Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM AL-MAKS (PUNGUTAN LIAR), PAJAK DAN BEA CUKAI

HUKUM AL-MAKS (PUNGUTAN LIAR & JAPREM), IURAN WAJIB, PAJAK DAN BEA CUKAI

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----


===

DAFTAR ISI :

  • DEFINISI AL-MAKS :
  • HUKUM ASAL AL-MAKS:
  • HUKUM PUNGUTAN, UPETI, PAJAK DAN BEA
  • KATEGORI PERTAMA: PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG ATAU LAIN-NYA TANPA ADA JASA:
  • KATEGORI KEDUA: PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG KARENA ADA JASA:
  • APAKAH PAJAK NEGARA & BEA CUKAI ITU TERMASUK AL-MAKS YANG DIHARAMKAN?
  • DEFINISI PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)
  • HUKUM PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)
  • UMAR BIN KHATHAB adalah PEMUNGUT KHARAJ PERTAMA
  • NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM NASRANI NAJRAN:
  • NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM MAJUSI BAHRAIN :
  • PENGECUALIAN MAKNA AL-MAKS
  • BOLEHKAN BAYAR PAJAK DENGAN NIAT BAYAR ZAKAT ???

****

﴿بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾

===***===

DEFINISI AL-MAKS :

Makna dan definisi Al-maks [ المَكْسُ ] :

Menurut Ath-Thiibi rahimahullah [wafat 734 H.] dalam الكَاشِفُ عَنْ حَقَائِقِ السُّنَنِ (8/2519) dia mendefinisikan :

هُوَ الضَّرِيبَةُ الَّتِي يَأْخُذُهَا الْمَاكِسُ وَهُوَ الْعَشَّارُ

Ia adalah adh-dhoribah (upeti) yang dipungut oleh maakis (pemungut liar) , dan itu namanya al-'Asysyaar (pemungut persepuluh) .

( Lihat pula : An-Nihaayah fii Ghoriibil Hadits wal Atsar karya Ibnu al-Atsiir 4/349)

Syeikh Shaleh al-Munajjid berkata :

يُسَمَّى آخِذُهَا (عَشَّار) لِأَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ عُشْرَ أَمْوَالِ النَّاسِ.

“Orang yang memungutnya disebut (‘asy-syār) karena ia mengambil sepersepuluh dari harta orang-orang”. [Islamqa 5/6738].

Al-Baghowi dalam Syarh as-sunnah 10/60 mengatakan :

صَاحِبُ الْمَكْسِ هُوَ الَّذِي يَأْخُذُ مِنَ التُّجَّارِ إِذَا مَرُّوا بِهِ مَكْسًا بِاسْمِ الْعُشْرِ.

Pelaku al-maks adalah orang yang mengambil maks (upeti atau pungutan) dari para pedagang jika mereka melewatinya . Yang dikenal dengan istilah al-'Usyr (persepuluh)".

Al-Khoththoobi rahimahullah (wafat 388 H) dalam مَعَالِمُ السُّنَنِ (3/235 cet. Daar al-Hazm) mendefinisikan :

صَاحِبُ الْمَكْسِ هُوَ الَّذِي يُعَشِّرُ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِينَ، وَيَأْخُذُ مِنَ التُّجَّارِ وَالْمُخْتَلِفَةِ إِذَا مَرُّوا عَلَيْهِ مَكْسًا بِاسْمِ الْعُشْرِ.

Pelaku al-Maks adalah : yang mengambil pungutan persepuluhan dari harta kaum muslimin, dan mengambil dari para pedagang dan yang lain jika mereka melewatinya sebagai maks [pungutan liar] dengan istilah al-'Usyr (persepuluhan].

Al-Khawarizmi dalam Mafaatih al-Uluum hal. 86 mendefinisikannya dengan mengatakan :

هُوَ ضَرِيبَةٌ تُؤْخَذُ مِنَ التُّجَّارِ فِي الْمَرَاصِدِ..

“al-Maks adalah Dhoriibah (upeti) yang diambil dari para pedagang di tempat-tempat penghadangan”. [Lihat pula : Mu’jam Maqooliid al-Uluum karya as-Suyuthi hal. 160 no. 1257].

Abu Hilal Al-Askari berkata:

وَيُطْلَقُ عَلَى الضَّرِيبَةِ الَّتِي تُؤْخَذُ فِي الْأَسْوَاقِ: أَي عَلَى الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ.

Ini disebut dloriibah yang diambil di pasar-pasar : yaitu, pada penjualan dan pembelian.

[baca : Al-Mishbaah 2/703, Ghariib Al-Hadith karya Al-Busti 1/219, dan Al-Ifshooh fi Fiqh Al-Lughoh 1235 ]

Definisi yang terbaik adalah apa yang dikatakan oleh Al-Aluusi, rahimahullah [W. 1317 AH] dalam جَالَاءُ الْعَيْنَيْنِ hal. 283:

الْمَكُوسُ مَا يُؤْخَذُ مِنَ التُّجَّارِ بِغَيْرِ وَجْهِ شَرْعِيٍّ.

"Al-Maks adalah apa yang diambil dari para pedagang secara tidak syar'i".

MAKNA AL-USYR (الْعُشْرِ)

Sementara makna al-Usyr adalah :

الْعُشْرُ هِيَ ضَرِيبَةٌ عَلَى التَّاجِرِ تُشْبِهُ ضَرِيبَةَ الْجَمَارِكِ فِي أَيَّامِنَا الْحَاضِرَةِ، وَاتَّبَعَتِ الدَّوْلَةُ الْعَرَبِيَّةُ الْإِسْلَامِيَّةُ مَبْدَأَ الْمُعَامَلَةِ بِالْمِثْلِ لِلتُّجَّارِ الْأَجَانِبِ، فَكَانَتْ تَأْخُذُ الْعُشْرَ مِنْ رَعَايَاهَا الْأَجَانِبِ، وَنِصْفَ الْعُشْرِ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ، وَرُبْعَ الْعُشْرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَشَرْطُهُ بُلُوغُ ثَمَنِ السِّلْعَةِ مِائَتَيْنِ فَأَكْثَرَ.

Al-‘usyur adalah pungutan wajib yang dikenakan kepada para pedagang yang mirip dengan bea cukai pada zaman kita sekarang. Negara Arab Islam menerapkan prinsip timbal balik terhadap pedagang asing, sehingga mereka mengambil ‘usyur (sepersepuluh) dari warga negara asing, setengah ‘usyur dari ahlul dzimmah, dan seperempat ‘usyur dari kaum muslimin, dengan syarat harga barang mencapai dua ratus atau lebih. [Blackstone، William (1766). Commentaries on the Laws of England vol II. Oxford: Clarendon Press.]

Al-Fayyumi berkata dalam *Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Sharh Al-Kabir* (2/577, cet. Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah):

"وَقَدْ غَلَبَ اسْتِعْمَالُ الْمَكْسِ فِيمَا يَأْخُذُهُ أَعْوَانُ السُّلْطَانِ ظُلْمًا". اهـ

“Penggunaan istilah maks ini telah menjadi kebiasaan untuk apa yang diambil oleh para ajudan penguasa dengan cara yang dzalim”. Selesai.

Imam Al-Dzahabi berkata dalam *Al-Kaba’ir* (hlm. 115, cet. Dar Al-Nadwah Al-Jadidah):

"الْمَكَّاسُ - وَيُسَمَّى مُحَصِّلَ هَذِهِ الضَّرِيبَةِ: الْمَكَّاسُ أَوِ الْمَاكِسُ أَوْ صَاحِبُ الْمَكْسِ أَوِ الْعَشَّارُ - مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِ الظُّلَمَةِ، بَلْ هُوَ مِنَ الظُّلَمَةِ أَنْفُسِهِمْ؛ فَإِنَّهُ يَأْخُذُ مَا لَا يَسْتَحِقُّ، وَيُعْطِيهِ لِمَنْ لَا يَسْتَحِقُّ". اهـ.

“Al-Makkaas - yang disebut juga pemungut upeti ini "al-makkaas, al-maakis, atau pelaku maks, atau al-‘asysyar (pemungut persepuluhan) -adalah termasuk para pembantu pelaku kedzaliman yang paling besar, bahkan dia sendiri termasuk orang-orang dzalim; karena dia mengambil sesuatu yang tidak berhak didapat dan memberikannya kepada yang tidak berhak”. Selesai.

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Ayni berkata dalam *Al-Binayah Sharh Al-Hidayah* (3/390, cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah):

"هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ يَأْخُذُ أَمْوَالَ النَّاسِ ظُلْمًا، وَهُمْ الْقَوْمُ الْمَكَّاسُونَ الَّذِينَ يَأْخُذُونَ مِنَ التُّجَّارِ فِي مِصْرَ وَالشَّامِ وَحَلَبَ فِي أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ مَوَاضِعَ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا" اهـ.

“Al-Maks ini ditujukan kepada orang-orang yang mengambil harta orang secara dzalim, yaitu para pemungut maks yang mengambil dari para pedagang di Mesir, Syam, dan Halab di lebih dari sepuluh tempat secara zalim dan sewenang-wenang”. Selesai.

===***===

HUKUM ASAL AL-MAKS

Hukum Asal al-Maks (pungutan liar, japrem dan yang semisalnya) adalah di haramkan dan termasuk dosa besar atas pelakunya.

Dalil-dalinya adalah sebagai berikut:

DALIL KE 1:

Dari hadits Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu; bawah Rasulullah pernah bersabda:

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ.

“Sesungguhnya penarik pungutan itu masuk neraka”

[HR. Ahmad 4/109 Al-Arna’uth berkata: Hasan lighairihi].

DALIL KE 2:

Dari 'Uqbah bin 'Aamir, bahwa Rosulullah bersabda:

لا يَدْخُلُ الجنةَ صاحِبُ مَكْسٍ

“Tidak akan masuk surga penarik pungutan liar”

[HR. Ahmad 4/143 & 150, Abu Dawud no. 2937, Ad-Daarimiy 1/330, dan Al-Haakim 1/404 Al-Arna’uth berkata: Hasan lighairihi].

Namun di Dha'ifkan oleh syeikh al-Albaani dalam Dha'if Abi Daud no. 2937 dan Dho'if al-Jaami' no. 6341.

DALIL KE 3:

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:

“إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ لَا يُسْأَلُ عَنْ شَيْءٍ وَيُؤْخَذُ كَمَا هُوَ فَيُرْمَى بِهِ فِي النَّارِ”

“Sesungguhnya pengambil pungutan tidak akan ditanya tentang sesuatu sebagaimana mestinya, melainkan ia langsung dilemparkan dengannya ke dalam neraka”

[HR. Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal hal. 704. Dan Lihat: أَحْكَامُ أَهْلِ الذِّمَّةِ فِي أَمْوَالِهِمْ (1/331)]

DALIL KE 4:

Dalam Sahih Muslim, dari Buraidah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda tentang wanita yang berzina kemudian bertaubat dengan di rajam hingga wafat. Beliau bersabda:

فوالذي نَفْسي بيَدِه لقد تابتْ تَوبةً لو تابَها صاحبُ مَكْسٍ لغفَرَ اللهُ له

“Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik al-maks bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya.” (HR. Muslim no. 1685)

Dalam sabda beliau tersebut memberikan satu pengertian dosa para penarik pungutan al-maks lebih besar daripada dosa pelaku zina, karena beliau membandingkan dosa zina dengan sesuatu yang besar/lebih besar agar Mu’adz tidak mencela orang yang telah bertaubat dari perbuatan zina.

