Di tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===****===
MENAKAR KEKUATAN DALIL BOLEHNYA AMBIL UPAH BERDAKWAH DAN MENGAJAR ALQURAN
Mayoritas Para Fuqohaa telah sepakat
akan bolehnya menerima tunjangan dari BAITUL MAAL (Kas Negara) atas
pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang
semisalnya .
Namun ada sebagian para ulama dari kalangan para
sahabat dan Tabi'iin yang menolak tunjangan mengajar al-Quran
dan ilmu agama dari pemerintah, bahkan mereka
membencinya. Diantara mereka adalah : sahabat Abdullah bin Syaqiiq al-Anshari
(ra), Sahabat ‘Amr bin Nu’man (ra) dan ulama Tabi’i Abdurrahman bin Ma’qil
(rahimahullah)
Dari Abdullah bin Syaqiiq al-Anshori (ra) , berkata
:
"يُكْرَهُ أرْشُ
المُعَلِّمِ، فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانُوا يَكْرَهُونَهُ وَيَرَوْنَهُ شَدِيدًا"
“ Upah mengajar itu di benci , maka sesungguhnya
para sahabat Rosulullah SAW sangat membencinya , dan sangat keras melarangnya
“.
(Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 6/223
no. 884. Lihat juga al-Muhalla 7/20).
Dan di riwayatkan pula dari sahabat lainnya seperti
Ubadah dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu Hazem dlm kitabnya al-Muhalla 7/20 no.
1307 telah menyebutkan atsar yang banyak dari para sahabat (ra) .
Dan dari Abi Iyyaas , dia berkata :
كُنْتُ نَازِلاً
عَلَى عَمْرِو بْنِ النُّعْمَانِ فَأَتَاهُ رَسُولُ مُصْعَبِ ابْنِ الزُّبَيْرِ
حِينَ حَضَرَهُ رَمَضَانُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ : إِنَّ الأَمِيرَ
يُقْرِئُكَ السَّلامَ وَقَالَ إِنَّا لَمْ نَدَعْ قَارِئًا شَرِيفًا إِلا وَقَدْ
وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَّا مَعْرُوفٌ فَاسْتَعِنْ بِهَذَيْنِ عَلَى نَفَقَةِ شَهْرِكَ
هَذَا .فَقَالَ : ( أَقْرِئِ الأمِيرَ السَّلامَ وَقُلْ لَهُ
إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَرَأْنَا الْقُرْآنَ نُرِيدُ بِهِ الدُّنْيَا
وَدِرْهَمَهَا )
Dulu aku pernah singgah di rumah ‘Amr bin Nu’maan
(ra). Lalu datanglah kepadanya utusan Mush’ab bin Zubair ketika Bulan Ramadhan
tiba sambil membawa uang 2000 dirham , maka dia berkata :
“ Sesungguhnya gubernur kirim salam pada anda , dan dia berkata
: Sesungguhnya kami tidak akan membiarkan seorang qoori’ [guru al-Qur’an] yang
terhormat kecuali aku mengirim untuknya bantuan kebaikan , maka dengan uang
2000 dirhan ini semoga bisa membantu mu untuk nafkah satu bulan ini “.
Maka beliau menjawab : Sampaikan salamku kepada
Gubernur , dan tolong sampaikan pula padanya : Demi Allah sesungguhnya
kami membaca al-Qur’an bukan karena dunia dan dirhamnya . ( HR,
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 7/164 ).
Dan Ubeid bin al-Hasan , berkata :
قَسَمَ مُصْعَبُ
بْنُ الزُّبَيْرِ مَالاً فِي قُرَّاءِ أَهْلِ الْكُوفَةِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ
رَمَضَانَ فَبَعَثَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْقِلٍ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ
فَقَالَ لَهُ اسْتَعِنْ بِهَا فِي شَهْرِكَ هَذَا ، فَرَدَّهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مَعْقِلٍ وَقَالَ :{ لَمْ نَقْرَأِ الْقُرْآنَ لِهَذَا }
Mush’ab bin az-Zubeir bagi-bagi uang untuk para
Qoori’ [guru al-Qur’an] Ahli Kuufah ketika masuk bulan Romadhan , lalu dia
mengirim untuk Abdurrahman bin Mi’qool 2000 dirham , dan berkata kepadanya : “
Semoga dengan 2000 dirham ini bisa membantumu untuk satu bulan ini “. Maka
Abdurrahman bin Mi’qool menolaknya dan mengambalikannya , sambil berkata : “
Kami membaca al-Qur’an bukan untuk ini “. ( HR. Ad-Daarimii dalam Sunan
nya , di Muqoddimah , bab Shiyanatul ilmi 1/152 no. 574 )
PERHATIAN !:
Dalam artikel sebelumnya yang
berjudul "PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM UPAH MENGAJAR
"AL-QURAN" DAN "ILMU SYAR'I", penulis
menyebutkan ada 5 pendapat.
Akan tetapi dalam artikel ini penulis
hanya mau mengupas dan mengukur kekuatan dalil PENDAPAT KEEMPAT yang
mengatakan:
" Boleh dan halal secara mutlak bagi da'i dan pengajar
al-Qur'an atau ilmu agama mengambil upah, baik dari Baitul Maal maupun dari selainnya, termasuk
boleh mengambil upah dari orang-orang yang didakwahi atau diajari al-Quran
dan Ilmu agama. Baik Da'i atau Pengajar tersebut seorang yang berkecukupan
ekonominya ataupun orang yang fakir miskin ".
Apakah dalil-dalil pendapat ini layak untuk
diamalkan atau tidak ? Mengada-ada dan memaksakan diri untuk menghalalkan atau
tidak ?
