HUKUM PERBEDAAN RUYAH HILAL RAMADHAN DAN DZULHIJJAH DAN HUKUM PUASA DI HARI YANG MERAGUKAN ANTARA HARI ARAFAH DAN IED ALADLHA
Di susun Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
PERTAMA: HUKUM PERBEDAAN RUYAH HILAL RAMADHAN DAN DZULHIJJAH
====
FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIIN:
Fatwa ke 1:
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya terkait dengan perbedaan hari Arafah karena perbedaan daerah akan terbitnya hilal, maka apakah kita berpuasa dengan mengikuti rukyahnya negara yang kita berada di dalamnya atau kita berpuasa mengikuti rukyahnya Al Haramain ?
Beliau yang terhormat menjawab:
هَذَا يُبْنَى عَلَى اخْتِلَافِ أَهْلِ الْعِلْمِ: هَلْ الْهِلَالُ وَاحِدٌ فِي الدُّنْيَا كُلِّهَا أَمْ هُوَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْمُطَالِعِ؟
وَالصَّوَابُ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْمُطَالِعِ، فَمِثْلًا إِذَا كَانَ الْهِلَالُ قَدْ رُؤِيَ بِمَكَّةَ، وَكَانَ هَذَا الْيَوْمُ هُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ، وَرُئِيَ فِي بَلَدٍ آخَرَ قَبْلَ مَكَّةَ بِيَوْمٍ وَكَانَ يَوْمَ عَرَفَةَ عِنْدَهُمْ الْيَوْمَ الْعَاشِرَ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَصُومُوا هَذَا الْيَوْمَ لِأَنَّهُ يَوْمُ عِيدٍ، وَكَذَلِكَ لَوْ قُدِّرَ أَنَّهُ تَأَخَّرَتِ الرُّؤْيَةُ عَنْ مَكَّةَ وَكَانَ الْيَوْمَ التَّاسِعَ فِي مَكَّةَ هُوَ الثَّامِنُ عِنْدَهُمْ، فَإِنَّهُمْ يَصُومُونَ يَوْمَ التَّاسِعِ عِنْدَهُمْ الْمُوَافِقَ لِيَوْمِ الْعَاشِرِ فِي مَكَّةَ، هَذَا هُوَ الْقَوْلُ الرَّاجِحُ، لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ (إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا) وَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ لَمْ يُرَ فِي جِهَتِهِمْ لَمْ يَكُونُوا يَرَوْنَهُ، وَكَمَا أَنَّ النَّاسَ بِالْإِجْمَاعِ يَعْتَبِرُونَ طُلُوعَ الْفَجْرِ وَغُرُوبَ الشَّمْسِ فِي كُلِّ مَنْطِقَةٍ بِحَسْبِهَا، فَكَذَلِكَ التَّوْقِيتُ الشَّهْرِيُّ يَكُونُ كَالتَّوْقِيتِ الْيَوْمِيِّ. [مَجْمُوعُ الْفَتَاوَى 20]
“Hal ini didasarkan pada perbedaan pendapat para ulama, apakah satu hilal untuk seluruh dunia atau hilal itu berbeda sesuai dengan perbedaan terbitnya ?”
Yang benar adalah:
Hilal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat terbitnya, misalnya jika hilal itu sudah terlihat di Makkah, dan hari tersebut adalah tanggal 9, dan hilal sudah terlihat di negara lain satu hari sebelum Makkah, dan hari Arafah bagi mereka adalah tanggal 10, maka mereka tidak boleh berpuasa pada hari tersebut; karena hari itu adalah hari raya.
Demikian juga ketika hilal di Makkah terlambat untuk bisa dilihat, dan hari tersebut tanggal 8 bagi mereka, maka mereka berpuasa pada hari ke-9 bagi mereka yang bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah, inilah pendapat yang lebih kuat; karena Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا.
“Jika kalian telah melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya maka berbukalah (hari raya)”.
Mereka yang tidak melihat dari arah mereka, maka mereka belum melihatnya sebagaimana orang-orang yang telah melakukan ijma’ dengan menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari di setiap daerah sesuai dengan waktunya masing-masing, maka demikian juga penentuan waktu bulanan sama seperti waktu harian”. (Majmu’ Al Fatawa: 20)
------
Fatwa ke 2:
Dan Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya pula oleh sebagian pegawai kedutaan negara Saudi yang ada di salah satu negara:
“Di sini kami mengalami (perbedaan) khususnya pada bulan Ramadhan yang penuh berkah dan puasa Arafah, karena di sana orang-orang terbagi menjadi tiga golongan:
Sebagian mengatakan: “Kita berpuasa dan berhari raya bersamaan dengan puasanya Saudi”.
Sebagian lainnya mengatakan: “Kita berpuasa dan berhari raya bersama dengan negara yang menjadi tempat kita tinggal”.
Sebagian lainnya mengatakan: “Kita berpuasa Ramadhan bersama dengan negara tempat tinggal kita, adapun hari Arafah maka bersamaan dengan Saudi Arabia”.
Atas dasar itulah maka saya berharap dari Anda yang terhormat untuk menjawab dengan lengkap dan terperinci terkait dengan puasa Ramadhan yang penuh berkah dan hari Arafah di sertai dengan isyarat bahwa negara….sepanjang lima tahun belakangan ini tidak sesuai dengan Saudi dalam hal puasa Ramadhan dan puasa Arafah, negara tersebut memulai puasa Ramadhan lebih lambat satu, dua atau bahkan terkadang tiga hari setelah Saudi”.
Beliau menjawab:
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللَّهُ فِيمَا إِذَا رُؤِيَ الْهِلَالُ فِي مَكَانٍ مِنْ بُلَادِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ غَيْرِهِ، هَلْ يَلْزَمُ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ الْعَمَلُ بِهِ، أَمْ لَا يَلْزَمُ إِلَّا مَنْ رَأَوْهُ وَمَنْ وَافَقَهُمْ فِي الْمُطَالِعِ، أَوْ مَنْ رَأَوْهُ، وَمَنْ كَانَ مَعَهُمْ تَحْتَ وِلَايَةٍ وَاحِدَةٍ، عَلَى أَقْوَالٍ مُتَعَدِّدَةٍ، وَفِيهِ خِلَافٌ آخَرَ.
