STUDY HADITS : " JANGAN KAU IRINGI JENAZAH DENGAN SUARA
DAN API".
Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
DAFTAR ISI :
- KUMPULAN HADITS : "JANGAN KAU IRINGI JENAZAH DENGAN SUARA DAN API".
- KUMPULAN ATSAR :
- FIQIH HADITS DAN ATSAR TENTANG BERSUARA ATAU BERDZIKIR SAAT MENGANTARKAN JENAZAH :
- PERTAMA : BERSUARA ATAU BERDZIKIR DENGAN SUARA PELAN SAAT MENGANTAR JENAZAH:
- KEDUA : BICARA ATAU BERDZIKIR DENGAN MENINGGIKAN SUARA SAAT MENGANTAR JENAZAH:
===
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
===***===
KUMPULAN HADITS : "JANGAN KAU IRINGI JENAZAH DENGAN SUARA DAN API".
****
HADITS KE SATU :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi ﷺ bersabda
:
" لاَ تُتْبَعُ الْجَنَازَةُ بِصَوْتٍ وَلاَ
نَارٍ "
Artinya: "Jangan kamu mengiringi jenazah
dengan suara dan api"
TAKHRIJ HADITS :
[ HR. Abu Duad no. 3171 dan Ahmad no. 10881]
STATUS HADITS : SANADNYA LEMAH SEKALI:
Hadits ini di Dhaifkan oleh Syu’aib al-Arnauth beserta
para pentahqiq al-Musnad 16/512.
Dan di dha’ifkan pula oleh Syeikh al-Albaani dalam
Irwaa' al-Ghaliil 3/193 no. 742 . Dan Syeikh al-Albaani berkata :
وَالْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لِاضْطِرَابِهِ
وَجَهَالَةِ رُوَاتِهِ.
" Hadits itu lemah karena adanya kelabilan [lafadznya]
dan ketidaktahuan [jahalah] para perawinya ".
Dan Syu’aib al-Arnauth beserta para pentahqiq
al-Musnad 16/512 berkata :
وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِجَهَالَةِ
الرَّجُلِ الْمَدَنِيِّ وَأَبِيهِ، وَبَابُ بْنُ عُمَيْرٍ الْحَنَفِيُّ فِيهِ جَهَالَةٌ
أَيْضًا. حَرْبٌ: هُوَ ابْنُ شَدَّادٍ، وَيَحْيَى: هُوَ ابْنُ أَبِي كَثِيرٍ.
“Sanadnya lemah karena jahalah (tidak dikenalnya)
laki-laki Madani dan ayahnya, dan Bab bin ‘Umair al-Hanafi juga tidak dikenal.
Harb adalah Ibnu Syaddad, dan Yahya adalah Ibnu Abi Katsir”.
Ad-Daruquthni dalam al-Ilal 11/243 no. 2264 berkata
:
يَرْوِيهِ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ،
وَاخْتُلِفَ عَنْهُ؛
فَرَوَاهُ هِشَامٌ الدَّسْتُوَائِيُّ،
عَنْ يَحْيَى، عَنْ رَجُلٍ لَمْ يُسَمِّهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ.
وَخَالَفَهُمْ شَيْبَانُ، فَرَوَاهُ
عَنْ يَحْيَى، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، وَقَوْلُ حَرْبِ بْنِ
شَدَّادٍ أَشْبَهُ بِالصَّوَابِ
Hadits ini diriwayatkan oleh Yahya bin Abi Katsir,
namun terjadi perbedaan dalam meriwayatkannya darinya:
Hisyam ad-Dustuwa’i meriwayatkannya dari Yahya,
dari seorang laki-laki yang tidak disebutkan namanya, dari Abu Hurairah.
Sementara itu, Syiban menyelisihi mereka; ia
meriwayatkannya dari Yahya, dari seorang laki-laki, dari Abu Sa’id al-Khudri.
Dan pendapat Harb bin Syaddad lebih mendekati
kebenaran”. [Selesai]
Abdul Haq al-Isybiily yang dikenal dengan Ibnu al-Korroth
berkata dalam al-Ahkam al-Wustho 2/138:
وَخَرَّجَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "لَا تُتْبَعُ الْجَنَازَةُ بِصَوْتٍ وَلَا
نَارٍ، وَلَا يُمْشَى بَيْنَ يَدَيْهَا". وَهَذَا إِسْنَادٌ مُنْقَطِعٌ.
“ Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari
Nabi ﷺ, beliau
bersabda: "Janganlah mengiringi jenazah dengan suara, api, dan jangan
berjalan di depan jenazah."
Sanad hadits ini terputus”. [Selesai]
Muhammad Syamsyul Haq al-Adziim abadi dalam 'Aunul
Ma'buud Syarah Sunan Abi Daud 8/349-350 no. 3171 :
قَالَ ابْنُ القَطَّانِ: حَدِيثٌ
لَا يَصِحُّ وَإِنْ كَانَ مُتَّصِلًا لِلْجَهْلِ بِحَالِ ابْنِ عُمَيْرٍ رَاوِيهِ عَنْ
رَجُلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، انْتَهَى...
قَالَ المُنْذِرِيُّ: فِي إِسْنَادِهِ
رَجُلَانِ مَجْهُولَانِ.