Mari kita telusuri dan kita kaji !!! Dan berikut ini rincian pembahasannya :
PENDAPAT KE 4 : BOLEH & HALAL SECARA MUTLAK
YAKNI : BOLEH DAN HALAL MENGAMBIL UPAH BERDAKWAH,
MENGAJAR AL-QURAN DAN ILMU-ILMU SYAR'I LAINNYA. BAIK DA'I
ATAU PENGAJAR TERSEBUT SEORANG YANG BERKECUKUPAN EKONOMINYA ATAUPUN SEORANG
FAKIR MISKIN.
DALIL-DALILNYA adalah sebagai berikut:
*****
DALIL PERTAMA :
Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ ﷺ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ
أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ
سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ،
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا،
لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا
أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ
يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ
فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا
جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ
عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ
مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ
جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا،
فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ ﷺ فَنَذْكُرَ
لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ
قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ.
“Sebagian sahabat Nabi ﷺ pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah
perkampungan dari perkampungan-perkampungan Arab, lalu mereka meminta dijamu
oleh penduduk tersebut , tetapi mereka menolaknya,
lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan
binatang berbisa , kemudian penduduknya berusaha mengobatinya dengan segala
sesuatu tetapi tetap tidak ada faidahnya.
Kemudian sebagian mereka berkata, “Bagaimana
kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah itu (para sahabat).
Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?”
Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu
berkata, “Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan binatang
berbisa dan kami telah berusaha
mengobatinya dengan segala sesuatu, tetapi tidak ada manfaatnya . Maka apakah
salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?”
Lalu di antara sahabat ada yang berkata :
“Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi,
demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak mau
menjamu kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai
kalian mau menjajikan untuk kami JU’AL ( جُعْلاً = imbalan ).”
Maka mereka pun berdamai dan sepakat untuk
memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung
tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,”
(surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun
dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.
Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka
telah sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata : “Bagikanlah ! .”
Tetapi sahabat yang meruqyahnya berkata :
“Janganlah kalian melakukan-nya sampai kita mendatangi Nabi ﷺ lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita tunggu apa yang
Beliau perintahkan kepada kita.”
Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah ﷺ dan menyebutkan masalah itu.
Kemudian Beliau bersabda : “Dari mana kamu
tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?”
Kemudian Beliau bersabda : “Kamu telah
bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian
itu.” (HR. Bukhari no. 2115 , 2276 dan Muslim no. 2201)
**NOTE** : Bahwa
orang yang diruqyah dan dimintai JU’AL itu adalah orang Kafir . Berarti tujuan
JU’AL di sini murni sebagai upah kesembuhan, bukan dalam rangka belajar
mengajar al-Quran .
Dalam lafadz lain :
Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri
Radliyallahu ‘Anhu :
" أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ ﷺ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا
هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ
دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى
تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ
يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا
بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ ﷺ، فَسَأَلُوهُ
فَضَحِكَ وَقَالَ: " وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا
وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ ".
Artinya : “ Bahwa sekelompok sahabat
mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak
mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai
suatu ketika pemuka kabilah tersebut disengat binatang berbisa, lalu mereka
berkata :
‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang
yang bisa meruqyah?’
Para sahabat pun menjawab :
‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami,
kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian menjanjikan Ju’al (
imbalan ) pada kami.’
Lalu mereka pun menjanjikan untuk mereka
sekawanan kambing sebagai JU’AL ( imbalan ) , lalu seorang sahabat membaca
Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca:
melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah tsb , dan mereka memberikan kambing.
Para sahabat berkata : ‘Kami tidak akan
mengambilnya, hingga kami bertanya pada Rasulullah.’
Mereka pun menanyakan perihal kejadian
tersebut pada Rasulullah, maka Beliau ﷺ tertawa dan berkata:
‘Tahu kah kamu bahwa itu adalah Ruqyah ? Ambillah,
dan berilah bagian untukku’.”
(HR Bukhari no. 5295 , 5736 ).
****
DALIL KE DUA :
HADITS IBNU ‘ABBAAS radhiyallahu ‘anhuma:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ ﷺ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ فَعَرَضَ لَهُمْ
رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ
رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا
ذَلِكَ وَقَالُوا أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا حَتَّى قَدِمُوا
الْمَدِينَةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ
اللَّهِ
“ Bahwa beberapa sahabat Nabi ﷺ melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang
berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut
datang dan berkata;
"Adakah di antara kalian seseorang yang
pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang
yang tersengat binatang berbisa."
Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke
tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing.
Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh,
maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya.
Namun teman-temannya tidak suka dengan hal
itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah
mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini
mengambil upah atas kitabullah."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian
ambil adalah kitabullah." [ HR. Bukhori, 5405]
****
DALIL KE TIGA :
Dari Khorijah ibnu ash-Sholt,
dari pamannya – yaitu: ‘Alaqoh bin Shuhar radhiyallahu ‘anhu-:
"أَنَّهُ مَرَّ بِقَوْمٍ فَأَتَوْهُ
فَقَالُوا إِنَّكَ جِئْتَ مِنْ عِنْدِ هَذَا الرَّجُلِ بِخَيْرٍ فَارْقِ لَنَا
هَذَا الرَّجُلَ . فَأَتَوْهُ بِرَجُلٍ مَعْتُوهٍ فِي الْقُيُودِ فَرَقَاهُ
بِأُمِّ الْقُرْآنِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ غُدْوَةً وَعَشِيَّةً كُلَّمَا خَتَمَهَا
جَمَعَ بُزَاقَهُ ثُمَّ تَفَلَ فَكَأَنَّمَا أُنْشِطَ مِنْ عِقَالٍ ( أي حل من وثاق )
فَأَعْطُوهُ شَيْئًا فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَهُ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ
:
" كُلْ فَلَعَمْرِي لَمَنْ
أَكَلَ بِرُقْيَةٍ بَاطِلٍ لَقَدْ أَكَلْتَ بِرُقْيَةٍ حَقٍّ"
“Bahwasanya
beliau melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau seraya berkata:
“Engkau datang dengan
kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi ﷺ ), maka ruqyahlah untuk kami orang ini,”
Lalu mereka
mendatangkan orang yang gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu
dengan Ummul Qur’an selama tiga hari pagi dan sore. Setiap kali beliau
menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah beliau lalu meludahkannya
sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan.
