Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM BERKURBAN ATAS NAMA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

HUKUM BERKURBAN ATAS NAMA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Di Tulis Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

-----

====
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

===****===

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG BERKURBAN UNTUK MAYIT

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya serta sah dan tidaknya jika hewan kurban disembelih atas nama orang yang sudah meninggal , apakah boleh atau tidak ? Apakah sah atau tidak?

Ada Empat Pendapat :

RINGKASNYA SBB :

Pendapat PertamaBoleh dan shah berkurban atas nama Mayit. Dan pahalanya sampai padanya.  

Ini adalah madzhab Jumhur (mayoritas) para ulama dari Madzhab Hanafi, Hanbali dan sebagian Madzhab Syafi'i.

Pendapat keduaTidak sah berkurban atas nama Mayit, kecuali jika telah di wasiatkan olehnya sebelum wafat . 

Ini adalah pendapat Madzhab Syafi'i.

Pendapat ke tigaMakruh hukum nya berkurban atas nama mayit . Ini adalah pendapat Madzhab Maliki.

Pendapat ke empatBid'ah, dilarang dan tidak sah berkurban atas nama mayit , kecuali diikut sertakan pada orang yang masih hidup . 

Ini pendapat Syeikh Abdullah bin Mahmoud, Syeikh Al-Albani, Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbaad, Syeikh Ibnu al-Utsaimin dan lainya .

*****

BERIKUT INI URAIANNYA BESERTA DALIL MASING-MASING PENDAPAT :

****

PENDAPAT PERTAMA :
BOLEH DAN SAH BERKURBAN ATAS NAMA MAYIT .
Dan pahalanya sampai kepadanya.

Ini adalah madzhab Jumhur (mayoritas) para ulama dari Madzhab Hanafi , Hanbali dan sebagian Madzhab Syafi'i .

Al-Kaasaani berkata :

وَجْهُ ٱلِٱسْتِحْسَانِ أَنَّ ٱلْمَوْتَ لَا يَمْنَعُ ٱلتَّقَرُّبَ عَنِ ٱلْمَيِّتِ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَيُحَجَّ عَنْهُ، وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّىٰ بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ وَٱلْآخَرُ عَمَّنْ لَا يَذْبَحُ مِنْ أُمَّتِهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ قَدْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُذْبَحَ، فَدَلَّ أَنَّ ٱلْمَيِّتَ يَجُوزُ أَنْ يُتَقَرَّبَ عَنْهُ.

"Sisi yang menunjukkan bahwa berkurban atas nama mayit itu] dianggap bagus adalah:

Bahwa kematian tidak menghalangi seseorang beramal kebaikan atas nama mayit, dengan dalil: diperbolehkannya bersedekah atas namanya dan melakukan haji atas namanya.

Dan telah shahih bahwa Rasulullah  berkurban dua ekor domba jantan, satu untuk dirinya sendiri dan yang lainnya untuk umatnya, meskipun sebagian dari umatnya ada yang sudah wafat sebelum hewan kurban itu disembelih. Ini menunjukkan bahwa beramal kebaikan atas nama orang yang sudah mati itu diperbolehkan ". [ Baca : بدائع الصنائع (5/72)].

Ibnu Abidin rahimaullah berkata:

" مَنْ ضَحَّى عَنِ الْمَيِّتِ يَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ فِي أُضْحِيَةِ نَفْسِهِ مِنَ التَّصَدُّقِ وَالْأَكْلِ، وَالْأَجْرُ لِلْمَيِّتِ، وَالْمِلْكُ لِلذَّابِحِ"

"Barangsiapa yang berqurban atas nama orang mati, maka dia harus melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan ketika berkurban untuk dirinya sendiri, seperti mensedekahkan sebagian dagingnya dan memakan sebagian. Dan pahalanya untuk mayit, dan kepemilikannya adalah bagi orang yang menyembelih." [ Baca : Haashiyah Ibnu Abidin (6/326)].

Adapun Madzhab Hanbali, maka mereka berkata:

" ٱلتَّضْحِيَةُ عَن مَيِّتٍ أَفْضَلُ مِنْهَا عَنْ حَيٍّ؛ لِعَجْزِهِ وَٱحْتِيَاجِهِ إِلَى ٱلثَّوَابِ، وَيُعْمَلُ بِهَا كَأُضْحِيَةٍ عَنْ حَيٍّ مِنْ أَكْلٍ وَصَدَقَةٍ وَهَدِيَّةٍ"

“Kurban atas nama orang yang sudah meninggal lebih baik dari pada atas nama orang yang masih hidup, karena ketidakmampuan orang yang sudah mati  dan kebutuhannya akan pahala.

Dan dia melakukan terhadap hewan kurban sebagaimana terhadap hewan kurban atas nama orang yang masih hidup , seperti memakan sebagian , mensedekahkan dan menghadiahkan.” [Lihat “Mathaalib Ulin Nuha” (2/472)].

Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 2/208 menukil pendapat Abu al-Hasan al-'Abbaadi :

وَأَمَّا التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

“Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedangkan sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma’ para ulama.”

Lajnah al-Iftaa Yordania no. 2774 dalam "حُكْمُ الأُضْحِيَةِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالْأَكْلِ مِنْهَا" mengatakan :

إِنَّ الْعُلَمَاءَ أَجْمَعُوا عَلَى وُصُولِ ثَوَابِ الصَّدَقَاتِ إِلَى الْأَمْوَاتِ، وَالْأُضْحِيَةُ مِنْ جُمْلَةِ الصَّدَقَاتِ، وَلَا تَخْرُجُ عَنْهَا؛ لِهٰذَا كُلِّهِ فَإِنَّا نَرَى جَوَازَ الْأُضْحِيَةِ عَنِ الْمَيِّتِ وَإِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا.

" Para ulama bersepakat secara Ijma' bahwa pahala sedekah sampai kepada orang mati, dan kurban itu termasuk dari jumlah sedekah, dan berkurban itu tidak keluar dari bab sedekah . Oleh sebab semua ini, maka kita berpendapat kebolehan berkurban atas nama almarhum, meskipun dia tidak berwasiat".

Syeikh Bin Baaz rahimahullah berkata :

وَإِنْ ضَحَّىٰ عَنْ أَمْوَاتِهِ فَحَسَنٌ، وَلَا بَأْسَ، كُلُّهُ طَيِّبٌ، أَمَّا إِنْكَارُ مَنْ أَنْكَرَ ٱلأُضْحِيَةَ لِلْمَيِّتِ فَلَا وَجْهَ لَهُ، هٰذَا ٱلإِنْكَارُ ٱلَّذِي يَفْعَلُهُ بَعْضُ ٱلنَّاسِ عَنِ ٱلْمَيِّتِ لَا وَجْهَ لَهُ، إِذَا ضَحَّىٰ عَنِ ٱلْمَيِّتِ فَهِيَ قُرْبَةٌ وَطَاعَةٌ وَخَيْرٌ عَظِيمٌ.

Dan jika seseorang berkurban atas nama orang-orang yang sudah meninggal, maka itu baik, dan tidak ada yang salah dengan itu, semuanya baik. Adapun adanya pengingkaran dari sebagian orang-orang terhadap orang yang berkurban atas nama mayit, maka tidak ada sisi alasan untuk itu .

Jika ada orang yang berkurban atas nama orang mati, itu adalah qurbah [ibadah untuk mendekat diri kepada Allah], ketaatan dan kebaikan yang agung ".

[ Sumber : Nurun 'Ala ad-Darb : حُكْمُ ٱلتَّضْحِيَةِ عَنِ ٱلْمَيِّتِ].

====

DALIL PENADAPAT PERTAMA :

DALIL KE SATU :

Dari Hanasy dari Ali bin Abi Thaalib – rahiyallahu 'anhu - :

أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ النَّبِيِّ ﷺ وَالْآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ . فَقِيلَ لَهُ . فَقَالَ : " أَمَرَنِي بِهِ يَعْنِي النَّبِيَّ ﷺ فَلَا أَدَعُهُ أَبَدًا ".

Bahwasanya ia [ Ali bin Abi Thaalib ] pernah berkurban dengan dua ekor kambing; seekor untuk Nabi dan seekor lagi untuk dirinya sendiri, hingga ia pun ditanya tentang hal itu.

Ali menjawab : "Nabi telah memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku tidak akan meninggalkannya untuk selamanya."

