Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

DALAM FILSAFAT YUNANI STANDAR "ORANG SUCI" ATAU "ORANG SHALEH" ADALAH "AHLI MARIFAT" YANG MENGUASAI "ILMU AL-HIKMAH"

Di Tulis oleh: Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

بسم الله الرحمن الرحيم

DAFTAR ISI:

  • PENDAHULUAN:
  • RINGKASAN KONSEP AQIDAH FILOSOFI PLATO YUNANI:
  • AHLI MAKRIFAT TIDAK AKAN TERBEBAS KECUALI DENGAN ILMU HIKMAH:
  • SEBUTAN AHLI MAKRIFAT DAN GHONAUSHISMEME:
  • FAHAM DAN KONSEP MAKRIFAT DARI YUNANI TURUN KE AGAMA YAHUDI:
  • FAHAM DAN KONSEP MAKRIFAT DARI AGAMA YAHUDI TURUN KE AGAMA KRISTEN:
  • FAHAM DAN KONSEP MAKRIFAT MASUK PADA SEBAGIAN UMAT ISLAM:
  • KONSEP DAN KEYAKINAN RE-INKARNASI:
  • KEYAKINAN RE-INKARNASI DALAM FILSAFAT YUNANI.
  • RE-INKARNASI DALAM AGAMA HINDU:
  • RE-INKARNASI DAN ELING VERSI SEKTE KEBATHINAN.
  • KEYAKINAN RE-INKARNASI BUKAN DARI AJARAN ISLAM:
  • PENGARUH SHABIAH (ANIMISME) TERHADAP AQIDAH SEBAGIAN UMAT ISLAM:
  • PERBEDAAN ANTARA ANIMISME DAN RE-INKARNASI TENTANG ROH ORANG MATI:
  • PERBEDAAN ANTARA RITUAL MANAQIBAN PADA MASA JAHILIYAH DAN MANAQIBAN PADA SEBAGIAN UMAT ISLAM:
  • BUKAN DARI AJARAN ISLAM: KEYAKINAN ROH ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:
  • PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA WALAU SESAAT:
  • PARA SAHABAT NABI TIDAK ADA YANG MAMPU MENGHADIRKAN NABI SAW SETELAH BELIAU WAFAT:

*****

بسم الله الرحمن الرحيم

PENDAHULUAN:

Kepercayaan dan keyakinan tentang Makrifat versi sekte Kebathinan telah ada sejak dahulu. Tidak diketahui sejak kapan adanya. Di antaranya di Yunani, India dan Mesir.

Untuk memperkuat hal ini ada beberapa ayat al-Qur'an yang mengisayaratkan nya, diantaranya adalah FIRMAN ALLAH TENTANG PERKATAAN SAMIRI YANG MENGAKU MA'RIFAT:

قَقَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي (96)

Samiri menjawab, 'Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya dan demikianlah nafsuku membujukku.” (96)

Dalam ayat ini Samiri benar-benar mengaku bahwa dirinya punya kemampuan melihat yang ghaib yang menunjukkan bahwa dirinya bukan sembarangan manusia, dia merasa dirinya berada pada level AHLI MAKRIFAT atau HAKIKAT yang punya kemampuan menyingkap tabir ghaib, yang tidak di miliki orang lain. Dan sejatinya dia itu tidak lebih dari pemuja iblis dan Syeithan.

Ibnu Katsir dalam Tafsir nya ketika menafsiri ayat diatas, beliau meriwayatkan dengan sanadnya dari Ikrimah:

“Bahwa Samiri melihat utusan itu (sedangkan orang lain tidak melihatnya). Lalu ada yang membisikkan kepadanya: "Jika kamu mengambil segenggam dari jejak utusan ini, lalu kamu lemparkan pada sesuatu dan kamu katakan kepadanya, 'Jadilah kamu anu,' maka jadilah ia (menuruti kemauanmu)" [Selesai].

Dalam ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa Samiri saat itu menyatakan bahwa dirinya hanya baru sampai pada level Makrifat , belum sampai pada level Hakikat , berbeda dengan Fir'aun yang menyatakan bahwa dirinya telah sampai pada level Hakikat .  

Level Makrifat dibawah level Hakikat . Karena dalam keyakinan sekte Kebatinan dan Tareqat di nyatakan bahwa level makrifat itu masih dalam tahap Bashiirah , yaitu baru bisa melihat yang ghaib dan melihat Allah Yang Maha Ghaib, akan tapi belum menyatu dengan Allah SWT. Sementara jika seseorang telah sampai pada level hakikat , maka dia betul-betul telah menyatu dengan Allah SWT -katanya- yang dalam pepatah kejawen dikatakan : 

"Manungaling Kawula Ing Gusti" atau "Lir Kadia Keris Melebu Ning Werangkane". 

Jika sesorang sudah sampai level hakikat , maka dia boleh mengatakan : Aku adalah Allah" atau "Allah adalah Aku". Sebagaimana yang dikatakan Fir'aun . 

﴿ فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ﴾

"Maka dia [Fir'aun] berkata: "Akulah tuhan kalian yang paling tinggi". [QS. An-Nazi'at : 24]

Seperti yang disebutkan diatas bahwa SAMIRI ini hingga sekarang diakui sebagai salah seorang pendeta tinggi dalam Sekte QABALA. Dia telah berhasil mengajak Bani Israil saat eksodus dari Mesir untuk menyembah patung anak sapi emas bertepatan saat Nabi Musa (as) berkhalwat di gunung Tursina-Sinai.

Dan SAMIRI ini hingga sekarang diakui sebagai salah seorang pendeta tertinggi dalam Sekte QABALA. Dia telah berhasil mengajak Bani Israil saat eksodus dari Mesir untuk menyembah anak sapi emas bertepatan saat Nabi Musa as berkhalwat di gunung Tursina-Sinai.

QABALA adalah sekte kebatinan dalam agama Yahudi.

Nama " Qabaaliyah " atau yang di kenal pula dengan sebutan " Kabaala " di nisbatkan kepada kitab " Qabaalah ". Sebuah kitab yang tertulis di dalamnya Takwil rahasia dan tersembunyi terhadap kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab Taurat. Topik-topik pembahasannya yang paling penting adalah rahasia pengajaran-pengajaran dan kemungkinan membuka serta memecahkan rahasia simbol-simbol, sandi-sandi atau rumusan kitab Taurat, begitu juga simbol bilangan-bilangan dan huruf-huruf. (Baca: Al-Mu'jamul Falsafi karya DR. Jamil Shalbiya jilid 2).

RINGKASAN KONSEP AQIDAH FILOSOFI PLATO YUNANI:

Para ahli filsafat Yunani termasuk Plato, mereka ini sangat mengkultuskan LOGIKA, namun sejatinya dan dalam realitanya mereka itu para pemuja hawa nafsu dan khurafat kebathinan.

Berikut ini ringkasan ajaran aqidah seorang filosofi Yunani yang bernama Plato:

Pertama: Konsep ketuhanan tentang Allah. Menurut pandangan Plato: Allah adalah sesuatu yang keberadaanya sangat absolut alias tidak terbatas, luas, tidak bisa di sifati atau dia tidak bisa di batasi dengan sifat, karena Dia adalah di atas kemampuan daya nalar.

Kedua: Al-Faidl [الفَيْضُ] dan Al-'Aalam [العَالَم] (Yakni: proses terbentuk dan terciptanya Alam semesta).

Plato telah di hadapkan pada sebuah problem tentang awal permulaan penciptaan Alam Semesta.

Dia berpandangan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa alam itu qodim (tidak ada permulaannya dan tidak ada yang menciptakannya) - seperti yang dikatakan oleh Aristoteles – akan mengantarkan pada kekafiran. Sementara orang yang mengatakan bahwa alam itu makhluk (yang di ciptakan) - seperti yang terdapat dalamriwayat-riwayat agama-agama –, maka yang demikian itu berlawanan dengan teori filsafat.

Maka Plato berkehendak menciptakan sebuah madzhab baru yang memadukan dua pendapat tadi agar tidak menimbulkan gejolak pada tokoh-tokoh agamawan dan nampak tidak bertabrakan dengan teori filsafat.

Maka Plato membangun sebuah konsep tentang proses adanya alam semesta (الفَيْضُ) setelah keluar dari lingkaran teori filsafat masuk ke dalam ruang lingkup konsep agama, lantas dia berkata:

“Sesungguhnya wujud yang pertama kali ada adalah Allah, lalu Allah mengamati Dzat-Nya, maka Dia menjadi berakal, sadar dan mengetahui akan keberadaan diri-Nya, pada saat itulah muncul satu ujud lain yaitu Akal, dan akal ini adalah bentuk gambaran Allah, akan tetapi dia bukan Allah.

Dan Akal ini kembali mengamati dirinya, maka muncullah ujud lain yaitu Jiwa Universal yang memenuhi Alam semesta.

Dan Jiwa Universal ini kembali mengamati dalam Akal Pertamanya, maka bermunculan darinya wujud-wujud lain yaitu Jiwa-Jiwa gugusan planet dan bintang….

Kemunculan-kemunculan wujud-wujud itu terus berlanjut, maka muncul pula wujud-wujud lain yang lebih sedikit mirip dengan Akal Pertama yang absolut (yang lepas dari unsur benda) dan lebih banyak berhubungan dengan sesuatu yang bisa di rasakan, sehingga setelah itu muncullah benda yang pertama kali ada (الهُيُوْلِي), dan ia adalah tingkatan-tingkatan kemunculan yang paling terendah (أَدْنَى دَرَكَاتِ الفَيْضِ), karena ia adalah benda mutlaq (tanpa batas) yang kaca balau dan sama sekali tidak berbentuk ".

Demikian lah konsep Plato tentang kemunculan (الفَيْضُ), dan sesungguhnya konsep tsb tiada lain kecuali penyamarataan dan pensejajaran antara konsep riwayat agama-agama tentang penciptaan Alam dan konsep filsafat, dan khususnya konsep Aristoteles.

(Baca: Al-Harokaatul Bathiniyah fil 'Alamil Islami karya DR. Muhammad Ahmad Al-Khothiib hal. 38).

Dan dari konsep yang disebutkan diatas ; maka lahir lah konsep dan keyakinan menyatunya alam semesta dengan Tuhan atau Alam semesta adalah bagian dari unsur ketuhanan atau Alam semesta adalah wujud Tuhan.

URAIAN KONSEP AQIDAH FILOSOFI PLATO YUNANI:

Konsep dan keyakinan menyatunya alam semesta dengan Tuhan atau Alam semesta adalah bagian dari unsur ketuhanan atau Alam semesta adalah wujud Tuhan.

Berikut ini uraiannya:

KE 1: JIWA

Jiwa Universal (yaitu jiwa yang muncul dari Akal Pertama, dan akal pertama ini adalah akal yang keluar langsung dari Allah) memenuhi seluruh alam semesta dan di tugaskan untuk melaksanakan semua aktifitas-Nya, dan JIWA UNIVERSAL ini nampak pada setiap wujud yang hidup. Adapun kaitan JIWA UNIVERSAL terhadap JIWA-JIWA BAGIAN atau CABANG (jiwa-jiwa manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang) maka Plato telah memberikan perumpamaan padanya dengan mengatakan: Umpamanya JIWA UNIVERSAL itu di ibaratkan cahaya Matahari yang menyinari beberapa kamar, maka dalam setiap kamar terdapat bagian dari cahaya Matahari itu sendiri, akan tetapi dia bukanlah Cahaya Matahari secara keseluruhan.

KE 2: HUBUNGAN JIWA-JIWA CABANG DENGAN JASAD-JASADNYA.

Menurut Plato hubungan jiwa-jiwa bagian atau cabang dengan jasad-jasadnya merujuk kepada turunnya jiwa dari alam yang tinggi ke jasad-jasad yang ada di bumi. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad manusia, maka jiwa itu berbaur dengan keburukan-keburukan dan aib-aib yang banyak macamnya yang datang dari sisi pertemuannya dengan benda tadi. Dan jiwa itu akan selalu berusaha agar kembali ke tempat sumber asalnya, maka jika jiwa itu mampu mengendalikan diri dengan berprilaku baik dan berakhlak sempurna, dia bisa kembali ke tempatnya semula di alam arwah yang tinggi.

Namun jika sebaliknya, dia akan mulai lagi dengan lembaran baru pada jasad manusia lainnya atau jasad binatang atau jasad makhluk langit, hingga betul-betul suci bersih dan sempurna, serta layak untuk kembali ke alam asalnya.

KE 3: PENCAHAYAAN DAN KEMAKRIFATAN:

Yaitu mengalirnya kemakrifatan terhadap jiwa dari alam atas yang tinggi dengan sendirinya, tanpa jiwa itu sendiri yang mencari dan menuntutnya. Makrifat ini adalah bentuk makrifat yang sahih dan benar. (Baca: Tarikhul Fikril 'Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 132 – 134).

Murid-murid Plato dan para pendukung madzhabnya seperti Climent dan Ariganus, mereka semua memiliki pengaruh yang betul-betul nyata di dalam menyebarkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Platonisme Moderen kepada aqidah-aqidah umat-umat lainnya seperti: Shabi'ah, Tsanawisme, Manawisme dan lainnya.

Mereka-mereka ini di kenal dengan sebutan:

AHLI MAKRIFAT (أَهْلُ العِرْفَانِ)

Atau

ORANG-ORANG MAKRIFAT DAN GHONAUSHISME (العِرْفَانِيُّوْن وَالغَنُّوْصِيُّوْن)

Nama ini juga telah menjadi sebutan populer bagi sebuah madzhab yang telah menyebar pada abad kedua dan abad ketiga Masehi, yaitu sebuah madzhab yang mengajarkan: ilmu pengetahuan tentang rahasia-rahasia agama. Mereka mengajarkan bahwa seorang yang makrifat tidak akan pernah puas dan menerima syariat agama yang dhahir dan nampak, melainkan harus menyelami ke dalam bathinnya agar bisa makrifat (mengetahui) rahasia – rahasia nya. (Baca: Al-Mu'jamul Falsafi, karya DR. Jamil Shaliiba 2/72).

Madzhab Filsafat ini telah menyertai pertumbuhan agama Kristen, dan telah sampai pada puncak kejayaannya pada abad ke tiga Masehi. (Baca: Tarikhul Fikril 'Aroby hal. 132 – 134).

Dan Madzhab Filsafat ini juga memiliki pengaruh yang kongkrit pada aliran-aliran kepercayaan yang begitu banyak, termasuk pada sekte-sekte dalam Kristen dan para agamawannya, terutama pada orang-orang yang sengaja berkedok dengan agama Kristen seperti sekte Marquisme para pengikut Marqus. (Baca: Al-Fihrist karya Ibnun Nadiim hal. 474).

Meskipun Gereja Kristiani telah berusaha memerangi dan melakukan konfrontasi terhadap madzhab ini serta membeberkan akan kesesatan pemikiran-pemikirannya, namun justru agama Kristen ini malah kembali mengambil dan mengadopsi banyak sekali unsur-unsur ajaran Ghonaushisme (ajaran Makrifat), bahkan para peneliti yang memiliki keinginan kuat untuk memisahkan hubungan antara Kristen dan Ghonaushisme mereka sendiri tidak mampu mengingkari akan adanya beberapa sabda-sabda Yesus sendiri, begitu pula dalam riwayat-riwayat yang terdapat di dalam Injil yang berada di tangan mereka, yang mungkin di terapkan padanya takwil-takwil Simbolik dan rumusan (Romzi) yang bisa mendekatkan hubungan antara Kristen dan Ghonaushisme (faham Makrifat).

Dan hal yang tidak di ragukan lagi adalah unsur-unsur Ghonaushisme ini nampak banyak sekali di ketemukan pada perkataan-perkataan Paulus dan lainnya dari kalangan para pendahulu agamawan Kristen. (Baca: Tarikhul Fikril 'Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 143).

AHLI MAKRIFAT TIDAK AKAN TERBEBAS KECUALI DENGAN ILMU HIKMAH:

Salah satu bukti yang menunjukkan pengaruh Ghonaushisme yang sangat kuat terhadap Kristen yaitu adanya suatu system atau konsep Ghonaushisme yang telah menjadi ketetapan, yang mana konsep ini belum pernah ada dalam tabiat ajaran Kristen ketika pertama hadir dan tumbuh di benua Asia, sehingga ajaran Kristen ini menjadi berubah setelah adanya sebagian orang-orang Ghonaushisme (Aliran Makrifat) berkata kepada orang-orang Kristen:

“Pembebasan itu tidak akan bisa sempurna kecuali dengan methode ILMU HIKMAH, dan methode ini terdapat tiga martabat:

Pertama: Martabat para AHLI MAKRIFAT dan pembebasannya dengan ILMU HIKMAH.

Yang kedua: Martabat orang-orang beriman dan pembebasannya dengan keimanan.

Yang ketiga: Martabat orang-orang bodoh, mereka itu adalah orang-orang yang binasa yang bisa dipastikan. (Baca: Al-Mu'jamul Falsafi karya DR. Jamil Shaliiba 2/76).

SEBUTAN ISTILAH AHLI MAKRIFAT DAN GHONAUSHISME:

Semua aliran kebathinan dan aliran kepercayaan telah di kenal dengan nama sebutan ahli makrifat atau Ghonaushismeme, semuanya dikenal dengan sebutan itu meskipun terdapat perbedaan diantara mereka akan tetapi mereka semua terhimpun dalam keberagaman ciri-ciri khas ajaran tertentu yang ada pada setiap aliran-aliran tadi.

Ciri-ciri khas yang paling mendominasi sekte-sekte tersebut adalah seperti berikut ini:

  1. Konsep penyatuan jasad dengan Tuhan [Wihdatul Wujud].
  2. Kepercayaan terhadap lambang-lambang
  3. Rahasia-rahasia
  4. Bilangan tujuh dengan anggapan bahwa bilangan tujuh itu adalah sebagai lambang akhir dari kemunculan penciptaan alam semesta.

Adapun penyatuan jasad dengan Tuhan [Wihdatul Wujud] ; maka semua sekte Makrifat atau Ghonaushisme mengimani terhadap adanya Tuhan juru pembebasan yang turun dari langit untuk membebaskan manusia dari kejahatan dan keburukan kehidupan. Dan Tuhan juru pembebasan itu akan berjalan di atas jalan yang di tempuh oleh manusia kemudian dia akan mati dan bangkit dari kematian.

Dan begitu juga di dalam firqoh-firqoh makrifat ini terdapat jumlah yang sangat besar yang berkaitan dengan lambang-lambang yang terdapat pada pakaian-pakaian, makanan-makanan dan prilaku-prilaku kehidupan, dan ditambah lagi dengan adanya rahasia-rahasia keagamaan dan rumus-rumus yang menunjukkan makna-makna yang di himpun dari yang lain selain mereka.

Adapun kepercayaan terhadap bilangan tujuh, maka mereka semua menyakininya bahwa bilangan tersebut sabagai simbol dari akhir kemunculan penciptaan alam semesta atau lambang tujuh kekuatan yang di tandai dengan bintang tujuh yang mengatur alam semesta dan berpengaruh padanya.

Dan semua sekte-sekte kebathinan ini memiliki simbol-simbol tertentu agar di terima dalam menjalankan suluk atau tarekatnya yang di namakan " al-ijtiba " (pilihan) karena firqoh-firqoh atau aliran-aliran ini mengamalkan ajaran rahasia kebathinan, oleh karena itu tidak boleh dalam perkara-perkara akidah kecuali bagi orang-orang pilihan (المُجْتَبُّوْن) yang sebelumnya telah menjabat sebagai para pemimpin aliran, dan secara terang-terang menjelaskan kepada mereka rahasia-rahasia yang di sesuaikan dengan kadar dan takaran yang berbeda-beda tergantung tingkatan usia mereka yang di terima sebagai pemeluk aliran tsb dan di sesuaikan pula dengan perbedaan tingkat kemampuan mereka terhadap pemahaman pandangan-pandangan akidah kebathinan.(Baca: Tarikhul Fikril Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 144, 145 dgn ringkas).

FAHAM DAN KONSEP MAKRIFAT DARI YUNANI TURUN KE AGAMA YAHUDI:

Pimpinan dan pelopor lahirnya aliran Makrifat dalam Yahudi adalah Faylon al-Yahudi, dia merupakan aktor terbesar yang berkecenderungan terhadap takwil kebathinan. Faktor yang mendorong dia untuk mengambil madzhab takwil kebathinan ini adalah kritik tajam yang gencar di lancarkan oleh para cendikiawan Yunani terhadap kitab Tauret yang terdapat di dalamnya kisah-kisah, mitos-mitos dan legenda-legenda yang rasional dan yang tidak rasional, seperti mitos menara Babylonia, kisah ular yang menggoda bunda Hawa di surga, kemurkaan Allah dan impian-impian nabi Yusuf.

Maka Faylon Al-Yahudi terpaksa melakukan pembelaan terhadap Tauret dengan meletakkan takwil hakikat atau kebathinan terhadap teks-teks Tauret yang menjadi sasaran kritikan tadi. Dan dia berpendapat bahwa Takwil Hakikat atau Kebathinan itu adalah Ruh dari pada Teks yang Suci (رُوْحُ النَّصَّ المُقَدَّسِ), dan sesungguhnya penafsiran makna secara textual terhadap nash Tauret akan mengantarkan kepada kekafiran.

(Baca: Madzaahibul Islamiyiin karya DR. Abdur Rahman Badawi 2/11-12).

FAHAM DAN KONSEP MAKRIFAT DARI AGAMA YAHUDI TURUN KE AGAMA KRISTEN:

Dari Faylon Yahudi methode takwil kebathinan berpindah ke Agama Kristen, khususnya Origanus, orang yang telah terpengaruh berat oleh ajaran guru-gurunya Faylon Yahudi dan Plato Yunani. Origanus berkeyakinan bahwa penafsiran Kitab Suci itu di dasarkan pada tiga golongan:

Ke 1: Orang biasa, maka cukup baginya jasad kitab suci. [Syariat. Pen.]
Ke 2: Orang yang pemahamannya maju, dan jeli terhadap ruh kitab suci. [Hakikat. Pen.]
Ke 3: Orang-orang yang sempurna, yaitu orang yang pemahamannya melalui malaikat kejiwaan yang mampu menguak perkara gaib. [Makrifat. Pen.]

Dan lahirnya pemikiran Origanus yang demikian itu di karenakan dia dalam kondisi tertekanan oleh kritikan tajam yang di lancarkan oleh para penentang dari Yunani, maka dia terpaksa mengakui bahwa dalam kitab Tauret terdapat hal-hal yang mustahil. (Baca: Madzahibul Islamiyiin karya DR. Abdurrahman Badawi 2/13).

FAHAM DAN KONSEP MAKRIFAT MASUK PADA SEBAGIAN UMAT ISLAM:

Dari uraian sekilas tentang kronologi sejarah perkembangan methode dan konsep takwil hakikat dan kebathinan terhadap kitab-kitab suci pada agama Yunani, Yahudi dan Kristen, maka kita bertanda tanya:

Bagaimana pengaruh faham kebathinan Yahudi dan Kristen bisa sampai kepada aliran-aliran hakikat dan kebathinan yang muncul di dunia Islam ?

Jawabannya adalah: kita kembali kepada sosok Abdullah bin Saba, yang telah di sepakati oleh sebagian besar para peneliti dan nara sumber buku-buku sejarah bahwa dia itu adalah salah satu dari para dedengkot dan pimpinan yang berusaha menyusupkan pengaruh-pengaruh ini ke dalam dunia Islam, dan yang lebih istimewa lagi dia adalah datang dari kalangan Yahudi yang mukim di Yaman yang agamanya sudah tercampur aduk dengan Kristen kebathinan.

Untuk memperkuat dugaan itu yaitu keterangan yang di tuturkan oleh DR. Abdurrahman Badawi yang dinukil dari salah seorang tokoh orientalis yang bernama Fried Lynder yang sampai pada perkataannya tentang keyakinan-keyakinan Ibnu Saba diantaranya pengingkaran kematian Ali bin Abi Thalibt, dan sesungguhnya beliau akan kembali dari awan.

Pemikiran-pemikiran itu tiada lain kecuali datangnya dari Yahudi Yaman, dan persis seperti yang di katakan pula oleh Yahudi Flasya yang di Habasyah (Ethiopia).

Dan Yahudi Flasya ini adalah Yahudi yang sangat terpengaruh oleh ajaran Kristen Habasyah (Ethiopia). Mereka itu sama-sama mengamalkan kitab Suci yang sama, bahasa kitab suci yang sama, baik Yahudi maupun Kristen di Habasyah. Dan Kitab-kitab yang ada pada Flasya selain kitab suci, padat dengan kisah-kisah dan berita-berita yang di kutip dari kitab perjanjian lama (Tauret) dan di nukil pula dari orang-orang Kristen berulang-ulang secara langsung.

Di sini Fried Lynder berkesimpulan serta menetapkan bahwa: Kepercayaan-kepercayaan Kebathinan itu di ambil dari Yahudi dan dari pengaruh-pengaruh madzhab-madzhab asing lainnya. (Baca: Madzahibul Islamiyiin karya DR. Abdurrahman Badawi 2/20, 28, 29).

Selain dari pada itu di tambah lagi dengan adanya perdebatan di kalangan umat kristiani sekitar tentang sosok pribadi Yasuu', dan juga adanya perdebatan antar para filosofi kristen tentang tabiat ketuhanan dan kemanusian Al-Masih dan Yesus (لَاهُوْتَه وَنَاسُوْتَه).

Dan ini adalah garis methode yang di lalui oleh Origanus. Oleh karena bukan hal yang di ragukan lagi bahwa itu semua adalah pengaruh yang terbesar yang mendorong lahirnya konsep yang menyatakan bahwa bagian unsur ketuhanan merasuki para Imam Syi'ah, dan tidak diragukan pula bahwa Ibnus Sauda alias Abdullah bin Saba lah orang yang membawa teori ini dari Kristen filsafat kepada umat Islam, dan dia pula yang pertama kali menda'wahkan bahwa bagian ketuhanan terdapat pada Ali bin Abi Thalib t dan keturunannya. (Baca: Al-Mahdiyah fil Islam mundzu Aqdamil 'Asr wa hattal Yaum karya Saad Muhammad Hasan hal. 79).

HADIST-HADIST PALSU YANG DI CIPTAKAN OLEH KELOMPOK GHONAUSHISME ATAU AHLI MAKRIFAT DALAM ISLAM.

Ajaran Ghonaushisme atau makrifat sangat berpengaruh terhadap aliran-aliran kebathinan yang muncul dalam dunia Islam. Platonisme modern telah mewakili ajaran Ghonaushisme dalam menyampaikan semua sifat-sifat yang ada pada seluruh madzhab Ghonaushisme atau aliran makrifat.

Aliran Makrifat ini bahu membahu bersama aliran-aliran makrifat lainnya untuk bisa tembus ke dalam kehidupan dunia Islam yang paling dalam, maka mereka masuk ke dalam dunia hadits. Seperti yang di sebutkan oleh para pakar hadits bahwa mereka telah menciptakan hadist-hadits Qudsi yang mereka palsukan setelah Nabi Muhammad r wafat, dan dalam hadits tsb terdapat celupan warna faham-faham Platonisme Modern, diantaranya seperti ungkapan mereka yang berbunyi:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْعَقْلَ قَالَ لَهُ: أَقْبِلْ فَأَقْبَلَ. ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَدْبِرْ فَأَدْبَرَ. ثُمَّ قَالَ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي مَا خَلَقْت خَلْقًا أَكْرَمَ عَلَيَّ مِنْك: بِك آخُذُ وَبِك أُعْطِي ؛ وَبِك أُثِيبُ وَبِك أُعَاقِبُ.

“Yang pertama kali Allah U ciptakan adalah akal, maka Allah berfirman kepadanya: menghadaplah ! maka ia pun menghadap. Kemudian Allah berfirman padanya: membelakangilah ! maka ia pun membelakangi. Lalu Allah U berfirman: Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, tidak ada makhluk yang aku ciptakan yang lebih mulia dari pada mu di sisi-Ku, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu aku memberi imbalan pahala dan dengan mu Aku menyiksa ".

Telah berkata Ibnu Hajar tentang hadist ini dalam kitabnya Fathul Bary 6/289: Tidak ada jalur yang kokoh.

Dan Imam Sakhowi dalam kitab al-Maqooshidul Hasanah 1/199 menukil dari Ibnu Taimiyah dan lainnya menyatakan bahwa: hadist ini adalah palsu sesuai kesepakatan para ulama. (Lihat pula Majmu' Fatawa karya Syeikh Ibnu Taimiyah 18/336).

Firqoh Ismailiyah salah satu firqoh-firqoh kebathinan, firqoh yang telah menyerap pemikiran-pemikirannya dari sekte Ghonaushisme, mereka berpendapat bahwa tauhid itu bukan untuk Allah, akan tetapi tauhid itu untuk Akal yang beraksi dan pencetus pertama, maka dia adalah perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya.

Mereka juga mendatangkan sebuah hadits qudsi yang di palsukan yang menyebutkan bahwa:

Allah berbicara kepada Akal:

أَنْتَ فَتْقِيْ وَرَتْقِيْ ، والمُشْرِقُ منِّي عَلَى خَلْقِي ، بِكَ آخُذُ حقِّيْ ، بِكَ أُنْجِزُ وَعْدِي ، فوعِزَّتِيْ وجَلالِي ، لا أَصٍلُ مَنْ يَجْحَدُك ، ولا يَعْرِفُنِيْ من أنْكَرَك ، فأنتَ منِّيْ بلا تبْعِيْضٍ ، وأنا فِيْكَ بلا حُلُوْلٍ ، وفي مُنْتَهَى لَطَائِفِ العُقُوْلِ.

“Kamu adalah belahan-Ku dan rajutan-Ku, dan (kamu) yang bersinar dari-Ku menyinari ciptaan-Ku, denganmu Aku mengambil hak Ku, dengan mu janji-Ku terlaksana, maka demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, Aku tidak akan sampai kepada orang yang membangkangmu, dan tidak bisa makrifat pada-Ku orang yang mengingkarimu, maka kamu adalah dari-Ku tanpa terbagi, dan Aku dalam dirimu tanpa menempati dan Aku berada dalam penghujung kelembutan akal-akal ".

(Baca: Arba'a Rosali Ismailiyah, tahqiq Arif Namir, risalah matholiusy- Syumuus fi Ma'rifatin-Nufuus, karya Syihabuddin Abu Faroos hal. 17).

Berangkat dari keyakinan Ghonaushisme (makrifat) ini maka dengan itu firqoh Ismailiyah mengkultuskan para imamnya dengan berbagai macam pengkultusan, karena menurut pandangan mereka Imam itu adalah Akal. Dan Ibadah, pengagungan dan perayaan itu semua di tujukan kepadanya.

Firqoh Ismailiyah ini di padati dengan simbol-simbol, sandi-sandi cakrawala dan rahasia-rahasia kebathinan. Dan mereka memiliki tarekat khusus dan undang-undang tertentu bagi yang masuk sebagai para mujtaba (yang terpilih) dalam berdakwah. (Baca: Arba'a Rosali Ismailiyah / risalah yang ketiga, dan Dustuur wa Da'watul Mukminiin lilhudluur karya Thoyyii hal. 49).

Hadits lain yang di palsukan adalah hadist berikut ini:

« أُمِرْت أَنْ أُخَاطِبَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ»

“Aku di perintahkan untuk berbicara kepada manusia disesuaikan dengan kadar kemampuan akal mereka ".

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

فَهُوَ كَذِبٌ مَوْضُوعٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ لَيْسَ هُوَ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْإِسْلَامِ الْمُعْتَمَدَةِ وَإِنَّمَا يَرْوِيه مِثْلُ داود ابْنِ الْمُحَبِّرِ وَأَمْثَالِهِ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْعَقْلِ

“Maka Ia adalah dusta dan palsu menurut para pakar hadits dan ini tidak ada dalam kitab-kitab Islam yang mu’tamad, akan tetapi hadits ini hanya diriwayatkan oleh orang seperti Daud bin al-Muhabbirdan yang semisalnya dari para penulis tentang LOGIKA “. [Majmu' al-Fataawaa 18/336]

Dan di halaman lainnya beliau juga berkata:

“Hadits ini tidak ada seorangpun yang meriwayatkan dari kalangan para ulama muslim yang bisa dipegang riwayatnya, bahkan hadits ini tidak di ketemukan dalam kitab-kitab mereka. Sementara yang benar semua khitob Allah U dan Rosul-Nya kepada manusia berbentuk umum mencakup untuk seluruh orang dewasa yang mukallaf, seperti firman Allah U: Wahai para manusia, wahai orang-orang beriman, wahai hamba-hambaku, wahai bani Israel. Begitu pula sabda-sabada Nabi r, beliau berbicara di atas mimbar dengan ucapan yang satu yang didengar oleh setiap individu, akan tetapi tingkat pemahaman masing-masing manusia berbeda-beda sesuai dengan keistimewaan yang Allah anugerahkan kepada masing-masing mereka akan kekuatan daya nalar dan kejernihan aqidahnya.

Kemudian hadits lain yang di palsukan adalah hadist yang di riwayatkan oleh beberapa orang dari Umar t bahwa beliau telah berkata:

« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  وَأَبُو بَكْرٍ يَتَحَدَّثَانِ وَكُنْت كَالزِّنْجِيِّ بَيْنَهُمَا »

“Suatu saat Rosulullah  dan Abu Bakar bercakap-cakap, sementara aku seperti seorang Zanji (orang negro yang tidak faham bahasa arab) diantara mereka berdua ".

Hadits ini dusta dan di bikin-bikin. Begitu juga riwayat yang menambahinya bahwa Abu Bakar telah menjawabnya dengan sebuah jawaban, sementara Aisyah menjawabnya dengan jawaban yang lain, ini adalah betul-betul sebuah riwayat yang telah di sepakati kebohongannya oleh seluruh ulama. (Lihat: Majmu' Fatawa karya Syeikh Ibnu Taimiyah 18/336).

KONSEP DAN KEYAKINAN RE-INKARNASI:

Teori filsafat yang menetapkan konsep Re-inkarnasi (kehidupan kembali ke dunia yang berulang-ulang dengan ganti badan), teori ini tidak di ragukan lagi akan pengaruhnya terhadap para pendiri aliran-aliran gerakan kebathinan. Dan teori ini pula secara global di yakini pula oleh Yahudi dengan berdasarkan pada kisah Uzair yang telah Allah wafatkan selama 100 tahun, kemudian setelah itu Allah U menghidupkannya kembali. Kisah ini di jadikan hujah untuk membenarkan teori tsb. Dan kepercayaan ini telah masuk ke dalam aqidah sebagian umat Islam melalui dakwah Abdullah bin Saba al-Yahudy, ketika dia menyatakan bahwa Nabi Muhammad r kembali ke dunia.

(Baca: Al-Mahdiyah fil Islam mundzu Aqdamil 'Asr wa hattal Yaum karya Saad Muhammad Hasan hal. 38).

Aqidah ini sebagai pembuka jalan bagi para pendiri aliran kebathinan untuk menetapkan teori Re-inkarnasi (التَّنَاسُخِ), yang sebenarnya teori ini di ambil dari konsep filsafat Yunany dan agama Hindu, yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang wujud akan mengalami rantaian kehidupan yang silih berganti yang tiada akhirnya. (Baca: Tarikhul Fikril Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 48).

KEYAKINAN RE-INKARNASI DALAM FILSAFAT YUNANI.

Adapun pandangan filsafat Yunani terhadap konsep Re-Inkarnasi, maka Anbenqlies telah berpendapat bahwa kehidupan hakiki sebenarnya adalah wujud ketuhanan yang menaungi di atas alam benda. Adapun kehidupan kita ini, maka ia adalah merupakan hukuman bagi kita atas segala perbuatan yang pernah kita lakukan sebelumnya – dalam putaran kehidupan kita yang telah lampau – dari perbuatan-perbuatan buruk. (Baca: Tarikhul Fikril Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 80).

Sementara Plato berpendapat bahwa jiwa-jiwa bagian / cabang – yaitu jiwa-jiwa manusia – yang berhubungan dengan jiwa universal selalu mengingat dan berangan-angan dalam ketuhanan, maka jika kebetulan jiwa itu lalai dari mengangan-angan-Nya atau mengingat-Nya tadi maka ia menjadi jauh dari ketuhanan, dan akan terus menjauh sehingga terjatuh dari alam arwah yang tinggi ke bumi kemudian masuk ke dalam jasad, maka ketika jasad mati, ia akan kembali ke tempat asalnya setelah ia di hukum atas kelalaiannya dengan berpindahnya ke jasad apa saja. (Baca: Tarikhul Fikril Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 102).

RE-INKARNASI DALAM AGAMA HINDU:

Re-Inkarnasi dalam Hindu berdiri di atas dasar konsep perpindahan jiwa dari jasad yang baru mati ke jasad yang baru lahir, baik kedua jasad itu adalah dua jasad manusia atau salah satunya adalah jasad hewan dan satunya lagi jasad manusia. Kebahagian dan kesengsaraan kedua-duanya akan kembali di temui menusia sesuai dengan akibat perbuatan yang telah di lakukannya pada kehidupan masa lalu, ketika dia hidup dengan jasad lain pada masa sebelumnya, dan itu adalah sebagai imbalan atas segala perbuatannya.

Perpindahan jiwa yang berakal ke dalam jasad-jasad yang berbeda-beda dan berganti-ganti adalah merupakan hal yang mengganggu ketenangannya, karena sesungguhnya pada hakikatnya yang demikian itu adalah bentuk kondisi dalam kesengsaraan, oleh karena itu seorang hindu akan selalu berusaha untuk bisa lepas dari proses re-inkarnasi (yaitu untuk tidak kembali lagi ke alam dunia yang berulang-ulang) agar dirinya bisa tetap berada di alam ketiadaan (al-Fana / al-'Adam) sehingga dia tidak merasakan apa-apa di dalamnya dan tidak lagi merasakanjiwanya. (Baca: Tarikhul Fikril Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 48).

RE-INKARNASI DAN ELING VERSI SEKTE KEBATHINAN.

Seluruh sekte-sekte kebathinan beriman kepada konsep Re-Inkarnasi, baik antara manusia dan manusia seperti yang di katakan oleh sekte Ismailiyah dan Druze, maupun antara manusia dan binatang seperti yang di katakan oleh sekte Nashiriyah.

Di tambah lagi bahwa orang-orang Druze beriman pula terhadap konsep Makrifat dan mengingat (Eling) yang di ambil dari ajaran Platonisme yang mengatakan: " Bahwa Jiwa itu ketika berada di Alam Arwah yang tinggi (المَلَأُ الأَعْلَى), maka ia mampu melihat semua bentuk-bentuk atau gambar-gambar perumpamaan, maka ketika ia turun dan berhubungan dengan jasad, ia menjadi lupa terhadap apa-apa yang pernah ia kenalinya, akan tetapi setiap kali pandangan manusia itu jatuh pada sesuatu, maka ia menjadi ingat bahwa ia merasa pernah melihat sesuatu yang bentuknya mirip seperti itu di Alam Arwah yang tinggi (المَلَأُ الأَعْلَى) ".

(Baca: Tarikhul Fikril Aroby karya DR. Umar Faroukh hal. 102).

KEYAKINAN RE-INKARNASI BUKAN DARI AJARAN ISLAM:

Reinkarnasi adalah aqidah kafir, bukan dari Islam. Begitu pula keyakinan bahwa roj orang yang sudah matiterutama roh orang shaleh bisa dipanggil atau dihadirkan, apalagi bisa gentayangan kemana saja, termasuk ikut serta nonton bola piala dunia. Berikut ini penjelasan sebagian para ulama beserta dalil-dalilnya:

PERTAMA:

Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarokafuri Abul’ala w 1353H, 10 juz, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, tt., juz 5, h 222 menegaskan:

Ketahuilah, tanasukh [reinkarnasi] adalah kembalinya roh-roh ke badan-badan di dunia ini tidak di akherat karena mereka mengingkari akherat, surga dan neraka, maka karena itu mereka kafir.

Aku (yakni: Al-Mubarokafuri) katakan atas batilnya tanasukh [reinkarnasi] itu ada dalil-dalil yang banyak lagi jelas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya:

{ حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ }.

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan". Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan dihadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (QS AL-Mukmin: 99-100).

KEDUA:

Dalam Kitab al-Muhalla, Ibnu Hazm mengemukakan hadits dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw bersabda:


إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَإِنَّهُ يُعْرَضُ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ

“Ketika salah seorang kalian meninggal, akan diperlihatkan kepadanya tempat duduknya (di akhirat) di waktu pagi dan sore. Jika dia termasuk dari kalangan ahli surga, dia dari ahli surga. Jika termasuk ahli neraka, dia termasuk ahli neraka.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abdullah bin Umar RA)

Maka dalam hadits ini bahwa ruh-ruh itu merasakan mengetahui dipilih-pilih setelah berpisahnya dari jasad. Adapun orang yang mengira bahwa ruh-ruh itu berpindah ke jasad yang lain maka persangkaan itu adalah perkataan orang-orang yang berfaham reinkarnasi/ tanasukh, dan itu adalah kekafiran menurut seluruh umat Islam.

Dan Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata pula: 

(فيكفي من الرد عليهم إجماع جميع أهل الإسلام على تكفيرهم ، وعلى أن من قال بقولهم فإنه على غير الإسلام ، وأن النبي صلى الله عليه وسلم أتى بغير هذا)

“Cukuplah sebagai bantahan terhadap keyakinan mereka adalah Ijma' semua kaum Muslimin bahwa mereka mengkafirkannya.Dan barang siapa yang percaya pada perkataan mereka ini maka dia telah mengikuti sesuatu yang bukan Islam. Dan bahwa Nabi SAW tidak pernah mengajarkan ini.” (al-Fashel fi'l-Milal wa'l-Ahwa wa'l-Nihal, 1/166)

PENGARUH SHABIAH (ANIMISME) TERHADAP AQIDAH SEBAGIAN UMAT ISLAM:

Keyakinan bahwa Roh Orang yang sudah Mati bisa diundang dan bisa gentayangan itu bagian dari keyakinan Animisme, agama pemuja Arwah.

Animisme (dari bahasa latin anima atau "roh") adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia purba. Mereka juga melakukan ritual memanggil dan mendatangkan roh-roh para tokoh dan leluhur yang yang sudah mati.

[Prabowo, Gamma (2020). Gischa, Serafica, ed. “Sistem Kepercayaan Manusia Purba Masa Praaksara”. Kompas.com. Diakses Tanggal 20 Januari 2021]

Kepercayaan animisme mempercayai pula bahwa setiap benda di Bumi ini (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar), memiliki jiwa yang harus dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia.

[Bella Febriza, Nerosti Nerosti, Zora Iriani (2018). "Struktur Upacara dan Fungsi Pertunjukkan Tari Asyeik Dalam Pengobatan di Dusun Empih Kecamatan Sungai Bungkal Kota Sungai Penuh". E-Jurnal Sendratasik. 7 (1): 62. ISSN 2302-3201]

Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam makhluk hidup, seperti tubuh manusia dan hewan.

Bahkan Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh binatang seperti harimau dan dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Bahkan hal tersebut dipercayai sampai turun temurun.

Pengaruh kepercayaan animisme Shabiah pada sebagian umat Islam:

Di samping ilmu-ilmu filsafat serta agama Yahudi, Kristen dan Hindu yang di jadikan rujukan oleh sekte kebathinan, di sana juga terdapat beberapa madzhab-madzhab agama kepercayaan yang memerangi Islam dengan serangan yang sangat keras, diantaranya adalah: SHABIAH.

Dulu pusat agama Shabiah ini adalah di Haraan, dan agama ini tetap hidup di negeri ini hingga Islam masuk ke dalamnya, dan pemeluk agama ini masih ada sisa-sisanya di Iraq hingga sekarang. Agama ini di nisbatkan kepada Aghozimus dan Hurmus, (Hurmus ini adalah nama yang di sebut-sebut oleh orang-orang Yunan sebagai Tuhan bangsa Mesir "Tahuut", adapun para pemeluk platonisme moderen menamakannya: "Hurmus Segitiga Yang Agung". Baca: Al-Mu'jamul Falsafi karya DR. Jamil Shaliiba 2/519).

Tapi para kaum Shabiah mereka menganggap Hurmus ini adalah Nabi Idris u, dan mereka berkeyakinan: bahwa bagi Alam Semesta ini terdapat Pengawas Yang Maha Bijak, dan Dia Maha Suci dari sifat-sifat makhluk yang baru, dan manusia tidak akan mampu mengenali keagungan-Nya secara langsung, melainkan kita semua harus menempuh jalan melalui perantara-perantara yang dekat kepada-Nya, dan perantara-perantara itu adalah para ruhani atau ruh-ruh. (Baca: Al-Fihrist karya Ibnu Nadiim hal. 442, 445, dan Nasy'atul fikril Falsafi fil Islam karya DR. Ali Syami an-Nasyaar 1/103).

PERBEDAAN ANTARA ANIMISME DAN RE-INKARNASI TENTANG ROH ORANG MATI:

Kepercayaan animisme beberbeda dengan kepercayaan reinkarnasi seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Buddha, di mana dalam reinkarnasi, jiwa tidak bisa dipanggil dan tidak bisa berpindah langsung ke tubuh manusia dan hewan yang masih hidup, melainkan melalui proses kelahiran kembali ke dunia dalam bentuk kehidupan baru.

Pada agama Hindu dan Buddha juga terdapat konsep Hukum karma yang berbeda dengan kepercayaan animisme ini.

PERBEDAAN ANTARA RITUAL MANAQIBAN PADA MASA JAHILIYAH 
DAN MANAQIBAN PADA SEBAGIAN UMAT ISLAM:

Perbedaannya adalah:

Ritual MANAQIBAN pada MASA JAHILAYAH: itu hanya sebatas membacakan biografi para leluhur mereka yang sudah mati yang isinya sarat dengan pujian dan sanjugan atas kebaikan dan kesalihan mereka. Dengan tujuan agar anak cucunya senantiasa mengenangnya dan menjadikan teladan bagi mereka. Tanpa ada ritul dan keyakinan menghadirkan para arwah leluhur mereka yang dimanaqibi.

Allah I mengisyaratkan tentang ritual manaqiban kaum musyrikin jahilyah dalam firman-Nya:

{ فَإِذَ اقَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُم ْأَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا}

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu ". (QS. Al-Baqarah: 200)

Imam Al-Fakhrur Rozi dalam tafsir Mafaatihul Ghoib 1/835 ketika menafsiri ayat ini, dia berkata:

“Adapun firman Allah Ta'aala: ((sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu)) maka penafsirannya terdapat beberapa arah (diantaranya):

Pertama: penafsiran jumhur / mayoritas ulama ahli tafsir: Bahwa dulu kaum (arab jahiliyah) punya tradisi jika selesai menunaikan ibadah haji, mereka berlebihan memuji-muji terhadap nenek moyangnya ketika menuturkan manaqib (riwayat hidup) dan fadlooil (keutamaan – keutamaan) mereka - (nampaknya manaqiban itu biasa di lakukan juga oleh kaum musyrikin arab jahiliyah pen.) -, maka Allah I berfirman:

{فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا }

“Maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu ".

Maksudnya: Perbanyaklah (dengan berlimpahan) menyebut-nyebut dan mengingat Allah I, sebagaimana kalian (dahulu) telah memperbanyak (dengan berlimpahan) menyebut-nyebut dan mengenang nenek moyang kalian, dan kerahkanlah kemampuan kalian dalam memuji Allah dan menuturkan segala karunia-karunia-Nya dan kenikmatan-kenikmatan-Nya, seperti halnya kalian (dahulu) telah mengerahkan kemampuan kalian dalam memuji-muji nenek moyang kalian, karena memuji Allah ini lebih utama dan lebih mendekati akal yang sehat dari pada memuji-muji nenek moyang, karena menyebut hal-hal yang dibanggakan dari nenek moyang itu jika ternyata bohong maka yang demikian itu menyebabkan kehinaan di dunia dan berakibat mendapat azab di akhirat.

Dan jika itu memang benar adanya maka yang demikian itu akan menimbulkan rasa ujub, takabur dan dan banyak melahirkan rasa bangga atas dirinya, dan semua itu adalah bagian dari induk-induk kebinasaan, maka yakinlah bahwa kesibukan kalian dengan menyebut dan mengingat Allah adalah lebih utama dari pada kalian sibuk dengan menyebutkan dan mengenang hal-hal yang dibanggakan oleh nenek moyang......

Kedua: Ibnul Anbari berkata tentang tafsir ayat ini: " Sesungguh masyarakat Arab dahulu ketika bersumpah, rata-rata sumpah-sumpah mereka pada masa jahiliyah dengan menyebut bapak-bapaknya, seperti ucapannya: Demi bapakku, demi bapak kalian, demi kakek ku, dan demi kakek kalian, maka Allah Ta'aala berfirman: " Agungkanlah Allah, seperti pengagungan kalian dahulu terhadap bapak-bapak kalian ".

Ketiga: Ada kemungkinan bahwa mereka dahulu biasa menyebut-nyebut nenek moyang mereka dalam rangka untuk bertawassul / menjadikannya perantara untuk mendapatkan doa yang mustajab di sisi Allah, maka Allah I menjelaskannya kepada mereka bahwa nenek moyang mereka bukan levelnya, karena semua amal kebajikannya sudah tidak dianggap di sebabkan kesyirikannya, kemudian mereka diperintahkan menggantikannya dengan menyebut-nyebut karunia-karunia Allah dan segala kenikmatan-Nya, serta memperbanyak memuji Allah agar bisa di jadikan wasilah (perantara) untuk mendapatkan limpahan kenikmatan di masa mendatang ".

Sementara dalam ritual MANAQIBAN pada sebagian UMAT ISLAM : Sama seperti manaqiban Jahilyah, namun terdapat tambahan, yaitu berupa ritual dan keyakinan menghadirkan roh orang mati yang di bacakan manaqibnya. Kadang di kemas dengan istilah mendatangkan karomahnya.

Begitu pula dalam ritual MARHABANAN, ketika baca AL-BARJANZY dan sampai Mahal al-Qiyaam [posisi berdiri menyambut kedatangan Nabi Saw].

مَحَلُّ الْقِيَامِ

POSISI BERDIRI MENYAMBUT KEHADIRAN NABI SAW

Dengan membacakan bait-bait yang cukup panjang, diantaranya adalah sbb:

مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا *** مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Wahai engkau, selamat datang. Wahai engkau, selamat datang. Wahai engkau, selamat datang. Wahai engkau, sang datuk kedua Ḥusain, selamat datang

مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَا نُوْرَ الْعَيْنِ *** مَرْحَبًا مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ

Selamat Datang Wahai Cahaya Mataku, Selamat Datang Wahai Kakeknya 2 Husain.

مَرْحَبًا مَنْ رَآىْ وَجْهَكَ يَسْعَدُ *** مَرْحَبًا يَا كَرِيْمَ الْوَالِدَيْنِ

Selamat Datang, Siapa pun yang melihat wajahmu pasti berbahagia, wahai orang yang mulia kedua orang tuanya.

Padahal Rosulullah  semasa hidupnya tidak suka jika ada seseorang berdiri hanya karena untuk menghormatinya:

Imam Bukhory dalam kitab Adabul Mufrod meriwayatkan dari Anas bin Malik t, dia berkata:

“لَمْ يَكُنْ شَخْص أَحَبّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنْ رَسُول اللَّه  ، وَكَانُوا إِذَارَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لَهُ ، لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَته لِذَلِكَ "

“Tidak ada sosok manusia yang lebih di cintai oleh para sahabat untuk dilihatnya selain terhadap Rosulullah, dan mereka para sahabat jika melihat beliau datang, mereka tidak berdiri menyambutnya, karena mereka tahu jika beliau membencinya untuk diperlakukan seperti itu “.

(Sanadnya sahih sesuai syarat Imam Muslim. Dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Turmudzi, dan Abu Isa Turmudzi berkata: Hadits Hasan Sahih Ghorib. Lihat Tahdzib Sunan Abu Daud 2/482).

Imam Muslim dalam sahihnya no. 1-(413) meriwaytkan dari Jabir t: Bahwasannya ketika para sahabat shalat di belakang Nabi r dalam kondisi berdiri, sementara Rosulullah r duduk (karena saat itu beliau sedang sakit keras menjelang wafatnya), maka beliau memberi isyarat agar mereka juga duduk, maka merekapun duduk, setelah beliau salam beliau bersabda:

« إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوم ِيَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُم ْقُعُودٌ فَلَا تَفْعَلُوا»

“Sungguh barusan hampir saja kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi, mereka berdiri terhadap raja-rajanya sementara para rajanya duduk, maka janganlah kalian lakukan itu ".

Dari Abu Mijlaz, dia berkata: Suatu ketika Khalifah Muawiyah keluar, maka Abdullah bin Zubair dan Ibnu Sofwan berdiri ketika melihatnya, lalu Mu'awiyah berkata: Kalian berdua duduklah, aku telah mendengar Rosulullah  bersabda:

« مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّل لَهُ الرِّجَال قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأ ْمَقْعَده مِنْ النَّار»

Barang siapa yang merasa bangga atau senang jika ada orang-orang berdiri untuk menyambutnya maka tempatilah tempat duduknya dari api neraka".

(HR. Ahmad 4/91, Bukhori di Adabul Mufrod no. 977 dan Turmudzi no. 2755, dia berkata: Hadits Hasan).

Dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah di riwayatkan dari Abu Umamah al-Baahily (ra) dia berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ  مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا فَقُمْنَا إِلَيْهِ فَقَالَ: « لاَ تَقُومُوا كَمَا تَقُومُ الأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهَا بَعْضًا».

“Telah keluar Rosulullah  mendatangi kami sambil bersandar pada tongkat, lalu kami pun berdiri menyambutnya, maka beliau berkata: " Janganlah kalian berdiri seperti halnya orang-orang ajam (non arab) berdiri, sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain ". Al-Mundziry dalam At-Targhib wat Tarhib berkata: Sanadnya Hasan ". Dan di dlaifkan oleh Syeikh Al-Albany.

Akan tetapi terkadang Nabi r dan mereka para sahabat berdiri menyambut kedatangan seseorang yang lama tidak bertemu karena memang mereka bermaksud menjumpainya, seperti yang diriwayatkan dari Nabi r bahwa beliau berdiri menyambut Ikrimah (ra).Dan Nabi  pernah berkata kepada para sahabat Al-Anshar ketika Saad bin Mu'adz datang:

«قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ»

Berdirilah kalian kepada sayyid kalian ! ".

Saat itu Saad bin Muadz dalam keadaan lemah dan sakit karena terluka dalam perang khandak, dan beliau di undang atas pemintaan Yahudi Bani Quraidhoh untuk menghakimi diri mereka atas pengkhiyanatannya terhadap kaum muslimin dalam perang Ahzb.

(Lihat Sahih Bukhory no. 6262 dan Sahih Muslim no. 1768. Dan lihat: Al-Iidloh wat- Tabyiin 1/171karya Hamuud At-Tuwaijry).

Kemudian dalam Hadits Aisyah yang menceritakan berdirinya Nabi  terhadap putrinya Fatimah radliyallahu anha ketika dia masuk ke rumah beliau r, dan juga berdirinya Fatimah kepada beliau  ketika beliau  memasuki rumah putrinya.

Dalam Sunan Turmudzi no. 2732 diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau berkata:

قَدِم َزَيْدٌ بْنُ حَارِثَة الْمَدِينَةَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ  فِي بَيْتِي فَأَتَاهُ ، فَقَرَعَ الْبَابَ, فَقَامَ إِلَيْهِ النَّبِيّ  يَجُرُّ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ

Telah tiba Zaid bin Haritsah di Madinah, saat itu Rosulullah  di rumahku, maka dia mendatanginya, lalu mengetuk pintu, maka Rosulullah  berdiri untuk menjumpainya sambil menyeret bajunya, maka beliau memeluknya dan menciumnya ". (Abu Isa Turmudzi berkata: Hadits ini hasan ghorib ". Namun hadits ini di dlaifkan oleh banyak ulama diantaranya oleh syeikh Al-Albany).

Berdiri untuk manusia itu ada tiga katagori:

Pertama: berdiri karena menghormati seseorang, sementara yang di hormatinya duduk manis, seperti berdirinya para prajurit dan ajudan terhadap para raja dan penguasa. Ini adalah yang dilarang, tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama akan kemakruhan atau larangan perbuatan tsb.

Kedua: Berdiri menghormati orang yang masuk rumah atau semisalnya sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan, bukan karena ada maksud hendak menyalaminya atau memeluknya. Yang demikian ini telah ada perbedaan pendapat antar ulama akan kemakruhan dan larangan perbuatan ini, yang sahih adalah di larang.

Ketiga: Berdiri untuk menyambut orang yang baru tiba dengan maksud untuk menyalaminya atau memeluknya atau membantu menurunkannya dari kendaraan atau semisalnya dengan tujuan-tujuan yang di bolehkan dalam syariat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Wallahu a'lam.

BUKAN DARI AJARAN ISLAM: 
KEYAKINAN ROH ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:

Semua manusia jika sudah mati, maka mereka berada di alam Barzakh, dalam nikmat kubur atau dalam adzab kubur. Jangankan sekelas orang biasa, sekelas para syuhada Uhud pun tidak mampu untuk datang hadir kembali ke dunia walau sesaat.

Allah SWT berfirman:

{ حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ. فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُون }.

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (penghalang) sampai hari mereka dibangkitkan. Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS. Al-Mu'minun: 99 – 111).

Di dalam Al-Quran di sebutkan bahwa orang-orang yang mati syahid meskipun diberi keistimewaan bisa hidup di syurga dengan menggunakan jasad burung di syurga, namun mereka tidak bisa datang ke dunia. Seperti dalam surat Al-Baqarah Allah SWT berfirman:

{ وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ}

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya ". (QS. Al-Baqarah: 154).

Dan dalam firmannya:

{ وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِين }.

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 169 – 171).

Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah, namun Allah SWT tidak mengabulkan permohonan mereka untuk datang ke dunia meski hanya sekedar menemui keluarganya dan para sahabatnya yang masih hidup dengan tujuan untuk mendakwahinya dan memberi tahu bahwa diri mereka dalam kenikmatan syurga:

PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA WALAUPUN SESAAT:

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rosulullah SAWbersabda:

"لَمَّا أُصِيبَ إخْوَانُكُمْ بِأُحُدٍ جَعَلَ اللهُ أَرْوَاحَهُمْ فِي أَجْوَافِ طَيْرٍ خُضْرٍ، تَرِدُ أَنْهَارَ الْجَنَّةِ، وتَأْكُلُ مِنْ ثِمَارِهَا وَتَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مِنْ ذَهَبٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ، فَلَمَّا وَجَدُوا طِيبَ مَشْرَبِهِمْ ، وَمَأْكَلِهِمْ، وَحُسْنَ مُنْقَلَبِهِم ، قَالُوا: مَنْ يُبَلِّغُ إِخْوَانَنَا عَنَّا أَنَّا أَحْيَاءٌ فِى الْجَنَّةِ نُرْزَقُ ، لِئَلا يَزْهَدُوا فِي الْجِهَادِ، وَلا يَنْكُلُوا عَنْ الْحَرْبِ" فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا أُبَلِّغُهُمْ عَنْكُمْ. فَأَنزلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلاءِ الآيَاتِ: { وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } وما بعدها".

« Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam peperangan Uhud, Allah masukkan roh mereka ke dalam burung-burng hijau yang bekeliaran disungai-sungai syurga, makan buah-buahan syurga, kemudian mereka pulang ke lampu-lampu yang terbuat dari emas dan tergantungdinaungan 'Arasy, di saat mereka merasakan enaknya minuman, makanan dan tempat kembali mereka.

Lalu mereka berkata ; " siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara kami tentang kami bahwa kami hidup di syurga, kami di anugerahi rizki, agar mereka tidak merasa berat dalam berjihad dan tidak lari dari peperangan ".

MakaAllah berfirman: " Aku akan sampaikan berita tentang kamu kepada mereka, maka Allah turunkan ayat –ayat ini:

{ وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ }

“Dan jangan kamu menyangka bahawa orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati malah mereka hiidup disisi Tuhan mereka dan mendapat rezeki daripada Nya (QS.Ali Imran 169) dan ayat sesudahnya».

Lafadz riwayat Imam Ahmad:

mereka berkata: sayang sekali, kalau seandainya saudara-saudara kami tahu bagaimana Allah memperlakukan kami ".

(HR. Imam Ahmad 4/218, Abu Daud dan Al-Hakim 2/88. Di Shahihkan sanadnya oleh Al-Hakim. Dan di hasankan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Targhib 2/68 no. 1379).

Dan dalam hadis sahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi  bersabda:

"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ"

Bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy.

Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman: "Apakah yang kalian inginkan?"

Mereka menjawab: "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?" 

Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata:

"Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau," mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu.

Maka Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)." [HR. Muslim no. 3611].

Dalam sebuah hadits, Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata:

نَظَرَ إليَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: "يَا جَابِرُ، مَا لِي أراك مُهْتَمًّا؟" قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله، اسْتُشْهِدَ أَبِيْ وَتَرَكَ دَيْناً وَعِيَالاً. قال: فقال: "ألا أُخْبِرُكَ؟ مَا كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا قَطُّ إلا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ، وَإنَّهُ كَلَّمَ أَبَاكَ كِفَاحًا -قال علي: الكفَاح: المواجهة -فَقَالَ: سَلْني أعْطكَ. قَالَ: أَسْأَلُكَ أنْ أُرَدَّ إلَى الدُّنْيَا فَأُقْتَلَ فِيْكَ ثَانِيَةً فَقَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: إنَّهُ سَبَقَ مِنِّي القَوْلُ أنَّهُمْ إلَيْهَا لا يُرْجَعُونَ ».

Suatu hari Rosulullah SAWmemandangiku, lalu beliau bertanya: " Wahai Jabir, ada apa dengan mu, aku lihat kamu nampak murung ?

Aku jawab: " Wahai Rosulullah, ayahku telah mati syahid, dan dia meninggalkan hutang dan keluarga.

Beliau berkata: Maukah kamu, jika aku mengkabarkannya pada mu ? Allah SWT tidak pernah bicara kepada siapun keculai di balik hijab (penghalang), akan tetapi sungguh Dia telah bicara pada ayah mu berhadap-hadapan.

Allah SWT berkata padanya: " Mintalah padaku, aku mengasihmu ! ".

Dia pun berkata: " Aku memohon pada mu supaya aku di kembalikan ke dunia, agar aku bisa dibunuh lagi di jalan Mu untuk kedua kalinya ! ".

Maka Rabb (Allah) Azza wa Jalla berkata: " (Itu tidak mungkin, karena) sesungguhnya sudah menjadi ketetapan firman dari Ku, bahwa mereka tidak akan kembali kepadanya (kehidupan dunia) ".

(HR. Turmudzi 5/230 no. 31010, Al-Hakim 2/120 dan Ibnu Hibban 15/490 no. 7022). Abu 'Isa At-Turmudzi berkata: Ini hadits Hasan. Dan di Shahihkan sanadnya oleh al-Hakim.

Hadits lain riwayat Masruq, dia berkata:

سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ ، عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: { وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } فَقَالَ : أَمَا إنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ: « أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي؟ وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا: يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا ».

Aku bertanya kepada Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu tentang ayat ini: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Maka Ibnu Masud menjawab: Sungguh kami telah menanyakannya tentang itu, dan beliau bersabda:

Ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau, baginya di sediakan lampu-lampu yang menggantung di Arasy (sebagai sarang-sarangnya), mereka pergi bersenang-senang mencari makanan dari syurga sesuka hati mereka, kemudian kembali ke lampu-lampu tadi. Maka suatu ketika Allah SWT memandangi mereka dengan satu pandangan.

Lalu Dia berkata: " Apakah kalian menginginkan sesuatu ? "

Mereka menjawab: " Apa lagi yang kami inginkan ? kami sudah pergi bersenang-senang mencari makan di syurga sesuka hati kami.

Lalu Allah SWT mengulangi penawaran tadi hingga tiga kali, dan mereka menjawabnya sama seperti tadi.

Ketika mereka merasa terus-terusan di tawarin dan tidak di biarkan untuk tidak meminta, akhirnya mereka berkata: Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau berkenan mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu. Setelah Allah SWT melihat mereka tidak memerlukan hajat lain, maka mereka di tinggalkan ".

(HR. Muslim 3/1502 no. 1887 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 5/308 no. 19731).

Di dalam hadits Jabir dan Ibnu Masud ini Allah SWT mengkabarkan bahwa para suhada itu hidup setelah mereka mati, akan tetapi kehidupannya ini adalah kehidupan barzakhiyah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi, sebagai bukti adalah kata-kata para syuhada:

“Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu ".

Artinya mereka berkeinginan agar Allah SWT berkenan mengembalikan ruh mereka ke jasadnya seperti semula ketika mereka belum mati, padahal ruh-ruh mereka tetap masih ada ikatan dan berhubungan dengan jasad-jasad mereka yang di kuburan, yaitu ikatan dan hubungan barzakhiyah. Begitu juga ruh-ruh selain para syuhada, oleh karena itu jika ruh seorang mayit mendapat kenikmatan maka jasadnya pun ikut merasakan, dan sebaliknya jika jasad seorang mayit mendapat azab kubur maka ruhnya pun ikut merasakan kepedihannya.

Rosulullah SAW bersabda: " Meretakkan tulang mayit, sama seperti meretakkannya ketika hidup ". (HR. Ahmad 6/58, Abu Daud 2/231, Ibnu Majah 1/516 dan Abdurrozzaq 3/444 no. 6257. Hadits Shahih).

Ini semua menunjukkan bahwa kehidupan mereka adalah barzakhiyah serta menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mati itu tidak akan pernah kembali ke alam dunia. Kenapa ? Karena Allah SWT telah menetapkan dan konsekwen dengan janjinya bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia.

Mafhum dari hadits Ibnu Masud tentang arwah para shuhada di perut burung hijau menunjukkan bahwa selain ruh para suhada tidaklah demikian, akan tetapi Imam Syafii meriwayatkan dari Ibnu Syihaab dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik dari bapaknya bahwa Rosulullah SAW bersabda:

« إِنَّمَا نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ يَعْلُقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ »

“Sesungguhnya ruh seorang mukmin adalah burung yang makan di pepohonan syurga, hingga Allah Tabaroka wa Taala mengembalikannya ke jasadnya pada hari kebangkitannya ".

(HR. Ahmad no. 15778, Ibnu Majah no. 4271, Nasai no. 2073 dan Ibnu Hibban no. 4657. Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shuduur no. 306, al-Albani Shahih Ibnu Majah no. 3465 dan Syu'eib al-Arna'uth).

Berkenaan dengan hadits ini Al-Hukaim berkata:

“Dan yang demikian itu sepengetahuan kami bukanlah untuk golongan yang kacau balau, melainkan untuk orang mukmin dari golongan Ash-Shiddiqiin (yang benar-benar sempurna keimanannya).

(Lihat: At-taysiir Syarah Al-Jaamiush Shaghiir karya Al-Hafidz Al-Manawi 1/267).

Selain dari keterangan Allah dan Rasulnya tentang perkara ghaib, kita tidak berhak untuk mereka-reka apalagi mengklaimnya.

Mereka para syuhada yang mendapatkan kehormatan di sisi Allah SWT dan keni'matan di alam barzakhnya, ternyata keinginan mereka tidak di kabulkan untuk bisa hidup kembali seperti semula, walaupun hanya sebentar saja sekedar untuk menyampaikan kabar gembira kepada keluarganya.

Ternyata para syuhada yang sudah pasti memiliki kedudukan di sisi Allah tidak bisa ke dunia walau sekejap sekedar menyampaikan kabar gembira. Jangankan hidup lagi, menjelma saja rohnya seperti kuntil anak mereka tidak mampu.

Permohonan mereka yang di kabulkan oleh Allah SWT hanya permohonan yang berkaitan dengan kenikmatan syurga sebagai imbalan atas usaha mereka di dunia. Allah SWT tidak akan mengabulkan permohanan mereka yang berlawanan dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang merusak pondasi syariah, seperti hal-hal yang menunjukkan bahwa mereka ikut berperan dan terlibat dalam uluhiyah dan rububiyahNya.

PARA SAHABAT NABI TIDAK ADA YANG MAMPU MENGHADIRKAN NABI SAW SETELAH BELIAU WAFAT:

CONTOH PERTAMA:

Pada saat Nabi SAW wafat, para sahabat berselisih apakah Nabi SAW bisa wafat seperti manusia lainnya ?. Kemudian mereka juga berselisih tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin bagi umat Islam setelah kepergian beliau ??

Namun tidak ada satupun dari mereka yang mencoba atau memiliki gagasan untuk menghadirkan Roh Nabi SAW untuk minta petunjuk tentang hal tersebut.

Imam Bukhori dalam Shahih-nya hadis nomor 3394 meriwayatkan:

Telah bercerita kepada kami Isma’il bin Abdullah telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Hisyam bin ‘Urwah berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Urwan bin Az Zubair dari ‘Aisyah radliallahu ‘anhu, istri Nabi ﷺ:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ. - قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ - فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ: وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: وَقَالَ عُمَرُ: " وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ".

فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلَهُ ، قَالَ: " بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ".

ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ: " أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ! ". فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: " أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ. وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ } وَقَالَ: { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ }

قَالَ: فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ.

قَالَ: وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا: " مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".

فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ: " وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ ، فَقَالَ فِي كَلَامِهِ: " نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ ".

فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ: " لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: " لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا ، فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ ".

فَقَالَ عُمَرُ: " بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".

فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ فَقَالَ قَائِلٌ: قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ ".

فَقَالَ عُمَرُ قَتَلَهُ اللَّهُ.

Artinya: " Bahwa ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Abu Bakr sedang berada di Sunuh”. Isma’il berkata: “Yakni sebuah perkampungan ‘Aliyah, Madinah”.


Maka ‘Umar tampil berdiri sambil berkata: ‘Demi Allah, Rasulullah ﷺ tidaklah meninggal”.’

Aisyah radliallahu ‘anhu berkata:

Selanjutnya ‘Umar berkata: “Tidak ada perasaan pada diriku melainkan itu. Dan pasti Allah akan membangkitkan beliau dan siapa yang mengatakannya (bahwa beliau telah meninggal dunia), pasti Allah memotong tangan dan kaki mereka”.


Lalu Abu Bakr datang kemudian menyingkap penutup (yang menutupi) jasad Rasulullah ﷺ dan menutupnya kembali.


Abu Bakr berkata: “Demi bapak ibuku, sungguh baik hidupmu dan ketika matimu.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh Allah tidak akan memberikan baginda merasakan dua kematian selamanya”.

Kemudian dia keluar dan berkata: “Wahai kaum yang sudah bersumpah setia, tenanglah”.

Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar duduk. Abu Bakr memuji Allah dan mensucikan-Nya lalu berkata:

“Barang siapa yang menyembah Muhammad ﷺ, sesungguhnya Muhammad sekarang sudah mati, dan siapa yanng menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup selamanya tidak akan mati”.

Lalu dia membacakan firman Allah Qs az-Zumar ayat 30 yang artinya:

(“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati”)

Dan Quran Surat Ali ‘Imran, ayat: 144 yang artinya:

(“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia. Apakah bila dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad). Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka sekali-kali dia tidak akan dapat mendatangkan madlarat kepada Allah sedikitpun dan kelak Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”).

Perawi (‘Amru) berkata: “Maka orang-orang menangis tersedu-sedu.

Perawi berkata lagi:

“Kemudian kaum Anshar berkumpul menemui Sa’ad bin ‘Ubadah di tenda Bani Sa’adah lalu mereka berkata: “Dari pihak kami ada pemimpinnya begitu juga dari pihak kalian (Muhajirin) ada pemimpinnya”.

Lalu Abu Bakr dan ‘Umar bin Al Khaththab serta Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah mendatangi mereka.

‘Umar memulai bicara namun Abu Bakr menenangkannya. Sebelumnya ‘Umar berkata:
“Sungguh aku tidak bermaksud hal seperti itu. Hanya saja aku telah mempersiapkan pembicaraan yang membuatku kagum namun aku khawatir jika tidak disampaikan oleh Abu Bakr. Kemudian Abu Bakr mulai berbicara dengan perkataan-perkataan yang menunjukkan pembicaraan manusia bijak".

Dia berkata dalam bagian pembicaraannya itu: “Kami (Muhajirin) adalah pemimpin sedangkan kalian adalah para menterinya”.

Spontan Hubab bin Al Mundzir berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak mau seperti itu. Tapi kami mempunyai pemimpin dan kalianpun mempunyai pemimpin tersendiri”.

Abu Bakr menjawab: “Tidak. Tapi kami adalah pemimpin sedangkan kalian para menterinya. Para Muhajirin adalah orang Arab yang tempat tinggalnya paling tengah dan keturunan Arab yang paling murni.

Untuk itu berbai’atlah (berjanji setia) kepada ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah”.

Maka ‘Umar berkata: “Tidak begitu. Sebaliknya kami yang berbai’at kepadamu. Karena, sungguh kamu adalah penghulu kami, orang terbaik kami dan orang yang paling dicintai Rasulullah ﷺ”.

Lalu ‘Umar memegang tangan Abu Bakr lalu berbai’at kepadanya dan kemudian diikuti oleh orang banyak.

Ada seseorang yang berkata: “Kalian telah membinasakan Sa’ad bin ‘Ubadah”.”Umar segera membalas: “Semoga Allah membinasakannya”.

Imam Bukhori berkata: Abdullah bin Salam berkata, dari Az Zubaidiy telah berkata Abdurrahman bin Al Qasim telah mengabarkan kepadaku Al Qasim bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anhu berkata:

شَخَصَ بَصَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا وَقَصَّ الْحَدِيثَ قَالَتْ فَمَا كَانَتْ مِنْ خُطْبَتِهِمَا مِنْ خُطْبَةٍ إِلَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهَا لَقَدْ خَوَّفَ عُمَرُ النَّاسَ وَإِنَّ فِيهِمْ لَنِفَاقًا فَرَدَّهُمْ اللَّهُ بِذَلِكَ ثُمَّ لَقَدْ بَصَّرَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ الْهُدَى وَعَرَّفَهُمْ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهِمْ وَخَرَجُوا بِهِ يَتْلُونَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ } إِلَى { الشَّاكِرِينَ }

“Nabi ﷺ membuka matanya ke atas sambil berkata: “ Ilaa ar-Rafiiq al-A'laa [Menuju Kekasih yang Maha Tinggi]”, sebanyak tiga kali.

Lalu dia menceritakan hadis selengkapnya lalu berkata:

“Tidak ada satupun dari khuthbah keduanya [Abu Bakr dan Umar] melainkan Allah telah memberikan manfaat dengan khuthbah itu, ‘Umar telah membuat takut orang-orang dengan kemungkinan timbulnya di tengah mereka sifat nifaq, lalu Allah mengembalikkan mereka (untuk istiqamah menjaga persatuan) lewat khuthbahnya ‘Umar tersebut.

Sedangkan Abu Bakr telah menunjukkan kematangan pandangannya untuk membawa manusia di atas petunjuk dan dia sebagai orang yang paling tahu tentang kebenaran yang ada pada mereka, dia keluar sambil membacakan ayat QS Ali ‘Imran [3]: 144 tadi:

(“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia...). hingga akhir ayat (...orang-orang yang bersyukur”).

CONTOH KE DUA:

Setelah Nabi  wafat telah terjadi perselisihan dan kesalah fahaman antara Fatimah binti Rosulullah SAW dengan Abu Bakar tentang harta warisan dari Rosulullah SAW berupa tanah Fadak.

Fatimah menginginkan warisan dari ayahnya, yaitu; Nabi –-, maka Abu Bakar menjelaskan bahwa para Nabi tidak mewariskan, demikianlah yang pernah beliau dengar dari Nabi –-, dan tidak ada bagian tertentu untuk Abu Bakar dan Aisyah radhiyallahu 'anhyma.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha:

أنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ، والعَبَّاسَ، أتَيَا أبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا، أرْضَهُ مِن فَدَكٍ، وسَهْمَهُ مِن خَيْبَرَ، فَقالَ أبو بَكْرٍ: سَمِعْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، يقولُ: لا نُورَثُ ما تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إنَّما يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ في هذا المَالِ واللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أحَبُّ إلَيَّ أنْ أصِلَ مِن قَرَابَتِي

bahwa Fatimah 'alaihis salam dan 'Abbas menemui [Abu Bakr], keduanya menuntut bagian harta warisan mereka, yaitu berupa tanah di Fadak dan saham dari perang Khaibar, maka Abu Bakar berkata:

"Aku mendengar Nabi SAW bersabda: "Kami tidak diwarisi, harta yang kami tinggalkan menjadi sedekah, keluarga Muhammad hanya makan dari harta ini." Maka demi Allah, kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai untuk aku jalin hubungan dengannya daripada kerabatku sendiri." [HR. Bukhori no. 4035]

Maka Abu Bakar ash-Shiddiiq Radhiyallahu anhu tidak memberikan kepada Fathimah Radhiyallahu anhuma dan ahli waris Rasûlullâh yang lain karena berpegang kepada sabda Rasûlullâh SAW:

لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam Lafadz lain yang lebih panjang dalam Bukhori dan Muslim di ceritakan bahwa Fatimah menghajer Abu Bakar [tidak mau bicara dengannya] hingga wafat.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ قَالَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِيٌّ وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وِجْهَةٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ بَايَعَ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا مَعَكَ أَحَدٌ كَرَاهِيَةَ مَحْضَرِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ عُمَرُ لِأَبِي بَكْرٍ وَاللَّهِ لَا تَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَاهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي إِنِّي وَاللَّهِ لَآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ثُمَّ قَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَضِيلَتَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَحْنُ نَرَى لَنَا حَقًّا لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يُكَلِّمُ أَبَا بَكْرٍ حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَإِنِّي لَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْحَقِّ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةُ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ صَلَاةَ الظُّهْرِ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَأَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا كُنَّا نَرَى لَنَا فِي الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتُبِدَّ عَلَيْنَا بِهِ فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ فَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ

bahwa Fatimah binti Rasulullah  mengutus seseorang untuk menemui [Abu Bakar], dia meminta supaya diberi bagian dari harta peninggalan Rasulullah  di Kota Madinah dan Fadak dan seperlima hasil rampasan perang Khaibar yang masih tersisa.

Maka Abu Bakar menjawab: "Rasulullah  pernah bersabda: "Sesungguhnya harta peninggalan kami tidak dapat diwarisi, yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah, dan keluarga Muhammad  hanya boleh menikmati sedekah itu." Demi Allah, aku tidak berani merubah sedikitpun sedekah yang telah Rasulullah SAW tetapkan, aku akan tetap membiarkan seperti pada masa Rasulullah , dan aku akan tetap melaksanakan apa yang telah dilakukan Rasulullah ."

Ternyata Abu Bakar tetap menolak permintaan Fatimah, oleh karena itu Fatimah sangat gusar dan marah atas tindakan Abu Bakar mengenai hal itu."

Urwah melanjutkan ceritanya:

"Sampai-sampai Fatimah menghajernya -tidak mengajaknya berbicara- hingga ajal menjemputnya, tepatnya enam bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Ketika Fatimah meninggal dunia, jenazahnya dimakamkan oleh suaminya sendiri, Ali bin Abu Thalib, pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Abu Bakar. Setelah itu Ali pulalah yang menshalatkan jenazah Fatimah.

Ketika Fatimah masih hidup, banyak orang menaruh hormat kepada Ali, tetapi hal itu mulai berubah ketika Fatimah telah meninggal dunia. Lalu dia mulai berfikir untuk segera berdamai dengan Abu Bakar sekaligus membai'atnya, karena beberapa bulan dia tidak sempat menemuinya untuk membai'atnya.

Setelah itu, Ali menulis surat kepada Abu Bakar yang isinya:

"Aku mengharapkan kamu datang menemuiku, namun jangan sampai ada seorang pun yang ikut menemuimu."

-Sepertinya Ali tidak suka jika Abu Bakar ditemani Umar bin Khattab-

Umar lalu berkata kepada Abu Bakar: "Demi Allah, janganlah kamu menemuinya seorang diri."

Abu Bakar menjawab, "Aku yakin, Ali tidak akan berbuat macam-macam kepadaku, demi Allah, aku akan tetap menemuinya."

Dengan penuh keyakinan, akhirnya Abu Bakar pergi menemui Ali, ketika bertemu, Ali bin Abu Thalib langsung bersaksi kepadanya (maksudnya membai'atnya) seraya berkata:

"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya aku telah mengetahui segala keutamaan dan kebaikan yang Allah anugerahkan kepadamu, dan aku tidak merasa iri dan dengki pada anugerah yang Allah limpahkan kepadamu. Akan tetapi menurutku, kamu telah berbuat sewenang-wenang terhadapku, sebagai keluarga terdekat Rasulullah SAW, semestinya aku mempunyai hak untuk memperoleh harta peninggalan beliau."

Ucapan-ucapan Ali begitu derasnya kepada Abu Bakar hingga tak terasa Abu Bakar meneteskan air matanya. Dengan perasaan haru, Abu Bakar menjelaskan kepadanya, katanya:

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sebenarnya keluarga dan kerabat Rasulullah SAW jauh lebih aku cintai daripada keluarga aku sendiri. Mengenai harta peninggalan yang tengah kita perselisihkan ini, sebenarnya aku selalu berusaha bersikap adil dan bijaksana serta berpijak kepada kebenaran. Dan aku tidak akan meninggalkan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan aku akan tetap mempertahankannya."

Maka Ali berkata kepada Abu Bakar: "Walau bagaimanapun aku akan tetap membai'atmu nanti sore."

Seusai melaksanakan shalat dhuhur, Abu Bakar langsung naik ke atas mimbar, setelah membaca syahadat, ia pun mencoba menjelaskan kepada kaum Muslimin yang hadir pada saat itu, masalah keterlambatan Ali untuk berbai'at beserta alasannya, kemudian dia membaca istighfar.

Setelah itu, tibalah giliran Ali bersaksi dan menghormati sikap Abu Bakar, Ali menyatakan bahwa dia tidak merasa iri dan dengki sama sekali terhadap keutamaan dan kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada Abu Bakar, akan tetapi -lanjut Ali-:

"Kami keluarga terdekat Rasulullah SAW melihat bahwa beliau berlaku tidak adil terhadap keluarga kami, terutama dalam hal harta rampasan perang peninggalan Rasulullah SAW, jadi sudah menjadi hak kami untuk menuntut hak tersebut."

Mayoritas kamu Muslimin yang hadir saat itu merasa gembira mendengar pernyataan Ali, mereka berkata, "Benar yang kamu ucapkan."

Akhirnya Ali menjadi lebih dekat dengan kaum Muslimin setelah dia berani mengungkapkan perkara itu." [HR. Bukhori no. 4240 dan Muslim no. 3304]

Rasûlullâh SAW ketika mendapatkan Fadak, beliau SAW hanya mengambil hasilnya untuk nafkah keluarga beliau SAW selama setahun, sisanya beliau SAW shadaqahkan untuk orang faqir miskin.

Ali bin Abi Thâlib ketika menjadi khalifah, beliau Radhiyallahu anhu tidak membagi-bagi Fadak kepada ahli warisnya atau kepada Ummahâtul Mukminin, padahal kekuasaan ada di tangan beliau Radhiyallahu anhu dan beliau Radhiyallahu anhu adalah orang yang adil dan pemberani.

Ini menunjukkan bahwa Fadak memang bukan harta warisan.

Pertanyaan penulis:

Jika seandainya benar bahwa Nabi SAW stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka berdua Abu Bakr, Abbas paman Nabi SAW, Fatimah dan Ali radhiyallahu 'anhum tidak menghadirkan Ruh Rosulullah SAW untuk memutuskan permsalahan tersebut ?. Padahal mereka semua adalah orang-orang pilihan dan istimewa di sisi Rosulullah SAW.

CONTOH KETIGA:

Ketika terjadi Perang Jamal (Maʿrakat al-Jamal)

Perang Jamal adalah pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib melawan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhum

Ali adalah sepupu kesayangan dan menantu dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan Aisyah adalah istri tercinta Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan Thalhah dan Zubair, keduanya adalah sahabat Nabi SAW yang terkemuka.

Mereka semuanya adalah para sahabat yang dijamin masuk surga.

Jika seandainya benar bahwa Nabi SAW stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka tidak menghadirkan Ruh Nabi SAW untuk menengahi dan memutuskan permasalahan yang mengantarkan mereka berperang dan menyebabkan korban berjatuhan dari dua belah pihak ???. Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhuma keduanya mati terbunuh.

CONTOH KE EMPAT:

Umar bin al-Khoththob, dia senantiasa berkeingingan setiap ada masalah, dia bertanya langsung kepada Rosulullah SAW, akan tetapi setelah Rosulullah SAW wafat, Umartidak mampu lagi untuk melakukannya dan itu sangat mustahil.

Syeikh Abdurrahman Dimasyqiyyah menyebutkan dalam kitab Ath-Thariqah Arifa'iyya hal. 47 [cet. Maktabah ar-Ridhwaan]:

وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ فِي بَعْضِ الْأُمُورِ: "لَيْتَنِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ".

Dan sungguh telah ada riwayat shahih dari Umar bahwa dia mengatakan ketika menghadapi sebagian perkara: "Seandainya saja saya bisa menanyakan kepada Rasulullah  tentang masalah ini".

CONTOH KE LIMA:

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anha, dia benar-benar merasa kehilangan dengan wafatnya Rosullulah SAW dan dia sangat merindukannya, namun dia tidak mampu menghadirkan Rosulullah SAW atau menemuinya dalam keadaan jaga.

Ash-Shoyaadi menyebutkan:

أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَقَفَ عِنْدَ قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبَكَى حَتَّى كَادَتْ تَزْهَقُ رُوحُهُ، وَأَنَشِدَ عِنْدَهُ أَبْيَاتٍ مِنَ الشِّعْرِ، فَقَالَ:

كُنتَ السَوادَ لِناظِري *** فَبَكى عَلَيكَ الناظِرُ

مَن شاءَ بَعدَكَ فَليَمُت *** فَعَلَيكَ كُنتُ أُحاذِرُ

Bahwa Ali bin Abi Thalib berdiri di kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menangis tersedu-sedu hingga hampir saja meregang nyawanya, dan dia membacakan puisi di sisinya, dia berkata:

“Engkau adalah as-Sawaad[yang nampak gelap kehitaman] bagi yang melihatnya, maka orang yang melihatnya menangisi Engkau.

Siapa pun yang ingin mengejarmu, bersegeralah dia mati, maka untukmu aku waspada".

[Sumber: ضوء الشمس 1/190-191, قلادة الجواهر hal. 309 dan الطريقة الرفاعية hal. 47]

CONTOH KE ENAM:

Kesedihan Fathimah radhiyallahu 'anha putri tercinta Rosulullah SAW ketika ayahnya wafat serta kedriduannya padanya, namun Fatimah tidak mampu menghadirkan nya.

Dari Anas ra. Berkata:

فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا أَبَتَاهْ جَنَّةُ الْفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ، يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ، فَلَمَّا دُفِنَ قَالَتْ فَاطِمَةُ رضي الله عنها‏: أَطَابَتْ أَنْفُسُكُمْ أَنْ تَحْثُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التُّرَابَ؟

Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, Fatimah radhiyallahu 'anha berkata:

"Wahai ayah(ku) yang telah memenuhi panggilan Rabb-nya, ' wahai ayah(ku) yang surga firdaus adalah tempat kembalinya, wahai ayah (ku) yang kepada Jibril as kami sampaikan wafatnya"


Ketika Rasulullah SAW dimakamkan, Fatimah berkata: ‘Apakah kalian tidak merasa berat hati menaburkan debu kepada Rasulullah SAW?’” [HR. Bukhori no. 4462]

Kesedihan Fatimah pada hari-hari berikutnya semakin bertambah dan kerinduan pada ayahnya semakin berat, namun Fatimah tidak mampu untuk menghadirkan beliau SAW walau hanya sesaat untuk berjumpa. Sebagaimana disebutkan Ash-Shoyaadi:

"وأن فاطمة رضي الله عنها بكت عند قبر أبيها صلوات الله وسلامه عليه بكاء شديد وأنشدت تقول:

ماذا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَة َ أَحْمَدٍ *** أن لا يشمَّ مدى الزمان غواليا

صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أنَّها *** صُبّتْ عَلى الأَيَّام صِرنّ لياليا

وأن فاطمة رضي لله عنها بقيت تبكي وحزنها متواصل حتى لحقت بعده بستة أشهر ".

Dan bahwa Fatimah radhiyaallahu 'anha, menangis di kuburan ayahnya SAW menangis dengan tangisan yang sangat menyayat, sambil melantunkan syair:

Apa yang kan terjadi atas orang yang mencium debu Ahmad SAW yang tidak menciumnya untuk waktu yang lama?

Kemalangan-kemalangan telah menimpa aku, jika dituangkan pada hari-hari, maka hari-hari itu akan berubah menjadi malam.

Dan Fatimah radhiyallahu 'anha terus menerus menangis dan kesedihannya berlanjut sampai dia menyusul ayahnya SAW enam bulan kemudian.

[Sumber: ضوء الشمس 1/190-191, قلادة الجواهر hal. 309 dan الطريقة الرفاعية hal. 47]



 

Posting Komentar

0 Komentar