Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
******
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Ibnu Abbaas رضي الله عنهما bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(( مَنْ سَمِعَ النِّداءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاةَ لَه إلَّا مِنْ عُذْرٍ ))
Artinya: “Barang Siapa yang mendengar panggilan [adzan] lalu tidak mendatanginya (datang ke masjid untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada ‘udzur / halangan.”
Diriwayatkan oleh Daud (551 dan Ibn Majah (793) dan ini adalah lafadz Ibnu Majah.
Adapun lafadz Abu Daud, yaitu sbb:
" مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ " . قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ " لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِي صَلَّى "
" Barang siapa mendengar orang yang mengumandangkan adzan dan dia tidak terhalang oleh udzur apapun untuk bergabung dengan jamaah - mereka bertanya: dan apa udzurnya ? Beliau menjawab: adanya ketakutan atau sakit - maka tidak akan diterima darinya shalat yang dia lakukan".
TERDAPAT 3 PEMBAHASAN:
1. Tentang derajat hadits dan takhriij nya.2. Penafsiran para ulama terhadap makna hadits.
3. Kumpulan hadits tentang Sholat Berjamaah.
PEMBAHASAN PERTAMA: TENTANG DERAJAT HADITS DAN TAKHRIJNYA.
Mengenai derajat Hadits ini para ulama ahli hadits berbeda pendapat: ada yang mendhoifkannya dan ada yang menshahihkannya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaany dlm kitab nya “ التلخيص الحبير “ berkata:
رواه أبو داود والدارقطني وفيه (أبو جناب) ضعيف ومدلس ، وقد ضعفه ابن الملقن من هذا الوجه ، وقد رواه ابن ماجه وابن حبان والدراقطني والحاكم من طريق أخرى مرفوعاً: ( من سمع النداء فلم يُجب ، فلا صلاة له إلاّ من عذر) ، لكن قال الحاكم: وقفه غندر وأكثر أصحاب شعبة.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan ad-Daaruquthny. Di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abu Janaab, dia itu dloif dan mudallis. Hadits ini didloifkan oleh Ibnu al-Mulaqqin dari arah ini.
Dan Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibbaan, ad-Daaruquthny dan al-Haakim lewat jalan Sanad yang yang lain secara marfu’ dari Nabi SAW:
( مَنْ سَمِعَ النداءَ فلمْ يُجِبْ مِنْ غَيرِ عذرٍ فَلاَ صَلاةَ لَه )
“Barang Siapa yang mendengar panggilan [adzan] lalu tidak mendatanginya (datang ke masjid untuk shalat berjamaah) ; maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada ‘udzur/halangan.”
Akan tetapi al-Haakim berkata: Ghundar dan kebanyakan para sahabat Syu’bah meriwayatkan nya secara mauquf “.
Selesai perkataan Ibnu Hajar [lihat: المكتبة الشاملة الحديثة 62/51, ملتقى أهل الحديث].
Saya katakan:
Akan tetapi hadits tsb punya jalan lain dari ‘Adiy bin Tsaabit secara marfu dengan lafadz:
(( مَنْ سَمِعَ النِّداءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاةَ لَه إلَّا مِنْ عُذْرٍ ))
"Siapa yang mendengar panggilan [adzan] lalu tidak mendatanginya (datang ke masjid untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 793 dan ath-Thabraani dalam “(المعجم الكبير) “ 3/154/2.
Dan dari nya diriwayatkan pula oleh Abu Musa al-Madiiny dlm kitabnya “اللطائف من علوم المعارف “ 14/1/1, juga al-Hasan bin Sufyan dalam kitabnya "الأربعين " 1/68, juga ad-Daaruquthny, juga al-Hakim dan al-Baihaqi 3/174 dari beberapa jalan sanad dari Hasyim dari Syu’bah dari ‘Adiy dst ….
Al-Haakim berkata: “ Hadits ini Shahih sesuai standar Shahih Bukhory dan Muslim “. Dan di setujui oleh adz-Dzahabi.
Apa yang dikatakan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi itu benar karena Hasyim dengan terang dan jelas menggunakan kalimat “ التحديث “ dalam riwayat al-Haakim tsb.
Sementara al-Haafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dlm kitabnya “بلوغ المرام “ berkata:
“ Dan sanadnya shahih sesuai standar Muslim, namun sebagian mereka ada yang mentarjih bahwa hadits tsb Mauquuf “. ( lihat: (سبل السلام) 2/27 ).
(Keterangan: MAUQUF itu artinya perkataan sahabat. MARFU' Artinya perkataan Nabi. PEN).
Aku katakan bahwa pentarjihan mauquf disini tidaklah tepat, karena adanya Jemaah perawi tsiqoot lainnya yang memarfu’kannya. Dan ini bisa menjadi mutaaba’ah/penguat bagi Hasyim, diantaranya Qorood ( قراد ) nama lengkapnya Abdurrahman bin Ghozwaan, yaitu terdapat dalam Sunan ad-Daruquthni dan Mustadrok al-Haakim.