Al -Nawawi berkata:

فِيهِ ‌أَنَّ ‌الْمَكْسَ ‌مِنْ ‌أَقْبَحِ ‌الْمَعَاصِي ‌وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ وظلاماتهم عِنْدَهُ وَتَكَرُّرِ ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكِهِ لِلنَّاسِ وَأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَصَرْفِهَا فِي غَيْرِ وَجْهِهَا

“Di dalamnya, menunjukkan bahwa al-Maks adalah salah satu kemaksiatan yang paling buruk dan dosa-dosa yang membinasakan ; dikarenakan banyaknya manusia kelak yang akan menuntutnya…” [al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 11/203]".

Lihat pula: (ذخيرة القربى) 9/242 dan (إكمال المعلم) 5/522

Dan tidak ada bedanya, apakah dia itu mengambilnya dalam bentuk upeti atas nama dirinya atau atas nama badan resmi lain atau atas nama kelompok yang lain.

DALIL KE 5 :

Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ;

عَرَضَ ‌مَسْلَمَةُ ‌بْنُ ‌مُخَلَّدٍ - ‌وَكَانَ ‌أَمِيرًا ‌عَلَى ‌مِصْرَ - عَلَى رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ، أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُورَ، فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ "

“Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan upeti persepuluhan kepada Ruwaifi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”

[HR. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Syu’aib al-Arnauth berkata dalam takhrij al-Musnad 28/212 hadis nomor 17002: 

فِي إِسْنَادِهِ أَبُو الْخَيْرِ- وَهُوَ مَرْثَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اليَزَنِيُّ- وَإِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ السَّمَاعَ مِنْ رُوَيْفِعٍ- لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ بِصِيغَةٍ تَحْتَمِلُ الاِتِّصَالَ، ابْنُ لَهِيعَةَ- وَإِنْ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ- قَدْ صَحَّحُوا سَمَاعَ قُتَيْبَةَ بْنِ سَعِيدٍ مِنْهُ. 

وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" (4493) مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ اللهِ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ، بِهَذَا الإِسْنَادِ، إِلَّا أَنَّهُ زَادَ: يَعْنِي العَاشِرَ. 

وَأَوْرَدَهُ الهَيْثَمِيُّ فِي "المَجْمَعِ" 3/88 وَقَالَ: رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" بِنَحْوِهِ، إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: "صَاحِبُ الْمَكْسِ فِي النَّارِ" يَعْنِي العَاشِرَ، وَفِيهِ ابْنُ لَهِيعَةَ، وَفِيهِ كَلَامٌ. 

وَلَهُ شَاهِدٌ مِنْ حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، سَيَرِدُ (17294) بِلَفْظِ: "لَا يَدْخُلُ صَاحِبُ مَكْسٍ الْجَنَّةَ" وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ.

"Pada sanadnya terdapat Abu al-Khair – yaitu Marthad bin Abdullah al-Yazani – meskipun ia mungkin mendengar dari Ruwaifi’, ia tidak meriwayatkan hadis ini dengan lafaz yang menunjukkan bersambungnya sanad. Ibnu Lahi‘ah – meskipun mengalami ikhtilath (kacau balau hafalannya) – para ulama telah menshahihkan periwayatan Qutaibah bin Sa‘id darinya. 

Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam *al-Kabir* (4493) melalui jalur Abdullah bin Shalih, dari Ibnu Lahi‘ah, dengan sanad ini, hanya saja ia menambahkan: *'yaitu pemungut persepuluh (al-‘Asyir).'*

Al-Haitsami menyebutkan hadis ini dalam *al-Majma‘* 3/88 dan berkata:

*'Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabarani dalam *al-Kabir* dengan lafaz serupa, hanya saja ia mengatakan: "Shahibul maks di neraka" yaitu pemungut pajak, dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi‘ah, yang padanya terdapat kelemahan.'*

Hadis ini memiliki syahid dari hadis Uqbah bin Amir, yang akan disebutkan (17294) dengan lafaz: *"Pemungut pajak tidak akan masuk surga."* Namun, dalam sanadnya terdapat kelemahan." [Kutipan selesai]

Syeikh al-Albani pada awal-nya mendho’ifkannya, lalu beliau menshahihkannnya, sebagaiman yang beliau jelaskan dalam “adh-Dho’ifah” :

“(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [Lihat Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani, jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45.

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Ayni berkata dalam *Al-Binayah Sharh Al-Hidayah* (3/390, cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah):

"هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ يَأْخُذُ أَمْوَالَ النَّاسِ ظُلْمًا، وَهُمْ الْقَوْمُ الْمَكَّاسُونَ الَّذِينَ يَأْخُذُونَ مِنَ التُّجَّارِ فِي مِصْرَ وَالشَّامِ وَحَلَبَ فِي أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ مَوَاضِعَ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا" اهـ.

“Al-Maks disini ditujukan kepada orang-orang yang mengambil harta orang secara dzalim, yaitu para pemungut maks yang mengambil dari para pedagang di Mesir, Syam, dan Halab di lebih dari sepuluh tempat secara zalim dan sewenang-wenang”. (Selesai).

===****===

HUKUM PUNGUTAN, UPETI, PAJAK DAN BEA CUKAI

Berkenaan dengan masalah pemalakan dan pungutan dari para pedagang ini ada DUA KATEGORI pungutan:

****

KATEGORI PERTAMA:
PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG ATAU LAIN-NYA TANPA ADA JASA:

PUNGUTAN LIAR atau JAPREM yang di ambil dari para pedagang dan lain-nya tanpa ada jasa yang diberikan pada mereka, dalam syariat Islam dikenal dengan istilah AL-MAKS [المَكْسُ].

Di antara contoh-nya adalah sbb :

Pertama : seperti pemalakan dan pungutan liar dari para pedagang atau lain-nya yang melintas atau para pedagang yang menempati fasiltas umum yang tidak ada larangan dari pemerintah untuk melakukan berbagai macam kegiatan transaksi usaha di di lokasi tersebut. Lalu para pemungut itu memaksa para pedagang untuk membayar upeti pada mereka, tanpa ada jasa yang selaras dengan upeti yang mereka ambil.

Contoh kedua : seperti pungutan dari para pedagang yang menyewa toko-toko di pasar dari kotamadya atau dari pemiliknya yang sah. Maka ini tidak boleh bagi pemungut al-maks ini mengambil tambahan berupa pungutan liar dari mereka secara dzalim tanpa sebab yang dibenarkan.

Pungutun katagori pertama inilah yang di maksud dengan “Al-Maks” yang diharamkan dalam syariat Islam, dan itu termasuk “DOSA BESAR”.

Para ulama salaf dahulu telah sepakat akan haramnya pungutan-pungutan tersebut dari kaum muslimin.

BERIKUT INI TERMASUK BENTUK-BENTUK AL-MAKS YANG DIHARAMKAN :

Para ahli Fiqh dan ahli bahasa menyebutkan banyak bentuk al-Maks , diantaranya :

مِنْهَا: مَا كَانَ يَفْعَلُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، وَهِيَ دَرَاهِمُ كَانَتْ تُؤْخَذُ مِنَ الْبَائِعِ فِي الْأَسْوَاقِ بِغَيْرِ حَقٍّ.

وَمِنْهَا: دَرَاهِمُ كَانَ يَأْخُذُهَا عَامِلُ الزَّكَاةِ لِنَفْسِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، بَعْدَ أَنْ يَأْخُذَ الزَّكَاةَ.

وَمِنْ ذَلِكَ: دَرَاهِمُ كَانَتْ تُؤْخَذُ بِغَيْرِ حَقٍّ مِنَ التُّجَّارِ إِذَا مَرُّوا، وَكَانُوا يُقَدِّرُونَهَا عَلَى الْأَحْمَالِ أَوِ الرُّؤُوسِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ.

وَمِنْهَا: الضَّرَائِبُ الَّتِي تُؤْخَذُ مِنَ التُّجَّارِ أَوْ مِنْ عَامَّةِ النَّاسِ بِغَيْرِ حَقٍّ.

وَمِنْهَا: الرَّشْوَةُ الَّتِي تُؤْخَذُ فِي الْحُكْمِ وَالشَّهَادَاتِ وَالشَّفَاعَاتِ وَغَيْرِهَا بِاسْمِ الْهَدِيَّةِ.

وَهَذِهِ الصُّوَرُ كُلُّهَا تَدْخُلُ فِي الْمَكْسِ الْمُحَرَّمِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ أَكْلِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ.

Pertama : Apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyah, yaitu uang-uang dirham yang diambil tanpa hak dari para pedagang di pasar

Kedua : Dirham yang diambil tanpa hak oleh petugas zakat untuk dirinya sendiri, setelah dia mengambil zakat.

Ketiga : Dirham yang diambil tanpa hak dari para pedagang ketika mereka lewat, dan mereka menentukan jumlah pungutannya disesuaikan dengan jumlah atau beban angkutan, jumlah kepala, atau sejenisnya.

Keempat : Dhoribah [pungutan wajib] yang diambil tanpa haq dari para pedagang atau dari semua orang.

Kelima : Suap yang diambil dalam proses hukum, kesaksian, syafa'at [syafaat di sini seperti jasa lobi orang dalam atau orang yang berpengaruh] dan lain-lain . Kemudian uang suap itu diatas namakan hadiah .

Semua bentuk ini termasuk dalam al-Maks yang di haramkan, karena memakan uang orang secara Baathil

Lihat : “Al-Amwaal” oleh Qasim bin Salam (637) “Ghariib al-Hadith” oleh al-Khatthabi (1/219) “Al-Mufhim” oleh Abu al-Abbas al-Qurthubi (5/99) “Al-Faa'iq fi Ghariab al-Hadith" (1/82) "Neil al-Awthoor" (13/283) ditahqiq oleh Hallaq dan "Al Mu'jam Al Wasiith" (881).

****

KATEGORI KEDUA:
PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG ATAU LAIN-NYA KARENA ADA JASA:

Pungutan yang diambil oleh individu atau kelompok tertentu atau negara dari para pedagang sebagai uang iuran wajib atau upeti atau pajak, dengan adanya imbalan berupa pemberian jasa fasilitas tertentu atau jasa keamanan atau kesejahteraan bagi para pedagang, dan pungutan itu sangat layak dan selaras dengan jasa yang diberikan, tidak terlalu membebani; maka pungutan semacam ini adalah dibolehkan.

====

APAKAH PAJAK NEGARA ITU TERMASUK AL-MAKS YANG DIHARAMKAN?

