PERSELISIHAN PENDAPAT TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
******
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
PENDAHULUAN:
Umar Bin al-Khaththab rodhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasulullah SAW senantiasa mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a. Beliau tidak mengembalikannya (menurunkannya) hingga terlebih dahulu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi no. 3386).
Dishahihkan oleh at-Tirmidzi , di Hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, Syeikh Bin Baaz dan lainnya.
*****
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MENGUSAP MUKA SETELAH BEROD'A.
Ada dua pendapat tentang mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo'a:
- Di syariatkan [DISUNNAHKAN]
- Tidak di syariatkan. [ TIDAK DISUNNAHKAN].
====
PENDAPAT PERTAMA: DI SUNNAHKAN
Di sunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa
Ini ada pendapat yang di sepakati oleh 4 madzhab.
Abdul Fattaah bin Shaleh Quddaisy al-Yaafi'i berkata:
اتَّفَقَتِ المَذَاهِبُ أَرْبَعَةٌ عَلَى اسْتِحَبَابِ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الدُّعَاءِ بَلْ إِنَّ الْحَنَابِلَةَ وَغَيْرَهُمْ يَرَوْنَ مَشْرُوعِيَّةَ الْمَسْحِ بَعْدَ الْقُنُوتِ فِي الصَّلَاةِ، بِخِلَافِ الشَّافِعِيَّةِ.
Keempat mazhab sepakat bahwa dimustahab-kan untuk mengusap wajah dengan kedua tangan setelah ber-doa.
Bahkan Madzhab Hanbali dan yang lainnya memandang disyariatkannya mengusap wajah setelah doa qunut dalam shalat, berbeda dengan madzhab Syafi'i yang tidak memustahabkannya setelah qunut dalam shalat.
[Baca Artikel: " مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ (دِرَاسَةٌ فِقْهِيَّةٌ) " di tulis oleh Abdul Fattaah bin Shaleh Quddaisy al-Yaafi'i]
Berikut ini beberapa perkataan para ulama dari masing-masing madzhab tentang masalah ini:
DARI MADZHAB HANAFI:
Dalam al-Fataawa al-Hindiyyah 5/318 disebutkan:
(مَسَحَ الْوَجْهَ بِالْيَدَيْنِ إِذَا فَرَغَ مِنَ الدُّعَاءِ قِيلَ: لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَكَثِيرٌ مِنْ مَشَايِخِنَا - رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى - اعْتَبَرُوا ذَلِكَ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَبِهِ وَرَدَ الْخَبَرُ، كَذَا فِي الْغَيَّاثِيَّةِ.) اه
(Mengusap wajah dengan kedua tangan ketika dia selesai berdoa, dikatakan: Tidak apa-apa, dan banyak dari para syekh kami - semoga Allah merahmati mereka - menganggap bahwa itu mu'tabar dan itu adalah Shahih, dan itu berdasarkan khabar [hadits], dan begitu lah yang terdapat dalam kitab الغياثية ".
Dan dalam Syarh Al-Hashkafi 1/507:
وَأَمَّا (عِنْدَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَعَرَفَاتٍ) فَ (يُرْفَعُهُمَا كَالدُّعَاءِ) وَالرَّفْعُ فِيهِ، وَفِي الِاسْتِسْقَاءِ مُسْتَحَبٌّ (فَيَبْسُطُ يَدَيْهِ) حَذَاءَ صَدْرِهِ (نَحْوَ السَّمَاءِ) لِأَنَّهَا قِبْلَةُ الدُّعَاءِ وَيَكُونُ بَيْنَهُمَا فُرْجَةٌ وَالإِشَارَةُ بِمِسْبَحَتِهِ لِعُذْرٍ كَبَرْدٍ يَكْفِي وَالْمَسْحُ بَعْدَهُ عَلَى وَجْهِهِ سُنَّةٌ فِي الأَصْحِ شَرَنْبِلَالِيَّةٍ. اهـ.
“Dan adapun (di Shofaa, Marwah dan Arafah) maka (mengangkat kedua tangan mereka seperti berdoa) dan mengangkatnya di dalamnya, dan di dalam ber istisqoo itu adalah mustahab.
(Yaitu ia membentangkan kedua tangannya) sejajar dadanya (ke arah langit) dikarenakan itu adalah arah kiblat doa dan ada renggang di antara keduanya [antara dada dan kedua tangan].
Atau menunjuk dengan jari telunjuknya ketika ada 'udzur seperti karena dinginnya, maka itu cukup.
Dan setelah itu mengusapkannya ke wajahnya. Ini semua adalah sunnah menurut yang lebih benar dan shahih (kitab شرنبلالية) ".
Al-Imam Hasan bin Ammar as-Syaranbalali Al-Hanafi berkata:
“ثُمَّ يَخْتِمُ بِقَوْلِهِ تَعَالىَ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} اْلآَيَةَ؛ لِقَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: “مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكْتَالَ بِالْمِكْيَالِ اْلأَوْفَى مِنَ الْأَجْرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلْيَكُنْ آَخِرُ كَلاَمِهِ إِذَا قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} الآية”، وَيَمْسَحُ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيْ آَخِرِهِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِذَا دَعَوتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ} رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ كَمَا فِي الْبُرْهَانِ”).
“Kemudian orang yang berdoa menutup doanya dengan firman Allah “Subhana rabbika” dan seterusnya.
Ini berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa yang menghendaki menerima takaran pahala dengan takaran yang sempurna pada hari kiamat, maka hendaklah akhir ucapannya dalam majlisnya adalah “subhana rabbika” dan seterusnya.
Dan ia MENGUSAPKAN KEDUA TANGAN-NYA KE WAJAH-NYA di akhir doanya.
Ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila kamu berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan perut telapak tanganmu, dan janganlah berdoa dengan punggungnya. Apabila kamu selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengan kedua tangannya.” HR. Ibnu Majah, sebagaimana dalam kitab al-Burhan.”
(Hasyiyah as-Syaranbalali ‘ala Durar al-Hukkam 1/80).
DARI MADZHAB MALIKI:
Al-Imam an-Nafrawi Al-Maliki dalam Al-Fawaakih Al-Dawaani 2/330 berkata:
(وَاخْتُلِفَ هَلْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ الدُّعَاءِ أَوْ لَا؟ وَعَلَى الرَّفْعِ فَهَلْ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِهِمَا عَقِبَهُ أَمْ لَا؟ وَاَلَّذِي فِي التِّرْمِذِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ إذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ». فَيُفِيدُ أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُهُمَا وَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ)
(Dan ada perbedaan pendapat tentang apakah seseorang boleh mengangkat kedua tangannya ketika berdoa atau tidak ". Dan jika boleh mengangkatnya, apakah dia diperbolehkan pula mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sesudahnya atau tidak diperbolehkan ?
Yang ada dalam At-Tirmidzi dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu:
Apabila Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, beliau tidak mengembalikannya (menurunkannya) hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi no. 3386).
Maka memberikan faidah bahwa beliau SAW biasa mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajahnya dengan keduanya ".
Dan dalam Al-Fawaakih Al-Dawaani 2/335:
(وَاخْتُلِفَ فِي بَسْطِ الْيَدِ وَلَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّهُ أَمَارَةُ الذُّلِّ وَالسَّكِينَةِ، وَيُسْتَحَبُّ أن يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَهُ -أي: الدُّعَاءِ- كَمَا كَانَ يَفْعَلُهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ) اهـ.
