Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM WANITA HAMIL MELIHAT DARAH HAIDH

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

*****

بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum wanita hamil melihat darah haidh

Para ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil melihat darah haidh. Ada dua pendapat yang masyhur:

PENDAPAT PERTAMA

Bahwa jika seorang wanita hamil melihat darah, maka itu adalah haidh. Karena wanita hamil itu kadang ada juga yang keluar darah haidh. Dengan demikian ketika dia melihat darah haidh; maka dia tidak boleh melaksanakan sholat dan puasa Romadhan.

Ini adalah pandangan Maliki, Syafi'i, dan riwayat dari Ahmad, dan dengan itu sekelompok para ulama salaf berpendapat, Di antara meraka adalah: Aisyah, Al-Zuhri, Qatadah, Rabi'ah, Al-Layts, dan Ishaq.

Dan itu dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibn Al-Qayyim, dan Ibnu Utsaimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Menyebutkan pendapat Imam as-Syafi’i:

(الحاملُ قد تحيضُ، وهو مذهبُ الشافعيِّ، وحكاه البيهقيُّ روايةً عن أحمد، بل حكى أنَّه رجع إليه).

Wanita hamil bisa mengalami haid, dan ini madzhab as-Syafi’i. dan al-Baihaqi menyebutkan pernyataan Imam Ahmad dalam masalah ini, namun beliau juga menyebutkan bahwa Imam Ahmad telah rujuk dari pendapat ini.

(Lihat: al-Ikhtiyaaroot al-Fiqhiyyah hal. 30 dan Fatawa al-Kubro, 5/315).

Ibnu Qudamah radhiyallahu 'anhu dalam al-Mughni 1/371 berkata:

والصحيح عنها أنها إذا رأت الدم لا تصلي، وقال مالك والشافعي والليث: ما تراه من الدم حيض إذا أمكن وروي ذلك عن الزهري وقتادة وإسحاق، لأنه دم صادف عادة فكان حيضا كغير الحامل.

Yang Shahih dari pendapat 'Aisyah adalah jika wanita hamil melihat darah; maka dia jangan sholat.

Imam Malik, asy-Syafi'i dan al-Layts berkata: Apa yang wanita hamil lihat dari darah adalah darah menstruasi jika itu memungkinkan. Dan ini diriwayatkan dari pendapat al- Zuhri, Qatadah dan Ishaq ". [KUTIPAN SELESAI ]

Syeikh Ibnu Utsaimiin berkata:

(الراجحُ أنَّ الحامِلَ إذا رأت الدَّمَ المطَّرِدَ الذي يأتيها على وقتِه، وشَهرِه؛ وحالِه؛ فإنَّه حيضٌ تترك من أجلِه الصلاةَ والصومَ وغير ذلك، إلا أنَّه يختلِفُ عن الحيض في غير الحَملِ بأنَّه لا عبرةَ به في العِدَّة؛ لأنَّ الحمل أقوى منه، والحيض مع الحملِ يجب التحفُّظُ فيه، وهو أنَّ المرأة إذا استمَرَّت تحيض حيضَها المعتادَ على سيرتِه التي كانت قبل الحَملِ، فإننا نحكمُ بأنَّه حيضٌ، أما لو انقطعَ عنها الدَّمُ، ثم عاد وهي حامِلٌ، فإنَّه ليس بحيضٍ) ((الشرح الممتع)) (1/470).

(Pendapat yang paling benar adalah jika wanita hamil melihat darah yang sudah biasa keluar pada waktunya, bulannya, dan kondisinya, maka itu adalah darah haidh yang dia harus menghentikan shalat, puasa, dan lainnya.

Namun, berbeda dengan menstruasi tanpa kehamilan karena tidak dianggap atau tidak terhitung sebagai masa Iddah Talak. Karena kehamilan lebih kuat dari itu.

Dan menstruasi pada masa kehamilan wajib dijaga hukumnya sebagai darah haidh. Yaitu, jika seorang wanita masih terus berkelanjutan haidnya seperti biasanya ketika sebelum hamil, maka kami anggap itu haidh.

Akan tetapi jika keluar darahnya itu berhenti darinya, dan kemudian keluar lagi saat dia hamil, maka itu bukan darah haidh.