JAWABAN PERTAMA:

Penulis Kutip Fatwa SYEIKH ABDULLAH AL-MUTHLAQ, Anggota Hai'ah Kibaar al-Ulama, Mustasyaar Dewan Kerajaan Saudi Arabia:

قَالَ عُضْوُ هَيْئَةِ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ المُسْتَشَارُ فِي الدِّيوَانِ الْمَلَكِيِّ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ الْمُطْلِقُ

Seorang Ulama anggota Dewan Para Ulama Senior, Penasihat Dewan Kerajaan, Sheikh Abdullah Al-Mutlaq, mengatakan:

إِنَّ الضَّرَائِبَ الَّتِي تُفْرِضُهَا الدَّوْلَةُ لِلحُصُولِ عَلَى إِيرَادَاتٍ تُسَاهِمُ فِي تَنْظِيمِ أُمُورِ النَّاسِ لَيْسَتْ مُحَرَّمَةً وَتَخْتَلِفُ عَنِ الْمَكُوسِ الَّتِي تُؤْخَذُ غَصْبًا بِدُونِ وَجْهِ حَقٍّ.

“Pajak yang dikenakan oleh negara agar memperoleh pemasukan kas negara yang digunakan untuk mengatur negara dan mensejahterakan rakyat, itu tidak diharamkan. Dan itu berbeda dengan cukai [al-Maks] yang diambil dengan paksa tanpa hak”.

وَأَوْضَحَ الْمُطْلِقُ عَبْرَ إِذَاعَةِ نِدَاءِ الْإِسْلَامِ قَائِلًا: الْمَكُوسُ هُوَ الْأَخْذُ بِغَيْرِ حَقٍّ.. أَمَّا حُكُومَةٌ تُنَظِّمُ الْأَمْرَ وَتُوَظِّفُ رِجَالَ الْأَمْنِ وَالْقُضَاةِ وَتُنشِئُ الطُّرُقَاتِ وَتُنَظِّمُ الْبَلْدِيَّاتِ وَأُمُورَ التِّجَارَةِ وَتَفْتَحُ مُسْتَشْفَيَاتِ الصِّحَّةِ، وَتَعْمَلُ هَذِهِ الْأَعْمَالَ وَتَأْخُذُ مِنَ النَّاسِ مَا يُعِينُهَا عَلَى هَذِهِ الْخَدَمَاتِ لَيْسَتْ مُكُوسًا وَلَيْسَتْ أَشْيَاءً مُحَرَّمَةً مَتَى مَا اسْتُعْمِلَتْ فِي الْخَدَمَاتِ النَّافِعَةِ.

Al-Mutlaq menjelaskan di radio " NIDA AL-ISLAM”, mengatakan:

AL-MAKS adalah pungutan liar yang diambil secara tidak sah...

Adapun [pajak yang diambil] oleh pemerintah, itu bertujuan untuk mengatur urusan negara, mempekerjakan para petugas keamanan, para hakim, membangun jalan-jalan raya, mengatur urusan perdagangan, membangun rumah sakit – rumah sakit dan lainnya.

Dan pemerintah bertugas mengerjakan pekerjaan-pekerjan ini semua. Lalu pemerintah mengambil dana [pajak] dari masyarakat untuk membantu pemerintah agar bisa terlaksana dalam memberikan layanan-layanan tersebut.

Pajak seperti ini bukanlah AL-MAKS [pungutan liar] dan bukan pula sesuatu yang di haramkan jika digunakan untuk memberikan pelayanan-pelayanan yang bermanfaat.

وَأَضَافَ الْمُطْلِقُ، فِي هَذِهِ الْأُمُورِ يَتَحَدَّثُ بَعْضُ الْحَاقِدِينَ أَوِ الْجَاهِلِينَ، مُبَيِّنًا أَنَّ الْحَاقِدَ يُرِيدُ زَرْعَ الْبَغْضَاءِ بَيْنَ الدَّوْلَةِ وَالْمُواطِنِينَ، وَالْجَاهِلُونَ هُمْ الَّذِينَ لَا يُفَرِّقُونَ بَيْنَ الضَّرَائِبِ وَالْمَكُوسِ.

Lalu Syeikh Al-Mutlaq menambahkan:

Dalam perkara-perkara ini, ada sebagian para pendengki atau orang-orang bodoh berbicara seenaknya, yang menunjukkan bahwa si pendengki ini ingin menabur kebencian antara negara dan rakyat.

Dan orang-orang bodoh ini, mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membedakan antara pajak dan al-Maks [pemalakan liar]

وَحَسَبَ البَيِّنَاتِ الْمُتَوَفِّرَةِ فِي "أَقْرَامٍ" بَدَأَتِ الْمَمْلَكَةُ الْعَرَبِيَّةُ السَّعُودِيَّةُ فِي تَطْبِيقِ ضَرِيبَةِ الْقِيمَةِ الْمُضَافَةِ بِنِسْبَةِ 5% اعْتِبَارًا مِنْ 1 يَنَايِر 2018.

Menurut data yang tersedia dalam "Arqoom", Kerajaan Arab Saudi telah mulai menerapkan pajak harga tambahan sebesar 5% per 1 Januari 2018.

JAWABAN KEDUA : Penulis kutip FATWA DARUL IFTA AL-MASHRIYYAH :

Darul Ifta al-Mashriyyah dalam artikel “الْفَرْقُ بَيْنَ الضَّرَائِبِ وَالْمَكْسِ الْمَحْرَمِ” Fatwa Tanggal 10 Feb 2020 M menyatakan :

أَمَّا الْمَكْسُ فَلَا عِلَاقَةَ لَهُ بِالضَّرَائِبِ الَّتِي تَفْرِضُهَا الدَّوْلَةُ عَلَى نَحْوِ مَا قَرَّرْنَاهُ؛ إِذْ إِنَّ الْمَكْسَ فِي اللُّغَةِ هُوَ النَّقْصُ وَالظُّلْمُ، وَيُطْلَقُ لَفْظُ الْمَكْسِ عَلَى جِبَايَةٍ - أَيْ: جَمْعٍ وَأَخْذٍ - الْمَالِ مِنَ النَّاسِ بِغَيْرِ حَقٍّ

Adapun al-maks tidak ada kaitannya dengan pajak yang dipungut oleh negara sebagaimana telah kita jelaskan; karena secara bahasa maks berarti pengurangan dan ketidakadilan. Istilah maks digunakan untuk memungut -yaitu mengumpulkan dan mengambil- harta dari orang-orang tanpa hak.

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Ayni berkata dalam *Al-Binayah Sharh Al-Hidayah* (3/390, cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah):

"هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ يَأْخُذُ أَمْوَالَ النَّاسِ ظُلْمًا، وَهُمْ الْقَوْمُ الْمَكَّاسُونَ الَّذِينَ يَأْخُذُونَ مِنَ التُّجَّارِ فِي مِصْرَ وَالشَّامِ وَحَلَبَ فِي أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ مَوَاضِعَ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا ...

وَمِنْ ثَمَّ فَلَا تَدْخُلُ تَحْتَ هَذَا الْوَعِيدِ الشَّدِيدِ الضَّرَائِبُ الَّتِي تَفْرِضُهَا الدَّوْلَةُ لِتُغَطِّي نَفَقَاتِ الْمِيزَانِيَّةِ، وَتَسُدَّ حَاجَاتِ الْبِلَادِ مِنَ الْإِنْتَاجِ وَالْخَدَمَاتِ، وَتُقِيمَ مَصَالِحَ الْأُمَّةِ الْعَامَّةِ الْعَسْكَرِيَّةِ وَالِاقْتِصَادِيَّةِ وَالثَّقَافِيَّةِ وَغَيْرِهَا، وَتَنْهَضَ بِالشَّعْبِ فِي جَمِيعِ الْمَيَادِينِ، حَتَّى يَتَعَلَّمَ كُلُّ جَاهِلٍ، وَيَعْمَلَ كُلُّ عَاطِلٍ، وَيَشْبَعَ كُلُّ جَائِعٍ، وَيَأْمَنَ كُلُّ خَائِفٍ، وَيُعَالَجَ كُلُّ مَرِيضٍ، فَإِنَّهَا وَاجِبَةٌ، وَلِلدَّوْلَةِ الْحَقُّ فِي فَرْضِهَا وَأَخْذِهَا مِنَ الرَّعِيَّةِ.

ٱلْخُلَاصَةُ : بِنَاءً عَلَى ذَلِكَ: فَإِنَّ ٱلضَّرِيبَةَ ٱلَّتِي تَفْرِضُهَا ٱلدَّوْلَةُ حَسَبَ ٱلْمَصْلَحَةِ وَبِقَدْرِ ٱلْحَاجَةِ لِلنُّهُوضِ بِٱلشَّعْبِ فِي جَمِيعِ ٱلْمَيَادِينِ لَا عِلَاقَةَ لَهَا بِٱلْمَكْسِ ٱلْمُحَرَّمِ شَرْعًا؛ ذَلِكَ أَنَّهَا تُفْرَضُ مِنْ أَجْلِ ٱلْحَقِّ وَتُصْرَفُ فِيهِ، بِخِلَافِ ٱلْمَكْسِ؛ فَإِنَّهُ يُؤْخَذُ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَيُنْفَقُ فِي غَيْرِ حَقٍّ." اهـ.

“Al-Maks ini ditujukan kepada orang-orang yang mengambil harta orang secara zalim, yaitu para pemungut maks yang mengambil dari para pedagang di Mesir, Syam, dan Halab di lebih dari sepuluh tempat secara zalim dan sewenang-wenang ..... .

Oleh karena itu, pajak-pajak yang dipungut oleh negara untuk menutup kebutuhan anggaran, memenuhi kebutuhan negara akan produksi dan pelayanan, menegakkan kemaslahatan umum umat dalam bidang militer, ekonomi, budaya, dan lainnya, serta mengangkat derajat rakyat dalam segala bidang—agar setiap orang bodoh belajar, setiap pengangguran bekerja, setiap orang lapar kenyang, setiap orang takut merasa aman, dan setiap orang sakit mendapat pengobatan—tidak termasuk dalam ancaman keras al-Maks ini. Pajak tersebut wajib, dan negara berhak untuk menetapkan dan mengambilnya dari rakyat.

Kesimpulan : Berdasarkan hal tersebut: pajak yang dipungut oleh negara sesuai dengan kepentingan dan sesuai dengan kebutuhan untuk memajukan rakyat di semua bidang tidak ada kaitannya dengan maks yang diharamkan secara syariat; karena pajak itu dipungut untuk hak dan digunakan sesuai haknya, berbeda dengan maks yang diambil tanpa hak dan dibelanjakan secara tidak benar. [SELESAI]

===***===

DEFINISI PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)

Definisi pajak (الضَّرِيْبَةُ):

مِقْدَارٌ مُحَدَّدٌ مِنَ الْمَالِ تُفْرِضُهُ الدَّوْلَةُ فِي أَمْوَالِ الْمُواطِنِينَ، دُونَ أَنْ يُقَابِلَ ذَلِكَ نَفْعٌ ظَاهِرٌ يَعُودُ بِشَكْلٍ خَاصٍّ عَلَى دَافِعِ الْمَالِ، فَتُفْرَضُ عَلَى الْمِلْكِ وَالْعَمَلِ وَالدَّخْلِ نَظِيرَ خِدْمَاتٍ وَالْتِزَامَاتٍ تَقُومُ بِهَا الدَّوْلَةُ لِصَالِحِ الْمُجْتَمَعِ بِشَكْلٍ عَامٍّ، وَهِيَ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْقَوَانِينِ وَالْأَحْوَالِ.

