Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM FEE DAN HADIAH UNTUK KARYAWAN ATAU PEGAWAI YANG DI GAJI

HUKUM FEE DAN HADIAH UNTUK KARYAWAN ATAU PEGAWAI  YANG DI GAJI

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

بسم الله الرحمن الرحيم

*****

HUKUM ASAL HADIAH :

Tidak ada keraguan dalam Syariat Islam akan halalnya menerima hadiah , bahkan dianjurkan untuk saling memberi hadiah , selama tidak ada pelanggaran syar'i , seperti adanya indikasi minta-minta , adanya rasa tamak dengan berharap mendapat pemberian dari orang lain , atau menciptakan rasa malu pada seseorang jika dia tidak memberi nya .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda,

تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ

“Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” 

(HR. HR. Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 594 dan Imam Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16.

Syaikh Al-Albani menukilkan pernyataan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa hadits ini bersambung dari beberapa jalur yang berbeda, semuanya hasan).

Dan Syeikh Bin Baaz berkata :

رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي "الأَدَبِ الْمُفْرَدِ"، وأَبُو يَعْلَى بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ.

"Al-Bukhari meriwayatkannya dalam "Al-Adab Al-Mufrad", dan Abu Ya'la dengan sanad yang HASAN". [ Syarah Bulughul Maraam / kitab al-Buyuu' , no. 942 ]

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma :

 أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يُعْطِي عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عنْه العَطَاءَ، فيَقولُ له عُمَرُ: أَعْطِهِ، يا رَسولَ اللهِ، أَفْقَرَ إلَيْهِ مِنِّي، فَقالَ له رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ، أَوْ تَصَدَّقْ به، وَما جَاءَكَ مِن هذا المَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَما لَا، فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. قالَ سَالِمٌ: فَمِنْ أَجْلِ ذلكَ كانَ ابنُ عُمَرَ لا يَسْأَلُ أَحَدًا شيئًا وَلَا يَرُدُّ شيئًا أُعْطِيَهُ.

Bahwa Rasulullah   pernah memberikan suatu pemberian kepada Umar bin Al Khaththab, maka Umar pun berkata : "Wahai Rasulullah, berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku."

Maka Rasulullah   pun bersabda kepadanya : "Ambil dan pergunakanlah untuk keperluanmu, atau sedekahkan! Apabila kamu diberi orang sesuatu pemberian tanpa kamu idam-idamkan [mengharap-harapkan pemberian] dan tanpa meminta-minta, terimalah pemberian itu. Tetapi ingat, sekali-kali jangan meminta-minta ."

Salim berkata : "Oleh karena itu, Ibnu Umar tidak pernah meminta apa saja kepada seseorang, dan tidak pula menolak apa yang diberikan orang kepadanya." [ HR. Muslim no. 1045 ]

Dan ada sebuah pernyataan para ulama tentang menerima hadiah dari orang yang terpaksa memberinya karena malu dan tidak enak jika tidak memberi , mereka mengatakan :

" مَا أُخِذَ بِسَيْفِ الحَيَاءِ فَهُوَ حَرَامٌ "

Apa yang diambil dengan pedang rasa malu [ membuat orang merasa malu jika tidak memberi], itu adalah haram .

****

HADIAH DAN FEE UNTUK KARYAWAN ATAU PEGAWAI YANG TERIMA GAJI:

Yang di maksud dalam pembahasan di sini adalah :

Tentang hukum hadiah atau uang tips atau fee yang diberikan kepada karyawan , petugas , pegawai dan yang semisalnya atas jasa yang diberikan oleh nya kepada konsumen atau pelanggan . Padahal Jasa tersebut merupakan bagian dari kewajibannya , yang mana dia di bayar atau digaji untuk menjalankan tugas atau pekerjaan atau memberikan jasa-jasa tersebut.

Lalu bagaimana hukumnya jika kayawan atau petugas tersebut ketika menjalankan tugas nya, menerima hadiah atau uang tips dari konsumen , pelanggan atau nasabah ?