(Dan mereka berselisih pendapat tentang mengulurkan tangan, dan tidak ada yang salah dengan itu, karena itu adalah tanda rasa kehinanaan dihadapan Allah dan ketenangan.
Dan mustahab-kan baginya untuk mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sesudahnya, sebagaimana Nabi SAW biasa dilakukan.)
Dan dalam Al-Fawaakih Al-Dawaani 1/281:
(وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي حَالِ الدُّعَاءِ وَبُطُونُهُمَا إلَى الْأَرْضِ وَقِيلَ إلَى السَّمَاءِ، وَوَرَدَ أَنَّهُ بَعْدَ الدُّعَاءِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى وَجْهِهِ وَيَمْسَحُهُ بِهِمَا لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَقْبِيلٍ) اهـ.
(Dan dia mengangkat kedua tangannya saat berdoa dan perut kedua tangannya ke arah tanah, dan ada yang mengakatakan ke langit.
Dan ada keterangan hadits bahwa setelah berdoa beliau SAW meletakkan kedua tangannya di wajahnya lalu mengusapnya dengan keduanya, namun tanpa menciumnya)
DARI MADZHAB SYAFI'I:
Imam An-Nawawi mengatakan dalam Al-Majmu 'Syarah Al-Muhadzdzab 3/500-501 ketika berbicara masalah ini:
وَأَمَّا مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الدُّعَاءِ... فَوَجْهَانِ:
(أَشْهُرُهُمَا) أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ وَمِمَّنْ قَطَعَ بِهِ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيُّ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَالْمُتَوَلِّي وَالشَّيْخُ نَصْرٌ فِي كُتُبِهِ وَالْغَزَالِيُّ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ
(وَالثَّانِي) لَا يَمْسَحُ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ صَحَّحَهُ الْبَيْهَقِيُّ وَالرَّافِعِيُّ وَآخَرُونَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ
Adapun mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selasai berdoa... ada dua pendapat:
Pertama (yang paling masyhur dari keduanya): adalah bahwa itu mustahab.
Di antara yang memutuskan dengannya adalah al-Qoodhi Abu ath-Thoyyib, Syeikh Abu Muhammad Al-Juwayni, Ibnu Al-Shobbagh, Al-Mutawalli, Syeikh Nasher dalamkitabnya, Al-Ghazali dan penulis kitab al-Bayaan
(Dan yang kedua): tidak mustahab mengusap wajah.
Dan ini adalah pendapat yang Shahih. Al-Bayhaqi, Al-Rafi'i dan para peneliti lainnya menilainya sebagai pendapat yang shahih". [SELESAI]
Namun pada bagian yang lain dalam kitab yang sama al-Imam an-Nawawi berkata:
وَمِنْ آَدَابِ الدُّعَاءِ كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ.
“Di antara adab-adab berdoa adalah, adanya doa dalam waktu-waktu tertentu, tempat-tempat tertentu dan kondisi-kondisi tertentu yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, MENGUSAP WAJAH setelah selesai berdoa, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 4/487).
Dan dalam Haasyiyah Al-Bujairomi 'Alaa Sharh Al-Manhaj 1/208 di sebutkan:
قَوْلُهُ: (لَا مَسَحَ) أَيْ: فِي الصَّلَاةِ أَيْ: لَا يُنْدَبُ فَالْأَوْلَى تَرْكُهُ ح ل وَيُسَنُّ خَارِجَهَا م ر أَيْ: يُسَنُّ أَنْ يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ بَعْدَهُ لِمَا وَرَدَ: أَنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ مَسَحَهَا بِيَدِهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ تَشْهَدُ لَهُ وَيُغْفَرُ لَهُ بِعَدَدِهَا ح ف وَمَا تَفْعَلُهُ الْعَامَّةُ مِنْ تَقْبِيلِ الْيَدِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا فِي شَرْحِ م ر وَع ش. ) آهـ.
(Perkataannya: (tidak diusap) artinya: dalam SHALAT, yaitu: tidak dianjurkan ; maka yang lebih utama di tinggalkan.
Namun di sunnahkan mengusap wajah di luar sholat, yakni: di sunnahkan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya setelah berdoa, dikarenakan ada keterangan:
أَنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ مَسَحَهَا بِيَدِهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ تَشْهَدُ لَهُ وَيُغْفَرُ لَهُ بِعَدَدِهَا
Setiap rambut yang dia usap dengan tangannya setelah berdoa menjadi saksi baginya dan dia diampuni sesuai dengan jumlahnya.
Dan apa yang dilakukan orang biasa mencium tangan setelah berdoa tidak ada dasarnya, seperti dalam Syarah م ر و ع ش ". [SELESAI]
Dan Imam An-Nawawi mengatakan dalam Al-Adzkar hal.137 No. 360:
اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ وَمَسْحِ الْوَجْهِ بِهِمَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ، أَصَحُّهَا: أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ رَفْعُهُمَا وَلَا يَمْسَحُ الْوَجْهَ. وَالثَّانِي: يَرْفَعُ وَيَمْسَحُهُ. وَالثَّالِثُ، لَا يَمْسَحُ وَلَا يَرْفَعُ. وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَمْسَحُ غَيْرُ الْوَجْهِ مِنَ الصَّدْرِ وَنَحْوِهِ، بَلْ قَالُوا: ذَلِكَ مَكْرُوهٌ.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang mengangkat kedua tangan dalam DOA QUNUT dan mengusap wajah dengan keduanya, ada tiga pendapat.
[Pertama] : Yang paling shahih adalah di mustahabkan mengangkat kedua tangannya dan tidak di mustahabkan mengusap wajah.
Yang kedua: mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajah.
Dan yang ketiga : tidak mengusap atau tidak mengangkat.
Dan mereka sepakat bahwa tidak mustahab mengusap selain wajah, seperti dada dan sejenisnya, bahkan, mereka mengatakan: bahwa itu adalah Makruh.
DARI MADZHAB HANBALI:
Imam al-Bahuuti Al-Hanbali mengatakan:
(ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ هُنَا) أي: عَقِبَ الْقُنُوْتِ (وَخَارَجَ الصَّلَاةِ) إِذَا دَعَا
“Kemudian orang yang berdoa mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya setelah membaca doa qunut dan di luar shalat ketika selesai berdoa.”
(Baca: Syarh Muntaha al-Iradat 1/241, Kasysyaf al-Qina’ 1/420, dan al-Inshaf karya al-Mardaway 2/173).
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni 1/449 Bab No. Fasal 1080 dikatakan:
وَلَنَا ، قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إذَا دَعَوْت اللَّهَ فَادْعُ بِبُطُونِ كَفَّيْكَ ، وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا ، فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ}. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَابْنُ مَاجَهْ.وَلِأَنَّهُ فِعْلُ مَنْ سَمَّيْنَا مِنْ الصَّحَابَةِ.
Dan DALIL KAMI adalah sabda Nabi SAW mengatakan:
“Jika Anda berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan bagian dalam kedua telapak tangan Anda, dan janganlah anda berdoa dengan kedua punggung nya. Dan setelah anda selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengan keduanya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Majah.