Pajak adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh negara atas harta warga negara, tanpa adanya manfaat langsung yang kembali secara khusus kepada pembayar pajak. Pajak dikenakan atas kepemilikan, pekerjaan, dan penghasilan sebagai imbal balik atas layanan dan tanggung jawab yang dijalankan negara demi kepentingan masyarakat secara umum. Pajak ini berbeda-beda tergantung hukum dan kondisi. 

[Sumber : "Al-Mu'jam Al-Wasith" (1/537, cet. Dar Ad-Da'wah), dan "Taj Al-'Arus" karya Az-Zabidi (3/249, cet. Dar Al-Hidayah). Lihat pula : Darul Ifta al-Masriyyah, Tanggal Fatwa : 27 Oct 2014].

Definisi Bea Cukai (ٱلْجَمَارِكُ) :

هِيَ رُسُومٌ أَوْ ضَرَائِبُ جُمْرُكِيَّةٌ تَفْرِضُهَا ٱلْحُكُومَةُ عَبْرَ سُلُطَاتِ ٱلْجَمَارِكِ عَلَى ٱلسِّلَعِ ٱلْمُسْتَوْرَدَةِ مِنْ خَارِجِ ٱلْبِلَادِ، وَتَهْدِفُ إِلَى زِيَادَةِ تَكْلِفَةِ ٱلسِّلَعِ ٱلْأَجْنَبِيَّةِ، مِمَّا يَجْعَلُهَا أَقَلَّ تَنَافُسِيَّةً مُقَارَنَةً بِٱلْمُنْتَجَاتِ ٱلْمَحَلِّيَّةِ.

Bea  Cukai atau pajak bea masuk adalah pungutan atau pajak yang dikenakan oleh pemerintah melalui otoritas bea cukai terhadap barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan biaya barang-barang asing sehingga menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dalam negeri.

Tarif bea masuk merupakan bagian penting dari peraturan perdagangan internasional dan digunakan untuk mengatur serta mengendalikan arus barang antarnegara. Pungutan ini dihitung berdasarkan jenis barang, jumlahnya, dan negara asal barang tersebut.

Sepanjang sejarah, tarif bea masuk telah membantu mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat kemampuan ekonomi domestik dalam menghadapi tekanan ekonomi dari luar.

*****

HUKUM PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)

Waliul amri (Pemerintah) diperbolehkan menetapkan pajak yang adil dalam penetapannya dan pemungutannya sebagai tambahan dari apa yang dipungut dari harta zakat, guna menutupi pengeluaran umum dan kebutuhan penting umat. Hal ini karena waliul amri bertanggung jawab dalam menjaga kemaslahatan umum yang memerlukan pengeluaran besar, terutama di masa kini di mana tugas-tugas negara semakin banyak, fasilitasnya makin luas, dan krisis ekonomi global makin meningkat.

Negara memiliki apa yang disebut dengan anggaran umum, yang mencakup pendapatan umum dan pengeluaran umum. Jika pengeluaran negara melebihi pendapatan umum, maka hal itu berarti terjadi defisit dalam anggaran negara, dan negara harus menutupi kekurangan ini dengan berbagai cara, di antaranya melalui pemungutan pajak. Namun, dalam menetapkan pajak hendaknya diperhatikan agar tidak menambah beban orang-orang berpenghasilan rendah dan tidak memperparah kemiskinan mereka. Pajak sebaiknya diarahkan kepada kelompok yang tidak merasa berat seperti kalangan investor dan pengusaha yang wajib berkontribusi terhadap rakyat dan tanah air mereka.

Telah ditetapkan oleh banyak sahabat seperti Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Hasan bin Ali, dan Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anhum ajma'in, serta dari kalangan tabi'in seperti Asy-Sya'bi, Mujahid, Thawus, dan 'Atha', bahwa hak yang wajib pada harta seorang muslim tidak terbatas pada zakat yang diwajibkan. [Lihat: *Al-Muhalla bil Atsar* karya Ibnu Hazm (6/158)].

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ﴾

"Bukanlah kebajikan itu dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan budak, serta menegakkan salat dan menunaikan zakat; orang-orang yang menepati janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan saat peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 177]

Petunjuk dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta'ala menyebutkan perintah menunaikan zakat, dan juga menyebutkan perintah memberikan harta kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin.

Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "memberikan harta" dalam ayat tersebut berbeda dengan zakat, dan bahwa dalam harta ada hak selain zakat.

Ayat ini menggabungkan antara memberikan harta karena kecintaan (kepada Allah) dan menunaikan zakat dengan menggunakan lafaz ‘dan’ (و) yang menunjukkan adanya perbedaan. Ini merupakan dalil bahwa dalam harta terdapat hak selain zakat agar perbedaan itu sah. 

Al-Fakhrur-Razi berkata dalam *Mafātīḥ Al-Ghayb* (5/216, cet. Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi):

اخْتَلَفُوا ‌فِي ‌الْمُرَادِ ‌مِنْ ‌هَذَا ‌الْإِيتَاءِ فَقَالَ قَوْمٌ: إِنَّهَا الزَّكَاةُ وَهَذَا ضَعِيفٌ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ تَعَالَى عَطَفَ الزَّكَاةَ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ: وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَمِنْ حَقِّ الْمَعْطُوفِ وَالْمَعْطُوفِ عَلَيْهِ أَنْ يَتَغَايَرَا، فَثَبَتَ أَنَّ الْمُرَادَ به غير الزكاة، ثم إنه لا يخلوا إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنَ التَّطَوُّعَاتِ أَوْ مِنَ الْوَاجِبَاتِ، لَا جَائِزٌ أَنْ يَكُونَ مِنَ التَّطَوُّعَاتِ لِأَنَّهُ تَعَالَى قَالَ فِي آخِرِ الْآيَةِ: أُولئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ وَقَفَ التَّقْوَى عَلَيْهِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ نَدْبًا لَمَا وَقَفَ التَّقْوَى عَلَيْهِ، فَثَبَتَ أَنَّ هَذَا الْإِيتَاءَ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ الزَّكَاةِ إِلَّا أَنَّهُ مِنَ الْوَاجِبَاتِ

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari pemberian dalam ayat ini; sebagian berkata: itu adalah zakat. Ini pendapat yang lemah, karena Allah Ta'ala mengaitkan zakat dengannya dengan firman-Nya:

“dan mendirikan salat serta menunaikan zakat”.

Sedangkan yang dihubungkan (ma‘thuf) dan yang dihubungi (ma‘thuf ‘alayh) haruslah berbeda. Maka terbukti bahwa yang dimaksud bukanlah zakat.

Selanjutnya, hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi dari jenis anjuran (tathawwu‘), atau dari kewajiban. Namun itu tidak mungkin dari jenis anjuran, karena Allah Ta'ala berfirman di akhir ayat:

“Mereka itulah orang-orang yang benar (iman mereka); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Allah menjadikan ketakwaan tergantung padanya. Jika itu hanya anjuran, niscaya ketakwaan tidak tergantung padanya. Maka terbukti bahwa pemberian ini, meskipun bukan zakat, namun ia termasuk kewajiban”. Selesai.

Diriwayatkan dari Asy-Sya‘bi :

أَنَّهُ ‌سُئِلَ ‌عَمَّنْ ‌لَهُ ‌مَالٌ ‌فَأَدَّى ‌زَكَاتَهُ ‌فَهَلْ ‌عَلَيْهِ ‌شَيْءٌ ‌سِوَاهُ؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَصِلُ الْقَرَابَةَ، وَيُعْطِي السَّائِلَ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ

"Bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta lalu telah menunaikan zakatnya, apakah masih ada kewajiban lain selain itu? Maka ia menjawab: "Ya, ia wajib menyambung hubungan kekerabatan dan memberi kepada orang yang meminta." Lalu ia membacakan ayat ini". [Lihat : Tafsir Mafātīḥ Al-Ghayb  karya al-Fakhrur Razy 5/216 dan Majma’ al-Fiqhi al-Islami 4/1110]

Imam Ibnu Hazm berkata dalam *Al-Muhallā bil-Ātsār* (4/281, cet. Dar Al-Fikr):

‌وَفُرِضَ ‌عَلَى ‌الْأَغْنِيَاءِ ‌مِنْ ‌أَهْلِ ‌كُلِّ ‌بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ، وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ، إنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَوَاتُ بِهِمْ، وَلَا فِي سَائِرِ أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ، فَيُقَامُ لَهُمْ بِمَا يَأْكُلُونَ مِنْ الْقُوتِ الَّذِي لَا بُدَّ مِنْهُ، وَمِنْ اللِّبَاسِ لِلشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ بِمِثْلِ ذَلِكَ، وَبِمَسْكَنٍ يَكُنُّهُمْ مِنْ الْمَطَرِ، وَالصَّيْفِ وَالشَّمْسِ، وَعُيُونِ الْمَارَّةِ

“Dan telah diwajibkan atas orang-orang kaya dari setiap negeri untuk menanggung kebutuhan fakir miskin mereka, dan pemerintah wajib memaksa mereka untuk melakukan hal itu jika zakat tidak mencukupi bagi mereka, maupun dari seluruh harta kaum muslimin. Maka dipenuhi kebutuhan mereka berupa makanan pokok yang tidak bisa ditinggalkan, pakaian untuk musim dingin dan musim panas sesuai kebutuhan tersebut, serta tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas, sinar matahari, dan pandangan orang yang lewat”. Selesai.

Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha, ia berkata:

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الزَّكَاةِ، فَقَالَ: «إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ»، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ الَّتِي فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ: ﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ﴾ [البقرة: ١٧٧].

Rasulullah ditanya tentang zakat, maka beliau bersabda: Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.” 

Lalu beliau ﷺ membaca ayat dalam Surah Al-Baqarah, (yang artinya) :

"Bukanlah kebajikan itu hanya dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat..." (Al-Baqarah: 177).

[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (660) dan lafaz ini miliknya, juga oleh ad-Darimi (1677), dan ath-Thabarani dalam *al-Mu'jam al-Kabir* (24/403) (979) dengan sedikit perbedaan. Sanadnya dinilai dho’if oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shoghir no. 2327].

Imam Al-Qurthubi berkata dalam ktab Tafsir-nya setelah menyebutkan hadis tersebut (2/242):

"وَالْحَدِيثُ وَإِنْ كَانَ فِيهِ مَقَالٌ فَقَدْ دَلَّ عَلَى صِحَّتِهِ مَعْنًى مَا فِي الآيَةِ نَفْسِهَا مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ﴾ [البقرة: ١٧٧]، فَذَكَرَ الزَّكَاةَ مَعَ الصَّلَاةِ، وَذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ: ﴿وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ﴾ [البقرة: ١٧٧] لَيْسَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَكُونُ تَكْرَارًا، وَاللهُ أَعْلَمُ" اهـ.

