Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BOLEHKAH WANITA PERGI SAFAR TANPA MAHRAM JIKA AMAN PERJALANANNYA ? BERDALIL DENGAN HADITS ADZ-DZO'IINAH & LAINNYA.

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISALAM
======
DAFTAR ISI:
  • MUQODDIMAH
  • PEMBAHASAN PERTAMA : SAFAR WANITA DALAM KEADAAN DARURAT
  • PEMBAHASAN KEDUA : SAFAR WANITA TIDAK DALAM KONDISI DARURAT
  • KENAPA JIKA BUKAN DALAM KONDISI DARURAT, SAFAR SEORANG WANITA HARUS DISERTAI DENGAN MAHRAM?
  • PEMBAHASAN KE TIGA : DALIL-DALIL YANG MENUNJUKAN TIDAK WAJIB MAHRAM BAGI WANITA MUSAFIR JIKA AMAN PERJALANANNYA .
  • PERTAMA  HADITS YANG MENUNJUKKAN WAJIB ADANYA MAHRAM ITU KARENA FAKTOR KETIDAK AMANAN JALAN YANG DILALUI.
  • HADITS ADZ-DZO'IINAH & FIQIH HADITS ADZO'IINAH
  • KEDUA  ATSAR PARA ISTRI NABI SAW PERGI HAJI SUNNAH TANPA MAHRAM PADA MASA KHALIFAH UMAR RA
  • FIQIH ATSAR HAJI SUNNAH PARA ISTRI NABI SAW
  • KETIGA  ATSAR UMMUL MUKMINIIN 'AISYAH RA
  • KEEMPAT  ATSAR ABDULLAH BIN UMAR RA
  • KELIMA  HADITS ASMA BINTI ABU BAKAR radhiyallahu 'anhumaa
  • KE ENAM  HADITS-HADITS YANG MEWAJIBKAN MAHRAM BAGI WANITA DALAM SAFAR
  • PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM MENENTUKAN MASA WAKTU TEMPUH SAFAR
  • FIQIH HADITS-HADITS LARANGAN SAFAR WANITA TANPA MAHRAM
  • KE TUJUH  TENTANG QAIDAH BERIKUT INI  (  "ما حرم لذاته لا يباح إلا للضرورة. وما حرم لسد الذريعة فيباح للحاجة "  )
  • KE DELAPAN  WANITA ITU BERPOTENSI SEBAGAI PEMICU BANGKITNYA SYAHWAT KAUM PRIA. DAN FISIK KAUM WANITA LEBIH LEMAH DI BANDING KAUM PRIA.
  • PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR HAJI TANPA MAHRAM JIKA JALANNYA AMAN.
  • SYARAT AMAN DARI PENDAPAT YANG TIDAK MENSYARATKAN MAHRAM

=====

بسم الله الرحمن الرحيم

==============

MUQODDIMAH

Hadits adz-Dzo'iinah: adalah hadits shahih Bukhori dan Muslim dari 'Adiy bin Haatim (ra) yang muatannya mengisyaratkan bahwa seorang wanita boleh bepergian jauh tanpa mahram jika jalan yang dilaluinya itu adalah jalan yang aman, baik bagi jiwanya, kehormatannya dan hartanya.

Makna adz-Dzo'iinah adalah wanita penunggang unta, duduk dalam sekedup yang ada di atas nya

'Adiy bin Haatim (ra) berkata:

بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ، صلى الله عليه وسلم إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ‏.‏

فَقَالَ ‏"‏ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ ‏"‏‏.‏ قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا‏.‏ قَالَ: ‏"‏ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ ‏... إلَى آخِرِه"

“Ketika aku bersama Nabi , tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu dia mengadu kepadanya tentang kefaqiran. Kemudian datang lagi yang lain, dan mengadu kepadanya tentang PARA PEMBEGAL.

Maka beliau  bersabda: ‘ Wahai ‘Adiy ! Apakah engkau pernah melihat (kota) al-Hiirah?’

Aku menjawab: ‘Aku belum melihatnya, tetapi aku telah mendengar tentangnya’.

Beliau  bersabda: ‘Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat seorang wanita adz-Dzo’iinah (seorang wanita di dlm هَوْدَجُ/sekedup di atas punggung unta sambil mengendarainya) melakukan perjalanan sendirian dari al-Hiirah hingga dia melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah tanpa merasa takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah ‘...... dst.
(HR. Bukhori no. 3637 dan Muslim no. 1016)  

Secara garis besar ada dua klasifikasi safar bagi wanita muslimah:

  • Pertama: Safar wanita dalam kondisi Darurat.
  • Kedua: Safar wanita dalam kondisi tidak Darurat.

======

PEMBAHASAN PERTAMA: 
SAFAR WANITA DALAM KEADAAN DARURAT

=========

Para ulama telah sepakat: bahwa boleh hukumnya bagi seorang wanita melakukan perjalaan safar [hijrah] dari suatu negeri [seperti dar al-kuffaar] yang dia tidak mampu menampakkan kewajiban agamanya dan apa yang berhubungan dengannya menuju ke satu negeri yang bisa memberikan keleluasaan dalam menjalankan aktifitas agamanya.

--------

DALIL-DALILNYA ADALAH SBB:

---------

DALIL PERTAMA

Kisah Hijrahnya Ummu Salamah dari Mekkah ke Madinah dengan pria musyrik yang bukan mahram:

Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata:

فَارْتَحَلْتُ بَعِيرِي ثمَّ أَخَذْتُ ابْنِي فَوَضَعْته فِي حِجْرِي، ثمَّ خَرَجْتُ أُرِيدُ زَوْجِي بِالْمَدِينَةِ. قَالَتْ: وَمَا مَعِي أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ. قَالَتْ: فَقُلْت: أَتَبَلَّغُ بِمَنْ لَقِيتُ حَتَّى أَقْدَمَ عَلَى زَوْجِي، حَتَّى إذَا كُنْتُ بِالتَّنْعِيمِ لَقِيتُ عُثْمَانَ بْنَ طَلْحَةَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَخَا بَنِي عَبْدِ الدَّارِ. فَقَالَ لِي: إلَى أَيْنَ يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ؟ قَالَتْ: فَقُلْتُ: أُرِيدُ زَوْجِي بِالْمَدِينَةِ. قَالَ: أَوَمَا مَعَكِ أَحَدٌ؟ قَالَتْ: فَقُلْتُ: لاَ وَاَللهِ إلاَّ اللهُ وَبُنَيَّ هَذَا. قَالَ: وَاَللهِ مَا لَكَ مِنْ مَتْرَكٍ. فَأَخَذَ بِخِطَامِ الْبَعِيرِ فَانْطَلَقَ مَعِي يَهْوِي بِي، فَوَاللهِ مَا صَحِبْتُ رجلاً مِنَ الْعَرَبِ قَطُّ، أَرَى أَنَّهُ كَانَ أَكْرَمَ مِنْهُ، كَانَ إذَا بَلَغَ الْمَنْزِلَ أَنَاخَ بِي، ثمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي، حَتَّى إذَا نَزَلْتُ اسْتَأْخَرَ بِبَعِيرِي، فَحَطَّ عَنْهُ ثَمَّ قَيَّدَهُ فِي الشَّجَرَةِ، ثمَّ تَنَحَّى وَقَالَ: ارْكَبِي. فَإِذَا رَكِبْتُ وَاسْتَوَيْتُ عَلَى بَعِيرِي أَتَى فَأَخَذَ بِخِطَامِهِ فَقَادَهُ حَتَّى يَنْزِلَ بِي. فَلَمْ يَزَلْ يَصْنَعُ ذَلِكَ بِي حَتَّى أَقْدَمَنِي الْمَدِينَةَ، فَلَمَّا نَظَرَ إلَى قَرْيَةِ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ بِقُبَاءٍ قَالَ: زَوْجُك فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ -وَكَانَ أَبُو سَلَمَةَ بِهَا نَازِلاً- فَادْخُلِيهَا عَلَى بَرَكَةِ اللهِ. ثُمَّ انْصَرَفَ رَاجِعًا إلَى مَكَّةَ. قَالَ: فَكَانَتْ تَقُولُ: وَاللهِ مَا أَعْلَمُ أَهْلَ بَيْتٍ فِي الإِسْلاَمِ أَصَابَهُمْ مَا أَصَابَ آلَ أَبِي سَلَمَةَ، وَمَا رَأَيْتُ صَاحِبًا قَطُّ كَانَ أَكْرَمَ مِنْ عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَة.

" Maka aku mengambil untaku dan kemudian mengambil anakku dan meletakkannya di pangkuan aku, kemudian aku bergerak pergi menuju suamiku yang sudah berada di Madinah.

Dia berkata: Aku tidak memiliki siapa pun dari makhluk Allah.

Dia berkata: Maka aku berkata: "Apakah aku harus memberitahu pada orang yang aku temui di jalan agar dia mau mengantarkan aku ke suamiku". Sehingga ketika aku tiba di at-Tan'iim, aku bertemu 'Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah, saudara Bani Abdi ad-Daar [saat itu dia masih musyrik]

Dia berkata kepadaku: Kamu mau pergi kemana, hai putri Abu Umayyah?

Dia berkata: Aku berkata: Aku mau pergi ke suami aku di Madinah.

'Utsman bin Thalhah berkata: Apakah ada orang bersamamu?

Dia berkata: Aku berkata: Tidak ada, demi Allah, kecuali Allah dan anak ini.

'Utsman bin Thalhah: Demi Allah, kamu tidak akan diterlantarkan.

Lalu dia mengambil tali kekang unta itu dan beranjak pergi bersamaku dan membimbing perjalananku. Demi Allah, aku tidak pernah menemani laki-laki dari Arab dalam perjalanan, yang saya lihat lebih terhormat darinya.

Ketika sampai di tempat persinggahan untuk istirahat; maka dia menambatkan tali kekang untaku, lalu dia mundur kebelakang menjauh dariku. Sehingga ketika aku sudah selesai istirahat dan hendak melanjutkan perjalanan, maka dia mendekatkan untaku, lalu merendahkan punggung unta dan mengikatnya di pohon.

Kemudian ketika unta sudah bersandar, maka Utsman berkata: Naik lah !.

Lalu ketika saya telah naik dan menunggangi unta saya, dia datang dan mengambil tali kekangnya dan menuntunnya hingga sampai bersamaku di sebuah persinggahan berikutnya. Dan dia terus melakukan hal ini padaku, hingga dia membawaku tiba di Madinah...".

[Lihat: السيرة النبوية karya Ibnu Hisyam1/469, 470, عيون الأثر karya Ibnu Sayyid an-Nas 1/200, تاريخ الإسلام karya al-Dzahabi 1/312, البداية والنهاية karya Ibn Kathir 3/208, dan الإصابة karya Ibnu Hajar 8/404, 405]

Akram Dhiyaa Al-'Amri berkata:

من رواية ابن إسحاق بإسناد صالح للاعتبار، فيه سلمة بن عبد الله بن عمر بن أبي سلمة مقبول، وقد تفرَّد بتوثيقه ابن حبان.

Dari riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang shalih untuk i'tibaar, di mana Salamah bin Abdullah bin Umar bin Abi Salama dapat diterima [مقبول], dan Ibnu Hibban mentautsiq secara tunggal. [Baca: السيرة النبوية الصحيحة 1/204].

Ibrahim Al-'Ali berkata:

من طريق ابن إسحاق وقد صرح بالسماع، وسنده رجاله ثقات، فالحديث صحيح.

Dari jalur Ibnu Ishaq, dan dia berterus terang mendengar langsung, dan sanadnya para perawinya dapat dipercaya, maka hadits itu shahih. [Baca: صحيح السيرة النبوية hal. 117]

DALIL KE DUA

Kisah hijrah Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith, dari Mekkah ke Madinah bersama pria bukan mahram.

Ummu Kultsum menceritakan kisah hijrahnya dan berkata:

"كُنْتُ أَخْرُجُ إِلَى بَادِيَةٍ لَنَا فِيهَا أَهْلِي، فَأُقِيمُ فِيهَا الثَّلَاثُ وَالْأَرْبَعَ ثُمَّ أَرْجِعُ إِلَيْهِمْ فَلَا يُنْكَرُونَ ذِهَابِي لِلْبَادِيَةِ، حَتَّى أَجْمَعْتُ الْمَسِيرَ، فَخَرَجْتُ يَوْمًا مِنْ مَكَّةَ كَأَنِّي أُرِيدُ الْبَادِيَةَ، فَلَمَّا رَجَعَ مَن تَبَعَنِي، إِذَ رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ، قَالَ: 'أَيْنَ تُرِيدِينَ؟' قُلْتُ: 'مَا مَسْأَلَتُكَ؟ وَمَنْ أَنْتَ؟' قَالَ: 'رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ'.

فَلَمَّا ذُكِرَ خُزَاعَةَ اطْمَأَنْتُ إِلَيْهِ لِدُخُولِ خُزَاعَةَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَقْدِهِ. فَقُلْتُ: 'إِنِّي امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ، وَإِنِّي أُرِيدُ اللِّحَاقَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا عِلْمَ لِي بِالطَّرِيقِ،' قَالَ: 'أَنَا صَاحِبُكِ حَتَّى أُورِدُكِ الْمَدِينَةَ.' ثُمَّ جَاءَنِي بِبَعِيرٍ فَرَكَبْتُهُ حَتَّى قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، وَكَانَ خَيْرَ صَاحِبٍ، فَجَزَاهُ اللَّهُ خَيْرًا.

بَعْدَ أَن تَأَخَّرَتْ "أُمُّ كُلْثُوم" عَن مَوْعِدِ الْعَوْدَةِ وَشَعَرَ أَهْلُهَا بِغِيَابِهَا خَرَجُوا لِيَبْحَثُوا عَنْهَا فَعَرَفُوا أَنَّهَا هَاجَرَتْ إِلَى الْمَدِينَةِ حَيْثُ أَخْبَرَتْهُمْ وَاحِدَةٌ مِنَ النِّسَاءِ أَنَّهَا رَأَتْهَا تَسِلُكُ الطَّرِيقَ الْمُؤدِّيَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ."

“Aku dulu pergi ke sebuah kampung di gurun sahara di mana kami memiliki keluargaku, dan aku tinggal di sana tiga dan empat hari, kemudian aku akan kembali kepada mereka, sehingga mereka tidak akan menghalanginya; karena kepergianku ke gurun sahara.

Sampai aku telah mengumpulkan segala sesuatu untuk memudahkan pejalanan, maka pada suatu hari aku meninggalkan Mekah seolah-olah aku menuju gurun sahara, ketika orang yang mengantarku kembali, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari Khuza’ah, dia berkata: Mau kemana? Aku berkata: Apa masalah Anda? dan siapa Anda? Dia berkata: Seorang pria dari Khuza'ah.

Ketika dia menyebut Kabilah Khuza'ah, aku merasa tenang padanya karena Khuza'ah masuk dalam sekutu Rosulullah SAW dan perjanjiannya.