((Baca: Al-Sharh al-Mumti') (1/470).

Dan Syeikh Ibnu Utsaimiin berkata pula:

(بعضُ النِّساءِ قد يستمرُّ بها الحيضُ على عادته كما كان قبل الحَملِ، فيكون هذا الحيضُ مانعًا لكلِّ ما يمنَعُه حيضُ غيرِ الحامل، وموجِبًا لِما يُوجِبه، ومُسقِطًا لِما يُسقِطه.

والحاصل: أنَّ الدَّمَ الذي يخرج من الحامِل على نوعين:

النوع الأوَّل: نوعٌ يُحكَم بأنَّه حيضٌ، وهو الذي استمرَّ بها كما كان قبل الحملِ؛ لأنَّ ذلك دليلٌ على أنَّ الحملَ لم يؤثِّر عليه فيكون حيضًا.

والنَّوع الثَّاني: دم طرأ على الحامل طروءًا؛ إمَّا بسبب حادثٍ، أو حمْلِ شيءٍ، أو سقوطٍ مِن شيء ونحوه، فهذا ليس بحيضٍ، وإنَّما هو دمُ عِرقٍ، وعلى هذا فلا يمنَعُها من الصَّلاة ولا من الصِّيام؛ فهي في حُكم الطَّاهرات).

(Ada sebagian wanita yang terus berkelanjutan haidnya seperti halnya sebelum hamil, maka haid ini mencegahnya dari segala sesuatu yang dilarang saat haidhnya seorang wanita yang tidak hamil, mewajibkan apa yang diwajibkan, dan menghilangkan kewajiban yang dihilangkan karenanya.

Kesimpulannya: darah yang keluar dari ibu hamil ada dua jenis:

Jenis pertama:

Jenis yang dianggap sebagai menstruasi, dan itu adalah darah yang terus berkelanjutan seperti ketika sebelum kehamilan. Karena ini adalah bukti bahwa kehamilan itu tidak mempengaruhi nya, maka itu adalah haidh.

Jenis kedua:

Darah yang terjadi pada ibu hamil karena kecelakaan. Entah karena kecelakaan, atau mengangkat sesuatu, atau jatuh dari sesuatu dan sejenisnya, maka ini bukan haidh, melainkan darah dari urat.

Berdasarkan hal ini, maka tidak menghalanginya dari kewajiban shalat atau puasa. Karena dia dihukumi layakanya para wanita yang suci dari haidh).

((Kumpulan Fatwa dan Risalah Al-Utsaimin)) (11/270, 27).

DALIL:

Pertama: Darah yang keluar dari vagina - yang telah diatur hukumnya - ada dua jenis: darah haidh dan darah istihaadhah, dan tidak ada jenis darah ketiga di antara keduanya. Dan itu bukan darah istihaadhah. Berarti, itu adalah darah haidh.

Karena darah Istihaadhah adalah darah yang keluar melebihi batas maximal masa haid, atau di luar kewajaran, dan itu bukan salah satunya, maka tidak mungkin bahwa itu darah istihaadhah, karena itu adalah darah haidh.

Tidak mungkin untuk membuat jenis darah ketiga dalam kondisi tsb, dan menjadikannya darah faasid [rusak]. Hal ini tidak bisa ditetapkan hukumnya kecuali dengan adanya nash, ijma', atau dalil yang mewajibkan hukum tsb, dan itu ternyata tidak ada. ((Zaad al-Ma'ad)) karya Ibnu al-Qayyim (5/735).

Kedua: Tidak ada perselisihan pendapat bahwa wanita hamil dapat melihat darah seperti biasa, terutama di awal kehamilannya, tetapi yang di perselisihkan itu tentang hukum darah ini. Dan itu adalah darah haidh sebelum hamil dengan kesepakatan para ulama. Maka putusannya dikembalikan kepada hukum asal, sampai ada susuatu yang menghilangkan dugaan bahwa itu adalah sisa darah haidh sebelum hamil secara yakin.