Kemudian mutaba'ah lainnya yaitu Sa’iid bin ‘Aamir dan Abu Sulaiman Daud bin al-Hakam, mereka terdapat dalam Mustadrok al-Haakim.
Imam al-Hakim dlm kitab nya “ المستدرك “ berkata:
(هذا حديث قد أوقفه غندر وأكثر أصحاب شعبة وهو صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه وهشيم وقرادا أبو نوه ثقتان فإذا وصلاه فالقول فيه قولهما)
"Ini Hadits diriwiyatkannya secara Mauquf oleh Ghundar ( غندر ) dan juga oleh kebanyakan sahabat-sahabat Syu’bah, dan hadits ini shahih sesuai standar Bukhori dan Muslim dan mereka berdua tidak meriwayatkannya, akan tetapi Hasyiim dan Qorood Abu Nuh juga dua-duanya tsiqoh dan jika mereka berdua ini meriwayatkan hadits secara maushul maka yang dijadikan pegangan adalah riwayatnya “.
Perkataan al-Hakim ini di setujui oleh adz-Dzahabi.
[lihat: المكتبة الشاملة الحديثة 62/51, ملتقى أهل الحديث].
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolani dalam kitab nya “ التلخيص الحبير “ hal. 123 menukil perkataan al-Hakim seperti di atas namun sayangnya hanya sepotong tidak semuanya, yaitu:
"وإسناده صحيح لكن قال الحاكم وقّفه غندر وأكثر أصحاب شعبة".
Artinya: “Dan sanad ini Shahih, akan tetapi Hadits ini diriwiyatkannya secara Mauquf oleh Ghundar ( غندر ) dan juga oleh kebanyakan sahabat-sahabat Syu’bah”.
Jadi perkataan ibnu Hajar ini kesan nya seolah-olah bahwa al-Hakim telah mentarjih hadits tsb Mauquf, padahal yang benar beliau mentarjih maushuul.
Di samping sanad tsb diatas, bagi Syu’bah terdapat sanad lain, disebutkan oleh Qosim bin Ashabgh dalam kitabnya, dia berkata:
" نا إسماعيل بن إسحاق القاضي قال: نا سليمان بن حرب نا شعبة عن حبيب بن أبي ثابت عن سعيد بن جبير عن ابن عباس أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ):
Artinya: telah bercerita kepada kami Ismaail bin Ishaq al-Qoodly, dia berkata: telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb, dia berkata: telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Habib bin Abu Tsabit dari Sa’iid bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas, bahwa Nabi SAW bersabda:
( مَنْ سَمِعَ النداءَ فلمْ يُجِبْ مِنْ غَيرِ عذرٍ فَلاَ صَلاةَ لَه )
Artinya: “Barang siapa yang mendengar panggilan [adzan] lalu dia tidak mendatanginya (datang ke masjid untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan.”
Seperti itulah yang terdapat dalam kitab “الأحكام الكبرى ق 33 / 1 “ karya Abdul Haqq al-Asybilly, dan beliau berkata:
"وحسبك بهذا الإسناد صحة"
Artinya: “ cukup untukmu dengan sanad ini hadits tsb shahih “.
Perkataan beliau dikokohkan oleh Ibnu at-Turkmaani dalam kitabnya “الجوهر النقي” dan juga di shahihkan pula oleh Ibnu Hazm adz-Dzoohiry (4/191).
Dan dia juga telah meriwayatkan pula dari jalur al-Qosim, seperti yang disebutkan oleh al-Baihaqy (3/174) dan al-Khothib dalam “ تاريخ بغداد 6/285 “ dari jalur-jalur lainnya dari Isma’iil bin Ishaaq … dst.
Lalu al-Khotib berkata:
( قال لنا أبو بكر البرقاني: تفرد به إسماعيل بن إسحاق عن سليمان بن حرب )
Artinya: ” Telah berkata kepada kami Abu Bakar al-Barqoony: “ Isma’iil bin Ishaaq secara tunggal meriwayatkannya dari Sulaiman bin Harb “.
Saya katakan:
Kedua-duanya, baik Ismail maupun Sulaiman adalah tsiqoh, maka tidak ada masalah meskipun mereka berdua meriwayatkannya secara tunggal, apalagi terdapat penguat (متابعة) baginya. Yaitu, ath-Thabrani dalam “ (المعجم الكبير )“ 3/158/1 berkata:
( حدثنا أحمد بن عمرو القطراني نا سليمان بن حرب به إلا أنه أوقفه ).
Artinya: “telah bercerita kepada kami Ahmad bin ‘Amr al-Qothroony, telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb …. Dst. Namun dia meriwayatkannya secara mauquf“.
Kemudian ath-Thabroni setelah itu berkata:
( هكذا رواه القطراني عن سليمان بن حرب موقوفا ورواه إسماعيل بن إسحاق القاضي عن سليمان بن حرب مرفوعا )
Artinya: “ Demikian lah al-Qothrony meriwayatkannya dari Sulaiman bin Harb secara mauquf. Sementara Ismail bin Ishaq al-Qoodliy meriwayatkannya dari Sulaiman bin Harb secara Marfu’“.
