HUKUM MENGGUNAKAN TASBIH DALAM BERDZIKIR
DAN
PERBANDINGAN DALIL ANTARA YANG MENGHARAMKAN DAN YANG MEMBOLEHKAN
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====***====
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga dilimpah ruahkan atas Nabi kita beserta keluarga dan para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat:
Nama-nama ALAT TASBIH:
Orang Arab menyebut biji tasbih ini dengan bermacam-macam nama, diantaranya adalah subhah, misbahah, tasaabih, Nidzoom ..
=====******=====
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM BEDZIKIR DENGAN BIJI TASBIH
MARI KITA BERTABAYYUN !!! BENARKAH DZIKIR MENGGUNAKAN TASBIH ITU BID'AH DAN HARAM?
Dalam masalah ini Para ulama berbeda pendapat. Ada dua pendapat:
PENDAPAT PERTAMA: MUBAH/BOLEH.
Ini pendapat mayoritas kaum Muslimiiin dan Syeikh al-Albaani setelah beliau rujuk.
PENDAPAT KEDUA: HARAM DAN BID'AH.
Ini adalah pendapat Syeikh al-'Allaamah al-Muhaddits Al-Albaani rahimahullah sebelum beliau rujuk [Lihat : Silisilah adh-Dah'iifah 1/117]. Dan juga pendapat para ulama yang sefaham dengannya. Mereka telah menganganggap bid'ah dan haram menggunakan Tasbih dalam berdzikir.
Bahkan ada sebagian dari mereka membahasnya secara khushush dalam karya ilmiyah untuk memperkuat pendapat Syaikh al-Albaani. Diantaranya adalah :
Pertama : Umar bin Abdul Mun'iim Saliim dalam kitab-nya
لاَ دِفَاعًا عَنِ الْأَلْبَانِيِّ فَحْسُبٌ، بَلْ دِفَاعًا عَنِ السَّلَفِيَّةِ.
"BUKAN HANYA MEMBELA AL-ALBAANI SAJA, BAHKAN MEMBELA PARA SALAF ".
Kedua : Abu Abdillah Ghariib al-Qosaanthini dalam bukunya "حُكْمُ السُّبْحَةِ"
Ketiga : Syeikh Bakr Abu Zaid menulis buku yang berjudul "السُّبْحَةُ آثَارُهَا وَحُكْمُهَا"
Keempat : dan lain -lain.
BISMILLAH:
Sebelum penulis menyebutkan dalil-dalil pendapat yang membid'ahkan atau mengharamkan, penulis terlebih dahulu menyebutkan dalil-dalil yang membolehkan berdzikir dengan mengunakan alat tasbih.
===***===
PENDAPAT PERTAMA:
YANG MEMBOLEHKAN BERDZIKIR DENGAN SUBHAH/TASBIH:
Pendapat ini mengatakan: Tidak mengapa menggunakan tasbih, meskipun yang lebih afdhol bertasbih dengan jari jemari.
Pendapat ini adalah dari Abu Hurairah, Salman al-Farsi, Abu ad-Darda', al-Syawkani dan al-Suyuti. Lihat Nailul-Awthoor (2/366).
Dan ini adalah pendapat madzhab Syafi'i dan madzhab Hanafi, sebagaimana dilansir oleh al-Juzairi dalam Kitab al-Fiqhu 'Alaa Madzaahibil arba'ah (2/10).
Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah dlam artikelnya "حُكْمُ السُّبْحَةِ" berkata:
وَاخْتَارَهُ ابْنُ الصَّلَاحِ وَاخْتِيَارُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ وَابْنِ الْجَوْزِيِّ وَأَبِي الْحَسَنَاتِ اللَّكْنَوِيِّ وَرَجَّحَهُ ابْنُ بَازٍ وَابْنُ عُثَيْمِينَ وَالْأَلْبَانِيُّ فِي رِوَايَةٍ وَشَيْخُنَا مُصْطَفَى الْعَدْوِيِّ وَشَيْخُنَا حَسَنُ أَبُو الْأَشْبَالِ. قَالُوا: جَوَازُ اتِّخَاذِ السَّبْحَةِ وَالذِّكْرِ بِهَا وَلَكِنْ بِالْيَدِ أَفْضَلُ وَهُوَ الرَّاجِحُ.
Dan ini dipilih oleh Ibnu al-Sholah dan pilihan Syeikh al-Islam, Ibnu al-Jawzi dan Abu al-Hasanat al-Laknawi.
Dan di tarjih oleh Ibnu Baaz, Ibnu Utsaimiin dan al-Albani dalam satu riwayat, dan Syeikh kami Musthafa al-'Adawi dan Syekh kami Hassan Abu al-Asybaal ". Mereka berkata:
" Dibolehkan menggunakan Subhah dan berdzikir dengannya, tetapi dengan tangan itu lebih Afdhol. Dan ini adalah yang rajiih (paling benar)".
Kemudian Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah berkata:
بَلْ إِنَّ الْعُلَمَاءَ أَجَازُوا أَنْ يُتَخَّذَ خِيطُ السِّبْحَةِ مِنْ حَرِيرٍ، وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَفِيَّةِ كَمَا نَقَلَ ذَلِكَ الْجَزِيرِيُّ فِي كِتَابِ الْفِقْهِ عَلَى الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ (2/10).
وَاخْتَارَهُ ابْنُ الصَّلَاحِ وَالصَّنْعَانِيُّ. قَالَ الصَّنْعَانِيُّ فِي سُبُلِ السَّلَامِ (1/463):" وَأَمَّا خِيَاطَةُ الثَّوْبِ بِالْخَيْطِ الْحَرِيرِ، وَلُبْسُهُ وَجَعْلُ خَيْطِ السُّبْحَةِ مِنْ الْحَرِيرِ، وَلِيقَةِ الدَّوَاةِ وَكِيسِ الْمُصْحَفِ، وَغِشَايَةِ الْكُتُبِ فَلَا يَنْبَغِي الْقَوْلُ بِعَدَمِ جَوَازِهِ لِعَدَمِ شُمُولِ النَّهْيِ لَهُ اهـ
Bahkan, para ulama membolehkan benang Tasbih terbuat dari sutra, dan ini adalah mazhab Syafi'i dan Hanafi, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqhu 'Alaa Madzaahibul arba'ah (2/10)
Ibnu al-Shalah dan al-Shan'aani memilihnya. Ash-Shan'aani berkata dalam Subulus Salaam (1/463):
“Adapun menjahit pakaian dengan benang sutra dan memakainya, begitu pula membuat benang Tasbih dari sutra, dan kain tempat obat-obatan dan bungkus Al-Qur'an, dan juga untuk penutup kitab-kitab, maka tidak layak dikatakan bahwa itu tidak boleh karena larangan penggunaan sutra tersebut tidak mencakupnya ".
(Lihat حُكْمُ السُّبْحَةِ لِعَمْرُو العَدَوِي أَبُو حَبِيبَة, Kamis. 26 Januari 2017).
RUJUKNYA SYEIKH AL-ALBAANI DARI FATWA BID'AHNYA TASBIH
Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah berkata:
قَالَ شَيْخُنَا حَسَنُ أَبُو الْأَشْبَالِ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ: "الشَّيْخُ الْأَلْبَانِيُّ عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ قَدْ ذَهَبَ إِلَى بِدْعِيَّةِ التَّسْبِيحِ عَلَى الْمِسْبَحَةِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ هَذَا الْحُكْمِ وَقَالَ بِالْجَوَازِ بَعْدَ ذَلِكَ لِمَا طَبَعَ "الدُّعَاء" لِلطَّبَرَانِيِّ وَاطَّلَعَ عَلَى هَذِهِ النُّصُوصِ رَجَعَ عَنْ فَتْوَاهُ". آهٍ.
Syekh kami Hasan Abu Al-Asybaal berkata dalam kitab "Sharah Muslim":
" Syeikh Al-Albani, semoga Allah merahmatinya, sebelum nya beliau berpendapat bid'ahnya berdzikir dengan Subhah/Tasbih, kemudian beliau mencabut kembali pendapatnya ini (رُجُوع).
Beliau menyatakan: diperbolehkan setelah itu, yaitu ketika kitab "الدُّعَاء" karya ath-Thabarani di cetak dan beliau pun meninjau teks-teks nya, maka setelah itu beliau mencabut fatwa bid'ahnya".
(Lihat حُكْمُ السُّبْحَةِ لِعَمْرُو العَدَوِي أَبُو حَبِيبَة, Kamis. 26 Januari 2017).
Yahya bin Ma'iin (al-Muhaddits dan Imam Jarh wa ta'diil lhr 158 H – wft 233 H) berkata:
كَانَ - لِيَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ القَطَّانِ - سُبْحَةٌ يُسَبِّحُ بِهَا
Dulu Yahya bin Sa'iid al-Qaththan [120 H – 198 H] memiliki sebuah Subhah yang dia gunakan untuk bertasbiih dengannya ". [Baca: تَذْكِرَةُ الحُفَّاظِ (1/219)].
AMALAN AL-HAFIDZ IBNU HAJAR :
Dalam kitab “(الجَوَاهِرُ وَالدُّرَرُ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِ الإِسْلَامِ ابْنِ حَجَرٍ) (1/171) karya Al-Hafidz Al-Sakhoowi di sebutkan:
وَكَانَ - رَحِمَهُ اللَّهُ أَيْ ابْنَ حَجَرٍ - إِذَا جَلَسَ مَعَ الجَمَاعَةِ بَعْدَ العِشَاءِ وَغَيْرِهَا لِلْمُذَاكَرَةِ، تَكُونُ السُّبْحَةُ دَاخِلَ كُمِّهِ بِحَيْثُ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ، وَيَسْتَمِرُّ يُدِيرُهَا وَهُوَ يُسَبِّحُ أَوْ يَذْكُرُ غَالِبَ جُلُوسِهِ. وَرُبَّمَا تَسْقُطُ مِنْ كُمِّهِ، فَيَتَأَثَّرُ لِذَلِكَ، رَغْبَةً فِي إِخْفَائِهَا. اهـ
Dan dia - semoga Allah merahmatinya, yaitu Ibnu Hajar - jika dia duduk bersama Jemaah setelah 'Isya dan di waktu lainnya untuk mudzaakaroh, biasanya ada tersebutih berada terselip di dalam lengan bajunya sehingga tidak ada yang bisa melihatnya, dan dia terus memutarnya sambil bertasbih, atau beliau berdzikir pada sebagian besar dari waktu duduknya.
Dan terkadang terjatuh dari lengan bajunya, dan dia akan terpengaruh oleh itu, karena beliau senantiasa berusaha ingin menyembunyikannya.
Ibnu Hajar al-Asqalaani, semoga Allah merahmatinya, mengatakan - seperti dalam: “(الْمِرْقَاة)” (2/363):
" وَالرِّوَايَاتُ فِي التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى كَثِيرَةٌ عَنْ الصَّحَابَةِ وَبَعْضِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ، بَلْ رَآهَا عَلَيْهِ السَّلَامُ وَأَقَرَّ عَلَيْهَا" ا.هـ.
“Dan riwayat-riwayat tentang bertasbih dengan biji kurma dan kerikil itu banyak dari para sahabat dan sebagian dari para Ummul Mu'miniin. Bahkan, Nabi saw, melihatnya dan membiarkannya”.
FATWA SYEIKH AL-UTSAIMIN :
Syekh Ibnu ‘Utsaimin berkata:
فَإِنَّ التَّسْبِيحَ بِالْمُسَبِّحَةِ لَا يُعَدُّ بِدْعَةً فِي الدِّينِ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِالْبِدْعَةِ المنهِيِّ عَنْهَا هِيَ الْبِدَعُ فِي الدِّينِ، وَالتَّسْبِيحُ بِالْمُسَبِّحَةِ إِنَّمَا هُوَ وَسِيلَةٌ لِضَبْطِ العَدَدِ، وَهِيَ وَسِيلَةٌ مَرْجُوحَةٌ مُفَضَّلَةٌ، وَالأَفْضَلُ مِنْهَا أَنْ يَكُونَ عَدُّ التَّسْبِيحِ بِالأَصَابِعِ..
Sesungguhnya bertasbih menggunakan Tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan bertasbih menggunakan Tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir). Tasbih adalah sarana yang marjuhah (lawan rajih/kuat) dan mafdhulah (lawan afdhal). Afdhalnya menghitung tasbih itu dengan jari jemar
[Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin, 8/174 (Dar al-Wathan, 1413 H].
FATWA SYEIKH BIN BAAZ :
Tanya jawab Syeikh Bin Baaz:
س: ذِكْرُ النَّوَى وَالْحَصَى؟
الشَّيْخُ: لَا بَأْسَ بِهِ، لَا بَأْسَ تُسَبِّحُ بِالنَّوَى أَوْ بِالْعُقَدِ أَوْ بِالسُّبْحَةِ، لَكِنَّ الأَصَابِعَ أَفْضَلُ.
Pertanyaan: Hukum berdzikir dengan biji kurma dan kerikil?
Syeikh menjawab: Tidak ada yang salah dengan itu, tidak mengapa bertasbih dengan biji kurma atau dengan simpul atau dengan subhah/tasbih, tetapi dengan jari-jemari lebih afdhol ".
Sumber: فَتَاوَى وَدُرُوسُ ابْنِ بَازٍ / حُكْمُ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالسُّبْحَةِ وَنَحْوِهَا / ١٣ Jumadil ula 1443 H.
FATWA SYEIKH SHALIH AL-FAUZAN :
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan rahimahullah dalam Al Mulakhash Al Fiqhi, beliau berkata:
وَيُبَاحُ اسْتِخْدَامُ السُّبْحَةِ لِيُعَدَّ بِهَا الأَذْكَارُ وَالتَّسْبِيحَاتُ، مِنْ غَيْرِ اعْتِقَادٍ أَنَّهَا فِيهَا فَضِيلَةٌ خَاصَّةٌ، وَكَرِهَهَا بَعْضُ العُلَمَاءِ، وَإِنِ اعْتَقَدَ أَنَّ لَهَا فَضِيلَةً؛ فَاتِّخَاذُهَا بِدْعَةٌ، وَذَٰلِكَ مِثْلُ السُّبُحِ الَّتِي يَتَّخِذُهَا الصُّوفِيَّةُ، وَيُعَلِّقُونَهَا فِي أَعْنَاقِهِمْ، أَوْ يَجْعَلُونَهَا كَالْأَسْوِرَةِ فِي أَيْدِيهِمْ، وَهَٰذَا مَعَ كُونِهِ بِدْعَةً؛ فَإِنَّ فِيهِ رِيَاءً وَتَكَلُّفًا.
“Dibolehkan menggunakan untaian biji tasbih untuk menghitung dzikir dan tasbih, dengan tanpa meyakini adanya keutamaan khusus padanya.
Sebagian ulama ada yang memakruhkan.
Jika dibarengi keyakinan memiliki keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah. Itulah bertasbihnya kaum sufi, mereka mengkalungkannya pada leher-leher mereka, atau menjadikannya gelang pada tangan-tangan mereka, ini semua bid’ah, di dalamnya terdapat riya’ dan memaksakan diri.”
(Syaikh Shalih Fauzan, Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam)
ALI AL-QORI :
Ali Al-Qari, semoga Allah SWT merahmatinya, berkata dalam " الْمِرْقَاة شَرْحُ الْمِشْكَاة " (2/363):
" وَلَا يُعْتَدُّ قَوْلُ مَنْ عَدَّهَا بِدْعَةً" ا.هـ.
"Dan tidak usah dianggap perkataan orang yang menganggapnya bid'ah."
AS-SUYUTHI :
Al-Imam As-Suyuthi رَحِمَهُ اللَّهُ berkata:
ولم يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلَا مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّونَهُ بِهَا وَلَا يَرَوْنَ ذَلِكَ مَكْرُوهًا
“Dan belum pernah dinukil dari seorangpun dari kalagan salaf (ulama’ terdahulu) dan tidak juga dari khalaf (ulama’ belakangan) adanya larangan dari bolehnya menghitung dzikir dengan biji tasbih. Bahkan mayoritas mereka menghitungnya dengan biji tasbih dan tidak memandang makruh akan hal itu.”[Al-Haawi karya As-Suyuthi: 2/6].
IBNU TAIMIYAH :
Dan Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan dalam Majmu' al-Fatawa 13/246 (CET. Darul Kutubul Ilmiyyah):
وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ؛ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ.
وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ، فَحَسَنٌ. وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ- مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ. وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى، وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ. وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ.
وَأَمَّا التَّسْبِيحُ بِمَا يُجْعَلُ فِي نِظَامٍ مِن الْخَرَزِ وَنَحْوِهِ، فَمِن النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَكْرَهْهُ. وَإِذَا أُحْسِنَتْ فِيهِ النِّيَّةُ؛ فَهُوَ حَسَنٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ.
وَأَمَّا اتِّخَاذُهُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ، أَوْ إظْهَارُهُ لِلنَّاسِ مِثْلُ تَعْلِيقِهِ فِي الْعُنُقِ، أَوْ جَعْلِهِ كَالسُّوَارِ فِي الْيَدِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ. فَهَذَا إمَّا رِيَاءٌ لِلنَّاسِ، أَوْ مَظِنَّةُ الْمُرَاءَاةِ وَمُشَابَهَةِ الْمُرَائِينَ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ: الْأَوَّلُ مُحَرَّمٌ، وَالثَّانِي أَقَلُّ أَحْوَالِهِ الْكَرَاهَةُ. اهـ. والله أعلم.
Sunnah hukumnya menghitung tasbih atau dzikir dengan jari, sebagaimana Nabi ﷺ berkata kepada para wanita:
سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ؛ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ.
"Hendaklah kalian bertasbih, dan hitunglah dengan jari jemari, karena hal itu akan dimintai pertanggung jawaban terhadap (apa yang ia lakukan) dan apa yang ia ucapkan."
Adapun menghitungnya dengan biji bijian kurma, kerikil dan sejenisnya, maka itu bagus/hasan. Dan ada dari kalangan para sahabat - semoga Allah meridhoi mereka - yang melakukan itu.
Dan sungguh Nabi ﷺ pernah melihat Ummul Mu'miniin bertasbih dengan kerikil, dan Nabi ﷺ mentaqrir terhadapnya (membiarkannya). Dan telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah biasa bertasbiah dengannya (kerikil).
Dan adapun alat tasbih dengan cara menyusun manik-manik dan sejenisnya, sebagian orang yang memakruhkannya, dan sebagian orang lagi tidak memakruhkannya. Tergantung niatnya, maka jika niatnya baik di dalamnya; maka itu adalah kebaikan bukan makruh.
Adapun jika menggunakannya tanpa ada kebutuhan (untuk bertasbih), atau untuk pamer kepada manusia, seperti menggantungkannya di leher, atau membuatnya seperti gelang di tangan ; maka ini adalah bisa jadi karena riya kepada manusia, atau bisa jadi karena menjadi penyabab yang mengantarkan pada Riya, serta ada kemiripan dengan orang-orang yang Riya karena tanpa adanya kebutuhan. Minimal hukumnya adalah makruh ". Wallahu a'alam. [Selesai].
Bahkan, Ibnu Taimiyah, semoga Allah merahmatinya, membolehkan penggunaan subhah/Tasbih meskipun ketika sedang di tengah-tengah sholat pada sebagian kondisi.
Beliau pernah ditanya, seperti dalam Majmu' Fatawaanya (22/625):
عَمَّا إذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ وَيَعُدُّ فِي الصَّلَاةِ بِسُبْحَةِ هَلْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ أَمْ لَا؟
فَأَجَابَ: إنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهَذَا السُّؤَالِ أَنْ يَعُدَّ الْآيَاتِ أَوْ يَعُدَّ تَكْرَارَ السُّورَةِ الْوَاحِدَةِ مِثْلَ قَوْلِهِ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} بِالسُّبْحَةِ فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ وَإِنْ أُرِيدَ بِالسُّؤَالِ شَيْءٌ آخَرُ فَلْيُبَيِّنْهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Jika dia membaca Al-Qur'an 'an dan menghitung nya dengan tasbih dalam shalat, apakah membatalkan shalatnya?
Beliau menjawab:
Jika yang di maksud dengan pertanyaan ini adalah untuk menghitung ayat atau menghitung bacaan satu surat yang di ulang-ulang, seperti membaca: " قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ " dengan alat tasbih ; maka tidak ada salahnya. Dan jika yang maksud dengan pertanyaan tersebut adalah sesuatu yang lain ; maka waspadalah. Wallahu a'lam. [Selesai]
IBNU QOYYIM "
Al-'Allaamah Ibnu al-Qayyim, semoga Allah SWT merahmatinya, mengatakan dalam al-Waabil al-Shoyyib hal. 295:
الفَصْلُ الثَّامِنُ وَالسِّتُّونَ: فِي عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالأَصَابِعِ. وَأَنَّهُ أَفْضَلُ مِنَ السُّبْحَةِ ا.هـ.
[Bab enam puluh delapan: tentang menghitung tasbih dengan jari jemari. Dan sesunguhnya itu lebih afdhol daripada Subhah (alat Tasbih) [Selesai].
ASY-SYAUKANI :
Asy-Syaukaani dalam (نَيْلُ الأَوْطَار) 2/354 berkata:
وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ قَالَ: "رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ" زَادَ فِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ: "بِيَمِينِهِ".
وَقَدْ عَلَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ الْبَابِ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ، يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى.
وَالْحَدِيثَانِ الْآخَرَانِ يَدُلَّانِ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ؛ لِعَدَمِ الْفَارِقِ؛ لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَتَيْنِ عَلَى ذَلِكَ، وَعَدَمُ إنْكَارِهِ وَالْإِرْشَادُ إلَى مَا هُوَ أَفْضَلُ لَا يُنَافِي الْجَوَازَ، وقَدْ وَرَدَتْ بِذَلِكَ آثَارٌ فَفِي جُزْءِ هِلَالٍ الْحَفَّارِ
Abu Daud meriwayatkan, begitu juga Tirmidzi serta menghasankannya, juga an-Nasaa'i, dan al-Haakim serta menshahihkannya, dari Ibnu 'Amr رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, dia berkata:
"رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ"
"Saya melihat Rasulullah ﷺ menghitung tasbiih ".
Dalam riwayat Abu Daud dan lainnya terdapat tambahan: " dengan tangan kanannya."
Dan Rasulullah ﷺ memberikan alasan untuk itu dalam hadits bab ini, yaitu:
أَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ
" bahwa jari jemari itu akan dimintai pertanggung jawaban terhadap (apa yang ia lakukan) dan apa yang ia ucapkan ".
Yakni ; jari jemari itu akan bersaksi tentang hal itu, sehingga cara bertasbih dengan hitungan jari jemari, itu lebih utama daripada dengan alat tasbih dan kerikil.
Dan dua hadits lainnya menunjukkan bahwa diperbolehkan menghitung tasbih dengan batu dan kerikil, begitu pula dengan subhah /alat menghitung tasbih ; karena tidak ada perbedaan; berdasarkan ketetapan Nabi ﷺ terhadap apa yang dilakukan oleh dua wanita.
Dan dengan tidak mengingkarinya dan membimbingnya kepada yang lebih afdhol ; maka ini menunjukan tidak ada larangan.
Dan telah ada atsar-atsar tentang hal itu, maka silahkan baca pada Juz هِلَالٍ الْحَفَّارِ ". [Selesai kutipan dari asy-Syaukaani].
*****
DALIL-DALIL PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN DZIKIR DENGAN TASBIH
====
DALIL PERTAMA
Dari Aisyah binti Sa'd bin Abu Waqqash dari [ayahnya, Sa'ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى -أَوْ حَصًى- تُسَبِّحُ بِهِ، فَقَالَ:
« أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا -أَوْ أَفْضَلُ-»، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ».
"Bahwa ia bersama Rasulullah ﷺ menemui seorang wanita sementara dihadapannya terdapat biji-bijian kurma atau kerikil yang dipergunakan untuk bertasbih. Kemudian Nabi Shalla Allahu 'alaihi wa sallam berkata: "Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu yang lebih mudah bagimu dari pada ini dan lebih utama!" Lalu beliau mengucapkan:
(Maha Suci Allah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan dilangit, dan Maha Suci Allah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di bumi, dan Maha Suci Allah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan diantara keduanya dan Maha Suci Allah sebanyak apa yang Dia ciptakan, dan Allah Maha Besar seperti itu, segala puji bagi Allah seperti itu, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah seperti itu, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali karena Allah seperti itu).
[HR Abu Daud, 4/366; At Tirmidzi, no. 3568, Nasai’i dalam عَمَلُ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ, Ath Thabrani dalam Ad-Du’a 3/1584, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 837, Al Baihaqi dalam شُعَبُ الإِيمَان (1/347) Al Baghawi dalam Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya.
Imam at-Tirmidzi berkata: " Ini hadits Hasan ghorib ".
Dishahihkan oleh al-Haakim dlm al-Mustadrak 1/547 dan di setujui oleh adz-Dzahabi.
Ibnu Hibbaan dalam " مَوَارِدُ الْظَّمَآن" hal. 579 berkata:
" Abdullah bin Muhammad bin Salim memberi tahu kami, Harmalah bin Yahya memberi tahu kami, Ibnu Wahb memberi tahu kami, Amr bin Al Harits memberi tahu saya: bahwa Sa'iid bin Abi Hilal memberi tahu dia dari Aisyah binti Sa'ad dengan yang sama seperti diatas.... ".
Lalu Ibnu Hibbaan berkata:
"هَـٰذَا سَنْدٌ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ"
(Ini Sanad Yang Shahih, bening tiada berdebu padanya) ".
Dan di Shahihkan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, dia berkata:
" حَدِيثٌ صَحِيجٌ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ، إِلَّا خُزَيْمَةَ فَلَا يُعْرَفُ نَسَبُهُ وَلَا حَالُهُ، وَلَا رَوَى عَنْهُ إِلَّا سَعِيدُ بْنُ أَبِي هِلَالٍ، وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانٍ فِي الثِّقَاتِ كَعَادَتِهِ فِيمَنْ لَمْ يُجْرَحْ وَلَمْ يَأْتِ بِمُنْكَرٍ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ" انتهى.
" Hadits yang shahih, dan para perawinya adalah orang-orang kitab hadits as-Shahiih, kecuali Khuzaymah, tidak diketahui nasab dan kondisinya, dan tidak seorang pun meriwayatkan darinya kecuali Sa`id bin Abi Hilaal, dan Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitab "ats-Tsiqoot [kumpulan orang-orang yang terpercaya[", sebagaimana biasanya dia menghukumi tsiqoh para perawi yang tidak tercela dan tidak melakukan kemungkaran. Dan Al-Hakim menshaihkannya ". [Disebutkan dalam الْفُتُوْحَاتُ الرَّبَّانِيَّةُ (1/244) karya Muhammad bin 'Allaan].
Namun dalamنَتَائِجُ الأَفْكَار (1/81), al-haafidz Ibnu Hajar berkata: " Ini Hadits HASAN ".
Al-Mundziri berkata tentang sanad hadits ini dalam Al-Targhiib wa'l-Tarhiib 2/360:
" إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ أَوْ مَا قَارَبَهُمَا " انتهى.
"Sanadnya shahih atau hasan atau sesuatu yang mendekati keduanya ".
Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth رَحِمَهُ اللَّهُ. Beliau berkata:
حَدِيثٌ حَسَنٌ لِغَيْرِهِ، وَهَـٰذَا إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِجَهَالَةِ خُزَيْمَةَ. عَمْرُو: هُوَ ابْنُ الْحَارِثِ بْنِ يَعْقُوبَ الأَنْصَارِيِّ.
“Hadits ini hasan lighoirihi. Hadits ini sanadnya lemah karena Khuzaimah majhul. ‘Amer adalah ibnul Harits bin Ya’qub Al-Anshori. (Sunan Abi Daud, Tahqiiq Syu'aib al-Arna'uth 2/616 no. 1500).
Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”.
Hadits ini memiliki syahid dari hadits Shofiyyah binti Huyai dalam “Sunan At-Tirmidzi (3870). Al-Hafidz berkata: Hadits hasan. Riwayat asalnya memiliki syahid dari hadits Juwairiyah binti Al-Harits diriwayatkan oleh Muslim (2726).”
[Lihat: Sunan Abi Daud, Tahqiiq Syu'aib al-Arna'uth 2/616 no. 1500]
FIQIH HADITS DAN SISI ARGUMENTASI DARI HADITS INI
Bahwa Dalam hadist ini Nabi ﷺ bermaksud memberi petunjuk dan solusi yang terbaik untuk wanita itu agar tidak bersusah payah dengan membawa biji-bijian kurma atau kerikil. Dengan perintah tersebut Nabi ﷺ tidak bermaksud melarang bertasbih yang hitungannya dengan menggunakan biji kurma atau kerikil. Dan jika seandainya bertasbih dengannya itu tidak diperbolehkan, maka pasti beliau ﷺ akan mengharamkannya.
Yang dikritisi oleh Rosulullah ﷺ hanya dari sisi bacaan dzikirnya saja. Maka nabi ﷺ kemudian mengajari lafadz dzikir yang lebih baik kepada wanita tersebut. Adapun batu kerikil/biji tasbih yang dipakai olehnya tidak dikritik sama sekali oleh beliau ﷺ.
Dari sini Al-Imam Abu Daud رَحِمَهُ اللَّهُ menuliskan dalam SUNAN ABI DAUD satu BAB yang berjudul:
357: بَابُ التَّسْبِيْحِ بِالْحَصَى
357: “Bab Bertasbih Dengan Batu Kerikil).” [Sunan Abu Daud: 2/615].
Seperti yang sudah dimaklumi bahwa bab-bab dalam Sunan Abu Daud, merupakan ungkapan hukum fiqh pengarangnya terhadap hadits-hadits yang beliau sebutkan di dalam bab masing-masing. Sehingga judul bab di atas, menunjukkan pemahaman beliau dan istinbath hukum menurut pandangan beliau rahimahullah.
Dengan demikian Abu Daud As-Sijistani رَحِمَهُ اللَّهُ memahami bahwa hadits Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai dalil bolehnya untuk berdzikir dengan batu kerikil (biji tasbih). Ini salah satu makna dari hadits di atas.
Adapun makna berikutnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad Al-Adzim Abadi رَحِمَهُ اللَّهُ (wafat: 1329 H) dalam "عَوْنُ الْمَعْبُود" Syarah Sunan Abi Daud, beliau berkata:
وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ الْفَارِقِ لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى ذَلِكَ وَعَدَمِ إِنْكَارِهِ وَالْإِرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَلُ لَا يُنَافِي الْجَوَازَ وَقَدْ وَرَدَتْ بِذَلِكَ آثَارٌ
“Dan hadits ini menjadi dalil akan bolehnya menghitung tasbih (berdzikir) dengan menggunakan biji/isi kurma dan batu kerikil. Demikian pula (boleh untuk berdzikir) dengan biji tasbih karena tidak ada perbedaan (diantara keduanya), dan karena taqrir (persetujuan) beliau ﷺ kepada wanita tersebu atas hal itu (berdzikir dengan biji kurma dan batu kerikil) dan tidak ada penginkaran terhadapnya. Ditunjukkannya kepada sesuatu yang lebih utama, tidaklah meniadakan bolehnya hal itu. Telah datang berbagai atsar tentang hal itu.”[‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud: 4/258].
Dari pernyataan Muhammad Abadi رَحِمَهُ اللَّهُ di atas ada dua hal penting yang beliau jadikan dasar untuk menetapkan bolehnya menghitung dzikir dengan mengunakan tasbih:
Pertama:
Taqrir (tidak adanya pengingkaran) dari Nabi ﷺ terhadap hal itu. Nabi ﷺ membiarkannya.
Beliau tidak melarangnya, misalnya dengan mengatkan: “Jangan berdzikir dengan biji kurma atau kerikil!”.
Atau dengan mengatakan: “Tasbih termasuk tasyabbuh dengan orang kafir!”, atau yang semisalnya. Dan taqrir Rosulullah ﷺ adalah hujjah (dalil) dalam agama kita.
Sementara ulama yang mengharamkan dan membid'ahkan berdzikir dengan tasbih, mereka berhujjah bahwa itu ada tasyabbuh dengan para biksu BUDHA.
Kedua:
Nabi ﷺ memberikan petunjuk dan solusi kepada sesuatu yang lebih utama, simple dan sederhana. Dan itu bukan berarti sesuatu yang sebelumnya diharamkan.
Jika nabi ﷺ mengarahkan wanita itu untuk mengucapkan dzikir yang beliau ajarkan, sebagai ganti dzikir dengan batu kerikilnya sebelum itu, bukan berarti dzikir wanita dengan batu kerikil sebelum itu tidak diperbolehkan. Karena ini hanya masalah afdholiyyah saja.
====
DALIL KE DUA
Hadits Ummul Mu'miniin Shofiyyah binti Huyyay (isteri Rasulullah ﷺ):
“Dari Kinanah mantan budak Shafiyah berkata: saya mendengar Shafiyah berkata:
(دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا ، فَقَالَ: لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ ، أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ ، فَقُلْتُ: بَلَى عَلِّمْنِي. فَقَالَ: قُولِي: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ)
Rasulullah ﷺ pernah masuk menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (4000 biji kurma) yang aku pakai untuk bertasbih dengannya.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ” Sungguh Engkau bertsabih dengan ini (yakni biji kurma), Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih banyak (pahalanya) dari pada bacaan tasbih yang engkau bertasbih dengannya?”