Qaidah mengatakan:

الحُكمُ إذا ثبت في محلٍّ، فالأصلُ بقاؤه، حتى يأتيَ ما يرفَعُه

"Hukum itu jika telah terbukti di suatu posisi, maka hukum asalnya harus ditetapkan, sampai datang sesuatu yang menghilangkan hukum tsb ".
((Zaad al-Ma'ad)) karya Ibnu al-Qayyim (5/734).

REFERENSI

  • Referensi Madzhab Maliki: (Asy-Syarh al-Kabiir al-Dardir dan Haashiyat al-Dasuuqi) (2/459), dan lihat: ((Al-Madawwanah al-Kubra)) oleh Sahnuun (1/155), ((al-Qowaaniin al-Fiqhiyyah)) oleh Ibn Juzy (hal.: 31).
  • Referensi Madzhab Syafi'i: ((Al-Majmu’) oleh Al-Nawawi (2/347), ((Raudhotul Al-Thalibiin)) oleh Al-Nawawi (1/174).
  • Referensi para ulama salaf: ((Al-Muhalla)) oleh Ibn Hazm (1/242), ((Al-Istidhkar)) oleh Ibn Abd al-Barr (1/327), ((Al-Mughni)) oleh Ibn Qudamah (1/261, 262), ((Al-Majmu')) oleh al-Nawawi (2/386), ((Adhwaa al-Bayan)) oleh Al-Syanqiti (2/233).

PENDAPAT KEDUA

Bahwa wanita hamil tidak mungkin mengalami haidh. Dengan demikian ketika dia melihat darah haidh; maka tetap berkewajiban melaksanakan sholat dan puasa Ramadhan. Karena, itu bukan haidh, melaikan darah fasad [darah rusak ].

Ini adalah pendapat Madzhab Hanafi, Hanbali, dan pendapat Syafi'i dalam qoul qodiim.

Dan ini adalah pendapat sekelompok para ulama salaf, di antaranya adalah: Saeed bin Al-Musayyib, Al-Hasan, Athoo, Al-Hakam bin 'Utaibah, Al-Nakho'i, Asy-Sya'bi, Hammad bin Abi Suleiman, Suleiman bin Yasar, Nafi' Mawla Ibnu Umar, dan salah satu dari dua pendapat Al-Zuhri.

Dan ini adalah pendapat Sufyan Al-Tsauri, Al-Awza'i, Abu Ubaid, dan Abu Tsuur.

Ibnu Al-Mundzir dan Ibn Hazm memilihnya.

Dan ini adalah fatwa al-Lajnah ad-Daaimah Arab Saudi.

Ibnu Quddaamah radhiyallahu 'anhu dalam al-Mughni 1/371 berkata:

مذهب أبي عبد الله رحمه الله أن الحامل لا تحيض، وما تراه من الدم فهو دم فساد، وهو قول جمهور التابعين منهم سعيد بن المسيب وعطاء والحسن وجابر بن زيد وعكرمة ومحمد بن المنكدر والشعبي ومكحول وحماد و الثوري والأوزاعي وأبو حنيفة وابن المنذر وأبو عبيد وأبو ثور ، وروي عن عائشة رضي الله عنها.

والصحيح عنها أنها إذا رأت الدم لا تصلي، وقال مالك والشافعي والليث: ما تراه من الدم حيض إذا أمكن وروي ذلك عن الزهري وقتادة وإسحاق، لأنه دم صادف عادة فكان حيضا كغير الحامل.

"Madzhab Abu Abdullah [Imam Ahmad]adalah bahwa wanita hamil tidak mengalami menstruasi, dan apa yang wanita hamil lihat dari darah maka itu adalah darah yang fasad [rusak].

Dan ini adalah pendapat dari mayoritas para taabi'iin, Di antaranya: Sa'iid bin Al-Musayyib, Athoo, Al-Hassan al-Bashry, Jabir bin Zaid, 'Ikrimah, Muhammad bin Al-Munkadir, Asy-Sya'bi, Makhuul, Hammad, Al-Tsauri, Al-Awza'i, Abu Hanifah, Ibnu Al-Mundzir, Abu 'Ubaid dan Abu Tsuur. Dan itu diriwayatkan dari Aisyah, semoga Allah meridhoinya.

