Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PARA ULAMA YANG BERPENDAPAT BILANGAN RAKAAT TARAWIH TIDAK DIBATASI, BESERTA DALIL-NYA

PARA ULAMA YANG BERPENDAPAT BILANGAN RAKAAT TARAWIH TIDAK DIBATASI BESERTA DALILNYA

Di susun Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

10 Des 2020

===

DAFTAR ISI :

  • PERNYATAAN MADZHAB EMPAT TENTANG BILANGAN RAKAAT TARAWIH:
  • PERKATAAN SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
  • FATWA PARA ULAMA MU'AASHIRIIN [KONTEMPORER ]:
  • KEPERIHATINAN SYEIKH AL-UTSAIMAN  TERHADAP PERPECAHAN UMAT KARENA JUMLAH BILANGAN RAKAAT TARAWIH
  • ADA DUA KELOMPOK EKSTRIM DALAM MASALAH BILANGAN RAKAAT TARAWIH;
  • DALIL -DALIL YANG MENGUATKAN BILANGAN RAKAAT TARAWIH TIDAK DIBATASI :
  • KESIMPULAN PARA ULAMA PENSYARAH KITAB-KITAB HADITS DAN LAINYA :
  • PENDAPAT LAIN : YANG MENGHARAMKAN TARAWIH LEBIH DARI 11 RAKAAT
  • DALIL MAKAN KUE DAN YANG SEMISALNYA SETELAH SHALAT TARAWIH :

بسم الله الرحمن الرحيم

****

PERNYATAAN MADZHAB EMPAT TENTANG BILANGAN RAKAAT TARAWIH:

PERNYATAAN ULAMA AHLI HADITS :

Imam al-Tirmidzi, Ulama Pakar Hadits semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam Sunan-nya (3/169):

" وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ. وقَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Mayoritas para ulama terhadap apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan lainnya dari para Sahabat Nabi  adalah dua puluh rakaat, itu adalah pendapat ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan Syafi'ii. Al-Syafi'i berkata, "Dan begitulah, saya menjumpai di negeri kita di Mekah, mereka shalat tarawih dua puluh rakaat."

PERNYATAAN ULAMA MADZHAB HANAFI :

As-Sarkhasi, ulama mazhab Hanafi, berkata:

فَإِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سَوَى الْوَتْرِ عِنْدَنَا.

“Sesungguhnya (shalat malam) dalam (mazhab) kami adalah dua puluh rakaat selain witir.” (Al-Mabsuuth, 2/145)

PERNYATAAN ULAMA MADZHAB MALIKI :

Ibnu Abdil-Barr, ulama hadits dari madzhab Maliki berkata dalam al-Istidhkar (2/69):

وَرُوِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً عَنْ عَلِيٍّ، وَشَتِيرِ بْنِ شَكْلٍ، وَابْنِ أَبِي مَلِيكَةَ، وَالْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ، وَأَبِي الْبُخْتُرِيِّ، وَهُوَ قَوْلُ جَمْهُورِ الْعُلَمَاءِ، وَبِهِ قَالَ الْكُوفِيُّونَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عَنْ أَبِي بِنِ كَعْبٍ، مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَقَالَ عَطَاءٌ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوَتْرِ.

Dua puluh rakaat itu diriwayatkan dari Ali, Syutair bin Syikl, Ibnu Abi Mulaikah, Al-Harits Al-Hamdani, dan Abu Al-Bakhtari. Dan itu adalah perkataan mayoritas para ulama.

Dan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama Kuufah, Syafi'i dan sebagian besar para Fuqohaa.

Dan itu adalah yang SHAHIH dari Ubayy bin Ka'b, tanpa ada perbedaan pendapat di antara para sahabat.

Athoo berkata : Saya menjumpai orang-orang, dan mereka shalat dua puluh tiga rakaat dengan witir. [Lihat atsar ini dengan sanadnya dalam Mushonnaf Ibnu Abi Shaybah (2/163. PEN].

PERNYATAAN ULAMA MADZHAB SYAFI’I :

Imam An-Nawawi, ulama Madzhab Syafi'i berkata:

صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ، وَمَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً.

“Shalat Taraweh adalah sunnah menurut ijma (konsensus) para ulama. Dalam mazhab kami (shalat Taraweh) adalah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam dan dibolehkan (pelaksanaannya) sendiri atau berjama’ah.” (Al-Majmu, 4/31)

PERNYATAAN ULAMA MADZHAB HANBALI :

Ibnu Qudamah, ulama madzhab Hanbali berkata:

وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَبِي عَبْدِ اللهِ (يَعْنِي الْإِمَامَ أَحْمَدَ) رَحِمَهُ اللهُ، فِيهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً، وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيُّ، وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَّةٌ وَثَلَاثُونَ.

“Yang dipilih menurut Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) rahimahullah dalam (shalat malam) adalah dua puluh rakaat. Pendapat juga dipilih oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. Sedangkan Imam Malik mengatakan: Tiga puluh enam (rakaat).” (Al-Mughni, 1/457)

****

PERKATAAN SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :

Syekhul Islam Ibnu Taymiyyah - semoga Allah merahmatinya - berkata:

لَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا عِشْرِينَ رَكْعَةً، كَمَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَالشَّافِعِيِّ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا سِتًّا وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً، كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ، وَثَلَاثَ عَشْرَةَ، وَكُلُّهُ حَسَنٌ، فَيُكُونُ تَكْثِيرُ الرَّكَعَاتِ أَوْ تَقْلِيلُهَا بِحَسْبِ طُولِ الْقِيَامِ وَقُصْرِهِ.

" Dia boleh sholat dua puluh rakaat, seperti yang masyhur dalam Madzhab Imam Ahmad dan Imam asy-Syafi'i.

Dan dia boleh sholat tiga puluh enam rakaat, sebagaimana Madzhab Imam Malik.

Dia boleh shalat sebelas dan tiga belas, dan semuanya Hasan [baik]

Jadi memperbanyak atau mempersedikit rakaatnya tergantung pada panjang dan pendeknya berdiri". [Di kutip dari : فتاوى الشيخ ابن جبرين 2/5 ]

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

كَمَا أَنَّ نَفْسَ قِيَامِ رَمَضَانَ لَمْ يُوَقِّتِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا بَلْ كَانَ هُوَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرَهُ عَلَى ثَلَاثَةٍ عَشَرَ رَكْعَةً لَكِنَّ كَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَاتِ، فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أَبِي بِنْ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةً مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثٍ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ.

 الْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْمُصَلِّينَ، فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ، وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ فَهُوَ الْأَفْضَلُ، وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ، وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَالْأَرْبَعِينَ، وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ أَوْ غَيْرِهَا جَازَ، وَلَا يَكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ، وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُؤَقَّتٌ لَا يَزِيدُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ، فَقَدْ أَخْطَأَ.. إلخ.، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Seperti halnya Nabi  tidak pernah menentukan jumlah rakaat Shalat Qiyamullail di bulan Ramadhan, namun benar bahwa Nabi  tidak pernah Shalat sunnah melebihi 13 rakaat baik di bulan Ramadan atau di bulan lainnya, akan tetapi Nabi  senantiasa memperpanjang rakaatnya.

Ketika Umar mengumpulkan jamaah untuk bermakmum pada Ubay bin Kaab, Ubay Shalat dengan 20 (dua puluh) rakaat karena hal itu lebih meringankan bagi makmum daripada memanjangkan satu rakaat.

Ada juga sekelompok salaf yang shalat tarawih 40 (empat puluh) rakaat dan witir 3 rakaat. Sedangkan yang lain shalat tarawih 36 (tiga puluh enam) rakaat dan shalat witir 3 rakaat.

Ini semua sudah maklum. Jadi, berapapun jumlah rakaatnya, itu semua baik.

Yang terbaik seorang imam adalah flexibel menyesusiakan diri dengan kondisi para makmum. Jika mereka memiliki kemungkinan sepuluh rakaat, dan tiga rakaat setelahnya, yang panjang rokaatnya seperti Nabi  biasa shalat untuk dirinya sendiri di bulan Ramadhan dan di waktu lain, maka itu lebih baik.

Namun jika kondisi mereka tidak memungkinkan [10 rakaat tapi sangat lama ], maka melakukan dua puluh adalah yang terbaik, dan itu adalah apa yang kebanyakan kaum Muslimiin lakukan, karena 20 rakaat itu pertengahan antara sepuluh dan empat puluh rakaat.

Dan jika dia sholat empat puluh atau lebih, maka itu diperbolehkan.

Dan tidak ada yang tidak dimakruhkan berdasarkan sejumlah riwayat dari Imam Ahmad dan lainnya

Dan siapa pun yang mengira bahwa sholat di bulan Ramadhan memiliki jumlah rakaat tertentu, yang tidak boleh bertambah atau tidak boleh berkurang darinya, maka dia telah melakukan kesalahan.....dst.

[Baca : Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 22/272 ]

Ini adalah pendapat dari empat mazhab tentang bilangan rakaat dalam shalat Taraweh, mereka semuanya mengatakan lebih dari sebelas rakaat.

*****

FATWA PARA ULAMA MU'AASHIRIIN [KONTEMPORER ]:

=====

PERTAMA : FATWA SYEIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAAB

[yang dikenal perintis gerakan wahabi oleh orang-orang yang membencinya]

Syekh Muhammad Abd al-Wahhab (semoga Allah merahmatinya) mengatakan:

"صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُنْسَبُ إِلَى عُمَرَ، لِأَنَّهُ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أَبِيِّ بْنِ كَعْبٍ".

وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَحْمَدَ: عِشْرُونَ رَكْعَةً، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَّةٌ وَثَلَاثُونَ.

وَلَنَا: "أَنَّ عُمَرَ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أَبِيِّ، كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً)

(Sholat Tarawih adalah Sunnah Muakkadah yang disunnahkan oleh Rasulullah  dan dinisbatkan kepada Umar. Karena dia telah mengumpulkan orang-orang pada Ubay bin Ka`b untuk mengimami shalat Tarawih bersama mereka .”

Yang dipilih oleh Imam Ahmad adalah : dua puluh rakaat (20 rakaat ), dan ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i. Sementara Imam Malik berkata : tiga puluh enam rakaat (36 rakaat).

Dan dalil bagi kami adalah : “Ketika Umar mengumpulkan orang-orang kepada Ubayy, dia shalat bersama mereka dua puluh rakaat.”

[Baca : مختصر الإنصاف والشرح الكبير karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhaab 1/212 ]

====

KEDUA : FATWA LAJNAH DAA'IMAH [ PARA MUFTI SAUDI ARABIA]:

Panitia Tetap Penelitian Ilmiah dan Ifta’ [اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء] yang diketuai oleh SYEIKH ABDUL AZIZ BIN BAAZ mengeluarkan fatwa dalam Fatwa No. (6148) sebagai tanggapan terhadap mereka yang menentang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat dengan mengatakan :

صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ إِحْدَى عَشْرَةَ أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ ثَنْتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ أَفْضَلَ، تَأْسِيًا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ صَلَّاهَا عِشْرِينَ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا بَأْسَ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى))، فَلَمْ يُحَدِّدْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَّامُهُ عَلَيْهِ رَكْعَاتٍ مُحَدَّدَةً وَلِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ صَلَّوْهَا فِي بَعْضِ اللَّيَالِي عِشْرِينَ سَوَى الْوَتْرِ، وَهُمْ أَعْلَمُ النَّاسِ بِالسُّنَّةِ)

Sholat Tarawih adalah sebelas atau tiga belas rakaat, salam setiap dua dan satu witir itu lebih baik, karean mengikuti contoh Nabi . Dan siapa pun yang sholat Tarawih dua puluh atau lebih, maka tidak ada masalah. Berdasarkan sabda Nabi  :

"‏ صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى ‏"

“Sholat malam itu dua-dua, maka bila seorang di antara kamu takut telah datang waktu Shubuh hendaknya ia sholat satu rakaat untuk mengganjilkan sholat yang telah ia lakukan.” [Muttafaq Alaihi].

Beliau  tidak menentukan batas jumlah rakaat, dan karena Umar radhiyallahu 'anhu, dan para sahabat, radhiyallahu 'anhum, mereka shalat pada sebagian malam-malam Ramadhan dua puluh rakaat, selain Witir.

Dan mereka adalah orang-orang yang lebih tahu tentang Sunnah"

[Baca : فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء 9/224 ].

====

KETIGA : FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIIN :

Al-'Allaamah Muhammad bin Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) ditanya tentang jumlah rakaat shalat Tarawih, dan dia menjawab:

(القَوْلُ الرَّاجِحُ فِي عَدَدِ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ أَنَّ الْأَمْرَ فِيهَا وَاسِعٌ وَأَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا صَلَّى إِحْدَى عَشْرَ رَكْعَةً أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ سَبْعَ عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً أَوْ تِسْعًا وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً أَوْ دُونَ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ فَالْأَمْرُ فِي هَذَا كُلِّهِ أَمْرٌ وَاسِعٌ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

وَلِهَذَا لَمَّا سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى, مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى.

وَلَمْ يُحَدِّدْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلسَّائِلِ عَدَدًا مَعِيَّنًا لَا يَتَجَاوَزُهُ فَعَلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ الْأَمْرَ فِي هَذَا وَاسِعٌ)

(Pendapat yang paling benar tentang jumlah shalat Tarawih adalah : bahwa perkara ini di dalamnya luas, dan jika seseorang shalat sebelas rakaat, tiga belas rakaat, atau tujuh belas rakaat, atau dua puluh tiga rakaat, atau tiga puluh sembilan rakaat, atau kurang dari itu, atau lebih ; maka dalam masalah ini semuanya adalah masalah yang luas, al-Hamdu lillah.

Itulah sebabnya ketika Nabi  ditanya : Apa yang engkau lihat tentang shalat malam ? Beliau  menjawab :

"‏ صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى ‏"

“Sholat malam itu dua-dua, maka bila seorang di antara kamu takut telah datang waktu Shubuh hendaknya ia sholat satu rakaat untuk mengganjilkan sholat yang telah ia lakukan.” [Muttafaq Alaihi].

Nabi  tidak membatasi bagi si penanya dengan jumlah tertentu yang tidak boleh dilampaui, maka dari itu diketahui bahwa masalah ini luas.

[Di kutip dari : فتاوى نور على الدرب للعثيمين ].

====

FATWA SYEIKH IBNU JIBRIIN :

Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin (1933 – 13 Juli 2009), yang dikenal sebagai Ibnu Jibrin, adalah seorang ulama Islam Saudi yang merupakan anggota Dewan Ulama Senior dan Komite Tetap untuk Riset Islam dan Penerbitan Fatwa di Arab Saudi.