Aku berkata: Aku seorang wanita dari Quraisy, dan aku ingin bergabung dengan Rasulullah SAW, sementara aku tidak tahu jalan.

Dia berkata: Aku adalah temanmu sampai aku membawamu ke Madinah.

Kemudian dia membawakanku seekor unta dan aku menungganginya sampai kami tiba di Madinah, dan dia adalah sahabat dalam perjalanan yang terbaik, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Setelah Umm Kultsum terlambat dari jadwal waktu kembali dan keluarganya merasakan ketidakhadirannya, mereka pergi mencarinya dan mengetahui bahwa dia telah hijrah ke Madinah. Salah satu wanita memberi tahu mereka bahwa dia telah melihatnya mengambil jalan yang menuju ke arah Madinah.

[Baca: صفوة الصفوة karya Ibnu al-Jauzi 1/322].

Dan berkenaan dengan kisah hijrah nya Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith, Allah menurukan ayat dalam surat al-Mumthanah: 10. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.

Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.

Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.

Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)

DALIL KE TIGA

Kisah wanita muslimah yang lari dari tawanan para perampok:

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran bin Hushain (RA), dia berkata:

وَأُسِرَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنَ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ -

قَالَ - وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ ‏.‏ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏.‏ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا ‏.‏ فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ ‏.‏
فَقَالَ ‏"‏ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ الْعَبْدُ ‏"‏ ‏.

" Ada seorang wanita Anshar tertawan (para perampok) bersama dengan unta beliau SAW yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga ia temui unta 'adlba'. Jadilah ia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu ia menghardiknya hingga berlari kencang.

Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.

Wanita itu sempat bernadzar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta 'adlba' itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, Ini adalah Al Adlba', unta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam!.

Wanita itu berkata (dengan redaksi), Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya. Lalu orang-orang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkomentar:" Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan ia kepadanya, ia bernadzar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka ia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang hamba". [HR. Muslim no. 3099]

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 11/102 berkata ketika mensyarahi hadits ini:

" وفي هذا الحديث جواز سفر المرأة وحدها بلا زوج ولا محرم ولا غيرهما إذا كان سفر ضرورة كالهجرة من دار الحرب إلى دار الإسلام وكالهرب ممن يريد منها فاحشة ونحو ذلك والنهي عن سفرها وحدها محمول على غير الضرورة اﻫ

Dan dalam hadits ini dibolehkan seorang wanita bepergian sendiri tanpa suami, tanpa mahram, atau siapa pun jika itu safar darurat, seperti hijrah dari Dar al-Harm [negeri musuh Islam] ke Dar al-Islam [Negeri Islam].

Dan seperti lari dari seseorang yang hendak melakukan perbuatan keji [amoral] darinya, dan seterusnya, dan larangan bepergian sendirian harus dipahami jika bukan karena darurat. [KUTIPAN SELESAI].

Ibnu al-Mulaqqin dalam " الإعلام بفوائد عمدة الأحكام " 6/79 berkata:

"أما سفر الهجرة من دار الحرب إلى دار الإسلام فاتفق العلماء على وجوبه، وإن لم يكن معها أحد من محارمها"أ.هـ.

Adapun perjalanan hijrah dari Dar al-Harb [negeri musuh Islam] ke Dar al-Islam [negeri Islam], maka para ulama sepakat bahwa itu wajib safar, meskipun tidak ada mahram bersamanya". [KUTIPAN SELESAI].

Dan Abu al-'Abbaas dalam " المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم " 3/450 berkata: 

"اتُّفِق على أنه يجب عليها ـ أي: المرأة ـ أن تسافر مع غير ذي محرم إذا خافت على دينها ونفسها، وتهاجر من دار الكفر كذلك" أ.هـ.

" Telah disepakati bahwa wajib bagi seorang wanita untuk melakukan safar meski dengan tanpa mahram jika dia berada di satu negeri yang dia takut untuk mengamalkan agamanya dan khawatir pada dirinya sendiri, dan begitu juga dia harus hijrah keluar dari Dar al-Kufr [negeri kafir]. [KUTIPAN SELESAI].

Ar-Rohaibaani dalam " مطالب أولي النهى" 3/433 berkata:

وذلك (لأن القيام بأمر الدين واجب، والهجرة من ضرورة الواجب، وما لا يتم الواجب إلا به واجب)

Dan yang demikian itu (karena menjalankan urusan agama adalah suatu kewajiban, dan hijrah adalah bagian dari darurat untuk suatu kewajiban, dan apa yang tidak bisa menyelesaikan suatu kewajiban tanpanya adalah suatu kewajiban). [KUTIPAN SELESAI].

==========

PEMBAHASAN KEDUA: 
SAFAR WANITA TIDAK DALAM KONDISI DARURAT

===========

KENAPA JIKA BUKAN DALAM KONDISI DARURAT, SAFAR SEORANG WANITA HARUS DISERTAI DENGAN MAHRAM?

Pada umumnya dan pada hukum asalnya dalam syariat Islam seorang wanita dilarang bepergian jauh tanpa mahram jika bukan karena kondisi darurat . Hadits-hadits larangan tersebut cukup banyak dan shahih. Pentingnya mahram bagi wanita yang musafir itu dikarenakan dalam rangka untuk menjaga dan melindunginya dari bahaya, beban safar dan kesulitan dalam perjalanan.

Selain itu semua , juga dalam rangka menyediakan kebutuhan wanita musafir dalam perjalanannya, dikarenakan dalam Safar itu penuh dengan kesulitan dan kesusah payahan , khususnya Safar pada zaman Nabi SAW, yang mana pada masa itu harus mengarungi padang pasir yang gersang , tandus , kering, terjal , sunyi , lengang dan jauh dari pemukiman serta keramaian manusia, bahkan sangat rawan dengan perampokan, pembegalan dan pemerkosaan ditengah padang pasir, sebagaimana yang di isyaratkan oleh Nabi Saw dalam hadits adz-Dza'iinah .

Terkadang kaum pria yang kuat pun merasa kelelahan dalam menanggung beban perjalanan ini dan kewalahan mengahadapi mara bahaya seperti binatang buas dan begal . Oleh sebab itu dalam hadits Abu Hurairah (ra) disebutkan bahwa Nabi (SAW) bersabda:

" السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ".

 "Bepergian jauh (safar) itu adalah sebagian dari adzab [siksaan], yang membuat salah seorang dari kalian terhalang dari makan, minum dan tidur. Maka apabila dia telah selesai dari urusannya hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya". [HR. Bukhori no. 1804 dan Muslim no. 1972]

Dan bahkan kadang dalam perjalanan di padang pasir dahulu sering terjadi penculikan terhadap para musafir untuk dijadikan budak , lalu diperjual belikan seperti yang menimpa pada sahabat Zaid bin Haaritsah dan Salman al-Faarisy رضي الله عنهما

Kisah singkat perbudakan Zaid bin Haaritsah RA [W. 8 H]:

Zaid semasa kecilnya diculik oleh pasukan berkuda Bani al-Qain ibn Jisr sebelum Islam, ketika mereka menyerbu perkampungan Bani Ma'an, keluarga ibunya, dan dia bersama ibunya mengunjungi keluarganya. Mereka menjual Zaid di pasar 'Ukadz. Dan Hakim bin Hizam membelinya untuk bibinya Khadijah binti Khuwaylid RA seharga empat ratus dirham. Ketika Nabi Muhammad SAW menikahinya, Khadijah menghibahkannya kepadanya

Kisah singkat perbudakan Salman al-Faarisy RA [W. 33 H]:

Salman adalah seorang Persia dari penduduk Asfahan, ayahnya kepala distrik daerah Jiy. Salman melakukan kesepakatan dengan sekelompok orang dari Bani Kalb dengan biaya tertentu untuk membawanya ke negeri Arab untuk menelusuri keberadaan Nabi akhir zaman Mauhammad SAW, tetapi mereka mengkhianatinya dan menjual Salman kepada seorang Yahudi dari Waadi al-Qura. Kemudian seorang Yahudi lain dari Yatsrib [sekarang Madinah al-Munawwarah] dari Bani Quraidzah membelinya dan membawanya ke Yatsrib. Setelah Nabi SAW hirah ke Madinah, maka Salman masuk Islam lalu dimerdekakan dari perbudakannya oleh Nabi SAW. [Lihat Musnad Imam Ahmad 5/441, sanadnya Hasan].

KESIMPULANNYA : Jika dengan kaum pria saja demikian adanya, lalu bagaimana dengan kaum wanita?.

Mungkin karena disebabkan faktor dan kondisi seperti inilah; maka Nabi SAW mewajibkan kaum wanita yang hendak safar harus didampingi mahram ; tujuannya adalah untuk memberikan keamanan pada diri wanita tersebut dan kenyamanan untuknya.

Oleh sebab itu : hadits-hadits yang mengharuskan adanya mahram bagi wanita yang safar, berbeda-beda dalam menyebutkan masa tempuh perjalanannya, di sesuaikan dengan tingkat bahaya dalam jalur yang dilaluinya.

Ada hadits yang menyebutkan jarak waktu tempuhnya setengah hari, ada yang semalam, ada yang sehari, ada yang dua malam, ada yang dua hari, ada yang tiga malam, ada yang tiga hari dan ada juga yang tidak menyebutkan jarak waktu tempuh.

=========

PEMBAHASAN KE TIGA : DALIL-DALIL YANG MENUNJUKAN TIDAK WAJIB MAHRAM BAGI WANITA MUSAFIR JIKA AMAN PERJALANANNYA

=============

Berikut ini penulis akan memaparkan hadits-hadits, atsar-atsar, qaidah dan lainnya yang berkenaan dengan topik mahram dalam safar wanita, kemudian penulisa akan mencoba memadukan antar hadits-hadits tsb atau menggabungkanya.

-----------

PERTAMA: HADITS YANG MENUNJUKKAN WAJIB ADANYA MAHRAM ITU KARENA FAKTOR KETIDAK AMANAN JALAN YANG DILALUI.

------------

Yaitu sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits ADZ-DZO'IINAH:

Hadits adzo'iinah adalah hadits yang muatannya menunjukkan bahwa seorang wanita boleh bepergian jauh tanpa mahram jika AMAN diperjalanan-nya.

Yaitu hadist yang diriwayatkan Imam Bukhory dan Imam Muslim dari 'Adiy bin Haatim RA, [seorang Nasrani yang masuk Islam].

'Adiy bin Haatim RA berkata:

بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ، صلى الله عليه وسلم إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ‏.‏

فَقَالَ ‏"‏ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ ‏"‏‏.‏ قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا‏.‏ قَالَ: ‏"‏ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ ‏"‏ ـ

(قُلْتُ - فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِي - فَأَيْنَ دُعَّارُ طَيِّئٍ الَّذِينَ قَدْ سَعَّرُوا الْبِلاَدَ ‏)

" وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى ‏"‏‏.‏

قُلْتُ: كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ ؟. قَالَ ‏"‏ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ، فَلاَ يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ، وَلَيَلْقَيَنَّ اللَّهَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ يُتَرْجِمُ لَهُ‏.‏ فَيَقُولَنَّ أَلَمْ أَبْعَثْ إِلَيْكَ رَسُولاً فَيُبَلِّغَكَ فَيَقُولُ بَلَى‏.‏ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ مَالاً وَأُفْضِلْ عَلَيْكَ فَيَقُولُ بَلَى‏.‏ فَيَنْظُرُ عَنْ يَمِينِهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ جَهَنَّمَ، وَيَنْظُرُ عَنْ يَسَارِهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ جَهَنَّمَ ‏"‏‏.‏

قَالَ عَدِيٌّ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏"‏ اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقَّةِ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ شِقَّةَ تَمْرَةٍ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ ‏"‏‏.‏

قَالَ عَدِيٌّ: فَرَأَيْتُ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لاَ تَخَافُ إِلاَّ اللَّهَ، وَكُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكُمْ حَيَاةٌ لَتَرَوُنَّ مَا قَالَ النَّبِيُّ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ ‏"‏

“Ketika aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu dia mengadu kepadanya tentang kefaqiran. Kemudian datang lagi yang lain, dan mengadu kepadanya tentang PARA PEMBEGAL.

Maka beliau SAW bersabda: ‘ Wahai ‘Adiy ! Apakah engkau pernah melihat (kota) al-Hiirah?’

Aku menjawab: ‘Aku belum melihatnya, tetapi aku telah mendengar tentangnya’.

Beliau SAW bersabda: ‘Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat seorang wanita adz-Dzo’iinah (seorang wanita di dlm هَوْدَجُ/sekedup di atas punggung unta sambil mengendarainya) melakukan perjalanan sendirian dari al-Hiirah hingga dia melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah tanpa merasa takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah ‘.

Aku ['Adiy] bertanya di dalam hati: ‘Ke manakah para pembegal dari Thayyi’ yang telah menebarkan musibah [fitnah] di berbagai negeri?!’

(Lalu Rosulullah SAW melanjutkan sabdanya): ‘Dan seandainya umurmu panjang, niscaya akan dibukakan harta simpanan Kisra.’

Aku bertanya: ‘Kisra bin Hurmuz?!’

Beliau SAW menjawab: ‘[Iya] Kisra bin Hurmuz, dan seandainya umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat seorang laki-laki mengeluarkan (zakat) emas atau perak sepenuh kedua telapak tangannya, dia mencari orang yang akan menerimanya, lalu dia sama sekali tidak mendapati seorang pun yang mau menerimanya darinya …

‘Adi berkata: “Lalu aku sendiri melihat seorang wanita yang melakukan perjalanan dari (kota) al-Hiirah hingga dia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ada rasa takut kecuali kepada Allah.

Dan aku juga adalah termasuk orang yang membuka harta simpanan Kisra bin Hurmuz.

Dan jika kalian berumur panjang, niscaya kalian akan melihat apa-apa yang dikatakan oleh Abul Qasim (Nabi) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yaitu) orang yang menshadaqahkan (emas) sepenuh telapak tangan.”. (HR. Bukhori no. 3637 dan Muslim no. 1016)

Lokasi kota AL-HIIRAH:

Al-Hiirah adalah kota Arab yang sudah tidak berfungsi lagi dan al-Hiirah adalah situs arkeologi yang terletak di bagian selatan Irak tengah, dekat dengan kota Kufah.

Al-Hiirah adalah salah satu pilar segitiga kota peradaban, yang disebut Najaf-Kufa-Al-Hira di Efrat Tengah.

Al-Hiirah sekarang adalah pusat dari sub-distrik administratif Irak dengan nama yang sama di distrik Al-Manadzirah, provinsi Najaf.

Dulunya Al-Hirah adalah daerah yang diselimuti kemakmuran yang luar biasa, terutama dalam perdagangan, pertanian, industri, dan pergerakan dalam pembangunan

Awalnya Al-Hirah dimulai sebagai sebuah kota kecil dan kemudian melalui tahap demi tahap menuju kemakmuran pada masa-masa yang panjang.