[ HR. Turmudzi no. 1495 , Abu Daud (Aunul Ma'bud 7/344), Ahmad (Fathur Robbaani 13/109-110) , al-Haakim 4/255-256 dan al-Baihaqi 9/484 no. 19188].

Lafadz Abu Daud (2790) dan salah satu riwayat Imam Ahmad (1219) : " Hanasy berkata:

“Saya melihat Ali telah berkurban dua ekor kambing, saya berkata kepadanya: “Apa ini ?”, beliau berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ " .

“Sungguh Rasulullah telah berwasiat kepadaku agar aku berkurban atas nama beliau, maka saya pun berkurban atas nama beliau”.

Abu Isa at-Tirmidzi berkata :

هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ شَرِيكٍ وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُضَحَّى عَنْ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحَّى عَنْهُ و قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَلَا يُضَحَّى عَنْهُ وَإِنْ ضَحَّى فَلَا يَأْكُلُ مِنْهَا شَيْئًا وَيَتَصَدَّقُ بِهَا كُلِّهَا قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ قُلْتُ لَهُ أَبُو الْحَسْنَاءِ مَا اسْمُهُ فَلَمْ يَعْرِفْهُ قَالَ مُسْلِمٌ اسْمُهُ الْحَسَنُ

"Ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Syarik. Sebagian ulama` memberi keringanan untuk berkurban atas nama mayit, sementara sebagian lagi tidak memberikan keringanan tersebut."

Abdullah Ibnu al-Mubarak berkata; "Aku lebih cenderung seseorang bersedekah atas nama mayit, dan bukan berkurban, namun ia berkurban atas nama mayit maka hendaknya ia tidak memakan dagingnya sedikitpun, tetapi mensedekahkan semuanya."

Muhammad berkata : Ali Ibnu al-Madini berkata ; "Hadits ini tidak hanya diriwayatkan oleh Syarik."

Aku bertanya kepadanya (Ali bin Al Madini; "Siapa nama Abul Hasna`" maka ia tidak mengetahuinya. Sedangkan Muslim berkata; "namanya (Abu Al Hasna ) adalah Al Hasan" [Selesai]

DERAJAT HADITS :

Abu Daud diam tentang keshahihan hadits tsb . Ini menunjukkan bahwa hadits ini shahih menurutnya , sebagaiamana yang dimaklumi dari manhajnya . 

Al-Hakim berkata :

 " هٰذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ ٱلْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ، وَأَبُو ٱلْحَسْنَاءِ هٰذَا هُوَ ٱلْحَسَنُ بْنُ حَكَمٍ ٱلنَّخَعِيُّ.

Hadits ini adalah hadits shahih, dan mereka berdua [ Bukhori dan Muslim ] tidak menyebutkannya . Dan Abu al-Hasnaa ini adalah al-Hasan bin Hakam an-Nakhoo'i ". [al-Mutadrak 4/255-256 ]

Adz-Dzahabi berkata : " Shahih ". [ Talkhish al-Mutadrak 4/255-256 ]

Di shahihkan pula oleh Ibnu Jariir sebagaimana disebutkan dalam [جمع الجوامع (17/252)]

Dan dishahihkan pula sanadnya oleh Syeikh Syaakir dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad [Musnad Ali bin Abi Thalib 2/152 no. 843].

 

Namun atsar ini di Dhaifkan oleh al-Albaani dalam Dhaif Abu Daud 2/371 no. 483 dan Syu'aib al-Arna'uth

[ Baca : Fatawaa asy-Syabakah al-Islaamiyyah 11/20463 no. 93307  dan 11/20500 no. 38995].

FIQIH HADITS :

Al-Imam al-Baihaqi berkata :

‌وَهُوَ ‌إِنْ ‌ثَبَتَ ‌يَدُلُّ ‌عَلَى ‌جَوَازِ ‌التَّضْحِيَةِ ‌عَمَّنْ ‌خَرَجَ ‌مِنْ ‌دَارِ ‌الدُّنْيَا ‌مِنَ ‌الْمُسْلِمِينَ

" Dan hadits ini jika terbukti shahih , maka itu menunjukkan kebolehan berkurban atas nama kaum muslimin yang telah meninggal dunia". [ as-Sunan al-Kubra 9/484 ]

---

DALIL KE DUA :

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha , dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ أُتِيَ بِكبش لِيُضَحِّيَ بِهِ، فأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ : ( بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ ).

Sesungguhnya Rasulullah diberi hewan domba untuk dijadikan kurban, lalu beliau membaringkan domba tersebut dan menyembelihnya, kemudian beliau mengucapkan:

" Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad. Kemudian beliau berkurban dengannya. [ HR. Muslim no. 1967]

Dalama riwayat lain : dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ “

Rasulullah meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban.”

Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”.

Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu”.

‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan :

“Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad”.

Kemudian beliau berkurban dengannya . [ HR. Muslim no. 1967] .

FIQIH HADITS :

Dalam hadits ini, Rasulullah mengikutsertakan umatnya dalam kurbannya, dan sudah maklum bahwa sebagian umatnya ada yang sudah meninggal. Karena itu, berdasarkan hadits ini, para ulama sepakat mengenai kebolehan mengikutsertakan orang yang sudah meninggal dalam kurban dan menghadiahkan pahala kurban untuknya.

----

DALIL KE TIGA :

Dari Jabir bin Abdullah – radhiyallahu anhu -, ia berkata  :

ذَبَحَ النَّبِيُّ ﷺ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مُوجَأَيْنِ فَلَمَّا وَجَّهَهُمَا قَالَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ وَعَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ بِاسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ذَبَحَ

Nabi pada hari Kurban menyembelih dua domba yang bertanduk dan berwarna abu-abu yang terkebiri. Kemudian tatkala beliau telah menghadapkan keduanya beliau mengucapkan:

(Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus, dan aku bukan termsuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya shalatku, dan sembelihanku serta hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.

Ya Allah, ini berasal dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan ummatnya. Dengan Nama Allah, dan Allah Maha Besar).

Lalu beliau menyembelihnya .

[HR. Abu Daud no. 2431 , Ibnu Majah no. 3112 . Di Hasankan oleh al-Albaani dalam Takhriij al-Misykaat no. 1406 , namun beliau dhaifkan dalam Dha'if Abu Daud no. 2795 dan Dha'if Ibnu Majah no. 611 ].

FIQIH HADITS :

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi menyembelih kurban atas nama orang mati; Karena dia berkorban atas nama keluarga Muhammad dan umat Muhammad, dan sebagian dari keluargnya dan umatnya ada yang sudah meninggal.

---

DALIL KE EMPAT :

Dari Abi Rafi’, maula Rasulullah

أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ إِذَا ضَحَّى اشْتَرَى كَبْشَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَإِذَا صَلَّى وَخَطَبَ النَّاسَ أَتَى بِأَحَدِهِمَا وَهُوَ قَائِمٌ فِي مُصَلاَّهُ فَذَبَحَهُ بِنَفْسِهِ بِالْمُدْيَةِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا عَنْ أُمَّتِي جَمِيعًا مِمَّنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لِي بِالْبَلَاغِ ثُمَّ يُؤْتَى بِالآخَرِ فَيَذْبَحُهُ بِنَفْسِهِ وَيَقُولُ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ فَيُطْعِمُهُمَا جَمِيعًا الْمَسَاكِينَ وَيَأْكُلُ هُوَ وَأَهْلُهُ مِنْهُمَا.

Bahwasannya Rasulullah apabila hendak berqurban, beliau membeli dua kibasy (kambing) yang gemuk, yang bertanduk dan bagus rupanya. Maka ketika beliau telah selesai shalat (Idul Adha) dan ber khutbah di hadapan orang banyak, maka beliau datangkan salah seekor kibasy tersebut, sementara beliau masih tetap berdiri di tempat solatnya, lalu me nyembelihnya sendiri dengan pisau, seraya beliau mengucapkan :

”Ya Allah, ini adalah qurban dari ummatku semua dari orang-orang yang mengaku bertauhid kepada-Mu dan mengaku bahwa aku telah menyampaikan risalah.”

Kemudian beliau datangkan kibasy yang seekor lagi, lalu disembelihnya sendiri sambil mengatakan : “Ini qurban Muhammad dan keluarga Muhammad".

Lalu beliau membagikan keduanya kepada orang-orang miskin , dan beliau beserta keluarganya memakan sebagian dari dua kurban itu ".

[ HR.  Ahmad.No. 25937 . 27190].

Al-Haitsami dalam Majma' az-Zawaid 4/21 menyatakan : bahwa sanad hadits ini hasan.