Syeikh al-Albaany menanggapinya dengan mengatakan:
"وهذا أصح لأن الرفع زيادة من ثقة مع أن مخالفه وهو القطراني هذا لم أعرفه فمثله لا يقرن بمثل إسماعيل القاصي فضلا عن أن يرجح عليه.
وللقاضي فيه إسناد آخر فقال الدينوري في ( المنتقى من المجالسة ) ( ق 283 / 1 ): حدثنا إسماعيل يعني ابن إسحاق القاضي: حدثنا أحمد بن عبد الله ابن يونس حدثنا أبو بكر بن عياش عن أبي حصين عن أبي بردة عن أبيه مرفوعا بلفظ:
( من سمع النداء فارغا صحيحا فلم يجب فلا صلاة له )
وأخرجه الحاكم من طريق أخرى عن إسماعيل به وكذلك رواه البيهقي ( 3 / 174 ) وهذا سند صحيح على شرط البخاري لولا أن ابن عياش فيه ضعف من قبل حفظه لكن قد تابعه مسعر عند أبي نعيم في ( أخبار أصبهان ) ( 2 / 342 ) وقيس بن الربيع عند البزار كما في ( التلخيص ) فصح بذلك ".
Artinya: “ Dan - Riwayat Marfu’ dari Nabi SAW - ini adalah lebih shahih, karena riwayat marfu’ disini tambahan dan kelebihan dari perawi tsiqoh ( زيادة من ثقة ), apalagi perawi yang menyelisihinya adalah al-Qothroony, dia ini aku tidak mengenalnya, maka perawi semisal dia jangan dibandingkan dengan perawi yang seperti Isma’iil al-Qoodli, apalagi merajihkan dia terhadapnya.
Ditambah lagi, bagi Ismail al-Qoodli memiliki sanad lainnya. Ad-Dainuri berkata dlam kitab "المنتقى من المجالسة " ( 1/ق 283 ):
"Telah bercerita kepada kami Ismail, yakni Ibnu Ishaq al-Qoodli: telah bercerita kepada kami Ahmad bin Abdullah bin Yunus: telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abu Hushoin dari Abu Bardah dari ayahnya dari Nabi SAW dengan lafadz:
( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَارِغًا صَحِيْحًا فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ )
Artinya: “Barang siapa yang mendengar panggilan [adzan], dia dalam keandaan nganggur dan sehat, lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya.”
Dan tambahan lainnya, al-Hakim telah meriwayatkan pula lewat jalur lain dari Isma’iil … dst.
Begitu juga al-Baihqy dalam "( السنن الكبرى) 3/173 ".
Dan Ini adalah sanad yang sahih sesuai dengan standar shahih Bukhory kalo seandainya tidak ada perawi yang bernama Ibnu ‘Ayyasy, dia itu lemah dari sisi hafalannya, akan tetapi terdapat mutaba’ah ( متابعة ) riwayat Mus’ir, disebutkan Abu Na’iim dalam kitabnya “أخبار أصبهان “ ( 2/342 ), dan mutaba’ah juga lainnya riwayat Qois bin ar-Robii’, di sebutkan oleh al-Bazzaar dalam Musnadnya, seperti yang dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany dlm kitabnya “التلخيص الحبير “.
Maka dengan demikian – kata syeikh al-Albaani -: hadits ini Shahih “.
Selesai kutipan perkataan Syeikh al-Albaani dari kitabnya: “إرواء الغليل في تخريج أحاديث منار السبيل“
Hadits tsb di shahihkan pula oleh al-Albaani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 652.
Dan di shshihkan pula oleh al-'Aini dalam عمدة القارئ 5/239.
PEMBAHASAN KEDUA: PENAFSIRAN PARA ULAMA TENTANG MAKNA HADITS BERIKUT INI:
(( مَنْ سَمِعَ النِّداءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاةَ لَه إلَّا مِنْ عُذْرٍ ))
“Siapa yang mendengar panggilan [adzan] lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan".
Sebagian para ulama mengatakan:
الحديث يستدلّ به مَن يقول إنّ صلاة الجماعة فرض عين ، وإنه يجب أداؤها في المسجد ، بل قال أحدهم: إنها شرط في صحّة الصلاة ، فإذا سمع النداء ولم يُجب لم تصحّ صلاته منفرداً إلا أن يتوب في ذلك الوقت ثمّ يُصلّي منفرداً.
Hadits ini dalil bahwa sholat berjamaah itu fardlu ‘ain, dan wajib dilaksanakannya di masjid, bahkan diantara mereka ada yang mengatakan: berjamaah itu syarat Sah nya sholat. Maka jika seseorang mendengar seruan adzan, lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak sah sholatnya jika sendirian, kecuali jika dia bertaubat dalam waktu tsb kemudian sholat sendirian.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “( مجموع الفتاوى) “ 23/241 berkata:
إذا ترك الجماعة من غير عذر: ففيه قولان في مذهب أحمد وغيره: أحدهما: تصح صلاته... والثاني: لا تصح لما في السنن عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ( من سمع النداء ثم لم يجب من غير عذر فلا صلاة له ) ، ولقوله: ( لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد ) وقد قواه عبد الحق الإشبيلي. وأيضا فإذا كانت واجبة فمن ترك واجبا في الصلاة لم تصح صلاته.