Maka mereka memberi
beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi ﷺ , seraya menceritakan hal itu. Maka
beliau bersabdalah:
“Makanlah pemberian
itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh
engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (HR. Abu Dawud (3420)/shohih)).
Di shahihkan oleh
asy-Syaukani dalam نَيْلُ الأوْطَارِ (6/31) dan Syeikh al-Albaani dlm Shahih
Abu Daud no. 3896 .
SYARAH HADITS :
Mulla Ali Al Qoriy
rahimahullah berkata:
فِي قَوْلِهِ (لَمَنْ
أَكَلَ بِرُقْيَةِ بَاطِلٍ) جَوَابُ الْقَسَمِ أَيْ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَأْكُلُ بِرُقْيَةِ
بَاطِلٍ كَذِكْرِ الْكَوَاكِبِ وَالِاسْتِعَانَةِ بِهَا وَبِالْجِنِّ (لَقَدْ أَكَلْتَ
بِرُقْيَةِ حَقٍّ) بِذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَكَلَامِهِ وَإِنَّمَا حَلَفَ بِعُمْرِهِ
لَمَّا أَقْسَمَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ حَيْثُ قَالَ: {لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي
سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ} [الحجر: 72]
“Dalam sabda beliau: “ada
orang memakan (upah) dengan ruqyah yang batil” itu sebagai jawaban sumpah.
Yaitu: “Di antara
manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, seperti menyebut
bintang-bintang dan minta tolong pada jin.
“dan sungguh engkau
memakan ( upah ) dengan ruqyah yang haq (benar)”
yaitu: dengan menyebut
nama Allah SWT dan firman-Nya. Dan hanyalah beliau bersumpah dengan umur beliau
karena Allah SWT bersumpah dengan itu sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿ لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ ﴾.
“Demi umurmu (wahai Muhammad ), sungguh mereka itu terombang-ambing
berada di dalam kemabukan yang sangat.” [Baca : Mirqqootul Mafaatiih
5/1993. Cet. Dar al-Fikr, Bairut].
HUKUM FIKIH YANG DIAMBIL DARI HADITS-HADITS DIATAS :
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata :
“Maka sudah sahlah
bahwasanya memakan dengan hasil dari Al Qur’an adalah termasuk dalam kebenaran.
Dan dalam pengajarannya adalah kebenaran juga. Dan bahwasanya yang harom
hanyalah jika dia memakan dengan hasil Al Qur’an tadi dalam rangka riya, atau
karena selain Allah SWT.” (“Al Muhalla” : 8/815).
----
BANTAHAN – BANTAHAN NYA:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah - rahimahullah -
dalam bantahan beliau pada orang yang membolehkan mengambil upah dari sekedar
bacaan Al Qur’an, dia berkata:
نَعَمْ ثَبَتَ أَنَّهُ قَالَ: «أَحَقُّ
مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ». لَكِنَّهُ قَالَ هَذَا فِي حَدِيثِ
الرُّقْيَةِ. وَكَانَ الْقَوْمُ قَدْ جَعَلُوا لَهُمْ جُعْلًا عَلَى أَنْ يَرْقُوا
مَرِيضَهُمْ، فَتَعَافَى، فَكَانَ الجُعْلُ عَلَى عَافِيَتِهِ لَا عَلَى التَّلَاوَةِ.
فَقَالَ: «لَعَمْرِي مَنْ أَكَلَ بِرُقْيَةِ بَاطِلٍ لَقَدْ أَكَلْتُمْ بِرُقْيَةِ
حَقٍّ إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ».
[فَلِهَذَا] * فَسَّرَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ
الْحَدِيثَ بِهَذَا، لَا بِأَخْذِ الأَجْرِ عَلَى نَفْسِ التَّلَاوَةِ، فَإِنَّ هَذَا
لَا يَجُوزُ بِالْإِجْمَاعِ، وَفِي *الْمُعَلِّمِ نِزَاعٌ.
Artinya
: “Iya, telah ada ketetapan bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
« إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
كِتَابَ اللهِ »
“Sesungguhnya yang paling berhak
untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al-Bukhori no.
(5737)).
Akan tetapi beliau mengucapkan ini dalam
hadits ruqyah, karena dulu orang-orang menjadikan IMBALAN [جُعْل] untuk
para Shahabat tadi ; karena mereka membacakan ruqyah pada saudara mereka yang
sakit, sehingga dia sembuh.
Maka IMBALAN tadi adalah karena KESEMBUHANNYA
, bukan karena sekedar bacaan. Maka beliau bersabda:
«لَعَمْرِي لَمَنْ أَكَلَ بِرُقْيَةِ بَاطِلٍ
لَقَدْ أَكَلْتُمْ بِرُقْيَةِ حَقٍّ».
“Demi umurku, ada orang memakan dengan
ruqyah yang batil, dan sungguh kalian memakan dengan ruqyah yang benar.”
« إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
كِتَابَ اللهِ » .
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk
kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al-Bukhori no. (5737)).
Dengan upah ruqyah ini para ulama menafsirkan
hadits, bukan dengan mengambil upah karena semata-mata bacaan, karena
semata-mata bacaan itu tidak boleh mengambil upah, dengan ijma’. Adapun tentang
upah pengajar, maka ada perselisihan.” (“Ahaditsul Qishosh” karya Ibnu
Taimiyyah , hal. 91-92 no. 72).
Al-Imam Ibnu Qudamah - rahimahullah - berkata:
“Adapun mengambil upah dari ruqyah, maka
sungguh Ahmad memilih bolehnya hal itu, dan beliau berkata: “Tidak apa-apa.”
Dan beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id. Dan
perbedaan antara upah ruqyah dan perkara yang diperselisihkan (upah ta’lim dsb)
adalah: bahwasanya ruqyah itu sejenis pengobatan. Harta yang diambil karena
ruqyah tadi merupakan “ju’l” (imbalan).
Dan memang diperbolehkan mengambil upah dari
pengobatan.” (“Al-Mughni” karya Ibnu Quddaamah , 6/143).
JIKA ADA YANG BERKATA :
“Tiga puluh ekor kambing tadi bukanlah IMBALAN
atas kesembuhannya dengan sebab ruqyah, akan tapi Upah bacaan al-Fatihah.”
MAKA JAWABAN KITA - dengan taufiq Alloh semata
– ADALAH SBB :
Jawaban pertama :
Pensyaratan para Shahabat kepada penduduk
kampung tadi adalah: “Kalian tidak mau menjamu kami. Dan kami tidak akan
mengobati sampai kalian menjanjikan untuk kami JU’AL (imbalan) .”
Mungkin sebagai imbalan kesembuhan dengan
ruqyah, dan mungkin pula sebagai hak tamu “ضِيَافَة”. Akan tetapi tidak mungkin karena upah bacaan al-Fatihah .
Namun kemungkinannya sebagai IMBALAN ruqyah
itu lebih jelas dan lebih kuat karena mereka menyebutkan 30 ekor kambing
tadi sebagai “جُعْل” (imbalan).
Andaikata itu sebagai pemuliaan tamu, niscaya
mereka menamakannya dengan “نُزُوْل”
(hidangan orang yang singgah), atau “ضِيَافَة” (pemuliaan tamu), dan semisalnya.
Jawaban kedua:
Sesungguhnya 30 ekor kambing itu
terlalu besar untuk menjadi nuzul atau dhiyafah, apalagi upah baca “al-Fatihah”
, terutama bahwasanya penduduk kampung tadi telah menampakkan kepelitan dan
kekikiran mereka terhadap para Shahabat Rosululloh ﷺ .
Maka posisinya sebagai upah kesembuhan dengan sebab
ruqyah itu lebih jelas, dan jumlah kambing yang banyak tadi adalah sebagai
bentuk kegembiraan mereka karena sembuhnya pemimpin mereka yang tersengat
binatang berbisa , bukan karena mereka memuliakan para Shahabat Rosululloh ﷺ dan juga mustahil dikarenakan bacaan al-Fatihah . Apalagi masyarakat
perkampungan tsb nampaknya mereka itu bukan kaum muslimin .
Jawaban ketiga:
Sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan pada
kebiasaan Arab saat memuliakan tamu adalah: mereka itu memasak daging,
menghidangkan makanan yang sudah siap, dan semisalnya, bukannya memberikan
kambing hidup-hidup sehingga tetap saja para tamu mengalami kerepotan.
Maka tiga puluh ekor kambing tadi lebih jelas
menjadi IMBALAN kesembuhan dengan sebab RUQYAH daripada menjadi jamuan tamu “ضِيَافَة”, dan
mustahil menjadi upah baca al-Fatihah.
Wallahu a’lam bish showab.
****
DALIL KE EMPAT : HADITS MAHAR NIKAH DENGAN MENGAJAR AL-QURAN .
Mereka berdalil pula dengan Hadits **Mahar** seorang
sahabat yang menikahi seorang wanita dengan mengajarkan kepadanya hafalan
al-Quran .
“Dari Sahal bin Saad radhiallahu’anhu berkata
:
أَتَتْ النَّبِيَّ ﷺ امْرَأَةٌ
فَقَالَتْ : إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ ﷺ فَقَالَ :
مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ ، فَقَالَ رَجُلٌ : زَوِّجْنِيهَا قَالَ :
أَعْطِهَا ثَوْبًا ، قَالَ : لَا أَجِدُ قَالَ : أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ
حَدِيدٍ ، فَاعْتَلَّ لَهُ ، فَقَالَ : مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ؟ قَالَ :
كَذَا وَكَذَا قَالَ : فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ) .
“Ada seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untuk Allah
dan RasulNya.
Maka Nabi ﷺ, ‘Saya tidak membutuhkan wanita.
Ada seseorang berkata: “(Tolong) nikahkan dia
denganku!”.
Nabi ﷺ berkata : ‘Berikan dia baju ! “. (Orang
tadi) berkata, ‘Saya tidak mempunyai.’
Nabi ﷺ berkata : “ Berikan dia meskipun dengan
cincin dari besi !“.
Maka dia bersedih (karena tidak mendapatkannya).
Nabi ﷺ berkata : ‘Apakah anda mempunyai (hafalan)
Al-Qur’an?
Dia berkata, ‘( Saya hafal ) ini dan itu .’