Saya menjawab: ”Iya, Ajarilah aku,”
Maka Rasulullah bersabda: ”Ucapkanlah:
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ.
(Maha Suci Allah sebanyak bilangan makhluknya).”
HR. Al-Tirmidzi [4/274 no. 3554] dan Abu Bakr Al-Shafi'i dalam Al-Fawad [73/255/1,] dan Al-Hakim (1/547).
Tirmidzi berkata:
هَـٰذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَـٰذَا الوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الكُوفِيِّ، وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ" انتهى.
”Hadist ini gharib. Saya tidak mengetahuinya, kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi. Dan sanadnya tidak dikenal ”
Hadits ini di riwayatkan pula oleh ath-Thabraani dlm "الدُّعَاء" hal. 494. di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama: Yaziid bin Mut'ab, mantan budak Shafiyyah.
Syeikh Bakr Abu Zaid berkata:
" يَزِيدُ لَمْ يُوجَدْ لَهُ تَرْجَمَةٌ" انتهى
"Yazid tidak diketemukan biografinya ". [Baca "السُّبْحَةُ آثَارُهَا وَحُكْمُهَا" hal. 18]
DERAJAT HADITS :
ULAMA YANG MENSHAHIHKANNYA :
Dishahihkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/547) dan di setujui oleh Imam adz-Dzahabi dalam Talkhish al-Mustadrak (1/547).
Dan di shahihkan pula oleh Ali Al-Qaari dalam “Mirqoot Al-Mashaabih” dan dia berkata:
وَهَـٰذَا أَصْلٌ صَحِيحٌ لِتَجْوِيزِ السُّبْحَةِ، بِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ فِي مَعْنَاهَا، إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُنْظَمَةِ وَالْمَنْثُورَةِ فِيمَا يُعَدُّ بِهِ، وَلَا يُعْتَدُّ بِقَوْلِ مَنْ عَدَّهَا بِدْعَةً" انتهى.
“Ini adalah dasar yang sahih untuk kebolehan Subhah/ alat tasbih, dengan ketetapan dari Nabi ﷺ, karena semakna dengannya [yakni semakna dgn kerikil dan biji kurma Pen.]. Karena tidak ada bedanya antara alat hitung dzikir yang tersusun rapih dengan yang berserakan, dan menghitung dengannya tidak dianggap bid'ah ". [Baca: Syarah al-Adzkaar karya Ibnu 'Allaan 1/245, 252].
Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya sebagai hadits HASAN, dan menyebutkan jalur lain dari al-Tabarani dalam "الدُّعَاء", dan nampak dari yang dia lakukan bahwa ia meningkatkannya ke derajat HASAN dengan mengumpulkan semua jalur hadits.
[Di kutip oleh Ibnu 'Allaan dalam kitabnya الْفُتُوْحَاتُ الرَّبَّانِيَّةُ عَلَى الأَذْكَارِ النَّوَوِيَّة 1/245].
ULAMA YANG MENDHO’IFKANNYA
Hadits tersebut di Dho’ifkan oleh al-Albaani dalam Dho’if at-Turmudzi.
Syeikh al-Muhaddits al-Albaani rahimahullah setelah menyebutkan pentashihan al-Haakim dan adz-Dzahabi, beliau berkata:
وَهَـٰذَا مِنْهُ عَجَبٌ، فَإِنَّ هَاشِمَ بْنَ سَعِيدٍ هَـٰذَا أَوْرَدَهُ هُوَ فِي المِيزَانِ وَقَالَ: قَالَ ابْنُ مَعِينٍ لَيْسَ بِشَيْءٍ. وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ مِقْدَارُ مَا يَرْوِيْهِ لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ. وَلِهَـٰذَا قَالَ الحَافِظُ فِي التَّقْرِيبِ: ضَعِيفٌ. وَكِنَانَةُ هَـٰذَا مَجْهُولُ الحَالِ لَمْ يُوَثِّقْهُ غَيْرُ ابْنِ حِبَّانٍ. انتهى
Ini keanehan darinya, karena Hasyim bin Sa'id ini di sebutkan oleh Al-Haafidz Ibnu Hajar dalam al-Miizan, dan dia berkata:
Ibnu Ma'in berkata: Tidak ada apa-apanya (لَيْسَ بِشَيْءٍ). Dan Abu Haatim berkata: Standar apa yang dia riwayatkan itu tidak ada mutaaba'ah. Oleh karena itu al-Hafidz berkata dalam at-Taqriib: " Dia Dho’if ". Dan Kinanah ini (Maula Shafiyah) adalah Majhul al-haal, tidak ada yang mentautsiq nya kecuali Ibnu Hibban ".
[Selesai Kutipan dari al-'Allaamah Syeikh al-Albaani. Baca: وُصُولُ التَّهَانِي hal. 14. Dan baca juga Tahdziibut Tahdziib 11/17].
BANTAHAN TERHADAP SYEIKH AL-ALBAANI DALAM PEN-DHO'IFAN HADITS DI ATAS:
DI KUTIP DARI ARTIKEL وُصُولُ التَّهَانِي KARYA MAHMUD SA'ID MAMDUUH
Syeikh Mahmud Said Mamduh dalam artikelnya وُصُولُ التَّهَانِي [hal. 14.. dst] membantah pernyataan syeikh al-Albaani, dengan mengatakan (penulis ringkas):
قُلْتُ: وَهَـٰذَا الْكَلَامُ عَلَيْهِ مُؤَاخَذَاتٌ.
Aku berkata: Perkataannya ini padanya terdapat pernyataan-pernyatan yang perlu dibantah dan diluruskan:
BANTAHAN PERTAMA:
الأُولَى: فِي الكَلَامِ عَلَى كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ حَيْثُ قَالَ: هَـٰذَا مَجْهُولُ الحَالِ لَمْ يُوَثِّقْهُ غَيْرُ ابْنِ حِبَّانٍ.
قُلْتُ: كِنَانَةُ رَوَى عَنْهُ سِتَّةٌ هُمْ: زُهَيْرٌ وَخَدِيجٌ ابْنَا مُعَاوِيَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ وَهَاشِمُ بْنُ سَعِيدٍ الكُوفِيُّ وَسَعْدُ بْنُ بُشْرٍ الجُهَنِيُّ وَيَزِيدُ بْنُ المُغَلِّسِ البَاهِلِيُّ، وَوَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانٍ وَضَعَّفَهُ الأَزْدِيُّ.
أَمَّا تَضْعِيفُ أَبِي الفَتْحِ الأَزْدِيِّ لَهُ فَمَرْدُودٌ كَمَا هُوَ مَعْلُومٌ عِندَ أَهْلِ العِلْمِ بِالْحَدِيثِ وَتَوْثِيقُ ابْنِ حِبَّانٍ مَقْبُولٌ، وَقَالَ الحَافِظُ فِي التَّقْرِيبِ: مَقْبُولٌ، ثُمَّ رَدَّ تَضْعِيفَ الأَزْدِيِّ فَقَالَ: ضَعَّفَهُ الأَزْدِيُّ بِلا حُجَّةٍ، اه.
انظُرِ التَّهْذِيبَ [٨/٤٤٩] التَّارِيخَ الكَبِيرَ [١٣٧/٢] التَّقْرِيبَ [٣٣٩/٥] الثِّقَاتِ [٢٣٧/١/٤]
Tentang pembicaraannya mengenai Kinanah, budak yang dibebaskan oleh Shafiyyah, di mana syeikh al-Albaani rahimahullah berkata:
" Dia ini adalah Majhulul hal (kondisinya tidak diketahui), dan tidak ada orang lain selain Ibnu Hibban yang mentautsiqnya".
SAYA KATAKAN
Kinanah, telah meriwayatkan darinya enam perawi. Mereka adalah Zuhair dan Khadiij - kedua duanya putra Muawiyah - Muhammad bin Thalha, Hasyim bin Sa'iid Al-Kuufi, Sa'ad bin Bisyr Al-Juhani, dan Yazid bin Al-Mugholis Al-Baahili, dia di tautsiq oleh Ibnu Hibbaan, tapi di dhaifkan oleh al-Azdi.
Adapun pen-dho'if-an terhadapnya oleh Abu Al-Fath Al-Azdii, maka itu ditolak, seperti yang sudah dimaklumi oleh para ulama pakar hadits. Sementara pentautsiqkannya oleh Ibn Hibban maka itu dapat diterima.
Al-Hafidz berkata dalam At-Taqriib: " Dia maqbuul/dapat diterima, kemudian dia membantah pendho’ifan yang dilakukan oleh Al-Azdi, dan al-Hafidz berkata: Dia dilemahkan oleh Al-Azdi tanpa ada hujjah [Selesai].
Lihat at-Tahdziib [8/449, [At-Taarikh al-Kabiir 2/137]. At-Taqriib 5/339 dan Ats-Tsiqoot 4/1/237
فَإِنْ قِيلَ قَوْلُ الحَافِظِ فِي التَّقْرِيبِ: مَقْبُولٌ، يَعْنِي عِنْدَ المُتَابَعَةِ، أُجِيبَ بِأَنَّهُ مَقْبُولٌ فِعْلًا لِأَنَّهُ تُوبِعَ كَمَا سَيَأْتِي ص.[٢٢].
أَمَّا قَوْلُ الذَّهَبِيِّ فِي الكَاشِفِ [٣/١١]: وُثِّقَ، فَلَا يَعْنِي تَضْعِيفَ التَّوْثِيقِ، بَلْ مَعْنَاهُ أَنَّ تَوْثِيقَ غَيْرِهِ أَقْوَى مِنْهُ. وَمِثْلُ كِنَانَةَ هَـٰذَا، بَلْ وَأَقَلُّ مِنْهُ، يَرَى الذَّهَبِيُّ أَنَّ حَدِيثَهُ يُعْمَلُ وَيُحْتَجُ بِهِ.
Jika dikatakan:
Apa yang dikatakan Al-Hafidz dalam At-Taqriib: Maqbuul (Diterima), yaitu ketika terdapat riwayat lain sebagai mutaba'ah?
Maka saya akan menjawab:
Bahwa itu benar-benar maqbul (diterima) karena ada mutaba'ah, seperti yang akan ditunjukkan pada hal. 22.
Adapun perkataan Al-Dzahabi dalam Al-Kaasyiif [3/11]: Dipercaya, bukan berarti pentadh'ifan terhadap Tautsiiq, akan tetapi maknanya bahwa Tautsiq orang lain lebih kuat darinya. Dan yang semisal ini adalah Kinanah, atau bahkan yang kurang dari dia.
Adz-Dzahabi berpandangan bahwa hadits dia itu diamalkan dan di jadikan hujjah ".
Al-Dzahabi berkata dalam al-Mizan:
وَفِي رُوَاةِ الصَّحِيحَيْنِ عَدَدٌ كَثِيرٌ مَا عَلِمْنَا أَنَّ أَحَدًا نَصَّ عَلَى تَوْثِيقِهِ، وَالجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ مَنْ كَانَ مِنَ الشُّيُوخِ قَدْ رَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ، وَلَمْ يَأْتِ بِمَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ أَنَّ حَدِيثَهُ صَحِيحٌ، ا.هـ. المِيزَانُ [٣/٤٢٦].
Dan di dalam para perawi dua kitab hadits Sahih, ada banyak perawi yang kita tidak tahu jika ada yang menyatakan tautsiqnya.
Dan Jumhur berpandangan bahwa siapa pun dari para syeikh yang telah diriwayatkan hadits darinya oleh sekelompok para perawi, dan dia tidak pernah mendatangkan sesuatu yang mungkar ; maka haditsnya shahih ".
[Selesai. Lihat al-Miizaan [3/426.]
................dst [karena kutipan dari “Wushul at-Tahaani” terlalu panjang, maka penulis lompatin]
BANTAHAN KE DUA
Tentang Perkataan al-'Allaamah Syeikh al-Albaani:
هَاشِمُ بْنُ سَعِيدٍ الكُوفِيُّ قَالَ عَنْهُ أَحْمَدُ: لَا أَعْرِفُهُ، وَقَالَ ابْنُ مَعِينٍ: لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانٍ فِي الثِّقَاتِ، وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ. [الْجَرْحُ وَالتَّعْدِيلُ ٧/٥٨٥، الثِّقَاتُ ١١/١٧-١٨، التَّهْذِيبُ ٤/٢/١٠٤]
وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ بَعْدَ أَنْ ذَكَرَ لَهُ بَعْضَ الأَحَادِيثِ: وَمُقَدَّارُ مَا يُرْوِيْهِ لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ. الكامل [٧/٢٥٧٣]
Hasyim bin Sa’id Al-Kufi. Ahmad berkata tentang dia: Saya tidak mengenalnya.
Ibnu Ma'in berkata: " Dia tidak ada apa-apanya ", dan Ibn Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqoot (kitab kumpulan orang-orang yang dapat dipercaya), dan Abu Hatim melemahkannya. [Baca: Al-Jarh wat-Ta'diil 7/585, Al-Tsiqaat 11/18-17, At-Tahdziib 4/2/104]
Ibnu 'Adiy berkata, setelah dia menyebutkan beberapa hadits: Dan sejumlah apa yang dia riwayatkan tidak ada mutaba'ahnya. [Baca al-Kaamil 7/2573]
BANTAHAN NYA :
أَمَّا قَوْلُ ابْنِ مَعِينٍ: لَيْسَ بِشَيْءٍ، فَقَدْ يَكُونُ مَعْنَاهُ أَنَّ الرَّاوِيَ قَلِيلُ الحَدِيثِ.
قَالَ الحَافِظُ فِي مُقَدِّمَةِ الفَتْحِ ص [٤٢١] فِي تَرْجَمَةِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ الْمُخْتَارِ البَصْرِيِّ: ذَكَرَ ابْنُ القَطَّانِ الفَاسِيُّ أَنَّ مُرَادَ ابْنِ مَعِينٍ مِنْ قَوْلِهِ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ "لَيْسَ بِشَيْءٍ" يَعْنِي أَنَّ أَحَادِيثَهُ قَلِيلَةٌ جِدًّا، اه.
وَقَوْلُ الإِمَامِ أَحْمَدَ لَا أَعْرِفُهُ، لَا يُضِرُّهُ فَقَدْ عَرَفَهُ غَيْرُهُ، وَكَذَا كَلَامُ ابْنِ عَدِيٍّ لَا يُضِرُّهُ هُنَا لِأَنَّهُ قَالَ: وَمِقْدَارُ مَا يَرْوِيْهِ لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ. اهـ. وَسَتَأْتِي مُتَابَعَةٌ لَهُ إِن شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى ص [٢٢].
بَقِيَ تَوْثِيقُ ابْنِ حِبَّانٍ وَتَضْعِيفُ أَبِي حَاتِمٍ، فَيَكُونُ الرَّاوِي فِيهِ لِينٌ أَوْ ضَعْفٌ قَرِيبٌ، وَلِذَلِكَ أَرَى أَنَّ أَعْدَلَ الأَقْوَالِ فِيهِ قَوْلُ الحَافِظِ النَّاقِدِ الذَّهَبِيِّ فِي الكَاشِفِ [٣/٢١٧]: ضَعِيفٌ، فَيَكُونُ حَدِيثُ صَفِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا المُذْكُورُ فِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ يَسِيرٌ يُحْسِنُ بِالْمُتَابَعَةِ أَوْ الشَّاهِدِ..
Adapun Ibnu Ma'in mengatakan: "Dia Tidak ada apa-apanya ", itu mungkin berarti perawi memiliki sedikit hadits.
Al-Hafidz mengatakan dalam Muqaddimah Al-Fath hal [421] dalam biografi Abdul Aziz bin Al-Mukhtar Al-Basri: “Ibnu Al-Qattan Al-Fassi menyebutkan bahwa apa yang dimaksud Ibnu Ma'in dari perkataannya dalam beberapa riwayat " Dia tidak ada apa-apanya " berarti haditsnya sangat sedikit.
Dan perkataan Imam Ahmad, “Saya tidak mengenalnya”, maka itu tidak berpengaruh, karena ada orang selainnya telah mengenalnya.
Demikian pula perkataan Ibnu 'Adiyy tidak berpengaruh di sini, karena ia berkata: kadar yang ia riwayatkan tidak ada mutaba'ahnya. Akan disebutkan mutaba'ahnya nanti Insya Allah di hal.22.
Tinggal pembahasan tentang Tautsiq oleh Ibn Hibban dan Tadh'iif oleh Abu Haatim. Maka dengan demikian perawi tersebut lembut/لَيِّن atau mendekati dhaif.
Dan oleh karena itu saya pikir ucapan yang paling adil tentangnya adalah ucapan Al-Hafidz an-Naaqid adz-Dzahabi dalam al-Kaasyif [3/217]: " Lemah".
Jadi hadits Shofiyyah radhiyallahu 'anhaa yang disebutkan di atas, dalam sanadnya ada sedikit kelemahan yang bisa menjadi hasan dengan mutaaba'ah atau syahid.
BANTAHAN KETIGA :
الشَّاهِدُ لِلْمَتْنِ قَرِيبٌ جِدًّا وَهُوَ حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَاصٍ المُذْكُورُ، فَهُوَ شَاهِدٌ قَوِيٌّ لِلْمَتْنِ، فَيَكُونُ الحَدِيثُ حَسَنًا لِغَيْرِهِ بِهِ فَقَطْ.
وَإِذَا كَانَ حَدِيثُ سَعْدٍ وَصَفِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ضَعِيفَيْنِ، فَلِمَاذَا لَا يُقَوِّي كُلٌّ مِنْهُمَا الآخَرَ فِيصِيرُ كُلٌّ مِنْهُمَا شَاهِدًا لِلآخَرِ فَيَكُونُ الحَدِيثُ حَسَنًا لِغَيْرِهِ، هَـٰذَا إِذَا قُلْنَا بِرَأْيِ الأَلْبَانِيِّ الَّذِي ضَعَّفَ الحَدِيثَيْنِ، وَهُوَ مُلْزَمٌ بِهَـٰذَا الَّذِي تُقَرِّرُهُ القَوَاعِدُ الحَدِيثِيَّةُ، وَبِهِ أَيْضًا يَنْهَدِمُ كُلُّ مَا كَتَبَهُ الأَلْبَانِيُّ عَنْ السُّبْحَةِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ.
Kesaksian (Syahid) untuk matan nya itu sangat berdekatan, dan itu adalah hadits Sa'ad bin Abi Waqqas yang disebutkan diatas, maka ini adalah kesaksian yang kuat untuk matan, jadi derajat hadits ini adalah hasan lighoirihi.
Dan jika hadits Sa'ad dan Shofiyyah radhiyallahu 'anhumaa keduanya itu lemah/ dho’if, lalu mengapa diantara keduanya tidak saling menguatkan, agar masing-masing menjadi saksi bagi yang lain, sehingga dengan demikian hadits tersebut menjadi HASAN LIGHAIRIHI?
Ini jika kita mengikuti pendapat Syeikh Al-Albani, yang mana beliau melemahkan kedua hadits tersebut. Dengan demikian maka dia terikat dan harus sejalan dengan apa yang ditetapkan oleh qaidah-qaidah haditsiyyah. Dengan ini maka runtuhlah semua apa yang ditulis oleh Al-Albani tentang bid'ahnya Tasbih. Alhamdu lillahi robbil 'aalamiin.
BANTAHAN KE EMPAT :
أَمَّا المُتَابَعَةُ لِلْسَّنَدِ، فَقَدْ تُوبِعَ هَاشِمُ بْنُ سَعِيدٍ الكُوفِيُّ. أَخْرَجَهَا الطَّبَرَانِيُّ عَنْ رُوحِ بْنِ الفَرَجِ، ثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ، ثَنَا خُدَيْجُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، ثَنَا كِنَانَةُ مَوْلَى صَفِيَّةَ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. وَانْظُرْ أَمَالِي الأَذْكَارِ - المَجْلِسُ الخَامِسُ عَشَرَ - مُصَوَّرَةٌ بِمَكْتَبَةِ الحَرَمِ المَكِّيِّ الشَّرِيفِ.
وَرُوحُ بْنُ الفَرَجِ القَطَّانُ المِصْرِيُّ ثِقَةٌ مِنْ مُشَيْخِ الطَّبَرَانِيِّ وَالطَّحَاوِيِّ. التَّهْذِيبُ [٣/٢٩٧]. وَعَمْرُو بْنُ خَالِدٍ ثِقَةٌ ثَبَتٌ مِنْ رِجَالِ البُخَارِيِّ. التَّهْذِيبُ [٨/٢٥]. وَخُدَيْجُ بْنُ مُعَاوِيَةٍ قَالَ عَنْهُ فِي التَّقْرِيبِ [١/١٥٦]: صَدُوقٌ يَخْطِئُ. هَذِهِ مُتَابَعَةٌ قَوِيَّةٌ لِهَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ، فَيَكُونُ الحَدِيثُ حَسَنًا بِلَا رَيْبٍ، وَلِذَلِكَ حَسَّنَهُ الحَافِظُ فِي أَمَالِي الأَذْكَارِ [ل ١٧٧/١]. أَلَا يَكْفِي هَـٰذَا بِمُفْرَدِهِ لِهَدْمِ كُلِّ مَا كَتَبَهُ الشَّيْخُ الأَلْبَانِيُّ؟
Adapun Mutaaba'ah untuk Sanad, maka telah ada mutabaah dari Hasyim bin Sa'ad Al-Kuufii.
Al-Tabrani meriwayatkan dari Rauh bin Al-Faraj, dia berkata: telah menceritakan pada kami 'Amr bin Khalid, dia berkata: telah menceritakan pada kami Hudaij bin Mu'aawiyah, dia berkata: telah menceritakan pada kami Kinaanah, maula Shafiyyah, dari Shafiyyah binti Huyyay radhiallahu 'anhaa.
[Dan lihat kitab Amaali Al-Adzkaar - Majlis kelima belas – photo copian di Perpustakaan Masjidil Haram di Mekah].
Dan Rauh Ibnu Al-Faraj Al-Qattan Al-Masry dapat dipercaya, dia salah satu dari syeikh-syeikh Al-Tabarani dan Al-Thahaawi. [baca: at-Tahdziib 3/297].
Dan 'Amr bin Khalid tsiqoh tsabat (dipercaya dan kokoh) termasuk orang-orang imam Al-Bukhari. [baca: at-Tahdziib 8/25].
Dan Khadiij bin Muawiyah berkata tentang dia dalam At-Taqriib (1/156): Shaduq, membuat kesalahan dalam hafalan. Ini merupakan mutaaba'ah yang kuat dari Hasyim bin Sa'iid, maka hadits tersebut HASAN, tidak diragukan lagi.
Itulah sebabnya Al-Hafidz menghasankannya dalam Amaali Al-Adzkaar [Lauhah 177/1].
Apakah ini tidak cukup untuk meruntuhkan semua yang ditulis Syeikh Al-Albani?
BANTAHAN KE LIMA :
المُؤَاخَذَةُ الخَامِسَةُ: وَتَنْزُلًا مَعَ الشَّيْخِ الأَلْبَانِيِّ، إِن كَانَ كِنَانَةُ مَوْلَى صَفِيَّةَ مَجْهُولَ الحَالِ، فَإِنَّ كِنَانَةَ لَمْ يَنْفَرِدْ بِالحَدِيثِ، بَلْ أَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الدُّعَاءِ مُتَابَعَةً لَهُ: قَالَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الدُّعَاءِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثَنَا أَبِي قَالَ: وَجَدتُ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّهِ: ثَنَا مُسْتَلِمُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مَنْصُورٍ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ يَزِيدٍ - يَعْنِي بْنَ مُعْتِبٍ - مَوْلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. قُلْتُ: شَيْخُ الطَّبَرَانِيِّ حَافِظٌ وَثَّقَهُ صَالِحٌ جَزْرَةٌ، وَفِي تَرْجَمَتِهِ مَا يَحْتَاجُ إِلَى التَّحْرِيرِ، لَكِنَّهُ يُصْلِحُ لِلْمُتَابَعَاتِ وَلَا رَيْبَ. انظُرِ المِيزَانَ [٣/٦٤٢].
Dan jika seandainya kita ikut bersama Syeikh Al-Albani, yaitu dengan menyatakan bahwa Kinaanah maula Shafiyyah itu Majhul al-haal (kondisinya tidak diketahui).
Maka jawabannya adalah: bahwa Kinaanah tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits, bahkan Al-Tabarani meriwayatkan mutaaba'ah untuknya dalam kitab "ad-Du'a".
Al-Tabarani berkata dalam "ad-Du'aa": Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Shaybah, Telah menceritakan kepada kami ayahku, dia berkata: Saya menemukan dalam kitab ayahku dengan tulisan tangannya sendiri: Mustallim bin Sa'iid memberi tahu kami, dari Mansour bin Zazan, dari Yazid - yakni Ibnu Mu'tab – mantan budak Shafiyyah binti Huyyay, semoga Allah meridhoinya.
Dan Saya berkata: Syeikh-nya Ath-Thabrani itu seorang yang Hafidz. Dan Saleh Jazarah metautsiqnya. Dan memang dalam biografinya ada yang perlu ditahrir, akan tetapi dia layak untuk mutaaba'ah, dan itu hal yang tidak diragukan lagi. [Lihat: al-Miizaan 3/642].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
وَوَالِدُهُ حَافِظٌ ثِقَةٌ، وَكَذَا جَدُّهُ. وَمُسْتَلِمٌ قَالَ عَنْهُ الحَافِظُ: صَدُوقٌ رُبَّمَا وَهَمَ. التَّقْرِيبُ [٢/٢٤١]. وَمَنْصُورٌ ثِقَةٌ احْتُجَّ بِهِ الجَمَاعَةُ. التَّهْذِيبُ [١٠/٣٠٦].
Dan ayahnya itu tsiqoh Hafiidz, begitu juga kakeknya. Sementara Mustalim, maka Al-Hafidz berkata tentang dia: Saduq, mungkin dia suka berilusi/ وَهْمٌ. [Baca: At-Taqriib [2/241.]
Dan Mansur itu tsiqoh (dapat dipercaya) sesuai dengan pendapat Jemaah tersebut. [Baca: At-Tahdziib 10/306].
Syeikh Mahmud Sa'id Mamduuh dalam Wushul at-Tahaani hal. 20 berkata :
وَيَزِيدُ لَمْ أَجِدْ لَهُ تَرْجَمَةً، وَهُوَ تَابِعِيٌّ، فَاذْكُرْ مَا ذُكِرْتُهُ بَشَأْنِ كِنَانَةَ سَابِقًا، وَزِدْ عَلَيْهِ قَوْلَ الذَّهَبِيِّ: وَأَمَّا المَجْهُولُونَ مِنَ الرُّوَاتِ، فَإِن كَانَ الرَّجُلُ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِينَ أَوْ أَوْسَاطِهِمْ احْتَمَلَ حَدِيثُهُ، وَتَلَقَّى بِحُسْنِ الظَّنِّ إِذَا سَلِمَ مِنْ مُخَالَفَةِ الأُصُولِ وَمِنْ رُكَاكَةِ الأَلْفَاظِ، اه. مُقَدِّمَةُ المُغْنِي ص [ك].
وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الأَوْسَطِ بِنَفْسِ السَّنَدِ [٢/ل ٣٤ ب]، وَانْظُرْ الدُّعَاءِ لَهُ [ل ١٩٣/أ]. فَهَـٰذِهِ مُتَابَعَةٌ قَوِيَّةٌ لِكِنَانَةَ..
Yazid, saya tidak menemukan terjemahannya (Biografinya), dan dia adalah Tabi'i, maka ingat-lah apa yang telah saya sebutkan tentang Kinaanah sebelumnya, dan tambahkan padanya apa yang dikatakan al-Dzahabi:
Adapun para perawi yang tidak dikenal (majhuluun), jika orang tersebut adalah salah satu dari kibaar at-tabi'iin atau pertengahan dari kalangan mereka, maka haditsnya akan ditoleransi, dan mengambil hadits darinya dengan berhusnudzon selama ia selamat dari pelanggaran prinsip dasar dan bersih dari kata-kata yang lemah. [Baca Muqoddimah al-Mughni].
Al-Tabarani memasukkannya ke dalam Al-Awsat dengan sanad yang sama [2/Lauhah 34 hal. B]. Dan lihat pula kitab "ad-Du'a" karya dia juga [Lauhah 193/hal. A]. Maka ini adalah Mutaaba'ah yang kuat untuk Kinanah.
Kemudian Syeikh Mammud Sa'id Mamduuh berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ تَعَالَى قَدْ فَتَّشْتُ عَنْ لَفْظِ الحَدِيثِ، وَرَأَيْتُ بَعَيْنِي كِتَابَ الدُّعَاءِ لِلطَّبَرَانِيِّ الَّذِي أَحَالَ عَلَيْهِ الحَافِظُ - جَزَاهُ اللَّهُ خَيْرًا - وَفِيهِ ذِكْرُ النَّوَى.
Alhamdulillah Saya menelusuri tentang lafadz hadits, dan saya melihat dengan dua mata kepala sendiri Kitab "ad-Du'aa" karya Ath-Thabrani, yang dirujuk oleh Al-Hafidz - semoga Tuhan membalasnya dengan kebaikan - dan di dalamnya dia menyebutkan kata "BIJI KURMA".
[Penulis tambahkan di sini:
“Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah berkata:
قَالَ شَيْخُنَا حَسَنُ أَبُو الأَشْبَالِ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ: "الشَّيْخُ الأَلْبَانِيُّ عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ قَدْ ذَهَبَ إِلَى بَدَعِيَّةِ التَّسْبِيحِ عَلَى المَسْبَحَةِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ هَـٰذَا الحُكْمِ وَقَالَ بِالجَوَازِ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَّا طُبِعَ الدُّعَاءِ لِلطَّبَرَانِيِّ وَاطَّلَعَ عَلَى هَـٰذِهِ النُّصُوصِ رَجَعَ عَنْ فَتْوَاهُ".". اهـ
Syekh kami Hasan Abu Al-Asybaal berkata dalam kitab "Sharah Muslim":
" Syeikh Al-Albani, semoga Allah merahmatinya, sebelum nya beliau berpendapat bid'ahnya berdzikir dengan Subhah/Tasbih, kemudian beliau mencabut kembali pendapatnya ini (رُجُوع). Beliau menyatakan: diperbolehkan setelah itu, yaitu ketika kitab "الدُّعَاء" karya ath-Thabarani di cetak dan beliau pun meninjau teks-teks nya, maka setelah itu beliau mencabut fatwa bid'ahnya". (Lihat حُكْمُ السُّبْحَةِ لِعَمْرُو العَدَوِي أَبُو حَبِيبَة, Kamis. 26 Januari 2017) PEN].
ARGUMENTSI LAIN DARI SYEIKH AL-ALBAANI DALAM PEN DHO’IFAN HADITS
Syeikh al-Albaani rahimahullah berkata:
وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ هَذَيْنِ الحَدِيثَيْنِ أَنَّ القِصَّةَ وَرَدَتْ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِدُونِ ذِكْرِ الحَصَى وَلفْظُهُ قَالَ:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ جُوَيْرِيَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا بُكْرَةً حِينَ صَلَّى الصُّبْحَ وَهِيَ فِي مَسْجِدِهَا ثُمَّ رَجَعَ بَعْدَ أَنْ أَضْحَى وَهِيَ جَالِسَةٌ فَقَالَ مَا زِلْتِ عَلَى الْحَالِ الَّتِي فَارَقْتُكِ عَلَيْهَا قَالَتْ نَعَمْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَقَدْ قُلْتُ بَعْدَكِ أَرْبَعَ كَلِمَاتٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لَوْ وُزِنَتْ بِمَا قُلْتِ مُنْذُ الْيَوْمِ لَوَزَنَتْهُنَّ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ [٨/٨٣ - ٨٤]، وَالتِّرْمِذِيُّ [٤/٢٧٤] وَصَحَّحَهُ، وَابْنُ مَاجَةَ [٢/٤٢٣]، وَأَحْمَدُ [٣٢٥/٦ - ٤٣٠].
Yang menunjukkan kelemahan kedua hadits diatas adalah bahwa riwayat tersebut diriwayatkan dari Ibnu Abbas tanpa menyebutkan kerikil, dan susunan kalimatnya adalah sbb:
Dari Ibnu 'Abbas dari Juwairiyah : bahwasanya Nabi ﷺ keluar dari rumah Juwairiyah pada pagi hari usai shalat Subuh dan dia tetap di tempat shalatnya. Tak lama kemudian Rasulullah ﷺ kembali setelah terbit fajar (pada waktu dhuha), sedangkan Juwairiyah masih duduk di tempat shalatnya.
Setelah itu, Rasulullah ﷺ menyapanya: "Ya Juwairiyah, kamu masih belum beranjak dari tempat shalatmu?"
Juwairiyah menjawab; 'Ya. Saya masih di sini, di tempat semula ya Rasulullah.'
Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: 'Setelah keluar tadi, aku telah mengucapkan empat rangkaian kata-kata -sebanyak tiga kali- yang kalimat tersebut jika dibandingkan dengan apa yang kamu baca seharian tentu akan sebanding, yaitu:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
"Maha Suci Allah dengan segala puji bagi-Nya sebanyak hitungan makhluk-Nya, menurut keridlaan-Nya, menurut arasy-Nya dan sebanyak tinta kalimat-Nya.'
HR. Muslim [8/83-84], al-Tirmidzi [4/274 dan menshahihkannya], Ibnu Majah [2/423], dan Ahmad [430, 325/6]
LALU SYEIKH AL-ALBAANI rahimahullah MELANJUTKAN PERKATAANYA:
فَدَلَّ هَـٰذَا الحَدِيثُ الصَّحِيحُ عَلَى أَمْرَيْنِ:
الأَوَّلُ: أَنَّ صَاحِبَةَ القِصَّةِ هِيَ جُوَيْرِيَةٌ لَا صَفِيَّةٌ كَمَا فِي الحَدِيثِ.
الثَّانِي: أَنَّ ذِكْرَ الحَصَى فِي القِصَّةِ مُنْكَرٌ.
وَيُؤَيِّدُ هَـٰذَا إِنْكَارُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الَّذِينَ رَآهُمْ يَعُدُّونَ بِالحَصَى، وَقَدْ جَاءَ ذَلِكَ عَنْهُ مِنْ طُرُقٍ سَبَقَ أَحَدُهَا. وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا أَقَرَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا خَفِيَ عَلَى ابْنِ مَسْعُودٍ إِن شَاءَ اللَّهُ.
وَقَدْ تَلَقَّى هَـٰذَا الإِنْكَارَ مِنْهُ بَعْضُ مَنْ تَخَرَّجَ مِنْ مَدْرَسَتِهِ أَلَا وَهُوَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَزِيدَ النَّخَعِيُّ الفَقِيهُ الكُوفِيُّ، فَكَانَ يَنْهَى ابْنَتَهُ أَنْ تُعِينَ النِّسَاءَ عَلَى فَتْلِ خُيُوطِ التَّسْبِيحِ الَّتِي يُسَبِّحُنَ بِهَا، رَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي المُصَنَّفِ [٢/٨٩/٢] بِسَنْدٍ جَيِّدٍ. انْتَهَى كَلَامُ الأَلْبَانِيِّ.
Hadits shahih ini menunjukkan dua hal:
Pertama: Bahwa pemilik kisah adalah Juwayriyah, bukan Shafiyyah, seperti dalam hadits.
Kedua: Bahwa penyebutan kerikil dalam kisah adalah Mungkar.
Hal ini didukung oleh pengingkaran Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu kepada orang-orang yang dilihatnya menghitung kerikil. Dan itu telah ada darinya riwayat dari jalur-jalur yang mana salah satunya telah di sebutkan diatas.
Dan jika itu benar disetujui oleh Nabi ﷺ; maka itu tidak akan tersembunyi dari Ibn Mas'ud, insya Allah.
Pengingkaran ini diakui oleh sebagian dari mereka yang lulusan dari madrasahnya (Ibnu Mas'ud), yaitu Ibrahim bin Yazid Al-Nakho’i, ahli fiqih dari Kuufah. Dia telah melarang putrinya membantu wanita untuk menganyam benang tasbih yang akan dia gunakan untuk berdzikir. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaybah dalam al-Musannaf [2/89/2] dengan SANAD JAYYID (yang baik). [Selesai perkataan syeikh al-Albaani]
TANGGAPAN SYAIKH MAHMUD SA'ID MAMDUUH [وُصُولُ التَّهَانِي hal. 22] terhadap pernyataan syeikh al-Albaani diatas:
أَقُولُ وَبِاللَّهِ تَعَالَى التَّوْفِيقُ: هَـٰذَا الْكَلَامُ عَلَيْهِ مُؤَاخَذَاتٌ:
الأُولَى: قَوْلُهُ: "إِنَّ صَاحِبَةَ القِصَّةِ هِيَ جُوَيْرِيَةٌ لَا صَفِيَّةٌ كَمَا فِي الحَدِيثِ الثَّانِي"
قَدْ مَرَّ بِكَ أَنَّ حَدِيثَ صَفِيَّةَ حَسَنٌ، وَحَدِيثَ سَعِيدٍ صَحِيحٌ، فَتَكُونُ القِصَّةُ قَدِ تَعَدَّدَتْ مَرَّةً مَعَ صَفِيَّةَ وَمَرَّةً مَعَ امْرَأَةٍ وَمَرَّةً مَعَ جُوَيْرِيَةٍ. وَهَـٰذَا كَثِيرٌ جِدًّا فِي أَسْبَابِ الوُرُودِ، فَالجَمْعُ أَوْلَىٰ بَدَلًا مِنْ رَدِّهَا وَالِاقْتِصَارِ عَلَىٰ رِوَايَةِ جُوَيْرِيَةَ فَقَطْ، مَا دَامَ أَنَّ الأَسَانِيدَ قَدْ رَوَاهَا الأَئِمَّةُ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ أَوْ حَسَنَةٍ. فَلَا تَعَارُضَ حِينَئِذٍ، وَإِعْمَالُ كُلِّ الأَدِلَّةِ وَاجِبٌ كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ، وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ يَعْرِفُهَا صِغَارُ طُلَّابِ العِلْمِ، فَلِمَاذَا التَّحَكُّمُ بِقَصْرِ القِصَّةِ عَلَىٰ رِوَايَةِ جُوَيْرِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهَا؟
SAYA KATAKAN [yakni Syeikh Mahmud] - وبالله تعالى التوفيق -:
Pada perkataan ini terdapat banyak koreksi dan bantahan:
BANTAHAN PERTAMA:
Adapun Perkataan Syeikh Al-Albaani: " Pemilik kisah adalah Juwayriyah, bukan Shafiyyah, seperti dalam hadits kedua “.
Maka Bantahannya adalah:
Telah lewat pembahasan pada anda bahwa hadits Shafiyah itu HASAN, dan hadits Sa'ad itu SHAHIH.
Maka dengan demikian kisah yang seperti ini terjadi beberapa kali, sekali dengan Shafiyyah, sekali dengan seorang wanita, dan sekali dengan Juwayriyah.
Dan kisah ini banyak sekali dengan latar belakang kejadian yang berbeda-beda, maka memadukannya lebih utama dari pada menolaknya dan hanya membatasinya pada hadits Juwayriyah saja, selama sanad hadits-hadit tersebut diriwayatkan oleh para imam dengan sanad yang shahih atau hasan.
Maka tidak ada saling bertentangan, dan mengamalkan semua dalil itu wajib sebagaimana yang telah menjadi aturan yang disepakati.
Metode ini sudah dikenal oleh para pelajar yang masih kanak-kanak, maka mengapa harus memaksakan pembatasan dengan riwayat kisah Juwayriyah, semoga Allah meridhoinya?
BANTAHAN KEDUA:
الثَّانِيَةُ: أَمَّا الحُكْمُ عَلَىٰ أَنَّ ذِكْرَ الحَصَى فِي القِصَّةِ مُنْكَرٌ فَخَطَأٌ مِنَ الأَلْبَانِيِّ، وَهُوَ فَرْعٌ نَاتِجٌ عَنْ حُكْمِهِ المُخْطِئِ الَّذِي نَشَأَ عَنْ عَدَمِ البَحْثِ وَالتَّتَبُّعِ، بَلْ وَالمَيْلِ نَحْوَ إِحْدَاثِ أَقْوَالٍ شَاذَّةٍ، وَقَدْ أَدَّىٰ كُلُّ ذَلِكَ إِلَىٰ تَضْعِيفِ حَدِيثَيْ سَعِيدٍ وَصَفِيَّةَ الثَّابِتَيْنِ.
Adapun Pernyataan Syeikh Al-Albaani bahwa hukum Penyebutan kerikil dalam kisah itu adalah munkar.
Maka Bantahan nya adalah :
Itu adalah kesalahan dari Al-Albani, dan itu adalah cabang yang dihasilkan dari keputusannya yang salah yang muncul dari kurangnya penelitian dan tindak lanjut. Bahkan sebaliknya, ada kecenderungan untuk membuat pendapat-pendapat yang syaadz, dan semua ini telah menyebabkan beliau untuk mendho’ifkan dua hadis, yaitu hadits Sa'ad dan Shafiyyah yang telah akurat.
BANTAHAN KETIGA:
الثَّالِثَةُ: أَمَّا قَوْلُهُ: "يُؤَيِّدُ هَـٰذَا إِنْكَارُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الَّذِينَ رَآهُمْ... إِلَىٰ قَوْلِهِ إِن شَاءَ اللَّهُ"، فِيهِ أَخْطَاءٌ يَجِبُ التَّنَبُّهُ لَهَا.
Adapun Perkataan Syeikh al-Albani: “Hal ini didukung oleh pengingkaran Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu terhadap orang-orang yang dilihatnya … sampai pada perkataannya: " insya Allah ”
Maka Bantahan nya adalah :
فِي الكَلَامِ عَلَى إِنْكَارِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الَّذِينَ رَآهُمْ يَعُدُّونَ بِالحَصَى.
اعْلَمْ وُفِّقَنِي اللَّهُ وَإِيَّاكَ إِلَىٰ اتِّبَاعِ الحَقِّ وَتَرْكِ الدَّعَوَى الْفَارِغَةِ، أَنَّ هَـٰذَا الإِنْكَارَ لَمْ يَثْبُتْ. وَأَنَا أَذْكُرُ الأَثَرَ الَّذِي اعْتَمَدَهُ الأَلْبَانِيُّ، وَاغْتَرَّ بِهِ العَوَامُ ص [٩٦] مِنْ سِلْسِلَتِهِ الضَّعِيفَةِ.
قَالَ ابْنُ وضَّاحٍ القُرْطُبِيُّ فِي "البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا" ص [١٢] : حَدَّثَنَا أَسَدٌ عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ عَنِ الصَّلْتِ بْنِ بَهْرَامٍ قَالَ: مَرَّ ابْنُ مَسْعُودٍ بِامْرَأَةٍ مَعَهَا تَسْبِيحٌ تُسَبِّحُ بِهِ فَقَطَعَهُ وَأَلْقَاهُ. ثُمَّ مَرَّ بِرَجُلٍ يُسَبِّحُ بِحَصَا فَضَرَبَ بِرِجْلِهِ ثُمَّ قَالَ: لَقَدْ سَبَقْتُمْ رَكِبْتُمْ بِدْعَةً ظُلْمًا، وَلَقَدْ غَلَبْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عِلْمًا
سَنْدُهُ ضَعِيفٌ لِلِانْقِطَاعِ الَّذِي بَيْنَ الصَّلْتِ بْنِ بِهِرَامَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَنَّ ابْنَ بِهِرَامٍ وَإِن كَانَ ثِقَةً، وَلَكِنَّهُ مِنْ أَتْبَاعِ التَّابِعِينَ. التَّهْذِيبُ [٤/٤٣٢].
وَمِنَ المَعْلُومِ المُقَرَّرِ فِي عِلْمِ الأُصُولِ، أَنَّ فِعْلَ الصَّحَابَةِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ مَعَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَا بَالُكَ وَقَدْ خَالَفَهُ جَمْعٌ مِنَ الصَّحَابَةِ كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُ ذَلِكَ! فَمَا بَالُكَ وَلَمْ يَصِحَّ هَـٰذَا الفِعْلُ عَنْ هَـٰذَا الصَّحَابِيِّ الجَلِيلِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ! وَمِنَ المَعْلُومِ أَيْضًا أَنَّ فِعْلَ أَحَدِ الصَّحَابَةِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ عَلَىٰ الآخَرِينَ، فَلَوْ صَحَّ أَثَرُ ابْنِ مَسْعُودٍ لَمْ يَكُنْ حُجَّةً أَبَدًا عَلَىٰ غَيْرِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Ada kesalahan-kesalahan yang harus diperhatikan.
Diantaranya:
Dalam berbicara tentang pengingkaran Ibn Mas'ud, semoga Allah meridhoinya, terhadap orang-orang yang dia lihat menghitung kerikil.
Ketahuilah - semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan Anda untuk mengikuti kebenaran dan meninggalkan klaiman omong kosong - Yang benar bahwa pengingkaran ini tidak valid.
Dan saya akan menyebutkan Atsar yang jadi pegangan Syeikh Al-Albani, yang membuat orang-orang awam tergiur olehnya pada hal [96] dari kitabnya السَّلْسِلَةُ الضَّعِيفَةُ:
Ibnu Wadhooh al-Qurthubi berkata dalam kitab البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا hal. 12: Telah mengkabarkan kepada saya Asad dari jarir bin hazim dari Ash Shalat bin Bahram, berkata:
Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah/alat tasbih, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya.
Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian menendangnya dengan kakinya dan berkata:
" Kalian telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kalian merasa lebih berilmu dari para sahabatnya.
Sanad riwayat ini dhaif karena inqitha' [terputus] antara Ash Shalt bin Bahram dan Ibnu Mas’ud, [karena ibnu Mas'ud wafat di madinah thn 32 H Pen.] ; Karena Ibnu Bahram, meskipun dapat dipercaya, namun dia adalah dari kalangan Tabi'it Taabi'iin [sebagaimana dirajihkan oleh ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah. Karena Ash Shalat bin Bahram adalah Tabi' tabi'in, maka tidak mungkin ia mendapat riwayat dari shahabat yang akhir, apalagi dari ibnu mas'ud yang wafat pada masa khalifah Umar bin khathab RA. Hal ini sebagaimana diceritakan Ibnu Hajar dalam at-Tahdziib 4/432. Pen].
Telah diketahui dan telah menjadi ketetapan dalam ilmu Ushul: bahwa perbuatan para sahabat bukanlah hujjah yang sebanding dengan sunnah Rasulullah ﷺ.
Lalu bagaimana menurut Anda jika ternyata sekelompok besar para sahabat menyelisihinya, sebagaimana yang akan datang penjelasannya?
Bagaimana menurut Anda, jika ternyata perbuatan tersebut tidak shahih dari sahabat yang mulia ini, semoga Allah meridhoinya???
Dan yang sudah maklum juga bahwa perbuatan salah seorang sahabat bukanlah hujjah terhadap perbuatan sahabat yang lain. Wallahu A'lam.
PERKATAAN SYEIKH AL-ALBAANI LAINNYA
وَالأَلْبَانِيُّ قَالَ فِي ص [٩٦] عَنْ أَثَرِ ابْنِ مَسْعُودٍ: "وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ إِلَى الصَّلْتِ"
أي إِنَّ سَنْدَهُ فِيهِ انْقِطَاعٌ أي ضَعْفٌ، وَأَضِفْ إِلَى ضَعْفِ السَّنَدِ النَّكَرَةَ الَّتِي فِي المَتْنِ، فَكَيْفَ يَتَعَدَّى هَـٰذَا الصَّحَابِيُّ المُجْتَهِدُ الجَلِيلُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُ عَلَىٰ هَـٰذِهِ المَرْأَةِ، ثُمَّ يَضْرِبُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ بِرِجْلِهِ؟ هَلْ هَـٰذَا هَدْيُ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ وَلِمَاذَا يُحْتَجُّ هُنَا بِالمَوْقُوفِ الضَّعِيفِ فِي الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ وَهُوَ مَرْدُودٌ اتِّفَاقًا، بَيْنَمَا يُرَدُّ العَمَلُ بِالحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي الفَضَائِلِ وَالمَنَاقِبِ وَهُوَ مَقْبُولٌ اتِّفَاقًا؟ مَاذَا تُسَمِّي هَـٰذَا؟
Dan Al-Albani berkata dalam hal [96] tentang Atsar Ibnu Masoud: “Dan sanadnya shahih sampai ke Al-Sholt.”
Bantahannya:
Berarti bahwa di dalam sanadnya itu ada yang terputus, berarti Dho'if. Dan ditambah lagi disamping kelemahan sanadnya, juga terdapat nakaaroh dalam matannya.
Bagaimana mungkin seorang Sahabat yang mulia dan mujtahid ini, semoga Allah meridhoinya, berlaku sewenang-wenang terhadap seoarang wanita ini, dan kemudian menendang salah seorang hamba Allah dengan kakinya? Apakah prilaku seperti ini sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah ﷺ?
Mengapa [syeikh al-Albaani] harus berhujjah dengan Atsar mauquf dho'if dalam hukum-hukum Syar'i, padahal itu tertolak dengan kesepakatan para ulama?
PERHATIAN [تَنْبِيهٌ]
SYEIKH AL-BAANI BERKATA di hal [96] dalam kitabnya السَّلْسِلَةُ الضَّعِيفَةُ mengatakan:
"ثُمَّ رَوَى - أي ابْنُ وضَّاحٍ - عَنْ أَبَانِ بْنِ أَبِي عِيَاشٍ قَالَ: سَأَلْتُ الحَسَنَ عَنْ النِّظَامِ - خَيْطٍ يُنَظَّمُ فِيهِ لُؤْلُؤٌ وَخَرَزٌ وَنَحْوُهُمَا - مِنَ الخَرَزِ وَالنَّوَى وَنَحْوِ ذَلِكَ يُسَبِّحُ بِهِ؟
فَقَالَ: لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا المُهَاجِرَاتِ. وَسَنَدُهُ ضَعِيفٌ". ا.هـ.
Kemudian dia meriwayatkan - yaitu Ibnu Wadhooh - dari ABBAAN BIN ABI 'AYYAASY, dia berkata:
" Aku bertanya kepada Al-Hasan tentang "an-Nidhoom" - seutas benang di mana mutiara dan manik-manik disusun dan yang semisalnya - dari manik-manik dan biji kurma dan sejenisnya yang dia gunakan untuk bertasbih/berdzikir?
Maka dia menjawab: " Tidak seorang pun dari para istri Nabi ﷺ yang melakukan itu, dan tidak juga para wanita muhajiroh melakukan nya ". Dan Sanadnya DHO’IF. [Selesai perkataan syeikh al-Albaani].
Bantahannya:
Syeikh Mahmud Sa'iid Mamduh berkata:
لَا أَدْرِي لِمَاذَا سَوَّدَ الأَلْبَانِيُّ الوَرَقَ، وَأَتَى بِهَـٰذَا الأَثَرِ الْمَوْضُوعِ الَّذِي لَا قِيمَةَ لَهُ بِالْمَرَّةِ، لَا فِي الشَّوَاهِدِ وَلَا فِي المُتَابَعَاتِ؟ فَإِنَّ فِي سَنْدِهِ أَبَانَ بْنَ أَبِي عِيَاشٍ كَذَّابٌ بِلَا رَيْبٍ وَلَا شَكٍّ، فَاعْجَبْ أَلْفَ مَرَّةٍ لِقَوْلِ الأَلْبَانِيِّ سَنْدُهُ ضَعِيفٌ، فَإِنَّ هُنَاكَ بُونًا كَبِيرًا بَيْنَ الضَّعِيفِ وَالْمَوْضُوعِ.
وَالمُصَنِّفُونَ فِي الرِّجَالِ تَرْجَمُوا لِأَبَانَ بْنِ أَبِي عِيَاشٍ مَا يَكْشِفُ عَنْ حَالِهِ، لَكِنِّي أَنْقُلُ مَا نَقَلَهُ الأَلْبَانِيُّ عَنْهُمْ لِتَرَى تَنَاقُضَهُ الغَرِيبَ
Saya tidak tahu mengapa Al-Albani menghitamkan lembaran kertas, lalu membawakan ATSAR PALSU yang tidak memiliki nilai sama sekali, baik sebagai Syahid/saksi maupun sebagai mutaaba'ah/penguat? Dalam sanadnya, terdapat Abbaan bin Abi 'Ayyash adalah seorang pendusta, yang tiada ada keraguan bahwa dia itu benar-benar pendusta.
Dia aneh seribu kali keanehan dengan perkataan Al-Albani " sanadnya DHO’IF ". Kenapa? karena ada perbedaan besar antara DHO’IF dan PALSU.
Para penulis kitab tentang bografi – biografi perawi, mereka semua telah mengungkap tentang kondisi Abbaan bin Abi Ayyash, akan tetapi di sini saya akan mengutip apa yang diriwayatkan oleh Al-Albani dari mereka untuk memperlihatkan kontradiksi perkataan Al-Albaani yang aneh.
[ANEH bin AJAIB]
Syeikh Mahmud Said berkata:
وَلْتَعْجَبْ مَعِي مِنْ هَـٰذَا الصَّنِيعِ. قَالَ الأَلْبَانِيُّ فِي ص [٦٧] مِنَ السَّلْسِلَةِ الضَّعِيفَةِ: أَبَانٌ هُوَ ابْنُ أَبِي عِيَاشٍ الزَّاهِدُ البَصْرِيُّ، قَالَ أَحْمَدُ: مَتْرُوكُ الحَدِيثِ، وَقَالَ شُعْبَةُ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَرْوِيَ عَنْ أَبَانٍ.
قُلْتُ - أي الأَلْبَانِيُّ -: وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ مِثْلُ هَـٰذَا إِلَّا فِيمن هُوَ كَذَّابٌ مَعْرُوفٌ بِذَلِكَ، وَقَدْ كَانَ شُعْبَةُ يُحْلِفُ عَلَى ذَلِكَ، ا.ه.
" Dan sungguh YANG PALING ANEH LAGI bagi saya [kata Syeikh Mahmud] dari perbuatan al-Albaani ini, sementara SYEIKH AL-ALBAANI sendiri berkata dalam hal [67] dalam kitab السَّلْسِلَةُ الضَّعِيفَةُ:
أَبَانٌ هُوَ ابْنُ أَبِي عِيَاشٍ الزَّاهِدُ البَصْرِيُّ، قَالَ أَحْمَدُ: مَتْرُوكُ الحَدِيثِ، وَقَالَ شُعْبَةُ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَرْوِيَ عَنْ أَبَانٍ
" Aban adalah Ibnu Abu Ayyash al-Zahid al-Basri. Imam Ahmad berkata: Hadits-nya ditinggalkan. Syu'bah berkata: " Seorang laki-laki berzina Lebih baik daripada meriwayatkan dari Abbaan".
Lalu Syeikh al-Albaani berkata:
"قُلْتُ - أي الأَلْبَانِيُّ -: وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ مِثْلُ هَـٰذَا إِلَّا فِيمن هُوَ كَذَّابٌ مَعْرُوفٌ بِذَلِكَ، وَقَدْ كَانَ شُعْبَةُ يُحْلِفُ عَلَى ذَلِكَ". ا.ه.
Saya – yaitu Al-Albani – berkata: " Tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu seperti ini kecuali untuk seseorang yang terkenal sebagai pendusta. Dan Syu'bah biasa bersumpah untuk itu ". [Selesai perkataan al-Albaani].
Kemudian Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh mengomentari keanehan ini, dengan mengatakan:
فَانظُرْ - رَحِمَكَ اللَّهُ - كَيْفَ يَرَى أَنْ أَبَانًا هُنَا فِي ص [٦٧] كَذَّابٌ مَعْرُوفٌ بِذَلِكَ، بَيْنَمَا يَحْكُمُ عَلَى أَثَرِهِ فِي ص [٩٦] بِأَنَّهُ ضَعِيفٌ. بَلْ إِنَّ أَبَانًا مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ عَنْ الحَسَنِ بِالذَّاتِ.
قَالَ أَبُو عَوَانَةَ: كُنْتُ لَا أَسْمَعُ بِالْبَصْرَةِ حَدِيثًا إِلَّا جِئْتُ بِهِ، فَحَدَّثَنِي - أي أَبَانٌ - بِهِ عَنْ الحَسَنِ حَتَّى جَمَعْتُ مُصْحَفًا، فَمَا أَسْتَحِلُّ أَنْ أَرْوِيَ عَنْهُ، اه. الميزان [١/١١]. فَاللَّهُ المُسْتَعَانُ عَلَى هَـٰذَا التَّنَاقُضِ.
Coba anda perhatikan – semoga Allah merahmati Anda – bagaimana dia (al-Albaani) melihat bahwa Abbaan di sini di halaman [67] adalah PENDUSTA yang terkenal, sementara dia menilai Atsar yang diriwayatkan olehnya di halaman [96] bahwa dia itu dho’if/lemah. Bahkan, Abbaan dituduh sebagai pendusta terutama jika meriawayatkan dari Hassan secara khusus.
Abu Awaanah berkata: Saya tidak sekali-kali mendengar sebuah hadits di Bashrah kecuali saya mengambilnya, lalu dia – yaitu Abbaan - memberi tahu saya tentang hadits-hadits dari al-Hasan, lalu saya mengumpulkannya dalam satu mushaf, maka saya berkesimpulam: TIDAK HALAL meriwayatkannya dari dia/Abbaan [Selesai. Baca al-Miizaan (1/11)].
Hanya Allah lah sebagai tempat meminta pertolongan dari kontradiksi ini.
ADAPUN PERKATAAN SYEIKH AL-ALBAANI yang sbb :
قَوْلُهُ: "وَقَدْ جَاءَ ذَلِكَ عَنْهُ مِنْ طُرُقٍ سَبَقَ إِحْدَاهَا".
“Itu berasal darinya dari beberapa jalur, salah satunya telah disebutkan sebelumnya ".
MAKA SAYA [Syeikh Mahmud] JAWAB:
أَمَّا الَّذِي سَبَقَ فَلَا قِيمَةَ لَهُ هُنَا وَتَبَيَّنَ أَنَّهُ ضَعِيفٌ.
"Adapun jalur yang telah lalu, maka itu tidak ada nilainya di sini dan nampak jelas bahwa itu adalah dho’if".
ADAPUN PERKATAAN SYEIKH AL-ALBAANI sbb :
مِنْ "طُرُقٍ"
" Dari beberapa jalur ".
MAKA BANTAHANNYA adalah sbb :
فِيهِ إِيْهَامٌ أَنَّ هَـٰذِهِ الطُّرُقَ صَحِيحَةٌ أَوْ حَسَنَةٌ مَعْمُولٌ بِهَا وَالأَمْرُ لَيْسَ كَذَلِكَ، وَإِلَيْكَ بَيَانُ هَـٰذِهِ الطُّرُقِ.
Ada kesan seakan-akan bahwa jalur-jalur ini shahih atau hasan yang bisa diamalkan dengannya, akan tetapi masalahnya tidak demikian, silahkan anda perhatikan PENJELASAN tentang JALUR-JALUR tersebut !:
JALUR PERTAMA:
"الأَوَّلُ: قَالَ ابْنُ ضَوَّاحٍ فِي "البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا" [ص: ١١]: أَنَا أَسَدٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ رَجَاءِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ يَسَارِ أَبِي الحَكَمِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ ابْنَ مَسْعُودٍ حَدَّثَ: أَنَّ أُنَاسًا بِالْكُوفَةِ يُسَبِّحُونَ بِالْحَصَى فِي الْمَسْجِدِ فَأَتَاهُمْ وَقَدْ كَوَّمَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ كُومَةَ حَصَى، قَالَ: فَلَمْ يَزَلْ يَحْصِبُهُمْ بِالْحَصَى حَتَّى أَخْرَجَهُمْ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَيَقُولُ: لَقَدْ أَحْدَثْتُمْ بَدْعَةً ظُلْمًا، أَوْ قَدْ فَضَّلْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِلْمًا". ا.ه.
Ibnu Wadhdhooh berkata dalam kitab البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا [hal. 11]: telah mengabarkan kepada saya Asad, dari Abdullah bin Rojaa', dari Ubayd Allah bin Omar, dari Yasar Abi Al-Hakam bahwa Abdullah bin Masoud bercerita:
Bahwa: orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantung mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata: Kamu telah melakukan bid’ah yang dzalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi. [Selesai]
ANALISA Sanad dan Matan:
يَسَارٌ هُوَ تَصْحِيفٌ مِنَ النَّاسِخِ وَالصَّوَابُ سِيَارٌ ثِقَةٌ وَلَكِنَّهُ مِنْ أَتْبَاعِ التَّابِعِينَ، انظُرْ التَّهْذِيبَ [٤/٢٩١]. فَيَكُونُ فِي السَّنَدِ انْقِطَاعٌ. أَضِفْ إِلَى هَـٰذَا النَّكَرَةِ الوَاضِحَةِ فِي المُتْنِ كَيْفَ يُرْمِي هَـٰذَا الصَّحَابِيُّ الجَلِيلُ عِبَادَ اللَّهِ بِالْحَصَى فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ يُرْغِمُهُمْ عَلَى الخُرُوجِ مِنْهُ فَيُخَالِفُ بِذَٰلِكَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: "مَا كَانَ الرِّفْقُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ..." الحَدِيثُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ.
Tulisan kata "Yasaar" dalam Sanad itu salah tulis [تَصْحِيفٌ] dari penyalin dan yang benar adalah Sayyaar, dia orang yang dapat dipercaya, tetapi dia adalah dari kalangan Tabi'it Tabi'iin [lihat at-Tahdziib 4/291].
Maka dengan demikian dalam sanadnya ada yang terputus [yakni: Sanad ini dhaif karena inqitha' antara sayyar abi al hakam dgn abdullah bin mas'ud, karena sayyar adalah tabi' tabi'in, sebagaimana di katakan oleh al hafidz ibnu hajar dalam at tahdzib 4/291. PEN].
Ditambah lagi ke ini adanya nakaaroh yang jelas dalam teks/matan, bagaimana mungkin seoarang sahabat yang mulia melemparkan kerikil kepada para hamba Allah didalam masjid, Kemudian dia memaksa mereka untuk keluar dari masjid, dengan demikian dia telah melanggar sabda Nabi ﷺ:
»إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ ».
Artinya: "Sesungguhnya kelemah lembutan (keramah tamahan) tidaklah ada di dalam sebuah perkara kecuali menghiasinya dan tidak dicabut (kelemah lembutan) dari sesuatu kecuali memburukkannya". HR. Muslim no. 2594 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.
MUNGKIN ADA YANG MENGATAKAN:
قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ إِنَّ الطَّرِيقَيْنِ السَّابِقَيْنِ لِأَثَرِ ابْنِ مَسْعُودٍ - طَرِيقُ الصَّلَتِ وَطَرِيقُ سِيَارٍ - يُقَوِّي كُلٌّ مِنْهُمَا الآخَرَ فَيَكُونُ هَـٰذَا الأَثَرُ حَسَنًا.
Seseorang mungkin mengatakan: bahwa dua jalur yang lalu dari Atsar Ibn Masoud – yaitu jalur ash-Shalt dan jalur Sayyaar - saling menguatkan, maka Atsar ini menjadi Hasan.
JAWABANNYA:
وَالْجَوَابُ عَلَيْهِ: أَنَّ الانْقِطَاعَ لَا يَتَقَوَّى بِمِثْلِهِ لِاتِّحَادِ الْمَخْرَجِ، وَلِاحْتَمَالِ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ أَكْثَرُ مِنْ رَاوٍ سَقَطَ فِي الانْقِطَاعِ، فَكَيْفَ يَتَقَوَّى مِنْ هَـٰذَا حَالُهُ بِمِثْلِهِ؟ أَضِفْ إِلَى هَـٰذَا الاخْتِلَافُ الوَاضِحُ بَيْنَ المُتْنَيْنِ فَلَا يَتَقَوَّى أَحَدُهُمَا بِالآخَرِ. فِي الأوَّلِ أَنَّهُ مَرَّ عَلَى امْرَأَةٍ ثُمَّ رَجُلٍ فَقَطَعَ وَضَرَبَ، وَفِي الثَّانِي أَنَّهُ رَمَى النَّاسَ ثُمَّ أَخْرَجَهُمْ مِنَ الْمَسْجِدِ... فَافْهَمْ وَتَدَبَّرْ.
Jawaban terhadap-nya adalah: bahwa sanad yang terputus tidak bisa diperkuat dengan yang semisalnya karena penyatuan sumber.
Dan kemungkinan akan ada lebih dari satu perawi yang berguguran ke dalam keterputusan sanad, jadi bagaimana mungkin sanad terputus bisa dikuatkan dari kondisi ini dengan yang semisalnya?
Tambahkan pula ke ini yaitu adanya perbedaan yang jelas antara dua texs/ matan, yang masing-masing tidak bisa memperkuat yang lain. Yang pertama, dia melewati seorang wanita, lalu seorang pria, dan dia potong tasbih dan dia pukul pria tersebut. Dan yang kedua, dia melempari orang-orang dan kemudian mengusir mereka keluar dari masjid.... Maka pahamilah dan renungkanlah!!!
JALUR YANG KEDUA:
الثَّانِي: قَالَ ابْنُ وضَّاحٍ: حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ حَرْمَلَةَ، عَنْ ابْنِ وَهْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ سُمَعَانٍ قَالَ: بَلَغَنَا عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ رَأَى أُنَاسًا يُسَبِّحُونَ بِالْحَصَى فَقَالَ: عَلَى اللَّهِ تُحْصُونَ لَقَدْ سَبَقَكُمْ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ لَقَدْ أَحْدَثْتُمْ بِدْعَةً ظُلْمًا. ا.ه.