Dalam kitab Shohih Bukhari disebutkan sabuah BAB , yaitu :

بَابُ : هَدَايَا العُمَّال

BAB : HADIAH-HADIAH PARA PEKERJA

Dan Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menuliskan pula :

بَابُ : تَحْرِيْمُ هَدَايَا العُمَّالِ

BAB : PENGHARAMAN HADIAH-HADIAH PARA PEKERJA

Lalu Imam Bukhori dan Imam Nawawi  menyebutkan hadits berikut ini :

Dari Abu Humaid As-Sa’idi mengatakan :

اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سُفْيَانُ أَيْضًا فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ

ثُمَّ قَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Artinya : Pernah Nabi  mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Utbiyah untuk menggalang dana sedekah. Orang itu datang sambil mengatakan;

هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي

"Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku."

Maka Nabi  segera berdiri diatas minbar ( sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi; 'naik minbar). Lalu Beliau  memuja dan memuji Allah kemudian bersabda :

مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

"Ada apa dengan seorang amil zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan; ini untukmu dan ini hadiah untukku!

Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia akan menerima hadiah ataukah tidak?

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang amil zakat membawa sesuatu [Hadiah] , melainkan ia akan memikulnya pada hari kiamat diatas tengkuknya, jikalau unta, maka unta itu mendengus, dan jika sapi, ia melenguh, dan jika kambing, ia mengembik, "

Kemudian beliau  mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan :

أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ

" Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?" (beliau mengulang-ulanginya tiga kali).

[ HR. Bukhori no. 6639 ]

Hadits lain dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah  bersabda,

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi pegawai adalah ghulul (pengkhianatan)".

[HR. Ahmad 5/424. Di Shahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 2622].

*****

PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG HADIAH DAN FEE UNTUK KARYAWAN YANG TERIMA GAJI:

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

" Dalam hadits Abu Hamid dijelaskan bahwa هدايا العمال (hadiah untuk pekerja yang sudah ada upahnya) adalah diharamkan dan termasuk ghulul [pengkhianatan] . Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam berbisnis dan menjaga kepercayaan. Itulah sebabnya disebutkan dalam hadits sebelumnya tentang hukumannya, yaitu pekerja seperti ini menanggung beban hadiah tersebut kelak di hari kiamat, sebagaimana yang disebutkan dalam masalah pengkhianatan.

Dan beliau  telah menjelaskan dalam hadits diatas tentang sebab diharamkannya hadiah dengan cara seperti itu , yaitu karena hadiah semacam itu sebenarnya karena disebabkan oleh pekerjaannya [yang sudah ada upahnya], dan itu berbeda dengan hadiah yang bukan disebabkan pekerjaan [yang sudah ada upahnya]. Maka hadiah yang kedua ini adalah hadiah yang mustahab [dianjurkan].

Dalam pembahasan yang telah lewat disebutkan tentang hukum pekerja yang diberi semacam ini yang disebut HADIAH. Maka pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang telah memberikannya . Jika tidak memungkinkan, maka dia menyerahkannya ke Baitul Maal ( kas negara ).”

[ Baca : المنهاج شرح صحيح مسلم karya al-Imam an-Nawawi 12/219 cet. دار إحياء التراث العربي , ke 2 ]

Al-Haafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Adapun hadits Abu Humaid, maka di situ Nabi  mencela perbuatan Ibnu al-'Utbiyyah yang telah menerima hadiah yang diberikan padanya. Karena pada saat itu dia adalah seorang pekerja ( yang mana dia sudah ada ketetapan upah untuknya. PEN)”.

[ Baca : فتح الباري  karya Ibnu Hajar 5/221 , cet. دار المعرفة 1379 H.]

Ibnu Habib menyatakan :

“Para ulama tidak ada yang berselisih pendapat tentang larangan hadiah yang dihadiahkan kepada para penguasa, hakim, pekerja dan petugas penarik pajak.”

Begitu pula pendapat Imam Malik dan para ulama Ahlus Sunnah yang sebelumnya.  

[ Baca : الموسوعة الفقهية الكويتية , Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28].

FATWA Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah.

Beliau mengatakan :

“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.” 

Kemudian beliau berkata :

“Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu risywah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar .

Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut.

Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”

[ baca : مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين, Asy Syamilah, 18/232]

====

QAIDAH HADIAH UNTUK GURU YANG DIGAJI:

Dalam Fatwa Islam.web no. 284881 di sebutkan :

وَالقَاعِدَةُ: أَنَّ هَدِيَّةَ الطَّالِبِ إِلَى المُدَرِّسِ إِن سُلِّمَت مِنْ غَرَضٍ سَيِّئٍ يُصَاحِبُهَا، لَمْ يُحَرِّمْ عَلَى الطَّالِبِ بِذَلِهَا، وَلَا عَلَى المُدَرِّسِ أَخَذُهَا. وَأَمَّا إِن لَمْ تَسُلِّم مِنْ ذَلِكَ، كَأَنْ تَكُونَ بِقَصْدِ مُحَابَاتِهِ فِي رَفْعِ درَجَاتِهِ فِي الِامْتِحَانِ، أَوْ لِإِعْطَائِهِ مِيزَةً عَلَى حِسَابِ غَيْرِهِ، فَلَا تَجُوزُ؛ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ مِنْ بَابِ الرِّشْوَةِ.

Al-Qaa’idah : “ bahwa pemberian hadiah siswa kepada guru, jika itu diberikannya murni tidak ada tujuan buruk yang menyertainya, maka itu tidak dilarang bagi siswa untuk memberikannya, juga tidak dilarang bagi guru untuk mengambilnya.

Tetapi jika tidak aman dari tujuan buruk, seperti dengan niat untuk meng unggulkannya dalam menaikkan nilai ujiannya, atau agar memberinya kelebihan atau keistimawaan dari para siswa lainnya, maka hal itu tidak boleh ; karena itu adalah masuk dalam katagori suap”.

FATWA SYEIKH BIN BAAZ :

الواجِبُ عَلَى المُعَلِّمَةِ تَركُ قُبُولِ الهَدَايَا ؛ لِأَنَّهَا قَد تَجرُهَا إِلَى الحَيفِ وَعَدَمِ النُّصحِ فِي حَقِّ مَن لَم يُهدِ لَهَا ، وَالزِّيَادَةِ بِحَقِّ المُهدِيَةِ ، وَالغِشِّ ، فَالوَاجِبُ عَلَى المَدرَسَةِ أَن لَا تَقبَلَ الهَدِيَةَ مِنَ الطَّالِبَاتِ بِالكُلِّيَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ قَد يُفضِي إِلَى مَا لَا تُحمَدُ عُقبَاهُ ، وَالمُؤمِنُ وَالمُؤمِنَةُ عَلَيهِمَا أَن يَحتَاطَا لِدِينِهِمَا ، وَيَبتَعِدَا عَن أَسبَابِ الرِّيبَةِ وَالخَطَرِ .

أَمَّا بَعدَ انتِقَالِهَا مِنَ المَدرَسَةِ إِلَى مَدرَسَةٍ أُخرَى فَلَا يَضُرُّ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ الرِّيبَةَ قَدِ انتَهَت حِينَئِذٍ ، وَالخَطَرُ مَأمُونٌ ، وَهَكَذَا بَعدَ فَصلِهَا مِنَ العَمَلِ ، أَو تَقَاعُدِهَا إِذَا أَهدَوا إِلَيهَا شَيئًا ، فَلَا بَأْسَ

Wajib bagi seorang Guru untuk tidak menerima hadiah; Karena hal itu dapat membawanya kepada ketidakadilan dan kurangnya memberikan hak nasihat pada para siswa yang tidak memberikan hadiah padanya, namun sebaliknya dia akan mengutamakan hak siswa yang memberinya hadiah , bahkan membiarkannya menyontek saat ujian .

Maka wajib bagi guru untuk tidak menerima hadiah dari siswa di kampus tersebut. Karena itu dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak terpuji . 

Dan bagi pria dan wanita yang beriman harus berhati-hati dalam menjaga agamanya dengan cara menjauhkan diri sebab-sebab yang meragukan dan berbahaya .

Namun demikian jika guru tersebut telah pindah dari satu sekolah ke sekolah lain, maka itu tidak masalah. Karena keraguannya sudah berakhir pada saat itu, dan sudah aman dari bahayanya.