Nabi ﷺ berkata : ‘Sungguh saya telah menikahkan
anda dengan dia dengan Al-Qur’an yang anda hafal .’ [ HR. Bukhori, 4741.
Muslim, 1425].
Makna kata “ فَاعْتَلَّ
لَهُ / Fa’talla lahu “ adalah sedih dan
menyesal atau sakit ; karena dia tidak mendapatkan untuk maharnya .
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Dalam haditst ini sebagai dalil diperbolehkan
memberikan mahar dengan mengajarkan AL-Qur’an dan diperbolehkan menyewa
seseorang untuk mengajarkan Al-Qur’an. Keduanya diperbolehkan menurut Syafi’i,
dan ini juga pendapat Atha’, Hasan bin Sholeh, Malik, Ishaq dan selain dari
mereka.
Sebagian kelompok para ulama melarangnya,
diantaranya adalah Az-Zuhri dan Abu Hanifah.
Hadits ini dan hadits yang shohih :
‘Sesungguhnya yang layak untuk anda ambil upahnya adalah Kitab Allah’ sebagai
bantahan bagi pendapat yang melarang akan hal itu.
Dinukilkan dari Al-Qoodhi ‘Iyaadh bahwa
diperbolehkan menyewa untuk mengajarkan AL-Qur’an dari seluruh ulama’ selain
Abu Hanifah. ( ‘Syarkh Muslim, 9/214, 215 )
----
BANTAHAN-BANTAHANNYA :
Bantahan
Pertama :
Dalam
hadits ini Nabi ﷺ mengizinkan
mahar nikah dengan mengajarkan hafalan al-Quran itu terjadi ketika sahabat tsb sudah
tidak ada pilihan lain sebagai mahar , meski cincin besi sekalipun .
Nampak
sekali dibolehkannya itu dalam kondisi yang sangat mendesak atau darurat . Oleh
karena itu tidak ada sahabat selain dia yang menikah dengan mahar mengajar
al-Qur'an , termasuk Nabi ﷺ .
Berikut ini mahar
Nabi ﷺ untuk masing-masing para istrinya :
Dari Abu Salamah Ibnu Abdurrahman
Radliyallaahu 'anhu berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ
اَلنَّبِيِّ ﷺ كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ ﷺ قَالَتْ : كَانَ صَدَاقُهُ
لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا قَالَتْ : أَتَدْرِي مَا
اَلنَّشُّ ? قَالَ : قُلْتُ : لَا قَالَتْ : نِصْفُ أُوقِيَّةٍ فَتِلْكَ
خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ , فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ ﷺ لِأَزْوَاجِهِ
Aku bertanya kepada 'Aisyah radhiyallahu ‘anha
: Berapakah maskawin Rasulullah ﷺ.
Ia berkata: Maskawin beliau kepada istrinya
ialah 12 uqiyyah dan nasy.
Ia bertanya: Tahukah engkau apa itu nasy? Ia berkata: Aku menjawab: Tidak.
'Aisyah berkata : " [ Nasy itu ] Setengah
uqiyyah, jadi semuanya 500 dirham. Inilah maskawin Rasulullah ﷺ kepada para istrinya. [ HR. Muslim no. 1426 ] .
Penjelasan nya :
Standar harga dirham pada zaman Nabi ﷺ adalah : 1 Dinar = 12 Dirham . Sementara 1 dinar = 4,25 gram emas murni
24 karat . Sekarang harga 1 gram emas 24 karat ± Rp. 900.000.
فَيَكُونُ مَجْمُوعُ مَهْرِ نِسَاءِ النَّبِيِّ
ﷺ الْبَالِغُ (٥٠٠) دِرْهَمٍ مَا يُعَادِلُ أَرْبَعِينَ دِينَارًا وَنِصْفًا
(٤١,٦) تَقْرِيبًا، وَهُوَ يُسَاوِي - مِنَ الْجِرَامَاتِ -: (١٧٦,٣٧٥) جِرَامًا.
Maka total mahar masing-masing istri-istri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berjumlah (500) dirham sama dengan
sekitar empat puluh satu setengah (41,6 ) dinar, yang jika di gram kan setara
dengan (176.375 ) gram emas .
Saya sebagai Penulis, berkata :
Maka jika sekarang harga emas murni 24 karat
Rp. 900.000 , berarti mahar yang Nabi ﷺ berikan pada para istrinya adalah :
176,375 gram x Rp. 900.000 = Rp. 158.737.500.
Sementara di negeri kita, ada sabagian para
kyai dan ustadz yang sering kawin cerai. Mereka saat akad nikah, cukup dengan
membaca Surat al-Ikhlash sebagai MAHAR-nya. Sambil meyebutkan hadits berikut
ini :
أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ
مَئُونَةً.
“Perempuan yang paling besar keberkahannya
adalah yang paling ringan bebannya”
Dan dalam lafaz lain:
إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ
مَئُونَةً.
“Sesungguhnya pernikahan yang paling besar
keberkahannya adalah yang paling ringan bebannya”.
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Musnad*-nya
(24529), An-Nasa’i dalam *As-Sunan Al-Kubra* (9229), Ibnu Abi Syaibah dalam
*Mushannaf*-nya (16384), Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* (2732), dan Abu Nu’aim
dalam *Hilyat Al-Awliya* (3/186).
Di hukumi dho’if sanadnya oleh al-Haitsami
dalam al-Majma’ 4/255 dan oleh al-Albaani dalam adh-Dhoifah no. 1117, tapi
dihukumi Jayyid oleh Zainuddin al-Iraqi dalam al-Mughni 1/386].
Dan dalam lafaz lain:
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ: تَيْسِيرَ
خِطْبَتِهَا، وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا، وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا.
"Sesungguhnya di antara tanda keberkahan
seorang perempuan adalah kemudahan dalam proses lamarannya, kemudahan dalam
maharnya, dan kemudahan rahimnya (dalam melahirkan)."
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Musnad*-nya
(24478), dan Ibnu Hibban sebagaimana dalam *Mawarid Azh-Zham’an* (1256)d ari
Aisyah radhiyallahu 'anha, secara marfu'.
Sanadnya dinilai Jayyid oleh As-Sakhawi dalam
*Al-Maqasid Al-Hasanah* (halaman 330) dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani
dalam *Irwa' Al-Ghalil* (6/238) nomor (1928)].
Mereka para tukang kawin yang bermahar baca
Qul-Hu berdalil dengan menyebutkan hadits-hadits ini untuk kepentingan dirinya,
tanpa melihat berapa mahar Nabi ﷺ yang paling terendah saat menikahi para istrinya (yaitu : 176,4
gram emas murni). Dan mereka tidak mau melihat dampak negatif kepada para kaum
wanita akibat perbuatan-nya.
Ini adalah pembodohan dan pelecehan dari
sebagian para kyai dan ustadz tukang kawin terhadap kaum wanita dan para orang
tua yang telah membesarkan. Bahkan itu dikhawatirkan merupakan penistaan
terhadap al-Quran.
Kemudian yang benar makna dalam hadits mahar
al-Quran tersebut adalah bukan membacakan, akan tetapi mengajarkan hafalan
al-Qur’an yang dimiliki oleh calon suami kepada calon istri dari ayat-ayat yang
belum dihafal olehnya . Lagi pula pada masa itu, hafalan ayat-ayat al-Quran itu
termasuk barang langka. Dan saat itu wahyu masih turun. Dan belum ada mushaf.
Bantahan
Kedua :
Al-Qur'an
jauh lebih mulia dari cincin besi . Bahkan jauh lebih mulia dari dunia seisinya
dan seluruh makhluk . Jika pada hukum asalnya diperbolehkan mahar dengan
mengajar al-Qur'an, tentunya Rosulullah ﷺ tidak repot-repot menyuruh sahabat tadi untuk mencari cincin
besi . Dan tentunya banyak sahabat yang menikah dengan mahar mengajar al-Qur'an
.
Justru
sebaliknya setelah Islam datang , mahar wanita melambung tinggi , sehingga Umar
bin Khaththab sempat mengeluh .
Dari Abu Al-'Ajfaa` As-Sulami [ أَبُو الْعَجْفَاءِ السُّلَمِيُّ ] , ia berkata;
سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
خَطَبَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَلَا لَا تُغَالُوا فِي
صُدُقِ النِّسَاءِ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ
تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَا أَصْدَقَ
امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أُصْدِقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ فَوْقَ
اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً أَلَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُغَالِي بِصَدَاقِ
امْرَأَتِهِ حَتَّى يَبْقَى لَهَا فِي نَفْسِهِ عَدَاوَةٌ حَتَّى يَقُولَ كَلِفْتُ
إِلَيْكِ عَلَقَ الْقِرْبَةِ أَوْ عَرَقَ الْقِرْبَةِ
Aku mendengar Umar bin Al Khathab berkhutbah,
ia memuji Allah, kemudian berkata;
"Ketahuilah, janganlah kalian berlebihan
dalam mahar wanita, apabila berlebihan dalam mahar merupakan bentuk kemuliaan
di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling pertama kali
melakukannya adalah Rasulullah ﷺ.
Tidaklah beliau memberikan mahar kepada
seorangpun dari para isterinya dan tidak seorangpun dari anak-anak wanitanya
yang diberi mahar di atas 12 'uqiyah [176,4 gram emas murni / ± 158
juta rupiah] .
Sungguh salah seorang diantara kalian
berlebihan dalam mahar isterinya, hingga tinggallah dalam dirinya permusuhan
kepada isterinya, sampai dirinya mengatakan;
"Aku telah menanggung segala sesuatu
hingga tali geriba, atau hingga berkeringat seperti geriba berkeringat."
[ HR. al-Tirmidzi (1114), an-Nasa'i (3349),
Ibn Majah (1887), dan Ahmad (340), dan Ad-Daarimi no. 2103 ] Lafadz nya lafadz
riwayat ad-Daarimi .
Di shahihkan oleh Ahmad Syaakir dalam Takhrij
al-Musnad no. 340 dan al-Albaani dalam Shahih Sunan an-Nasaa'i no. 3349 .
Bahkan Umar bin al-Khaththaab membayar mahar istrinya Ummu Kultsum binti Ali bin
Abi Talib sepuluh ribu dinar emas, seperti yang dikatakan sejarawan
Al-Ya'qubi dalam kitab Taarikhnya 2/150.
[NOTE: 10.000 Dinar /
42,5 kg emas murni = Rp. 38.250.000.000. Ini jika harga pergram
emas murni 24 karat 900 ribu rupiah. Karena 1 Dinar emas = 4,25 gram].
Namun di antara para sejarawan -
seperti Ibnu Qudamah - mengatakan bahwa Umar membayar empat puluh ribu dinar
dalam mas kawin ini.
[NOTE: 40.000 Dinar /
170 kg emas murni = Rp. 153.000.000.000. Ini jika harga pergram
emas murni 24 karat 900 ribu rupiah. Karena 1 Dinar emas = 4,25 gram].
Bantahan
Ketiga :
Hadits
kisah mahar dengan mengajar al-Quran ini adalah kejadian yang langka , karena
setelah itu sepengetahuan penulis tidak ada sahabat lain yang menikah dengan
mahar mengajarkan hafalan al-Quran pada istrinya .
Ada
sebuah kaidah fiqih mengatakan :
"الحُكْمُ عَلَى
الأَغْلَبِ وَالنَّادِرُ لَا حُكْمَ لَهُ"
Artinya : Hukum itu berdasarkan pada yang umum atau kebanyakan , adapun
yang jarang terjadi , maka itu tidak bisa dijadikan standar hukum “.
Abu Bakar al-Jashshoosh dalam kitabnya “أَحْكَامُ الْقُرْآن” 1/78
( Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah . Tahqiq Abdus Salam Syahiin ) :
" أَلَا تَرَى
أَنَّ الْحُكْمَ فِي كُلِّ مَنْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ
يَتَعَلَّقُ بِالْأَعَمِّ الْأَكْثَرِ دُونِ الْأَخَصِّ الْأَقَلِّ ".اهـ
“
Tidak kah kau lihat bahwa hukum berlaku dalam setiap orang yang tinggal di Dar
al-Islam dan Dar al-Harb bergantung kepada yang lebih umum yang mayoritas ,
bukan kepada yang lebih khusus yang minoritas “.
Ibnu Muflih ulama madzhab Hanbali berkata dalam kitabnya “المُبْدِعُ شَرْحُ المُقْنِعِ” 3/254 ( Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah . Tahqiq
Muhammad Hasan ay-Syafi’i ) :
"الأَكْثَرُ يَقُومُ
مَقَامَ الْكُلِّ، بِخِلَافِ الْيَسِيرِ، فَإِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ".
اَهْـ
Artinya : Mayoritas itu menduduki kedudukan keseluruhan , berbeda dengan
yang sedikit , maka yang sedikit itu di hukumi tidak ada “.
*****
DALIL KE LIMA
:
Dalam hadits Ruqyah riwayat Ibnu Abbas di atas
, Rosululullah ﷺ bersabda :
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
"Sesungguhnya upah yang paling berhak
kalian ambil adalah kitabullah." [ HR. Bukhori, 5405]
HUKUM YANG BISA DIAMBIL :
Dalam sabda Nabi ﷺ kata-kata nya umum , maka secara umum
boleh mengambil upah dari jasa membaca atau mengajar al-Qur'an . Meskipun sebab
wurud dan kejadiannya itu khushus berkaitan dengan Ruqyah . Karena berdasarkan
Qaidah yang menyatakan :
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ
بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
"Yang dijadikan pegangan ialah
keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab”
----
BANTAHAN-BANTAHANNYA :
Bantahan Pertama :
Bahwa keumuman yang dimaksud dalam lafadz
hadits ini adalah berkenaan dengan semua jenis bacaan ruqyah selama tidak ada
unsur kesyirikan . Ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Auf bin Malik
Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ: اعْرِضُوا
عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
“Kami dahulu meruqyah pada zaman jahiliyah
dan kami bertanya, Wahai Rasulullah bagaimana pendapat anda akan hal itu? Maka
beliau bersabda:
“Perlihatkan kepadaku ruqyah kamu semua, tidak
mengapa ruqyah selagi tidak berisi kesyirikan”. [ HR. Imam Muslim no. (2200) ]
Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya **ruqyah**
selagi tidak mengandung unsur kesyirikan atau menuju kepada kesyirikan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’
(10/195) berkata :
"وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ
الرُّقَى عِندَ اجْتِمَاعِ ثَلاثَةِ شُرُوطٍ: أَنْ يَكُونَ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى
أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ، وَبِاللِّسَانِ الْعَرَبِيِّ أَوْ بِمَا يُعْرَفُ
مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِهِ، وَأَنْ يُعْتَقَدَ أَنْ الرُّقْيَةَ لَا تُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا،
بَلْ بِذَاتِ اللَّهِ تَعَالَى، وَاخْتَلَفُوا فِي كَوْنِهَا شَرْطًا؟ وَالرَّاجِحُ
أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ اعْتِبَارِ الشُّرُوطِ ذَاتِهِ" اِنْتَهَى. .
“Para ulama mensyaratkan diperbolehkannya
ruqyah dengan tiga syarat yang diambil dari nash-nash hadits Nabawi. Para ulama
sepakat (Ijma’) diperbolehkannya ruqyah ketika terkumpul tiga syarat :
1. Hendaknya dengan kalamullah ta’ala atau
nama-nama dan sifat-Nya.
2. Dengan memakai Bahasa Arab atau Bahasa lain
yang difahami artinya.
3. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berdampak
dengan sendirinya akan tetapi dengan dzat Allah ta’ala.
Mereka berbeda pendapat apakah itu dijadikan
sebagai syarat ?. Dan yang kuat adalah harus dijadikan sebagai syarat yang
disebutkan tadi. [ Selesai kutipan dari Ibnu Hajar ].
Bantahan Kedua :
Adapun upah baca al-Qur'an atau mengajarnya ,
telah banyak hadits shahih yang jelas-jelas melarangnya . Maka jika dibawakan kepada
makna umum , akan terjadi kontradiksi .
Syeikh al-Utsaimin berkata :
إِنَّ الْقَاعِدَةَ إِنَّمَا يَكُونُ
إِعْمَالُهَا صَحِيحًا إِذَا لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى ذَلِكَ تَعَارُضٌ مَعَ نُصُوصٍ
أُخْرَى، فَإِنْ حَصَلَ التَّعَارُضُ عِندَ حَمْلِنَا لِلنَّصِّ عَلَى الْعُمُومِ مَعَ
نُصُوصٍ أُخْرَى حُمِلَ النَّصُّ الشَّرْعِيُّ حِينَئِذٍ عَلَى خُصُوصِ السَّبَبِ الَّذِي
نَزَلَ فِيهِ لَا عَلَى عُمُومِ اللَّفْظِ دَفْعًا لِلتَّعَارُضِ.