Dan karena itu adalah amalan orang-orang yamg kami namakan para sahabat.
Lalu Ibnu Quddaamah berkata:
وَإِذَا فَرَغَ مِنْ الْقُنُوتِ فَهَلْ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدِهِ ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ:
إحْدَاهُمَا ، لَا يَفْعَلُ ؛ لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ قَالَ: لَمْ أَسْمَعْ فِيهِ بِشَيْءٍ. وَلِأَنَّهُ دُعَاءٌ فِي الصَّلَاةِ ، فَلَمْ يُسْتَحَبَّ مَسْحُ وَجْهِهِ فِيهِ ، كَسَائِرِ دُعَائِهَا.
“الثَّانِيَةُ: يُسْتَحَبُّ ؛ لِلْخَبَرِ الَّذِي رَوَيْنَاهُ. وَرَوَى السَّائِبُ بْنُ يَزِيدَ ، {أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا رَفَعَ يَدَيْهِ، وَمَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ}.وَلِأَنَّهُ دُعَاءٌ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيهِ ، فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ ، كَمَا لَوْ كَانَ خَارِجًا عَنْ الصَّلَاةِ ".
Dan jika seseorang menyelesaikan doa QUNUT, apakah dia mengusap wajahnya dengan tangannya? Dalam hal ini ada dua riwayat:
Salah satunya: Dia tidak melakukannya; Karena diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia berkata: Saya tidak mendengar apa-apa tentang itu.
Dan karena itu adalah doa di dalam sholat, maka tidak disarankan untuk mengusap wajah di dalamnya, seperti semua doa lainnya.
Kedua: mustahab. Karena adanya hadits yang kami riwayatkan. Dan al-Sa’ib ibn Yazid meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah, SAW, ketika beliau berdoa, beliau mengangkat kedua tangannya. Lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ".
Dan karena itu adalah doa yang dianjurkan untuk mengangkat kedua tangannya didalamnya ; maka dianjurkan pula untuk mengusap wajahnya dengan keduanya, sama halnya dengan seseorang yang [mengusap wajahnya] setelah selesai berdoa di luar sholat".
Dan dalam kitab Ghidzaa al-Albaab 2/516:
(وأنْ يَسْألَ مَا يَصْلُحُ ، ويَمْسَحَ وَجْهَه بيَدَيْه بَعْدَ فِرَاغِه) اهـ.
(Dan agar senantiasa berdoa dengan meminta sesuatu yang baik, dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya setelah dia selesai berdoa)
------
FATWA SYEIKH BIN BAAZ
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya,
مَا حُكْمُ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ وَخَاصَّةً بَعْدَ دُعَاءِ الْقُنُوتِ وَبَعْدَ النَّوَافِلِ ؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo’a, khususnya setelah do’a qunut atau do’a setelah shalat sunnah?
Beliau rahimahullah menjawab,
حُكْمُهُ أَنَّهُ مُسْتَحَبٌ؛ لِمَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ فِي الْبُلُوغِ فِي بَابِ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ، وَهُوَ آخِرُ بَابٍ فِي الْبُلُوغِ أَنَّهُ وَرَدَ فِي ذَلِكَ عَدَّةَ أَحَادِيثَ مَجْمُوعَهَا يَقْضِي بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَفِقَ اللَّهُ الْجَمِيعَ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ.
Hukumnya adalah disunnahkan sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajr dalam kitab Bulughul Marom Bab adz-Dzikr wa ad-Du’a. Bab tersebut adalah akhir bab dalam Bulughul Marom. Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadits yang semuanya jika dikumpulkan mencapai derajat HASAN. Semoga Allah memberi taufik pada kalian seluruhnya, was salaamu ‘alaikum.
[Baca: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 26/148].
Dalam soal yang lain Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya,
سَمِعْتُ أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ بِدْعَةٌ، وَأَنَّ تَقْبِيلَ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ بِدْعَةٌ، أَفِيدُونَا عَنْ ذَلِكَ؟ جَزَاكُمْ اللَّهُ خَيْرًا.
Aku pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa mengusap wajah setelah berdo’a termasuk bid’ah. Berilah kami kejelasan dalam hal ini. Jazakallah khoiron.
مَسْحُ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَيْسَ بِدْعَةٍ، لَكِنَّ تَرْكَهُ أَفْضَلُ لِلْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَقَدْ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ إِلَى تَحْسِينِهَا؛ لِأَنَّهَا مِنْ بَابِ الْحَسَنِ لِغَيْرِهِ، كَمَا ذَلِكَ الْحَافِظُ بِنْ حَجَرٍ -رَحِمَهُ اللَّهُ- فِي آخِرِ بَلُوغِ الْمَرَامِ، وَذَكَرَ ذَلِكَ آخَرُونَ، فَمَنْ رَأَاهَا مِنْ بَابِ الْحَسَنِ اسْتَحَبَّ الْمَسْحَ، وَمَنْ رَأَاهَا مِنْ قَبِيلِ الضَّعِيفِ لَمْ يَسْتَحِبَّ الْمَسْحَ، وَالْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ لَيْسَ فِيهَا مَسْحُ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ، الْأَحَادِيثُ الْمَعْرُوفَةُ فِي الصَّحِيحَيْنِ، أَوْ فِي أَحَدِهِمَا فِي أَحَدِ الصَّحِيحَيْنِ لَيْسَ فِيهَا مَسْحٌ، إِنَّمَا فِيهَا الدُّعَاءُ، فَمَنْ مَسَحَ فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ تَرَكَ فَهُوَ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّ الْأَحَادِيثَ الَّتِي فِي الْمَسْحِ بَعْدَ الدُّعَاءِ مِثْلَمَا تَقَدَّمَ ضَعِيفَةٌ، وَلَكِنْ مَنْ مَسَحَ فَلَا حَرَجَ، وَلَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَلَا يُقَالُ بِدْعَةٌ.
Perlu diketahui bahwa mengusap wajah setelah berdo'a bukanlah bid’ah. Akan tetapi meninggalkannya itu afdhol (lebih utama) karena dho’ifnya hadits-hadits yang menerangkan hal ini.
Namun sebagian ulama telah menghasankan hadits tersebut karena dilihat dari jalur lainnya yang menguatkan. Di antara ulama yang menghasankannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam akhir kitabnya Bulughul Marom. Demikian pula dikatakan ulama yang lainnya.
Barangsiapa yang berpendapat bahwasanya haditsnya hasan, maka disunnahkan baginya untuk mengusap wajah. Sedangkan yang mendho’ifkannya, maka tidak disunnahkan baginya untuk mengusap wajah.
Namun tidak ada hadits shahih yang menganjurkan mengusap wajah sesudah do’a. Begitu pula hadits yang telah ma’ruf dalam Bukhari Muslim atau salah satu dari keduanya tidak membicarakan masalah mengusap wajah setelah do’a, yang dibicarakan hanyalah masalah do’a.
Siapa saja yang mengusap wajah setelah do’a, tidaklah mengapa. Namun meninggalkannya, itu lebih afdhol. Karena sebagaimana dikatakan tadi bahwa hadits-hadits yang membicarakan hal itu dho’if.