Dan di hasankan pula oleh al-Albaani dalam تَخْرِيجُ أَحَادِيثِ شَرْحِ ٱلْعَقِيدَةِ ٱلطَّحَاوِيَّةِ hal. 516 .

Hadits ini memiliki banyak syahid yang disebutkan oleh Al-Haytsami dalam Majma' az-Zawaid 4/22-23. 

FIQIH HADITS :

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi menyembelih kurban atas nama orang mati; Karena dia berkorban atas nama keluarga Muhammad dan umat Muhammad, dan sebagian dari keluargnya dan umatnya ada yang sudah meninggal.

----

DALIL KE LIMA :

Dari Aisyah dan dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhuma- :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كانَ إذا أرادَ أن يضحِّيَ، اشتَرى كبشينِ عظيمينِ، سَمينينِ، أقرَنَيْنِ، أملَحينِ موجوءَينِ، فذبحَ أحدَهُما عن أمَّتِهِ، لمن شَهِدَ للَّهِ، بالتَّوحيدِ، وشَهِدَ لَهُ بالبلاغِ، وذبحَ الآخرَ عن محمَّدٍ، وعن آلِ محمَّدٍ ﷺ

Bahwa apabila Rasulullah hendak melaksanakan kurban, maka beliau membeli dua ekor domba yang besar, gemuk, bertanduk dan berwarna belang (hitam dan putih).

Kemudian beliau menyembelih : salah satunya untuk UMAT-nya yang telah bersaksi akan keesaan Allah dan bersaksi atas risalah beliau.

Lalu menyembelih yang satunya untuk Muhammad dan keluarga Muhammad ."

[HR. Ibnu Majah no. 3113 ]

Dishahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2548 

-----

DALIL KE ENAM :

Dari Abu Sa'iid radhiyallahu ‘anhu:

" أنَّ رسولَ اللهِ ﷺ ضَحَّى بكَبشٍ أقرَنَ، ثُمَّ قال: اللَّهُمَّ هذا عَنِّي وعمَّن لم يُضَحِّ من أُمَّتي ".

“Bahwa Rasulullah menyembelih seekor domba jantan bertanduk, lalu berkata: Ya Allah, ini atas namaku dan atas nama umatku yang tidak berqurban.”

[ HR. Ad-Daaruquthni no. 4759] Di shahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhriij Sunan ad-Daaruquthni .

FIQIH HADITS :

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati; Karena beliau berkurban atas nama keluarga Muhammad dan umat Muhammad, dan sebagian dari keluargnya dan umatnya ada yang sudah meninggal

----

DALIL KE TUJUH : DALIL YANG MENUNUJUKKAN BAHWA MAYIT BISA MENDAPAT MANFAAT DARI AMALAN ORANG HIDUP

Jumhur ulama yang berpendapat bolehnya berkurban atas nama mayit. Dan mereka  mengatakan bahwa orang mati bisa mendapat manfaat dari amalan yang diamalkan oleh orang yang masih hidup .

Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah berkata:

" إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَقُلْ : إنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَنْتَفِعُ إلَّا بِسَعْيِ نَفْسِهِ وَإِنَّمَا قَالَ: {لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى} فَهُوَ لَا يَمْلِكُ إلَّا سَعْيَهُ وَلَا يَسْتَحِقُّ غَيْرَ ذَلِكَ. وَأَمَّا سَعْيُ غَيْرِهِ فَهُوَ لَهُ كَمَا أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَمْلِكُ إلَّا مَالَ نَفْسِهِ وَنَفْعَ نَفْسِهِ، فَمَالُ غَيْرِهِ وَنَفْعُ غَيْرِهِ هُوَ كَذَلِكَ لِلْغَيْرِ ".

Allah SWT tidak mengatakan: Manusia tidak akan mendapatkan manfaat kecuali dari apa yang telah diusahakan oleh dirinya sendiri, akan tetapi dia hanya mengatakan :

" Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya" (QS. An-Najm: 39)

Maka dia tidak memiliki apa-apa selain hasil usahanya, dan dia tidak berhak mendapatkan apa pun selain itu.

Adapun hasil usaha orang lain maka itu untuknya, sebagaimana seseorang tidak memiliki apa-apa selain harta miliknya sendiri dan manfaat yang ada pada dirinya sendiri. Begitu pula harta orang lain dan manfaat yang dimiliki orang lain , itu adalah milik orang lain.

Lalu Ibnu Taimiyah berkata :

لَكِنْ إذَا تَبَرَّعَ لَهُ الْغَيْرُ بِسَعْيِهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ كَمَا يَنْفَعُهُ بِدُعَائِهِ لَهُ وَالصَّدَقَةِ عَنْهُ .

وَهُوَ ‌يَنْتَفِعُ ‌بِكُلِّ ‌مَا ‌يَصِلُ ‌إلَيْهِ ‌مِنْ ‌كُلِّ ‌مُسْلِمٍ ‌سَوَاءٌ ‌كَانَ ‌مِنْ ‌أَقَارِبِهِ ‌أَوْ ‌غَيْرِهِمْ ‌كَمَا ‌يَنْتَفِعُ ‌بِصَلَاةِ ‌الْمُصَلِّينَ ‌عَلَيْهِ وَدُعَائِهِمْ لَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ

AKAN TETAPI : Jika orang lain [yang masih hidup] mendermakan amalannya untuknya [yakni mayit] , maka Allah akan memberi manfaat bagi mayit dengan itu , sama halnya dia mendapat manfaat dari doa orang hidup untuknya dan juga dari sedekahnya atas namanya.

Dan dia [ yakni mayit ] akan mendapat manfaat dari segala sesuatu yang sampai padanya dari amalan setiap Muslim, apakah dia itu dari kerabatnya atau orang lain. Sama halnya dengan mayit yang mendapat manfaat dari shalatnya orang-orang yang menshalati jenazahnya dan dari doa-doa mereka untuknya di sisi kuburannya . [ Majmu' Fataawaa 24/367.]

Dan ada banyak sekali dalil untuk hal ini . Penulis kitab Syarah Aqidah ath-Thahawiyah mengatakan:

" وَٱلدَّلِيلُ عَلَى ٱنْتِفَاعِ ٱلْمَيِّتِ بِغَيْرِ مَا تَسَبَّبَ فِيهِ ٱلْكِتَابُ وَٱلسُّنَّةُ وَٱلْإِجْمَاعُ وَٱلْقِيَاسُ ٱلصَّحِيحُ".

[Dalil yang menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal bisa mengambil manfaat dari sesuatu yang bukan disebabkan oleh dirinya adalah Al-Quran , As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas yang shahih . [ Syarah Aqidah ath-Thahawiyah hal 516].

Diantaranya adalah sbb :

PERTAMA :

Dalil yang menunjukkan bahwa orang mati mendapat manfaat dari doa orang hidup :

Allah SWT berfirman :

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [QS. Al-Hasyr : 10]

Allah SWT memuji mereka atas doa permohonan ampunan mereka bagi orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka mendapat manfaat dari doa permohonan ampunan orang hidup.

Dalil yang menunjukkan bahwa orang mati mendapat manfaat dari doa orang hidup adalah Ijma kaum muslimin akan di syariatkannya berdoa untuk mayit saat sholat jenazah dan adanya doa-doa yang disebutkan dalam Sunnah ketika sholat jenazah yang cukup banyak . Begitu pula berdoa untuknya setelah penguburan

[Baca : ٱلْمُفَصَّلُ فِي أَحْكَامِ ٱلْأُضْحِيَةِ hal. 168 karya Hisamudin Affaanah ]

Berikut ini contoh hadits yang memerintahkan untuk memberikan manfaat kepada mayit dengan doa :

Diriwayatkan oleh Abu Daud, 3221 dari hadits Utsman bin Affan radhiallahu anhu, dia berkata:

"كانَ النَّبيُّ إذا فَرغَ مِن دفنِ الميِّتِ وقفَ عليهِ ، فَقالَ : استَغفِروا لأَخيكُم ، واسأَلوا لَهُ بالتَّثبيتِ ، فإنَّهُ الآنَ يسألُ"

“Dahulu Nabi ketika selesai menguburkan mayat, beliau berdiri dan mengatakan, “Mintakan ampunan untuk saudara anda semua, dan mohonkan kepadanya keteguhan. Karena dia sekarang sedang ditanya.”

[ HR. Abu Daud (3221), Al-Bazzar (445), dan Ibnu As-Sunni dalam ((عَمَلُ ٱلْيَوْمِ وَٱلَّيْلَةِ)) (585), dengan sedikit perbedaan].