Artinya: Jika seseorang meninggalkan sholat berjamaah tanpa udzur, maka dlm hal ini terdapat dua qaul dalam madzhab Imam Ahmad dan lainnya:
Pertama: sah shalatnya.
Kedua: tidak sah shalatnya. Berdasarkan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم, diantaranya:
( مَنْ سَمِعَ النداءَ فلمْ يُجِبْ مِنْ غَيرِ عذرٍ فَلاَ صَلاةَ لَه )
“Siapa yang mendengar panggilan [adzan] lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan.”
Sabda lainnya:
( لا صَلاَةَ لِجَارِ المَسْجِدِ إلَّا في الْمَسْجِدِ )
“Tiada sholat bagi tentangga masjid kecuali di Masjid”.
Hadits ini dianggap kuat oleh Abdul Haq al-Isybilly. Dan juga, jika wajib hukumnya maka barang siapa yang meninggalkan sesuatu yang wajib dlam sholat maka shalatnya tidak sah “.
[Penulis katakan: hadits: “Tiada sholat bagi tentangga masjid kecuali di Masjid” di dha'ifkan oleh An-Nawawi dlm Khulashotul ahkaam 2/655, dan oleh al-Hafidz al-Iraaqi dlm Thorhu at-Tatsriib 2/106 dan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dlm Fathul Baari 1/524 PEN.]
Lalu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di hal. 23/242:
" أما الجماعة فقد قيل: إنها سنة وقيل: إنها واجبة على الكفاية وقيل: إنها واجبة على الأعيان. وهذا هو الذي دل عليه الكتاب والسنة فإن الله أمر بها في حال الخوف ففي حال الأمن أولى وآكد".
Adapun Sholat berjemaah, maka ada yang mengatakan: Sunnah. Ada yang mengatakan: Wajib Kifayah. Dan ada yang mengatakan: Wajib ‘ain, dan pendapat ini lah yang sesuai dengan dalil dari al-Quran dan Sunnah, Karena Allah swt telah memerintahkan pula sholat berjemaah dalam peperangan alias dlm kondisi tidak aman, maka ketika dalam kondisi aman lebih ditekankan lagi perintahnya “.
Dan Syeikh Ibnu ‘Utsaimiin berkata dalam edisi “ نور على الدرب “ tentang hadits ini:
معناه: أن الإنسان إذا سمع الأذان وجب عليه الحضور إلى المسجد، ولا يحل له التخلف عنه إلا لعذر، فإن تخلف عن المسجد بغير عذر وصلى وحده في البيت فإنه لا صلاة له، إلا أن يكون معذوراً؛ وذلك لأنه ترك الجماعة، وهي واجبة في الصلاة، والقاعدة أن من تراك واجباً في العبادة لغير عذر فإن عبادته لا تصح؛ لتركه ما يجب فيها
Maknanya: bahwa sesorang jika mendengar adzan, wajib atas dirinya mendatangi masjid, dan tidak halal baginya untuk tidak datang kecuali ada udzur.
Maka barang siapa yang tidak mendatanginya tanpa udzur lalu dia sholat sendirian di rumah, maka tidak sah sholatnya kecuali ada udzur. Dan yang demikian itu dikarenakan dia meninggalkan sholat berjemaah, dan itu wajib dalam sholat.
Ada sebuah Qaidah yang menyatakan: “ bahwa barang siapa meninggalkan suatu yang wajib dalam ibadah tanpa udzur, maka ibadahnya tidak sah, karena meninggal sesuatu yang wajib di dalamnya “.
Tapi perkataan Syeikh Ibnu ‘Utsaimin ini agak berbeda dengan pernyataan beliau dalam “(مجموع فتاوى ابن عثيمين)“ 15/69, beliau berkata:
ولكن هذا القول مرجوح ، والراجح أن المصلي في بيته ، تاركاً للواجب من غير عذر: آثم وعاص، وإذا استمر على ذلك صار فاسقاً تسقط ولايته وشهادته، كما ذهب إليه كثير من أهل العلم ، ولكن صلاته تصح.
ويدل لذلك حديث ابن عمر وحديث أبي هريرة، في تفضيل صلاة الجماعة على صلاة الفذ، فإن التفضيل لصلاة الجماعة ، يدل على أن في صلاة الفذ أجراً، ومادام فيها أجر فإنه يدل على صحتها، لأن ثبوت الأجر فرع عن الصحة ، إذ لو لم تصح ، لم يكن فيها أجر، لكنه بلا شك آثم عاص ، يعاقب على ذلك ، إلا أن يتوب إلى الله عز وجل، أو يعفو الله عنه.