وَالرَّاجِحُ أَنَّهُ يَرْجِعُ إِلَى أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ، فَإِنْ اتَّفَقَتْ مُطَالِعُ الْهِلَالِ فِي الْبَلَدَيْنِ صَارَا كَالْبَلَدِ الْوَاحِدِ، فَإِذَا رُؤِيَ فِي أَحَدِهِمَا ثُبِتَ حُكْمُهُ فِي الْآخَرِ، أَمَّا إِذَا اخْتَلَفَتْ الْمُطَالِعُ فَلِكُلِّ بَلَدٍ حُكْمُ نَفْسِهِ، وَهَذَا اخْتِيَارُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَهُوَ ظَاهِرُ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمُقْتَضَى الْقِيَاسِ:
أَمَّا الْكِتَابُ فَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) فَمَفْهُومُ الْآيَةِ: أَنَّ مَنْ لَمْ يُشَهِّدْهُ لَمْ يَلْزَمْهُ الصَّوْمُ.
وَأَمَّا السُّنَّةُ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا) مَفْهُومُ الْحَدِيثِ إِذَا لَمْ نَرَهُ لَمْ يَلْزَمِ الصَّوْمُ وَلَا الْفِطْرُ.
وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَلِأَنَّ الْإِمْسَاكَ وَالْإِفْطَارَ يُعْتَبَرَانِ فِي كُلِّ بَلَدٍ وَحْدَهُ وَمَا وَافَقَهُ فِي الْمُطَالِعِ وَالْمَغَارِبِ ، وَهَذَا مَحَلُّ إِجْمَاعٍ ، فَتُرَى أَهْلُ شَرْقِ آسِيَا يَمْسَكُونَ قَبْلَ أَهْلِ غَرْبِهَا وَيُفْطِرُونَ قَبْلَهُمْ ، لِأَنَّ الْفَجْرَ يَطْلُعُ عَلَى أَوَّلِئِكَ قَبْلَ هَؤُلَاءِ ، وَكَذَلِكَ الشَّمْسُ تَغْرُبُ عَلَى أَوَّلِئِكَ قَبْلَ هَؤُلَاءِ ، وَإِذَا كَانَ قَدْ ثَبَتَ هَذَا فِي الْإِمْسَاكِ وَالْإِفْطَارِ الْيَوْمِيِّ فَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ الشَّهْرِيِّ وَلَا فَرْقَ.
وَلَكِنْ إِذَا كَانَ الْبِلَدَانِ تَحْتَ حُكْمٍ وَاحِدٍ وَأَمَرَ حَاكِمُ الْبِلَادِ بِالصَّوْمِ ، أَوْ الْفِطْرِ وَجَبَ اِمْتِثَالُ أَمْرِهِ ؛ لِأَنَّ الْمَسْأَلَةَ خِلَافِيَّةٌ ، وَحُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ.
وَبِنَاءً عَلَى هَذَا صُومُوا وَأَفْطِرُوا كَمَا يَصُومُ وَيُفْطِرُ أَهْلُ الْبَلَدِ الَّذِي أَنْتُمْ فِيهِ سَوَاءٌ وَافَقَ بَلَدُكُمُ الْأَصْلِيُّ أَوْ خَالَفَهُ ، وَكَذَلِكَ يَوْمَ عَرَفَةَ اتَّبِعُوا الْبَلَدَ الَّذِي أَنْتُمْ فِيهِ. " [مَجْمُوعُ الْفَتَاوَى 19].
“Para ulama –rahimahumullah- berbeda pendapat menjadi banyak pendapat terkait dengan hilal yang sudah terlihat pada suatu tempat di negara kaum muslimin namun tidak terlihat pada negara lainnya, apakah semua umat Islam wajib mengamalkannya atau tidak, kecuali bagi mereka yang melihatnya saja dan negara yang satu mathla’ (tempat terbit) dengan mereka, atau berlaku bagi mereka yang telah melihatnya dan mereka yang berada di bawah satu wilayah dengan mereka.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah dikembaikan kepada para ulama, jika tempat terbitnya hilal pada dua negara sama, maka kedua negara tersebut seperti satu negara, jika hilal sudah terlihat di salah satu negara tersebut maka hukumnya juga berlaku pada negara sebelahnya. Adapun jika tempat terbitnya berbeda maka setiap negara menentukan masing-masing, pendapat ini yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dan hal itu sesuai dengan teks Al Qur’an dan Sunnah dan tuntutan qiyas:
Adapun menurut Al Qur’an sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al Baqarah: 185)
Maka dalam konteks ayat ini maksudnya bagi mereka yang belum hadir/menyaksikan (hilal) maka belum wajib berpuasa.
Adapun menurut As Sunnah maka Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا.
“Jika kalian telah melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya maka berbukalah (hari raya)”.
Dalam konteks hadits ini bahwa jika kita belum melihatnya maka belum wajib berpuasa dan berhari raya.
Adapun menurut qiyas; karena menahan (memulai puasa) dan berhari raya menganggap pada setiap satu negara dan tempat terbit dan terbenamnya sama dengannya menjadi tempat bertemunya titik ijma’, maka penduduk Asia Tenggara akan melihat dan memulai puasa terlebih dahulu dari pada penduduk yang ada di sebelah barat mereka dan mereka pun akan berhari raya lebih dahulu di bandingkan dengan penduduk sebelah barat mereka tersebut; karena fajar akan terbit terbih dahulu kepada mereka; demikian juga matahari akan terbenam terlebih dahulu kepada mereka dibandingkan dengan penduduk negara yang ada di sebelah barat mereka, jika hal itu telah ditetapkan pada awal puasa dan berbuka setiap harinya, maka mengawali dan mengakhiri puasa di awal dan akhir bulan pun sama tidak ada bedanya.