Fatwa al-'Allaamah Syekh Abdullah bin Jibriin (semoga Allah merahmatinya)

السؤال: - مَا هِيَ السُّنَّةُ فِي عَدَدِ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيحِ؟ هَلْ هِيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةٍ، أَمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةٍ؟ وَمَا رَأْيُكُمْ فِي مَنْ يَزِيدُ عَلَى ذَلِكَ بِحَيْثُ يُصَلِّي ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ أَوْ أَكْثَرَ؟

PERTANYAAN :

Berapakah yang sesuai Sunnah dalam jumlah rakaat Tarawih? Apakah sebelas rakaat, atau tiga belas rakaat?

Dan bagaimana pendapatmu tentang orang yang mengerjakan lebih dari itu, sehingga ia shalat dua puluh tiga atau lebih?

JAWAB :

اخْتَلَفَ السَّلَفُ الصَّالِحُ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ فِي صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ، وَالْوِتْرِ مَعَهَا، فَقِيلَ: إِحْدَى وَأَرْبَعُونَ رَكْعَةً. وقيل: تِسْعٌ وَثَلَاثُونَ. وَقِيلَ: ثَلَاثَةَ عَشَرَ. وَقِيلَ: إِحْدَى عَشَرَةَ. وَقِيلَ: غَيْرُ ذَلِكَ، وَقَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ ابْنُ قُدَامَةَ فِي الْمُغْنِي: (فصل) وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَبِي عَبْدِاللهِ -رحمه الله- فِيهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً، وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيُّ، وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَّةٌ وَثَلَاثُونَ، وَزَعَمَ أَنَّهُ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ، وَتَعَلَّقَ بِفِعْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، فَإِنَّ صَالِحًا مَوْلَى التَّوْأَمَةِ قَالَ: (أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً، يُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ).

وَلَنَا: أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَقَدْ رَوَى الْحَسَنُ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، فَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِينَ لَيْلَةً، وَلَا يَقْنَتُ بِهِمْ إِلَّا فِي النِّصْفِ الثَّانِي، فَإِذَا كَانَتِ الْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ تَخَلَّفَ أُبَيُّ فَصَلَّى فِي بَيْتِهِ...

وَرَوَى مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً. وَعَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : (أَنَّهُ أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً). وَهَذَا كَالْإِجْمَاعِ.

Para salafush shaleh berbeda pendapat dalam jumlah rakaat dalam shalat Tarawih dan witir dengannya :

Ada yang mengatakan: empat puluh satu rakaat.

Ada yang mengatakan : Tiga puluh sembilan.

Ada yang mengatakan : Tiga belas.

Ada yang mengatakan : Sebelas.

Ada yang mengatakan : Selain itu.

Dan Abu Muhammad Ibn Qudamah berkata dalam Al-Mughni:

(Pasal) : dan Yang dipilih oleh Abu Abdullah [Imam Ahmad ] - semoga Allah merahmatinya – dalam shalat tarawih adalah dua puluh rakaat. Dengan ini Ats-Tsawri, Abu Hanifah, Asy-dan Syafi'i berpendapat.

Sementara Imam Malik berkata: tiga puluh enam, dan dia mengklaim bahwa itu adalah masalah lama, dan itu terkait dengan amalan penduduk Madinah [secara turun temurun], berdasarkan riwayat Shaleh, Maulaa at-Taw'amah, dia berkata:

(أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً، يُوتَرُونَ مِنْهَا بِخَمْسِ)

(Aku menjumpai orang-orang melakukan empat puluh satu rakaat, lima di antaranya adalah shalat Witir)

Dan dalil bagi kami adalah : Umar radhiyallahu 'anhu, ketika dia mengumpulkan orang-orang pada Ubayy bin Ka'b, dia sholat dua puluh rakaat bersama mereka.

Dan Al-Hasan meriwayatkan :

أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، فَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِينَ لَيْلَةً، وَلَا يَقْنَتُ بِهِمْ إِلَّا فِي النِّصْفِ الثَّانِي، فَإِذَا كَانَتِ الْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ تَخَلُّفَ أُبَيَّ فَصَلَّى فِي بَيْتِهِ...

Bahwa Umar mengumpulkan orang-orang pada Ubayy bin Ka'b, dan dia mengimami shalat tarawih bersama mereka selama dua puluh malam. Dan dia tidak melakukan Qunut dengan mereka kecuali pada paruh bulan kedua.

Dan jika sepuluh hari terakhir maka ubayy pulang meninggalkan mereka lalu dia shalat di rumahnya...

Imam Malik meriwayatkan dari Yazid bin Rowmaan yang berkata:

كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً.

Selama zamanya Umar, di bulan Ramadhan, orang-orang biasa shalat dua puluh tiga rakaat.

Dan diriwayatkan pula Ali, semoga Allah meridhoinya

(أنه أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً)

(Bahwa dia memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat dua puluh rakaat dengan mereka di bulan Ramadhan).

Ini hukumnya sama seperti IJMA'. [Baca : فتاوى الشيخ ابن جبرين 2/5 ]

====

FATWA SYEIKH AL-MUNAJJID :

Muhammad Shalih Al-Munajjid (13 Juni 1961 –) (30 Dzulhijjah 1380 H –) adalah seorang faqih dan da'i yang menetap di Arab Saudi. Syekh Al-Munajjid dikenal sebagai salah satu dai yang paling aktif di internet dan di dunia nyata. Ia memiliki banyak kontribusi dalam program televisi satelit serta menyampaikan lebih dari 4.500 jam ceramah dan pelajaran selama 23 tahun. Syekh Al-Munajjid dibesarkan di Riyadh, kemudian pindah ke Khobar untuk menempuh pendidikan hingga meraih gelar sarjana dari Universitas Raja Fahd untuk Perminyakan dan Mineral.

Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berkata:

(أَنَّ الْعِشْرِينَ رَكْعَةً كَانَتْ هِيَ السُّنَّةَ الْغَالِبَةَ عَلَى التَّرَاوِيحِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَمِثْلُ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ أَمْرٌ مَشْهُورٌ يَتَنَاقَلُهُ الْجِيلُ وَعَامَّةُ النَّاسِ، وَرِوَايَةُ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ وَيَحْيَى الْقَطَّانِ يُعْتَبَرُ بِهِمَا وَإِنْ كَانَا لَمْ يَدْرِكَا عُمَرَ، فَإِنَّهُمَا وَلَا شَكَّ تَلَقَّيَاهُ عَنْ مَجْمُوعِ النَّاسِ الَّذِينَ أَدْرَكُوهُمْ، وَذَلِكَ أَمْرٌ لَا يَحْتَاجُ إِلَى رَجُلٍ يُسْنِدُهُ، فَإِنَّ الْمَدِينَةَ كُلَّهَا تُسْنِدُهُ)

“Dua puluh rakaat adalah sunnah Tarawih yang sudah menjadi keumuman di masa Umar Ibnu Al-Khaththab, semoga Allah meridhoinya.

Dan perkara semisal shalat Tarawih adalah perkara yang telah diketahui secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan masyarakat umum.

Dan riwayat Yazid bin Rowman dan Yahya Al-Qaththan bisa dijadikan i'tibar alias dalil meskipun mereka berdua tidak berjumpa dengan Umar.

Mereka berdua tidak diragukan lagi bahwa kedua-duanya mendapatkan informasi itu dari banyak orang yang mereka temui.

Dan ini adalah masalah yang tidak membutuhkan seseorang untuk menyebutkan sanadnya, karena seluruh masyarakat Madinah adalah men-sanad-kannya.

[Lihat : 
فتاوى الإسلام سؤال وجواب 1/6187 ]

====

FATWA SYEIKH SHALEH AL-FAUZAAN :

Al-'Allaamah Syeikh Shaleh bin Fawzan Al-Fawzan dalam bukunya :

(إِتْحَافُ أَهْلِ الإِيمَانِ بِدُرُوسِ شَهْرِ رَمَضَانَ)


Beliau menyebutkan :

أَمَّا عَدَدُ رَكَعَاتِ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ فَلَمْ يَثْبُتْ فِيهِ شَيْءٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ، قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَشْرِينَ رَكْعَةً كَمَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَالشَّافِعِيِّ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ سِتًّا وَثَلَاثِينَ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَثَلَاثَ عَشْرَ رَكْعَةً وَكُلَّ حَسَنٍ، فَيَكُونُ تَكْثِيرُ الرَّكَعَاتِ أَوْ تَقْلِيلُهَا بِحَسْبِ طُولِ الْقِيَامِ وَقُصُرِهِ. وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أَبَيَّ صَلَّى بِهِمْ عَشْرِينَ رَكْعَةً، وَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنْهُمْ مَنْ يَقِلُّ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكْثُرُ، وَالْحَدُّ الْمَحْدُودُ لَا نَصَّ عَلَيْهِ مِنْ الشَّارِعِ صَحِيحٌ)12. أ.هـ.

Adapun jumlah rakaat shalat Tarawih, tidak ada ketetapan dari Nabi , dalam masalah ini luas, Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah, semoga Allah merahmatinya, mengatakan:

(Bagi seseorang boleh shalat dua puluh rakaat, seperti yang masyhur dari madzhab Ahmad dan asy-Syafi'i.

Dan dia boleh sholat tiga puluh enam, sebagaimana mazhab Malik, dan dia boleh sholat sebelas rakaat dan tiga belas rakaat.

Dan masing-masing dari semua itu adalah Hasan [Baik ].

Jadi, jumlah rakaat diperbanyak atau dipersedikit sesuai dengan panjang dan pendeknya berdiri. Dan Umar radhiyallahu 'anhu, ketika dia mengumpulkan orang-orang untuk shalat taraweh bersama Ubayy, dia shalat bersama mereka dua puluh rakaat......

Dan para sahabat radhiyallahu 'anhu, di antara mereka ada yang lebih sedikit rokaatnya dan ada pula yang banyak. Dan bahwa batasannya tidak ditentukan oleh asy-Syaari [pembikin syariat], itu adalah benar).

[Baca : إتحاف أهل الإيمان بدروس شهر رمضان 1/44 ]

=====

FATWA SYEIKH ‘ATHIYYAH SAALIM

[Beliau – rahimahullah – guru Penulis, beliau seorang Qoodhi Mahkamah Syar'iyyah Kubro di Madinah, Dosen UIM dan Pengisi Kajian kitab Subulussalaam di Mesjid Nabawi ] :

Syekh Attia Muhammad Salem mengutip dalam kitabnya (التَّرَاوِيحُ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ عَامٍ / Tarawih lebih dari seribu tahun):

في زَمَنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَتِ التَّرَاوِيحُ عِشْرِينَ وَالْوِتْرُ ثَلَاثٌ، وَهَذَا أَغْلَبُ الظَّنِّ كَمَا كَانَتْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَعَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. إِلَى أَنْ قَالَ: (مِمَّا تَقَدَّمَ يَظْهَرُ لِلْمُتَأَمِّلِ أَنَّ عَدَدَ رُكْعَاتِ التَّرَاوِيحِ كَانَ مُسْتَقَرًّا إِلَى ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ، مِنْهَا ثَلَاثُ رُكْعَاتٍ وَتَرًا كَمَا فِي رِوَايَةِ يَزِيدَ بْنِ الرُّومَانِ عِنْدَ مَالِكٍ كَمَا تَقَدَّمَ، قَالَ: "كَانَ النَّاسُ يُقِيمُونَ زَمَنَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً،... أَمَّا الْعَدَدُ وَالِاقْتِصَارُ مِنْهُ عَلَى عِشْرِينَ رَكْعَةً فَإِنَّهُ الْعَدَدُ الْمَعْمُولُ بِهِ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ فِي غَيْرِ الْمَدِينَةِ)

(Pada zaman Ali radhiyallahu 'anhu, dulu shalat Tarawih dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat.

Hal ini kemungkinan besar sama seperti yang telah ada pada zaman Utsman radhiyallahu 'anhu, dan pada zaman Umar radhiyallahu 'anhu" - hingga dia berkata - : " jumlah rakaat tarawih stabil menjadi dua puluh tiga, termasuk tiga rakaat witir, seperti dalam riwayat Yazid bin ar-Rowman dalam kitabnya Imam Malik, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dia berkata :

كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً.

Artinya: Orang-orang biasa shalat taraweh pada zaman Khalifah Umar 23 rakaat (20 rokaat taraweh dan 3 rokaat witir).

Adapun jumlah dan batasannya hingga dua puluh rakaat, itu adalah jumlah yang diamalkan oleh tiga imam, Abu Hanifah, al-Syafi'i dan Ahmad di luar kota Madinah.

[Baca : التَّرَاوِيحُ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ عَامٍ karya Syeikh Athiyyah Saalim 6/8 ]

=====

PERKATAAN SYEIKH SULAIMAN AL-HARBY

Dan dalam kitab (الصيام من المحرر) oleh Syekh Suleiman Al-Harbi, dia mengatakan:

نَقَلَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ وَشَيْخُ الإِسْلامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ الإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ اللَّيْلِ لَا حَدَّ لَهَا.

وَعَلَيْهِ: فَمَا نَقَلَ مِنْ التَّبْدِيعِ وَإِطَالَةِ اللِّسَانِ عَلَى مَنْ صَلَّى أَكْثَرَ مِنْ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَهَذَا حَقِيقَةُ قُلَّةِ فَهْمٍ لِفِقْهِ النُّصُوصِ.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ النَّاسُ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً. وَقَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي الْمَدِينَةِ سِتًّا وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً. -

وَقَالَ شَيْخُ الإِسْلامِ: ثَبَتَ أَنَّ الصَّحَابَةَ فِي عَهْدِ عُمَرَ كَانُوا يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ.- وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ التَّرَاوِيحِ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

(Ibnu Daqiiq Al-Iid dan Syeikhul-Islam Ibn Taimiyyah mengutip **Ijm'a** bahwa shalat Qiyamullail tidak ada batasan jumlah rokaatnya.

- Berdasarkan ini : maka apa yang dikutip tentang adanya pem-bid'ah-an, terus menerusnya keluar mulutnya kata pelecehan dan penghinaan terhadap orang yang shalat [tarawih nya ] lebih dari sebelas rakaat, ini adalah realita kurangnya pemahaman fikih terhadap nash.

Imam Asy-Syafi'i berkata: Saya menemukan di kota kami di Mekah orang-orang shalat [Tarawih] dua puluh rakaat.

Imam Malik berkata: Saya menemukan orang-orang yang shalat [Tarawih] tiga puluh enam rakaat di Madinah.

Syeikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata:

Telah terbukti bahwa para sahabat pada zaman Umar biasa shalat dua puluh rakaat dan shalat Witir dengan tiga rakaat.

At-Tirmidzi berkata: Sebagian besar para ulama di kalangan para sahabat dan yang lainnya, mereka shalat Tarawih adalah dua puluh rakaat.