Artinya: “ Dan Qaul ini – yakni: tidak sah sholatnya – adalah marjuuh / tidak rajih, adapun yang rajih adalah orang yang shalat di rumahnya, meninggalkan kewajiban berjamaah tanpa udzur, maka dia berdosa dan bermaksiat. Dan jika dia terus menerus mealkukannya maka dia itu fasiq, hilang hak perwaliannya dan hak sebagai saksi, sesusai dengan madzhab kebanyakan ahli ilmu, akan tetapi SHALATNYA TETAP SAH.
Dalilnya adalah bahwa shalat sendirian itu tetap dapat pahala, maka selama shalatnya mendapat pahala, bararti shalatnya itu sah. Karena adanya pahala itu cabang dari sahnya shalat. Karena kalau tidak sah, maka tidak dapat pahala. Namun tanpa ada keraguan bahwa dia berdosa dan bermaksiat, dia akan disiksa atasnya, kecuali jika dia bertaubat kepada Allah swt atau Allah swt mengampuni nya “.
PENDAPAT JUMHUR ULAMA:
Sementara Jumhur Ulama mengatakan:
قوله: ( فلا صلاة إلا من عذر ) المقصود بها: لا صلاة كاملة في الأجر لأن هناك بعض الأدلة والنصوص تشعرنا بأن النفي في هذا الحديث هو نفي كمال وليس نفي صحة ، أي لا صلاة له أي كاملة ، أي يفوت عليه سبع وعشرين درجة ".
“ Kata dalam hadits: ( tiada sholat baginya kecuali jika ada udzur ). Maksudnya adalah pahala sholatnya tidak sempurna, karena di sana ada nash-nash yang menunjukkan bahwa makna “ tiada / النفي dalam hadits ini adalah meniadakan kesmpurnaan pahala, bukan meniadakan shahnya shalat, jadi arti kata “ tiada shalat baginya “ yakni dengan sempurna, dia tidak mendapatkan pahala dua puluh tujuh derajat “.
Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya no. hadits. 2095 meriwayatkan dengan sanadnya Dari Al Mughirah bin Syu'bah, dia berkata:
أَكَلْتُ ثُومًا ثُمَّ أَتَيْتُ مُصَلَّى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدْتُهُ قَدْ سَبَقَنِي بِرَكْعَةٍ، فَلَمَّا قُمْتُ أَقْضِي وَجَدَ رِيحَ الثُّومِ فَقَالَ: مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ، فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا.
قَالَ الْمُغِيرَةُ: فَلَمَّا قَضَيْتُ الصَّلاَةَ أَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي عُذْرًا فَنَاوِلْنِي يَدَكَ فَنَاوَلَنِي فَوَجَدْتُهُ وَاللَّهِ سَهْلاً فَأَدْخَلْتُهَا فِي كُمِّي إِلَى صَدْرِي فَوَجَدَهُ مَعْصُوبًا، فَقَالَ: إِنَّ لَكَ عُذْرًا.
قَالَ أَبُو حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: هَذِهِ الأَشْيَاءُ الَّتِي وَصَفْنَاهَا هِيَ الْعُذْرُ الَّذِي فِي خَبَرِ ابْنِ عَبَّاسٍ الَّذِي لاَ حَرَجَ عَلَى مَنْ بِهِ حَالَةٌ مِنْهَا فِي تُخَلُّفِهِ، عَنْ أَدَاءِ فَرْضِهِ جَمَاعَةً، وَعَلَيْهِ إِثْمُ تَرْكِ إِتْيَانِ الْجَمَاعَةِ، لأَنَّهُمَا فَرْضَانِ اثْنَانِ: الْجَمَاعَةُ، وَأَدَاءُ الْفَرْضِ، فَمَنْ أَدَّى الْفَرْضَ وَهُوَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ، فَقَدْ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُ أَدَاءِ الصَّلاَةِ، وَعَلَيْهِ إِثْمُ تَرْكِ إِتْيَانِ الْجَمَاعَةِ، وَقَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم :
(( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ، فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ ))
أَرَادَ بِهِ: فَلاَ صَلاَةَ لَهُ مِنْ غَيْرِ إِثْمٍ يَرْتَكِبُهُ فِي تُخَلُّفِهِ عَنْ إِتْيَانِ الْجَمَاعَةِ إِذَا كَانَ الْقَصْدُ فِيهِ ارْتِكَابُ النَّهْيِ، لاَ أَنَّ صَلاَتَهُ غَيْرُ مُجْزِئَةٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِمَعْذُورٍ إِذَا لَمْ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ، وَهَذَا كَقَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم:
(( مَنْ لَغَا فَلاَ جُمُعَةَ لَهُ ))
يُرِيدُ بِهِ: فَلاَ جُمُعَةَ لَهُ مِنْ غَيْرِ إِثْمٍ يَرْتَكِبُهُ بِلَغْوِهِ.
