PENGARUH "AL-ISTIHALAH (PERUBAHAN
SENYAWA)" DALAM MENSUCIKAN NAJIS
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
============
DAFTAR ISI:
- PENDAHULUAN
- MAKNA ٱلِاسْتِحَالَةُ
[PERUBAHAN SENYAWA]:
- PENJELASAN PERUBAHAN SENYAWA DALAM ILMU KIMIA:
- KEMIRIPAN AL-ISTIHAALAH [PERUBAHAN SENYAWA] DENGAN ISTILAH BERIKUT INI:
- PERTAMA: TRANSFORMASI:
- KEDUA: METAMORFOSIS:
- FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SENYAWA DAN GAMBARANNYA:
- FAKTOR-FAKTOR TERPENTING PENYEBAB AL-ISTIHAALAH/PERUBAHAN SENYAWA:
- HUKUM GLOBAL TENTANG MEMENFAATKAN BARANG NAJIS YANG TELAH BERUBAH SIFATNYA MENJADI SENYAWA LAIN
- RINCIAN HUKUM TENTANG BARANG NAJIS JIKA TELAH BERUBAH MENJADI SENYAWA LAIN [TELAH AL-ISTIHALAH]
- PERTAMA: AL-ISTIHAALH DENGAN CARA التّخَلُّلُ وَالتَّخْلِيْلُ [MIRAS MENJADI CUKA ATAU DI
JADIKAN CUKA]
- KE 1: FAKTOR التّخَلُّلُ/BERUBAH
JADI CUKA SECARA ALAMI:
- KE 2: FAKTOR التَّخْلِيْلُ/BERUBAH
MENJADI CUKA YANG NON ALAMI:
- Salah satu KISAH pada masa Nabi ﷺ sebelum diharamkannya MINUMAN KERAS.
- FATWA KONTEMPORER TENTANG AL-KOHOL, SUCI ATAU NAJIS ???:
- KEDUA: AL-ISTIHAALAH DENGAN API [النَّارُ].
- KETIGA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الاسْتِهْلاَكُ/PELENYAPAN]
- KEEMPAT: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [المُكَاثَرَةُ/DIDOMINASI OBJEK SUCI]
- KELIMA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الاِخْتِلاَطُ] PEMBAURAN.
- KEENAM: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الدَّبْغُ/PENYAMAKAN KULIT]
- KETUJUH: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [العَمَلُ الكِيْمَاوِيّ/PROSES KIMIA]
- RINGKASAN DAN KESIMPULAN:
- FATWA SIMPOSIUM ORGANISASI ISLAM UNTUK ILMU-ILMU KEDOKTERAN
- FATWA Majalah Akademi Fiqh Islam Internasional
****
بِسْمِ ٱللّٰهِ ٱلرَّحْمٰنِ
ٱلرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Salah satu perkembangan baru dalam
kehidupan modern kita saat ini adalah bahwa sebagian yang didatangkan dari
non-muslim seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain yang digunakan dan
dimanfaatkan manusia ada sebagian yang berasal dari bahan-bahan yang najis.
Dan yang sudah dimaklumi bersama bahwa
yang najis itu tidak dihalalkan bagi seorang Muslim, karena Allah SWT
berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ
"Dan yang menghalalkan segala yang
baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka". [QS.
al-A'raf: 157]
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ
اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ
عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah,
yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam
(anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik [QS. Al-Maidah: 3].
Di antara alasan pelarangan hal-hal ini
adalah kenajisannya, baik dalam secara fakta maupun secara hukum.
Namun, senyawa zat najis ini dapat
berubah - baik dengan sendirinya atau dengan tindakan eksternal - menjadi
senyawa lain yang berbeda dari aslinya, seperti perubahan khamr menjadi cuka,
atau bangkai menjadi abu, debu, atau garam...,
Dalam hal ini, apakah hukum zat-zat ini
setelah terjadi al-istihaalah [perubahan senyawa menjadi objek-objek baru],
hukumnya masih tetap pada hukum yang awal dalam hal kenajisannya dan
keharamannya ?
Atau apakah zat-zat itu berubah
mengikuti hukum objek baru dan menghukumi nya suci dan halal ?
Inilah yang akan kami bahas dalam
tulisan ini, insya Allah.
====***===
MAKNA PERUBAHAN
SENYAWA [ٱلِاسْتِحَالَةُ]:
Makna [ٱلِاسْتِحَالَةُ]
dalam bahasa adalah :
الْانْقِلَاب
وَالتَّغَيُّر مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ. أَوْ هِيَ تَغَيُّرُ الشَّيْء عَنْ
طَبْعِهِ وَوَصْفِهِ
Inversi dan perubahan dari satu keadaan
ke keadaan lain. Atau ia adalah perubahan sesuatu dari karakternya dan
deskripsinya. [Al-Misbah Al-Munir: oleh Al-Fayoumi: 1/73.]
Adapun [ٱلِاسْتِحَالَةُ]
dalam terminologi para ahli Fiqih, maka dalam مَجَلَّةُ مَجْمَعُ ٱلْفِقْهِ ٱلْإِسْلَامِيِّ ٱلدُّوَلِيِّ di katakan:
ٱلِاسْتِحَالَةُ في
الاصْطِلاَحِ الفِقْهِي: تَغَيُّر حَقِيقَة المَادَّة النَّجِسَة أو المُحَّرَّم
تَنَاوُلُهَا، وَانْقِلَاب عَيْنِهَا إِلَى مَادَّة أُخْرَى مُخْتَلِفَة عَنْهَا
فِي الاسْمِ وَالْخَصَائِص وَالصِّفَات، وَيُعَبَّر عَنْهَا فِي الاصْطِلَاح
العِلْمِي الشَّائِع بِشَأْنِهَا: "كُلُّ تَفَاعُل كِيمَائِي يُحَوِّل
الْمَادَّة إِلَى مُرَكَّب آخَر".
Makna al-Istihaalah dalam terminologi
fikih adalah: perubahan hakikat suatu zat najis atau yang haram untuk
dikonsumsi, dan perubahan zatnya menjadi zat lain yang berbeda darinya dalam
nama, kekhususan dan sifat-sifat.
Dan ini dinyatakan dalam terminologi
ilmiah yang beredar viral tentang AL-ISTIHAALAH adalah:
"كُلُّ تَفَاعُلٍ
كِيْمَائِيٍّ يُحَوِّلُ المَادَةَ إِلَى مُرَكَّبٍ آخَرَ"
"SETIAP REAKSI KIMIA YANG
MENGUBAH SUATU ZAT MENJADI SENYAWA LAIN"
Contohnya: seperti transformasi minyak
dan lemak dari berbagai sumber menjadi sabun. Dan penguraian zat menjadi
berbagai komponennya seperti pelarutan minyak dan lemak menjadi asam lemak dan
gliserin.
[Sumber: مَجْلِسُ مَجْمَعُ ٱلْفِقْهِ
ٱلْإِسْلَامِيِّ ٱلدُّوَلِيِّ
(Akademi Fiqh Islam
Internasional) yang berasal dari Organisasi Kerjasama Islam, bersidang dalam
sidangnya yang ke 22 di Kuwait, pada periode: 2-5 Jumada II 1436 H, bertepatan
dengan: 22-25 Maret 2015 M]
Dan makna terminologi lainnya yang
menarik perhatian kita adalah:
"انقلابُ العَينِ
النَجِسَةِ إلى عَينِ أُخْرَى جَدِيدَةٍ مُبَايِنَةٍ لَهَا، كَانقِلَابِ الخَمْرِ
خَلًّا، وَتَحَوُّلِ دَمِ الغَزَالِ مِسْكًا، وَالعَلَقَةِ وَالنَّطْفَةِ
مُضْغَةٌ، وَالزَيْتِ المُتَنَجِّسِ صَابُونًا".