"Meskipun hadis itu terdapat pembicaraan (kritik) pada sanadnya, namun makna ayat itu sendiri menunjukkan kebenarannya, yaitu firman Allah Ta'ala: 

'Dan yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat' (Al-Baqarah: 177). 

Allah menyebutkan zakat bersama shalat, dan itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: 

'Dan memberikan harta karena cinta kepada-Nya' (Al-Baqarah: 177) 

Itu bukanlah zakat yang diwajibkan, karena jika demikian akan terjadi pengulangan. Wallahu a'lam." [Selesai].

Lalu al-Qurthubi berkata :

وَاتَّفَقَ ‌الْعُلَمَاءُ ‌عَلَى ‌أَنَّهُ ‌إِذَا ‌نَزَلَتْ ‌بِالْمُسْلِمِينَ ‌حَاجَةٌ بَعْدَ أَدَاءِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الْمَالِ إِلَيْهَا. قَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ: يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فِدَاءُ أَسْرَاهُمْ وَإِنِ اسْتَغْرَقَ ذَلِكَ أَمْوَالَهُمْ. وَهَذَا إِجْمَاعٌ أَيْضًا، وَهُوَ يُقَوِّي مَا اخْتَرْنَاهُ، وَالْمُوَفِّقُ الْإِلَهُ.

“Para ulama sepakat bahwa apabila kaum muslimin tertimpa kebutuhan mendesak setelah mereka menunaikan zakat, maka wajib mengarahkan harta untuk kebutuhan tersebut. Imam Malik rahimahullah berkata: 

“Wajib bagi manusia untuk menebus tawanan mereka, meskipun hal itu menghabiskan seluruh harta mereka.” 

Ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan para ulama), dan hal ini menguatkan pendapat yang kami pilih. Dan taufik berasal dari Allah”. [Selesai]

Dengan demikian, telah tetap bahwa pada harta seorang muslim yang kaya terdapat hak selain zakat, terlebih lagi ketika masyarakat sedang membutuhkan harta-harta tersebut. Dan inilah makna sejati dari solidaritas dan kerja sama sosial.

Solidaritas sosial adalah sebuah kewajiban, karena masyarakat memiliki hak atas individu untuk bekerja sama dalam mewujudkan seluruh kepentingan negara. Dan umat Islam memiliki hak atas harta seorang individu; karena dia tidak memperoleh hartanya kecuali melalui mereka. Merekalah yang berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak, dalam membentuk kekayaan orang kaya. Dan tanpanya, kehidupan seseorang sebagai manusia di dalam masyarakat tidak akan sempurna.

Maka jika di dalam negara Islam terdapat orang-orang yang membutuhkan dan zakat tidak mencukupi mereka, atau terdapat kebutuhan kelompok seperti perlindungan militer atau ekonomi yang menuntut pembiayaan, atau agama Allah dan dakwah serta penyampaian risalah membutuhkan dana untuk menegakkannya, maka kewajiban yang ditetapkan oleh Islam adalah bahwa harus dipungut dari harta orang-orang kaya sejumlah dana yang dapat mewujudkan hal-hal tersebut. Karena melaksanakan kebutuhan-kebutuhan ini adalah kewajiban para penguasa kaum muslimin, dan kewajiban tersebut tidak akan terlaksana kecuali dengan dana, dan dana tidak bisa ada kecuali dengan pemungutan pajak. Maka sesuatu yang kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengannya, hukumnya juga menjadi wajib.

Demikian pula, di antara kaidah-kaidah fikih yang bersifat universal dan disepakati oleh para ulama adalah:

"يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ".

 “Menanggung bahaya yang lebih ringan untuk mencegah bahaya yang lebih besar,”

Dan :

"يَجِبُ تَحَمُّلُ الضَّرَرِ الْأَدْنَى لِدَفْعِ ضَرَرٍ أَعْلَى وَأَشَدِّ".

 “Wajib menanggung kerugian kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan lebih berat.”

[Lihat: *Al-Asybah wa An-Nazhair* karya Ibnu Nujaym Al-Hanafi (hal. 87)].

Tidak diragukan lagi bahwa penerapan kaidah-kaidah fikih ini tidak hanya membolehkan pengambilan pajak, tetapi bahkan mewajibkannya dan memerintahkan pelaksanaannya demi mewujudkan kemaslahatan umat dan negara, serta untuk menolak kerusakan, kerugian, dan bahaya dari mereka.

Imam Ibnu Hazm berkata dalam "Al-Muhalla" (6/156):

وَفُرِضَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ، وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ إِنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَاوَاتُ بِهِمْ] اهـ.

“Dan diwajibkan atas orang-orang kaya dari setiap negeri untuk mengurus fakir miskin mereka, dan penguasa memaksa mereka jika zakat tidak mencukupi mereka”. (Selesai).

Di antara kaidah yang juga telah ditetapkan adalah :

"الضَّرُورَةَ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا"

"Kebutuhan (darurat) harus diukur sesuai kadar yang diperlukan"

Maka tidak boleh kebutuhan melebihi kadar yang perlu, dan harus diperhatikan dalam menetapkan serta cara pengambilannya agar dampaknya ringan bagi individu.

Dasar dari pajak adalah membentuk dana negara yang digunakan untuk membantu menjalankan tugas-tugasnya dan memenuhi kewajibannya. Dana yang dikumpulkan dari pajak digunakan untuk fasilitas umum yang manfaatnya dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat, seperti pertahanan, keamanan, peradilan, pendidikan, kesehatan, transportasi, irigasi, drainase, dan berbagai kepentingan lain yang dinikmati oleh seluruh warga negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tidak diragukan bahwa pengambilan pajak dari individu adalah mengambil sebagian dari harta mereka dan membuat mereka tidak bisa menikmatinya sepenuhnya. Namun, pengambilan ini diperbolehkan karena darurat mengharuskannya, karena tidak mungkin menjalankan kepentingan umum tanpa hal itu, dan kepentingan umum lebih utama daripada kepentingan pribadi.

Jika negara-negara Islam di zaman kita ini dibiarkan tanpa pajak untuk membiayai kebutuhan, maka pasti negara-negara tersebut akan runtuh setelah waktu singkat berdirinya, dan kelemahan akan menggerogoti seluruh aspek negara tersebut, apalagi dengan adanya ancaman militer. Saat ini, pengadaan senjata dan biaya tentara membutuhkan sumber dana yang sangat besar.

Namun, kekuatan saat ini tidak hanya terbatas pada senjata dan tentara saja; kekuatan dan keunggulan juga harus ada dalam berbagai aspek kehidupan ilmiah, industri, dan ekonomi. Semua itu membutuhkan pasokan dana yang besar, dan satu-satunya cara adalah dengan mengenakan pajak sebagai bentuk jihad dengan harta; agar individu memperkuat bangsanya, melindungi negaranya, sehingga memperkuat dirinya sendiri, dan melindungi agamanya, darahnya, hartanya, dan kehormatannya. [Lihat: "Al-Muhalla" (2/1077)].

Dan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya seperti pertahanan, keamanan, peradilan, pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, irigasi, drainase, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang penting dan tidak bisa dihilangkan atau diabaikan oleh negara Islam maupun negara manapun. Maka dari mana negara akan membiayai fasilitas-fasilitas tersebut dan menjalankan kepentingan-kepentingan tersebut?

Negara Islam pada masa lalu membiayai kepentingan-kepentingan tersebut dari sumber-sumber yang kini tidak ada lagi, seperti: khums (seperlima) dari rampasan perang yang didapatkan oleh kaum Muslimin dari musuh-musuh mereka yang berperang, atau dari harta  harta yang Allah berikan kepada mereka dari harta kaum musyrik tanpa peperangan (الفَيْءُ) maupun dengan pertempuran (الغَنِيْمَةُ). Maka ketika sudah tidak ada peperangan, maka tidak ada sumber lain untuk membiayai kepentingan umat kecuali dengan memungut pajak sebanyak yang mampu mewujudkan kepentingan yang wajib diwujudkan.

Sekelompok ulama fiqih dari mazhab yang diikuti telah membolehkan pajak, namun mereka tidak menyebutnya dengan nama (الضَّرَائِبُ /pajak), melainkan sebagian ulama Hanafi menyebutnya (النَّوَائِبُ /an-nawā’ib) jamak dari (nā'ib), yaitu sesuatu yang mewakili individu atas nama penguasa, baik secara benar maupun tidak benar.

Dalam catatan kaki kitab “Radd al-Muhtar” karya Al-Allamah Ibn ‘Abidin, dijelaskan makna an-nawā’ib (4/282):

[مَا يَكُونُ بِحَقٍّ كَأُجْرَةِ الْحُرَّاسِ، وَكَرْيِ النَّهْرِ الْمُشْتَرَكِ، وَالْمَالِ الْمُوَظَّفِ لِتَجْهِيزِ الْجَيْشِ، وَفِدَاءِ الْأَسْرَى إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ شَيْءٌ وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ بِحَقٍّ، فَالْكَفَالَةُ بِهِ جَائِزَةٌ بِالِاتِّفَاقِ؛ لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مُوسِرٍ بِإِيجَابِ طَاعَةِ وَلِيِّ الْأَمْرِ فِيمَا فِيهِ مَصْلَحَةُ الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يَلْزِمْ بَيْتَ الْمَالِ أَوْ لَزِمَهُ وَلَا شَيْءَ فِيهِ. وَإِنْ أُرِيدَ بِهَا مَا لَيْسَ بِحَقٍّ كَالْجِبَايَاتِ الْمُوَظَّفَةِ عَلَى النَّاسِ فِي زَمَانِنَا بِبِلَادِ فَارِسَ عَلَى الْخَيَّاطِ وَالصَّبَّاغِ وَغَيْرِهِمْ لِلْسُلْطَانِ فِي كُلِّ يَوْمٍ أَوْ شَهْرٍ، فَإِنَّهَا ظُلْمٌ] اهـ.

[Yang berhak seperti upah para penjaga, sewa sungai bersama, dana yang diamanahkan untuk menyiapkan pasukan, tebusan tawanan jika tidak ada di baitul mal, dan yang lainnya yang memang berhak, maka tanggungan ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan; karena itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu untuk menaati penguasa dalam hal yang merupakan kemaslahatan umat Islam, tanpa membebani baitul mal, dan tidak pula baitul mal yang membebani. Namun jika yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak berhak, seperti pungutan yang dibebankan pada masyarakat pada zaman kita di Persia terhadap tukang jahit, tukang pewarna dan lainnya untuk penguasa setiap hari atau bulan, maka itu adalah zalim] selesai.