Artinya: “Setelah aku makan bawang putih, aku mendatangi mushalla Nabi SAW. Ternyata kudapati beliau telah mendahuluiku satu rakaat, dan pada saat aku bangun untuk menyempurnakan rakaat yang tertinggal, beliau mencium bau bawang putih, maka beliau bersabda, “Siapa saja yang memakan sayuran ini, janganlah mendekati masjid kami sampai baunya hilang”.
Al Mughirah berkata, “Setelah selesai shalat, aku mendatangi beliau dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berhalangan. Ulurkanlah tangan engkau kepadaku. Beliau lalu mengulurkan tangannya kepadaku, dan kudapati lunak. Kemudian aku memasukkannya ke saku bajuku hingga ke dadaku, dan beliau mendapati dadaku diperban, maka beliau bersabda, ‘Kamu memiliki udzur (berhalangan)’.
Abu Hatim RA berkata, "Hal-hal yang telah kami uraikan tadi merupakan udzur yang menurut khabar dari Ibnu Abbas, bahwa orang yang tidak menghadiri shalat jamaah dalam kondisi demikian tidak apa-apa, tetapi dia mendapat dosa karena meninggalkan jamaah, sebab ada dua kewajiban di sini, yaitu kewajiban jamaah dan menunaikan shalat fardhu. Barangsiapa menunaikan shalat fardhu saat mendengar adzan, maka kewajiban menunaikan shalat fardhu telah gugur padanya, tapi dia mendapat dosa karena meninggalkan jamaah. Adapun tentang sabda Nabi:
'Siapa saja yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka shalatnya tidak sah, kecuali bagi yang berhalangan,”
maksudnya adalah tidak berlaku shalatnya tanpa dosa yang dilakukannya karena meninggalkan jamaah bila tujuannya memang melanggar larangan. Maksud hadis ini bukannya shalat tersebut tidak sah, meskipun dia tidak dimaafkan bila tidak menjawab seruan Allah, seperti sabda Nabi:
“ Siapa saja melakukan perbuatan yang sia-sia, maka tidak ada shalat Jum'at baginya.”
Maksudnya adalah shalat Jum'atnya tidak sah tanpa dosa yang dilakukan karena perbuatan sia-sia."
( HR. Ibnu Hibban no. 2095, dan di shahihkan oleh Syu’eb al-Arna’uth)
Syeikh bin Baaz رحمه الله berkata:
وعلى كل قادرٍ من المكلفين، وأن ذلك أمر مهم واجب، وأن مَن تخلف عن ذلك فلا صلاةَ له، المعنى: لا صلاةَ له كاملة، أما الإجزاء فالجمهور على أنها تصح وتُجزئ، ولكنه قد فاته فضل الجماعة، واستحقَّ إثم التَّخلف، فيكون معنى "لا صلاةَ له" يعني كاملة، بل ناقصة، قد أصابه فيها الإثم.
Dan wajib atas setiap orang mukallaf yang mampu – untuk mendatangi seruan adzan tsb -. Dan itu adalah perkara yang sangat penting nan wajib. Dan siapa saja yang menyelesihinya alias tdk mendatanginya maka tiada sholat baginya.
Maknanya: tiada sholat baginya yang sempurna. Adapun perkara Sah dan mencukupinya maka menurut pendapat Jumhur Ulama adalah sah sholatnya dan mencukupinya, akan tetapi tidak mendapatkan keutamaan berjemaah.
Dan dia mendapatkan dosa karena menyelisihinya. Maka dengan demikian makna “ فلا صلاة له “ yakni pahala sholat nya tidka sempurna, bahkan kurang, dan dia berdosa”.
PEMBAHASAN KETIGA: KUMPULAN HADITS TENTANG SHOLAT BERJEMAAH
HADITS KE 1:
Dari Abu Hurairah berkata:
أَتَى النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّه ليسَ لي قَائِدٌ يَقُودُنِي إلى المَسْجِدِ، فَسَأَلَ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ له، فيُصَلِّيَ في بَيْتِهِ، فَرَخَّصَ له، فَلَمَّا وَلَّى، دَعَاهُ، فَقالَ: هلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بالصَّلَاةِ؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فأجِبْ.
Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu ia berkata:
"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntunku pergi ke masjid."
Lalu ia meminta kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- untuk memberinya keringanan mengerjakan salat di rumah. Beliau pun memberinya keringanan.
Namun, ketika orang tersebut beranjak pergi, beliau memanggilnya kembali kemudian bertanya: "Apakah engkau mendengar seruan azan?"
Ia menjawab, "Ya."
Beliau bersabda: "Penuhilah!" [HR. Muslim no. 653]
HADITS KE 2:
Dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنه:
أتى ابنُ أمِّ مَكْتومٍ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ يا رسولَ اللَّهِ إنَّ مَنزلي شاسعٌ وأَنا مَكْفوفُ البصرِ وأَنا أسمعُ الأذانَ قالَ: فإن سَمِعتَ الأذانَ فأجِب ولو حَبوًا أو زحفًا
Ibnu Umm Maktum datang kepada Nabi SAW dan berkata:
"Ya Rasulullah, rumahku jauh, dan aku buta, namun aku mendengar adzan."