“Ibnu al-Qaththan berkata: Hadits [Abu Huraiarah]
tidak shahih, meskipun itu muttashil ; karena ketidaktahuan kondisi tentang
Ibnu 'Umair , ditambah lagi dia meriwayatkannya dari seorang pria dari ayahnya
dari Abu Hurairah. [Selesai]
Al-Mundhiri berkata: Ada dua orang yang tidak
dikenal dalam sanad nya”. [Selesai]
Lalu Muhammad Abadi menukil perkataan az-Zarqooni :
قَالَ الزَّرْقَانِيُّ: لَكِنْ حَسَّنَهُ
بَعْضُ الْحُفَّاظِ وَلَعَلَّهُ لِشَوَاهِدِهِ....
Al-Zarqani berkata : " Tetapi itu di Hasankan
oleh sebagian al-hufaadz, dan itu mungkin karena syahid-syahidnya ". [Selesai].
Dan Syeikh al-Albaani dalam Ahkaam al-Janaa'iz no.
47 mengatakan :
وَفِي سَنَدِهِ مَنْ لَمْ يُسَمَّ،
لَكِنَّهُ يَتَقَوَّى بِشَوَاهِدِهِ الْمَرْفُوعَةِ، وَبَعْضِ الْآثَارِ الْمَرْفُوعَةِ.
"Dan dalam Sanadnya ada orang yang tidak
disebutkan namanya, tetapi dia dikuatkan dengan syahid-syahid yang marfu', dan
beberapa atsar yang marfu'." [Selesai]
MAKNA HADITS :
Jika seandainya hadits itu shahih , maka menurut
syeikh Al-Albaanu dan lainnya makna yang dimaksud dengan meninggikan suara dan
api tsb adalah :
A. MENINGGIKAN SUARA TANGISAN [RATAPAN TRADISI JAHILIYAH
. Pen]
B. BAKARAN API PADA PEDUPAAN [YANG MENJADI TRADISI
JAHILIYAH DAN KAUM PENYEMBAH API . Pen]
Syeikh al-Albaani dalam Ahkaam al-Janaa'iz no. 47,
setelah menyebutkan hadits di atas dan syahid-syahidnya , berkesimpulan :
وَلَا أَنْ تُتْبَعَ الْجَنَائِزُ
بِمَا يُخَالِفُ الشَّرِيعَةَ، وَقَدْ جَاءَ النَّصُّ فِيهَا عَلَى أَمْرَيْنِ: رَفْعُ
الصَّوْتِ بِالْبُكَاءِ، وَاتِّبَاعُهَا بِالْبَخُورِ.
“Dan tidak boleh dalam mengantar jenazah diiringi
dengan sesutu yang bertentangan dengan hukum Syar'i, dan telah ada Nash tentang
larangan dua perkara disebutkan di dalamnya : yaitu:
Meninggikan suara dengan TANGISAN .
Dan mengikutinya dengan DUPA API [KEMENYAN ]".
(Selesai)
Dan begitu pula yang di katakan Muhammad Syamsyul
Haq al-Adziim abadi dalam 'Aunul Ma'buud Syarah Sunan Abi Daud 8/349 no. 3171 :
مَعْنَى النَّهْيِ (الْجَنَازَةُ
بِصَوْتٍ): أَيْ مَعَ صَوْتٍ وَهُوَ النِّيَاحَةُ، (وَلَا نَارَ): فَيُكْرَهُ اتِّبَاعُهَا
بِنَارٍ فِي مِجْمَرَةٍ أَوْ غَيْرِهَا لِمَا فِيهِ مِنَ التَّفَاؤُلِ.
Arti larangan ( mengiringi jenazah dengan suara) :
Yakni dengan suara, yaitu ratapan . ( dan tidak dengan api ): yakni tidak
disukai mengikutinya dengan api di pedupaan atau selain itu, karena adanya
keyakinan tafaa'ul ( harapan baik / optimisme ) di dalamnya ".
Lalu Muhammad Abadi berkata :
قَالَ الزَّرْقَانِيُّ: "فَيُكْرَهُ
اتِّبَاعُ الْجَنَازَةِ بِنَارٍ فِي مِجْمَرَةٍ أَوْ غَيْرِهَا لِأَنَّهُ مِنْ شِعَارِ
الْجَاهِلِيَّةِ. وَقَدْ هَدَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ
وَزَجَرَ عَنْهَا، وَلِأَنَّهُ مِنْ فِعْلِ النَّصَارَى، وَلِمَا فِيهِ مِنَ التَّفَاؤُلِ".
Al-Zarqani berkata : Maka dimakruhkan mengikuti
jenazah dengan api di pedupaan atau lainnya, karena itu adalah salah satu
simbol Jahiliyyah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak meruntuhkannya dan
menegurnya, karena itu adalah praktik orang-orang Nasrani, dan karena keyakinan
tafaa'ul [ harapan baik / optimisme] di dalamnya.
