Di Susun oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM
*****
DAFTAR ISI:
[A] KATEGORI HADITS TENTANG WANITA YANG MELAHIRKAN ANAK HASIL ZINA
- [*] KATAGORI PERTAMA: HADITS TENTANG ANAK ZINA DARI WANITA BER SUAMI:
- [*] KATAGORI KEDUA: HADITS TENTANG ANAK ZINA DARI WANITA TIDAK BERSUAMI
- [*] KATAGORI KETIGA: HADITS TENTANG ANAK ZINA DARI BUDAK BERPROFESI PELACUR
[B] MACAM-MACAM GAMBARAN MASA & KONDISI KELAHIRAN ANAK ZINA
- [*] GAMBARAN PERTAMA: SANG ISTRI MELAHIRKAN ANAK ZINA SEBELUM 6 BULAN MENIKAH
- [*] GAMBARAN KEDUA: SANG ISTRI MELAHIRKAN ANAK ZINA SETELAH 6 BULAN MENIKAH
- [*] GAMBARAN KETIGA: ANAK ZINA DARI WANITA TAK BERSUAMI, NAMUN SANG PRIA PEZINA TIDAK MENGAKUI ANAKNYA.
- [*] GAMBARAN KE EMPAT: ANAK ZINA DARI WANITA TAK BERSUAMI, DAN PRIA PEZINANYA MENGAKUI ANAK-NYA.
[C] DALAM GAMBARAN KE EMPAT ADA DUA PENDAPAT:
- [*] PENDAPAT PERTAMA: TIDAK BOLEH DI NASABKAN KEPADA AYAH BIOLOGISNYA [PEZINA]
- [*] PENDAPAT KEDUA: BOLEH DI NASABKAN KEPADA AYAH BIOLOGISNYA [PEZINA]
[D] DALIL MASING-MASING PENDAPAT:
- [*] DALIL PENDAPAT PERTAMA: YANG MELARANG NASAB ANAK ZINAH KEPADA AYAH BIOLOGISNYA.
- [*] DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA: YANG MEMBOLEHKAN NASAB KE AYAH BIOLOGISNYA
[E] KESIMPULAN AKHIR
******
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
*******
KATEGORI HADITS TENTANG WANITA YANG MELAHIRKAN ANAK HASIL ZINA
Hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah nasab anak terlahir dari perzinahan, secara garis besar terdapat tiga katagori:
KATEGORI PERTAMA:
HADITS TENTANG ANAK ZINA DARI WANITA BER SUAMI:
Ada dua macam:
KE 1: ANAK HASIL ZINA TSB DIPEREBUTKAN OLEH PRIA PEZINA DAN SUAMINYA:
Anak zina tersebut diperebutkan antara pria pelaku zina dan sang suami [pemilik Firasy/ ranjang]. Maka dalam hal ini nasabnya ke suami ibunya.
Contohnya: dalam Hadits Abdullah bin ‘Amru radhiyallaahu 'anhu disebutkan:
“Seorang pria berdiri, lalu berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh Si Fulan ini adalah anakku. Aku telah menzinahi ibunya di masa Jahiliyah."
Maka Rasulullah SAW berkata: “Tidak ada tuntutan pengakuan anak dalam Islam. Perkara di masa jahiliyah sudah lenyap. Anak adalah bagi pemilik FIRASY [ranjang, yakni suami] dan bagi pelaku zina adalah rajam pake batu".
[HR. Abu Daud no. 2274. Di nyatakan HASAN SHAHIH oleh al-Albaani Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493)]
Ibnu Abdil Barr dalam "al-Istidzkaar" (2/167).berkata:
"AL-FIRASY [tempat tidur / ranjang]: adalah pernikahan, atau kepemilikan budak, tidak ada yang lain".
Hadits ini meniadakan nasab anak zina kepada ayah yang menzinahi ibunya, jika ibunya saat melahirkan dalam kondisi bersuami. Maka dalam hal ini nasab anak tsb disambungkan kepada suami ibunya [yakni: kepada pemilik Firasy atau ranjang]
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
" الفِرَاشُ: النِّكَاحُ أوْ مِلْكُ اليَمِيْنِ ، لاَ غَيْرَ "
KE 2: ANAK TSB TIDAK DI AKUI, BAIK OLEH PRIA PEZINA MAUPUN OLEH SUAMI:
Anak zina tersebut tidak diakui baik oleh suami ibunya maupun oleh pria yang tertuduh menzinahi ibunya. Maka dalam hal ini nasabnya ke ibunya.
Seperti dalam hadits kisah Li'an [لِعَانٌ] pada zaman Nabi SAW. Imam Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas eadhiyallahu anhuma:
أنَّ هِلالَ بنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بشَرِيكِ ابْنِ سَحْماءَ، فقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: البَيِّنَةَ أوْ حَدٌّ في ظَهْرِكَ، فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إذا رَأَى أحَدُنا علَى امْرَأَتِهِ رَجُلًا يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُ البَيِّنَةَ! فَجَعَلَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: البَيِّنَةَ، وإلَّا حَدٌّ في ظَهْرِكَ، فقالَ هِلالٌ: والذي بَعَثَكَ بالحَقِّ إنِّي لَصادِقٌ، فَلَيُنْزِلَنَّ اللَّهُ ما يُبَرِّئُ ظَهْرِي مِنَ الحَدِّ،
فَنَزَلَ جِبْرِيلُ وأَنْزَلَ عليه: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ}، فَقَرَأَ حتَّى بَلَغَ: {إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ} [النور: 6 – 9].
فانْصَرَفَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأرْسَلَ إلَيْها، فَجاءَ هِلالٌ فَشَهِدَ، والنَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: إنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ أنَّ أحَدَكُما كاذِبٌ، فَهلْ مِنْكُما تائِبٌ؟ ثُمَّ قامَتْ فَشَهِدَتْ، فَلَمَّا كانَتْ عِنْدَ الخامِسَةِ وقَّفُوها، وقالوا: إنَّها مُوجِبَةٌ، قالَ ابنُ عبَّاسٍ: فَتَلَكَّأَتْ ونَكَصَتْ، حتَّى ظَنَنَّا أنَّها تَرْجِعُ، ثُمَّ قالَتْ: لا أفْضَحُ قَوْمِي سائِرَ اليَومِ، فَمَضَتْ، فقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أبْصِرُوها؛ فإنْ جاءَتْ به أكْحَلَ العَيْنَيْنِ، سابِغَ الألْيَتَيْنِ، خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ؛ فَهو لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْماءَ، فَجاءَتْ به كَذلكَ، فقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لَوْلا ما مَضَى مِن كِتابِ اللَّهِ لَكانَ لي ولَها شَأْنٌ.
" الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدُّ فِي ظَهْرِكَ"
"الْبَيِّنَةُ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ"
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ.
"اللَّهُ يَشْهَدُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ"
"أبْصِرُوها، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أكحلَ الْعَيْنَيْنِ، سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، خَدَلَّج السَّاقَيْنِ، فَهُوَ لشَرِيك بْنِ سَحْمَاءَ".
"لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كتاب الله، لكان لي ولها شأن".
Bahwa Hilal ibnu Umayyah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syarik ibnu Sahma di hadapan Nabi SAW Maka Nabi SAW bersabda:
Bukti ataukah hukuman dera menimpa punggungmu.
Hilal berkata: "Wahai Rasulullah, apabila seseorang di antara kita melihat istrinya berbuat serong dengan seorang lelaki, apakah dia harus pergi untuk mencari saksi?"
Maka Nabi SAW bersabda:
" Kemukakanlah buktimu. Jika tidak, maka hukuman dera [cambuk] me¬nimpa punggungmu".
Hilal berkata: "Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya saya berkata dengan sebenar-benarnya, dan sungguh Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera."
Maka turunlah Jibril dengan membawa firman-Nya kepada Nabi SAW, yaitu:
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6).
Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Nabi SAW mengirimkan utusan untuk memanggil keduanya (Hilal dan istrinya). Hilal datang, lalu mengemukakan sumpahnya.
Nabi SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua dusta, maka adakah yang mau bertobat di antara kamu berdua?
Kemudian istri Hilal bangkit dan bersumpah. Ketika sumpahnya memasuki yang kelima, mereka menghentikannya dan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat mengakibatkan azab Allah menimpa pelakunya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya:
"Bahwa lalu istri Hilal terdiam dan menundukkan kepalanya, sehingga kami mengira bahwa dia akan mengakui perbuatannya. Kemudian ia berkata: "Aku tidak akan membuat malu kaumku di masa mendatang."
Lalu ia mengemukakan sumpahnya yang kelima. Maka Nabi SAW bersabda:
Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang bermata jeli, berpantat besar, dan berbetis padat, maka bayi itu adalah hasil hubungannya dengan Syarik ibnu Sahma.
Ternyata dia melahirkan anak dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan oleh Nabi SAW Maka Nabi SAW bersabda,
"Seandainya tidak ada ketentuan dari Kitabullah, tentulah aku dan dia (istri Hilal) berada dalam suatu keadaan." [HR. Bukhori no. 4747]
KATAGORI KEDUA:
HADITS TENTANG ANAK ZINA DARI WANITA TIDAK BERSUAMI
[Yakni: Wanita yang tidak terikat dengan Firasy pernikahan]. Dalam katagori ini terdapat dua macam:
Pertama: di nasab kan ke ayah biologisnya.
Kedua: tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya.
PERTAMA: anak zina dari wanita tidak bersuami yang di nasab-kan kepada pria pezina [ayah biologisnya].
Dalam hadits Abu Hurairah – radhiyallaahu 'anhu- disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:
« لَمْ يَتَكَلَّمْ في المَهْدِ إلَّا ثَلاثَةٌ عِيسَى ابنُ مَرْيَمَ، وصاحِبُ جُرَيْجٍ، وكانَ جُرَيْجٌ رَجُلًا عابِدًا، فاتَّخَذَ صَوْمعةً، فَكانَ فيها، فأتَتْهُ أُمُّهُ وهو يُصَلِّي، فقالَتْ: يا جُرَيْجُ فقالَ: يا رَبِّ أُمِّي وصَلاتِي، فأقْبَلَ علَى صَلاتِهِ، فانْصَرَفَتْ، فَلَمَّا كانَ مِنَ الغَدِ أتَتْهُ وهو يُصَلِّي، فقالَتْ: يا جُرَيْجُ فقالَ: يا رَبِّ أُمِّي وصَلاتِي، فأقْبَلَ علَى صَلاتِهِ، فانْصَرَفَتْ، فَلَمَّا كانَ مِنَ الغَدِ أتَتْهُ وهو يُصَلِّي فقالَتْ: يا جُرَيْجُ فقالَ: أيْ رَبِّ أُمِّي وصَلاتِي، فأقْبَلَ علَى صَلاتِهِ، فقالَتْ: اللَّهُمَّ لا تُمِتْهُ حتَّى يَنْظُرَ إلى وُجُوهِ المُومِساتِ، فَتَذاكَرَ بَنُو إسْرائِيلَ جُرَيْجًا وعِبادَتَهُ وكانَتِ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بحُسْنِها، فقالَتْ: إنْ شِئْتُمْ لأَفْتِنَنَّهُ لَكُمْ، قالَ: فَتَعَرَّضَتْ له، فَلَمْ يَلْتَفِتْ إلَيْها، فأتَتْ راعِيًا كانَ يَأْوِي إلى صَوْمعتِهِ، فأمْكَنَتْهُ مِن نَفْسِها، فَوَقَعَ عليها فَحَمَلَتْ، فَلَمَّا ولَدَتْ قالَتْ: هو مِن جُرَيْجٍ، فأتَوْهُ فاسْتَنْزَلُوهُ وهَدَمُوا صَوْمعتَهُ وجَعَلُوا يَضْرِبُونَهُ فقالَ: ما شَأْنُكُمْ؟ قالوا: زَنَيْتَ بهذِه البَغِيِّ، فَوَلَدَتْ مِنْكَ، فقالَ: أيْنَ الصَّبِيُّ؟ فَجاؤُوا به، فقالَ: دَعُونِي حتَّى أُصَلِّيَ، فَصَلَّى، فَلَمَّا انْصَرَفَ أتَى الصَّبِيَّ فَطَعَنَ في بَطْنِهِ، وقالَ: يا غُلامُ مَن أبُوكَ؟ قالَ: فُلانٌ الرَّاعِي، قالَ: فأقْبَلُوا علَى جُرَيْجٍ يُقَبِّلُونَهُ ويَتَمَسَّحُونَ به، وقالوا: نَبْنِي لكَ صَوْمعتَكَ مِن ذَهَبٍ، قالَ: لا، أعِيدُوها مِن طِينٍ كما كانَتْ، فَفَعَلُوا،. »
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
"Tidak ada orang yang dapat berbicara saat masih dalam buaian kecuali tiga orang;
(Pertama) Isa bin Maryam.
(Kedua) Seseorang pada kisah Juraij. Juraij asalnya adalah orang yang taat beribadah.
Lalu dia membuat tempat ibadah. Ibunya mendatanginya ketika dia sedang salat dan memanggilnya, "Wahai Juraij."
Dia (Juraij) berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku". Akhirnya dia teruskan salatnya. Lalu sang ibu pulang. Keesokan harinya sang ibu datang lagi saat Juraij sedang salat.
Dia berkata, "Wahai Juraij." Juraij berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku". Lalu dia memilih meneruskan salatnya. Keesokan harinya sang ibu datang lagi saat Juraij sedang salat. Dia berkata, "Wahai Juraij."
Juraij berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku. Lalu dia memilih meneruskan salatnya.
Maka berkatalah sang ibu, "Ya Allah! Jangan matikan dia sebelum melihat wajah pelacur." Maka Bani Israel menyebut-nyebut Juraij dan ibadahnya.
Kemudian ada seorang wanita pelacur yang terkenal cantik, dia berkata, "Kalau kalian mau, saya akan menggodanya."
Lalu dia menggodanya, namun Juraij tak mempedulikannya. Maka wanita pelacur itu mendatangi seorang penggembala yang sedang berteduh di bawah rumah ibadah itu. Lalu dia menggodanya untuk berbuat zina. Maka terjadilah perzinaan di antara mereka.
Kemudian wanita itu hamil.
Ketika telah melahirkan, dia berkata, 'Ini anak dari Juraij.'
Masyarakat pun mendatanginya dan memaksanya turun lalu rumah ibadahnya dirobohkan. Merekapun memukulinya.
Dia berkata, 'Ada apa kalian ini?'
Mereka berkata, 'Engkau telah berzina dengan wanita pelacur ini sehingga dia melahirkan anak darimu.'
Juraij berkata, 'Mana anaknya?'
Mereka membawakan bayi tersebut. Dia berkata, "Biarkan aku salat!" Lalu dia salat. Setelah selesai salat dia datangi anak bayi tersebut dan dia tekan perutnya seraya berkata, "Wahai anak kecil, siapa bapakmu?"
