MENELUSURI DALIL NAJISNYA BABI
Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
======
====
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيمِ
Al-Imam an-Nawawi
berkata:
"لَيْسَ لَنَا
دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ "
“Kami [yakni: Madzhab
Syafi'i] tidak memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi semasa hidupnya.
[al-Majmu' 2/268].
====****====
BABI ITU HARAM DI MAKAN DAN BABI
ADALAH RiJS [رِجْسٌ]
Allah SWT berfirman:
(قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ)
“Katakanlah (Ya
Muhammad): "Tiadalah aku dapatkan dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
sesungguhnya semua itu adalah Rijs [رِجْسٌ]- atau binatang disembelih
atas nama selain Allah". (QS. Al-An'aam: 145)
Telah dimaklumi
bersama bahwa babi itu haram untuk dimakan secara Ijma' seluruh umat Islam. Dan
semua yang ada pada babi di haramkan walaupun yang disebutkan dalam al-Qur'an
hanya dagingnya saja.
Al-Jash-shaas
berkata:
وَاللَّحْمُ وَإِنْ
كَانَ مَخْصُوصًا بِالذِّكْرِ فَإِنَّ الْمُرَادَ جَمِيعُ أَجْزَائِهِ،
وَإِنَّمَا خَصَّ اللَّحْمَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ مَنْفَعَتِهِ وَمَا
يُبْتَغَى مِنْهُ، كَمَا نَصَّ عَلَى تَحْرِيمِ قَتْلِ الصَّيْدِ عَلَى
الْمُحْرِمِ وَالْمُرَادُ حَظْرُ جَمِيعِ أَفْعَالِهِ فِي الصَّيْدِ، وَخَصَّ
الْقَتْلَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ مَا يُقْصَدُ بِهِ الصَّيْدُ.
وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسَعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ} [الجمعة: 9] فَخَصَّ
الْبَيْعَ بِالنَّهْيِ; لِأَنَّهُ كَانَ أَعْظَمَ مَا يَبْتَغُونَ مِنْ
مَنَافِعِهِمْ وَالْمَعْنِيُّ جَمِيعُ الْأُمُورِ الشَّاغِلَةِ عَنْ الصَّلَاةِ.
وَإِنَّمَا نَصَّ عَلَى الْبَيْعِ تَأْكِيدًا لِلنَّهْيِ عَنْ الِاشْتِغَالِ عَنْ
الصَّلَاةِ، كَذَلِكَ خَصَّ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ بِالنَّهْيِ تَأْكِيدًا لِحُكْمِ تَحْرِيمِهِ
وَحَظْرًا لِسَائِرِ أَجْزَائِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِذَلِكَ
جَمِيعُ أَجْزَائِهِ وَإِنْ كَانَ النَّصُّ خَاصًّا فِي لَحْمِهِ
(...dan daging,
meskipun disebutkan secara khusus, namun yang dimaksud adalah semua bagiannya,
dan adapun daging dikhususkan untuk disebutkan: karena daging itu adalah
manfaat terbesarnya dan yang diinginkan darinya, sebagaimana nash yang
menetapkan larangan berburu bagi orang yang ber-ihram, dan yang dimaksud
adalah: melarang semua tindakannya dalam berburu, dan adapun kata membunuh yang
dipilih dalam penyebutan ; Karena itu adalah hal terbesar yang dimaksudkan
dalam berburu.
Dan seperti halnya
firman Allah SWT:
(إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ)
“Apabila telah diseru
untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli". [QS. Al-Jum'ah: 9]
Mengkhususkan kata
jual beli yang dilarang; Karena itu adalah manfaat terbesar yang mereka cari,
dan maknanya adalah: segala sesuatu yang menyibukkan dari shalat Jum'at.
Adapun kenapa
menetapkan jual beli ? Karena itu adalah sebagai penegasan larangan penyibukkan
diri yang membuatnya lalai dari shalat jumat.
Dan begitu pula
kenapa daging babi dikhususkan dalam penyebutan keharaman? Karena sebagai
bentuk penegasan hukum haram dan larangan semua bagiannya.
Jadi ini menunjukkan
bahwa apa yang dimaksud dengan daging adalah semua bagiannya, sekalipun teks
itu menyatakan khusus dagingnya. [Ahkaam al-Qur'an 1/151]
====***===
KELEDAI JINAK ITU HARAM DIMAKAN DAN
KELEDAI JINAK ADALAH RIJS [رِجْسٌ]
Dari Anas bin Malik
dia berkata:
“لَمَّا فتَحَ رَسولُ الله
صلَّى اللهُ عليه وسلَّم خيبَرَ، أصَبْنا حُمُرًا خارِجًا مِنَ القريةِ، فطَبَخْنا
منها، فنادى مُنادي رَسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ألا إنَّ اللهَ ورَسولَه
يَنهَيانِكم عنها؛ فإنَّها رِجسٌ مِن عَمَلِ الشَّيطانِ ". فَأُكْفِئَتْ
الْقُدُورُ بِمَا فِيهَا وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِمَا فِيهَا ".
"Ketika
Rasulullah ﷺ
menaklukkan Khaibar, kami menangkap
keledai di luar kampung lalu kami memasaknya. Tiba-tiba datang pesuruh
Rasulullah ﷺ
berseru:
'Perhatian!
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian semua memasak daging keledai,
karena daging keledai itu RIJS [رِجْسٌ], sesungguhnya itu termasuk
perbuatan setan.'
Maka salah seorang menumpahkan
periuk sehingga isinya tertumpah."
[HR. Bukhori no. 2991
dan Muslim no. 1940, 3593]
Dari Ibnu Abi Aufaa
radliallahu 'anhu berkata;
“أصابَتْنا مجاعةٌ لياليَ
خَيبَرَ، فلمَّا كان يومُ خَيبَرَ وقَعْنا في الحُمُرِ الأهليَّةِ فانتَحَرْناها،
فلمَّا غَلَت بها القُدورُ نادى مُنادي رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أنْ
أكفِئُوا القُدورَ- ورُبَّما قال- ولا تأكُلوا مِن لُحومِ الحُمُرِ
شَيئًا ".
"Kami mengalami
kelaparan pada beberapa malam saat perang Khaibar. Dan ketika hari penaklukan
Khaibar, kami dapatkan keledai-keledai jinak piaraan penduduk, maka kami
menyembelihnya. Ketika periuk-periuk sudah mendidih, penyeru Rasulullah ﷺ
mengumandangkan seruan;
"Tumpahkanlah
periuk-periuk itu dan janganlah kalian memakan daging-daging keledai
sedikitpun". [HR. Bukhori no. 2922]
Hadits Jabir bin
‘Abdillah, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ
فِي لُحُومِ الْخَيْلِ
“Ketika perang
Khaibar, Rasulullah ﷺ melarang makan daging keledai jinak dan
membolehkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no.
1941)
===****===
MAKNA KATA RIJS [الرِّجْسُ]
Jamaknya adalah الأَرْجَاسُ.
Adapun maknanya adalah sbb:
1- Perbuatan buruk [عَمَلٌ قَبِيْحٌ].
2- Kotoran, kotor [قَذرٌ، وَسِخٌ].
3- sesuatu yang kotor
[شَيْءٌ قَذْرٌ].
4- Hukuman [عِقَابٌ].
5- Haram [حَرَامٌ].
6- Laknat [لَعْنَةٌ].
7- Kafir [كُفْرٌ].
8- Siksaan [عَذابٌ].
9- Bisikan setan [وَسْوَسَةُ الشَّيْطَانِ]
10- Gerakan ringan. [حَرَكَةُ الخَفِيْفَةِ]
11- Kemarahan [غَضَبٌ].
