَقِّ أَنْبِيَائِكَ
وَرُسُلِكَ ، وَبِحَقِّ الْبَيْتِ الْحَرَامِ ، وَالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ،
وَنَحْوِ ذَلِك »
“Adalah suatu hal yang
dibenci jika seorang berdoa :’ aku memohon kepadaMu dengan hak Fulaan, atau
dengan hak para Nabi dan RasulMu dan hak Baitul Haram, dan Masy-‘aril Haraam,
atau kata-kata mirip itu “ .
(Lihat : شَرْحُ
الْأَكْبَر karya
al-Qoori hal. 189 dan شَرْحُ الطَّحَاوِيَّةِ 2/83 ).
Jika kita memperhatikan sikap
para Ulama’ Salaf, maka kita dapati bahwa mereka mengingkari perbuatan orang
yang berdoa di sisi makam untuk bertawassul.
Misalnya
: yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain yang merupakan cucu Sahabat Nabi ‘Ali bin
Abi Tholib :
Dari ‘Ali bin Husain :
أَنَّهُ رَأَى
رَجُلاً يَجِيءُ إلَى فُرْجَةٍ كَانَتْ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَيَدْخُلُ فِيهَا فَيَدْعُو فَدَعَاهُ ، فَقَالَ : أَلاَ أُحَدِّثُكَ
بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ أَبِي ، عَنْ جَدِّي ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم ، قَالَ : « لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ بُيُوتَكُمْ
قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ وَتَسْلِيمَكُم يَبْلُغُنِي
حَيْثُ مَّا كُنْتُمْ » .
"Bahwasanya
ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi ﷺ kemudian ia masuk ke dalamnya dan
berdoa. Maka Ali bin Husain berkata :
‘Maukah anda aku sampaikan
hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda :
‘Janganlah
kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied (tempat perayaan dan mondar-mandir) ,
dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku
karena sholawat kalian dan salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian
berada’.
[HR. Bukhori dalam Tarikhnya
2/186 , Abdurrozzaq dalam Mushannafnya 3/577 no. 6726 dan juga Ibnu Abi Syaibah
Mushonnaf-nya(2/268)]:
Hadits tersebut dihasankan
oleh al-Hafidz As-Sakhoowi (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany).
[ Baca : Kitab الْقَوْلُ
الْبَدِيعُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْحَبِيبِ الشَّفِيعِ karya as-Sakhowi 228
].
Dan hadits ini salah satu
hadits yang dimasukkan oleh Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Wahid
Al-Maqdisi dalam kitab " الْمُخْتَارَةُ" hal. 428 .
Kitab hadits ini merupakan
kumpulan hadits-hadits sahih yang lolos dari shahih Bukhory dan shahih Muslim .
Penshahihan yang dilakukan Al-Maqdisi
dalam kitab ini lebih tinggi derajatnya dari pada penshahihan Al-Haakim dalam
kitabnya " الْمُسْتَدْرَكُ ", dan beliau lebih mendekati
pentashihan Tirmidzi, Abu Hatim Al-Busty dan yang setara dengannya , karena
kadar kesalahan-kesalahannya lebih sedikit dibanding al-Hakim yang banyak
melakukan kesalahan dalam mensahihkan hadits , bahkan sebagian hadits-hadits
nya nampak palsu , oleh karena itu turun derajatnya dari pada yang lain .
Atsar lain :
Pada zaman para sahabat
radhiyallahu anhum, tidak semua orang bisa masuk ruangan yang terdapat makam
Rasululullah ﷺ, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma.
Karena berada di dalam rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Diriwayatkan dari Qosim bin
Muhammad bin Abu Bakar , keponakan Aisyah , suatu ketika dia masuk rumah
A'isyah dan minta izin kepadanya hanya untuk melihat bentuk kuburan Nabi ﷺ dan dua sahabatnya , maka dia berkata kepadanya :
"يَا
أُمَّاهُ اكْشِفِي لِي عَنْ قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ وَصَاحِبَيْهِ، فَكَشَفَتْ لِي عَنْ
ثَلَاثَةِ قُبُورٍ، لَا مُشْرِفَةٍ وَلَا لَاطِئَةٍ، مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ
الْحَمْرَاءِ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مُقَدَّمًا، وَأَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ رَأْسُهُ بَيْنَ كَتِفَيْ النَّبِيِّ ﷺ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَأْسُهُ
عِنْدَ رِجْلَيْ النَّبِيِّ ﷺ.
Wahai bunda , perlihatkan
untukku akan kuburan Nabi ﷺ dan dua sahabatnya ! maka beliau
memperlihatkan untuknya tiga kuburan yang nampak tidak nyumbul , dan tidak ada
plesteran , yang di hampari dengan pasir halaman rumah berkerikil
kemerah-merahan . Lalu aku melihat ( kuburan ) Rosulullah ﷺ paling depan , dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kepalanya
berada diantara dua belikat Nabi ﷺ , dan Umar
radhiyallahu ‘anhu kepalanya di sisi kedua kaki Nabi ﷺ ".
(Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3222 , al-Hakim no. 1368 , Baihaqi no. 7006 dan Abu Ya'la no. 4571 . Sanadnya di sahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Mulqin dalam Al-Badrul Munir 5/315 . Dan di dlaifkan oleh Al-Bany dalam Dloif Abu Daud 1/326 ).
Dan dari Aisyah radliyallahu
'anha bahwasannya Rosulullah ﷺ
bersabda di saat beliau sakit menjelang akhir hayatnya :
((
لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ
مَسْجِدًا ))، قَالَتْ: وَلَوْلاَ ذَلِكَ لَأَبْرَزُوا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّي
أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
" Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah menjadikan kuburan para nabi-Nya sebagai masjid-masjid ( tempat-tempat ibadah ) . Aisyah berkata : " “Kalau bukan karena takut (laknat) itu, niscaya mereka (para sahabat) menampakkan kuburan beliau ﷺ terbuka. Hanya saja aku takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid (tempat berdoa) “ . ( HR. Bukhori no. 4441 dan Muslim no. 529).
===****===
SABDA-SABDA NABI ﷺ TERKAIT DENGAN KUBURAN
Berikut ini sabda-sabda Rosulullah ﷺ yang berkenaan dengan kuburan :
Dari Jabir beliau berkata :
«نَهَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ القَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عليه، وَأَنْ يُبْنَى عليه» .
" Bahwa Rasulullah ﷺ melarang kuburan dilepa dengan kapur , diduduki di atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya” (HR. Muslim no. 970 )
Dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata : Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku :
« أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ ».
Maukah kau aku utus sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku?
" Janganlah engkau tinggalkan patung/gambar bernyawa kecuali engkau hapus dan jangan tinggalkan kuburan yang nyumbul kecuali diratakan”. (HR. Muslim no. 969).
Imam An-Nawawy ketika mensyarahi hadits ini , beliau mengatakan:
" Di dalamnya terdapat perintah mengganti/merubah gambar-gambar makhluk bernyawa").
Wallahu a'lam
0 Komentar