Namun yang mengusapnya sekali lagi, tidaklah mengapa. Hal ini pun tidak perlu diingkari dan juga tidak perlu dikatakan bid’ah.
[Sumber website Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, >> http:// www. Binbaz. org.sa/ mat/11228]
------
IBNU AL-UTSAIMIN
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya:
مَا حُكْمُ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah shalat?
Beliau rahimahullah menjawab,
يَرَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ مِنَ السُّنَّةِ، وَيَرَى شَيْخُ الْإِسْلَامِ أَنَّهُ مِنَ الْبِدْعَةِ، وَهَذَا بِنَاءً عَلَى صَحَّةِ الْحَدِيثِ الْوَارِدِ فِي هَذَا، وَالْحَدِيثِ الْوَارِدِ فِي هَذَا قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ: إِنَّهُ مَوْضُوعٌ. يَعْنِي: مَكْذُوبٌ عَلَى الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَالَّذِي أَرَى فِي الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ مَنْ مَسَحَ لَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَمَنْ لَمْ يَمْسَحْ لَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ.
Sebagian ulama memang mengatakan bahwa hal ini termasuk sunnah (dianjurkan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri menganggap perbuatan ini termasuk bid’ah (hal yang mengada-ada dalam agama).
Bisa terjadi perbedaan semacam ini karena adanya perbedaan dalam menshahihkan hadits dalam masalah tersebut.
Syaikhul Islam sendiri mengatakan bahwa hadits yang membicarakan hal ini mawdhu’ (palsu), yaitu diriwayatkan oleh perowi yang berdusta atas nama Rasul SAW.
Sedangkan aku sendiri berpandangan bahwa orang yang mengusap wajah (seusai do’a) tidak perlu diingkari. Begitu pula orang yang tidak mengusap wajah, juga tidak perlu diingkari.
[Sumber: Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, kaset no. 196.
=====
DALIL-DALIL PENDAPAT PERTAMA
DALIL KE 1
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا، فَقَرَأَ فِيهِمَا:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ،
ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ، يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ، وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ. يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.
“Bahwa apabila Nabi SAW hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniup di dalamnya dan membaca di dalamnya:
Qulhuwallahu Ahad, dan Qul’audzu birabbil falaq, serta Qul’audzu birabbinnaas.
Setelah itu, beliau mengusapkan (dengan kedua tangannya) pada anggota tubuh yang beliau bisa jangkau.
Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada anggota tubuh bagian depannya.
Beliau ulangi hal itu sebanyak tiga kali ". [HR. Bukhori no. 4630]
DALIL KE 2:
Dari Aisyah radhiyallaahu 'anha:
أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ إذَا اشْتَكَى نَفَثَ علَى نَفْسِهِ بالمُعَوِّذَاتِ، ومَسَحَ عنْه بيَدِهِ، فَلَمَّا اشْتَكَى وجَعَهُ الذي تُوُفِّيَ فِيهِ، طَفِقْتُ أنْفِثُ علَى نَفْسِهِ بالمُعَوِّذَاتِ الَّتي كانَ يَنْفِثُ، وأَمْسَحُ بيَدِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عنْه.
“Bahwa Nabi SAW apabila sakit, beliau meniupkan [dengan sedikit semburan air ludah] pada dirinya dengan bacaan surat-surat al-mu’awwidzaat (Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas). Lalu beliau MENGUSAP dirinya dengan tangannya.
Maka tatkala beliau sakit yang menyebabkan beliau meninggal, maka aku tiupkan pula kepadanya dengan bacaan surat-surat Mu'awwidzat yang biasa beliau bacakan untuk ditiupkan dan ku usapkan tangan beliau SAW ke tubuhnya.
[HR. Bukhori no. 4439 dan Muslim no. 2192].
DALIL KE 3:
Dari Umar rodhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Apabila Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, dia tidak mengembalikannya (menurunkannya) hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi no. 3386).
Abu Isa Tirmidzi berkata:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ إلَّا مِنْ حَدِيثِ حَمَّادِ بْنِ عِيسَى، وَقَدْ انْفَرَدَ بِهِ وَهُوَ قَلِيلُ الْحَدِيثِ، وَحَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ ثِقَةٌ، وَثَقَّهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدِ الْقَطَّانُ. اهـ.
Ini adalah hadits SHAHIH GHORIB, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Hammad bin Isa, dan dia sendirian di dalamnya dan dia memiliki sedikit hadits, dan Handzala bin Abi Sufyan tsiqoh, di tautsiq oleh Yahya bin Sa'iid al-Qaththaan ".
Al-Haafidz Ibnu Hajar rohimahullah dalam Bulughul Maram berkata:
أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، لَهُ شَوَاهِدُ مِنْهَا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ، وَغَيْرِهِ، وَمَجْمُوعُهَا يَقْضِي بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rohimahullah, dan ada beberapa hadist lainnya yang semakna dengan hadist ini. Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas didalam Sunan Abi Dawud dan lainnya, yang secara keseluruhan menyebabkan derajat hadist ini menjadi HADITS HASAN. [Lihat: kitab Subulus Salam Syarah Bulughul Marom 2/709]
Ash-Shan'ani setelah menyebutkan hadits Umar radhiyallahu anhu, dia mengatakan dalam Subulus-Salaam 2/709:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الْفِرَاغِ مِنَ الدُّعَاءِ. قِيلَ: وَكَأَنَّ الْمُنَاسَبَةَ أَنَّهُ تَعَالَى لَمْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا فَكَأَنَّ الرَّحْمَةَ أَصَابَتْهُمَا فَنَاسَبَ إفَاضَةَ ذَلِكَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْأَعْضَاءِ وَأَحَقُّهَا بِالتَّكْرِيمِ. اهـ
"Di dalamnya terdapat dalil di syariatkan-nya mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selesai doa.
Dikatakan: Seolah-olah ada munasabah bahwa Allah SWT ketika Dia tidak akan mengembalikan uluran kedua tangan orang yang berdoa dalam keadaaan NOL, maka seolah-olah rahmat-Nya dipastikan telah menyentuh kedua tangannya. Dengan demikian sudah sepatutnya untuk mengusapkannya ke wajah yang merupakan anggota yang paling terhormat dan paling layak mendapat kehormatan ".
PENULIS KATAKAN:
Di dalam sanadnya ada Hammaad bin Isa, dan dia itu lemah, dan dia hanya sendirian dalam meriwayatkannya sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Tirmidzi. [Lihat al-Jarh wat Ta'diil karya Ibnu Abi Haatim ar-Raazi 3/145]
Namun Syeikh Bin Baaz berkata :
"وَرَدَ فِي ذَلِكَ عَدَّةُ أَحَادِيثَ مَجْمُوعَهَا يَقْضِي بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ".
Dalam hal ini terdapat beberapa hadits yang semuanya jika dikumpulkan mencapai derajat HASAN.
[Baca: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 26/148].
DALIL KE 4:
Dari Ibnu Abbaas, bahwa Nabi SAW bersabda:
سَلُوا اللهَ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا، فَإِذَا فَرَغْتُمْ فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ
Mintalah kepada Allah dengan perut telapak tangan kalian, dan jangan meminta kepada-Nya dengan punggung telapak tangan kalian, lalu ketika kalian selesai berdoa, maka usapkanlah ke wajah-wajah kalian dengan nya.
[HR. Abu Daud dalam kitab "Sujud Al-Qur'an" dalam BAB ad-Du'aa (1485) dan lafadz ini lafadz Abu Daud. Dan riwayatkan pula oleh Ibnu Majah dalam kitab “ad-Du'a” dalam bab “Mengangkat Tangan dalam Doa” Hadis no. (3866), Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dalam kitab “ad-Du'aa” (1/719) Hadis no. (1968) dan Al-Bayhaqi dalam “Al-Sunan Al-Kubra” dalam kitab “Doa” dalam bab “Mengangkat Tangan dalam Qunut” no. (3276)]
Lafadz Ibnu Majah:
إذا دَعوتَ اللَّهَ فادعُ بباطنِ كفَّيكَ ، ولا تدْعُ بظُهورِهِما ، فإذا فرغتَ فامسَح بِهِما وجهَكَ
Jika kamu berdoa kepada Allah, berdoalah dengan bagian dalam dua telapak tanganmu, dan jangan berdoa dengan punggung nya, dan jika kamu telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan nya.
Imam As-Suyuthi mengutip pernyataan al-Haafidz Ibnu Hajar dalam kitab "Amaalii" nya yang mengatakan bahwa hadits ini adalah HADITS HASAN. [Baca: فَضُّ الوِعَاءِ hal 74]
Akan tetapi Abu Daud sebagai perawi hadits ini berkata:
رُوِيَ هذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ كُلُّهَا وَاهِيَةٌ، وَهَذَا الطَّرِيقُ أَمْثَلُهَا، وَهُوَ ضَعِيفٌ أَيْضًا.
Hadits ini diriwayatkan dari lebih dari satu sisi dari Muhammad bin Ka'b, semuanya lemah, dan jalur ini adalah yang terbaik darinya, dan ini juga lemah."
Dan Abu Hatim dalam العلل 2/351 berkata: هذا حديث منكر [Ini hadits munkar].
Dan Abu Zur'ah berkata:
حَدِيثٌ مُنْكَرٌ أَخَافُ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَصْلٌ.
Sebuah hadits yang munkar yang saya khawatirkan tidak ada asalnya. [Lihat as-Silsilah ash-Shahihah karya al-Albaani 2/146]
Dan hadits ini di dhaifkan oleh al-Albaani dalam Dhaif Ibnu Maajh no. 222
Sebab lemahnya: Karena kelemahan Saleh bin Hasan; Didha'ifkan oleh Ahmad, Ibn Ma'in, Abu Hatim dan Al-Daraqutni.
Dan Al-Bukhari berkata: Haditsnya munkar, dan Abu Na`im al-Asbahani berkata: Hadits munkar itu ditinggalkan.
Ibnu Hibban berkata: Dia adalah pemilik Qainat dan Samaa', dan dia biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dengan mengatasakan namakan dari orang-orang yang kokoh terpercaya.
Ibnu al-Jawzi mengatakan tentang hadits ini: Itu tidak shahih; di dalamnya terdapat Shaleh bin Hasan
DALIL KE 5:
Dari Yazid bin Sa'id bin Tsumamah:
أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ
Bahwa Nabi SAW, ketika dia berdoa maka beliau mengangkat tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (4/221) no. (17972), dan Abu Daud dalam kitab “Sujud Al-Qur’an” dalam BAB “ad-Du'aa” 2/79 no. (1492)].
Dalam sanadnya ada Abdullah Ibn Lahi'ah, dan dia itu dha'if.
DALIL KE 6:
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
"إِنَّ رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي أَنْ يَرْفَعَ الْعَبْدُ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا لَا خَيْرَ فِيهِمَا فَإِذَا رَفَعَ أَحَدُكُمْ يَدَيْهِ فَلْيَقُلْ: يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ إِذَا رَدَّ يَدَيْهِ فَلْيُفْرِغِ الْخَيْرَ عَلَى وَجْهِهِ."
“Sesungguhnya Rabb kalian Maha Pemalu dan Mulia. Ia merasa malu dari hamba-Nya jika ia (berdo’a) mengangkat tangan kepada-Nya dengan mengembalikannya dalam keadaan kosong, tidak ada kebaikan pada keduanya. Maka jika salah seorang di antara kalian mengangkat kedua tangannya, hendaklah ia mengucapkan:
“Wahai Dzat Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri Sendiri, Tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang". Baca tiga kali. Kemudian jika ia hendak mengembalikan kedua tangannya, maka hendaklah ia mencurahkan kebaikan [hasil dari doa nya] pada wajahnya.
[HR. Thabraani dalam al-Mu'jam al-Kabiir 12/423]
Al-Haitsami dalam Majma' az-Zawaaid 10/169 berkata:
وَفِيهِ الْجَارُودُ بْنُ يَزِيدَ وَهُوَ مَتْرُوكٌ.
"Dan di dalam sanad nya ada Al-Jaaruud bin Yazid, dan dia itu perawi yang ditinggalkan"
DALIL KE 7:
Dari riwayat az-Zuhri:
Abdul Razzaq (w. 211 H) dalam al-Mushannaf 2/247 berkata: Ma`mar memberi tahu kami dari Az-Zuhri:
"كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ صَدْرِهِ فِي الدُّعَاءِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ".
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: وَرُبَّمَا رَأَيْتُ مَعْمَرًا يَفْعَلُهُ وَأَنَا أَفْعَلُهُ.
“Rasulullah SAW biasa mengangkat kedua tangannya ke sisi dadanya saat berdoa, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya".
Abdul Razzaq berkata: "Dan terkadang saya melihat Ma`mar melakukannya, dan saya pun ikut melakukannya juga ". [Baca: فَضُّ الوِعَاءِ no. 52].
Hadits ini mursal Shahih.
Abdul Fattaah bin Shaleh Quddaisy al-Yaafi'i berkata:
وَهَذَا مَرْسَلٌ صَحِيحٌ وَالْمَرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْجُمْهُورِ وَغَيْرُ حُجَّةٌ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَبَعْضِ أَهْلِ الْحَدِيثِ إلَّا أَنْ يَعْتَضَدَ بِهِ مَا يُقُوِّيهِ وَهُوَ هُنَا كَذَلِكَ ثُمَّ لَوْ فُرِضَ أَنَّ الْوَارِدَ فِي ذَلِكَ حَدِيثٌ وَاحِدٌ فَقَطُّ وَهُوَ ضَعِيفٌ فَإِنَّ الضَّعِيفَ يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ.
Ini adalah Mursal yang shahih, dan mursal itu hujjah menurut jumhur ulama. Dan bukan hujjah menurut Imam asy-Syafi'i dan sebagian ahli hadits, kecuali didukung oleh riwayat lain yang menguatkannya. Dan hadits ini ada penguatnya juga.
Kemudian jika kita menganggap bahwa hanya ada satu hadits yang disebutkan dalam masalah ini dan hadits tsb lemah, maka hadits yang lemah juga boleh di amalkan dalam Fadho'il al-A'maal sebagaimana yang telah ditetapkan.
DALIL KE 8:
Dari Anas bin Malik:
«ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ - ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺻَﻠَّﻰ ﻭَﻓَﺮَﻍَ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻣَﺴَﺢَ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ: " ﺑِﺴْﻢِ اﻟﻠَّﻪِ اﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ اﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ اﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ، اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ ».
Bahwa Rasulullah SAW setelah selesai dari sholat maka beliau mengusap kepala dengan tangan kanan dan berdoa:
"Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Allah, Maha-Rahman dan Rahim. Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku."
Dalam riwayat lain:
«ﻣَﺴَﺢَ ﺟَﺒْﻬَﺘَﻪُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ اﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ » ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴﻬَﺎ: « اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ »
Nabi mengusap kening/ dahi dan berdoa: "Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku."
[HR. Al-Bazzaar (Kasyful Astaar 'An Zawaa'id al-Bazzaar 4/22 no. 3100)]
Al-Haitsami berkata dalam Majma' az-Zawaa'id 10/110:
ﺭَﻭَاﻩُ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲُّ ﻓِﻲ اﻷْﻭْﺳَﻂِ، ﻭَاﻟْﺒَﺰَّاﺭُ ﺑِﻨَﺤْﻮِﻩِ ﺑِﺄَﺳَﺎﻧِﻴﺪَ، ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺯَﻳْﺪٌ اﻟْﻌَﻤِّﻲُّ، ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺛَّﻘَﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻭَاﺣِﺪٍ، ﻭَﺿَﻌَّﻔَﻪُ اﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ، ﻭَﺑَﻘِﻴَّﺔُ ﺭِﺟَﺎﻝِ ﺃَﺣَﺪِ ﺇِﺳْﻨَﺎﺩَﻱِ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲِّ ﺛِﻘَﺎﺕٌ، ﻭَﻓِﻲ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺧِﻼَﻑٌ.
Diriwayatkan oleh Thabrani dan Bazzar dengan beberapa sanad. Di dalamnya ada Zaid Al-Ammi, lebih dari satu ulama yang mentautsiq nya [menilainya dipercaya] namun kebanyakan ulama menilainya dha'if. Para perawi lainnya dari salah satu dua sanad Thabrani adalah tsiqoot [para perawi yang dipercaya], dan dalam sebagiannya diperselisihkan.
ATSAAR PARA SAHABAT DAN TABI'IIN
DALIL KE 9:
Atsar Ibnu Umar dan atsar Abdullah bin al-Zubair – radhiyallahu 'anhum -:
Al-Imam al-Bukhori dalam kitab al-Adab al-Mufrad - بَابُ: رَفْعُ الْأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ [Bab: Mengangkat tangan dalam berdo'a] - hal. 214 meriwayatkan dengan sanadnya: Dari Abu Nu'aym, dan dia adalah Wahb, yang mengatakan:
رَأَيتُ ابنَ عُمَرَ وابنَ الزُّبَيرِ يَدْعُوانِ يُدِيرَانِ بِالرَّاحَتَينِ عَلَى الوَجْهِ
"Saya melihat Ibnu Umar dan Ibnu al-Zubair berdoa sembil memutarkan kedua telapak tangannya ke wajah."[Al-Adab al-Mufrad hal. 214]
Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Falih dan ayahnya, yaitu Falih bin Suleiman diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Sahihnya dan Bukhori berhujjah dengan kedua perawi tsb.
DALIL KE 10:
Abdurrozzaaq (w. 211 H) dalam kitab haditsnya "al-Mushonnaf 2/252 menuliskan sebuah BAB yang berjudul:
(بَابُ مَسْحِ الرَّجُلِ وَجْهَهُ بِيَدِهِ إذَا دَعَا).
"Bab: Seseorang mengusap wajahnya dengan tangannya ketika selesai berdo'a"
Lalu Abdurrozzaaq menyebutkan Atsar (no. 3256) dari Abdullah bin Umar. Abdurrozzaq berkata:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، «أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، كَانَ يَبْسُطُ يَدَيْهِ مَعَ الْعَاصِ» وَذَكَرُوا أَنَّ مَنْ مَضَى كَانُوا يَدْعُونَ، ثُمَّ يَرُدُّونَ أَيْدِيَهُمْ عَلَى وُجُوهِمْ لَيَرُدُّوا الدُّعَاءَ وَالْبَرَكَةَ "
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: «رَأَيْتُ أَنَا مَعْمَرًا يَدْعُو بِيَدَيْهِ عِنْدَ صَدْرِهِ، ثُمَّ يَرُدُّ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُ وَجْهَهُ»
Dari Ibnu Juraij, dari Yahya bin Sa'id:
Ibnu Umar biasa mengulurkan kedua tangannya dengan Al-'Aas, dan mereka menyebutkan bahwa orang-orang yang telah lalu, mereka biasa berdoa, kemudian membalikkan tangan mereka di wajah mereka ; agar mendapatkan balasan doa dan keberkahan ".
Abd al-Razzaq berkata: “Aku melihat Ma`mar berdoa dengan kedua tangannya di sisi dada, kemudian mengembalikan tangannya lalu mengusap wajahnya.”
DALIL KE 11:
Atsar al-Hasan al-Bashry:
Dan As-Suyuti meriwayatkan dalam “فَضُّ الوِعَاءِ” dari Al-Hasan Al-Bashri: Bahwa dia mengusap wajah dengan tangan setelah berdoa
“Al-Firyabi berkata: Ishaq bin Raahwayh menceritakan kepada kami: Al-Mu`tamar bin Suleiman mengkabarkan kepada kami, dia berkata:
“رَأَيْت أَبَا كَعْب صَاحب الْحَرِير يَدْعُو رَافعا يَدَيْهِ فاذا فرَغ مسَح بهما وَجهَه فَقُلْت لَهُ من رَأَيْت يفعل هَذَا قَالَ الْحسن بن أبي الْحسن"
Saya melihat Abu Ka'b – pemilik al-Hariir - berdoa dengan mengangkat kedua tangannya, dan ketika dia selesai, maka dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Saya bertanya kepadanya: " Siapa yang Anda lihat orang yang melakukan ini?
Dia menjawab: Al-Hasan bin Abu Al-Hasan [Yasaar al-Bashry]
As-Suyuthi berkata: " ISNADNYA HASAN ". [فَضُّ الوِعَاءِ hal. 101-102 no. 59]
Adapun apa yang diriwayatkan dari Imam al-Izz ibnu Abdus-Salam: " bahwa hanya orang bodoh yang mengusap wajah setelah berdoa "
Az-Zarkashi menjawab dalam kitabnya “الأزْهِيَةُ فِي الأَدْعِيَة” tentang itu dengan mengatakan:
وَأَمَّا قَوْلُ الْعِزِّ فِي فَتَاوَيهِ الْمَوْصُولِيَّةِ: مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدِ بِدْعَةٌ فِي الدُّعَاءِ لَا يَفْعَلُهُ إلَّا جَاهِلٌ، فَمُحْمَلٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الْأَحَادِيثِ وَهِيَ وَإنْ كَانَتْ أَسَانِيدُهَا لَيِّنَةٌ لَكِنَّهَا تَقُوَّى بِاجْتِمَاعِ طُرُقِهَا"
Adapun perkataan Al-Izz dalam Fatawaa Al-Maushiliyyah-nya: bahwa Mengusap wajah dengan tangan merupakan bid'ah dalam berdoa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bodoh", maka perkataan dia ini dianggap bahwa dia tidak membaca hadits-hadits tersebut.
