Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

JIKA ISTRI BERZINA APAKAH JATUH TALAK PADA-NYA ? LALU BAGAIMANA HUKUM MENGGAULI-NYA ?

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

بسم الله الرحمن الرحيم

HUKUM TALAK ISTRI YANG BERZINA

Dalam Fatwa IslamWeb no. 378604 [3-7-2018 M] difatwakan:

 فزنا الزوجة سواء كان في قبل أو دبر لا ينفسخ به نكاحها، قال ابن قدامة -رحمه الله-: وَإِنْ زَنَتْ امْرَأَةُ رَجُلٍ، أَوْ زَنَى زَوْجُهَا، لَمْ يَنْفَسِخْ النِّكَاحُ. اهـ

وعليه؛ فلم تحرم هذه المرأة على زوجها، وعليها أن تستر على نفسها، ولا تخبر زوجها أو غيره بمعصيتها، وإذا كانت تابت توبة صحيحة، فعليها أن تطوي صفحة الماضي، ولا تستسلم للوسوسة، فالتوبة تمحو ما قبلها، والتائب من الذنب كمن لا ذنب له . والله أعلم

Perzinahan istri, baik pada kemaluannya atau pada duburnya ; tidaklah membatalkan pernikahannya.

Ibnu Qudamah - semoga Allah merahmatinya - berkata:

“Dan jika seorang istri berzina, atau suaminya berzina, maka pernikahannya tidak batal". [Selesai]

Maka dengan demikian; Sang istri tersebut tidak menjadi haram bagi suaminya, dan sang istri tersebut wajib merahasiakannya, dan tidak boleh memberi tahu suaminya atau orang lain tentang kemaksiatannya.

Dan jika dia bertobat dengan taubat yang shahih [benar], maka dia harus merubah masa lalunya, dan tidak mudah menyerah pada bisikan rasa waswas, karena pertaubatan itu bisa menghapus dosa yang telah lalu, dan orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berbuat dosa.

Wallaahu a'lam.

HUKUM MENGGAULI ISTRINYA YANG BERZINA:

Jika seorang wanita yang sudah menikah melakukan zina apakah dia harus mengosongkan rahimnya satu kali haidh dan haruskah dia memberi tahu suaminya?

Jika seorang wanita yang sudah menikah melakukan zina, apakah dia harus melakukan ISTIBRAA' RAHIM [[pengosongan rahimnya dengan tidak berjima']] dalam satu periode menstruasi? Atau tiga periode? Atau dia tidak harus melakukannya?

Ada dua pendapat para ulama:

PENDAPAT PERTAMA:

Sebagian dari mereka berkata: dia harus melakukan istibraa' rahim 

[[Ada yang berpendapat: tiga kali siklus menstruasi seperti masa Iddah. Dan ada yang berpendapat satu kali siklus mentruasi karean dengan nya bisa istibra rahim]]. 

Maka pada masa-masa itu suaminya tidak boleh berjima' dengannya hingga melewati siklus mentruasi. Dan bagi istrinya diperboleh kan untuk mencari-cari alasan untuk tidak berjima' dengan berabagai macam alasan atau alasan mau berkunjung ke orang tuanya.

Jika ternyata dia hamil karena zina, maka harus diberitahukan kepadanya, karena anak tidak boleh dinasabkan dengannya, dan nasab anak tidak bisa dinafikan kecuali dengan cara LI'AN. Dan jika tidak mau melakukan LI'AN, maka nasab anak ikut pemilik ranjang [Suaminya yang sah].

Al-Mardaawai al-Hanbali [W. 885 H] berkata dalam Al-Inshaaf (9/295):

فائدة: إذا وُطِئت امرأتُه أو سُرِّيَتُه بشبهة أو زنا: حرمت عليه حتى تعتد.وفيما دون الفرج وجهان... أحدهما: لا تحرم عليه. وهو الصواب " انتهى

Faidah: Jika istri atau budak wanita terjadi melakukan hubungan jimak syubhat atau berzina, maka dia diharamkan bagi suaminya sampai dia melewati masa Iddah [tunggu].

Dan dalam hal yang tidak berkaitan dengan kemaluan maka ada dua pandangan... Salah satunya: Tidak diharamkan. Dan ini adalah yang benar.”.

Dan Abu Abdillah al-Mawaaq al-Maliki [W. 897 H] berkata dalam al-Taj wa al-Iklil (5/516):

“وأما الحرة الزانية ، أو المُغتَصبة: فلا يحل لها أن تتزوج ، ولا لزوجها أن يطأها حتى ينقضي استبراؤها بثلاث حيض" انتهى

Mengenai seorang wanita merdeka yang telah berzina atau diperkosa, maka tidak boleh baginya untuk menikah, dan tidak boleh pula bagi suaminya untuk menyetubuhinya sampai dia istibraa' dengan melewati tiga siklus haid.

ِAhmad ad-Dardiir al-Maliki [W. 1201 H] mengatakan dalam Hasyiyah ad-Dasuuqi [catatan kakinya] (2/471):

“قال في الجلاب: وإذا زنت المرأة أو غصبت وجب عليها الاستبراء من وطئها بثلاث حيض ، وإن كانت أمة استبرئت بحيضة ، كانت ذات زوج أو غير ذات زوج " انتهى.

Dia berkata dalam kitab al-Jallaab: Jika seorang wanita melakukan zina atau diperkosa, maka dia harus ber istibraa' [tidak berjima'] hingga melewati tiga siklus menstruasi, dan jika dia itu seorang budak wanita maka dia ber istibraa' dengan satu periode menstruasi, baik dia itu sudah menikah atau belum. [Akhir kutipan].

====

PENDAPAT KEDUA:

Adalah bahwa dia tidak harus ber istibraa', melainkan dia cukup bertaubat kepada Allah SWT, dan tidak memberi tahu suaminya.

Syekh Ibnu Utsaimin r.a. berkata:

“القول الثالث: أنها لا عدة عليها ولا استبراء، وهو مروي عن أبي بكر وعمر وعلي ـ رضي الله عنهم ـ وهو مذهب الشافعي.

وهذا القول أصح الأقوال ، لكن إن حملت ، على هذا القول ، لم يصح العقد عليها حتى تضع الحمل؛ لأنه لا يمكن أن تُوطأ في هذه الحال؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلّم (نهى أن توطأ ذات حمل حتى تضع).

والفائدة من ذلك: أنها إذا كانت ذات زوج ، ما نقول للزوج: تجنبها إذا زنت مثلاً، بل نقول: لك أن تجامعها، ولا يجب عليك أن تتجنبها، إلا إن ظهر بها حمل ، فلا تجامعها، أما إذا لم يظهر بها ، فإنها لك.

فلو قال قائل: ألا يحتمل أن تكون نشأت بحمل من وطء الزنا؟

نقول: هذا الاحتمال وارد، لكن قال النبي ـ عليه الصلاة والسلام ـ: (الولد للفراش وللعاهر الحجر)، فما دمنا ما تيقّنا أنها حملت من الزاني ، فإن الولد يحكم بأنه للفراش، وإذا حملت من الزاني ، وقلنا لزوجها: لا تطأها، فإنه يجوز أن يستمتع بها بغير الوطء ؛ لأنها زوجته، وإنما منع من الوطء من أجل أن لا يسقي ماءه زرع غيره ".

=====

PENDAPAT KE TIGA

Bahwa dia boleh berhubungan intim dan tidak harus melalui masa Iddah atau istibraa' rahim.

Ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar dan Ali - semoga Allah meridhoi mereka - dan ini adalah mazhab Syafi'i

Pendapat ini adalah Pendapat yang paling benar, tetapi jika diarahkan pada Pendapat ini, maka akad tidak berlaku baginya sampai dia melahirkan. Karena dalam kondisi hamil ini dia tidak boleh di gauli ; Karena Nabi SAW melarang hubungan seksual dengan wanita hamil sampai dia melahirkan).

Faidah dari itu adalah:

Jika dia memiliki suami, maka kami tidak boleh mengatakan kepada suaminya: Jauhilah dia jika dia telah melakukan zina, misalnya, akan tetapi kami hanya katakan: Anda dapat melakukan hubungan seksual dengannya, dan Anda tidak harus menjauhinya., kecuali jika nampak kehamilan dalam dirinya, maka jangan berhubungan dengan dia, adapun jika dia tidak nampak hamil, maka dia adalah milikmu [dan anda boleh menggaulinya].

Jika ada yang mengatakan: Apakah tidak mungkin bahwa dia dalam masa proses kehamilan dalam rahimnya dari hasil zina?

Kami jawab: Kemungkinan ini memang mungkin, akan tetapi Nabi - saw – bersabda:

(الوَلَدُ للفِرَاشِ وللعَاهِرِ الحَجَرُ)

(Anak yang terlahir itu milik pemilik tempat tidur, dan bagi pezina adalah batu [rajam])

Selama kita tidak yakin bahwa dia hamil dari pezina, maka anak yang terlahir itu tetap dinasabkan pada pemilik tempat tidur [suami].

Dan jika yakin bahwa dia hamil dari pezina, maka kami katakan kepada suaminya: Jangan lah kamu melakukan hubungan intim dengannya, namun diperbolehkan untuk bersenang-senang dengannya selain barjima'. Kenapa ? Karena dia adalah istrinya, tetapi dia dilarang melakukan hubungan intim karena dia tidak boleh mengairi rahimnya dengan airnya karena sudah ada tanaman orang lain di dalamnya. [[Akhir kutipan dari Al-Sharh Al-Mumti’ (13/232)]].

Dan dia Syeikh al-Utsaimin berkata pula dalam Al-Sharh Al-Mumti’ (13/382):

“بل إن القول المروي عن أبي بكر وجماعة من الصحابة رضي الله عنهم: أن المزني بها لا عدة عليها إطلاقاً ، ولا تُستبرأ، لا سيما إذا كانت ذات زوج؛ لقول الرسول عليه الصلاة السلام: (الولد للفراش)، بل ينبغي للإنسان إذا علم أن زوجته زنت ـ والعياذ بالله ـ وتابت ، أن يجامعها في الحال ، حتى لا يبقى في قلبه شك في المستقبل هل حملت من جماع الزنا أو لم تحمل؟ فإذا جامعها في الحال ، حمل الولد على أنه للزوج وليس للزاني.

أما إذا كانت المرأة الزانية ليس لها زوج ، فلا بد أن تستبرئ بحيضة على القول الراجح " انتهى.

“Sebenarnya, apa yang diriwayatkan dari Abu Bakar dan sekelompok sahabat, semoga Allah meridhoi mereka: bahwa wanita yang dizinahi tidak harus melakukan 'iddah sama sekali, dan dia tidak harus beristbraa' rahim, terutama jika wanita itu punya suami, karena berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

(الوَلَدُ للفِرَاشِ)

(Anak itu ikut firosy [suami]).

Bahkan, jika seseorang mengetahui bahwa istrinya berzina – Na'udzu billah - lalu dia bertobat, maka dia sebaiknya segera menggaulinya saat itu juga, sehingga tidak ada keraguan di hatinya di masa mendatang, apakah dia itu hamil dari hasil zina atau tidak hamil ?

Maka jika dia segera menyutubuhinya pada saat itu juga, maka anak dalam kehamilannya itu adalah anak milik suaminya bukan milik yang pria yang menzinahinya.

Tetapi jika wanita yang berzina itu tidak mempunyai suami, maka ia harus beristbraa' rahim satu kali haid menurut pendapat yang lebih benar [Rajih].

Dengan pendapat ini lah, Syekh Bin Baaz, semoga Allah merahmatinya, dan para ulama al-Lajnah ad-Daaimah mengeluarkan fatwa.

[Lihat: Fatwa Syekh Ibnu Baz (21/205), Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah (20/339)].

Bagaimanapun juga, ini adalah masalah besar, dan harus penuh dengan pertimbangan yang akurat, dan kami memohon kepada Allah SWT agar Allah menyelamatkan kami dan kaum muslimiin dari malapetaka keji seperti ini.

Posting Komentar

0 Komentar