Al-Allamah Ibnu ‘Abidin juga meriwayatkan dari Al-Allamah Abu Ja’far Al-Balkhi (2/57):

"مَا يَضْرِبُهُ السُّلْطَانُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَصْلَحَةً لَهُمْ يَصِيرُ دَيْنًا وَاجِبًا وَحَقًّا مُسْتَحَقًّا كَالْخِرَاجِ، وَقَالَ مُشَايِخُنَا: وَكُلُّ مَا يَضْرِبُهُ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ لِمَصْلَحَةٍ لَهُمْ فَالْجَوَابُ هَكَذَا، حَتَّى أُجْرَةُ الْحَرَّاسِينَ لِحِفْظِ الطَّرِيقِ، وَاللُّصُوصِ، وَنَصْبِ الدُّرُوبِ، وَأَبْوَابِ السُّكُّكِ، وَهَذَا يُعْرَفُ، وَلَا يُعَرَّفُ خَوْفَ الْفِتْنَةِ، ثُمَّ قَالَ: فَعَلَى هَذَا مَا يُؤْخَذُ فِي خَوَارِزْمَ مِنَ الْعَامَّةِ لِإِصْلَاحِ مَسْنَاةِ الْجِيحُونِ أَوِ الرَّبْضِ وَنَحْوِهِ مِنْ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ دَيْنٌ وَاجِبٌ لَا يَجُوزُ الِامْتِنَاعُ عَنْهُ وَلَيْسَ بِظُلْمٍ، وَلَكِنْ يُعْلَمُ هَذَا الْجَوَابُ لِلْعَمَلِ بِهِ وَكَفِّ اللِّسَانِ عَنِ السُّلْطَانِ وَسَعَاتِهِ فِيهِ لَا لِلتَّشْهِيرِ؛ حَتَّى لَا يَتَجَاسَرُوا فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْقَدْرِ الْمُسْتَحَقِّ" اهـ.

"Apapun yang dipungut oleh penguasa atas rakyat untuk kemaslahatan mereka, menjadi hutang wajib dan hak yang harus diterima seperti kharaj (pajak tanah). Dan para ulama kami berkata: apa pun yang dipungut oleh imam atas mereka untuk kemaslahatan mereka, maka jawabannya demikian, termasuk upah para penjaga jalan, para pencuri, pemasangan rambu-rambu dan pintu jalan, ini sudah diketahui dan tidak perlu dikhawatirkan fitnah. Kemudian beliau berkata: berdasarkan hal ini, apa yang diambil di Khwarezm dari rakyat untuk memperbaiki bendungan Jayhun atau Rabadh dan sejenisnya yang merupakan kemaslahatan umum adalah hutang wajib yang tidak boleh ditolak dan bukan zalim, tapi jawaban ini untuk diamalkan dan mencegah orang mengkritik penguasa, bukan untuk diumumkan agar mereka tidak berani melebihi batas hak yang seharusnya" (Selesai).

Dari kalangan Madzhab Maliki, Imam Asy-Syatibi berkata dalam “Al-I'tishom” (3/25 dan seterusnya):

[إِنَّا إِذَا قَدَرْنَا إِمَامًا مُطَاعًا مُفْتَقِرًا إِلَى تَكْثِيرِ الْجُنُودِ؛ لِسَدِّ الثُّغُورِ وَحِمَايةِ الْمُلْكِ الْمُتَّسِعِ الْأَقْطَارِ، وَخَلَا بَيْتُ الْمَالِ عَنِ الْمَالِ، وَارْتَفَعَتْ حَاجَاتُ الْجُنْدِ إِلَى مَا لَا يَكْفِيهِمْ، فَلِلْإِمَامِ -إِذَا كَانَ عَدْلًا- أَنْ يُوَظِّفَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مَا يَرَاهُ كَافِيًا لَهُمْ فِي الْحَالِ إِلَى أَنْ يَظْهَرَ مَالٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَإِنَّمَا لَمْ يُنْقَلْ مِثْلُ هَذَا عَنِ الْأَوَّلِينَ؛ لِاتِّسَاعِ مَالِ بَيْتِ الْمَالِ فِي زَمَانِهِمْ بِخِلَافِ زَمَانِنَا، فَإِنَّ الْقَضِيَّةَ فِيهِ أَحْرَى، وَوَجْهُ الْمَصْلَحَةِ هُنَا ظَاهِرٌ؛ فَإِنَّهُ لَوْ لَمْ يَفْعَلِ الْإِمَامُ ذَلِكَ لَانْحَلَّ النِّظَامُ، وَبَطَلَتْ شَوْكَةُ الْإِمَامِ، وَصَارَتْ دِيَارُنَا عَرْضَةً لِاسْتِيلَاءِ الْكَفَرِ] اهـ.

[Jika kami memiliki imam yang ditaati yang membutuhkan penambahan pasukan untuk menjaga benteng dan melindungi kerajaan yang luas, dan baitul mal kosong dari harta, serta kebutuhan tentara meningkat hingga tidak mencukupi, maka imam – jika ia adil – berhak memungut dari orang-orang kaya apa yang ia anggap cukup untuk saat itu sampai baitul mal kembali memiliki harta. Tidak ada riwayat seperti ini dari para salaf karena pada masa mereka baitul mal sangat kaya, berbeda dengan zaman kita. Hal ini adalah masalah yang lebih serius dan maslahatnya jelas; sebab jika imam tidak melakukan itu, maka sistem akan runtuh, kekuatan imam akan hilang, dan wilayah kita akan mudah dikuasai oleh orang kafir] (Selesai).

Dan dari kalangan Madzhab Syafi’i, Imam Al-Ghazali berkata dalam "Al-Mustashfa" (1/303-304):

إِذَا خَلَتِ الْأَيْدِيُ مِنَ الْأَمْوَالِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ مَا يُفِي بِخَرَاجَاتِ الْعَسْكَرِ، وَلَوْ تَفَرَّقَ الْعَسْكَرُ، وَاشْتَغَلُوا بِالْكَسْبِ لَخِيفَ دُخُولُ الْعَدُوِّ دِيَارَ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ خِيفَ ثَوْرَانُ الْفِتْنَةِ مِنْ أَهْلِ الْغَرَامَةِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ، جَازَ لِلْإِمَامِ أَنْ يُوَظِّفَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مِقْدَارَ كِفَايَةِ الْجُنْدِ.اهـ.

"Apabila tangan-tangan (pemerintah) kosong dari harta, dan tidak ada dari harta kepentingan yang cukup untuk membayar pengeluaran tentara, walaupun tentara terpisah-pisah dan sibuk dengan mencari penghasilan, dikhawatirkan musuh memasuki wilayah kaum Muslimin, atau dikhawatirkan timbulnya fitnah dari kalangan yang berutang di negeri Islam, maka boleh bagi imam (pemimpin) untuk memungut dari orang-orang kaya sejumlah yang cukup untuk kebutuhan tentara." (Selesai).

Dan hal ini telah dibahas oleh Syaikh Ibnu Taimiyah yang menunjukkan pengakuannya terhadap sebagian apa yang dipungut oleh penguasa sebagai bagian dari jihad dengan harta yang wajib atas orang kaya, dan dia menyebutnya dengan istilah :

"الْكُلُفُ السُّلْطَانِيَّةُ"

Yaitu beban keuangan yang wajib ditanggung oleh rakyat atau sebagian mereka atas perintah penguasa. [Lihat: "Majmu’ al-Fatawa" (30/182 dan seterusnya)].

BEA CUKAI :

Adapun bea cukai (الْجَمَارِكُ) adalah jenis pajak keuangan yang dikenakan atas barang-barang yang masuk ke negeri kaum Muslimin yang ditetapkan oleh negara, dan hasil pungutannya masuk ke kas negara untuk kepentingan umum. Dari kepentingan tersebut antara lain adalah mendorong barang dan produk lokal demi kepentingan warga dan konsumen, maka pemungutannya merupakan perlindungan pasar lokal. Karena itu, bea cukai termasuk jenis pajak yang mengikuti ketentuan-ketentuan pajak yang telah disebutkan sebelumnya.

Dari hal-hal tersebut dapat dipahami bahwa: tidak boleh menghindar atau lari dari pajak dan bea cukai, dan tidak boleh membayar suap untuk mengurangi jumlahnya.

Nasihat bagi para pengelola urusan pajak dan bea cukai agar mempertimbangkan pengenaan pajak dengan porsi lebih besar pada kelompok kaya tanpa membebani kelompok miskin yang tidak mampu menanggung beban kehidupan. 

===

UMAR BIN KHATHAB adalah PEMUNGUT KHARAJ PERTAMA

Khalifah Rasyid Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu adalah orang pertama yang berijtihad dalam menetapkan pungutan harta yang diambil dari masyarakat selain zakat harta mereka, untuk mewujudkan kemaslahatan umum, seperti *kharaj* yang merupakan hasil bumi. Istilah *kharaj* juga digunakan untuk menyebut jizyah dan lainnya yang diwajibkan untuk dibayar, baik berupa pungutan atas kepala maupun atas tanah.

Ibnu Manzhur berkata dalam *Lisan Al-‘Arab* (2/252, cet. Dar Shodir):

قَالَ الزَّجَّاجُ: الخَرَاجُ الفَيْءُ، والخَرْجُ الضَّريبَةُ وَالْجِزْيَةُ؛ وَقُرِئَ: أَم تَسْأَلُهُمْ خَرَاجاً. وَقَالَ الْفَرَّاءُ. مَعْنَاهُ: ‌أَمْ ‌تسأَلهم ‌أَجراً ‌عَلَى ‌مَا ‌جِئْتَ ‌بِهِ، فأَجر رَبِّكَ وَثَوَابُهُ خيرٌ. وأَما الخَرَاجُ الَّذِي وَظَّفَهُ عمرُ بْنِ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَلَى السَّوَادِ وأَرضِ الفَيْء فإِن مَعْنَاهُ الْغَلَّةُ أَيضاً، لأَنه أَمر بِمَسَاحَةِ السَّوَادِ وَدَفَعَهَا إِلى الْفَلَّاحِينَ الَّذِينَ كَانُوا فِيهِ عَلَى غَلَّةٍ يُؤَدُّونَهَا كُلَّ سَنَةٍ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَ خَراجاً، ثُمَّ قِيلَ بَعْدَ ذَلِكَ لِلْبِلَادِ الَّتِي افْتُتِحَتْ صُلْحاً وَوَظَّفَ مَا صُولِحُوا عَلَيْهِ عَلَى أَراضيهم: خَرَاجِيَّةٌ لأَن تِلْكَ الْوَظِيفَةَ أَشبهت الْخَرَاجَ الَّذِي أُلزم بِهِ الفلَّاحون، وَهُوَ الْغَلَّةُ، لأَن جُمْلَةَ مَعْنَى الْخَرَاجِ الْغَلَّةُ؛ وَقِيلَ لِلْجِزْيَةِ الَّتِي ضُرِبَتْ عَلَى رِقَابِ أَهل الذِّمَّة: خَرَاجٌ لأَنه كَالْغَلَّةِ الْوَاجِبَةِ عَلَيْهِمْ. ابْنُ الأَعرابي: الخَرْجُ عَلَى الرُّؤُوسِ، والخَرَاجُ عَلَى الأَرضين

“Az-Zajjaj berkata: *kharaj* adalah *fai’* (rampasan yang diperoleh tanpa perang), sedangkan *kharj* adalah pajak dan jizyah. Dan ayat berikut ini dibacanya : *"Am tas’aluhum kharājan"* (QS. ath-Thur: 40). Al-Farra’ berkata: Maknanya, “Apakah engkau meminta upah atas apa yang engkau bawa?” Maka upah dan pahala dari Tuhanmu itu lebih baik. 