Anak itu menjawab, "Si penggembala"
Maka orang-orang mengerumuni Juraij, mencium dan mengusap-usapnya. Mereka berkata, "Kami akan bangunkan rumah ibadahmu dari emas."
Dia berkata, "Tidak, bangunlah kembali dari tanah liat seperti semula!" Lalu mereka kerjakan.
[Muttfaq Alaihi. Bukhori no. 3436 dan Muslim no. 2550]
FIQIH HADITS:
Dalam hadits ini menunjukan bahwa anak zina dari wanita tak bersuami, dinasabkan kepada ayah biologisnya, yakni pria pezina.
KEDUA: anak zina yang tidak boleh di nasab-kan kepada ayah biologisnya secara mutlak, baik terlahir dari wanita bersuami maupun tidak.
Contohnya: Hadits Abdullah bin 'Amr, bahwa Nabi SAW bersabda:
Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.
(HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723).
FIQIH HADITS:
Dalam Hadits ini dengan tegas bahwa anak yang terlahir dari perzinahan adalah anak zina, tidak boleh dinasabkan kepada siapapun.
KATEGORI KETIGA:
HADITS TENTANG ANAK ZINA DARI BUDAK BERPROFESI PELACUR
Di antaranya adalah jika ada seorang majikan yang memiliki budak wanita yang dipekerjakan sebagai pelacur, namun demikian sang majikan juga masih turut menggaulinya, maka terjadilah pencampur bauran air mani antara air majikan dan air orang lain.
Contohnya: Hadits Ibnu Abbas – radhiyallahu 'anhuma-, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَا مُسَاعَاةَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ سَاعَى فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنْ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
"Tidak ada perzinahan dalam Islam, barangsiapa yang melakukan zina pada masa jahiliyah maka sungguh ia telah menasabkan anaknya yang terlahir kepada kepada ahli waris 'Ashobah-nya.
Dan barangsiapa yang mengklaim seorang anak tanpa pernikahan yang shahih, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi." [HR. Abu Daud no. 1929].
Hadits ini didhaifkan oleh al-Mundziri, Ibnu al-Qoyyim [Zaad al-Ma'aad 5/382], Ahmad Syakir dalam Tahqiq al-Munad 5/139 dan al-Albani dalam Dhaif Abu Daud no. 2264 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).
SYARAH HADITS:
" (لَا مُسَاعَاة فِي الْإِسْلَام) الْمُسَاعَاة الزِّنَا ، وَكَانَ الْأَصْمَعِيّ يَجْعَلهَا فِي الْإِمَاء دُون الْحَرَائِر لِأَنَّهُنَّ كُنَّ يَسْعَيْنَ لِمَوَالِيهِنَّ فَيَكْسِبْنَ لَهُمْ بِضَرَائِب كَانَتْ عَلَيْهِنَّ.
Makna al-Musaa'ah adalah perzinahan:
Dan menurut Asma'i yang dimaksud adalah budak-budak perempuan, bukan wanita merdeka, karena mereka bekerja [sebagai pelacur] untuk majikan mereka agar mereka bisa mendapatkan penghasilan untuk majikannya.
Al-Khoth-thobi dalam Ma'aalim as-Sunan berkata:
إِنَّ أَهْل الْجَاهِلِيَّة كَانَتْ لَهُمْ إِمَاء يُسَاعِينَ وَهُنَّ الْبَغَايَا اللَّوَاتِي ذَكَرهنَّ اللَّه تَعَالَى فِي قَوْله عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتكُمْ عَلَى الْبِغَاء إِذَا كَانَ سَادَتهنَّ يُلِمُّونَ بِهِنَّ وَلَا يَجْتَنِبُوهُنَّ ، فَإِذَا جَاءَتْ إِحْدَاهُنَّ بِوَلَدٍ وَكَانَ سَيِّدهَا يَطَؤُهَا وَقَدْ وَطِئَهَا غَيْره بِالزِّنَا فَرُبَّمَا اِدَّعَاهُ الزَّانِي وَادَّعَاهُ السَّيِّد ، فَحَكَمَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْوَلَدِ لِسَيِّدِهَا ؛ لِأَنَّ الْأَمَة فِرَاش السَّيِّد كَالْحُرَّةِ وَنَفَاهُ عَنْ الزَّانِي". انتهى
Orang-orang Jaahiliyyah memiliki para budak perempuan yang bekerja mencari penghasilan, dan mereka itu adalah para pelacur yang disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya, Yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi.
وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗ
" Dan janganlah kalian paksa para hamba sahaya perempuan kalian untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, hanya karena kalian hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi". [QS. An-Nuur: 33]
Jika para majikan mereka itu tinggal bersama mereka dan tidak menjauhkannya, maka jika salah satu dari mereka melahirkan seorang anak, dan sebelumnya para majikan senantiasa menggaulinya, dan pria lainnya juga sama menggaulinya [menzinahinya].
Terkadang pria yang menzinahinya itu mengklaim bahwa bayi itu anak biologis nya, begitu juga majikannya mengklaim pula bahwa bayi itu anaknya; maka Nabi SAW memutuskan sebuah hukum bahwa bayi tersebut adalah anak majikannya; karena budak perempuan tersebut adalah ranjang majikannya sama seperti wanita merdeka [yang bersuami]. Dan meniadakan nasab bayi tsb dari pria yang menzinahi ibunya".
Lalu al-Khothobi menjelaskan makna [[وَلَدًا مِنْ غَيْر رِشْدَة]] dengan mengatakan bawa makna Risydah adalah:
مَنْ كَانَ بِنِكَاحٍ صَحِيح ، وَوَلَد زِنْيَة مَنْ كَانَ بِضِدِّهِ "
" Yakni anak yang terlahir dengan pernikahan yang Shah. Dan sebagai lawan katanya adalah anak yang terlahir dari perzinahan".
[Baca: Aunul Ma'buud 6/353]
******
MACAM-MACAM GAMBARAN STATUS ANAK HASIL ZINA
Seorang pria jika mengakui bahwa dirinya melakukan perzinahan, maka hak kebijakan dia hilang [ساقط العدالة] dan dia layak untuk menerima hukuman HADD yang ditetapkan baginya dalam hukum Syari'ah, yaitu cambuk atau rajam.
Adapun status nasab anak terhadap ayah biologisnya dari hasil perzinahan serta hubungan antar keduanya, maka ada beberapa gambaran tentang kondisi anak zina:
GAMBARAN PERTAMA:
SANG ISTRI MELAHIRKAN ANAK ZINA SEBELUM 6 BULAN MENIKAH
Wanita Yang Melahirkan Anak Sebelum Usia Pernikahan Lebih Dari Enam Bulan.
Jika sang isteri yang berzina melahirkan anak pada usia pernikahan LEBIH dari enam bulan, maka nasab sang anak diberikan kepada sang bapak dan tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan li’an.
Namun jika dia melahirkan KURANG dari enam bulan usia pernikahan, maka sang anak tidak dianggap nasabnya, sang bapak boleh tidak mengakuinya. Karena usia minimal kehamilan adalah enam bulan.
Bolehkah anak tersebut dinasabkan kepada SUAMI-nya?
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih. Ada 3 pendapat:
Ke 1: Pendapat jumhur: adalah tidak boleh baginya menisbatkan sang anak kepada dirinya.
Ke 2: Pendapat Sebagian salaf adalah membolehkannya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah.
Ke 3: Sebagian para Ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa dia boleh mengakui atau tidak mengakui anak tersebut untuk dirinya dengan syarat dia tidak mengatakan bahwa anak itu hasil zina.
Disebutkan dalam kitab ‘Al-Fatawa Al-Hindiyah’ yang merupakan kitab dalam fiqih mazhab Hanafi (1/540):
" ولو زنى بامرأة فحملت ثم تزوجها فولدت ، إن جاءت به لستة أشهر فصاعدا ثبت نسبه منه ، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر لم يثبت نسبه إلا أن يدعيه – أي يدعي أن هذا الولد ابنه – ولم يقل إنه من الزنى ، أما إن قال إنه مني من الزنى فلا يثبت نسبه ولا يرث منه".
“Jika seseorang berzina dengan seorang wanita, lalu hamil, kemudian dia menikahinya dan melahirkan, jika kelahirannya pada usia pernikahan enam bulan ke atas, maka nasabnya dikaitkan dengannya.
Jika kelahirannya kurang dari enam bulan, maka nasabnya tidak dapat diberikan kepadanya, kecuali jika dia mengaku bahwa anak itu adalah anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu bukan hasil zina.
Adapun jika dia mengatakan bahwa dia adalah anakku dari hasil zina, maka nasabnya tidak dapat diberikan kepadanya dan anak itu tidak dapat mewarisi darinya." [Selesai kutipan dari kitab ‘Al-Fatawa Al-Hindiyah’]
Jika antara akad nikah dan kelahiran jaraknya enam bulan ke atas, sang suami tidak dapat menafikan sang anak kecuali dengan li’an, tidak cukup pengakuan isteri bahwa mereka telah berbuat zina.
GAMBARAN KEDUA:
SANG ISTRI MELAHIRKAN ANAK ZINA SETELAH ENAM BULAN MENIKAH
Yakni, jika wanita yang dizinahinya itu memiliki ikatan ranjang [bersuami] lalu dia melahirkan seorang anak setelah enam bulan dari awal pernikahannya.
Dalam hal ini, maka anak tersebut dinasabkan kepada suaminya yang sah.
Dan sang suami tidak boleh menolaknya dikecualikan dengan cara melakukan LI'AN [sumpah saling mengutuk antara suami dan istri].
Dan jika ada laki-laki lain mengklaim bahwa dia telah berzina dengan wanita ini dan bahwa ini adalah putranya hasil dari zina, maka pengklaimannya tidak dianggap berdasarkan Ijma' Para Ulama. Karena Nabi SAW bersabda:
(الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ)
“Anak yang terlahir adalah bagi pemilik ranjang [al-Firasy], dan bagi pezina adalah dirajam dengan batu." [HR Al-Bukhari (2053) dan Muslim (1457).
Ibnu Abdil Barr dalam "al-Istidzkaar" (2/167).berkata:
" الفِرَاشُ: النِّكَاحُ أوْ مِلْكُ اليَمِيْنِ ، لاَ غَيْرَ "
"Al-Firasy [tempat tidur / ranjang]: adalah pernikahan, atau kepemilikan budak, tidak ada yang lain".
Ibnu Qudamah berkata:
" وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ إذَا وُلِدَ عَلَى فِرَاشٍ رَجُلٍ ، فَادَّعَاهُ آخَرُ: أَنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ "
“Dan mereka ber'ijma' bahwa jika seorang anak dilahirkan di tempat tidur seorang pria [suami], lalu ada orang lain mengklaim-nya; maka dia tidak berhak menasabkan anak itu pada dirinya." [Akhir kutipan dari Al-Mughni (9/123)].
Jadi: Jika antara akad nikah dan kelahiran jaraknya enam bulan ke atas, maka sang suami tidak dapat mengingkari sang anak kecuali dengan cara LI'AN, tidak cukup hanya dengan pengakuan isteri bahwa mereka telah berbuat zina.
Li’an boleh dilakukan untuk mengingkari sang anak saja, tapi tidak dapat dilakukan untuk melempar tuduhan kepada sang isteri berbuat zina. Ketika itu, yang melakukan li’an hanya suami, sedangkan isteri tidak lian.
Jika sang suami tidak mengakui sang anak dengan li’an, atau tanpa li’an, maka sang anak tidak berhak mendapatkan nafkah dan warisan darinya.
Adapun sang isteri, jika dia memiliki mahar yang belum diberikan, maka hal itu tidak gugur hanya karena sang anak tidak diakui, apakah dengan li’an atau dengan selainnya.
GAMBARAN KETIGA:
DARI WANITA TAK BERSUAMI, NAMUN PRIA PEZINANYA TIDAK MENGAKUI ANAKNYA.
Yakni: wanita tersebut tidak memiliki ikatan ranjang [tidak bersuami], dan pria yang berzina dengannya tidak mengakuinya sebagai anak biologisnya, maka dalam hal ini anak tersebut tidak bisa dinasabkan pada pria pezina tsb. Dan ini tidak ada perbedaan pendapat.
Tidak ada ulama yang mengatakan bahwa anak hasil zina harus dinasabkan pada pria pezina selama si pezina itu tidak mengakuinya sebagai anak-nya.
Al-Mawardi dalam "Al-Haawi Al-Kabir" (8/455) telah mengisyaratkannya dengan mengatakan:
" إِجْمَاعِهِمْ عَلَى نَفْيِهِ عَنْهُ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِالزِّنَا". أي إذا لم يدعه
"Mereka telah sepakat dengan suara bulat: meniadakan nasab anak tsb dari si pezina meskipun dia mengaku berzina." Artinya, jika dia tidak mengklaimnya sebagai anak biologisnya.
GAMBARAN KE EMPAT:
ANAK ZINA DARI WANITA TAK BERSUAMI, DAN PRIA PEZINANYA MENGAKUI SANG ANAK.
Jika status wanita itu tidak bersuami alias bukan ranjang milik siapa pun, dan pria yang berzina dengan wanita tsb mengklaim bahwa anak yang terlahir darinya adalah anak biologis-nya; maka dalam hal ini telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Ibnu Qudamah berkata:
" وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِيمَا إذَا وُلِدَ عَلَى غَيْرِ فِرَاشٍ".
“Adapun yang diperselisihkan hukum nasabnya hanyalah dalam masalah anak yang terlahir dari wanita yang tidak terikat ranjang [tidak bersuami / lengoh]." Akhir kutipan dari Al-Mughni (9/123).
Ini adalah masalah yang sangat penting, seperti yang dikatakan Ibn al-Qayyim:
" هَذِهِ مَسْأَلَةٌ جَلِيلَةٌ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيهَا "
“Ini adalah masalah besar di mana para ahli ilmu berbeda pendapat." Akhir kutipan dari Zaad al-Ma'ad (5/381).
DALAM GAMBARAN KE EMPAT INI ADA DUA PENDAPAT :
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Ada dua pendapat yang masyhur:
PENDAPAT PERTAMA: TIDAK BOLEH DI NASABKAN KEPADA AYAH BIOLOGISNYA [PEZINA]
Jumhur [Mayoritas] ulama berpendapat: bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya dan tidak ada keterkaitan dengannya, meskipun ayahnya menuntutnya bahwa anak tsb adalah anak biologisnya.
Ini adalah pendapat mayoritas para ulama dari Empat Mazhab, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah. Begitu juga, ini adalah Madzhab Zahiriyah dan lainnya.