[Baca : كتاب الصيام من المحرر karya Sulaiman al-Harbi 1/51 ]

====

FATWA SYEIKH AL-MUSNID :

Syeikh al-Musnid berkata :

وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي قَدْ يَخْفَى حُكْمُهَا عَلَى بَعْضِ النَّاسِ ظَنُّ بَعْضِهِمْ أَنَّ التَّرَاوِيحَ لَا يَجُوزُ نُقْصُهَا عَنْ عِشْرِينَ رَكْعَةً. وَظَنَّ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُزَادَ فِيهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَهَذَا كُلُّهُ ظَنٌّ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ بَلْ هُوَ خَطَأٌ مُخَالِفٌ لِلْأَدَلَّةِ.

(Di antara hal-hal yang hukumnya samar-samar pada sebagian orang adalah bahwa sebagian dari mereka, ada yang mengira bahwa sholat Tarawih tidak boleh kurang dari dua puluh rakaat.

Dan sebagian dari mereka berpendapat : tidak boleh melebihi sebelas rakaat atau tiga belas rakaat di dalamnya.

Dan ini semua adalah prasangka yang bukan pada tempatnya, bahkan kesalahan yang bertentangan dengan dalil.

[Baca : فتاوى الصيام dikumpulkan oleh Syeikh al-Musnid 1/4]

*****

KEPERIHATINAN SYEIKH AL-UTSAIMAN  TERHADAP PERPECAHAN UMAT KARENA JUMLAH BILANGAN RAKAAT TARAWIH

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata berkenaan dengan permasalahan seorang makmum yang shalat bersama imam yang shalat tarwawihnya 23 rakaat . Namun ketika imam telah menyelesaikan sepuluh rakaat, makmum tersebut duduk dan menunggu shalat witir, dan dia tidak ikut menyempurnakan shalat Taraweh bersama imam 23 rakaat :

وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي الْأُمَّةِ الْإِسْلَامِيَّةِ الْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يُسُوغُ فِيهَا الْخِلَافُ، فَتَجْعَلَ الْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِاخْتِلَافِ الْقُلُوبِ.

فَالْخِلَافُ فِي الْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ الصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَلِكَ بَقِيَتْ قُلُوبُهُمْ مُتَفَقِّةً.

فَالْوَاجِبُ عَلَى الشَّبَابِ خَاصَّةً، وَعَلَى كُلِّ الْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمْ الدَّوَائِرَ.

“Yang sangat kami sayangkan sekali, di tengah umat Islam yang kian terbuka, ada segolongan orang yang bertikai dalam masalah-masalah yang masih diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Dan menjadikan perbedaan tersebut sebagai sebab perselisihan hati.

Perbedaan pendapat dalam umat Islam telah ada sejak masa para shahabat, meskipun begitu, hati mereka tetap menyatu.

Maka seharusnya, khususnya kepada para pemuda dan setiap orang yang konsisten dalam memegang agama, hendaklah dalam satu langkah dan satu sikap. Karena di sana banyak musuh mereka yang mencari-cari kesempatan. (As-Syarhu Al-Mumti’, 4/225)

ADA DUA KELOMPOK EKSTRIM DALAM MASALAH BILANGAN RAKAAT TARAWIH

Kelompok pertama:

Mereka yang mengingkari orang yang menambah (rakaat Taraweh) dari sebelas rakaat dan membid’ahkan prilakunya.

Kelompok kedua :

Mereka yang mengingkari orang yang hanya menunaikan sebelas rakaat dan mengatakan, 'Mereka telah menyalahi ijma’ (konsensus para ulama’).”

Mari kita dengarkan nasehat dari Syekh yang mulia Ibnu Utsaimin rahimahulllah, beliau berkata:

وَهُنَا نَقُولُ: لَا يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نُغْلُو أَوْ نَفْرَطَ، فَبَعْضُ النَّاسِ يُغَلُّ مِنْ حَيْثُ تَزَامُ السُّنَّةِ فِي الْعَدَدِ، فَيَقُولُ: لَا تَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَى الْعَدَدِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ، وَيُنْكِرُ أَشَدَّ النَّكِيرِ عَلَى مَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ، وَيَقُولُ: إِنَّهُ آثِمٌ عَاصٍ.

وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ خَطَأٌ، وَكَيْفَ يَكُونُ آثِمًا عَاصِيًا وَقَدْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ فَقَالَ: مَثَنَى مَثَنَى، وَلَمْ يُحَدِّدْ بِعَدَدٍ، وَمَنِ الْمَعْلُومِ أَنَّ الَّذِي سَأَلَهُ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ لَا يَعْلَمُ الْعَدَدَ؛ لِأَنَّ مَنْ لَا يَعْلَمُ الْكَيْفِيَّةَ فَجَهْلُهُ بِالْعَدَدِ مِنْ بَابِ أَوْلَى، وَهُوَ لَيْسَ مِمَّنْ خَدَمَ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى نَقُولَ إِنَّهُ يَعْلَمُ مَا يَحْدُثُ دَاخِلَ بَيْتِهِ، فَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَّنَ لَهُ كَيْفِيَّةَ الصَّلَاةِ دُونَ أَنْ يُحَدِّدَ لَهُ بِعَدَدٍ: عُلِمَ أَنَّ الْأَمْرَ فِي هَذَا وَاسِعٌ، وَأَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُصَلِّيَ مَائَةَ رَكْعَةٍ وَيُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ.

وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي " فَهَذَا لَيْسَ عَلَى عُمُومِهِ حَتَّى عِنْدَ هَؤُلَاءِ، وَلِهَذَا لَا يُوَجِّبُونَ عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يُوتِرَ مَرَّةً بِخَمْسٍ، وَمَرَّةً بِسَبْعٍ، وَمَرَّةً بِتِسْعٍ، وَلَوْ أَخَذْنَا بِالْعُمُومِ لَقُلْنَا يَجِبُ أَنْ تُوتَرَ مَرَّةً بِخَمْسٍ، وَمَرَّةً بِسَبْعٍ، وَمَرَّةً بِتِسْعٍ سَرَدًا، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ: صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فِي الْكَيْفِيَّةِ، أَمَّا فِي الْعَدَدِ فَلَا إِلَّا مَا ثُبِتَ النَّصُّ بِتَحْدِيدِهِ.

وَعَلَى كُلٍّ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ لَا يَشُدَّ عَلَى النَّاسِ فِي أَمْرٍ وَاسِعٍ، حَتَّى إِنَّا رَأَيْنَا مِنَ الْإِخْوَةِ الَّذِينَ يَشُدُّونَ فِي هَذَا مَنْ يُبْدِعُونَ الْأَئِمَّةَ الَّذِينَ يَزِيدُونَ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ، وَيَخْرُجُونَ مِنَ الْمَسْجِدِ فَيَفُوتُهُمْ الْأَجْرَ الَّذِي قَالَ فِيهِ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ " رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ (806) وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ فِي صَحِيحِ التِّرْمِذِيِّ (646)، وَقَدْ يَجْلِسُونَ إِذَا صَلُّوا عَشْرَ رَكَعَاتٍ فَتَنْقَطِعُ الصُّفُوفُ بِجُلُوسِهِمْ، وَرُبَّمَا يَتَحَدَّثُونَ أَحِيَانًا فَيَشُوشُونَ عَلَى الْمُصَلِّينَ.

وَنَحْنُ لَا نَشَكُّ بِأَنَّهُمْ يُرِيدُونَ الْخَيْرَ، وَأَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ، لَكِنْ لَيْسَ كُلُّ مُجْتَهِدٍ يَكُونُ مُصِيبًا.

وَالطَّرَفُ الثَّانِي: عَكَسَ هَؤُلَاءِ، أَنْكَرُوا عَلَى مَنْ اقْتَصَرَ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً إِنْكَارًا عَظِيمًا، وَقَالُوا: خَرَجْتَ عَنْ الْإِجْمَاعِ قَالَ تَعَالَى : وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا، فَكُلُّ مَنْ قَبْلَكَ لَا يَعْرِفُونَ إِلَّا ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً، ثُمَّ يَشُدِّدُونَ فِي النَّكِيرِ، وَهَذَا أَيْضًا خَطَأٌ

“Dari sini kami katakan, tidak selayaknya kita bersikap berlebihan atau terlalu meremehkan.

KELOMPOK PERTAMA :

Sebagian orang yang berlebihan untuk konsisten memegang sunnah dalam hal berkaitan dengan bilangan (rakaat shalt taraweh). Mereka mengatakan : ' Tidak dibolehkan menambah bilangan melebihi apa yang telah ada dalam sunnah.'

Dia sangat mengingkari orang yang menambahinya, sambil mengatakan : " Bahwa orang tersebut telah berbuat dosa dan maksiat".

Tidak diragukan lagi bahwa sikap ini merupakan kekeliruan. Bagimana mungkin, orang itu dikatakan berdosa dan bermaksiat, padahal Nabi sallallahu’alaihi wasallam pernah ditanya tentang shalat malam, lalu beliau bersabda : “Dua (rakaat), dua (rakaat)” tanpa menentukan bilangan.

Dapat dipahami bahwa sang penanya tentang shalat malam tersebut tidak mengetahui bilangannnya, karena orang yang tidak tahu tata caranya, maka tentunya dia juga lebih tidak tahu lagi tentang bilangannya, apalagi dia itu bukan termasuk pelayan Nabi  sehingga kita tidak dapat mengatakan bahwa dia telah mengetahui apa yang terjadi dalam rumahnya.

Maka, jika Nabi  telah menjelaskan tata cara tanpa membatasi jumlah bilangan, dapat dikatakan bahwa masalah ini bersifat luas. Dengan demikian seseorang dibolehkan shalat seratus rakaat dan shalat witir satu rakaat.

Adapun sabda Nabi :

"صَلُوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي"

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Mak hadits ini tidak bersifat umum, bahkan ini termasuk yang difahami oleh mereka. Oleh karena itu mereka tidak mewajibkan seseorang untuk shalat witir sesekali lima rakaat, sesekali tujuh (rakaat), dan sesekali sembilan (rakaat).

Kalau kita mengambil akan keumuman hadits ini, pasti kita katakan, seharusnya engkau witir sesekai lima (rakaaat), sesekali tujuh (rakaat) dan sesekali sembilan (rakaat) secara langsung.

Akan tetapi maksudnya adalah shalatlah kalian seperti kalian melihat aku menunaikan shalat dalam tata caranya. Adapun dalam hal bilangan (rakaat) tidak (termasuk dalam pemahaman hadits ini) melainkan apa yang telah ditetapkan dalam nash terkait penentuan bilangannya.

Secara umum, seyogyanya bagi seseorang jangan terlalu keras kepada orang-orang dalam masalah yang luas.

Sampai kami melihat di antara saudara-saudara yang ekstrim dalam masalah ini, sehingga ada yang membid’ahkan para ulama yang berpendapat (bolehnya shalat tarawih) lebih dari sebelas (rakaat). Lalu mereka meninggalkan masjid (sebelum shalat taraweh selesai) sehingga dia luput mendapatkan apa yang Nabi  sabdakan:

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya orang yang melakukan shalat bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya sebagai shalat malam”.

(HR. Tirmizi, 806. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi, no. 646)

Terkadang mereka duduk-duduk setelah menyelesaikan sepuluh rakaat, hingga barisan shalat terputus karena duduknya mereka. Bahkan kadang mereka saling berbicara sehingga mengganggu orang-orang yang (sedang) shalat.

Tidak kami ragukan, bahwa mereka ingin kebaikan, dan mereka berijtihad. Akan tetapi tidak setiap orang yang berijtihad itu tepat.

KELOMPOK KEDUA :

Kebalikan dari mereka (kelompok pertama), yaitu yang mengingkari dengan keras mereka yang hanya menunaikan shalat sebelas rakaat.

Mereka mengatakan: “Engkau telah keluar dari ijma (konsensus para ulama), padahal Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)

Orang-orang sebelum kalian tidak mengenal (bilangan rakaat) selain dua puluh tiga rakaat. Maka dengan ekstrim mereka mengingkarinya (yang shalat sebelas rakaat). Ini juga suatu kesalahan. (As-Syarhu Al-Mumti, 4/73-75)

****

DALIL -DALIL YANG MENGUATKAN BILANGAN RAKAAT TARAWIH TIDAK DIBATASI :

*****

DALIL PERTAMA :
SHALAT MALAM NABI KADANG 11 RAKAAT, 12 RAKAAT, 13 RAKAAT, 16 RAKAAT & 20 RAKAAT.

====

HADITS NABI SHALAT MALAM 11 RAKAAT :

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman :

أنَّه سَأَلَ عائِشةَ رَضيَ اللهُ عنها: كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ  فِي رَمَضَانَ ؟ فَقالَتْ : مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ قَالَ : تَنَامُ عَيْنِي وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي

" Bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha :

Bagaimana dahulu Rasulullah shalat malam di bulan Ramadan?

Maka beliau menjawab :

“Beliau tidak pernah melebihi dari sebelas rakaat [shalat malam] , baik di bulan Ramadhan maupun selain Ramadhan. Beliau shalat empat rakaat, namun jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat (lagi), jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat".

Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir?”

Beliau menjawab, “Mataku tidur akan tetapi hatiku tidak tidur.”

[ HR. Bukhori no. (1170 , 3569) dan Muslim no. (738)]

FIQIH HADITS :

Hadits Aisyah menyatakan bahwa Nabi ketika shalat malam tidak pernah lebih dari 11 rakaat .

Benarkah Nabi tidak pernah melebihi 11 rakaat ketika shalat ???

Para ulama menolak menjadikan hadits ini sebagai dalil (tidak bolehnya shalat malam lebih dari sebelas rakaat), sebab hal ini adalah perbuatan beliau , sedangkan perbuatan tidak menunjukkan kewajiban.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

"وَقَالَ طَائِفَةٌ: قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ عَائِشَةَ (أَنَّ النَّبِيَّ لَمْ يَكُنْ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً)، وَاضْطَرَبَ قَوْمٌ فِي هَذَا الْأَصْلِ؛ لِمَا ظَنُّوهُ مِنْ مُعَارَضَةِ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ لِمَا ثَبَتَ مِنْ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ وَعَمَلِ الْمُسْلِمِينَ. 

وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ، كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَنَّهُ لَا يُتَوَقَّتُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ عَدَدٌ، فَإِنَّ النَّبِيَّ لَمْ يُوَقِّتْ فِيهَا عَدَدًا" انْتَهَى.

Ada satu kelompok orang berkata: Telah ada ketetapan dalam Shahih dari Aisyah : bahwa Nabi tidak lebih dari tiga belas rakaat di bulan Ramadhan atau di waktu lain nya ".

Lalu ada sebagian kaum merasa kebingungan tentang hadits ini ; Karena mereka menganggapnya adanya pertentangan antara hadits shahih ini dengan ketetapan yang datang dari Sunnah Khulafaaur-Rosyidiin dan amalan kaum muslimin.

Yang benar adalah bahwa semuanya itu baik [Hasan] sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad , bahwa jumlah rakaat tarawih di bulan Ramadhan itu tidak ditentukan; karena Nabi tidak menentukan berapa rakaat di dalamnya . [ lihat : Majmu’ al-Fatawa (23/113)].