Begitu juga setelah dia keluar dari pekerjaan tersebut , atau pensiun, maka jika mereka memberinya hadiah sesuatu, itu tidak lah mengapa “.

[ Sumber : Majmu’ Fatawa Bon Baaz 20/63-64].

*****

BAGAIMANA DENGAN HADIAH YANG PERNAH DIBERIKAN KEPADA NABI  ???

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,

“Nabi  pernah menerima hadiah. Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi  adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain .

Ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah, beliau tidak mau menerimanya. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz :

“Nabi  sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!”

‘Umar menjawab :

“Bagi Nabi  bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau  menerima hadiah semacam itu lebih layak karena kedudukan beliau sebagai Nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”

[ Baca : الموسوعة الفقهية الكويتية , Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28].

*****

FATWA ISLAM.WEB NO. 108389 :

حُكْمُ إِعْطَاءِ مَالٍ لِمُمَرِّضَةٍ تَعْمَلُ عِنْدَ طَبِيبَةٍ

**HUKUM MEMBERIKAN HADIAH KEPADA PERAWAT YANG BEKERJA DENGAN DOKTER**

السؤال :

أُعَالِجُ أَسْنَانِي عِنْدَ طَبِيبَةٍ مُخْتَصَّةٍ وَتَقُومُ مُمَرِّضَةُ تِلْكَ الطَّبِيبَةِ بِتَقْدِيمِ بَعْضِ الْخَدَمَاتِ لِي وَالَّتِي هِيَ مِنْ وَاجِبِهَا لَكِنِّي فِي نِهَايَةِ الزِّيَارَةِ أُعْطِيهَا نُقُودًا عَلَى ذَلِكَ، هَلْ يُعَدُّ هَذَا مِنَ الرِّشْوَةِ؟ عَلْمًا بِأَنَّ مُعَامَلَتَهَا الْجَيِّدَةَ لِي تَزْدَادُ؟ 

الجواب :

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، أَمَّا بَعْدُ: 

فَإِذَا كَانَ إِعْطَاؤُكَ لَهَا هَذَا الْمَالَ بِعِلْمٍ وَإِذْنِ الطَّبِيبَةِ أَوِ الْجِهَةِ الَّتِي تَعْمَلُ عِنْدَهَا هَذِهِ الْمُمَرِّضَةُ فَلَا بَأْسَ، وَإِلَّا فَلَا يَجُوزُ لِدُخُولِ ذَلِكَ فِي هَدَايَا الْعُمَّالِ وَهِيَ رِشْوَةٌ مُحَرَّمَةٌ

PERTANYAAN :

Saya sedang merawat gigi saya pada seorang dokter spesialis, dan PERAWAT dokter tersebut memberikan beberapa pelayanan kepada saya yang sebenarnya merupakan tugasnya. Namun, di akhir kunjungan, saya memberinya uang sebagai imbalan kepada PERAWAT tersebut.

Apakah ini termasuk suap? Perlu diketahui bahwa pelayanannya yang baik kepada saya menjadi semakin baik.

JAWABAN :

Segala puji bagi Allah dan salawat serta salam bagi Rasulullah , keluarga, dan para sahabatnya. Amma ba’du:

Jika pemberian uang tersebut kepada perawat itu dilakukan dengan sepengetahuan dan izin dari dokter atau lembaga tempat perawat itu bekerja, maka tidak masalah. Namun, jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk dalam kategori hadiah untuk pekerja, yang merupakan suap yang diharamkan.

Wallaahu a’lam

*****

FATWA ar-Rojulul Halim – Anggota al-Hawamir al-Burshoh :

حُكْمُ إِعْطَاءِ الْمَالِ لِلْمُمَرِّضَاتِ فِي الْمُسْتَشْفَى.