Al-Hirah terletak di salah satu kota selatan Irak, tepatnya di dataran sedimen Mesopotamia, barat laut gurun Samawah. Jaraknya 15 kilometer dari kota Kufah, dan sekitar 10 kilometer tenggara kota Najaf

FIQIH HADITS ADZO'IINAH:

Ada sebagian para ulama yang menyatakan:

يدل هذا الخبر على جواز سفر المرأة دون محرم إذا أمنت الطريق ؛ استدلالاً بقرينة وروده في سياق المدح، ورفع منار الإسلام، فيحمل على الجواز.

Bahwa adits ini menunjukkan bolehnya safar seorang wanita tanpa mahram jika benar-benar aman jalan yang di laluinya, berdalil dengan qoriinah dari kata-kata nya yang beirisi pujian dan meninggikan menara syiar Islam, maka hadits ini di fahami akan bolehnya safar wanita tanpa mahram.

Al-'Aini dalam kitab عمدة القاري 16/148 berkata:

ما جاء في حديث عدي بن حاتم مرفوعًا: "يوشك أن تخرج الظعينة من الحيرة تؤم البيت لا جوار معها". فهو وإن كان من باب الإخبار إلا أنه في سياق مدح الزمان بانتشار الأمن ورفع منار الإسلام فيحمل على الجواز.

Apa yang disebutkan dalam hadits marfuu' Adiy bin Hatim:

"Sudah dekat waktunya akan ada Adz-Dza'inah [wanita penunggang unta, duduk dalam sekedup yang ada di atas nya] keluar dari Al-Hiiraah, menuju Baitullah, tanpa pendamping bersamanya." (Al-Bukhari no. 3400).

Maka hadits ini, meskipun itu dalam bab penginformasian zaman yang akan terjadi, namun kata-katanya itu dalam konteks pujian terhadap suatu zaman, yang mana kondisi pada masa itu menyebar luasnya rasa aman dan melambungnya syiar-syiar Islam, maka hadits ini mengarahkan pada hukum boleh (safar wanita tanpa mahram). [Kutipan SELESAI]

DR. Sami bin Abdulaziz Al-Maajid [Anggota ikatan para dosen di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud - RIYADH].

Dalam artikelnya [الاستدلال على جواز سفر المرأة بدون محرم] المكتبة الشاملة الحديثة 12/286, dia berkata:

 استدل به [حديث الظعينة] بعض أهل العلم على أن النهي عن سفر المرأة بغير محرم مخصص بالطريق المخوف، فإذا كان آمناً تأمن فيه المرأة على نفسها وعرضها أن يغتصبها مغتصب أو يغصب مالها ونحو ذلك فإنه يجوز لها أن تخرج بلا محرم، لكن مع نساء ثقات

" Sebagian para ulama berdalil dengan [Hadits Al-Dha'inah] bahwa larangan terhadap seorang wanita bepergian tanpa mahram adalah khusus untuk jalur perjalanan yang menakutkan.

Maka jika jalur itu aman, di mana wanita itu merasa aman dalam dirinya dan aman dari pemerkosaan, aman dari perampasan hartanya dan lain sebagainya, maka diperbolehkan baginya untuk keluar tanpa mahram, tetapi bersama para wanita yang dapat dipercaya".

Kemudian DR. Saami menyebutkan hadits adz-Dzo'iinah, setelah itu dia berkata:

فكون هذا يقع ولا يظهر إنكاره من علماء المسلمين وعامتهم دليلٌ على أن النهي منوط بالخوف على نفس المرأة وعرضها، ومالها أن يعتدى عليه معتدٍ، ولو كان فعلها هذا حراماً لما ساقه النبي - صلى الله عليه وسلم- في حديثه إخباراً عن تمام النعمة بظهور منارات الإسلام واستتباب الأمن، فإن المنكر لا يناسب أن يُساق في هذا الباب،

فالذين استدلوا بهذا الحديث لم يستدلوا به؛ لأنه إخبار مجرد، بل كان استدلالهم بما يُشعر به هذا الخبر من جواز هذا الذي سيقع؛ لأنه مسوق في سياق الإخبار عن تمام النعمة باستتباب الأمن وظهور منارات الإسلام في أراضيه الواسعة،

وقد أجاب عن الاستدلال بهذا الحديث القائلون بعموم النهي عن سفر المرأة بدون محرم بأن هذا إخبار لا بيان حكم، ويجاب عن هذا بأنه وإن كان خبراً لكنه يحمل معنى جواز ما سيقع؛ لأنه في سياق التذكير بنعمة الله بشيوع الأمن بعد الخوف وظهور راية الإسلام في الأرض المتباعدة. والله أعلم

" Realita ini benar-benar terjadi namun tidak nampak adanya pengingkaran dari kalangan para ulama dan umat Isalm, maka ini adalah bukti bahwa larangan tersebut didasarkan pada kekhawatiran terhadap nyawa wanita itu, kehormatannya, dan hartanya agar tidak diserang oleh orang-orang jahat.

Dan jika perbuatan wanita dalam hadits adz-dzoo'iinah ini dilarang, maka tentunya Nabi SAW tidak akan menuturkan dalam haditsnya tentang kesempurnaan nikmat Allah dengan berkibarnya menara-menara syi'ar kenyamanan dengan kehadiran Islam dan terciptanya keamanan [hingga dipadang pasir yang sepi].

Dan jika perbuatan wanita adz-dzoo'iinah ini dianggap sebagai sebuah kemunkaran; maka tentunya sangatlah tidak pantas dipaparkan oleh Nabi SAW dalam hal ini.

Maka orang-orang yang berdalil dengan hadits ini [boleh nya Safar wanita tanpa mahram]; mereka tidak berdalil dengan mengatakan bahwa hadits ini hanyalah sebuah kabar belaka, melainkan berdalil nya mereka dengan hadits dzo''inah ini adalah bahwa hadits ini mengisyaratkan bahwa hal tersebut ada kemungkinan terjadi; karena dipaparkan dalam bentuk narasi yang menginformasikan tentang akan datangnya masa kesempurnaan nikmat Islam, terciptanya keamanan dan berkibarnya menara-menara syiar [panji-panji] Islam di muka-muka bumi yang luas.

Mereka yang mengatakan bahwa pada umumnya wanita dilarang bepergian tanpa mahram telah menanggapi kesimpulan hadits ini: bahwa ini adalah sebuah kabar, bukan perjelasan hukum.

Jawabannya adalah bahwa meskipun itu adalah khabar, akan tetapi mengandung makna yang mungkin akan terjadi; karena kandungannya dalam kontek mengingatkan akan datangnya nikmat Allah dengan menyebarnya rasa aman setelah adanya rasa ketakutan dan kecemasan serta munculnya panji-panji Islam hingga ke negeri-negeri yang yang saling berjauhan. Wallaahu a'lam ". [Selesai].

Sheikh Ahmad Mamduuh, Sekretaris Fatwa di Dar Al-Iftaa Mesir, mengatakan:

وأن العلة فى المحرم هو الأمن للمرأة، فإن أتى وقت وتحقق الأمن بدون وجود محرم فلا يظل المنع موجودا ويجوز لها أن تسافر من غير محرم ما دامت آمنة على نفسها وعرضها.

وأوضح، أن الشافعية قالوا بجواز سفر المرأة للحج إن أمنت على نفسها بدون محرم، ويتحقق الأمن بسفرها مع رفقة آمنة من النساء المسلمات، ويشمل هذا السفر حضور المؤتمرات والعمل وحتى الترويح عن النفس.

"Dan bahwa illat [alasan harus ada] mahram adalah demi keamanan untuk wanita, maka jika tiba masa-nya dan keamanan terpenuhi tanpa kehadiran mahram, maka larangan itu tidak berlaku lagi dan boleh bagi wanita bepergian tanpa mahram selama kondisi keamanan bagi jiwanya dan kehormatannya masih terus bisa terjaga secara berkesinambungan.

Dan lebih jelas lagi, bahwa para ulama Syafi'iyyah mengatakan: bahwa Safar wanita untuk haji jika dia merasa aman pada dirinya tanpa mahram, dan keamanan itu betul-betul terbukti nyata dalam safarnya tersebut bersama rombongan para wanita yang dipercaya dari kalangan para wanita Muslimah.

Dan ini termasuk safar dalam rangka menghadiri konferensi, bekerja dan bahkan rekreasi".

-------------

KEDUA: ATSAR PARA ISTRI NABI SAW PERGI HAJI SUNNAH TANPA MAHRAM PADA MASA KHALIFAH UMAR RA:

----------------

Umar (ra) memberi izin untuk menunaikan haji kepada para istri Nabi Saw tanpa mahram pada akhir haji yang Umar lakukan

Dari Abdurrahman bin 'Auf RA, berkata:

 أَذِنَ عُمَرُ رَضيَ اللهُ عنه لأزْوَاجِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا، فَبَعَثَ معهُنَّ عُثْمَانَ بنَ عَفَّانَ، وعَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ.

bahwa Umar radliallahu 'anhu memberi izin (untuk menunaikan haji) kepada para istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada akhir haji yang dia lakukan, lalu ia mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf bersama mereka. [HR. Bukhori no. 1772,1860]

Al-Badr al-Aini, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Umdat al-Qoori (10/219):

" وروى ابن سعد من مرسل أبي جعفر الباقر قال: منع عمر أزواج النبي صلى الله عليه وسلم الحج والعمرة.

وروى أيضاً من طريق أم دُرَّة عن عائشة رضي الله عنها قالت:منعنا عمر الحج والعمرة حتى إذا كان آخر عام فأذن لنا" أ.هـ

Ibnu Saad meriwayatkan dari mursal Abu Jaafar al-Baqir, yang berkata: Umar melarang istri-istri Nabi SAW untuk melakukan haji dan umrah.

Dan juga diriwayatkan melalui Ummu Durrah dari Aisyah radhiyallahu 'anhu, yang mengatakan:

"Umar melarang kami untuk melakukan haji dan umrah, hingga tahun terakhir [menjelang wafatnya Umar] maka dia memberi kami idzin."

Dan Yang semisalnya disebutkan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 4/88-89.

Ibnu Sa'ad berkata:

«كانت الحجة التي حج فيها عمر بن الخطاب سنة ثلاث وعشرين، وهي آخر حجة حجها عمر، أرسل إليه أزواج النبي - صلى الله عليه وسلم - يستأذِنَّه في الخروج فأذن لهنَّ، وأمر بجَهازِهن.

فحُمِلن في الهوادج عليهن الأكسية الخضر، وبعث معهنَّ عبد الرحمن بن عوف وعثمان بن عفان؛ فكان عثمان يسير على راحلته أمامهن؛ فلا يدع أحداً يدنو منهن، وكان عبد الرحمن يسير على راحلته من ورائهن؛ فلا يدع أحداً يدنو منهن، ينزلن مع عمر كل منزل.

“Haji yang dilakukan Umar Ibn Al-Khattab pada tahun dua puluh tiga Hijriyah, dan itu adalah haji terakhir yang dilakukan Umar. Para istri-istri Nabi -رضي الله عنهن-mengutus seseorang kepada nya untuk meminta izin kepadanya agar mereka diperbolehkan melaksanakan ibadah haji, maka dia memberi mereka izin dan memerintahkan mereka untuk mempersiapkan diri.

Lalu mereka dibawa dalam haudaj-haudaj [sekedup di atas punggung unta] diatasnya dibungkus kelambu kain hijau.

Dan Abdur-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan ditugaskan mendampingi mereka. Maka Utsman berjalan di atas kendaraannya di depan mereka, maka ia tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Dan Abd al-Rahman berjalan di atas kendaraanya di belakang mereka; Dia tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka, mereka berhenti dipersinggahan bersama Umar pada setiap kali dia berhenti di persinggahan.

[Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/209, Dan lihat pula Sunan al-Bayhaqi: 4/326 (8404), dan pokok asalnya dalam al-Bukhari: 2/658 (1761)]

Ibnu Sa'ad berkata: Dari Abdur-Rahman bin Auf, dia berkata:

أرسلني عمر وعثمانَ بأزواج رسول الله - صلى الله عليه وسلم - السنة التي توفي فيها عمر يحججن؛ فكان عثمان يسير أمامهن؛ فلا يترك أحداً يدنو منهن ولا يراهن إلا من مد البصر، وعبد الرحمن بن عوف خلفهن يفعل مثل ذلك، وهنَّ في الهوادج وكانا ينزلان بهنَّ في الشعاب فيقيلانِهنَّ في الشِّعْب وينزلان في فيِّ الشعب ولا يتركان أحداً يمر عليهن»

Umar menugaskan saya dan Utsman untuk mendampingi istri-istri Rasulullah SAW di tahun di mana Umar wafat, untuk melaksanakan ibadah haji.

Maka Utsman berjalan di depan mereka. Dia tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka dan tidak melihat mereka kecuali sejauh mata memandang [pandangan kosong], dan Abdur-Rahman bin Auf di belakang mereka dengan melakukan hal yang sama seperti Utsman.

Dan mereka para istri Nabi SAW berada didalam haudaj-haudaj [sekedup di atas punggung unta], dan mereka berdua [Utsman dan Abdurrahman] kadang singgah bersama mereka di celah-celah lereng antar bukit, dan mereka pun tidur siang di sana. Sementera mereka berdua berjaga-jaga di mulut celah lereng tsb, dan mereka berdua tidak akan membiarkan siapa pun melewati tempat singgah para istri Nabi SAW.

[Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/209, Dan lihat pula Sunan al-Bayhaqi: 4/326 (8404), dan pokok asalnya dalam al-Bukhari: 2/658 (1761)]

Ibnu Sa'ad berkata: “Dari Ummu Ma'bad binti Khalid bin Khulaif, dia berkata:

«رأيت عثمان وعبد الرحمن في خلافة عمر حاجاً بنساء رسول الله - صلى الله عليه وسلم -؛ فرأيت على هوادجهن الطيالسة الخضر، وهن حجرة من الناس، يسير أمامهن ابن عفان على راحلته، يصيح إذا دنا منهن أحد: إليك إليك؛ وابن عوف من ورائهن يفعل مثل ذلك»

Saya melihat Utsman dan Abdur-Rahman pada masa kekhalifahan Umar berangkat haji bersama istri-istri Rasulullah SAW; lalu saya melihat haudaj-haudaj mereka terdapat kain kelambu thoyaalisah berwarna hijau, dan mereka terlindungi dari orang-orang, di depan mereka Ibnu Affan di atas untanya, sambil berteriak ketika salah satu dari mereka mendekat: Anda harus segera menjauh, Anda harus segera menjauh !!!. Dan Ibnu Auf di belakang mereka dengan melakukan hal yang sama

[Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/209-210]

Ibnu Sa'ad berkata:

«كان عثمان ينادي: ألا لا يدنُ إليهن أحد، ولا ينظر إليهن أحد، وهنَّ في الهوادج على الإبل، فإذا نزلن أنزلهن بصــدر الشعب، وكان عثمان وعبد الرحمن بذنَب الشعب فلـــم يصــعد إليهن أحــد»

Dan dia berkata: “Utsman menyeru: " Ketahuilah, jangan ada seorang pun yang mendekati mereka ". Dan tidak ada yang melihat mereka, sementara mereka berada di dalam haudaj-haudaj di atas unta.