Dinyatakan shahih oleh Al-Albany di Ahkamu Al-Janaiz, hal. 198 dan Shahih Abu Daud no. 3221 . Dan dinyatakan Hasan oleh al-Waadi'ii dalam ٱلصَّحِيحُ ٱلْمُسَنَّدُ no. 933 ]

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

كَانَ النبيُّ ﷺ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المَقَابِرِ أَنْ يَقُولَ قَائِلُهُمْ: «السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أهلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنينَ وَالمُسلمينَ، وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ للاَحِقونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ«.

"Dulu Nabi pernah mengajarkan kepada mereka -para sahabat- jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka mengucapkan -yang artinya-:

"Keselamatan atasmu semua hai para penghuni perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu'minin dan Muslimin. Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan kepada Allah untuk kita dan untuk kalian semua akan keselamatan [ al'aafiyah ] ." (HR. Muslim [ Riyadhus Sholihiin no. 582] )  

KEDUA :

Dalil yang menunjukkan sampainya pahala shodaqoh atas nama Mayyit :

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan :

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَخَا بَنِي سَاعِدَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا فَهَلْ يَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Bahwa Sa'ad bin 'Ubadah radliallahu 'anhu, saudara dari Bani Sa'idah, bahwa ibunya telah meninggal dunia , saat itu Saad sedang pergi jauh , lalu dia datang menemui Nabi seraya berkata:

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sedang saat itu aku tidak berada di sisinya. Apakah akan bermanfaat baginya bila aku menshadaqahkan sesuatu untuknya?"

Beliau menjawab : "Ya".

Dia berkata: "Aku mempersaksikan dihadapan engkau bahwa kebunku yang penuh dengan bebuahannya ini aku shadaqahkan atas (nama) nya". [ HR. Bukhori no. 2556 , 2756]

Al-Hafidz Ibnu Abdil-Barr berkata:

(أَمَّا ٱلصَّدَقَةُ عَنِ ٱلْمَيِّتِ؛ فَمُجْتَمَعٌ عَلَى جَوَازِهَا، لَا خِلَافَ بَيْنَ ٱلْعُلَمَاءِ فِيهَا)

(Adapun bersedekah atas nama orang mati, telah ada kesepakatan secara Ijma tentang kebolehannya, dan tidak ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal itu) ((At-Tamhiid)) (20/27).

An-Nawawi berkata:

(أجمع المسلمونَ على أنَّ الصَّدقةَ عن الميِّتِ تَنفَعُه وتَصِلُه)

(Umat Islam sepakat secara Ijma' bahwa sedekah atas nama orang yang meninggal itu bermanfaat dan sampai kepadanya). ((Al-Majmu')) (5/323).

KETIGA :

Dalil yang menunjukkan sampainya pahala SEDEKAH , PUASA DAN IBADAH HAJI atas nama mayit :

"Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu anhu, dia berkata :

بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا

Ketika kami duduk di sisi Rasulullah , tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya :

‘Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal.'

Beliau bersabda : ‘Anda telah mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada anda warisannya.'

Dia bertanya : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungngan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?'

Beliau menjawab : ‘Berpuasa lah untuknya.'

Dia bertanya lagi : ‘Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?

Beliau menjawab : ‘Hajikan lah untuknya.’ (HR. Muslim, 1149)

HADITS : Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , dia berkata :

إنَّ النبيَّ ﷺ سَمِعَ رجلًا يقول: لبَّيْكَ عن شُبْرُمةَ. قال: مَن شُبْرُمةُ؟ قال: أخٌ لي، أو قريبٌ لي. قال: حجَجْتَ عن نفسِك؟ قال: لا. قال: حُجَّ عن نَفسِك، ثم حُجَّ عن شُبْرُمةَ

Sesungguhnya Nabi mendengar seseorang mengatakan, "Labbaik an Syubrumah (Saya penuhi panggilan-Mu, melakukan haji untuk Syubrumah)"

Beliau bertanya : "Apakah anda telah menunaikan haji?"

Dia menjawab, "Belum."

Beliau bersabda, "Lakukan haji untuk dirimu dahulu, kemudian untuk Syubrumah."

Dan dalam sebagian riwayat lafadznya sbb :

هٰذِهِ عَنْكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ

" Yang ini untuk mu , kamudian hajikan lah untuk Syubrumah ".

[ HR. Abu Daud (1811), Ibnu Majah (2903), dan Al-Bayhaqi (8936).

DERAJAT HADITS :

Di nilai SHAHIH oleh Al-Daraqutni dalam ((Al-Sunan)) (2/517).

Dan sanadnya dinilai SHAHIH oleh Al-Bayhaqi, bahkan dia mengatakan:

لَيْسَ فِي هٰذَا الْبَابِ أَصَحُّ مِنْهُ

"Tidak ada yang lebih SHAHIH darinya dalam bab ini"

Di SHAHIHKAN pula oleh Al-Juurqani dalam ((Al-Abaathil wa Al-Manaakir)) (2/138),

Al-Nawawi mengatakan dalam “Al-Majmu'” (7/117), dan Ibnu Al-Mulaqqin dalam “Khulasah Al-Badr Al -Munir” (1/345) :

إِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ مُسْلِم

Sanadnya sesuai dengan syarat Shahih Muslim .

Di Shahihkan pula oleh AL-ALBAANI dalam Shahih Ibnu Majah no. 2364 .

Ibnu Katsir berkata dalam “Irsyad al-Faqih” (1/307):

الصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ كَمَا رَوَاهُ الْحُفَّاظُ

Pandangan yang benar adalah bahwa hal itu ditangguhkan pada Ibn Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh para al-Hafidz.

Dan Ibnu Hajar al-Asqalaani menilainya Shahih dalam “Al-Ishoobah” (2/ 136).

HADITS LAIN : Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma :

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ ، فَقَالَتْ : إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا. قَالَ : نَعَمْ ، حُجِّي عَنْهَا ! أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi lalu berkata:

"Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?".

Beliau menjawab :

"Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar". [ HR. Bukhori no. 1720 ]

An-Nawawi rahimahullah berkata :

" وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْحَجِّ جَائِزَةٌ عَنِ الْمَيِّتِ وَالْعَاجِزِ الْمَيْؤُوسِ مِنْ بُرْئِهِ، وَاعْتَذَرَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ مُخَالَفَةِ مَذْهَبِهِمْ – أَيْ: الْمَالِكِيَّةِ – لِهٰذِهِ الْأَحَادِيثِ فِي الصَّوْمِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالْحَجِّ عَنْهُ بِأَنَّهُ مُضْطَرِبٌ، وَهٰذَا عُذْرٌ بَاطِلٌ، وَلَيْسَ فِي الْحَدِيثِ اضْطِرَابٌ، وَيَكْفِي فِي صِحَّتِهِ احْتِجَاجُ مُسْلِمٍ بِهِ فِي صَحِيحِهِ۔

 "Mayoritas (ulama) mengatakan bahwa mengghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.

Qadhi Iyad berpendapat berbeda dengan mazhabnya –yakni Malikiyah- dengan tidak menganggap hadits (yang membolehkan) menggantikan puasa bagi orang meninggal dan menghajikannya. Dia berkesimpulan bahwa haditsnya mudhtharib (tidak tetap).

Alasan ini batil, karena haditsnya tidak mudhtharib. Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala  Imam Muslim menjadikannya sebagai hujah dalam Kitab shahihnya.

(Syarh An-Nawawi Ala Muslim, 8/27)

KE EMPAT :

Dalil yang menunujukkan Qodho Puasa atas nama mayit itu bermanfaat baginya .

HADITS : Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah bersabda :

"مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ"

" Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya”

(HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).

HADITS : dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma , dia berkata :

جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتْ إِنَّ أُخْتِي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُخْتِكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَحَقُّ اللَّهِ أَحَقُّ

Seorang perempuan datang kepada Nabi , seraya bertanya :

" Sesungguhnya SAUDARI-ku meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa dua bulan berturut-turut ?".

Beliau balik bertanya : " Bagaimana menurutmu, Jika saudarimu memiliki hutang lalu kamu melunasinya tidakkah menjadi lunas?"

Dia menjawab : " Iya ".

Lalu beliau melanjutkan : "Maka hak-hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi."