**HUKUM MEMBERIKAN UANG KEPADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT**

السُّؤَالُ:

الْعَامِلَاتُ يَا شَيْخُ بِالْمُسْتَشْفَى.. سَوَاءٌ كَانَتْ كَافِرَةً أَوْ مُسْلِمَةً نُعْطِيهَا بَعْضُ النَّاسِ، يُعْطُوهَا مُسَاعَدَةً، وَصَدَقَةً، يَجُوزُ، وَلَا يُعْتَبَرُ رِشْوَةً وَبَخْشِيشًا؟

الإِجَابَةُ:

وَاللهِ يَا إِخْوَانِي، الْعَامِلَاتُ: مِنْ مُمَرِّضَاتٍ، وَخَدَمٍ، وَأَطِبَّاءَ، وَرِجَالِ خِدْمَةٍ، الْحَقِيقَةُ إِنَّ إِعْطَاءَهُمْ شَيْئًا يَجْعَلُهُمْ لَا يَعْمَلُونَ إِلَّا أَنْ يَرْجُوا، وَيَجْعَلُهُمْ يَطَّلِعُونَ بِمَا فِي أَيْدِي الآخَرِينَ؛ فَلَوْ لَمْ تُعْطِهِمْ مَا عَمِلُوا؛ فَيَكُونُ أَعْمَالُهُمْ قَلِيلَةً، وَإِنْتَاجُهُمْ قَلِيلًا، وَإِنَّ مَا هَمُّهُمْ مِنْ مَا بِأَيْدِي الآخَرِينَ، وَلَا شَكَّ أَنَّ الاسْتِمْرَارَ فِي هَذَا يَجْعَلُهُمْ يَسْتَمِرُّونَ فِي هَذَا الأَمْرِ، وَيَتَقَاعَسُونَ عَنِ الْعَمَلِ؛ فَلَوِ اجْتَمَعْنَا جَمِيعًا، وَكُلُّ مِنَّا لَمْ يُعْطِ، وَقَالَ: هَذِهِ أَمَانَةٌ، وَأَعْمَالٌ أَدُّوهَا كَمَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا، لَوْ أَنَّكُمْ تَكَاتَفُوا مَا طَمِعُوا فِي النَّاسِ.

**Pertanyaan:**

Wahai Syaikh, para pekerja wanita di rumah sakit, baik yang non-Muslim maupun Muslim, sebagian orang memberikan mereka bantuan dan sedekah. Apakah itu diperbolehkan, ataukah dianggap sebagai suap dan uang tip?

**Jawaban:**

Demi Allah, wahai saudaraku, para pekerja: baik itu perawat, petugas kebersihan, dokter, atau petugas layanan lainnya, sebenarnya memberikan sesuatu kepada mereka membuat mereka tidak bekerja kecuali dengan mengharapkan sesuatu, dan menyebabkan mereka memperhatikan apa yang dimiliki orang lain; sehingga jika mereka tidak diberi, mereka akan bekerja lebih sedikit, dan produktivitas mereka juga berkurang. Tidak diragukan bahwa jika hal ini terus berlanjut, maka mereka akan terbiasa dengan hal itu dan menjadi lalai dalam bekerja. Jika kita semua bersatu dan tidak ada satu pun dari kita yang memberi, serta berkata: ini adalah amanah dan pekerjaan yang harus dijalankan sesuai dengan gaji yang kalian terima, maka mereka tidak akan berharap sesuatu dari orang lain.

*****

FATWA ISLAMQA NO. 18181 di bahah bimbingan Syeikh Muhammad Sholeh al-Munajjd:

إِعْطَاءُ الْمُمَرِّضَةِ مَالًا أَوْ مَا يُسَمَّى بِحَلَاوَةِ الْمَوْلُودِ

**BOLEH MEMBERIKAN HADIAH KEPADA PERAWAT SEBAGAI UNGKAPAN RASA GEMBIRA ATAS KELAHIRAN BAYI'**

السُّؤَالُ:

فِي الْمُسْتَشْفَى بَعْدَ الْوِلَادَةِ تَأْتِي الْمُمَرِّضَاتُ إِلَى الْأَبِ وَيَقُولُونَ لَهُ أَلْفُ مَبْرُوكٍ، فَيُعْطِيهِمُ الْأَبُ مَبْلَغًا مِنَ الْمَالِ، مَثَلًا ٥ جُنَيْهَاتٍ لِكُلِّ مُمَرِّضَةٍ (وَتُسَمَّى فِي الْعُرْفِ الشَّائِعِ حَلَاوَةُ وُصُولِ الْمَوْلُودِ بِسَلَامَةِ اللهِ)، فَهَلْ هَذَا جَائِزٌ أَوْ هَلْ مِنَ السُّحْتِ؟

الْجَوَابُ:

الْحَمْدُ لِلَّهِ.