Beliau SAW berkata: " Jika Anda mendengar adzan, maka penuhilah, meski datang dengan merangkak atau merayap !!! ".
[HR. Ahmad no. 14991]. Al-Mundziri berkata dalam at-Targhiib wat Tarhiib 1/211:
إسناده صحيح أو حسن أو ما قاربهما
"Sanadnya adalah Shahih, Hasan, atau yang mendekati keduanya "
HADITS KE 3:
Dari Abdurrahman bin 'Abis dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Ibnu Ummi Maktum bahwasanya dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. قَالَ: هَلْ تَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " فَحَيَّ هَلًا ". وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ.
"Wahai Rasulullah Shallallahu'alihiwasallam di Madinah banyak hewan melata dan hewan buas."
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menjawab: "Apakah kamu mendengar seruan, 'Hayya 'alash-shalah, hayya 'alal falah? '"
la menjawab, "Ya."
Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Maka mari menyambutnya." Beliau Shallallahu'alaihi wasallam tidak memberi keringanan kepadanya.
[HR. An-Nasaa'ii no. 850. Di Shahihkan oleh al-Albaani dlm Shahih an-Nasaa'ii no. 850]
Imam Asy Syafi’i rahimahullahberkata,
وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Baca: al-Umm 1/180 )
HADITS KE 4:
Dari Abu Hurarah (RA) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا.
وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh.
Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.
Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.”
(HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651 )
HADITS KE 5:
Dari Abdullah bin Mas’udradhiallahu anhu dia berkata:
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Dan sungguh kami (para sahabat) telah berpendapat: bahwa tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah, melainkan dia itu seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya.
Dan sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.” (HR. Muslim no. 654 )
HADITS KE 6:
Dari Abdullah bin Mas'ud dia berkata;
حَافِظُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ بَيِّنُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ وَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَلَهُ مَسْجِدٌ فِي بَيْتِهِ وَلَوْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ وَتَرَكْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكَفَرْتُمْ
Peliharalah dengan baik lima shalat ini ketika dikumandangkan adzan, karena sesungguhnya lima shalat jamaah itu termasuk di antara sunnah (jalan) hidayah.
Dan sesungguhnya Allah telah mensyari'atkan jalan jalan petunjuk kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
Dan sungguh kami menganggap, bahwa tidak seorang pun yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya.
Seingatku, dahulu seseorang (diantara kami) biasa dituntun (dipapah) antara dua orang di kanan kirinya, sampai dia diberdirikan di shaf shalat.
Tidak ada seorang pun di antara kalian, kecuali mempunyai masjid (tempat shalat) di dalam rumahnya.
Seandainya kalian mengerjakan shalat di rumah kalian dan meninggalkan masjid masjid kalian, berarti kalian telah meninggalkan sunah sunah Nabi kalian shallallahu 'alaihi wasallam, dan jika kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian telah kafir.
[HR. Abu Daud no. 463, 550. Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abi Daud no. 550]
HADITS KE 7:
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi SAW mengingatkan tentang shalat pada suatu hari, kemudian bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ
“Barang siapa yang menjaga sholat maka dia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari qiyamat.
Sedangkan siapa saja yang tidak menjaga sholat, dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dan pada hari kiamat nanti, dia akan dikumpulkan bersama dengan Qorun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Kholaf.”
(HR. Ahmad 2/169)
Di Shahihkan oleh al-Hafidz al-'Iraaqi dalam طرح التثريب 2/147. Dan al-Hakami dlam Ma'aarij al-Qobuul 2/626 berkata: " رجال أحمد ثقات [para perawi Imam Ahmad semuanya dipercaya]".
HADITS KE 8: HADITS-HADITS KEUTAMAAN SHOLAT BERJEMAAH:
Dari Ibnu Umar (RA) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”
(HR.Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)
HADITS KE 9:
Dari Abu Sa'id al-Khudri (RA) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صلاةُ الجماعةِ تَفضُلُ على صلاةِ الفذِّ بخمسٍ وعشرينَ درجةً
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.” (HR. Bukhori no. 646 )
Banyak kompromi hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah “mafhum adad” yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.
HADITS KE 10:
Dari Utsman bin Affaan (RA) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ
“Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.” (HR. Muslim no. 656 )
HADITS KE 11:
Dari Abu ad-Darda bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itutetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”
(HR. Abu Daud no. 547 dan Nasa’i no. 847 dan Ahmad no. 21710. Di Hasan kan al-Albaani dlm Takhriij al-Misykaat no. 1025 )
HADITS KE 12:
Dari Ubay bin Ka'ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صلاةُ الرَّجُلِ مع الرَّجُلِ أَزْكى من صلاتِه وحْدَه، وصلاتُه مع الرَّجُلينِ أزْكى من صلاتِه مع الرجُلِ، وما كثُرَ فهو أحبُّ إلى اللهِ عزَّ وجلَّ
Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah.
Semakin banyak jama'ahnya, maka semakin dicintai oleh Allah Ta'ala."
[HR. Abu Dawud (554), an-Nasa'i (2/104), dan Ahmad (5/140) (21302)].
Itu Shahihkan oleh Ali bin Al-Madini seperti dalam ((Khulashot Al-Badr Al-Munir)) (1/185).
Al-'Uqaili berkata dalam Al-Du`afa Al-Kabiir (2/116): "Dari hadits Syu`bah, itu shahih".
Al-Nawawi berkata dalam “Al-Majmu’” (4/197):
إسنادُه صحيحٌ إلَّا عبد الله بن أبي بصير الراوي عن أبي فسكتوا عنه
"Sanadnya shahih, kecuali Abdullah bin Abi Basir, perawi, dari Ubayy, maka mereka diam tentangnya".
Al-Dzahabi berkata dalam ((Al-Muhadzdzab)) (2/1033):
إسناده صالح، وله طُرق عن أبي إسحاق تختلف.
Sanadnya sholeh, dan baginya memiliki jalur-jalur yang berbeda dari Abu Ishaq.
Ibnu Katsir berkata dalam “Irshad al-Faqih” (1/166):
في إسناده اختلاف، والأرجحُ أنه صحيح
Ada perbedaan dalam Sanadnya, dan yang Raajih itu adalah Shahih.
Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul-Bari” (2/160): Dia memiliki syaahid yang kuat.
Dan Bin Baaz menilainya Shahih dalam “Fatawa Nuur ‘ala al-Darb” (11/428).
Dan Al-Albani menilainya HASAN dalam ((Shahih Sunan Abi Daud)) (554).
HADITS KE 13:
HADITS KEUTAMAAN SHAFF PERTAMA DAN MENUNGGU SHALAT BERJEMAAH:
Dari [Irbadl bin Sariyah] berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلصَّفِّ الْمُقَدَّمِ ثَلَاثًا وَلِلثَّانِي مَرَّةً
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memintakan ampun bagi orang-orang yang ada di barisan pertama tiga kali dan barisan kedua satu kali. "
[HR. Ibnu Majah no. 986 dan Ahmad no. 17141. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 4952 dan Shahih Ibnu Majah no. 996]
HADITS KE 14:
Dari Abu Umamah bahwa Rosulullah SAW bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ». قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَى الثَّانِي، قال: «إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ». قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَى الثَّانِي، قَالَ: «وَعَلَى الثَّانِي».
"Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bersholawat [melimpahkan rahmat] terhadap shaf pertama".
Mereka berkata: Ya Rasulullah, Terhadap shaf yang kedua juga.
Beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bersholawat [melimpahkan rahmat] terhadap shaf-shaf pertama ".
Mereka berkata: Ya Rasulullah, Terhadap shaf yang kedua juga.
Beliau s.a.w. bersabda: " Dan terhadap shaf yang kedua ".
[HR. Ahmad 5/262, Syu'aib Al-Arna'uth berkata: Hadits Ini Hasan Lighoirihi, dan lihat pula: Shahih At-Targhiib wa'l-Tarhiib 1/118].
Al-Haitsami dalam al-Majma' 2/94 berkata: رجال أحمد موثقون [Para perawi Ahmad semuanya dipercaya].
HADITS KE 15: HADITS SHALAT BERJEMAAH SELAMA 40 HARI
Dari Anas bin Malik. Ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَنْ صلَّى للهِ أربعينَ يومًا في جماعةٍ ، يُدْرِكُ التَّكْبيرَةَ الأُولَى ، كُتِبَتْ لهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النارِ، و بَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah sejak takbir pertama, dicatat baginya dua keterbebasan; keterbebasan dari api neraka dan keterbebasan dari kemunafikan.”
[Hadis ini diriwayatkan oleh at-Turmudzi (241) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
Dan hadits ini di riwayatkan pula Abu Kaahil dan Umar bin al-Khoththob].
Lafadz hadits riwayat Umar:
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدٍ جَمَاعَةً أَرْبَعِينَ لَيْلَةً لَا تَفُوتُهُ الرَّكْعَةُ الْأُولَى مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا عِتْقًا مِنْ النَّارِ
"Barangsiapa shalat di masjid dengan berjama'ah selama empat puluh malam, dan tidak pernah tertingggal pada raka'at pertama dari shalat Isya, maka Allah akan menuliskan kemerdekaan baginya dari api neraka." [HR. Ibnu Majah no. 790]
Di Dhaifkan oleh Syeikh al-Baani dalam Dhaif Ibnu Majah no. 171 dan Dhaif al-Jaami' no. 5671.
Namun Syeikh al-Albaani berkata dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 2652:
[Hasan dengan sekumpulan jalur-jalurnya] ".
Tujuan dari hadis ini adalah anjuran bagi muslim untuk bersegera pergi ke masjid dan berjamaah bersama imam masjid sejak takbiratul ihram.
Al-Hamdulillah. Semoga bermanfaat !
0 Komentar