Ibnu Wadhdhooh berkata: Ibrahim bin Muhammad memberitahuku, dari Harmala, dari Ibn Wahb, dia berkata: Ibn Samaan memberitahuku, dia berkata: telah sampai kepada kami kabar secara balaagh dari Ibn Mas'ud:
“Bahwa beliau melihat orang-orang bertasbih dgn kerikil, maka berkata ibnu mas'ud: Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan Allah? dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya”.
BANTAHAN-NYA:
سَنَدُهُ مُوضُوعٌ، وَابْنُ سَمَعَانٍ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ الْمَخْزُومِيُّ كَذَّبَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْ ابْنِ مَسْعُودٍ. التَّهْذِيبُ [٥/٢١٩].
Sanadnya PALSU, dan Ibnu Samaan ini adalah Abdullah bin Ziyad Al-Makhzoumi. Lebih dari satu orang yang menganggap dia itu pendusta, dan dia tidak mendengar kabar dari Ibnu Mas'ud. (At-Tahdziib 5/219 karya Inu Hajar)
[Penulis katakan: Baca pula: jarh wat tadil 5/60 karya Ibnu abi hatim!, yaitu sbb :
Berkata Ibnu abi hatim dalam jarh wat tadil 5/60:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ قَالَ: سَأَلْتُ مَالِكًا عَنْ ابْنِ سَمْعَانٍ فَقَالَ: كَذَّابٌ... قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْأَعْوَرُ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ - يَعْنِي عَبْدَ الْوَاحِدِ بْنَ وَاصِلٍ - قَالَ: كَانَ عِنْدَهُ ابْنُ سُمَعَانٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ فَقَالَ ابْنُ سُمَعَانٍ: حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ. فَقَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ: كَذَبَ وَاللَّهِ، أَنَا أَكْبَرُ مِنْهُ، وَمَا رَأَيْتُ مُجَاهِدًا. اهـ.
Dari abdurrahman aku bertanya kepada malik tentang ibnu sam'an, maka beliau menjawab: ia kadzab, dan berkata yahya bin main: tilah menceritakan kepada kami al hajaj bin muhammad al a'war dari abi ubaidah yakni abdul wahid bin washil berkata bahwa di samping beliau ada ibnu sam"an dan muhammad bin ishaq,lalu ibnu sam'an berkata: telah menceritakan kepadaku mujahid, maka berkata ibnu ishaq:
" Ia berdusta demi Allah, saya lebih tua darinya dan aku saja [yang lebih] tidak pernah melihat mujahid?"].
JALUR YANG KE TIGA:
بقي مما روي عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا رَوِاهُ الدَّارِمِي قَالَ: أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ ، أَنبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي ، يُحَدِّثُ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
" كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا خَرَجَ ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ ؟
قُلْنَا: لَا، بَعْدُ ، فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ لِلَّهِ - إِلَّا خَيْرًا.
قَالَ: فَمَا هُوَ؟. فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ.
قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ، وَفِي أَيْدِيهِمْ حصًا، فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً ، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً، فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ، وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً.
قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ ، قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتظارَ أَمْرِكَ ، قَالَ: " أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ ".
ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ.
فَقَالَ: " مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ ". قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حصًا نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ.
قَالَ: " فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ".
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ.
قَالَ: " وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ " ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ" اه.
Yang tersisa dari apa yang diriwayatkan dari Ibn Masoud, semoga Allah meridhoinya, yiatu:
Apa yang diriwayatkan oleh AD-DAARIMII, dia berkata:
Telah mengabarkan kepada kami Al-Hakam Bin Al-Mubarak (dia berkata): Telah memberitahukan kepada kami ‘Umar Bin Yahya, dia berkata: Saya telah mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya, dia berkata:
" Dahulu kami duduk di depan pintu Abdullah Bin Mas’ud sebelum shalat ashar, maka jika beliau keluar kami berjalan bersamanya ke masjid. Kemudian Abu Musa Al-Asy’ari mendatangi kami dan berkata:
“Apakah Abu Abdirrahman (Abdullah Bin Mas’ud) telah keluar menjumpai kalian sebelumnya?”
Kami berkata: “Tidak”
Maka dia duduk bersama kami hingga Abdullah Bin Mas’ud keluar. Maka ketika dia keluar, kami semua bangkit kepadanya.
Maka Abu Musa berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya saya tadi melihat di masjid perkara yang saya ingkari dan saya tidak melihat –segala puji hanya bagi Allah- kecuali kebaikan.
Dia berkata: “Apakah itu?”
Dia (Abu Musa) berkata: “Jika engkau masih hidup niscaya engkau akan melihatnya".
Dia (Abu Musa) berkata selanjutnya:
“Saya melihat di suatu masjid sekelompok orang berhalaqah-halaqah dalam keadaan duduk menunggu shalat, dalam setiap halaqah ada satu orang (sebagai pemimpin halaqah,-pen), dan ditangan-tangan mereka ada bebatuan kecil. Maka orang itu berkata: “Bertakbirlah kalian seratus kali” Maka merekapun bertakbir seratus kali. Orang itu berkata: “Bertahlillah kalian seratus kali” Maka merekapun bertahlil seratus kali. Orang itu berkata: Bertasbihlah kalian seratus kali” Maka merekapun bertasbih seratus kali.
(Abdullah Bin Mas’ud) berkata: “Apa yang engkau katakan kepada mereka?”
(Abu Musa) menjawab: “Saya tidak mengatakan sesuatu apapun kepada mereka, saya menunggu pendapatmu atau saya menunggu perintahmu.
(Abdullah Bin Mas’ud) berkata: “Tidakkah engkau suruh mereka untuk menghitung dosa-dosa mereka dan saya menjamin untuk mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang.”
Kemudian dia berangkat dan kamipun berangkat bersamanya hingga dia mendatangi satu halaqah dari halaqah-halaqah tersebut, kemudian dia berhenti di depan mereka.
Dia berkata: “Apa ini yang saya lihat kalian sedang mengerjakannya?”
Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdirrahman, Ini adalah bebatuan kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih.”
Dia (Abdullah Bin Mas’ud) berkata:
“Hitunglah dosa-dosa kalian, saya menjamin tidak akan hilang sedikitpun dari kebaikan-kebaikan kalian. Celakalah kalian wahai ummat Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian. Lihatlah para shahabat Nabi kalian ﷺ masih sangat banyak, baju beliau belumlah usang, bejana beliau belumlah pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Apakah kalian berada di atas agama yang lebih mendapatkan petunjuk dari agamanya Muhammad ﷺ, ataukah kalian membuka pintu kesesatan.”
Mereka menjawab: “Demi Allah wahai Abu Abdirrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.”
Dia menjawab: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya.” Sesungguhnya ﷺ telah menceritakan kepada kami: (kemudian dia menyebutkan hadits di atas). Demi Allah aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka adalah dari kamu!”.
Kemudian dia berpaling dari mereka.
‘Amr bin Salamah berkata:“Kemudian kami melihat kebanyakan orang-orang pada halqah-halqah itu bersama Khawarij memerangi kami pada peperangan Nahrawan.” [HR. Ad-Daarimii dlm as-Sunan no. 210]
BANTAHANNYA:
Syeikh Mahmud Sa'id Mamduuh berkata:
إِن صَحَّ هَذَا إِلَى ابْنِ مَسْعُودٍ - إِذْ فِي الْحَكَمِ بْنِ الْمُبَارَكِ مَقَالٌ (ذَكَرَ الْأَلْبَانِيُّ فِي رَدِّهِ عَلَى الشَّيْخِ الْحَبَشِيِّ أَنَّ إِسْنَادَ الدَّارَمِيِّ رُجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ، رِجَالُ الْبُخَارِيِّ فِي صَحِيحِهِ غَيْرُ عِمَارَةَ وَهُوَ ثِقَةٌ، وَغَابَ عَنْ الْأَلْبَانِيِّ أَنَّ فِي سَندِهِ الْحُكْمَ بْنَ الْمُبَارَكِ رَوَى عَنْهُ الْبُخَارِيُّ فِي الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ فَقَطْ وَلَمْ يَدْخِلْهُ فِي الصَّحِيحِ، وَقَالَ الْحَافِظُ فِي التَّقْرِيبِ [١٩٢/١]: صَدُوقٌ رُبَّمَا وَهَمَ..[التقريب ١٩٢/١، التهذيب ٤٣٨/٢].
فَإِنَّ فِيهِ إِنْكَارًا لِعَدِّ التَّسْبِيحِ فَقَطْ، فَإِنَّهُمْ لَمَّا قَالُوا: " يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حِصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ "، أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ الْعَدَّ فَقَطْ بِقَوْلِهِ: " عَدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ... إلْخ " وَسَكَتَ عَنْ الْحَصَى. فِيْهِ دَلِيلٌ جَلِيٌّ وَاضِحٌ عَلَى جَوَازِ اسْتِعْمَالِ الْحَصَى فِي التَّسْبِيحِ عِندَ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَكَانَ مَذْهَبُ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَرَاهَةَ الْعَدِّ.
قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي الْمُصَنَّفِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: " كَانَ عَبْدُ اللَّهِ - يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ - يَكْرَهُ الْعَدَّ، وَيَقُولُ: " أَيَمُنُّ عَلَى اللَّهِ حَسَنَاتِهِ ". ا.ه ..[المصنف: ٣٩١/٢].
سَنَدُهُ صَحِيحٌ، أَبُو مُعَاوِيَةَ هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ خَازِمٍ التَّمِيمِيُّ ثِقَةٌ لَا سِيَّمَا عَنْ الأَعْمَشِ، وَالأَعْمَشُ ثِقَةٌ وَإِن كَانَ مُدَلِّسًا قَدْ عَنْعَنَ، لَكِنَّ رِوَايَتَهُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ مَحْمُولَةٌ عَلَى السَّمَاعِ كَمَا ذَكَرَ ذَهَبِيٌّ فِي الْمِيزَانِ [٢/٢٢٤].
Jika seandainya Atsar [Ibnu Mas'ud jalur ke 3] ini Shahih dari Ibnu Mas'ud - meskipun pada realitanya bahwa perawi Al-Hakam bin Al-Mubarak ini diperdebatkan, (bahkan Al-Albani sendiri menyebutkan dalam bantahannya terhadap Syeikh Al-Habashi: bahwa sanad Ad-Daarimi, orang-orangnya semuanya dapat dipercaya, mereka para perawi imam Bukhori dalam Shahihnya selain 'Ammaarah, dan dia itu Tsiqoh).
Rupanya ada yang lolos dari pengamatan al-Albaani, bahwa dalam sanadnya ada Al-Hakam bin Al-Mubarak, Imam Bukhori meriwayatkannya hanya di kitab al-Adab al-Mufrod, dan tidak memasukkannya ke dalam Shahihnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Taqriib 1/192 berkata: Dia shoduuq terkadang ber ilusi (wahm)". [At-Tahdziib 2/438 dan at-Taqriib 1/192] –
Ringkasnya: jika seandainya Shahih, maka yang ada dalam atsar Ibnu Ma'ud ini hanya pengingkaran terhadap penghitungan dzikir saja [tidak termasuk penggunaan Tasbih] ; karena ketika mereka berkata:
“Wahai Abu Abdur Rahman, kami menghitung takbir, tahlil dan tasbiih,” Ibnu Mas`ud hanya mengingkari hitungan tersebut dengan mengatakan: “Hitung lah dosa-dosa kalian…dst.”
Dia [Ibnu Mas'ud] diam tentang KERIKIL. Maka ini mengandung dalil yang jelas dan gamblang tentang kebolehan menggunakan kerikil dalam berdzikir menurut Ibnu Mas'ud.
Dan telah menjadi Madzhab Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa menghitung dzikiran itu Makruh hukumnya ".
Ibnu Abi Shaybah berkata dalam al-Musannaf: " Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A'mash, dari Ibrahim, dia berkata:
"كَانَ عَبْدُ اللَّهِ – يَعْنِي ابْن مَسْعُود - يَكْرَهُ الْعَدَدَ ، وَيَقُولُ: " أَيَمُنُّ عَلَى اللَّهِ حَسَنَاتِهِ ".
Abdullah [ibnu Ma'ud] dulu membenci penghitungan, dan dia berkata: " Apakah dia hendak menganugerahkan kebaikan-kebaikannya kepada Allah. (Sls). [Al-Mushonnaf: 391/2]
Sanadnya Shahih, Abu Muawiyah adalah Muhammad bin Khazim Al-Tamimi, dapat dipercaya, terutama jika meriwayatkan dari Al-A'masy. Dan Al-A'mash adalah tsiqoh, meskipun meskipun dia mudallis dan meriwayatkannya dengan 'An'anah, Namun riwayatnya dari Ibrahim dianggap nya mendengar langsung, sebagaimana yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam al-Mizan (2/224). [Selesai kutipan dari syeikh Mahmud]
TAMBAHAN TAKHRIIJ:
Di sini PENULIS TAMBAHKAN takhrij riwayat ad-Daarimi, yaitu sbb:
Adapun Atsar [Ibnu Mas'ud jalur ke tiga Riwayat ad-Daarimi] yang diatas: maka itu diriwayatkan pula oleh Bahsyal dalam “Taarikh Waasith” (hal. 198) melalui jalur Amr bin Yahya bin Amr bin Salamah al-Hamdaani, dia berkata: Ayahku memberitahuku, dia berkata: Ayahku memberitahuku: Dia berkata:
" Dahulu kami duduk di depan pintu Abdullah Bin Mas’ud sebelum shalat ashar, maka ketika beliau keluar kami berjalan bersamanya ke masjid. Kemudian Abu Musa Al-Asy’ari mendatangi kami dan berkata:....... dst ".
Al-Tabarani meriwayatkannya dalam “al-Mu'jam Al-Kabir” (8636) melalui jalur Mujaalid bin Sa'iid, dari Amr bin Salamah, dengan sanad dan matan yang sama.
PARA ULAMA YANG MENSHAHIHKAN:
Bahsyal berkata dalam “Taarikh Waasith” (hal. 198):
وهذا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ، رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ
[Dan Ini sanad yang Jayyid, dan orang-orangnya semuanya tsiqoot]
Atsar ini dengan Sanad riwayat Bahsyal dishahihkan oleh Syekh Al-Albani, semoga Allah merahmatinya, dalam "Al-Sahiihah" no. (2005).
Perawi yang bernama Amr bin Yahya, di tautsiiq oleh Ibnu Ma'iin, seperti dalam "Al-Jarh dan Al-Ta'diil" (6/269).
Yahya bin Amr bin Salamah di tautsiiq oleh Al-'Ijli dalam "Al-Tsiqoot" (2/355). Dan telah meriwayatkan darinya Syu'bah, Al-Tsawri, Al-Mas'uudi, Qois bin Al-Rabii' dan putranya Amr bin Yahya, seperti dalam "Al-Jarh dan Al-Ta'diil" (9/176)
Dan Syu'bah selalu teliti dalm memilih para syeikhnya untuk meriwayatkan dari mereka.
Amr bin Salamaah, di tautsiiq oleh Ibnu Sa'ad dan Ibnu Hibban [Lihat “Tahdziib at-Tahdziib” (8/38).
Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah dlam artikelnya "حُكْمُ السُّبْحَةِ" berkata:
وَسَنَدُهُ مُنْقَطِعٌ. وَلَهُ طَرِيقٌ عِندَ الدَّارِمِيِّ فِي السُّنَنِ (210) مُطَوَّلاً وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ فِي الصَّحِيحَةِ (2005)
"Dan sanadnya terputus. Dan baginya terdapat jalur lain pada al-Darimi dalam al-Sunan (210) dengan matan yang panjang, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Shahiihah (2005)." (Lihat حُكْمُ السُّبْحَةِ لِعَمْرُو العَدَوِي أَبُو حَبِيبَة, Kamis. 26 Januari 2017).
Adapun riwayat dengan sanad ath-Tahbraani ; Al-Haitsami berkata dalam "Al-Majma'" (1/181):
"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ، وَفِيهِ مُجَالِدُ بْنُ سَعِيدٍ، وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، وَضَعَّفَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى"
"Al-Tabarani meriwayatkannya dalam "Al-Kabir", dan di dalamnya terdapat Mujaalid bin Sa'iid. Dia di Tautsiiq oleh at-Tirmidzy, tapi di Dho’ifkan oleh al-Bukhoori, Ahmad bin Hanbal dan Yahya [bin Ma'iin]".
ULAMA YANG MENDHO’IFKAN ATSAR IBNU MAS'UD DIATAS:
Atsar tersebut di Dhaifkan oleh Syeikh Umar al-'Adawi dalam حُكْمُ السُّبْحَةِ dan oleh Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh dalam وُصُولُ التَّهَانِي:
Riwayat ad-Daarimi dari Ibnu Mas'ud diatas tidak shahih, karena dalam sanadnya ada 'Amr bin Yahya bin 'Amr bin Salamah, dan ia telah di dhaifkan oleh muhaddis mutaqaddimin separti imam Ibnu 'Adiy dan Ibnu Ma'in.
Berkata Ibnu 'Adiy dgn sanadnya yang ittishaal kepada YAHYA BIN MA'IIN dalam al-Kaamil 5/122 [syamilah]:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عِصْمَةَ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ يَقُولُ: عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَلَمَةَ لَيْسَ بِشَيْءٍ.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ ثَنَا اللَّيْثُ بْنُ عَبْدَةَ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ يَقُولُ: عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَلَمَةَ سَمِعْتُ مِنْهُ لِيَكُنْ يَرْضَى وَعَمْرُو هَـٰذَا لَيْسَ لَهُ كَثِيرُ رِوَايَةٍ وَلَمْ يَحْضُرْنِي لَهُ شَيْءٌ فَأَذْكُرُهُ
"Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi 'Ishmah, telah menceritakan ahmad bin abi yahya, beliau berkata: aku mendengar YAHYA BIN MA'IIN berkata:
'Amr Bin Yahya bin salamah "tidak ada nilainya,"
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ali, telah menceritakan kepada kami al-Laits bin Abdah, beliau berkata: aku mendengar YAHYA BIN MA'IIN berkata:
'Amr bin Yahya bin Salamah aku mendengar darinya, dan 'Amr yang ini tidaklah banyak riwayat, dan tidak hadir padaku sesuatu untuk kuceritakan. [Disebutkan pula dalam Lisaan al-Miizaan (Asy-Syaamilah 2/267)].
PERHATIAN:
Adapun adanya pernyataan dari muhaddis mutaqaddim Yahya ibnu Ma'iin bahwa 'Amr Bin Yahya bin salamah itu TSIQOH, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil [6/269 no. 1487] seperti yang telah penulis sebutkan di atas.
Maka JAWABANNYA:
Mari kita lihat pula perkataan Ibnu 'Adiy di atas, yang mana beliau juga termasuk muhaddits mutaqoddim dan perkataan beliau juga dgn sanadnya kepada Yahya bin Ma'in bahwa:
'Amr Bin Yahya bin Salamah tidak ada nilainya dan tidak hadir pada Ibnu 'Adiy sesuatu pun utk di ceritakan dari 'Amr Bin Yahya bin salamah??
Dan di perkuat lagi dengan kutipan para muhaddis mutaakhirin, yaitu sbb:
1. Berkata adz-dzahabi dalam mizan al I’tidal: (4/378):
عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنُ عَمْرُو بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: لَيْسَ حَدِيثُهُ بِشَيْءٍ، وَقَالَ ابْنُ خُرَاشٍ: لَيْسَ بِمَرْضِيٍّ
'Amr Bin Yahya bin 'Amr bin salamah; berkata Yahya Bin Ma'in: hadisnya tidak bernilai, berkata Ibn Khorroosh: ia tidak di ridhai,
2. Dan berkata Ibnu al-Jauzi dalam " adh- Dhu'afaa wal Matruukiin" 2/233:
عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنُ عَمْرُو بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ يَحْيَى – ابْنُ مَعِينٍ – لَيْسَ حَدِيثُهُ بِشَيْءٍ، وَقَالَ مَرَّةً: لَمْ يَكُنْ بِمَرْضِيٍّ.
"'Amr Bin Yahya bin 'Amr bin salamah, berkata Yahya bin Ma'iin: haditsnya tidak bernilai, dan pernah sekali dia berkata: Ia tidak di ridhai.
3. Dan al-Hafidz Ibnu hajar dalam Lisaan al-Miizaan (Asy-Syaamilah 2/267) berkata:
عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنُ عَمْرُو بْنِ سَلَمَةَ: قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: لَيْسَ حَدِيثُهُ بِشَيْءٍ، قَدْ رَأَيْتُهُ وَذَكَرَهُ ابْنُ عَدِيٍّ مُخْتَصَرًا، ٱنتَهَى. وَقَالَ ابْنُ خُرَاشٍ: لَيْسَ بِمَرْضِيٍّ، وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ: لَيْسَ لَهُ كَبِيرُ شَيْءٍ وَلَمْ يَحْضُرْنِي لَهُ شَيْءٌ.
'Amr Bin Yahya bin 'Amr bin Salamah, telah berkata YAHYA BIN MA'IIN: "tidak ada nilainya, aku telah melihatnya". Dan Ibnu Adiy menyebutkannya secara ringkas [Sls]. Dan Ibnu Khorroosy berkata: " dia tidak di ridhoi ". Dan Ibnu 'Adiy berkata: Baginya tidaklah banyak riwayat, dan tidak hadir padaku sesuatu pun ".
Dengan adanya pernyataan dari para muhadditsiin mutaqodimin lalu didukung pula oleh muhadditsiin mutaakhirin; maka akan semakin lebih kuat utk dijadikan sandaran atas lemah dan dho’ifnya 'Amr Bin Yahya bin 'Amr bin salamah.
Setelah penjelasan-penjelasan di atas, maka kita sempai kepada kesimpulan: Atsar Ibnu Mas'ud tersebut Tidak shahih. [Selesai tambahan dari penulis].
BANTAHAN KEEMPAT:
Perkataan Syeikh al-Albaani:
وَقَدْ تَلَقَّى هَـٰذَا الإِنْكَارَ مِنْهُ بَعْضُ مَنْ تَخَرَّجَ مِنْ مَدْرَسَتِهِ، أَلَا وَهُوَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَزِيدَ النَّخَعِيُّ الفَقِيهُ الكُوفِيُّ، فَكَانَ يَنْهَى ابْنَتَهُ أَنْ تُعِينَ النِّسَاءَ عَلَى فَتْلِ خُيُوطِ التَّسْبِيحِ الَّتِي يُسَبِّحُونَ بِهَا، رَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي المُصَنَّفِ [٢/٨٩/٢] بِسَنَدٍ جَيِّدٍ. ٱنتَهَى كَلَامُ الأَلْبَانِيِّ.
Pengingkaran ini diakui oleh sebagian dari mereka yang lulusan dari madrasahnya (Ibnu Mas'ud), yaitu Ibrahim bin Yazid Al-Nakho’i, ahli fiqih dari Kuufah. Dia telah melarang putrinya membantu wanita untuk menganyam benang tasbih yang akan dia gunakan untuk berdzikir. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaybah dalam al-Musannaf [2/89/2] dengan SANAD JAYYID (yang baik). [Selesai perkataan syeikh al-Albaani]
BANTAHAN TERHADAP-NYA :
Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh berkata:
هَـٰذَا خَطَأٌ بُنِيَ عَلَى خَطَأٍ، لِأَنَّهُ قَدْ مَرَّ بِكَ أَنَّهُ لَمْ يَصِحْ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنْكَارُ التَّسْبِيحِ بِالْحَصَى، بَلْ مَرَّ جَوَازُ ذٰلِكَ عَنْهُ. أَمَّا عَنْ سَنَدِ أَثَرِ النَّخَعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى، فَقَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَسَنٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْمُهَاجِرِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ: أَنَّهُ كَانَ يَنْهَى ابْنَتَهُ أَنْ تُعِينَ النِّسَاءَ عَلَى فَتْلِ خُيُوطِ التَّسَابِيحِ الَّتِي يُسَبَّحُ بِهَا [٢/٣٩١].
Ini adalah kesalahan yang dia bangun di atas kesalahan, karena seperti yang telah lalu: bahwa itu tidak shahih dari Ibnu Mas'ud -radhiyallahu ‘anhu- pengingkaran berdzikir dengan kerikil, bahkan seperti yang telah lalu bahwa dia membolehkannya.
Adapun Atsar an-Nakho'i, semoga Allah SWT merahmatinya: Ibnu Abi Syaibah berkata: Hamid bin Abdur Rahman memberi tahu kami, dari Hassan, dari Ibrahim bin al-Muhajir dari Ibrahim bin Yazid Al-Nakho’i:
أَنَّهُ كَانَ يَنْهَى ابْنَتَهُ أَنْ تُعِينَ النِّسَاءَ عَلَى فَتْلِ خُيُوطِ التَّسَابِيحِ الَّتِي يُسَبَّحُ بِهَا
Dia telah melarang putrinya membantu wanita untuk menganyam benang tasbih yang akan dia gunakan untuk berdzikir. [al-Musannaf 2/391].
Lalu Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh berkata:
هَـٰذَا السَّنَدُ فِيهِ إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُهَاجِرِ، وَفِيهِ تَعْدِيلٌ وَجَرْحٌ مُفَسَّرٌ، فَحَدِيثُهُ ضَعِيفٌ. التَّهْذِيبُ [١/١٦٨]، الجَرْحُ وَالتَّعْدِيلُ [١/١/١٣٢].
قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ: لَا بَأْسَ بِهِ، وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ تَبَعًا لِشَيْخِهِ: صَالِحُ الحَدِيثِ، لَكِنْ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَابْنُ حِبَّانٍ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَهُوَ الرَّاجِحُ عَنْ النَّسَائِيِّ وَغَمَزَهُ شُعْبَةُ.
وَالْجَرْحُ المُفَسَّرُ فِيهِ هُوَ قَوْلُ الدَّارَقُطْنِيِّ: حَدَّثَ بِأَحَادِيثَ لَا يُتَابَعُ عَلَيْهَا. وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ الرَّازِيُّ: لَيْسَ بِالْقَوِيِّ هُوَ وَحُصَيْنٌ وَعَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، قَرِيبٌ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَمَحَلُّهُمْ عِنْدَنَا مَحَلُّ الصِّدْقِ، يُكْتَبُ حَدِيثُهُمْ وَلَا يُحْتَجُ بِهِ.
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ: قُلْتُ لِأَبِي: مَا مَعْنَى لَا يُحْتَجُ بِحَدِيثِهِمْ؟ قَالَ: كَانُوا لَا يَحْفَظُونَ فَيُحَدِّثُونَ بِمَا لَا يَحْفَظُونَ، فَيَغْلِطُونَ، تَرَى فِي أَحَادِيثِهِمْ اضْطِرَابَاتٍ مَا شِئْتَ. ا.ه.
وَفِي مُقَدِّمَةِ الفَتْحِ ص [٣٩٠]: قَالَ ابْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ فِي تَارِيخِهِ: قِيلَ لِيَحْيَى بْنِ مَعِينٍ إِنَّ إِسْرَائِيلَ رَوَى عَنْ أَبِي الْقَتَّاتِ وَعَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُهَاجِرٍ ثَلاَثَمِائَةٍ يَعْنِي مَنَاكِيرَ، فَقَالَ: لَمْ يُؤْتَ مِنْهُ - أَيْ إِسْرَائِيلُ - أُتِيَ مِنْهُمَا. ا.ه. فَهَلْ بَعْدَ هَـٰذَا يُقْبَلُ تَفَرُّدُ ابْنِ مُهَاجِرٍ؟
وَفِي التَّقْرِيبِ [١/٤٤]: صَدُوقٌ لِينُ الحِفْظِ، وَذَكَرَهُ الذَّهَبِيُّ فِي الْمُغْنِيِّ [١/٢٧]. إِذَا عَلِمْتَ هَـٰذَا تَبَيَّنَ لَكَ أَنَّ ابْنَ مُهَاجِرٍ المُذْكُورَ لَا يُجَوِّدُ حَدِيثَهُ إِلَّا بِمُتَابَعٍ، أَمَّا إِذَا انْفَرَدَ فَضَعِيفٌ.
وَمِنْ تَنَاقُضِ الأَلْبَانِيِّ أَنَّهُ رَدَّ تَصْحِيحَ الْحَاكِمِ وَالذَّهَبِيِّ لِحَدِيثٍ فِيهِ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُهَاجِرٍ المُذْكُورُ، فَقَالَ مَا نَصُّهُ: قَالَ الحَاكِمُ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَوَافَقَهُ الذَّهَبِيُّ، وَزَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ: قُلْتُ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ. ثُمَّ قَالَ الأَلْبَانِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ لَوْلَا أَنَّ فِيهِ إِبْرَاهِيمَ بْنَ مُهَاجِرٍ، قَالَ الحَافِظُ: صَدُوقٌ لِينُ الحِفْظِ. ٱنتَهَى بِنَصِّهِ. [إرواء الغليل ٤٧/٥].
Di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Al-Muhajir, dan mengandung Ta'diil dan Jarh secara mufassar, sehingga haditsnya lemah. [At-Tahdziib 1/168 dan Al-Jarh wa at-Ta'deel 1/1/132].
Ats-Tsawri dan Ahmad berkata: "Tidaklah mengapa ", dan Abu Dawud berkata, ikut syeikhnya: "dia itu hadits nya shaleh". Akan tetapi dia itu didho’ifkan oleh Yahya bin Ma'in, Ibn Hibban, Yahya bin Sa'iid dan Ad-Daraqutni. Dan itu yang paling benar/raajih menurut An-Nasa'i dan Syu'bah mengisyaratkan kedho’ifannya.
Adapun Jarh Mufassar tentang dia [Ibrahim bin Al-Muhajir] adalah perkataan Al-Daraqutni:
" Dia meriwayatkan hadits yang tidak ada mutaaba'ah nya. Abu Hatim al-Razi berkata: Dia tidak kuat, dia, Hushoin, Athoo bin As-Saa'ib, satu sama lainnya saling berdekatan, dan kedudukan mereka menurut kami adalah berkedudukan jujur, hadits mereka di tulis, akan tetapi tidak bisa di jadikan hujjah".
Abdur Rahman bin Abi Hatim berkata: Aku berkata kepada ayahku: Apa arti hadits mereka yang tidak dijadikan hujjah? Beliau menjawab: Mereka tidak hafal, maka mereka menceritakan apa yang tidak mereka hafal. Maka mereka membuat kesalahan, kamu bisa melihat dalam hadits-hadits mereka terdapat kelabilan sebanyak yang kamu inginkan ".
Dalam Muqoddimah Al-Fath (hal: 390): Ibnu Abi Khoitsamah berkata dalam Tarikh-nya: Dikatakan kepada Yahya bin Ma'in bahwa Israa'il meriwayatkan dari Abu al-Qottaat dan dari Ibrahim bin Muhajir tiga ratus [hadits], artinya hadits-hadits munkar.
Apakah setelah tahu ini kita masih tetap menerima riwayat tunggal Ibnu Muhajir?
Dalam At-Taqriib (1/44): " صَدُوقٌ لَيِّنُ الحِفْظِ /jujur tapi tedapat kelemahan hafalannya " [yakni: Ibrahim bin Al-Muhajir]
Dan Al-Dzahabi menyebutkannya dalam Al-Mughni (27/1).
Jika anda mengetahui hal ini, akan menjadi jelas bagi anda bahwa Ibnu Muhajir tersebut tidak jayyid riwayatnya kecuali dengan adanya mutaaba'ah, tetapi jika dia sendirian maka itu lemah.
Di antara kontradiksi Syeikh Al-Albani adalah bahwa ia menolak pen shahih-an Al-Hakim dan Al-Dzahabi pada sebuah hadits yang terdapat Ibrahim bin Muhajir dalam Sanadnya, dengan mengatakan:
قَالَ الحَاكِمُ: صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَوَافَقَهُ الذَّهَبِيُّ، وَزَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ: قُلْتُ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ.
Al-Hakim mengatakan bahwa Sanadnya Shahih, dan Adz-Dzahabi menyetujuinya, dan dia [Dzahabi] menambahkannya dan berkata: Saya katakan: sesuai dengan syarat Muslim".
Kemudian Al-Albani berkata:
وَهُوَ كَمَا قَالَ لَوْلَا أَنَّ فِيهِ إِبْرَاهِيمَ بْنَ مُهَاجِرٍ، قَالَ الحَافِظُ: صَدُوقٌ لَيِّنُ الحِفْظِ.
Ini seperti yang dia katakan jika seandainya tidak ada Ibrahim bin Muhajir di dalamnya. Al-Hafidz berkata: " صَدُوقٌ لَيِّنُ الحِفْظِ / jujur tapi tedapat kelemahan hafalannya ". [Selesai texs kutipan dari Syeikh al-Albaani, baca: إرواء الغليل 5/47].
Lalu Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh berkata:
ثُمَّ ٱعْلَمْ أَنَّ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى، لَمْ يَنْهَ ابْنَتَهُ عَنْ تَسْبِيحٍ بِالنَّوَىٰ أَوِ السُّبَحِ وَلَكِنَّهُ نَهَاهَا - إِنْ صَحَّ عَنْهُ - عَنْ فَتْلِ الخُيُوطِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ نَهْيِهَا عَنْ فَتْلِ الخُيُوطِ نَهْيُهَا عَنْ ٱسْتِعْمَالِهَا، لِأَنَّ هَـٰذَا النَّهْيَ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ بِسَبَبِ عَدَمِ رَغْبَتِهِ فِي ٱخْتِلَاطِ ابْنَتِهِ بِالنِّسَاءِ، أَوْ بِسَبَبِ أَنَّهُ مُشْتَغِلٌ بِالعِلْمِ وَقَدْ تَأْتِي النِّسَاءُ لِمَنْزِلِهِ مِمَّا يُسَبِّبُ لَهُ ضَرَرًا، أَوْ ٱتِّبَاعًا لِشَيْخِهِ فِي كَرَاهَةِ العَدِّ فَقَطْ، إِلَىٰ غَيْرِ ذَٰلِكَ مِنَ ٱلاحْتِمَالَاتِ، وَمَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ ٱلاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ ٱلاِسْتِدْلَالُ. وَلَكِنَّ ٱلَّذِي فَاتَ الشَّيْخَ الأَلْبَانِيَّ أَنَّ أَثَرَ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ فِيهِ أَنَّ النِّسَاءَ كَانَ لَهُنَّ تَسَابِيحُ يُسَبِّحْنَ بِهَا، وَهَـٰذَا كَانَ فِي عَصْرِ التَّابِعِينَ، فَقَدْ أَتَى الشَّيْخُ بِمَا عَلَيْهِ لَا لَهُ، فَٱفْهَمْ أَخِي القَارِئَ وَتَدَبَّرْ.
Kemudian ketahuilah bahwa Ibrahim al-Nakho'i, semoga Allah SWT merahmatinya, tidak melarang putrinya bertasbih dengan biji kurma atau alat tasbih, melainkan dia melarangnya - jika atsar itu shahih darinya - dari penganyaman benang [tsabih], dan tidaklah mengharuskan bagi orang yang melarangnya dari memintal benang [tasbi] untuk melarangnya menggunakan tasbih, karena larangan ini bisa jadi karena keengganannya terhadap putrinya untuk bergaul dengan wanita, atau karena dia punya kesibukan menuntut ilmu di rumahnya dan dikhawatirkan anak perempuannya itu ketika pulang ke rumahnya sudah tidak bisa belajar, atau karena dia mengikuti pendapat syeikhnya yang memakruhkan menghitung dzikir, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Dan dalil yang terdapat di dalamnya banyak kemungkinan maka tidak bisa berdalil dengnnya.
Namun ada yang luput dari Syekh Al-Albani, yaitu bahwa dalam atsar Ibrahim Nakha'i menunjukkan bahwa para wanita saat itu masing-masing memiliki tasbih yang mereka gunakan untuk bertasbih. Dan ini pada masa generasi para Tabi'iin, tiba-tiba Syekh [al-Albaani] datang dengan apa yang bukan untuknya, agar saudaraku pembaca bisa mengerti dan merenungkannya!!!
Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh berkata:
فَصْلٌ: وَٱعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ ٱسْتَعْمَلَ النَّوَىٰ أَوِ الحَصَىٰ فِي التَّسْبِيحِ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانَ اللَّهِ عَلَيْهِمْ لَا يَفْعَلُونَ ٱلبِدْعَةَ. وَرَدَّ ذَٰلِكَ بِأَسَانِيدَ قَوِيَّةٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، وَأَبِي صَفِيَّةَ، وَغَيْرِهِمْ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُمْ. وَهُنَاكَ أَسَانِيدُ أُخْرَىٰ مُشَبَّهَةٌ أَوْ ضَعِيفَةٌ تُطْلَبُ مِنْ "ٱلْمِنْحَةِ" لِلْحَافِظِ السُّيُوطِيِّ. وَمَنْ طَالَعَ كُتُبَ "ٱلطَّبَقَاتِ" لِٱبْنِ سَعْدٍ وَ"ٱلزُّهْدِ" لِلإِمَامِ أَحْمَدَ، وَ"ٱلْحِلْيَةِ" لِأَبِي نُعَيْمٍ، وَ"ٱلتَّارِيخِ" لِلْخَطِيبِ ٱلْبَغْدَادِيِّ، لأَخْرَجَ جُزْءًا لَطِيفًا فِيهِ ٱسْتِعْمَالُ ٱلسَّلَفِ ٱلصَّالِحِ - رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَىٰ - ٱلنَّوَىٰ أَوِ ٱلْحَصَىٰ أَوِ ٱلْمَسَابِيحِ فِي ٱلتَّسْبِيحِ..
PASAL: Dan ketahuilah! bahwa sekelompok jemaah sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, menggunakan batu atau kerikil dalam bertasbih, dan telah ada ketetapan bahwa para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, tidak akan melakukan bid'ah.
Dan itu terdapat atsar-atsar dengan sanad yang kuat dari Abu al-Darda', Abu Hurairah, Sa'ad bin Abi Waqqas, Abu Shafiyyah, dan lain-lain, semoga Allah meridhoi mereka.
Dan di sana ada juga sanad-sanad yang musyabbahah atau lemah yang disebutkan dalam kitab "Al-Minhah" karya Al-Hafidz Al-Suyuthi.
Dan siapa saja yang mau membaca kitab-kiab berikut ini: “Al-Tabaqaat ” oleh Ibnu Sa'ad, “Az-Zuhd” oleh Imam Ahmad, “Al-Hilyah” oleh Abu Nu'aim, dan “Al-Tarikh” oleh Al-Khathib Al-Baghdadi, maka sungguh dia bisa membuat satu Juz yang sederhana yang berisi tentang para salafush shoolih yang menggunakan biji kurma atau kerikil untuk bertasbih dengannya ".
====
DALIL KE TIGA:
Imam Ahmad berkata:
“Miskiin bin Bukair telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Tsabit bin ‘Ajlan telah mengabarkan kepada kami, dari Al-Qosim bin Abdurrahman dia berkata:
كَانَ لِأَبِي الدَّرْدَاءِ نَوَى مِنْ نَوَى الْعَجْوَةِ حُسِبَتْ عَشْرًا أَوْ نَحْوَهَا فِي كِيسٍ وَكَانَ إِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ أَقْعَى عَلَى فِرَاشِهِ، فَأَخَذَ الْكِيسَ فَأَخْرَجَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدَةً يُسَبِّحُ بِهِنَّ فَإِذَا نَفَدْنَ أَعَادَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدَةً، كُلُّ ذَلِكَ يُسَبِّحُ بِهِنَّ قَالَ: حَتَّى تَأْتِيَهُ أُمُّ الدَّرْدَاءِ فَتَقُولَ: يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنَّ غَدَاءَكَ قَدْ حَضَرَ فَرُبَّمَا قَالَ: ارْفَعُوهُ فَإِنِّي صَائِمٌ “
“Abu ad-Darda’ memiliki biji-bijian dari biji kurma ‘Ajwah, diperkirakan ada sepuluh atau seperti itu berada dalam satu kantong.
Apabila ia telah melaksanakan shalat Shubuh, beliau mendekat ke kasurnya lalu mengambil kantong tersebut dan mengeluarkan biji-biji itu satu per-satu, ia bertasbih menggunakannya. Apabila telah habis, ia ulangi lagi satu per-satu.
Ia bertasbih menggunakannya hingga Ummu ad-Darda’ datang seraya berkata: “Wahai Abu ad-Darda’, sesungguhnya makananmu telah dihidangkan ”.
Terkadang Abu ad-Darda’ menjawab, “ Angkatlah, sesungguhnya aku puasa”.
[HR. Ahmad bin Hanbal, dalam kitab "az-Zuhd", 1/116 no. 758 sebagaimana dalam riwayat anaknya, Abdullah bin Ahmad]
ANALISA DERAJAT ATSAAR:
ULAMA YANG MENSHAHIHKAN:
Di Shahihkan sanadnya oleh al-Ustadz DR. Ali Jum'ah Muhammad, Mufti Mesir, dalam fatwanya tentang " حُكْمُ السُّبْحَةِ " Nomer Urut 296. Tanggal jawaban: 09/11/2204 M.
Dan Syeikh Mahmud Sa'id Mamduh dlm وُصُولُ التَّهَانِي berkata:
هَـٰذَا سَنَدٌ صَحِيحٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَىٰ.
“Ini Sanad Yang Shahih, insya Allah”.
Lalu Syeikh Mahmud berkata :
مِسْكِينُ بْنُ بَكِيرٍ رَوَى لَهُ ٱلْبُخَارِيُّ مُتَابَعَةً، وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ فِي ٱلْأُصُولِ، وَثَّقَهُ ٱبْنُ عَمَّارٍ، وَقَالَ أَحْمَدُ وَٱبْنُ مَعِينٍ وَأَبُو حَاتِمٍ: لَا بَأْسَ بِهِ. وَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ كَأَبِي أَحْمَدَ ٱلْحَاكِمِ فَبِٱلنِّسْبَةِ لِأَحَادِيثِهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ ٱلْعَزِيزِ وَعَنْ شُعْبَةَ، وَهُوَ هُنَا لَمْ يَرْوِ عَنْهُمَا. ٱلتَّهْذِيبُ ٣٢٩/١/٤ ، ٱلْجَرْحُ وَٱلتَّعْدِيلُ ١٢٠/١٠.
Perawi yang bernama Miskin bin Bukair.
Telah meriwayatkan darinya Al-Bukhari sebagai Mutaaba'ah. Imam Muslim dan lain-lain meriwaytakn darinya hadits-hadits pokok. Dan Ibnu Ammar mentautsiqnya. Ahmed, Ibnu Ma'in dan Abu Hatim berkata: Tidak ada masalah dengan dia.
Adapun orang-orang yang membicarakannya seperti Abu Ahmad al-Hakim, maka tentang hadits-haditsnya yang dari Sa'id bin Abdul Aziz dan Syu'bah, dan di sini dia tidak meriwayatkan dari mereka berdua. [Al-Tahdzib 4/1/329 dan al-Jarh wa at-Ta'diil 120/10]”
Lalu Syeikh Mahmud berkata :
وَثَابِتُ بْنُ عَجْلَانَ تَابِعِيٌّ شَامِيٌّ، ثِقَةٌ ٱحْتَجَّ بِهِ ٱلْبُخَارِيُّ، وَثَّقَهُ ٱبْنُ مَعِينٍ، وَقَالَ دُحَيْمٌ وَٱلنَّسَائِيُّ: لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ: لَا بَأْسَ بِهِ صَالِحُ الحَدِيثِ، وَتَوَقَّفَ فِيهِ أَحْمَدُ وَكَأَنَّهُ مَرِضَ أَمْرُهُ.
وَٱسْتَغْرَبَ ٱبْنُ عَدِيٍّ لَهُ ثَلَاثَةَ أَحَادِيثَ، وَهَذَا لَا يَضُرُّهُ، فَمَنْ مِنَ ٱلرُّوَاةِ مَنْ لَا يَنْفَرِدُ أَوْ يَهِمُ؟
أَمَّا قَوْلُ ٱلْعُقَيْلِيِّ: لَا يُتَابَعُ فِي حَدِيثِهِ، فَقَدْ تَعَقَّبَهُ أَبُو ٱلْحَسَنِ بْنُ ٱلْقَطَّانِ بِقَوْلِهِ: إِنَّ هَذَا لَا يَضُرُّ إِلَّا مَنْ لَا يُعْرَفُ بِٱلثِّقَةِ، وَأَمَّا مَنْ وُثِّقَ فَٱنْفِرَادُهُ لَا يَضُرُّ.
قَالَ ٱلْحَافِظُ: وَصَدَقَ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَضُرُّهُ إِلَّا مُخَالَفَتُهُ ٱلثِّقَاتِ لَا غَيْرُ، فَيَكُونُ حَدِيثُهُ حِينَئِذٍ شَاذًّا، ٱه. ٱنْظُرِ ٱلضُّعَفَاءَ لِلْعُقَيْلِيِّ. [١٠/٢] ٱلتَّهْذِيبُ، [٥٢٤/٢] ٱلْكَامِلُ، [١٧٥/١].
Perawi yang bernama Tsabit bin Ajlan.
Dia adalah seorang Tabi'i dari Syam, dapat dipercaya (tsiqoh), Al-Bukhari berhujjah dengannya, dan Ibn Mu'in mentautsiqnya.
Duhaim dan an-Nasa'i berkata: Tidak ada masalah. Dan Abu Hatim berkata: Tidak ada masalah dengannya, haditsnya baik. Dan adapun Ahmad, maka dia tawaqquf (diam) seolah-olah ada perkara yang sakit/tidak beres.
Ibnu 'Adiy merasa heran bahwa dia memiliki tiga hadits. Dan ini tidak membahayakannya, karean siapa di antara perawi yang tidak pernah meriwayatkan sendirian atau berilusi /wahm?
Adapun ucapan Al-Uqaili: "Dia haditsnya tidak ada mutaaba'ah", maka Abu Al-Hasan bin Al-Qaththaan telah membantahnya dengan mengatakan: Ini tidak membahayakan kecuali orang-orang yang tidak dikenal tsiqoh/dipercaya. Adapun perawi yang tsiqoh, jika dia meriwayatkannya sendirian, maka itu tidak membahayakan.
Lalu Syeikh Mahmud berkata :
وَٱلْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ ٱلرَّحْمَنِ هُوَ أَبُو عَبْدِ ٱلرَّحْمَنِ ٱلشَّامِيُّ ٱلدِّمَشْقِيُّ، وَثَّقَهُ ٱبْنُ مَعِينٍ وَٱلْعَجْلِيُّ وَٱلتِّرْمِذِيُّ وَيَعْقُوبُ بْنُ سُفْيَانَ وَيَعْقُوبُ بْنُ شَيْبَةَ.
وَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ كَٱبْنِ حِبَّانَ فَٱلْأَحَادِيثُ مُنْكَرَةٌ رَوَاهَا عَنْهُ ضُعَفَاءُ، لِذَٰلِكَ قَالَ أَبُو حَاتِمٍ ٱلرَّازِيُّ: حَدِيثُ ٱلثِّقَاتِ عَنْهُ مُسْتَقِيمٌ لَا بَأْسَ بِهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ عَنْهُ ٱلضُّعَفَاءُ. [ٱلتَّهْذِيبُ ١١٣/٣/٢ ، ٱلْجَرْحُ وَٱلتَّعْدِيلُ ٣٢٤ - ٣٢٢/٨]
وَٱلرَّاوِي عَنْهُ ثَابِتُ بْنُ عَجْلَانَ ثِقَةٌ كَمَا مَرَّ، وَشَامِيٌّ مِثْلُهُ.
رَوَىٰ عَنْ عَلِيٍّ وَٱبْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُمَا، فَرِوَايَتُهُ عَنْ أَبِي ٱلدَّرْدَاءِ أَوْلَىٰ، لِأَنَّهُ شَامِيٌّ مِثْلُهُ وَعَدَّهُ يَعْقُوبُ بْنُ سُفْيَانَ مِنَ ٱلطَّبَقَةِ ٱلْعُلْيَا مِنَ ٱلتَّابِعِينَ بِٱلشَّامِ. [ٱلْمَعْرِفَةُ وَٱلتَّارِيخُ [٢/٣٣٠].
Perawi Al-Qaasim bin Abdur Rahman (W. 112).
Dia adalah Abu Abdur-Rahman Al-Syaami Al-Dimashqi. Dan telah mentautsiq nya Ibnu Ma'iin, Al-Ijli, Al-Tirmidzi, Ya`qub bin Sufyan dan Ya`qub bin Syaibah.
Dan menurut orang yang memperbincangkannya seperti Ibnu Hibban, maka hadits-haditsnya munkar, dan hadits-hadits itu diriwayatkan darinya oleh orang-orang yang lemah.
Abu Hatim al-Razi berkata: Hadist orang-orang yang dipercaya darinya itu lurus/mustaqiim dan tidak ada masalah dengannya. Dan adapun jika orang yang dho'if itu meriwayatkan darinya maka haditsnya munkar. [At-Tahdziib 113/3/2, Al-Jarh wa'l-Ta'diil 324-322/8]
Perawi darinya adalah Tsabit bin Ajlan, dia dipercaya/tsiqoh, seperti yang telah lalu, dan dia juga Syami [dari Syaam] sama seperti dia [Al-Qaasim bin Abdur Rahman].
Dia [Al-Qaasim bin Abdur Rahman] meriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhumaa. Maka riwayatnya dari Abu al-Dardaa' lebih utama, karena dia adalah seorang Syami [dari Syaam] sama seperti dia [Abu Dardaa' radhiyallahu ‘anhu].
Dan Yakub bin Sufyan menenetapkan dia [Al-Qaasim bin Abdur Rahman] pada thabaqat yang paling atas dari kalangan para Tabi'iin di Syaam. [Baca: المعرفة والتاريخ 2/330]. [Selesai Kutipan dari وُصُولُ التَّهَانِي]
Pendapat Ahmad Syaakir tentang Al-Qaasim bin Abdur Rahman adalah: "Tsiqoh"
Syeikh al-Albaani berkata:
" قَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُهُمْ، وَٱلرَّاجِحُ مِنْ مَجْمُوعِ كَلَامِ ٱلْعُلَمَاءِ فِيهِ، أَنَّهُ حَسَنُ ٱلْحَدِيثِ".
“Sebagian dari mereka memperbincangkannya, dan yang Raajih (paling benar) dari keseluruhan apa yang dikatakan para ulama tentangnya adalah bahwa dia itu haditsnya bagus.” (Baca: Silsilah ash-Shahiihah 1/550, 596 dan 658)
Dan Syeikh Muqbil al-Waadi'i berkata:
" وَإِنْ كَانَ ٱلْقَاسِمُ قَدْ وُثِّقَ إِلَّا أَنَّ ٱلْجَرْحَ فِيهِ مُفَسَّرٌ مِنَ ٱلْإِمَامِ أَحْمَدَ وَٱبْنِ حِبَّانَ".
Meskipun al-Qasim itu Tsiqoh/dipercaya, namun Jarh tentang dirinya mufassar/dijelaskan oleh Imam Ahmad dan Ibn Hibban".
[Baca: " تَرْجَمَةُ ٱلْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ ٱلرَّحْمَنِ ٱلشَّامِيِّ، أَبُو عَبْدِ ٱلرَّحْمَنِ ٱلدِّمَشْقِيُّ. " oleh Abdul 'Aziz al-Hannuuth. dalam Web: "مُنْتَدَيَاتُ أَهْلِ ٱلظَّاهِرِ" 7 – 12 – 2007 M]
ULAMA YANG MENDHO’IFKAN NYA:
Diantarnya di dhaifkan oleh syeikh al-Albaani.
Umar bin Abdul Mun'iim Saliim dlm " لَا دِفَاعًا عَنِ ٱلْأَلْبَانِيِّ فَحَسْبُ بَلْ دِفَاعًا عَنِ ٱلسَّلَفِيِّ." hal. 223 berkata:
"هَذَا إِسْنَادٌ مَعْلُولٌ بِٱلْإِنْقِطَاعِ بَيْنَ ٱلْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ ٱلرَّحْمَنِ وَأَبِي ٱلدَّرْدَاءِ، وَكَذَٰلِكَ فَٱلْقَاسِمُ هَذَا مُتَكَلَّمٌ فِيهِ".
"Ini adalah Sanad yang ber illat dengan adanya keterputun antara al-Qasim bin Abdur Rahman dan Abu al-Darda’." [Selesai]
Penulis katakan:
Al-Qasim bin Abdur Rahman wafat pada tahun 112 H.
Sementara Abu ad-Dardaa' wafat di Damaskus pada masa kholifah Utsman Bin Affaan RA, pada tahun: 31 H atau 32 H atau 33 H atau 38 H atau 39 H.
CATATAN:
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Huroiroh, Ali bin Abi Thalib, dan selainnya. Silahkan dibaca pada kitab “Ath-Thabaqot” karya Ibnu Sa’ad رَحِمَهُ اللَّهُ serta “Az-Zuhd” Ahmad bin Hambal رَحِمَهُ اللَّهُ.
Setelah mebawakan beberapa atsar ini, Al-Imam As-Suyuthi رَحِمَهُ اللَّهُ berkata:
ولم يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلَا مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّونَهُ بِهَا وَلَا يَرَوْنَ ذَلِكَ مَكْرُوهًا
“Dan belum pernah dinukil dari seorangpun dari kalagan salaf (ulama’ terdahulu) dan tidak juga dari khalaf (ulama’ belakangan) adanya larangan dari bolehnya menghitung dzikir dengan biji tasbih. Bahkan mayoritas mereka menghitungnya dengan biji tasbih dan tidak memandang makruh akan hal itu.”[Al-Hawi karya As-Suyuthi: 2/6].
====
DALIL KE EMPAT:
Atsar Abu Hurairah RA. Abu Daud berkata:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرٌ، حَدَّثَنَا الْجُرَيْرِيُّ، ح وَحَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، ح وَحَدَّثَنَا مُوسَى، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، كُلُّهُمْ عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، حَدَّثَنِي شَيْخٌ، مِنْ طُفَاوَةَ قَالَ:
Telah memberitahu kami Musaddad, telah memberi tahu kami Bisyr, telah memberi tahu kami al-Jurairy
(ح) Dan juga telah memceritakan kepada kami Mu'ammal, telah memceritakan kepada kami Ismail.
(ح) Dan juga telah memceritakan kepada kami Musa, telah memceritakan kepada kami Hammaad,.
Semua dari al-Jurairy, dari Abu Nadhrah, telah memceritakan kepada saya seorang Syeikh dari Thofawah (Ath-Thofaawi), dia berkata:
تَثَوَّيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ - أَيْ جِئْتُهُ ضَيْفًا - بِالْمَدِينَةِ فَلَمْ أَرَ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَشَدَّ تَشْمِيرًا وَلاَ أَقْوَمَ عَلَى ضَيْفٍ مِنْهُ فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُ يَوْمًا وَهُوَ عَلَى سَرِيرٍ لَهُ وَمَعَهُ كِيسٌ فِيهِ حَصًى أَوْ نَوًى - وَأَسْفَلُ مِنْهُ جَارِيَةٌ لَهُ سَوْدَاءُ - وَهُوَ يُسَبِّحُ بِهَا حَتَّى إِذَا أَنْفَدَ مَا فِي الْكِيسِ أَلْقَاهُ إِلَيْهَا فَجَمَعَتْهُ فَأَعَادَتْهُ فِي الْكِيسِ فَدَفَعَتْهُ إِلَيْهِ.
"Saya bertamu kepada Abu Hurairah di Madinah. Saya belum pernah menemukan seorang sahabat Rasulullah ﷺ. yang lebih giat dalam beribadah dan yang lebih semangat dalam menghormati tamu dari pada beliau.
Pada suatu hari, ketika saya sedang berada di rumahnya, beliau sedang berbaring di atas ranjang nya. Bersamanya terdapat kantung yang berisi kerikil atau biji kurma – dan ada seorang budak perempuan kulit hitam miliknya sedang duduk di bawah – dan dia gunakan biji kurma dan kerikil itu untuk bertasbih dengannya.
Jika kantung itu telah habis isinya, maka dia memberikannya kepada budaknya itu. Lalu Budak itu memasukkan kembali biji-bijian dan kerikil itu ke dalam kantung dan lalu menyerahkannya kembali kepada beliau."
(HR. Abu Dawud 2/339 no. 2174, Tirmidzi 8/71-72 dan Nasa`i 8/15 dan Ahmad 2/540).
Adz-Dzahabi meriwayatkannya dalam سِيرُ أَعْلَامِ ٱلنُّبَلَاءِ (2/594) dari Ath-Thofaawi dengan lafadz:
نَزَلْتُ عَلَىٰ أَبِي هُرَيْرَةَ بِٱلْمَدِينَةِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، فَلَمْ أَرَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّىٰ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا أَشَدَّ تَشْمِيرًا، وَلَا أَقْوَمَ عَلَىٰ ضَيْفٍ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ ذَاتَ يَوْمٍ وَهُوَ عَلَىٰ سَرِيرِهِ، وَمَعَهُ كِيسٌ فِيهِ نَوًى -أَوْ حَصًى- أَسْفَلَ مِنْهُ سَوْدَاءُ، فَيُسَبِّحُ، وَيُلْقِي إِلَيْهَا، فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا، أَلْقَىٰ إِلَيْهَا ٱلْكِيسَ، فَأَوْعَتْهُ فِيهِ، ثُمَّ نَاوَلَتْهُ، فَيُعِيدُ ذَٰلِكَ.
"Saya singgah pada Abu Hurairah di Madinah selama enam bulan. Saya belum pernah menemukan seorang sahabat Rasulullah ﷺ. yang lebih giat dalam beribadah dan yang lebih semangat dalam menghormati tamu dari pada Abu Hurairah.
Maka pada suatu hari, saya masuk rumahnya, dan beliau sedang berbaring di atas ranjang nya. Bersamanya terdapat kantung yang berisi kerikil atau biji kurma – di bawah nya ada budak hitam perempuan – lalu beliau bertasbih dengannya, kemudian melemparkannya kepada budak itu.
Dan ketika telah kosong isinya, maka dia melemparkan kantung itu kepada budaknya itu. Lalu Budak itu mengumpulkannya dan memasukkannya kembali ke dalam kantung dan lalu menyerahkannya kembali kepada beliau. Kemudian Beliau mengulanginya lagi ".
-----
DERAJAT HADITS:
ULAMA YANG MEN-SHAHIH-KAN ATAU MENG-HASAN-KANNYA:
Abu Daud setelah meriwayatkan Atsar Abu Hurairah tersebut, dia diam, tidak berbicara tentang derajat nya. Ini menunjukkan bahwa Atsar tersebut Shalih menurutnya. Itu sudah ma'ruf dalam manhaj Abu Daud.
At-Turmudzi berkata:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ، إِلَّا أَنَّ ٱلطَّفَاوِيَّ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا فِي هَذَا ٱلْحَدِيثِ، وَلَا نَعْرِفُ ٱسْمَهُ.
Ini adalah hadits yang HASAN, tetapi kami tidak mengetahui Ath-Thofaawi kecuali dalam hadits ini, dan kami tidak mengetahui namanya.
Syeikh Mahmud Sa'id Mamduuh berkata dlm وُصُولُ التَّهَانِي:
وَإِنَّمَا حَسَّنَهُ ٱلتِّرْمِذِيُّ لِأَنَّ ٱلطَّفَاوِيَّ تَابِعِيٌّ لَمْ يَأْتِ بِمَتْنٍ مُنْكَرٍ، وَٱلرَّاوِي عَنْهُ ثِقَةٌ، وَقَدِ ٱحْتَجَّ ٱلنَّسَائِيُّ بِٱلطَّفَاوِيِّ مَعَ تَعَنُّتِهِ ٱلْمَشْهُورِ فِي ٱلرِّجَالِ.
وَهَذَا مَذْهَبُ كَثِيرٍ مِنَ ٱلْمُحَدِّثِينَ، لَمْ يَنْفَرِدْ بِهِ ٱلتِّرْمِذِيُّ رَحِمَهُ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ. فَلَا يَقُولُ مُتَقَوِّلٌ هُنَا: وَتَسَاهُلُ ٱلتِّرْمِذِيِّ مَعْرُوفٌ، كَمَا هِيَ عَادَةُ ٱلْبَعْضِ.
وَفِي مُقَدِّمَةِ "ٱلْمُغْنِي" لِلذَّهَبِيِّ نَقْلًا عَنْ "ٱلضُّعَفَاءِ" لَهُ قَالَ: وَأَمَّا ٱلْمَجْهُولُونَ مِنَ ٱلرُّوَاةِ، فَإِنْ كَانَ ٱلرَّجُلُ مِنْ كِبَارِ ٱلتَّابِعِينَ أَوْ أَوْسَاطِهِمْ ٱحْتُمِلَ حَدِيثُهُ، وَتُلُقِّيَ بِحُسْنِ ٱلظَّنِّ إِذَا سَلِمَ مِنْ مُخَالَفَةِ ٱلْأُصُولِ وَمِنْ رَكَاكَةِ ٱلْأَلْفَاظِ. ا.ه.
Adapun kenapa al-Tirmidzi menghasankannya? Karena ath-Thofaawi ini adalah seorang Tabi'i yang tidak mendatangkan nash yang mungkar, dan perawi yang meriwayatkan darinya adalah Tsiqoh (dapat dipercaya). Dan bahkan An-Nasaa'i pun berhujjah ath-Thafaawi, padahal an-Nasaa'i ini terkenal keras dalam hal para perawi.
Methode Ini adalah madzhab banyak ahli hadits, dan al-Tirmidzi, semoga Allah merahmatinya, tidak sendirian di dalamnya.
Maka seseorang jangan berkata di sini: Al-Tirmidzi ini terkenal dengan suka menggampangkan, seperti kebiasaan sebagiam orang.
Dan dalam Muqoddimah kitab “Al-Mughni” karya Al-Dzahabi, mengutip dari kitab "Adh-Dhu'a'faa', karyanya, dia berkata:
وَأَمَّا ٱلْمَجْهُولُونَ مِنَ ٱلرُّوَاةِ، فَإِنْ كَانَ ٱلرَّجُلُ مِنْ كِبَارِ ٱلتَّابِعِينَ أَوْ أَوْسَاطِهِمْ ٱحْتُمِلَ حَدِيثُهُ، وَتُلُقِّيَ بِحُسْنِ ٱلظَّنِّ إِذَا سَلِمَ مِنْ مُخَالَفَةِ ٱلْأُصُولِ وَمِنْ رَكَاكَةِ ٱلْأَلْفَاظِ، اهـ.
" Adapun para perawi yang tidak dikenal (majhul), maka jika orang itu adalah salah seorang dari para Tabi'iin senior [كِبَارُ ٱلتَّابِعِينَ] atau pertengahan dari mereka, maka haditsnya memungkin untuk diterima. Dan diterima dengan berbaik sangka jika bebas dari pelanggaran prinsip dasar agama dan bebas dari kata-kata yang lemah/rokaakah".
Lalu Syeikh Mahmud berkata:
وَبَاقِي ٱلسَّنَدِ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ. وَلِتَسْبِيحِ أَبِي هُرَيْرَةَ بِٱلنَّوَىٰ شَاهِدَانِ يُقَوِّيَانِ تَحْسِينَ ٱلتِّرْمِذِيِّ:
1- قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ فِي ٱلْحِلْيَةِ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثَنَا عَبْدُ ٱللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي أَبِي وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ زِيَادٍ قَالَا: ثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَلِيَّةَ، عَنْ خَالِدٍ ٱلْحَذَّاءِ، عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ ٱللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ ٱثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ مَرَّةٍ. اهـ
ٱلْحِلْيَةِ (1/383) وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَعَزَاهُ ٱلْحَافِظُ فِي ٱلْإِصَابَةِ (4/209) لِٱبْنِ سَعْدٍ وَصَحَّحَهُ. وَٱنْظُرْ تَذْكِرَةَ ٱلْحُفَّاظِ (1/35).
فَبَعْدَ أَنْ ثَبَتَ هَذَا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، كَيْفَ يُمْكِنُ إِحْصَاءُ ٱثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ تَسْبِيحَةٍ كُلَّ يَوْمٍ بِدُونِ آلَةٍ تُسَاعِدُهُ كَنَوًى أَوْ حَصًى؟ وَٱلْقَاعِدَةُ عِنْدَهُمْ: إِذَا ثَبَتَ ٱلشَّيْءُ ثَبَتَتْ لَوَازِمُهُ.
Dan sisa Sanadnya, orang-orangnya dapat dipercaya.
Dan bagi Atsar Bertasbihnya Abu Hurairah dengan biji kurma terdapat dua saksi yang memperkuat peng-HASAN-an al-Tirmidzi:
Pertama:
Abu Nu'aim berkata dalam Al-Hilyah: Abu Bakar bin Malik memberi tahu kami, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal memberi tahu kami, ayahku dan Ibrahim bin Ziyad memberi tahu kami, mereka berdua berkata: Kami diberitahu oleh Ismail bin Ali, dari Khalid Al- Hadzdzaa', dari Ikrimah, katanya, Abu Hurairah berkata:
Saya beristighfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dua belas ribu kali setiap hari"
[Al-Hilyah (1/383) dan sanadnya adalah shahih. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengutipnya dalam Al-Ishoobah (4/209) dari Ibnu Sa`ad dan menshahihkannya. [Lihat Tadzkiratul Huffaadz (1/35)].
Setelah ini terbukti shahih dari Abu Hurairah, bagaimana bisa dua belas ribu kali bertasbih dihitung setiap hari tanpa alat yang membantunya seperti biji kurma atau kerikil?
Qaidah yang berlaku bagi mereka adalah: Jika sesuatu itu terbukti shahih, maka segala sesuatu yang dibutuhkannya juga ikut terbukti shahih.
Kedua:
أَخْرَجَ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الحِلْيَةِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرَ بْنِ حَمْدَانَ، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثَنَا الحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ، ثَنَا زَيْدُ بْنُ الحَبَّابِ، عَنْ عَبْدِ الوَاحِدِ بْنِ مُوسَى قَالَ: أَخْبَرَنِي نُعَيْمُ بْنُ المُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عِنْدَ جَدِّهِ، أَبِي هُرَيْرَةَ:
أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ، فَلاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ. ا.ه. [١/٣٨٣].
وَعَزَاهُ الحَافِظُ السُّيُوطِيُّ فِي المِنْحَةِ لِأَحْمَدَ فِي الزُّهْدِ (٢). وَأَوْرَدَهُ الذَّهَبِيُّ فِي تَذْكِرَةِ الحُفَّاظِ [١/٣٥].
وَسَنَدُهُ حَسَنٌ إِلَى نُعَيْمٍ الَّذِي لَمْ أَجِدْ لَهُ تَرْجَمَةً فِيمَا لَدَيَّ مِنْ كُتُبِ الرِّجَالِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Diriwayatkan oleh Abu Naim dalam Al-Hilyah [1/383.], dia berkata:
Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Ja'far bin Hamdaan, Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Ahmed bin Hanbal, Telah bercerita kepada kami Al-Hassan bin Al-Shobbaah, Telah bercerita kepada kami Zaid bin Al-Habbaab, dari Abdul Wahid bin Musa, dia berkata:
Na'im bin Al-Muharrar bin Abi Hurairah, bersama kakeknya, Abu Hurairah, menceritakan kepadaku:
أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيه أَلْفَا عُقْدَةٍ، فَلاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ
Bahwasannya dia memiliki seutas benang dengan dua ribu simpul padanya, maka dia tidak akan tidur sampai dia bertasbih dengannya [Selesai].
Syeikh Mahmud dalam وُصُولُ التَّهَانِي berkata:
Al-Hafidz Al-Suyuti menyebutkannya [atsar Abu Hurairah diatas] dalam kitab "al-Minhah " dari kitab az-Zuhud karya Ahmad.
Dan Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Tadzkirah al-Huffaadz (1/35).
Dan Sanadnya Hasan sampai Nu'aim [Cucu Abu Hurairah RA], yang untuknya saya tidak menemukan biografinya dalam kitab-kitab biografi para perawi yang saya miliki ". [Selesai kutipan dari وُصُولُ التَّهَانِي]
TAMBAHAN:
Al-Laknawi setelah menyebutkan atsar Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dan atsar Fathimah binti al-Husein bin 'Ali bin Abi Thalib, lalu beliau mengatakan - seperti dalam: Majmu' al-Rasaa'il (1/13):
"فَهَذَانِ الأَثَرَانِ يُخْبِرَانِ بِجَوَازِ العَدِّ بِالسُّبْحَةِ المُتَدَاوَلَةِ، إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ خَيْطِ العُقْدَةِ؛ فَإِنَّ السُّبْحَةَ لَيْسَتْ حَقِيقَتُهَا إِلَّا أَنْ يُنَظَّمَ قَدْرٌ مِنْ نَوًى، أَوْ قِطَعَاتِ العَظْمِ، أَوِ الخَشَبَةِ، أَوِ الحَجَرِ، أَوِ الدُّرَرِ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ ـ فِي خَيْطٍ فَيَصِيرَ كَخَيْطٍ فِيهَا نَبْذٌ مِنَ العُقْدَةِ." ا.هـ.
"Dua Atsar ini menginformasikan akan bolehnya menghitumg dengan Subhah yang beredar di tengah kaum muslimin, karena tidak ada perbedaan antara subhah dan benang simpul ; karena sesungguhnya subhah itu bukanlah hakikat yang sebenarnta nya akan tetapi hanyalah susunan biji kurma yang ditentukan kadarnya, atau susunan potongan tulang, atau kayu, atau batu atau mutiara, atau sesuatu yang lain yang di susun pada benang, lalu ia berubah menjadi seperti seutas benang yang di dalamnya terdapat simpul-simpul dari ikatan". [Selesai]
Adapun yang di maksud dengan atsar Fatimah, maka itu adalah sbb:
Ibnu Saad meriwayatkannya dalam: “Al-Thabaqaat” dari Fatimah binti Al-Hussein bin Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- (w. 110 H):
"أَنَّهَا كَانَتْ تُسَبِّحُ بِخَيْطٍ مَعْقُودٍ فِيهَا".
Bahwa dia biasa bertasbih dengan benang yang disimpul di dalamnya. [Di sebutkan dalam نَيْلُ الأَوْطَار karya asy-Syaukaani 2/359].
Syeikh Bakr Abu Zaid dalam "السُّبْحَةُ آثَارُهَا وَحُكْمُهَا" hal. 63 berkata:
وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ وَامْرَأَةٌ مَجْهُولَةٌ
Di dalam sanadnya terdapat kelemahan, dan perempuan ini majhulah ".
CATATAN:
Catatan Pertama:
Syeikh Mamduh dalam footnote وُصُولُ التَّهَانِي berkata:
وَلَنَذْكُرْ هُنَا تَنَاقُضًا لِلْأَلْبَانِيِّ وَقَعَ لَهُ فِي المُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ وَثَّقَ المُحَرَّرَ فِي جِهَةٍ وَصَحَّحَ حَدِيثَهُ، ثُمَّ فِي جِهَةٍ أُخْرَى جَعَلَهُ عِلَّةً فِي السَّنَدِ.
Mari kita sebutkan di sini tentang kontradiksi Al-Albani yang terjadi pada Al-Muharrar bin Abi Hurairah di mana ia mentautsiq al-Muharrar di satu sisi serta menshahihkan haditsnya, kemudian di sisi lain ia menjadikannya illat (cacat) dalam Sanad.
أَمَّا تَوْثِيقُهُ وَتَصْحِيحُ حَدِيثِهِ، فَفِي إِرْوَاءِ الغَلِيلِ [٤/٣٠١] حَيْثُ قَالَ عَنِ المُحَرَّرِ مَا نَصُّهُ: "فَهُوَ ثِقَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ، فَقَوْلُ الحَافِظِ فِيهِ: مَقْبُولٌ، غَيْرُ مَقْبُولٍ، وَعَلَيْهِ فَالإِسْنَادُ صَحِيحٌ". إِنْتَهَى.
Adapun pentautsiqkannya dan penshahihan haditsnya ada di dalam Irwa’ al-Ghaliil [4/301] di mana dia mengatakan tentang al-Muhaarar yang texs nya sbb:
Maka dia itu Tsiqoh, insya Allah, maka pernyataan al-Hafidz tentangnya: " Maqbul (Bisa diterima)" itu tidak bisa diterima. Dan dengan demikian, maka yang benar adalah Sanadnya Shahih ". [Selesai]
Lalu Syeikh Mahmud berkata:
أَمَّا جَعْلُهُ المُحَرَّرَ المَذْكُورَ عِلَّةً فِي السَّنَدِ: فَقَوْلُهُ فِي السِّلْسِلَةِ الصَّحِيحَةِ [٤/١٥٦] مَا نَصُّهُ: "هَذَا إِسْنَادٌ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ رِجَالُ البُخَارِيِّ، غَيْرَ المُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَإِنَّهُ مِنْ رِجَالِ النَّسَائِيِّ وَابْنِ مَاجَةَ فَقَطْ، وَلَمْ يُوَثِّقْهُ غَيْرُ ابْنِ حِبَّانَ، وَلِذَلِكَ لَمْ يُوَثِّقْهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ، بَلِ اكْتَفَى بِقَوْلِهِ: مَقْبُولٌ، يَعْنِي عِنْدَ المُتَابَعَةِ، ا.ه".
فَانْظُرْ - رَحِمَنِيَ اللهُ وَإِيَّاكَ - إِلَى هَذَا التَّنَاقُضِ، يُوَثِّقُ الرَّاوِيَ، ثُمَّ يُعَلِّلُ بِهِ الإِسْنَادَ، وَيُخْطِئُ الحَافِظَ ثُمَّ يَقْبَلُ قَوْلَهُ..
Adapun Syeikh al-Albaani menjadikan al-Muharrar tadi sebagai illat dalam Sanad: yaitu perkataannya dalam السِّلْسِلَةِ الصَّحِيحَةِ [4/156] yang texs nya sbb:
هَذَا إِسْنَادٌ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ رِجَالُ البُخَارِيِّ، غَيْرَ المُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَإِنَّهُ مِنْ رِجَالِ النَّسَائِيِّ وَابْنِ مَاجَةَ فَقَطْ، وَلَمْ يُوَثِّقْهُ غَيْرُ ابْنِ حِبَّانَ، وَلِذَلِكَ لَمْ يُوَثِّقْهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ، بَلِ اكْتَفَى بِقَوْلِهِ: مَقْبُولٌ، يَعْنِي عِنْدَ المُتَابَعَةِ، ا.ه.
Ini adalah sanad yang para perawinya, semuanya adalah para perawi Al- Bukhari, selain al-Muharrar bin Abi Hurairah, karena dia itu dari para perawi an-Nasaa'i dan Ibnu Majah saja. Dan tidak ada yang mentautsiq nya selain Ibnu Hibbaan, oleh karena itu al-Hafidz Ibnu Hajar juga tidak mentautsiqnya, melainkan dia hanya cukup dengan mengatakan: Maqbuul/bis diterima, yakni untuk mutaaba'ah/penguat. [Selesai].
Maka, silahkan anda pertimbangkan - semoga Allah merahmati saya dan Anda - pada kontradiksi ini, beliau [al-Albaani] mentautsiq seorang perawi, namun kemudian beliau menjadikannya sebagai illat (penyakit) dalam sanad. Beliau menyalahkan perkataan al-Hafidz, namun kemudian beliau di kesempatan lain menerima perkataannya. [Selesai perkaatan syeikh Mahmud].
Catatan kedua:
Syeikh Mahmud dalam footnote وُصُولُ التَّهَانِي berkata pula Tentang Al-Hafidz Al-Suyuti menyebutkannya dalam kitab "al-Minhah " dari kitab az-Zuhud karya Ahmad:
لَكِنْ لَمْ أَجِدْهُ فِي الزُّهْدِ المَطْبُوعِ، وَلْيُعْلَمْ أَنَّ المَطْبُوعَ أَقَلُّ مِنَ الأَصْلِ بِكَثِيرٍ، قَالَ عَنْهُ الحَافِظُ فِي مُقَدِّمَةِ تَعْجِيلُ المَنْفَعَةِ ص [١١]: إِنَّهُ كِتَابٌ كَبِيرٌ يَكُونُ فِي قَدْرِ ثُلُثِ المُسْنَدِ مَعَ كِبَرِ المُسْنَدِ، وَفِيهِ مِنَ الأَحَادِيثِ وَالآثَارِ مِمَّا لَيْسَ فِي المُسْنَدِ شَيْءٌ كَثِيرٌ، اه.
فَرَحِمَ اللهُ الإِمَامَ أَحْمَدَ وَجَزَاهُ عَنَّا خَيْرَ الجَزَاءِ.
Tapi saya tidak menemukannya dialam kitab “az-Zuhd” yang sudah dicetak. Dan ketahuilah bahwa yang dicetak jauh lebih sedikit dibanding dengan yang asli nya.
Al-Hafidz mengatakan tentang kitab “az-Zuhd” dalam Muqoddimah تَعْجِيْلُ المَنْفَعَةِ hal.[11]:
إِنَّهُ كِتَابٌ كَبِيرٌ يَكُونُ فِي قَدْرِ ثُلُثِ المُسْنَدِ مَعَ كِبَرِ المُسْنَدِ، وَفِيهِ مِنَ الأَحَادِيثِ وَالآثَارِ مِمَّا لَيْسَ فِي المُسْنَدِ شَيْءٌ كَثِيرٌ، ا.ه.
Ini adalah sebuah kitab besar yang kadar ukurannya sepertiga al-Musnad, dengan masih besaran Musnad, dan berisi banyak hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang tidak ada dalam Musnad [Selesai].
Semoga Allah merahmati Imam Ahmad dan membalasnya atas jasanya untuk kita semua!!!.
=====
DALIL KE LIMA:
ATSAR SA'AD BIN ABI WAQQAASH radhiyallahu ‘anhu:
Ibnu Sa'ad berkata dalam kitabnya ath-Thabaqaat [3/143]: Qubaishoh bin 'Uqbah memberitahu kami, dari Sufyan, dari Hakim bin al- Daylami:
" أنَّ سَعْداً كَانَ يُسَبِّحُ بِالحَصَى".
"Bahwa Sa'ad dulu senantiasa bertasbih dengan menggunakan kerikil".
ANALISA ATSAR:
Syeikh Mahmud Said dalam وُصُولُ التَّهَانِي hal. 42 berkata:
قُبَيْصَةُ ثِقَةٌ احْتَجَّ بِهِ الجَمَاعَةُ. التَّهْذِيبُ [٨/٣٤٧].
وَسُفْيَانُ هُوَ الثَّوْرِيُّ، لَا يُسْأَلُ عَنْ مِثْلِهِ.
وَحَكِيمُ بْنُ الدَّيْلَمِيِّ هُوَ المُدَائِنِيُّ ثِقَةٌ. [التَّهْذِيبُ ٢/٤٤٩] مِنَ السَّادِسَةِ [التَّقْرِيبِ ١/١٩٤]. لَمْ يُرْوَ عَنْ سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. لَكِنْ رَوَاهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ مَوْصُولًا.
قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ [٢/٣٨٩] فِي المُصَنَّفِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ مَوْلَاةٍ لِسَعِيدٍ: أَنَّ سَعِيدًا كَانَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى أَوِ النَّوَى.
وَسَنَدُهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مَقْبُولًا عَلَى طَرِيقَةِ كَثِيرٍ مِنَ الحُفَّاظِ المُتَقَدِّمِينَ وَالمُتَأَخِّرِينَ، وَهَـٰذَا مَا يَقْتَضِيهِ النَّظَرُ الصَّحِيحُ لَا التَّعَنُّتُ القَبِيحُ.
وَمَمَّا يُزِيدُهُ وُضُوحًا، قَوْلُ الذَّهَبِيِّ فِي المِيزَانِ - وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الاستِقْرَاءِ التَّامِّ فِي الرِّجَالِ: وَلَا أَعْلَمُ مِنَ النِّسَاءِ مَنْ اتُّهِمَتْ وَلَا تُرِكَتْ، ا.ه. المِيزَانُ [٤/٦٠٤]، وَوَافَقَهُ الحَافِظُ فِي [الْلِسَانِ ٥٢٢/٧].
Qubaishah Tsiqoh, sekelompak jemaah berhujjah dengannya.[At-Tahdziib [8/347.]
Sufyan, dia adalah Ats-Tsauri, dia tidak perlu ditanyakan tentang orang yang semisalnya
Dan Hakim bin Al-Dailami adalah Al-Madaaini, tsiqoh/terpercaya. [Baca: At-Tahdziib 2/449] dia dari thabaqat keenam [At-Taqriib1/194].
Dia tidak meriwayatkan dari Sa'ad, semoga Allah meridhoinya. Namun diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'ad secara maushuul/nyambung.
Ibnu Abi Shaybah berkata dalam al-Mushonnaf [2/389]: Yahya bin Sa'iid memberi tahu kami, dari Sufyan, dari Hakim bin al-Daylami, dari seorang mantan budak wanita Sa'ad:
أنَّ سَعْداً كَانَ يُسَبِّحُ بِالحَصَى أَوْ النَّوَى
" Bahwa Saad senantiasa bertasbih dengan kerikil atau biji kurma ".
Dan sanadnya maqbul (dapat diterima) menurut metode kebanyakan para hufaadz baik dari kalangan mutaqoddimiin maupun dari kalangan muta'akhkhiriin.
Dan inilah yang dituntut berdasarkan analisa yang shahih, bukan berdasarkan keras kepala yang buruk.
Dan yang membuatnya lebih jelas adalah pernyataan al-Dzahabi dalam kitabnya "al-Miizaan – yang mana dia itu merupakan salah satu pakar peneliti yang sempurna tentang biografi para perawi -, dia berkata:
ولا أعلم من النساء من اتهمت ولا تركت، ا.ه.
Saya tidak tahu dari kalangan kaum wanita yang saya curigai dan yang saya tinggalkan riwayatnya (Selesai).
[Al-Miizan 4/604]. Dan Al-Hafidz Ibnu hajar menyetujuinya dalam kitab [Al-Lisaan 7/522]
=====
DALIL KE ENAM:
ATSAR ABU SHOFIYYAH radhiyallahu ‘anhu:
أَخْرَجَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي الزُّهْدِ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ أُمِّهِ قَالَتْ: رَأَيْتُ أَبَا صَفِيَّةَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ وَكَانَ خَازِنًا قَالَتْ: فَكَانَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Az-Zuhd, dia berkata:
Affaan memberi tahu kami, Abd al-Waahid ibnu Ziyad memberi tahu kami, dari Yunus ibn Ubaid, dari ibunya, dia berkata:
Saya melihat Abu Shofiyyah, seorang pria dari kalangan para sahabat Nabi ﷺ. Dan dia tetangga kami.
Lalu Ibunya Yunus berkata: " Maka dia senantiasa bertasbih dengan kerikil ".
------
ANALISA DERAJAT ATSAR:
PARA ULAMA YANG MENDHO’IFKANNYA:
Atsar Abu Hurairah diatas di Dhaifkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih wa Dhaif Abu Daud no. 2174, al-Irwaa no. 2011 dan at-Ta'liiq at-Targhiib 3/96.
Dan Dho’ifkan pula oleh Ali Hasan al-Halabi dalam مُوسُوعَةُ الأَحَادِيثِ وَالآثَارِ الضَّعِيفَةِ وَالمَوْضُوعَةِ (14/7962).
Syu'aib al-Arnauth berkata dalam "Takhriij al-Musnad" no. 10977:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ وَلِبَعْضِ قِطَعِ هَـٰذَا الْحَدِيثِ طُرُقٌ وَشَوَاهِدُ تُقَوِّيهِ
Sanadnya lemah, dan sebagian potongan-poyongan dari hadits ini memiliki jalur-jalur dan syahid-syahid yang memperkuatnya
ULAMA YANG MENSHAHIHKAN:
Syeikh Mahmud Sa'id dalam وُصُولُ التَّهَانِي berkata:
قُلْتُ: هَـٰذَا سَنَدٌ صَحِيحٌ رُوَاتُهُ ثِقَاتٌ مُحْتَجٌّ بِهِمْ.
Aku Katakan: Ini Sanad yang Shahih, para perawinya tsiqoot/dipercaya, bisa dijadikan hujjah.
Lalu Syeikh Mahmud berkata:
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: أَمَّا يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ لَمْ يَرْوِ عَنْهَا غَيْرُ ابْنِهَا كَمَا ذَكَرَ ذَلِكَ الإِمَامُ مُسْلِمٌ بْنُ الحَجَّاجِ فِي المُنْفَرِدَاتِ ص [١٩]، وَلَمْ يُوَثِّقْهَا أَحَدٌ، فَكَيْفَ يُحْتَجُّ بِهَا؟
Jika ada seseorang yang protes:
Ummu Yunus bin Ubaid, tidak ada yang diriwayatkan darinya selain anaknya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj dalam Al-Munfaridaat [hal. 19] dan tidak ada seorangpun yang mentautsiqnya, maka bagaimana mungkin berhujjah dengannya?
Dijawab dengan yang berikut ini:
الأوَّلُ: أَمَّا يُونُسُ رَوَى عَنْهَا أَيْضًا غَيْرُ ابْنِهَا، المُعَلَّى بْنُ الأَعْلَمِ كَمَا فِي الجُرْحِ وَالتَّعْدِيلِ [٨/٣٣٣] وَالتَّارِيخِ الكَبِيرِ [٩/٤٤] وَلَمْ يُذْكَرْ فِيهَا جُرْحٌ وَلَا تَعْدِيلٌ، وَهِيَ عَلَى شَرْطِ ابْنِ حِبَّانٍ فِي ثِقَاتِهِ وَلَكِنِّي لَمْ أَجِدْهَا فِيهِ.
فَهِيَ مَسْتُورَةٌ لِارْتِفَاعِ جَهَالَةُ العَيْنِ بِرِوَايَةِ اثْنَيْنِ، فَتَبْقَى جَهَالَةُ الحالِ. وَحَدِيثُ المُسْتُورِ مِنَ الرُّوَاةِ الَّذِينَ تَقَدَّمَ العَهْدُ بِهِمْ مَقْبُولٌ، فَمَا بَالُكَ إِذَا كَانَ مِنَ التَّابِعِينَ وَعَلَيْهِ العَمَلُ فِي كَثِيرٍ مِنْ كُتُبِ الحَدِيثِ كَمَا قَرَّرَهُ الحَافِظُ ابْنُ الصَّلاحِ فِي المُقَدِّمَةِ ص [١٤٥].
Pertama:
Ummu Yunus, telah meriwayatkan pula darinya selain putranya, yaitu Al-Mu'allaa bin Al-A'lam seperti dalam Al-Jarh dan Al-Ta'deel [8/333], dan Al-Tarikh Al-Kabir [9/44], dan tidak disebutkan jarh atau ta'diil di dalamnya. Dengan demikian dia itu sesuai dengan syarat menurut Ibnu Hibban dalam kitab "ats-Tsiqoot", tetapi saya tidak menemukannya di dalamnya".
Maka dia itu kedudukannya مَسْتُورَةٌ; karena kedudukannya sebagai جَهَالَةُ العَيْنِ telah terangkat dengan adanya dua perawi, maka berubah menjadi جَهَالَةُ الحالِ.
Dan hadits mastuurah, meskipun dari para perawi yang telah jauh melewati generasi awal, maka itu dapat diterima.
Jika demikian, lalu bagaimana jika dia itu adalah salah seorang dari kalangan Tabi'iin, dan itu banyak diamalkan dalam kitab-kitab hadits, sebagaimana yang ditetapkan oleh Al-Hafidz Ibn Al-Sholah dalam "al-Muqoddimah" hal. 145.] (Selesai)
Lalu syeikh Mahmud berkata di footnote:
وَأَزِيدُ مِنْ هَـٰذَا أَنَّ الأَلْبَانِيَّ عِنْدَمَا يُرِيدُ أَنْ يَحْتَجَّ بِأَقَلِّ مِنْ أَمِّ يُونُسَ يَفْعَلُ، بَلْ وَيُصَرِّحُ بِقَبُولِ رِوَايَةِ المُسْتُورِينَ مِنَ التَّابِعِينَ.
فَيَقُولُ عَنْ رَاوٍ تَابِعِيٍّ مَا نَصُّهُ: "وَجُمَلَةُ القَوْلِ أَنَّ الرَّجُلَ مَسْتُورُ الحالِ، وَالنَّفْسُ تَطْمَئِنُّ لِلِاحْتِجَاجِ بِحَدِيثِ أَمْثَالِهِ مِنْ مُسْتُورِي التَّابِعِينَ، وَعَلَى ذَلِكَ جَرَى كَثِيرٌ مِنَ المُحَقِّقِينَ"، ا.ه. تَخْرِيجُ السُّنَّةِ لِابْنِ أَبِي عَاصِمٍ [١/٢١٤].
Saya menambahkan ini bahwa ketika Al-Albani ingin berhujjah dengan perawi yang kurang dari Umm Yunus derajatnya, maka dia melakukannya, dan bahkan menyatakan penerimaan riwayat para perawi yang mastuuriin dari kalangan Tabi'iin.
Maka beliau mengatakan tentang perawi Taabi'ii, yang berikut ini texs nya:
"وَجُمَلَةُ القَوْلِ أَنَّ الرَّجُلَ مَسْتُورُ الحالِ، وَالنَّفْسُ تَطْمَئِنُّ لِلِاحْتِجَاجِ بِحَدِيثِ أَمْثَالِهِ مِنْ مُسْتُورِي التَّابِعِينَ، وَعَلَى ذَلِكَ جَرَى كَثِيرٌ مِنَ المُحَقِّقِينَ."
Kesimpulannya: bahwa perawi tersebut kondisinya tertutup (مَسْتُورُ الحالِ), dan jiwa ini terasa tenang berhujjah dengan hadis semacam nya dari para Tabi'iin yang mastuuriin. Dan methode ini banyak para peneliti/muhaqqiq yang telah berjalan diatas nya.
Kedua:
احْتَجَّ الأئِمَّةُ الحُفَّاظُ الثِّقَاتُ مِمَّنْ صَنَّفُوا فِي الصَّحَابَةِ وَمَعَهُمُ البُخَارِيُّ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَغَيْرُهُمَا بِأَنَّ أَبَا صَفِيَّةَ مِنَ الصَّحَابَةِ، بَلْ وَمِنَ المُهَاجِرِينَ اعْتِمَادًا عَلَى طَرِيقِ أُمِّ يُونُسِ بْنِ عُبَيْدٍ. وَفِي كُلِّ الرِّوَايَاتِ ذُكِرَ الحَصَى أَوِ النَّوَى. وَهَـٰذَا أَكْثَرُ دَلِيلٍ، وَأَوْضَحُ بُرْهَانٍ عَلَى قَبُولِهِمْ رِوَايَةَ أُمِّ يُونُسٍ وَتَوْثِيقِهِمْ لَهَا.
وَمَمَّا يُؤَيِّدُ هَـٰذَا وَيُقَوِّيْهِ وَيُوَضِّحُهُ أَنَّ الحَافِظَ ذَكَرَ فِي مُقَدِّمَةِ الإِصَابَةِ [١/٤-٥] أَنَّهُ رَتَبَهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ، ثُمَّ قَالَ: "القِسْمُ الأوَّلُ: فِي مَنْ وَرَدَتْ صُحْبَتُهُ بِطَرِيقِ الرِّوَايَةِ عَنْهُ أَوْ عَنْ غَيْرِهِ، سَوَاءٌ كَانَتِ الطَّرِيقُ صَحِيحَةً أَوْ حَسَنَةً أَوْ ضَعِيفَةً، أَوْ وُقِعَ ذِكْرُهُ بِمَا يُدِلُّ عَلَى الصُّحْبَةِ بِأَيِّ طَرِيقٍ". ثُمَّ قَالَ: "وَأُمَيِّزُ ذَلِكَ فِي كُلِّ تَرْجَمَةٍ"، ا.ه.
وَتَرَاهُ فِي تَرْجَمَةِ أَبِي صَفِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَذْكُرُ صُحْبَتَهُ دُونَ تَمْيِيزٍ أَوْ تَعْقِيبٍ، مَا يُدِلُّ عَلَى أَنَّ الطَّرِيقَ عِندَهُ صَحِيحَةٌ أَوْ حَسَنَةٌ..
Para imam al-huffaadz al-Atersebutaat dari kalangan penulis taroojim (biografi) para sahabat, termasuk diantaranya al-Bukhari, Ibnu Abi Hatim, dan lainnya, mereka berhujjah bahwa Abu Shafiyyah adalah salah seorang sahabat, dan bahkan dari kalangan sahabat muhaajirin, berdasarkan pada jalur riwayat Ummu Yunus bin Ubaid.
Dalam semua riwayat disebutkan kata kerikil atau biji kurma. Ini adalah dalil yang paling jelas dan bukti yang paling gamblang tentang penerimaan mereka terhadap riwayat Ummu Yunus dan pentautsiqkan nya
Yang mendukung, menguatkan dan memperjelas hal ini adalah bahwa Al-Hafidz menyebutkan dalam Muqoddimah al-Ishoobah (1/4-5) bahwa ia menyusunnya menjadi empat bagian, kemudian dia berkata:
القِسْمُ الأوَّلُ: فِي مَنْ وَرَدَتْ صُحْبَتُهُ بِطَرِيقِ الرِّوَايَةِ عَنْهُ أَوْ عَنْ غَيْرِهِ، سَوَاءً كَانَتِ الطَّرِيقُ صَحِيحَةً أَوْ حَسَنَةً أَوْ ضَعِيفَةً، أَوْ وُقِعَ ذِكْرُهُ بِمَا يُدِلُّ عَلَى الصُّحْبَةِ بِأَيِّ طَرِيقٍ. ثُمَّ قَالَ: "وَأُمَيِّزُ ذَلِكَ فِي كُلِّ تَرْجَمَةٍ"، ا.ه.
Bagian pertama: Tentang orang yang terdapat keterangan sebagai sahabat melalui jalur riwayat dari nya atau dari jalur orang lain, baik jalur itu shahih, hasan atau dho’if. Atau dia disebutkan, dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa dia itu seorang sahabat dengan cara apa pun ". Kemudian dia berkata: "Saya membedakan ini dalam setiap biografi ". [Selesai].
Dan Anda bisa melihatnya dalam biografi Abu Shafiyyah ra, al-Hafidz menyebutkannya sebagai seoarang sahabat tanpa pembedaan atau tanpa komentar, yang menunjukkan bahwa jalur ini dalam pandangannya adalah Shahih atau Hasan.
PERHATIAN:
SYEIKH AL-ALBAANI rahimahullah menyatakan bahwa atsar Abu Shofiyyah itu ber illat, dan berikut ini texs nya:
فِي السَّنَدِ إِلَيْهِ أُمِّ يُونُسِ بْنِ عُبَيْدٍ، وَلَا ذِكْرَ لَهَا فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ التَّرَاجِمِ، ا.ه.
Dalam sanad kepadanya terdapat Umm Yunus bin Ubaid, dan tidak ada penyebutan bagi dirinya sama sekali dalam kitab-kitab at-taroojim/biografi. [Selesai]
BANTAHAN:
Syeikh Mahmud Said membantahnya dalam وُصُولُ التَّهَانِي dengan mengatakan:
وَهَـٰذَا خَطَأٌ مِنَ الأَلْبَانِيِّ فَإِنَّ أُمَّ يُونُسَ ذُكِرَتْ مِنْ قِبَلِ البُخَارِيِّ فِي التَّارِيخِ الكَبِيرِ [٩/٤٤] وَذُكِرَتْ مِنْ قِبَلِ مُسْلِمٍ فِي المُنْفَرِدَاتِ ص [١٩]. وَذُكِرَتْ مِنْ قِبَلِ ابْنِ أَبِي حَاتِمٍ فِي الجُرْحِ وَالتَّعْدِيلِ [٨/٣٣٣]. فَكَيْفَ يُقَالُ: لَا ذِكْرَ لَهَا فِي كُتُبِ التَّرَاجِمِ؟......
وَهُنَاكَ آثَارٌ أُخْرَى لَمْ أَذْكُرْهَا لِوُجُودِ الضَّعْفِ فِيهَا. وَانْظُرْ إِذَا شِئْتَ "المُصَنَّفَ" لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ [٢/٣٨٩] وَ"الْمِنْحَةَ" فِي "الحَاوِي" لِلسِّيُوطِيِّ [٢/٤]..
Ini adalah kesalahan dari syeikh Al-Albani rahimahullah, karena Umm Yunus disebutkan oleh Al-Bukhari dalam At-Taarikh Al-Kabiar [9/44], dan Muslim menyebutkannya dalam Al-Munfaridaat hal.19. Dan Ibnu Abi Hatim menyebutkannya dalam Al-Jarh dan Al-Ta'deel [8/333]. Maka bagaimana bisa dikatakan: Tidak disebutkan dalam kitab-kitab at-Taraajim/biografi?......
Ada atsar-atsar lain yang tidak saya sebutkan ; karena adanya kelemahan di dalamnya. Dan jika Anda mau, silahkan lihat “Al-Musannaf” karya Ibnu Abi Shaybah [2/389] dan “Al-Minhah” dalam "Al-Haawi" karya Al-Suyuti (2/4). [Selesai]
Lalu Syeikh Mahmud berkata:
وَكَانَ مِنْ عَادَةِ السَّلَفِ الإِكْثَارُ مِنَ التَّسْبِيحِ.
قَالَ الحَافِظُ السِّيُوطِيُّ فِي "المِنْحَةِ": وَذَكَرَ الحَافِظُ عَبْدُ الغَنِيِّ فِي "الكَمَالِ" فِي تَرْجَمَةِ أَبِي الدَّرْدَاءِ عُوَيْمِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّهُ كَانَ يُسَبِّحُ فِي اليَوْمِ مِائَةَ أَلْفِ تَسْبِيحَةٍ. وَذَكَرَ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ بْنِ شُبَيْبٍ قَالَ: كَانَ خَالِدُ بْنُ مِعْدَانٍ يُسَبِّحُ فِي اليَوْمِ أَرْبَعِينَ أَلْفَ تَسْبِيحَةٍ، ا.ه.
وَقَوْلُهُ: "فِي اليَوْمِ" يَدُلُّ عَلَى المُدَاوَمَةِ بِالْعَدَدِ المَذْكُورِ.
قَالَ السِّيُوطِيُّ: وَمِنَ المَعْلُومِ المُحَقَّقِ أَنَّ المِائَةَ أَلْفٍ، بَلْ وَالأَرْبَعِينَ أَلْفًا وَأَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ لَا يُحْصَرُ بِالْأَنَامِلِ، فَقَدْ صَحَّ بِذَلِكَ أَنَّهُمَا كَانَا يُعِدَّانِ بِآلَةٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، ا.ه.
وَأَخْرَجَ التُّرْمِذِيُّ فِي "الدُّعَاءِ" (١٢/٢٩٨ عَارِضَةً) عَنْ مُسْلِمِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: كَانَ عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ يُصَلِّي كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ رَكْعَةٍ، وَيُسَبِّحُ مِائَةَ أَلْفِ تَسْبِيحَةٍ..