Ibnu Quddamah dalam al-Mughni 3/401 berkata :
فَإنْ دُفِنَ لَيْلًا فَاحْتَاجُوا
إلَى ضَوْءٍ، فَلَا بَأْسَ بِه، إنَّما كُرِهَتِ المَجَامِرُ فيها البَخُورُ. وفي حَدِيثٍ
عن النَّبِيِّ -صلى اللَّه عليه وسلم- أنَّه دَخَلَ قَبْرًا لَيْلًا، فأُسْرِجَ له
سِرَاجٌ. قال التِّرْمِذِيُّ: هذا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Jika jenazah
dikuburkan pada malam hari dan membutuhkan cahaya, maka tidak mengapa
menggunakan api. Yang dimakruhkan itu adalah tempat pembakaran yang berisi
dupa. Dalam sebuah hadits dari Nabi ﷺ disebutkan bahwa beliau pernah masuk ke
dalam kubur pada malam hari, lalu dinyalakan lampu untuk beliau. At-Tirmidzi
berkata: Ini adalah hadits hasan”.
****
HADIST KE DUA :
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda
:
"لاَ تُتْبَعُ الْجَنَازَةُ بِصَوْتٍ
وَلاَ نَارٍ".
Artinya: "Jangan kamu mengiringi jenazah
dengan suara dan api"
STATUS HADITS : SANAD-NYA LEMAH SEKALI.
Al-Haitsami berkata dlm Majma' az-Zawaa'id 3/29 :
رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ
مَنْ لَا ذِكْرَ لَهُ.
"Diriwayatkan oleh Abu Ya'la, dan di dalamnya
ada orang yang tidak penah disebut ".
****
HADITS KE TIGA :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ
نَتْبَعَ جِنَازَةً مَعَهَا رَانَّةٌ
“Rosulullah ﷺ melarang kami mengantar Jenazah diiringi
dengan RATAPAN “.
[HR. Ahmad no. 5668 dan Ibnu Majah 1/479-480].
STATUS HADITS : SANADNYA LEMAH SEKALI.
Di dhaifkan oleh Ibnu Adiy dalam الكامل في الضعفاء (4/212). Dia berkata :
[فِيهِ] أَبُو يَحْيَى القَتَّاتُ، فِي حَدِيثِهِ
بَعْضُ مَا فِيهِ، إِلَّا أَنَّهُ يُكْتَبُ حَدِيثُهُ.
[Di dalamnya] ada Abu Yahya al-Qattaat dalam
haditsnya terdapat sebagian sesuatu yang anu akan tetapi haditsnya boleh tulis
]
Syeikh al-Albaani dalam "Ahkam
al-Janaa'iz" no. 47 berkata :
"
أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَه وَأَحْمَدُ مِنْ طَرِيقَيْنِ
عَنْ مُجَاهِدٍ. وَهُوَ حَسَنٌ بِمَجْمُوعِ الطَّرِيقَيْنِ.
" Di riwayatakan oleh Ibnu Majah dan Ahmad
melalui dua jalur dari Mujahid dari nya . Dan hadits ini Hasan karena didukung
dua jalur ".
===***===
KUMPULAN ATSAR :
ATSAR KE 1 :
Dari 'Amr bin al-'Aash رضي الله
عنه , beliau
berwasiat saat menjelang ajalnya tiba :
"فَإِذَا أَنَا مُتُّ فَلاَ تَصْحَبْنِي
نَائِحَةٌ وَلاَ نَارٌ فَإِذَا دَفَنْتُمُونِي فَشُنُّوا عَلَىَّ التُّرَابَ
شَنًّا ثُمَّ أَقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ وَيُقْسَمُ
لَحْمُهَا حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ وَأَنْظُرَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ
رَبِّي ".
Maka apabila aku meninggal, maka janganlah WANITA
NAA'IHAH [ yang menangis meraung-raung ] menemaniku , dan tidak pula API .
Apabila kalian menguburkanku maka taburkanlah tanah
padaku, kemudian berdirilah kalian di sekitar kuburanku sekitar jarak unta
disembelih dan dibagikan dagingnya, hingga aku mendengar kalian dan melihat apa
yang dibawa utusan Rabbku." [ HR. Muslim no. 121 ].
ATSAR KE 2 :
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu :
"أَوْصَى
أَبُو مُوسَى حِينَ حَضَرَهُ الْمَوْتُ فَقَالَ: لَا تَتْبَعُونِي بِمِجْمَرٍ،
قَالُوا: أَوْ سَمِعْت فِيهِ شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ".
"Menjelang kematiannya Abu Musa Al Asy'ari
berwasiat :
"Janganlah kalian mengiringi aku dengan dupa
api. "
Orang-orang bertanya : "Apakah engkau
mendengar sesuatu (hadits) tentang itu?"
Ia menjawab : "Ya, dari Rasulullah ﷺ. "
[ HR. Ibnu Majah no. 1476 . Di Hasankan sanadnya
oleh al-Albaani dalam Ahkam al-Janaaa'iz no.17].
ATSAR KE 3 :
Dari Abdurrahmaan bin Mihran :
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ حِينَ
حَضَرَهُ الْمَوْتُ: لَا تَضْرِبُوا عَلَيَّ فِسْطَاطًا، وَلَا تَتَّبِعُونِي بِمِجْمَرٍ،
وَأَسْرِعُوا بِي.