Qaidah tersebut hanya berlaku jika tidak
menimbulkan kontradiksi dengan nash-nash lain.
Jika terjadi kontradiksi ketika kita
menafsirkan nash tsb secara umum dengan nash-nash lainnya, maka nash syar'i tsb
harus dibawa kepada sebab yang khusus mengapa nash itu diturunkan , jangan
dibawa ke lafadz umum , yang demikian itu agar terhidar dari kontradiksi
[ Di kutip dari لِقَاءَاتُ
الْبَابِ الْمَفْتُوح Syeikh al-Utsaimin 118 /
Soal 4 ].
Maka dengan demikan keumuman lafadz hadits tsb
di takhshish oleh hadits-hadits yang melarang upah dari selain ruqyah.
Lagi pula dalam meruqyah pun , si peruqyah
tidak berhak mendapatkan imbalan [ جُعْل ] selama orang yang diruqyahnya itu belum mendapat kesembuhan ,
meskipun si peruqyah nya telah mengkhatamkan al-Quran dalam bacaan ruqyahnya
atau telah membaca surat al-Fatihah 100 kali .
Karena Ruqyah itu masuk dalam katagori akad
Ji'alah atau Sayembara . Umpamanya seorang Jaa'il [ orang yang menjajikan
imbalan ] berkata : " Barang siapa yang bisa menyembuhkan saya dari
penyakit ini , maka baginya akan mendapatkan 100 ekor kambing itu ".
Bantahan ke tiga :
Ada firman Allah ﷺ yang lafadznya umum , tapi di fahami oleh
para ulama bahwa maknanya khushus , yaitu firman Allah SWT :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ
فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka kalian dengarkanlah
baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. [ QS.
Al-A'raf : 402 ]
Imam Ahmad berkata :
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ هَذَا فِي الصَّلَاةِ،
يَعْنِي: إِذَا كَانَ الْمَأْمُومُ خَلْفَ الْإِمَامِ، أَمَّا الْإِنسَانُ يَقْرَأُ
إِلَى جَنْبِكَ وَأَنْتَ مَشْغُولٌ بِذِكْرِكَ الْخَاصِّ، فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْكَ
الإِنْصَاتُ... اَهْـ
Mereka ber Ijma' bahwa ini dalam shalat, artinya:
ketika seorang makmum di belakang imam. Adapun orang yang membaca al-Qur'an di
samping Anda , dan Anda sibuk dengan dzikir pribadi Anda, maka Anda tidak wajib
diam untuk mendengarkan nya ...
[ Di kutip dari لِقَاءَاتُ
الْبَابِ الْمَفْتُوح Syeikh al-Utsaimin 118 /
Soal 4 ].
Bantahan keempat :
Dalam
hadits Ruqyah , sahabat yang meruqyah tsb mendapat imbalan sekawanan kambing
yang jumlahnya 30 ekor . Dan ada riwayat lain lebih dari itu .
Maka
30 ekor kambing tadi lebih layak menjadi upah jasa kesembuhan dengan sebab ruqyahnya daripada upah sekedar membaca al-Fatihah satu
kali .
Wallaahu a'lam
===****===
SYAIR IBNU AL-MUBARAK TENTANG CELAAN JUALAN AGAMA
Nasihat Al-Imam Ibnu al-Mubarok rahimahullah
(wafat 181 H) kepada Ibnu ‘Ulayyah rahimahullah:
يَا جَاعِلَ الْعِلْمِ لَهُ بَازِيًا
*
يَصْطَادُ أَمْوَالَ الْمَسَاكِينِ
احْتَلَّتْ لِلدُّنْيَا وَلَذَاتِهَا *
بِحِيْلَةٍ تَذْهَبُ بِالدِّيْنِ
فَصِرْتَ مَجْنُوْنًا بِهَا بَعْدَمَا *
كُنْتَ دَوَاءً لِلْمَجَانِيْنَ
أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِيْمَا مَضَى *
عَنْ ابْنِ عَوُنَ وَابْنِ
سِيْرِيْنَ وَدَرْسِكَ الْعِلْمِ بِآثَارِهِ *
فِي تَرْكِ أَبْوَابِ السُّلاَطِيْنَ
تَقُوْلُ: أُكْرِهْتُ، فَمَاذَا كَذَا *
زَلَّ حِمَارُ الْعِلْمِ فِي
الطِّيْنِ لَا تَبْعَ الدِّيْنَ بِالدُّنْيَا كَمَا *
يَفْعَلُ ضَلَالُ الرُّهَابِيْنَ
“Wahai
orang yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan untuk menjaring harta
orang-orang miskin,
diambil
demi dunia dan kesenangannya.
Dengan
tipu daya engkau menghilangkan agama,
lalu
engkau menjadi orang yang gila setelah dulunya engkau adalah obat bagi
orang-orang gila.
Di
manakah riwayat-riwayatmu yang lampau dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin.
Dan
manakah ilmu yang kamu pelajari dengan atsar-atsarnya yang berisi anjuran untuk
meninggalkan pintu-pintu penguasa? Kamu berkata: “Aku terpaksa.” Lalu apa?
Demikianlah
keledai ilmu tergelincir di tanah liat yang basah.
Janganlah
kamu jual agama dengan dunia sebagaimana perbuatan para rahib yang sesat.”
(“Siyar A’lamin Nubala”/9/110).
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
0 Komentar