Akan tetapi jika beberapa negara berada di bawah satu kepemimpinan, dan penguasanya telah memerintahkan untuk berpuasa kepada mereka semua atau berhari raya maka wajib dilaksanakan; karena masalah ini termasuk masalah khilafiyah dan ketentuan hakim memutus khilafiyah tersebut.
Atas dasar itulah maka, berpuasalah dan berhari rayalah kalian sebagaimana puasa dan hari raya di negara mana anda berada, baik harinya sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda dengan negara asal kalian, demikian juga pada puasa Arafah ikutilah negara di mana kalian berdomisili di dalamnya”. (Majmu’ Al Fatawa: 19)
*****DALIL RUYAH HILAL MENGIKUTI MASING-MASING MATHLA' [LOKASI PENAMPAKAN]
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan: Dari Muhammad bin Abu Harmalah dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Bahwasanya; Ummul Fadhl binti Al Harits mengutusnya menghadap Mu'awiyah di Syam.
Kuraib berkata;
Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum'at.
Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan. Maka [Abdullah bin Abbas] bertanya kepadaku tentang hilal.
Ia bertanya: "Kapan kalian melihatnya?"
Aku menjawab: "Kami melihatnya pada malam Jum'at."
Ia bertanya lagi: "Apakah kamu yang melihatnya?"
Aku menjawab: "Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu'awiyah."
Ibnu Abbas berkata: "Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kamipun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal."
Aku pun bertanya: "Tidakkah cukup bagimu untuk mengikuti ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?"
Ia menjawab: "Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada kami."
[HR. Muslim no. 1819]
----
FIQIH HADITS:
Dalil-dalil yang bisa diambil dari hadits tersebut terlihat dalam poin-poin berikut:
1- أَنَّ الْمُسْلِمِينَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ دَوْلَةٌ وَاحِدَةٌ وَمُعَاوِيَةُ خَلِيفَتُهُمْ، وَابْنُ عَبَّاسٍ مِمَّنْ يَقْرُونَ ذَلِكَ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ اخْتِلَافُ الْمُطَالِعِ مُعْتَبَرًا لَمَا وَسَعَهُمْ خِلَافُهُ.
1- Kaum Muslimin pada waktu itu adalah satu negara, dan Muawiyah adalah khalifah mereka, dan Ibnu Abbas adalah termasuk mereka yang menyetujui itu. Jika seandainya perbedaan mathla' [penampakan hilal] tidak mu'tabar [signifikan], maka tentunya bagi mereka tidak ada ruang untuk menyelisihinya.
2- أَنَّ كُرَيبًا أَخْبَرَ ابْنَ عَبَّاسَ بِأَنَّهُ رَأَى الشَّهْرَ وَرَأَاهُ النَّاسُ مَعَهُ فَصَامَ وَصَامُوا وَلَمْ يَأْخُذْ ابْنُ عَبَّاسٍ بِرُؤْيَتِهِ، وَكَرِيبٌ تَابِعِيٌّ جَلِيلٌ مِنْ أَفْضَلِ مَنْ رَوَى عَنْ ابْنِ عَبَّاسَ وَغَيْرِهِ مِنْ الصَّحَابَةِ، وَقَدْ خَرَجَتْ لَهُ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ فِي الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ وَغَيْرِهِمَا.
2- Bahwa Kuraib telah memberi tahu Ibnu Abbas bahwa dia melihat hilal dan orang – orang pun melihatnya bersamanya, maka dia berpuasa dan mereka juga berpuasa. Akan tetapi Ibnu Abbas tidak mengambil hasil Ru'yah Hilal Kuraib.
Padahal Kuraib adalah seorang Tabi'ii yang Mulia, dia adalah perawi terbaik yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sahabat lainnya. Dan bagi Kuraib banyak hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya.
3- أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسَبَ الْأَمْرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ عَلِيمٌ بِمَدْلُولِ اللَّفْظِ وَبِخَطُورَةِ نِسْبَةِ شَيْءٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَقُلْ بِهِ نَصًا أَوْ مَضْمُونًا.
3- Ibnu Abbas berkata: " Begitu-lah Rasulullah ﷺ memerintahkan kita ". Jadi dia menisbatkan perintah itu kepada Rasulullah ﷺ. Dan dia menyadari akan arti ucapan dan bahayanya menisbatkan sesuatu kepada Nabi ﷺ yang beliau sendiri tidak pernah mengatakannya, baik secara tekstual maupun tersirat.
4- اخْتِلافُ زَمَنِ غُرُوبِ الشَّمْسِ بَيْنَ أَهْلِ الشَّامِ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ طَوِيلٌ، كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ.
4- Perbedaan waktu terbenamnya matahari antara penduduk Syam dan penduduk Madinah adalah panjang, sebagaimana yang sudah maklum dan diketahui.
وَعَلَيْهِ، فَلَا لَوْمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي بِدَايَةِ الصَّوْمِ وَنِهَايَتِهِ، وَفِي تَحْدِيدِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ الْعِيدِ مَا دَامَتْ مُطَالِعُهُمْ مُخْتَلِفَةً، لِأَنَّ الْعَبْرَةَ فِي دُخُولِ الشَّهْرِ بِالرُّؤْيَةِ أَوْ بِإِتْمَامِ الشَّهْرِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا.
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada celaan terhadap umat Islam yang berselisih tentang awal dan akhir bulan puasa, dan dalam menentukan hari Arafah dan hari raya Idul Adlha selama penampakan hilal pada mereka berbeda, karena yang mu'tabar dalam memasuki bulan adalah dengan ru'yah hilal atau melengkapi bulan menjadi tiga puluh hari.
وَيَكُونُ يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ الْعِيدِ بَالنِّسْبَةِ لِمَنْ بِمَكَّةَ غَيْرَ يَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ الْعِيدِ بَالنِّسْبَةِ لِغَيْرِهِمْ مَمَّنْ يَخْتَلِفُ مُطْلَعُهُمْ عَنْهُمْ كَالشَّامِ أَوْ غَيْرِهَا، وَإِذَا تَأَخَّرَتْ رُؤْيَتُهُمْ لِلْهِلَالِ عَنْ رُؤْيَةِ أَهْلِ مَكَّةَ مُثَلًّا فَلَا يُقَالُ إِنَّهُمْ صَامُوا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي يَوْمِ الْعِيدِ وَصَوْمُهُمْ مَمْنُوعٌ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ يَوْمُ الْعِيدِ عِنْدَهُمْ حَتَّى يُقَالَ عَنْهُمْ إِنَّهُمْ صَامُوا يَوْمَ الْعِيدِ.