Itu sudah menjadi kebiasaan para salaf memperbanyak bertasbiih.
Al-Hafidz Al-Suyuti berkata dalam Al-Minhah:
" Al-Hafidz Abdul-Ghani menyebutkan dalam "Al-Kamal" dalam biografi Abu Ad-Darda' 'Uwaimir, semoga Allah meridhoi dia: " bahwa dia biasa bertasbih seratus ribu tasbiih dalam satu hari.
Dan Disebutkan juga dari Salamah bin Syabiib, yang berkata: Dulu Khalid bin Ma'dan biasa bertasbih empat puluh ribu tasbih dalam sehari ". [Selesai]
Dan ucapannya: “Dalam sehari ” menunjukkan kesinambungan dengan angka tersebut.
Al-Suyuti berkata: " Telah diketahui dengan yakin bahwa seratus ribu, atau bahkan empat puluh ribu atau kurang dari itu, tidak bisa dihitung dengan jari jemari. Lagi pula telah shahih riwayat bahwa mereka berdua senatias menyiapkan alat. Wallaahu a'lam ".
Al-Tirmidzi meriwayatkan dalam ad-Du'aa' [عَارِضَةُ الأَحْوَذِيِّ (12/298)] dari Muslim bin Amr yang berkata:
كَانَ عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ يُصَلِّي كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ رَكْعَةٍ، وَيُسَبِّحُ مِائَةَ أَلْفِ تَسْبِيحَةٍ.
"Dulu Umair bin Hani biasa shalat seribu rakaat dalam setiap hari, dan bertasbih seratus ribu kali tasbih".
====
DALIL KE TUJUH:
HADITS YUSAIROH BINTI YASIIR رَضِيَ اللَّهُ عَنْها:
Dari Hani` bin Utsman dari ibunya Humaidhah binti Yasir dari neneknya yaitu Yusairah binti Yasir -dia adalah salah seorang dari para wanita yang ikut berhijrah- dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami:
عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ
"Hendaklah kalian bertasbih, bertahlil dan bertaqdis, dan hitunglah dengan jari jemari, karena hal itu akan dimintai pertanggung jawaban nya (terhadap apa yang ia lakukan) dan apa yang ia ucapkan. Dan janganlah kalian lalai, sehingga kalian melupakan rahmat (Allah)."
At-Tirmidzi berkata;
هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ هَانِئِ بْنِ عُثْمَانَ وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ هَانِئِ بْنِ عُثْمَانَ
"Hadits ini Ghariib, kami hanya mengetahuinya dari hadits Hani` bin Utsman, dan telah di riwayatkan pula oleh [Muhammad bin Rabi'ah] dari [Hani` bin Utsman]."
[HR. Turmudzi no. 3507, 3900, Abu Daud 2/615 no. 1501, Ahmad no. 27089 dan Ibnu Hibbaan no. 842.
Di Hasankan oleh an-Nawawi dlm "al-Adzkaar". al-Hafidz Ibnu Hajar dalam "نَتَائِجُ الأَفْكَار " (1/84-85) [lihat pula تَخْرِيجُ مِشْكَاةِ الْمَصَابِيحِ (2/439)]. Dihasankan pula oleh al-Albaani dalam Shahih Sunan Abi Daud no. 1501 dan Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij Sunan abi Daud 2/615 no. 1501 Bab: بَابُ التَّسْبِيحِ بِالْحَصَى.
Asy-Syaukaani dalam نَيْلُ الأَوْطَار 2/354 berkata:
وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ قَالَ: "رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ" زَادَ فِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ: "بِيَمِينِهِ".
وَقَدْ عَلَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ الْبَابِ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ، يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى.
وَالْحَدِيثَانِ الْآخَرَانِ يَدُلَّانِ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ؛ لِعَدَمِ الْفَارِقِ؛ لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَتَيْنِ عَلَى ذَلِكَ، وَعَدَمُ إنْكَارِهِ وَالْإِرْشَادُ إلَى مَا هُوَ أَفْضَلُ لَا يُنَافِي الْجَوَازَ، وقَدْ وَرَدَتْ بِذَلِكَ آثَارٌ فَفِي جُزْءِ هِلَالٍ الْحَفَّارِ
Abu Daud meriwayatkan, begitu juga Tirmidzi serta menghasankannya, juga an-Nasaa'i, dan al-Haakim serta menshahihkannya, dari Ibnu 'Amr رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, dia berkata:
"رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ"
"Saya melihat Rasulullah ﷺ menghitung tasbiih ".
Dalam riwayat Abu Daud dan lainnya terdapat tambahan: " dengan tangan kanannya."
Dan Rasulullah ﷺ memberikan alasan untuk itu dalam hadits bab ini, yaitu:
أَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ
" Bahwa jari jemari itu akan dimintai pertanggung jawaban terhadap (apa yang ia lakukan) dan apa yang ia ucapkan ".
Yakni ; jari jemari itu akan bersaksi tentang hal itu, sehingga cara bertasbih dengan hitungan jari jemari, itu lebih utama daripada dengan alat tasbih dan kerikil.
Dan dua hadits lainnya menunjukkan bahwa diperbolehkan menghitung tasbih dengan batu dan kerikil, begitu pula dengan subhah/alat menghitung tasbih ; karena tidak ada perbedaan; berdasarkan ketetapan Nabi ﷺ terhadap apa yang dilakukan oleh dua wanita.
Dan dengan tidak mengingkarinya dan membimbingnya kepada yang lebih afdhol ; maka ini menunjukan tidak ada larangan.
Dan telah ada atsar-atsar tentang hal itu, maka silahkan baca pada Juz هِلَالٍ الْحَفَّارِ ". [Selesai kutipan dari asy-Syaukaani].
Dan Syekh Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan dalam Majmu' al-Fatawa:
وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ؛ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ.
وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ، فَحَسَنٌ. وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ- مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ. وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى، وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ. وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ.
وَأَمَّا التَّسْبِيحُ بِمَا يُجْعَلُ فِي نِظَامٍ مِن الْخَرَزِ وَنَحْوِهِ، فَمِن النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَكْرَهْهُ. وَإِذَا أُحْسِنَتْ فِيهِ النِّيَّةُ؛ فَهُوَ حَسَنٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ.
وَأَمَّا اتِّخَاذُهُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ، أَوْ إظْهَارُهُ لِلنَّاسِ مِثْلُ تَعْلِيقِهِ فِي الْعُنُقِ، أَوْ جَعْلِهِ كَالسُّوَارِ فِي الْيَدِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ. فَهَذَا إمَّا رِيَاءٌ لِلنَّاسِ، أَوْ مَظِنَّةُ الْمُرَاءَاةِ وَمُشَابَهَةِ الْمُرَائِينَ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ: الْأَوَّلُ مُحَرَّمٌ، وَالثَّانِي أَقَلُّ أَحْوَالِهِ الْكَرَاهَةُ. اهـ. والله أعلم.
Sunnah hukumnya menghitung tasbih atau dzikir dengan jari, sebagaimana Nabi ﷺ berkata kepada para wanita:
سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ؛ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ.
"Hendaklah kalian bertasbih, dan hitunglah dengan jari jemari, karena hal itu akan dimintai pertanggung jawaban terhadap (apa yang ia lakukan) dan apa yang ia ucapkan."
Adapun menghitungnya dengan biji bijian kurma, kerikil dan sejenisnya, maka itu bagus/hasan. Dan ada dari kalangan para sahabat - semoga Allah meridhoi mereka - yang melakukan itu.
Dan sungguh Nabi ﷺ pernah melihat Ummul Mu'miniin bertasbih dengan kerikil, dan Nabi ﷺ mentaqrir terhadapnya (membiarkannya). Dan telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah biasa bertasbiah dengannya (kerikil).
Dan adapun alat tasbih dengan cara menyusun manik-manik dan sejenisnya, sebagian orang yang memakruhkannya, dan sebagian orang lagi tidak memakruhkannya. Tergantung niatnya, maka jika niatnya baik di dalamnya; maka itu adalah kebaikan bukan makruh.
Adapun jika menggunakannya tanpa ada kebutuhan (untuk bertasbih), atau untuk pamer kepada manusia, seperti menggantungkannya di leher, atau membuatnya seperti gelang di tangan ; maka ini adalah bisa jadi karena riya kepada manusia, atau bisa jadi karena menjadi penyabab yang mengantarkan pada Riya, serta ada kemiripan dengan orang-orang yang Riya karena tanpa adanya kebutuhan. Minimal hukumnya adalah makruh ". Wallahu a'alam. [Selesai].
Al-Laknawi setelah menyebutkan atsar Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dan atsar Fathimah binti al-Husein bin 'Ali bin Abi Thalib, lalu beliau mengatakan - seperti dalam: Majmu' al-Rasaa'il (1/13):
"فَهَذَانِ الأَثَرَانِ يُخْبِرَانِ بِجَوَازِ العَدِّ بِالْسُبْحَةِ المُتَدَاوَلَةِ، إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ خَيْطِ العُقْدَةِ؛ فَإِنَّ السُّبْحَةَ لَيْسَتْ حَقِيقَتُهَا إِلَّا أَنْ يُنْظَمَ قَدْرٌ مِنْ نَوَى، أَوْ قِطَعَاتِ العَظْمِ، أَوْ الخَشَبَةِ، أَوْ الحَجَرِ أَوْ الدُّرَرِ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ ـ فِي خَيْطٍ فَيَصِيرُ كَخَيْطٍ فِيهَا نَبْذٌ مِنَ العُقْدَةِ." ا.هـ.
"Dua Atsar ini menginformasikan akan bolehnya menghitumg dengan Subhah yang beredar di tengah kaum muslimin, karena tidak ada perbedaan antara subhah dan benang simpul ; karena sesungguhnya subhah itu bukanlah hakikat yang sebenarnta nya akan tetapi hanyalah susunan biji kurma yang ditentukan kadarnya, atau susunan potongan tulang, atau kayu, atau batu atau mutiara, atau sesuatu yang lain yang di susun pada benang, lalu ia berubah menjadi seperti seutas benang yang di dalamnya terdapat simpul-simpul dari ikatan ". [Selesai].
Penulis tambahkan:
Adapun yang di maksud dengan atsar Fatimah, yaitu:
Atsar yang diriwayatkan Ibnu Saad dalam: “Al-Thabaqaat” dari Fatimah binti Al-Hussein bin Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- (w. 110 H):
"أَنَّهَا كَانَتْ تُسَبِّحُ بِخَيْطٍ مَعْقُودٍ فِيهِ"
"Bahwa dia biasa bertasbih dengan benang yang disimpul di dalamnya. [Di sebutkan dalam نَيْلُ الأَوْطَار karya asy-Syaukaani 2/359].
Syeikh Bakr Abu Zaid dalam "السُّبْحَةُ آثَارُهَا وَحُكْمُهَا" hal. 63 berkata:
"وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ وَامْرَأَةٌ مَجْهُولَةٌ"
Di dalam sanadnya terdapat kelemahan, dan perempuan ini majhulah ".
=====
DALIL KE DELAPAN:
Ibnu Abi Shaybah berkata dalam: ((Musannaf No./7662)): Hamid bin Abdul Rahman memberi tahu kami, dari Hassan bin Musa Al Qaari, dari Talhah bin Abdullah, dari Zaadzaan, dia berkata:
"أَخَذْتُ مِنْ أُمِّ يَعْفُورٍ تَسَابِيحَ لَهَا، فَلَمَّا أَتَيْتُ عَلِيًّا عَلَّمَنِي فَقَالَ: يَا أَبَا عُمَرَ، ارْدُدْ عَلَى أُمِّ يَعْفُورٍ تَسَابِيحَ."
Aku mengambil alat bertasbih dari Ummu Ya'fuur, dan ketika aku datang kepada Ali, dia mengajariku dan berkata: " Wahai Abu Umar, kembalikanlah ke Ummu Ya'four alat tasbih itu".
Syeikh Adnan Abdullah Zuhar dlm artikelnya “التَّصْحِيحُ وَالتَّصْرِيحُ فِي أَحَادِيثِ السُّبْحَةِ” berkata:
وَعِلَّتُهُ: جَهَالَةُ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ. قَالَ الذَّهَبِيُّ فِي "الْمِيزَانِ"، بَعْدَ ذِكْرِ طَلْحَةَ بْنِ سُمَيْرَةَ وَطَلْحَةَ بْنِ صَالِحٍ، قَالَ: وَطَلْحَةُ عَنْ زَادَانَ، وَيُقَالُ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، هَـٰؤُلَاءِ مَجْهُولُونَ، اهْـ. وَكَذَٰلِكَ قَالَ أَبُو حَاتِمٍ كَمَا فِي "الجُرْحِ وَالتَّعْدِيلِ".
Kecacatan nya adalah ketidaktahuan/Jahaalah Talhah bin Ubaidullaah.
Adz-Dzahabi berkata dalam "Al-Mizan" setelah menyebut Talhah bin Samroh dan Talha bin Saleh, dia berkata:
" Dan Talhah dari Zaadzaan, Dikatakan Talhah bin Ubaidullah, ini tidak diketahui/majhul ". [Selesai].
Dan ini pula yang dikatakan Abu Hatim, seperti dalam “Al-Jarh dan At-Ta’diil”.
=====
DALIL KE SEMBILAN: LOGIKA
Kita sepakat, bahwa dzikir termasuk perkara ibadah. Akan tetapi, alat untuk menghitungnya, termasuk perkara duniawi. Seperti ruas-ruas jari yang dipakai oleh Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menghitung dzikir. Tidak akan ada yang berani untuk menyatakan, bahwa ruas-ruas jari adalah masalah ibadah.
Demikian pula biji tasbih. Ini hanyalah alat untuk menghitung dzikir-dzikir yang diucapkan oleh seseorang. Sama halnya dengan ruas-ruas jari. Jika biji tasbih hanyalah alat hitung dan termasuk perkara dunia, maka kita kembalikan hal ini kepada kaidah.
Para ulama’ telah menyatakan, bahwa asal perkara dunia itu adalah boleh, sampai ada dalil lain yang mengharamkannya. Mereka mengatakan:
"الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَرِدُ دَلِيلٌ آخَرُ يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِهَا"
“Hukum asal segala sesuatu (perkara dunia) adalah boleh, sampai datang dali lain yang menunjukkan akan keharamannya.”
Barang siapa yang mengharamkannya, maka hendaknya dia mendatangkan dalil yang shohih dan shorih (jelas) yang memalingkannya dari hukum mubah (boleh).
Kenapa orang yang dituntut untuk mendatangkan dalil bukan orang yang menetapkan bolehnya berdzikir dengan tasbih dan bukan orang yang mengharamkannya?
Karena orang yang menetapkannya telah berada di atas kaidah. Sedangkan orang yang melarangnya telah berjalan keluar dari kaidah. Sehingga seorang yang keluar darinya yang dituntut untuk mendatangkan dalil.
Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah dalam artikelnya "حُكْمُ السُّبْحَةِ" berkata:
فَإِنْ قَالُوا: هَذِهِ السُّبْحَةُ أَصْلُهَا مَأْخُوذٌ مِنَ النَّصَارَى وَالهِنْدُوسِ
قُلْتُ: هَـٰذَا لَا يُؤَثِّرُ فِي حُكْمِ الجَوَازِ؛ لِأَنَّ القَاعِدَةَ فِي التَّشَبُّهِ: أَنَّ الشَّيْءَ إِذَا تَحَوَّلَ وَصَارَ عَادَةً عِنْدَ المُسْلِمِينَ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ خَصَائِصِ الكُفَّارِ لَا يُعْدَ اسْتِخْدَامُهُ تَشَبُّهًا، بَلْ وَرَدَ فِي ذَلِكَ حَدِيثٌ حَسَنٌ كَمَا سَبَقَ وَلِهَـٰذَا أَفْتَى العُلَمَاءُ فِي الأَلْبِسَةِ الحَدِيثَةِ بِأَنَّهَا جَائِزَةٌ وَإِن كَانَ أَصْلُهَا مِنَ الكُفَّارِ؛ لِمَا ذُكِرَ مِنْ هَـٰذِهِ القَاعِدَةِ.
وَإِنْ قَالُوا: إِنَّ السُّبْحَةَ ذَرِيعَةٌ إِلَى الرِّيَاءِ
قِيلَ لَهُمْ: "إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى"، فَقَدْ يُرَاءِي النَّاسُ بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَفِي العَدِّ بِالأَصَابِعِ أَيْضًا، بَلْ وَحَتَّى فِي تَحْرِيكِ اللِّسَانِ، وَلَا يُخْتَصُّ الرِّيَاءُ بِالسُّبْحَةِ فَقَطْ حَتَّى يُجْعَلَ دَلِيلًا عَلَى إِنْكَارِهَا.
Jika Mereka berkata:
Subhah/Tasbih ini aslinya diambil dari Nasrani dan Hindu:
Aku Jawab:
Ini tidak mempengaruhi hukum kebolehan. Karena Qaidah dalam larang tasyaabuh itu adalah jika ada sesuatu yang berubah kemudian menjadi kebiasaan di kalangan umat Islam, dan sesutau tersebut bukan salah satu ciri khas orang kafir, maka penggunaannya itu tidak dianggap Tasyabbuh, bahkan yang demikian itu disebutkan dalam hadits yang hasan, seperti yang disebutkan di atas.
Itulah sebabnya para ulama mengeluarkan fatwa tentang pakaian modern atau kekinian, maka itu boleh, meskipun asalnya dari orang-orang kafir. Seperti yang disebutkan dalam Qaidah ini ".
Jika Mereka berkata:
Subhah/alat tasbih adalah dalih untuk pamer dan Riya.
Maka katakan kepada mereka:
"Sesungguhnya semua amalan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan."
Maka terkadang ada orang yang berbuat ria dengan selain dzikir dengan Tasbih dari amalan-amalan yang shalih. Dan begitu juga ada yang berbuat ria dalam menghitung dzikirannya dengan jari jemari. Bahkan berbuat riya dengan menggerakkan lisannya. Dengan demikian perbuatan ria itu tidak khushus dengan tasbih saja, maka tidak bisa di jadikan dalil untuk mengingkari dzikir dengan tasbih.
(Lihat حُكْمُ السُّبْحَةِ لِعَمْرُو العَدَوِي أَبُو حَبِيبَة, Kamis. 26 Januari 2017).
******
PENDAPAT KEDUA:
BERDZIKIR DENGAN ALAT TASBIH ITU BID'AH DAN HARAM
PERNYATAAN SYEIKH AL-ALBAANI & HUJJAH NYA
Syekh Muhammad Nasirudin Al-Albany rahimahullah dalam kitab As-Silsilah Ad-Dhaifah, 1/110 ketika metakhrij (menilai hadits):
((نِعْمَ المُذَكِّرُ السُّبْحَةُ))
‘Sebaik-baik pengingat adalah tasbih’
Beliau berkata:
ثُمَّ إِنَّ الحَدِيثَ مِنْ حَيْثُ مَعْنَاهُ بَاطِلٌ عِنْدِي لِأُمُورٍ:
الأوَّلُ: أَنَّ السُّبْحَةَ بِدْعَةٌ لَمْ تَكُنْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا حَدَثَتْ بَعْدَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَيْفَ يُعْقَلُ أَنْ يُحَضِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ عَلَى أَمْرٍ لَا يَعْرِفُونَهُ؟ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا ذَكَرْتُ مَا رَوَى ابْنُ وَضَّاحٍ فِي "البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا" عَنْ الصَّلِتِ بْنِ بِهْرَامٍ قَالَ: مَرَّ ابْنُ مَسْعُودٍ بِامْرَأَةٍ مَعَهَا تَسْبِيحٌ تُسَبِّحُ بِهِ فَقَطَعَهُ وَأَلْقَاهُ، ثُمَّ مَرَّ بِرَجُلٍ يُسَبِّحُ بِحَصَى فَضَرَبَهُ بِرِجْلِهِ ثُمَّ قَالَ: "لَقَدْ سَبَقْتُمْ، رَكِبْتُمْ بِدْعَةً ظُلْمًا، وَلَقَدْ غَلَبْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِلْمًا"، وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ إِلَى الصَّلِتِ، وَهُوَ ثِقَةٌ مِنْ أَتْبَاعِ التَّابِعِينَ.
الثَّانِي: أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِهَدْيِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِيَمِينِهِ.
Artinya:
"Kemudian hadits ini menurut saya dari segi artinya juga batil karena beberapa hal:
Pertama:
Bahwa tasbih itu bid’ah, tidak ada pada masa Nabi ﷺ. Timbulnya setelah masa beliau ﷺ.
Bagaimana beliau ﷺ menganjurkan kepada para shahabatnya urusan yang tidak diketahuinya? Dalil yang saya sebutkan adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Wadhooh dalam kitab ‘Al-Bidaa’ Wan Nahyu 'Anhaa:
عَنِ الصَّلْتِ بْنِ بَهْرَامٍ قَالَ: مَرَّ ابْنُ مَسْعُودٍ بِامْرَأَةٍ مَعَهَا تَسْبِيحٌ تُسَبِّحُ بِهِ فَقَطَعَهُ وَأَلْقَاهُ. ثُمَّ مَرَّ بِرَجُلٍ يُسَبِّحُ بِحَصَا فَضَرَبَ بِرِجْلِهِ ثُمَّ قَالَ: لَقَدْ سَبَقْتُمْ رَكِبْتُمْ بِدْعَةً ظُلْمًا، وَلَقَدْ غَلَبْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عِلْمًا
Dari As-Sholt bin Bahram, dia berkata: Ibnu Mas’ud melewati wanita membawa tasbih untuk bertasbih, maka beliau memutus dan melemparnya. Kemudian melewati lelaki yang bertasbih dengan kerikil, maka didepak dengan kakinya kemudian mengatakan:
‘Sungguh kamu telah melakukan bid'ah yang zalim, sungguh kalian telah mengalahkan ilmu para shahabat Nabi ﷺ.
Dan sanadnya shoheh sampai As-Solt beliau tsiqah (terpercaya) dari pengikut para tabiin.
Kedua:
Ia menyalahi ajaran Beliau ﷺ. Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu berkata:
"رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِيَمِينِهِ".
‘Saya melihat Rasulullah ﷺ menghitung tasbih dengan tangan tangannya.
Dan Beliau Syeikh al-Albaani juga berkata [1/117]:
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي السُّبْحَةِ إِلَّا سَيِّئَةٌ وَاحِدَةٌ وَهِيَ أَنَّهَا قَضَتْ عَلَى سُنَّةِ العَدِّ بِالأَصَابِعِ أَوْ كَادَتْ مَعَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى أَنَّهَا أَفْضَلُ لَكَفَى فَإِنِّي قَلَّمَا أَرَى شَيْخًا يُعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِالْأَنَامِلِ!
ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ قَدْ تَفَنَّنُوا فِي الاِبْتِدَاعِ بِهَذِهِ البِدْعَةِ، فَتَرَى بَعْضَ المُنْتَمِينَ إِلَى إِحْدَى الطُّرُقِ يَطَوِّقُ عُنُقَهُ بِالسُّبْحَةِ! وَبَعْضُهُمْ يُعِدُّ بِهَا وَهُوَ يُحَدِّثُكَ أَوْ يَسْتَمِعُ لِحَدِيثِكَ! وَآخِرُ مَا وَقَعَتْ عَيْنِي عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ مُنْذُ أَيَّامٍ أَنَّنِي رَأَيْتُ رَجُلًا عَلَى دَرَّاجَةٍ عَادِيَّةٍ يَسِيرُ بِهَا فِي بَعْضِ الطُّرُقِ المَزْدَحِمَةِ بِالنَّاسِ وَفِي إِحْدَى يَدَيْهِ سُبْحَةٌ! يَتَظَاهَرُونَ لِلنَّاسِ أَنَّهُمْ لَا يَغْفُلُونَ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَكَثِيرًا مَا تَكُونُ هَذِهِ البِدْعَةُ سَبَبًا لِإِضَاعَةِ مَا هُوَ وَاجِبٌ فَقَدِ اتَّفَقَ لِي مُرَارًا – وَكَذَا لِغَيْرِي – أَنَّنِي سَلَّمْتُ عَلَى أَحَدِهِمْ فَرَدَّ عَلَيَّ السَّلَامَ بِالتَّلْوِيحِ دُونَ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِالسَّلَامِ.
وَمَفَاسِدُ هَذِهِ البِدْعَةِ لَا تُحْصَى فَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الشَّاعِرُ:
وَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ *** وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ
وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
“Jika seandainya dalam tasbih itu hanya terdapat satu keburukan saja yaitu mematikan sunnah menghitung dengan jari jemari, atau hampir semua orang sepakat bahwa hal itu (menghitung dengan jemari) lebih utama, maka tersebut sudah cukup [bahwa itu dikatakan bid'ah].
Dan saya jarang melihat ada seorang syekh yang bertasbih dengan ruas jari jemari.
Kemudian orang-orang berkreasi membuat (tasbih) yang bid’ah ini. Anda melihat orang yang mengikuti salah satu kelompok tharekat-tharekat sufi melilitkan tasbihnya di leher. Sebagian lain menghitungnya padahal dia berbicara dengan anda atau mendengar pembicaraan anda.
Terakhir yang saya lihat beberapa hari lalu, saya melihat seseorang naik sepeda biasa berjalan di jalanan ramai dan disalah satu tangannya membawa tasbih. Seakan memperlihatkan kepada orang-orang bahwa hatinya tidak lalai mengingat Allah sekejappun.
Kebanyakan bid’ah ini menjadi sebab hilangnya sesuatu yang menjadi kewajiban. Sering saya dapatkan –begitu juga orang lain- ketika saya memberi salam kepada salah seorang di antara mereka, dia menjawab salam dengan isyarat tanpa mengucapkan salam. Kerusakan bid’ah ini tidak terhitung. Alangkah indahnya ungkapan seorang ahli syair
" Yang namanya kebaikan adalah mengikuti pedoman orang saleh terdahulu (salaf)
Dan keburukan adalah bid’ah orang yang datang kemudian (khalaf).
Wallahuta’ala a’lam.
BANTAHAN TERHADAPNYA :
Tentang Atsar Ibnu Mas’ud riwayat As-Sholt bin Bahram
Syeikh Mahmud Sa'iid Mamduh berkata:
Ada kesalahan-kesalahan yang harus diperhatikan. Di antaranya:
Dalam berbicara tentang pengingkaran Ibn Mas'ud, semoga Allah meridhoinya, terhadap orang-orang yang dia lihat menghitung kerikil.
Ketahuilah - semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan Anda untuk mengikuti kebenaran dan meninggalkan klaiman omong kosong - Yang benar bahwa pengingkaran ini tidak valid.
Dan saya akan menyebutkan Atsar yang jadi pegangan Syeikh Al-Albani, yang membuat orang-orang awam tergiur olehnya pada hal [96] dari kitabnya السَّلْسِلَةُ الضَّعِيفَةُ:
Ibnu Wadhooh al-Qurthubi berkata dalam kitab البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا hal. 12: Telah mengkabarkan kepada saya Asad dari jarir bin hazim dari Ash Shalat bin Bahram, berkata:
مَرَّ ابْنُ مَسْعُودٍ بِامْرَأَةٍ مَعَهَا تَسْبِيحٌ تُسَبِّحُ بِهِ فَقَطَعَهُ وَأَلْقَاهُ. ثُمَّ مَرَّ بِرَجُلٍ يُسَبِّحُ بِحَصَا فَضَرَبَ بِرِجْلِهِ ثُمَّ قَالَ: لَقَدْ سَبَقْتُمْ رَكِبْتُمْ بِدْعَةً ظُلْمًا، وَلَقَدْ غَلَبْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عِلْمًا
Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah/alat tasbih, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya.
Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian menendangnya dengan kakinya dan berkata:
" Kalian telah mendahului (Rasulullah ﷺ) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kalian merasa lebih berilmu dari para sahabatnya.
Sanad riwayat ini dho’if karena inqitha' [terputus] antara Ash Sholt bin Bahram dan Ibnu Mas’ud, [karena ibnu Mas'ud wafat di madinah thn 32 H Pen.] ; Karena Ibnu Bahram, meskipun dapat dipercaya, namun dia adalah dari kalangan Tabi'it Taabi'iin [sebagaimana dirajihkan oleh ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah. Karena Ash Shalat bin Bahram adalah Tabi' tabi'in, maka tidak mungkin ia mendapat riwayat dari shahabat yang akhir, apalagi dari ibnu mas'ud yang wafat pada masa khalifah Umar bin khathab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini sebagaimana diceritakan Ibnu Hajar dalam at-Tahdziib 4/432. Pen].
Telah diketahui dan telah menjadi ketetapan dalam ilmu Ushul: bahwa perbuatan para sahabat bukanlah hujjah yang sebanding dengan sunnah Rasulullah ﷺ.
Lalu bagaimana menurut Anda jika ternyata sekelompok besar para sahabat menyelisihinya, sebagaimana yang akan datang penjelasannya?
Bagaimana menurut Anda, jika ternyata perbuatan tersebut tidak shahih dari sahabat yang mulia ini, semoga Allah meridhoinya???
Dan yang sudah maklum juga bahwa perbuatan salah seorang sahabat bukanlah hujjah terhadap perbuatan sahabat yang lain. Wallahu A'lam.
PERKATAAN SYEIKH AL-ALBAANI LAINNYA :
Dan Al-Albani berkata dalam hal [96] tentang Atsar Ibnu Masoud:
" وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ إِلَى الصَّلِتِ "
“Dan sanadnya shahih sampai ke Al-Sholt.”
Bantahannya:
Artinya: bahwa di dalam sanadnya itu ada yang terputus, berarti Dho'if. Dan ditambah lagi disamping kelemahan sanadnya, juga terdapat nakaaroh dalam matannya.
Kemudian, bagaimana mungkin seorang Sahabat yang mulia dan mujtahid ini, semoga Allah meridhoinya, berlaku sewenang-wenang terhadap seoarang wanita ini, dan kemudian menendang salah seorang hamba Allah dengan kakinya? Apakah prilaku seperti ini sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah ﷺ?
Mengapa [syeikh al-Albaani] harus berhujjah dengan Atsar mauquf dho'if dalam hukum-hukum Syar'i, padahal itu tertolak dengan kesepakatan para ulama?
Adapun mengenai adanya sekelompok orang-orang Thareqat yang melilitkan tasbih di lehernya dll, maka itu diluar pembahasan kita.
"Sesungguhnya semua amalan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan."
Maka terkadang ada orang yang berbuat ria dengan selain dzikir dengan Tasbih dari amalan-amalan yang shalih. Dan begitu juga ada yang berbuat ria dalam menghitung dzikirannya dengan jari jemari. Bahkan berbuat riya dengan menggerakkan lisannya. Dengan demikian perbuatan ria itu tidak khushus dengan tasbih saja, maka tidak bisa di jadikan dalil untuk mengingkari dzikir dengan tasbih.
PERNYATAAN SYEIKH BAKR ABU ZAID DALAM MAKALAHNYA
"السُّبْحَةُ تَارِيخُهَا وَحُكْمُهَا"
Beliau menyatakan:
“Dari ulama yang terdahulu ataupun yang sekarang (kontemporer), yang pendapatnya bisa dijadikan sebagai hujjah, menunjukkan kesimpulan, bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang membolehkan menggunakan selain jari tangan untuk menghitung dzikir. Terhitung ada tiga hadits yang sering dijadikan dalil bolehnya menggunakan alat tasbih untuk menghitung dzikir”.
Lalu Syeikh Bakr Abu Zaid menyebutkan 3 hadits tersebut, yaitu:
Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah ﷺ):
“Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata:
تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ
Rasulullah ﷺ pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian kurma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.”
Rasulullah ﷺ bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?”
Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah:
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ
(Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu).”
[HR Tirmidzi, beliau berkata,”Hadist ini gharib. Saya tidak mengetahuinya, kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi.” Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib menyebutnya dhaif (lemah), begitu juga gurunya, Kinanah Maula Shafiyah didhaifkan oleh Al Adzdi].
Kedua: Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah ﷺ menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir).
Rasulullah ﷺ bersabda: ”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah):
"سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ"
(Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit),
" سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ"
(Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi),
"وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ "
(Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya),
"وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ "
(Maha Suci Allah sejumlah ciptaan-Nya sejumlah yang Dia menciptanya).
Dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu. الْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu. Dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.”
[HR Abu Daud, 4/366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits hasan gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a, 3/1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”].
Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata:
كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى
“Rasulullah ﷺ bertasbih dengan menggunakan kerikil.”
[HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang sering membuat hadits munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah, no.1002.]
Lalu Syeikh Bakr Abu Zaid berkata:
Jawaban dan bantahan terhadap ketiga riwayat di atas:
Hadits Abu Hurairah sudah disepakati kepalsuannya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadits Shafiyah dan riwayat Sa’id bin Abi Waqqash, seandainya dianggap shahih sanadnya dan bisa diterima, tetapi apakah kedua hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai tasbih untuk menghitung dzikir?.
Pada hadits Shafiyah, Rasulullah ﷺ mempertanyakan perbuatan Shafiyah yang mengumpulkan biji-bijian di tangannya.
Hal ini menunjukkan pengingkaran dari Rasulullah ﷺ, karena ia melakukan perbuatan yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain.
