Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

*****

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


Telah terjadi perbedaan pendapat antara para ulama tentang hukum menikah dengan wanita hamil hasil dari perbuatan zina.

Ada dua pendapat:

PENDAPAT PERTAMA 

Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii berpendapat boleh dan sah nikahnya. Dan syaratnya harus bertaubat dulu.

Karena tidak ada iddah atas wanita hamil hasil zina.

Akan tetapi, Abu Hanifah melarang berhubungan badan dengannya sampai dia melahirkan; berdasarkan hadits yang melarang menyirami tanaman orang lain. Dari Ruwaifi' bin Tsabit al-Anshari, bahwa Nabi SAW bersabda:

"مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يَسْقِى مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ"

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah dia menyiramkan air [mani] nya pada tanaman orang lain”

[HR. Abu Dawud 1/497. Al-Tirmidzi, ['Aaridhatul Al-Ahwadhi 5/64], Imam Ahmad, dalam: Al-Musnad 4/108, 109.

Di Shahihkan oleh asy-Syakani dalam as-Sail al-Jarraar 2/404 dan di hasankan oleh al-Albaani dalam Shahih Turmudzi no. 1131]

Berbeda dengan al-Imam al-Syafi'i, beliau membolehkan berhubungan badan dengannya, meski belum melahirkan. Karena air zina tidak memimiliki nilai kehormtan; oleh karena itu ia tidak menetapkan nasab keturunan.

Anak hasil zina nasabnya bukan kepada pria yg menzinahinya; karena jika ada suami istri, kemudian istrinya itu berzina dan hamil; maka anak hasil zina itu nasabnya kepada suaminya yang sah, dan hukuman atas istrinya adalah RAJAM dengan batu hingga mati.

Mereka ini berkata:

ووطء الزاني غير معتبر؛ لأنه وطء محرم لا يترتب عليه آثار الفراش الشرعية لقوله صلى الله عليه وسلم: الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ )

Berhubungan intimnya seorang pezina tidak mu'tabar [tidak dianggap]; Karena persetubuhan yang diharamkan itu tidak menyebabkan atasnya dampak hukum syar'i yang berkaitan dengan keabsahan hukum ranjang suami istri; Karena Rosulullah SAW bersabda:

( الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ )

“Nasab anak itu ikut ranjang yg sah. Dan hukuman istri zina adlh dirajam pake batu ". [HR. Bukhori no. 3964, 6818 dan Muslim 1458].

Dan mereka juga berkata:

وَلَا تُشْتَرَطُ التَّوْبَةُ لِصِحَّةِ نِكَاحِ الزَّانِيَةِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ ضَرَبَ رَجُلاً وَامْرَأَةً فِي الزِّنَى وَحَرَصَ عَلَى أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا

Taubat itu bukanlah syarat sahnya pernikahan wanita sundal [pezina] menurut mayoritas para fuqaha; berdasarkan apa yang diriwayatkan:

Bahwa Umar memukul seorang pria dan seorang wanita karena berzina, namun beliau sangat berkeinginan untuk menyatukan mereka dalam pernikahan.

[Referensi: Bada'i' ash-Shanaa'i' 2/269, Ibnu Abidiin 2/291, 292 dan Al-Jamal 4/455, 456, 471, 472

PENDAPAT KEDUA:

Imam Malik dan imam Ahmad berpendapat: tidak boleh dan tidak sah nikahnya.

DALILNYA:

KE 1: HADITS ABU SAID AL-KHUDRI -raḍiyallāhu'anhu-:

Dari Abu Sa'id al-Khudri -raḍiyallāhu'anhu- bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-bersabda tentang wanita tawanan daerah Auṭās:

« لا تُوطَأُ حَامِلٌ حتى تَضَعَ، ولا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حتى تَحِيضَ حَيْضَةً »

"Wanita hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan, dan wanita yang tidak hamil tidak boleh digauli hingga mengalami satu kali haid."

[HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim. Hadits ini di sahihkan al-Hakim dan syeikh al-Baani dalam Shahih Abi Daud 2157. Dan Dihasankan oleh Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhiid 3/143].

Authas adalah sebuah tempat dekat Mekah.

KE 2: HADITS IBNU ABBBAAS -raḍiyallāhu'anhuma -:

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, dia berkata:

“نهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ يومَ خيبرَ أن يُوقَعَ على الحبالى ، وقال: لا تَسقِ زرعَ غيرِك... ".