Abu al-'Abbaas Al-Qurthubi dalam Syarah Shahih Muslim berkata :

أَشْكَلَتْ رِوَايَاتُ عَائِشَةَ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ حَتَّى نَسَبَ بَعْضُهُمْ حَدِيثَهَا إِلَى الِاضْطِرَابِ وَهَذَا إِنَّمَا يَتِمُّ لَوْ كَانَ الرَّاوِي عَنْهَا وَاحِدًا أَوْ أَخْبَرَتْ عَنْ وَقْتٍ وَاحِدٍ. وَالصَّوَابُ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ ذَكَرَتْهُ مِنْ ذَلِكَ مَحْمُولٌ عَلَى أَوْقَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ وَأَحْوَالٍ مُخْتَلِفَةٍ بِحَسَبِ النَّشَاطِ وَبَيَانِ الْجَوَازِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Riwayat-riwayat Aisyah ini telah menjadi problem di kalangan banyak ulama hingga sebagian dari mereka menganggap nya sebagai riwayat mudhthorib [ yang labil dan simpang siur ], akan tetapi hanya bisa dianggap labil jika perawinya hanya satu atau dalam satu kesempatan .

Dan hal yang benar adalah bahwa semua yang 'Aisyah sebutkan itu didasarkan pada waktu yang berbeda-beda dan kondisi yang berbeda-beda , disesuaikan dengan kadar semangat . Dan perbedaan riwayat-riwayat tsb bertujuan untuk menjelaskan bahwa itu semua adalah boleh ". [ KUTIPAN SELESAI ]

[Lihat kutipan perkataan al-Qurthubi ini dalam Syarah az-Zarqooni 10/549 dan Fathul Baari 3/534 cet. Daar ath-Thoyyibah ]

Dari pendapat para ulama dalam berbagai madzhab yang diakui, jelas bagi kita bahwa perkara ini luas. Maka tidak mengapa menambah rakaat lebih dari sebelas rakaat.

Kemungkinan di antara sebab-sebab yang menjadikan mereka mengatakan boleh lebih dari sebelas rakaat adalah:

Pertama :

Mereka berpendapat bahwa hadits Aisyah radhiallahu’anha tidak mengandung penetapan dengan bilangan ini (sebelas rakaat).

Kedua :

Telah ada tambahan dari kebanyakan para (ulama) salaf. (Silahkan lihat, Al-Mugni karya Ibnu Quddaamah, 2/604 dan Al-Majmu karya an-Nawawi, 4/32)

Ketiga :

Sesungguhnya Nabi dahulu shalat sebelas rakaat panjang sekali sampai memasuki sebagian malam. Bahkan sekali waktu Nabi shalat Taraweh bersama para shahabat, beliau baru selesai dari shalat beberapa saat sebelum terbit fajar sampai para shahabat khawatir tidak dapat melakukan sahur. Namun, para shahabat radhiallahu’anhum senang shalat di belakang Nabi dan tidak merasa panjang.

Maka para ulama berpendapat bahwa kalau seorang imam shalat demikian panjang seperti shalat malamnya Nabi , maka para makmum akan merasa berat, bahkan dapat menyebabkan mereka meninggalkannya. Akhirnya mereka berpendapat bahwa sebaiknya Imam meringankan bacaan dan menambah bilangan rakaat.

ADA SEBAGIAN RUTINITAS IBADAH NABI DI MALAM HARI YANG HANYA DILAKUKAN SAAT GILIR DI RUMAH ‘AISYAH (RA)

Contohnya : Rutinitas Nabi ziarah ke makam Baqi pada setiap akhir malam, hanya di lakukan pada saat gilir di rumah Aisyah radhiyallau ‘anha.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha , beliau bercerita :

لَمَّا كَانَتْ لَيْلَتِي الَّتِي كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا عِنْدِي انْقَلَبَ فَوَضَعَ رِدَاءَهُ وَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ وَبَسَطَ طَرَفَ إِزَارِهِ عَلَى فِرَاشِهِ فَاضْطَجَعَ فَلَمْ يَلْبَثْ إِلَّا رَيْثَمَا ظَنَّ أَنْ قَدْ رَقَدْتُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ رُوَيْدًا وَانْتَعَلَ رُوَيْدًا وَفَتَحَ الْبَابَ فَخَرَجَ ثُمَّ أَجَافَهُ رُوَيْدًا فَجَعَلْتُ دِرْعِي فِي رَأْسِي وَاخْتَمَرْتُ وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِي ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى إِثْرِهِ حَتَّى جَاءَ الْبَقِيعَ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ انْحَرَفَ ......

قَالَ ﷺ : "فَإِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي حِينَ رَأَيْتِ فَنَادَانِي فَأَخْفَاهُ مِنْكِ فَأَجَبْتُهُ فَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ وَلَمْ يَكُنْ يَدْخُلُ عَلَيْكِ وَقَدْ وَضَعْتِ ثِيَابَكِ وَظَنَنْتُ أَنْ قَدْ رَقَدْتِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَكِ وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي "

فَقَالَ : "ِٕنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ ".

قَالَتْ : قُلْتُ : كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : قُولِي : " السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ ".

Artinya : “ Pada suatu malam ketika giliran Rasulullah di rumahku, setelah beliau menanggalkan pakaiannya, meletakkan terompahnya dekat kaki dan membentangkan pinggir jubahnya di atas kasur, beliau lantas berbaring.

Setelah beberapa lama kemudian dan barangkali beliau menyangkaku telah tidur, beliau mengambil baju dan terompahnya, dibukanya pintu perlahan-lahan dan kemudian ditutupnya kembali perlahan-lahan. Menyaksikan beliau seperti itu, kukenakan pula bajuku dan kututup kepalaku dengan kain, kemudian aku mengikuti beliau dari belakang hingga sampai di Baqi'.

Ketika sampai di sana beliau berdiri agak lama, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali, sesudah itu beliau berbalik pulang. Aku pun berbalik pula mendahului beliau. ......... ( hadits cukup panjang , loncat )

Beliau bercerita:

"Tadi Jibril datang, tapi karena ia melihat ada kamu, dia memanggilku perlahan-lahan sehingga tidak terdengar olehmu. Aku menjawab panggilannya tanpa terdengar pula olehmu. Dia tidak masuk ke rumah, karena kamu menanggalkan pakaianmu. Dan aku pun mengira bahwa kamu telah tidur, karena itu aku segan membangunkanmu khawatir engkau akan merasa kesepian.

Jibril berkata padaku : 'Allah memerintahkan agar Engkau datang ke Baqi' dan memohonkan ampunan bagi para penghuninya.'

Aku (‘Aisyah) berkata : 'Lalu apa yang kubaca sesampai di sana wahai Rasulullah?

Beliau menjawab : “ Katakanlah ! :

"السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ ".

(Semoga keselamatan tercurah bagi penduduk kampung orang-orang mukmin dan muslim ini. Dan semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang kemudian, dan kami insya Allah akan menyusul kalian semua).” ( HR. Muslim no. 1619 )

Setelah ada perintah tersebut , maka Rosulullah senantiasa berziarah kubur ke maqam Baqii’ di akhir malam . Sebagaimana di katakan oleh Aisyah radhiallahu 'anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقُولُ  : "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ غَدًا مُؤَجَّلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ ".

"Rasulullah itu setiap malam gilirannya di tempat Aisyah, beliau keluar pada akhir malam ke makam Baqi', kemudian mengucapkan -yang artinya-:

"Semoga keselamatan atas kalian wahai para penghuni (kuburan) dari kaum mukminin. Apa yang dijanjikan Allah kepada kalian niscaya akan kalian dapati esok (pada hari kiamat), dan kami Insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penduduk Baqi' al-Ghorqod." (HR. Muslim N0. 2299 )

Contoh ke 2 : Yaitu shalat malam Nabi tidak lebih dari 11 rakaat saat beliau ﷺ sedang gilir di rumah Aisyah radhiyallahu 'anha. Mungkin faktor penyebab utama-nya adalah karena adanya keterbatasan waktu yang disebabkan terbagi waktunya dengan ziarah ke makam Baqi’ di setiap akhir malam. Di tambah lagi faktor lain, yaitu : Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah , istri yang paling termuda, dan satu-satunya istri yang dinikahinya dalam keadaan masih gadis dan masih muda sekali. 

====

HADITS SHOLAT MALAM NABI 13 RAKAAT :

HADITS KE 1 :

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ  يُصَلِّي بِاللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ، ثُمَّ يُصَلِّي إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ بِالصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

“Rasulullah dulu senantiasa shalat malam tiga belas rakaat. Kemudian beliau shalat lagi dua rakaat ringan ketika mendengar adzan subuh.”

[HR. Imam Bukhari, dalam Shahihnya no. 1170]

HADITS KE 2 :

Dari Aisyah radhiyallahu 'anhaa, dia berkata:

كان رسولُ اللهِ ﷺ يُصلِّي من الليلِ ثَلاثَ عَشرةَ ركعةً، يُوتِرُ من ذلك بخمسٍ، لا يجلسُ في شيءٍ إلَّا في آخِرِها

"Rasulullah, sallallahu alaihi wa sallam, biasa shalat tiga belas rakaat di malam hari, dan lima di antaranya adalah witir, dan dia tidak duduk [ tasyahhud ] sama sekali , kecuali di rakaat terakhir .” [ HR. Muslim no. 737 ]

HADITS KE 3 :

Dari Ummu Salamah - radhiyallahu anhaa - dia berkata;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُوتِرُ بِثَلاَثِ عَشْرَةَ رَكْعَةً فَلَمَّا كَبِرَ وَضَعُفَ أَوْتَرَ بِتِسْعٍ ‏

"Rasulullah pernah mengerjakan shalat witir tiga belas rakaat, dan setelah tua dan lemah beliau shalat witir sembilan rakaat."

[ HR. An-Nasaa'i no. 1708 . Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 1707]

HADITS KE 4 :

Dari Ibnu 'Abbaas , dia berkata :

كَانَتْ صَلَاةُ النبيِّ ﷺ  ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَعْنِي باللَّيْلِ.

"Sholatnya Nabi adalah tiga belas rakaat , yakni di malam hari".

[HR. Bukhori no. 1138 dan Muslim no. 764]

Dalam lafadz Muslim :

كانَ رَسولُ اللهِ ﷺ  يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

Dulu Rasulullah shalat di malam hari tiga belas rakaat . [HR. Muslim 764]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarah Muslim 6/18 :

وَعَنْهَا - رضي الله عنها - فِي الْبُخَارِيِّ أَنَّ صَلَاتَهُ ﷺ بِاللَّيْلِ سَبْعٌ وَتِسْعٌ ، وَذَكَرَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ بَعْدَ هَذَا من حديث ابن عَبَّاسٍ أَنَّ صَلَاتَهُ ﷺ مِنَ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْفَجْرِ سُنَّةُ الصُّبْحِ ، وَفِي حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ أَنَّهُ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ طَوِيلَتَيْنِ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ ، وَقَالَ فِي آخِرِهِ : فَتِلْكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ .

قَالَ الْقَاضِي: قَالَ الْعُلَمَاءُ: فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ إِخْبَارُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَزَيْدٍ وَعَائِشَةَ بِمَا شَاهَدَ. انتهى 

“Dan dari (Aisyah) radhiallahu anha dalam Shahih Bukhori bahwa shalat beliau waktu malam tujuh rakaat dan sembilan rakaat .

Bukhori dan Muslim menyebutkan setelah ini dari hadits Ibnu Abbas bahwa shalat beliau waktu malam tiga belas rakaat. Dan dua rakaat setelah fajar , sunnah shubuh.

Dalam hadits Zaid bin Kholid disebutkan : bahwa beliau shalat dua rakaat ringan kemudian dua rakaat panjang , lalu menyebutkan hadits dan diakhirnya dia mengatakan : ‘Maka itu semua tiga belas rakaat .

Al-Qoodhi berkata, “Para ulama mengatakan : dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan dari masing-masing - Ibnu Abbas, Zaid dan Asiyah - dengan apa yang dilihatnya dari sholat malam Nabi .”

====

HADITS SHOLAT MALAM NABI 12 RAKAAT , SELAIN WITIR :

Imam Muslim dalam Sahihnya dari Aisyah - semoga Allah meridhoinya – dia berkata :

كانَ رَسولُ اللهِ ﷺ  إذَا عَمِلَ عَمَلًا أَثْبَتَهُ، وَكانَ إذَا نَامَ مِنَ اللَّيْلِ، أَوْ مَرِضَ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً. قالَتْ: وَما رَأَيْتُ رَسولَ اللهِ ﷺ  قَامَ لَيْلَةً حتَّى الصَّبَاحِ، وَما صَامَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا إلَّا رَمَضَانَ.

Rasulullah senantiasa jika mengamalkan suatu amalan, beliau menetapkannya [mendawamkannya], dan jika beliau ketiduran di malam harinya, atau sakit, maka menggantikannya dengan sholat sunnah di siang hari DUA BELAS rakaat .

Aisyah berkata : Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat malam sampai pagi, dan dia tidak pernah berpuasa selama sebulan berturut-turut kecuali di bulan Ramadhan. [ HR. Muslim no. 746].

FIQIH HADITS :

Pertama : Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shalat malam 12 rokaat selain shalat witir.

Kedua : Barang siapa yang terlewatkan sesuatu dari shalat sunnah yang telah rutin dilakukan di malam hari, maka baginya bisa menebusnya di siang hari ; berdasarkan hadits 'Aisyah diatas. Wallahu a'lam

====

HADITS SHOLAT MALAM NABI 16 RAKAAT , SELAIN WITIR :

Dari Abu Ishaq, dari Asim bin Dhamrah, dari Ali bin Abi Thalib dia berkata:

كَانَ رَسُول الله ﷺ يُصَلِّي من اللَّيْل سِتّ عشرَة رَكْعَة سوى الْمَكْتُوبَة

Dulu Rasulullah pernah shalat enam belas rakaat di malam hari, selain sholat-sholat Fardhu .

[HR. Ahmad dalam al-Musnad 2/400-401 no. 1421 , 1234, 1241 , 1242 Cet. Ar-Risaalah]

Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma` 2/272 no. 3638:

رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ مِنْ زِيَادَاتِهِ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Ziyadatnya, dan para perawi-nya dapat dipercaya [ثقات]

Ahmad Syakir berkata dalam Tahqiq al-Musnad 2/114 no. 1240:

إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ، أَبُو عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنُ عُمَرَ: هُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنُ أَبَانَ، الْمُلَقَّبُ مِشْكَدَانَةَ. عَبْدُ الرَّحِيمِ الرَّازِيُّ: هُوَ عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمَرْوَزِيُّ الْأَمْثَلُ، وَهُوَ ثِقَةٌ. الْعَلَاءُ بْنُ الْمُسَيِّبِ بْنُ رَافِعٍ الْأَسَدِيُّ: ثِقَةٌ مَأْمُونٌ

“Isnadnya sahih. Abu Abdurrahman bin Umar adalah Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Aban, yang dijuluki Misykadanah.... . Abdurrahim ar-Razi adalah Abdurrahim bin Sulaiman al-Marwazi al-Amtsal, dan dia seorang yang tsiqah (dipercaya). Al-‘Ala bin Musayyib bin Rafi' al-Asadi adalah seorang yang tsiqah dan terpercaya”.