Hadits-hadits tsb meskipun sanadnya layyin [lembut], namun bisa menjadi kuat [shahih] dengan menggabungkan jalur-jalurnya ".
[Di kutip dari جُزْءٌ فِي مَسْحِ الوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ karya Bakr Abu Zaid hal. 25]
Imam Al Khathabi Rahimahullah mengomentari perkataan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam yang menyebut “bodoh” orang yang mengusap wajah setelah berdoa, katanya:
وَقَوْل بَعْضِ الْفُقَهَاءِ فِي فَتَاوِيهِ: وَلاَ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَ الدُّعَاءِ إِلاَّ جَاهِلٌ ، مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الأْحَادِيثِ
Pendapat sebagian fuqaha dalam fatwa mereka adalah tidaklah mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa melainkan orang bodoh, bisa jadi bahwa dia belum menelaah masalah ini dalam banyak hadits. (Al Futuhat Ar Rabbaniyah ‘Alal Adzkar, 7/258)
*****
PENDAPAT KEDUA: TIDAK DI SYARI'ATKAN
Yakni : tidak di syari'atkan mengusap wajah setelah berdoa
Sebagian para ulama berpendapat: bahwa mengusap wajah setelah berdoa itu tidak disyariatkan.
Mereka beralasan: bahwa riwayat hadits yang mutawatir dalam sunah doa Nabi SAW kepada Rabb-nya. Tidak terdapat riwayat yang valid bahwa beliau mengusap wajahnya setelah berdoa.
====
BERIKUT INI PERNYATAAN PARA ULAMA DARI KELOMPOK PENDAPAT INI :
----
IBNU AL-MUBAARAK
Al-Bayhaqi meriwayatkan dengan sanad-nya dari Ali Al-Baasyaani yang berkata:
سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الَّذِي إِذَا دَعَا مَسَحَ وَجْهَهُ. قَالَ: “لَمْ أَجِدْ لَهُ ثَبُوتاً. أَيْ مُسْتَنِّداً قَالَ عَلِيٌّ وَلَمْ أَرَهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ".
Saya bertanya kepada Abdullah bin Al-Mubarak tentang orang yang jika dia berdoa, mengusap wajahnya. Dia menjawab: “Saya tidak menemukan ketetapan dalilnya, yakni yang bersanad. Ali berkata: saya tidak melihatnya melakukan itu?".
[Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra (2/212).]
Dan disebutkan dalam kitab Mukhtashar Kitab Al Witr:
وَسُئِلَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ الرَّجُلِ يَبْسُطُ يَدَيْهِ فَيَدْعُو ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ فَقَالَ كَرِهَ ذَلِكَ سُفْيَانُ.
Abdullah -yakni Abdullah bin Al Mubarak- ditanya tentang seorang laki-laki menengadahkan kedua tangannya dia berdoa, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, Beliau menjawab: “Sufyan memakruhkan hal itu.” (Mukhtashar Kitab Al Witr, Hal. 162)
-----
IMAM MALIK:
Imam Ahmad bin Ali Al Muqraizi menceritakan:
وَسُئِلَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ الرَّجُلِ يَمْسَحُ بِكَفَّيْهِ وَجْهَهُ عِنْدَ الدُّعَاءِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ وَقَالَ: "مَا عَلِمْتُ".
Imam Malik Rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdoa, lalu dia mengingkarinya, dan berkata: “Aku tidak tahu.” (Mukhtashar Kitab Al Witri, Hal. 152)
-----
IMAM AHMAD
Ahmad bin Hanbal berkata:
لَا يُعْرَفُ هَذَا، أَنَّهُ كَانَ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بَعْدَ الدُّعَاءِ إلَّا عَنِ الْحَسَنِ.
“Tidak dikenal bahwa beliau SAW mengusap wajahnya setelah berdoa kecuali dari al-Hasan (al-Bashri].” (Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 2/840, 841).
Abu Dawud berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنْ الرَّجُلِ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ إذَا فَرَغَ فِي الْوَتْرِ فَقَالَ: "لَمْ أَسْمَعْ فِيهِ بِشَيْءٍ". وَرَأَيْتُ أَحْمَدَ لَا يَفْعَلُهُ. أهـ
Saya mendengar Ahmad dan dia ditanya tentang seorang pria yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika dia selesai shalat witir ? Lalu dia menjawab: " saya tidak mendengar apa-apa tentang itu". Dan saya melihat Imam Ahmad tidak melakukannya.
[Baca: Mukhtashar Kitab al-Witir karya Al-Muqraizi (1/152)].
------
IZZUDDIN BIN ABDUS SALAM
Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam dalam Fatawaa Al-Maushiliyyah-nya menyatakan:
وَلَا يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِيبَ الدُّعَاءِ إلَّا جَاهِلٌ.
“Tidak ada yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya setelah berdoa kecuali orang yang bodoh.” (Fatawa Al-Iz bin Abdus Salam, hal. 47).
Dalam riwayat lain:
مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدِ بِدْعَةٌ فِي الدُّعَاءِ لَا يَفْعَلُهُ إلَّا جَاهِلٌ.
“Bahwa Mengusap wajah dengan tangan merupakan bid'ah dalam berdoa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bodoh".
[Faidhul Qadir karya al-Munawi 1/473 dan Mughni Muhtaj, 2/360]
Az-Zarkashi menjawab dalam kitabnya “الأزْهِيَةُ فِي الأَدْعِيَة” tentang pernyataan al-Izz dengan mengatakan:
وَأَمَّا قَوْلُ الْعِزِّ فِي فَتَاوَيهِ الْمَوْصُولِيَّةِ: "مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدِ بِدْعَةٌ فِي الدُّعَاءِ لَا يَفْعَلُهُ إلَّا جَاهِلٌ، فَمُحْمَلٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الْأَحَادِيثِ وَهِيَ وَإِنْ كَانَتْ أَسَانِيدُهَا لَيِّنَةٌ لَكِنَّهَا تَقُوَّى بِاجْتِمَاعِ طُرُقِهَا".
Adapun perkataan Al-Izz dalam Fatawaa Al-Maushiliyyah-nya: bahwa Mengusap wajah dengan tangan merupakan bid'ah dalam berdoa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bodoh", maka perkataan dia ini dianggap bahwa dia tidak membaca hadits-hadits tersebut.
Hadits-hadits tsb meskipun sanadnya layyin [lembut], namun bisa menjadi kuat [shahih] dengan menggabungkan jalur-jalurnya ".
[Di kutip dari جُزْءٌ فِي مَسْحِ الوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ karya Bakr Abu Zaid hal. 25]
-----
IBNU TAIMIYAH
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ، وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ، أَوْ حَدِيثَانِ، لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Ada pun Nabi SAW mengangkat kedua tangan ketika berdoa, hal itu telah diterangkan dalam banyak hadits shahih, sedangkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, maka tidak ada yang menunjukkan hal itu kecuali satu hadits atau dua hadits yang keduanya tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu A’lam
(Al Fatawa Al Kubra, 2/219, Majmu’ Al Fatawa, 22/519, Iqamatud Dalil ‘Ala Ibthalit Tahlil, 2/408)
-----
SHOLEH FAUZAN
Syaikh Sholeh Al Fauzan ditanya: “Apa hukum mengusap wajah setelah berdo’a?”
Jawaban beliau: “Hadits yang membicarakan amalan tersebut tidak shahih.
Namun siapa yang mengamalkan hal ini tidak perlu diingkari. Akan tetapi, yang tidak mengusap wajah setelah berdo’a, itulah yang ahsan (lebih baik).”
[Sumber: Sesi Tanya Jawab, Durus Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 25 Rabi’ul Awwal 1432 H, Riyadh-KSA]
-----
AL-ALBAANI
Dan syeikh al-Albaani rahimahullah berkata:
"وَمِمَّا يُؤَيِّدُ عَدَمَ مَشْرُوعِيَّتِهِ [أَيْ مَسْحِ الْوَجْهِ] أَنَّ رَفْعَ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ قَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَلَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْهَا مَسْحُهُمَا بِالْوَجْهِ فَذَلِكَ يَدُلُّ – إنْ شَاءَ اللَّهُ – عَلَى نَكَارَتِهِ وَعَدَمِ مَشْرُوعِيَّتِهِ آهٍ.".
Dan yang mendukung tidak disyariatkan-nya [yaitu mengusap wajah] adalah bahwa mengangkat tangan dalam berdoa telah disebutkan dalam banyak hadits shahih, akan tetapi tidak ada satupun dari hadits-hadits tsb yang menyebutkan "mengusap wajah dengan kedua tangannya", maka ini menunjukkan - insya Allah – akan kemungkarannya dan tidak di syariatkan-nya. [Baca: Irwa al-Ghalil (2/182)]
*****
HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHA'IF
Ada tiga pendapat:
PENDAPAT PERTAMA:
Hadits Dha’if Boleh Diamalkan secara mutlak, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’maupun Fadloilul a’maal [فَضَائِلُ الأعْمَالِ] akan tapi dengan Syarat –syarat tertentu:
Ada Sebagian ulama yang membolehkan secara mutlak, Yakni tidak ada batasan pada hadits dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’, Fadloilul a’maal (فَضَائِلُ الأعْمَالِ) dsb.
Semuanya diperbolehkan, tapi DENGAN SYARAT sbb :
1. Tidak ada satupun dalil shahih mengenai suatu bab kecuali hadits dha’if tersebut
2. dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya / bertentangan.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Daud, Imam Ahmad, Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Rahman bin Mahdi, dan Sufyan Al-Thawri, Ibnu Abdil Barr, semoga Allah merahmatinya.
[Baca: (الفتوحات الربانية) (1/182) حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ karya Abdul Khaliq hal 3]
PENDAPAT KEDUA:
Hadits Dha’if Hanya BOLEH Diamalkan dalam Fadhoil A'maal [فَضَائِلُ الأعْمَالِ] dengan Syarat-Syarat Tertentu
Imam An-Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori, dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menukil: kesepakatan JUMHUR ULAMA dan FUQOHA atas pendapat yang membolehkan pengamalan hadits dha’if dalam fadhoil a'maal.
Pendapat ini dijadikan pedoman oleh banyak para imam, diantaranya: Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Imam Al Luknawi, Imam Ahmad, Abu Zakariya, dan Ibnu Mahdi. [Baca: Abdul Khaliq, حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ, hlm 3]
Imam Ahmad menuturkan pendapat beliau sebagi berikut:
اِذَا رَاوَيْنَا فِى الحَلاَلِ وَالحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِى الفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا
Artinya: “Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam masalah halal dan harom kami bersikap tegas, dan jika kami meriwayatkan (hadits) dalam fadhoil dan semisalnya kami bermudah-mudah”. [Baca: Abdul Khaliq, حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ, hlm 3].
Imam Al-Zarkashi Al-Syafi'i mengatakan dalam bukunya “النُّكَتُ عَلَى مُقَدِّمَةِ ابْنِ الصَّلَاحِ.”:
: أجمع أهل الحَدِيث وَغَيرهم على الْعَمَل فِي الْفَضَائِل وَنَحْوهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ حكم وَلَا شَيْء من العقائد وصفات الله تَعَالَى بِالْحَدِيثِ الضَّعِيف فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ، إِذا علمت هَذَا فقد نَازع بعض الْمُتَأَخِّرين وَقَالَ جَوَازه مُشكل، فَإِنَّهُ لم يثبت عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، فإسناد الْعَمَل إِلَيْهِ يُوهم ثُبُوته وَيُؤَدِّي إِلَى ظن من لَا معرفَة لَهُ بِالْحَدِيثِ الصِّحَّة فينقلونه ويحتجون بِهِ، وَفِي ذَلِك تلبيس، قَالَ: وَقد نقل بعض الْأَثْبَات عَن بعض تصانيف الْحَافِظ أبي بكر بن الْعَرَبِيّ الْمَالِكِي أَنه قَالَ: إِن الحَدِيث الضَّعِيف لَا يُعْمل بِهِ مُطلقًا. اهـ
Para ulama ahli hadits dan yang lainnya dulu telah ber Ijma’ [bersuara bulat] akan bolehnya mengamalkan hadits-hadits Dhoif dalam Fadloilul a’maal (فَضَائِلُ الأعْمَالِ) dan yang semisalnya, selama mengamalkan hadits dhoif tsb tidak berkaitan dengan hukum syar’i dan juga bukan hal-hal yang berkaitan dengan Aqidah serta sifat-siafat Allah Ta’aala
Jika mengetahui hal ini, maka sungguh setelah masa itu ada sebagian ulama dari generasi akhir yang memprotesnya dan mengatakan bahwa jika hal tsb diperbolehkan, maka itu bermasalah, dengan alasan bahwa yang namanya hadits dhoif itu hadits yang tidak valid datang dari Nabi SAW. Maka menyandarkan dalil sebuah amalan kepadanya akan memberi kesan kevalidan hadits tsb. Dan dampaknya adalah terhadap orang-orang yang tidak faham ilmu hadits, mereka mengira bahwa hadits tsb Shahih, lalu mereka menyebarkannya dan berhujjah dengannya. Dan yang demikian itu adalah bentuk pengelabuan.
Dia berkata: “Ada beberapa orang-orang yang kokoh lagi di percaya menukil dari sebagian karya-karya Hafidz Abu Bakr bin Al-Arabi Al-Maliki bahwa dia mengatakan: Hadis yang lemah itu tidak boleh diamalkan sama sekali”. SELESAI
PENDAPAT KE TIGA:
Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan Secara Mutlak
Yakni: pendapat ke tiga ini tidak membolehkan pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam masalah hukum syari’, aqidah, fadhoil amal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati.
Ini adalah pendapat: Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in, Abu Bakr ibnu al-Arabi al-Maaliki, Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm –rahimahullahu- dan lain-lain.
Baca: [Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113 dan Abdul Khaliq, حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ, hlm 3]
IMAM BUKHORI: Benarkah beliau melarang pengamalan hadits dho'if ?
Ada yang mengatakan:
“Bahwa dalam pembahasan ini, tidak ada satupun kitab yang mencantumkan penjelasan Imam Bukhori dan Imam Muslim yang melarang pengamalan hadits dha’if.
Para ulama hanya menyimpulkan kecenderungan Imam Bukhori dan imam Muslim kepada pendapat ini setelah melihat kitab shahih mereka berdua yang seluruh haditsnya shahih".
0 Komentar