الْأَصْلُ جَوَازُ إِعْطَاءِ الْهَدِيَّةِ لِلْبَشِيرِ، الَّذِي يُخْبِرُ بِخَبَرٍ سَارٍّ كَمَوْلُودٍ أَوْ قُدُومِ غَائِبٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْبَارِ السَّارَّةِ.

وَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ (٤٤١٨) وَمُسْلِمٌ (٢٧٦٩) فِي قِصَّةِ تَوْبَةِ اللهِ تَعَالَى عَلَى كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَعْدَ تَخَلُّفِهِ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ، قَالَ كَعْب:

فَلَبِثْتُ بَعْدَ ذَلِكَ عَشْرَ لَيَالٍ حَتَّى كَمَلَتْ لَنَا خَمْسُونَ لَيْلَةً مِنْ حِينَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَلَامِنَا ، فَلَمَّا صَلَّيْتُ صَلَاةَ الْفَجْرِ صُبْحَ خَمْسِينَ لَيْلَةً ، وَأَنَا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِنَا ، فَبَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عَلَى الْحَالِ الَّتِي ذَكَرَ اللَّهُ ، قَدْ ضَاقَتْ عَلَيَّ نَفْسِي ، وَضَاقَتْ عَلَيَّ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ، سَمِعْتُ صَوْتَ صَارِخٍ أَوْفَى عَلَى جَبَلِ سَلْعٍ بِأَعْلَى صَوْتِهِ : يَا كَعْبُ بْنَ مَالِكٍ ، أَبْشِرْ . قَالَ : فَخَرَرْتُ سَاجِدًا ، وَعَرَفْتُ أَنْ قَدْ جَاءَ فَرَجٌ ، وَآذَنَ [أي : أعلم] رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَوْبَةِ اللَّهِ عَلَيْنَا حِينَ صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ ، فَذَهَبَ النَّاسُ يُبَشِّرُونَنَا ، وَذَهَبَ قِبَلَ صَاحِبَيَّ مُبَشِّرُونَ ، وَرَكَضَ إِلَيَّ رَجُلٌ فَرَسًا ، وَسَعَى سَاعٍ مِنْ أَسْلَمَ فَأَوْفَى عَلَى الْجَبَلِ ، وَكَانَ الصَّوْتُ أَسْرَعَ مِنْ الْفَرَسِ ، فَلَمَّا جَاءَنِي الَّذِي سَمِعْتُ صَوْتَهُ يُبَشِّرُنِي نَزَعْتُ لَهُ ثَوْبَيَّ فَكَسَوْتُهُ إِيَّاهُمَا بِبُشْرَاهُ ، وَاللَّهِ مَا أَمْلِكُ غَيْرَهُمَا يَوْمَئِذٍ ، وَاسْتَعَرْتُ ثَوْبَيْنِ فَلَبِسْتُهُمَا وَانْطَلَقْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) الحديث .

قَالَ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ فِي ذِكْرِ فَوَائِدِ هَذَا الْحَدِيثِ :

" الرَّابِعَة وَالْعِشْرُونَ : اِسْتِحْبَاب التَّبْشِير بِالْخَيْرِ . الْخَامِسَة وَالْعِشْرُونَ : اِسْتِحْبَاب تَهْنِئَة مَنْ رَزَقَهُ اللَّه خَيْرًا ظَاهِرًا , أَوْ صَرَفَ عَنْهُ شَرًّا ظَاهِرًا . السَّادِسَة وَالْعِشْرُونَ : اِسْتِحْبَاب إِكْرَام الْمُبَشِّر بِخُلْعَةٍ أَوْ نَحْوهَا " انتهى .