DALIL BAHWA ITU BUKAN DARAH HAIDH

Ibnu Quddaamah dalam al-Mughni 1/371 berkata:

ولنا: قول النبي صلى الله عليه و سلم: لا توطأ حامل حتى تضع، ولا حائل حتى تستبرأ بحيضة. جعل وجود الحيض علما على براءة الرحم فدل ذلك على أنه لا يجتمع معه، واحتج إمامنا بـحديث سالم عن أبيه أنه طلق امرأته وهي حائض فسأل عمر النبي صلى الله عليه و سلم فقال: مره فليراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا. فجعل الحمل علما على عدم الحيض كما جعل الطهر علما عليه، ولأنه زمن لا يعتادها الحيض فيه غالبا فلم يكن ما تراه فيه حيضا كالآيسة قال أحمد: إنما يعرف النساء الحمل بانقطاع الدم وقول عائشة: يحمل على الحبلى التي قاربت الوضع جمعا بين قوليها. انتهى.

Dalil Kami adalah: bahwa Nabi SAW bersabda:

"‏ لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ‏"‏ ‏.‏

Budak wanita yang hamil tidak boleh disetubuhi sampai melahirkan, dan budak wanita yang tidak hamil, tidak boleh disetubuhi sampai mengalami haidh sekali.

(HR. Abu Dawud no. 2157. Dishahihkan oleh al-Albaani no. 2157).

Hadits ini menjadikan adanya haidh itu terjadi setelah kosongnya rahim, maka ini menunjukkan bahwa haidh tidak berkumpul dengan masa hamil.

Dan imam kami [Ahmad]berhujjah dengan hadits Salim dari ayahnya [Ibnu Umar]

أَنَّهُ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ - وَهِيَ حَائِضٌ - فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَ عُمَرُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ ? فَقَالَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ, ثُمَّ تَحِيضَ, ثُمَّ تَطْهُرَ, ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ, وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدَ أَنْ يَمَسَّ, فَتِلْكَ اَلْعِدَّةُ اَلَّتِي أَمَرَ اَللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا اَلنِّسَاءُ

Bahwa ia [Ibnu Umar]menceraikan istrinya ketika sedang haid pada zaman Rasulullah SAW. Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW dan beliau bersabda:

"Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk menceraikan istri."
[Muttafaq Alaihi].

Dan Menurut riwayat Muslim yang lain:

(مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ لْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا)

"Perintahkan ia agar kembali kepadanya, kemudian menceraikannya ketika masa suci atau hamil."

Maka beliau SAW menjadikan kehamilan sebagai tanda tidak adanya haidh sebagaimana beliau menjadikan kesucian sebagai tandanya, dan karena itu adalah masa-masa waktu yang biasa nya tidak ada haidh, maka darah yang terlihat di masa hamil bukanlah haid seperti halnya wanita tua yang sudah tidak haidh lagi.

Ahmad berkata: Wanita hanya diketahui hamil dengan berhentinya darah.

Dan yang dimaksud dengan perkataan Aisyah adalah wanita hamil, yang sudah dekat dengan masa kelahiran. Ini dalam rangka mengkombinasikan dua perkataan. [KUTIPAN SELESAI ]

REFERENSI:

  • Referensi Madzhab Hanafi: ((Al-Bahr Al-Ra'iq)) oleh Ibn Najim (1/201), dan lihat: ((Bada'i Al-Sana'i)) oleh Al-Kasani (1/42).
  • Referensi Madzhab Hanbali: ((Sharh Muntaha Al-Iraadat)) oleh Al-Bahooti (1/110), dan lihat: ((Al-Mughni)) oleh Ibn Qudamah (1/261)
  • Referensi Syafii qoul qodim: (Al-Majmu’) oleh al-Nawawi (2/384), “Nihayat al-Muhtaaj” oleh al-Ramli (1/356).
  • Referensi Sekelompok ulama salaf: ((Al-Muhalla)) oleh Ibn Hazm (1/242), ((Al-Istidhkar)) oleh Ibn Abd al-Barr (1/327), ((Al-Mughni)) oleh Ibn Qudamah (1/261).


 

Posting Komentar

0 Komentar