" Abu Huraira berkata, ketika ajalnya hendak
tiba : " Jangan lah kalian pancangkan tenda diatas kuburanku dan jangan
kalian ikuti jenazahku dengan pedupaan api , dan kelian percepatlah dalam
menguburkanku ".
HR. Ahmad 15/39 . Di shahihkan sanadnya oleh Ahmad
Syakir dan syeikh al-Albaani di Ahkaam al-Janaaiz di bawah hadits no. 17 ]
ATSAR KE 4 :
Dari Qois bin Abbaad - yang merupakan salah satu
Kibaar Tabi'iin dari kalangan para sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhu – berkata :
(كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ خَفْضَ الصَّوْتِ عِنْدَ
الْجَنَائِزِ، وَعِنْدَ الذِّكْرِ، وَعِندَ الْقِتَالِ)
(Dulu mereka menganjurkan untuk merendahkan suara
saat mengiringi Jenazah, saat berdzikir, dan saat berperang)
[ Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mubarak dalam “Al-Zuhd”
(247), Ibn Abi Syaibah (11201), Ibnu Al-Mundzir dalam “Al-Awsat” (3034), dan
Al-Bayhaqi dalam “Al-Sunan Al- Kubra” (18466).
Derajat Atsar :
Ibn Hajar berkata - seperti yang dikutip dalam
“Al-Futuhaat al-Rabbaniyyah” karya Ibnu 'Allaan (4/184) : " Mauquuf Shahih
".
Asy-Syaukani berkata dalam “Neil al-Awthar” (6/88)
: " رجاله رجالُ الصحيح / Orang-orangnya adalah para perawi ash-Shahih ".
Dan Syeikh al-Albani berkata dalam “Ahkam
al-Janaa'iz” (hal. 92) : " إسناده
رجاله ثقات /
Sanadnya , para perawinya tsiqoot ( dipercaya ) ".
===***===
FIQIH HADITS DAN ATSAR
TENTANG BERSUARA ATAU BERDZIKIR SAAT MENGANTARKAN
JENAZAH :
****
PERTAMA : BERSUARA ATAU BERDZIKIR DENGAN SUARA PELAN SAAT MENGIRINGI JENAZAH:
Adapun dzikir dan baca al-Qur'an secara sirri dan
pelan , maka tidaklah mengapa dalam hal ini. Ibnu Muflih al-Hanbali, semoga
Allah merahmatinya, berkata:
"وَيُسَنُّ الذِّكْرُ وَالْقِرَاءَةُ سِرًّا،
وَإِلَّا فَالصَّمْتُ، وَيُكْرَهُ رَفْعُ الصَّوْتِ وَلَوْ بِالْقِرَاءَةِ، اتِّفَاقًا".
"Di sunnahkan dzikir dan bacaan al-Qur'an
secara sirri , jika tidak , maka diam . Dan di makruhkan untuk meninggikan
suara meskipun dengan membaca al-Qur'an, berdasarkan kesepakatan para ulama .”
[ al-Furuu' 3/369 ].
Imam ath-Thahthawi mengatakan dalam حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح (1/401):
فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَذْكُرَ اللهَ
تَعَالَى فَفِي نَفْسِهِ، أَيْ سِرًّا بِحَيْثُ يَسْمَعُ نَفْسَهُ، وَفِي السِّرَاجِ:
وَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ تَبِعَ الْجَنَازَةَ أَنْ يَكُونَ مَشْغُولًا بِذِكْرِ اللهِ
تَعَالَى وَالتَّفَكُّرِ فِيمَا يَلْقَاهُ الْمَيِّتُ، وَأَنَّ هَذَا عَاقِبَةُ أَهْلِ
الدُّنْيَا، وَلْيَحْذَرْ عَمَّا لَا فَائِدَةَ فِيهِ مِنَ الْكَلَامِ، فَإِنَّ هَذَا
وَقْتُ ذِكْرٍ وَمَوْعِظَةٍ، فَتَقْبُحُ فِيهِ الْغَفْلَةُ، فَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ اللهَ
تَعَالَى فَلْيَلْزَمِ الصَّمْتَ، وَلَا يَرْفَعْ صَوْتَهُ بِالْقِرَاءَةِ وَلَا بِالذِّكْرِ،
وَلَا يَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
Jika dia ingin berdzikir kepada Allah SWT , maka
berdzikir dalam dirinya sendiri, yaitu secara pelan sehingga hanya dia sendiri
yang bisa mendengarnya .
Dan di dalam kitab as-Sirooj : " Sebaiknya
orang yang mengikuti Jenazah disibukkan dengan berdzikir kepada Allah SWT dan
merenungkannya " apa yang akan ditemui orang mati ?".
Dan sadar bahwa ini adalah konsekuensi dari
orang-orang yang hidup di dunia ini, dan seharusnya dia waspada dan
berhati-hati dari hal-hal yang tidak ada faidahnya dalam berbicara, karena ini
adalah waktu dzikir dan mau'idzoh . Di mana pada saat-saat seperti ini
melakukan hal-hal melalaikannya itu adalah jelek.
Jika dia tidak berdzikir kepada Allah , maka dia
harus diam .