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pada perang Khaybar menggauli [para wanita tawanan perang] yang hamil, dan beliau bersabda: " Janganlah anda menyirami tanaman orang lain ".

[HR. Bazzar dalam al-Bahr az-Zakhkhar 11/175] Dan diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i (4645) dengan yang semisal, Ahmad (2318, 3069) dengan yang semisal, namun terpencar-pencar.

Al-Bazzar berkata:

روي بعضه من غير وجه، وبعضه لا نحفظه من وجه صحيح إلا من هذا الوجه

“Sebagian di antaranya diriwayatkan tanpa jalur tsb, dan sebagian di antaranya kami tidak hafal dari jalur yang sahaih kecuali dari jalur ini ".

KETIGA: HADITS RUWAIFII' BIN TSABIT -raḍiyallāhu'anhu-:

Riwayat ke 1:

Dari Ruwaifi' bin Tsabit al-Anshari, bahwa Nabi SAW bersabda: 

"مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يَسْقِى مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ"

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah dia menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”

[HR. Abu Dawud 1/497. Al-Tirmidzi, ['Aaridhatul Al-Ahwadhi 5/64], Imam Ahmad, dalam: Al-Musnad 4/108, 109.

Di Shahihkan oleh asy-Syakani dalam as-Sail al-Jarraar 2/404 dan di hasankan oleh al-Albaani dalam Shahih Turmudzi no. 1131]

Riwayat ke 2:

Dari [Ruwaifi' bin Tsabit Al Anshari] berkata;

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ افْتَتَحَ حُنَيْنًا فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَلَا أَنْ يَبْتَاعَ مَغْنَمًا حَتَّى يُقْسَمَ وَلَا أَنْ يَلْبَسَ ثَوْبًا مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَخْلَقَهُ رَدَّهُ فِيهِ وَلَا يَرْكَبَ دَابَّةً مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَعْجَفَهَا رَدَّهَا فِيهِ

Saya bersama Nabi Shallallahu'alaihiwasallam ketika sedang menyerang Hunain, lalu beliau berdiri di tengah-tengah kami berkhutbah, bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir mengalirkan airnya pada sawah orang lain, juga menjual ghanimah sampai dibagi atau memakai pakaian dari fa'i (harta kaum muslimin yang dirampas dari musuhnya tanpa adanya Perang) hingga jika telah usang lantas dia kembalikan, juga tidak halal menaiki kendaraan dari fa'i kaum muslimin sampai jika dia kendaraan itu telah melemah, lantas dia kembalikan."[HR. Ahmad 16376]

Hadits Ini shahih jika dikumpulkan semua jalur-jalurnya dan syahid-syahidnya.
 
Akan tetapi untuk sanad ini adalah Dha'if karena terputusnya, antara Abu Marzouq al-Tujaibi dan Ruwaifi' bin Tsabit Hanash al-San'ani, seperti yang disebutkan dalam kitab Ar-Riwaayah no. (16997).

Dan Muhammad bin Ishaq berterus terang dengan at-Tahdits di sana, maka hilanglah syubhat tadlisnya. Dan para perawi lainnya tsiqaat [dapat dipercaya].

[Lihat: hamisy Musnad Imam Ahmad Cet. Muassasah ar-Risaalah 28/199].

Riwayat ke 3:

Dari [Ruwaifi' bin Tsabit] berkata;

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُوطَأَ الْأَمَةُ حَتَّى تَحِيضَ وَعَنْ الْحَبَالَى حَتَّى يَضَعْنَ مَا فِي بُطُونِهِنَّ

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam melarang menggauli budak sampai dia haid dan dari orang yang sedang hamil sampai dia melahirkan isi perutnya."

[Ahmad 16379] Di Shahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhriij al-Musnad no. 16993.