Itulah sebabnya, beliau ﷺ mengajarkannya sesuatu yang lebih baik, yaitu lafadz tasbih yang benar. Karena, jika tindakan Shafiyah yang mengumpulkan bijian itu benar, mestinya tidak akan diingkari, bahkan ia akan dimotivasi untuk melanjutkannya atau paling tidak dibiarkan tetap melakukannya.
Dengan demikian, sesungguhnya hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan dalil bolehnya menggunakan tasbih atau kerikil untuk menghitung dzikir.
Adapun hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang menyebutkan beliau melihat wanita yang memegang bijian untuk bertasbih, Rasulullah ﷺ menawarkan sesuatu yang lebih mudah, yang akan dijarkan kepadanya dan lebih afdhal. Lafadz “afdhal” atau “aisar” (lebih mudah), bukan berarti yang lainnya itu baik atau mudah juga.
Lalu Syeikh Bakr Abu Zaid berkata:
وَهَـٰذَا أُسْلُوبٌ عَرَبِيٌّ مَعْرُوفٌ تَأْتِي فِيهِ صِيغَةُ أَفْعَلَ عَلَى غَيْرِ بَابِهَا، كَمَا فِي قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى عَنْ نَعِيمٍ أَهْلِ الجَنَّةِ: ﴿ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلًا ﴾ [الفرقان/24].
فَإِنَّهُ مِنْ بَابِ اسْتِعْمَالِ أَفْعَلِ التَّفْضِيلِ فِيمَا لَيْسَ فِي الطَّرَفِ الآخَرِ مِنْهُ شَيْءٌ، لَأَنَّهُ لَا خَيْرَ فِي مَقِيلِ أَهْلِ النَّارِ، وَمُسْتَقَرِّهِمْ، كَقَوْلِهِ: ﴿ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴾
وَبِهَـٰذَا التَّقْرِيرِ لِمَعْنَى هَذَيْنِ الحَدِيثَيْنِ – عَلَى فَرْضِ صِحَّتِهِمَا – يَظْهَرُ بِجَلَاءٍ عَدَمُ صِحَّةِ استدلالِ مَنْ اسْتَدَلَّ بِهِمَا عَلَى جَوَازِ التَّسْبِيحِ بِالْحَصَى، أَوْ النَّوَى. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Ini adalah gaya bahasa Arab (usluub) yang ma'ruf di mana ada shiigoh أَفْعَل (yakni: yang lebih aktif atau lebih baik) di bab yang berbeda, seperti dalam firman Allah SWT tentang kebahagiaan penghuni surga.
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya”. [Al Furqon: 24].
Maka itu Sesungguhnya, penggunaan isim tafdhil (menunjukkan yang lebih baik) pada sesuatu yang tidak terdapat pada yang kedua. Karena tidak ada kebaikan pada ahli neraka dan tempat tinggalnya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.
ءَآاللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” [An Naml: 59].
Dengan ketetapan terhadap makna kedua hadits ini - dengan asumsi keshahihannya – maka menjadi jelas terang benderang akah ketidak shahihan istidlaal orang-orang yang berdalil dengan dua hadits tersebut akan bolehnya bertasbih dengan kerikikil dan biji kurma. Wallahu Alam.
BANTAHAN-NYA :
Bantahan Pertama :
Pertama:
Tentang hadits Ummul Mu'miniin Shofiyah dan Sa'ad Bin Abi Waqqaash رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما, telah di jawab di atas dengan panjang lebar. Ringkasnya sbb:
Adapun hadits Ummul Mu'miniin Shofiyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُا ;
Maka dishahihkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/547) dan di setujui oleh Imam adz-Dzahabi dalam Talkhish al-Mustadrak (1/547). Dan di shahihkan pula oleh Ali Al-Qaari dalam “Mirqoot Al-Mashaabih”.
Al-Hafidz Ibn Hajar menilainya sebagai hadits HASAN. [di kutip oleh Ibnu 'Allaan dalam kitabnya الْفُتُوْحَاتُ الرَّبَّانِيَّةُ عَلَى الأَذْكَارِ النَّوَوِيَّة 1/245].
Kedua:
Dan adapun hadits Sa'ad Bin Abi Waqqaash رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ;
Maka Imam at-Tirmidzi berkata: " Ini hadits Hasan ghorib ". Dishahihkan oleh al-Haakim dlm al-Mustadrak 1/547 dan di setujui oleh adz-Dzahabi.
Ibnu Hibbaan dalam " مَوَارِدُ الْظَّمَآن" hal. 579 berkata:
هَـٰذَا سَنَدٌ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ
(Ini Sanad Yang Shahih, bening tiada berdebu padanya).
Dan di Shahihkan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani. [Disebutkan dalam الْفُتُوْحَاتُ الرَّبَّانِيَّةُ 1/244 karya Muhammad bin 'Allaan].
Namun dalam نَتَائِجُ الأَفْكَار (1/81) al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: " Ini Hadits HASAN ".
Al-Mundziri berkata tentang sanad hadits ini dalam Al-Targhiib wa'l-Tarhiib 2/360:
" إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ أَوْ مَا قَارَبَهُمَا " انتهى.
"Sanadnya shahih atau hasan atau sesuatu yang mendekati keduanya ".
Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: “Hadits ini hasan lighoirihi. (Sunan Abi Daud, Tahqiiq Syu'aib al-Arna'uth 2/616 no. 1500).
Adapun Fiqih Hadits
Maka kesimpulan yang diambil dari dua hadits tersebut adalah sbb:
Pertama:
Bahwa itu hanya menunjukkan afdholiyyah/lebih utama dan lebih mudah menggunakan jari jemari, bukan larangan menggunakan kerikil dan biji kurma.
Kedua:
Taqrir (tidak adanya pengingkaran) dari Nabi ﷺ terhadap hal itu. Nabi ﷺ membiarkannya.
Beliau tidak melarangnya, misalnya dengan mengatkan: “Jangan berdzikir dengan biji kurma atau kerikil!".
Atau dengan mengatakan: “Tasbih termasuk tasyabbuh dengan orang kafir!”, atau yang semisalnya. Dan taqrir Rosulullah ﷺ adalah hujjah (dalil) dalam agama kita.
Sementara ulama yang mengharamkan dan membid'ahkan berdzikir dengan tasbih, mereka berhujjah bahwa itu ada tasyabbuh dengan para biksu BUDHA.
Ketiga:
Nabi ﷺ memberikan petunjuk dan solusi kepada sesuatu yang lebih utama, simple dan sederhana. Dan itu bukan berarti sesuatu yang sebelumnya diharamkan.
Jika nabi ﷺ mengarahkan wanita itu untuk mengucapkan dzikir yang beliau ajarkan, sebagai ganti dzikir dengan batu kerikilnya sebelum itu, bukan berarti dzikir wanita dengan batu kerikil sebelum itu tidak diperbolehkan. Karena ini hanya masalah afdholiyyah saja.
Bantahan kedua:
Tentang perkataan syeikh Bakr: " Ini adalah gaya bahasa Arab yang ma'ruf di mana ada shiigoh أَفْعَل (yakni: yang lebih aktif atau lebih baik) di bab yang berbeda.... dst ".
Dibantah oleh syekh Adnan Abdullah Zuhar dlm artikelnya
" “التَّصْحِيحُ وَالتَّصْرِيحُ فِي أَحَادِيثِ السُّبْحَةِ”، وَالرَّدُّ عَلَى الشَّيْخِ بَكْرٍ أَبُو زَيْدٍ"
Beliau berkata:
أَمَّا قَوْلُهُ: هَـٰذَا أُسْلُوبٌ عَرَبِيٌّ... الْخِ، فَنَقُولُ: أَهُوَ استِثْنَاءٌ أَمْ قَاعِدَةٌ؟ فَإِنْ قَالَ قَاعِدَةً، فَقَدْ أَتَى بِالْبِدْعَةِ الَّتِي مَا فَتِئَ يَذُمُّ فَاعِلِيهَا. وَإِنْ قَالَ استِثْنَاءً، قُلْنَا إِنَّ الاستِثْنَاءَ عَدُولٌ عَنْ الحَقِيقَةِ إِلَى المجَازِ فِي مِثْلِ هَذِهِ التَّعَابِيرِ... وَالمَجَازُ هُوَ إِطْلَاقُ اللَّفْظِ فِي غَيْرِ مَا وُضِعَ لَهُ لِقَرِينَةٍ مَانِعَةٍ مِنْ إِرَادَةِ اللَّفْظِ الحَقِيقِيِّ.
وَأَنْتَ تَرَى أَنَّ هَذَا الكَلَامَ الَّذِي خَرَجَ مِنَ الفَمِ الشَّرِيفِ لَا وُجُودَ فِيهِ لِقَرِينَةٍ تَدُلُّ عَلَى التَّجَوُّزِ فِي التَّعْبِيرِ. بَلِ القَرَائِنُ فِيهِ دَالَةٌ دَلَالَةَ الشَّمْسِ فِي وَاضِحَةِ النَّهَارِ أَنَّ الرَّسُولَ الأَكْرَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَصَدَ بِالأَفْضَلِيَّةِ مَعْنَاهَا الحَقِيقِيَّ لَا المجَازِيَّ، كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ جُمْهُورُ أَهْلِ العِلْمِ.
وَمِثَالُ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي "صَحِيحِهِ" وَالبُخَارِيُّ مُعَلَّقًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَفْضَلُ الكَلَامِ أَرْبَعٌ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ." فَيَأْتِي مِنْ يَأْخُذُ بِقَاعِدَةِ الشَّيْخِ فَيَجْعَلُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا دَخْلَ لَهَا فِي المَفْضُولِ، وَكَذَا حَسْبِيَ اللَّهُ وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَهَلُمَّ جَرًّا... وَاللَّهُ المُسْتَعَانُ.
Adapun ucapannya [Syeikh Bakr Abu Zaid]: " Ini adalah gaya bahasa Arab (Usluub)... dst ".
Maka kami katakan:
Apakah itu istitsnaa (pengecualian) atau sebuah Qaidah?
Jika dia mengatakan sebuah Qaidah, maka dia telah mendatangkan bid'ah yang tiada henti-hentinya mencela pelakunya.
Dan jika dia mengatakan bahwa itu istitsnaa (pengecualian), maka kami katakan bahwa pengecualian itu adalah pengalihan dari makna hakiki ke makna majazi (metafora/kiasan) dalam ungkapan-ungkapan seperti itu.....
Dan Majazi itu adalah menggunakan kata yang bukan pada tempatnya yang disebabkan adanya qoriinah yang mencegahnya dari penggunaan makna hakiki.
Dan Anda lihat bahwa ucapan yang keluar dari mulut orang yang terhormat ini [yakni Syeikh Bakr Abu Zaid] tidak ada apa-apanya (omong kosong) berdasarkan qoriinah yang menujukkan adanya kelebai-an dalam ungkapan.
Padahal, qoriinah-qoriinah di dalamnya menunjukkan dengan terang benderang seperti matahari di siang bolong yang cerah: bahwa afdholiyah (lebih utama) yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ di sisni adalah afdholiyah dalam makna hakiki, bukan makna majazi/kiasan, dan ini sesuai dengan madzhab Jumhur Ahli Ilmu ".
Konsekwensi pemahaman Syekh Bakr Abu Zayd tentang hadits ini akan mengantarkan orang -orang dengan sekehendak hatinya berani sembarangan terhadap firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasul-Nya, dengan menjadikan makna أَفْعَلُ التَّفْضِيلِ (kata lebih utama) berdasarkan makna penggunaan bahasa Arab yang di klaim olehnya [yakni Bakr Abu Zaid].
Contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya dan oleh al-Bukhari secara mu'allaq: bahwa Nabi ﷺ mengatakan:
"أَفْضَلُ الكَلَامِ أَرْبَعٌ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ."
“Ucapan yang paling baik adalah empat: Subhaanallah, Al-Hamdulillah., Laa ilaaha illallaah, dan Allah Akbar.
Dengan demikian bagi seseorang yang menggunakan Kaidah syekh Bakr Abu Zaid, maka dia akan menjadikan ucapan " Laa haula walaa quwwata Illaa Billah " tidak termasuk dalam ucapan yang diutamakan [bahkan dilarang. Pen], dan demikian juga ucapan: Hasbiyallaah, Astaghfirullah, dan seterusnya.. Wallaahul musta'aan.
====
FATWA SYEIKH ABDUL MUHSIN AL-'ABBAD AL-BADR
[Beliau orang tua Syeikh Abdurrozzaaq al-Badr. Dua-dua nya adalah guru penulis di Madinah]
Syeikh Abdul Muhsin al-'Abbaad al-Badr dalam kitabnya Syarh Sunan Abi Daud, 8/228) mengomentari kisah Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu yang mengingkari halaqah dzikir yang menghitung dzikir menggunakan batu-batu kecil:
وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ بِالْعَدِّ بِالْحَصَى، وَلَا بِغَيْرِ الحَصَى، وَإِنَّمَا الإِنسَانُ يَعُدُّ مَا وَرَدَ عَدُّهُ، مِثْلَ التَّسْبِيحِ بَعْدَ الصَّلَاةِ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَالتَّحْمِيدِ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَالتَّكْبِيرِ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَيَقُولُ عِنْدَ تَمَامِ المِائَةِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فَهَـٰذَا شَيْءٌ جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ، وَالإِنسَانُ يَعُدُّ بِأَصَابِعِهِ، وَلَكِنَّ كُونَ الإِنسَانِ يُسَبِّحُ بِحَصَى هَـٰذَا شَيْءٌ لَمْ يَأْتِ بِهِ السُّنَّةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلِهَـٰذَا قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا قَالَ، وَنَبَّهَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ هُمْ القُدْوَةُ وَهُمْ الأسْوَةُ وَهُمْ السَّابِقُونَ إِلَى كُلِّ خَيْرٍ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوا إِلَيْهِ.
“Tidaklah perhitungan dzikir itu menggunakan batu-batu kecil, tidak pula yang lain. Sesungguhnya manusia menghitungnya sebagaimana hitungan yang telah warid (datang) riwayatnya, seperti tasbih setelah shalat 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali, lalu melengkapinya hingga seratus dengan membaca:
‘Laa Ilaha Illallahu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir’.
Inilah dzikir yang ada pada sunah, dan manusia menghitungnya dengan jari jemarinya.
Tetapi perilaku menusia yang menghitungnya dengan batu-batu kecil, maka itu tidak ada dasarnya dari sunah Rasulullah ﷺ.
Oleh karena itu berkatalah Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud) sebagaimana yang telah dikatakannya. Seraya mengabarkan mereka: bahwa sahabat Nabi adalah teladan dan contoh, mereka adalah orang yang awal dalam setiap kebaikan, seandainya hal ini baik niscaya mereka sudah mendahuluinya.”
(Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 8/228)
Beliau juga menjelaskan di halaman lain, ketika mengomentari hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash:
وَالْحَدِيثُ ضَعِيفٌ غَيْرُ ثَابِتٍ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ مَجْهُولًا لَا يُعْرَفُ وَهُوَ خُزَيْمَةُ المَذْكُورُ فِي الإِسْنَادِ، فَالْحَدِيثُ غَيْرُ صَحِيحٍ، وَعَلَى هَـٰذَا فَلَا يَجُوزُ العَدُّ وَالتَّسْبِيحُ بِالْحَصَى وَلَا بِالنَّوَى، وَكَذَلِكَ لَيْسَ لِلإِنسَانِ التَّسْبِيحُ بِالْمُسَبِّحَةِ، فَأَقَلُّ أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُونَ خِلَافَ الأوْلَى، وَبَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ يَقُولُ: إِنَّهُ بِدْعَةٌ، فَالَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَبْعُدَ الإِنسَانُ عَنْهُ وَلَا يَفْعَلُهُ، وَإِنَّمَا يُسَبِّحُ بِالأَصَابِعِ؛ لِأَنَّهُ كَمَا جَاءَ فِي الحَدِيثِ: "فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ" كَمَا سَيَأْتِي، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَبِّحُ بِأَصَابِعِهِ، يَعْنِي: بِأَنْامِلِ يَمِينِهِ كَمَا سَيَأْتِي.
“Dan hadits ini dhaif, tidak kuat. Karena dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul, tidak dikenal, yakni bernama Khuzaimah yang tertera dalam sanadnya. Maka, hadits ini tidak shahih. Oleh karena itu tidak boleh manusia bertasbih dengan batu-batu kecil, bijji-bijian, demikian juga dengan subhah, minimal keadaan ini bertentangan dengan perbuatan yang pertama (yakni dengan jari jemari).
Sebagian ulama mengatakan: itu adalah bid’ah. Maka hendaknya manusia dijauhkan darinya dan tidak melakukannya. Sesungguhnya bertasbih itu hanyalah dengan jari jemari, sebagaimana hadits:
(Sesungguhnya jari jemari akan ditanya dan diajak bicara), sebagaimana penjelasan yang akan datang.
Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan jari-jemarinya, yaitu ujung jari bagian tangan kanan sebagaimana penjelasan selanjutnya.” (Ibid, 8/228)
JAWABANNYA:
Pertama: Tentang hadits Sa'ad bin Abi Waqqosh.
Sudah saya sebutkan di atas hadits Sa'ad bin Abi Waqqosh, bahwa hadits yang didhaifkan Syaikh Abdul Muhsin ini, adalah hadits yang dihasankan oleh Imam At Tirmidzi, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar, serta dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim, Imam As Suyuthi, dan disetujui oleh Imam Asy Syaukani.
Kedua: Tentang Atsar Ibnu Mas'ud dan pengingkrannya.
Syeikh Mahmud Sa'id Mamduuh berkomentar:
Bahwa dalam sanad Atasr Ibnu Mas'ud tersebut perawi Al-Hakam bin Al-Mubarak. Dia ini diperdebatkan.
Imam Bukhori meriwayatkan darinya hanya di kitab al-Adab al-Mufrod, dan tidak memasukkannya ke dalam Shahihnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Taqriib 1/192 berkata: Dia shoduuq terkadang ber ilusi/wahm ". [At-Tahdziib 2/438 dan at-Taqriib 1/192] –
Jika seandainya dianggap Shahih, maka yang ada dalam atsar Ibnu Ma'ud ini hanya pengingkaran terhadap penghitungan dzikir saja [tidak termasuk penggunaan Tasbih] ; karena ketika mereka berkata:
“Wahai Abu Abdur Rahman, kami menghitung takbir, tahlil dan tasbiih,” Ibnu Mas`ud hanya mengingkari hitungan tersebut dengan mengatakan: “Hitung lah dosa-dosa kalian…dst.”
Dia [Ibnu Mas'ud] diam tentang KERIKIL. Maka ini mengandung dalil yang jelas dan gamblang tentang kebolehan menggunakan kerikil dalam berdzikir menurut Ibnu Mas'ud.
Dan telah menjadi Madzhab Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa menghitung dzikiran itu Makruh hukumnya ".
Ibnu Abi Shaybah berkata dalam al-Musannaf: " Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A'mash, dari Ibrahim, dia berkata:
"كَانَ عَبْدُ اللَّهِ – يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ - يَكْرَهُ الْعَدَدَ ، وَيَقُولُ: " أَيَمُنُّ عَلَى اللَّهِ حَسَنَاتِهِ ".
Abdullah [ibnu Ma'ud] dulu membenci penghitungan, dan dia berkata: " Apakah dia hendak mengungkit-ungkit kebaikan-kebaikannya kepada Allah. (Sls). [Al-Mushonnaf: 391/2]
Sanadnya Shahih. [Selesai kutipan dari syeikh Mahmud]
******
DALIL-DALIL TAMBAHAN YANG MELARANG DZIKIR DENGAN TASBIH
SELAIN DALIL-DALIL YANG TELAH DISEBUTKAN DI ATAS DALAM MUNAQOSYAH
=====
DALIL PERTAMA:
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ
“Aku melihat Rasulullah ﷺ menghimpun tasbih.” Ibnu Qudamah mengatakan: “Dengan jari tangan kanannya.” (HR. Abu Daud No. 1502)
Imam An Nawawi mengatakan hasan. (Al Adzkar, Hal. 18, No. 28)
Syaikh Al-Albani Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini shahih. (Baca: Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1502). Dan syeikh al-Albaani menjelaskan tentang hadits ini:
فَهَـٰذَا هُوَ السُّنَّةُ فِي عَدِّ الذِّكْرِ المَشْرُوعِ عَدُّهُ، إِنَّمَا هُوَ بِالْيَدِ، وَبِالْيُمْنَى فَقَطْ، فَالْعَدُّ بِالْيُسْرَى أَوْ بِالْيَدَيْنِ مَعًا، أَوْ بِالْحَصَى كُلُّ ذَلِكَ خِلَافُ السُّنَّةِ، وَلَمْ يَصِحْ فِي العَدِّ بِالْحَصَى فَضْلًا عَنْ السُّبْحَةِ شَيْءٌ.
“Inilah sunah dalam hal menghitung dzikir yang disyariatkan, yaitu hanyalah dengan tangan, bagian kanan saja. Sedangkan menghitung dengan kiri atau dua tangan bersamaan, atau dengan batu-batu kecil, maka semua itu bertentangan dengan sunah. Tidak ada yang shahih satu pun tentang menghitung dzikir dengan batu-batu kecil yang tersusun seperti biji tasbih.” (As Silsilah Adh Dhaifah 3/47, No. 1002)
BANTAHAN:
Hadits ini tidak menunjukkan larangan bertasbih dengan selain jari jemari.
Imam At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi- mengatakan bahwa hadits-hadits tentang menghitung dzikir dengan kerikil atau biji-bijian adalah antara shahih dan hasan. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits Shofiyah.
====
DALIL KEDUA:
Diriwayatkan ibnu Wadhooh al-Qurtubi dalam kitab: البِدَعُ وَالنَّهْيُ عَنْهَا hal 12:
حَدَّثَنَا أَسَدٌ عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ عَنِ الصَّلْتِ بْنِ بَهْرَامٍ قَالَ: مَرَّ ابْنُ مَسْعُودٍ بِامْرَأَةٍ مَعَهَا تَسْبِيحٌ تُسَبِّحُ بِهِ فَقَطَعَهُ وَأَلْقَاهُ. ثُمَّ مَرَّ بِرَجُلٍ يُسَبِّحُ بِحَصَا فَضَرَبَ بِرِجْلِهِ ثُمَّ قَالَ: لَقَدْ سَبَقْتُمْ رَكِبْتُمْ بِدْعَةً ظُلْمًا، وَلَقَدْ غَلَبْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عِلْمًا
Telah mengkabarkan kepada saya Asad dari jarir bin hazim dari Ash Shalat bin Bahram, berkata:
Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah/alat tasbih, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya.
Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian menendangnya dengan kakinya dan berkata:
" Kalian telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kalian merasa lebih berilmu dari para sahabatnya.
-----
ANALISA ATSAR:
Sanad riwayat ini dhaif karena inqitha' [terputus] antara Ash Shalt bin Bahram dan Ibnu Mas’ud.
Karena ibnu Mas'ud wafat di madinah thn 32 H. Dan Ibnu Bahram, meskipun dapat dipercaya, namun dia adalah dari kalangan Tabi'it Taabi'iin, sebagaimana dirajihkan oleh ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah.
Karena Ash Shalat bin Bahram adalah Tabi' tabi'in, maka tidak mungkin ia mendapat riwayat dari shahabat yang akhir, apalagi dari ibnu mas'ud yang wafat pada masa khalifah Umar bin khathab RA. Hal ini sebagaimana diceritakan Ibnu Hajar dalam at-Tahdziib 4/432. Pen].
Dan atsar ini diriwayatkan pula oleh ibnu Wadhooh al-Qurthubi dari jalan Aban bin abi Ayyas. Aban bin abi Ayyas merupakan salah seorang Kadzab (pendusta).
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam jarh wat ta'dil 1/134:
قَالَ شُعْبَةُ: لَأَنْ أَرْتَكِبَ سَبْعِينَ كَبِيرَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُحْدِثَ عَنْ أَبَانِ بْنِ أَبِي عِيَاشٍ
Berkata syu'bah: Seandaimya aku melakukan dosa besar 70 kali maka lebih aku sukai daripada meriwayatkan dari Aban bin Abi Ayyas.
Dan berkata An-Nasai dalam Kitabnya: "Ad-Dhu'afa wal Matrukin hal.14:
أَبَانُ بْنُ أَبِي عِيَاشٍ مَتْرُوكُ الحَدِيثِ وَهُوَ أَبَانُ بْنُ فِيرُوزَ أَبُو إِسْمَاعِيلَ
"Aban bin abi Ayyas adalah Matruk [di tinggalkan hadistnya] ia adalah Aban bin fairuz abu ismail".
====
DALIL KE TIGA:
Dari Sa'iid bin Jubair, dia berkata: ((Umar bin Al-Khattab melihat seorang pria berdzikir dengan tasbih yang ada padanya, lalu Umar berkata:
إنما يجزيه من ذلك أن يقول: " سُبْحَانَ الله مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ ".
ويقول: الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
ويقول: اللهُ أَكْبَرُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Sebenarnya cukup baginya berdzikir [yakni satu kali] dengan mengucapkan:
" سُبْحَانَ الله مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ ".
Maha Suci Allah, [aku ucapkan sebanyak bilangan] sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelahnya.
الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
segala puji bagi Allah, [aku ucapkan sebanyak bilangan] sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelahnya.
اللهُ أَكْبَرُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Allahu Akbar, [aku ucapkan sebanyak bilangan] sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelahnya.
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Shaybah dalam: ((Al-Musannaf no. 7669)) Bab: ((Orang yang memakruhkan alat Tasbih)).
Derajat Atsar: Sanadnya terputus:
Syeikh Bakr Abu Zaid dalam السُّبْحَةُ تَارِيخُهَا وَحُكْمُهَا berkata:
وَرِوَايَةُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ المتَوَفَّى سَنَةَ 95 – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مُرْسَلَةٌ فَفِي الأَثَرِ انْقِطَاعٌ.
Dan riwayat Sa'idd Ibnu Jubayr, yang meninggal pada tahun 95 – semoga Allah merahmatinya – daro Umar – -radhiyallahu ‘anhu- – itu mursal, karena dalam sanad Atsar ini terdapat انْقِطَاعٌ (terputus).
CATATAN:
Lagi pula perkataan Umar -radhiyallahu ‘anhu- diatas tidak menunjukkan larangan bertasbih dengan selain jari jemari.
====
DALIL KE EMPAT:
Ibnu Abi Syaibah meriwayakan dalam al-Mushannaf no. 7657:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ القَطَّانُ، عَنْ التَّمِيمِيِّ، عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي كُلَيْبٍ، قَالَتْ: "رَآَتْنِي عَائِشَةُ أُسَبِّحُ بِتَسَابِيحَ مَعِي، فَقَالَتْ: أَيْنَ الشَّوَاهِدُ؟" يَعْنِي الأَصَابِعَ.
Yahya bin Sa'id Al-Qaththan memberi tahu kami, dari Al-Tamimi, dari Abu Tamimah, dari seorang wanita dari Bani Kulaib, yang berkata:
((Aisyah melihatku berdzikir dengan tasbih, dan dia berkata: Mana saksi-saksi mu?)) maksudnya jari jemari.
Derajat Atsar:
Syeikh Bakr Abu Zaid dalam السُّبْحَةُ تَارِيخُهَا وَحُكْمُهَا berkata:
رَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي: "المُصَنَّفِ" بِرَقْمِ (7657). وَفِي سَنَدِهِ جَهَالَةٌ
" Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaybah dalam: ((Musannaf No./7657)). Dan di dalam sanadnya terdapat jahaalah [perawi yang tidak diketahui] ".
====
DALIL KE LIMA: TASYABBUH DENGAN KRISTEN, HINDU, DAN BUDHA
Alat tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang. Syaikh Bakr Abu Dzaid menyebutkan:
" Bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia ".
Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157, ringkasannya sebagai berikut:
" Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.
Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan.
Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan. Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M.
Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya.
Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma.
Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan).
Begitu juga pada zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini.
Karena, Rasulullah ﷺ berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.
Ketika pada akhir masa tabi’in ada orang yang menghitung dzikirnya dengan kerikil atau biji kurma (tanpa dirangkai) ".
[Baca: Da’iratul Ma’arif Al Islamiyah, juz 11/233-234; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Muyassarah, 1/958; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Alamiyah, 23/157; Fatawa Rasyid Ridha, 3/435-436].
Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras
[Baca: Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli 1991), Cet. Ke5, hlm. 20.
Baca pula: dua kitab Ihsan Ilahi Dzahir, Mansya’ Wa Al Mashadir; telah diterjemahkan dengan judul Sejarah Hitam Tasawuf Latar Belakang Kesesatan Sufi, oleh Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2001), Cet.I. dan Dirasatun Fi At Tashawuf; telah diterjemahkan dengan judul Tasawuf, Bualan Kaum Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi? oleh Abu Ihsan Al Atsari, (Jakarta, Darul Haq, 2001), Cet. I.].
BANTAHAN-NYA :
Bantahan pertama :
Syeikh Umar al-'Adawiy Abu Habibah dlam artikelnya "حُكْمُ السُّبْحَةِ" berkata:
فَإِن قَالُوا: هَذِهِ السُّبْحَةُ أَصْلُهَا مَأْخُوذٌ مِنَ النَّصَارَى وَالهِنْدُوسِ،
قُلْتُ: هَـٰذَا لَا يُؤَثِّرُ فِي حُكْمِ الجَوَازِ؛ لِأَنَّ القَاعِدَةَ فِي التَّشَبُّهِ: أَنَّ الشَّيْءَ إِذَا تَحَوَّلَ وَصَارَ عَادَةً عِندَ المُسْلِمِينَ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ خُصُوصِيَّاتِ الكُفَّارِ فَلَا يُعْدُ اسْتِعْمَالُهُ تَشَبُّهًا، بَلْ وَرَدَ فِي ذَلِكَ حَدِيثٌ حَسَنٌ كَمَا سَبَقَ، وَلِهَـٰذَا أَفْتَى العُلَمَاءُ فِي الأَلْبِسَةِ الحَدِيثَةِ بِأَنَّهَا جَائِزَةٌ وَإِن كَانَ أَصْلُهَا مِنَ الكُفَّارِ؛ لِمَا ذُكِرَ مِنْ هَـٰذِهِ القَاعِدَةِ.
Jika Mereka berkata: Subhah/Tasbih ini aslinya diambil dari Nasrani dan Hindu:
Aku Jawab:
Ini tidak mempengaruhi hukum kebolehan. Karena Qaidah dalam larang tasyaabuh itu adalah jika ada sesuatu yang berubah kemudian menjadi kebiasaan di kalangan umat Islam, dan sesutau tersebut bukan salah satu ciri khas orang kafir, maka penggunaannya itu tidak dianggap Tasyabbuh, bahkan yang demikian itu disebutkan dalam hadits yang hasan, seperti yang disebutkan di atas.
Itulah sebabnya para ulama mengeluarkan fatwa tentang pakaian modern atau kekinian, maka itu boleh, meskipun asalnya dari orang-orang kafir. Seperti yang disebutkan dalam Qaidah ini ".
Bantahan ke dua :
Bantahan terhadap perkataan mereka: bahwa Tasbih itu mulai dikenal pada akhir masa tabi’in, yaitu ketika ada orang yang menghitung dzikirnya dengan kerikil atau biji kurma (tanpa dirangkai) ".
Bantahannya: yang benar adalah bahwa bedzikir dengan menggunkan kerikil dan biji kurma sudah ada sejak zaman Nabi ﷺ. Dan sudah ada pula yang menggunakan benang yang di simpul agar mudah terangkai. Seperti yang telah disebutkan di atas.
Diantaranya: Atsar Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيه أَلْفَا عُقْدَةٍ، فَلاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ
Bahwasannya dia [Abu Hurairah] memiliki seutas benang dengan dua ribu simpul padanya, maka dia tidak akan tidur sampai dia bertasbih dengannya [SANADNYA HASAN].
Bantahan ketiga:
Tasbih yang di gunakan para pendeta kristen, Hindu, Budha dan agama kafir lainya, terbuat dari bahan-bahan yang dikultuskan dan disucikan oleh mereka, seperti dari kayu GAHARU, CENDANA, KOKA dan yang semisalnya. Bahkan berhala-berhala yang mereka sembah seperti patung Budha banyak yang terbuat dari kayu Gaharu.
Sementara dalam umat Islam, tasbih yang mereka gunakan hanya sebagai sarana alat hitung. Bisa jadi tasbih umat Islam itu terbuat dari batu, benang, biji kurma, batu mutiara, kayu dan lainnya.
Di Arab Saudi, kayu gaharu [عُوْدٌ] dan minyak wanginya sangat disukai dan diutamakan oleh masyarakatnya untuk wewangian. Harganya pun sangat mahal terutama Gaharu yang berasal negara Budha Kamboja.
Di tempat thawaf sekitar Ka'bah pun biasa ada petugas yang berputar dengan membawa pedupaan yang berisi bakaran kayu gaharu. Namun niat dan tujuannya murni hanya sebatas untuk wewangian.
AL-HAMDULILLAH
Semoga bermanfaat
0 Komentar