Jika mereka turun [istirahat], mereka diturunkan ke depan celah lereng bebukitan.

Utsman dan Abdur-Rahman berjaga-jaga di ujung celah lereng antar bukit, dan tidak ada seorang pun yang naik mendekati mereka". [Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/210]

Ibnu Sa'ad berkata: “Dari Al-Miswar Ibn Makhramah, dia berkata:

ربما رأيت الرجل ينيخ على الطريق لإصلاح رحل أو بعض ما يصلحه من جهازه، فيلحقه عثمان وهو أمام أزواج النبي - صلى الله عليه وسلم -؛ فإن كان الطريق سعة أخذ يمــين الطــريق أو يساره فيبعُد عنه، وإن لم يجد سعة وقف ناحية حتى يرحل الرجل أو يقضي حاجته، وقد رأيته يلقى الناس مقبِلين في وجهه من مكة على الطريق، فيقول لهم: يمــــنة أو يسرة فينحِّيهم؛ حتى يكونوا مد البصر حتى يمضين»

Terkadang anda melihat seorang pria di jalan berhenti untuk memperbaiki tas pelana atau memperbaiki sebagian komponen peralatan kendaraannya, lalu Utsman mendekatinya, sementara dia berada di depan istri-istri Nabi SAW, jika jalannya luas, maka dia ambil arah kanan atau kiri jalan, lalu menjauh darinya.

Dan jika jalannya tidak luas; maka dia berhenti di satu sisi sampai orang itu pergi atau telah menyelesaikan keperluannya, dan aku melihatnya bertemu orang-orang yang datang dari Mekah di jalan, lalu dia berkata kepada mereka: " Ke kanan !" atau " ke kiri !", lalu dia menyuruh mereka minggir, sampai mereka sejauh mata memandang hingga mereka para istri Nabi SAW bisa lewat ".[Lihat: Ath-Thobaqoot al-Kubroo: 8/210]

Ada sebagian para ulama yang menyebutkan tentang kisah kebarangkatan haji para istri Nabi SAW dengan lafadz:

وَمَعَهُنَّ أوْلِيَاؤُهُنَّ مِمَّنْ لا يَحْتَجِبْنَ مِنْهُ

"Dan bersama mereka ada wali mereka yang tidak harus berhijab darinya".

Namun sanadnya tidak bisa dibuktikan akan keshahihannya.

FIQIH ATSAR HAJI SUNNAH PARA ISTRI NABI SAW:

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/91:

وفيه (اتفاق عمر وعثمان وعبد الرحمن بن عوف ونساء النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك، وعدم نكير غيرهم من الصحابة عليهن في ذلك)

" Dan di dalam atsar tsb terdapat kesepakatan Umar, Utsman, Abd al-Rahman bin Auf dan para istri Nabi SAW tentang hal ini [yakni: Safar tanpa mahram untuk haji sunnah PEN], dan bahwa para sahabat lainnya tidak ada yang mengingkari mereka dalam hal itu)".

Al-Badr al-Aini, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Umdat al-Qoori (10/219):

"وَفِي الْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ: مَا خَرَجَتْ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْحَجِّ إِلَّا بَعْدَ إِذْنِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَهُنَّ وَأَرْسَلَ مَعَهُنَّ مَنْ يَكُونُ فِي خَدْمَتِهِنَّ. وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مُتَوَقِّفًا فِي ذَلِكَ أَوَّلًا، ثُمَّ ظَهَرَ لَهُ الْجَوَاز؛ فَأَذَنَ لَهُنَّ وَتَبَعَهُ عَلَى ذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ. وَرَوَى ابْنُ سَعِيدٍ مِنْ مُرْسَلِ أَبِي جَعْفَرِ الْبَاقِرِ قَالَ: مَنَعَ عُمَرُ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ. وَرَوَى أَيْضًا مِنْ طَرِيقِ أُمِّ دُرَّةٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَنَعْنَا عُمَرَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ حَتَّى إِذَا كَانَ آخِرُ عَامٍ فَأَذَنَ لَنَا" أ.هـ"

Dan dalam hadits yang tersebut di atas: Istri-istri Nabi  tidak pergi haji kecuali setelah ada idzin dari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, untuk mereka, dan Umar mengutus bersama mereka orang-orang yang akan melayani mereka.

Pada awalnya Umar radhiyallahu 'anhu, bertawaqquf [tidak memberikan keputusan boleh dan tidaknya], kemudian setelah itu nampak pada dirinya pandangan lain, yaitu boleh; Maka dia [Umar] memberi mereka izin, dengan menyertakan sekelompok orang untuk mendampinginya.

Dan tidak ada orang yang mengingkari akan hal itu ". 

Dan Ibnu Saad meriwayatkan dari Mursal Abu Ja'far al-Baaqir berkata : Umar melarang para istri Nabi SAW berhaji dan berumrah . 

Dan diriwayatkan pula melalui jalur Ummu Durroh dari Aisyah (ra) berkata : Dulu Umar melarang kami berhaji dan berumrah , hingga di akhir tahun menjelang ajalnya , lalu dia mengidzinkan kami [untuk berhaji dan berumrah] ".[Selesai Kutipan dari al-Aini].

Dan yang semisal pernyataan al-Aini , dikatakan pula oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath 4/88-89.

Dalam ad-Duror as-Saniyyah di sebutkan:

كان عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه شَديدًا في الحقِّ، ولا يَخافُ في اللهِ لَومةَ لائمٍ، وإذا ظهَرَ الحقُّ في غَيرِ ما يَرى عاد إليه مِن فَورِه.

وفي هذا الحَديثِ يُخبِرُ التابعيُّ إبراهيمُ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أنَّ أميرَ المؤمنينَ عمَرَ بنَ الخطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه أذِنَ لأزواجِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بالحجِّ في آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا، حيث كان عمرُ بنُ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه لا يَسمَحُ لهن بالحجِّ بعْدَ أنْ أصبَحَ خَليفةَ المُسلِمينَ؛ اعتمادًا على قولِه تعالى: {وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ} [الأحزاب: 33]،

وكان يرَى تَحريمَ السَّفرِ عليهنَّ أولًا، ثمَّ ظهَرَ له الجوازُ، فأذِن لهنَّ في آخِرِ خِلافتِه، فخرَجْنَ للحجِّ إلَّا أمَّ المؤمنينَ زَينبَ بنتَ جَحشٍ رَضيَ اللهُ عنها، وأمَّ المؤمنينَ سَوْدةَ بنتَ زَمعةَ رَضيَ اللهُ عنها،

«لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ قَولِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: " هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ" »

فكان نِساءُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَحجُجْنَ إلَّا هما؛ فقد فقالتَا: «لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ قَولِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ»، كما جاء في مُسنَدِ أحمَدَ..

وقد تَأوَّلَت بَعضُ أمَّهاتِ المؤمنينَ أنَّ المرادَ بالحديثِ أنَّه لا يَجِبُ عليهنَّ غيرُ تلك الحَجَّةِ، ولكنْ ما زاد فهو تَطوُّعٌ، ويُؤيِّدُ ذلك قولُه صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في صَحيحِ البخاريِّ مِن حَديثِ أمِّ المؤمنينَ عائشةَ رَضيَ اللهُ عنها: «لَكُنَّ أفضَلُ الجِهادِ؛ حَجٌّ مَبرورٌ ».

وقد أرسَلَ معهنَّ عمرُ رَضيَ اللهُ عنه لمَّا سَمَحَ لهنَّ بالحجِّ عثمانَ بنَ عفَّانَ وعبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ رَضيَ اللهُ عنهما، وكان معهنَّ نِسوةٌ ثِقاتٌ، فقُمْنَ مَقامَ المَحرَمِ،..

وكان عُثمانُ يُنادي: «ألَّا يَدْنوَ منهنَّ أحدٌ، ولا يَنظُرَ إليهنَّ إلَّا مدَّ البصَرِ وهُنَّ في الهوادِجِ على الإبلِ»، كما في السُّننِ الكَبيرِ للبَيهقيِّ.


Artinya:
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, senantiasa tegas dalam kebenaran, dan tidak takut dicela si pencela demi untuk Allah.

Dalam hadits ini seorang Tabi'i Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Auf menceritakan bahwa Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu memberikan izin kepada istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menunaikan haji pada haji terakhir [menjelang wafatnya Umar].

Karena Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu tidak memperbolehkan para istri-istri Nabi SAW melakukan haji setelah dia diangakat menjadi khalifah kaum muslimin; karena Umar berpegang pada firman Allah SWT:

{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ}

{ Dan hendaklah kalian [para istri Nabi ] tetap tinggal di rumah-rumah kalian }[QS. Al-Ahzab: 33],

Dan Umar pada awalnya berpandangan: bahwa mereka diharamkan untuk melakukan perjalanan jauh [safar], kemudian nampak pada dirinya pandangan lain bahwa mereka boleh safar. Maka Umar memberi mereka idzin di akhir kekhalifahannya, lalu mereka pergi haji, kecuali Ummul Mukminiin Zainab binti. Jahsh, semoga Allah meridhoinya, dan Ummul Mukminiin Saudah binti Zam'ah, semoga Allah meridhoinya.

Para istri-istri Nabi SAW pergi melaksanakan ibadah haji kecuali mereka berdua. Mereka berdua berkata:

«لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ قَولِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ»

“Janganlah ada seekor binatang tunggangan pun yang menggerakkan kami setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

" Sesungguhnya haji tersebut adalah ini, kemudian kalian harus tinggal di rumah kalian dan tidak wajib berhaji".

Sebagaimana yang tercantum dalam Musnad Ahmad. [Di Shahihkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' no. 3/217]

Sebagian para Ummul Mukminiin mentakwilkannya bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah bahwa mereka tidak wajib melakukan selain haji wada' itu, tetapi apa pun yang lebih dari yang wajib adalah Sunnah, dan ini didukung oleh sabda beliau SAW dalam Sahih Al-Bukhari no. 1861:

«لَكُنَّ أفضَلُ الجِهادِ؛ حَجٌّ مَبرورٌ ».

"Akan tetapi Jihad yang paling afdhal adalah Haji yang Mabrur "

Umar radhiyallahu 'anhu menugaskan untuk mendampingi mereka - ketika mereka diizinkan untuk melakukan haji- Utsman bin Affan RA dan Abdur Rahman bin Auf RA, dan juga bersama mereka ada para wanita yang dapat dipercaya, maka para wanita tsb sebagai pengganti Mahram.

Utsman senantiasa menyeru: “Janganlah seorang pun mendekati mereka, dan tidak boleh memandang mereka kecuali sejauh mata memandang [pandangan kosong] saat mereka berada di dalam هَوْدَجُ [sekedup di atas punggung unta unta] ”. Seperti yang diriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubro karya Al-Bayhaqi. [Selesai kutipan dari ad-Duror as-Saniyyah]

Ibnu Baththool, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Sharh Sahih al-Bukhari (4/532):

" هذه الحال ترفع تَحْريج الرسول عن النساء المسافرات بغير ذي مَحْرم.

كذلك قال مالك والأوزاعي والشافعي: تخرج المرأة في حجة الفريضة مع جماعة النساء في رفقة مأمونة، وإن لم يكن معها محـرم.

وجمهور العلماء على جواز ذلك، وكان ابن عمر يحج معه نسوة من جيرانه. وهو قول عطاء وسعيد بن جبير وابن سيرين والحسن البصري. وقال الحسن: المسلم مَحْرَم ـ أي: الصالح التقي كالمحرم الحقيقي في كونه مأموناً على المرأة ـ، ولعل بعض من ليس بمحرم أوثق من المحرم " أ.هـ.

" Kondisi ini [hajinya para istri Nabi SAW tanpa mahram] bisa menghilangkan larangan Rasulullah terhadap wanita bepergian tanpa mahram.

Imam Malik, al-Awzaa'i dan Imam asy-Syafi'i juga berkata: Seorang wanita boleh berangkat melaksanakan haji fardhu dengan sekelompok para wanita dalam rombongan yang aman, meskipun dia tidak ada mahram bersamanya.

Mayoritas para ulama berpendapat bahwa ini diperbolehkan. Bahkan Ibnu Umar biasa pergi haji bersama para wanita dari tetangganya.

Ini adalah pendapatnya Athoo, Sa'id bin Jubair, Ibnu Siiriin dan Al-Hasan Al-Bashri.

Al-Hasan berkata: Seorang Muslim itu adalah mahram - yaitu: Muslim yang saleh dan bertaqwa sama kedudukannya seperti mahram yang hakiki dalam hal bahwa dia itu aman dipercaya bagi wanita -.

Dan kadang kala ada sebagian dari mereka yang bukan mahram hakiki lebih dapat dipercaya daripada seorang mahram yang hakiki. [SELESAI]

-----------

KETIGA: ATSAR UMMUL MUKMINIIN 'AISYAH RA:

-------------

Perkataan 'Aisyah RA yang mengisyaratkan bahwa mahram tidak wajib bagi wanita ketika safar jika jalannya aman.

Ibnu Abi Shaybah No 5/570 berkata: telah menceritakan kepada kami Waki' dari Yunus dari Al-Zuhri, dia berkata:

ذُكِرَ عندَ عائشة: لَا تَسَافَرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، فَقَالَتْ عَائِشَة: لَيْسَ كُلُّ النِّسَاءِ تَجِدُ مَحْرَمًا."

[Disebutkan kepada Aisyah RA bahwa seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram. Maka Aisyah berkata: “Tidak semua wanita menemukan mahram.”

[Ini diriwayatkan pula oleh Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 5/226].

Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Shahihnya no. (2722) dengan sanadnya:

Dari Ibnu Syihab az-Zuhry yang mengatakan: 'Amrah binti Abdur Rahman memberi tahu saya bahwa 'Aisyah RA mengkabarkan:

"أَنَّ أَبَا سَعِيدِ الْخُدْرِيِّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عليه وسلم عَنِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَسَافِرَ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ، قَالَتْ عُمَرَةُ: فَالْتَفَتَتْ عَائِشَةُ إِلَى بَعْضِ النِّسَاءِ فَقَالَتْ: 'مَا لِكُلِّكُمْ ذُو مَحْرَمٍ؟'"

Bahwa Abu Sa'id Al-Khudri RA berkata: " Rasulullah SAW melarang seorang wanita bepergian tanpa mahram bersamanya".

'Amrah berkata: Maka Aisyah menoleh ke sebagain para wanita, lalu dia berkata: " Apakah masing-masing dari kalian semua mempunyai Mahram?".

[Diriwayatkan pula oleh Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 5/226].

Al-Badr Al-Ayni berkata dalam “Umdat Al-Qari” (7/128):

"رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا: أَنَّهَا كَانَتْ تُسَافِرُ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ، فَأُخِذَ بِهَا جَمَاعَةٌ وَجَوَّزُوا سَفَرَهَا بِغَيْرِ مَحْرَمٍ.".