Dan tidak meninggikan suaranya dalam bacaan atau
dzikir . Dan jangan terpengaruh oleh banyak orang yang melakukan itu [ yakni
meninggikan suara ]. Selesai .
DALIL UMUM :
Dalil umum perintah dalam berdzikir dan berdo'a
dengan suara pelan :
Allah –ta’ala- berfirman dalam al Qur’an:
{ ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ }
“Berdo`alah kepada Tuhan kalian dengan berendah
diri dan suara yang lirih / pelan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”. ( QS. Al A’raf: 55)
Firman Allah yang lain:
{ وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا
وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ
الْغَافِلِينَ }
“Dan sebutlah (nama) Tuhan kalian dalam hati kalian
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang lalai”.
(QS. Al A’raf: 205)
Allah menceritakan tentang do'a Nabi Zakariya alaihis
salam :
{ إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا }
“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan
suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah :
( وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ
تُخَافِتْ بِهَا ) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. Ayat ini turun berkenaan
dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no. 6327)
Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu
‘anhu, ia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ،
فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا
، فَقَالَ النَّبِىُّ ﷺ : « يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ،
فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ
قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ»
“Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ. Jika
sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara
kami.
Nabi ﷺ lantas
bersabda :
“Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian.
Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama
kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi
kemuliaan-Nya.”
(HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini
menunjukkan bahwa Rasul ﷺ tidaklah
suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.
Ath Thobari rahimahullah berkata,
فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع
الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ
الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى
“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan
suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para
sahabat dan tabi’in.” (Di Kutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar Fathul Bari, 6/135
dan beliau mentaqirirnya )
Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah
dengan suara lirih (tidak dengan jaher).
Dalam kitab “Al-Umm” 1/110 – setelah menyebutkan
hadits dari Ibn Abbas - Imam Asy-Syafi'i berkata :
((وَأَخْتَارُ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ
يَذْكُرَا اللهَ بَعْدَ الانْصِرَافِ مِنَ الصَّلَاةِ؛ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ إِمَامًا يُحِبُّ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ، فَيَجْهَرَ حَتَّى يُرَى أَنَّهُ
قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ، ثُمَّ يُسِرُّ؛ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ:
{وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ
بِهَا} \[الإِسْرَاء: 110]، يَعْنِي –وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ–: الدُّعَاءَ.
{وَلَا تَجْهَرْ}: تَرْفَعْ، {وَلَا تُخَافِتْ}:
حَتَّى لَا تُسْمِعَ نَفْسَكَ)).
“Saya memilih imam dan makmum untuk berdzikir Allah
setelah selesai shalat ; dan mereka [ imam dan makmum ] masing-masing
melirihkan dzikirnya , kecuali jika dia adalah seorang imam yang ada orang suka
belajar darinya, maka dia boleh berdzikir dengan suara keras sampai dia melihat
bahwa orang tsb telah menguasainya, maka setelah itu dia melirihkannya kembali
; karena Allah SWT berfirman :
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ
وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). Yakni
: wallaahu a'lam : Do'a .
{ Dan jangan kau Jaher kan } : yakni , meninggikan
suara ,
{ janganlah pula terlalu merendahkan suaranya }: sehingga
kamu tidak mendengarnya oleh dirimu sendiri ".
Lalu Imam Syafii berkata :
((وَأَحْسَبُ أَنَّ مَا رَوَى ابْنُ الزُّبَيْرِ
مِنْ تَهْلِيلِ النَّبِيِّ ﷺ، وَمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ مِنْ تَكْبِيرِهِ .. إِنَّمَا
جَهَرَ قَلِيلًا لِيَتَعَلَّمَ النَّاسُ مِنْهُ، وَذَلِكَ؛ لِأَنَّ عَامَّةَ الرِّوَايَاتِ
الَّتِي كَتَبْنَاهَا – مَعَ هَذَا وَغَيْرِهَا – لَيْسَ يُذْكَرُ فِيهَا بَعْدَ التَّسْلِيمِ
تَهْلِيلٌ وَلَا تَكْبِيرٌ، وَقَدْ يُذْكَرُ أَنَّهُ ذَكَرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ بِمَا
وَصَفْتُ، وَيُذْكَرُ انْصِرَافُهُ بِلَا ذِكْرٍ، وَذَكَرَتْ أُمُّ سَلَمَةَ مَكْثَهُ
وَلَمْ يُذْكَرْ جَهْرٌ، وَأَحْسَبُهُ لَمْ يَكُنْ إِلَّا لِيَذْكُرَ ذِكْرًا غَيْرَ
جَهْرٍ)).
" Dan saya menganggap bahwa apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu az-Zubair tentang Tahlil Nabi ﷺ dan
apa yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas tentang takbirnya ... dengan mengeraskan
suaran ; maka itu hanya sebentar [ tidak lama ] , sampai orang-orang dapat
belajar darinya.
Dan yang demikian itu; karena sebagian besar riwayat
yang kami tulis - yang ini dan yang lainnya - tidak disebutkan di dalamnya
bahwa setelah beliau ﷺ salam
lalu mengucapkan tahlil dan tidak pula takbir .
Dan disebutkan bahwa beliau terkadang berdzikir
setelah shalat seperti yang telah saya jelaskan. Dan disebutkan pula bahwa
beliau terkadang berana\jak dari sholatnya tanpa berdzikir .
Dan Ummu Salamah meyebutkan bahwa Beliau ﷺ setelah shalat diam tidak langsung beranjak tapi
beliau tidak berdzikir dengan mengeraskan suara .
Dan saya kira : tidaklah beliau ﷺ diam ditempat setelah sholat , kecuali beliau
berdzikir tanpa dikeraskan suaranya ".
Oleh karena itu Imam Syafii berkata :
وَاسْتُحِبَّ لِلْمُصَلِّي مُنْفَرِدًا
أَوْ مَأْمُومًا أَنْ يُطِيلَ الذِّكْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ وَيُكْثِرَ الدُّعَاءَ رَجَاءَ
الْإِجَابَةِ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ.
Dan dimustahabbkan bagi orang yang shalat sendirian
atau shalat menjadi makmum untuk memperpanjang dzikir setelah shalat dan
memperbanyak do'a dengan harapan terkabul [karena doa ] setelah shalat wajib. [
al-Umm 1/110 ]
*****
KEDUA : BICARA ATAU BERDZIKIR DENGAN MENINGGIKAN SUARA SAAT MENGANTAR JENAZAH :
Jumhur ulama mengatakan MAKRUH meninggikan suara
saat mengiringi Jenazah . Dan ada sebuah riwayat dari madzhab Hanafi generasi
akhir yang mengatakan HARAM .
[Baca : Haasyiyah ath-Thohthoowi hal. 1/401 dan
al-Furuu' karya Ibnu Muflih 3/369 ].
Imam asy-Syarbiny asy-Syaafi'i berkata dalam Mughni
al-Muhtaaj 1/359 :
وَيُكْرَهُ اللَّغَطُ وَهُوَ ارْتِفَاعُ
الْأَصْوَاتِ فِي السَّيْرِ مَعَ الْجَنَازَةِ، لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ
أَنَّ الصَّحَابَةَ كَرِهُوا رَفْعَ الصَّوْتِ عِنْدَ الْجَنَائِزِ، وَعِنْدَ الْقِتَالِ،
وَعِنْدَ الذِّكْرِ.
Di makruhkan hiruk pikuk dan kegaduhan , yaitu
tinggi dan kerasnya suara saat berjalan dengan Jenazah , karena al-Bayhaqi
meriwayatkan bahwa para sahabat tidak suka meninggikan suara, ketika bersama
jenazah, ketika berperang dan ketika berdzikir .
Imam an-Nawawi asy-Syaafi'ii berkata:
وَأَمَّا مَا يَفْعَلُهُ الْجُهَّالُ
مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ بِالتَّمْطِيطِ وَإِخْرَاجِ الْكَلَامِ عَنْ
مَوْضِعِهِ، فَحَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ.
"Adapun yang dilakukan oleh orang-orang bodoh
berupa membaca Al-Quran saat mengantar jenazah dengan memanjangkan
huruf-hurufnya sehingga mengeluarkan makna kalimat dari makna sebenarnya, maka
haram berdasarkan Ijma". (Al-Adzkaar hal.160)
Imam Thahthaawi Al Hanafi berkata:
وَيُكْرَهُ رَفْعُ الصَّوْتِ، قِيلَ:
يُكْرَهُ تَحْرِيمًا، كَمَا فِي القُهُسْتَانِيِّ عَنِ القِنْيَةِ، وَفِي الشَّرْحِ
عَنِ الظَّهِيرِيَّةِ.
Meninggikan suara itu makruh. Dan ada yang
mengatakan : haram seperti dalam al-Qohsataani dari al-Qunyah dan dalam
al-Sharh dari al-Dzahirah [حاشية الطحطاوي على مراقي
الفلاح (1/401)].
Dalam al-Mausuu'ah al-Fiqhiyyah [ al-Mathlab no. 11
] di sebutkan :
لَا يُشْرَعُ رَفْعُ الصَّوْتِ بِقِرَاءَةٍ
أَوْ ذِكْرٍ فِي السَّيْرِ بِالْجِنَازَةِ وَمَعَهَا، وَهَذَا بِاتِّفَاقِ الْمَذَاهِبِ
الْفِقْهِیَّةِ الْأَرْبَعَةِ: الْحَنَفِيَّةِ، وَالْمَالِكِيَّةِ، وَالشَّافِعِيَّةِ،
وَالْحَنَابِلَةِ، وَحُكِيَ الْإِجْمَاعُ عَلَى ذَلِكَ.
Tidak disyariatkan meninggikan suara dengan bacaan
atau dzikir dalam perjalanan mengantar jenazah dan ketika bersamanya .
Dan ini sesuai dengan kesepakatan empat mazhab
fiqih : Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali . Serta dihikayatkan adanya Ijma' [
konsensus ] tentang itu.
Referensi :
Madzhab Hanafi : ((Al-Bahr Ar-Raa'iq)) oleh Ibn
Najim (2/207). Lihat pula : ((Badaa'i Ash-Shana'a)) oleh Al-Kaasaani (1/310).