Para muhaqqiq al-Musnad diantara nya Syu'aib al-Arna'uth 2/400 no. 1421 berkata : Sanadnya Kuat [إسناده قوي]

Badruddin al-‘Ainy dalam ‘Umadatul Qory Syarah Shahih Bukhori 7/203 : “Isnadnya Hasan”.

Muhammad ash-Sholihi asy-Syami (Wafat. 942 H) berkata dalam Subulul Huda war Rosyad 8/294 :

رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، بِرِجَالٍ ثِقَاتٍ عَنْ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ -

“Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan perawi-perawi yang tsiqah dari Ali radhiyallahu ta'ala 'anhu”.

Said Hawwa mengatakan dalam أَسَاسُ السُّنَّةِ وَفِقْهُهَا  [Basis Sunnah dan Fiqh] 2/1260 No. 1994:

أَقُولُ: هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ عَلِمَ عَنْ قِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ شَيْئًا تَحَدَّثَ بِهِ، وَبَعْضُهُمْ ظَنَّ أَنَّ مَا عَلِمَهُ هُوَ الصِّيغَةُ الْوَحِيدَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَالْأَمْرُ لَيْسَ كَذَلِكَ، فَهَذِهِ الرِّوَايَةُ تَذْكُرُ ‌سِتَّ ‌عَشْرَةَ رَكْعَةً بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَلَا تَذْكُرُ الْوِتْرَ، وَرَاتِبَةُ الْعِشَاءِ الْمُؤَكَّدَةُ رَكْعَتَانِ فَقَطْ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قِيَامَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ لِمَنْ رَأَى أَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ لَا يَتَقَيَّدُ بِعَدَدٍ، وَإِذَا تَقَيَّدَ بِعَدَدٍ فَإِنَّ بَابَ النَّفْلِ الْمُطْلَقِ مَفْتُوحٌ فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فِي غَيْرِ أَوْقَاتِ الْكَرَاهَةِ، وَفِي مَعْنَى بَعْضِ مَا قُلْنَا.

Aku katakan : " Ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengetahui sedikit tentang shalat malam Rasulullah langsung berbicara tentang hal itu.

Dan ada sebagian dari mereka mengira bahwa apa yang dia tahu adalah satu-satunya shighoh [sunnah] dari Rasulullah .

Dan ternyata permasalahannya tidak seperti itu , karena riwayat ini menyebutkan enam belas rakaat selain shalat wajib dan tidak menyebutkan witir.

Sholat sunnah Rawatib Isya yang muakkad hanya dua rakaat, yang menunjukkan bahwa shalat qiyamullail Rasulullah terkadang lebih dan terkadang berkurang .

Dalam hal ini menjadi bukti bagi orang yang berpendapat bahwa shalat malam tidak dibatasi oleh suatu bilangan, dan jika dibatasi oleh suatu bilangan, maka BAB shalat tahajud qiyamullail itu tidak terikat dengan bilangan .

Jika terikat dengan bilangan ; maka shalat Sunnah muthlak itu bebas terbuka di malam hari atau di siang hari pada selain waktu-waktu yang dimakruhkan . Dan itu dalam makna sebagian dari apa yang kami katakan . [KUTIPAN SELESAI]

Namun hadits ini dianggap sebagai hadits MUNKAR oleh Syeikh al-Albaani dalam As-Silsilah adh-Dho’ifah 13/500 no. 6231. Dan dalam kitab Jami’ Turots al-Albaani fil Fiqh 7/73, beliau menjelaskan alasannya :

وَإِنَّ مِمَّا يُؤَكِّدُ نَكَارَةَ حَدِيثِ التَّرْجَمَةِ، أَنَّ أَكْثَرَ مَا صَحَّ عَنْهُ مِنْ عَدَدِ رَكَعَاتِهِ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ، إِنَّمَا هُوَ ثَلَاثُ عَشْرَةَ رَكْعَةً، كَمَا فِي «الصَّحِيحَيْنِ» مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَصَحَّ عَنْهَا نَفْيُ الزِّيَادَةِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan di antara yang menegaskan kejanggalan hadis BAB ini adalah bahwa jumlah rakaat salat malam yang paling sahih dari Rasulullah kebanyakannya adalah tiga belas rakaat, sebagaimana terdapat dalam "Shahihain" dari hadis Aisyah radhiyallahu 'anha dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Selain itu, telah sahih dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa beliau menafikan adanya tambahan lebih dari sebelas rakaat”.

=====

HADITS SHALAT MALAM NABI 20 RAKAAT :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 13 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مُقْسِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ  كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْر».

Yazid bin Harun mengatakan kepada kami, dia berkata saya Ibrahim bin Utsman, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas :

Bahwa Rasulullah  biasa mengerjakan shalat DUA PULUH rakaat pada bulan Ramadhan dan SATU RAKAAT WITIR.

(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf: 2/164 dan Abdu bin Humaid sebagaimana di dalam Al Muntakhab: 653 dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al kabiir: 11/393 dan Al Mu’jam Al Awsath: 1/243 no. 798 dan Baihaqi dalam Sunan Kubra: 2/698)

Semua itu dari jalur Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman dari Hakam bin Utaibah dari Muqsim dari Ibnu Abbas.

Lafadz riwayat ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Awsath dan al-Kabiir :

«يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ»

"Beliau shalat di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat selain shalat witir."

Sementara Abdu bin Humaid dalam *Al-Muntakhab min Al-Musnad* dengan lafaz:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ».

'Rasulullah  shalat di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat, dan bershalat witir dengan tiga rakaat.'"

Ath-Thabrani berkata:

"لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الْحَكَمِ إِلَّا أَبُو شَيْبَةَ، وَلَا يُرْوَى عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ."

“Hadits ini tidak diriwayatkan dari Hakam kecuali Abu Syaibah, dan tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali melalui sanad tersebut”.

Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman adalah seorang Kufi dan Abbaasi. Para ahli hadits telah bersepakat akan kedhaifan haditsnya dan mereka menolaknya.

Ibnu Mubarak brkata: “Buang saja (jangan dihiraukan) !!”.

Ahmad bin Hambal juga sangat melemahkan (haditsnya), beliau juga berkata: “Haditsnya mungkar, termasuk kerabat dari Hasan bin Umarah.

Sedangkan Hasan bin Umarah haditsnya ditinggalkan (tidak diperhitungkan), An Nasa’i berkata: “Haditnya ditinggalkan”. Abu Hatim berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”.

(Baca Biografinya dalam Tahdzib At Tahdzib: 1/145)

Oleh karenanya para ulama mendha’ifkan hadits tersebut, Ibnu Baththool berkata:

"إِبْرَاهِيمُ هَذَا هُوَ جَدُّ بَنِي شَيْبَةَ، وَهُوَ ضَعِيفٌ، فَلَا حُجَّةَ فِي حَدِيثِهِ، وَالْمَعْرُوفُ الْقِيَامُ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ."

“Ibrahim tersebut adalah kakek dari anak-anaknya Syaibah, dia dha’if, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, yang dikenal bahwa shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at adalah dari Umar dan Ali”. (Syarah Shahih Bukhori: 3/141)

Az Zaila’ii –rahimahullah- berkata:

"هُوَ مَعْلُولٌ بِأَبِي شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُثْمَانَ، جَدِّ الْإِمَامِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَى ضَعْفِهِ"

“Dia terhalang oleh Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman, kakek dari Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah disepakati kedha’ifannya”. (Nasbu ar-Raayah: 2/153)

Didha’ifkan juga oleh para ahli hadits sbb : Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid: 8/115, Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra: 2/698, Ibnu Mulqin dalam Al-Badrul Munir: 4/350, Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid: 3/173, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Ad-Diraayah: 1/203.

Adz-Dzahabi mengkategorikan dalam Mizan al-I’tidal: 1/48 termasuk hadits mungkar.

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubro (1/195): “Hadits tersebut dha’if sekali”.

Al-Qasthalani juga mendha’ifkannya dalam Al-Mawahib Al-Ladunniyah (3/306), termasuk As-Suyuthi sebagaimana di dalam Al-Haawii (1/413).

Al-Albani dalam As-Silsilah Ad-Dha’ifah menghukuminya sebagai hadits maudhu’ (palsu).

Dari sini menjadi jelas bahwa para ulama telah bersepakat bahwa hadits tersebut adalah dha’if.

Namun Ibnu Najiim al-Mashry (wafat. 970 H) berkata dalam al-Bahrur Roo’iq 2/72 :

أَمَّا تَضْعِيفُ الْحَدِيثِ بِمَنْ ذَكَرَ فَقَدْ يُقَالُ إنَّهُ اعْتَضَدَ بِمَا مَرَّ مِنْ نَقْلِ الْإِجْمَاعِ عَلَى سُنِّيَّتِهَا مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ مَعَ قَوْلِ الْإِمَامِ - رَحِمَهُ اللَّهُ - إنَّ مَا فَعَلَهُ عُمَرُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - لَمْ يَتَخَرَّجْهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِهِ وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ مُبْتَدِعًا وَلَمْ يَأْمُرْ بِهِ إلَّا عَنْ أَصْلٍ لَدَيْهِ وَعُهِدَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هـ فَتَأَمَّلْ مُنَصَّفًا

"Adapun pendha'ifan hadis dengan perawi yang disebutkan, mungkin dapat dikatakan bahwa hadis tersebut dikuatkan oleh apa yang telah disebutkan sebelumnya mengenai kesepakatan ijma’ atas kesunnahannya tanpa perincian, bersama dengan perkataan imam – rahimahullah – bahwa apa yang dilakukan oleh Umar – radhiyallahu 'anhu – bukanlah sesuatu yang ia keluarkan dari dirinya sendiri, ia pun tidak berbuat bid’ah dalam hal itu, dan ia tidak memerintahkannya kecuali berdasarkan suatu landasan yang dimilikinya dan telah dikenal dari Rasulullah . Maka renungkanlah dengan adil dan bijak!."

*****

DALIL KEDUA : RIWAYAT SHOLAT TARAWEH 21, 23 DAN 41 ROKAAT PADA MASA UMRAR BIN AL-KHOTHTHOB :

Riwayat Perintah dari Umar Ibn Al-Khattab radhiyallahu 'anhu untuk shalat dua puluh rakaat diantaranya datang dari lima Tabiin, dan ini adalah riwayat mereka:

PERTAMA : DARI AS-SAA'IB BIN YAZIID [السائب بن يزيد ].

Dari Al-Sa'ib bin Yazid, dia berkata:

(أَنَّ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بنِ كَعبٍ وَعَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَلَى إِحدَى وَعِشرِينَ رَكعَةً، يَقرَؤُونَ بِالمِئِينَ، وَيَنصَرِفُونَ عِندَ فُرُوعِ الفَجرِ)

"Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadhan kepada Ubayy bin Ka'b dan kepada Tamiim ad-Daari untuk sholat tarawih 21 rakaat, mereka membaca dalam ratusan ayat, dan mereka selesai dan pulang menjelang [cabang-cabang] fajar”.

[HR. Abdur Rozzaaq dalam al-Mushonnaf no. 7730, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 2/395, Ibnu al-Ja’ad dalam al-Ja’diyat no. 3387, al-Baihaqi dalam al-Kubro 2/496 dan dalam al-Ma’rifah no. 4509, al-Faryaabi dalam kitab ash-Shiyaam no. 156]

Diriwayatkan dari as-Sa'ib oleh sekelompok perawi : di antara mereka ada yang menyebutkan "dua puluh rakaat (20)", "dua puluh satu rakaat (21) " atau dua puluh tiga rakaat (23), dan mereka itu adalah:

Muhammad bin Yusuf, keponakan as-Saa'ib dari as-Saa'ib : Seperti yang disebutkan oleh Abdur-Razzaq dalam “Al-Mushonnaf” (4/260) dari riwayat Daud bin Qais dan lainnya darinya.

Dan Yazid bin Khushoifah : Itu dimasukkan oleh Ibnu al-Ja'ad dalam “Al-Musnad” (1/413). Dan dari jalurnya oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan (2/496).

SANADNYA SHAHIH :

Ini adalah riwayat yang SHAHIH dari para perawi yang dapat dipercaya [ثقات] dari As-Saaib bin Yazid.

Al-Imam an-Nawawi berkata :

رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيحِ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

"Riwayat ini disebutkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahih dari As-Sa'ib bin Yazid, sahabat radhiyallahu 'anhu."

[Lihat : al-Majmu' Karya Imam an-Nawawi 4/32]

Dan atsar ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam *Al-Badr Al-Munir* (4/350) setelah menisbatkannya kepada Al-Baihaqi, serta oleh An-Nawawi dalam *Al-Khulashah*, sebagaimana disebutkan dalam *Nashb Ar-Rayah* (2/154)."

Dan dinyatakan shahih pula sanadnya oleh Abu Malik Kamal Ibnu as-Sayyid Salim Shahih Fiqhis Sunnah 1/418.

Syu’aib al-Arna’uth beserta para muhaqqiq kitab as-Siyar berkata :

"وَهَذَا سَنَدٌ قَوِيٌّ. 

وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ فِي "سُنَنِهِ" ٢/٤٩٦ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ الْجَعْدِ، عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ، عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: 

’كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، بِعِشْرِينَ رَكْعَةً. قَالَ: وَكَانُوا يَقْرَؤُونَ بِالْمِئِينَ، وَكَانُوا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ’.

وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ، رِجَالُهُ كُلُّهُمْ عُدُولٌ ثِقَاتٌ".

“Dan ini sanad yang kuat. 

Al-Baihaqi meriwayatkan dalam "Sunan"-nya 2/496 melalui jalur Ali bin Al-Ja'd, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Yazid bin Khushayfah, dari As-Sa'ib bin Yazid, ia berkata: 

‘Mereka melaksanakan salat pada masa Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu sebanyak dua puluh rakaat. Ia berkata: Mereka membaca surah-surah yang panjang, dan mereka bertumpu pada tongkat mereka pada masa Utsman radhiyallahu 'anhu karena lamanya berdiri’. 

Dan ini adalah sanad yang sahih, seluruh perawinya adalah orang-orang yang adil dan terpercaya. [Lihat : as-Siyar al-A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi 1/401]

Di shahihkan pula oleh Syaikh Sholeh al-Munajjid dalam Fatwa Islamqo 5/2192 no. 82152. Beliau berkata :

فَهَذِهِ رِوَايَاتٌ صَحِيحَةٌ مِنْ رُوَاةٍ ثِقَاتٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، وَفِيهَا ذِكْرُ الْعِشْرِينَ رَكْعَةً فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

"Maka ini adalah riwayat-riwayat yang sahih dari para perawi yang terpercaya, dari As-Sa'ib bin Yazid. Dalam riwayat-riwayat tersebut disebutkan dua puluh rakaat pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu."