[Lihat Mu'jam
al-Wasiith dan معجم اللغة العربية
المعاصرة]
====***===
SEMUA YANG HARAM DAN DI LARANG
ADALAH RIJS [رِجْسٌ]
Allah SWT berfirman:
اِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ
عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Sesungguhnya minuman
keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak
panah, adalah perbuatan KEJI [رِجْسٌ] dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. [QS. al-Maidah: 90]
Dan Allah SWT
berfirman:
وَمَا كَانَ
لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى
الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ
Dan tidak seorang pun
akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan ADZAB [لرِّجْسَ] kepada orang yang tidak mengerti. [QS. Yunus:
100]
Dan Allah SWT berfirman:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ
مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِ ۙ
Maka jauhilah olehmu
(penyembahan) berhala-berhala yang KOTOR [Najis = لرِّجْسَ] itu dan jauhilah perkataan dusta. [QS.
al-Hajj: 30]
Dan Allah SWT
berfirman:
{ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا }
“Wahai orang-orang
yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu NAJIS (kotor jiwa),
karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini".
[QS. At-Taubah: 28]
Dan dari Anas bin
Malik dia berkata:
“لَمَّا فَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ خَيْبَرَ، أَصَبْنَا حُمُرًا خَارِجًا مِنَ ٱلْقَرْيَةِ، فَطَبَخْنَا مِنْهَا، فَنَادَى
مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: أَلَا إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْهَا؛
فَإِنَّهَا رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَانِ".
"Ketika
Rasulullah ﷺ
menaklukkan Khaibar, kami menangkap keledai
di luar kampung lalu kami memasaknya. Tiba-tiba datang pesuruh Rasulullah ﷺ
berseru:
'Perhatian!
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian semua memasak daging keledai,
karena daging keledai itu RiJS [رِجْسٌ], sesungguhnya itu termasuk
perbuatan setan.' [HR. Bukhori no. 2991 dan Muslim no. 1940, 3593].
Sementara Keledai itu
tidak najis.
===****===
BABI ADALAH HARAM, NAMUN APAKAH BABI ITU NAJIS 'AIN?
Pendapat bahwa babi dan anjing itu
najis bukanlah hukum yang disepakati bersama, melainkan itu adalah pendapat
kebanyakan para ulama.
Dan di antara para
ulama ada yang meyakini bahwa keduanya suci, yaitu Imam Malik, dan inilah yang
di tarjih oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah.
Sebagian para ulama
ada yang membedakan antara anjing dan babi, lalu mereka mengatakan bahwa anjing
itu najis tetapi babi tidak najis.
Mereka yang
mengatakan bahwa Babi itu najis , berdalil dengan meng-analogi-kan babi kepada
anjing . Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi'i - rahimahullah - berkata:
وأمَّا
الخِنْزِيْرُ فَنَجَسٌ ؛ لِأَنَّهُ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ الْكَلْبِ ، لِأَنَّهُ
لَا يُقْتَنَى بِحَالٍ وَلِأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إلَى قَتْلِهِ مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ
فِيهِ وَمَنْصُوصٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ
“Adapun babi, maka
itu najis karena kondisinya lebih buruk daripada anjing, karena tidak boleh
dipelihara dengan kondisi apapun, dan karena itu dianjurkan untuk membunuhnya
tanpa menyakitinya., dan diharamkan secara nash. Jika anjing saja najis, maka
babi lebih pantas.” [Kutipan Selesai. Lihat al-Majmu' 2/568]
An-Nawawi
mengomentari perkataan Asy-Syairazi sebelumnya dengan megatakan:
نَقَلَ ابْنُ
الْمُنْذِرِ فِي كِتَابِ الْإِجْمَاعِ إجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ عَلَى نَجَاسَةِ
الْخِنْزِيرِ وَهُوَ أَوْلَى مَا يُحْتَجُّ بِهِ لَوْ ثَبَتَ الْإِجْمَاعُ
وَلَكِنَّ مذهب مالك طهارة الخنزير مادام حَيًّا وَأَمَّا مَا احْتَجَّ
بِهِ الْمُصَنِّفُ فَكَذَا احْتَجَّ بِهِ غَيْرُهُ وَلَا دَلَالَةَ فِيهِ وَلَيْسَ
لَنَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ
Ibnu al-Mundzir
menukil dalam kitab "Al-Ijma'": Ijma' para ulama bahwa babi itu
najis, dan itu adalah dalil yang paling utama digunakan jika ijma' tersebut
benar adanya, namun pada kenyatannya madzhab Malik berpendapat bahwa babi itu
suci selama masih hidup.
Adapun apa yang
disebut oleh pengarang al-Muhadzab [yakni: asy-Syeirazi], begitu pula orang
lain berdalil dengannya. Dan yang benar itu tidak bisa dijadikan dalil untuk
itu, dan kami tidak memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi ketika
masih hidup. [al-Majmu' 2/268].
Sebagian para ulama
lainnya berpendapat sebaliknya, dan mereka mengatakan: bahwa anjing itu suci,
tetapi babi itu najis.Ini adalah pendapat sebagian Hanafi.
Al-Kasani Al-Hanafi
berkata:
وَأَمَّا الْكَلْب:
فَالْكَلَامُ فِيهِ بِنَاءٍ عَلَى أَنَّهُ نَجِسُ الْعَيْنِ أَمْ لَا، وَقَدِ
اخْتَلَفَ مَشَايِخُنَا فِيهِ، فَمَنْ قَالَ إِنَّهُ نَجِسُ الْعَيْنِ فَقَدْ
أَلْحَقَهُ بِالْخِنَازِيْرِ فَكَانَ حُكْمُهُ حُكْمَ الْخِنْزِيْرِ، وَمَنْ قَالَ
إِنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ
الْحَيَوَانَاتِ سَوَى الْخِنْزِيْرِ، وَهَذَا هُوَ الصَّحِيْحُ."
“Adapun anjing: maka
pembahasannya didasarkan pada apakah itu najis 'ain atau bukan ? dan para syekh
kami berbeda pendapat tentang itu.
Mereka yang
berpendapat bahwa ia najis, maka mereka mensejajarkan dan meng-analogikan-nya dengan
anjing
Dan mereka yang
mengatakan bahwa itu bukan najis 'ain, maka maka mereka menyamakan-nya dengan
semua binatang selain babi, dan ini adalah yang shahih. [Badai' ash-Shana'i
1/63].
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata:
“وذلك لأنَّ الأصل في الأعيان
الطهارة ، فلا يجوز تنجيس شيء ولا تحريمه إلا بدليلٍ, كما قال تعالى: (وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُّرِرْتُم إِلَيْهِ)
الأنعام/119 ، وقال تعالى: (وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ
هَدَاهُم حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَا يَتَّقُونَ) التوبة / 115...
"Hal demikian
itu, karena hukum asal pada setiap benda adalah suci, maka tidak boleh
menyatakan sesuatu najis atau haram kecuali berdasarkan dalil. Sebagaimana
firman Allah Ta'ala:
(وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَعَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُّرِرْتُم إِلَيْهِ)
Padahal Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al-An'am: 11)
Allah juga berfirman:
(وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ
قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُم حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَا يَتَّقُونَ)
"Dan Allah
sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk
kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka
jauhi." (QS. At-Taubah: 115).[Majmu Fatawa, 21/617]
===***===
RINGKASNYA: PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG NAJISNYA BABI
Para ulama berbeda
pendapat tentang najis 'ain babi, dan secara garis besarnya ada dua pendapat:
****
PENDAPAT PERTAMA: BABI ADALAH SUCI SEMASA HIDUPNYA.
Ini adalah pendapat
mazhab Maliki, dan Asy-Syawkani mentarjihnya.
Profesor Perbandingan
Fikih dan Hukum Islam di Universitas Al-Azhar, Ahmad Kariimah, tentang kesucian
babi dan anjing, beliau berkata, dalam sebuah wawancara di televisi Mesir:
إِنَّ الْكَلْبَ طَاهِرٌ
وَلَيْسَ نَجِسًا، وَكَذَلِكَ الْخِنزِيرُ.
"Anjing itu suci
dan tidak najis, demikian juga babi".
Lalu Karimah mengutip
perkataan Imam Malik:
إِنَّ الْخِنزِيرَ كَحَيَوَانٍ
أَوْ كَكَائِنٍ حَيٍّ طَاهِرٌ رَغْمَ أَنَّنَا لَا نَأْكُلُ لَحْمَهُ وِفْقًا لِنَصِّ
الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، وَمَعَ ذَلِكَ الْخِنزِيرُ كَالْكَلْبِ طَاهِرُ الذَّاتِ أَوِ
الْجَسَدِ، وَهَذَا يُؤَكِّدُ أَنَّ اللَّهَ لَا يَخْلُقُ شَيْئًا نَجِسًا.
“Babi sebagai hewan
atau sebagai makhluk hidup adalah suci, meskipun dagingnya tidak kita makan
sesuai dengan nash Al-Qur'an. Namun demikian, babi itu seperti anjing, suci
dzatnya atau badannya. Dan ini menegaskan bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu
yang najis.”
Madzhab Maliki
berpendapat bahwa setiap hewan yang hidup adalah suci, karena ketika kematian
adalah penyebab najisnya setiap hewan yang mati, maka hidup nya hewan adalah
sebagai sebab sucinya setiap hewan yang hidup, sehingga air liur, keringat,
penyaringan dan air mata yang hidup adalah sama-sama suci.
Dan itu karena tidak
adanya dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa babi itu najis. Dan kaidah
menyatakan:
الأصْلُ في
الأشْيَاءَ الطَّهَارَة
“Hukum Asal pada segala
sesuatu adalah Suci ".
Adapun air kencing
dan kotoran hewan yang boleh dimakan, maka mereka madzhab Maliki menghukuminya
suci karena adanya dalil yang menyatakan bahwa itu suci.
Maka berdasarkan ini
madzhab Maliki berpendapat : suci nya binatang buas seperti
singa, macan tutul, serigala, harimau dan monyet. Dan juga suci nya burung liar
seperti elang, elang peregrine dan Had'ah [Elang api yang menyebabkan kebakaran
hutan menyebar]. Dan juga sucinya keledai jinak dan Baghal. Juga sucinya racun,
al-Kohol, MiRas dan lain sebagainya.[Baca: ٱلْمَوْسُوعَةُ ٱلْفِقْهِيَّةُ ٱلْكُوَيْتِيَّةُ
(3/72)]
Dalam kitab Mudawwanah Imam Malik:
إنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ
لَا يَرَوْنَ عَلَى مَنْ أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ أَبْوَالِ الْبَقَرِ وَالْإِبِلِ
وَالْغَنَمِ وَإِنْ أَصَابَ ثَوْبَهُ فَلَا يَغْسِلُهُ، وَيَرَوْنَ عَلَى مَنْ
أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ أَبْوَالِ الدَّوَابِّ: الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ
وَالْحَمِيرِ أَنْ يَغْسِلَهُ وَاَلَّذِي فَرَّقَ بَيْنَ ذَلِكَ أَنَّ تِلْكَ
تُشْرَبُ أَلْبَانُهَا وَتُؤْكَلُ لُحُومُهَا، وَأَنَّ هَذِهِ لَا تُشْرَبُ
أَلْبَانُهَا وَلَا تُؤْكَلُ لُحُومُهَا وَقَدْ سَأَلْتُ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ
عَنْ هَذَا فَقَالُوا لِي هَذَا
Imam Malik berkata:
Para ahli Ilmu tidak berpendapat bahwa orang yang terkena sesuatu dari kencing
sapi, onta, dan domba itu harus mencucinya meskipun mengenai pakaiannya. Dan
mereka berpendapat bahwa orang yang terkena sesuatu dari urin hewan: kuda,
bagal, dan keledai harus mencucinya.
Dan perbedaan antara
itu semua adalah bahwa yang itu boleh diminum susunya dan dimakan dagingnya,
sementara yang ini tidak boleh diminum susunya dan tidak boleh dimakan
dagingnya.
Dan Saya sungguh
telah bertanya kepada beberapa ahli ilmu tentang ini, lalu mereka memberi
jawaban kepada saya seperti ini. [al-Mudawwanah 1/127]
Dan dalam kitab
Syarah Mukhtashar Khalil Lil-Khurashi, Syeikh Khalil mengatakan:
بَوْلُ
الْحَيَوَانِ الْمُبَاحِ الْأَكْلِ وَرُوثُهُ طَاهِرَانِ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مِمَّا يُسْتَعْمَلُ النَّجَاسَاتِ بِالْمُشَاهَدَةِ أَكْلًا أَوْ شُرْبًا
فَبَوْلُهُ وَرُوثُهُ نَجْسَانِ مَدَّةَ ظَنِّ بَقَاءِ النَّجَاسَةِ فِي جَوْفِهِ."
Urine binatang yang
halal dimakan dan kotorannya adalah suci; Kecuali binatang tersebut terbukti
mengkonsumsi makanan dan minuman yang najis ; jika demikian maka air kencing
dan tahinya adalah najis selama dia mengira najisnya itu masih ada di dalam
perutnya. [Baca: Syarah Mukhtashar Khalil Lil-Khurashi 1/86].
Dalam kitab
al-Hadaa'iq an-Naadhirah [ٱلْحَدَائِقُ
ٱلنَّاضِرَةُ] karya Syeikh Yusuf Aali
'Ushfuur al-Bahraani, seorang muhaddits Syiah disebutkan:
رَوَاهُ فِي
الصَّحِيحِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ أَبِي زِيَادِ النَّهْدِيِّ عَنْ
زُرَارَةَ قَالَ: 'سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) عَنْ
جِلْدِ الْخِنْزِيرِ يُجْعَلُ دَلْوًا يُسْتَقَى بِهِ؟ قَالَ: لَا
بَأْسَ.'"
Diriwayatkan dalam
Ash-Shahih dari Ibn Abi Umair dari Abi Ziyad Al-Nahdi dari Zurara, dia berkata:
“Saya
bertanya kepada Abu Abdullah tentang kulit babi yang dijadikan sebagai ember
untuk mengambil air untuk penyiraman tanaman ? Dia bilang: " Tidak
apa-apa".
[Diriwayatkan dalam
al-Wasaail di Bab 14 dari bab tentang air muthlak].
Lalu Syeikh Yusuf
berkata:
"وَيُؤَيِّدُ هَذَا
الْمَعْنَى مُوَثَّقَةُ الْحُسَيْنِ بِنْ زِيَادٍ عَنِ الصَّادِقِ (عَلَيْهِ
السَّلَامُ) قَالَ: 'قُلْتُ لَهُ جِلْدُ الْخِنْزِيرِ يُجْعَلُ دَلْوًا يُسْتَقَى
بِهِ مِنَ الْبِئْرِ الَّتِي يَشْرَبُ مِنْهَا أَوْ يَتَوَضَّأُ مِنْهَا؟' قَالَ:
'لَا بَأْسَ.'"
[[ وَقَدْ رَوَاهَا فِي
الْوَسَائِلِ فِي الْبَابِ 14 مِنَ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ.
وَقَدْ أَثْبَتَ
الْمُحَقِّقُ الْهَمْدَانِيُّ (قَدَّهُ) فِي مِصْبَاحِ الْفُقِيهِ لِلْحُسَيْنِ
بِنِ زُرَارَةَ رِوَايَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا فِي شَعْرِ الْخِنْزِيرِ وَالْأُخْرَى
فِي جِلْدِهِ، وَيَحْتَمَلُ أَنَّهُ اعْتَمَدَ فِي رِوَايَةِ الْجِلْدِ عَلَى
الْحُدَائِقِ مَعَ ابْدَالِ زِيَادٍ بِزُرَارَة."]]
Dan makna ini
didukung oleh Al-Hussein bin Ziyad yang didokumentasikan dari Al-Shadiq yang
mengatakan: “Saya mengatakan kepadanya bahwa kulit babi yang dijadikan sebagai
ember untuk mengambil air untuk penyiraman yang dia ambil dari sumur yang digunakan
sebagai sumber air minum atau berwudhu darinya? Dia bilang: " tidak
apa-apa".
[[Diriwayatkan
dalam al-Wasaail di Bab 14 dari bab tentang air muthlak.
Dan pentahqiq
Al-Hammadani (Qaddah) di Misbah Al-Faqih oleh Al-Hussein Bin Zarara membenarkan
dua riwayat: salah satunya di rambut babi dan yang lain di kulitnya.
Dan mungkin saja dia
bersandar pada riwayat kulit di kebun-kebun dengan penggantian Ziyad dengan
Zurara]].
[Baca: kitab
al-Hadaa'iq an-Naadhirah [ٱلْحَدَائِقُ
ٱلنَّاضِرَةُ] karya Syeikh Yusuf Aali 'Ushfuur
al-Bahraani, Pasal 8 dan 9, hal. 206 dan 207]
----
PENDAPAT KEDUA: BABI ADALAH NAJIS 'AIN.
Ini adalah pendapat
Mayoritas para ulama dari Madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali, dan salah satu
qoul dalam madzhab Maliki.
REFERENSI:
- ((المبسوط))
للسرخسي (1/48)، وينظر: ((بدائع الصنائع)) للكاساني (1/63).
- ((روضة الطالبين)) للنووي (1/31)، ((المجموع))
للنووي (2/568).
- ((الفروع)) لابن مفلح (1/314)، ((الإنصاف))
للمرداوي (1/310).
- ((التمهيد)) لابن عبدِ البَرِّ (1/320)،
((الكافي)) لابن عبدِ البَرِّ (1/161).
Ibnu Qudamah berkata:
(وحُكمُ الخِنزير
حُكمُ الكَلبِ؛ لأنَّ النصَّ وقَعَ في الكَلبِ، والخِنزيرُ شرٌّ منه وأغلَظُ؛
لأنَّ الله تعالى نصَّ على تحريمه، وأجمَع المسلمون على ذلك، وحرُم اقتناؤه)
"Dan hukum babi
adalah hukum anjing, karena nashnya ada pada anjing, namun babi lebih buruk
dari anjing dan lebih keras, karena Allah SWT menetapkan bahwa babi itu haram,
dan umat Islam ber-ijma' tentang itu., dan diharamkan pula memelihara babi
". [Baca: ((Al-Mughni)) (1/42)].
Mereka yang
berpendapat Babi itu Najis mengatakan:
"إِنَّ الْأَصْلَ فِي
الْحَيَوَانَاتِ الَّتِي لَا تُؤْكَلُ لِحُرْمَتِهَا أَنَّهَا نَجِسَةٌ حَالَ
الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ وَلَكِنَّ اسْتُثْنِيَ مَا يَشُقُّ التَّحْرُزُ مِنْهُ
لِعِلَّةِ الطَّوَافِ وَهَذِهِ الْعِلَّةُ مُنْتَفِيَةٌ فِي الْخِنْزِيرِ فَهُوَ
نَجِسٌ."
Sesungguhnya hukum
asal setiap hewan yang haram dimakan adalah najis baik ketika masih hidup
maupun sudah mati. Kecuali hewan yang susah dihindari seperti kucing ; Dengan
alasan atau illat karena ia selalu berkeliaran dan mengitari kita serta hidup
ditengah-tengah kita. Dan alasan ini tidak ditemukan pada babi, maka oleh sebab
itu babi adalah najis.
Maka berdasarkan ini
madzhab Hanafi berpendapat: Najisnya keledai jinak [الحُمُر الأَهْلِيَة] ;
karena keledai jinak termasuk yang diharamkan. Dan juga najis nya binatang buas
seperti singa, macan tutul, serigala, harimau dan monyet. Dan juga najis nya
burung liar seperti elang, elang peregrine dan Had'ah [Elang api yang
menyebabkan kebakaran hutan menyebar]. [Baca: ٱلْمَوْسُوعَةُ ٱلْفِقْهِيَّةُ ٱلْكُوَيْتِيَّةُ
(3/72)]
Berikut ini dalil
yang menunjukkan bahwa binatang buas dan burung pemangsa adalah haram hukumnya:
Dari Abu Hurairah,
Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّ ذِي نَابٍ
مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas
yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Abi Tsa’labah,
beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.
“Rasulullah ﷺ
melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan
Muslim no. 1932)
Dari Ibnu ‘Abbas,
beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ
الطَّيْرِ
“Rasulullah ﷺ
melarang memakan setiap binatang buas
yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk
mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
An
Nawawi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud dengan memiliki
taring–menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu
(memangsa).”
[Lihat: Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/83, Dar Ihya’ At Turots Al
‘Arobi, cetakan kedua, 1392].
Artinya di sini,
syarat diharamkan burung yang bercakar adalah apabila cakarnya digunakan untuk
menerkam atau menyerang mangsanya. Oleh karena itu, ayam jago, burung pipit,
dan burung merpati tidak termasuk yang diharamkan dan tidak termasuk yang
najis.
------
DALIL PENDAPAT KEDUA: BABI ADALAH NAJIS 'AIN.
DALIL KE 1: Firman Allah SWT:
(قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ)
“Katakanlah (Ya
Muhammad):"Tiadalah aku dapatkan dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
sesungguhnya itu adalah RiJS [رِجْسٌ]- atau binatang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Al-An'aam: 145)
Para ulama yang
berpendapat bahwa babi itu najis, baik babi itu hidup atau mati. Mereka
berdalil dengan ayat diatas, yang didalamnya Allah menggambarkan babi sebagai
Rijs [رِجْسٌ],
dan Rijs adalah najis.
BANTAHAN KE 1:
LAJNAH FATWA DI
AL-AZHAR menyatakan:
“جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى نَجَاسَتِهِ
حَيًّا وَمَيِّتًا بِدَلِيلِ هٰذِهِ ٱلْآيَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي ٱلدَّلِيلِ مُنَاقَشَةٌ،
فَقَدْ يُرَادُ بِٱلنَّجَاسَةِ ٱلنَّجَاسَةُ ٱلْحُكْمِيَّةُ وَهِيَ حُرْمَةُ ٱلْأَكْلِ،
وَلَيْسَ ٱلنَّجَاسَةَ ٱلْعَيْنِيَّةَ، كَنَجَاسَةِ ٱلْمُشْرِكِينَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:
(إِنَّمَا ٱلْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ) فَٱلْمُرَادُ نَجَاسَةُ ٱلِٱعْتِقَادِ وَلَيْسَ ٱلنَّجَاسَةَ
ٱلْعَيْنِيَّةَ، حَيْثُ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ بِأَنَّ ٱلْمُشْرِكَ يَنْجُسُ. عَلَى مِثْلِ
مَا جَاءَ فِي قَوْلِهِ: (إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنْصَابُ وَٱلْأَزْلَامُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَانِ) فَنَجَاسَةُ ٱلْأَنْصَابِ وَٱلْأَزْلَامِ حُكْمِيَّةٌ
وَهِيَ ٱلْحُرْمَةُ، وَلَيْسَتْ نَجَاسَةً عَيْنِيَّةً.
وَلَمَّا كَانَتِ ٱلْآيَةُ
لَا تَدُلُّ دَلَالَةً قَطْعِيَّةً عَلَى نَجَاسَةِ ٱلْخِنْزِيرِ نَجَاسَةً عَيْنِيَّةً
ٱسْتَدَلَّ بَعْضُ ٱلْعُلَمَاءِ عَلَى ذٰلِكَ بِٱلْقِيَاسِ عَلَى نَجَاسَةِ ٱلْكَلْبِ؛
لِأَنَّهُ أَسْوَأُ حَالًا مِنْهُ حَيْثُ لَا يَجُوزُ ٱلِٱنْتِفَاعُ بِهِ، وَلَكِنْ
هٰذَا ٱلدَّلِيلُ غَيْرُ مُسَلَّمٍ؛ لِأَنَّ ٱلْحَشَرَاتِ لَا يُنْتَفَعُ بِهَا وَمَعَ
ذٰلِكَ هِيَ طَاهِرَةٌ.
وَمِنْ هُنَا قَالَ
ٱلنَّوَوِيُّ: لَيْسَ لَنَا ـ أَيِ ٱلشَّافِعِيَّةِ ـ دَلِيلٌ عَلَى نَجَاسَةِ ٱلْخِنْزِيرِ،
بَلْ مُقْتَضَى ٱلْمَذْهَبِ طَهَارَتُهُ كَٱلْأَسَدِ وَٱلذِّئْبِ وَٱلْفَأْرِ، وَقَالَ
ٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ: ٱلْإِجْمَاعُ عَلَى نَجَاسَةِ ٱلْخِنْزِيرِ، لَكِنْ دَعْوَى ٱلْإِجْمَاعِ
فِيهَا نَظَرٌ؛ لِأَنَّ مَالِكًا يُخَالِفُ فِيهِ وَيَقُولُ بِطَهَارَتِهِ".
انتهى
Jumhur Fuqoha
berpendapat bahwa babi adalah najis, baik dalam keadaan masih hidup maupun
telah mati, berdasarkan dalil ayat ini.
Namun dalam berdalil
dengan ayat ini terdapat perdebatan, karena bisa jadi yang dimaksud dengan
najis dalam ayat adalah najis hukmiah, yaitu hanya haram memakannya, bukan
najis 'Ain [objeknya].
Sama halnya seperti
najisnya kaum musyrikin dalam firman Allah Ta'aala:
إِنَّمَا
الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
"Sesungguhnya
orang-orang musyrik adalah najis". {QS. Al -Taubah: 28}.
Yang dimaksud najis
di sini adalah najis al-I'tiqad [keyakinan] dan bukan najis 'ain [objek],
karena tidak ada yang mengatakan bahwa orang musyrik itu najis.
Dan sebagaimana pula
firman Allah Ta'aala:
إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
“Sesungguhnya minuman
keras, judi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Rijs
[رِجْسٌ]
dari perbuatan setan.” [Al-Maa'idah: 90]
Najisnya (berkurban
untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah najis hukmiyah, yaitu
keharaman, bukan najis 'ain.
Dan ketika ayat
tersebut tidak secara qath'i [definitif] menunjukkan najis babi, maka sebagian
ulama berdalil untuk ini dengan analogi atau qiyas kepada najisnya anjing,
karena babi lebih buruk dari anjing, karena tidak diperbolehkan mengambil
manfaat darinya.
Akan tetapi dalil ini
tidak bisa diterima ; Karena serangga tidak bisa mendapatkan manfaat darinya,
namun serangga tetap hukumnya suci.
Oleh karena itu
an-Nawawi berkata: Kami – yakni Madzhab Syafi'I - tidak memiliki dalil tentang
najisnya babi, bahkan secara konsep madzhab menunjukkan kesucian babi, sama
seperti singa, serigala dan tikus.
Ibnu al-Mundzir
menukil Ijma' bahw babi adalah najis, tetapi dakwaan ijma' disini perlu
dipertimbangkan ; Karena Malik menyelisihinya dan mengatakan bahwa itu suci.
[lihat: لجنة الفتوى بالأزهر. No. Fatwa: 8545. Judul: نجاسة الخنزير].
BANTAHAN KE 2:
Para ulama yang
mengatakan bahwa babi itu suci, mereka memberikan bantahan dengan mengatakan:
"الرِّجْسُ هُوَ
الْمَحْرَمُ وَالْمَحْرَمُ لَا تَلَازِمُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّجَسِ؟"
Makna ar-Rijs di sini
adalah sesuatu yang diharamkan. Dan sesuatu yang diharamkan tidak selalu harus
najis hukumnya.
JAWABAN:
هٰذَا مُحْتَمَلٌ وَلَكِنْ
لَمَّا قَالَ تَعَالَى (فَإِنَّهُ رِجْسٌ) بَعْدَ قَوْلِهِ (قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا) لَوْ قُلْنَا إِنَّ مَعْنَاهُ ٱلْمُحَرَّمُ لَصَارَ فِيهِ
تَكْرَارٌ، وَٱلْأُولَى أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ (رِجْسٌ) لَهُ مَعْنًى آخَرُ غَيْرُ
ٱلتَّحْرِيمِ وَهُوَ ٱلنَّجَاسَةُ.
Itu memang mungkin,
namun ketika Allah SWT berfirman:
(فَإِنَّهُ رِجْسٌ)
(karena itu adalah
rijs [kotoran atau kekejian]) [QS. Al-Anam: 145], setelah firman-Nya :
(قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً)
"Katakanlah (Ya
Muhammad):"Tiadalah aku dapatkan dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan " [QS. Al-Anam: 145].
Jika kita mengatakan
bahwa maknanya adalah diharamkan, maka itu akan menjadi pengulangan kata-kata.
Maka yang lebih utama: kata ar-Rijs memiliki makna selain diharamkan, yaitu
najis.
BANTAHAN TERHADAP JAWABAN:
Ada beberapa hewan
yang di haramkan dan dinyatakan sebagai Rijs, namun kebanyakan para ulama
mengatakan bahwa hewan tersebut adalah suci.
Contohnya: Keledai dan bighal yang jinak adalah Rijs.
Jabir bin ‘Abdillah
berkata:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ
فِي لُحُومِ الْخَيْلِ
“Ketika perang
Khaibar, Rasulullah ﷺ melarang makan daging keledai jinak dan
membolehkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no.
1941)
Dan dari Anas bin
Malik dia berkata:
“لَمَّا فَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ خَيْبَرَ، أَصَبْنَا حُمُرًا خَارِجًا مِنَ ٱلْقَرْيَةِ، فَطَبَخْنَا مِنْهَا، فَنَادَى
مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: أَلَا إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْهَا؛
فَإِنَّهَا رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَانِ". فَأُكْفِئَتِ ٱلْقُدُورُ بِمَا
فِيهَا وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِمَا فِيهَا".
"Ketika
Rasulullah ﷺ
menaklukkan Khaibar, kami menangkap
keledai di luar kampung lalu kami memasaknya. Tiba-tiba datang pesuruh
Rasulullah ﷺ
berseru:
'Perhatian!
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian semua memasak daging keledai,
karena daging keledai itu RiJS [رِجْسٌ], sesungguhnya itu termasuk
perbuatan setan.'
Maka salah seorang
menumpahkan periuk sehingga isinya tertumpah."
[HR. Bukhori no. 2991
dan Muslim no. 1940, 3593]
Syeikh Ibnu Utsaimin
berkata:
"وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ
الصَّحِيحُ: أَنَّ الْحِمَارَ الْأَهْلِيَّ وَالْبَغَلَ طَاهِرَانِ فَسُؤْرُهُمَا
يَكُونُ طَاهِرًا وَعَرَقُهُمَا طَاهِرٌ وَرَيْقُهُمَا طَاهِرٌ وَمَا يَخْرُجُ
مِنْ أَنْفَيْهِمَا طَاهِرًا أَيْضًا."
“Dan pendapat ini adalah yang benar dan shahih:
bahwa keledai peliharaan dan baghal itu suci, maka bekas makan dan minumnya
suci, keringatnya suci, air liurnya suci, dan apa yang keluar dari lubang
hidungnya juga suci ". [Syarah Zaad al-Mustqni' – Kitab ath-Thoharah 1/543]
Dan Syeikh
Abdurrahman Nashir al-Barraak berkata:
وَرَجَّحَ كَثِيرٌ مِنْ
أَهْلِ الْعِلْمِ: أَنَّ الْحِمَارَ الْأَهْلِيَّ، وَكَذٰلِكَ الْبَغْلَ: طَاهِرَانِ؛
لِأَنَّهُ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِمَا مَعْنَى التَّطْوَافِ؛ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ـ ﷺ
ـ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يَرْكَبُونَهَا، وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِالِاسْتِنْزَاهِ عَنْ
عَرَقِهَا، أَوْ لَا تُرْكَبُ إِلَّا بِسَرْجٍ، أَوْ بِشَيْءٍ وَاقٍ.
فَالصَّوَابُ: أَنَّهُمَا
طَاهِرَانِ، وَكَذٰلِكَ سُؤْرُهُمَا وَعَرَقُهُمَا، فَسَوَاءٌ رَكِبَهُمَا الْإِنْسَانُ
عَلَى بَرْدَعَةٍ، أَوْ بِدُونِ بَرْدَعَةٍ، بَلْ عُرْيًا، فَهُوَ طَاهِرٌ.
Dan kebanyakan para
ahli ilmu mentarjih: bahwa keledai peliharaan, serta bagal: adalah suci; Karena
makna mengitari berlaku bagi keduanya. Dan karena Nabi -shallallahu 'alaihi wa
sallam- dan para sahabat biasa mengendarainya, dan beliau tidak memerintahkan
mereka untuk membersihkannya dari keringatnya, atau mengendarainya hanya dengan
pelana atau sesuatu yang melindungi.
Pendapat yang benar adalah bahwa keduanya adalah suci, begitu pula air
liurnya dan keringat nya, maka baik seseorang itu mengendarainya dengan
mengenakan pelana, atau tanpa pelana, atau lebih tepatnya telanjang, maka ia
adalah suci.
[Baca: سِبَاعُ الْبَهَائِمِ وَالطَّيْرِ
وَالْحِمَارُ الْأَهْلِيُّ وَالْبَغْلُ: كُلٌّ ذٰلِكَ طَاهِرٌ. oleh Syeikh Abdurrahman Nashir al-Barraak. Baca Pula:
Al-Mughni 1/68 “Al-Sharh Al-Kabir” 1/154 “Al-Inshaaf” 1/342 “Al-Mukhtarat
Al-Jaliyah” 8/214]
Dan contoh lain: adalah binatang buas dan burung pemangsa yang
haram di makan.
Hukum bekas air liur
binatang buas seperti serigala, harimau dan singa, dan burung pemangsa seperti
elang adalah suci. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki, Syafi'i, dan sebuah
riwayat dari Ahmad. Dan dipilih oleh Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnu
Utsaimiin. Dan ini adalah Fatwa yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah Saudi
Arabia.
Referensi:
((ٱلشَّرْحُ ٱلْكَبِيرُ)) لِلْدَّرْدِيرِ
(١/٣٤، ٣٥)، ((مَوَاهِبُ ٱلْجَلِيلِ)) لِلْحَطَّابِ (١/١٠٧)، وَيُنْظَرُ: ((ٱلْمَدُونَةُ
ٱلْكُبْرَى)) لِسَحْنُونَ (١/١١٥). ((ٱلْمَجْمُوعُ)) لِلْنَّوَوِيِّ (١/١٧١)، وَيُنْظَرُ:
((ٱلْأُمُّ)) لِلشَّافِعِيِّ (١/١٨). ((ٱلشَّرْحُ ٱلْكَبِيرُ)) لِشَمْسِ ٱلدِّينِ ابْنِ
قُدَامَةَ (١/٣١٠).
Ibnu al-Mundzir berkata:
(ثَابِتٌ عَنْ نَبِيِّ
اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ فِي الْهِرَّةِ: ((لَيْسَتْ بِنَجِسٍ؛ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ
عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ))؛ فَحُكْمُ أَسْآرِ الدَّوَابِّ الَّتِي لَا تُؤْكَلُ
لُحُومُهَا، حُكْمُ سُؤْرِ الْهِرِّ، عَلَى أَنَّ كُلَّ مَاءٍ عَلَى الطَّهَارَةِ إِلَّا
مَا أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَيْهِ أَنَّهُ نَجِسٌ، أَوْ يَدُلُّ عَلَيْهِ كِتَابٌ
أَوْ سُنَّةٌ).
(Telah ada ketetapan
dari Nabi Allah ﷺ bahwa dia berkata tentang kucing:
"Ia tidak najis; ia adalah hewan yang senantiasa mengitari kalian ".
Maka hukum bekas air liur semua hewan peliharaan yang dagingnya tidak halal
dimakan hukumnya sama dengan hukum bekas air liur kucing. Dengan ketentuan
hukum bahwa semua air adala suci, kecuali yang disepakati secara ijma' oleh
para ahli bahwa itu adalah najis, atau berdasarkan dari al-Quran atau sunnah.”
(((Al-Isyraaf)) (1/160)
Ibnu Utsaimin berkata:
(ٱلظَّاهِرُ أَنَّ ٱلصَّحِيحَ هُوَ
أَنَّهَا- أَيْ: أَسْآرُ سِبَاعِ ٱلْبَهَائِمِ وَجَوَارِحِ ٱلطَّيْرِ- طَاهِرَةٌ؛ لِأَنَّنَا
لَوْ قُلْنَا بِأَنَّهَا نَجِسَةٌ لَأَدَّى ذٰلِكَ إِلَى مَشَقَّةٍ عَلَى ٱلنَّاسِ؛
فَإِنَّهُ يُوجَدُ مِنَ ٱلْغُدْرَانِ فِي ٱلْبَرِّ مَا هُوَ دُونَ ٱلْقُلَّتَيْنِ،
وَلَا شَكَّ أَنَّ ٱلسِّبَاعَ وَٱلطُّيُورَ تَرِدُ هٰذَا ٱلْمَاءَ، فَإِذَا قُلْنَا
بِأَنَّهُ نَجِسٌ صَارَ بِهٰذَا مَشَقَّةٌ عَلَى ٱلنَّاسِ، وَٱلنَّبِيُّ عَلَيْهِ ٱلصَّلَاةُ
وَٱلسَّلَامُ- فِيمَا يَظْهَرُ لَنَا- أَنَّهُ كَانَ يَمُرُّ بِهٰذِهِ ٱلْمِيَاهِ،
وَيَتَوَضَّأُ مِنْهَا.)
(Tampaknya yang benar
dan shahih adalah bahwa semua itu -yaitu: bekas air liur binatang buas dan
burung pemangsa- adalah SUCI, karena jika kita mengatakan bahwa itu adalah
najis, maka ini akan menyebabkan kesulitan dan keberatan bagi orang-orang,
karena ada sebagian genangan air yang kurang dari dua qullah, dan tidak ada
keraguan bahwa binatang buas dan burung yang melintasi air ini, jadi jika kita
mengatakan bahwa itu adalah najis, maka itu akan menjadi beban yang menyulitkan
bagi orang-orang, dan Nabi ﷺ - seperti yang nampak pada kami - bahwa
beliau ﷺ
biasa melewati genangan air seperti ini
dan berwudhu dengannya.) [[Situs resmi Ibnu Utsaimin - Dari kaset-kaset yang
menjelaskan kesucian dari kitab Al-Kafi]].
Al-Lajnah ad-Daa'imah Lil Iftaa Saudi Arabia berkata:
(الراجِحُ طَهارةُ سُؤرِ
البَغلِ والحِمارِ الأهليِّ وسِباع البهائم، كالذِّئبِ والنَّمِرِ والأسدِ، وجوارح
الطَّير كالصَّقر والحِدَأة)
(Yang paling benar
adalah sucinya begas air liur baghal, keledai peliharaan, dan binatang buas,
seperti serigala, harimau, singa, dan burung pemangsa, seperti elang dan burung
layang-layang). ((Fatwa Al-Lajnah ad-Daa'imah - Grup Satu)) (5/380 No. 8052).
DALIL KE 2:
Dari [Abu Tsa'labah Al Khusyani]:
أَنَّهُ سَأَلَ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبُخُونَ
فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا وَإِنْ لَمْ
تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
bahwa ia pernah
bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Sesungguhnya kami bertetangga
dengan orang ahli kitab sementara mereka merebus babi di dalam kuali mereka dan
minum khamr dalam bejana mereka?"
Kemudian Rasulullah ﷺ
bersabda: "Apabila kalian
mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah padanya, dan apabila kalian tidak
mendapatkan selainnya maka cucilah menggunakan air dan makan serta
minumlah!"
[HR. Abu Daud no.
3839 dan Ahmad. Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud]
Sementara dalam lafadz Bukhori dan Muslim adalah sbb:
قُلتُ: يا نَبِيَّ
اللَّهِ، إنَّا بأَرْضِ قَوْمٍ مِن أهْلِ الكِتَابِ، أفَنَأْكُلُ في آنِيَتِهِمْ؟
وبِأَرْضِ صَيْدٍ، أصِيدُ بقَوْسِي، وبِكَلْبِي الذي ليسَ بمُعَلَّمٍ وبِكَلْبِي
المُعَلَّمِ، فَما يَصْلُحُ لِي؟ قالَ: أمَّا ما ذَكَرْتَ مِن أهْلِ الكِتَابِ،
فإنْ وجَدْتُمْ غَيْرَهَا فلا تَأْكُلُوا فِيهَا، وإنْ لَمْ تَجِدُوا
فَاغْسِلُوهَا وكُلُوا فِيهَا، وما صِدْتَ بقَوْسِكَ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ
فَكُلْ، وما صِدْتَ بكَلْبِكَ المُعَلَّمِ، فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وما
صِدْتَ بكَلْبِكَ غيرِ مُعَلَّمٍ فأدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُلْ.
"Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah ahli kitab, apakah kami boleh
makan dengan bejana mereka? kami juga tinggal di daerah yang suka berburu; kami
berburu dengan tombak dan dengan anjing yang terlatih atau anjing yang belum
terlatih. Maka apa yang harus kami lakukan?"
Beliau menjawab:
"Berkenaan dengan ahli kitab sebagaimana yang kamu sebutkan, jika kamu
bisa mendapatkan bejana yang lain maka jangan kamu gunakan bejana mereka. Namun
jika kamu tidak mendapatkan yang lainnya, maka cuci dan makanlah dengannya.
Buruan yang kamu
dapat dengan tombakmu, setelah menyebut nama Allah, maka makanlah.
Buruan yang didapat
oleh anjingmu yang terlatih, setelah menyebut nama Allah saat melepasnya maka
makanlah.
Dan buruan yang
didapat oleh anjingmu yang tidak terlatih, jika kamu sempat menyembelihnya maka
makanlah."
[HR. Bukhori no. 5478
dan Muslim no. 1930]
Sebagian dari mereka
berdalil dengan hadits ini akan najisnya daging babi.
BANTAHAN:
Para ulama yang
berpendapat bahwa babi itu suci membantahnya dengan mengatakan:
"إِنَّ التَّحْرِيمَ
لَيْسَ لِنَجَاسَةِ الْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ وَلَكِنَّ لِخَشْيَةِ بَقَاءِ شَيْءٍ
مِنْ آثَارِهُمَا فَيَتَنَاوَلُهُمَا الْمُسْلِمُ وَيُؤَيِّدهُ أَنَّ النَّبِيّ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ مِنْ طَعَامِهِمَا."
Larangan dalam hadits
ini bukan karena najisnya minuman keras dan babi, melainkan karena takut masih
ada yang tersisa dari khamr dan babi di dalamnya, yang mengkhawatirkan seorang
Muslim memakannya. Dan itu bisa diperkuat bahwa Nabi ﷺ juga makan makanan dari mereka.
DALIL KE 3:
Dari Buraidah
Al-Aslami radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَعِبَ
بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ
Orang yang bermain
dadu (berjudi) seolah telah memasukkan tangannya ke dalam babi dan darahnya.
(HR. Muslim no. 2260)
Imam Al-Nawawi
berkata dalam Syarah Shahih Muslim 15/417:
“وَمَعْنَى (صَبَغَ يَده فِي
لَحْم الْخِنْزِير وَدَمه فِي حَال أَكْله مِنْهُمَا) وَهُوَ تَشْبِيه
لِتَحْرِيمِهِ بِتَحْرِيمِ أَكْلهمَا. وَاللَّهُ أَعْلَم. اهـ".
Yang dimaksud
(mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi ketika dia memakannya),
itu adalah analogi larangannya dengan larangan memakannya. Wallaahu a'lam
".
BANTAHAN:
Imam an-Nawawi
sendiri mengatakan dalam al-Majmu' 2/268:
"وَلَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ
وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ "
“Dan kami tidak
memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi ketika masih dalam keadaan
hidup".
DALIL KE 4:
Dari [Humaidah binti
'Ubaid bin Rifa'ah] dari [Kabsyah binti Ka'ab bin Malik] -dan waktu itu ia
masih menjadi isteri Ibnu Abu Qatadah-:
أَنَّ أَبَا
قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَسَكَبَتْ لَهُ وَضُوءًا فَجَاءَتْ هِرَّةٌ تَشْرَبُ
مِنْهُ فَأَصْغَى لَهَا أَبُو قَتَادَةَ الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ قَالَتْ
كَبْشَةُ فَرَآنِي أَنْظُرُ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا بِنْتَ أَخِي قُلْتُ نَعَمْ
قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ
مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
[Abu Qatadah]
pernah masuk menemuinya, lalu ia (Kabsyah binti Ka'ab) menuangkan air untuk
wudhu, lalu datanglah seekor kucing meminumnya (air wudhu), maka Abu Qatadah
memiringkan bejana tersebut agar kucing itu bisa minum (dengan leluasa),
Kabsyah berkata: 'Abu
Qatadah melihatku yang tengah memperhatikan dengan penuh keheranan', lalu ia
bertanya: 'Apakah kamu heran wahai anak saudaraku? ',
Aku menjawab: 'Ya,
benar',
Dia berkata lagi: '
Rasulullah ﷺ
pernah bersabda: ' (kucing) tidaklah
najis, hanya ia hewan yang seringkali berkeliaran dan mengelilingi (berada di
dekat) kalian' ".
[HR. Abu Daud (75),
Al-Tirmidzi (92), Al-Nasa'i (340), Ibnu Majah (367), dan Ahmad (22580), dan
kata-katanya adalah miliknya.
Di Shahihkan oleh
Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad dan al-Albaani dalam Shahih Abu
Daud no. 75]
FIQIH HADITS:
Hadits ini
menunjukkan bahwa hewan yang senantiasa mengitari kita dan berat bagi kita
untuk menghindari ; maka hukumnya adalah suci meski hewan tersebut haram
dimakan, misalnya kucing. Berbeda dengan babi, tidak mengitari kita, maka ia
najis.
BANTAHAN:
Justru sebaliknya,
hadits ini menunjukkan bahwa hewan yang dagingnya haram di makan itu tidak
najis, sebagaimana halnya kucing. Begitu juga keledai jinak, singa dan burung
elang.
DALIL KE 5:
Ibnu al-Mundhir
menukil Ijma' para ulama [konsensus] bahwa babi adalah Najis.
BANTAHAN:
Akan tetapi tentang
adanya Ijma ini tidaklah terbukti keabsahannya dan tidak valid, karena adanya
perbedaan pendapat tentang hal tersebut.
An-Nawawi berkata:
نَقَلَ ابْنُ
الْمُنْذِرِ فِي كِتَابِ الْإِجْمَاعِ إجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ عَلَى نَجَاسَةِ
الْخِنْزِيرِ وَهُوَ أَوْلَى مَا يُحْتَجُّ بِهِ لَوْ ثَبَتَ الْإِجْمَاعُ
وَلَكِنَّ مذهب مالك طهارة الخنزير مادام حَيًّا... وَلَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ
وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ
Ibnu al-Mundzir
menukil dalam kitab "Al-Ijma": Ijma' para ulama bahwa babi itu najis,
dan ini adalah dalil yang paling utama digunakan jika ijma' tersebut benar
adanya, namun pada kenyatannya madzhab Malik berpendapat bahwa babi itu suci
selama ia masih hidup …. dan kami tidak memiliki dalil yang jelas tentang
najisnya babi ketika masih hidup. [al-Majmu' 2/268].
DALIL KE 6:
Qiyas kepada Anjing.
Yakni dengan analogi atau Qiyas kepada hukum najisnya anjing, karena kondisi
babi lebih buruk darinya, karena anjing boleh dipelihara untuk kebutuhan, tidak
seperti babi, bahkan babi dianjurkan untuk dibunuh.
Banyak para ulama
yang berpendapat bahwa babi itu najis, baik babi itu hidup atau mati. Karena
Allah menggambarkannya sebagai Rijs [رِجْسٌ], dan Rijs adalah najis,
berdasarkan ayat [أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ]. Akan
tetapi itu hanya sebatas penafsiran bukan dalil qoth'i bahwa babi itu najis
'ain. Oleh karena itu sebagian para ulama berdalil dengan meng-qiyaskan atau
meng-analogikan babi dengan najis 'ainnya anjing. Karena babi lebih buruk
darinya, karena tidak boleh mengambil manfaat darinya.
BANTAHAN:
Salah satu syarat
sahnya dalam qiyas adalah: Hukum Asal yang di jadikan Qiyas Hukum harus
disepakati. Sementara hukum najisnya anjing itu diperselisihkan oleh para
ulama. Maka qiyas najisnya babi kepada najisnya anjing di sini tidak berlaku
dan tidak sesuai.
Berikut ini sekilas
tentang hukum asal [الأَصْلُ]:
Ashal (asal)
yaitu sesuatu yang di- nash -kan hukumnya yang menjadi ukuran atau
tempat menyerupakan/meng- qiyas -kan.
Di dalam istilah
ushul disebut ashal (الأَصْلُ) atau maqis
'alaih (المَقِيْسُ عَلَيْه) atau musyabbah bi h (المُشَبَّهُ بِهِ)
Ashal sebagai rukun
qiyas menurut sebagian ahli ushul adalah nash-nash, baik dari Al-Quran maupun
al-sunnah bahkan al-ijma'; karena berbicara qiyas adalah berbicara tentang
sumber pokok hukum. Maka syarat ashal dalam qiyas adalah harus berasal
dari nash al-Qur'an, al-Sunnah dan al-Ijma'.
DALIL KE 7:
Mereka yang
berpendapat Babi itu Najis mengatakan:
"إِنَّ الْأَصْلَ فِي
الْحَيَوَانَاتِ الَّتِي لَا تُؤْكَلُ لِحُرْمَتِهَا أَنَّهَا نَجِسَةٌ حَالَ
الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ وَلَكِنَّ اسْتُثْنِيَ مَا يَشُقُّ التَّحْرُزُ مِنْهُ
لِعِلَّةِ الطَّوَافِ وَهَذِهِ الْعِلَّةُ مُنْتَفِيَةٌ فِي الْخِنْزِيرِ فَهُوَ
نَجِسٌ."
Sesungguhnya hukum
asal setiap hewan yang haram dimakan adalah najis baik ketika masih hidup
maupun sudah mati. Kecuali hewan yang susah dihindari seperti kucing; Dengan
alasan atau illat karena ia selalu berkeliaran dan mengitari kita serta hidup
ditengah-tengah kita. Dan alasan ini tidak ditemukan pada babi, maka oleh sebab
itu babi adalah najis.
Dan Syeikh Bayan
berkata:
"هَذَا أَقْوَى دَلِيلٍ
فِي نَظَرِي عَلَى الْحُكْمِ بِنَجَاسَةِ كُلِّ حَيْوَانٍ مُحَرَّم
الْأَكْلِ." آمين.
“Ini adalah dalil
yang paling kuat, menurut pandangan saya, untuk menetapkan bahwa setiap hewan
yang diharamkan untuk dimakan adalah najis.”
BANTAHAN:
Kebanyakan para ulama
mengatakan:
Bahwa binatang buas
seperti serigala, harimau dan singa, dan burung pemangsa seperti elang yang
diharamkan dagingnya adalah suci. Ini adalah pendapat Madzhab
Maliki, Syafi'i, dan sebuah riwayat dari Ahmad. Dan dipilih oleh Ibnu
Al-Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnu Utsaimiin. Dan ini adalah Fatwa yang
dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia.
===***===
TIDAK SEMUA MAKANAN YANG DIHARAMKAN ITU NAJIS
Unta dan burung unta
haram dimakan bagi pemeluk agama Yahudi , namun tidak najis . Begitu pula Lemak
sapi dan kambing haram dimakan bagi mereka , namun tidak najis, bahkan halal
dimakan bagi mereka jika lemak itu melekat di tulang , dipunggung atau di dalam
perut .
Allah SWT berfirman :
﴿ وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا
حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ ۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ
اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۚ وَاِنَّا
لَصٰدِقُوْنَ ﴾
Dan kepada
orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan
kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali lemak yang melekat di punggungnya,
atau lemak yang dalam isi perutnya, atau lemak yang bercampur dengan tulang.
Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami
Mahabenar. (QS. Al-An'am: 146)
Dalam Tafsir
al-Jalalain dijelaskan :
(Dan kepada
orang-orang Yahudi) yaitu pemeluk agama Yahudi (Kami haramkan segala binatang
yang berkuku) maksudnya hewan yang jari-jari kakinya tidak terpisah-pisah
seperti unta dan burung unta.
(dan dari sapi dan
domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang tersebut) yaitu
lemak perut dan lemak pantat .
(Kecuali lemak yang
menempel di punggung keduanya) lemak yang menggantung pada
punggungnya (atau) yang menempel (di perut besar) yang ada di
lambung, kata jamak dari haawiyaa atau haawiyah.
(Atau lemak
yang bercampur dengan tulang) lemak yang menempel di tulang, maka jenis lemak
ini dihalalkan untuk mereka.
(Demikianlah) masalah
pengharaman ini (Kami hukum mereka) sebagai balasan (atas kedurhakaan mereka)
oleh sebab kelaliman mereka sendiri sebagaimana yang telah disebutkan dalam
surah An-Nisa (dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar) di dalam berita-berita
Kami dan janji-janji Kami. (Selesai)
Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya berkata :
" Ibnu Jarir
mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman, "Kami telah mengharamkan kepada
semua orang Yahudi semua hewan yang berkuku, yaitu hewan ternak dan burung
selagi kukunya tidak terbelah, seperti unta, burung unta, angsa, dan
bebek."
Ali ibnu Abu Talhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan kepada
orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku. (Al-An'am:
146) Yakni unta dan burung unta. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan
As-Saddi dalam suatu riwayatnya.
Sa'id ibnu Jubair
mengatakan, yang dimaksud ialah segala jenis hewan yang kukunya tidak terbelah.
Menurut suatu riwayat darinya, yang dimaksud ialah segala hewan yang terbelah
kukunya, antara lain ayam kalkun
YANG HARAM DIMAKAN ITU,
TIDAK MESTI NAJIS :Binatang-binatang yang
diharamkan atas orang-orang Yahudi tersebut dalam ayat diatas tidak di hukumi
najis . Begitu pula lemak yang diharamkan untuk dimakan dari binatang yang
disebutkan dalam ayat , tidak-lah najis , bahkan boleh memakan lemaknya yang
melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur
dengan tulang.
Referensi:
((ٱلشَّرْحُ ٱلْكَبِيرُ)) لِلْدَّرْدِيرِ
(١/٣٤، ٣٥)، ((مَوَاهِبُ ٱلْجَلِيلِ)) لِلْحَطَّابِ (١/١٠٧)، وَيُنْظَرُ: ((ٱلْمَدُونَةُ
ٱلْكُبْرَى)) لِسَحْنُونَ (١/١١٥). ((ٱلْمَجْمُوعُ)) لِلْنَّوَوِيِّ (١/١٧١)، وَيُنْظَرُ:
((ٱلْأُمُّ)) لِلشَّافِعِيِّ (١/١٨). ((ٱلشَّرْحُ ٱلْكَبِيرُ)) لِشَمْسِ ٱلدِّينِ ابْنِ
قُدَامَةَ (١/٣١٠).
0 تعليقات