Madzhab Maliki : ((at-Taaj wal-Ikliil )) Al-Mawwaq
(2/238). Dan lihat: ((Sharah Mukhtashar Khalil)) oleh Al-Kharshi (2/136, 137).
Madzhab Syafi'i : ((Al-Majmu') oleh Al-Nawawi
(5/321), ((Mughni Al-Muhtaaj)) oleh Al-Khaatib Al-Syarbini (2/48), ((Nihayah
Al-Muhtaaj)) oleh Al-Ramlii (3/23).
Madzhab Hanbali : ((Sharh Muntaha Al-Iraadaat))
oleh Al-Bahuuti (1/370), ((Kashshaf Al-Qinaa')) oleh Al-Bahuuti (2/130). Lihat:
((Al-Mughni)) oleh Ibnu Qudamah (2/355).
Hikayat Ijma' : Lihat : Majmu' al-Fataawaa karya
Syeikul Islam Ibnu Taimiyah 3/146 , Al-Fataawaa al-Kubraa 5/361 dan
al-Mustadrak 'alaa Majmu' al-Fataawaa 24/294 .
Syeikul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
(لَا يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ مَعَ الْجِنَازَةِ؛
لَا بِقِرَاءَةٍ وَلَا ذِكْرٍ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ؛ هَذَا مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ،
وَهُوَ الْمَأْثُورُ عَنِ السَّلَفِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَلَا أَعْلَمُ
فِيهِ مُخَالِفًا).
(Tidaklah mustahabb meninggikan suara bersama
Jenazah, tidak dengan bacaan, atau dzikir, atau apa pun. Ini adalah madzhab
empat imam, dan itu adalah apa yang diriwayatkan dari para salaf dari kalangan
para sahabat dan Tabi'in . Dan setahu saya : tidak ada yang menyelisihinya.
((Majmu’ Al-Fatwas)) (24/294).
Beliau juga berkata :
(وَيُكْرَهُ رَفْعُ الصَّوْتِ مَعَ الْجِنَازَةِ،
وَلَوْ بِالْقِرَاءَةِ؛ اتِّفَاقًا).
(Dan dimakruhkan meninggikan suara bersama jenazah
, meskipun dengan bacaan, berdasarkan kesepakatan para ulama ). ((Al-Fataawaa
al-Kubraa )) (5/361).
Ibnu Quddaamah berkata dlam al-Mughni 2/174 :
يُسْتَحَبُّ لِمُتَّبِعِ الْجِنَازَةِ
أَنْ يَكُونَ مُتَخَشِّعًا، مُتَفَكِّرًا فِي مَآلِهِ، مُتَّعِظًا بِالْمَوْتِ وَبِمَا
يَصِيرُ إِلَيْهِ الْمَيِّتُ، وَلَا يَتَحَدَّثُ بِأَحَادِيثِ الدُّنْيَا وَلَا يَضْحَكُ،
قَالَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ: مَا تَبِعْتُ جِنَازَةً فَحَدَّثْتُ نَفْسِي بِغَيْرِ مَا
هُوَ مَفْعُولٌ بِهَا، وَرَأَى بَعْضُ السَّلَفِ رَجُلًا يَضْحَكُ فِي جِنَازَةٍ فَقَالَ:
أَتَضْحَكُ وَأَنْتَ تَتَّبِعُ الْجِنَازَةَ؟ لَا كَلَّمْتُكَ أَبَدًا.
Di Mustahabkan bagi pengantar Jenazah bersikap
khusyu', memikirkan tempat kembalinya kelak setelah mati , menasihatinya dengan
kematian dan dengan apa yang akan terjadi pada si mayit .
Dan dia tidak berbicara tentang masalah duniawi dan
tidak tertawa-tawa.
Saad bin Mu'adz berkata : Saya tidaklah mengantar
jenazah kecuali saya tidak berbicara kepada diri sendiri selain dari yang
dimaksudkan [ pemakaman dan kematian ].
Dan sebagian dari para salaf pernah melihat seorang
laki-laki menertawakan jenazah . Maka dia berkata : " Apakah layak bagi
Anda tertawa ketika Anda mengantar jenazah , dan saya sama sekali tidak pernah
berbicara dengan Anda ".
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata :
وَاعْلَمْ أَنَّ الصَّوَابَ الْمُخْتَارَ
مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: السُّكُوتُ فِي حَالِ السَّيْرِ
مَعَ الْجِنَازَةِ، فَلَا يُرْفَعُ صَوْتٌ بِقِرَاءَةٍ، وَلَا ذِكْرٍ، وَلَا غَيْرِ
ذَلِكَ، وَالْحِكْمَةُ فِيهِ ظَاهِرَةٌ، وَهِيَ أَنَّهُ أَسْكَنُ لِخَاطِرِهِ، وَأَجْمَعُ
لِفِكْرِهِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِنَازَةِ، وَهُوَ الْمَطْلُوبُ فِي هَذَا الْحَالِ،
فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ، وَلَا تَغْتَرَّنَّ بِكَثْرَةِ مَنْ يُخَالِفُهُ.
“Dan ketahuilah bahwa yang benar dan yang dipilih
para Salaf adalah diam saat mengiring jenazah, tidak mengeraskan suara baik itu
berupa ayat Quran, dzikir dan selain dari itu.