“Diriwayatkan dari Aisyah, semoga Allah meridhoinya: bahwa dia pergi safar tanpa mahram, maka sekelompok para ulama menjadikannya sebagai dalil bolehnya seorang wanita pergi safar tanpa mahram.”

Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam “Al-Fath” (4/88):

"واستُدِلّ به على جواز حج المرأة بغير محرم" أ.هـ.

“Dan atsar Aisyah ini dijadikan sebagai dalil bahwa bagi seorang wanita diperbolehkan untuk berangkat haji tanpa mahram".

-------------

KEEMPAT: ATSAR ABDULLAH BIN UMAR RA:

---------------

Perbuatan Abdullah bin Umar RA yang menunjukkan bahwa mahram tidak wajib bagi wanita ketika safar selama dalam perjelanannya itu aman.

Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 5/226 berkata:

Telah memberi tahu kami Abu Ali Al-Roudzabaari, telah memberi tahu saya Muhammad bin Bakr, telah bercerita pada kami Abu Daud, telah bercerita pada kami Nashr bin Ali, telah memberi tahu saya Abu Ahmad, telah bercerita pada kami, dari Ubaidullaah, dari Nafi ':

"أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُرَدِّفُ مَوْلاةً لَهُ يُقَالُ لَهَا صَفِيَّةٌ تَسَافَرُ مَعَهُ إِلَى مَكَّةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عُقْبَةَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَجَّ بِمَوْلاةٍ لَهُ يُقَالُ لَهَا صَافِيَّةٌ عَلَى عَجْزِ بَعِيرٍ."

" Bahwa Abdullah bin Umar r.a pernah membocengkan maulaah-nya [mantan budak wanita miliknya yang ia merdekakan] yang bernama Shofiyah, dia pergi safar bersama Ibnu Umar ke Mekah".

Dan dalam riwayat Uqbah: Ibnu Umar pergi haji bersama Maulaah-nya yang bernama Shofiyah, dia duduk membonceng di belakang dekat buntut seekor unta".

Dan Imam al-Baihaqi berkata:

(قال الشافعي) في القديم وقد بلغنا ان ابن عمر سافر بمولاة له ليس هو لها بمحرم ولا معها محرم

(Asy-Syafi'i berkata) dalam qoul qodiim: Dan telah sampai kepada kami kabar bahwa Ibnu Umar bepergian dengan seorang Maulah [mantan budak wanita miliknya yang ia merdekakan], sementara dia bukanlah mahram baginya, dan tidak ada mahram bersamanya. [as-Sunan al-Kubraa 5/226].

Ibnu Baththool, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Sharh Sahih al-Bukhari (4/532):

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَحُجُّ مَعَهُ نِسَوَةً مِنْ جِيْرَانِهِ." ا.هـ.

" Ibnu Umar (RA) biasa pergi haji bersama para wanita dari para tetangganya ".

FIQIH ATSAR AISYAH DAN IBNU UMAR radhiyallaahu 'anhum:

Imam al-Baihaqi berkata:

"قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ وَقَدْ بَلَغَنَا عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَعُرْوَةَ مِثْلَ قَوْلِنَا فِي أَنْ تَسَافِرَ الْمَرْأَةُ لِلْحَجِّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا مَحْرَمٌ وَذُكِرَهُ أَيْضًا عَنْ عَطَاءٍ وَفِي الْقَدِيمِ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ."

Ay-Syafi'i berkata dalam qoul jadiid: Dan telah sampai kepada kami kabar dari Aisyah, Ibnu Umar, dan Urwah, sama seperti pendapat kami: bahwa boleh seorang wanita berangkat haji, walaupun tanpa ada mahram bersamanya.

Dia juga menyebutkannya dari pendapat Athoo . Dan dalam qaul qodim : dari Imam Malik bin Anas ". [as-Sunan al-Kubraa 5/226].

Ibnu Abdul-Barr dalam kitab al-Istidzkar 4/412 berkata:

وهو قول الشافعي في أنها تخرج معه مع جملة النساء قال ولو خرجت مع امرأة واحدة مسلمة لله فلا شيء عليها.

وقال ابن سيرين جائز أن تحج مع ثقات المسلمين من الرجال وهو قول الأوزاعي. قال الأوزاعي تخرج مع قوم عدول وتتخذ سلما تصعد عليه وتنزل ولا يقربها رجل وكل هؤلاء يقول ليس المحرم للمرأة من السبيل.

وهو مذهب عائشة لأنها قالت ليس كل امرأة لها ذو محرم أو تجد ذا محرم ذكر عبد الرزاق قال حدثنا معمر عن الزهري عن عمرة قال أخبرت عائشة تفتي ألا تسافر امرأة فوق ثلاث إلا مع ذي محرم فقالت عائشة تجدون ذا محرم

قال: وأخبرنا معمر وبن التيمي أنهما سمعا أيوب يحدث عن بن سيرين أنه سئل عن المرأة تحج مع غير ذي محرم فقال رب من ليس بذي محرم خير من محرم


Dan itu adalah pendapat Ay-Syafi'i: bahwa seorang wanita boleh pergi [haji] bersama mahramnya dengan sekelompok wanita.

Dia [asy-Syaafi'i] berkata, "Jika seorang wanita pergi [haji] bersama dengan seorang wanita lain yang Muslimah karena Allah, maka tidak mengapa baginya."

Ibnu Sirin berkata: “Diperbolehkan bagi seorang wanita pergi melaksanakan haji bersama para lelaki muslim yang dipercaya, dan ini adalah pendapat Al-Awza’i.”

Al-Awza'i berkata: “Seorang wanita boleh pergi haji bersama orang-orang yang bijak dan dia menyiapkan tangga untuk naik turun kendaraannya, dan tidak boleh ada pria yang mendekatinya.

Semuanya berpendapat bahwa mahram wanita bukanlah termasuk dari " as-Sabiil".

Dan ini adalah MADZHABNYA A'ISYAH RA, karena dia berkata:

ليس كل امرأة لها ذو محرم أو تجد ذا محرم

“Tidak setiap wanita memiliki mahram, atau tidak setiap wanita menemukan mahram.”

Abd al-Razzaq menyebutkan: Muammar memberi tahu kami dari Al-Zuhri dari Amra, dia berkata:

Saya memberi tahu Aisyah untuk sebuah fatwa bahwa tidak boleh bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya. Aisyah berkata:

تجدون ذا محرم ؟

"Apakah semua kalian menemukan mahram?."

Dia [Abdurrozzaaq] berkata: Muammar dan Ibnu al-Taymi mereka berdua memberi tahu kami bahwa mereka mendengar Ayyub meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa dia ditanya tentang seorang wanita yang berangkat haji tanpa mahram?

Dia berkata:

رُبَّ مَنْ لَيْسَ بِذِي مَحْرَمٍ خَيْرٌ مِنْ مَحْرَمٍ

"Terkadang orang yang tidak bersama mahram lebih baik dari pada yang bersama mahram." [al-Istidzkaar 4/412]

----------------

KELIMA: HADITS ASMA BINTI ABU BAKAR radhiyallahu 'anhumaa:

--------------------
Ada sebuah hadits dari Asma binti Abi Bakar yang menunjukkan di perbolehkannya Safar wanita jarak dekat dengan jalan kaki jika aman jalannya:
Dari Asma’ binti Abu Bakr radliallahu ‘anhuma berkata:

" وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى رَأْسِي، وَهْىَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَىْ فَرْسَخٍ. فَلَقِيتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ومعهُ نَفَرٌ مِنَ الأنْصارِ، فَدَعانِي، ثُمَّ قالَ: إخْ إخْ؛ لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ، فاسْتَحْيَيْتُ أنْ أَسِيرَ مع الرِّجالِ، وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ، وَكَانَ أَغْيَرَ النَّاسِ ".

“Aku biasa membawa benih kurma dari kebun milik Az-Zubair yang diberikan oleh Rasulullah SAW di atas kepalaku. Kebun itu jaraknya dari (rumah) ku dua pertiga farsakh”.

Pada suatu hari, aku bertemu dengan Rasulullah SAW beserta sejumlah orang Anshaar. Beliau memanggilku, seraya berkata: ‘Ikh, ikh” (menderumkan ontanya) - agar aku naik ke atas untanya dan membawaku di belakangnya. Namun aku malu berjalan bersama para lelaki dan aku ingat akan kecemburuan Az-Zubair, karena ia seorang laki-laki yang paling pencemburu. [HR. Bukhori no. 5224 dan Muslim no. 2182]

1 Farsakh = 4.828 Kilo Meter.

----------------

KE ENAM: HADITS-HADITS YANG MEWAJIBKAN MAHRAM BAGI WANITA DALAM SAFAR:

-------------------

Hadits-hadits yang melarang wanita pergi safar tanpa mahram, lafadznya berbeda-beda dalam menyebutkan masa waktu tempuh perjalanannya.

Ini semua mengisyaratkan bahwa sabda-sabda Nabi SAW tsb di sesuaikan dengan lokasi yang dituju oleh masing-masing penanya, sejauh mana tingkat keamanan dan mara bahaya dalam jalur yang dilaluinya.

Ada hadits yang menyebutkan masa waktu tempuhnya setengah hari, ada yang semalam, ada yang sehari, ada yang dua malam, ada yang dua hari, ada yang tiga malam, ada yang tiga hari dan ada juga yang tidak menyebutkan masa waktu tempuh.

Hadits yang menyebutkan masa waktu tempuhnya setengah hari, jika dengan mengendarai Unta diperkirakan jarak tempuhnya dalam kilometer, maka sekitar 25 KM .

Apakah ini masuk dalam katagori Safar?

Jawabannya: saya kira bukan, melainkan jarak waktu tempuh tsb disesuaikan dengan kondisi keamanan jalur yang ditempuh oleh sahabat yang bertanya. Wallahu a'lam.

Berikut ini hadits-hadits larangan safar wanita tanpa Mahram:

HADITS KE 1: JARAK WAKTU TEMPUH PERJALANAN SETENGAH HARI:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا تُسافِرُ امرَأةٌ بريدًا إلَّا ومعَها مَحرَمٌ يَحرُمُ عَلَيها

Seorang wanita tidak boleh bepergian dalam jarak tempuh satu bariid [setengah hari] kecuali bersama mahram yang memahraminya.

[HR. Abu Daud (1/273), Ibn Khuzaymah (1/254 no. 2526), Al-Hakim (1/442 no. 1616), Ibnu Hibbaan no. 2727 dan Ibn Asakir (16/74/1)].

Di Shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, al-Haakim dan adz-Dzahabi.

Al-Haakim berkata: "Shahih sesuai syarat Shahih Muslim ". Dan di setujui oleh adz-Dzahabi.

Namun hadits ini di Dhaifkan al-Albaani dalam السلسلة الضعيفة no. 5727. Dan al-Albaani mengatakan:

أن الحديث بلفظ " بريداً " شاذ، والمحفوظ بلفظ: ". يوم وليلة. "؛ كما هو مبين في " ضعيف أبي داود " (304)، "وصحيح أبي داود " (1516 - 1518)

" Bahwa hadits tsb dengan lafadz " بَرِيْد " adalah Syaadz. Yang terpelihara adalah dengan lafadz "sehari semalam [يوم وليلة]; sebagaimana di jelaskan dalam kitab Dha'if Abi Daud no. 304 dan Shahih Abi Daud no. 1516 - 1518 ".

Makna al-Bariid : adalah jarak tempuh setengah hari. [Baca: Syarah Muslim karya an-Nawawi 9/103 dan Aunul Ma'buud 5/149].

HADITS KE 2: JARAK TEMPUH PERJALANAN SEMALAM:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إلَّا وَمعهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ منها

“Tidak halal bagi seorang wanita Muslimah, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan semalam, kecuali bersama lelaki yang merupakan mahramnya.” (HR. Muslim no. 419-1339).

HADITS KE 3: JARAK TEMPUH SEHARI PERJALANAN:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

«‌لَا ‌يَحِلُّ ‌لِامْرَأَةٍ ‌تُؤْمِنُ ‌بِاللهِ ‌وَالْيَوْمِ ‌الْآخِرِ، ‌تُسَافِرُ ‌مَسِيرَةَ ‌يَوْمٍ ‌إِلَّا ‌مَعَ ‌ذِي ‌مَحْرَمٍ»

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan dalam jarak tempuh satu hari kecuali bersama mahramnya " (HR. Muslim no. 420-1339)

HADITS KE 4: JARAK TEMPUH SEHARI SEMALAM PERJALANAN:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا

 “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir menempuh perjalanan sehari semalam kecuali disertai seorang pria mahramnya.” (HR. Muslim no. 421-1339)

HADITS KE 5: JARAK TEMPUH DUA HARI :

Dari Abu Said al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:

لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَومَيْنِ إلَّا ومعهَا زَوْجُهَا أوْ ذُو مَحْرَمٍ

Seorang wanita tidak boleh bepergian yang berjarak tempuh dua hari tanpa suaminya bersamanya atau mahramnya. [HR. Bukhori no. 1995]

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 9/103 berkata:

Dalam Riwayat yang lain:

" نَهَى أَنْ تُسَافِرَ المَرْأةُ مَسِيْرةَ يَوْمَيْن "

“(Rasulullah SAW) melarang seorang wanita bepergian dalam jarak tempuh perjalanan dua hari”.

HADITS KE 6: JARAK TEMPUH TIGA HARI:

Dari Abu Said al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:

"لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا ‏"

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan yang tiga hari atau lebih, kecuali dia ditemani oleh ayahnya., saudara laki-lakinya, suaminya, putranya, atau seseorang yang menjadi mahram baginya." (HR. Muslim no. 1340)

HADITS KE 7: TANPA MENYEBUTKAN JARAK TEMPUH PERJALANAN:

Dari 'Abdullah Ibnu 'Abbas Radhiallaahu anhu, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkhutbah, beliau berkata:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ امْرَأَتي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وإنِّي اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مع امْرَأَتِكَ.

"Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya, dan tidak boleh seorang wanita bepergian kecuali bersama mahram".

Maka bangkitlah seorang lelaki lalu berkata: 'Sesungguhnya isteriku telah keluar untuk menjalankan ibadah haji, sementara aku telah diwajibkan untuk mengikuti sebuah peperangan'.

Maka beliau bersabda: 'Pergilah dan kerjakan haji bersama isterimu.'" (HR. Muslim no. 1341)

Lafadz Bukhori no. 1862:

لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ، فَقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ إنِّي أُرِيدُ أنْ أخْرُجَ في جَيْشِ كَذَا وكَذَا، وامْرَأَتي تُرِيدُ الحَجَّ، فَقالَ: اخْرُجْ معهَا.

“Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram, dan tidak boleh mempersilahkan tamu laki-laki kecuali ia bersama mahramnya”. Seseorang berkata: Ya Rasulullah, saya ingin bergabung dengan pasukan tertentu, sedang istri saya ingin menunaikan ibadah haji.