Riwayat ke 4:

Dari [Hanasy Ash-Shana'ani] berkata

غَزَوْنَا مَعَ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَرْيَةً مِنْ قُرَى الْمَغْرِبِ يُقَالُ لَهَا جَرَبَّةُ فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي لَا أَقُولُ فِيكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَامَ فِينَا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى مِنْ السَّبَايَا وَأَنْ يُصِيبَ امْرَأَةً ثَيِّبًا مِنْ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا يَعْنِي إِذَا اشْتَرَاهَا وَأَنْ يَبِيعَ مَغْنَمًا حَتَّى يُقْسَمَ وَأَنْ يَرْكَبَ دَابَّةً مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَعْجَفَهَا رَدَّهَا فِيهِ وَأَنْ يَلْبَسَ ثَوْبًا مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَخْلَقَهُ رَدَّهُ فِيهِ

"Kami berperang bersama [Ruwaifi' bin Tsabit Al Anshari] di suatu desa di negara Maroko yang bernama Jarabbah, lalu dia berdiri di tengah-tengah kami berkhutbah, lalu berkata;

"Wahai orang-orang, saya tidak mengatakan kepada kalian kecuali apa yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, saat itu beliau berdiri di tengah-tengah kami pada Perang Hunain:

"Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, [hal-hal sbb]:

Ia mengalirkan air-nya [mani] pada sawah orang lain' - maksudnya mensetubuhi wanita hamil dari tawanan Perang -,

Terlarang seseorang mensetubuhi wanita menjanda dari tawanan sampai dia tahu betul ketidakhamilannya - maksudnya jika dia membeli tawanan itu –

Juga terlarang menjual ghanimah sampai dibagi,

Atau menaiki kendaraan dari fa'i kaum muslimin sampai jika dia hewan tunggangan itu telah melemah, dia mengembalikannya,

Dan memakai pakaian dari fa'i (harta kaum muslimin yang dirampas dari musuhnya tanpa adanya Perang) hingga jika telah menjadi usang, dia mengembalikannya."

[HR. Ahmad no. 16383] Di Hasankan oleh al-Albaani dalam Irwa' al-Gholiil 1/201 dan Shahih Abi Daud no. 2158.

KEEMPAT: HADITS SA'ID BIN AL-MUSAYYIB – rahimahullah –:

Dari Said bin Al-Musayyab:

«‌أَنَّ ‌رَجُلًا ‌تَزَوَّجَ ‌امْرَأَةً ‌فَلَمَّا ‌أَصَابَهَا ‌وَجَدَهَا ‌حُبْلَى ‌فَرَفَعَ ‌ذَلِكَ ‌إِلَى ‌النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَجَعَلَ لَهَا الصَّدَاقَ وَجَلَدَهَا مِائَةً»

" Bahwa seseorang telah menikah dengan seorang wanita, namun baru ketahuan wanita itu dalam keadaan hamil. Maka kasus itu diangkat ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau memisahkan antara keduanya.”

(HR Said bin Manshur 1/218 no. 693 dan Baihaqi 7/255 no. 13894) secara mursal. Dan Secara maushul dari seorang lelaki dari al-Anshar, namun di dalam sanadnya terdapat Ibnu Juraij, seorang mudallis, dan meriwayatkan dengan cara 'an 'anah [dari].  

BANTAHAN DARI IMAM BAIHAQI:

Imam Baihaqi berkata:

هَذَا حَدِيثٌ مُرْسَلٌ وَقَدْ مَضَتِ الدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ نِكَاحِ الزَّانِيَةِ الْمُسْلِمَةِ وَأَنَّهُ لَا يُفْسَخُ بِالزِّنَا، وَإِنَّمَا جَعَلَ اللهُ تَعَالَى الْعِدَّةَ فِي النِّكَاحِ، وَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الِاسْتِبْرَاءَ مِنَ الْمِلْكِ

وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ وَلَدَ الزِّنَا مِنَ الْحُرَّةِ يَكُونُ حُرًّا، فَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْحَدِيثُ إِنْ كَانَ صَحِيحًا مَنْسُوخًا، وَاللهُ أَعْلَمُ

Ini adalah hadits mursal, dan seperti yang telah lalu dalil yang menunjukkan akan dibolehkannya menikah dengan wanita Muslimah pezina, dan pernikahannya itu tidak batal secara syar'i. Dan Allah SWT hanya menetapkan masa iddah dalam nikah, dan Nabi SAW menjadikan al-istibra [1 x haidh] sebagai masa iddah bagi budak wanita yang dimilikinya.

Dan para ulama telah ber ijma' bahwa anak hasil zina dari orang merdeka itu hukumnya adalah anak merdeka [bukan budak], Maka yang yang lebih tepat hadits ini jika seandainya Shahih maka hukumnya telah di mansukh [dirubah].
 
[[Sunan Kubro Imam Baihaqi 7/255 di bawah hadits no. (13894)]]



Posting Komentar

0 Komentar