Dan hikmah dari ini semua itu jelas, yakni lebih
mententramkan pikiran dan lebih berkonsentrasi dengan apa yang terkait dengan
jenazah. Dan memang beginilah kondisi yang mesti ada saat mengiringi jenazah.
Maka, inilah yang benar. Dan jangan sampai kamu tertipu dengan banyaknya orang
yang menyelisihinya". (Al-Adzkaar hal.160)
Dan Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam
al-Mughni 2/363 :
وَذَكَرَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ
وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَالْحَسَنُ وَالنَّخَعِيُّ وَإِمَامُنَا وَإِسْحَاقُ قَوْلَ
الْقَائِلِ خَلْفَ الْجِنَازَةِ: اسْتَغْفِرُوا لَهُ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: بِدْعَةٌ،
وَقَالَ عَطَاءٌ: مُحْدَثَةٌ، وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ فِي مَرَضِهِ: إِيَّايَ
وَحَادِيَهُمْ هَذَا الَّذِي يَحْدُو لَهُمْ يَقُولُ: اسْتَغْفِرُوا لَهُ غَفَرَ اللهُ
لَكُمْ.
وَقَالَ فُضَيْلُ بْنُ عَمْرٍو:
بَيْنَا ابْنُ عُمَرَ فِي جِنَازَةٍ إِذْ سَمِعَ قَائِلًا يَقُولُ: اسْتَغْفِرُوا لَهُ
غَفَرَ اللهُ لَكُمْ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: لَا غَفَرَ اللهُ لَكَ. رَوَاهُمَا سَعِيدٌ.
قَالَ أَحْمَدُ: وَلَا يَقُولُ خَلْفَ
الْجِنَازَةِ: سَلِّمْ رَحِمَكَ اللهُ، فَإِنَّهُ بِدْعَةٌ، وَلَكِنْ يَقُولُ: بِسْمِ
اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَذْكُرُ
اللهَ إِذَا تَنَاوَلَ السَّرِيرَ.
Sa’id bin Musayyad (w. 94 H -pent), Sa’id bin
Jubair (W. 95 H -pent), Al Hasan, An Nakho’i (w. 96 H -pent) dan imam kami (
Yakni : Ahmad bin Hanbal, w. 241 H -pent) serta Ishaq (w.163 H -pent) :
memakruhkan seseorang yang dibelakang jenazah berkata: "Mintakanlah
ampunan untuk dia".
Berkata Al Auza’i rahimahullah (wafat 157 H pent) :
"Bid'ah".
Berkata ‘Atho rahimahullah (wafat tahun 115 H) :
"Muhdatsah ".
Sa’id bin Musayyab rahimahullah saat dia sakit
berpesan: "Waspadalah akan kecenderungan mereka, dimana mereka berkata:
"Mintakan ampunan untuk dia ini, semoga Allah (mengampuni) dosa-dosa
kalian ".
Fudhail bin ‘Amru rahimahullah berkata :
"Saat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mengantar
jenazah, tiba-tiba beliau mendengar seseorang berkata, mintakan ampunan
untuknya, semoga Allah akan mengampuni kalian".
Maka, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu segera
meresponnya dengan berkata: "Semoga Allah tidak memaafkanmu". Kedua
riwayat diatas diriwayatkan oleh Sa’id.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah: "Dan
janganlah seseorang diantara kalian mengucapkan dibelakang: "Keselamatan,
semoga Allah merahmatimu. Ini adalah bid'ah. Tetapi hendaklah mengucapkan:
"Bismillah Wa'alaa Millati Rasulillah SAW". (Al Mughni 2/363)
Syeikh al-Albaani berkata dalam Ahkaam al-Janaa'iz
di bawah no 48 :
وَلِأَنَّ فِيهِ تَشْبِيهًا بِالنَّصَارَى،
فَإِنَّهُمْ يَرْفَعُونَ أَصْوَاتَهُمْ بِشَيْءٍ مِنْ أَنَاجِيلِهِمْ وَأَذْكَارِهِمْ
مَعَ التَّمْطِيطِ وَالتَّلْحِينِ وَالتَّحْزِينِ. وَأَقْبَحُ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ تَشْيِيعُهَا
بِالْعَزْفِ عَلَى الْآلَاتِ الْمُوسِيقِيَّةِ أَمَامَهَا عَزْفًا حَزِينًا، كَمَا
يُفْعَلُ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ الْإِسْلَامِيَّةِ تَقْلِيدًا لِلْكُفَّارِ. وَاللهُ
الْمُسْتَعَانُ.
"Dan karena menyerupai dengan orang-orang
Kristen, mereka meninggikan suara mereka dengan suatu bacaan dari Injil dan
dzikiran-dzikiran mereka , sambil memanjang-manjangkan bacaannya , dengan lirik
suara yang menyayat hati dan menambah kesedihan .
Bahkan lebih buruk dari itu, yaitu mengantarkan
jenazahnya diiringi dengan memainkan alat musik di hadapannya dengan suara
musik yang memilukan, seperti yang dilakukan di beberapa negara Islam, karena meniru
dan taklid terhadap orang-orang kafir. Wallaahul musta'aan ".
SELESAI .
0 Komentar