Adapun *kharaj* yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu atas wilayah Sawad dan tanah *fai’*, maka maknanya adalah hasil bumi, karena beliau memerintahkan untuk mengukur wilayah Sawad dan menyerahkannya kepada para petani yang ada di sana dengan sistem bagi hasil tahunan, maka karena itu disebut *kharaj*. 

Kemudian setelah itu, disebut pula *kharaj* untuk negeri-negeri yang ditaklukkan melalui perjanjian damai, dan ditetapkan kewajiban atas tanah mereka sesuai perjanjian tersebut, karena penetapan itu serupa dengan *kharaj* yang dibebankan kepada para petani berupa hasil bumi. 

Oleh karena itu, makna keseluruhan dari *kharaj* adalah hasil bumi. Dan disebut juga jizyah yang dikenakan atas leher orang-orang dzimmi sebagai *kharaj*, karena seperti hasil bumi yang wajib mereka bayarkan. 

Ibnu Al-A‘rabi berkata: *Kharj* dikenakan atas kepala (individu), sedangkan *kharaj* dikenakan atas tanah”. (Selesai).

[Lihat pula : Tahdziib al-Lughoh oleh Abu Manshur al-Azhary 7/25, Mu’jam al-Buldan oleh Syihabuddin Yaqut al-Hamawi 1/40, Nuzahtul Qulub oleh Abu Bakar as-Sajastaani hal. 209 dan Taajul ‘Aruus Muhammad Murtahdho az-Zubaidy 5/509]

Maka *kharaj* adalah istilah untuk semua yang wajib dibayarkan oleh setiap orang yang menguasai tanah *kharajiyah* yang produktif, baik ia muslim atau kafir, kecil atau besar, berakal atau tidak, laki-laki atau perempuan; karena *kharaj* adalah biaya atas tanah produktif, dan mereka semua sama dalam memperoleh hasil dari tanah tersebut. 

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam *Al-Istikhrāj li Akām al-Kharāj* (hlm. 16, cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah) menukil dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa beliau berkata:

 وَإِنَّمَا كَانَ الْخَرَاجُ فِي عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اهـ

“Sesungguhnya kharaj itu mulai adanya pada masa Umar radhiyallahu 'anhu.” Selesai.

[Lihat pula : “al-Jami’ li ‘Ulumi al-Imam Ahmad oleh Khalid ar-Ribath 8/502 no. 1437].

Maksudnya adalah bahwa *kharaj* tidak ada dalam Islam sebelum masa kekhalifahan Umar radhiyallahu 'anhu; pajak *kharaj* tidak diwajibkan pada masa Nabi , dan juga tidak pada masa khalifah pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Umar radhiyallahu 'anhu menetapkannya setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

Demikian pula, termasuk kaidah fikih kulliy yang telah ditetapkan di kalangan para ulama adalah:

"يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ"

“Menanggung madhorot khusus untuk mencegah madhorot umum,”

dan bahwa :

"يَجِبُ تَحَمُّلُ الضَّرَرِ الْأَدْنَى لِدَفْعِ ضَرَرٍ أَعْلَى وَأَشَدَّ"

“Wajib menanggung madhorot yang lebih ringan untuk mencegah madhorot yang lebih besar dan lebih berat.”

Tidak diragukan lagi bahwa penerapan kaidah-kaidah fikih ini bukan hanya membolehkan pengenaan pajak, tetapi bahkan mewajibkan penetapan dan pemungutannya demi mewujudkan kemaslahatan umat dan negara serta mencegah kerusakan, bahaya, dan ancaman dari mereka. Imam Ibnu Hazm berkata dalam *Al-Muhalla* (4/281):

“Wajib atas orang-orang kaya di setiap negeri untuk menanggung fakir miskin mereka, dan pemerintah wajib memaksa mereka melakukan hal itu jika zakat tidak mencukupi untuk mereka .

====

NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM NASRANI NAJRAN:

Nabi mengambil pajak dan upeti dari kaum Nasrani Najran dengan imbalan jasa keamanan dan perlindungan jiwa, harta dan wilayah mereka dari serangan musuh, dari para pemungut liar dan dari perampokan.

Kaum Nasrani Najran sangat membutuhkan perlindungan dan suaka politik dari Nabi  Karena khawatir terulang kembali di negeri Najran tragedi Ashabul Ukhduud, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran:

قُتِلَ أَصْحَٰبُ ٱلْأُخْدُودِ. ٱلنَّارِ ذَاتِ ٱلْوَقُودِ. إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ. وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ. وَمَا نَقَمُوا۟ مِنْهُمْ إِلَّآ أَن يُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَمِيدِ

Artinya: " Binasalah orang-orang yang membuat parit (yaitu para pembesar Najran di Yaman), (4) Yaitu api yang dinyalakan dengan kayu bakar, (5) (Ketika mereka berada di sekitarnya) yaitu berada di sekitar tepi parit-parit itu seraya di atas kursi-kursi (mereka duduk.) (5) sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang mukmin. (7) Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji" [QS. Al-Buruuj: 4-8].

Mereka dibakar dalam parit. Korban dalam tragedi ini adalah 20.000 orang kaum Nasrani yang meng-esakan Allah SWT.

Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqaat al-Kubraa 1/219-220 dan al-Imam al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah 5/389-391 dan al-Istii'aab Fii Bayaanil Asbaab 1/253 meriwayatkan dengan sanadnya:

Yunus ibnu Bukair, dari Salamah ibnu Abdu Yusu', dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Yunus — yang tadinya beragama Nasrani, kemudian masuk Islam— menceritakan:

Dalam Lafadz al-Baihaqi: " Nabi  menulis sepucuk surat buat mereka yang isinya sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.

هَذَا مَا كَتَبَ مُحَمَّدٌ النَّبِيُّ رَسُولُ اللهِ ﷺ لِنَجْرَانَ إِذْ كَانَ عَلَيْهِمْ حُكْمُهُ فِي كُلِّ ثَمَرَةٍ وَكُلِّ صَفْرَاءَ وَبَيْضَاءَ وَسَوْدَاءَ وَرَقِيقٍ، وَأَفْضَلَ عَلَيْهِمْ، ‌وَتَرَكَ ‌ذَلِكَ ‌كُلَّهُ ‌عَلَى ‌أَلْفَيْ ‌حُلَّةٍ ‌مِنْ ‌حُلَلِ ‌الْأَوَاقِي ‌فِي ‌كُلِّ ‌رَجَبٍ ‌أَلْفُ ‌حُلَّةٍ، ‌وَفِي ‌كُلِّ ‌صَفَرٍ ‌أَلْفُ ‌حُلَّةٍ، ‌وَمَعَ ‌كُلِّ ‌حُلَّةٍ ‌أُوقِيَّةٌ ‌مِنَ ‌الْفِضَّةِ فَمَا زَادَتْ عَلَى الْخَرَاجِ أَوْ نَقَصَتْ عَنِ الْأَوَاقِي فَبِالْحِسَابِ، وَمَا قَضَوْا مِنْ دُرُوعٍ أَوْ خَيْلٍ أَوْ رِكَابٍ أَوْ عُرُوضٍ أُخِذَ مِنْهُمْ بِالْحِسَابِ، وَعَلَى نَجْرَانَ مُؤْنَةُ رُسُلِي، وَمُتْعَتُهُمْ مَا بَيْنَ عِشْرِينَ يَوْمًا فَدُونَهُ، وَلَا تُحْبَسُ رُسُلِي فَوْقَ شَهْرٍ، وَعَلَيْهِمْ عَارِيَةٌ ثَلَاثِينَ دِرْعًا وَثَلَاثِينَ فَرَسًا وَثَلَاثِينَ بَعِيرًا إِذَا كَانَ كَيَدٌ وَمَعَرَّةٌ، وَمَا هَلَكَ مِمَّا أَعَارُوا رُسُلِي مِنْ دُرُوعٍ أَوْ خَيْلٍ أَوْ رِكَابٍ فَهُوَ ضَمَانٌ عَلَى رُسُلِي حَتَّى يؤَدُّوهُ إِلَيْهِمْ.

وَلِنَجْرَانَ وَحَاشِيَتِهَا جِوَارُ اللهِ وَذِمَّةُ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَمِلَّتِهِمْ وَأَرْضِيهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَغَائِبِهِمْ وَشَاهِدِهِمْ وَعَشِيرَتِهِمْ وَبِيَعِهِمْ وَأَنْ لَا يُغَيَّرُوا مِمَّا كَانُوا عليه وَلَا يُغَيَّرُ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِهِمْ وَلَا مِلَّتِهِمْ، وَلَا يغيّروا أسقف من أسقفيته وَلَا رَاهِبٌ مِنْ رَهْبَانِيَّتِهِ، وَلَا وَاقِهًا مِنْ وُقَيْهَاهُ ، وكلما تَحْتَ أَيْدِيهِمْ مِنْ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ، وَلَيْسَ عَلَيْهِمْ دِنْيَةٌ وَلَا دَمُ جَاهِلِيَّةٍ وَلَا يُحْشَرُونَ وَلَا يُعْشَرُونَ وَلَا يَطَأُ أَرْضَهُمْ جَيْشٌ، وَمَنْ سَأَلَ فِيهِمْ حَقًّا فَبَيْنَهُمُ النِّصْفُ غَيْرَ ظَالِمِينَ وَلَا مَظْلُومِينَ بِنَجْرَانَ، وَمَنْ أَكَلَ رِبًا مِنْ ذِي قَبَلٍ فَذِمَّتِي مِنْهُ بَرِيئَةٌ، وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُمْ رَجُلٌ بِظُلْمِ آخَرَ، وَعَلَى مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ جِوَارُ اللهِ عَزَّ وجل وذمة مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَبَدًا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ، مَا نَصَحُوا وَأَصْلَحُوا فِيمَا عَلَيْهِمْ غَيْرَ مُثْقَلِينَ بِظُلْمٍ.

شَهِدَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ، وَغَيْلَانُ بْنُ عَمْرٍو، وَمَالِكُ بْنُ عَوْفٍ مِنْ بَنِي نَصْرٍ، وَالْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ الْحَنْظَلِيُّ، وَالْمُغِيرَةُ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ini adalah yang ditulis oleh Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah untuk penduduk Najran:

- Jika mereka ingin berada di bawah keamanan pemerintahannya – maka pada semua hasil dari buah-buahan, semua yang kuning [Emas], yang putih [perak], yang hitam [besi], budak dan harta yang dianugerahkan pada mereka, Semuanya adalah milik mereka, tetapi diwajibkan atas mereka membayar dua ribu hullah-hullah uqiyah setiap tahunnya [Yakni: hullah yang nilainya 1 Uqiyah. arti hullah adalah pakaian atau senjata atau keranjang. Nilai 1 uqiyah adalah 40 dirham. PEN), yang dibayarkan pada tiap bulan Rajab seribu hullah, dan yang seribunya lagi dibayar pada tiap bulan Safar. Dan pada setiap masing-masing hullah terdapat satu uqiyah perak [40 dirham].

