Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KAIDAH : "JANGANLAH MENINGGALKAN KEBENARAN KARENA DEMI KEBATILAN !!".

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

بسم الله الرحمن الرحيم


KAIDAH:

لاَ يَتْرُك الحَقَّ لِأَجْلِ البَاطِلِ

"Janganlah seseorang meninggalkan kebenaran karena demi kebatilan"

Seorang Filosofi yang bernama Aristoteles berkata:

لاَ تَتْرُكِ الحَقَّ، لأنَّكَ مَتَى تَرْكْتَ الحَقَّ، فَإِنَّكَ لا تَتْرُكُهُ إلاَّ إِلَى البَاطِلِ.

"Janganlah anda tinggalkan kebenaran, karena ketika Anda meninggalkan kebenaran, maka sesungguhnya anda tidaklah sekali-kali meninggalkan nya kecuali untuk kebatilan”.

Meninggalkan kebenaran demi kebatilan adalah kebatilan, maka seorang muslim harus tetap berpegang pada kebenaran meskipun bercampur dengan kebatilan.

Dan yang dimaksud dengan kebatilan di sini adalah kebatilan yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Maka mafhum muwafaqohnya dan qiyas awlanya adalah : apalagi jika kebatilan tersebut  termasuk dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang saa'igh [layak]. 

PERKATAAN IMAM AL-IZZ IBNU ABDIS SALAM :

Imam al-Izz ibnu Abdis-Salam, rahimahullah telah menyebutkan banyak dalil untuk memperkuat keabsahan kaidah tersebut, sebagaimana yang dia sebutkan dalam kitabnya شَجَرَةُ المَعَارِفِ hal. 292 Cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyah. Dia berkata:

فَصْلٌ: لاَ يَتْرُك الحَقَّ لِأَجْلِ البَاطِلِ

قال تعالى : [إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوْ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا] [البقرة: 158] وقال: (وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُواً وَلَعِباً ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ) [المائدة: 58]

وكان عليه السلام يطوف بالبيت ويصلي وفيه الأصنام ، كان على الصفا والمروة صنمان أحدهما إساف والآخر نائلة ، وكان بعض الكفار يهلون لهما. فلما جاء الإسلام تحرج قوم أن يطوفوا بالصفاء والمروة لأجل الصنمين ، فأنزل الله تعالى: [إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ] [البقرة: 158]

فلا تتركوا شعائر الله – وهي حق – لأجل إساف ونائلة ، وهما باطل ، فلم يترك السعي لأجل إساف ونائلة ، ولم يترك الأذان لأجل استهزائهم ، وكذلك الغزو مع الفجرة والفسقة ، لا يترك لأجل ما يشاهد من فجورهم ؛ لأنا قدرنا على إنكاره عليهم حصل أجر الغزو والإنكار. وإن عجزنا حصل أجر الغزو وأجر الإنكار بالقلب. وتألمنا لذلك وتوجعنا له لأجل الله مما يُمحص السيئات ويرفع الدرجات ؛ فإن التألم بغير هذا السبب يكفر السيئات ؛ فما الظن بالتألم لأجل معاصي الله إجلالا له. وهذا بخلاف سب الأصنام إذا أدى إلى سب الرحمن ، وقد (( جعل رسول الله صلى الله عليه وسلم أن من الكبائر أن يسب الرجل أبويه بأن يسب أبا الرجل فيسب أباه )). [[رواه البخاري رقم 5973 ومسلم رقم 90 عن عبد الله بن عمرو بن العاص مرفوعا]]

PASAL: Janganlah seseorang meninggalkan kebenaran karena demi kebatilan

Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman: "Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya". [QS. Al-Baqarah: 158].

Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman: " Dan apabila Anda menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Karena itu karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau menguasai akal [QS. Al-Maidah: 58]

Dan Beliau biasa thawaf mengelilingi Ka'bah dan shalat sementara berhala-berhala ada di dalamnya. Dulu ada dua berhala di al-Safa dan al-Marwah, salah satunya adalah Isaaf dan yang lainnya Naailah, dan sebagian orang-orang kafir dulu ber-ihlal [berhaji, berumrah dan bertalbiyah] untuk mereka. Ketika Islam datang, sebagian orang-orang merasa keberatan untuk bersa'i antara al-Shafa dan al-Marwah karena adanya dua berhala tersebut, sehingga Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa menurunkan:

[إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ] [البقرة: 158]

" Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu merupakan sebagian dari syi'ar- syi‘ar (agama) Allah. [QS. Al-Baqarah: 158].

Maka janganlah kalian meninggalkan syiar-syiar Allah yang benar hanya karena demi Isaaf dan Naa'ila yang batil.