[[Referensi: Lihat “Al-Mabsuuth" oleh Sarakhsi (17/154), “Badaa'i Ash-Shanaa'i" oleh Al-Kaasaani (6/243), “Al-Mudawwanah" (2/556), “Asnaa Al- Mathaalib fi Sharh Rawdh Ath-Thalib" (20/3), “Al-Mughni" 6/228), “Al-Muhallaa" (10/142)]].
Ibnu Quddaamah al-Maqdisi berkata:
" وَوَلَدُ الزِّنَى لَا يَلْحَقُ الزَّانِيَ فِي قَوْلِ الْجُمْهُورِ".
“Anak zina tidak diikutkan nasabnya pada pria yang menzinahi ibunya, ini pendapat Jumhur." [Al-Mughni (9/123)].
Dan berjalan diatas pendapat ini adalah fatwa Syekh Ibnu Ibrahim seperti dalam “Fatawa"-nya (11/146), dan Syekh Bin Baaz seperti dalam “Majmu’ Fataawa" (28/124), semoga Allah merahmati mereka berdua.
Berdasarkan pendapat ini: Anak zina – laki-laki atau perempuan – tidak dikaitkan nasabnya dengan pria yang menzinahi ibunya. Dan tidak boleh dikatakan bahwa dia adalah putranya, melainkan dikaitkan nasabnya dengan ibunya, dan dia itu mahram bagi ibunya, dan dia mewarisi ibunya seperti anak-anaknya yang lain.
Fatwaa al-Lajnah ad-Daaimah 20/387 Saudi Arabia :
" الصحيح من أقوال العلماء أن الولد لا يثبت نسبه للواطئ إلا إذا كان الوطء مستنداً إلى نكاح صحيح أو فاسد أو نكاح شبهة أو ملك يمين أو شبهة ملك يمين ، فيثبت نسبه إلى الواطئ ويتوارثان ، أما إن كان الوطء زنا فلا يلحق الولد الزاني ، ولا يثبت نسبه إليه ، وعلى ذلك لا يرثه". انتهى
" Pendapat-pendapat para ulama yang Shahih adalah bahwa seorang anak tidak dapat ditetapkan nasabnya kepada pria yang mensetubuhi ibunya.
Kecuali persetubuhan itu didasarkan pada pernikahan yang sah atau pernikahan yang fasid, atau pernikahan syubhat atau budak wanita miliknya atau syubhat dalam kepemilikan budak. maka yang demikian itu bisa menetapkan garis keturunannya terhadap pria yang mensetubuhinya dan mereka berdua saling mewarisi.
Adapun jika persetubuhannya itu adalah perzinahan, maka dia boleh mengikutkan anak tsb kepada pria pezina, dan tidak boleh ditetapkan nasabnya kepadanya, dan karenanya maka dia tidak mewarisi darinya".
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali.
(Lihat Al-Mughnî, 7/129-130. Dan dinukil pula dalam Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828).
PENDAPAT KEDUA: BOLEH DI NASABKAN KEPADA AYAH BIOLOGISNYA [PEZINA]
Sebagian para ulama mengatakan bahwa nasab anak hasil dari zina adalah kepada lelaki yang menzinahi ibunya jika lelaki pezina itu mengakuinya dan tidak ada yang memperselisihkan nya dan juga tidak ada yang memperebutkannya.
Dengan demikian: maka anak zina tersebut memiliki hak kesempatan dan keistimewaan yang sama dengan anak-anak lain yang bukan zina. Anak Zina bukan anak kutukan dan bukan anak haram. Bukan pula anak yang memikul dosa orang tuanya dan mengantar dosa keturunan. Nasib anak zina tergantung pada amalannya sendiri.
Ini adalah pendapat Ishâq bin Rahuyah, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasâr, Muhammad bin Sirin, Ibrahim an-Nakho'i, Ishaq bin Rohawiyah dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. ["Al-Mughni" (9/123).]
Dan ini pendapat yang dipilih oleh sebagian para ulama kontemporer, diantaranya: Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam "Tafsir Al-Manar" (4/382).
Dan juga merupakan pilihan Syekh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, seperti dalam "Al-Syarh Al- Mumti'" (12/127).
Adapun sabda Nabi SAW:
(الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ)
" Nasab anak itu ikut ranjang yang sah. Dan hukuman istri yang zina adalah dirajam pake batu". [HR. Bukhori no. 3964, 6818 dan Muslim 1458].
Maka menurut mereka: yang dimaksud dalam hadits ini adalah jika ibu yang berzina dan melahirkan bayi tsb memiliki ikatan ranjang dengan suaminya yang sah, lalu terjadi perselisihan tentang nasab bayi tsb, apakah bayi itu terlahir dari pria yang berzina dengannya atau terlahir dari hasil hubungan dengan suaminya yang sah???
Maka dalam hal ini Nabi SAW memutuskan bahwa nasab anak tsb kepada pemilik ikatan ranjang [tempat tidur] yang sah, yaitu suaminya.
Adapun jika ibunya bukan ranjang yang sah bagi seorangpun [bukan istri seseorang], maka Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa anak hasil zina jika dia tidak terlahir dari ikatan ranjang yang di klaim oleh pemiliknya, sementara pria yang berzina dengannya itu mengklaim bahwa bayi tsb anaknya; maka nasabnya dilekatkan padanya.
Dan sabda Nabi SAW: [[Nasab anak itu ikut ranjang yang sah]] di takwil bahwa beliau SAW memutuskan hukum demikian itu ketika antara pria pezina dan pria pemilik ikatan ranjang yang sah terjadi perselisihan.
Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zaad al-Ma'aad 5/381 – setelah dia menyebutkan ini – berkata:
كَانَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ يَذْهَبُ إِلَى أَنَّ الْمَوْلُودَ مِنَ الزِّنَى إِذَا لَمْ يَكُنْ مَوْلُودًا عَلَى فِرَاشٍ يَدَّعِيهِ صَاحِبُهُ ، وَادَّعَاهُ الزَّانِي: أُلْحِقَ بِهِ.
وَهَذَا مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، رَوَاهُ عَنْهُ إسحاق بِإِسْنَادِهِ فِي رَجُلٍ زَنَى بِامْرَأَةٍ، فَوَلَدَتْ وَلَدًا، فَادَّعَى وَلَدَهَا فَقَالَ: يُجْلَدُ وَيَلْزَمُهُ الْوَلَدُ. وَهَذَا مَذْهَبُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، ذَكَرَ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا قَالَا: (أَيُّمَا رَجُلٍ أَتَى إِلَى غُلَامٍ يَزْعُمُ أَنَّهُ ابْنٌ لَهُ، وَأَنَّهُ زَنَى بِأُمِّهِ، وَلَمْ يَدَّعِ ذَلِكَ الْغُلَامَ أَحَدٌ، فَهُوَ ابْنُهُ). وَاحْتَجَّ سليمان بِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيطُ أَوْلَادَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الْإِسْلَامِ".
وَهَذَا الْمَذْهَبُ كَمَا تَرَاهُ قُوَّةً وَوُضُوحًا
Ishaq bin Rahwayh berpendapat bahwa anak yang lahir dari zina, jika dia tidak dilahirkan dari ranjang yang sah, dan pria yang menzinahinya itu mengklaim bahwa ia adalah anak biologisnya; maka nasabnya diikut sertakan pada-nya.
Ini adalah Madzhab al-Hasan al-Basri, diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dengan sanadnya tentang seorang pria yang berzina dengan seorang wanita, lalu dia melahirkan seorang anak-nya, kemudian pria tsb mangklaim bahwa itu adalah anaknya.
Dan beliau [al-Hasan al-Basri] berkata: Pria itu harus dihukum cambuk dan anak itu wajib menjadi miliknya.
Ini adalah madzhab Urwah bin Az-Zubair dan Sulaiman bin Yasaar, disebutkan dari mereka berdua bahwa mereka berdua berkata:
«أَيُّمَا رَجُلٍ أَتَى إِلَى غُلَامٍ يَزْعُمُ أَنَّهُ ابْنٌ لَهُ، وَأَنَّهُ زَنَى بِأُمِّهِ وَلَمْ يَدَّعِ ذَلِكَ الْغُلَامَ أَحَدٌ، فَهُوَ يَرِثُهُ»
Setiap laki-laki yang datang kepada seorang anak dan mengaku bahwa anak lelaki itu keturunannya, dan bahwa dia telah berzina dengan ibunya, dan tidak ada selainnya seorangpun yang mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya; maka dia adalah ahli warisnya.
Suleiman bin Yasar berhujjah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيطُ أَوْلَادَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الْإِسْلَامِ"
Bahwa Umar bin Al-Khattab mengikat – yakni menghubungkan nasab – anak-anak yang terlahir pada masa jahiliyah dengan orang-orang yang mengklaimnya pada masa setelah Islam datang".
Dan madzhab ini, seperti yang Anda lihat, kuat dan jelas. [Selesai kutipan dari Ibnu al-Qoyyim]
Ibnu Quddaamah berkata:
" وَرَوَى عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ ، أَنَّهُ قَالَ: لَا أَرَى بَأْسًا إذَا زِنَى الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ فَحَمَلَتْ مِنْهُ ، أَنْ يَتَزَوَّجَهَا مَعَ حَمْلهَا ، وَيَسْتُرَ عَلَيْهَا ، وَالْوَلَدُ وَلَدٌ لَهُ".
Telah diriwayatkan dari Ali bin Ashim meriwayatkan dari Abu Hanifah, bahwa dia berkata:
“Saya berpendapat tidak ada masalah jika ada seorang pria berzina dengan seorang wanita lalu dia hamil olehnya; maka boleh menikahinya dengan kehamilannya, dan untuk menutupi aibnya, dan status anak yang terlahir itu adalah anaknya." [Al-Mughni, Ibnu Quddaamah 9/122-123]
Dan Abd al-Razzaq dalam al-Mushannaf [7/203 no. 12786[berkata: Ibnu Jurayj memberi tahu kami. Dia berkata: Abu az-Zubair memberi tahu saya bahwa dia mendengar dari sahabat Jabir bin Abdullah – rahdiyallahu anhu – berkata:
«لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، أَوَّلُ أَمْرِهَا زِنًا حَرَامٌ، وَآخِرُهُ حَلَالٌ»
“Tidak mengapa, yang pertama zina diharamkan, dan yang terakhir dibolehkan."
Ibnu Muflih rahimahullah, berkata:
" واختار شيخنا أنه إن استلحق ولده من زنا ولا فراش: لحقه "
Syekh kami memilih bahwa jika dia jika mengklaim anaknya dari perzinahan, bukan dari ranjang pernikahan, maka dia dinasabkan padanya.{ Selesai kutipan dari al-Furuu' (6/625).
Dan al-Ba'aali mengaitkan pendapat ini dengan pilihan Ibnu Taimiyah dalam “Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah" hal 477.
Al-Mardawai berkata:
" وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ: إنْ اسْتَلْحَقَ وَلَدَهُ من الزنى وَلَا فِرَاشَ: لَحِقَهُ. وَنَصُّ الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ فيها: لَا يَلْحَقُهُ.
وقال في الِانْتِصَارِ في نِكَاحِ الزَّانِيَةِ يَسُوغُ الِاجْتِهَادُ فيه ، وقال في الِانْتِصَارِ أَيْضًا: يَلْحَقُهُ بِحُكْمِ حَاكِمٍ ، وَذَكَرَ أبو يَعْلَى الصَّغِيرُ وَغَيْرُهُ مِثْلَ ذلك".
“Dan syekh Taqiyuddin, semoga Allah merahmatinya, memilih bahwa jika dia jika mengklaim anaknya dari perzinahan, bukan dari ranjang pernikahan, maka dia dinasabkan padanya.
Sementara Imam Ahmad menyatakan: nasabnya tidak di ikut sertakan padanya.
Dan penulis kitab al-Intishaar berkata: Dalam pernikahan dengan wanita pezina adalah sesuatu yang layak dibenarkan untuk berijtihad. Dan dia juga mengatakan dalam "al-Intishar": Anak itu di nasabkan kepadanya dengan keputusan seorang Hakim. Dan yang semisal itu di sebutkan pula oleh Abu Ya'la ash-Shoghir dan lainnya". [Lihat al-Inshaaf 9/269]
Ibnu al-Qoyyim memberikan argumentasi kenapa nasab anak zina diikutkan kepada ayahnya:
فَإِنَّ الْأَبَ أَحَدُ الزَّانِيَيْنِ، وَهُوَ إِذَا كَانَ يُلْحَقُ بِأُمِّهِ، وَيُنْسَبُ إِلَيْهَا، وَتَرِثُهُ وَيَرِثُهَا، وَيَثْبُتُ النَّسَبُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَقَارِبِ أُمِّهِ مَعَ كَوْنِهَا زَنَتْ بِهِ، وَقَدْ وُجِدَ الْوَلَدُ مِنْ مَاءِ الزَّانِيَيْنِ، وَقَدِ اشْتَرَكَا فِيهِ، وَاتَّفَقَا عَلَى أَنَّهُ ابْنُهُمَا، فَمَا الْمَانِعُ مِنْ لُحُوقِهِ بِالْأَبِ إِذَا لَمْ يَدِّعِهِ غَيْرُهُ؟ فَهَذَا مَحْضُ الْقِيَاسِ، وَقَدْ قَالَ جريج لِلْغُلَامِ الَّذِي زَنَتْ أُمُّهُ بِالرَّاعِي: مَنْ أَبُوكَ يَا غُلَامُ؟ قَالَ: فُلَانٌ الرَّاعِي، وَهَذَا إِنْطَاقٌ مِنَ اللَّهِ لَا يُمْكِنُ فِيهِ الْكَذِبُ.
Karena ayahnya itu adalah salah satu dari dua pelaku zina. Jika anak tsb boleh diikutkan pada ibunya, di nasabkan padanya, serta ibunya berhak mewarisinya dan dia juga berhak mewarisi ibunya, dan dia juga memiliki hubungan nasab antara dirinya dan kerabat-kerabat ibunya, meskipun dia itu lahir dari perbuatan zina ibunya, dia terlahir dari dua air mani ayah dan ibunya, dua air mani tsb ikut andil di dalamnya, dan kedua orang tuanya telah sepakat bahwa dia adalah anak mereka berdua. Maka jika demikian adanya apa yang menghalangi anak tersebut untuk diikutkan nasabnya pada ayahnya selama tidak ada pria lain yang mengaku-ngaku pula sebagai ayahnya. Ini adalah sebuah analogi yang benar-benar murni.
Dan Juraij berkata kepada anak laki-laki yang ibunya berzina dengan seorang penggembala: "Siapakah ayahmu, hai anak laki-laki?". Dia menjawab: "Fulan si penggembala". Dan ucapan bayi ini langsung dari Allah yang tidak mungkin untuk berbohong.
[Baca: Zaad al-Ma'aad 5/381 dan فتاوى الشبكة الإسلامية 13/14204 no. 101965]
*******
D. DALIL MASING-MASING PENDAPAT:
====
DALIL PENDAPAT PERTAMA:
YANG MELARANG NASAB ANAK ZINA KEPADA AYAH BIOLOGISNYA
DALIL KE 1:
Kebanyakan dari mereka yang menyatakan adalah air mani zina adalah sia-sia, tidak dapat menetapkan nasabnya berdasarkan hadits:
(الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ)
" Nasab anak itu diikutka pada pemilik ranjang [Suami ibunya]. Dan hukuman istri yang zina adalah dirajam pake batu". [HR. Bukhori no. 3964, 6818 dan Muslim 1458].
Ibnu Abdil Barr dalam "al-Istidzkaar" (2/167).berkata:
" الفِرَاشُ: النِّكَاحُ أوْ مِلْكُ اليَمِيْنِ ، لاَ غَيْرَ "
"Al-Firasy [tempat tidur / ranjang]: adalah pernikahan, atau kepemilikan budak, tidak ada yang lain".
Dalam hadits Abdullah bin ‘Amru radhiyallaahu 'anhu disebutkan:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
“Seorang pria berdiri, lalu berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh Si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya di masa Jahiliyah."
Maka Rasulullah SAW berkata: “Tidak ada tuntutan pengakuan anak dalam Islam. Perkara di masa jahiliyah sudah lenyap. Anak adalah bagi pemilik ranjang [suami wanita] dan bagi pelaku zina adalah di rajam dengan batu."
[HR. Abu Daud no. 2274. Di nyatakan HASAN SHAHIH oleh al-Albaani Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493)]
[Baca: فتاوى الشبكة الإسلامية 13/14204 no. 101965]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa dia berkata:
اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ
Sa'ad bin Abu Waqqash bersengketa dengan Abd bin Zam'ah mengenai seorang anak laki-laki, Sa'ad berkata:
Wahai Rasulullah, ini adalah anak dari saudaraku, Utbah bin Abi Waqash, dia telah berpesan kepadaku bahwa ini memang anaknya, lihatlah kemiripannya (dengan saudaraku).
'Abd bin Zam'ah berkata;
Wahai Rasulullah, anak ini adalah saudaraku, karena dia dilahirkan di ranjang ayahku dari budak perempuan ayahku.
Kemudian Rasulullah SAW memperhatikan kemiripannya, ternyata dengan jelas dia itu nirip seperti 'Utbah, lalu beliau SAW bersabda:
"Ini adalah milikmu, wahai Abd, yaitu untuk pemilik RANJANG, di mana anak tersebut di lahirkan. Sedangkan laki-laki yang menzinahi ibunya tidak memiliki hak apa-apa terhadapnya. Karena itu, tetaplah kamu menutupkan tabirmu terhadapnya wahai Saudah binti Zam'ah."
Dan Saudah berkata: "Maka Dia tidak pernah melihat Saudah lagi". [HR. Bukhori no. 2645, 6765, 7185 dan Muslim no. 1457, 2645]
FIQIH HADITS:
Al-Kaasaanii setelah menyebutkan hadits diatas berkata:
وعَلَى هَذَا إذَا زَنَى رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَجَاءَتْ بِوَلَدٍ فَادَّعَاهُ الزَّانِي لَمْ يَثْبُتْ نَسَبُهُ مِنْهُ لِانْعِدَامِ الْفِرَاشِ. وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَيَثْبُتُ نَسَبُهُ مِنْهَا لِأَنَّ الْحُكْمَ فِي جَانِبِهَا يَتْبَعُ الْوِلَادَةَ". انتهى من "بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع" (6/242).
Berdasarkan hal ini, jika seorang pria berzina dengan seorang wanita dan dia melahirkan seorang anak, dan pria pezina itu mengklaim anak itu keturunan dari dia; maka tidak boleh ditetapkan nasabnya pada nya dikarenakan tidak ada ikatan ranjang [firasy].
Adapun wanita, maka garis keturunannya ditetapkan darinya, dikarenakan hukum di pihaknya mengikuti proses kelahiran. [Baca: Badaa' ash-Shana'i (6/242)].
Dan Abu Bakar al-Jashash berkata:
وقوله: (الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ) قد اقتضى معنيين:أحدهما: إثبات النسب لصاحب الفراش.والثاني: أن من لا فراش له فلا نسب له.
؛ لأن قوله "الولد" اسم للجنس، وكذلك قوله "الفراش" للجنس، لدخول الألف واللام عليه ، فلم يبق ولد إلا وهو مراد بهذا الخبر، فكأنه قال: لا ولد إلا للفراش" انتهى من "أحكام القرآن" (5/159).
Dan sabda beliau SAW: [[nasab anak ikut ke pemilik ranjang]] memiliki dua makna: Salah satunya: untuk menetapkan garis keturunan kepada pemilik tempat tidur. Kedua: bahwa siapa pun yang bukan pemilik tempat tidur maka tidak berhak memiliki garis keturunan.
Karena ucapannya "al-walad" adalah kata benda untuk jenis, serta ucapannya "al-Firasy" juga untuk jenis, dikarenakan masuknya alif dan lam didalamnya, maka dengan demikian tidak ada anak yang tersisa kecuali apa yang dimaksud dengan hadits ini, seolah-olah beliau SAW bersabda: Tidak ada penasaban anak kecuali bagi pemilik Firasy. [Baca: Ahkaam Al-Qur’an (5/159)].
Ibnu Hazm Adz-Dzahiri berkata:
" فالعاهر - أي الزاني - عليه الحد فلا يلحق به الولد ، والولد يلحق بالمرأة إذا أتت به ، ولا يلحق بالرجل ، ويرث أمه وترثه ، لأنه عليه الصلاة والسلام ألحق الولد بالمرأة في اللعان ونفاه عن الرجل".
Al-'Aahir - yakni pria pezina - dikenakan hukuman hadd, maka nasab anak tidak dihubungkan dengannya. Dan anak tsb dihubungkan nasabnya dengan wanita jika dia melahirkannya, dan dia tidak diikutkan nasab nya pada pria itu, dan anak tsb berhak mewarisi ibunya dan begitu pula ibunya berhak mewarisi anaknya; Karena beliau SAW melekatkan nasab anak pada wanita [istri] dalam LI'AAN dan meniadakan nasab dari pria [suami]. [[Baca: Al-Muhalla (10/322)]].
DALIL KE 2:
Abu Daud menyebutkan dalam “Sunannya" dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah SAW mengatakan:
لَا مُسَاعَاةَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ سَاعَى فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنْ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
"Tidak ada perzinahan dalam Islam, barangsiapa yang melakukan zina pada masa jahiliyah maka sungguh ia telah menasabkan anaknya yang terlahir kepada kepada ahli waris 'Ashobah-nya.
Dan barangsiapa yang mengklaim seorang anak tanpa nasab yang shahih, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi." [HR. Abu Daud no. 1929].
Hadits ini didhaifkan oleh al-Mundziri, Ibnu al-Qoyyim [Zaad al-Ma'aad 5/382], Ahmad Syakir dalam Tahqiq al-Munad 5/139 dan al-Albani dalam Dhaif Abu Daud no. 2264 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).
SYARAH HADITS:
" (لَا مُسَاعَاة فِي الْإِسْلَام) الْمُسَاعَاة الزِّنَا ، وَكَانَ الْأَصْمَعِيّ يَجْعَلهَا فِي الْإِمَاء دُون الْحَرَائِر لِأَنَّهُنَّ كُنَّ يَسْعَيْنَ لِمَوَالِيهِنَّ فَيَكْسِبْنَ لَهُمْ بِضَرَائِب كَانَتْ عَلَيْهِنَّ.
Makna al-Musaa'ah adalah perzinahan:
Dan dulu Asma'i memaksudkan maknanya pada budak-budak perempuan dan bukan wanita merdeka, karena mereka bekerja untuk majikan mereka agar mereka bisa mendapatkan penghasilan untuk para majikannya.
Al-Khoth-thobi dalam Ma'aalim as-Sunan berkata:
إِنَّ أَهْل الْجَاهِلِيَّة كَانَتْ لَهُمْ إِمَاء يُسَاعِينَ وَهُنَّ الْبَغَايَا اللَّوَاتِي ذَكَرهنَّ اللَّه تَعَالَى فِي قَوْله عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتكُمْ عَلَى الْبِغَاء إِذَا كَانَ سَادَتهنَّ يُلِمُّونَ بِهِنَّ وَلَا يَجْتَنِبُوهُنَّ ، فَإِذَا جَاءَتْ إِحْدَاهُنَّ بِوَلَدٍ وَكَانَ سَيِّدهَا يَطَؤُهَا وَقَدْ وَطِئَهَا غَيْره بِالزِّنَا فَرُبَّمَا اِدَّعَاهُ الزَّانِي وَادَّعَاهُ السَّيِّد ، فَحَكَمَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْوَلَدِ لِسَيِّدِهَا ؛ لِأَنَّ الْأَمَة فِرَاش السَّيِّد كَالْحُرَّةِ وَنَفَاهُ عَنْ الزَّانِي". انتهى
Orang-orang Jaahiliyyah memiliki para budak perempuan yang bekerja mencari penghasilan, dan mereka itu adalah para pelacur yang disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya, Yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi.
وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗ
" Dan janganlah kalian paksa para hamba sahaya perempuan kalian untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi". [QS. An-Nuur: 33]
Jika para majikan mereka tinggal bersama dengan mereka dan tidak menjauhi mereka, maka jika salah satu dari mereka melahirkan seorang anak, dan sebelumnya majikannya senantiasa menggaulinya, dan pria lainnya juga sama menggaulinya dengan berzina. Terkadang pria yang menzinahinya mengklaim bahwa bayi itu anak biologis nya, begitu pula majikannya mengklaim anaknya; maka Nabi SAW memutuskan sebuah hukum bahwa bayi tersebut anak majikannya; karena budak perempuan tersebut adalah ranjang majikannya sama seperti wanita merdeka. Dan meniadakan nasab kepada pria yang menzinahinya".
Lalu al-Khothobi menjelaskan makna [[وَلَدًا مِنْ غَيْر رِشْدَة]] dengan mengatakan bawa makna Risydah adalah:
مَنْ كَانَ بِنِكَاحٍ صَحِيح ، وَوَلَد زِنْيَة مَنْ كَانَ بِضِدِّهِ "
" Yakni anak yang terlahir dengan pernikahan yang Shah. Dan sebagai lawan katanya adalah anak yang terlahir dari perzinahan".
[Baca: Aunul Ma'buud 6/353]
DALIL KE 3:
Dari Abdullah bin 'Amr, bahwa Nabi SAW bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.
(HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723).
DALIL KE 4:
Abu Daud juga meriwayatkan dalam “Sunannya" dari hadits Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِي يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنْ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنْ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلَا يَلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِي يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِهِ وَلَا يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ
Sesungguhnya Nabi SAW telah menetapkan:
Bahwa setiap anak yang diklaim sebagai anaknya; maka anak itu di nasabkan kepadanya. Begitu pula ketika ayah anak itu telah meninggal, lalu ahli waris nya mengklaim bahwa dia adalah anaknya.
Maka dengan demikian: "Setiap anak yang terlahir dari seorang budak wanita yang masih miliknya saat dia menggaulinya maka anak tsb diikutkan nasabnya kepada pemilik budak tsb jika dia mengklaimnya".
Setiap anak yang berasal dari seorang budak wanita yang ia miliki pada saat ia menggaulinya maka anak tsb diikutkan nasabnya kepada orang yang mengklaimnya.
Dan jika sebelum dinasabkan kepada orang yang mengklaimnya sebagai anaknya; maka anak tsb sama sekali tidak berhak mendapatkan warisan yang telah dibagikan. Adapun warisan yang belum dibagikan maka ia berhak mendapatkan bagiannnya.
Dan anak tsb tidak boleh di nasabkan kepada seseorang yang diklaim sebagai ayahnya jika orang yang diklaimnya itu mengingkarinya.
Dan apabila anak itu terlahir dari seorang budak wanita yang tidak ia miliki [saat menggaulinya] atau dari wanita merdeka dengan cara berzina dengannya; maka anak tersebut tidak dinasabkan padanya dan tidak mewarisi, walaupun orang yang diduga sebagai ayahnya itu mengklaimnya; namun tetap saja anak tersebut adalah anak hasil perzinahan dengan wanita merdeka atau seorang budak wanita.
(HR Abu Daud no. 2265 dan 2266. Ibnu Majah no. 2746 dan Ahmad no. 6660].
Dalam Riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan kata:
وَإِنْ كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنًا لِأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا حُرَّةً أَوْ أَمَةً قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَا قُسِمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ
Dan walaupun orang yang diduga sebagai ayahnya itu mengklaimnya; maka tetap saja ia adalah anak hasil zina, ia (nasabnya) dikaitkan kepada ibunya, baik ia seorang wanita merdeka atau seorang budak. "
Muhammad bin Rasyid berkata; 'Yang dimaksud di sini adalah apa yang telah dibagi pada masa Jahiliyah sebelum Islam".
[HR. Ibnu Majah no. 2736]
Ibnu al-Qoyyim berkata:
" وَهَذَا لِأَهْلِ الْحَدِيثِ فِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ؛ لِأَنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُولِيِّ".
“Dan ini, menurut para ahli hadits dalam sanadnya ada yang diperbincangkan, karena ini dari riwayat Muhammad bin Rashid Al-Makhuuli."
Dan hadits tersebut dinilai HASAN oleh Al-Buusiiri dalam “Misbah Az-Zujaajah" (2/93), Syekh Al-Albaani shahih Sunan Abi Daud 2265, Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâad al-Ma’âd 5/383 dan para pentahqiq Al-Musnad.
Dan dinilai SHAHIH oleh Syeikh Ahmad Syaakir dalam "Takhrij Musnad Imam Ahmad".
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang mengklaim seorang anak sebagai anak biologisnya dari perzinahan – dengan seorang wanita merdeka atau budak wanita – maka tidak boleh dinasabkan padanya, akan tetapi dinasabkan pada ibunya.
Dan Ibnu al-Qoyyim dalam Zaad al-Ma'aad (5/382) berkata:
وَكَانَ قَوْمٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَهُمْ إِمَاءٌ بَغَايَا، فَإِذَا وَلَدَتْ أَمَةُ أَحَدِهِمْ وَقَدْ وَطِئَهَا غَيْرُهُ بِالزِّنَى فَرُبَّمَا ادَّعَاهُ سَيِّدُهَا، وَرُبَّمَا ادَّعَاهُ الزَّانِي وَاخْتَصَمَا فِي ذَلِكَ، حَتَّى قَامَ الْإِسْلَامُ، فَحَكَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْوَلَدِ لِلسَّيِّدِ؛ لِأَنَّهُ صَاحِبُ الْفِرَاشِ، وَنَفَاهُ عَلَى الزَّانِي
Dan dulu orang-orang pada masa Jahilyah, mereka memiliki para budak perempuan pelacur, maka ketika salah satu dari mereka melahirkan anak, sementara sebelumnya dia telah digauli pria lain dengan berzina; maka terkadang majikannya mengklaim bahwa bayi itu adalah anak biologisnya, dan begitu pula pria yang menzinahinya dia juga mengklaimnya sebagai anaknya, lalu mereka pun terus saling berseteru dan memperebutkannya, hingga agama Islam datang; maka Nabi SAW memutuskan sebuah hukum bahwa anak tersebut adalah anak biologis majikan-nya; karena dia adalah pemilik ranjang, dan menafikannya sebagai anak pria yang menzinahinya. [Selesai]
DALIL KE 5:
Dari Buraidah radhiyallahu anhu dia berkata:
جَاءَتِ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِي لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى قَالَ إِمَّا لا فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ قَالَتْ هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ قَالَ اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيهِ فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ فَقَالَتْ هَذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا فَيُقْبِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ بِحَجَرٍ فَرَمَى رَأْسَهَا فَتَنَضَّحَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ فَسَبَّهَا فَسَمِعَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ مَهْلا يَا خَالِدُ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Suatu ketika ada seorang wanita Ghamidiyah datang menemui Rasulullah SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, diriku telah berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku."
Tetapi untuk pertama kalinya Rasulullah SAW tidak menghiraukan bahkan menolak pengakuan wanita tersebut.
Keesokan harinya wanita tersebut datang menemui Rasulullah SAW sambil berkata:
“Wahai Rasulullah, kenapa anda menolak pengakuanku? Sepertinya engkau menolak pengakuanku sebagaimana engkau telah menolak pengakuan Ma’iz. Demi Allah, sekarang ini aku sedang mengandung bayi dari hasil hubungan gelap itu."
Mendengar pengakuan itu, Rasulullah SAW bersabda: “Sekiranya kamu ingin tetap bertaubat, maka pulanglah sampai kamu melahirkan."
Setelah melahirkan, wanita itu datang lagi kepada beliau sambil menggendong bayinya yang dibungkus dengan kain, dia berkata, “Inilah bayi yang telah aku lahirkan."
Beliau lalu bersabda: “Kembali dan susuilah bayimu sampai kamu menyapihnya."
Setelah mamasuki masa sapihannya, wanita itu datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di tangan bayi tersebut ada sekerat roti, lalu wanita itu berkata: “Wahai Nabi Allah, bayi kecil ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati makanannya sendiri."
Kemudian beliau memberikan BAYI TERSEBUT kepada seseorang di antara kaum muslimin, dan memerintahkan untuk melaksanakan hukuman rajam. Akhirnya wanita itu ditanam dalam tanah hingga sebatas dada. Setelah itu beliau memerintahkan orang-orang supaya melemparinya dengan batu.
Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut.
Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah SAW bersabda:
“Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pemilik al-maks niscaya dosanya akan diampuni."
Setelah itu beliau memerintahkan untuk menyalati jenazahnya dan menguburkannya." (HR. Muslim no. 1695)
FIQIH HADITS:
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak menyerahkan bayi tersebut kepada ayah biologis yang menzinahi ibunya. Dan beliau SAW juga tidak berusaha mencarinya atau menanyakan kepada ibunya sebelum di rajam tentang ayah bayi tersebut.
DALIL KE 6: KISAH LI'AN [لِعَانٌ] PADA ZAMAN NABI SAW:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan:
Hilal ibnu Umayyah, salah seorang di antara tiga orang Ansar yang diterima tobatnya (karena tidak ikut Perang Tabuk pent.) datang dari kebunnya di waktu isya.
Dan ternyata ia menjumpai istrinya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Dia melihat dengan dua mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya (dari pemandangan yang disaksikannya itu), dan ia tidak dapat mengusik lelaki itu.
Pada keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah Saw lalu berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi malam saya pulang di waktu isya dan saya menjumpai istri saya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Saya menyaksikan dengan kedua mata kepala saya dan mendengar dengan kedua telinga saya."
Rasulullah SAW tidak suka mendengar berita itu, dan berita itu tidak mengenakkannya.
Hilal berkata: "Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah menjadikan jalan keluar buatku."
Hilal berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat keberatan yang menimpa dirimu karena berita yang aku sampaikan, tetapi Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku benar dalam beritaku ini."
Perawi melanjutkan kisahnya:
" Bahwa demi Allah, saat Rasulullah SAW hendak memerintahkan agar menjatuhkan hukuman dera [cambuk 80 kali] terhadap Hilal, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah SAW.
Dan Rasulullah SAW bila sedang menerima wahyu dapat diketahui melalui roman mukanya yang kelihatan berubah.
Maka mereka tidak berani mengganggunya sebelum wahyu selesai diturunkan.
Wahyu tersebut adalah firman Allah Swt. yang menyebutkan:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ.
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6).
Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Rasulullah SAW bersabda:
"أَبْشِرْ يَا هِلَالُ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا"
Hai Hilal, bergembiralah, sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar dan penyelesaiannya.
Hilal berkata: "Sesungguhnya aku pun memohon hal itu kepada Tuhanku."
Maka Rasulullah SAW bersabda: "Panggillah istrinya!" Maka mereka memanggil istrinya dan istrinya datang, lalu Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat tersebut kepada keduanya dan memberitahukan kepada keduanya bahwa azab akhirat jauh lebih keras daripada azab dunia.
Maka Hilal berkata: "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya ayat ini benar menceritakan perihalnya."
Istri Hilal berkata membela diri, "Dia (suaminya) bohong."
Rasulullah Saw; bersabda: "Adakanlah sumpah Li’an di antara keduanya."
Lalu dikatakan kepada Hilal: "Bersaksilah kamu."
Maka Hilal mengemukakan persaksiannya dengan mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya benar dalam dakwaannya.
Ketika sumpahnya menginjak yang kelima, dikatakan kepadanya: "Hai Hilal, bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu."
Hilal menjawab: "Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena tuduhanku kepada istriku ini sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku karenanya."
Maka Hilal tanpa ragu-ragu mengucapkan sumpahnya yang kelima: "bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya bila ia dusta".
Kemudian dikatakan kepada istrinya: "Bersaksilah kamu sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (suamimu) termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya)."
Dan pada sumpahnya yang kelima dikatakan kepada istri Hilal: "Bertaqwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu."
Maka dia diam sejenak dan hampir saja mengaku, kemudian dia berkata: "Demi Allah aku tidak akan mempermalukan kaumku."
Maka ia menyatakan sumpahnya yang kelima, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya jika suaminya benar.
Lalu Rasulullah SAW menceraikan keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut anak zina.
Barang siapa menuduh ibunya sebagai pezina atau anaknya sebagai anak zina, maka ia dikenai hukuman had (menuduh orang lain berbuat zina).
Rasulullah SAW memutuskan bahwa dia tidak berhak mendapat rumah tempat tinggal dari Hilal, tidak berhak pula mendapat nafkah darinya, karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak dan bukan pula karena suami meninggal dunia.
Lalu Rasulullah SAW bersabda:
"إِنْ جَاءَتْ بِهِ أصَيْهِب أرَيسح حَمْش السَّاقِينَ فَهُوَ لِهِلَالٍ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعدًا جَمَاليًّا خَدلَّج السَّاقَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، فَهُوَ الَّذِي رُمِيَتْ بِهِ"
Jika anak yang dilahirkannya nanti berambut pirang, tidak keriting, betisnya kecil; maka anak itu adalah anak Hilal. Dan jika dia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya berisi, dan pantatnya besar; maka bayi itu berasal dari lelaki yang dituduhkan berbuat zina dengannya.
Ternyata ia melahirkan bayi yang berambut keriting, padat betisnya, dan besar pantatnya. Maka Rasulullah SAW bersabda:
"لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ".
Seandainya tidak ada sumpah, tentulah aku dan dia berada dalam suatu keadaan.
Ikrimah mengatakan bahwa sesudah dewasa anak tersebut menjadi amir [gubernur] di negeri Mesir, dan ia selalu dipanggil dengan nama ibunya dan tidak dinisbatkan kepada ayahnya.
[HR. Ahmad no. 2131, Abu Daud no. 2256 dan Abdul Haq al-Isybbiili dalam al-Ahkaam ash-Shughroo no. 655. Dan al-Isybbiili mengisyaratkan dalam Muqoddimahnya bahwa hadits ini SANADNYA SHAHIH]
FIQIH HADITS:
Dalam hadits ini Nabi Saw tidak menasabkan anak zina tsb kepada ayah biologisnya.
DALIL KE 6: IJMA'
Ibnu Abdil-Barr - semoga Allah merahmatinya – menyatakan:
أنَّ وَلَدَ الزِّنا في الإسلام لا يُلْحَقُ بالزَّانِي بالإجماع
Bahwa anak zina dalam Islam tidak boleh dihubungkan nasabnya dengan pezina menurut Ijma' para Ulama; Seperti dalam (At-Tamhiid 19/8).
Dan dalam al-Istidzkar 2/167 Ibnu Abdil-Barr menyatakan pula:
" أجمع العلماء - لا خلاف بينهم فيما علمته - أنه لا يلحق بأحد ولد يستلحقه إلا من نكاح أو ملك يمين ، فإذا كان نكاح أو ملك فالولد للفراش على كل حال".
Para ulama telah berijma' - tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka menurut yang aku ketahui - bahwa tidak ada seorang anak pun yang dihubungkan nasabnya ke ayahnya, kecuali dari pernikahan yang sah atau dari budak wanitanya.
*****
DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA:
YANG MEMBOLEHKAN NASAB KE AYAH BIOLOGISNYA
====
DALIL KE SATU: KISAH JURAIJ AL-'AABID
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
« لَمْ يَتَكَلَّمْ في المَهْدِ إلَّا ثَلاثَةٌ عِيسَى ابنُ مَرْيَمَ، وصاحِبُ جُرَيْجٍ، وكانَ جُرَيْجٌ رَجُلًا عابِدًا، فاتَّخَذَ صَوْمعةً، فَكانَ فيها، فأتَتْهُ أُمُّهُ وهو يُصَلِّي، فقالَتْ: يا جُرَيْجُ فقالَ: يا رَبِّ أُمِّي وصَلاتِي، فأقْبَلَ علَى صَلاتِهِ، فانْصَرَفَتْ، فَلَمَّا كانَ مِنَ الغَدِ أتَتْهُ وهو يُصَلِّي، فقالَتْ: يا جُرَيْجُ فقالَ: يا رَبِّ أُمِّي وصَلاتِي، فأقْبَلَ علَى صَلاتِهِ، فانْصَرَفَتْ، فَلَمَّا كانَ مِنَ الغَدِ أتَتْهُ وهو يُصَلِّي فقالَتْ: يا جُرَيْجُ فقالَ: أيْ رَبِّ أُمِّي وصَلاتِي، فأقْبَلَ علَى صَلاتِهِ، فقالَتْ: اللَّهُمَّ لا تُمِتْهُ حتَّى يَنْظُرَ إلى وُجُوهِ المُومِساتِ، فَتَذاكَرَ بَنُو إسْرائِيلَ جُرَيْجًا وعِبادَتَهُ وكانَتِ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بحُسْنِها، فقالَتْ: إنْ شِئْتُمْ لأَفْتِنَنَّهُ لَكُمْ، قالَ: فَتَعَرَّضَتْ له، فَلَمْ يَلْتَفِتْ إلَيْها، فأتَتْ راعِيًا كانَ يَأْوِي إلى صَوْمعتِهِ، فأمْكَنَتْهُ مِن نَفْسِها، فَوَقَعَ عليها فَحَمَلَتْ، فَلَمَّا ولَدَتْ قالَتْ: هو مِن جُرَيْجٍ، فأتَوْهُ فاسْتَنْزَلُوهُ وهَدَمُوا صَوْمعتَهُ وجَعَلُوا يَضْرِبُونَهُ فقالَ: ما شَأْنُكُمْ؟ قالوا: زَنَيْتَ بهذِه البَغِيِّ، فَوَلَدَتْ مِنْكَ، فقالَ: أيْنَ الصَّبِيُّ؟ فَجاؤُوا به، فقالَ: دَعُونِي حتَّى أُصَلِّيَ، فَصَلَّى، فَلَمَّا انْصَرَفَ أتَى الصَّبِيَّ فَطَعَنَ في بَطْنِهِ، وقالَ: يا غُلامُ مَن أبُوكَ؟ قالَ: فُلانٌ الرَّاعِي، قالَ: فأقْبَلُوا علَى جُرَيْجٍ يُقَبِّلُونَهُ ويَتَمَسَّحُونَ به، وقالوا: نَبْنِي لكَ صَوْمعتَكَ مِن ذَهَبٍ، قالَ: لا، أعِيدُوها مِن طِينٍ كما كانَتْ، فَفَعَلُوا،. »
"Tidak ada orang yang dapat berbicara saat masih dalam buaian kecuali tiga orang;
(Pertama) Isa bin Maryam.
(Kedua) Seseorang pada kisah Juraij. Juraij asalnya adalah orang yang taat beribadah.
Lalu dia membuat tempat ibadah. Ibunya mendatanginya ketika dia sedang salat dan memanggilnya, "Wahai Juraij."
Dia (Juraij) berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku". Akhirnya dia teruskan salatnya. Lalu sang ibu pulang. Keesokan harinya sang ibu datang lagi saat Juraij sedang salat.
Dia berkata, "Wahai Juraij." Juraij berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku". Lalu dia memilih meneruskan salatnya. Keesokan harinya sang ibu datang lagi saat Juraij sedang salat. Dia berkata, "Wahai Juraij."
Juraij berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku. Lalu dia memilih meneruskan salatnya.
Maka berkatalah sang ibu, "Ya Allah! Jangan matikan dia sebelum melihat wajah pelacur." Maka Bani Israel menyebut-nyebut Juraij dan ibadahnya.
Kemudian ada seorang wanita pelacur yang terkenal cantik, dia berkata, "Kalau kalian mau, saya akan menggodanya."
Lalu dia menggodanya, namun Juraij tak mempedulikannya. Maka wanita pelacur itu mendatangi seorang penggembala yang sedang berteduh di bawah rumah ibadah itu. Lalu dia menggodanya untuk berbuat zina. Maka terjadilah perzinaan di antara mereka.
Kemudian wanita itu hamil.
Ketika telah melahirkan, dia berkata, 'Ini anak dari Juraij.'
Masyarakat pun mendatanginya dan memaksanya turun lalu rumah ibadahnya dirobohkan. Merekapun memukulinya.
Dia berkata, 'Ada apa kalian ini?'
Mereka berkata, 'Engkau telah berzina dengan wanita pelacur ini sehingga dia melahirkan anak darimu.'
Juraij berkata, 'Mana anaknya?'
Mereka membawakan bayi tersebut. Dia berkata, "Biarkan aku salat!" Lalu dia salat. Setelah selesai salat dia datangi anak bayi tersebut dan dia tekan perutnya seraya berkata, "Wahai anak kecil, siapa bapakmu?"
Anak itu menjawab, "Si penggembala"
Maka orang-orang mengerumuni Juraij, mencium dan mengusap-usapnya. Mereka berkata, "Kami akan bangunkan rumah ibadahmu dari emas."
Dia berkata, "Tidak, bangunlah kembali dari tanah liat seperti semula!" Lalu mereka kerjakan.
[Muttfaq Alaihi. Bukhori no. 3436 dan Muslim no. 2550]
FIQIH HADITS:
Mereka mengatakan:
فكلام الصبي كان على وجه الكرامة وخرق العادة من الله ، وقد أخبر أن الراعي أبوه ، مع أن العلاقة علاقة زنى ؛ فدل على إثبات الأبوة للزاني.
Jadi ucapan bayi ini berjalan diatas karomah dan mujizat dari Allah. Dan bayi ini mengkabarkan bahwa pegembala itu adalah ayahnya, meskipun hubungannya itu adalah hubungan perzinahan; maka ini menjadi dalil akan adanya hak sebagai ayah bagi pria pezina
Ibnu al-Qoyyim berkata
" وَهَذَا إِنْطَاقٌ مِنَ اللَّهِ لَا يُمْكِنُ فِيهِ الْكَذِبُ".
Dan ucapan bayi ini langsung dari kehendak Allah yang tidak mungkin di dalamnya terdapat kebohongan.
[Baca: Zaad al-Ma'aad 5/381 dan فتاوى الشبكة الإسلامية 13/14204 no. 101965]
Al-Qurtubi berkata:
" النبي صلى الله عليه وسلم قد حكى عن جريج أنه نسب ابن الزنى للزاني ، وصدَّق الله نسبته بما خرق له من العادة في نطق الصبي بالشهادة له بذلك ، وأخبر بها النبي صلى الله عليه وسلم عن جريج في معرض المدح وإظهار كرامته ، فكانت تلك النسبة صحيحة بتصديق الله تعالى وبإخبار النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك ، فثبتت البنوة وأحكامها".
“Nabi SAW menceritakan tentang Juraij bahwa ia menasabkan anak zina kepada pria pezina, dan Allah membenarkan akan penasabannya itu melalui mukjizat yang Allah anugerahkan padanya barupa menjadikan bayi mampu berbicara untuk memberikan kesaksian baginya.
Dan Nabi SAW menceritakan tentang kisah Jurej ini dalam konteks pujian dan menunjukkan karomahnya.
Penetapan nasab ini adalah Shahih dengan adanya pembenaran dari Allah SWT dan dengan adanya cerita dari Nabi SAW tentang hal itu, maka itu termasuk pembuktian akan kenabiyannya dan penegasan hukum-hukumnya". [Baca: الجامع لأحكام القرآن 5/115]
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
" واستدل بعض العلماء بهذا الحديث على أن ولد الزنى يلحق الزاني؛ لأن جريجاً قال: من أبوك؟ قال: أبي فلان الراعي، وقد قصها النبي صلى الله عليه وسلم علينا للعبرة، فإذا لم ينازع الزاني في الولد واستلحق الولد فإنه يلحقه ، وإلى هذا ذهب طائفة يسيرة من أهل العلم".
“Sebagian para ulama berdalil dengan hadits ini bahwa anak zina dilekatkan nasabnya kepada pria pezina, karena Jurayj berkata: Siapa ayahmu? Lalu bayi itu menjawab: Ayah-ku adalah si fulan seorang penggembala".
Dan Nabi SAW mengisahkannya kepada kita sebagai ibrah dan pelajaran. Maka jika tidak ada pria lain yang menggugat pria pezina dalam kepemilikan anak tsb dan pria pezina sendiri mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya, maka anak itu dilekatkan nasabnya padanya. Dan pendapat ini dianut oleh sekelompok kecil dari kalangan para ulama.
[Baca: شرح رياض الصالحين 3/75]
DALIL KE DUA:
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwath-tha no. 1451 dari Yahaya bin Sa'id dari Sulaiman bin Yasar:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيطُ أَوْلَادَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الْإِسْلَامِ"
Bahwa Umar bin Al-Khattab mengikat – yakni menghubungkan nasab - anak-anak yang terlahir pada masa jahiliyah dengan orang-orang yang mengklaimnya pada masa setelah Islam datang".
Dan dalam sanadnya ada keterputusan antar perawi, karena Suleiman bin Yasar itu tidak menjumpai zaman Umar - semoga Allah meridhoinya -.
Al-Baaji berkata:
" يُرِيدُ أَنَّهُ كَانَ يُلْحِقُهُمْ بِهِمْ وَيَنْسُبُهُمْ إِلَيْهِمْ وَإِنْ كَانُوا لِزِنْيَةٍ".
“Dia [Umar] berkinginan untuk mengikut sertakan anak-anak tersebut dengan pada ayah-ayah mereka dan menghubungkan nasabnya dengan mereka, meskipun mereka terlahir karena perzinahan." [Baca: al-Muntaqa Sharh al-Muwatta (6/11)].
Ibnu Abdil-Barr berkata:
" هذا إذا لم يكن هناك فراش ؛ لأنهم كانوا في جاهلتهم يسافحون ويناكحون وأكثر نكاحاتهم على حكم الإسلام غير جائزة"
“Ini adalah jika tidak ada ikatan ranjang suami, karena mereka itu pada masa jahiliyah mereka saling berhubungan seksual dan menikah, namun sebagian besar pernikahan mereka menurut syariat Islam tidak diperbolehkan." [At-Tamhiid (8/183)].
BANTAHAN:
Mereka yang menyelisishi pendapat ini mengatakan:
Bahwa atsar Umar Ini khusus untuk orang-orang Jahiliyyah, maka tidak berlaku lagi bagi selain mereka.
Ibnu Abdil-Barr berkata:
" إن عمر بن الخطاب رضي الله عنه يليط أولاد الجاهلية بمن استلاطهم ويلحقهم بمن استلحقهم إذا لم يكن هناك فراش ؛ لان أكثر أهل الجاهلية كانوا كذلك
وأما اليوم في الإسلام بعد أن أحكم الله شريعته وأكمل دينه ، فلا يلحق ولد من زنا بمدعيه أبدا عند أحد من العلماء كان هناك فراش أولم يكن".
“Umar ibnu al-Khattab ra, beliau berkeinginan menghubungkan nasab anak-anak yang lahir pada masa Jahiliah kepada orang-orang yang menuntut nasabnya pada dirinya serta mengikutkan mereka kepada orang-orang yang telah berusah mencarinya jika tidak ada. pemilik firasy yang mengklaimnya, karena sebagian besar orang -orang memang biasa melakukan hal seperti itu.
Adapun hari ini dalam Islam, setelah Allah mengukuhkan syariatnya dan menyempurnakan agamanya, maka seorang anak yang terlahir dari zina, tidak boleh diikutkan nasabnya kepada orang yang mengklaimnya selamanya, menurut pendapat salah seorang dari para ulama, baik di sana ada ikatan ranjang [tempat tidur] atau tidak }. [Baca: al-Istidzkaar 7/164].
Al-Mawardi berkata:
" وَالْعِهَارُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَخَفُّ حُكْمًا مِنَ الْعِهَارِ فِي الْإِسْلَامِ".
Perzinahan dan pelacuran pada masa jahiliyah lebih ringan dari pada perzinahan dalam Islam. [Baca: al-Haawi al-Kabir (8/456)].
JAWABAN:
Berbeda dengan Jumhur madzhab Maliki, mereka berpendapat bahwa hukum dalam atsar Umar ini mencakup semua orang yang telah masuk Islam
Al-Baji berkata:
قال الباجي: "رَوَى عِيسَى عَنْ ابْنِ الْقَاسِمِ فِي جَمَاعَةٍ يُسْلِمُونَ فيستلحقون أَوْلَادًا مِنْ زِنًى ، فَإِنْ كَانُوا أَحْرَارًا وَلَمْ يَدَّعِهِمْ أَحَدٌ لِفِرَاشٍ فَهُمْ أَوْلَادُهُمْ
قَالَ: وَمَنْ ادَّعَى مِنْ النَّصَارَى الَّذِينَ أَسْلَمُوا أَوْلَادًا مِنْ الزِّنَا فَلْيُلَاطُوا بِهِمْ ؛ لِأَنَّهُمْ يَسْتَحِلُّونَ الزِّنَا فِي دِينِهِمْ فَجُعِلَ ذَلِكَ بِاسْتِحْلَالِهِمْ الزِّنَا.
وَرَوَى ابْنُ حَبِيبٍ عَنْ مَالِكٍ مَنْ أَسْلَمَ الْيَوْمَ فَاسْتَلَاطَ وَلَدًا بِزِنًا فِي شِرْكِهِ فَهُوَ مِثْلُ حُكْمِ مَنْ أَسْلَمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ "
“Iisaa meriwayatkan dari Ibnu Al-Qasim tentang ada sekelompok orang, mereka masuk Islam, lalu mereka meminta agar anak-anak mereka dari zina di nasabkan pada mereka. Maka jika mereka itu anak-anak merdeka, dan tidak ada pria pemilik ranjang yang mengklaimnya sebagai anaknya; maka mereka adalah anak-anaknya.
Dia berkata: Dan siapa pun - dari orang-orang Kristen yang masuk Islam – yang mengklaim anak-anak dari perzinahan, maka hubungkanlah nasab mereka padanya; Karena sebelum masuk Islam mereka menghalalkan zina dalam agama mereka, maka diperbolehkan nasab anak-anak zina mereka kepadanya; disebabkan mereka itu menghalalkan zina".
Ibnu Habiib meriwayatkan dari Imam Malik:
Jaka ada orang yang memeluk Islam hari ini lalu dia menuntut anak hasil zina semasa dia masih musyrik agar dinasabkan pada dirinya, maka yang demikian itu sama hukumnya dengan orang yang masuk Islam pada masa Jahiliyah". [Baca: al-Muntaqoo Syarah ak-Muwththoo 4/3.].
Ibnu al-Arabi berkata:
" قال علماؤنا: كان أولئك أولاد لزَنْيَةٍ [أي الذين ألحقهم عمر بآبائهم] ، وكذلك السُّنَّةُ اليومَ فيمن أسلمَ من النَّصَارى واليهود، ثمّ ادَّعَى ولدًا كان من زنا في حال نصرانيَّتِه ، أنّه يُلحَق به إذا كان مجذوذَ النَّسَبِ ، لا أَبَ لهَ ولا فِرّاشَ فيه
“Ulama kami berkata: Mereka adalah anak-anak perzinahan [yaitu mereka yang diikut sertakan oleh Umar nasabnya kepada ayah-ayah mereka], dan begitu pula sunnah yang sama berlaku hari ini pada orang-orang Kristen dan Yahudi yang memeluk Islam, yang kemudian dia menuntut seorang anak sebagai anak biologis hasil dari perzinahan ketika dia masih Kristen, maka dia akan diikut sertakan padanya jika dia adalah seorang yang tidak diperubutkan nasabnya, dia tidak punya ayah dan tidak ada pemilik ranjang di dalamnya.
[Baca: المسالك في شرح موطأ مالك 5/383]
KESIMPULANNYA:
Berdasarkan uraian diatas maka kesimpulaanya adalah sbb:
التفريق بين أمر الجاهلية والإسلام: غير ظاهر؛ لأن النسب أمر قدري كوني بغض النظر عن اعتقاد الزاني. وإلحاق ولد الزنا بأبيه إذا استلحقه حكم لا يختلف في جاهلية ولا إسلام ، ولا فرق فيه بين معذور وغيره.
Perbedaan hukum nasab anak zina antara pada masa Jahilyah dan masa Islam itu tidak nampak jelas perbedaannya. Karena garis keturunan adalah masalah proses kejadian hukum alam, terlepas dari keyakinan pria pelaku zina.
Melekatkan anak yang terlahir dari zina kepada ayahnya, jika ayahnya menuntut pelekatan nasab pada dirinya adalah hukum yang tidak berbeda, baik pada masa jahiliyah atau pun masa Islam. Dan tidak ada perbedaan antara orang yang mendapatkan udzur maupun lainnya.
DALIL KE TIGA:
Abd al-Razzaq dalam al-Mushonnaf no. 12793 berkata:
Ibnu Jurayj memberitahu kami. Dia berkata: 'Ubaidullah bin Abi Yazid memberitahuku bahwa dia mendengar Sabbaa' bin Yaziid az-Zuhry, berkata:
إِنَّ مَوْهب بْنَ رَبَاحٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَلِلْمَرْأَةِ ابْنَةٌ مِنْ غَيْرِ مَوْهَبٍ وَلِمَوْهَبٍ ابْنٌ مِنْ غَيْرِ امْرَأَتِهِ، فَأَصَابَ ابْنُ وهب ابْنَةَ الْمَرْأَةِ فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ «فَحَدَّ عُمَرُ ابْنَ مَوْهَبٍ، وَأَخَّرَ الْمَرْأَةَ حَتَّى وَضَعَتْ، ثُمَّ حَدَّهَا وَحَرِصَ عَلَى أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا»، فَأَبَى ابْنُ مَوْهَبٍ "
Sesunggguhnya Mawhah bin Rabaah menikahi seorang wanita. Dan wanita itu memiliki seorang anak perempuan dari pria lain bukan Mauhab. Dan Mauhab memiliki seorang putra dari wanita lain bukan dari istrinya yang sekarang, lalu putra Mauhab menggauli anak perempuan istrinya itu.
Dan perkara ini dilaporkan kepada Umar bin Al-Khattab. Maka Umar menjatuhkan hukuman hadd [cambuk] pada putra Mawhab, dan menunda hukuman hadd pada wanita itu sampai dia melahirkan anaknya. Dan setelah dia melahirkan maka Umar pun menjatuhkan hukuman hadd [cambuk] pada wanitu itu. Dan Umar sangat menginginkan agar mereka berdua dikumpulkan dalam ikatan pernikahan, namun putra Mawhab menolaknya".
[Mushonnaf Abd al-Razzaq no. 12793]
Syeikh Ahmad az-Zauman berkata dalam " الفرقة بين الزوجين بسبب الإصرار على الزنا":
إسناده صحيح. رواته ثقات وسِباع بن ثابت اختلف في صحبته
" Sanadnya Shahih. Para peerawinya dapat dipercaya. Dan Sibaa; bin Tsabit diperselisihkan apakah dirinya seorang Sahabat Nabi SAW".
Di riwayatkan pula oleh Al-Qadhi Ismail dalam Ahkam al-Qur'an (269), Abu 'Ubaid dalam Nasikh wal Mansukh (175), Ibnu Abi Shaybah (4/248) dan Sa'id bin Mansour (885) (1 /258)
FIQIH HADITS:
Tidak sekali-kali Umar bin Khothob radhiyallahu 'anhu sangat berkeinginan menikahkan wanita yang melahirkan anak zina ini dengan pria yang menghamilinya, melainkan karena beliau berkeinginan agar mereka berdua kumpul dengan anaknya, mengasuhnya dan mengakuinya sebagai anak.
RIWAYAT LAIN:
Abu Ubaid dalam al-Nasikh wa al-Mansuk (188): Abd al-Rahman memberi tahu kami dari Sufyan dari Qais bin Muslim dari Tariq bin Shihab:
أنَّ رجلاً خطبت إليه ابنة له وكانت قد أحدثت فأتى عمر رضي الله عنه فذكر ذلك له فقال: ما رأيت منها إلا خيراً فقال: زوجها ولا تخبر"
قال أبو عبيد: قال عبدالرحمن: قوله: ما رأيت منها إلا خيراً يعني: بعد الحدث.
Bahwa ada seorang laki-laki yang kepadanya aku melamar putrinya. Dan putrinya telah terjadi sesuatu pada dirinya. Lalu aku datang kepada Umar radhiyallahu 'anhu, dan aku menyebutkan hal itu kepadanya. Maka berkata: "Aku tidak melihat dari wanita itu kecuali kebaikan". Lalu Umar berkata: "Nikahi lah dia ! dan tidak usah kau kabarkan !".
Abu Ubaid berkata: Abdur-Rahman berkata: Perkataannya: "Aku tidak melihat apa-apa selain kebaikan darinya", artinya: "setelah kejadian itu".
Syeikh Ahmad az-Zauman berkata dalam " الفرقة بين الزوجين بسبب الإصرار على الزنا":
إسناده صحيح. عبد الرحمن هو ابن مهدي وسفيان هو الثوري.
"Sanadnya Shahih. Abdur-Rahman adalah Ibnu Mahdi. Dan Sufyan adalah ats-Tsaury".
DALIL KE EMPAT:
Al-Darami meriwayatkan dalam Al-Sunan (3106) dari Bukayr dari Sulaiman bin Yassaar. dia berkata:
«أَيُّمَا رَجُلٍ أَتَى إِلَى غُلَامٍ يَزْعُمُ أَنَّهُ ابْنٌ لَهُ، وَأَنَّهُ زَنَى بِأُمِّهِ وَلَمْ يَدَّعِ ذَلِكَ الْغُلَامَ أَحَدٌ، فَهُوَ يَرِثُهُ»
قَالَ بُكَيْرٌ: « وَسَأَلْتُ عُرْوَةَ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ مِثْلَ قَوْلِ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ».
Setiap laki-laki yang datang kepada seorang anak dan mengaku bahwa anak lelaki itu keturunannya, dan bahwa dia telah berzina dengan ibunya, dan tidak ada selainnya seorangpun yang mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya; maka dia adalah ahli warisnya.
Bukair berkata: “Saya bertanya kepada Urwah tentang itu, dan dia mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Sulaiman bin Yasar".
[[HR. Ad-Daarimi no. 3106, 3148. Husein bin Salim ad-Daaraani berkata: "Sanadnya lemah, karena Abdullah bin Shalih, Kaatib Al-Layts al-Mashriy, adalah lemah. Pent]]
DALIL KE LIMA:
Mereka berargumentasi pula dengan mengatakan:
إن هذا الطفل متولد من مائه ، فهو ابنه قدراً وكوناً ، ولا يوجد دليل شرعي صحيح صريح يمنع من إلحاق نسبه به.
Sesungguhnya anak ini lahir dari air mani ayahnya, maka dia adalah putranya, takdirnya dan penciptaaannya, dan tidak ada shahih dan jelas yang mencegah garis keturunannya dikaitkan dengannya.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
" الولد للزاني ، وذلك لأن الحكم الكوني الآن لا يعارضه حكم شرعي فكيف نلغي هذا الحكم الكوني ، مع أننا نعلم أن هذا الولد خلق من ماء هذا الرجل ؟ فإذا استلحقه وقال هو ولده فهو له.
وشيخ الإسلام ابن تيمية وجماعة من العلماء ، يلحقونه ويقولون: إن هذا الولد ثبت كونه للزاني قدراً ، ولم يعارضه حكم شرعي ، فلا نهمل الحكم القدري بدون معارض ، أما لو عارضه الحكم الشرعي فمعلوم أن الحكم الشرعي مقدم على الحكم القدري "
“Anak tersebut adalah milik pria pezina, dan itu karena secara hukum kauniyah [penciptaan alam semesta] sekarang tidak bertentangan dengan hukum syar'i, maka bagaimana mungkin kita bisa membatalkan hukum alam ini?
Sementara kita mengetahui bahwa anak laki-laki ini diciptakan dari air mani orang ini? Maka ketika dia menuntutnya dan mengatakan bahwa dia adalah putranya, maka dia adalah miliknya.
Syekh al-Islam Ibn Taymiyyah dan sejumlah para ulama mengikutkan anak tersebut kepada ayah biologisnya dan mereka berkata: Anak ini secara takdir telah terbukti bagi pria pezina, dan hukum syar'i tidak menentangnya.
Kami tidak mengabaikan hukum qodari selama tidak ada pertentangan. Adapun jika hukum syar'i menentangnya, maka yang sudah maklum adalah bahwa hukum syar'i lebih diutamakan daripada hukum qodari.
[Baca: Fathu Dzil-Jalal wal Ikraam(12/318).
Adapun hadits:
(الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ)
" Nasab anak itu diikutka pada pemilik ranjang [Suami ibunya]. Dan hukuman istri yang zina adalah dirajam pake batu". [HR. Bukhori no. 3964, 6818 dan Muslim 1458].
Maka hadits ini disebutkan dalam kondisi wanita itu terikat dengan ikat ranjang suami istri, sementara masalah kami ini adalah ketiak tidak adanya ikatan ranjang.
Syeikhul Islam berkata:
" فَإِذَا لَمْ تَكُنْ الْمَرْأَةُ فِرَاشًا: لَمْ يَتَنَاوَلْهُ الْحَدِيثُ".
" Jadi jika wanita itu tidak terikat ikatan ranjang suami istri, maka hadits tersebut tidak mencakupnya". [Majmu’ al-Fatawa (32/113).
Dan dalam hadits tersebut Nabi SAW memutuskan nya ketika pria pezina dan pemilik ranjang saling menuntut, seperti yang disebutkan Ibn al-Qayyim dalam "Zad al-Ma'ad" (5/381).
Ibnu al-Qayyim menukil pernyataan Ishaq bin Rahwayh:
أنه: "أُوَّلَ قَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ) عَلَى أَنَّهُ حَكَمَ بِذَلِكَ عِنْدَ تَنَازُعِ الزَّانِي وَصَاحِبِ الْفِرَاشِ".
Bahwa sesungguhnya: dia menafsiri sabda Nabi SAW: [[ Nasab seorang anak diikutkan kepada pemilik ranjang]] dengan penafsiran bahwa beliau SAW memutuskan hal tsb ketika adanya perselisihan antara pria pezina dan pemilik ranjang. ["Zad al-Ma'ad" (5/381)]
Dan Syekh Ibnu Utsaimin berkata:
"قول الرسول صلّى الله عليه وسلّم: (الولد للفراش وللعاهر الحجر) جملتان متلازمتان ، فيما إذا كان عندنا فراش وعاهر"
“Sabda Rasul SAW (Anak itu adalah bagi pemilik firasy, dan bagi pelacur adalah batu) adalah dua kalimat yang saling berkaitan, selama permasalahan yang ada pada kita terdapat pemilik Firasy dan seorang pezina." [“Al-Sharh al-Mumti’" (13/308)].
Dan Syekh Ibnu Utsaimin berkata:
" الجمهور على أنه عام ، وأنه لا حق للزاني في الولد الذي خلق من مائه ، وذهب بعض العلماء إلى أن هذا خاص في المخاصمة، يعني إذا تخاصم الزاني وصاحب الفراش قضينا به لصاحب الفراش ، أما إذا كان لا منازع للزاني ، واستلحقه فله ذلك ويلحق به ، وهذا القول هو الراجح المناسب للعقل، وكذلك للشرع عند التأمل".
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits itu adalah untuk umum, dan bahwasannya pria pezina tidak memiliki hak atas anak yang tercipta dari air maninya. Namun sebagian para ulama berpendapat bahwa hadits ini khusus dalam kondisi terjadi perselisihan, - yakni: jika pezina dan pemilik Firasy bertengkar memperebutkan anak, maka kami memvonis bahwa anak itu adalah milik pemilik Firasy.
Adapun jika pria pezina itu tidak menuntutnya sebagai anak, sementara pemilik firasy mengklaim bahwa dia adalah anaknya, maka nasab anak tersebut diikutkan pada pemilik firasy.
pendapat ini adalah yang paling Rajih dan sesuai dengan logika, begitu pula sesuai dengan hukum syar'i jika di amati dan direnungkan.[Baca: Al-Sharh Al-Mumti’ (12/127)].
Imam Ahmad berkata dalam riwayat Abu Al-Harits: Tentang seorang pria yang menculik istri pria lain dan menghamilinya hingga melahirkan anak-anak darinya, kemudian dia kembali ke suaminya dalam kondisi telah melahirkan anak. Maka Imam Ahmad berkata:
" لا يلزم زوجها الأولاد ، وكيف يكون الولد للفراش في مثل هذا ، وقد علم أن هذه في منزل رجل أجنبي وقد أولدها في منزله ، إنما يكون الولد للفراش إذا ادعاه الزوج ، وهذا لا يدعى: فلا يلزمه".
Ini tidak mengharuskan Suaminya untuk mengakui sebagai anak-anak nya. Dan bagaimana mungkin anak tersebut bisa dianggap milik pemilik Firasy [tempat tidur] dalam situasi seperti itu, sementara dia tahu bahwa wanita ini berada di rumah pria lain [yang bukan suaminya] dan dia juga telah melahirkannya di rumahnya.
Karena seusungguhnya yang dimaksud dengan kata: nasab anak itu diikutkan pada pemilik ranjang, ini berlaku jika suaminya itu mengklaim bahwa dia adalah anaknya. Sedangkan di sini sang suami sama sekali tidak mengakuinya; maka yang seperti ini tidak mengharuskan nasab anak kepada suaminya. [Baca: Badaa’ Al-Fawa’id (4/1)].
Lagi pula i'tibar alif dan lam dalam hadits sebagai i'tibar Jenis [للجنس] itu diperdebatkan sebagaimana yang dikatakan al-Jashshash. Al-Zarqani cenderung bahwa alif dan lam di sini adalah menunjukan terhadap apa yang tersirat dalam benak [للعهد], yaitu:
" أل للعهد ، أي الولد للحالة التي يمكن فيها الافتراش "
"Seorang anak dalam kondisi yang memungkinkan terlahir dari hasil hubungan ranjang suami istri yang sah ".. [Baca: شرح الزرقاني على الموطأ 4/25]
Adapun hadits:
أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنْ اسْتَلْحَقَهُ
" Setiap anak yang terlahir dari seorang budak wanita yang masih miliknya saat dia menggaulinya maka anak tsb diikutkan nasabnya kepada pemilik budak tsb jika dia mengklaimnya".
Hadits ini berkisar pada Amr bin Syuaib yang meriwayatkannya dari ayahnya, dari Kakeknya. Dan ini adalah rangkaian sanad perawi yang di perselisihkan oleh kebanyakan para ulama ahli hadits.
Dan meskipun yang lebih Rajih, haditsnya itu bisa dianggap HASAN, jika perawi dari Amr bin Syu'aib nya itu dapat dipercaya [Tsiqoh], akan tetapi periwayatannya secara tunggal terhadap hadits semacam itu, yang dianggap sebagai pondasi hukam dalam babnya, menuntut agar tawaqquf [menghentikan] untuk menerima riwayatnya.
Imam Ahmad berkata:
" أَصْحَابُ الحَدِيْثِ إِذَا شَاؤُوا: احْتَجُّوا بِحَدِيْثِ عَمْرِو بنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَدِّهِ، وَإِذَا شَاؤُوا: تَرَكُوْهُ".
Para pakar ulam hadits jika mereka mau,: mereka boleh berargumentasi dengan hadits Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Dan jika mereka mau, maka mereka boleh meninggalkannya. [Baca: سؤالات أبي دواد للإمام أحمد hal. 230].
Artinya, mereka boleh tidak menjadikannya sama sekali sebagai dalil, dan juga boleh tidak menolak haditsnya sama sekali, melainkan disesuaikan dengan keadaan masing-masing hadits.
Adz-Dzahabi berkata:
" هَذَا مَحْمُوْلٌ عَلَى أَنَّهُم يَتَرَدَّدُوْنَ فِي الاحْتِجَاجِ بِهِ ، لاَ أَنَّهُم يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ عَلَى سَبِيْلِ التَّشَهِّي"
“Ini kemungkinan diarahkan pada kondisi mereka dalam keragu-raguan untuk berargumentasi dengannya, bukan karena mereka melakukan itu pada kemauannya [Baca: Siyar A'laam an-Nubalaa' 5/167).
Kemudian para perawinya dari Amr bin Syuaib, semuanya lemah dan mereka tidak ada yang lolos dari pembicaraan kalangan para pakar hadits.Contohnya adalah riwayat: Muhammad bin Rashid meriwayatkannya dari Suleiman bin Musa, dari Amr bin Shuaib dari ayahnya dari kakeknya.
Lihat: “Tarikh Ibnu Ma'iin" - Diriwayatkan oleh Al-Douri - (4/465), “Al-Jarh wat-Ta'deel" (7/253), “Ad-Dua'afaa Al-Kabiir" oleh Al-'Uqaili (7/440), “Al-Kamil fi Al-Dhu'afaa" (6/202), Mizan al-Itidal" (3/543), “Tahdziib al-Tahdziib" (9/140).
Kesimpulannya:
Hadis ini tidak lolos dari ambiguitas, dan itulah sebabnya Ibn al-Qayyim berkata:
" وَهَذَا لِأَهْلِ الْحَدِيثِ فِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ؛ لِأَنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُولِيِّ".
“Dan ini, menurut para ahli hadits dalam sanadnya ada yang diperbincangkan, karena ini dari riwayat Muhammad bin Rashid Al-Makhuuli." [Zaad al-Ma'aad 5/383].
Ibnu Rajab berkata:
" أما أكثر الحفاظ المتقدمين فإنهم يقولون في الحديث - إذا تفرد به واحد - وإن لم يرو الثقات خلافه: إنه لا يتابع عليه ، ويجعلون ذلك علةً فيه ، اللهم إلا أن يكون ممن كثر حفظه واشتهرت عدالته وحديثه كالزهري ونحوه ، وربما يستنكرون بعض تفردات الثقات الكبار أيضاً ، ولهم في كل حديث نقد خاص".
“Adapun sebagian besar para huffaadz yang terdahulu, mereka mengatakan tentang hadits – jika seseorang meriwayatkan secara tunggal – meskipun para perawi yang dapat dipercaya [tsiqoot] tidak meriwayatkan sebaliknya: maka riwayat dia tidak bisa di jadikan mutaba'ah [penguat] karena mereka menjadikan hal itu sebagai ilat di dalam hadits.
Kecuali jika dia itu termasuk orang-orang yang terkenal banyak hafalannya dan terkenal dengan keadilan nya dan haditsnya, seperti Az-Zuhri dan yang semisalnya.
Dan mereka mungkin juga mengingkari sebagian periwayatan tunggal yang dilakukan oleh para ulama besar yang dapat dipercaya, dan bagi masing-masing dari mereka terdapat kritikan khusus pada setiap haditsnya". [Baca: "شرح علل الترمذي " karya Ibnu Rajab 1/216]
DALIL KE ENAM: QIYAS [ANALOGI]
Ibnu al-Qoyyim memberikan argumentasi kenapa nasab anak zina diikutkan kepada ayahnya:
" الْقِيَاسُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِيهِ ، فَإِنَّ الْأَبَ أَحَدُ الزَّانِيَيْنِ، وَهُوَ إِذَا كَانَ يُلْحَقُ بِأُمِّهِ، وَيُنْسَبُ إِلَيْهَا، وَتَرِثُهُ وَيَرِثُهَا، وَيَثْبُتُ النَّسَبُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَقَارِبِ أُمِّهِ مَعَ كَوْنِهَا زَنَتْ بِهِ، وَقَدْ وُجِدَ الْوَلَدُ مِنْ مَاءِ الزَّانِيَيْنِ، وَقَدِ اشْتَرَكَا فِيهِ، وَاتَّفَقَا عَلَى أَنَّهُ ابْنُهُمَا، فَمَا الْمَانِعُ مِنْ لُحُوقِهِ بِالْأَبِ إِذَا لَمْ يَدِّعِهِ غَيْرُهُ؟ فَهَذَا مَحْضُ الْقِيَاسِ، وَقَدْ قَالَ جريج لِلْغُلَامِ الَّذِي زَنَتْ أُمُّهُ بِالرَّاعِي: مَنْ أَبُوكَ يَا غُلَامُ؟ قَالَ: فُلَانٌ الرَّاعِي، وَهَذَا إِنْطَاقٌ مِنَ اللَّهِ لَا يُمْكِنُ فِيهِ الْكَذِبُ.
Analogi [Qiyas] yang shahih membenarkannya; Karena ayahnya itu adalah salah satu dari dua pelaku zina. Jika anak tsb boleh diikutkan pada ibunya, di nasabkan padanya, serta ibunya berhak mewarisinya dan dia juga berhak mewarisi ibunya, dan dia juga memiliki hubungan nasab antara dirinya dan kerabat-kerabat ibunya, meskipun dia itu lahir dari perbuatan zina ibunya, dia terlahir dari dua air mani ayah dan ibunya, dua air mani tsb ikut andil di dalamnya, dan kedua orang tuanya telah sepakat bahwa dia adalah anak mereka berdua.
Maka jika demikian adanya: apa yang menghalangi anak tersebut untuk diikutkan nasabnya pada ayahnya selama tidak ada pria lain yang mengaku-ngaku pula sebagai ayahnya???. Ini adalah sebuah analogi yang benar-benar murni.
Dan Juraij berkata kepada anak laki-laki yang ibunya berzina dengan seorang penggembala: "Siapakah ayahmu, hai anak laki-laki?". Dia menjawab: "Fulan si penggembala". Dan ucapan bayi ini langsung dari Allah yang tidak mungkin untuk berbohong.
[Baca: Zaad al-Ma'aad 5/381 dan lihat pula فتاوى الشبكة الإسلامية 13/14204 no. 101965]
DALIL KE TUJUH: KEMASLAHATAN
Pendapat yang mengatakan nasab anak zina dilekatkan pada ayahnya ini memiliki banyak manfaat dan mashlahat, antara lain adalah sbb:
[*] Asy-Syarii' [Allah SWT] senantiasa memperhatikan hal-hal yang bisa menjaga kelangsungan nasab dan keturunan, serta merawat anak-anak, memberi mereka pendidikan dan persiapan yang baik, dan melindungi mereka dari kecerai beraian dan kehilangan.
Syekh Ibnu Utsaimin berkata:
"والشارع له تشوف إلى إلحاق الناس في أنساب معلومة"
“Asy-Syarii' [Allah SWT] berkeinginan agar orang-orang dilekatkan pada nasab-nasab yang dimaklumi." [Baca: asy-Syarh al-Mumti’ (15/501)].
Dan dia juga berkata:
" أما إذا لم يكن له منازع واستلحقه فإنه يلحقه ؛ لأنه ولده قدراً ، فإن هذا الولد لا شك أنه خلق من ماء الزاني فهو ولده قدراً، ولم يكن له أب شرعي ينازعه ، وعلى هذا فيلحق به.
قالوا: وهذا أولى من ضياع نسب هذا الولد ؛ لأنه إذا لم يكن له أب ضاع نسبه، وصار ينسب إلى أمه".
Adapun jika dia ada yang memperebutkannya dan pria pezina itu menuntut agar anak itu dilekatkan nasabnya pada dirinya, maka dia berhak untuk mendapatkannya, karena anak itu tercipta darinya, karena tidak ada keraguan bahwa anak diciptakan dari air mani pezina itu, maka dia adalah anaknya berdasarkan kodratnya. Dan tidak ada baginya ayah syar'i yang memperebutkannya, maka dalam hal ini dia dilekatkan nasabnya dengannya".
Mereka berkata: Ini lebih baik daripada kehilangan garis keturunan anak ini. Karena jika dia tidak memiliki ayah, maka garis keturunannya hilang, dan dia dinasabkan pada ibunya.
[Baca: Syarah Riyadh ash-Shalihin (3/75)].
[*] Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:
"وفي نسبة ولد الزنا إلى أبيه تحقيق لهذه المصلحة ، خصوصًا أن الولد لا ذنب له ، ولا جناية حصلت منه ، ولو نشأ من دون أب ينسب إليه ويعني بتربيته والإنفاق عليه لأدى ذلك في الغالب إلى تشرده وضياعه وانحرافه وفساده ، وربما نشأ حاقدًا على مجتمعه ، مؤذيًا له بأنواع الإجرام والعدوان".
Melekatkan nasab anak zina kepada ayahnya adalah pemenuhan terhadap maslahat ini, terutama bahwa anak itu tidak ada dosa baginya dan tidak ada kejahatan yang dilakukan olehnya. Jika anak tsb tumbuh besar tanpa seorang ayah yang dikaitkan dengannya, tidak ada yang mendidiknya dan menafkahinya; maka hal ini pada umumnya akan mengantarkan anak itu pada kecerai beraian, kehilangan, penyimpangan, dan kerusakan.
Mungkin dia akan tumbuh besar dengan penuh kebencian terhadap masyarakatnya dan menyakiti-nya dengan segala macam kejahatan dan permusuhan".
[Baca: فقه الأسرة عند ابن تيمية 2/759].
[*] Dalam pendapat yang membolehkan nasab ke ayahnya ini terdapat dorongan bagi pezina untuk menikahi wanita yang dia berzina dengannya, sehingga bisa menjaga kehormatan-nya dan menghentikan perbuatan maksiatnya serta untuk menutupi kehormatan keluarganya dan anak-anaknya.
[*] Dan di dalam pendapat yang membolehkan nasab ke ayahnya ini terdapat solusi untuk memecahkan masalah anak-anak hasil zina tersebut, agar mereka tidak merasa dilahirkan dalam keharaman, kehinaan dan kegelapan. Dan agar tidak merasa tertindas dan diperlakukan secara tidak adil akibat apa yang terjadi pada diri mereka.
Lalu mereka bisa tumbuh besar dengan pertumbuhan yang benar bersama saudara-saudara mereka yang terlahir dengan pernikahan yang sah, dan menjadi bagian dari keluarga yang reputasinya mereka pedulikan, dan begitu pula dalam pemeliharaan kehormatannya dan martabatnya.
Di antara efek-efek negatif yang memungkinkan, bahkan seringkali terjadi: adalah mudahnya terjadi penyimpangan dari anak-anak yang nasab keturunannya tidak diketahui, dalam perangkap-prangkap yang membuat kerusakan, perbuatan hina, dan kejahatan yang menyebar ke seluruh masyarakat !
Sejumlah pakar peneliti tempat-tempat penampungan anak-anak zina yang terlantar menyatakan:
أن هذه الفئة - وبنسبةٍ غالبة - مقارنةً بغيرهم ، ينشأون وهم ينقمون على مجتمعهم ، لذلك يسهل لديهم الوقوع في الجـريمة
" Kelompok anak-anak seperti ini – pada umumnya – jika dibandingkan dengan yang lain, mereka tumbuh besar disertai dengan rasa kebencian terhadap masyarakat mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk jatuh ke dalam kejahatan dan kriminal".
[*] Di dalam pendapat yang membolehkan nasab ke ayahnya ini terdapat realisasi dari tujuan mengurangi kejahatan: Karena dengan mengikut sertakan nasab anak zina kepada ayahnya akan mengurangi efek dari kejahatan yang dilakukan pezina. Karena perzinahan itu adalah kecabulan dan perbuatan keji yang diharamkan.
Kecabulannya serta keburukannya itu akan semakin bertambah ketika pengaruhnya merambah kepada yang lain yang bukan pezina, baik pria maupun wanita.
Zina dengan istri orang lain atau dengan istri tetangga lebih buruk daripada zina dengan wanita selain-nya.
Perzinahan yang mengakibatkan kehamilan, itu lebih berbahaya daripada yang tidak mengakibatkan kehamilan.
Dan salah satu cara membenahi sebagian efek negatif dari zina adalah mengikut sertakan nasab anak yang lahir dari zina kepada ayahnya.
[*] * Dalam pendapat yang membolehkan nasab ke ayahnya ini terdapat realisasi dari prinsip keadilan yang diperintahkan Allah SWT.
Dan salah satu keadilan yang datang dalam Syariat-Nya adalah firman-Nya:
(وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى)
" Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain". [QS. Al-An'aam: 164]
Anak ini terlahir dari praktek yang salah, tidak ada dosa bagi anak tersebut dan tidak ada pelanggaran. Dan dalam penolakan dan pengingkaran nasab kepada ayahnya ketika dia mengklaim sebagai anaknya; maka ini adalah hukuman bagi anak tsb, atas sesuatu yang dia sama sekali tidak ikut campur di dalamnya dan tidak tahu menahu.
[*] Salah satu dari prinsip keadilan adalah sama rata dalam hukuman antara pria dan wanita: karena salah satu kaidah yang ditetapkan dalam Syariah:
اسْتِوَاءُ العِقَابِ بَيْنَ أهْلِ الجَرِيْمَةِ إذَا كَانَتِ المُقَارَفَةُ لَهَا عَلَى حَدٍّ سَوَاء.
Bahwa hukuman itu berlaku sama antara para pelaku kejahatan jika batas pelanggarannya itu sama dengannya.
[*] Masalah ini banyak terjadi di kalangan orang-orang yang baru masuk Islam, sehingga salah satu dari mereka masuk Islam dengan pacarnya yang hamil dengan dia dari perzinahan.
Dia berkeinginan untuk menikah dengannya serta melekatkan nasab anak darinya pada dirinya.
Dan bisa jadi, dia pernah melakukan hubungan terlarang dengan istrinya sebelum menikahinya, lalu melahirkan beberapa anak zina darinya, kemudian setelah menikah dengannya lahir pula anak-anak lainnya. Maka dia jatuh ke dalam dilema yang hanya bisa diselesaikan dengan cara menutupi aibnya, dan melekatkan nasab anak-anak dari perzinahannya pada dirinya.
[*] Pendapat ini adalah penyemangat bagi orang-orang yang ditimpa musibah seperti ini lalu mereka berkeinginan masuk Islam. Karena jika seandainya dikatakan kepada salah seorang dari mereka: "Anak-anakmu dari zina yang hidup di bawah naunganmu dan di nasabkan pada dirimu, itu tidak dibenarkan dalam hukum Islam"; maka ada kemungkinan akan menjadi penghalang bagi orang tsb untuk masuk Islam. .
Ibnu al-Qayyim berkata:
" هذا المذهب كما تراه قوةً ووضوحاً ، وليس مع الجمهور أكثر من (الولد للفراش) ، وصاحب هذا المذهب أول قائل به ، والقياس الصحيح يقتضيه".
“Madzhab ini, seperti yang Anda lihat, kuat dan jelas, sementara dalil yang digunakan Jumhur Ulama tidak lebih dari hadits (anak itu milik al-Firaasy).
Dan pengusung Madzhab ini adalah orang yang pertama mengatakannya, dan analogi yang shahih mengharuskan penetapan pendapat ini."
[Baca: Zaad al-Ma'ad (5/374)].
KESIMPULAN AKHIR:
Pendapat yang melarang dan pendapat yang memperbolehkan adalah dua pendapat yang mu'tabar, bisa dipertimbangkan oleh para ulama, dan masalah ini adalah salah satu masalah ijtihadiyah.
Namun demikian sebaiknya tetap mempertimbangkan setiap kejadian dengan keadaannya. Jika dikhwatirkan anak tsb akan menyia-nyiakan agamanya atau dunianya, maka sebaiknya dia mengambil pendapat yang membolehkan menasabkan anak zina kepada ayah biologisnya, karena di dalamnya terdapat realisasi kemaslahatan, yaitu maslahat syar'iyyah, yang dengannya bisa menjaganya dari hal-hal yang negatif.
والله أعلم بالصواب
REFERENSI:
- " فقه الأسرة عند ابن تيمية في الزواج وآثاره " Desertasi S3, oleh Muhammad bin Ahmed Al-Saleh.
- " النسب ومدى تأثير المستجدات العلمية في إثباته " Desertasi S3, oleh Sofyan Bin Umar Boureg'aa
- " نسب ولد الزنا " oleh Sheikh Adnan bin Muhammad Al-Duqailan, penelitian yang dimuat di “Majalah Al-'Adl" (No. 22)
- " أحكام ولد الزنا " oleh Ibrahim bin Abdullah Al-Qusayr, (penelitian tambahan untuk memperoleh gelar master)
- " حكم نسبة المولود إلى أبيه من المدخول بها قبل العقد " oleh DR. Abdulaziz Al-Fawzan
0 Komentar