Dan setiap ada kelebihan bayar dari upeti [kharaj] atau kurang dari uqiyah-uqiyah dirham, maka akan ada hitung-hitungannya.

Dan apa yang mereka gunakan dari baju perang, kuda, pelana, atau barang-barang ; maka diambil darinya upeti sesuai perhitungan.

Dan wajib atas Najran biaya opersional perjalanan para utusanku, dan kebutuhan mereka dalam perjalanan selama kurang dari dua puluh hari atau kurang darinya, dan tidak ada seorang pun utusan yang tertahan lebih dari satu bulan.

Dan wajib atas mereka meminjamkan tiga puluh perisai, tiga puluh kuda perang, dan tiga puluh unta, [ketika negara dalam bahaya perang, yaitu] ketika terjadi adanya tipu daya musuh dan sesuatu yang membahayakan dari pihak musuh.

Dan apa saja yang dipinjamkan kepada utusan-utusanku berupa perisai, kuda, atau penunggang kuda [peralatan perang] ; maka itu menjadi tanggungan para utusan-Ku sampai mereka selesai menunaikan tugasnya dan mengembalikannya.

Bagi Najran dan kelompoknya yang berada di sekitarnya berada dalam perlindungan Allah dan jamninan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut jiwa mereka, harta benda mereka, mereka yang tidak hadir (di negerinya), mereka yang hadir (di negerinya), keluarga mereka, gereja-gereja mereka.

Dan mereka tidak dirubah dari apa yang telah ada sebelumnya, tidak dirubah hak-haknya dan agamanya, tidak dirubah para usquf nya, tidak dirubah para rahibnya dan tidak di rubah para putra mahkota nya [وَلِيُ العَهْدِ]

Dan bilamana ada orang-orang yang sedikit atau banyak harta yang ada di tangan [yakni: baik kaya atau miskin], maka mereka semua tetap harus dilindungi dari orang-orang yang merendahkan-nya, dari tuntutan darah Jahiliyyah, dari pengepungan musuh dan dari pungutan pajak persepuluh [oleh kelompok lain, karena mereka sudah bayar upeti tahunan kepada Rosulullah sebagai jaminan keamanan bagi mereka].

Dan tanah air mereka harus di lindungi dari tentara asing yang hendak menginjakkan kakinya.

Dan barang siapa yang menuntut hak kepada mereka, maka di antara mereka harus berlaku adil, tidak ada yang dzalim dan tidak ada yang terdzalimi.

Dan barang siapa yang memakan harta riba dari sebelumnya, maka aku bebas darinya, dan tidak boleh ada seorang pun yang mengambil sesuatu dari mereka untuk kezaliman orang lain.

Dan yang ada dalam lembaran ini adalah perlindugan dari Allah SWT dan jaminan pembelaan dari Nabi Muhammad, Rasulullah selama-lamanya, sampai Allah SWT mendatangkan keputusan yang lain.

Apa yang mereka sarankan untuk memperbaiki urusannya dengan apa yang telah diwajibkan atas mereka, itu tanpa ada paksaan dan tanpa terbebani oleh ketidakadilan

Disaksikan Abu Sufyan bin Harb, Ghailan bin Amr, Malik bin Auf dari Banu Nasr, dan Al-'Aqra' bin Habis al-Handzali dan al-Mughirah.

Dan setelah di tulis, dan mereka mengambil lembaran tuslian tersebut, maka mereka kembali pulang ke Najran........ (dst. Masih panjang).

Lafadz Ibnu Sa'ad mirip dengan lafadz al-Baihaqi. [Baca: At-Thobaqoot al-Kubro 1/219-220]

Lihat pula: Futuuh al-Buldan: 76, dalam Bab: 87, al-Bidayah wan Nihaah 5/55, Tarikh al-Madina oleh Ibnu Shabbah 2/584, al-Ya'qubi 2/67, Al-Amwaal oleh Abu Ubaid: 275-272, al-Kharaj oleh Abu Yusuf: 72, Hayaatuh Shahabaat 1/121, Zaad al-Ma'ad oleh Ibn al-Qayyim 2/40-41 dan al-Amwaal karya Zanjawaih 2/449.

====

NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM MAJUSI BAHRAIN :

Diriwayatkan dari 'Amru bin 'Auf seorang sekutu Bani 'Amir bin Lu'ay dan termasuk dari salah seorang sahabat yang ikut serta dalam perang Badr bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia berkata:

"أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتْ الْأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ فَوَافَوْا صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ انْصَرَفَ فَتَعَرَّضُوا لَهُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ حِينَ رَآهُمْ ثُمَّ قَالَ أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ قَالُوا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ".

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengutus Abu 'Ubaidah bin Jarrah ke negeri Bahrain untuk mengambil pajak [upeti] ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Al A'la bin Al Hadlrami sebagai penguasanya.

Lalu Abu 'Ubaidah pulang dengan membawa harta benda dari Bahrain. 

Ketika kaum Anshar mendengar kembalinya Abu 'Ubaidah mereka tengah mengerjakan shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika beliau selesai shalat, beliau beranjak pergi, mereka pun mencegatnya sehingga beliau tersenyum melihat tingkah laku mereka. 

Lalu beliau bersabda: "Aku kira kalian telah mendengar Abu 'Ubaidah telah kembali dengan membawa sesuatu dari Bahrain?" para sahabat menjawab, "Benar wahai Rasulullah." 

Beliau lalu bersabda: "Berilah kabar gembira dan carilah apa yang dapat membuat kalian gembira. Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadapa diri kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan terhadap diri kalian adalah dibentangkannya kemudahan dunia pada diri kalian sebagaimana dibentangkannya kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba untuk mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba, sehingga harta tersebut akan membinasakan kalian sebagaimana keluasan dunia membinasakan mereka". [HR. Bukhori no. 4015 dan Muslim no. 2961].

===****===

PENGECUALIAN MAKNA AL-MAKS

Berdasarkan uraian di atas maka terdapat pengecualian dalam makna al-Maks, di antaranya:

Pertama:

Adapun petugas yang mengambil zakat, dan Jizyah [pajak kepala di ambil dari orang laki-laki yang sehat akalnya, mukallaf (sudah balig) dan merdeka] dari penduduk non muslim ahlu dzimmah yang telah melakukan perdamaian dan kesepakatan suaka polotik, maka dia mendapat pahala selama dia tidak melampaui batas, dan dia berdosa jika melampaui batas dan berbuat kezaliman.

Kedua:

Bentuk pungutan yang ada sekarang, yaitu pungutan yang dikenakan oleh perwakilan kotamadya pada para pedagang ketika mereka memasuki pasar, dan uang sewa yang dikenakan kepada para pengguna toko-toko milik pemerintah ; maka yang demikian itu tidak termasuk dalam “KATEGORI AL-MAKS” ; Karena yang menjadi standar adalah fakta dan tujuan sesuatu, bukan nama dan kata-katanya, dan karena pasar dan toko yang berafiliasi dengannya adalah milik pemerintah.

Kemudian Jika para pedagang itu adalah orang-orang yang menyewa toko-toko pasar dari kotamadya atau dari pemiliknya yang sah, maka tidak boleh bagi pemungut al-maks ini mengambil tambahan berupa pungutan dari mereka secara zalim tanpa sebab yang dibenarkan. Inilah yang diharamkan dalam syariat Islam, bahkan termasuk DOSA BESAR

Ketiga:

Jika sebuah negara yang mengenakan pungutan biaya pada para pedagang dan orang-orang kaya dalam kondisi ketidakmampuan untuk memberikan pelayanan publik dan kepentingan umat Islam. seperti membangun sekolah, rumah sakit dan jalan raya ; maka dalam hal ini - jika kita tahu bahwa dana tersebut dipergunakan untuk hal-hal tersebut ; maka wajib bagi seorang Muslim menunaikan apa yang telah diwajibkan atasnya, kecuali jika pemungutan itu merupakan tindakan kedzaliman. Karena jika itu benar untuk kemashlahatan umat ; maka itu termasuk dalam kategori kerjasama dalam kebaikan dan takwa.

Maka dengan demikian tidak mengapa mengumpulkan pungutan bea atau pajak dalam kondisi negara seperti diatas.

====

KESIMPULAN:

Pungutan liar [al-Maks] tanpa hak yang diambil dari kaum muslimiin adalah dosa besar dan tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukannya, baik atas nama pribadinya atau atas nama kelompok tertentu, bahkan atas nama negara.

Dan pelaku al-maks adalah orang yang mengambil uang manusia secara Dzalim.

Akan tetapi apa yang diambil oleh negara untuk kemashlahatan umum umat Islam ; maka itu tidak dianggap al-maks jika kas negara tidak mampu untuk memenuhi kepentingan tersebut, dan juga dengan syarat tidak ada pengabaian atau penyalahgunaan uang rakyat.

Begitu pula apa yang diambil dari para pedagang karena ada imbalan jasa, seperti jasa keamanan, kebersihan lingkungan, perawatan jalan yang dilaluinya dengan pungutan yang sepadan dan layak ; maka itu jelas diperbolehkan.

===***===

BOLEHKAN BAYAR PAJAK DENGAN NIAT BAYAR ZAKAT ???

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bayar pajak dengan niat zakat ??

Pendapat pertama :

Mayoritas dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i berpendapat bahwa ini tidak boleh, dan tidak membebaskannya dari kewajiban bayar zakat .

Ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Tawus, Mujahid dan al-Dahhak, dan ini adalah riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua :

Ada pula yang berpendapat diperbolehkan membayar Pajak dengan niat zakat.

Ini diriwayatkan dari Anas bin Malik, Al-Hassan al-Bashri , Abu Ja'far Muhammad bin Ali, Athaa dan Ibrahim an-Nakho;i, dan dengan ini Imam Ahmad berpendapat dalam salah satu riwayat darinya.

[Lihat : “Al-Amwaal” oleh Ibnu Zanjaweh (3/1216-1217) , “Haasyiyah Ibnu Abidin” (2/311), “Mawahib al-Jaliil” (3/189) , “I'aanatuth Thoolibiin ” (2/164) , “Al-Furuu' '” (2/436) “Al-Inshaaf” (3/312) karya Al-Mardawai].

TARJIIH :

Yang Rajih dan paling kuat dalilnya adalah pendapat pertama :

Pertama: bahwa Nabi memerintahkan kita untuk bersabar terhadap para imam / penguasa yang menzalimi, memenuhi hak-hak mereka, dan memohon hak-hak kita kepada Allah SWT .

Kedua: Tidak boleh mengeluarkan zakat untuk kepentingan pajak. Karena itu bukan salah satu dari delapan golongan yang Allah perintahkan untuk kita berzakat padanya .

Ketiga: Ketentuan zakat berbeda dengan ketentuan pajak, karena zakat adalah syariat Allah , yang diwajibkan oleh Allah SWT, dan Dia telah menentukan syarat-syarat tertentu dan sasaran-sasaran penerima yang khusus.

Adapun cukai dan pajak, itu adalah undang-undang buatan manusia yang dapat berubah seperti pengurangan, kenaikan dan pembatalan, dan tidak ada ketentuan para penerima secara khusus ..

Wallahu a'lam

Posting Komentar

0 Komentar