[ HR. Bukhori didalam no. 1953 secara mu'allaq dengan shigot Jazm. Dan oleh Muslim no.1148 secara maushuul , juga oleh Tirmidzi no. 716 dan Ibnu Majah no. 1758. Dan ini lafadz Tirmidzi]

Abu Isa Tirmidzi berkata :

وَفِي الْبَاب عَنْ بُرَيْدَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ

Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Buraidah, Ibnu Umar, 'Aisyah .

Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] telah menceritakan kepada kami [Abu Khalid Al Ahmar] dari [Al A'masy] dengan sanad seperti ini.

Dan Abu 'Isa berkata :

قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

" Hadits Ibnu Abbas adalah hadits hasan shahih".

HADITS : dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :

جاء رجلٌ إلى النبيِّ ﷺ فقال : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى».

“Ada seseorang pernah menemui Rasulullah lantas ia berkata :

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qadha’ puasanya atas nama dirinya?”

Beliau lantas bersabda : “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” . Dia menjawab : “Iya” .

Beliau lalu bersabda : “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari, no. 1953 dan Muslim, no. 1148).”

HADITS : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata :

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ، أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قَالَ: «أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ، أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ»

Seorang wanita mendatangi Rasulullah seraya berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan beliau masih memiliki hutang puasa Nadzar, bolehkah aku membayarnya?"

Beliau menjawab : "Bagaimana menurutmu, jika ibumu memiliki hutang, lalu kamu membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi hutangnya?"

Wanita itu menjawab, "Ya."

Beliau bersabda: "Kalau begitu, berpuasalah untuknya." [ HR. Bukhori no. 1953 dan Muslim no.1148 ]

----

PERNYATAAN IMAM BUKHORI :

Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahih nya Bab (41) :

بَابُ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ

“Bab: Orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa”

Dalam bab ini, imam Bukhari ingin menjelaskan tetang hukum orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa, apakah wajib bagi kerabatnya untuk menunaikanya atau tidak?

Dalam bab ini imam Bukhari menyebutkan satu atsar dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, dan dua hadits dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum.

Imam Bukhari rahimahullah berkata:

وَقَالَ الحَسَنُ: " إِنْ صَامَ عَنْهُ ثَلاَثُونَ رَجُلًا يَوْمًا وَاحِدًا جَازَ " .

Dan Al-Hasan berkata: “Jika tiga puluh orang berpuasa untuknya dalam satu hari maka itu boleh”.

TAKHRIIJ atsar Al-Hasan Al-Bashri:

Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “Tagliq At-Ta’liq” (3/189) melalui jalur imam Ad-Daraqutniy rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mudabbaj”, ia berkata:

ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثَنَا مُحَمَّد بن هَارُون الفلاس، أَنا سعيد بن يَعْقُوب الطَّالقَانِي، أَنا عبد الله بن الْمُبَارك، ثَنَا سعيد بن عَامر، عَن أَشْعَث،

Muhammad bin Makhlad menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Harun Al-Fallas menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin Ya’qub Ath-Thaliqaniy memberitahukan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak memberitakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin ‘Amir menceritakan kepada kami, dari Asy’ats :

عَنْ الْحَسَنِ؛ فِيمَنْ عَلَيْهِ صَوْمُ ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَجَمَعَ لَهُ ثَلَاثِينَ رَجُلًا فَصَامُوا عَنْهُ يَوْمًا وَاحِدًا، قَالَ: "أَجْزَأَ عَنْهُ".

Dari Al-Hasan ; Ia ditanya tentang seseorang yang memiliki hutang puasa tiga puluh hari, kemudian ia mengumpulkan tiga puluh orang kemudian masing-masing berpuasa untuknya sehari?

Al-Hasan menjawab: “Itu cukup baginya”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari bahwa hal tersebut benar jika puasanya tidak disyaratkan untuk dibayar secara berurutan, jika puasanya disyaratkan berurutan maka itu tidak mecukupi karena puasa tersebut tidak berurutan. [Fathul Bariy 4/224]

Kemudian Imam Bukhori menyebutkan Hadits 'Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah bersabda :

"مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ"

" Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya”

(HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).

---

FATWA SYAIKH BIN BAAZ :

Syeikh bin Baaz berkomentar tentang hadits qodho puasa atas nama mayit :

إِنَّ حَدِيثَ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَامٌّ يَعُمُّ صَوْمَ النَّذْرِ وَصَوْمَ رَمَضَانَ إِذَا تَأَخَّرَ الْمُسْلِمُ فِي قَضَائِهِ تَكَاسُلًا مَعَ الْقُدْرَةِ أَوْ صَوْمَ الْكَفَّارَاتِ، فَمَنْ تَرَكَ ذٰلِكَ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ، وَالْوَلِيُّ هُوَ الْقَرِيبُ مِنْ أَقَارِبِهِ، وَإِنْ صَامَ غَيْرُهُ أَجْزَأَ ذٰلِكَ۔

Hadits Nabi ini bersifat umum, mencakup puasa nadzar dan puasa Ramadhan, jika seorang muslim menunda-nunda qadha puasa karena malas padahal dia mampu , atau puasa kaffaarat ; dengan demikian barang siapa meninggalkannya, maka walinya berpuasa atas namanya. Dan wali itu adalah salah seorang kerabat dari kerabat-kerabatnya, namun jika orang lain bukan kerabatnya yang berpuasa, maka itu sudah cukup [sah].

[ Sumber : مجموع فتاوى ومقالات الشيخ ابن باز 25/208)]

=====

KELIMA :

Dalil yang menunjukkan bahwa membayar hutang mayit itu bermanfaat baginya , yaitu bisa membebaskan  beban dan tanggungan mayit darinya .

Hisamuddin 'Affaanah dalam الْمُفَصَّلُ فِي أَحْكَامِ الْأُضْحِيَةِ hal. 169 berkata:

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ قَضَاءَ الدَّيْنِ يُسْقِطُهُ مِنْ ذِمَّةِ الْمَيِّتِ، وَلَوْ كَانَ مِنْ أَجْنَبِيٍّ وَمِنْ غَيْرِ تَرِكَتِهِ۔

Kaum Muslimin sepakat dengan berijma' : bahwa membayari hutang mayit bisa membebaskan beban dan tanggung akhirat atas mayit , meskipun pembayaran itu dari orang asing dan bukan dari harta peninggalannya.

Berikut ini hadits-hadits yang berkenaan dengan pembebasan hutang mayit oleh orang yang melunasinya :

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ’anhu ia mengatakan,

تُوفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا، فغسَّلْناه، وحنَّطْناه، وكفَّنَّاه، ثم أَتَيْنا به رسولَ اللهِ ﷺ فقُلنا: تُصلِّي عليه؟ فخَطا خُطًى، ثم قال: أعليه دَينٌ؟ قلنا: دينارانِ، فانصَرَفَ، فتحَمَّلَهما أبو قَتادَةَ، فقال أبو قَتادَةَ: الدِّنيارانِ عليَّ، فقال رسولُ اللهِ ﷺ: حَقُّ الغَريمِ، وبَرِئَ منهما الميِّتُ؟ قال: نَعَمْ، فصلَّى عليه.

“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah .

Dan kami bertanya : ‘Apakah baginda akan menyalatkannya?’

Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya : ‘Apakah ia mempunyai hutang?’

Kami menjawab : ‘Dua dinar.’

Lalu beliau mau kembali pulang . Maka Abu Qatadah bersedia menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya, Abu Qotadah berkata : ‘Dua dinar itu menjadi tanggunganku.’

Lalu Rasulullah bersabda : ‘Betul-betul Engkau tanggung hutang mayit sampai lunas?’

Qatadah menjawab : ‘Iya betul’.

Maka Nabi pun menshalatinya.

[HR. Abu Daud (3343), An-Nasa'i (1962) dengan lafadz yang semisal, dan Ahmad (14576) dengan sedikit perbedaan.

Di Shahihkan oleh Ibnu Utsaimin dalam Syarah Bulughul Maram 4/153 dan dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

تُوُفِّـيَ رَجُلٌ ، فَغَسَّلْنَاهُ وَحَنَّطْنَاهُ وَكَفَّنَّاهُ ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُوْلَ اللّٰـهِ ﷺ يُصَلِّي عَلَيْهِ ، فَقُلْنَا : تُصَلِّي عَلَيْهِ ؟ فَخَطَا خُطًى ، ثُمَّ قَالَ : أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ قُلْنَا : دِينَارَانِ ، فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهُمَـا أَبُوْ قَتَادَةَ ، فَأَتَيْنَاهُ ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ : الدِّيْنَارَانِ عَلَيَّ ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ ﷺ: ((أُحِقَّ الْغَرِيْمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ؟)) قَالَ : نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.

ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِيَوْمٍ : ((مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ ؟)) فَقَالَ : إِنَّمَـا مَاتَ أَمْسِ ، قَالَ : فَعَادَ إِلَيْهِ مِنَ الْغَدِ ، فَقَالَ : لَقَدْ قَضَيْتُهُمَـا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ ﷺ: ((الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ)).

Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya.

Kemudian kami mendatangi Rasulullah dan kami tanyakan: " Apakah baginda akan menyolatkannya?“.

Beliau melangkah beberapa langkah , kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?".

Kami menjawab : " Dua dinar".

Lalu beliau hendak kembali pulang . Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: " Dua dinar itu menjadi tanggunganku".

Lalu Rasulullah bertanya : "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya."

Ia menjawab: Ya. Maka beliau menshalatinya.

Kemudian setelah hari itu maka Rasulullah bertanya pada Abu Qotadah : ‘Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar itu ?’

Maka Abu Qatadah berkata : “Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.’”

Jabir berkata, ‘Maka Rasulullah mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata : ‘Aku telah melunasinya wahai Rasulullah!’

Maka Rasulullah bersabda : ‘Sekarang barulah dingin kulitnya!’”

[ HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Lihat Bulughul Maram 900/1597 ]

Semua ini sesuai dengan prinsip qaidah-qaidah Syar'iyah, dan ini adalah analogi murni [قِيَاسٌ مَحْضٌ] , karena pahala adalah hak bagi yang mengamalkannya , dengan demikian  jika dia menghibahkannya kepada saudaranya yang Muslim, maka tidak ada yang menghalanginya dari itu.

Seperti halnya dia juga tidak ada yang menghalanginya untuk menghibahkan hartanya kepadanya pada semasa hidupnya, dan begitu juga membebaskan hutangnya padanya setelah dia wafat .

*****

PENDAPAT KEDUA :
TIDAK SAH BERKURBAN ATAS NAMA MAYIT
KECUALI JIKA TELAH DIWASIATKAN OLEHNYA SEBELUM WAFAT

Ini adalah pendapat Mazhab Syafi'i. Imam Nawawi rahimahullah, berkata dalam Al-Minhaj:

وَلَا ضَحِيَّةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

Tidaklah seseorang melakukan qurban atas orang lain tanpa seijinnya, dan tidak pula atas mayyit (orang yang telah meninggal), jika almarhum tidak berwasiat untuk berqurban. [ Al-Minhaj1/321]

Dan dalam al-Majmu' , Imam an-Nawawi berkata :

وَقَالَ صَاحِبُ "الْعِدَّةِ" وَالْبُغَوِيُّ: لَا تَصِحُّ التَّضْحِيَةُ عَنِ الْمَيِّتِ إِلَّا أَنْ يُوصِيَ بِهَا، وَبِهِ قَطَعَ الرَّافِعِيُّ۔

Dan penulis Al-'Uddah dan Al-Baghawi mengatakan: Tidak sah berkurban atas nama orang yang sudah meninggal kecuali dia membuat wasiat, dan ini adalah pendapat yang diputuskan ar-Rafi’i .” [ Baca : al-Majmu 8/380 ]

[ Baca : Fatawaa asy-Syabakah al-Islaamiyyah 11/20463 no. 93307]

DALILNYA :

Imam Ahmad (1219) dan Abu Daud (2790) telah meriwayatkan dari jalur Syuraik bin Abdullah Al Qadhi dengan kata: “Al Wasiat”. 

Utsman bin Abi Syaibah telah meriwayatkan kepada kami, Syuraik telah meriwayatkan kepada kami dari Abu Hasna’ dari Hakam dari Hanasy berkata: “Saya melihat Ali telah berkurban dua ekor kambing, saya berkata kepadanya: “Apa ini ?”, beliau berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ " .

“Sungguh Rasulullah telah berwasiat kepadaku agar aku berkurban atas nama beliau, maka saya berkurban atas nama beliau”.

Syeikh Albani –rahimahullah- berkata: “Saya berkata: “Sanadnya lemah " . (Dha’if Abu Daud)

Syeikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad –hafidzahullah- juga telah mendha’ifkannya, sebagaimana di dalam syarahnya Sunan Abu Daud.

****

PENDAPAT KETIGA :
MAKRUH HUKUM BERKURBAN ATAS NAMA MAYIT

Ini adalah pendapat Madzhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa secara umum di bolehkan akan tetapi ada unsur kemakruhan-nya, sebagaimana dinyatakan dalam Sharh Mukhtasar Khalil oleh Al-Kharshi (3/42):

يَكْرَهُ لِلشَّخْصِ أَنْ يُضَحِّيَ عَنِ الْمَيِّتِ خَوْفَ الرِّيَاءِ وَالْمُبَاهَاةِ وَلِعَدَمِ الْوَارِدِ فِي ذٰلِكَ، وَهٰذَا إِذَا لَمْ يُعِدَّهَا الْمَيِّتُ وَإِلَّا فَلِلْوَارِثِ إِنْفَاذُهَا۔

“Di makruhkan bagi seseorang untuk berkurban atas nama orang yang meninggal ; karena khawatir timbul rasa ingin pamer dan menyombongkan diri dan karena tidak adanya dalil untuk itu.

Dan ini jika si mayit tidak menyiapkannya [sebelum wafat] , akan tetapi jika si mayit telah menyiapkannya maka ahli waris harus melaksanakannya.”

Imam Malik juga mengatakan:

وَلَا يُعْجِبُنِي أَنْ يُضَحِّيَ عَنْ أَبَوَيْهِ الْمَيْتَيْنِ

Dan aku tidak merasa takjub kepada orang yang berqurban atas orang tuanya yang telah meninggal dunia. [ Al-Haththab Al-Ru’aini, Mawahib Al-Jalil, 3/247 ] 

Dalam sebuah riwayat lain, imam Malik juga berucap:

أَكْرَهُ أَنْ يُرْسَلَ لِمَنَاحَةٍ

Aku memakruhkan mengirim (pahala qurban ) bagi orang yang sudah meninggal.  [ Al-Gharnathi, At-Taj wa Al-Iklil, 4/378]

[ Baca : Fatawaa asy-Syabakah al-Islaamiyyah 11/20463 no. 93307 ]

****

PENDAPAT KE EMPAT
BID'AH DAN TIDAK SAH BERKURBAN ATAS NAMA MAYIT
KECUALI DIIKUT SERTAKAN PADA ORANG YANG MASIH HIDUP .

Menurut pendapat keempat ini : Tidak boleh , bahkan ada yang mengatakan perbuatan maksiat bagi seseorang yang menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati ; kecuali diikut sertakan dengan orang yang masih hidup, seperti; seseorang berkurban atas nama dirinya dan keluarganya dengan berniat untuk mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia .

Ini pendapat Sheikh Abdullah bin Mahmoud, Syeikh al-Albaani, Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbaad , Syeikh Ibnu al-Utsaimin dan lainya .

Kenapa dilarang dan dianggap bid'ah ? Karena hukum asal dari ibadah adalah dilarang hingga ada dalil yang mensyariatkannya .

----

FATWA SYEIKH ABDULLAH BIN MAHMUD :

Dalam Sebuah Risalah yang didiktekan oleh Sheikh Abdullah bin Mahmoud, Kepala Pengadilan Qatar, di mana dia menyebutkan :

أَنَّ الْأُضْحِيَةَ عَنِ الْمَيِّتِ لَا تَجُوزُ وَأَنَّهَا غَيْرُ شَرْعِيَّةٍ، وَإِنَّمَا عَلَيْهِ النَّاسُ مِنْ عُلَمَاءٍ وَعَوَامٍّ مِنَ الْأُضْحِيَةِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالْوَصِيَّةِ بِذٰلِكَ كُلِّهِ خَطَأٌ مَحْضٌ۔

" Bahwa berkurban atas nama orang yang sudah meninggal tidak boleh dan tidak sah.

Dan adapun yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang dari kalangan para ulama dan orang awam, dengan berkurban atas nama orang yang sudah meninggal, dan berwasiat untuk berkurban ; maka itu semua murni kesalahan ".