Maka dengan demikian hari Arafah dan hari Idul Adlha bagi orang-orang di Mekah bukanlah hari Arafah dan hari raya Idul Adlha bagi yang lainnya yang berbeda mathla'-nya [tempat kemunculan hilalnya], seperti Syam atau lainnya.
Dan jika penampakan hilal mereka lebih lambat dari ru'yah hilal penduduk Mekkah, misalnya, maka tidak dikatakan: " puasa Arafah pada hari raya Idul Adlha, dan puasa mereka diharamkan ", karena di daerah mereka belum masuk hari raya Idul Adlha, maka tidak bisa dikatakan tentang mereka: " bahwa mereka berpuasa pada hari raya Idul Adlha".
وَأَمَّا أَهْلُ الْبَلَدِ الْوَاحِدِ الْمُتَّحِدُ الْمُطْلَعُ فَيَلْزَمُهُمْ أَنْ يَتَحَدَّوْا فِي الصَّوْمِ وَالْعِيدِ إذَا رَأَوْا الْهِلَالَ أَوْ أَتَمُّوا الشَّهْرَ فَيَصُومُوا أَوْ يَضْحَوْا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ بِاعْتِبَارِ ثُبُوتِ الْهِلَالِ لَدَيْهِمْ، أَوْ إِكْمَالِ عِدَّةِ الشَّهْرِ.
Dan adapun penduduk dalam satu negeri yang satu MATHLA' Hilal, maka mereka wajib bersatu pada saat puasa dan berhari Raya jika mereka melihat hilal atau bilangan hari dalam sebulan telah sempurna 30 hari, maka mereka semua harus berpuasa atau berkurban bagi yag mau berkurban pada satu hari yang sama, karena telah ditetapkannya hilal yang mu'tabar bagi mereka. Atau mereka melengkapi bilangan bulan sebelumnya 30 hari.
وَلَا يَصِحُّ أَنْ يُوَافِقُوا أَهْلَ الْبَلَدِ الْآخَرِ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَخْتَلِفُوا وَيَتَفَرَّقُوا فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، لِمَا ثَبَتَ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْإِفْطَارُ يَوْمَ تَفْطُرُونَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
Dan tidak shah jika mereka mengikuti ketetapan hilal penduduk negeri yang lain. Dan tidak benar mereka saling berselisih dan bercerai berai dalam hal ini, karena telah ada ketetapan dalam Sunan Abi Dawud bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Puasa adalah di hari kalian berpuasa, berbuka adalah di hari kalian berbuka, dan Hari raya Iedul Al-Adha adalah di hari kalian berqurban ".
وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَتَمَّ الشَّهْرُ عِنْدَهُمْ، وَلَمْ يَرَوْا الْهِلَالَ، وَأَعْلَنَ غَيْرُهُمْ عَنْ دُخُولِ الشَّهْرِ أَوْ خُرُوجِهِ مَمَّنْ يُخَالِفُونَهُمْ فِي الْمُطْلَعِ، وَأَخَذَ بَعْضُ النَّاسِ بِرُؤْيَتِهِمْ أَخْذًا بِمَذْهَبِ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ الْقَائِلِ بِعَدَمِ اعْتِبَارِ اخْتِلَافِ الْمُطَالِعِ، فَقَدَّمَ صَوْمَهُ أَوْ فَطَرَهُ مَعَهُمْ قَبْلَ أَهْلِ بَلَدِهِ فَلَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ آخِذٌ بِقَوْلِ مُعْتَبَرٍ لِأَهْلِ الْعِلْمِ.
Tetapi jika bulan itu belum genap 30 hari bagi mereka, dan mereka tidak melihat hilal, dan sebagian lainnya mengumumkan telah masuk atau keluarnya bulan dari orang-orang yang berbeda dengan mereka dalam MATHLA' hilalnya, dan sebagian orang mengambil ruyah hilal mereka, - dengan mengambil pendapat mayoritas para ulama Fiqih yang mengatakan bahwa perbedaan tempat-tempat mathla' itu tidak mu'tabar [tidak dianggap], lalu dia memajukan puasanya atau berbuka puasa bersama mereka, mendahului orang-orang yang di negerinya, maka yang demikian itu tidak boleh diingkari, karena dia telah mengambil pendapat yang mu'tabar dari orang-orang yang berilmu.
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْأَمْرَ فِيهِ سَعَةٌ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kesimpulannya, bahwa masalah ini adalah luas, al-Hamdulillah. Wallaahu a'lam
*****HUKUM PUASA DI HARI YANG MERAGUKAN ANTARA HARI ARAFAH DAN IED AL-ADLHA
Masalah keraguan di sini ada dua macam keraguan:
====MACAM KERAGUAN PERTAMA:
أَنْ يَكُونَ الشَّكُّ مُسْتَنِدًا إِلَى قَرَائِنَ مُجَرَّدَةٍ، أَوْ إِلَى شَهَادَةٍ مِنْ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ: إِمَّا لِانْفِرَادِهِ بِالرُّؤْيَةِ أَوْ لِكَوْنِهِ مِمَّنْ لَا يُجَوَّزُ قَبُولُ قَوْلِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Artinya: Keragu-raguan yang didasarkan hanya pada alibi-alibi [qarinah], atau atas kesaksian seseorang yang kesaksiannya tidak bisa diterima, baik disebabkan karena ia seorang diri dalam melihat ru'yah hilal atau karena ia termasuk orang yang perkataannya tidak dapat diterima, atau yang semisal itu.
-----
FATWA IBNU TAIMIYAH:
Syekh Islam Taqiyud-Din Ibnu Taymiyyah - semoga Allah SWT merahmatinya - menyebutkan hal ini dalam Majmu' Fatawa:
وَصَوْمُ الْيَوْمِ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ: هَلْ هُوَ تَاسِعُ ذِي الْحِجَّةِ؟ أَوْ عَاشِرُ ذِي الْحِجَّةِ؟
Puasa pada hari Syak [yang ragukan]: apakah hari tersebut tanggal sembilan Dzulhijjah? Atau tanggal sepuluh Dzulhijjah?
JAWAB:
جَائِزٌ بِلَا نِزَاعٍ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمَ الْعَاشِرِ، كَمَا أَنَّهُمْ لَوْ شَكُّوا لَيْلَةَ الثَّلَاثِينَ مِنْ رَمَضَانَ هَلْ طَلَعَ الْهِلَالُ أَمْ لَمْ يَطْلُعْ؟ فَإِنَّهُمْ يَصُومُونَ ذَلِكَ الْيَوْمَ الْمُشْكُوكَ فِيهِ بِاتِّفَاقِ الْأُئِمَّةِ، وَإِنَّمَا يَوْمُ الشَّكِّ الَّذِي رُوِيَتْ فِيهِ الْكَرَاهَةُ هُوَ الشَّكُّ فِي أَوَّلِ رَمَضَانَ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ شَعْبَانَ. أ. هـ.
Bahwa puasa pada hari ini dalam keadaan seperti ini; diperbolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Karena pada hukum asal-nya bahwa itu bukan yang hari kesepuluh, sebagaimana jika mereka ragu pada malam tanggal tiga puluh Ramadhan, apakah hilal Syawal itu telah terbit atau tidak? Maka mereka boleh berpuasa pada hari itu berdasarkan kesepakatan para imam.
Adapun hari Syakk [keraguan] yang diriwayatkan bahwa berpuasa di dalamnya adalah makruh, itu adalah hari keraguan pada awal Ramadhan, karena pada hukum asalnya adalah bahwa bulan Sya'ban belum berakhir. [Baca Majmu' Fatawaa Ibnu Taimiyah 25/202-204].
Dan dalam Majmu' Fatawa 25/ 202-204 di sebutkan pula jawaban Syekh al-Islam Ibnu Taymiyyah atas pertanyaan berikut ini:
" وَسُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ - رَحِمَهُ اللَّهُ - عَنْ أَهْلِ مَدِينَةٍ رَأَى بَعْضُهُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ، وَلَمْ يَثْبُتْ عِنْدَ حَاكِمِ الْمَدِينَةِ، فَهَلْ لَهُمْ أَنْ يَصُومُوا الْيَوْمَ الَّذِي فِي الظَّاهِرِ التَّاسِعَ وَإِنْ كَانَ فِي الْبَاطِنِ الْعَاشِرَ؟"
Syekh Islam - semoga Allah merahmatinya - ditanya tentang penduduk Madinah, sebagian di antara mereka melihat hilal [bulan sabit] Dzul-Hijjah, akan tetapi itu tidak ditetapkan oleh gubernur Madinah, lalu apakah bagi mereka boleh berpuasa pada hari yang nampak terlihat hilal pada tanggal sembilan, meskipun yang sebenarnya adalah yang kesepuluh namun tidak nampak?
Beliau menjawab:
نَعَمْ، يَصُومُونَ الْتَّاسِعَ فِي الظَّاهِرِ الْمَعْرُوفِ عِنْدَ الْجَمَاعَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ يَكُونُ عَاشِرًا، وَلَوْ قُدِّرَ ثُبُوتُ تِلْكَ الرُّؤْيَا، فَإِنَّ فِي السُّنَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تَفْطُرُونَ، وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تَضْحُونَ " أُخْرِجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "الْفِطْرُ يَوْمَ يَفْطُرُ النَّاسُ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ"؛ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَعَلَى هَذَا الْعَمَلِ عِنْدَ أُئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلِّهِمْ.
فَإِنَّ النَّاسَ لَوْ وَقَفُوا بِعَرَفَةَ فِي الْيَوْمِ الْعَاشِرِ خَطَأً أَجَزَأَهُمْ الْوَقُوفُ بِالِاتِّفَاقِ، وَكَانَ ذَلِكَ الْيَوْمُ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي حَقِّهِمْ، وَلَوْ وَقَفُوا الثَّامِنَ خَطَأً فِي الْإِجْزَاءِ نِزَاعٌ، وَالْأَظْهَرُ صِحَّةُ الْوَقُوفِ أَيْضًا، وَهُوَ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ مَالِكٍ وَمَذْهَبِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ.
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: "إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمَ الَّذِي يُعْرَفُهُ النَّاسُ" وَأَصْلُ ذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَقَ الْحُكْمَ بِالْهِلَالِ وَالشَّهْرِ، فَقَالَ تَعَالَى: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ. وَالْهِلَالُ: اِسْمٌ لِمَا يُسْتَهَلُّ بِهِ: أَيْ يُعَلِّنُ بِهِ وَيُجَهِّرُ بِهِ، فَإِذَا طَلَعَ فِي السَّمَاءِ وَلَمْ يُعْرَفْهُ النَّاسُ وَيُسْتَهَلُّوا لَمْ يَكُنْ هِلَالًا.
Ya, mereka boleh puasa pada hari kesembilan itu, ini adalah pendapat yang dzohir dan makruf menurut jemaah ulama, meskipun pada realitanya hari itu adalah yang kesepuluh.
Dan jika diperkirakan ru'yah hilal ini benar sesuai reaita, maka dalam kitab-kitab Sunan dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
"صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تَفْطُرُونَ، وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ"
“Puasa kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa, dan berbuka kalian adalah pada hari kalian berbuka, dan berkurbannya kalian adala pada hari kalian berkurban.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Tirmidzi dan menshahihkannya.
Dan dari Aisyah (ra) bahwa dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda:
"الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ"
"Berbuka puasa adalah hari orang-orang berbuka puasa, dan al-Adha adalah hari orang-orang berkurban." "Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi.
Dan ini adalah yang diamalkan oleh para imam kaum muslimin Semuanya.
Jika orang-orang yang melakukan wuquf di Arafah pada hari kesepuluh itu ternyata salah, maka waquf mereka tetap sah dan mencukupinya. Ini sesuai dengan kesepakatan pendapat para ulama.
Adapun jika mereka wukuf di hari yang ke delapan dan ternyata salah; maka dalam hal ini para ulama berselisih pendapat, apakah sah atau tidak ?.
Dan pendapat yang lebih nampak benarnya adalah Sah juga. Dan ini adalah salah satu dari dua pendapat madzhab Malik, madzhab Ahmad dan lainnya.
Karena Aisyah (r.a) berkata:
"إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمَ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ"
"Adapun Arafah hanyalah hari yang diketahui manusia."
Dan dasar hukum ini adalah bahwa Allah SWT telah mengaitkan hukum tersebut dengan hilal [bulan sabit] dan bulan, maka Allah SWT berfirman:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
" Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.”
Al-Hilal: adalah nama untuk apa yang dimulai dengan nya: yaitu, diumumkan dengannya dan dilantangkan dengannya, maka jika naik di langit sementara orang-orang tidak mengetahuinya dan mereka memulai awal bulan, maka itu bukan hilal [bulan sabit].
[[Selesai Kutipan dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah]]
====
ATSAR AISYAH Radhiyallaahu 'anhaa:
----
Atsar ke 1:
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhu, dari berbagai jalur-jalur.
Abd al-Razzaq berkata dalam kitabnya al-Mushonnaf: Ma`mar memberitahu kami dari Ja`far ibn Burqaan dari al-Hakam atau lainnya dari Masruq:
أَنَّهُ دَخَلَ هُوَ وَرَجُلٌ مَعْهُ عَلَى عَائِشَةَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: يَا جَارِيَةُ خُوضِي لَهُمَا سَوِيقًا، وَحَلِّيهِ فَلَوْلَا أَنِّي صَائِمَةٌ لَذُقْتُهُ، قَالَا: أَتَصُومِينَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا تَدْرِينَ لَعَلَّهُ يَوْمَ يَوْمِ النَّحْرِ، فَقَالَتْ: «إِنَّمَا النَّحْرُ إِذَا نَحَرَ الْإِمَامُ، وَعُظْمُ النَّاسِ، وَالْفِطْرُ إِذَا أَفْطَرَ الْإِمَامُ، وَعُظْمُ النَّاسِ»
" Bahwa dia dan seorang pria masuk dengan dia pada Aisyah pada hari Arafah.
Aisyah berkata: Wahai anak perempuan, aduklah tepung dengan air dan berilah pemanis untuk mereka berdua. Seandainya aku tidak berpuasa, aku akan mencicipinya .
Dia bertanya: Apakah engkau berpuasa wahai Ummul Mukminiin ? dan apakah engkau tidak tahu bahwa kemungkinan hari ini adalah hari raya kurban [Iedul Adha ' ?
Beliau (ra) menjawab:
" Sesunnguhnya hari raya kurban itu ketika imam berkurban bererta kebanyakan orang-orang. Dan hari berbuka puasa itu adalah hari ketika imam berbuka puasa beserta kebanyakan orang-orang.
Lihat Mushonnaf Abd al-Raziq, Kitab ash-Shiyaam, Bab ash-Shiyaam 4/157, No. 7310.
Dalam sanadnya tidak ada kepastian siapa yang diriwayatkan oleh Ja`far bin Burqan darinya, apakah dia itu al-Hakam atau lainnya.
Dan al-Hakam adalah al-Hakam ibn Abdullah al-Nashri, dan itu riwayatnya diterima, seperti yang di sebutkan dalam al-Taqreeb hal.174.
------
Atsar ke 2:
Diriwayatkan oleh Abu Ishaq Al-Subaie dari Masruq, dia berkata:
"دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ أَنَا وَصَدِيقٌ لِي يَوْمَ عَرَفَةَ فَدَعَتْ لَنَا بِشَرَابٍ، فَقَالَتْ لَوْلَا أَنِّي صَائِمَةٌ لَذَقْتُهُ." قَالُوا: "أَتَصُومِينَ وَالنَّاسُ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ النَّحْرِ؟" قَالَتْ: "الْأَضْحَى يَوْمُ يُضَحِّي النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمُ يُفْطِرُ النَّاسُ." رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ ابْنِ نُمَيْرٍ وَابْنِ فُضَيْلٍ كِلاهُمَا عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ بِهِ.
Saya dan seorang teman saya masuk ke Aisyah pada hari Arafah, lalu beliau memanggil sesorang untuk menghidangkan minuman untuk kami.
Lalu beliau berkata: Jika seandainya aku tidak sedang berpuasa, aku akan mencicipinya.
Kami bertanya kepadanya: " Apakah Anda berpuasa, padahal orang-orang mengklaim bahwa hari ini adalah hari raya kurban ?
Beliau menjawab: “Al-Adha adalah hari orang-orang berkurban, dan al-Fithr [buka puasa] adalah hari orang-orang berbuka.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Numayr dan Ibn Fudayl, keduanya dari Al- Amash dari Abu Ishaq. [Baca: أحكام الاختلاف في رؤية هلال ذي الحجة hal. 33 dan رسالة في رؤية هلال ذي الحجة 2/602].
Dan diriwayatkan pula oleh putranya Abdullah dalam Kitab al-Masaa'il.
Di dalam sanadnya ada Abu Ishaq al-Subai'i seorang perawi mudallis. Dan dia meriwayatkannya dengan cara Mu'an'an [dari]. [[Lihat: تعريف أهل التقديس بمراتب الموصوفين بالتدليس hal. 101.]]
Namun apa yang disebutkan tentang dirinya bahwa hafalan dia telah campur aduk dengan yang lain, maka Imam al-Dzahabi menyangkalnya, dan dia menyatakan bahwa ketika dia sudah tua renta, ingatannya berubah sedikit, karena perubahan usia namun hafalannya tidak campur aduk. [Lihat: Siyar al-A'lam al-Nubala 5/394, dan al-Mizan 3/270]
Dan juga Imam Muslim meriwayatkan dalam Sahihnya melalui Al-Amash darinya. [Lihat al-Kawakib al-Niraat, hal. 354]
Serta al-A'mash, yang dia itu adalah Suleiman bin Mahran al-Asadi, dia seorang mudallis, dan di sisni dia meriwayatkannya dengan 'An'Anah [dari], tetapi Al-Hafidz menyebutkan dia dalam kitabnya " تعريف أهل التقديس بمراتب الموصوفين بالتدليس " hal. 67: bahwa dia terindikasi termasuk kelompok para perawi yang suka mentadlis.
------
Atsar ke 3:
Dan diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dari ayahnya, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Abu Athiyyah dan Masruq, yang berkata:
"دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ الْأَضْحَى، فَقَالَتْ: خُودِي لِابْنِي سُويقًا وَحَلِّيهِ، فَلَوْلَا أَنِّي صَائِمَةٌ لَذَقْتُهُ." فَقِيلَ لَهَا: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ: إِنَّ النَّاسَ يَرَوْنَ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ الْأَضْحَى، فَقَالَتْ: "إِنَّمَا يَوْمُ الْأَضْحَى يَوْمُ يُضَحِّي الْإِمَامُ وَجَمَاعَةُ النَّاسِ".
Kami memasuki Aisyah radhiyallahu 'anha pada hari ketika hari Idul al-Adha diragukan, dan beliau berkata: Wahai anak perempuan, aduklah tepung dengan air dan berilah pemanis untuk mereka berdua. Seandainya aku tidak berpuasa, aku akan mencicipinya
Di tanyakan kepadanya: " Wahai Ummul Mukmin, Orang-orang melihat bahwa hari ini adalah Hari Raya Iedul Adha
Beliau (ra) menjawab: " Sesunnguhnya hari raya kurban itu ketika imam berkurban bererta sekelompok orang-orang ".
Di dalam sanadnya terdapat Abu Ishaq, dia adalah seorang Mudalis, dan dia meriwayatkankan dengan Mu'an'an [dari]. Dan Sufyan di sini tidak jelas, Sufyan yang mana dia itu. Baik Sufyan ats-Tsawri dan Sufyan Ibni Uyaynah mereka berdua meriwayatkan dari Abu Ishaq. Dan riwayat ats-Tsawri darinya itu terjadi sebelum Abu Ishaq campur aduk hafalannya [ikhthilath]. Sementara riwayat Ibnu Uyaynah setelahnya.
[Lihat: Al-Kawaakib Al-Nairaat hal.349, 350, dan lihat at-Ta'liiq No.9 hal.20]
Dan juga diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ishaq dari Abu Athiyyah dan Masruq dari Aisyah dengan yang semisal itu. [Baca: أحكام الاختلاف في رؤية هلال ذي الحجة oleh Ibnu Rajab al-Hanbali]
Penulis telah membahas apa yang dia sebutkan tentang ikhtilath [campur aduk] hafalan Abu Ishaq. Dan juga bahwa Al-Bukhari dan Muslim telah memasukkannya dalam kitab Shahih mereka dari riwayat Syu’bah darinya.
[Lihat: Shahih Al-Bukhari dengan Al-Fath 28/8, Hadis 4316, dan Sahih Muslim 405/1, Hadits 576].
------
Atsar ke 4:
Diriwayatkan oleh Dalham bin Shalih dari Abu Ishaq dari Abu Athiyyah dan Masruq, kedua-duanya dari Aisha.
Dia berbeda pendapat dengannya dalam hal mengangkat perkataan akhir hadits itu dari sabda Nabi ﷺ., yaitu:
"إِنَّمَا الْأَضْحَى يَوْمُ يُضَحِّي الْإِمَامُ"
" Al-Adha hanyalah hari dimana imam berkurban."
Di antara para sahabatnya adalah mereka yang memarfu'kannya dan menjadikannya dari perkataan para Nabi ﷺ.
Dan di antara mereka ada yang mem mauquf kannya pada Aisyah (ra), dan ini lah yang Shahih.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhiss 2/256: “Al-Daraqutni menshahihkan mauquf-nya dalam kitab al-Ilal.”
Dan juga Mujaalid meriwayatkannya dari asy-Sya’bi, dari Masruq, dari Aisyah, dengan yang semisalnya, dan itu Mauquf padanya.
Di dalam sanadnya ada Mujalid, dia adalah Ibnu Sa'id al-Hamdani, dia tidak kuat, dan dia berubah daya hafalannya di akhir hayatnya, seperti dalam al-Taqreeb, hal 520.
-----
DERAJAT ATSAR AISYAH MENURUT AL-HAFIDZ IBNU RAJAB AL-HANBALI:
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali dalam أحكام الاختلاف في رؤية هلال ذي الحجة setelah menyebut semua riwayat atsar Aisyah (ra) yang berpuasa pada hari raya Kurban karena menurutnya adalah hari Arafah, Ibnu Rajab berkesimpulan dengan mengatakan:
"فَهَذَا الْأَثَرُ صَحِيحٌ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، إِسْنَادُهُ فِي غَايَةِ الصَّحَّةِ، وَلَا يُعْرَفُ لِعَائِشَةَ مُخَالَفًا مِنَ الصَّحَابَةِ.
وَوَجَهَ قَوْلُهَا: إِنَّ الْأَصْلَ فِي هَذَا الْيَوْمِ أَنْ يَكُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ، لِأَنَّ الْيَوْمَ الْمَشْكُوكَ فِيهِ، هَلْ هُوَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَمْ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ؟ الْأَصْلَ فِيهِ: أَنَّهُ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ فَيُعْمَلُ بِذَلِكَ اسْتِصْحَابًا لِلْأَصْلِ."
Atsar ini adalah Shahih dari Aisyah, semoga Allah meridhoinya, sanadnya adalah pada puncak keshahihan, dan tidak diketahui bagi Aisyah ada seorang pun yang menyelisihinya dari kalangan para sahabat.
Dan sisi pendalilan dari ucapannya adalah: Pada hukum asalnya hari tersebut adalah hari Arafah. Karena hari yang diragukan itu adalah apakah dari Dzul-Hijjah atau dari Dzul-Qa'dah?
Pada asalnya hari tersebut berasal dari Dzul-Qa'dah, maka yang diamalkan adalah dari dzulqo'dah berdasrkan kaidah استصحاب الأصل [kembali ke asal].
=====MACAM KERAGUAN KEDUA:
أَنْ يَشْهَدَ بِرُؤْيَةِ هِلالِ ذِي الْحِجَّةِ مَنْ يُثْبِتُ الشَّهْرَ بِهِ، لَكِنْ لَمْ يَقْبَلْهُ الْحَاكِمُ إِمَّا لِعُذْرٍ ظَاهِرٍ، أَوْ لِتَقْصِيرٍ فِي أَمْرِهِ.
Artinya: Penampakan Hilal [bulan sabit] Dzulhijjah yang disaksikan oleh seseorang, lalu dia menetapkan bulan telah berganti di dalamnya, akan tetapi penguasa tidak menerimanya karena alasan yang jelas, atau karena adanya keterbatasan dalam perkara ini.
Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab.
Abdul Razzaq dalam al-Mushonnaf meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsawri, dari Umar bin Muhammad, yang mengatakan:
شَهِدَ نَفَرٌ أَنَّهُمْ رَأَوْا هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ فَذَهَبَ بِهِمْ سَالِمٌ إِلَى وَالِي الْحَاجِّ هُوَ ابْنُ هِشَامٍ، فَأَبَى أَنْ يُجِيزَ شَهَادَتَهُمْ، فَوَقَفَ سَالِمٌ بِعَرَفَةَ لِوَقْتِ شَهَادَتِهِمْ، فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِي وَقَفَ مَعَ النَّاسِ.
Ada beberapa orang bersaksi bahwa mereka melihat hilal [bulan sabit] Dzul hijjah, maka Salim membawa mereka ke waliyul amr urusan haji – yaitu dia adalah Ibnu Hisyam - akan tetapi dia menolak untuk meloloskan kesaksian mereka, maka Salim melakukan wuquf di Arafah berdasarkan kesaksian hilal mereka, dan pada hari berikutnya dia juga melakukan wuquf bersama dengan orang-orang. [Di kutip dari مجلة البحوث العلمية 41/269]
Salim ini adalah Salim bin Abdullah bin Umar bin Al-Khattab Al-Qurashi Al-'Adawi, salah seorang para tabi'iin yang mulia, dan salah satu dari tujuh ahli Fiqih Madinah. Wafat pada tahun 106 H.
[Lihat biografinya dalam al-Tabaqat al-Kubra 5/195-201, Hilyat al-Awliya’ 2/193-198].
SANAD-nya kepada Salim bin Abdullah adalah Shahih, orang-orangnya adalah para perawi Shahih Bukhori dan Shahih Muslim. Dan Umar bin Muhammad adalah Umar bin Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar bin Al-Khattab.
[Lihat: تهذيب الكمال hal. 1023].
Dan ada sebagian para ulama yang setuju dengan pendapat Salim, yaitu Syamsuddin Ibnu Muflih, semoga Allah merahmatinya, yang mengatakan dalam kitab al-Furuu' 3/535:
وَيَتَوَجَّهُ وَقُوفُ مَرَّتَيْنِ إِنْ وَقَفَ بَعْضُهُمْ لَا سِيمَا مَنْ رَآهُ.
“Disarankan untuk berwuquf dua kali jika sebagian dari mereka melakukan wuquf, terutama bagi mereka yang melihatnya.” [Lihat al-Mubdi' 3/269, 70].
Disebutkan dalam al-Majmu' 8/292:
أَنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِيَّةِ: أَنَّ مَنْ رَأَى هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ فَلَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ يَلْزَمُهُ الْوُقُوفُ يَوْمَ التَّاسِعِ عِنْدَهُ، سَوَاءٌ كَانَ وَاحِدًا أَوْ جَمَاعَةً. وَأَنَّهُ إِنْ وَقَفَ الْيَوْمَ الْعَاشِرَ فَقَطْ مَعَ الْجَمَاعَةِ لَمْ يَصِحْ وُقُوفُهُ عِنْدَ جَمِيعِ الشَّافِعِيَّةِ.
" Bahwa dalam mazhab Syafi'i: bahwa siapa pun yang melihat hilal [bulan sabit] Dzul-Hijjah namun kesaksiannya tidak diterima; maka dia harus melakukan wuquf pada hari kesembilan berdasarkan kesaksiannya, baik itu satu orang atau sekelompok orang. Dan jika dia hanya melaksanakan wuquf pada hari kesepuluh saja bersama jemaah, maka waqufnya tidak sah menurut semua ulama madzhab Syafi'i".
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:
لَكِنَّ الذَّبْحَ لَيْسَ هُوَ مِثْلَ الْوُقُوفِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرُورَةَ فِي تَقْدِيمِهِ لِامْتِدَادِ وَقْتِهِ بِخِلَافِ الْوُقُوفِ. وَقَدْ يُقَالُ: إِنَّ صِيَامَ هَذَا الْيَوْمِ فِي حَقِّ الشَّاهِدِ، أَوْ مَنْ أَخْبَرَهُ بِهِ يَنْبُنِي عَلَى اخْتِلَافِ الْمَآخِذِ فِي الْأَمْرِ لِمَنْ انْفَرَدَ بِرُؤْيَةِ هِلَالِ الْفِطْرِ بِالصِّيَامِ مَعَ النَّاسِ.
Akan tetapi masalah menyembelih kurban, itu tidak sama dengan masalah wuquf, karena tidak ada darurat dalam memajukan penyembelihanya; karena waktu menyembelih kurban panjang waktunya, berbeda dengan wuquf.
Dan bisa dikatakan: Puasa pada hari itu berlaku bagi yang menyaksikan hilal atau orang yang mengkhabarkannya, didasarkan pada perbedaan sudut lokasi pengambilan perkara bagi orang yang sendirian dalam melihat hilal waktu buka puasa bersama orang-orang ".
[Baca: أحكام الاختلاف في رؤية هلال ذي الحجة oleh Ibnu Rajab al-Hanbali]
0 Komentar