Adapun tambahan dalam riwayat lain :

(إِحْدَى وَعِشْرِينَ) أَوْ (ثَلَاثٌ وَعِشْرِيْنَ)

(dua puluh satu) atau (dua puluh tiga).

Maka itu hanya dalam pertimbangan rakaat tarawih dengan witir.

Al-Hafidz Badruddin al-‘Aini dalam Syarah Shahih Bukhori berkata :

"قلت: قَالَ ابْن عبد الْبر: هُوَ مَحْمُول على أَن الْوَاحِدَة للوتر. وَقَالَ ابْن عبد الْبر: وروى الْحَارِث بن عبد الرَّحْمَن بن أبي ذُبَاب عَن السَّائِب بن يزِيد، قَالَ: كَانَ الْقيام على عهد عمر بِثَلَاث وَعشْرين رَكْعَة. قَالَ ابْن عبد الْبر: هَذَا مَحْمُول على أَن الثَّلَاث للوتر.

وَقَالَ شَيخنَا: وَمَا حمله عَلَيْهِ فِي الْحَدِيثين صَحِيح، بِدَلِيل مَا روى مُحَمَّد بن نصر من رِوَايَة يزِيد بن خصيفَة عَن السَّائِب بن يزِيد أَنهم كَانُوا يقومُونَ فِي رَمَضَان بِعشْرين رَكْعَة فِي زمَان عمر بن الْخطاب، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ".

Saya berkata: Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadis ini dapat ditafsirkan bahwa satu rakaat tersebut adalah witir. 

Ibnu Abdil Barr juga berkata: Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dzubab meriwayatkan dari As-Sa'ib bin Yazid, ia berkata: "Salat malam pada masa Umar dilakukan dengan dua puluh tiga rakaat." 

Ibnu Abdil Barr berkata: "Hadis ini dapat ditafsirkan bahwa tiga rakaat tersebut adalah witir." 

Syekh kami berkata: "Penafsiran yang diberikan pada kedua hadis tersebut adalah benar, berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Muhammad bin Nashr dari Yazid bin Khushayfah, dari As-Sa'ib bin Yazid, bahwa mereka melaksanakan salat malam di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ta'ala 'anhu." [ Baca : ‘Umdatul Qori Syarah Shahih Bukhori 11/127].

Namun al-Mubarakfuri berkata :

"إِنَّ عَبْدَ الرَّزَّاقِ ٱنْفَرَدَ بِرِوَايَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَكْعَةً وَلَمْ يُخْرِجْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُ فِيمَا أَعْلَمُ، وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ وَإِنْ كَانَ ثِقَةً حَافِظًا فَقَدْ عَمِيَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ فَتَغَيَّرَ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ٱلْحَافِظُ فِي ٱلتَّقْرِيبِ، وَأَمَّا ٱلْإِمَامُ مَالِكٌ فَبَقِيَ إِمَامًا لِدَارِ ٱلْهِجْرَةِ."

"Sesungguhnya Abdul Razzaq menyendiri dalam meriwayatkan jumlah dua puluh satu rakaat, dan tidak ada seorang pun selainnya yang meriwayatkannya, sejauh yang saya ketahui. Meskipun Abdul Razzaq adalah seorang yang terpercaya dan hafizh, ia mengalami kebutaan di akhir hidupnya sehingga mengalami perubahan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib.

Adapun Imam Malik, ia tetap menjadi imam di Darul Hijrah." [Lihat : Tuhfatul al-Ahwadzi 3/527].

KADUA : DARI YAZIID BIN ROWMAAN :

Hadits riwayat Malik dari Yazin bin Rouman ia berkata:

(كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاثٍ وَعِشرِينَ رَكعةً)

Artinya: Orang-orang biasa shalat taraweh pada zaman Khalifah Umar 23 rakaat (20 rokaat taraweh dan 3 rokaat witir).

[HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa 1/115 ]. (Dan Lihat pula : dalam Al-Mughni 1/ 456 karya Ibnu Qudamah).

An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (4/33):

" مَرْسَلٌ، فَإِنَّ يَزِيدَ بْنَ رُومَانَ لَمْ يُدْرِكْ عُمَرَ.

Mursal, karena Yazid bin Ruuman tidak berjumpa dengan Umar.

Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berkata:

(رِوَايَةُ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ وَيَحْيَى الْقَطَّانِ يُعْتَبَرُ بِهِمَا وَإِنْ كَانَا لَمْ يَدْرِكَا عُمَرَ، فَإِنَّهُمَا وَلَا شَكَّ تَلَقَّيَاهُ عَنْ مَجْمُوعِ النَّاسِ الَّذِينَ أَدْرَكُوهُمْ، وَذَلِكَ أَمْرٌ لَا يَحْتَاجُ إِلَى رَجُلٍ يُسْنِدُهُ، فَإِنَّ الْمَدِينَةَ كُلَّهَا تُسْنِدُهُ)

Riwayat Yazid bin Rowman dan Yahya Al-Qaththan bisa dijadikan i'tibar alias dalil meskipun mereka berdua tidak berjumpa dengan Umar.

Mereka berdua tidak diragukan lagi bahwa kedua-duanya mendapatkan informasi itu dari banyak orang yang mereka temui.

Dan ini adalah masalah yang tidak membutuhkan seseorang untuk menyebutkan sanadnya, karena seluruh masyarakat Madinah adalah men-sanad-kannya.

[Lihat : فتاوى الإسلام سؤال وجواب 1/6187 ]

KETIGA : DARI YAHYA BIN SA'ID AL-QATHTHAAN [يحيى بن سعيد القطان ] :

Dari Yahya bin Sa'iid Al-Qattan:

(أَنَّ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ أَمَرَ رَجُلا يُصَلِّي بِهِم عِشرِينَ رَكعَةً)

(bahwa Umar bin Al-Khattab memerintahkan seorang pria untuk menjadi imam shalat bersama mereka dua puluh rakaat)

Itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah (wafat 235 H) dalam "Al-Musannaf" 2/286 no. 856 – 3 dari Waki' dari Malik dengannya, tetapi Yahya bin Sa'iid tidak berjumpa dengan Umar

KEEMPAT : DARI ABDUL AZIZ BIN RAFII' [عبد العزيز بن رفيع ] :

Dari Abd al-Aziz Ibn Rafi', dia berkata:

(كَانَ أُبَيُّ بنُ كَعبٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالمَدِينَةِ عِشرِينَ رَكعَةً، وَيُوتِرُ بِثَلاثٍ)

(Ubay Ibn Ka'ab senantiasa shalat dua puluh rakaat bersama orang-orang di bulan Ramadhan di Madinah, dan melakukan Witir dengan tiga rakaat).

Itu dimasukkan oleh Ibn Abi Shaybah dalam “Al-Musannaf” (2/163).

Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berkata:

وَبِمَجْمُوعِ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ يَتَبَيَّنُ أَنَّ الْعِشْرِينَ رَكْعَةً كَانَتْ هِيَ السُّنَّةَ الْغَالِبَةَ عَلَى التَّرَاوِيحِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَمِثْلُ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ أَمْرٌ مَشْهُورٌ يَتَنَاقَلُهُ الْجِيلُ وَعَامَّةُ النَّاسِ، وَرَوَايَةُ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ وَيَحْيَى الْقَطَّانِ يُعْتَبَرُ بِهِمَا وَإِنْ كَانَا لَمْ يَدْرِكَا عُمَرَ، فَإِنَّهُمَا وَلَا شَكَّ تَلَقَّيَاهُ عَنْ مَجْمُوعِ النَّاسِ الَّذِينَ أَدْرَكُوهُمْ، وَذَلِكَ أَمْرٌ لَا يَحْتَاجُ إِلَى رَجُلٍ يُسْنِدُهُ، فَإِنَّ الْمَدِينَةَ كُلَّهَا تُسْنِدُهُ.

“ Dan dengan dikumpulkannya riwayat-riwayat ini, maka menjadi jelas bahwa Dua puluh rakaat adalah sunnah Tarawih yang sudah menjadi keumuman di masa Umar Ibnu Al-Khaththab, semoga Allah meridhoinya.

Dan perkara semisal shalat Tarawih adalah perkara yang telah diketahui secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan masyarakat umum.

Dan riwayat Yazid bin Rowman dan Yahya Al-Qaththan bisa dijadikan i'tibar alias dalil meskipun mereka berdua tidak berjumpa dengan Umar.

Mereka berdua tidak diragukan lagi bahwa kedua-duanya mendapatkan informasi itu dari banyak orang yang mereka temui.

Dan ini adalah masalah yang tidak membutuhkan seseorang untuk menyebutkan sanadnya, karena seluruh masyarakat Madinah adalah men-sanad-kannya.

[Lihat : فتاوى الإسلام سؤال وجواب 1/6187 ]

KE LIMA :

Muhammad ibn Ka`b al-Quradzi (Wafat thn 108 H) berkata:

«كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يُطِيلُونَ فِيهَا الْقِرَاءَةَ وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ»

“Pada zaman Umar ibn al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, orang-orang biasa shalat dua puluh rakaat di bulan Ramadhan, di mana mereka memperpanjang bacaan dan shalat witir dengan tiga rakaat.”

[Baca : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

KE ENAM : Shalat Tarawih 41 Rakaat

Ibnu Siirin (wafat 110 H) berkata :

إِنَّ مُعَاذًا أَبَا حَلِيمَةَ الْقَارِئَ كَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً.

" Sesungguhnya Mu'adz Abu Halimah al-Qoori (wafat 63 H) biasa mengimami shalat bersama orang-orang di Ramadhan empat puluh satu rakaat".

[Baca : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

Syeikh 'Athiyyah Saalim dalam kitab التَّرَاوِيحُ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ عَامٍ berkata :

وَمُعَاذُ أَبُو حَلِيمَةَ هَذَا، قَالَ فِي التَّقْرِيبِ: "هُوَ مُعَاذُ بْنُ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيُّ الْبَخَارِيُّ الْقَارِئُ، أَحَدٌ مَنْ أَقَامَهُ عُمَرُ بِمَصْلَى التَّرَاوِيحِ. وَقِيلَ هُوَ آخَرُ يُكَنَّى أَبَا الْحَارِثِ، صَحَابِيٌّ صَغِيرٌ اسْتُشْهِدَ بِالْحِرَّةِ..." أَهـ.

Dan Muadz Abu Halima ini, maka al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Taqreeb: “Dia adalah Muadz bin Al-Harits Al-Anshari Al-Bukhari Al-Qoori, salah satu dari orang-orang yang Umar tugaskan untuk menjadi Imam shalat Tarawih.

Dan dikatakan bahwa dia adalah orang lain yang dijuluki Abu Al-Harits, seorang sahabat muda yang mati syahid di tragedi al-Harrah..." [selesai]

KE TUJUH :

Ibnu Abi Dzi'b (w. 159 H) dari Shaleh, mawlaa at-Tau'amah, mengatakan:

"أَدْرَكَتُ النَّاسَ قَبْلَ الْحَرَّةِ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ".

قَالَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ: فَقُلْتُ: لَا يَسْلَمُونَ بَيْنَهُنَّ؟

فَقَالَ: " بَلْ يُسَلِّمُونَ بَيْنَ كُلِّ ثَنْتَيْنِ وَيُوتِرُونَ بِوَاحِدَةٍ إِلَّا أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ جَمِيعًا".

"Saya menjumpai orang-orang sebelum tragedi al-Harrah, merdeka melakukan shalat empat puluh satu rakaat, melakukan shalat witir lima rakaat."

Ibnu Abi Dzi'b berkata : Aku berkata: Apakah mereka tidak salam diantara rakaat-rakaat tsb? Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka mengucapkan salam di antara dua shalat dan shalat Witir dengan satu rakaat, namun mereka shalat semua.”

[Disebutkan dalam : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

Syeikh 'Athiyyah Saalim dalam kitab التَّرَاوِيحُ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ عَامٍ berkata :

وَالْحَرَّةُ كَانَتْ سَنَةً 63.... وَصَالِحُ هَذَا قَالَ فِي التَّقْرِيبِ: "هُوَ صَالِحُ بْنُ نَبْهَانَ الْمَدَنِيُّ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ بِفَتْحِ الْمِشْنَاةِ وَسُكُونِ الْوَاوِ وَبَعْدَهَا هَمْزَةٍ مَفْتُوحَةٍ، صَدُوقٌ اخْتَلَطَ فِي أَخِرِ أَمْرِهِ".

قَالَ ابْنُ عَدِّيٍّ: "لَا بَأْسَ بِرَوَايَةِ الْقُدَمَاءِ عَنْهُ كَابْنِ أَبِي زَيْدٍ وَابْنِ جَرِيرٍ، مِنَ الرَّابِعَةِ مَاتَ سَنَةَ 125.

وَالرَّوَايَةُ هُنَا عَنْهُ مِنْ رَوَايَةِ الْأَقْدَمِينَ. وَهُوَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ كَمَا مَثَلَ ابْنُ عَدِّيٍّ لِمَا لَا بَأْسَ بِهِ عَنْهُ. فَهُوَ هُنَا يَقُولُ: أَدْرَكَتِ النَّاسُ قَبْلَ الْحِرَّةِ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسَةٍ. وَهَذَا مُوَافِقٌ لِمَا قَالَهُ مُحَمَّدُ بْنُ سِرِينَ أَنَّ مُعَاذَا بْنَ حَلِيمَةَ الْقَارِيَّ كَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً أَيُّ سِتًّا وَثَلَاثِينَ قِيَامًا وَخَمْسَةً وَتَرًا.

Tragedi al-Harrah ini terjadi pada tahun 63 H.

Dan Shalih ini, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Taqriib: “Dia adalah Shalih bin Nabhaan Al-Madani, Mawlaa at-Tau'amah, di shoduuq (jujur) namun di akhir usianya hafalannya campur aduk.

Ibnu 'Adiy berkata:

“Tidak ada masalah dengan riwayat orang-orang dahulu darinya, seperti Ibnu Abi Zayd dan Ibnu Jarir, dari kalangan martabat keempat, dia meninggal pada tahun 125 H.
Riwayat di sini dari dia adalah riwayat dari orang-orang dahulu.”

Dia adalah Ibnu Abi Dzi'b, seperti yang diumpamakan oleh Ibnu Adiyy, karena tidak ada masalah dengannya. Di sini dia berkata: Saya menemukan orang-orang sebelum tragedi al-Harrah, melaksanakan shalat empat puluh satu rakaat. Dan lima rakaat darinya adalah sholat Witir.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin bahwa Muadz Abu Halimah al-Qoori biasa mengerjakan shalat tarawih bersama orang-orang sebanyak 41 rakaat, yaitu tiga puluh enam rakaat Qiyamullail dan lima rakaat witir.