[ Di kutip dari : الدعوة إلى الله في موسم الحج oleh Syeikh Abdulaziz bin Naashir Ar-Rasyiid ]

----

FATWA SYEIKH AL-ALBAANI :

السَّائِلُ: أَنَا سَأَلْتُ هَلْ يُشْرَعُ لِلأَمْوَاتِ أُضْحِيَّةٌ؟ هَٰذَا سُؤَالِي أَنَا، فَهُوَ هَذِهِ يَسْمِّيهَا أُضْحِيَّةً، فَهَلْ يُشْرَعُ بَعْدَ مَوْتِهِ لِلْمَيِّتِ أَنْ تُسَمَّى أُضْحِيَّةً وَيُعْمَلَ فِيهَا كَمَا يُعْمَلُ بِالْأُضْحِيَةِ؟

الشَّيْخُ: مَنْ الَّذِي يَذْبَحُ عَنِ الْمَيِّتِ أُضْحِيَّةً فِي يَوْمِ الْعِيدِ؟ السُّؤَالُ الَّذِي تَعْنِيهِ أَوْلَدُهُ أَمْ غَيْرُهُ؟

السَّائِلُ: مَا أَنَا وَلَدُهُ لَكِنْ وَصَّى مِنْ مَالِهِ أَنْهُ يُذْبَحَ لَهُ ذَبِيحَةٌ.

الشَّيْخُ: طَيِّبٌ هَذِهِ وَصِيَّةٌ مَعْصِيَةٌ أَمْ لَا طَاعَةَ؟

Penanya:

Saya bertanya: Apakah disyariatkan untuk kurban bagi orang yang sudah meninggal? Ini pertanyaan saya, Dia menyebut ini sebagai kurban, jadi apakah setelah kematiannya disyariatkan wasiat orang yang meninggal itu disebut kurban dan mengerjakannya seperti yang dia lakukan dengan hewan kurban?

Syeikh al-Albaani :

Siapa yang menyembelih qurban pada hari raya Idul Adha ? Pertanyaan yang Anda maksud adalah anak-anaknya atau orang lain?

Penanya:

Yang saya maksud bukan anak nya , akan tetapi dia berwasiat dari hartanya agar berkurban untuknya.

Syekh al-Albaani :

Baik , ini adalah wasiat untuk berbuat maksiat [perbuatan dosa] dan bukan untuk berbuat ketaatan ?

[ Sumber : متفرقات للألباني no. 269 – Blog. Ahlul Hadits wal Atsaar ] .

----

FATWA SYEIKH AL-'ABBAD

Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad, dia berkata:

الْإِنْسَانُ عِنْدَمَا يُضَحِّي، يُضَحِّي عَنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنِ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَإِذَا وَصَّى رَجُلٌ بِأَنْ يُضَحَّى عَنْهُ فَلْيُضَحِّ عَنْهُ.

وَأَمَّا الْأُضْحِيَةُ عَنِ الْمَيِّتِ اسْتِقْلَالًا عَلَى سَبِيلِ الانْفِرَادِ، فَلَا نَعْلَمُ شَيْئًا ثَابِتًا يَدُلُّ عَلَيْهِ، وَلَكِنْ كَوْنُهُ يُضَحِّي عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ أَوْ أَقَارِبِهِ، أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، فَلَا بَأْسَ بِذٰلِكَ، وَقَدْ جَاءَ فِي السُّنَّةِ مَا يَدُلُّ عَلَى ذٰلِكَ، فَيَدْخُلُ الْأَمْوَاتُ تَبَعًا، وَأَمَّا أَنْ يُضَحَّى عَنْهُمْ اسْتِقْلَالًا وَانْفِرَادًا، وَأَنْ يَكُونَ ذٰلِكَ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ مِنْهُمْ، فَلَا أَعْلَمُ شَيْئًا يَدُلُّ عَلَيْهِ.

وَالْحَدِيثُ الَّذِي أَوْرَدَهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَيَقُولُ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَوْصَاهُ بِذٰلِكَ، غَيْرُ ثَابِتٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ هُوَ مَجْهُولٌ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ مُتَكَلِّمٌ فِيهِ غَيْرُ الْمَجْهُولِ، وَالْإِنْسَانُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَصِلَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ بِسَبَبِهِ شَيْءٌ مِنْ رَفْعَةِ الدَّرَجَةِ وَعُلُوِّ الْمَنْزِلَةِ فَإِنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ لِنَفْسِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعْطِي نَبِيَّهُ ﷺ مِثْلَمَا أَعْطَاهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ هُوَ الَّذِي دَلَّ النَّاسَ عَلَى الْخَيْرِ: (وَمَن دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ) ... انتهى من شرح "سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ".

وَعَلَى فَرْضِ صِحَّةِ الْحَدِيثِ، فَإِنَّ هٰذَا خَاصٌّ بِالْوَصِيَّةِ، كَمَا جَاءَ مُصَرَّحًا بِهِ فِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ، وَالنَّبِيُّ ﷺ لَمْ يُوصِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ غَيْرَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَزِمَ الْوُقُوفُ عِنْدَ النُّصُوصِ وَلَا التَّجَاوُزَ. وَلِلِاسْتِزَادَةِ فِي مَعْرِفَةِ حُكْمِ الْأُضْحِيَةِ عَنِ الْمَيِّتِ

“Manusia pada saat berkurban, maka berkurban untuk dirinya dan keluarganya, ia juga bisa berkurban atas nama keluarganya yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia.  Jika seseorang berwasiat agar disembelihkan untuknya, maka sembelihkan kurban untuknya. Adapun berkuban atas nama mayyit saja secara terpisah, maka kami tidak mengetahui dalil yang baku menunjukkan hal itu.

Akan tetapi bahwa ia berkurban untuk dirinya, keluarga dan kerabatnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, maka tidak masalah. Karena telah disebutkan di dalam sunnah yang menunjukkan hal tersebut, maka mereka yang sudah meninggal dunia diikutkan saja. Adapun berkurban atas nama mereka yang sudah meninggal dunia secara terpisah (bukan keluarganya) dan secara personal, tidak ada wasiat apa-apa sebelumnya, maka saya tidak mengetahui dalil yang menunjukkan hal itu”.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ali –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkurban 2 ekor kambing kibas dan berkata:

“Sungguh Nabi telah berwasiat kepadanya”.

Hal ini tidak bisa dipastikan dari Rasulullah karena di dalam sanadnya ada orang yang tidak dikenal, di dalamnya juga ada seorang perawi yang dibicarakan oleh ulama yang terkenal.

Jika seseorang ingin sampai kepada Nabi karena sebab tingginya derajat dan tingginya kedudukan maka hendaknya ia berijtihad dalam amal sholeh untuk dirinya sendiri, karena sunggu Allah –ta’ala- telah memberikan kepada Nabi-Nya sebagaimana sama dengan apa yang Dia berikan kepadanya; karena Nabi yang telah memberikan petunjuk dalam kebaikan:

" وَمَن دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ".

“Barang siapa yang telah memberikan petunjuk kebaikan, maka baginya pahala sama persis dengan pelakunya”. (Syarah Sunan Abu Daud)

----

FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIIN :

Fatwa ke 1 :

سُئِلَ فَضِيلَةُ الشَّيْخِ -رَحِمَهُ اللَّهُ-: مَا حُكْمُ الْأُضْحِيَةِ؟ وَمَا حُكْمُ إِفْرَادِ الْمَيِّتِ بِالْأُضْحِيَةِ؟

Yang Mulia Syekh – semoga Allah merahmatinya – ditanya: Apa hukum kurban? Apa hukumnya berkurban atas nama mayit secara tersendiri ?

فَأَجَابَ -رَحِمَهُ اللَّهُ- بِقَوْلِهِ: الْأُضْحِيَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِلْقَادِرِ عَلَيْهَا، فَيُضَحِّي الْإِنْسَانُ عَنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ.

وَأَمَّا إِفْرَادُ الْمَيِّتِ بِالْأُضْحِيَةِ فَلَيْسَ بِسُنَّةٍ، فَإِنَّهُ لَمْ يَرِدْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ -فِيمَا أَعْلَمُ- أَنَّهُ ضَحَّى عَنْ أَحَدٍ مَيِّتٍ أُضْحِيَّةً مُنْفَرِدَةً، وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ فِي حَيَاتِهِ ﷺ، وَلَكِنْ يَضَحِّي الْإِنْسَانُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَإِذَا نَوَى أَنْ يَكُونَ الْمَيِّتُ مَعَهُمْ فَلَا بَأْسَ.

 

Dia menjawab - semoga Allah merahmatinya - dengan mengatakan:

Berkurban adalah sunnah muakkad bagi orang yang mampu melakukannya, maka seseorang berkurbanlah atas nama dirinya dan keluarganya.