Rasulullah SAW bersabda: “Pergilah bersamanya”. [HR. Bukhori no. 1862]

FIQIH HADITS-HADITS DIATAS : HADITS LARANGAN SAFAR WANITA TANPA MAHRAM:

Narasi hadits-hadits ni secara eksplisit melarang wanita untuk bepergian tanpa mahram, dan tidak ada pembatasan tentang jarak waktu tempuhnya di sini dalam hadits; Karena jawaban waktu tempuhnya yang berbeda-beda, itu terjadi secara spontan terhadap beberapa penanya.

Abu al-'Abbaas al-Qurthubi berkata dalam: “Al-Mufhim” (3/450):

"إن المنع في هذه الأحاديث إنما خرج لما يُؤدِّي إليه من الخلوة، وانكشاف عوراتـهن غالباً. فإذا أُمِن ذلك، بحيث يكون في الرفقة نساء تنحاش إليهن، جاز. كما قاله الشافعي ومالك"أ.هـ.

“Larangan dalam hadits-hadits ini hanya karena adanya sesuatu yang menyebabkan nya berkhalwat [menyendiri di tempat sunyi] dan biasanya sering terbuka aurat mereka. Maka jika aman dari itu, umpamanya bergabung dengan sekelompok para wanita, maka itu diperbolehkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafi'i dan Malik ". [Selesai]

Dan Rosulullah SAW juga secara mutlak melarang seseorang safar sendirian, baik itu laki-laki maupun perempuan. Bahkan melarang bermalam sendirian dalam perjalanan.

Dalam hadits Abdullah bin Umar dikatakan:

أن النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ نهى عن الوِحدةِ أنْ يبيتَ الرجلُ وحده أو يسافرَ وحده.

Nabi SAW melarang seorang pria menyendiri: yaitu seorang pria bermalam sendirian atau pergi SAFAR sendirian.

[HR. Ibnu Abi Shaybah dalam “al-Musannaf” (26796), (34202), dan dalam “Al-Adab” (160)

Dan dari jalurnya Ibnu Majah meriwayatkannya dalam “Sunan”-nya (3768) - dan Ahmad dalam “al-Musnad” (2/24 No. 4770), (2) /60 No. 5252), dan Ibn Hibban dalam “Shahih-nya” (2704) dari Waki’ bin Al-Jarrah.

Di Shahihkan oleh Syeikh Bin Baaz dalam Haasyiah Bulughul Maraam no. 799.

Dalam lafadz Bukhori:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ ما في الوَحْدَةِ ما أعْلَمُ، ما سارَ راكِبٌ بلَيْلٍ وحْدَهُ.

Jika orang tahu apa yang ada dalam kesendirian apa yang saya tahu, maka seorang pengendara tidak akan berjalan di malam hari sendirian. [HR. Bukhori no. 2998].

Dalam ad-Duror as-Saniyyah oleh Alwi as-Saqqoof di katakan:

في هذا الحَديثِ يُحذِّرُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِنَ الوَحدةِ والانفِرادِ في السَّيرِ والسَّفَرِ في اللَّيلِ، فأخبَرَ أنَّه لو يَعلَمُ النَّاسُ ما يَعلَمُه هو صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِنَ الضَّرَرِ والمَخاطِرِ والآفاتِ التي تَحصُلُ مِن ذلك لِلمُسافِرِ المُنفَرِدِ في سَفَرِه، لم يَسِرْ راكِبٌ وَحيدًا في اللَّيلِ، وهذا مِنَ التَّخويفِ والزَّجرِ عنِ السَّفَرِ مُنفَرِدًا؛ فالمُنفَرِدُ في السَّفَرِ يَسهُلُ الطَّمَعُ فيه، وإنْ ماتَ في السَّفَرِ لم يَكُنْ هناك مَن يُكَفِّنُه ويُغسِّلُه ويُقيمُ جِنازَتَه، ولَعَلَّ قَولَه صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عنِ الوَحدةِ في سَيرِ اللَّيلِ والسَّفَرِ وَحيدًا، إنَّما هو إشفاقٌ على الواحِدِ مِنَ الشَّياطينِ؛ لِأنَّه وَقتُ انتِشارِهم وأذاهمْ لِلبَشَرِ بالتَّمثيلِ لهم، وما يُفزِعُهم ويُدخِلُ في قُلوبِهمُ الوَساوِسَ

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan agar seseorang tidak sendirian saat berjalan dan bepergian di malam hari.

Maka beliau mengabarkan bahwa jika orang itu tahu apa yang beliau SAW mengetahui akan adanya dhoror, bahaya dan malapetkan yang akan ditimbulkan darinya kepada musafir sendirian dalam perjalanannya; maka tidak akan ada satu pengendara pun yang bepergian pada malam hari, dan ini merupakan bentuk peringatan dan teguran atas orang yang bepergian sendirian.

Orang yang sendirian dalam perjalanan membuat mudah bagi orang lain menjadi tamak dan serakah padanya [untuk membegalnya. PEN]

Dan jika dia meninggal dalam perjalanan, maka tidak ada yang mengkafaninya, memandikannya, dan mengadakan pemakamannya.

Mungkin apa yang beliau SAW katakan tentang kesendirian dalam berjalan di malam hari dan bepergian sendirian, hanya karena rasa belas kasihan kepada orang yang menyendiri dari gangguan syeitan; Karena itu adalah waktu-waktu mereka menyebar dan menyakiti mereka dengan penampakan pada mereka, dan apa yang membuat mereka kaget ketakutan dan memasukan dalam hati mereka dengan pikiran penuh waswas ". [Selesai]

Adapun hadits yang menyebutkan adanya seorang sahabat yang hendak ikut pergi berjihad bersama Nabi SAW, namun istrinya hendak pergi haji dan kemudian Nabi SAW menyuruhnya pergi bersama istrinya berhaji, maka di jawab oleh sebagian para ulama dengan mengatakan:

فحديث النهي عن السفر دون محرم كان في ظرف حرب إذ أن الصحابي أراد الذهاب للغزو و ترك زوجته تحج وحدها فنهاه النبي و أمره أن يلحق زوجته و أن لا تسافر إلا مع ذي محرم ؛ ذالك لأنهم في حالة حرب و قد يتربص الرجال بنساء المسلمين. واما إذا توفر الأمن للنساء فلا مانع من سفرها دون محرم

" Hadits larangan bepergian tanpa mahram itu ketika dalam kondisi perang, karena sahabat tersebut ingin pergi berperang sementara dia harus meninggalkan istrinya untuk menunaikan haji sendirian, lalu Nabi melarangnya dan memerintahkannya untuk pergi bersama istrinya dan tidak boleh istrinya bepergian kecuali dengan mahram; yang demikian itu karena kondisi saat saat itu dalam kedaan perang dan dikhawatirkan ada para lelaki yang membuntuti dan mengintai para wanita muslimah.

Dan adapun jika dalam kondisi aman bagi para wanita, maka tidak ada hal yang memberatkan baginya untuk bepergian tanpa mahram ".[KUTIPAN SELESAI]

Abu Isa Turmudzi no. 1202 berkata:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ‏.‏ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ مُوسِرَةً وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ هَلْ تَحُجُّ ‏.‏ فَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَجُّ لأَنَّ الْمَحْرَمَ مِنَ السَّبِيلِ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ‏:‏ ‏(لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً ‏)‏ فَقَالُوا إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ فَلاَ تَسْتَطِيعُ إِلَيْهِ سَبِيلاً ‏.‏ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ ‏.‏ وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا فَإِنَّهَا تَخْرُجُ مَعَ النَّاسِ فِي الْحَجِّ ‏.‏ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيِّ

Dan Para ulama mengamalkan ini, yaitu mereka memakruhkan para wanita pergi safar kecuali dengan mahram.

Dan para ulama berbeda pendapat tentang seorang wanita yang memiliki kemudahan dan kemampuan untuk berhaji namun tidak ada mahram baginya; maka sebagian para ulama berpendapat bahwa wanita tsb tidak wajib baginya untuk berhaji karena mahram itu bagian dari " as-Sabiil", berdasarkan firman Allah SWT:

مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً

" Yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke baitullah" [QS. Ali Imran: 97]

Mereka berkata: Jika dia tidak memiliki mahram, berarti dia tidak memiliki kemampuan perjalanan ke sana. Inilah yang dikatakan Sufyan al-Thawri dan penduduk Kufah.

Dan sebagian para ulama berkata: Jika jalannya aman, maka dia bisa berangkat bersama orang-orang untuk haji. Dan ini adalah pendapat Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi'i. [Selesai kutipan dari Imam at-Tirmidzi].

Tanggapan Imam an-Nawawi terhadap banyak nya riwayat hadits yang berbeda-beda dalam menyebutkan masa waktu tempuh safar wanita yang mengahruskan mahram. Dia berkata:

قال العلماء: اختلاف هذه الألفاظ لاختلاف السائلين واختلاف المواطن وليس في النهي عن الثلاثة تصريح بإباحة اليوم والليلة أو البريد.

قال البيهقي: كأنه صلى الله عليه وسلم سئل عن المرأة تسافر ثلاثا بغير محرم فقال لا وسئل عن سفرها يومين بغير محرم فقال لا وسئل عن سفرها يوما فقال وكذلك البريد فأدى كل منهم ما سمعه وما جاء منها مختلفا عن رواية واحد فسمعه في مواطن فروى تارة هذا وتارة هذا وكله صحيح وليس في هذا كله تحديد لأقل ما يقع عليه اسم السفر ولم يرد صلى الله عليه وسلم تحديد أقل ما يسمى سفرا.

فالحاصل أن كل ما يسمى سفرا تنهى عنه المرأة بغير زوج أو محرم سواء كان ثلاثة أيام أو يومين أو يوما أو بريدا أو غير ذلك لرواية ابن عباس المطلقة وهي آخر روايات مسلم السابقة لا تسافر امرأة الا مع ذي محرم

Para ulama mengatakan:

“Perbedaan redaksi-redaksi di atas disebabkan perbedaan para penanya serta tempat tinggal mereka. Jadi, larangan bepergian selama tiga hari tidak berarti boleh bepergian selama sehari semalam atau setengah hari”.

Imam Baihaqi berkata:

“Rasulullah SAW seolah-olah ditanya tentang seorang wanita bepergian selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab: “Tidak”, demikian juga yang setengah hari.

Lalu mereka meriwayatkan sesuai apa yang mereka dengar. Sebagian riwayat berbeda satu sama lain, karena didengar pada tempat yang berbeda, maka sebagian meriwayatkan begini, dan sebagian yang lain begitu. Semuanya shahih.

Semua ini bukan merupakan pembatasan minimal dari sebuah perjalanan, karena tidak ada riwayat bahwa Rasulullah SAW membatasi perjalanan minimal seorang wanita.

Wal hasil, semua yang dinamakan safar; maka di larang bagi seorang wanita melakukan safar tanpa suami atau mahramnya, baik selama tiga hari, dua hari, satu hari, setengah hari atau yang lainnya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang umum yang diriwayatkan oleh Muslim:

لاَ تُسَافِرُ امْرَأةٌ إلا مَع ذِيْ مَحْرَمٍ

“Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram”.

Ini mencakup semua bentuk perjalanan. [Selesai kutipan dari Imam an-Nawawi]

[Baca: “Syarh Shahih Muslim” karya Imam Nawawi 9/103. Dan Baca pula: Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Baththool 3/79-80].

PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA :
DALAM MENENTUKAN MASA WAKTU TEMPUH SAFAR:

Ibnu 'Aabidiin dalam kitab Rodd al-Muhtaar Alaa ad-Durr al-Mukhtaar 2/15, kitab haji, dia berkata:

" (قوله في سفر) هو ثلاثة أيام ولياليها فيباح لها الخروج إلى ما دونه لحاجة بغير محرم [بحرٌ]، وروي عن أبي حنيفة وأبي يوسف كراهة خروجها وحدها مسيرة يوم واحد، وينبغي أن يكون الفتوى عليه لفساد الزمان "

“(Perkataannya: dalam perjalanan safar) adalah tiga hari tiga malam, maka dibolehkan baginya untuk keluar safar ke suatu tempat yang masa waktu tempuhnya di bawahnya, untuk keperluan tanpa dengan mahram [بحر].

Diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa adalah makruh bagi wanita untuk bepergian sendiri dalam masa tempuh satu hari. Dan seyogyannya berlakunya fatwa ini pada saat keadaan yang fasad [rusak dan kacau].

Abu Ja'faar ath-Thohaawi dalam شرح معاني الآثار 2/112 berkata:

فذهب قومٌ إلى أن المرأة لا تسافر سفرا قريبا أو بعيدا إلا مع ذي محرم واحتجوا في ذلك بهذه الآثار…

وخالفهم في ذلك ءاخرون فقالوا: كل سفر هو دون البريد فلها أن تسافر بلا محرم وكل سفر يكون بريدا فصاعدا فليس لها أن تسافر إلا بمحرم…

وخالفهم في ذلك ءاخرون فقالوا: كل سفر يكون ثلاثة أيام فصاعدا فليس لها أن تسافر إلا مع محرم وكل سفر يكون دون ذلك فلها أن تسافر بغير محرم…

قالوا: ففي توقيت رسول الله الثلاث في ذلك دليلٌ على أن حكم ما دون الثلاث بخلاف ذلك وممن قال بهذا القول أبو حنيفة وأبو يوسف ومحمد رحمهم الله تعالى "اهـ

Maka sebagian kaum berpendapat bahwa seorang wanita tidak boleh bepergian dalam jarak tempuh dekat atau jauh kecuali dengan mahram, dan mereka berargumentasi untuk itu dengan riwayat-riwayat ini…

Kaum yang lain berbeda pendapat dengan mereka dalam hal itu dan berkata: Setiap perjalanan kurang dari bariid [masa waktu tempuh setengah hari], maka dia berhak untuk bepergian tanpa mahram, dan setiap perjalanan melebihi masa perjalanan satu bariid dan seterusnya, maka dia tidak berhak bepergian kecuali dengan mahram.

Kaum yang lain berbeda pendapat dengan mereka dalam hal itu dan berkata: Setiap perjalanan tiga hari atau lebih, maka dia tidak berhak bepergian kecuali dengan mahram, dan setiap perjalanan yang kurang dari itu, maka dia berhak bepergian tanpa mahram.

Mereka berkata: Pada penentuan Rasulullah tiga hari dalam hal ini terdapat dalil bahwa hukum kurang dari tiga berbeda dari itu, dan yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad [Asy-Syaibaani].

Lihat pula: نخبة الأفكار شرح مشكل الآثار 9/10 karya Jalaluddiin as-Sayuuthii

----------

KE TUJUH: QAIDAH UMUM BERIKUT INI:

-------------

"ما حرم لذاته لا يباح إلا للضرورة. وما حرم لسد الذريعة فيباح للحاجة "

“Yang diharamkan pada dzatnya, maka tidak diperbolehkan kecuali karena ada dlarurat/keterpaksaan. 

Dan apa yang dilarang karena untuk سد الذريعة (menutup celah dalih/jaga-jaga); maka diperbolehkan jika karena ada keperluan.”

Sebagai pendukung untuk pendapat yang membolehkan safar wanita tanpa mahram jika aman adalah sebuah QA’IDAH/قاعدة:

"ما حرم لذاته لا يباح إلا للضرورة، وما حرم لسد الذريعة فيباح للحاجة ". كما قرر ذلك شيخ الإسلام وتلميذه ابن القيم رحمهما الله، ولا شك أن سفر المرأة بغير محرم مما حرم سدًا للذريعة.

أن الأصل في العبادات بالنسبة إلى المكلَّف التعبد دون الالتفات إلى المعاني، وأصل العادات الالتفات إلى المعاني كما قرر ذلك الإمام الشاطبي رحمه الله وأطال الاستدلال له

“Yang diharamkan pada dzatnya, maka tidak diperbolehkan kecuali karena ada dlarurat/keterpaksaan. 

Dan apa yang dilarang karena untuk سد الذريعة (menutup celah dalih/jaga-jaga); maka diperbolehkan jika karena ada keperluan.”

Hal ini juga diputuskan oleh Syeikhul Islam dan muridnya Ibnu Al-Qayyim - semoga Allah merahmati mereka- dan tidak ada keraguan bahwa safar seorang wanita tanpa mahram dilarang itu dalam rangka سد الذريعة (menutup celah dalih/jaga-jaga).

Prinsip ibadah bagi yang wajib adalah beribadah tanpa memperhatikan maknanya, dan asal usul adat adalah memperhatikan maknanya. Hal ini juga diputuskan oleh Imam al-Syathibi, semoga Allah merahmatinya, dan menjelaskannya secara panjang lebar dalm ber istidlal untuknya (“الموافقات” 5/209).

Dalam hal ini ada kesamaan larangan pergi safar seorang pria sendirian:

-------------

KE DELAPAN: WANITA ITU BERPOTENSI SEBAGAI PEMICU BANGKITNYA SYAHWAT KAUM PRIA. DAN FISIK KAUM WANITA LEBIH LEMAH DI BANDING KAUM PRIA.

--------------

Tidak ada keraguan bahwa kaum wanita itu berpotensi sebagai sumber bangkitnya gairah syahwat kaum lelaki.

Dan pada umumnya fisik kaum wanita tidak sekuat kaum lelaki, sehingga ketika seorang wanita berada di tempat yang sepi jauh dari keramaian, sangat dikhawatirkan tiba-tiba muncul seorang pria yang bukan mahramnya lalu terjadi sesuatu yang tidak dinginkan, apalagi jika wanita tersebut dalm kondisi tidak berhijab dan apalagi jika wanita tsb dalam kondisi pergi safar, berada di tengah padang pasir, jauh dari manusia dan keluarganya. Dan apalagi pada zaman Nabi SAW belum ada alat yang praktis untuk menghubungi keluargannya seperti handphone agar bisa segera minta bantuan atau menghubungi aparat gawat darurat terdekat.  

Dengan demikian maka ada sebagian para ulama yang mengatakan : 

" Tidak wajib didampingi mahram atas wanita yang pergi safar jika memenunuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Dalam kondisi berhijab syar'i.

2. Jalan yang di laluinya aman, yang kondisi amannya sama seperti halnya ketika dia berada di rumahnya atau di kampung halamannya atau daerahnya.

3. Dalam perjalanannya tidak melakukan khalwat [tidak berduaan dengan pria bukan mahram]".

Mereka mengatakan:

إن العلة من التحريم صيانة المرأة والمحافظة عليها، فمتى ما حصل المعنى فقد تحقق الحكم الشرعي وتحصل مقصود الشارع.

Alasan [علة] larangan tersebut adalah dalam rangka untuk menjaga dan melindungi perempuan, dengan demikian ketika makna dan tujuan itu tergapai, maka aturan hukum telah terpenuhi dan tujuan syar’i nya telah tercapai.

Ini berdasarkan dua sebab utama:

Sebab pertama: Nabi SAW secara mutlak melarang hal-hal yang menimbulkan fitnah syahwat, termasuk diantaranya larangan seorang wanita berkhalwat dengan lelaki yang bukan mahram, meskipun tidak dalam kondisi sedang safar.

Rosulullah SAW bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ

"Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya" (HR. Muslim no. 1341)

Dalam lafadz Bukhori no. 1862:

ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ

“Dan tidak boleh memasukkan tamu laki-laki kecuali ia bersama mahramnya”. [HR. Bukhori no. 1862]

Dan dalam hadits Jabir, Rosulullah SAW bersabda:

أَلا لا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ، إلَّا أنْ يَكونَ ناكِحًا، أوْ ذا مَحْرَمٍ.

 Ketahuilah, janganlah seorang pria menginap dirumah seorang wanita janda kecuali jika dia telah menikahinya atau mahramnya. [HR. Muslim no. 2171]

Dalam riwayat Ibnu Hibbaan tidak ada kata Janda nya (ثَيِّبٍ). Lafadznya:

 لا يبيتَنَّ رجُلٌ عندَ امرأةٍ في بيتٍ إلَّا أنْ يكونَ ناكحًا أو ذا مَحرَمٍ

"Janganlah seorang pria menginap dirumah seorang wanita, kecuali jika dia telah menikahinya atau mahramnya". [HR. Ibnu Hibbaan no. 5590].

Sebab Kedua: Sabda-sabda Nabi SAW berbeda-beda ketika membatasi standar jarak waktu tempuh safar wanita yang mengharuskannya disertai mahram.

Ada sabdanya yang mengatakan: perjalanan setengah hari, ada yang semalam, ada yang sehari, ada yang sehari semalam, ada yang dua hari, ada yang tiga hari dan ada pula yang hanya menyebutkan safar secara mutlak tanpa membatasi jarak waktu tempuh perjalanannya.

Ini semua menunjukkan bahwa yang di maksud adalah kondisi dan situsai tingkat keamanan dalam perjalanan bagi wanita yang pergi safar tanpa Mahram.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Baari ” (2/660):

"الحكم في نـهي المرأة عن السفر وحدها متعلق بالزمان، فلو قطعت مسيرة ساعة واحدة مثلاً في يوم تام لتعلَّق بـها النهي، بخلاف المسافر فإنه لو قطع مسيرة نصف يوم مثلاً في يومين لم يَقْصر، فافترقا. والله أعلم" أ.هـ.

“Hukum larangan seorang wanita bepergian sendirian adalah terkait dengan lamanya waktu [bukan terkait dengan jauhnya jarak tempuh. PEN].

Dengan demikian Jika seorang wanita melakukan perjalanan yang waktu tempuh standarnya cuma 1 jam misalnya, lalu dia tempuh dalam waktu satu hari penuh; maka larangan itu berlaku padanya.

Berbeda dengan musafir, jika dia melakukan perjalanan yang waktu tempuh standarnya cuma setengah hari, misalnya, lalu dia tempuh dalam dua hari; maka dia tidak boleh mengqoshor Shalat. Jadi keduanya masing-masing berbeda. Wallaahu a'lam. [Selesai].

BERARTI:

Jika kita mengamalkan perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar: Maka mafhum mukholafahnya adalah dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan perjalanan tanpa mahram ke ujung barat dan ujung timur dengan pesawat jet, meskipun jalannya tidak aman selama waktu perjalanannya tidak menghabiskan sehari penuh.

Atau seorang wanita pergi safar tanpa mahram dari Jakarta ke Surabaya lewat Tol, baik pergi sendirian dengan mengendari mobil atau naik naik Bus, meskipun jalannya tidak aman selama waktu perjalanannya tidak menghabiskan sehari penuh.

Dengan demikian yang menjadi tolak ukur wajibnya mahram bagi wanita dalam safar jika safarnya melebihi waktu perjalanan sehari penuh adalah keamanan baginya dalam perjalanan. Wallahu a'lam

Ada sebuah hadits dari Asma binti Abi Bakar yang menunjukkan di perbolehkannya Safar wanita jarak dekat dengan jalan kaki jika aman jalannya:

Dari Asma’ binti Abu Bakr radliallahu ‘anhuma berkata:

وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى رَأْسِي، وَهْىَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَىْ فَرْسَخٍ

“Aku biasa membawa benih kurma dari kebun milik Az Zubair yang diberikan oleh Rasulullah SAW di atas kepalaku. Kebun itu jaraknya dari (rumah) ku dua pertiga farsakh”. [HR. Bukhori no. 5224 dan Muslim no. 2182]

1 Farsakh = 4.828 Kilo Meter.

Syekh Abdul Razzaq Afifi, semoga Allah merahmatinya telah berfatwa:

ولا شك أن السفر بالطائرة اليوم بحيث يوصلها المحرم إلى المطار ويركبها الطائرة فتسافر في رفقة من الرجال والنساء وطاقم الطائرة، ويأخذها المحرم الآخر، أو الرفقة المأمونة من المطار الآخر فيه قدر كبير من الأمان والحفاظ على المرأة، ربما أبلغ من سيرها في طرقات المدينة، والأمور التي تحصل نادرًا في المطارات والطائرات في حكم النادر والنادر لا حكم له.

Tidak ada keraguan bahwa hari ini seorang wanita pergi safar dengan pesawat, di mana seorang mahram mengantar seorang wanita mahramnya ke bandara dan naik ke pesawat, lalu wanita tsb terbang safar tanpa mahram bersama kaum pria dan kaum wanita dan para awak pesawat.

Dan setelah landing, dia dijemput oleh mahram lainnya atau teman wanita yang dipercaya dari Bandara tempat landingnya tadi; maka dalam hal ini terdapat kadar besar dalam rasa aman dan perlindungannya terhadap wanita. Bahkan mungkin tingkat keamanananya lebih besar daripada dia berjalan di jalan-jalan kota. Namun demikian mungkin pula ada hal-hal yang bisa terjadi di bandara dan pesawat, namun itu jarang. Dan hal yang jarang tidak bisa dijadikan standar hukum. (lihat Fatwa dan Surat Syekh Abdul Razzaq 1/201).

Note: Syeikh al-Albaani pernah berbicara tentang pribadi syeikh Abdul Razzaq Afifi dengan mengatakan:

من أفاضل العلماء، ومن القلائل الذين نرى منهم سمت أهل العلم، وأدبهم، ولطفهم، وأناتهم، وفقههم

Dia adalah salah satu ulama yang memiliki keutamaan, dan termasuk salah satu ulama yang sedikit sekali jumlah nya yang kami lihat akan keunggulannya sebagai orang-orang yang berilmu, akhlak mereka, kelembutan mereka, kemandirian mereka, dan fiqih mereka. [KUTIPAN SELESAI]

Abul Wallid al-Baaji (wafat 474 H), ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa jika seorang wanita pergi safar bersama dengan rombongan besar, maka dia tidak wajib disertai mahram; karena kondisi keamanan dalam rombongan besar itu sama seperti saat di daerahnya sendiri.

Al-Qoodhi 'Iyaadh dalam “إكمال المُعْلِم بفوائد مسلم” (4/446) ketika menjelaskan pernyataan al-Baaji, dia mengatakan:

" قال الباجي: وهذا عندي ـ يعني: اشتراط المحرم ـ في الانفراد ـ أي: عندما تسافر المرأة مُنْفردة لوحدها ـ، والعدد اليسير، فأما في القوافي ـ لعله: القوافل ـ العظيمة فهي عندي كالبلاد، يَصِح فيها سفرها دون نساء وذوي محارم. قال غيره: وهذا في الشابة، فأما المُتَجَـالَّة ـ وهي الطَّاعِنة في السن ـ فتسافر كيف شاءت للفرض والتطوع مع الرجال ودون ذوي المحارم " أ.هـ.

Al-Baji berkata: Ini menurut pendapat saya - yakni: pensyaratan Mahram-. Ketika sendirian - yakni: ketika seorang wanita sendirian melakukan safar. Dan dalam rombongan para wanita yang sedikit jumlahnya.

Adapun al-Qawaafi - mungkin yang dia maksud ada[ah: kafilah- kafilah besar - maka menurut pendapat saya: ini sama seperti dalam sebuah negeri, di mana sah dan boleh bagi wanita seorang diri untuk melakukan safar tanpa disertai para wanita lainnya atau tanpa mahram.

Dan ada yang berkata: Wajib mahram itu hanya untuk wanita yang masih muda. Adapun al-Mutajaallah, yakni: wanita yang sudah sangat tua, maka dia boleh bepergian sesuka hatinya untuk pekerjaan wajib dan sukarela dengan para lelaki dan yang tidak ada hubungan mahram. [KUTIPAN SELESAI]

Namun kutipan al-Baaji tentang adanya ulama yang membolehkan wanita yang sangat tua pergi safar tanpa mahram ini di kritisi oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 9/149 dengan mengatakan:

"وهذا الذي قاله الباجي لا يوافق عليه ؛ لأن المرأة مظنة الطمع فيها، ومظنة الشهوة ولو كانت كبيرة. وقد قالوا: لكل ساقطة لاقطة. ويجتمع في الأسفار من سفهاء الناس وسقطهم من لا يرتفع عن الفاحشة بالعجوز وغيرها ؛ لغلبة شهوته، وقلة دينه ومروءته، وخيانته، ونحو ذلك والله أعلم " أ.هـ.

Dan yang dikatakan al-Baji ini tidak bisa diterima; karena wanita itu berpotensi sebagai sumber bangkitnya gairah syahwat. Jadi dalam wanita itu sendiri adalah sumber pemicu syahwat, meskipun sudah tua renta.

Ada sebuah pepatah yang mereka katakan:

"لِكُلِّ سَاقِطَةٍ لَاقِطَةٍ"

Bagi segala sesuatu yang terjatuh; ada pemungutnya

Dalam perjalanan-perjalanan safar biasanya berkumpul pula dari kalangan orang-orang bodoh dan orang-orang bermental rendahan yang tidak bisa menahan diri dari perbuatan keji [amoralitas] terhadap seorang wanita tua renta dan wanita lainnya; Karena didominasi oleh syahwatnya dan kerena kurangnya agama, etika dan karena pengkhianatannya, dan sejenisnya. Wallaahu a'lam.[Selesai]

Perkataan al-Baji yang disebutkan oleh al-Qoodih 'Iyaadh ini termaktub dalam al-Muntaqa (7/304) karya al-Baaji - semoga Allah merahmatinya-.

Namum Abu al-Abbas al-Qurthubi dalam kitabnya “Al-Mufhim” (3/450), dia membantahnya dengan bantahan yang lebih baik dari apa yang dikatakan al-Nawawi. Yaitu Al-Qurthubi berkata:

" وفيه بُعْدٌ ؛ لأن الخَلْوة بـها تحرم، وما لا يطلع عليه من جسدها غالباً عورة، فالمظنة موجودة فيها. والعموم صالح لها، فينبغي ألا تخرج منه. والله تعالى أعلم" أ.هـ.

Dalam perkataanya [al-Baaji] jauh dari kebeneran, karena berkhalwat [berduaan ditempat sepi] dengannya itu diharamkan, dan apa saja yang tidak boleh dilihat dari tubuhnya pada umumnya adalah aurat, maka dengan demikian kemungkinannya sebagai pemicu syahwat tetap masih ada dalam dirinya [diri wanita tua renta]. [SELESAI]

======

PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR HAJI TANPA MAHRAM JIKA JALANNYA AMAN.

=========

Ada sebagian para ulama yang mengatakan: " Mahram bukanlah syarat bagi wanita untuk pergi haji ".

Dengan demikian maka mereka membolehkan seorang wanita bersafar tanpa mahram saat pergi safar untuk menunaikan ibadah haji, dengan syarat-syarat yang dapat mencegah terjadinya fitnah syahwat dan marabahaya pada dirinya, seperti pergi bersama sekelompok para wanita atau jalan yang dilaluinya benar-benar aman, atau selain itu.

Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri (wafat: 110 H), dan diriwayatkan pula dari al-Awza'i (w. 157 H) dan Dawud adz-Dzahiri (W. 270 H).

Dan ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i (al-Majmu' 8/ 342).

Dan itu adalah salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali.

Dan ini yang dipilih oleh Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah. Orang yang menyebutkannya dari Ibnu Taimiyah adalah Ibnu Muflih, dia adalah orang yang paling berpengetahuan tentang pilihan Ibnu Taimiyah, meskipun dia memiliki pendapat lain dalam kitabnya Sharh al-Umdah (2/172- 177) dan al-Fatawaa al-Kubra (5/381).

Dan nampaknya Ibnu Taimiyah punya pendapat yang lain yang sependapat dengan Jumhur, itu terjadi pada awal hayatnya, apalagi dalam kitabnya "Syarah al-'Umdah" yang dia susun di awal perkaranya sebagai penetap hukum dalam madzhab.

Ibnu Muflih menyebutkan dalam Al-Furuu’ dari Syekhul-Islam Ibnu Taymiyyah:

"وعند شيخنا تحج كل امرأة آمنة مع عدم المحرم، وقال: إن هذا متوجه في كل سفر طاعة كذا قال ونقله الكرابيسي عن الشافعي في حجة التطوع. وقال بعض أصحابه فيه وفي كل سفر غير واجب كزيارة وتجارة "

“Dan menurut pendapat Syekh kami, setiap wanita yang aman perjalanannya boleh melakukan ibadah haji tanpa mahram. Dan dia berkata: Ini mengarah pula pada setiap safar dalam ketaatan. Seperti itulah yang dia katakan.

Dan Al-Karabiisii menukilnya dari Imam Asy-Syafi'i dalam perjalanan ibadah haji sunnah. Sebagian sahabat Syafi'i berkata:

" Dalam haji sunnah dan dalam setiap safar yang tidak wajib, seperti berziarah dan berdagang". [Baca al-Furuu' 3/177]

Imam Al-Nawawi mengutip dalam Al-Majmu' (8/342):

قال الماوردي: ومن أصحابنا من جوَّز خروجها مع نساء ثقات، كسفرها للحج الواجب، قال: وهذا خلاف نص الشافعي، قال أبو حامد: ومن أصحابنا من قال: لها الخروج بغير محرم في أي سفر كان، واجبًا كان أو غيره".

وقال: "ولا يجوز في التطوع وسفر التجارة والزيارة ونحوهما إلا بمحرم.

وقال بعض أصحابنا: يجوز بغير نساء ولا امرأة إذا كان الطريق آمنًا. وبهذا قال الحسن البصري وداود، وقال مالك: لا يجوز بامرأة ثقة: وإنما يجوز بمحرم أو نسوة ثقات".

Al-Mawardi berkata: Di antara sahabat kami ada yang membolehkan seorang wanita keluar safar bersama para wanita yang dapat dipercaya, seperti umpamanya dia pergi safar untuk ibadah haji fardhu.

Dan dia berkata: Ini bertentangan dengan nash Imam Asy-Syafi'i.

Abu Hamid berkata: Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: bagi seorang wanita boleh keluar safar tanpa mahram dalam safar apa pun, baik untuk sesuatu yang wajib atau lainnya ".

Dan ada yang berkata: “Tidak boleh safar wanita tanpa mahram dalam melaksanakan ibadah sunnah, atau safar untuk berdagang, atau ziarah atau sejenisnya, kecuali dengan mahram.

Sebagian sahabat kami berkata: Boleh seorang wanita safar tanpa mahram, meskipun tanpa ditemani para wanita atau seorang wanita jika jalannya aman.

Ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri dan Daud adz-Dzoohiri.

Dan Malik berkata: Tidak boleh bagi wanita yang aman pergi Safar dengan seorang wanita: namun diperbolehkan jika dengan mahram atau dengan para wanita yang dipercaya". [KUTIPAN SELESAI]

Abu al-Abbas berkata dalam “Al-Mufhim” (3/449):

"وذهب عطاء وسعيد بن جبير وابن سيرين والأوزاعي ومالك والشافعي إلى أن ذلك ليس بشرط، ورُوي مثله عن عائشة رضي الله عنها" أ.هـ.

 “Athoo', Sa'id bin Jubayr, Ibn Siirin, al-Awza'i, Malik dan asy-Syafi'i berpendapat bahwa mahram bukan syarat. Hal yang sama diriwayatkan dari 'AISYAH, semoga Allah meridhoinya.".

Ibnu al-Mulaqqin berkata dalam “Al-I'laam” (6/79):

 " فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يُشترط المحرم.وبه قال عطاء وسعيد ابن جبير وابن سيرين، ومالك والأوزاعي".

“Pendapat yang masyhur dari mazhab Syafi'i adalah bahwa mahram itu tidak syaratkan. dan inilah dikatakan oleh Athoo dan Sa'id bin Jubair, Ibn Sirin, Malik dan al-Awza'i.”

Ibnu Abdil-Barr berkata dalam: “Al-Tamhiid” (21/52):

"ليس المَحْرَم عند هؤلاء من شرائط الاستطاعة، ومن حجتهم: الإجماع في الرجل يكون معه الزاد و الراحلة ـ و فيه الاستطاعة، ولم يمنعه فساد طريق ولا غيره ـ أن الحج عليه واجب. قالوا: فكذلك المرأة ؛ لأن الخطاب واحد، والمرأة من الناس" أ.هـ.

“Adanya Mahram menurut mereka adalah bukan salah satu syarat al-istithoo'ah [mampu berangkat haji], dan sebagian argumentasi mereka adalah Ijma' [kebulatan suara] terhadap seorang pria yang telah memiliki bekal dan kendaraan, dan termasuk di dalamnya al-istithoo'ah [mampu].

Dan kerusakan jalan maupun yang lainnya tidak menghalanginya dari kewajiban haji baginya.

Mereka berkata: Begitu juga bagi wanita. Karena khithoob nya [perintahnya] adalah satu [yakni; wajib atas manusia] dan perempuan termasuk di antara manusia.”

Imam al-Baaji, semoga Allah merahmatinya, mengatakan setelah mengutip perdapat-pendapat para ahli fiqih tentang safar seorang wanita untuk haji tanpa mahram:

"ولعل هذا الذي ذكره بعض أصحابنا إنما هو في حال الانفراد والعدد اليسير، فأما القوافل العظيمة والطرق المشتركة العامرة المأمونة فإنها عندي مثل البلاد التي يكون فيها الأسواق والتجار فإن الأمن يحصل لها دون محرم ولا امرأة، وقد روي هذا عن الأوزاعي".

“Mungkin larangan yang disebutkan oleh sebagian sahabat kami hanya dalam kondisi safar sendirian dan bersama orang-orang yang jumlahnya sedikit.

Adapun bersama kafilah-kafilah besar atau lewat jalan umum yang ramai dan aman, maka menurutku sama seperti [bepergian] di daerahnya sendiri yang di dalamnya terdapat pasar-pasar dan para pedagang.

Maka keamanan baginya tercapai tanpa mahram atau tanpa wanita lain (yang menemaninya), dan ini diriwayatkan dari al-Awza'i (Baca: “المنتقى شرح الموطأ” 3/17).

Di dalam kitab عمدة القاري 16/148 karya al-'Aini di sebutkan argumentasi bagi al-Baaji:

ما جاء في حديث عدي بن حاتم مرفوعًا: "يوشك أن تخرج الظعينة من الحيرة تؤم البيت لا جوار معها". فهو وإن كان من باب الإخبار إلا أنه في سياق مدح الزمان بانتشار الأمن ورفع منار الإسلام فيحمل على الجواز.

Apa yang disebutkan dalam hadits marfuu' Adiy bin Hatim:

"Sudah dekat waktunya akan ada Adz-Dza'inah [wanita penunggang unta, duduk dalam sekedup yang ada di atas nya] keluar dari Al-Hiiraah, menuju Baitullah, tanpa pendamping bersamanya." (Al-Bukhari no. 3400).

Maka hadits ini, meskipun itu dalam bab penginformasian zaman yang akan terjadi, namun kata-katanya itu dalam konteks pujian terhadap suatu zaman, yang mana kondisi pada masa itu menyebar luasnya rasa aman dan melambungnya syiar-syiar Islam, maka hadits ini mengarahkan pada hukum boleh (safar wanita tanpa mahram). [Kutipan SELESAI] 

======

SYARAT AMAN MENURUT PENDAPAT YANG TIDAK MENSYARATKAN MAHRAM:

=========

Para ulama yang berpendapat bahwa mahram tidak disyaratkan dalam haji wajib; mereka mensyaratkan satu syarat, yaitu keamanan bagi wanita, akan tetapi ada perbedaan pendapat tentang cara memberikan keamanannya?

Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Al-Mughni (5/31):

"قال ابن سيرين: تَخْرج مع رجل من المسلمين لا بأس به. وقال مالك: تخرج مع جماعة النساء. وقال الشافعي: تخرج مع حُرَّة مسلمة ثقة. وقال الأوزاعي: تخرج مع قوم عدول، تَتَّخذ سُلَّماً تصعد عليه وتنـزل. ولا يقربـها رجل، إلا أنه يأخذ رأس البعير وتضع رجلها على ذراعه" أ.هـ

Ibnu Siirin berkata: Wanita tsb pergi dengan seorang pria Muslim, itu boleh dan tidak mengapa dengan cara itu.

Imam Malik berkata: Dia Pergil dengan sekelompok wanita.

Asy-Syafi'i berkata: Dia pergi dengan seorang wanita Muslimah yang merdeka [bukan budak] dan dipercaya.

Al-Awza'i berkata: Dia pergi dengan orang-orang yang adil dan bijak, sambil membawa tangga untuk naik dan turun dari unta kendaraannya. Tidak boleh ada seorang pria yang mendekatinya, kecuali seorang pria yang hendak membantu memegang kepala unta dan wanita tsb meletakkan kakinya di lengan pria tsb ".

Al-Nawawi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam “Syarh Muslim” (9/148):

"وقال عطاء وسعيد بن جبير وابن سيرين ومالك والأوزاعي والشافعي في المشهور عنه: لا يشترط المحرم، بل يشترط الأمن على نفسها. قال أصحابنا: يحصل الأمن بزوج أو محرم أو نسوة ثقات، ولا يلزمها الحج عندنا إلا بأحد هذه الأشياء، فلو وجدت امرأة واحدة ثقة لم يلزمها، لكن يجوز لها الحج معها، هذا هو الصحيح. وقال بعض أصحابنا: يلزمها بوجود نسوة أو امرأة واحدة، وقد يكثر الأمن ولا تحتاج إلى أحد، بل تسير وحدها في جملة القافلة وتكون آمنة. والمشهور من نصوص الشافعي وجماهير أصحابه هو الأول" أ.هـ.

“Athoo', Sa'id bin Jubayr, Ibnu Siirin, Malik, al-Awza'i dan ay-Syafi'i mengatakan dalam sebuah qoul yang masyhur darinya: Mahram itu tidak disyaratkan atas wanita, melainkan yang disysaratkan itu adalah kondisi aman untuk dirinya.

Sahabat kami berkata: Keamanan bisa dicapai dengan seorang suami, seorang mahram, atau para wanita yang dipercaya, dan seorang wanita tidak wajib melakukan haji menurut pendapat kami kecuali dengan adanya salah satu dari hal-hal ini.

Jika ada seorang wanita yang hendak haji menemukan seorang wanita yang dapat dipercaya, maka dia tidak wajib pergi haji, tetapi dia diperbolehkan untuk melakukan haji bersamanya, ini adalah yang Shahih.

Sebagian para sahabat kami berkata: Wajib bagi wanita untuk pergi haji jika ada sekelompok para wanita atau satu wanita [yang hendak pergi haji]

Terkadang keamanan semakin meningkat; maka pada saat seperti itu wanita tsb tidak membutuhkan siapapun, melainkan bepergian sendirian, ikut dalam sejumlah kafilah yang aman.

Nash-nash al-Syafi'i yang paling masyhur dan mayoritas para sahabatnya adalah qoul yang pertama. [Selesai]

Jadi Yang dimaksud dengan keamanan bagi wanita dalam hal ini, cukuplah dengan perkiraan bahwa hal itu akan terjadi tanpa harus diketahui secara pastu, seperti seorang wanita yang bepergian untuk haji wajib dengan sekelompok wanita dalam kloter haji resmi; Karena biasanya mereka itu rombongan yang aman.

Ibnu al-Mulqin, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam: “Al-I'laam” (6/82):

"والذين لم يشترطوه ـ أي: المحرم ـ قالوا: المشترط الأمن على نفسها مع رفقة مأمونين رجالاً أو نساء" أ.هـ.

“Mereka yang tidak mensyaratkannya - yakni: mahram - berkata: Syaratnya adalah dirinya merasa aman bersama dengan teman-teman yang aman, baik para lelaki maupun para wanita”.

Hal yang sama berlaku pula syarat keamanan jalan, dan itu adalah syarat yang nampak jelas, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar mengisyaratkan nya dalam "Al-Fath" (4/91) dengan mengatakan:

"جواز سفر المرأة مع النسوة الثقات إذا أمن الطريق" أ.هـ.

"Diperbolehkannya seorang wanita pergi safar bersama para wanita yang yang dapat dipercaya jika jalannya aman".

Ibnu Baththool berkata dalam “Syarah Shahih al-Bukhari” (4/533):

"ألا ترى أن عليها أن تهاجر من دار الكفر إلى دار الإسلام إذا أسلمت فيه بغير محرم، وكذلك كل واجب عليها أن تخرج فيه" أ.هـ

“Tidakkah kamu melihat bahwa seorang wanita harus pindah [hijrah] dari negeri kafir [dar al-kufr] ke negeri Islam [dar al-Islam] jika dia telah memeluk Islam, sementara dia tinggal di negeri Kafir tanpa mahram. Begitu pula segala hal yang wajib atas nya untuk keluar darinya".

SELESAI. AL-HAMDULILLAH.

 

Posting Komentar

0 Komentar