Dan dia tidak meninggalkan azan karena ejekan mereka. Dan juga pergi berperang bersama dengan orang-orang yang suka maksiat dan orang-orang fasiq, dia tidak meninggalkannya hanya karena apa yang dia saksikan dari perbuatan maksiat mereka ; akan tetapi karena dengan itu kita dapat melakukan nahyi mungkar kepada mereka, maka mendapat dua pahala, pahala perang dan nahyi munkar.

Dan jika kita tidak bisa mendapatkan pahala perang secara fisik maka kita masih bisa mendapatkan pahala perang dan nahyi munkar dengan hati.

Dan dengan itu semua kami merasa menderita dan sakit, namun itu semua semata-mata karena Allah, maka itu adalah termasuk hal yang bisa membersihkan perbuatan dosa dan mengangkat derajat.

Karena sesungguhnya orang yang di timpa rasa sakit dan menderita tanpa adanya sebab, ini saja akan menghapus perbuatan dosa. Maka bagaimana kira-kira jika disertai dengan rasa menderita karena adanya sebab, yaitu dia harus bersamaan dengan para pelaku maksiat kepada Allah, namun tujuan dia sebenarnya adalah dalam rangka mengagungkan Dia?

Ini berbeda, tidak seperti seseorang yang mencaci berhala jika hal itu akan mengantarkan pada pencacian kepada Allah Yang Maha Penyayang.

((Rasulullah telah menjadikannya dosa besar bagi seorang pria mencaci dan menghina kedua orang tuanya dengan cara menghina ayah seorang pria, yang menyebabkan pria tersebut menghina ayahnya))

[[HR. Al-Bukhari No. 5973 dan Muslim No. 90 dari Abdullah bin Amr bin Al-Aas dengan sanad Marfu'] [SELESAI KUTIPAN DARI AL-IZZ]

KESIMPULAN PERNYATAAN AL-IZZ BIN ABDUS SALAM:

Menurut beliau ayat ini menjelaskan jika ada ada perkara hak yang bercampur aduk dengan perkara batil maka perkara hak itu tidak bisa ditinggalkan karena adanya perkara batil itu. Buktinya Allah tetap memerintahkan kita untuk melakukan sa’i di Shafa dan Marwah sekalipun di sana terdapat kemunkaran, yakni orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana, sehingga menimbulkan kaedah hukum yang telah disebutkan.

Hal ini juga dibuktikan ketika Rasulullah thawaf di ka’bah yang ketika itu masih dikuasai oleh Kafir Qurasy, tentu di sana masih ada banyak berhala yang disembah oleh penduduk Qurasy. Tapi Nabi tetap melaksanakan thawaf sekalipun di sana terdapat kemungkaran. Dari sinilah Syekh Izzuddin menyimpulkan bahwa kebenaran tidak bisa ditinggalkan hanya karena ada kebatilan.

Demikian pula ketika Nabi hendak melaksanakan perang, yang mana hukum berjihad ketika itu adalah wajib. Ketika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam pasukan yang ikut berperang bersama Nabi pasti terdapat orang fasiq dan fajir, sedangkan berkumpul bersama dengan orang demikian termasuk maksiat. Seandainya Nabi menentukan kriteria pasukan yang hendak berperang bersama beliau (untuk menghindari maksiat), mungkin sangat sedikit pasukan yang ikut bersama Rasulullah, karena tidak semua shahabat itu seadil Abu Bakar dan Umar.

BAGAIMANA JIKA KEBATILANNYA ITU MASALAH YANG DIKHILAFKAN ?

JAWABAN-NYA :

Yang dimaksud dengan kebatilan dalam kaidah diatas adalah kebatilan yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin akan kebatilannya dan jelas dalilnya tanpa ada keraguan di dalamnya . Jika demikian adanya, jika kebatilan tersebut termasuk masalah yang layak diperselisihkan, maka hukumnya lebih utama untuk tidak meninggalkan kebenaran demi untuk kebatilan. Dan ini masuk dalam katagori QIYAS AWLAA [ analogi lebih utama] atau mafhum muwaafaqoh .

Contohnya :  

KE1: Jangan lah anda meninggalkan sholat berjemaah di masjid, hanya karena imam nya itu berbeda madzhab.

KE 2: Jangan lah anda tidak memilih presiden muslim terbaik dalam PEMILU, hanya karena negaranya tidak menerapkan system khilafah.

KE 3: Jangan lah anda tidak mengucapkan salam kepada sesama muslim, hanya karena orang yang dijumpainya itu tidak satu manhaj.

APA SEBABNYA NABI MENUNDA KEWAJIBAN HAJI ?

Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. [QS. Ali Imran: 97]

Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا ۚ وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 28)

Syeikh Ibnu al-Utsaimin berkata:

وأما فرض الحج فالصواب أنه في السنة التاسع.... والدليل على أن الحج فرض في السنة التاسعة أن آية وجوب الحج في صدر سورة آل عمران، وصدر هذه السورة نزلت عام الوفود.

فإن قيل: لماذا لم يحج النبي صلى الله عليه وسلم في التاسعة، وأنتم تقولون على الفور؟.

الجواب: لم يحج صلى الله عليه وسلم لأسباب: الأول: كثرة الوفود عليه في تلك السنة، ولهذا تسمى السنة التاسعة عام الوفود، ولا شك أن استقبال المسلمين الذين جاؤوا إلى الرسول صلى الله عليه وسلم ليتفقهوا في دينهم أمر مهم، بل قد نقول: إنه واجب على الرسول صلى الله عليه وسلم؛ ليبلغ الناس.

الثاني: أنه في السنة التاسعة من المتوقع أن يحج المشركون، ـ كما وقع ـ فأراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يؤخر من أجل أن يتمحض حجه للمسلمين فقط، وهذا هو الذي وقع، «فإنه أذن في التاسعة ألا يحج بعد العام مشرك، ولا يطوف بالبيت عريان».

وكان الناس في الأول يطوفون عراة بالبيت إلا من وجد ثوباً من الحمس من قريش، فإنه يستعيره ويطوف به، أما من كان من غير قريش فلا يمكن أن يطوفوا بثيابهم بل يطوفون عراة، وكانت المرأة تطوف عارية، وتضع يدها على فرجها، وتقول: "اليوم يبدو بعضه أو كله. وما بدا منه فلا أحـــله". انتهى من شرح زاد المستقنع (7/ 15). 

Adapun tentang awal kewajiban haji, pendapat yang benar adalah pada tahun kesembilan.... Dalil wajibnya haji pada tahun kesembilan adalah bahwa ayat kewajiban haji turun di awal surat Al-Imran., dan surat ini diturunkan pada tahun delegasi.

Jika dikatakan: Mengapa Nabi tidak menunaikan haji pada tahun sembilan, sedangkan Anda mengatakan bahwa kewajiban haji itu harus segera tidak boleh ditunda ?

Jawaban: Beliau tidak melakukan haji karena ada beberapa sebab:

Pertama: Banyaknya delegasi yang datang kepadanya pada tahun itu, dan karena sebab ini tahun kesembilan disebut tahun delegasi.

Tidak diragukan lagi bahwa menyambut umat Islam yang datang kepada Rasulullah untuk mempelajari agama mereka adalah suatu hal yang penting. untuk menyampaikannya pada manusia.

Kedua: bahwa pada tahun kesembilan diperkirakan orang-orang musyrik akan melakukan haji, seperti yang terjadi, sehingga Nabi bermaksud menundanya agar menunaikan hajinya hanya bersama umat Islam saja tanpa ada orang musyrik.

Dan inilah yang terjadi: “Karena sesungguhnya telah diumumkan pada tahun ke sembilan bahwa tidak ada orang musyrik yang boleh menunaikan haji setelah tahun itu, dan juga orang telanjang tidak boleh berthawaf mengelilingi Kabah.”

Pada masa awal, orang-orang biasa thawaf mengelilingi Kabah dengan telanjang, kecuali mereka yang menemukan pakaian al-hummush dari suku Quraisy, yang akan meminjamnya dan berthawaf dengan mengenakannya.

Adapun orang-orang yang bukan dari suku Quraisy, maka mereka tidak boleh melakukan thawaf dengan pakaian mereka, melainkan mereka melakukan thawaf dengan keadaan telanjang, dan wanita itu biasa melakukan thawaf dengan telanjang, sambil meletakkan tangannya di atas kemaluannya, dan berkata:

الْيَوْمَ يَبْدُو بَعْضُهُ أَوْ كُلُّهُ فَمَا بَدَا مِنْهُ فَلَا أُحِلُّهُ

" Hari ini nampak sebagian atau seluruhnya. Dan apa yang nampak darinya, maka aku tidak menghalalkannya”.