Adapun berkurban atas nama orang mati dengan cara tersendiri , maka itu bukan Sunnah, karena tidak ada keterangan dari Nabi , sejauh yang saya tahu - bahwa beliau berkurban satu ekor hewan kurban atas nama orang mati secara tersendiri / terpisah , atau atas nama para sahabatnya semasa hidup beliau .

Akan tetapi yang benar adalah seseorang berkurban atas nama dirinya dan atas nama keluarganya, dan jika dia menghendaki agar sesorang yang sudah meninggal diikut sertakan bersama mereka, maka itu tidaklah mengapa ".  [ Majmu' Fataawa Ibnu Utsaimin 9/25 – Soal 2]

Fatwa ke 2 :

Syeikh Muhammad bin Utsaimin –rahimahullah- berkata:

الأَصْلُ فِي الْأُضْحِيَةِ أَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ فِي حَقِّ الْأَحْيَاءِ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَصْحَابُهُ يَضَحُّونَ عَنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَهْلِهِمْ، وَأَمَّا مَا يَظُنُّهُ بَعْضُ الْعَامَّةِ مِنْ اخْتِصَاصِ الْأُضْحِيَةِ بِالْأَمْوَاتِ فَلَا أَصْلَ لَهُ.

وَالْأُضْحِيَةُ عَنِ الْأَمْوَاتِ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ:

الأَوَّلُ: أَنْ يَضَحِّي عَنْهُمْ تَبَعًا لِلْأَحْيَاءِ مِثْلَ أَنْ يَضَحِّي الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَيَنْوِي بِهِمُ الْأَحْيَاءَ وَالْأَمْوَاتَ، (وَهٰذَا جَائِزٌ) وَأَصْلُ هٰذَا تَضْحِيَةُ النَّبِيِّ ﷺ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَفِيهِمْ مَنْ قَدْ مَاتَ مِنْ قَبْلُ.

الثَّانِي: أَنْ يَضَحِّي عَنِ الْأَمْوَاتِ بِمُقْتَضَى وَصَايَاهُمْ تَنْفِيذًا لَهَا (وَهٰذَا وَاجِبٌ إِلَّا إِنْ عَجَزَ عَنْ ذٰلِكَ) وَأَصْلُ هٰذَا قَوْلُهُ تَعَالَى:

(فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ).

الثَّالِثُ: أَنْ يَضَحِّي عَنِ الْأَمْوَاتِ تَبَرُّعًا مُسْتَقِلًّا عَنْ الْأَحْيَاءِ (بِأَنْ يَذْبَحَ لِأَبِيهِ أُضْحِيَّةً مُسْتَقِلَّةً أَوْ لِأُمِّهِ أُضْحِيَّةً مُسْتَقِلَّةً) فَهٰذِهِ جَائِزَةٌ، وَقَدْ نَصَّ فُقَهَاءُ الْحَنَابِلَةِ عَلَى أَنَّ ثَوَابَهَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْتَفِعُ بِهِ قِيَاسًا عَلَى الصَّدَقَةِ عَنْهُ.

وَلَكِنَّنَا لَا نَرَى أَنْ تَخْصِيصَ الْمَيِّتِ بِالْأُضْحِيَةِ مِنَ السُّنَّةِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَضَحَّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَمْوَاتِهِ بِخُصُوصِهِ، فَلَمْ يَضَحَّ عَنْ عَمِّهِ حَمْزَةَ وَهُوَ مِنْ أَعَزِّ أَقَارِبِهِ عِنْدَهُ، وَلَا عَنْ أَوْلَادِهِ الَّذِينَ مَاتُوا فِي حَيَاتِهِ، وَهُمْ ثَلَاثُ بَنَاتٍ مُتَزَوِّجَاتٍ، وَثَلَاثَةُ أَبْنَاءٍ صِغَارٍ، وَلَا عَنْ زَوْجَتِهِ خَدِيجَةَ وَهِيَ مِنْ أَحَبِّ نِسَائِهِ إِلَيْهِ، وَلَمْ يَرُدْ عَنْ أَصْحَابِهِ فِي عَهْدِهِ أَنَّ أَحَدًا مِنْهُمْ ضَحَّى عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَمْوَاتِهِ.

وَنَرَى أَيْضًا مِنَ الْخَطَأِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ يَضَحُّونَ عَنْ الْمَيِّتِ أَوَّلَ سَنَةٍ يَمُوتُ أُضْحِيَّةً يَسْمُونَهَا (أُضْحِيَّةَ الْحُفْرَةِ) وَيَعْتَقِدُونَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُشْرَكَ مَعَهُ فِي ثَوَابِهَا أَحَدٌ، أَوْ يَضَحُّونَ عَنْ أَمْوَاتِهِمْ تَبَرُّعًا، أَوْ بِمُقْتَضَى وَصَايَاهُمْ وَلَا يَضَحُّونَ عَنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ، وَلَوْ عَلِمُوا أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا ضَحَّى مِنْ مَالِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ شَمِلَ أَهْلَهُ الْأَحْيَاءَ وَالْأَمْوَاتَ لَمَا عَدَلُوا عَنْهُ إِلَى عَمَلِهِمْ ذٰلِكَ.

 

“Hukum asal berkurban adalah disyari’atkan bagi mereka yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para sahabat beliau berkurban atas nama diri mereka dan keluarga mereka, sedangkan apa yang menjadi perkiraan orang-orang awam bahwa kurban khusus bagi orang yang sudah meninggal dunia, tidak ada dasarnya.

Berkurban untuk mereka yang sudah meninggal dunia dibagi menjadi tiga macam:

PERTAMA :

Disembelihkan kurban untuk mereka yang sudah meninggal dunia; karena mengikuti mereka yang masih hidup, seperti; seseorang berkurban atas nama dirinya dan keluarganya dengan berniat untuk mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia. ini boleh dilakukan. Dalil dari pendapat ini adalah kurban Rasulullah untuk diri beliau dan keluarganya, dan di antara mereka ada yang sudah meninggal dunia.

KEDUA :

Berkurban untuk mereka yang sudah meninggal dunia, karena untuk menunaikan wasiat orang yang sudah meninggal dunia. Hal ini wajib dilakukan, kecuali tidak mampu untuk menunaikannya. Inilah hukum asal firman Allah –Ta’ala- :

( فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ)

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. al Baqarah: 181)

KETIGA :

Hewan kurban untuk mereka yang sudah meninggal dunia saja secara terpisah dengan mereka yang masih hidup, misalnya; seseorang berkurban atas nama bapaknya saja atau ibunya saja yang kedua-duanya sudah meninggal dunia, maka hal ini juga masih boleh dilakukan.

Para ulama fikih Hanabilah berpendapat bahwa pahalanya akan sampai kepada ahli kubur, dan merasakan manfaatnya dikiaskan dengan sedekah atas nama orang yang sudah meninggal dunia.

Akan tetapi kami tidak berpendapat bahwa kurban yang hanya dikhususkan atas nama mayit saja termasuk dari sunnah; karena Rasulullah tidak melakukan kurban salah satu dari mereka yang sudah meninggal dunia secara khusus.

Beliau juga tidak berkurban atas nama pamannya Hamzah padahal ia termasuk keluarga yang paling dekat dengan beliau, juga tidak beliau atas nama anak-anak beliau yang sudah meninggal dunia semasa hidup beliau, yaitu tiga anak perempuan yang sudah menikah, dan tiga anak laki-laki meninggal dunia pada usia muda.

Beliau juga tidak berkurban atas nama Khodijah saja padahal beliau adalah istri yang paling beliau cintai. Juga tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat pada masa beliau berkurban atas nama kerabat mereka yang sudah meninggal dunia.

Kami juga berpendapat adalah termasuk sebuah kesalahan , apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berkurban atas nama mayit pada tahun pertama meninggalnya, dan dinamakan dengan “Udhhiyatul Hufrah” (kurban penguburan) .

Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang boleh ikut serta untuk mendapatkan pahalanya, atau mereka berkurban atas nama orang-orang yang sudah meninggal dengan dengan cara iuran antar mereka, atau karena memenuhi wasiat mereka, dan yang masih hidup tidak berkurban atas diri mereka sendiri dan keluarga mereka.

Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa ketika seseorang berkurban dengan hartanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, sebenarnya sudah mencakup semua keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, maka mereka tidak akan melakukan kurban secara khusus hanya untuk ahli kubur. [Selesai Kutipan Fatwa Ibnu Utsaimiin]

 


 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar