Di Tulis oleh: Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH MATI DI SISI TUHANNYA DAN KEMUSTAJABAN DOA LEWATNYA:
Kepercayaan dan keyakinan bahwa orang suci atau orang shaleh jika sudah mati akan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah, serta keyakinan bahwa berdoa lewatnya adalah sangat mustajab, di sebabkan orang suci tersebut memiliki kemampuan melobi kepada Allah SWT agar Dia mengabulkan doa orang tsb.
Keyakinan ini di bangun di atas filsafat. Diantaranya dalam fisalafat berikut ini:
1. Dalam Filsafat Majusi.
2. Dalam filsafat Babylonia.
3. Dalam filsafat Yunani.
4. Dalam filsafat Hindu dan Budha.
5. Dalam Filsafat Sabiah.
6. Dalam filsafat Mesir Kuno.
SEBAGAI CONTOH, DALAM FILSAFAT MAJUSI [AGAMA PEMUJA API]
Kepercayaan bahwa orang saleh / orang suci jika sudah mati akan naik ke martabat yang sangat tinggi atau mencapai tingkat kesempurnaan serta berkeyakinan bahwa berdoa kepadanya atau dengan perantaraannya setelah kematiannya jauh lebih mustajab dari pada semasa hidupnya adalah bagian dari kepercayaan agama Majusi agama pemuja api, dupa dan kemenyan.
Mereka berkeyakinan bahwa hakikat awal kehidupan di dunia itu adalah percampuran dua unsur terang dan gelap, cahaya dan kegelapan, baik dan buruk. Maka kematian itu pada hakikatnya adalah berlepas dirinya sang cahaya dari kegelapan, berlepas dirinya sanga kebaikan dari segala kejahatan dan keburukan. Sementara beramal kebajikan di dunia merupakan salah satu cara membebaskan diri dari pengaruh unsur negatif kegelapan.
Maka orang suci itu adalah orang yang banyak beramal saleh sehingga dia itu dianggap sebagai pribadi yang mampu mengusir pengaruh unsur negatif kegelapan, maka dengan demikian orang suci itu doanya sangat mustajab karena dia semasa hidupnya mampu memaksimalkan dalam menguasai cahaya dan mengusir kegelapan.
Jika orang suci itu semasa hidupnya saja sudah dianggap mustajab doanya padahal masih bercampur baur jiwanya dengan keburukan atau unsur negatif, apalagi jika sudah mati dan telah lepas dari segala pengaruh keburukan, maka sudah dipastikan menurutnya: berdoa dengan perantaranya jauh lebih mustajab, dikarenakan dia sudah mencapai tingkat kesempurnaan. (Lihat kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani 1/251, 2/271-272).
DARI CAHAYA MERAMBAH KE API, DUPA DAN LAINNYA:
Berangkat dari pengagungan terhadap cahaya dan terang ; maka penggunaan segala sesuatu yang mengandung unsur cahaya dan terang sebagai sarana ibadah - seperti api, lilin, dupa, kemenyan dan sejenisnya - merupakan syarat mutlak dan utama dalam doa dan ritual ibadah penganut agama Majusi dan sekte-sekte nya.Mereka berkeyakinan saat berdoa, api berfungsi sebagai kiblat dan asapnya berfungsi sebagai pengangkat doa seseorang serta penghubung kepada Allah SWT. Dan fungsi lain dari asap adalah melambangkan komunikasi dengan roh-roh orang suci atau makhluk halus.
Ralph Woodrow dalam BABYLON MYSTERY RELIGION hal. 4 menyatakan bahwa:
" Api adalah lambang dari raja Namrud yang diyakini oleh pengikutnya sebagai dewa matahari atau baal. Jadi, lilin dan lain-lain kebiasaan yang berkenaan dengan api dimaksudkan sebenarnya sebagai penyembahan kepada Nimrod ". (Baca Roma 1:21-26).
SEKILAS TENTANG AGAMA MAJUSI DAN AQIDAHNYA:
Majusi atau Zoroastrianisme adalah sebuah agama purba Parsi yang diasaskan oleh Zarathustra. Ia juga bukan sahaja sebuah agama, tetapi sebuah falsafah kehidupan, sama seperti taoisme dari China. Sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW, agama ini merupakan agama yang utama di Timur Tengah dan Asia Tengah, namun pada hari ini, penganutnya adalah minoriti dimana kebanyakan mereka bertumpu di India.Diperkirakan Agama Majusi ini pada awalnya adalah agama tauhid, agama yang meng Esakan Allah Ta'ala', dalam ensiklopedia bebas di sebutkan:
Bahwa Zoroastrianisme adalah sebuah agama dan ajaran filosofi yang didasari oleh ajaran nabi Zoroaster. Zoroastrianisme dahulu kala adalah sebuah agama yang dominan dianut di daerah Iran, disebarkan pertama kali di Balkh, sebuah kota di utara Afganistan.
Dan Abul Fatah Asy-Syahristany menyebutkan dalam kitabnya Al-Milal wan Nihal 2/257:
" Bahwa para raja-raja ajam (non arab, pada awalnya) mereka semua memeluk agama Ibrahim 'alaihissalam, agama hanif (agama yang akidahnya masih lurus bersih, yaitu meng Esakan Allah Ta'ala), dan semua bangsa yang hidup di zaman tertentu di setiap negeri, mereka memeluk agama rajanya masing-masing.
Dulu pada masa nabi Ibrahim semua aliran dan sekte agama berporos dan menginduk kepada dua agama:
- Pertama: Agama Ash-Shabiah (agama yang akidah dan syariatnya berubah-rubah seperti para penyembah bintang)
- Kedua: Agama Hanif (yang syariat dan akidahnya tetap masih bersih dan lurus).
Terang adalah sumber kebaikan, manfaat dan maslahat. Sementara gelap adalah sumber keburukan, marabahaya dan kerusakan.
Semua topik perdebatan antar sekte-ekte Majusi berkisar tentang dua kaidah berikut ini, yaitu: penjelasan tentang sebab tercampur baurnya cahaya dengan kegelapan, dan sebab lepasnya cahaya dari kegelapan. Dan mereka menjadikan campur baur adalah awal permulaan, sementara pelepasan adalah tempat atau masa kembali. (Lihat: Al-Milal wan Nihal 2/261).
Maniwisme salah satu sekte Majusi menjelaskan proses awal kejadian Alam Semesta hingga Alam itu berakhir, yaitu seperti berikut ini:
Ketika Raja Cahaya melihat terjadinya percampur bauran (antara cahaya dan kegelapan), Ia memerintahkan salah satu malaikat nya untuk menciptakan Alam ini pada kondisi seperti itu, agar jenis-jenis cahaya bisa lepas dari jenis-jenis kegelapan.
Dan sebenarnya bisanya Matahari, Bulan dan semua bintang-bintang beredar, itu di sebabkan karena dalam proses pemurnian diri bagian-bagian cahaya dari bagian-bagian kegelapan. Maka Matahari memurnikan cahaya yang tercampur baur dengan syeitan-syeitan panas.
Sedangkan bulan memurnikan cahaya yang tercampur baur dengan syeitan-syeitan dingin.
Dan angin sepoi-sepoi yang ada di bumi akan terus bergerak naik, karena memang aktivitasnya naik ke alamnya.
Dan demikian pula semua bagian-bagian cahaya selamanya selalu dalam kondisi naik dan keatas, sementara bagian-bagian kegelapan akan terus bergerak turun dan kebawah, sehingga pada akhirnya secara perlahan bagian-bagian tersebut terlepas, dan berakhirlah percampur bauran, dan terbebaslah susunan-susunan tsb, dan masing-masing kembali ke alamnya, dan itulah yang di sebut hari Kiamat dan Saat Kembali.
Dan mereka berkata pula: " Diantara hal-hal yang bisa membantu dalam proses pelepasan dan pemisahan serta pengangkatan bagian-bagian cahaya adalah dengan bertasbih (mensucikannya), bertaqdis (mengagungkannya), ucapan-ucapan yang baik, amal-amal kebajikan, dengan itu semua terangkatlah bagian-bagian bercahaya melalui pilar pagi menuju orbit bulan.
Bulan tsb akan terus menerus menerimanya dari awal bulan hingga pertengahan, maka jadi penuhlah bulan tsb dan berubah menjadi bulan purnama, kemudian dia mengantarkannya kepada Matahari hingga akhir bulan, setelah itu Matahari mendorongnya kepada Cahaya yang di atasnya, maka cahaya itu berjalan pada alam tsb hingga sampai pada Cahaya yang Maha Tinggi lagi Murni. Dan seterus nya saperti itu hingga tidak ada yang tersisa dari bagian-bagian cahaya tsb sedikitpun di alam ini ".
(Lihat: Al-Milal wan Nihal 2/271-272).
Di ceritakan dari kaum pemeluk Tsanwiyah (salah satu sekte Majusi): bahwa terang dan gelap terus menerus hidup, akan tetapi terang itu sensitif dan berpengetahuan, sementara gelap itu bodoh dan buta.
Terang itu bergerak rata, lurus dan tegak, sementara gelap itu bergerak kasar tidak beraturan, kencang seperti badai dan bengkok-bengkok. (Lihat kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani 1/251).
Mereka melambangkan cahaya tsb dengan api abadi, pada awalnya mereka hanya sebatas menjadikannya wasilah atau perantara dan kiblat ibadah mereka, yang kemudian mereka sangat mengagungkannya, yang pada akhirnya menyembahnya.
Begitulah jika masalah agama dan perkara ghaib ditentukan oleh pemikiran akal manusia atau filsafat, maka yang dihasilkannya adalah kekeliruan lagi sesat dan menyesatkan, mereka mengikuti khayalan dan prasangka-prasangka yang dibisikan syeitan kepadanya, kemudian mereka mengira bahwa itu adalah sebuah penemuan atau ilham yang di benarkan.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
" Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasngka-prasangka sedang sesungguhnya persangkaan itu tidak memberikan sedikit pun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm: 28).
" Pertama kali di temukan hikayat manusia yang berkaitan dengan sejarah Majusi (agama penyembah apai) adalah Raja Afredon, yaitu suatu ketika dia menemukan kobaran api yang diagungkan oleh para pemujanya, dan mereka beribadah kepadanya dengan cara mengi'tikafinya (nyepi), maka Raja tadi menghampirinya dan meminta kepada mereka penjelasan tentang api tsb serta hikmah apa saja yang diperoleh dari praktek ibadah kepadanya.
Maka para pemuja api tsb menjelaskannya dengan argument-argument yang membuat dia tertarik untuk beribadah kepada api tsb, diantaranya:
[-] Sesungguhnya api itu adalah perantara (wasilah) antara Allah SWT dan antara makhluknya.
[-] Dan sesungguhnya api itu satu jenis dengan tuhan-tuhan yang bersifat cahaya.
[-] Dan mereka juga menyebutkan argument-argument lainnya kepadanya.
Mereka berkeyakinan pula bahwa nur itu terdiri dari tingkatan-tingkatan dan aturan-aturan. Mereka membedakan antara tabiat api dan tabiat cahaya.
Mereka mengira bahwa hewan akan tertarik oleh gaya tarik cahaya, sehingga hewan tsb membakar dirinya sendiri seperti kupu-kupu yang beterbangan di malam hari. Adapun binatang yang fisiknya halus dan lembut, ia akan melemparkan dirinya pada lampu hingga terbakar. Dan selain hewan-hewan itu masih banyak lagi: seperti yang terjadi pada binatang buruan di malam hari, misalnya rusa, binatang buas dan burung.
Begitu juga bermunculannya ikan-ikan di air jika dekat dengan lampu yang berada di atas prahu kecil, seperti yang terjadi (pada masyarakat) di negeri Bashrah saat mereka berburu ikan, mereka meletakkan lampunya di sisi perahu, maka ikan-ikan pun berloncatan (menghampirinya) dari air menuju lampu.
Dan sesungguhnya dengan adanya cahaya maka alam menjadi baik. Dan api lebih mulia dari pada kegelapan dan lain sebagainya.
Maka setelah mereka selesai memberikan keterangan dan penjelasan kepada Raja Afredon tadi, dia memerintahkan untuk membawa bara api dari kobaran tsb ke kota Khurasan, maka di angkut lah, dan disiapkan untuk api tsb sebuah rumah (ibadah) di kota Thous, di siapkan pula rumah lain untuknya di kota Bukhoro yang kemudian di kenal dengan Bardasurah dan di sediakan pula rumah lain di kota Sajistan (Kawakir) yang kemudian menjadikannya Bahman bin Asfandiyar. (Lihat pula Al-Milal wan Nihal karya Syahristany 2/282).
Ada beberapa faktor lain yang mendorong mereka kepada penyembahan api, faktor-faktor tsb menunjukkan bahwa mereka pada awalnya hanya sebatas menjadikan api sebagai perantara atau wasilah. Diantara faktor-faktor tsb adalah sbb:
[-] Karena api itu adalah elemen yang mulia lagi tinggi.
[-] Api itu tidak mau membakar Nabi Ibrahim AS.
[-] Mereka berkeyakinan dengan mengagungkan api, mereka akan terbebaskan dari api neraka di akhirat kelak.
Kesimpulan umum bahwa api itu adalah kiblat ibadah mereka, perantara (wasilah) dan petunjuk. (Lihat: kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani 1/251).
Mereka berkeyakinan saat berdoa, api berfungsi sebagai kiblat dan asapnya berfungsi sebagai pengangkat doa tsb serta penghubung kepada Allah SWT. Dan fungsi lain dari asap adalah melambangkan komunikasi dengan roh-roh orang suci atau makhluk halus.
AWAL BERKEMBANG PESATNYA AGAMA MAJUSI
Dalam kitab Nihayatul Arb 1/107 Sheikh Mas'udy berkata:" Pertama kali di temukan hikayat manusia yang berkaitan dengan sejarah Majusi (agama penyembah apai) adalah Raja Afredon, yaitu suatu ketika dia menemukan kobaran api yang diagungkan oleh para pemujanya, dan mereka beribadah kepadanya dengan cara mengi'tikafinya (nyepi), maka Raja tadi menghampirinya dan meminta kepada mereka penjelasan tentang api tsb serta hikmah apa saja yang diperoleh dari praktek ibadah kepadanya.
Maka para pemuja api tsb menjelaskannya dengan argument-argument yang membuat dia tertarik untuk beribadah kepada api tsb, diantaranya:
[-] Sesungguhnya api itu adalah perantara (wasilah) antara Allah SWT dan antara makhluknya.
[-] Dan sesungguhnya api itu satu jenis dengan tuhan-tuhan yang bersifat cahaya.
[-] Dan mereka juga menyebutkan argument-argument lainnya kepadanya.
Mereka berkeyakinan pula bahwa nur itu terdiri dari tingkatan-tingkatan dan aturan-aturan. Mereka membedakan antara tabiat api dan tabiat cahaya.
Mereka mengira bahwa hewan akan tertarik oleh gaya tarik cahaya, sehingga hewan tsb membakar dirinya sendiri seperti kupu-kupu yang beterbangan di malam hari. Adapun binatang yang fisiknya halus dan lembut, ia akan melemparkan dirinya pada lampu hingga terbakar. Dan selain hewan-hewan itu masih banyak lagi: seperti yang terjadi pada binatang buruan di malam hari, misalnya rusa, binatang buas dan burung.
Begitu juga bermunculannya ikan-ikan di air jika dekat dengan lampu yang berada di atas prahu kecil, seperti yang terjadi (pada masyarakat) di negeri Bashrah saat mereka berburu ikan, mereka meletakkan lampunya di sisi perahu, maka ikan-ikan pun berloncatan (menghampirinya) dari air menuju lampu.
Dan sesungguhnya dengan adanya cahaya maka alam menjadi baik. Dan api lebih mulia dari pada kegelapan dan lain sebagainya.
Maka setelah mereka selesai memberikan keterangan dan penjelasan kepada Raja Afredon tadi, dia memerintahkan untuk membawa bara api dari kobaran tsb ke kota Khurasan, maka di angkut lah, dan disiapkan untuk api tsb sebuah rumah (ibadah) di kota Thous, di siapkan pula rumah lain untuknya di kota Bukhoro yang kemudian di kenal dengan Bardasurah dan di sediakan pula rumah lain di kota Sajistan (Kawakir) yang kemudian menjadikannya Bahman bin Asfandiyar. (Lihat pula Al-Milal wan Nihal karya Syahristany 2/282).
Ada beberapa faktor lain yang mendorong mereka kepada penyembahan api, faktor-faktor tsb menunjukkan bahwa mereka pada awalnya hanya sebatas menjadikan api sebagai perantara atau wasilah. Diantara faktor-faktor tsb adalah sbb:
[-] Karena api itu adalah elemen yang mulia lagi tinggi.
[-] Api itu tidak mau membakar Nabi Ibrahim AS.
[-] Mereka berkeyakinan dengan mengagungkan api, mereka akan terbebaskan dari api neraka di akhirat kelak.
Kesimpulan umum bahwa api itu adalah kiblat ibadah mereka, perantara (wasilah) dan petunjuk. (Lihat: kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani 1/251).
Mereka berkeyakinan saat berdoa, api berfungsi sebagai kiblat dan asapnya berfungsi sebagai pengangkat doa tsb serta penghubung kepada Allah SWT. Dan fungsi lain dari asap adalah melambangkan komunikasi dengan roh-roh orang suci atau makhluk halus.
0 Komentar