[SELESAI kutipan dari kitab شرح زاد المستقنع 7/15 karya Syeikh Ibnu Utsaimin]

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata:

كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهِيَ عُرْيَانَةٌ فَتَقُولُ مَنْ يُعِيرُنِي تِطْوَافًا تَجْعَلُهُ عَلَى فَرْجِهَا وَتَقُولُ الْيَوْمَ يَبْدُو بَعْضُهُ أَوْ كُلُّهُ فَمَا بَدَا مِنْهُ فَلَا أُحِلُّهُ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ }

Dahulu wanita berthawaf di baitullah dalam keadaan telanjang lalu ia berkata: Siapa yang meminjamkan kepadaku baju yang ia kenakan di atas kemaluannya? dan saat ini ia berkata: Telah nampak sebagian atau seluruhnya, maka apa yang nampak darinya tidaklah aku menghalalkannya. Lalu turunlah ayat ini: "Ambillah oleh kalian pakaian dan perhiasan kalian setiap memasuki masjid." (Al A'raaf: 31) [HR. Muslim no. 5353]

BERBEDA DENGAN PENDAPAT MADZHAB SYAFII: Di samping sebab-sebab yang disebutkan syeikh Utsaimin di atas, juga karena Madzhab Syafii berpendapat bahwa kewajiban Haji itu boleh ditunda [على التَّرَاخِي]. Mereka mengatakan:

يجب الحج وجوباً موسعاً، وله تأخيره؛ لأن النبي - صلى الله عليه وسلم - أمر أبا بكر على الحج، وتخلف بالمدينة، لا محارباً، ولا مشغولا بشيء، وتخلف أكثر الناس قادرين على الحج، ولأنه إذا أخره ثم فعله في السنة الأخرى لم يكن قاضيا له، دل على أن وجوبه على التراخي.

"Kewajiban Haji adalah kewajiban yang ada keluasan, dan bagi sesorang boleh menundanya. Karena Nabi memerintahkan Abu Bakar untuk menunaikan haji, sementara beliau tetap tinggal di Madinah, bukan karena berperang dan juga tidak sibuk dengan apapun. Sebagian besar orang-orang yang mampu menunaikan ibadah haji juga tidak berangkat haji.

Dan karena jika beliau menundanya lalu melakukannya di tahun berikutnya, maka hajinya itu bukan haji qodho tahun lalu, maka ini menunjukkan bahwa kewajiban haji boleh di tunda". [Baca: kitab شرح زاد المستقنع 7/15 karya Syeikh Ibnu Utsaimin]

Dalil lain bagi Madzhab Syafii:

Bahwa Nabi bersama para sahabatnya pada tahun ke 6 Hijriyah berangkat umroh dari Madinah, yang kemudian terhalang di Hudaibiyah. Dan pada tahun ke 7 Hijriah beliau melakukan umroh Qodho. Kemudian pada tahun ke 8 Hijriyah berangkat umrah dari Ji'ranah. Padahal pada masa-masa itu masih banyak berhala disekitar Ka'bah dan orang-orang musyrik masih diperbolehkan untuk ber haji dan ber umrah. Di tambah ibadah haji dan umroh saat itu masih belum di wajibkan.

Ini semua menunjukkan bahwa keberadaan kaum musyrikin di musim haji pada tahun ke sembilan itu bukanlah halangan utama bagi Nabi untuk menunaikan kewajiban haji. Dan jika seandainya itu adalah tentunya tidak menyuruh Abu Bakar dan para sahabat lainnya untuk berhaji.

Dan jika alasannya karena Tahun Delegasi, maka pada saat itu kebanyakan para sahabat tidak berangkat menunaikan haji padahal mereka mampu.

Dengan demikian antara kaidah لاَ يَتْرُك الحَقَّ لِأَجْلِ البَاطِلِ dan Masalah Nabi tidak menunaikan haji pada tahun ke 9 Hijriyah, maka dalam madzhab Syafii tidak ada kontradiksi antara keduanya. Karena dalam madzhab Syafii bahwa kewajiban Ibadah Haji itu boleh di tunda.

Jadi kenapa Nabi menundanya ? Karena kewajiban haji itu boleh ditunda, apalagi pada tahun itu masih ada kebatilan, yaitu orang-orang musyrik masih diperbolehkan berhajian dan sebagian mereka berthawaf dengan kondisi telanjang.

WASPADALAH DENGAN KEMUNGKARAN BERBALUT AGAMA:

Kita harus hati-hati dan waspada, terhadap pengelabuan Iblis laknatullah sehingga kita terperosok dalam kubangan perbuatan mungkar dan dosa, namun kita mengira bahkan meyakini bahwa itu adalah kebaikan.

Ahmad Salim Abu Fihr berkata:

ولتعلم أن الباطل لا يأتي خالصا قط ، بل لا بد أن يكون مشوبا بشيء من الحق وأنّ الكذب لا يأتي صريحا قطّ بل لا بدّ وأن يزيّن بشيء من الصدق.

" Dan Anda harus tahu bahwa kebatilan tidak pernah datang secara murni berbentuk kebatilan, melainkan pasti dikemas dan diwarnai dengan sedikit sesuatu dari kebenaran, dan kebohongan tidak pernah datang secara terus terang, tetapi harus dihiasi dengan sedikit sesuatu agar nampak sebuah kejujuran".

Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا. ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka MENGIRA bahwa mereka BERBUAT SEBAIK-BAIKNYA. [QS. Al-Kahfi: 104-105]

Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ

" Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampuradukkan [membalut] iman mereka dengan kedzaliamn, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. [QS. al-'An'aam: 82]

PARA PENDUSTA BERBALUT AGAMA KELAK ANTAR MEREKA SALING MENGUTUK DAN MEREKA MUSTAHIL MASUK SYURGA KECUALI JIKA ADA ONTA BISA MASUK LUBANG JARUM.

Dalam surat al-A'raaf diantaranya dalam ayat 37 hingga ayat 41, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa menjelaskan dengan cukup rinci ancaman bagi orang-orang yang berdusta berbalut agama dengan bawa-bawa nama Allah dan juga bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, dengan ancaman-ancaman sbb:

  1. Syahadat mereka adalah sahadat kekafiran.
  2. Kelak antara mereka dan para pengikutnya akan saling mengutuk, meskipun antar mereka adalah masih ada hubungan saudara.
  3. Mereka adalah para penghuni Neraka.
  4. PINTU-PINTU LANGIT tidak akan buka untuk mereka dan mereka mustahil akan masuk syurga kecuali jika ada seekor onta bisa masuk ke dalam lobang jarum, dan itu mustahil.
  5. Mereka kelak akan di balut dengan tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut api neraka pula.

Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman:

فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ كَذَّبَ بِاٰيٰتِهٖ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَنَالُهُمْ نَصِيْبُهُمْ مِّنَ الْكِتٰبِ ۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ ۙ قَالُوْٓا اَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالُوْا ضَلُّوْا عَنَّا وَشَهِدُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا كٰفِرِيْنَ ﴿الأعراف: ۳۷

Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya? Mereka itu akan memperoleh bagian yang telah ditentukan dalam Kitab sampai datang para utusan (malaikat) Kami kepada mereka untuk mencabut nyawanya. Mereka (para malaikat) berkata, “Manakah sembahan yang biasa kamu sembah selain Allah?” Mereka (orang musyrik) menjawab, “Semuanya telah lenyap dari kami.” Dan mereka memberikan kesaksian terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang kafir. (QS. Al-A’raf: 37) 

قَالَ ادْخُلُوْا فِيْٓ اُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ فِى النَّارِ ۙ كُلَّمَا دَخَلَتْ اُمَّةٌ لَّعَنَتْ اُخْتَهَا ۗحَتّٰٓى اِذَا ادَّارَكُوْا فِيْهَا جَمِيْعًا ۙقَالَتْ اُخْرٰىهُمْ لِاُوْلٰىهُمْ رَبَّنَا هٰٓؤُلَاۤءِ اَضَلُّوْنَا فَاٰتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِّنَ النَّارِ ە ۗ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَعْلَمُوْنَ ﴿الأعراف: ۳۸

Allah berfirman, “Masuklah kamu ke dalam api neraka bersama golongan jin dan manusia yang telah lebih dahulu dari kamu.

Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya, sehingga apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang yang (masuk) belakangan (kepada) orang yang (masuk) terlebih dahulu, “Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada mereka”

Allah berfirman, “Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 38)

وَقَالَتْ اُوْلٰىهُمْ لِاُخْرٰىهُمْ فَمَا كَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُوْنَ ࣖ ﴿الأعراف: ۳۹

"Dan orang yang (masuk) terlebih dahulu berkata kepada yang (masuk) belakangan, “Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikit pun atas kami. Maka rasakanlah azab itu karena perbuatan yang telah kamu lakukan.” (QS. Al-A’raf: 39)

اِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُجْرِمِيْنَ ﴿الأعراف: ۴۰

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat. (QS. Al-A’raf: 40)

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ ﴿الأعراف: ۴۱

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-A’raf: 41)

PERTANYAAN:

Lalu bagaimana dengan orang yang hanya ikut-ikutan para pendusta yang berbalut agama, bukan kah mereka tidak tahu apa-apa tentang itu semua dan maksudnya adalah baik ?

JAWABANNYA:

Bukan kah anda punya telinga, mata, akal dan hati nurani ? Kenapa tidak digunakan untuk bertabayyun dan memahaminya Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ﴿الإسراء: ۳۶

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra': 36)


Posting Komentar

0 Komentar