Al-Mubaarokfuuri dalam تحفة الأحوذي 3/437 berkata :

قَالَ الْعَيْنِيُّ: قَالَ شَيْخُنَا يَعْنِي الْحَافِظَ الْعِرَاقِيَّ: وَهُوَ أَكْثَرُ مَا قِيلَ فِيهِ. قَالَ الْعَيْنِيُّ: وَذَكَرَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي الِاسْتِذْكَارِ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ: كَانَ يُصَلِّي أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ هَكَذَا ذَكَرَهُ. وَلَمْ يَقُلْ: إِنَّ الْوَتْرَ مِنَ الْأَرْبَعِينَ (وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالْمَدِينَةِ) قَوْلُ التِّرْمِذِيِّ هَذَا يُخَالِفُ مَا رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ عَنْ ابْنِ أَيْمَنَ، قَالَ مَالِكٌ: اسْتَحَبَّ أَنْ يَقُومَ النَّاسُ فِي رَمَضَانَ بِثَمَانٍ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يَسْلَمَ الْإِمَامُ وَالنَّاسُ ثُمَّ يُوتِرُ بِهِمْ بِوَاحِدَةٍ، وَهَذَا الْعَمَلُ بِالْمَدِينَةِ قَبْلَ الْحِرَّةِ مُنْذُ بَضْعِ وَمِائَةِ سَنَةٍ إِلَى الْيَوْمِ، انتهى.

Al-'Aini berkata : Syekh kami, yakni al-Hafidz al-'Iraqi, berkata : Inilah yang paling banyak dibicarakan.

Al-Ayni berkata: Ibnu Abdul-Barr menyebutkan dalam al-Istidzkar dari Al-Aswad bin Yazid : Dia biasa sholat empat puluh rakaat dan sholat witir tujuh, demikian dia menyebutkannya. Dan dia tidak mengatakan: rakaat shalat Witir adalah bagian dari empat puluh

Perkataan Tirmidzi (Dan ini yang diamalkan oleh para penduduk Madinah) ; Pernyataan Tirmidzi ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Nasr dari Ibn Ayman. Imam Malik berkata: Disunnahkan bagi orang untuk melakukan sholat tarawih tiga puluh delapan rakaat di bulan Ramadhan, kemudian imam dan para makmum mengucapkan Salam, kemudian imam dan para makmum berdiri melaksanakan shalat satu rakaat Witir.

Ini di amalkan di Madinah sebelum tragedi Al-Harrah, beberapa ratus tahun yang lalu, hingga hari ini [Selesai ]

======

DALIL KETIGA : RIWAYAT LAIN ATSAR SAHABAT DAN TABI'IIN, SHALAT TARAWIH 21 RAKAAT ATAU LEBIH :

------

KE SATU : ATSAR ALI BIN ABI THALIB (RA) :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 2 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ حَسَنِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ عَمْروِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ ابْنِ أَبِي الْحَسَّنَاءَ، أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

Wakii' memberi tahu kami, dari Hassan bin Saleh, dari Amr bin Qais, dari Ibn Abi Al-Hasna, bahwa Ali bin Abu Thalib menyuruh seseorang (sebagai imam) untuk shalat taraweh berjamaah di bulan Ramadhan 20 rakaat.

(Lihat : Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, hlm. 1/ 456)

KE DUA : ATSAR UBAY BIN KA'AB (RA) :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 5 meriwayatkan :

"حَدَّثَنَا حَمِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَسَنٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رَفِيعٍ، قَالَ: كَانَ أَبِي بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ".

Hamid bin Abdul Rahman menceritakan kepada kami dari Hassan dari Abdul Aziz bin Rafi', yang berkata:

Ubai bin Ka'b radhiyallahu 'anhu biasa shalat bersama orang-orang di bulan Ramadhan di Madinah dua puluh rakaat dan shalat Witir dengan tiga rakaat.

KE TIGA : ATSAR IBNU MAS'UD (RA) :

Zaid bin Wahb (wafat thn 83 H) berkata :

" كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي بِنَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَيَنْصَرِفُ وَعَلَيْهِ لَيْلٌ".

Abdullah bin Masoud radhiyallahu 'anhu, biasa salat bersama kami di bulan Ramadhan, maka dia bermalam untuknya."

Sulaiman bin Mihran Al-A'mash (wafat 148 H) berkata:

كَانَ يُصَلِّي عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ.

“Dia (Ibnu Mas'ud) biasa shalat dua puluh rakaat dan shalat Witir tiga.”

[Baca : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

KE EMPAT : ATSAR IBNU MULAIKAH (w. 117 H) :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 4 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ ابْنُ أَبِي مَلِيكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيَقْرَأُ بِحَمْدِ الْمَلَائِكَةِ فِي رَكْعَةٍ.

Wakii' menceritakan kepada kami dari Nafi' bin Umar, yang berkata: Ibnu Abi Mulaikah (w. 117 H) biasa shalat bersama kami di bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan membaca surat az-Zumar dalam satu rakaat.

KE LIMA : ATSAR AL-HARITS

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 6 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ حُجَاجٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْحَارِثِ، أَنَّهُ كَانَ يُؤَمِّ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ.

Abu Muawiyah menceritakan kepada kami dari Hajjaj dari Abu Ishaq dari Al-Harits :

Bahwa ia biasa mengimami sholat bersama orang-orang di bulan Ramadhan di malam hari dengan dua puluh rakaat, shalat Witir dengan tiga rakaat, dan melakukan qunut sebelum rukuk.

KE ENAM : ATSAR UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN ABBAAN BIN UTSMAN :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/285 no. 856 – 10 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: "أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتًّا وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ."

Ibnu Mahdi memberi tahu kami dari Daud bin Qais, dia berkata, "Saya menjumpai orang-orang di Madinah pada masa Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Utsman, shalat tiga puluh enam rakaat dan shalat witir tiga rakaat."

Muhammad bin Nashr al-Maruuzi meriwayatkan dari Amr bin Muhaajir, dia berkata :

"إِنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَتْ تَقُومُ الْعَامَّةُ بِحُضْرَتِهِ فِي رَمَضَانَ بِخَمْسِ عَشْرَةَ تَسْلِيمَةٍ وَهُوَ فِي قُبَّتِهِ لَا نَدْرِي مَا يَصْنَعُ."

"Umar bin Abdul-Aziz dulu orang-orang biasa shalat taraweh dihadapannya di bulan Ramadhan dengan sholat lima belas taslim, sementara dia berada di tendanya. Kami tidak tahu apa yang dia lakukan."

Muhammad bin Nashr al-Maruuzi meriwayatkan pula dari Daud bin Qois, dia berkata :

أَدْرَكْتُ المَدِينَةَ فِي زَمَانِ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ يُصَلُّونَ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ.

Madinah mencapai waktu Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz, sholat tiga puluh enam rakaat dan melakukan shalat ritual dengan tiga rakaat.

KE TUJUH :

Wahb bin Kiisan (wafat thn 127 H), semoga Allah merahmatinya:

« مَا زَالَ النَّاسُ يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ إلَى الْيَوْمِ فِي رَمَضَانَ »

“Orang-orang masih melakukan tiga puluh enam rakaat dan melakukan shalat witir dengan tiga rakaat hingga hari ini di bulan Ramadhan.”

[Baca : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

KE DELAPAN :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/285 no. 856 – 9 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا ابْنُ نَمِيرٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: "أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلَاثًا، وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوَتْرِ."

Ibn Numayr menceritakan kepada kami dari Abd al-Malik dari Athoo' (wafat 114 H), dia berkata:

" Saya menjumpai orang-orang sholat dua puluh tiga rakaat dengan Witir ".

Dan Muhammad bin Nashr al-Maruuzi juga meriwayatkan dari 'Athoo bin Abi Robaah bahwa dia berkata :

أَدْرَكْتُهُمْ يُصَلُّونَ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَالْوَتْرُ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ.

“Aku menjumpai mereka shalat dua puluh rakaat di bulan Ramadhan, dan witir tiga rakaat.”

[Baca : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

KE SEMBILAN :

Di dalam al-Mushonnaf 2/285 no. 856 – 01 karya Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) diriwayatkan :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: ثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ شَتِيرِ بْنِ شَكْلٍ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوَتْرَ.

Abu Bakar memberi tahu kami, Waki' memberi tahu kami, dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Abdullah bin Qays, dari Syatir bin Syakal :

" Bahwa dia biasa salat dua puluh rakaat di bulan Ramadhan dan satu rakaat Witir".

Muhammad bin Nashr al-Maruuzi (wafat 294 H) berkata :

« عَبْدُ اللَّهِ بْنُ قَيْسٍ عَنْ شَتِيرٍ: "وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ عَبْدِ اللَّهِ الْمَعْدُودِينَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ"»

Abdullah bin Qais dari Syatiir: Dia adalah salah satu dari sejumlah sahabat-sahabat Abdullah [bin Masud] yang biasa salat bersama mereka di bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan salat Witir dengan tiga rakaat.

[Baca : قيام رمضان 1/21 karya Muhammad bin Nashr al-Maruuzi wafat 294 H (موقع الحديث) ]

KE SEPULUH :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 8 meriwayatkan :

حَدَّثَنَا حَفْصُ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ: "كَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ".

Hafash menceritkan kepada kami : dari Al-Hasan bin Ubaidullah, dia berkata :

“Abdul-Rahman bin Al-Aswad biasa shalat bersama kami di Ramadhan empat puluh rakaat dan shalat Witir tujuh.”

KE SEBELAS :

Ibnu Abi Syaibah (wafat 235 H) dalam al-Mushonnaf 2/286 no. 856 – 13 meriwayatkan :

حدثنا يزيد بن هارون قال أنا إبراهيم بن عثمان عن الحكم عن مقسم عن ابن عباس : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.

Yazid bin Harun mengatakan kepada kami, dia berkata saya Ibrahim bin Utsman, dari Al-Hakam, dari Muqsiim, dari Ibn Abbas :

Bahwa Rasulullah  biasa mengerjakan shalat dua puluh rakaat pada bulan Ramadhan dan satu rakaat Witir.

(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf: 2/164 dan Abd bin Hamid sebagaimana di dalam Al Muntakhab: 653 dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al kabiir: 11/393 dan Al Mu’jam Al Awsath: 1/243 dan Baihaqi dalam Sunan Kubra: 2/698)

Semua itu dari jalur Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman dari Hakam bin Utaibah dari Muqsim dari Ibnu Abbas.

Ath-Thabrani berkata:

"لَمْ يُرَوْ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الْحَكَمِ إلَّا أَبُو شَيْبَةَ، وَلَا يُرْوَى عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ إلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ."

“Hadits ini tidak diriwayatkan dari Hakam kecuali Abu Syaibah, dan tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali melalui sanad tersebut”.

Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman adalah seorang Kufi dan Abbaasi. Para ahli hadits telah bersepakat akan kedhaifan haditsnya dan mereka menolaknya.

Ibnu Mubarak brkata: “Buang saja (jangan dihiraukan) !!”.

Ahmad bin Hambal juga sangat melemahkan (haditsnya), beliau juga berkata: “Haditsnya mungkar, termasuk kerabat dari Hasan bin Umarah.

Sedangkan Hasan bin Umarah haditsnya tertinggal (tidak diperhitungkan), An Nasa’i berkata: “Haditnya tertinggal”. Abu Hatim berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”.

(Baca Biografinya dalam Tahdzib At Tahdzib: 1/145)

Oleh karenanya para ulama mendha’ifkan hadits tersebut, Ibnu Baththool berkata:

"إِبْرَاهِيمُ هَذَا هُوَ جَدُّ بَنِي شَيْبَةَ، وَهُوَ ضَعِيفٌ، فَلَا حُجَّةَ فِي حَدِيثِهِ، وَالْمَعْرُوفُ الْقِيَامُ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ."

“Ibrahim tersebut adalah kakek dari anak-anaknya Syaibah, dia dha’if, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, yang dikenal bahwa shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at adalah dari Umar dan Ali”. (Syarah Shahih Bukhori: 3/141)

Az Zaila’ii –rahimahullah- berkata:

"هُوَ مَعْلُولٌ بِأَبِي شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُثْمَانَ، جَدِّ الْإِمَامِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَى ضَعْفِهِ"

“Dia terhalang oleh Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman, kakek dari Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah disepakati kedha’ifannya”. (Nasbu ar-Raayah: 2/153)

Didha’ifkan juga oleh: Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid: 8/115, Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra: 2/698, Ibnu Mulqin dalam Al-Badrul Munir: 4/350, Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid: 3/173, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Ad-Diraayah: 1/203.

Adz-Dzahabi mengkategorikan dalam Mizan al-I’tidal: 1/48 termasuk hadits mungkar.

Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubro (1/195): “Hadits tersebut dha’if sekali”.

Al-Qasthalani juga mendha’ifkannya dalam Al-Mawahib Al-Ladunniyah (3/306), termasuk As-Suyuthi sebagaimana di dalam Al-Haawii (1/413).

Al-Albani dalam As-Silsilah Ad-Dha’ifah menghukuminya sebagai hadits maudhu’ (palsu).

Dari sini menjadi jelas bahwa para ulama telah bersepakat bahwa hadits tersebut adalah dha’if.

=====

KESIMPULAN PARA ULAMA PENSYARAH KITAB-KITAB HADITS DAN LAINYA :

=====

IMAM AT-TIRMIDZI :

Imam al-Tirmidzi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam Sunan-nya (3/169):

" وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ. وقَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Mayoritas para ulama terhadap apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan lainnya dari para Sahabat Nabi  adalah dua puluh rakaat, itu adalah pendapat ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan Syafi'ii. Al-Syafi'i berkata, "Dan begitulah, saya menjumpai di negeri kita di Mekah, mereka shalat tarawih dua puluh rakaat."

===

IBNU ABDIL BARR :

Ibnu Abdil Barr Ahli Hadits al-Maliki pula dalam al-Istidzkaar 2/68 berkata :

" إِلاَّ أَنَّهُ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْقِيَامُ فِي أَوَّلِ مَا عَمِلَ بِهِ عُمَرُ بِإِحْدَى عَشَرَ رَكْعَةً، ثُمَّ خَفَّفَ عَلَيْهِمْ طُولَ الْقِيَامِ، وَنَقَلَهُمْ إِلَى إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَكْعَةً، يَخَفِّفُونَ فِيهَا الْقِرَاءَةَ وَيَزِيدُونَ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، إِلاَّ أَنَّ الأَغْلَبَ عِنْدِي فِي إِحْدَى عَشَرَ رَكْعَةً الْوَهْمُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.".

Namun, ada kemungkinan bahwa pada awalnya shalat tarawih yang dilakukan Umar adalah sebelas rakaat, kemudian ia memperpendek panjangnya berdiri untuk mereka, dan merubahnya menjadi dua puluh satu rakaat. Mereka mengurangi panjang bacaannya dan memperbanyak rukuk dan sujudnya. Akan tetapi menurut saya : orang yang mengatakan bahwa kebanyakan orang sholat sebelas rakaat, itu adalah Wahm [hanya ilusi], Wallaahu a'lam ".

===

IBNU TAIMIYAH :

Ibnu Taymiyyah, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (23/112):

" ثُبِتَ أَنَّ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ كَانَ يُقِيمُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي قِيَامِ رَمَضَانَ، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ، فَرَأَى كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةَ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ، وَاِسْتَحَبَّ آخَرُونَ تِسْعًا وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ.".

Telah ada ketetapan bahwa Ubayy bin Ka'b biasa shalat tarawih bersama orang-orang dua puluh rakaat di bulan Ramadhan, dan shalat Witir dengan tiga rakaat.

Maka banyak para ulama yang berpendapat bahwa ini adalah sunnah ; Karena dia melakukannya di tengah-tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.

Sementara sebagian ulama yang lain menganggap mutsahb tiga puluh sembilan rakaat, berdasarkan fakta bahwa itu adalah amalan orang-orang Madinah dahulu. [SELESAI].

Dan Ibnu Taymiyyah, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (23/113):

"وَأُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ لَمَّا قَامَ بِهِمْ وَهُمْ جَمَاعَةٌ وَاحِدَةٌ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يُطِيلَ بِهِمْ الْقِيَامَ، فَكَثُرَ الرَّكَعَاتِ لِيَكُونَ ذَلِكَ عِوَضًا عَنْ طُولِ الْقِيَامِ، وَجَعَلُوا ذَلِكَ ضِعْفَ عَدَدِ رَكَعَاتِهِ، فَإِنَّهُ كَانَ يُقِيمُ بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ كَأَنَّ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ ضَعُفُوا عَنْ طُولِ الْقِيَامِ، فَكَثُرُوا الرَّكَعَاتِ، حَتَّى بَلَغَتْ تِسْعًا وَثَلَاثِينَ."

Ubayy bin Ka'b, ketika dia shalat bersama mereka dan mereka telah disatukan dalam satu jamaah, dia tidak berdiri lama dalam shalatnya, maka dia meningkatkan jumlah rakaatnya sehingga ini bisa menggantikan panjangnya berdiri.

Dan mereka menggandakan jumlah rakaatnya, karena sebelumnya biasa shalat di malam hari sebelas atau tiga belas rakaat, kemudian setelah itu seakan-akan orang-orang di Madinah merasa lemah untuk berdiri yang lama. Maka mereka memperbanyak jumlah rakaatnya, sampai mereka mencapai tiga puluh sembilan rakaat ". [Selesai ]

Lalu Ibnu Taimiyah berkata :

"وَقَالَ طَائِفَةٌ: قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ عَائِشَةَ (أَنَّ النَّبِيَّ لَمْ يَكُنْ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرَهُ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً) وَاضْطَرَبَ قَوْمٌ فِي هَذَا الْأَصْلِ ؛ لِمَا ظَنُّوهُ مِنْ مُعَارِضَةِ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ لِمَا ثَبَتَ مِنْ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ وَعَمَلِ الْمُسْلِمِينَ.

وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعُهُ حَسَنٌ، كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَنَّهُ لَا يَتَوَقَّتُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ عَدَدًا، فَإِنَّ النَّبِيَّ لَمْ يَوَقِّتْ فِيهَا عَدَدًا." انتهى.

Ada satu kelompok orang berkata: Telah ada ketetapan dalam Shahih dari Aisyah : bahwa Nabi tidak lebih dari tiga belas rakaat di bulan Ramadhan atau di waktu lain nya ".

Lalu ada sebagian kaum merasa kebingungan tentang hadits ini ; Karena mereka menganggapnya adanya pertentangan antara hadits shahih ini dengan ketetapan yang datang dari Sunnah Khulafaaur-Rosyidiin dan amalan kaum muslimin.

Yang benar adalah bahwa semuanya itu baik [Hasan] sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, bahwa jumlah rakaat tarawih di bulan Ramadhan itu tidak ditentukan; karena Nabi  tidak menentukan berapa rakaat di dalamnya. [lihat : Majmu’ al-Fatawa (23/113)].

Dan dalam al-Ikhtiyaaraat, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وَالتَّرَاوِيحُ إِنْ صَلَّاهَا كَمَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ: عِشْرُونَ رَكْعَةً أَوْ: كَمَذْهَبِ مَالِكٍ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ، أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، أَوْ إِحْدَى عَشْرَةَ فَقَدْ أَحْسَنَ، كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ أَحْمَدَ لِعَدَمِ التَّوَقُّفِ فَيَكُونُ تَكْثِيرُ الرَّكَعَاتِ وَتَقْلِيلُهَا بِحَسَبِ طُولِ الْقِيَامِ وَقُصُرِهِ.

“ Taraweh kalau dilaksanakan cara shalatnya seperti madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad dua puluh rakaat atau seperti madzhan Malik tiga puluh enam (rakaat) atau tiga belas atau sebelas, maka itu bagus. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Imam Ahmad bahwa masalah ini bukan perkara tauqifi (baku), maka boleh memperbanyak atau menyedikitkan rakaat, sesuai dengan panjang dan pendeknya qiyam.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 64)

===

IBNU HAJAR AL-HAITSAMI :

Ibnu Hajar Al-Haitsamy (Ahli Hadits guru Ibnu Hajar al-Asqalani) berkata:

وَقَالَ ابْنُ حَجَرَ الْهَيْثَمِيُّ: لَمْ يَصِحَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى التَّرَاوِيحَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَمَا وَرَدَ أَنَّهُ " كَانَ يُصَلِّي عِشْرِينَ رَكْعَةً " فَهُوَ شَدِيدُ الضَّعْفِ.

Tidak (ada hadits) shahih bahwa Nabi  shalat Taraweh dua puluh rakaat. Riwayat yang menyatakan bahwa beliau shalat dua puluh rakaat adalah lemah sekali.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 27/ 142 – 145).

====

IMAM AS-SAYUUTHI :

As-Suyuthi asy-Syafi;i berkata:

الَّذِي وَرِدَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحَسَانُ الْأَمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بَعْدَدٍ، وَلَمْ يَثْبُتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى التَّرَاوِيحَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَإِنَّمَا صَلَّى لَيَالِي صَلَاةً لَمْ يُذْكَرْ عَدَدُهَا، ثُمَّ تَأَخَّرَ فِي اللَّيْلَةِ الرَّابِعَةِ خَشْيَةَ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْهِمْ فَيَعْجِزُوا عَنْهَا.

“Hadits-hadits shahih dan hasan yang ada dalam masalah qiyam Ramadan dan anjuran di dalamnya tanpa ada pengkhususan dengan bilangan. Dan tidak ada ketetapan bahwa Nabi  shalat Taraweh dua puluh rakaat. Akan tetapi beliau shalat waktu malam (dengan) shalat tanpa disebutkan bilangannya. Kemudian beliau terlambat (tidak datang) pada malam keempat, khawatir akan diwajibkan kepada (umatnya), lalu mereka tidak mampu (menunaikannya).

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 27/ 142 – 145).

===

SYEIKH BIN BAAZ :

Syekh Bin Baaz, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Majmu' al-Fataawa (11/322):

"وَثَبَتَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ لِلَّهِ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَ مِنْ عَيْنٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشَرَةَ، وَثَبَتَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ صَلَّوْا بِأَمْرِهِ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى التَّوْسُعَةِ فِي ذَلِكَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ عِنْدَ الصَّحَابَةِ وَاسِعٌ، كَمَا دَلَّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى)"

Dan terbukti keshahihannya dari Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa ia memerintahkan orang-orang yang ditunjuk menjadi Imam di antara para sahabat untuk shalat Tarawih sebelas rakaat.

Dan terbukti pula keshahihannya dari mereka bahwa mereka shalat atas perintah Umar dua puluh tiga rakaat, dan ini menunjukkan keluasan dalam hal itu, dan bahwa masalah ini di kalangan para sahabat adalah leluasa, seperti yang ditunjukkan oleh sabda Nabi 
 : (Sholat malam adalah dua, dua).

*****

PENDAPAT LAIN : 
YANG MENGHARAMKAN TARAWIH LEBIH DARI 11 RAKAAT
SERTA MENGANGGAP-NYA BID'AH SESAT

Kebalikan dari mereka (pendapat pertama), yaitu orang-orang yang mengingkari dengan keras terhadap mereka yang menunaikan shalat Tarawih melebihi sebelas rakaat, mengharamkannya dan menganggapnya sebagai bid'ah sesat.

Adapun dalil mereka adalah hadits Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha:

كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : " مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ : (تَنَامُ عَيْنِي وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي).

“Bagaiamana cara shalat Rasulullah  pada bulan Ramadan?”

Beliau menjawab: “Beliau tidak pernah menambah di bulan Ramadan dan selain Ramadan dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat (rakaat), jangan tanya bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat (rakaat), jangan tanya bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga (rakaat).

Maka aku (Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah engkau tidur sebelum shalat witir?

Beliau menjawab: “Wahai Aisyah sesungguhnya kedua mataku terpejam (akan tetapi) hatiku tidak tertidur.” (HR. Bukhari, no. 1909, Muslim, no. 738)

Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah selalu melaksanakan demikian dalam shalat malam, baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan.”

BANTAHAN :

Para ulama menolak menjadikan hadits ini sebagai dalil (tidak bolehnya shalat malam lebih dari sebelas rakaat), sebab hal ini adalah perbuatan beliau , sedangkan perbuatan tidak menunjukkan kewajiban.

Di antara dalil yang jelas bahwa shalat lail, di antaranya shalat Taraweh, tidak ditentukan bilangan rakaatnya, adalah hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah  tentang shalat malam. Maka Rasulullah  menjawab:

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ، صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam dua (rakaat) dua (rakaat), kalau di antara kalian khawatir (datang waktu) subuh, maka shalatlah satu rakaat untuk witir dari shalat yang telah dilaksanakan.” (HR. Bukhari, 946. Muslim, 749)

Dari pendapat para ulama dalam berbagai madzhab yang diakui, jelas bagi kita bahwa perkara ini luas. Maka tidak mengapa menambah rakaat lebih dari sebelas rakaat.

Kemungkinan di antara sebab-sebab yang menjadikan mereka mengatakan boleh lebih dari sebelas rakaat adalah sbb:

Pertama :

Mereka berpendapat bahwa hadits Aisyah radhiallahu’anha tidak mengandung penetapan dengan bilangan ini (sebelas rakaat).

Kedua :

Telah ada tambahan dari kebanyakan para (ulama) salaf. (Silahkan lihat, Al-Mugni, 2/604 dan Al-Majmu, 4/32)

Ketiga :

Sesungguhnya Nabi  dahulu shalat sebelas rakaat panjang sekali sampai memasuki sebagian malam. Bahkan sekali waktu Nabi  shalat Taraweh bersama para shahabat, beliau baru selesai dari shalat beberapa saat sebelum terbit fajar sampai para shahabat khawatir tidak dapat melakukan sahur. Namun, para shahabat radhiallahu’anhum senang shalat di belakang Nabi  dan tidak merasa panjang.

Maka para ulama berpendapat bahwa kalau seorang imam shalat demikian panjang seperti ini, maka para makmum akan merasa berat, bahkan dapat menyebabkan mereka meninggalkannya. Akhirnya mereka berpendapat bahwa sebaiknya Imam meringankan bacaan dan menambah bilangan rakaat.

KESIMPULANNYA :

Adalah bahwa barangsiapa yang shalat sebelas rakaat sesuai dengan sifat yang dilakukan Nabi  maka dia telah sesuai dengan sunnah. Dan barangsiapa yang meringankan bacaan dan menambah rakaat juga bagus. Dan tidak boleh mengingkari orang yang melakukan salah satu dari dua amalan tersebut.

****

DALIL MAKAN KUE DAN YANG SEMISALNYA SETELAH SHALAT TARAWIH :

Imam Baihaqi berkata :

Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdullah Al-Hussein bin Muhammad bin Fanjowaih Al-Dainuri, telah menceritakan kepada kami Al-Fudhail bin Al-Fadhl Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Husein bin Umar Al-Baghdadi, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas bin Abdullah At- Tarqufi, telah menceritakan kepada kami Hafash bin Umar Al-'Adani telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Abbaan dari Ikrimah yang mengatakan :

Aisyah radhiyallahu 'anhu, berkata:

كُنَّا نَأْخُذُ الصِّبْيَانَ مِنَ الْكُتَابِ لِيُقِيمُوا (نَ : لِيُؤَمُّوا) بِنَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَنَعْمَلُ لَهُمُ الْقُلْيَةَ وَالْخُشْكَنَانَجَ.

Kami biasa mengambil anak laki-laki dari al-kutab [sejenis sekolah Madrasah] agar mereka mendirikan [mengimami ] sholat bersama kami di bulan Ramadhan, lalu kami buatkan makanan untuk mereka Al-Qulaiyah dan Al-Khasyaknanj .[Sunan al-Baihaqi 2/495]

Dan dalam Riwayat al-Marruuzy :

فَنَعْمَلُ لَهُمُ القُلْيَةَ وَالْخُشْكَارَ، وَهُوَ خُبْزُ السَّمْرَاءِ.

Jadi kami membuatkan makanan untuk mereka Al-Qulaiyah dan khasykar, yaitu roti as-Samraa' [kue cokelat ]. [Sunan al-Baihaqi 2/495]

ARTI KATA :

Arti kata “Al-Qulaiyah” :

القُلَيَّةُ مَرَقَةٌ تُتَخَذُ مِنْ لَحْمِ الجَزَرِ وَأَكْبَادِهَا.


Al-Qulaiyah adalah kuah kaldu yang terbuat dari daging, wortel dan hati.

Al-Khasyaknanj :

وَأَمَّا خُشْكَنَانْجُ فَهُوَ مُعَرَّبٌ مِنْ خُشْكِ نَانْكٍ وَهُوَ خُبْزٌ يُعْمَلُ مِنْ دَقِيقِ الْبُرِّ وَيُعَجَّنُ بِزَيْتِ السِّمْسِمِ.

Adapun Khasyaknanj, itu di Arabisasi dari Khashk Naanak, yaitu : roti yang terbuat dari tepung terigu dan diremas dengan minyak wijen. [Lihat Kamus محيط أعظم dalam bahasa Persia ]

Syeikh 'Athiyyah Saalim dalam kitab التَّرَاوِيحُ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ عَامٍ berkata :

فَهُوَ نَصٌّ عَلَى إِقَامَةِ التَّرَاوِيحِ بِإِمَامَةِ الصِّبْيَانِ. وَقَطْعًا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Ini adalah dalil / Nash tentang mendirikan shalat Tarawih dengan imamnya anak kecil laki-laki. Dan tentu saja itu tidak pernah terjadi pada masa Nabi .


 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar