BOLEHKAH WANITA PERGI SAFAR TANPA MAHRAM JIKA
AMAN PERJALANANNYA ? BERDALIL DENGAN HADITS ADZ-DZO'IINAH & LAINNYA.
----
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISALAM
======
====
DAFTAR ISI:
MUQODDIMAH
PEMBAHASAN
PERTAMA : SAFAR WANITA DALAM
KEADAAN DARURAT
PEMBAHASAN
KEDUA : SAFAR WANITA TIDAK DALAM
KONDISI DARURAT
- KENAPA JIKA BUKAN DALAM KONDISI DARURAT, SAFAR SEORANG WANITA HARUS DISERTAI DENGAN MAHRAM?
- PEMBAHASAN
KE TIGA : DALIL-DALIL
YANG MENUNJUKAN TIDAK WAJIB MAHRAM BAGI WANITA MUSAFIR JIKA AMAN PERJALANANNYA
.
- PERTAMA HADITS YANG MENUNJUKKAN WAJIB ADANYA MAHRAM
ITU KARENA FAKTOR KETIDAK AMANAN JALAN YANG DILALUI.
- HADITS ADZ-DZO'IINAH & FIQIH HADITS ADZO'IINAH
- KEDUA ATSAR PARA ISTRI NABI ﷺ PERGI HAJI SUNNAH TANPA MAHRAM PADA MASA KHALIFAH
UMAR RA
- FIQIH ATSAR HAJI SUNNAH PARA ISTRI NABI ﷺ
- KETIGA ATSAR UMMUL MUKMINIIN ‘Aisyah (radhiyallahu
‘anha)
- KEEMPAT ATSAR ABDULLAH BIN UMAR radhiyallahu ‘anhuma
- KELIMA HADITS ASMA BINTI ABU BAKAR radhiyallahu
'anhumaa
- KE
ENAM HADITS-HADITS YANG
MEWAJIBKAN MAHRAM BAGI WANITA DALAM SAFAR
- PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM MENENTUKAN MASA WAKTU TEMPUH SAFAR
- FIQIH HADITS-HADITS LARANGAN SAFAR WANITA TANPA MAHRAM
- KE TUJUH TENTANG QAIDAH BERIKUT INI :
("مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ لَا
يُبَاحُ إِلَّا لِلضَّرُورَةِ، وَمَا حُرِّمَ لِسَدِّ الذَّرِيعَةِ فَيُبَاحُ لِلْحَاجَةِ")
- KE
DELAPAN WANITA ITU BERPOTENSI
SEBAGAI PEMICU BANGKITNYA SYAHWAT KAUM PRIA. DAN FISIK KAUM WANITA LEBIH LEMAH
DI BANDING KAUM PRIA.
- PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR HAJI TANPA MAHRAM JIKA JALANNYA AMAN.
- SYARAT AMAN DARI PENDAPAT YANG TIDAK MENSYARATKAN MAHRAM
=====
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
=======****=======
MUQODDIMAH
Hadits
adz-Dzo'iinah: adalah hadits shahih Bukhori dan Muslim dari 'Adiy bin Haatim (radhiyallahu
‘anhu) yang muatannya mengisyaratkan bahwa seorang wanita boleh bepergian jauh
tanpa mahram jika jalan yang dilaluinya itu adalah jalan yang aman, baik bagi
jiwanya, kehormatannya dan hartanya.
Makna
adz-Dzo'iinah adalah wanita penunggang unta, duduk dalam sekedup yang ada di
atas nya
'Adiy
bin Haatim (radhiyallahu ‘anhu) berkata:
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ
النَّبِيِّ، ﷺ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ
آخَرُ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ.
فَقَالَ " يَا عَدِيُّ
هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ ". قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ
عَنْهَا. قَالَ: " فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ
تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا
إِلاَّ اللَّهَ ... إلَى آخِرِه"
“Ketika
aku bersama Nabi ﷺ, tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu dia mengadu kepadanya
tentang kefaqiran. Kemudian datang lagi yang lain, dan mengadu kepadanya
tentang PARA PEMBEGAL.
Maka
beliau ﷺ bersabda:
‘ Wahai ‘Adiy ! Apakah engkau pernah melihat (kota) al-Hiirah?’
Aku
menjawab: ‘Aku belum melihatnya, tetapi aku telah mendengar tentangnya’.
Beliau ﷺ bersabda:
‘Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat seorang wanita adz-Dzo’iinah
(seorang wanita di dlm هَوْدَجُ/sekedup di atas punggung unta sambil mengendarainya) melakukan
perjalanan sendirian dari al-Hiirah hingga dia melakukan thawaf di sekeliling
Ka’bah tanpa merasa takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah ‘...... dst.
(HR.
Bukhori no. 3637 dan Muslim no. 1016)
Secara
garis besar ada dua klasifikasi safar bagi wanita muslimah:
Pertama: Safar wanita dalam kondisi Darurat.
Kedua: Safar wanita dalam kondisi tidak Darurat.
**===****===**
PEMBAHASAN
PERTAMA:
SAFAR WANITA DALAM KEADAAN DARURAT
=========
Para
ulama telah sepakat: bahwa boleh hukumnya bagi seorang wanita melakukan
perjalaan safar [hijrah] dari suatu negeri [seperti dar al-kuffaar] yang dia
tidak mampu menampakkan kewajiban agamanya dan apa yang berhubungan dengannya
menuju ke satu negeri yang bisa memberikan keleluasaan dalam menjalankan
aktifitas agamanya.
----****----
DALIL-DALILNYA ADALAH SBB:
---------
DALIL PERTAMA :
Kisah
Hijrahnya Ummu Salamah dari Mekkah ke Madinah dengan pria musyrik yang bukan
mahram:
Ummu
Salamah radhiyallahu 'anha berkata:
فَارْتَحَلْتُ بَعِيرِي ثمَّ
أَخَذْتُ ابْنِي فَوَضَعْته فِي حِجْرِي، ثمَّ خَرَجْتُ أُرِيدُ زَوْجِي
بِالْمَدِينَةِ. قَالَتْ: وَمَا مَعِي أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ. قَالَتْ:
فَقُلْت: أَتَبَلَّغُ بِمَنْ لَقِيتُ حَتَّى أَقْدَمَ عَلَى زَوْجِي، حَتَّى إذَا
كُنْتُ بِالتَّنْعِيمِ لَقِيتُ عُثْمَانَ بْنَ طَلْحَةَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَخَا
بَنِي عَبْدِ الدَّارِ. فَقَالَ لِي: إلَى أَيْنَ يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ؟
قَالَتْ: فَقُلْتُ: أُرِيدُ زَوْجِي بِالْمَدِينَةِ. قَالَ: أَوَمَا مَعَكِ
أَحَدٌ؟ قَالَتْ: فَقُلْتُ: لاَ وَاَللهِ إلاَّ اللهُ وَبُنَيَّ هَذَا. قَالَ:
وَاَللهِ مَا لَكَ مِنْ مَتْرَكٍ. فَأَخَذَ بِخِطَامِ الْبَعِيرِ فَانْطَلَقَ مَعِي
يَهْوِي بِي، فَوَاللهِ مَا صَحِبْتُ رجلاً مِنَ الْعَرَبِ قَطُّ، أَرَى أَنَّهُ
كَانَ أَكْرَمَ مِنْهُ، كَانَ إذَا بَلَغَ الْمَنْزِلَ أَنَاخَ بِي، ثمَّ
اسْتَأْخَرَ عَنِّي، حَتَّى إذَا نَزَلْتُ اسْتَأْخَرَ بِبَعِيرِي، فَحَطَّ عَنْهُ
ثَمَّ قَيَّدَهُ فِي الشَّجَرَةِ، ثمَّ تَنَحَّى وَقَالَ: ارْكَبِي. فَإِذَا
رَكِبْتُ وَاسْتَوَيْتُ عَلَى بَعِيرِي أَتَى فَأَخَذَ بِخِطَامِهِ فَقَادَهُ
حَتَّى يَنْزِلَ بِي. فَلَمْ يَزَلْ يَصْنَعُ ذَلِكَ بِي حَتَّى أَقْدَمَنِي
الْمَدِينَةَ، فَلَمَّا نَظَرَ إلَى قَرْيَةِ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ بِقُبَاءٍ
قَالَ: زَوْجُك فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ -وَكَانَ أَبُو سَلَمَةَ بِهَا نَازِلاً-
فَادْخُلِيهَا عَلَى بَرَكَةِ اللهِ. ثُمَّ انْصَرَفَ رَاجِعًا إلَى مَكَّةَ.
قَالَ: فَكَانَتْ تَقُولُ: وَاللهِ مَا أَعْلَمُ أَهْلَ بَيْتٍ فِي الإِسْلاَمِ
أَصَابَهُمْ مَا أَصَابَ آلَ أَبِي سَلَمَةَ، وَمَا رَأَيْتُ صَاحِبًا قَطُّ كَانَ
أَكْرَمَ مِنْ عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَة.
"
Maka aku mengambil untaku dan kemudian mengambil anakku dan meletakkannya di
pangkuan aku, kemudian aku bergerak pergi menuju suamiku yang sudah berada di
Madinah.
Dia
berkata: Aku tidak memiliki siapa pun dari makhluk Allah.
Dia
berkata: Maka aku berkata: "Apakah aku harus memberitahu pada orang yang
aku temui di jalan agar dia mau mengantarkan aku ke suamiku". Sehingga
ketika aku tiba di at-Tan'iim, aku bertemu 'Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah,
saudara Bani Abdi ad-Daar [saat itu dia masih musyrik]
Dia
berkata kepadaku: Kamu mau pergi kemana, hai putri Abu Umayyah?
Dia
berkata: Aku berkata: Aku mau pergi ke suami aku di Madinah.
'Utsman
bin Thalhah berkata: Apakah ada orang bersamamu?
Dia
berkata: Aku berkata: Tidak ada, demi Allah, kecuali Allah dan anak ini.
'Utsman
bin Thalhah: Demi Allah, kamu tidak akan diterlantarkan.
Lalu
dia mengambil tali kekang unta itu dan beranjak pergi bersamaku dan membimbing
perjalananku. Demi Allah, aku tidak pernah menemani laki-laki dari Arab dalam
perjalanan, yang saya lihat lebih terhormat darinya.
Ketika
sampai di tempat persinggahan untuk istirahat; maka dia menambatkan tali kekang
untaku, lalu dia mundur kebelakang menjauh dariku. Sehingga ketika aku sudah
selesai istirahat dan hendak melanjutkan perjalanan, maka dia mendekatkan
untaku, lalu merendahkan punggung unta dan mengikatnya di pohon.
Kemudian
ketika unta sudah bersandar, maka Utsman berkata: Naik lah !.
Lalu
ketika saya telah naik dan menunggangi unta saya, dia datang dan mengambil tali
kekangnya dan menuntunnya hingga sampai bersamaku di sebuah persinggahan
berikutnya. Dan dia terus melakukan hal ini padaku, hingga dia membawaku tiba
di Madinah...".
[Lihat:
السِّيرَةُ النَّبَوِيَّةُ karya Ibnu Hisyam 1/469, 470, عُيُونُ الْأَثَرِ karya Ibnu Sayyid an-Nas 1/200, تَارِيخُ الْإِسْلَامِ karya al-Dzahabi 1/312, الْبِدَايَةُ
وَالنِّهَايَةُ karya
Ibn Katsir 3/208, dan الإِصَابَةُ karya Ibnu Hajar 8/404, 405]
Akram
Dhiyaa Al-'Amri berkata:
مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ إِسْحَاقَ
بِإِسْنَادٍ صَالِحٍ لِلِاعْتِبَارِ، فِيهِ سَلَمَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ
بْنِ أَبِي سَلَمَةَ مَقْبُولٌ، وَقَدْ تَفَرَّدَ بِتَوْثِيقِهِ ابْنُ حِبَّانَ.
Dari
riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang shalih untuk i'tibaar, di mana Salamah bin
Abdullah bin Umar bin Abi Salama dapat diterima [مَقْبُولٌ], dan Ibnu Hibban mentautsiq secara
tunggal. [Baca: السِّيرَةُ النَّبَوِيَّةُ الصَّحِيحَةُ (1/204)].
Ibrahim
Al-'Ali berkata:
مِنْ طَرِيقِ ابْنِ إِسْحَاقَ وَقَدْ
صَرَّحَ بِالسَّمَاعِ، وَسَنَدُهُ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، فَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ.
Dari
jalur Ibnu Ishaq, dan dia berterus terang mendengar langsung, dan sanadnya para
perawinya dapat dipercaya, maka hadits itu shahih. [Baca: صَحِيحُ السِّيرَةِ النَّبَوِيَّةِ hal. 117]
DALIL KE DUA :
Kisah
hijrah Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith, dari Mekkah ke Madinah bersama
pria bukan mahram.
Ummu
Kultsum menceritakan kisah hijrahnya dan berkata:
"كُنْتُ أَخْرُجُ إِلَى بَادِيَةٍ لَنَا
فِيهَا أَهْلِي، فَأُقِيمُ فِيهَا الثَّلَاثُ وَالْأَرْبَعَ ثُمَّ أَرْجِعُ
إِلَيْهِمْ فَلَا يُنْكَرُونَ ذِهَابِي لِلْبَادِيَةِ، حَتَّى أَجْمَعْتُ
الْمَسِيرَ، فَخَرَجْتُ يَوْمًا مِنْ مَكَّةَ كَأَنِّي أُرِيدُ الْبَادِيَةَ،
فَلَمَّا رَجَعَ مَن تَبَعَنِي، إِذَ رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ، قَالَ: 'أَيْنَ
تُرِيدِينَ؟' قُلْتُ: 'مَا مَسْأَلَتُكَ؟ وَمَنْ أَنْتَ؟' قَالَ: 'رَجُلٌ مِنْ
خُزَاعَةَ'.
فَلَمَّا ذُكِرَ خُزَاعَةَ
اطْمَأَنْتُ إِلَيْهِ لِدُخُولِ خُزَاعَةَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
وَعَقْدِهِ. فَقُلْتُ: 'إِنِّي امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ، وَإِنِّي أُرِيدُ
اللِّحَاقَ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَلَا عِلْمَ لِي بِالطَّرِيقِ،' قَالَ: 'أَنَا
صَاحِبُكِ حَتَّى أُورِدُكِ الْمَدِينَةَ.' ثُمَّ جَاءَنِي بِبَعِيرٍ فَرَكَبْتُهُ
حَتَّى قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، وَكَانَ خَيْرَ صَاحِبٍ، فَجَزَاهُ اللَّهُ
خَيْرًا.
بَعْدَ أَن تَأَخَّرَتْ
"أُمُّ كُلْثُوم" عَن مَوْعِدِ الْعَوْدَةِ وَشَعَرَ أَهْلُهَا بِغِيَابِهَا
خَرَجُوا لِيَبْحَثُوا عَنْهَا فَعَرَفُوا أَنَّهَا هَاجَرَتْ إِلَى الْمَدِينَةِ
حَيْثُ أَخْبَرَتْهُمْ وَاحِدَةٌ مِنَ النِّسَاءِ أَنَّهَا رَأَتْهَا تَسِلُكُ
الطَّرِيقَ الْمُؤدِّيَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ."
“Aku dulu
pergi ke sebuah kampung di gurun sahara di mana kami memiliki keluargaku, dan
aku tinggal di sana tiga dan empat hari, kemudian aku akan kembali kepada
mereka, sehingga mereka tidak akan menghalanginya; karena kepergianku ke gurun
sahara.
Sampai
aku telah mengumpulkan segala sesuatu untuk memudahkan pejalanan, maka pada
suatu hari aku meninggalkan Mekah seolah-olah aku menuju gurun sahara, ketika
orang yang mengantarku kembali, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari Khuza’ah,
dia berkata: Mau kemana? Aku berkata: Apa masalah Anda? dan siapa Anda? Dia
berkata: Seorang pria dari Khuza'ah.
Ketika
dia menyebut Kabilah Khuza'ah, aku merasa tenang padanya karena Khuza'ah masuk
dalam sekutu Rosulullah ﷺ dan perjanjiannya.
Aku
berkata: Aku seorang wanita dari Quraisy, dan aku ingin bergabung dengan
Rasulullah ﷺ,
sementara aku tidak tahu jalan.
Dia
berkata: Aku adalah temanmu sampai aku membawamu ke Madinah.
Kemudian
dia membawakanku seekor unta dan aku menungganginya sampai kami tiba di
Madinah, dan dia adalah sahabat dalam perjalanan yang terbaik, semoga Allah
membalasnya dengan kebaikan.
Setelah
Umm Kultsum terlambat dari jadwal waktu kembali dan keluarganya merasakan
ketidakhadirannya, mereka pergi mencarinya dan mengetahui bahwa dia telah
hijrah ke Madinah. Salah satu wanita memberi tahu mereka bahwa dia telah
melihatnya mengambil jalan yang menuju ke arah Madinah.
[Baca:
صَفْوَةُ الصَّفْوَةِ karya Ibnu al-Jauzi 1/322].
Dan
berkenaan dengan kisah hijrah nya Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith,
Allah menurukan ayat dalam surat al-Mumthanah: 10. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ
ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka.
Dan
berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan
tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah
mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)
DALIL KE TIGA :
Kisah
wanita muslimah yang lari dari tawanan para perampok:
Dalam
Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran bin Hushain (radhiyallahu ‘anhu), dia
berkata:
وَأُسِرَتِ امْرَأَةٌ مِنَ
الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ
وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ
ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنَ
الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ
تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا
فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ -
قَالَ - وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ
عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ .
فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ . فَقَالَتْ إِنَّهَا
نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا . فَأَتَوْا
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ .
فَقَالَ " سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا
نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ
لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ الْعَبْدُ".
"
Ada seorang wanita Anshar tertawan (para perampok) bersama dengan unta beliau ﷺ yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar
tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok)
tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di
depan persinggahan-persinggahan mereka.
Kemudian
wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi
kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu
mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga ia temui unta 'adlba'. Jadilah
ia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu
ia menghardiknya hingga berlari kencang.
Orang-orang
yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka
mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.
Wanita
itu sempat bernadzar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih
unta 'adlba' itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut,
lalu mereka berkata, Ini adalah Al Adlba', unta Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam!.
Wanita
itu berkata (dengan redaksi), Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta
tersebut akan disembelihnya. Lalu orang-orang menemui Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dan memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.
Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkomentar:" Subhanallah,
alangkah jahatnya pembalasan ia kepadanya, ia bernadzar kepada Allah apabila
Allah menyelamatkannya, maka ia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban
melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap
sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang hamba". [HR. Muslim
no. 3099]
Al-Imam
an-Nawawi dalam Syarah Muslim 11/102 berkata ketika mensyarahi hadits ini:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ
سَفَرِ الْمَرْأَةِ وَحْدَهَا بِلَا زَوْجٍ وَلَا مَحْرَمٍ وَلَا غَيْرِهِمَا إِذَا
كَانَ سَفَرُ ضَرُورَةٍ كَالْهِجْرَةِ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ،
وَكَالْهَرَبِ مِمَّنْ يُرِيدُ مِنْهَا فَاحِشَةً وَنَحْوَ ذَلِكَ، وَالنَّهْيُ عَنْ
سَفَرِهَا وَحْدَهَا مَحْمُولٌ عَلَى غَيْرِ الضَّرُورَةِ. اﻫـ
Dan
dalam hadits ini dibolehkan seorang wanita bepergian sendiri tanpa suami, tanpa
mahram, atau siapa pun jika itu safar darurat, seperti hijrah dari Dar al-Harm
[negeri musuh Islam] ke Dar al-Islam [Negeri Islam].
Dan
seperti lari dari seseorang yang hendak melakukan perbuatan keji [amoral]
darinya, dan seterusnya, dan larangan bepergian sendirian harus dipahami jika
bukan karena darurat. [KUTIPAN SELESAI].
Ibnu
al-Mulaqqin dalam “الإِعْلَامُ بِفَوَائِدِ
عُمْدَةِ الْأَحْكَامِ“ (6/79) berkata:
أَمَّا سَفَرُ الْهِجْرَةِ مِنْ
دَارِ الْحَرْبِ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ فَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِهِ،
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا أَحَدٌ مِنْ مَحَارِمِهَا. ا.هـ.
Adapun
perjalanan hijrah dari Dar al-Harb [negeri musuh Islam] ke Dar al-Islam [negeri
Islam], maka para ulama sepakat bahwa itu wajib safar, meskipun tidak ada
mahram bersamanya". [KUTIPAN SELESAI].
Dan
Abu al-'Abbaas dalam " المُفْهِمُ لِمَا أَشْكَلَ مِنْ
تَلْخِيصِ كِتَابِ مُسْلِمٍ” (3/450)
berkata:
اُتُّفِقَ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ
عَلَيْهَا ـ أَيِ: الْمَرْأَةِ ـ أَنْ تُسَافِرَ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ إِذَا خَافَتْ
عَلَى دِينِهَا وَنَفْسِهَا، وَتُهَاجِرَ مِنْ دَارِ الْكُفْرِ كَذَلِكَ. ا.هـ.
"
Telah disepakati bahwa wajib bagi seorang wanita untuk melakukan safar meski
dengan tanpa mahram jika dia berada di satu negeri yang dia takut untuk
mengamalkan agamanya dan khawatir pada dirinya sendiri, dan begitu juga dia
harus hijrah keluar dari Dar al-Kufr [negeri kafir]. [KUTIPAN SELESAI].
Ar-Rohaibaani
dalam " مَطَالِبُ أُولِي النُّهَى” (3/433) berkata:
وَذَلِكَ (لِأَنَّ الْقِيَامَ بِأَمْرِ
الدِّينِ وَاجِبٌ، وَالْهِجْرَةَ مِنْ ضَرُورَةِ الْوَاجِبِ، وَمَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ
إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ)
Dan
yang demikian itu (karena menjalankan urusan agama adalah suatu kewajiban, dan
hijrah adalah bagian dari darurat untuk suatu kewajiban, dan apa yang tidak
bisa menyelesaikan suatu kewajiban tanpanya adalah suatu kewajiban). [KUTIPAN
SELESAI].
***=====***=====**
PEMBAHASAN
KEDUA:
SAFAR WANITA TIDAK DALAM KONDISI DARURAT
-------
KENAPA
JIKA BUKAN DALAM KONDISI DARURAT, SAFAR SEORANG WANITA HARUS DISERTAI DENGAN
MAHRAM?
Pada
umumnya dan pada hukum asalnya dalam syariat Islam seorang wanita dilarang
bepergian jauh tanpa mahram jika bukan karena kondisi darurat . Hadits-hadits
larangan tersebut cukup banyak dan shahih. Pentingnya mahram bagi wanita yang
musafir itu dikarenakan dalam rangka untuk menjaga dan melindunginya dari
bahaya, beban safar dan kesulitan dalam perjalanan.
Selain
itu semua , juga dalam rangka menyediakan kebutuhan wanita musafir dalam
perjalanannya, dikarenakan dalam Safar itu penuh dengan kesulitan dan kesusah
payahan , khususnya Safar pada zaman Nabi ﷺ, yang mana pada masa itu harus mengarungi
padang pasir yang gersang , tandus , kering, terjal , sunyi , lengang dan jauh
dari pemukiman serta keramaian manusia, bahkan sangat rawan dengan perampokan,
pembegalan dan pemerkosaan ditengah padang pasir, sebagaimana yang di
isyaratkan oleh Nabi ﷺ dalam
hadits adz-Dza'iinah .
Terkadang
kaum pria yang kuat pun merasa kelelahan dalam menanggung beban perjalanan ini
dan kewalahan mengahadapi mara bahaya seperti binatang buas dan begal . Oleh
sebab itu dalam hadits Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
" السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ
يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ
فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ".
"Bepergian
jauh (safar) itu adalah sebagian dari adzab [siksaan], yang membuat salah
seorang dari kalian terhalang dari makan, minum dan tidur. Maka apabila dia
telah selesai dari urusannya hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya".
[HR. Bukhori no. 1804 dan Muslim no. 1972]
Dan
bahkan kadang dalam perjalanan di padang pasir dahulu sering terjadi penculikan
terhadap para musafir untuk dijadikan budak , lalu diperjual belikan seperti
yang menimpa pada sahabat Zaid bin Haaritsah dan Salman al-Faarisy radhiyallahu 'anhuma.
Kisah
singkat perbudakan Zaid bin Haaritsah RA [W. 8 H]:
Zaid
semasa kecilnya diculik oleh pasukan berkuda Bani al-Qain ibn Jisr sebelum
Islam, ketika mereka menyerbu perkampungan Bani Ma'an, keluarga ibunya, dan dia
bersama ibunya mengunjungi keluarganya. Mereka menjual Zaid di pasar 'Ukadz.
Dan Hakim bin Hizam membelinya untuk bibinya Khadijah binti Khuwaylid RA
seharga empat ratus dirham. Ketika Nabi Muhammad ﷺ menikahinya,
Khadijah menghibahkannya kepadanya
Kisah
singkat perbudakan Salman al-Faarisy RA [W. 33 H]:
Salman
adalah seorang Persia dari penduduk Asfahan, ayahnya kepala distrik daerah Jiy.
Salman melakukan kesepakatan dengan sekelompok orang dari Bani Kalb dengan
biaya tertentu untuk membawanya ke negeri Arab untuk menelusuri keberadaan Nabi
akhir zaman Mauhammad ﷺ, tetapi mereka mengkhianatinya dan menjual Salman kepada
seorang Yahudi dari Waadi al-Qura. Kemudian seorang Yahudi lain dari Yatsrib
[sekarang Madinah al-Munawwarah] dari Bani Quraidzah membelinya dan membawanya
ke Yatsrib. Setelah Nabi ﷺ hirah ke
Madinah, maka Salman masuk Islam lalu dimerdekakan dari perbudakannya oleh Nabi
ﷺ. [Lihat
Musnad Imam Ahmad 5/441, sanadnya Hasan].
KESIMPULANNYA :
Jika dengan kaum pria saja demikian adanya, lalu bagaimana dengan kaum
wanita?.
Mungkin
karena disebabkan faktor dan kondisi seperti inilah; maka Nabi ﷺ mewajibkan kaum wanita yang hendak safar harus
didampingi mahram ; tujuannya adalah untuk memberikan keamanan pada diri wanita
tersebut dan kenyamanan untuknya.
Oleh
sebab itu : hadits-hadits yang
mengharuskan adanya mahram bagi wanita yang safar, berbeda-beda dalam
menyebutkan masa tempuh perjalanannya, di sesuaikan dengan tingkat bahaya dalam
jalur yang dilaluinya.
Ada
hadits yang menyebutkan jarak waktu tempuhnya setengah hari, ada yang semalam,
ada yang sehari, ada yang dua malam, ada yang dua hari, ada yang tiga malam,
ada yang tiga hari dan ada juga yang tidak menyebutkan jarak waktu tempuh.
**====****=====**
PEMBAHASAN
KE TIGA:
DALIL-DALIL YANG MENUNJUKAN TIDAK WAJIB MAHRAM BAGI WANITA MUSAFIR
JIKA AMAN PERJALANANNYA
-----
Berikut
ini penulis akan memaparkan hadits-hadits, atsar-atsar, qaidah dan lainnya yang
berkenaan dengan topik mahram dalam safar wanita, kemudian penulisa akan
mencoba memadukan antar hadits-hadits tsb atau menggabungkanya.
-----***------
DALIL PERTAMA:
HADITS YANG MENUNJUKKAN WAJIB ADANYA MAHRAM ITU KARENA FAKTOR KETIDAK AMANAN
JALAN YANG DILALUI.
------------
Yaitu
sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits ADZ-DZO'IINAH:
Hadits
adzo'iinah adalah hadits yang muatannya menunjukkan bahwa seorang wanita boleh
bepergian jauh tanpa mahram jika AMAN diperjalanan-nya.
Yaitu
hadist yang diriwayatkan Imam Bukhory dan Imam Muslim dari 'Adiy bin Haatim RA,
[seorang Nasrani yang masuk Islam].
'Adiy
bin Haatim RA berkata:
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ
النَّبِيِّ، ﷺ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ
آخَرُ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ.
فَقَالَ " يَا عَدِيُّ
هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ ". قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ
عَنْهَا. قَالَ: " فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ
تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا
إِلاَّ اللَّهَ " ـ
(قُلْتُ - فِيمَا بَيْنِي
وَبَيْنَ نَفْسِي - فَأَيْنَ دُعَّارُ طَيِّئٍ الَّذِينَ قَدْ سَعَّرُوا
الْبِلاَدَ )
" وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ
حَيَاةٌ لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى ".
قُلْتُ: كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ
؟. قَالَ " كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ،
لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ،
يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ، فَلاَ يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ،
وَلَيَلْقَيَنَّ اللَّهَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ يُتَرْجِمُ لَهُ. فَيَقُولَنَّ أَلَمْ أَبْعَثْ إِلَيْكَ
رَسُولاً فَيُبَلِّغَكَ فَيَقُولُ بَلَى. فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ مَالاً
وَأُفْضِلْ عَلَيْكَ فَيَقُولُ بَلَى. فَيَنْظُرُ عَنْ يَمِينِهِ فَلاَ يَرَى
إِلاَّ جَهَنَّمَ، وَيَنْظُرُ عَنْ يَسَارِهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ جَهَنَّمَ
".
قَالَ عَدِيٌّ: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ " اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقَّةِ تَمْرَةٍ،
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ شِقَّةَ تَمْرَةٍ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ ".
قَالَ عَدِيٌّ: فَرَأَيْتُ
الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لاَ
تَخَافُ إِلاَّ اللَّهَ، وَكُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ
هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكُمْ حَيَاةٌ لَتَرَوُنَّ مَا قَالَ النَّبِيُّ
أَبُو الْقَاسِمِ ﷺ " يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ "
“Ketika
aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang
laki-laki, lalu dia mengadu kepadanya tentang kefaqiran. Kemudian datang lagi
yang lain, dan mengadu kepadanya tentang PARA PEMBEGAL.
Maka
beliau ﷺ bersabda: ‘ Wahai ‘Adiy ! Apakah engkau pernah
melihat (kota) al-Hiirah?’
Aku
menjawab: ‘Aku belum melihatnya, tetapi aku telah mendengar tentangnya’.
Beliau
ﷺ bersabda: ‘Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan
melihat seorang wanita adz-Dzo’iinah (seorang wanita di dlm هَوْدَجُ/sekedup
di atas punggung unta sambil mengendarainya) melakukan perjalanan sendirian
dari al-Hiirah hingga dia melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah tanpa merasa
takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah ‘.
Aku
['Adiy] bertanya di dalam hati: ‘Ke manakah para pembegal dari Thayyi’ yang
telah menebarkan musibah [fitnah] di berbagai negeri?!’
(Lalu
Rosulullah ﷺ melanjutkan sabdanya): ‘Dan seandainya umurmu
panjang, niscaya akan dibukakan harta simpanan Kisra.’
Aku
bertanya: ‘Kisra bin Hurmuz?!’
Beliau
ﷺ menjawab: ‘[Iya] Kisra bin Hurmuz, dan seandainya
umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat seorang laki-laki mengeluarkan
(zakat) emas atau perak sepenuh kedua telapak tangannya, dia mencari orang yang
akan menerimanya, lalu dia sama sekali tidak mendapati seorang pun yang mau
menerimanya darinya …
‘Adi
berkata: “Lalu aku sendiri melihat seorang wanita yang melakukan perjalanan
dari (kota) al-Hiirah hingga dia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ada rasa
takut kecuali kepada Allah.
Dan
aku juga adalah termasuk orang yang membuka harta simpanan Kisra bin Hurmuz.
Dan
jika kalian berumur panjang, niscaya kalian akan melihat apa-apa yang dikatakan
oleh Abul Qasim (Nabi) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yaitu) orang yang
menshadaqahkan (emas) sepenuh telapak tangan.”. (HR. Bukhori no. 3637 dan
Muslim no. 1016)
Lokasi kota AL-HIIRAH:
Al-Hiirah
adalah kota Arab yang sudah tidak berfungsi lagi dan al-Hiirah adalah situs
arkeologi yang terletak di bagian selatan Irak tengah, dekat dengan kota Kufah.
Al-Hiirah
adalah salah satu pilar segitiga kota peradaban, yang disebut
Najaf-Kufa-Al-Hira di Efrat Tengah.
Al-Hiirah
sekarang adalah pusat dari sub-distrik administratif Irak dengan nama yang sama
di distrik Al-Manadzirah, provinsi Najaf.
Dulunya
Al-Hirah adalah daerah yang diselimuti kemakmuran yang luar biasa, terutama
dalam perdagangan, pertanian, industri, dan pergerakan dalam pembangunan
Awalnya
Al-Hirah dimulai sebagai sebuah kota kecil dan kemudian melalui tahap demi
tahap menuju kemakmuran pada masa-masa yang panjang.
Al-Hirah
terletak di salah satu kota selatan Irak, tepatnya di dataran sedimen
Mesopotamia, barat laut gurun Samawah. Jaraknya 15 kilometer dari kota Kufah,
dan sekitar 10 kilometer tenggara kota Najaf
====
FIQIH HADITS ADZ-DZO'IINAH:
Ada
sebagian para ulama yang menyatakan:
يَدُلُّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى جَوَازِ
سَفَرِ الْمَرْأَةِ دُونَ مَحْرَمٍ إِذَا أَمِنَتِ الطَّرِيقَ؛ اسْتِدْلَالًا بِقَرِينَةِ
وُرُودِهِ فِي سِيَاقِ الْمَدْحِ، وَرَفْعِ مَنَارِ الْإِسْلَامِ، فَيُحْمَلُ عَلَى
الْجَوَازِ.
Bahwa
adits ini menunjukkan bolehnya safar seorang wanita tanpa mahram jika
benar-benar aman jalan yang di laluinya, berdalil dengan qoriinah dari
kata-kata nya yang beirisi pujian dan meninggikan menara syiar Islam, maka
hadits ini di fahami akan bolehnya safar wanita tanpa mahram.
Al-'Aini
dalam kitab عُمْدَةُ الْقَارِي (16/148) berkata:
مَا جَاءَ فِي حَدِيثِ عَدِيِّ بْنِ
حَاتِمٍ مَرْفُوعًا: "يُوشِكُ أَنْ تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ تَؤُمُّ
الْبَيْتَ لَا جِوَارَ مَعَهَا". فَهُوَ وَإِنْ كَانَ مِنْ بَابِ الْإِخْبَارِ
إِلَّا أَنَّهُ فِي سِيَاقِ مَدْحِ الزَّمَانِ بِانْتِشَارِ الْأَمْنِ وَرَفْعِ مَنَارِ
الْإِسْلَامِ، فَيُحْمَلُ عَلَى الْجَوَازِ.
Apa
yang disebutkan dalam hadits marfuu' Adiy bin Hatim:
"Sudah
dekat waktunya akan ada Adz-Dza'inah [wanita penunggang unta, duduk dalam
sekedup yang ada di atas nya] keluar dari Al-Hiiraah, menuju Baitullah, tanpa
pendamping bersamanya." (Al-Bukhari no. 3400).
Maka
hadits ini, meskipun itu dalam bab penginformasian zaman yang akan terjadi,
namun kata-katanya itu dalam konteks pujian terhadap suatu zaman, yang mana
kondisi pada masa itu menyebar luasnya rasa aman dan melambungnya syiar-syiar
Islam, maka hadits ini mengarahkan pada hukum boleh (safar wanita tanpa
mahram). [Kutipan SELESAI]
DR.
Sami bin Abdulaziz Al-Maajid [Anggota
ikatan para dosen di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud - RIYADH]. Dalam
artikelnya الِاسْتِدْلَالُ عَلَى جَوَازِ سَفَرِ الْمَرْأَةِ بِدُونِ
مَحْرَمٍ (12/286)
[الْمَكْتَبَةُ الشَّامِلَةُ الْحَدِيثَةُ], dia berkata:
اسْتَدَلَّ بِهِ [حَدِيثُ الظَّعِينَةِ]
بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ عَنْ سَفَرِ الْمَرْأَةِ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ
مُخَصَّصٌ بِالطَّرِيقِ الْمَخُوفِ، فَإِذَا كَانَ آمِنًا تَأْمَنُ فِيهِ الْمَرْأَةُ
عَلَى نَفْسِهَا وَعِرْضِهَا أَنْ يَغْتَصِبَهَا مُغْتَصِبٌ أَوْ يُغْصَبَ مَالُهَا
وَنَحْوَ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ بِلَا مَحْرَمٍ، لَكِنْ مَعَ
نِسَاءٍ ثِقَاتٍ.
"
Sebagian para ulama berdalil dengan [Hadits Al-Dha'inah] bahwa larangan
terhadap seorang wanita bepergian tanpa mahram adalah khusus untuk jalur
perjalanan yang menakutkan.
Maka
jika jalur itu aman, di mana wanita itu merasa aman dalam dirinya dan aman dari
pemerkosaan, aman dari perampasan hartanya dan lain sebagainya, maka
diperbolehkan baginya untuk keluar tanpa mahram, tetapi bersama para wanita
yang dapat dipercaya".
Kemudian
DR. Saami menyebutkan hadits adz-Dzo'iinah, setelah itu dia berkata:
فَكَوْنُ هَذَا يَقَعُ وَلَا يَظْهَرُ
إِنْكَارُهُ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ
مَنُوطٌ بِالْخَوْفِ عَلَى نَفْسِ الْمَرْأَةِ وَعِرْضِهَا، وَمَالِهَا أَنْ يُعْتَدَى
عَلَيْهِ مُعْتَدٍ، وَلَوْ كَانَ فِعْلُهَا هَذَا حَرَامًا لَمَا سَاقَهُ النَّبِيُّ
- ﷺ - فِي حَدِيثِهِ إِخْبَارًا عَنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ بِظُهُورِ مَنَارَاتِ الْإِسْلَامِ
وَاسْتِتْبَابِ الْأَمْنِ، فَإِنَّ الْمُنْكَرَ لَا يُنَاسِبُ أَنْ يُسَاقَ فِي هَذَا
الْبَابِ،
فَالَّذِينَ اسْتَدَلُّوا بِهَذَا
الْحَدِيثِ لَمْ يَسْتَدِلُّوا بِهِ؛ لِأَنَّهُ إِخْبَارٌ مُجَرَّدٌ، بَلْ كَانَ اسْتِدْلَالُهُمْ
بِمَا يُشْعِرُ بِهِ هَذَا الْخَبَرُ مِنْ جَوَازِ هَذَا الَّذِي سَيَقَعُ؛ لِأَنَّهُ
مَسُوقٌ فِي سِيَاقِ الْإِخْبَارِ عَنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ بِاسْتِتْبَابِ الْأَمْنِ
وَظُهُورِ مَنَارَاتِ الْإِسْلَامِ فِي أَرَاضِيهِ الْوَاسِعَةِ،
وَقَدْ أَجَابَ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ
بِهَذَا الْحَدِيثِ الْقَائِلُونَ بِعُمُومِ النَّهْيِ عَنْ سَفَرِ الْمَرْأَةِ بِدُونِ
مَحْرَمٍ بِأَنَّ هَذَا إِخْبَارٌ لَا بَيَانُ حُكْمٍ، وَيُجَابُ عَنْ هَذَا بِأَنَّهُ
وَإِنْ كَانَ خَبَرًا لَكِنَّهُ يَحْمِلُ مَعْنَى جَوَازِ مَا سَيَقَعُ؛ لِأَنَّهُ
فِي سِيَاقِ التَّذْكِيرِ بِنِعْمَةِ اللهِ بِشُيُوعِ الْأَمْنِ بَعْدَ الْخَوْفِ وَظُهُورِ
رَايَةِ الْإِسْلَامِ فِي الْأَرْضِ الْمُتَبَاعِدَةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ
"
Realita ini benar-benar terjadi namun tidak nampak adanya pengingkaran dari
kalangan para ulama dan umat Isalm, maka ini adalah bukti bahwa larangan
tersebut didasarkan pada kekhawatiran terhadap nyawa wanita itu, kehormatannya,
dan hartanya agar tidak diserang oleh orang-orang jahat.
Dan
jika perbuatan wanita dalam hadits adz-dzoo'iinah ini dilarang, maka tentunya
Nabi ﷺ tidak akan menuturkan dalam haditsnya tentang
kesempurnaan nikmat Allah dengan berkibarnya menara-menara syi'ar kenyamanan
dengan kehadiran Islam dan terciptanya keamanan [hingga dipadang pasir yang
sepi].
Dan
jika perbuatan wanita adz-dzoo'iinah ini dianggap sebagai sebuah kemunkaran;
maka tentunya sangatlah tidak pantas dipaparkan oleh Nabi ﷺ dalam hal ini.
Maka
orang-orang yang berdalil dengan hadits ini [boleh nya Safar wanita tanpa
mahram]; mereka tidak berdalil dengan mengatakan bahwa hadits ini hanyalah
sebuah kabar belaka, melainkan berdalil nya mereka dengan hadits dzo''inah ini
adalah bahwa hadits ini mengisyaratkan bahwa hal tersebut ada kemungkinan
terjadi; karena dipaparkan dalam bentuk narasi yang menginformasikan tentang
akan datangnya masa kesempurnaan nikmat Islam, terciptanya keamanan dan
berkibarnya menara-menara syiar [panji-panji] Islam di muka-muka bumi yang
luas.
Mereka
yang mengatakan bahwa pada umumnya wanita dilarang bepergian tanpa mahram telah
menanggapi kesimpulan hadits ini: bahwa ini adalah sebuah kabar, bukan
perjelasan hukum.
Jawabannya
adalah bahwa meskipun itu adalah khabar, akan tetapi mengandung makna yang
mungkin akan terjadi; karena kandungannya dalam kontek mengingatkan akan
datangnya nikmat Allah dengan menyebarnya rasa aman setelah adanya rasa
ketakutan dan kecemasan serta munculnya panji-panji Islam hingga ke negeri-negeri
yang yang saling berjauhan. Wallaahu a'lam ". [Selesai].
Sheikh
Ahmad Mamduuh,
Sekretaris Fatwa di Dar Al-Iftaa Mesir, mengatakan:
وَأَنَّ الْعِلَّةَ فِي الْمَحْرَمِ
هِيَ الْأَمْنُ لِلْمَرْأَةِ، فَإِنْ أَتَى وَقْتٌ وَتَحَقَّقَ الْأَمْنُ بِدُونِ وُجُودِ
مَحْرَمٍ فَلَا يَظَلُّ الْمَنْعُ مَوْجُودًا، وَيَجُوزُ لَهَا أَنْ تُسَافِرَ مِنْ
غَيْرِ مَحْرَمٍ مَا دَامَتْ آمِنَةً عَلَى نَفْسِهَا وَعِرْضِهَا.
وَأَوْضَحَ، أَنَّ الشَّافِعِيَّةَ
قَالُوا بِجَوَازِ سَفَرِ الْمَرْأَةِ لِلْحَجِّ إِنْ أَمِنَتْ عَلَى نَفْسِهَا بِدُونِ
مَحْرَمٍ، وَيَتَحَقَّقُ الْأَمْنُ بِسَفَرِهَا مَعَ رِفْقَةٍ آمِنَةٍ مِنَ النِّسَاءِ
الْمُسْلِمَاتِ، وَيَشْمَلُ هَذَا السَّفَرَ حُضُورَ الْمُؤْتَمَرَاتِ وَالْعَمَلَ
وَحَتَّى التَّرْوِيحَ عَنِ النَّفْسِ.
"Dan
bahwa illat [alasan harus ada] mahram adalah demi keamanan untuk wanita, maka
jika tiba masa-nya dan keamanan terpenuhi tanpa kehadiran mahram, maka larangan
itu tidak berlaku lagi dan boleh bagi wanita bepergian tanpa mahram selama
kondisi keamanan bagi jiwanya dan kehormatannya masih terus bisa terjaga secara
berkesinambungan.
Dan
lebih jelas lagi, bahwa para ulama Syafi'iyyah mengatakan: bahwa Safar wanita
untuk haji jika dia merasa aman pada dirinya tanpa mahram, dan keamanan itu
betul-betul terbukti nyata dalam safarnya tersebut bersama rombongan para
wanita yang dipercaya dari kalangan para wanita Muslimah.
Dan
ini termasuk safar dalam rangka menghadiri konferensi, bekerja dan bahkan
rekreasi".
------***-------
DALIL KEDUA:
ATSAR PARA ISTRI NABI ﷺ PERGI
HAJI SUNNAH TANPA MAHRAM PADA MASA KHALIFAH UMAR RA:
----------------
Umar
(radhiyallahu ‘anhu) memberi izin untuk menunaikan haji kepada para istri Nabi ﷺ tanpa mahram pada akhir haji yang Umar lakukan
Dari
Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu 'anhu, berkata:
أَذِنَ عُمَرُ رَضيَ اللهُ عنه
لأزْوَاجِ النبيِّ ﷺ في آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا، فَبَعَثَ معهُنَّ عُثْمَانَ بنَ
عَفَّانَ، وعَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ.
bahwa
Umar radliallahu 'anhu memberi izin (untuk menunaikan haji) kepada para istri
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada akhir haji yang dia lakukan, lalu ia
mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf bersama mereka. [HR. Bukhori
no. 1772,1860]
Al-Badr al-Aini, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Umdat al-Qoori
(10/219):
وَرَوَى ابْنُ سَعْدٍ مِنْ مُرْسَلِ
أَبِي جَعْفَرٍ الْبَاقِرِ قَالَ: مَنَعَ عُمَرُ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ ﷺ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ.
وَرَوَى أَيْضًا مِنْ طَرِيقِ أُمِّ
دُرَّةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَنَعَنَا عُمَرُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ
حَتَّى إِذَا كَانَ آخِرُ عَامٍ فَأَذِنَ لَنَا. أ.هـ
Ibnu
Saad meriwayatkan dari mursal Abu Jaafar al-Baqir, yang berkata: Umar melarang
istri-istri Nabi ﷺ untuk
melakukan haji dan umrah.
Dan
juga diriwayatkan melalui Ummu Durrah dari Aisyah radhiyallahu 'anhu, yang
mengatakan:
"Umar
melarang kami untuk melakukan haji dan umrah, hingga tahun terakhir [menjelang
wafatnya Umar] maka dia memberi kami idzin."
Dan
Yang semisalnya disebutkan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari
4/88-89.
Ibnu
Sa'ad berkata:
«كَانَتِ الْحَجَّةُ الَّتِي حَجَّ فِيهَا عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ سَنَةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ، وَهِيَ آخِرُ حَجَّةٍ حَجَّهَا عُمَرُ،
أَرْسَلَ إِلَيْهِ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ - ﷺ - يَسْتَأْذِنَّـهُ فِي الْخُرُوجِ، فَأَذِنَ
لَهُنَّ، وَأَمَرَ بِجِهَازِهِنَّ.
فَحُمِلْنَ فِي الْهَوَادِجِ عَلَيْهِنَّ
الْأَكْسِيَةُ الْخُضْرُ، وَبَعَثَ مَعَهُنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَعُثْمَانَ
بْنَ عَفَّانَ؛ فَكَانَ عُثْمَانُ يَسِيرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ أَمَامَهُنَّ؛ فَلَا يَدَعُ
أَحَدًا يَدْنُو مِنْهُنَّ، وَكَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَسِيرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ
مِنْ وَرَائِهِنَّ؛ فَلَا يَدَعُ أَحَدًا يَدْنُو مِنْهُنَّ، يَنْزِلْنَ مَعَ عُمَرَ
كُلَّ مَنْزِلٍ».
“Haji
yang dilakukan Umar Ibn Al-Khattab pada tahun dua puluh tiga Hijriyah, dan itu
adalah haji terakhir yang dilakukan Umar. Para istri-istri Nabi (radhiyallahu ‘anhun)
mengutus seseorang kepada nya untuk meminta izin kepadanya agar mereka
diperbolehkan melaksanakan ibadah haji, maka dia memberi mereka izin dan
memerintahkan mereka untuk mempersiapkan diri.
Lalu
mereka dibawa dalam haudaj-haudaj [sekedup di atas punggung unta] diatasnya
dibungkus kelambu kain hijau.
Dan
Abdur-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan ditugaskan mendampingi mereka. Maka
Utsman berjalan di atas kendaraannya di depan mereka, maka ia tidak membiarkan
siapa pun mendekati mereka. Dan Abd al-Rahman berjalan di atas kendaraanya di
belakang mereka; Dia tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka, mereka
berhenti dipersinggahan bersama Umar pada setiap kali dia berhenti di
persinggahan.
[Lihat:
Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/209, Dan lihat pula Sunan al-Bayhaqi: 4/326 (8404),
dan pokok asalnya dalam al-Bukhari: 2/658 (1761)]
Ibnu
Sa'ad berkata: Dari Abdur-Rahman bin Auf, dia berkata:
«أَرْسَلَنِي عُمَرُ وَعُثْمَانَ بِأَزْوَاجِ
رَسُولِ اللهِ - ﷺ - السَّنَةَ الَّتِي تُوُفِّيَ فِيهَا عُمَرُ يَحُجَجْنَ؛ فَكَانَ
عُثْمَانُ يَسِيرُ أَمَامَهُنَّ؛ فَلَا يَتْرُكُ أَحَدًا يَدْنُو مِنْهُنَّ وَلَا يَرَاهُنَّ
إِلَّا مَنْ مَدَّ الْبَصَرَ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ خَلْفَهُنَّ يَفْعَلُ
مِثْلَ ذَلِكَ، وَهُنَّ فِي الْهَوَادِجِ، وَكَانَا يُنَزِّلَانِهِنَّ فِي الشِّعَابِ،
فَيُقِيلَانِهِنَّ فِي الشِّعْبِ وَيَنْزِلَانِ فِي فَيِّ الشِّعْبِ، وَلَا يَتْرُكَانِ
أَحَدًا يَمُرُّ عَلَيْهِنَّ».
Umar
menugaskan saya dan Utsman untuk mendampingi istri-istri Rasulullah ﷺ di tahun di mana Umar wafat, untuk melaksanakan
ibadah haji.
Maka
Utsman berjalan di depan mereka. Dia tidak membiarkan siapa pun mendekati
mereka dan tidak melihat mereka kecuali sejauh mata memandang [pandangan
kosong], dan Abdur-Rahman bin Auf di belakang mereka dengan melakukan hal yang
sama seperti Utsman.
Dan
mereka para istri Nabi ﷺ berada
didalam haudaj-haudaj [sekedup di atas punggung unta], dan mereka berdua
[Utsman dan Abdurrahman] kadang singgah bersama mereka di celah-celah lereng
antar bukit, dan mereka pun tidur siang di sana. Sementera mereka berdua
berjaga-jaga di mulut celah lereng tsb, dan mereka berdua tidak akan membiarkan
siapa pun melewati tempat singgah para istri Nabi ﷺ.
[Lihat:
Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/209, Dan lihat pula Sunan al-Bayhaqi: 4/326 (8404),
dan pokok asalnya dalam al-Bukhari: 2/658 (1761)]
Ibnu
Sa'ad berkata: “Dari Ummu Ma'bad binti Khalid bin Khulaif, dia berkata:
«رَأَيْتُ عُثْمَانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ فِي
خِلَافَةِ عُمَرَ حَاجًّا بِنِسَاءِ رَسُولِ اللهِ - ﷺ -؛ فَرَأَيْتُ عَلَى هَوَادِجِهِنَّ
الطَّيَالِسَةَ الْخُضْرَ، وَهُنَّ حُجْرَةٌ مِنَ النَّاسِ، يَسِيرُ أَمَامَهُنَّ ابْنُ
عَفَّانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ، يَصِيحُ إِذَا دَنَا مِنْهُنَّ أَحَدٌ: إِلَيْكَ إِلَيْكَ؛
وَابْنُ عَوْفٍ مِنْ وَرَائِهِنَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ».
Saya
melihat Utsman dan Abdur-Rahman pada masa kekhalifahan Umar berangkat haji
bersama istri-istri Rasulullah ﷺ; lalu saya melihat haudaj-haudaj mereka
terdapat kain kelambu thoyaalisah berwarna hijau, dan mereka terlindungi dari
orang-orang, di depan mereka Ibnu Affan di atas untanya, sambil berteriak
ketika salah satu dari mereka mendekat: Anda harus segera menjauh, Anda harus
segera menjauh !!!. Dan Ibnu Auf di belakang mereka dengan melakukan hal yang
sama
[Lihat:
Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/209-210]
Ibnu
Sa'ad berkata:
«كَانَ عُثْمَانُ يُنَادِي: أَلَا لَا يَدْنُو
إِلَيْهِنَّ أَحَدٌ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِنَّ أَحَدٌ، وَهُنَّ فِي الْهَوَادِجِ
عَلَى الْإِبِلِ، فَإِذَا نَزَلْنَ أَنْزَلَهُنَّ بِصَدْرِ الشِّعْبِ، وَكَانَ عُثْمَانُ
وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بِذَنَبِ الشِّعْبِ، فَلَمْ يَصْعَدْ إِلَيْهِنَّ أَحَدٌ».
Dan
dia berkata: “Utsman menyeru: " Ketahuilah, jangan ada seorang pun yang
mendekati mereka ". Dan tidak ada yang melihat mereka, sementara mereka
berada di dalam haudaj-haudaj di atas unta.
Jika
mereka turun [istirahat], mereka diturunkan ke depan celah lereng bebukitan.
Utsman
dan Abdur-Rahman berjaga-jaga di ujung celah lereng antar bukit, dan tidak ada
seorang pun yang naik mendekati mereka". [Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo:
8/210]
Ibnu
Sa'ad berkata: “Dari Al-Miswar Ibn Makhramah, dia berkata:
«رُبَّمَا رَأَيْتُ الرَّجُلَ يُنِيخُ عَلَى الطَّرِيقِ
لِإِصْلَاحِ رَحْلٍ أَوْ بَعْضِ مَا يُصْلِحُهُ مِنْ جِهَازِهِ، فَيَلْحَقُهُ عُثْمَانُ
وَهُوَ أَمَامَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ - ﷺ -؛ فَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ سَعَةً أَخَذَ
يَمِينَ الطَّرِيقِ أَوْ يَسَارَهُ فَيَبْعُدُ عَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ سَعَةً وَقَفَ
نَاحِيَةً حَتَّى يَرْحَلَ الرَّجُلُ أَوْ يَقْضِيَ حَاجَتَهُ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ يَلْقَى
النَّاسَ مُقْبِلِينَ فِي وَجْهِهِ مِنْ مَكَّةَ عَلَى الطَّرِيقِ، فَيَقُولُ لَهُمْ:
يَمِينَةً أَوْ يَسَارَةً فَيُنَحِّيْهِمْ؛ حَتَّى يَكُونُوا مَدَّ الْبَصَرِ حَتَّى
يَمْضِينَ»
Terkadang
anda melihat seorang pria di jalan berhenti untuk memperbaiki tas pelana atau
memperbaiki sebagian komponen peralatan kendaraannya, lalu Utsman mendekatinya,
sementara dia berada di depan istri-istri Nabi ﷺ, jika jalannya luas, maka dia ambil arah
kanan atau kiri jalan, lalu menjauh darinya.
Dan
jika jalannya tidak luas; maka dia berhenti di satu sisi sampai orang itu pergi
atau telah menyelesaikan keperluannya, dan aku melihatnya bertemu orang-orang
yang datang dari Mekah di jalan, lalu dia berkata kepada mereka: " Ke
kanan !" atau " ke kiri !", lalu dia menyuruh mereka minggir,
sampai mereka sejauh mata memandang hingga mereka para istri Nabi ﷺ bisa lewat ".[Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo:
8/210]
Ada
sebagian para ulama yang menyebutkan tentang kisah kebarangkatan haji para
istri Nabi ﷺ dengan lafadz:
وَمَعَهُنَّ أوْلِيَاؤُهُنَّ
مِمَّنْ لا يَحْتَجِبْنَ مِنْهُ
"Dan
bersama mereka ada wali mereka yang tidak harus berhijab darinya".
Namun
sanadnya tidak bisa dibuktikan akan keshahihannya.
====
FIQIH ATSAR HAJI SUNNAH PARA ISTRI NABI ﷺ:
Al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/91 berkata:
وَفِيهِ (اتِّفَاقُ عُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَنِسَاءِ النَّبِيِّ ﷺ عَلَى ذَلِكَ، وَعَدَمُ نَكِيرِ
غَيْرِهِمْ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلَيْهِنَّ فِي ذَلِكَ).
"
Dan di dalam atsar tsb terdapat kesepakatan Umar, Utsman, Abd al-Rahman bin Auf
dan para istri Nabi ﷺ tentang
hal ini [yakni: Safar tanpa mahram untuk haji sunnah PEN], dan bahwa para
sahabat lainnya tidak ada yang mengingkari mereka dalam hal itu)".
Al-Badr
al-Aini, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Umdat al-Qoori (10/219):
"وَفِي الْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ: مَا
خَرَجَتْ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِلَى
الْحَجِّ إِلَّا بَعْدَ إِذْنِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
لَهُنَّ وَأَرْسَلَ مَعَهُنَّ مَنْ يَكُونُ فِي خَدْمَتِهِنَّ. وَكَانَ عُمَرُ
رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مُتَوَقِّفًا فِي ذَلِكَ أَوَّلًا، ثُمَّ ظَهَرَ
لَهُ الْجَوَاز؛ فَأَذَنَ لَهُنَّ وَتَبَعَهُ عَلَى ذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنْ غَيْرِ
نَكِيرٍ. وَرَوَى ابْنُ سَعِيدٍ مِنْ مُرْسَلِ أَبِي جَعْفَرِ الْبَاقِرِ قَالَ:
مَنَعَ عُمَرُ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ ﷺ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ. وَرَوَى أَيْضًا
مِنْ طَرِيقِ أُمِّ دُرَّةٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
مَنَعْنَا عُمَرَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ حَتَّى إِذَا كَانَ آخِرُ عَامٍ فَأَذَنَ
لَنَا" أ.هـ"
Dan
dalam hadits yang tersebut di atas: Istri-istri Nabi ﷺ tidak
pergi haji kecuali setelah ada idzin dari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab,
untuk mereka, dan Umar mengutus bersama mereka orang-orang yang akan melayani
mereka.
Pada
awalnya Umar radhiyallahu 'anhu, bertawaqquf [tidak memberikan keputusan boleh
dan tidaknya], kemudian setelah itu nampak pada dirinya pandangan lain, yaitu
boleh; Maka dia [Umar] memberi mereka izin, dengan menyertakan sekelompok orang
untuk mendampinginya.
Dan
tidak ada orang yang mengingkari akan hal itu ".
Dan
Ibnu Saad meriwayatkan dari Mursal Abu Ja'far al-Baaqir berkata : Umar melarang
para istri Nabi ﷺ berhaji
dan berumrah .
Dan
diriwayatkan pula melalui jalur Ummu Durroh dari Aisyah (radhiyallahu ‘anhu)
berkata : Dulu Umar melarang kami berhaji dan berumrah , hingga di akhir tahun
menjelang ajalnya , lalu dia mengidzinkan kami [untuk berhaji dan berumrah]
".[Selesai Kutipan dari al-Aini].
Dan
yang semisal pernyataan al-Aini , dikatakan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam al-Fath 4/88-89.
Dalam
ad-Duror as-Saniyyah di sebutkan:
كان عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ
رَضيَ اللهُ عنه شَديدًا في الحقِّ، ولا يَخافُ في اللهِ لَومةَ لائمٍ، وإذا ظهَرَ
الحقُّ في غَيرِ ما يَرى عاد إليه مِن فَورِه.
وفي هذا الحَديثِ يُخبِرُ
التابعيُّ إبراهيمُ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أنَّ أميرَ المؤمنينَ عمَرَ بنَ
الخطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه أذِنَ لأزواجِ النبيِّ ﷺ بالحجِّ في آخِرِ حَجَّةٍ
حَجَّهَا، حيث كان عمرُ بنُ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه لا يَسمَحُ لهن بالحجِّ
بعْدَ أنْ أصبَحَ خَليفةَ المُسلِمينَ؛ اعتمادًا على قولِه تعالى: {وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ} [الأحزاب: 33]،
وكان يرَى تَحريمَ السَّفرِ
عليهنَّ أولًا، ثمَّ ظهَرَ له الجوازُ، فأذِن لهنَّ في آخِرِ خِلافتِه، فخرَجْنَ
للحجِّ إلَّا أمَّ المؤمنينَ زَينبَ بنتَ جَحشٍ رَضيَ اللهُ عنها، وأمَّ المؤمنينَ
سَوْدةَ بنتَ زَمعةَ رَضيَ اللهُ عنها،
«لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ
قَولِ رسولِ اللهِ ﷺ: " هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ" »
فكان نِساءُ النبيِّ ﷺ
يَحجُجْنَ إلَّا هما؛ فقد فقالتَا: «لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ قَولِ رسولِ
اللهِ ﷺ: هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ»، كما جاء في مُسنَدِ أحمَدَ..
وقد تَأوَّلَت بَعضُ أمَّهاتِ
المؤمنينَ أنَّ المرادَ بالحديثِ أنَّه لا يَجِبُ عليهنَّ غيرُ تلك الحَجَّةِ،
ولكنْ ما زاد فهو تَطوُّعٌ، ويُؤيِّدُ ذلك قولُه ﷺ في صَحيحِ البخاريِّ مِن حَديثِ
أمِّ المؤمنينَ عائشةَ رَضيَ اللهُ عنها: «لَكُنَّ أفضَلُ الجِهادِ؛ حَجٌّ مَبرورٌ
».
وقد أرسَلَ معهنَّ عمرُ رَضيَ
اللهُ عنه لمَّا سَمَحَ لهنَّ بالحجِّ عثمانَ بنَ عفَّانَ وعبدَ الرَّحمنِ بنَ
عوفٍ رَضيَ اللهُ عنهما، وكان معهنَّ نِسوةٌ ثِقاتٌ، فقُمْنَ مَقامَ المَحرَمِ،..
وكان عُثمانُ يُنادي: «ألَّا يَدْنوَ
منهنَّ أحدٌ، ولا يَنظُرَ إليهنَّ إلَّا مدَّ البصَرِ وهُنَّ في الهوادِجِ على
الإبلِ»، كما في السُّننِ الكَبيرِ للبَيهقيِّ.
Artinya:
Umar
bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, senantiasa tegas dalam kebenaran, dan tidak
takut dicela si pencela demi untuk Allah.
Dalam
hadits ini seorang Tabi'i Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Auf menceritakan bahwa
Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu memberikan izin kepada
istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menunaikan haji pada haji
terakhir [menjelang wafatnya Umar].
Karena
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu tidak memperbolehkan para istri-istri
Nabi ﷺ melakukan haji setelah dia diangakat menjadi
khalifah kaum muslimin; karena Umar berpegang pada firman Allah SWT:
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ}
{
Dan hendaklah kalian [para istri Nabi ﷺ] tetap tinggal di rumah-rumah kalian }[QS.
Al-Ahzab: 33],
Dan
Umar pada awalnya berpandangan: bahwa mereka diharamkan untuk melakukan
perjalanan jauh [safar], kemudian nampak pada dirinya pandangan lain bahwa
mereka boleh safar. Maka Umar memberi mereka idzin di akhir kekhalifahannya,
lalu mereka pergi haji, kecuali Ummul Mukminiin Zainab binti. Jahsh, semoga
Allah meridhoinya, dan Ummul Mukminiin Saudah binti Zam'ah, semoga Allah
meridhoinya.
Para
istri-istri Nabi ﷺ pergi
melaksanakan ibadah haji kecuali mereka berdua. Mereka berdua berkata:
«لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ قَولِ رسولِ
اللهِ ﷺ: هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ»
“Janganlah
ada seekor binatang tunggangan pun yang menggerakkan kami setelah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"
Sesungguhnya haji tersebut adalah ini, kemudian kalian harus tinggal di rumah
kalian dan tidak wajib berhaji".
Sebagaimana
yang tercantum dalam Musnad Ahmad. [Di Shahihkan oleh al-Haitsami dalam
al-Majma' no. 3/217]
Sebagian
para Ummul Mukminiin mentakwilkannya bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut
adalah bahwa mereka tidak wajib melakukan selain haji wada' itu, tetapi apa pun
yang lebih dari yang wajib adalah Sunnah, dan ini didukung oleh sabda beliau ﷺ dalam Sahih Al-Bukhari no. 1861:
«لَكُنَّ أفضَلُ الجِهادِ؛ حَجٌّ مَبرورٌ ».
"Akan
tetapi Jihad yang paling afdhal adalah Haji yang Mabrur "
Umar
radhiyallahu 'anhu menugaskan untuk mendampingi mereka - ketika mereka
diizinkan untuk melakukan haji- Utsman bin Affan RA dan Abdur Rahman bin Auf
RA, dan juga bersama mereka ada para wanita yang dapat dipercaya, maka para wanita
tsb sebagai pengganti Mahram.
Utsman
senantiasa menyeru: “Janganlah seorang pun mendekati mereka, dan tidak boleh
memandang mereka kecuali sejauh mata memandang [pandangan kosong] saat mereka
berada di dalam هَوْدَجُ [sekedup di atas punggung unta unta] ”. Seperti yang
diriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubro karya Al-Bayhaqi. [Selesai kutipan dari
ad-Duror as-Saniyyah]
Ibnu
Baththool, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Sharh Sahih al-Bukhari
(4/532):
"هَذِهِ الْحَالُ تَرْفَعُ تَحْرِيجَ الرَّسُولِ
عَنِ النِّسَاءِ الْمُسَافِرَاتِ بِغَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ.
كَذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ
وَالشَّافِعِيُّ: تَخْرُجُ الْمَرْأَةُ فِي حَجَّةِ الْفَرِيضَةِ مَعَ جَمَاعَةِ النِّسَاءِ
فِي رِفْقَةٍ مَأْمُونَةٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا مَحْرَمٌ.
وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ عَلَى
جَوَازِ ذَلِكَ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَحُجُّ مَعَهُ نِسْوَةٌ مِنْ جِيرَانِهِ. وَهُوَ
قَوْلُ عَطَاءٍ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَابْنِ سِيرِين وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ.
وَقَالَ الْحَسَنُ: الْمُسْلِمُ مَحْرَمٌ ـ أَيِ: الصَّالِحُ التَّقِيُّ كَالْمَحْرَمِ
الْحَقِيقِيِّ فِي كَوْنِهِ مَأْمُونًا عَلَى الْمَرْأَةِ ـ، وَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ
لَيْسَ بِمَحْرَمٍ أَوْثَقُ مِنَ الْمَحْرَمِ". ا.هـ.
"
Kondisi ini [hajinya para istri Nabi ﷺ tanpa
mahram] bisa menghilangkan larangan Rasulullah terhadap wanita bepergian tanpa
mahram.
Imam
Malik, al-Awzaa'i dan Imam asy-Syafi'i juga berkata: Seorang wanita boleh
berangkat melaksanakan haji fardhu dengan sekelompok para wanita dalam
rombongan yang aman, meskipun dia tidak ada mahram bersamanya.
Mayoritas
para ulama berpendapat bahwa ini diperbolehkan. Bahkan Ibnu Umar biasa pergi
haji bersama para wanita dari tetangganya.
Ini
adalah pendapatnya Athoo, Sa'id bin Jubair, Ibnu Siiriin dan Al-Hasan
Al-Bashri.
Al-Hasan
berkata: Seorang Muslim itu adalah mahram - yaitu: Muslim yang saleh dan
bertaqwa sama kedudukannya seperti mahram yang hakiki dalam hal bahwa dia itu
aman dipercaya bagi wanita -.
Dan
kadang kala ada sebagian dari mereka yang bukan mahram hakiki lebih dapat
dipercaya daripada seorang mahram yang hakiki. [SELESAI]
-----------
DALIL KETIGA:
ATSAR UMMUL MUKMINIIN ‘AISYAH (radhiyallahu ‘anha):
-------------
Perkataan
'Aisyah (radhiyallahu ‘anha) yang mengisyaratkan bahwa mahram tidak wajib bagi
wanita ketika safar jika jalannya aman.
Ibnu
Abi Shaybah No 5/570 berkata: telah menceritakan kepada kami Waki' dari Yunus
dari Al-Zuhri, dia berkata:
ذُكِرَ عندَ عائشة: لَا
تَسَافَرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، فَقَالَتْ عَائِشَة: لَيْسَ
كُلُّ النِّسَاءِ تَجِدُ مَحْرَمًا."
[Disebutkan
kepada Aisyah RA bahwa seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan
mahram. Maka Aisyah berkata: “Tidak semua wanita menemukan mahram.”
[Ini
diriwayatkan pula oleh Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 5/226].
Ibnu
Hibban meriwayatkan dalam Shahihnya no. (2722) dengan sanadnya:
Dari
Ibnu Syihab az-Zuhry yang mengatakan: 'Amrah binti Abdur Rahman memberi tahu
saya bahwa ‘Aisyah (radhiyallahu ‘anha) mengkabarkan:
"أَنَّ أَبَا سَعِيدِ الْخُدْرِيِّ
قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَسَافِرَ إِلَّا وَمَعَهَا
ذُو مَحْرَمٍ، قَالَتْ عُمَرَةُ: فَالْتَفَتَتْ عَائِشَةُ إِلَى بَعْضِ النِّسَاءِ
فَقَالَتْ: 'مَا لِكُلِّكُمْ ذُو مَحْرَمٍ؟'"
Bahwa
Abu Sa'id Al-Khudri RA berkata: " Rasulullah ﷺ melarang
seorang wanita bepergian tanpa mahram bersamanya".
'Amrah
berkata: Maka Aisyah menoleh ke sebagain para wanita, lalu dia berkata: "
Apakah masing-masing dari kalian semua mempunyai Mahram?".
[Diriwayatkan
pula oleh Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 5/226].
Al-Badr
Al-Ayni berkata dalam “Umdat Al-Qari” (7/128):
"رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
تَعَالَى عَنْهَا: أَنَّهَا كَانَتْ تُسَافِرُ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ، فَأُخِذَ بِهَا
جَمَاعَةٌ وَجَوَّزُوا سَفَرَهَا بِغَيْرِ مَحْرَمٍ.".
“Diriwayatkan
dari Aisyah, semoga Allah meridhoinya: bahwa dia pergi safar tanpa mahram, maka
sekelompok para ulama menjadikannya sebagai dalil bolehnya seorang wanita pergi
safar tanpa mahram.”
Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam “Al-Fath” (4/88):
"وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ
حَجِّ الْمَرْأَةِ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ". ا.هـ.
“Dan
atsar Aisyah ini dijadikan sebagai dalil bahwa bagi seorang wanita
diperbolehkan untuk berangkat haji tanpa mahram".
-------***------
DALIL KEEMPAT:
ATSAR ABDULLAH BIN UMAR RADHIYALLAHU 'ANHUMA:
---------------
Perbuatan
Abdullah bin Umar RA yang menunjukkan bahwa mahram tidak wajib bagi wanita
ketika safar selama dalam perjelanannya itu aman.
Imam
al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 5/226 berkata:
Telah
memberi tahu kami Abu Ali Al-Roudzabaari, telah memberi tahu saya Muhammad bin
Bakr, telah bercerita pada kami Abu Daud, telah bercerita pada kami Nashr bin
Ali, telah memberi tahu saya Abu Ahmad, telah bercerita pada kami, dari
Ubaidullaah, dari Nafi ':
"أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ يُرَدِّفُ مَوْلاةً لَهُ يُقَالُ لَهَا صَفِيَّةٌ تَسَافَرُ مَعَهُ إِلَى
مَكَّةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عُقْبَةَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَجَّ بِمَوْلاةٍ لَهُ
يُقَالُ لَهَا صَافِيَّةٌ عَلَى عَجْزِ بَعِيرٍ."
"
Bahwa Abdullah bin Umar r.a pernah membocengkan maulaah-nya [mantan budak
wanita miliknya yang ia merdekakan] yang bernama Shofiyah, dia pergi safar
bersama Ibnu Umar ke Mekah".
Dan
dalam riwayat Uqbah: Ibnu Umar pergi haji bersama Maulaah-nya yang bernama
Shofiyah, dia duduk membonceng di belakang dekat buntut seekor unta".
Dan
Imam al-Baihaqi berkata:
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) فِي الْقَدِيمِ: وَقَدْ
بَلَغَنَا أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَافَرَ بِمَوْلَاةٍ لَهُ لَيْسَ هُوَ لَهَا بِمَحْرَمٍ،
وَلَا مَعَهَا مَحْرَمٌ.
(Asy-Syafi'i
berkata) dalam qoul qodiim: Dan telah sampai kepada kami kabar bahwa Ibnu Umar
bepergian dengan seorang Maulah [mantan budak wanita miliknya yang ia
merdekakan], sementara dia bukanlah mahram baginya, dan tidak ada mahram bersamanya.
[As-Sunan al-Kubraa 5/226].
Ibnu
Baththool, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Sharh Sahih al-Bukhari
(4/532):
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَحُجُّ
مَعَهُ نِسَوَةً مِنْ جِيْرَانِهِ." ا.هـ.
"
Ibnu Umar (radhiyallahu ‘anhu) biasa pergi haji bersama para wanita dari para
tetangganya ".
====
FIQIH ATSAR AISYAH DAN IBNU UMAR radhiyallaahu 'anhum:
Imam
al-Baihaqi berkata:
"قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ
وَقَدْ بَلَغَنَا عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَعُرْوَةَ مِثْلَ قَوْلِنَا فِي
أَنْ تَسَافِرَ الْمَرْأَةُ لِلْحَجِّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا مَحْرَمٌ
وَذُكِرَهُ أَيْضًا عَنْ عَطَاءٍ وَفِي الْقَدِيمِ عَنْ مَالِكِ بْنِ
أَنَسٍ."
Ay-Syafi'i
berkata dalam qoul jadiid: Dan telah sampai kepada kami kabar dari Aisyah, Ibnu
Umar, dan Urwah, sama seperti pendapat kami: bahwa boleh seorang wanita
berangkat haji, walaupun tanpa ada mahram bersamanya.
Dia juga menyebutkannya dari pendapat Athoo . Dan dalam qaul qodim :
dari Imam Malik bin Anas ". [as-Sunan al-Kubraa 5/226].
Ibnu Abdul-Barr dalam kitab al-Istidzkar 4/412 berkata:
وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي
أَنَّهَا تَخْرُجُ مَعَهُ مَعَ جُمْلَةِ النِّسَاءِ، قَالَ: وَلَوْ خَرَجَتْ مَعَ امْرَأَةٍ
وَاحِدَةٍ مُسْلِمَةٍ لِلَّهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا.
وَقَالَ ابْنُ سِيرِين: جَائِزٌ
أَنْ تَحُجَّ مَعَ ثِقَاتِ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ.
قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: تَخْرُجُ مَعَ قَوْمٍ عُدُولٍ، وَتَتَّخِذُ سُلَّمًا تَصْعَدُ
عَلَيْهِ وَتَنْزِلُ، وَلَا يَقْرَبُهَا رَجُلٌ، وَكُلُّ هَؤُلَاءِ يَقُولُ: لَيْسَ
الْمَحْرَمُ لِلْمَرْأَةِ مِنَ السَّبِيلِ.
وَهُوَ مَذْهَبُ عَائِشَةَ؛ لِأَنَّهَا
قَالَتْ: لَيْسَ كُلُّ امْرَأَةٍ لَهَا ذُو مَحْرَمٍ أَوْ تَجِدُ ذَا مَحْرَمٍ.
ذَكَرَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَمْرَةَ، قَالَ: أُخْبِرَتْ عَائِشَةُ
تُفْتِي أَلَّا تُسَافِرَ امْرَأَةٌ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، فَقَالَتْ
عَائِشَةُ: تَجِدُونَ ذَا مَحْرَمٍ؟
قَالَ: وَأَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ وَابْنُ
التَّيْمِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا أَيُّوبَ يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ سِيرِين أَنَّهُ سُئِلَ
عَنِ الْمَرْأَةِ تَحُجُّ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ، فَقَالَ: رُبَّ مَنْ لَيْسَ بِذِي
مَحْرَمٍ خَيْرٌ مِنْ مَحْرَمٍ.
Dan
itu adalah pendapat Ay-Syafi'i: bahwa seorang wanita boleh pergi [haji] bersama
mahramnya dengan sekelompok wanita.
Dia
[asy-Syaafi'i] berkata, "Jika seorang wanita pergi [haji] bersama dengan
seorang wanita lain yang Muslimah karena Allah, maka tidak mengapa
baginya."
Ibnu
Sirin berkata: “Diperbolehkan bagi seorang wanita pergi melaksanakan haji
bersama para lelaki muslim yang dipercaya, dan ini adalah pendapat Al-Awza’i.”
Al-Awza'i
berkata: “Seorang wanita boleh pergi haji bersama orang-orang yang bijak dan
dia menyiapkan tangga untuk naik turun kendaraannya, dan tidak boleh ada pria
yang mendekatinya.
Semuanya
berpendapat bahwa mahram wanita bukanlah termasuk dari " as-Sabiil".
Dan
ini adalah MADZHABNYA A'ISYAH RA, karena dia berkata:
لَيْسَ كُلُّ امْرَأَةٍ لَهَا ذُو
مَحْرَمٍ أَوْ تَجِدُ ذَا مَحْرَمٍ.
“Tidak
setiap wanita memiliki mahram, atau tidak setiap wanita menemukan mahram.”
Abd
al-Razzaq menyebutkan: Muammar memberi tahu kami dari Al-Zuhri dari Amra, dia
berkata:
Saya
memberi tahu Aisyah untuk sebuah fatwa bahwa tidak boleh bepergian lebih dari
tiga hari kecuali bersama mahramnya. Aisyah berkata:
تَجِدُونَ ذَا مَحْرَمٍ؟
"Apakah
semua kalian menemukan mahram?."
Dia
[Abdurrozzaaq] berkata: Muammar dan Ibnu al-Taymi mereka berdua memberi tahu
kami bahwa mereka mendengar Ayyub meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa dia
ditanya tentang seorang wanita yang berangkat haji tanpa mahram?
Dia
berkata:
رُبَّ مَنْ لَيْسَ بِذِي
مَحْرَمٍ خَيْرٌ مِنْ مَحْرَمٍ
"Terkadang
orang yang tidak bersama mahram lebih baik dari pada yang bersama mahram."
[al-Istidzkaar 4/412]
-------****---------
DALIL KELIMA:
HADITS ASMA BINTI ABU BAKAR radhiyallahu 'anhumaa:
--------------------
Ada
sebuah hadits dari Asma binti Abi Bakar yang menunjukkan di perbolehkannya
Safar wanita jarak dekat dengan jalan kaki jika aman jalannya:
Dari
Asma’ binti Abu Bakr radliallahu ‘anhuma berkata:
" وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ
أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَأْسِي، وَهْىَ
مِنِّي عَلَى ثُلُثَىْ فَرْسَخٍ. فَلَقِيتُ رَسولَ اللَّهِ ﷺ ومعهُ نَفَرٌ مِنَ
الأنْصارِ، فَدَعانِي، ثُمَّ قالَ: إخْ إخْ؛ لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ،
فاسْتَحْيَيْتُ أنْ أَسِيرَ مع الرِّجالِ، وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ،
وَكَانَ أَغْيَرَ النَّاسِ ".
“Aku
biasa membawa benih kurma dari kebun milik Az-Zubair yang diberikan oleh
Rasulullah ﷺ di atas kepalaku. Kebun itu jaraknya dari (rumah)
ku dua pertiga farsakh”.
Pada
suatu hari, aku bertemu dengan Rasulullah ﷺ beserta
sejumlah orang Anshaar. Beliau memanggilku, seraya berkata: ‘Ikh, ikh”
(menderumkan ontanya) - agar aku naik ke atas untanya dan membawaku di
belakangnya. Namun aku malu berjalan bersama para lelaki dan aku ingat akan
kecemburuan Az-Zubair, karena ia seorang laki-laki yang paling pencemburu. [HR.
Bukhori no. 5224 dan Muslim no. 2182]
1
Farsakh = 4.828 Kilo Meter.
-------***---------
DALIL KE ENAM:
HADITS-HADITS YANG MEWAJIBKAN MAHRAM BAGI WANITA DALAM SAFAR:
-------------------
Hadits-hadits
yang melarang wanita pergi safar tanpa mahram, lafadznya berbeda-beda dalam
menyebutkan masa waktu tempuh perjalanannya.
Ini
semua mengisyaratkan bahwa sabda-sabda Nabi ﷺ tsb
di sesuaikan dengan lokasi yang dituju oleh masing-masing penanya, sejauh mana
tingkat keamanan dan mara bahaya dalam jalur yang dilaluinya.
Ada
hadits yang menyebutkan masa waktu tempuhnya setengah hari, ada yang semalam,
ada yang sehari, ada yang dua malam, ada yang dua hari, ada yang tiga malam,
ada yang tiga hari dan ada juga yang tidak menyebutkan masa waktu tempuh.
Hadits
yang menyebutkan masa waktu tempuhnya setengah hari, jika dengan mengendarai
Unta diperkirakan jarak tempuhnya dalam kilometer, maka sekitar 25 KM .
Apakah
ini masuk dalam katagori Safar?
Jawabannya:
saya kira bukan, melainkan jarak waktu tempuh tsb disesuaikan dengan kondisi
keamanan jalur yang ditempuh oleh sahabat yang bertanya. Wallahu a'lam.
****
BERIKUT
INI
HADITS-HADITS LARANGAN SAFAR WANITA TANPA MAHRAM:
--------
HADITS KE 1: JARAK WAKTU TEMPUH PERJALANAN SETENGAH HARI:
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لا تُسافِرُ امرَأةٌ بريدًا
إلَّا ومعَها مَحرَمٌ يَحرُمُ عَلَيها
Seorang
wanita tidak boleh bepergian dalam jarak tempuh satu bariid [setengah hari] kecuali
bersama mahram yang memahraminya.
[HR. Abu
Daud (1/273), Ibn Khuzaymah (1/254 no. 2526), Al-Hakim (1/442 no. 1616), Ibnu
Hibbaan no. 2727 dan Ibn Asakir (16/74/1)].
Di
Shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, al-Haakim dan adz-Dzahabi.
Al-Haakim
berkata: "Shahih sesuai syarat Shahih Muslim ". Dan di setujui oleh
adz-Dzahabi.
Namun hadits ini di Dhaifkan al-Albaani dalam السِّلْسِلَةُ الضَّعِيفَةُ no. 5727. Dan al-Albaani mengatakan:
أَنَّ الْحَدِيثَ بِلَفْظِ
"بَرِيدًا" شَاذٌّ، وَالْمَحْفُوظُ بِلَفْظِ: "يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ"؛
كَمَا هُوَ مُبَيَّنٌ فِي "ضَعِيفِ أَبِي دَاوُد" (٣٠٤)، وَ"صَحِيحِ
أَبِي دَاوُد" (١٥١٦ - ١٥١٨).
"
Bahwa hadits tsb dengan lafadz " بَرِيْد " adalah Syaadz. Yang terpelihara
adalah dengan lafadz "sehari semalam [يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ]; sebagaimana di jelaskan dalam kitab
Dha'if Abi Daud no. 304 dan Shahih Abi Daud no. 1516 - 1518 ".
Makna
al-Bariid : adalah
jarak tempuh setengah hari. [Baca: Syarah Muslim karya an-Nawawi 9/103 dan
Aunul Ma'buud 5/149].
-------
HADITS KE 2: JARAK TEMPUH PERJALANAN SEMALAM:
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ
مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إلَّا وَمعهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ منها
“Tidak
halal bagi seorang wanita Muslimah, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan
semalam, kecuali bersama lelaki yang merupakan mahramnya.” (HR. Muslim no.
419-1339).
----
HADITS KE 3: JARAK TEMPUH SEHARI PERJALANAN:
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»
“Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan
perjalanan dalam jarak tempuh satu hari kecuali bersama
mahramnya " (HR. Muslim no. 420-1339)
-----
HADITS KE 4: JARAK TEMPUH SEHARI SEMALAM PERJALANAN:
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ
تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ
إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
menempuh perjalanan sehari semalam kecuali disertai seorang
pria mahramnya.” (HR. Muslim no. 421-1339)
-----
HADITS KE 5: JARAK TEMPUH DUA HARI :
Dari
Abu Said al-Khudri RA, Rasulullah ﷺ bersabda:
لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ
مَسِيرَةَ يَومَيْنِ إلَّا ومعهَا زَوْجُهَا أوْ ذُو مَحْرَمٍ
Seorang
wanita tidak boleh bepergian yang berjarak tempuh dua hari tanpa
suaminya bersamanya atau mahramnya. [HR. Bukhori no. 1995]
Imam
An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 9/103 berkata:
Dalam
Riwayat yang lain:
" نَهَى أَنْ تُسَافِرَ المَرْأةُ
مَسِيْرةَ يَوْمَيْن "
“(Rasulullah
SAW) melarang seorang wanita bepergian dalam jarak tempuh perjalanan dua
hari”.
----
HADITS KE 6: JARAK TEMPUH TIGA HARI:
Dari
Abu Said al-Khudri RA, Rasulullah ﷺ bersabda:
"لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوِ ابْنُهَا
أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا "
“Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
melakukan perjalanan yang tiga hari atau lebih, kecuali dia
ditemani oleh ayahnya., saudara laki-lakinya, suaminya, putranya, atau
seseorang yang menjadi mahram baginya." (HR. Muslim no. 1340)
-----
HADITS KE 7: TANPA MENYEBUTKAN JARAK TEMPUH PERJALANAN:
Dari
'Abdullah Ibnu 'Abbas Radhiallaahu anhu, ia berkata: "Aku mendengar
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkhutbah, beliau berkata:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي
مَحْرَمٍ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ امْرَأَتي خَرَجَتْ
حَاجَّةً، وإنِّي اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ
مع امْرَأَتِكَ.
"Janganlah
sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita kecuali wanita itu
disertai mahramnya, dan tidak boleh seorang wanita bepergian kecuali bersama
mahram".
Maka
bangkitlah seorang lelaki lalu berkata: 'Sesungguhnya isteriku telah keluar
untuk menjalankan ibadah haji, sementara aku telah diwajibkan untuk mengikuti
sebuah peperangan'.
Maka
beliau bersabda: 'Pergilah dan kerjakan haji bersama isterimu.'" (HR.
Muslim no. 1341)
Lafadz
Bukhori no. 1862:
لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا
مع ذِي مَحْرَمٍ، ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ، فَقالَ
رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ إنِّي أُرِيدُ أنْ أخْرُجَ في جَيْشِ كَذَا وكَذَا،
وامْرَأَتي تُرِيدُ الحَجَّ، فَقالَ: اخْرُجْ معهَا.
“Seorang
wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram, dan tidak boleh
mempersilahkan tamu laki-laki kecuali ia bersama mahramnya”. Seseorang berkata:
Ya Rasulullah, saya ingin bergabung dengan pasukan tertentu, sedang istri saya
ingin menunaikan ibadah haji.
Rasulullah
ﷺ bersabda: “Pergilah bersamanya”. [HR. Bukhori no.
1862]
====
FIQIH HADITS-HADITS DIATAS :
(HADITS LARANGAN
SAFAR WANITA TANPA MAHRAM)
Narasi
hadits-hadits ni secara eksplisit melarang wanita untuk bepergian tanpa mahram,
dan tidak ada pembatasan tentang jarak waktu tempuhnya di sini dalam hadits;
Karena jawaban waktu tempuhnya yang berbeda-beda, itu terjadi secara spontan
terhadap beberapa penanya.
Abu
al-'Abbaas al-Qurthubi berkata dalam: “Al-Mufhim” (3/450):
"إِنَّ الْمَنْعَ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ
إِنَّمَا خَرَجَ لِمَا يُؤَدِّي إِلَيْهِ مِنَ الْخَلْوَةِ، وَانْكِشَافِ عَوْرَاتِهِنَّ
غَالِبًا. فَإِذَا أُمِنَ ذَلِكَ، بِحَيْثُ يَكُونُ فِي الرِّفْقَةِ نِسَاءٌ تَنْحَاشُ
إِلَيْهِنَّ، جَازَ. كَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ". ا.هـ.
“Larangan
dalam hadits-hadits ini hanya karena adanya sesuatu yang menyebabkan nya
berkhalwat [menyendiri di tempat sunyi] dan biasanya sering terbuka aurat
mereka. Maka jika aman dari itu, umpamanya bergabung dengan sekelompok para
wanita, maka itu diperbolehkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafi'i dan
Malik ". [Selesai]
Dan
Rosulullah ﷺ juga secara mutlak melarang seseorang safar
sendirian, baik itu laki-laki maupun perempuan. Bahkan melarang bermalam
sendirian dalam perjalanan.
Dalam
hadits Abdullah bin Umar dikatakan:
أن النبيَّ ﷺ نهى عن الوِحدةِ
أنْ يبيتَ الرجلُ وحده أو يسافرَ وحده.
Nabi
ﷺ melarang seorang pria menyendiri: yaitu seorang
pria bermalam sendirian atau pergi SAFAR sendirian.
[HR. Ibnu
Abi Shaybah dalam “al-Musannaf” (26796), (34202), dan dalam “Al-Adab” (160)
Dan
dari jalurnya Ibnu Majah meriwayatkannya dalam “Sunan”-nya (3768) - dan Ahmad
dalam “al-Musnad” (2/24 No. 4770), (2) /60 No. 5252), dan Ibn Hibban dalam
“Shahih-nya” (2704) dari Waki’ bin Al-Jarrah.
Di
Shahihkan oleh Syeikh Bin Baaz dalam Haasyiah Bulughul Maraam no. 799.
Dalam lafadz
Bukhori:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ ما في
الوَحْدَةِ ما أعْلَمُ، ما سارَ راكِبٌ بلَيْلٍ وحْدَهُ.
Jika
orang tahu apa yang ada dalam kesendirian apa yang saya tahu, maka seorang
pengendara tidak akan berjalan di malam hari sendirian. [HR. Bukhori no. 2998].
Dalam
ad-Duror as-Saniyyah oleh Alwi as-Saqqoof di katakan:
في هذا الحَديثِ يُحذِّرُ
النَّبيُّ ﷺ مِنَ الوَحدةِ والانفِرادِ في السَّيرِ والسَّفَرِ في اللَّيلِ،
فأخبَرَ أنَّه لو يَعلَمُ النَّاسُ ما يَعلَمُه هو ﷺ مِنَ الضَّرَرِ والمَخاطِرِ
والآفاتِ التي تَحصُلُ مِن ذلك لِلمُسافِرِ المُنفَرِدِ في سَفَرِه، لم يَسِرْ
راكِبٌ وَحيدًا في اللَّيلِ، وهذا مِنَ التَّخويفِ والزَّجرِ عنِ السَّفَرِ
مُنفَرِدًا؛ فالمُنفَرِدُ في السَّفَرِ يَسهُلُ الطَّمَعُ فيه، وإنْ ماتَ في السَّفَرِ
لم يَكُنْ هناك مَن يُكَفِّنُه ويُغسِّلُه ويُقيمُ جِنازَتَه، ولَعَلَّ قَولَه ﷺ
عنِ الوَحدةِ في سَيرِ اللَّيلِ والسَّفَرِ وَحيدًا، إنَّما هو إشفاقٌ على
الواحِدِ مِنَ الشَّياطينِ؛ لِأنَّه وَقتُ انتِشارِهم وأذاهمْ لِلبَشَرِ بالتَّمثيلِ
لهم، وما يُفزِعُهم ويُدخِلُ في قُلوبِهمُ الوَساوِسَ
Dalam
hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan agar seseorang
tidak sendirian saat berjalan dan bepergian di malam hari.
Maka
beliau mengabarkan bahwa jika orang itu tahu apa yang beliau ﷺ mengetahui akan adanya dhoror, bahaya dan
malapetkan yang akan ditimbulkan darinya kepada musafir sendirian dalam
perjalanannya; maka tidak akan ada satu pengendara pun yang bepergian pada
malam hari, dan ini merupakan bentuk peringatan dan teguran atas orang yang
bepergian sendirian.
Orang
yang sendirian dalam perjalanan membuat mudah bagi orang lain menjadi tamak dan
serakah padanya [untuk membegalnya. PEN]
Dan
jika dia meninggal dalam perjalanan, maka tidak ada yang mengkafaninya,
memandikannya, dan mengadakan pemakamannya.
Mungkin
apa yang beliau ﷺ katakan
tentang kesendirian dalam berjalan di malam hari dan bepergian sendirian, hanya
karena rasa belas kasihan kepada orang yang menyendiri dari gangguan syeitan;
Karena itu adalah waktu-waktu mereka menyebar dan menyakiti mereka dengan
penampakan pada mereka, dan apa yang membuat mereka kaget ketakutan dan
memasukan dalam hati mereka dengan pikiran penuh waswas ". [Selesai]
Adapun
hadits yang menyebutkan adanya seorang sahabat yang hendak ikut pergi berjihad
bersama Nabi ﷺ, namun istrinya hendak pergi haji dan kemudian Nabi ﷺ menyuruhnya pergi bersama istrinya berhaji, maka di
jawab oleh sebagian para ulama dengan mengatakan:
فَحَدِيثُ النَّهْيِ عَنِ السَّفَرِ
دُونَ مَحْرَمٍ كَانَ فِي ظَرْفِ حَرْبٍ، إِذْ إِنَّ الصَّحَابِيَّ أَرَادَ الذَّهَابَ
لِلْغَزْوِ وَتَرْكَ زَوْجَتِهِ تَحُجُّ وَحْدَهَا، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ وَأَمَرَهُ
أَنْ يُلْحِقَ زَوْجَتَهُ، وَأَنْ لَا تُسَافِرَ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ؛ ذَلِكَ
لِأَنَّهُمْ فِي حَالَةِ حَرْبٍ، وَقَدْ يَتَرَبَّصَ الرِّجَالُ بِنِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ.
وَأَمَّا إِذَا تَوَفَّرَ الْأَمْنُ
لِلنِّسَاءِ، فَلَا مَانِعَ مِنْ سَفَرِهَا دُونَ مَحْرَمٍ.
"
Hadits larangan bepergian tanpa mahram itu ketika dalam kondisi perang, karena
sahabat tersebut ingin pergi berperang sementara dia harus meninggalkan
istrinya untuk menunaikan haji sendirian, lalu Nabi melarangnya dan
memerintahkannya untuk pergi bersama istrinya dan tidak boleh istrinya bepergian
kecuali dengan mahram; yang demikian itu karena kondisi saat saat itu dalam
kedaan perang dan dikhawatirkan ada para lelaki yang membuntuti dan mengintai
para wanita muslimah.
Dan
adapun jika dalam kondisi aman bagi para wanita, maka tidak ada hal yang memberatkan
baginya untuk bepergian tanpa mahram ".[KUTIPAN SELESAI]
Abu
Isa Turmudzi no. 1202 berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ
أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلاَّ مَعَ ذِي
مَحْرَمٍ . وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ
مُوسِرَةً وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ هَلْ تَحُجُّ . فَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ
الْعِلْمِ لاَ يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَجُّ لأَنَّ الْمَحْرَمَ مِنَ السَّبِيلِ
لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ : (لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً ) فَقَالُوا
إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ فَلاَ تَسْتَطِيعُ إِلَيْهِ سَبِيلاً . وَهُوَ
قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ . وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ
الْعِلْمِ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا فَإِنَّهَا تَخْرُجُ مَعَ النَّاسِ فِي
الْحَجِّ . وَهُوَ قَوْلُ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيِّ
Dan
Para ulama mengamalkan ini, yaitu mereka memakruhkan para wanita pergi safar
kecuali dengan mahram.
Dan
para ulama berbeda pendapat tentang seorang wanita yang memiliki kemudahan dan
kemampuan untuk berhaji namun tidak ada mahram baginya; maka sebagian para
ulama berpendapat bahwa wanita tsb tidak wajib baginya untuk berhaji karena
mahram itu bagian dari " as-Sabiil", berdasarkan firman Allah SWT:
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلً
"
Yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke baitullah" [QS. Ali Imran:
97]
Mereka
berkata: Jika dia tidak memiliki mahram, berarti dia tidak memiliki kemampuan
perjalanan ke sana. Inilah yang dikatakan Sufyan al-Thawri dan penduduk Kufah.
Dan
sebagian para ulama berkata: Jika jalannya aman, maka dia bisa berangkat
bersama orang-orang untuk haji. Dan ini adalah pendapat Imam Malik bin Anas dan
Imam Syafi'i. [Selesai kutipan dari Imam at-Tirmidzi].
Tanggapan
Imam an-Nawawi terhadap banyak nya riwayat hadits yang berbeda-beda dalam
menyebutkan masa waktu tempuh safar wanita yang mengahruskan mahram. Dia
berkata:
قَالَ الْعُلَمَاءُ: اخْتِلَافُ
هَذِهِ الْأَلْفَاظِ لاخْتِلَافِ السَّائِلِينَ وَاخْتِلَافِ الْمَوَاطِنِ، وَلَيْسَ
فِي النَّهْيِ عَنِ الثَّلَاثَةِ تَصْرِيحٌ بِإِبَاحَةِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ أَوِ
الْبَرِيدِ.
قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: كَأَنَّهُ
ﷺ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ تُسَافِرُ ثَلَاثًا بِغَيْرِ مَحْرَمٍ فَقَالَ: لَا، وَسُئِلَ
عَنْ سَفَرِهَا يَوْمَيْنِ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ فَقَالَ: لَا، وَسُئِلَ عَنْ سَفَرِهَا
يَوْمًا فَقَالَ: لَا، وَكَذَلِكَ الْبَرِيدُ، فَأَدَّى كُلٌّ مِنْهُمْ مَا سَمِعَهُ،
وَمَا جَاءَ مِنْهَا مُخْتَلِفًا عَنْ رِوَايَةِ وَاحِدٍ فَسَمِعَهُ فِي مَوَاطِنَ،
فَرَوَى تَارَةً هَذَا، وَتَارَةً هَذَا، وَكُلُّهُ صَحِيحٌ، وَلَيْسَ فِي هَذَا كُلِّهِ
تَحْدِيدٌ لِأَقَلِّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ السَّفَرِ، وَلَمْ يُرِدْ ﷺ تَحْدِيدَ
أَقَلِّ مَا يُسَمَّى سَفَرًا.
فَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ مَا يُسَمَّى
سَفَرًا تُنْهَى عَنْهُ الْمَرْأَةُ بِغَيْرِ زَوْجٍ أَوْ مَحْرَمٍ، سَوَاءٌ كَانَ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ يَوْمَيْنِ أَوْ يَوْمًا أَوْ بَرِيدًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ،
لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُطْلَقَةِ، وَهِيَ آخِرُ رِوَايَاتِ مُسْلِمٍ السَّابِقَةِ:
«لَا تُسَافِرِ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ».
Para
ulama mengatakan:
“Perbedaan
redaksi-redaksi di atas disebabkan perbedaan para penanya serta tempat tinggal
mereka. Jadi, larangan bepergian selama tiga hari tidak berarti boleh bepergian
selama sehari semalam atau setengah hari”.
Imam
Baihaqi berkata:
“Rasulullah
ﷺ seolah-olah ditanya tentang seorang wanita
bepergian selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab: “Tidak”,
demikian juga yang setengah hari.
Lalu
mereka meriwayatkan sesuai apa yang mereka dengar. Sebagian riwayat berbeda
satu sama lain, karena didengar pada tempat yang berbeda, maka sebagian
meriwayatkan begini, dan sebagian yang lain begitu. Semuanya shahih.
Semua
ini bukan merupakan pembatasan minimal dari sebuah perjalanan, karena tidak ada
riwayat bahwa Rasulullah ﷺ membatasi
perjalanan minimal seorang wanita.
Wal
hasil, semua yang dinamakan safar; maka di larang bagi seorang wanita melakukan
safar tanpa suami atau mahramnya, baik selama tiga hari, dua hari, satu hari,
setengah hari atau yang lainnya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang umum yang
diriwayatkan oleh Muslim:
لاَ تُسَافِرُ امْرَأةٌ إلا مَع
ذِيْ مَحْرَمٍ
“Seorang
wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram”.
Ini
mencakup semua bentuk perjalanan. [Selesai kutipan dari Imam an-Nawawi]
[Baca:
“Syarh Shahih Muslim” karya Imam Nawawi 9/103. Dan Baca pula: Syarah Shahih
Bukhori karya Ibnu Baththool 3/79-80].
----
PERBEDAAN
PENDAPAT ULAMA :
DALAM MENENTUKAN MASA WAKTU TEMPUH SAFAR:
Ibnu
'Aabidiin dalam kitab Rodd al-Muhtaar Alaa ad-Durr al-Mukhtaar 2/15, kitab
haji, dia berkata:
"(قَوْلُهُ فِي سَفَرٍ) هُوَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
وَلَيَالِيهَا، فَيُبَاحُ لَهَا الْخُرُوجُ إِلَى مَا دُونَهُ لِحَاجَةٍ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ
[بَحْرٌ]، وَرُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ كَرَاهَةُ خُرُوجِهَا وَحْدَهَا
مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَاحِدٍ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْفَتْوَى عَلَيْهِ لِفَسَادِ
الزَّمَانِ."
“(Perkataannya:
dalam perjalanan safar) adalah tiga hari tiga malam, maka dibolehkan baginya
untuk keluar safar ke suatu tempat yang masa waktu tempuhnya di bawahnya, untuk
keperluan tanpa dengan mahram [بَحْرٌ].
Diriwayatkan
dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa adalah makruh bagi wanita untuk bepergian
sendiri dalam masa tempuh satu hari. Dan seyogyannya berlakunya fatwa ini pada
saat keadaan yang fasad [rusak dan kacau].
Abu
Ja'faar ath-Thohaawi dalam شَرْحُ مَعَانِي الْآثَارِ (2/112) berkata:
فَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ
لَا تُسَافِرُ سَفَرًا قَرِيبًا أَوْ بَعِيدًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَاحْتَجُّوا
فِي ذَلِكَ بِهَذِهِ الْآثَارِ…
وَخَالَفَهُمْ فِي ذَلِكَ آخَرُونَ
فَقَالُوا: كُلُّ سَفَرٍ هُوَ دُونَ الْبَرِيدِ فَلَهَا أَنْ تُسَافِرَ بِلا مَحْرَمٍ،
وَكُلُّ سَفَرٍ يَكُونُ بَرِيدًا فَصَاعِدًا فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تُسَافِرَ إِلَّا
بِمَحْرَمٍ…
وَخَالَفَهُمْ فِي ذَلِكَ آخَرُونَ
فَقَالُوا: كُلُّ سَفَرٍ يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا فَلَيْسَ لَهَا أَنْ
تُسَافِرَ إِلَّا مَعَ مَحْرَمٍ، وَكُلُّ سَفَرٍ يَكُونُ دُونَ ذَلِكَ فَلَهَا أَنْ
تُسَافِرَ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ…
قَالُوا: فَفِي تَوْقِيتِ رَسُولِ
اللهِ الثَّلَاثِ فِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ حُكْمَ مَا دُونَ الثَّلَاثِ بِخِلَافِ
ذَلِكَ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ: أَبُو حَنِيفَةَ، وَأَبُو يُوسُفَ، وَمُحَمَّدٌ
رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى. "اهـ
Maka
sebagian kaum berpendapat bahwa seorang wanita tidak boleh bepergian dalam
jarak tempuh dekat atau jauh kecuali dengan mahram, dan mereka berargumentasi
untuk itu dengan riwayat-riwayat ini…
Kaum
yang lain berbeda pendapat dengan mereka dalam hal itu dan berkata: Setiap
perjalanan kurang dari bariid [masa waktu tempuh setengah hari], maka dia
berhak untuk bepergian tanpa mahram, dan setiap perjalanan melebihi masa
perjalanan satu bariid dan seterusnya, maka dia tidak berhak bepergian kecuali
dengan mahram.
Kaum
yang lain berbeda pendapat dengan mereka dalam hal itu dan berkata: Setiap
perjalanan tiga hari atau lebih, maka dia tidak berhak bepergian kecuali dengan
mahram, dan setiap perjalanan yang kurang dari itu, maka dia berhak bepergian
tanpa mahram.
Mereka
berkata: Pada penentuan Rasulullah tiga hari dalam hal ini terdapat dalil bahwa
hukum kurang dari tiga berbeda dari itu, dan yang berpendapat dengan pendapat
ini adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad [Asy-Syaibaani].
Lihat
pula: نُخْبَةُ الْأَفْكَارِ شَرْحُ مُشْكِلِ الْآثَارِ (9/10)
karya Jalaluddiin as-Sayuuthii
----------
DALIL KE TUJUH:
QAIDAH UMUM BERIKUT INI:
-------------
"مَا حَرُمَ لِذَاتِهِ لَا يُبَاحُ إِلَّا
لِلضَّرُورَةِ. وَمَا حَرُمَ لِسَدِّ الذَّرِيعَةِ فَيُبَاحُ لِلْحَاجَةِ."
“Yang
diharamkan pada dzatnya, maka tidak diperbolehkan kecuali karena ada
dlarurat/keterpaksaan.
Dan
apa yang dilarang karena untuk سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (menutup celah dalih/jaga-jaga); maka
diperbolehkan jika karena ada keperluan.”
Sebagai
pendukung untuk pendapat yang membolehkan safar wanita tanpa mahram jika aman
adalah sebuah QA’IDAH/قاعدة:
"مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ لَا يُبَاحُ إِلَّا
لِلضَّرُورَةِ، وَمَا حُرِّمَ لِسَدِّ الذَّرِيعَةِ فَيُبَاحُ لِلْحَاجَةِ". كَمَا
قَرَّرَ ذَلِكَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ وَتِلْمِيذُهُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللهُ،
وَلَا شَكَّ أَنَّ سَفَرَ الْمَرْأَةِ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ مِمَّا حُرِّمَ سَدًّا لِلذَّرِيعَةِ.
أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ
بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُكَلَّفِ التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي،
وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي، كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامُ
الشَّاطِبِيُّ رَحِمَهُ اللهُ وَأَطَالَ الِاسْتِدْلَالَ لَهُ.
“Yang
diharamkan pada dzatnya, maka tidak diperbolehkan kecuali karena ada dlarurat/keterpaksaan.
Dan
apa yang dilarang karena untuk سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (menutup celah dalih/jaga-jaga); maka
diperbolehkan jika karena ada keperluan.”
Hal
ini juga diputuskan oleh Syeikhul Islam dan muridnya Ibnu Al-Qayyim - semoga
Allah merahmati mereka- dan tidak ada keraguan bahwa safar seorang wanita tanpa
mahram dilarang itu dalam rangka سد
الذريعة (menutup
celah dalih/jaga-jaga).
Prinsip
ibadah bagi yang wajib adalah beribadah tanpa memperhatikan maknanya, dan asal
usul adat adalah memperhatikan maknanya. Hal ini juga diputuskan oleh Imam
al-Syathibi, semoga Allah merahmatinya, dan menjelaskannya secara panjang lebar
dalm ber istidlal untuknya (“الموافقات” 5/209).
Dalam
hal ini ada kesamaan larangan pergi safar seorang pria sendirian:
-------------
DALIL KE
DELAPAN:
WANITA ITU BERPOTENSI SEBAGAI PEMICU BANGKITNYA SYAHWAT KAUM PRIA. DAN
FISIK KAUM WANITA LEBIH LEMAH DI BANDING KAUM PRIA.
--------------
Tidak
ada keraguan bahwa kaum wanita itu berpotensi sebagai sumber bangkitnya gairah
syahwat kaum lelaki.
Dan
pada umumnya fisik kaum wanita tidak sekuat kaum lelaki, sehingga ketika
seorang wanita berada di tempat yang sepi jauh dari keramaian, sangat
dikhawatirkan tiba-tiba muncul seorang pria yang bukan mahramnya lalu terjadi
sesuatu yang tidak dinginkan, apalagi jika wanita tersebut dalm kondisi tidak
berhijab dan apalagi jika wanita tsb dalam kondisi pergi safar, berada di
tengah padang pasir, jauh dari manusia dan keluarganya. Dan apalagi pada zaman
Nabi ﷺ belum ada alat yang praktis untuk menghubungi
keluargannya seperti handphone agar bisa segera minta bantuan atau menghubungi
aparat gawat darurat terdekat.
Dengan
demikian maka ada sebagian para ulama yang mengatakan :
"
Tidak wajib didampingi mahram atas wanita yang pergi safar jika memenunuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.
Dalam kondisi berhijab syar'i.
2.
Jalan yang di laluinya aman, yang kondisi amannya sama seperti halnya ketika
dia berada di rumahnya atau di kampung halamannya atau daerahnya.
3.
Dalam perjalanannya tidak melakukan khalwat [tidak berduaan dengan pria bukan
mahram]".
Mereka
mengatakan:
إِنَّ الْعِلَّةَ مِنَ التَّحْرِيمِ
صِيَانَةُ الْمَرْأَةِ وَالْمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا، فَمَتَى مَا حَصَلَ الْمَعْنَى
فَقَدْ تَحَقَّقَ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَتَحَصَّلَ مَقْصُودُ الشَّارِعِ.
Alasan
[عِلَّةٌ]
larangan tersebut adalah dalam rangka untuk menjaga dan melindungi perempuan,
dengan demikian ketika makna dan tujuan itu tergapai, maka aturan hukum telah
terpenuhi dan tujuan syar’i nya telah tercapai.
Ini
berdasarkan dua sebab utama:
Sebab
pertama: Nabi ﷺ secara mutlak melarang hal-hal yang menimbulkan
fitnah syahwat, termasuk diantaranya larangan seorang wanita berkhalwat dengan
lelaki yang bukan mahram, meskipun tidak dalam kondisi sedang safar.
Rosulullah
ﷺ bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ
"Janganlah
sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita kecuali wanita itu
disertai mahramnya" (HR. Muslim no. 1341)
Dalam
lafadz Bukhori no. 1862:
ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ
إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ
“Dan
tidak boleh memasukkan tamu laki-laki kecuali ia bersama mahramnya”. [HR.
Bukhori no. 1862]
Dan
dalam hadits Jabir, Rosulullah ﷺ bersabda:
أَلا لا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ
عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ، إلَّا أنْ يَكونَ ناكِحًا، أوْ ذا مَحْرَمٍ.
Ketahuilah,
janganlah seorang pria menginap dirumah seorang wanita janda kecuali jika dia
telah menikahinya atau mahramnya. [HR. Muslim no. 2171]
Dalam
riwayat Ibnu Hibbaan tidak ada kata Janda nya (ثَيِّبٍ). Lafadznya:
لا يبيتَنَّ رجُلٌ عندَ امرأةٍ في بيتٍ
إلَّا أنْ يكونَ ناكحًا أو ذا مَحرَمٍ
"Janganlah
seorang pria menginap dirumah seorang wanita, kecuali jika dia telah
menikahinya atau mahramnya". [HR. Ibnu Hibbaan no. 5590].
Sebab
Kedua: Sabda-sabda
Nabi ﷺ berbeda-beda ketika membatasi standar jarak waktu
tempuh safar wanita yang mengharuskannya disertai mahram.
Ada
sabdanya yang mengatakan: perjalanan setengah hari, ada yang semalam, ada yang
sehari, ada yang sehari semalam, ada yang dua hari, ada yang tiga hari dan ada
pula yang hanya menyebutkan safar secara mutlak tanpa membatasi jarak waktu
tempuh perjalanannya.
Ini
semua menunjukkan bahwa yang di maksud adalah kondisi dan situsai tingkat
keamanan dalam perjalanan bagi wanita yang pergi safar tanpa Mahram.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Baari ” (2/660):
"الْحُكْمُ فِي نَهْيِ الْمَرْأَةِ عَنِ
السَّفَرِ وَحْدَهَا مُتَعَلِّقٌ بِالزَّمَانِ، فَلَوْ قَطَعَتْ مَسِيرَةَ سَاعَةٍ
وَاحِدَةٍ مَثَلًا فِي يَوْمٍ تَامٍّ تَعَلَّقَ بِهَا النَّهْيُ، بِخِلَافِ الْمُسَافِرِ،
فَإِنَّهُ لَوْ قَطَعَ مَسِيرَةَ نِصْفِ يَوْمٍ مَثَلًا فِي يَوْمَيْنِ لَمْ يَقْصُرْ،
فَافْتَرَقَا. وَاللهُ أَعْلَمُ". ا.هـ.
“Hukum
larangan seorang wanita bepergian sendirian adalah terkait dengan lamanya waktu
[bukan terkait dengan jauhnya jarak tempuh. PEN].
Dengan
demikian Jika seorang wanita melakukan perjalanan yang waktu tempuh standarnya
cuma 1 jam misalnya, lalu dia tempuh dalam waktu satu hari penuh; maka larangan
itu berlaku padanya.
Berbeda
dengan musafir, jika dia melakukan perjalanan yang waktu tempuh standarnya cuma
setengah hari, misalnya, lalu dia tempuh dalam dua hari; maka dia tidak boleh
mengqoshor Shalat. Jadi keduanya masing-masing berbeda. Wallaahu a'lam.
[Selesai].
BERARTI:
Jika
kita mengamalkan perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar: Maka mafhum mukholafahnya
adalah dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan perjalanan tanpa mahram
ke ujung barat dan ujung timur dengan pesawat jet, meskipun jalannya tidak aman
selama waktu perjalanannya tidak menghabiskan sehari penuh.
Atau
seorang wanita pergi safar tanpa mahram dari Jakarta ke Surabaya lewat Tol,
baik pergi sendirian dengan mengendari mobil atau naik naik Bus, meskipun jalannya
tidak aman selama waktu perjalanannya tidak menghabiskan sehari penuh.
Dengan
demikian yang menjadi tolak ukur wajibnya mahram bagi wanita dalam safar jika
safarnya melebihi waktu perjalanan sehari penuh adalah keamanan baginya dalam
perjalanan. Wallahu a'lam
Ada
sebuah hadits dari Asma binti Abi Bakar yang menunjukkan di perbolehkannya
Safar wanita jarak dekat dengan jalan kaki jika aman jalannya:
Dari
Asma’ binti Abu Bakr radliallahu ‘anhuma berkata:
وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى
مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَأْسِي،
وَهْىَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَىْ فَرْسَخٍ
“Aku
biasa membawa benih kurma dari kebun milik Az Zubair yang diberikan oleh
Rasulullah ﷺ di atas kepalaku. Kebun itu jaraknya dari (rumah)
ku dua pertiga farsakh”. [HR. Bukhori no. 5224 dan Muslim no. 2182]
1 Farsakh = 4.828 Kilo Meter.
Syekh Abdul Razzaq Afifi, semoga Allah merahmatinya telah berfatwa:
وَلَا شَكَّ أَنَّ السَّفَرَ بِالطَّائِرَةِ
الْيَوْمَ بِحَيْثُ يُوصِلُهَا الْمَحْرَمُ إِلَى الْمَطَارِ، وَيُرْكِبُهَا الطَّائِرَةَ،
فَتُسَافِرُ فِي رِفْقَةٍ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَطَاقِمِ الطَّائِرَةِ، وَيَأْخُذُهَا
الْمَحْرَمُ الْآخَرُ، أَوِ الرِّفْقَةُ الْمَأْمُونَةُ مِنَ الْمَطَارِ الْآخَرِ،
فِيهِ قَدْرٌ كَبِيرٌ مِنَ الْأَمَانِ وَالْحِفَاظِ عَلَى الْمَرْأَةِ، رُبَّمَا أَبْلَغُ
مِنْ سَيْرِهَا فِي طُرُقَاتِ الْمَدِينَةِ، وَالْأُمُورُ الَّتِي تَحْصُلُ نَادِرًا
فِي الْمَطَارَاتِ وَالطَّائِرَاتِ فِي حُكْمِ النَّادِرِ، وَالنَّادِرُ لَا حُكْمَ
لَهُ.
Tidak
ada keraguan bahwa hari ini seorang wanita pergi safar dengan pesawat, di mana
seorang mahram mengantar seorang wanita mahramnya ke bandara dan naik ke
pesawat, lalu wanita tsb terbang safar tanpa mahram bersama kaum pria dan kaum
wanita dan para awak pesawat.
Dan
setelah landing, dia dijemput oleh mahram lainnya atau teman wanita yang
dipercaya dari Bandara tempat landingnya tadi; maka dalam hal ini terdapat
kadar besar dalam rasa aman dan perlindungannya terhadap wanita. Bahkan mungkin
tingkat keamanananya lebih besar daripada dia berjalan di jalan-jalan kota.
Namun demikian mungkin pula ada hal-hal yang bisa terjadi di bandara dan
pesawat, namun itu jarang. Dan hal yang jarang tidak bisa dijadikan standar
hukum. (lihat Fatwa dan Surat Syekh Abdul Razzaq 1/201).
Note: Syeikh al-Albaani pernah
berbicara tentang pribadi syeikh Abdul Razzaq Afifi dengan mengatakan:
مِنْ أَفَاضِلِ الْعُلَمَاءِ، وَمِنَ
الْقَلَائِلِ الَّذِينَ نَرَى مِنْهُمْ سَمْتَ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَأَدَبَهُمْ، وَلُطْفَهُمْ،
وَأَنَاتَهُمْ، وَفِقْهَهُمْ.
Dia
adalah salah satu ulama yang memiliki keutamaan, dan termasuk salah satu ulama
yang sedikit sekali jumlah nya yang kami lihat akan keunggulannya sebagai
orang-orang yang berilmu, akhlak mereka, kelembutan mereka, kemandirian mereka,
dan fiqih mereka. [KUTIPAN SELESAI]
Abul
Wallid al-Baaji (wafat 474 H), ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa jika
seorang wanita pergi safar bersama dengan rombongan besar, maka dia tidak wajib
disertai mahram; karena kondisi keamanan dalam rombongan besar itu sama seperti
saat di daerahnya sendiri.
Al-Qoodhi
'Iyaadh dalam “إِكْمَالُ الْمُعْلِمِ
بِفَوَائِدِ مُسْلِمٍ” (4/446)
ketika menjelaskan pernyataan al-Baaji, dia mengatakan:
"قَالَ الْبَاجِيُّ: وَهَذَا عِنْدِي ـ يَعْنِي:
اشْتِرَاطَ الْمَحْرَمِ ـ فِي الِانْفِرَادِ ـ أَي: عِنْدَمَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ
مُنْفَرِدَةً لِوَحْدِهَا ـ، وَالْعَدَدِ الْيَسِيرِ، فَأَمَّا فِي الْقَوَافِي ـ لَعَلَّهُ:
الْقَوَافِلُ ـ الْعَظِيمَةِ فَهِيَ عِنْدِي كَالْبِلَادِ، يَصِحُّ فِيهَا سَفَرُهَا
دُونَ نِسَاءٍ وَذَوِي مَحَارِمَ.
قَالَ غَيْرُهُ: وَهَذَا فِي الشَّابَّةِ،
فَأَمَّا الْمُتَجَالَّةُ ـ وَهِيَ الطَّاعِنَةُ فِي السِّنِّ ـ فَتُسَافِرُ كَيْفَ
شَاءَتْ لِلْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ مَعَ الرِّجَالِ وَدُونَ ذَوِي الْمَحَارِمِ."
ا.هـ.
Al-Baji
berkata: Ini menurut pendapat saya - yakni: pensyaratan Mahram-. Ketika
sendirian - yakni: ketika seorang wanita sendirian melakukan safar. Dan dalam
rombongan para wanita yang sedikit jumlahnya.
Adapun
al-Qawaafi - mungkin yang dia maksud ada[ah: kafilah- kafilah besar - maka
menurut pendapat saya: ini sama seperti dalam sebuah negeri, di mana sah dan
boleh bagi wanita seorang diri untuk melakukan safar tanpa disertai para wanita
lainnya atau tanpa mahram.
Dan
ada yang berkata: Wajib mahram itu hanya untuk wanita yang masih muda. Adapun
al-Mutajaallah, yakni: wanita yang sudah sangat tua, maka dia boleh bepergian
sesuka hatinya untuk pekerjaan wajib dan sukarela dengan para lelaki dan yang
tidak ada hubungan mahram. [KUTIPAN SELESAI]
Namun
kutipan al-Baaji tentang adanya ulama yang membolehkan wanita yang sangat tua
pergi safar tanpa mahram ini di kritisi oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarah
Muslim 9/149 dengan mengatakan:
"وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْبَاجِيُّ لَا
يُوَافَقُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ مَظِنَّةُ الطَّمَعِ فِيهَا، وَمَظِنَّةُ
الشَّهْوَةِ وَلَوْ كَانَتْ كَبِيرَةً. وَقَدْ قَالُوا: لِكُلِّ سَاقِطَةٍ لَاقِطَةٌ.
وَيَجْتَمِعُ فِي الْأَسْفَارِ مِنْ سُفَهَاءِ النَّاسِ وَسَقَطِهِمْ مَنْ لَا يَرْتَفِعُ
عَنِ الْفَاحِشَةِ بِالْعَجُوزِ وَغَيْرِهَا؛ لِغَلَبَةِ شَهْوَتِهِ، وَقِلَّةِ دِينِهِ
وَمُرُوءَتِهِ، وَخِيَانَتِهِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَاللهُ أَعْلَمُ." ا.هـ.
Dan
yang dikatakan al-Baji ini tidak bisa diterima; karena wanita itu berpotensi
sebagai sumber bangkitnya gairah syahwat. Jadi dalam wanita itu sendiri adalah
sumber pemicu syahwat, meskipun sudah tua renta.
Ada
sebuah pepatah yang mereka katakan:
"لِكُلِّ سَاقِطَةٍ لَاقِطَةٍ"
Bagi
segala sesuatu yang terjatuh; ada pemungutnya
Dalam
perjalanan-perjalanan safar biasanya berkumpul pula dari kalangan orang-orang
bodoh dan orang-orang bermental rendahan yang tidak bisa menahan diri dari
perbuatan keji [amoralitas] terhadap seorang wanita tua renta dan wanita
lainnya; Karena didominasi oleh syahwatnya dan kerena kurangnya agama, etika
dan karena pengkhianatannya, dan sejenisnya. Wallaahu a'lam.[Selesai]
Perkataan
al-Baji yang disebutkan oleh al-Qoodih 'Iyaadh ini termaktub dalam al-Muntaqa
(7/304) karya al-Baaji - semoga Allah merahmatinya-.
Namum
Abu al-Abbas al-Qurthubi dalam kitabnya “Al-Mufhim” (3/450), dia membantahnya
dengan bantahan yang lebih baik dari apa yang dikatakan al-Nawawi. Yaitu
Al-Qurthubi berkata:
"وَفِيهِ بُعْدٌ؛ لِأَنَّ الْخَلْوَةَ بِهَا
تَحْرُمُ، وَمَا لَا يُطَّلَعُ عَلَيْهِ مِنْ جَسَدِهَا غَالِبًا عَوْرَةٌ، فَالْمَظِنَّةُ
مَوْجُودَةٌ فِيهَا. وَالْعُمُومُ صَالِحٌ لَهَا، فَيَنْبَغِي أَلَّا تَخْرُجَ مِنْهُ.
وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ." ا.هـ.
Dalam
perkataanya [al-Baaji] jauh dari kebenaran, karena berkhalwat [berduaan
ditempat sepi] dengannya itu diharamkan, dan apa saja yang tidak boleh dilihat
dari tubuhnya pada umumnya adalah aurat, maka dengan demikian kemungkinannya
sebagai pemicu syahwat tetap masih ada dalam dirinya [diri wanita tua renta]. Keumuman
larangan berlaku atasnya, maka seharusnya ia tidak keluar dari keumuman itu.Wallahu
a’lam." [SELESAI]
**===***===**
PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR HAJI TANPA MAHRAM JIKA JALANNYA AMAN.
=========
Ada
sebagian para ulama yang mengatakan: " Mahram bukanlah syarat bagi wanita
untuk pergi haji ".