وَجَاءَ فِي "الْمُوسُوعَةِ الْفِقْهِيَّةِ" (٨/٩٤) : "وَفِي قِصَّةِ كَعْبٍ أَنَّهُ لَمَّا جَاءَهُ الْبَشِيرُ بِالتَّوْبَةِ، نَزَعَ لَهُ ثَوْبَيْهِ وَكَسَاهُمَا إِيَّاهُ نَظِيرَ بُشْرَاهُ، وَنَقَلَ الْأُبِّيُّ عَنِ الْقَاضِي عِيَاضٍ أَنَّهُ قَالَ: وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْبِشَارَةِ وَالتَّهْنِئَةِ بِمَا يَسُرُّ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَإِعْطَاءِ الْجُعْلِ [شَيْءٍ مِنَ الْمَالِ] لِلْمُبَشِّرِ، وَفِي حَدِيثِ كَعْبٍ: مَشْرُوعِيَّةُ الِاسْتِبَاقِ إِلَى الْبِشَارَةِ بِالْخَيْرِ" اِنْتَهَى.

فَمَنْ بُشِّرَ بِمَوْلُودٍ اسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُعْطِيَ شَيْئًا لِمَنْ بَشَّرَهُ.

وَعَلَى هَذَا؛ فَلَا حَرَجَ فِي إِعْطَاءِ الْمُمَرِّضَةِ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ لِأَجْلِ ذَلِكَ.

**Boleh Memberikan Uang kepada Perawat atau yang Disebut sebagai 'Hadiah untuk Kelahiran Bayi'**

**Pertanyaan:**

Di rumah sakit setelah kelahiran, para perawat datang kepada ayah dan mengucapkan "Selamat atas kelahiran bayi". Lalu sang ayah memberikan sejumlah uang, misalnya 5 pound untuk setiap perawat (yang biasa disebut 'hadiah untuk kelahiran bayi'). Apakah ini diperbolehkan, atau termasuk dalam hal yang tidak diperbolehkan?

**Jawaban:**

Segala puji bagi Allah.

Pada dasarnya, diperbolehkan memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar baik, seperti kelahiran bayi atau kedatangan orang yang lama dinantikan, dan kabar-kabar gembira lainnya.

Diriwayatkan dalam *Shahih al-Bukhari* (4418) dan *Muslim* (2769) mengenai kisah diterimanya taubat Ka’b bin Malik radhiyallahu 'anhu setelah ia tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Ka’b berkata:

"Setelah itu, aku menunggu sepuluh malam hingga genap lima puluh malam sejak Rasulullah melarang orang-orang berbicara kepadaku. Ketika aku selesai salat subuh pada pagi hari ke lima puluh, sementara aku berada di atap rumah, terdengar suara yang berteriak dari atas Gunung Sal’ dengan suara yang lantang: ‘Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!’

Aku pun sujud sebagai rasa syukur dan aku tahu bahwa ada kelapangan. Rasulullah telah mengumumkan diterimanya taubat kami setelah selesai salat subuh. Orang-orang pun datang memberikan kabar gembira kepada kami...

Ketika orang yang membawa kabar itu tiba kepadaku, aku memberikan kedua pakaianku sebagai hadiah kepadanya atas kabar gembira itu. Demi Allah, pada hari itu aku tidak memiliki pakaian lain selain pakaian itu.”

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam *Syarh Muslim* :

“Bahwa salah satu faedah dari hadis ini adalah dianjurkannya membawa kabar baik dan memberi hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar gembira”.

Dalam *al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah* (8/94) disebutkan :

“Bahwa pada kisah Ka’b, ia memberikan dua pakaiannya sebagai hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar gembira itu sebagai balasannya. Qadhi 'Iyadh berkata bahwa ini menunjukkan diperbolehkannya memberikan kabar gembira dan memberikan hadiah sebagai imbalannya, baik untuk kabar baik terkait urusan dunia maupun akhirat.

Maka, bagi seseorang yang mendapatkan kabar gembira tentang kelahiran anak, dianjurkan memberinya sesuatu sebagai hadiah kepada pembawa kabar tersebut.

Oleh karena itu, tidak ada masalah dalam memberikan sejumlah uang kepada perawat untuk hal tersebut”.

Wallahu a'lam.


Posting Komentar

0 Komentar