Dengan
demikian maka mereka membolehkan seorang wanita bersafar tanpa mahram saat
pergi safar untuk menunaikan ibadah haji, dengan syarat-syarat yang dapat
mencegah terjadinya fitnah syahwat dan marabahaya pada dirinya, seperti pergi
bersama sekelompok para wanita atau jalan yang dilaluinya benar-benar aman,
atau selain itu.
Pendapat
ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri (wafat: 110 H), dan diriwayatkan pula
dari al-Awza'i (w. 157 H) dan Dawud adz-Dzahiri (W. 270 H).
Dan
ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i (al-Majmu' 8/ 342).
Dan
itu adalah salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali.
Dan
ini yang dipilih oleh Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah. Orang yang menyebutkannya
dari Ibnu Taimiyah adalah Ibnu Muflih, dia adalah orang yang paling berpengetahuan
tentang pilihan Ibnu Taimiyah, meskipun dia memiliki pendapat lain dalam
kitabnya Sharh al-Umdah (2/172- 177) dan al-Fatawaa al-Kubra (5/381).
Dan
nampaknya Ibnu Taimiyah punya pendapat yang lain yang sependapat dengan Jumhur,
itu terjadi pada awal hayatnya, apalagi dalam kitabnya "Syarah
al-'Umdah" yang dia susun di awal perkaranya sebagai penetap hukum dalam
madzhab.
Ibnu
Muflih menyebutkan dalam Al-Furuu’ dari Syekhul-Islam Ibnu Taymiyyah:
"وَعِندَ شَيْخِنَا تَحُجُّ كُلُّ امْرَأَةٍ
آمِنَةٍ مَعَ عَدَمِ الْمَحْرَمِ، وَقَالَ: إِنَّ هَذَا مُتَوَجِّهٌ فِي كُلِّ سَفَرِ
طَاعَةٍ، كَذَا قَالَ، وَنَقَلَهُ الْكَرَابِيسِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي حَجَّةِ
التَّطَوُّعِ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: فِيهِ وَفِي كُلِّ سَفَرٍ غَيْرِ وَاجِبٍ
كَزِيَارَةٍ وَتِجَارَةٍ."
“Dan
menurut pendapat Syekh kami, setiap wanita yang aman perjalanannya boleh
melakukan ibadah haji tanpa mahram. Dan dia berkata: Ini mengarah pula pada
setiap safar dalam ketaatan. Seperti itulah yang dia katakan.
Dan
Al-Karabiisii menukilnya dari Imam Asy-Syafi'i dalam perjalanan ibadah haji
sunnah. Sebagian sahabat Syafi'i berkata:
"
Dalam haji sunnah dan dalam setiap safar yang tidak wajib, seperti berziarah
dan berdagang". [Baca al-Furuu' 3/177]
Imam
Al-Nawawi mengutip dalam Al-Majmu' (8/342):
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَمِنْ أَصْحَابِنَا
مَنْ جَوَّزَ خُرُوجَهَا مَعَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ، كَسَفَرِهَا لِلْحَجِّ الْوَاجِبِ،
قَالَ: وَهَذَا خِلَافُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ.
قَالَ أَبُو حَامِدٍ: وَمِنْ أَصْحَابِنَا
مَنْ قَالَ: لَهَا الْخُرُوجُ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ فِي أَيِّ سَفَرٍ كَانَ، وَاجِبًا
كَانَ أَوْ غَيْرَهُ.
وَقَالَ: "وَلَا يَجُوزُ فِي
التَّطَوُّعِ وَسَفَرِ التِّجَارَةِ وَالزِّيَارَةِ وَنَحْوِهَا إِلَّا بِمَحْرَمٍ".
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ
بِغَيْرِ نِسَاءٍ وَلَا امْرَأَةٍ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا. وَبِهَذَا قَالَ
الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَدَاوُدُ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ بِامْرَأَةٍ ثِقَةٍ،
وَإِنَّمَا يَجُوزُ بِمَحْرَمٍ أَوْ نِسْوَةٍ ثِقَاتٍ.
Al-Mawardi
berkata: Di antara sahabat kami ada yang membolehkan seorang wanita keluar
safar bersama para wanita yang dapat dipercaya, seperti umpamanya dia pergi
safar untuk ibadah haji fardhu.
Dan
dia berkata: Ini bertentangan dengan nash Imam Asy-Syafi'i.
Abu
Hamid berkata: Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: bagi seorang wanita
boleh keluar safar tanpa mahram dalam safar apa pun, baik untuk sesuatu yang
wajib atau lainnya ".
Dan
ada yang berkata: “Tidak boleh safar wanita tanpa mahram dalam melaksanakan
ibadah sunnah, atau safar untuk berdagang, atau ziarah atau sejenisnya, kecuali
dengan mahram.
Sebagian
sahabat kami berkata: Boleh seorang wanita safar tanpa mahram, meskipun tanpa
ditemani para wanita atau seorang wanita jika jalannya aman.
Ini
adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri dan Daud adz-Dzoohiri.
Dan
Malik berkata: Tidak boleh bagi wanita yang aman pergi Safar dengan seorang
wanita: namun diperbolehkan jika dengan mahram atau dengan para wanita yang
dipercaya". [KUTIPAN SELESAI]
Abu
al-Abbas berkata dalam “Al-Mufhim” (3/449):
"وَذَهَبَ عَطَاءٌ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ
وَابْنُ سِيرِينَ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ ذَلِكَ
لَيْسَ بِشَرْطٍ، وَرُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا." ا.هـ.
“Athoo',
Sa'id bin Jubayr, Ibn Siirin, al-Awza'i, Malik dan asy-Syafi'i berpendapat
bahwa mahram bukan syarat. Hal yang sama diriwayatkan dari 'AISYAH, semoga
Allah meridhoinya.".
Ibnu
al-Mulaqqin berkata dalam “Al-I'laam” (6/79):
"فَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ
أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ الْمَحْرَمُ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ
وَابْنُ سِيرِينَ، وَمَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ."
“Pendapat
yang masyhur dari mazhab Syafi'i adalah bahwa mahram itu tidak syaratkan. dan
inilah dikatakan oleh Athoo dan Sa'id bin Jubair, Ibn Sirin, Malik dan
al-Awza'i.”
Ibnu
Abdil-Barr berkata dalam: “Al-Tamhiid” (21/52):
"لَيْسَ الْمَحْرَمُ عِنْدَ هَؤُلَاءِ مِنْ
شُرُوطِ الِاسْتِطَاعَةِ، وَمِنْ حُجَّتِهِمْ: الْإِجْمَاعُ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ
مَعَهُ الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ ـ وَفِيهِ الِاسْتِطَاعَةُ، وَلَمْ يَمْنَعْهُ فَسَادُ
طَرِيقٍ وَلَا غَيْرُهُ ـ أَنَّ الْحَجَّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ. قَالُوا: فَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ؛
لِأَنَّ الْخِطَابَ وَاحِدٌ، وَالْمَرْأَةُ مِنَ النَّاسِ." ا.هـ.
“Adanya
Mahram menurut mereka adalah bukan salah satu syarat al-istithoo'ah [mampu
berangkat haji], dan sebagian argumentasi mereka adalah Ijma' [kebulatan suara]
terhadap seorang pria yang telah memiliki bekal dan kendaraan, dan termasuk di
dalamnya al-istithoo'ah [mampu].
Dan
kerusakan jalan maupun yang lainnya tidak menghalanginya dari kewajiban haji
baginya.
Mereka
berkata: Begitu juga bagi wanita. Karena khithoob nya [perintahnya] adalah satu
[yakni; wajib atas manusia] dan perempuan termasuk di antara manusia.”
Imam
al-Baaji, semoga Allah merahmatinya, mengatakan setelah mengutip
perdapat-pendapat para ahli fiqih tentang safar seorang wanita untuk haji tanpa
mahram:
"وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرَهُ بَعْضُ
أَصْحَابِنَا إِنَّمَا هُوَ فِي حَالِ الِانْفِرَادِ وَالْعَدَدِ الْيَسِيرِ، فَأَمَّا
الْقَوَافِلُ الْعَظِيمَةُ وَالطُّرُقُ الْمُشْتَرَكَةُ الْعَامِرَةُ الْمَأْمُونَةُ
فَإِنَّهَا عِنْدِي مِثْلُ الْبِلَادِ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا الْأَسْوَاقُ وَالتُّجَّارُ،
فَإِنَّ الْأَمْنَ يَحْصُلُ لَهَا دُونَ مَحْرَمٍ وَلَا امْرَأَةٍ، وَقَدْ رُوِيَ هَذَا
عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ."
“Mungkin
larangan yang disebutkan oleh sebagian sahabat kami hanya dalam kondisi safar
sendirian dan bersama orang-orang yang jumlahnya sedikit.
Adapun
bersama kafilah-kafilah besar atau lewat jalan umum yang ramai dan aman, maka
menurutku sama seperti [bepergian] di daerahnya sendiri yang di dalamnya
terdapat pasar-pasar dan para pedagang.
Maka
keamanan baginya tercapai tanpa mahram atau tanpa wanita lain (yang
menemaninya), dan ini diriwayatkan dari al-Awza'i (Baca: الْمُنْتَقَى شَرْحُ الْمُوَطَّإِ (3/17).
Di
dalam kitab عُمْدَةُ الْقَارِي 16/148 karya al-'Aini di sebutkan argumentasi bagi al-Baaji:
مَا جَاءَ فِي حَدِيثِ عَدِيِّ بْنِ
حَاتِمٍ مَرْفُوعًا: "يُوشِكُ أَنْ تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ تَؤُمُّ
الْبَيْتَ لَا جَوَارَ مَعَهَا". فَهُوَ وَإِنْ كَانَ مِنْ بَابِ الْإِخْبَارِ
إِلَّا أَنَّهُ فِي سِيَاقِ مَدْحِ الزَّمَانِ بِانْتِشَارِ الْأَمْنِ وَرَفْعِ مَنَارِ
الْإِسْلَامِ فَيُحْمَلُ عَلَى الْجَوَازِ.
Apa
yang disebutkan dalam hadits marfuu' Adiy bin Hatim:
"Sudah
dekat waktunya akan ada Adz-Dza'inah [wanita penunggang unta, duduk dalam
sekedup yang ada di atas nya] keluar dari Al-Hiiraah, menuju Baitullah, tanpa
pendamping bersamanya." (Al-Bukhari no. 3400).
Maka
hadits ini, meskipun itu dalam bab penginformasian zaman yang akan terjadi,
namun kata-katanya itu dalam konteks pujian terhadap suatu zaman, yang mana
kondisi pada masa itu menyebar luasnya rasa aman dan melambungnya syiar-syiar
Islam, maka hadits ini mengarahkan pada hukum boleh (safar wanita tanpa
mahram). [Kutipan SELESAI]
===****===
SYARAT AMAN MENURUT PENDAPAT YANG TIDAK MENSYARATKAN MAHRAM:
=========
Para
ulama yang berpendapat bahwa mahram tidak disyaratkan dalam haji wajib; mereka
mensyaratkan satu syarat, yaitu keamanan bagi wanita, akan tetapi ada perbedaan
pendapat tentang cara memberikan keamanannya?
Al-Muwaffaq
Ibnu Qudamah, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Al-Mughni (5/31):
"قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: تَخْرُجُ مَعَ رَجُلٍ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَا بَأْسَ بِهِ. وَقَالَ مَالِكٌ: تَخْرُجُ مَعَ جَمَاعَةِ النِّسَاءِ.
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: تَخْرُجُ مَعَ حُرَّةٍ مُسْلِمَةٍ ثِقَةٍ. وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ:
تَخْرُجُ مَعَ قَوْمٍ عُدُولٍ، تَتَّخِذُ سُلَّمًا تَصْعَدُ عَلَيْهِ وَتَنْزِلُ، وَلَا
يَقْرَبُهَا رَجُلٌ، إِلَّا أَنَّهُ يَأْخُذُ رَأْسَ الْبَعِيرِ وَتَضَعُ رِجْلَهَا
عَلَى ذِرَاعِهِ." ا.هـ.
Ibnu
Siirin berkata: Wanita tsb pergi dengan seorang pria Muslim, itu boleh dan
tidak mengapa dengan cara itu.
Imam
Malik berkata: Dia Pergil dengan sekelompok wanita.
Asy-Syafi'i
berkata: Dia pergi dengan seorang wanita Muslimah yang merdeka [bukan budak]
dan dipercaya.
Al-Awza'i
berkata: Dia pergi dengan orang-orang yang adil dan bijak, sambil membawa
tangga untuk naik dan turun dari unta kendaraannya. Tidak boleh ada seorang
pria yang mendekatinya, kecuali seorang pria yang hendak membantu memegang
kepala unta dan wanita tsb meletakkan kakinya di lengan pria tsb ".
Al-Nawawi,
semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam “Syarh Muslim” (9/148):
"وَقَالَ عَطَاءٌ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ
وَابْنُ سِيرِينَ وَمَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ:
لَا يُشْتَرَطُ الْمَحْرَمُ، بَلْ يُشْتَرَطُ الْأَمْنُ عَلَى نَفْسِهَا. قَالَ أَصْحَابُنَا:
يَحْصُلُ الْأَمْنُ بِزَوْجٍ أَوْ مَحْرَمٍ أَوْ نِسْوَةٍ ثِقَاتٍ، وَلَا يَلْزَمُهَا
الْحَجُّ عِنْدَنَا إِلَّا بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ، فَلَوْ وَجَدَتِ امْرَأَةً
وَاحِدَةً ثِقَةً لَمْ يَلْزَمْهَا، لَكِنْ يَجُوزُ لَهَا الْحَجُّ مَعَهَا، هَذَا
هُوَ الصَّحِيحُ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَلْزَمُهَا بِوُجُودِ نِسْوَةٍ أَوِ
امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ، وَقَدْ يَكْثُرُ الْأَمْنُ وَلَا تَحْتَاجُ إِلَى أَحَدٍ، بَلْ
تَسِيرُ وَحْدَهَا فِي جُمْلَةِ الْقَافِلَةِ وَتَكُونُ آمِنَةً. وَالْمَشْهُورُ مِنْ
نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ وَجَمَاهِيرِ أَصْحَابِهِ هُوَ الْأَوَّلُ." ا.هـ.
“Athoo',
Sa'id bin Jubayr, Ibnu Siirin, Malik, al-Awza'i dan ay-Syafi'i mengatakan dalam
sebuah qoul yang masyhur darinya: Mahram itu tidak disyaratkan atas wanita,
melainkan yang disysaratkan itu adalah kondisi aman untuk dirinya.
Sahabat
kami berkata: Keamanan bisa dicapai dengan seorang suami, seorang mahram, atau
para wanita yang dipercaya, dan seorang wanita tidak wajib melakukan haji
menurut pendapat kami kecuali dengan adanya salah satu dari hal-hal ini.
Jika
ada seorang wanita yang hendak haji menemukan seorang wanita yang dapat
dipercaya, maka dia tidak wajib pergi haji, tetapi dia diperbolehkan untuk
melakukan haji bersamanya, ini adalah yang Shahih.
Sebagian
para sahabat kami berkata: Wajib bagi wanita untuk pergi haji jika ada
sekelompok para wanita atau satu wanita [yang hendak pergi haji]
Terkadang
keamanan semakin meningkat; maka pada saat seperti itu wanita tsb tidak
membutuhkan siapapun, melainkan bepergian sendirian, ikut dalam sejumlah
kafilah yang aman.
Nash-nash
al-Syafi'i yang paling masyhur dan mayoritas para sahabatnya adalah qoul yang
pertama. [Selesai]
Jadi
Yang dimaksud dengan keamanan bagi wanita dalam hal ini, cukuplah dengan
perkiraan bahwa hal itu akan terjadi tanpa harus diketahui secara pastu,
seperti seorang wanita yang bepergian untuk haji wajib dengan sekelompok wanita
dalam kloter haji resmi; Karena biasanya mereka itu rombongan yang aman.
Ibnu
al-Mulqin, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam: “Al-I'laam” (6/82):
"وَالَّذِينَ لَمْ يَشْتَرِطُوهُ ـ أَيِ:
الْمَحْرَمَ ـ قَالُوا: الْمُشْتَرَطُ الْأَمْنُ عَلَى نَفْسِهَا مَعَ رِفْقَةٍ مَأْمُونِينَ
رِجَالًا أَوْ نِسَاءً." ا.هـ.
“Mereka
yang tidak mensyaratkannya - yakni: mahram - berkata: Syaratnya adalah dirinya
merasa aman bersama dengan teman-teman yang aman, baik para lelaki maupun para
wanita”.
Hal
yang sama berlaku pula syarat keamanan jalan, dan itu adalah syarat yang nampak
jelas, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar mengisyaratkan nya dalam "Al-Fath"
(4/91) dengan mengatakan:
"جَوَازُ سَفَرِ الْمَرْأَةِ مَعَ النِّسْوَةِ
الثِّقَاتِ إِذَا أُمِنَ الطَّرِيقُ." ا.هـ.
"Diperbolehkannya
seorang wanita pergi safar bersama para wanita yang yang dapat dipercaya jika
jalannya aman".
Ibnu
Baththool berkata dalam “Syarah Shahih al-Bukhari” (4/533):
"أَلَا تَرَى أَنَّ عَلَيْهَا أَنْ تُهَاجِرَ
مِنْ دَارِ الْكُفْرِ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ إِذَا أَسْلَمَتْ فِيهِ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ،
وَكَذَلِكَ كُلُّ وَاجِبٍ عَلَيْهَا أَنْ تَخْرُجَ فِيهِ." ا.هـ.
“Tidakkah
kamu melihat bahwa seorang wanita harus pindah [hijrah] dari negeri kafir [dar
al-kufr] ke negeri Islam [dar al-Islam] jika dia telah memeluk Islam, sementara
dia tinggal di negeri Kafir tanpa mahram. Begitu pula segala hal yang wajib
atas nya untuk keluar darinya".
SELESAI. AL-HAMDULILLAH.
0 Komentar