Perubahan [transformasi] objek najis
menjadi objek baru lain yang berbeda darinya, seperti transformasi khamr
[miras] menjadi cuka, transformasi darah rusa menjadi minyak wangi kesturi,
gumpalan darah dan air mani menjadi janin, dan minyak najis menjadi sabun.
[Baca: أَثَرُ
ٱلِاسْتِحَالَةِ فِي تَطْهِيرِ ٱلْمَوَادِّ ٱلنَّجِسَةِ وَحِلِّيَّتِهَا Oleh Muhammaf ar-Rauky, Al-Qomus
Al-Muhiith: 2/374 dan Mukhtar Ash-Shihah: 181]
Berdasarkan terminologi diatas maka konsekwensinya adalah sbb:
Pertama:
ٱلْمُرَكَّبَاتُ ٱلْإِضَافِيَّةُ
ذَاتُ ٱلْمَنْشَإِ ٱلْحَيَوَانِيِّ ٱلْمُحَرَّمِ أَوِ ٱلنَّجِسِ ٱلَّتِي تَتَحَقَّقُ
فِيهَا ٱلِاسْتِحَالَةُ؛ تُعْتَبَرُ طَاهِرَةً حَلَالَ ٱلتَّنَاوُلِ فِي ٱلْغِذَاءِ
وَٱلدَّوَاءِ۔
Senyawa yang ditambahkan yang berasal dari
hewan yang diharamkan atau najis di mana proses al-Istihalah [transformasi]
telah terpenuhi ; maka dianggap suci dan dihalalkan untuk dikonsumsi dalam
makanan dan obat-obatan.
Kedua:
ٱلْمُرَكَّبَاتُ ٱلْكِيمْيَائِيَّةُ
ٱلْمُسْتَخْرَجَةُ مِنْ أُصُولٍ نَجِسَةٍ أَوْ مُحَرَّمَةٍ كَالدَّمِ ٱلْمَسْفُوحِ
أَوْ مِيَاهِ ٱلْمَجَارِي وَٱلَّتِي لَمْ تَتَحَقَّقْ فِيهَا ٱلِاسْتِحَالَةُ؛ لَا
يَجُوزُ ٱسْتِخْدَامُهَا فِي ٱلْغِذَاءِ وَٱلدَّوَاءِ۔
Senyawa kimia yang diambil dari sumber
najis atau haram seperti darah yang tertumpah atau air limbah najis, di mana
proses al-istihaalah [transformasi] belum tercapai ; maka tidak diperbolehkan
untuk menggunakannya dalam makanan dan obat-obatan.
Misalnya: makanan yang ditambahkan
cairan darah, seperti sosis yang diisi dengan darah, bubur yang mengandung
darah (puding hitam) dan hamburger yang mengandung darah, makanan bayi yang
mengandung darah, pasta darah, sup dengan darah dan sejenisnya, dianggap
makanan najis dan dilarang. untuk dimakan, karena mengandung cairan darah yang
tidak terbukti terjadinya al-istihaalah [perubahan senyawa].
Adapun plasma darah, yang dianggap
sebagai pengganti putih telur yang murah - dan dapat digunakan dalam pancake,
sup, bubur (puding), roti, produk susu, obat-obatan dan makanan anak-anak, yang
dapat ditambahkan ke tepung, maka Islamic Organization for Medical Sciences
dalam simposium Tentang: "ZAT HARAM DAN NAJIS DALAM MAKANAN DAN
OBAT-OBATAN " menganggap bahwa itu adalah zat yang berbeda dari
darah dalam nama, sifat dan sifat, sehingga tidak memiliki aturan darah.
Meskipun ada sebagian dari mereka yang hadir berpendapat sebaliknya..."
Sumber:
1]- Rekomendasi [تَوْصِيَات] Simposium Fikih Kedokteran Ke. 9/مَجَلَّةُ ٱلْمَجْمَعِ ٱلْفِقْهِيِّ , Edisi 10, Bagian 2/ 461-463.
2] “Fiqh an-Nawaziil” oleh Dr. Muhammad
al-Jizani (4/263)].
3] Fatwa Syekh Hussamuddin 'Afaanah
dalam " مَا ٱلْفَرْقُ
بَيْنَ ٱلْكُحُولِ وَٱلْخَمْرَةِ؟".
===***===
PENJELASAN PERUBAHAN SENYAWA DALAM ILMU KIMIA:
Terjadinya Perubahan di sini mungkin
bisa dinamakan pula dengan "perubahan Kimia". Yaitu perubahan pada
suatu zat yang mengubah sifat-sifat kimianya sehingga menghasilkan zat baru.
Mengapa zat baru? Karena zat baru
memiliki struktur molekul yang berbeda dengan sebelumnya. Ada penyusunan ulang
atom dari suatu zat dan muncul perubahan sifat kimia dan komposisinya.
Jadi Perubahan kimia merupakan fenomena
perubahan zat tertentu yang terjadi karena reaksi kimia sehingga menghasilkan
suatu zat baru.
Contohnya: Ketika anda membakar kertas
dan kertas itu berubah menjadi abu, sejatinya anda telah menyaksikan perubahan
kimia itu di depan mata anda.
SENYAWA: adalah Zat yang terdiri dari dua
unsur atau lebih yang terbentuk melalui reaksi kimia. Oleh karena itu, senyawa
juga dapat diartikan sebagai suatu zat tunggal yang dapat diuraikan
menjadi zat-zat lain yang lebih sederhana melalui reaksi kimia. Dengan demikian
senyawa dapat diuraikan menjadi unsur-unsur pembentuknya.
Arti ZAT TUNGGAL itu
sendiri adalah zat yang terdiri dari sejenis zat zat tunggal atau zat yang
terdiri dari unsur dan senyawa
Adapun arti UNSUR:
adalah zat tunggal atau zat murni yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi
zat yang lebih sederhana melalui reaksi kimia. Karena unsur adalah bahan dasar
yang menyusun segala macam materi. [Encyclopedia Britannica]
----***----
KEMIRIPAN AL-ISTIHAALAH [PERUBAHAN SENYAWA] DENGAN ISTILAH BERIKUT INI:
PERTAMA:
TRANSFORMASI:
Ada sedikit kemiripan antara
al-Istihaalah dengan istilah TRANSFORMASI, yang artinya: perubahan rupa
(bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) atau perubahan struktur gramatikal
menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata
kembali unsur-unsurnya.
Namun transformasi sering digunakan
seseorang dalam menilai penampilan orang lain karena lama tidak bertemu dengan
waktu yang agak lama sehingga ada perubahan dalam bentuk fisik seseorang.
Bukan hanya perubahan bentuk fisik atau
sifat tetapi transformasi bisa dikaitkan dengan mengubah struktur dasar menjadi
struktur lahir dengan menerapkan kaidah transformasi. Dan juga bisa diartikan
perubahan tempat yang beralih fungsi, misal: rumah kosong transformasi menjadi
cafe.
Sinonim Transformasi adalah:
Transfigurasi, Mutasi, Peralihan, Variasi, Transposisi, Alternasi, Renovasi,
Permutasi, Konversi Dan Transisi.
KEDUA: METAMORFOSIS:
Metomorfosis adalah perubahan bentuk
secara bertingkat yang dialami beberapa hewan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Contoh hewan yang mengalami
Metomorfosis adalah nyamuk, lalat, kupu-kupu dan katak.
Tahapannya dimulai dari fase telur,
larva, pupa (kepompong) dan imago (dewasa).
===***===
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SENYAWA DAN GAMBARANNYA:
Al-Istihaalah pada asalnya adalah:
“إِنْقِلَابُ ٱلشَّيْءِ بِذَاتِهِ
وَبِفِعْلٍ طَبْعِيٍّ إِلَى شَيْءٍ آخَرَ، دُونَ أَنْ يَكُونَ ذٰلِكَ بِفِعْلِ فَاعِلٍ".
"Perubahan sesuatu [transformasi]
dengan sendirinya dan dengan proses alami menjadi sesuatu yang lain, tanpa
adanya campur tangan seseorang ".
Akan tetapi para ahli Fiqih juga
menggunakan istilah ini untuk perubahan sesuatu [transformasi] dengan adanya
peran aktif seseorang agar menjadi sesuatu yang lain.
Dan jika mereka berbeda pendapat dalam
beberapa bentuk, apakah sama antara transformasi diri secara alami dan
transformasi melalui adanya tindakan aktif atau tidak?
Apa pun itu, ada banyak bentuk
Al-Istihaalah [perubahan], beberapa di antaranya karena sebab-sebab alami yang
tidak ada hubungannya dengan tindakan dan produk manusia, dan beberapa di
antaranya karena adanya peran aktif dan hasil produk manusia.
===***===
FAKTOR-FAKTOR TERPENTING PENYEBAB AL-ISTIHAALAH:
Pertama: Faktor (التّخَلُّلُ وَالتَّخْلِيْلُ)
[Perubahan khomr dengan sendirinya menjadi cuka dan merubahnya dengan
peran aktif menjadi cuka]
Seperti transformasi khomr (minuman
keras) menjadi cuka, baik secara spontan merusak sifat asli sebelumnya, atau
dengan memasukkan zat lain ke dalamnya, seperti mencampurkannya dengan cuka
juga, ragi, atau lainnya, atau dengan memindahkannya dari tempat teduh ke
tempat terbuka agar terkana matahari atau sebaliknya, atau dengan cara lain.
Kedua: Faktor Api [النَّارُ].
Contohnya seperti terbakarnya objek
yang najis hingga berubah menjadi abu, dan seperti mengubah tanah liat yang
najis menjadi tembikar, dan kismis [anggur kering] yang najis berubah menjadi
sirup dengan cara memasaknya dan merebusnya.
Ketiga: [الاسْتِهْلاَكُ
والمُكَاثَرَةُ]
Lenyap atau terminimalisir karena Terdominasi oleh banyaknya unsur lain:
Contohnya seperti zat najis jatuh ke
dalam zat suci, kemudian musnah dan lenyap di dalamnya dengan segala bagian dan
unsurnya, dan berubah menjadi zat murni, seperti bangkai hewan atau babi jatuh
ke ladang garam lalu berubah menjadi garam.
Demikian pula, sedikit kenajisan jatuh
ke dalam cairan suci yang mengalahkannya dan membuatnya menjadi bagian dari
yang suci.
Keempat: Faktor الاخْتِلاَط
بالأرْضِ والتَّقَادُمِ والتَّعَّرُضُ للعَوَامِل الطَّبِيْعِيَّة
[Bercampur dengan tanah, dalam tempo waktu yang lama, dan terpapar
faktor-faktor alam]:
Contohnya: seperti kotoran najis yang
jatuh ke tanah dan berubah menjadi debu setelah beberapa lama, atau berubah
menjadi bagian tanaman dan pohon, atau berubah menjadi lumpur kering. Atau
seperti terpapar atau sengaja dipaparkan dalam waktu yang lama di tempat
terbuka agar terkena matahari, hujan, dan angin, sehingga berubah menjadi zat
lain yang suci.
Kelima: Faktor Penyamakan Kulit [الدَّبَاغُ
= Tanner]:
Contohnya: Seperti penyamakan kulit
bangkai hewan, maka itu adalah mengubahnya menjadi zat yang suci yang bisa
digunakan untuk tempat tidur, pakaian, sepatu, wadah barang-barang dan aspek
penggunaan lainnya.
Keenam: Faktor Pengolahan Dengan Reaksi Kimia [العَمَلُ الكِيْمَاوِيُ].
Tindakan dengan zat kimia ini adalah
penyebab terluas dan paling berpengaruh dalam proses transformasi senyawa saat
ini. Maksud saya, transformasi objek yang najis menjadi objek yang lain melalui
aksi kimiawi. Karena tidak bisa ditutup-tutupi bahwa apa yang laboratorium
ilmiah ketahui saat ini tentang kemajuan besar dalam mekanisme dan sarana yang
memungkinkan ahli kimia mengubah beberapa zat yang najis menjadi zat yang suci.
Dan dengan lebih hati-hati mengembalikan
zat-zat yang najis ke asalnya dan menghimpun zat-zat yang sucinya dengan cara
mengontrol zat-zat najis lalu mengumpulkan unsur-unsurnya, dan memilah-milahnya
dari yang lain, agar memisahkannya darinya.
Dan hal ini masuk dalam katagori
peribahasa klasik berikut ini:
ٱلْخَمْرُ إِذَا صَارَتْ
مَادَّةً جَامِدَةً فَقَدْ ذَكَرَهَا خَلِيلٌ ٱلْمَالِكِيُّ مَعْطُوفَةً عَلَى ٱلطَّاهِرَاتِ۔
وَكَذٰلِكَ ٱنْقِلَابُ ٱلْعَيْنِ ٱلنَّجِسَةِ إِلَى صَابُونٍ
“Jika khamr [minuman keras] berubah
menjadi zat padat, maka Khalil Al-Maliki pernah menuturkannya bahwa khamr
tersebut diikutkan hukumnya pada yang Suci. Begitu pula perubahan objek najis
menjadi sabun".
===***===
HUKUM GLOBAL TENTANG MEMANFAATKAN BARANG NAJIS YANG TELAH BERUBAH "SIFATNYA" MENJADI "SENYAWA" LAIN
Telah disebutkan diatas bahwa perubahan
itu disebabkan oleh sejumlah faktor yang menghasilkan banyak bentuk materi
perubahan. Di sini penulis ingin menjelaskan hukum syariat tentang memanfaatkan
dari bahan-bahan tersebut dan menggunakannya untuk makanan, obat-obatan,
pakaian, perkakas, perabotan, dan lain-lain, yang dibutuhkan manusia dalam
kebiasaannya.
Hukum al-Istihalah [perubahan senyawa]
secara Umum dan garis besarnya:
Jika objek yang najis berubah menjadi
objek yang lain, maka ia menjadi suci dengan al-Istihalah [perubahan senyawa].
Ini adalah pendapat Mkadzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, dan satu riwayat dari Ahmad, dan itu adalah pilihan Ibnu Hazm
adz-Dzoohiri, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qoyyim, dan itu adalah fatwa dari
al-Lajnah ad-Daaimah, dan begitu pula perkataan sebagian besar para ulama.
[Lihat: ((Tabyiin al-Haqaa'iq)) oleh
Al-Zailai (6/220), dan lihat: ((Fath Al-Qadiir)) oleh Al-Kamal Ibnu Al-Hammam
(1/200). ((at-Taaj wal Ikliil)) oleh Al-Mawaaq (1/97), dan ((Al-Dzakhirah))
oleh Al-Qaraafi (1/188). ((Inshaf)) oleh Al-Mardawi (1/318). ((al-Muhalla))
oleh Ibnu Hazm (6/100). ((Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah)) (20/522). ((A'laam
Al-Muwaaqi'iin)) oleh Ibnu al-Qoyyim (2/14), dan lihat: ((Al-Sharh Al-Mumti')
oleh Ibn Utsaimiin (1/30-31), ((Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah - Majmuah Pertama)) (22/299).]
Ibnu Hazm adz-Dzoohiri berkata:
"ٱلْحَرَامُ إِذَا بَطَلَتْ صِفَاتُهُ ٱلَّتِي بِهَا سُمِّيَ بِذٰلِكَ ٱلِٱسْمِ ٱلَّذِي بِهِ نُصَّ عَلَى تَحْرِيمِهِ؛ فَقَدْ بَطَلَ ذٰلِكَ ٱلِٱسْمُ عَنْهُ، وَإِذَا بَطَلَ ذٰلِكَ ٱلِٱسْمُ سَقَطَ ٱلتَّحْرِيمُ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا حُرِّمَ مَا يُسَمَّى بِذٰلِكَ ٱلِٱسْمِ، كَٱلْخَمْرِ وَٱلدَّمِ وَٱلْمَيْتَةِ.
فَإِذَا ٱسْتَحَالَ ٱلدَّمُ لَحْمًا، أَوِ ٱلْخَمْرُ خَلًّا، أَوِ ٱلْمَيْتَةُ بِٱلتَّغَذِّي أَجْزَاءً فِي ٱلْحَيَوَانِ ٱلْآكِلِ لَهَا مِنَ ٱلدَّجَاجِ وَغَيْرِهِ، فَقَدْ سَقَطَ ٱلتَّحْرِيمُ، وَبِٱللّٰهِ تَعَالَى ٱلتَّوْفِيقُ.
وَمَنْ خَالَفَ هٰذَا
لَزِمَهُ أَنْ يُحَرِّمَ ٱللَّبَنَ؛ لِأَنَّهُ دَمٌ ٱسْتَحَالَ لَبَنًا، وَأَنْ يُحَرِّمَ
ٱلتَّمْرَ وَٱلزَّرْعَ ٱلْمُسْقَىٰ بِٱلْعَذِرَةِ وَٱلْبَوْلِ، وَلَزِمَهُ أَنْ يُبِيحَ
ٱلْعَذِرَةَ وَٱلْبَوْلَ؛ لِأَنَّهُمَا طَعَامٌ وَمَاءٌ حَلَالَانِ ٱسْتَحَالَا إِلَىٰ
ٱسْمٍ مَنْصُوصٍ عَلَىٰ تَحْرِيمِ ٱلْمُسَمَّىٰ بِهِ۔"
Sesuatu yang diharamkan, jika telah
hilang sifat-sifatnya yang disebut dengan nama yang diharamkan ; maka telah
hilang pula nama tersebut darinya, dan jika nama itu telah hilang, maka hukum
haramnya telah hangus. Karena penyebab di haramkannya itu karena disebut dengan
nama itu, seperti khamar [minuman keras], darah dan bangkai hewan. Maka Jika
darah itu berubah menjadi daging, atau khamr menjadi cuka, atau bangkai hewan
yang daging nya dikonsumsi oleh ayam dan lainnya lalu berubah menjadi daging ;
maka hukum haramnya menjadi hilang. Wabillaahi at-Taufiiq
Dan barang siapa yang menyelisihinya
[berseberangan dengan pendapat ini] maka kalau begitu dia juga wajib
mengharamkan susu ; Karena susu itu asalnya adalah darah yang telah diubah
menjadi susu, dan dia juga harus mengaharamkan kurma kurma dan tanaman yang
diairi dengan kotoran dan air seni. Dan juga harus menghalalkan kotoran dan air
seni karena keduanya itu dulunya adalah makanan dan air yang halal yang
kemudian berubah menjadi sesuatu yang dengan nama tersebut menjadi haram
hukumnya. [((al-Muhallaa)) (6/100)].
Dan Ibnu Taimiyah berkata:
(وقول القائل: إنَّها تَطهُر بٱلِاسْتِحَالَةُ
أصحُّ؛ فإنَّ النَّجاسةَ إذا صارت مِلحًا أو رَمادًا، فقد تبدَّلت الحقيقةُ،
وتبدَّلَ الاسمُ والصِّفةُ، فالنُّصوصُ المُتناولة لتحريمِ المَيتةِ والدَّمِ
ولَحمِ الخِنزير، لا تتناوَلُ المِلح والرَّمادَ والتُّرابَ، لا لفظًا ولا معنًى).
(Dan perkataan orang yang mengatakan:
Bahwa benda najis menjadi suci dengan al-Istihaalah [perubahan senyawa] itu
lebih shahih, karena jika benda najis berubah menjadi garam atau abu, maka
hakikatnya telah berubah, dan begitu juga nama serta sifat telah berubah.
Dalil-dalil yang membahas haramnya bangkai hewan, darah, dan babi tidak
mencakup haramnya garam, abu, dan tanah, baik dalam lafadznya maupun maknanya.
[((Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah)) (20/522)]
Ibnu al-Qoyyim berkata:
(وَعَلَىٰ هٰذَا ٱلْأَصْلِ؛ فَطَهَارَةُ
ٱلْخَمْرِ بِٱلِٱسْتِحَالَةِ عَلَىٰ وَفْقِ ٱلْقِيَاسِ، فَإِنَّهَا نَجِسَةٌ لِوَصْفِ
ٱلْخَبَثِ، فَإِذَا زَالَ ٱلْمُوجِبُ زَالَ ٱلْمُوجَبُ، وَهٰذَا أَصْلُ ٱلشَّرِيعَةِ
فِي مَصَادِرِهَا وَمَوَارِدِهَا، بَلْ وَأَصْلُ ٱلثَّوَابِ وَٱلْعِقَابِ؛ وَعَلَىٰ
هٰذَا فَٱلْقِيَاسُ ٱلصَّحِيحُ تَعْدِيَةُ ذٰلِكَ إِلَىٰ سَائِرِ ٱلنَّجَاسَاتِ إِذَا
ٱسْتَحَالَتْ).
(Dan menurut prinsip dasar dalam hal
ini, hukum suci-nya khamr [minuman keras] dengan al-istihaalah [perubahan
senyawa] maka itu sesuai dengan Qiyas [analogi], karena najis menggambarkan
sesuatu yang menjijikan, dan jika sesuatu yang mewajibkannya itu telah dihapus,
maka yang diwajibkannya juga dihapus.
Ini adalah dasar hukum Syar'i yang
terdapat dalam sumber-sumbernya dan referensi-referensinya. Dan bahkan dasar
untuk mendapatkan pahala dan hukuman. Berdasarkan hal ini, maka Qiyas yang
Shahih [analogi yang benar] adalah bahwa hukum al-Istihalah ini berlaku pula
pada semua benda-benda najis lainnya jika telah terjadi perubahan senyawa
[al-Istihalah]. ((A'laam Al-Muwaaqi'iin)) oleh Ibnu al-Qoyyim (2/14)
DALIL:
Mereka
berdalil dengan sbb:
Pertama: mereka berkata:
القياسُ على ما
أجمَعوا عليه من أنَّ الخَمرةَ إذا استحالتْ بنفْسِها وصارتْ خلًّا، كانت طاهرةً؛
فكذلك سائِرُ النَّجاساتِ إذا انقلَبَت إلى عينٍ طاهرةٍ، صار لها حُكمُ
الطَّاهراتِ
Analoginya didasarkan pada apa yang
disepakati dengan suara bulat [Ijma'], bahwa jika khamr [minuman keras] berubah
dengan sendirinya menjadi cuka, maka ia menjadi suci. Maka Hal yang sama
berlaku pula untuk semua benda najis lainnya, jika telah berubah menjadi benda
yang suci, maka hukumnya diperlakukan sebagai benda-benda yang suci. [((Majmu'
Fataawa Ibnu Taimiyah)) (20/522)]
Dalil kedua: mereka berkata:
أنَّ المعنى الذي
لأجْله كانت تلك العَينُ نَجسةً، معدومٌ في العَينِ التي استحالَت إليها؛ فلا معنى
لبقاءِ الاسمِ عليه، فالشَّرعُ رتَّبَ وَصفَ النَّجاسةِ على تلك الحقيقةِ، فينتفي
بانتفائِها
Makna yang karenanya benda itu adalah
najis, itu sudah hilang pada benda yang telah berubah menjadi benda lain ; maka
tidak ada artinya nama itu tetap berada di atasnya, karena syariat telah
mengatur sifat-sifat benda najis berdasarkan fakta dan hakikat itu, sehingga ia
ditiadakan dengan ketiadaannya. [((al-Fataawaa al-Kubroo)) oleh Ibnu Taimiyyah
(1/415, 5/313)].
====***=====
RINCIAN HUKUM TENTANG BARANG NAJIS TELAH BERUBAH MENJADI SENYAWA LAIN [TELAH BER-ISTIHALAH]
*****
PERTAMA: AL-ISTIHAALH DENGAN CARA التّخَلُّلُ وَالتَّخْلِيْلُ
[MIRAS MENJADI CUKA ATAU DI JADIKAN CUKA]
Maksudnya adalah: Perubahan karena
Faktor التّخَلُّلُ [berubah dengan sendirinya menjadi cuka] dan التَّخْلِيْلُ [merubahnya dengan peran aktif seseorang agar menjadi cuka]
====
KE 1: FAKTOR التّخَلُّلُ
(MIRAS BERUBAH JADI CUKA SECARA ALAMI):
Yakni: berubah dengan sendirinya
menjadi cuka tanpa rekayasa dan campur tangan manusia.
Para ulama telah sepakat bahwa jika
khamr [minuman keras] dengan sendirinya tanpa tindakan aktif berubah menjadi
cuka, maka itu dianggap suci dan diperbolehkan untuk diambil manfaat darinya.
Imam An-Nawawi - rahimahullah -
berkata:
"إِذَا ٱنْقَلَبَتِ ٱلْخَمْرُ
بِنَفْسِهَا خَلًّا فَتَطْهُرُ عِندَ جُمْهُورِ ٱلْعُلَمَاءِ، وَنَقَلَ عَبْدُ ٱلْوَهَّابِ
ٱلْمَالِكِيُّ فِيهِ ٱلْإِجْمَاعَ، وَحَكَىٰ عَنْ سُحْنُونٍ ٱلْمَالِكِيِّ أَنَّهَا
لَا تَطْهُرُ"
“Jika khamr berubah menjadi cuka dengan
sendirinya, maka itu menjadi suci menurut mayoritas ulama, dan Abd al-Wahhab
al-Maliki mengutip Ijma' [konsensus] mengenai hal itu, dan dia meriwayatkan
dari Sahnun al-Maliki bahwa itu tidak suci ”. [al-Majmu' 2/596].
Ini berdasarkan hadits-hadits berikut
ini:
Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin
Abdillah
أَنَّ النَّبِىَّ -
ﷺ - سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ
فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ ، وَيَقُولُ « نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ
الْخَلُّ»
“Bahwa Nabi Muhammad ﷺ meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau
menjawab: ‘Kami tidak memiliki apa pun kecuali cuka’.
Maka Nabi ﷺ
pun meminta cuka tsb
dan beliau makan dengan nya, dan beliau bersabda:
‘Lauk yang paling baik adalah cuka,
lauk yang paling baik adalah cuka’.” (HR Muslim no. 2051)
Makna “اَلإِدَامُ”:
Ibnul Atsir dalam “النهاية في غريب
الحديث
” berkata:
اَلإِدَامُ
بِاْلكَسْرِ وَاْلأُدْمُ بِالضَّمِّ مَا يُؤْكَلُ مَعَ اْلُخبْزِ أَيُّ شَيْءٍ
كَانَ اِنْتَهَى
(Al-idam اَلإِدَامُ
dengan hamzah di kasrahkan) dan (al-udmu اْلأُدْمُ
dengan hamzah di dhommahkan), yaitu apa saja yang di makan dengan roti. (Lihat
“تحفة الأحوذي” 465/5)
Jabir bin Abdillah ra berkata:
أَخَذَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ بِيَدِي ذَاتَ يَوْمٍ إِلَى مَنْزِلِهِ ، فَأَخْرَجَ إِلَيْهِ فِلَقًا
مِنْ خُبْزٍ ، فَقَالَ: مَا مِنْ أُدُمٍ ؟ فَقَالُوا: لَا إِلَّا شَيْءٌ مِنْ
خَلٍّ. قَالَ: فَإِنَّ الْخَلَّ نِعْمَ الْأُدُمُ. قَالَ جَابِرٌ: فَمَا زِلْتُ
أُحِبُّ الْخَلَّ مُنْذُ سَمِعْتُهَا مِنْ نَبِيِّ اللهِ ﷺ. وقَالَ طَلْحَةُ: مَا
زِلْتُ أُحِبُّ الْخَلَّ مُنْذُ سَمِعْتُهَا مِنْ جَابِرٍ
“Pada suatu hari Rasulullah ﷺ memegang tanganku untuk pergi ke rumahnya, lalu beliau
mengeluarkan beberapa keping roti, dan beliau berkata:
“apakah ada lauk pauk (الأُدُم)
“.
Mereka (keluarganya) menjawab:” Tidak
ada, kecuali ada sedikit dari cuka “.
Rasulullah ﷺ
bersabda: “ Sesungguhnya cuka lauk yang terbaik “.
Jabir berkata: “ Aku selalu menyukai
cuka sejak mendengarnya dari Nabi ﷺ”.
Tholhah berkata: “ Aku juga selalu
menyukai cuka sejak mendengar dari Jabir”. (HR. Muslim no. 2052)
Dari Ummu Hani` binti Abu Tholib
berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ فَقُلْتُ: لَا ، إِلَّا
كِسَرٌ يَابِسَةٌ وَخَلٌّ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "قَرِّبِيهِ ، فَمَا
أَقْفَرَ بَيْتٌ مِنْ أُدْمٍ فِيهِ خَلٌّ"
Rasulullah ﷺ
masuk kepadaku, lalu berkata: Apakah kamu punya sesuatu ?
Aku berkata: Tidak punya, kecuali roti
kering dan cuka “.
Nabi ﷺ
bersabda: “ Hidangkanlah kesini, suatu rumah tidak akan kering selama di
dalamnya ada cuka “.
(HR, Turmudzi no. 1841, dia berkata: “
Ini hadits Hasan ghoriib dari arah ini “. Dan hadits ini di hasankan oleh
al-Albaani dlm “سِلْسِلَةُ
ٱلْأَحَادِيثِ ٱلصَّحِيحَةِ”
no. 2220.
JENIS CUKA KESUKAAN NABI ﷺ:
Kami telah mencari di buku-buku hadits
dan riwayat, tetapi kami tidak menemukan sebuah hadits yang menunjukkan kepada
kita jenis cuka yang disukai oleh Nabi ﷺ
kecuali kemungkinan
besar cuka yang masyhur pada masa waktu itu adalah cuka anggur atau cuka kurma.
(Baca: “التمهيد”
karya Ibnu Abdil Barr 1/262, “الجراثيم” karya Ibnu Qutaibah (w. 276)
2/114, “تهذيب اللغة” karya al-Azhari 6/301 “المبسوط”
karya as-Sarkhosy 2/180, “القاموس المحيط” karya al-Fayruz Aabaadi hal.
994 dan “المدخل” karya Ibnul hajj 4/94).
Bahwa banyak cuka terbuat dari proses perubahan
dari Khomer ke cuka (ٱلِاسْتِحَالَةُ/perubahan alami). Dan
al-Khomer itu kebanyakan dari buah anggur dan kurma.
FIQIH HADITS:
Di dalam hadits-hadits terdapat hukum
halalnya cuka, dan bahwa itu adalah salah satu lauk pauk yang terbaik, dan
tidak ada seorang pun yang menyelisihi akan kehalalannya. Dan ini berlaku untuk
cuka, yang berasal dari khamr [minuman keras] lalu berubah menjadi cuka dengan
sendirinya dengan idzin Allah SWT. Dan karena illat pengharaman al-khamr adalah
memabukan dan intensitas penyanyi, dan itu akan hilang dengan berubah menjadi
cuka, dan jika illatnya hilang, maka hilang pula hukum ma'lulnya.
====
KE 2: FAKTOR التَّخْلِيْلُ
(MIRAS BERUBAH MENJADI CUKA YANG
NON ALAMI):
Yakni: perubahan khamr menjadi cuka
yang tidak alami melainkan karena ada rekayasa dan peran aktif manusia.
Ada dua cara yang berkenaan dengan
adanya rekayasa dan peran aktif:
-----
CARA PERTAMA: TANPA MENCAMPURKAN
SESUATU:
Yakni: tanpa mencampurkan sesuatu di
dalam nya, melainkan dengan sengaja membuka tutup wadah agar bisa mempercepat
proses perubahan menjadi cuka atau memindahkannya dari tempat teduh ke tempat
yang terkena matahari.
Dalama hal ini para ulama ahli fiqih
berbeda pendapat: Apakah dengan cara demikian itu bisa menjadi halal dan suci ?
Pendapat pertama: Halal dan suci. Ini adalah pendapat Madzhab Syafi'i
yang lebih Shahih dan juga riwayat dari madzhab Hanbali.
Pendapat kedua: Tidak Halal dan Tidak
Suci: Ini adalah pendapat Madzhab Hanbali dan salah satu wajah Madzhab Syafii
dalam.
[Lihat: Al-Majmu’ 2/594, Ma’uunat Uli
Al-Nuha fi Syarh Al-Muntaha 1/452].
------
CARA KEDUA: DENGAN MENCAMPURKAN
SESUATU:
Yakni: Ada campur tangan dan peran
aktif manusia dengan mencampurkan bahan atau zat lain ke dalam Khamr agar cepat
bereaksi menjadi cuka.
Maka dalam hal ini bagaimana hukumnya:
Halal atau tidak ? Suci atau tidak ?
ADA DUA PENDAPAT:
PENDAPAT PERTAMA:
Hukumnya suci dan halal. Di analogikan
dengan perubahan khamr menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa ada rekayasa dan
campur tangan manusia.
Ini adalah pendapat Madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki dan Ibnu Hazm Adz-Dzohiri. [Lihat: Fath al-Qadir 1/315, Mawahib
al-Jalil 1/139, al-Muhalla 1/124.]
Dan Ibnu Qudamah mengutip dari Abi
Al-Khattab Al-Hanbali bahwa ini adalah pandangan [وجه]
dalam Madzhab Imam Ahmad. [al-Mughni 3/10].
Dan itu adalah pendapat ats-Tsawri,
al-Awza'i, dan al-Laits ibn Sa'd. [Baca: Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: oleh
Al-Qurtubi: 6/290, dan Al-Majmu’ oleh Al-Nawawi: 2/579.
Dan itu adalah pendapat 'Athaa', Amr
bin Dinar dan al-Harits al-'Akliy. [Baca: Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: 10/338].
Dan itu adalah pilihan asy-Syawkani
dari kalangan ulama Muta'akhiriin. [Baca: As-Sail Al-Jarrar: 1/52]
Adapun dari Madzhab Hanafi, maka
Al-Kaasaani al-Hanafi mengatakan:
"فَأَمَّا إِذَا خَلَّلَهَا
صَاحِبُهَا بِعِلَاجٍ مِنْ خَلٍّ أَوْ مِلْحٍ أَوْ غَيْرِهِمَا، فَٱلتَّخْلِيلُ جَائِزٌ،
وَٱلْخَلُّ حَلَالٌ عِنْدَنَا"
“Adapun jika pemilik khamr melakukan
proses perubahan agar menjadi cuka dengan cara memasukan bahan cuka, garam,
atau yang lainnya, maka proses seperti ini diperbolehkan, dan cuka-nya halal
menurut kami.” [Baca: Bada'i ash-Shana'i': 5/114].
Dan adapun dari Madzhab Maliki maka itu
di sebutkan dalam riwayat Ashhab dari Imam Malik (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an
oleh Al-Qurtubi: 6/290)
Dan itu yang di sebutkan pula oleh
Khalil dalam "Mukhtashar" nya dan dia berkata, tentang sesuatu yang
tergolong suci:
"وخَمْرٌ تُحجِّرَ أو
خُلِّلَ"
“Dan khamr yang telah berubah menjadi
batu atau menjadi cuka.”
Syarahnya:
ٱلْخَمْرُ إِذَا خُلِّلَ
بِفِعْلِ فَاعِلٍ، أَوْ تَحَجَّرَ أَيْ صَارَ كَٱلْحَجَرِ فِي ٱلْيُبْسِ بِفِعْلِ فَاعِلٍ
يَصِيرُ طَاهِرًا، وَأَوْلَىٰ لَوْ تَخَلَّلَ بِنَفْسِهِ أَوْ تَحَجَّرَ بِنَفْسِهِ
Jika khamr jadi cuka oleh tindakan
aktif seseorang, atau mengeras kering seperti batu oleh tindakan seseorang,
maka itu berubah menjadi suci, dan lebih utama lagi jika berubah menjadi
cukanya itu dengan sendirinya atau menjadi batu dengan sendirinya. [Baca:
As-halul Madaarik 1/63].
Ad-Dasuuqi al-Maliki berkata:
" قَوْلُهُ "أَنْ خَلَّلَ" أَيْ بِطَرْحِ مَاءٍ أَوْ خَلٍّ أَوْ مِلْحٍ
أَوْ نَحْوِ ذٰلِكَ فِيهِ، وَمَحَلُّ طَهَارَتِهِ بِصِيرُورَتِهِ خَلًّا مَا لَمْ تَكُنْ
وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ قَبْلَ تَخْلِيلِهِ وَإِلَّا فَلَا"
“Perkataannya: “memprosesnya menjadi
cuka ” yakni dengan memasukkan air atau cuka atau garam atau sejenisnya ke
dalamnya. Dan itu dianggap suci ketika berubah menjadi cuka nya itu selama
tidak ada najis yang jatuh ke dalamnya sebelum melakukan proses perubahan, jika
tidak maka ia tidak suci dan tidak halal. [Hasyiyah ad-Dasuqi Alaa asy-Syarh
al-Kabiir 1/52]
PENDAPAT KEDUA:
Tidak Halal dan Tidak Suci. Artinya:
Tidak boleh seseorang sengaja memproses khamr menjadi cuka. Dan jika itu
terjadi, maka cuka tersebut tidak halal dan tidak suci..
Di antara mereka yang berpendapat
demikian adalah: Madzhab Syafi'i, Madzhab Hanbali, dan Madzhab Maliki dalam
riwayat Ibnu al-Qasim dan Ibnu Wahb.
[Baca: Al-Majmu’ oleh an-Nawawi 2/594,
Ma’wna Ola Al-Nuha 1/452 dan Al-Qurtubi: 6/290]
Dan ini adalah yang dipilih oleh Ibnu
Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Dan ini adalah fatwa al-Lajnah ad-Daaimah lil
Iftaa. Dan ini adalah yang dikatakan oleh sebagian besar para ulama.
[Baca: Majmu’ Fataawa Ibnu
Taymiyyah 21/483, Ighotsatul Lahfaan Ibnu Qoyyim 2/11, ((Fatwa al-Lajnah
ad-Daaimah - Grup Satu)) (109/22) dan Al-Majmu’ oleh an-Nawawi 2/594]
Al-Nawawi mengaitkan madzhab ini dengan
mayoritas para ulama. Dia berkata:
" فَٱلتَّخْلِيلُ عِندَنَا وَعِندَ ٱلْأَكْثَرِينَ حَرَامٌ، فَلَوْ فَعَلَهُ فَصَارَ
خَلًّا لَمْ يَطْهُرْ"
"Proses pencukaan khamr yang non
alami, menurut kami dan menurut mayoritas, adalah haram. Jika dia melakukannya
dan itu berubah menjadi cuka, maka itu tidak menjadi suci.” [al-Majmu': 2/576.]
Dan dia berkata di tempat lain:
" وَأَمَّا إِذَا خُلِّلَتْ بِوَضْعِ شَيْءٍ فِيهَا، فَمَذْهَبُنَا أَنَّهَا لَا
تَطْهُرُ، وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَٱلْأَكْثَرُونَ"
“Adapun jika menjadi cuka dengan cara
memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka pendapat kami adalah itu tidak mensucikan,
dan ini yang dikatakan Ahmad dan mayoritas.”[al-Majmu': 2/578]
Al-Khiroqi al-Hanbali berkata:
" وَٱلْخَمْرَةُ إِذَا أَفْسَدَتْ فَصُيِّرَتْ خَلًّا لَمْ تَزُلْ عَنْ تَحْرِيمِهَا،
وَإِنْ قَلَبَ ٱللّٰهُ عَيْنَهَا فَصَارَتْ خَلًّا فِيهِ حَلَالٌ".
“Dan khamr jika diproses menjadi cuka
maka ia tetap pada keharamannya, dan jika Allah yang merubah objeknya, lalu
menjadi cuka ; maka itu halal.”[Al-Mughni: 10/338]
Dan ini serupa dengan apa yang
dikatakan Imam Az-Zuhri, dan ini pula yang diriwayatkan dari Umar bin
Al-Khattab. [Al-Mughni: 10/338]
Ibn al-Qayyim berkata:
(إِذَا كَانَ لَهُ عَصِيرٌ فَخَافَ
أَنْ يَتَخَمَّرَ؛ فَلَا يَجُوزُ لَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ أَنْ يَتَّخِذَهُ خَلًّا؛ فَٱلْحِيلَةُ:
أَنْ يُلْقَىٰ فِيهِ أَوَّلًا مَا يَمْنَعُ تَخَمُّرَهُ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حَتَّىٰ
تَخَمَّرَ، وَجَبَ عَلَيْهِ إِرَاقَتُهُ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ حَبْسُهُ حَتَّىٰ يَتَخَلَّلَ،
فَإِنْ فَعَلَ لَمْ يَطْهُرْ)
(Jika dia memiliki jus lalu dia
khawatir itu akan berubah menjadi khamr [minuman keras], maka tidak
diperbolehkan baginya setelah itu untuk menjadikannya sebagai cuka.
Caranya agar halal adalah dengan
mencampurkan terlebih dahulu sesuatu yang bisa mencegahnya jadi khamr.
Maka jika tidak melakukannya sehingga
berubah menjadi khamr, maka wajib baginya untuk membuangnya, dan dia tidak
boleh menahannya hingga berubah menjadi cuka. Lalu jika dia melakukannya ; maka
itu tidak suci. [Ighotstullahfaan 2/11]
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daaimah yang
dipimpin oleh Syeikh Bin Baaz di nyatakan:
(إذا حُوِّلَتِ الخمرة إلى خلٍّ
بَقِيَت على تحريمِها، ولا تنقُلُها الإزالة عن حُكمِها؛ لَمَا في صحيحِ مُسلمٍ عن
أنس رَضِيَ اللهُ عنه: ((أنَّ النبيَّ ﷺ سُئِلَ عن الخمر تُتَّخذ خلًّا، فقال:
لا))، أمَّا إذا تخلَّلت بنَفسِها من دون عملِ أحدٍ؛ فإنَّها تطهُرُ بذلك وتُباحُ)
"Jika khamr [minuman keras]
dirubah menjadi cuka, maka itu tetap haram, dan perubahannnya tidak mengubah
hukumnya, berdasarlam apa yang ada dalam Sahih Muslim dari Anas radhiyallahu
'anhu:
سُئِلَ رَسولُ
اللهِ ﷺ عن الخَمرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قال: لا
(Rasulullah shallallahu alayhi wa
sallam ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka. Beliau berkata:
“ Tidak ”) [HR. Muslim no. 1983]
Adapun jika ia berubah menjadi cuka
dengan sendirinya tanpa peran siapa pun; maka itu suci dan mubah ".
((Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah - Grup Satu)) (109/22)
===***===
DALIL MASING-MASING PENDAPAT
******
DALIL PENDAPAT PERTAMA: Mereka Yang mengatakan suci dan halal:
Dalil ke 1:
Hadits Jaber sebelumnya, yaitu sabdanya ﷺ: "Lauk pauk terbaik adalah cuka." Ibnu Hazm berkata:
" فَعَمَّ عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ، وَلَمْ يُخَصَّ، وَٱلْخَلُّ لَيْسَ خَمْرًا"
"Jadi beliau ﷺ menyatakannya umum, dan tidak mengkhususkannya, dan cuka adalah bukanlah
khamr.” [Al-Muhalla: 1/125].
Dalil ke 2:
Qiyas [Analogi] terhadap khamr yang
berubah menjadi cuka dengan sendirinya.
Karena para ahli fikih telah sepakat
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa jika khamr berubah dengan
sendirinya lalu menjadi cuka, maka ia menjadi suci dan halal, maka bisa
dianalogikan juga kepadanya khamr yang menjadi cuka karena adanya peran
manusia. Karena adanya kesamaan konversi [illat yang dihasilkan], yaitu
berubahnya khamr menjadi cuka. Dan cuka itu halal dan suci.
Dalil ke 3:
Illat haramnya khamr adalah: memabukkan
dan bikin teler, dan itu bisa dihilangkan dengan dirubah menjadi cuka, dengan
demikian maka ia harus dihukumi suci dan halal, karena jika illatnya
dihilangkan, maka hilang pula hukumnya.
Dalil ke 4:
Di Qiyaskan atau di analogikan dengan
kulit bangkai hewan yang disamak. Kulit bangkai hewan diharamkan karena najis,
akan tetapi jika telah disamak maka menjadi suci dan boleh dimanfaatkan.
Jika demikian maka khamr yang di rubah
menjadi cuka bisa di analogikan dengan penyamakan kulit bangkai hewan karena
pada masing-masing keduanya khamr dan kulit bangkai terdapat najis yang
dihilangkan dengan proses yang dilakukan seseorang.
*****
DALIL PENDAPAT KE DUA: yang mengatakan najis dan tidak halal:
Dalil ke 1:
Dari Anas radhiyallahu 'anhu, dia
berkata:
سُئِلَ رَسولُ
اللهِ ﷺ عن الخَمرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قال: لا
(Rasulullah ﷺ
ditanya tentang khamr
yang dijadikan cuka. Beliau ﷺ
berkata:
“ Tidak ”) [HR. Muslim no. 1983]
Al-Nawawi mengatakan dalam syarahnya
tentang hadits ini:
"هٰذَا دَلِيلُ ٱلشَّافِعِيِّ
وَٱلْجُمْهُورِ، أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَخْلِيلُ ٱلْخَمْرِ، وَلَا تَطْهُرُ بِٱلتَّخْلِيلِ،
هٰذَا إِذَا خَلَّلْتَهَا بِخُبْزٍ أَوْ بَصَلٍ أَوْ خَمِيرَةٍ أَوْ غَيْرِ ذٰلِكَ
مِمَّا يُلْقَىٰ فِيهَا، فَهِيَ بَاقِيَةٌ عَلَىٰ نَجَاسَتِهَا، وَيَنْجُسُ مَا أُلْقِيَ
فِيهَا، وَلَا يَطْهُرُ هٰذَا ٱلْخَلُّ بَعْدَهُ أَبَدًا، لَا بِغَسْلٍ وَلَا بِغَيْرِهِ"
"Ini adalah dalil asy-Syafi'i dan
Jumhur, bahwa tidak diperbolehkan mentakhlil khamr menjadi cuka, dan tidak
menjadi sucikan dengan Takhlil. Ini jika anda merubah khamr menjadi cuka dengan
cara mencemplungkan roti atau bawang atau ragi atau lainnya ke dalam ; maka itu
hukumnya tetap najis. Dan apa yang dicemplungkan ke dalamnya juga menjadi
najis. Dan cuka tersebut tidak bisa suci selamanya, tidak juga dengan
mencucinya atau dengan cara lain". [Lihat: Syarah Al-Nawawi terhadap Sahih
Muslim: 13/152].
Dalil ke 2:
Hadits-hadits yang memerintahkan untuk
menumpahkan minuman keras, di antaranya:
Hadits Anas bin Malik, yang mengatakan:
“أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ
النَّبِيَّ ﷺ عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوا خَمْرًا ، قَالَ: أَهْرِقْهَا ! قَالَ:
أَفَلَا أَجْعَلُهَا خَلًّا ؟. قَالَ: لَا ".
"Bahwa Abu Thalhah bertanya kepada
Nabi ﷺ mengenai anak-anak yatim yang mewarisi khamer. Beliau bersabda:
"Tumpahkanlah khamer tersebut!" Abu Thalhah bertanya, "Bolehkah
aku jadikan cuka?" Beliau menjawab: "Tidak." [HR. Abu Daud no.
3675. Di shahihkan asy-Syaukani dalam Neil al-Awthaar 9/74 dan al-Albaani dalam
Shahih Abi Daud no. 3675]
Bantahan dari pendapat pertama:
أَنَّ ٱلْإِرَاقَةَ
إِنَّمَا كَانَتْ لِلزَّجْرِ وَحَمْلِ ٱلنَّاسِ عَلَى ٱلْإِقْلَاعِ، لِحَدَاثَةِ عَهْدِهِمْ
بِتَحْرِيمِهَا يَوْمَذَاكَ۔ وَأَنَّ أَحَادِيثَ ٱلْأَمْرِ بِٱلْإِرَاقَةِ مَنْسُوخَةٌ،
كَمَا أُمِرُوا فِي أَوَّلِ ٱلْأَمْرِ بِكَسْرِ آنِيَةِ ٱلْخَمْرِ وَشَقِّ ٱلظُّرُوفِ
Bahwa perintah untuk menumpahkan
minuman keras itu hanyalah untuk teguran dan mengantarkan orang-orang agar
berhenti dan out total dari minuman keras ; karena mereka berada pada masa
belum lama dan baru saja diharamkannya minuman keras saat itu.
Dan Hadits-hadits yang memerintahkan
untuk menumpahkan minuman keras itu sudah di mansukh [dihapus hukumnya]. Sama
halnya mereka juga dahulu diperintahkan untuk memecahkan bejana-bejana khamr
dan merobek wadah-wadah kulit untuk khamr agar mereka bisa menahan diri dari
khamr.
Jawaban atas bantahan:
Ibnu Taimiyyah menjawab ini - dan dia
adalah salah satu dari mereka yang membela madzhab larangan Takhlil Khamr - dan
dia berkata:
فَإِنْ قِيلَ:
هَذَا مَنْسُوخٌ لِأَنَّهُ كَانَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ فَأُمِرُوا بِذَلِكَ
كَمَا أُمِرُوا بِكَسْرِ الْآنِيَةِ وَشَقِّ الظُّرُوفِ لِيَمْتَنِعُوا عَنْهَا.
قِيلَ: هَذَا غَلَطٌ مِنْ وُجُوهٍ.
أَحَدُهَا: أَنَّ
أَمْرَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُنْسَخُ إلَّا بِأَمْرِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَلَمْ يَرِدْ بَعْدَ هَذَا نَصٌّ يَنْسَخُهُ.
الثَّانِي: أَنَّ
الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ بَعْدَ مَوْتِهِ عَمِلُوا بِهَذَا. كَمَا ثَبَتَ عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ: " لَا تَأْكُلُوا خَلَّ خَمْرٍ إلَّا
خَمْرًا بَدَأَ اللَّهُ بِفَسَادِهَا وَلَا جُنَاحَ عَلَى مُسْلِمٍ أَنْ
يَشْتَرِيَ مِنْ خَلِّ أَهْلِ الذِّمَّةِ ". فَهَذَا عُمَرُ يَنْهَى عَنْ
خَلِّ الْخَمْرِ الَّتِي قَصَدَ إفْسَادَهَا وَيَأْذَنُ فِيمَا بَدَأَ اللَّهُ
بِإِفْسَادِهَا وَيُرَخِّصُ فِي اشْتِرَاءِ خَلِّ الْخَمْرِ. مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يُفْسِدُونَ خَمْرَهُمْ وَإِنَّمَا يَتَخَلَّلُ
بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِمْ. وَفِي قَوْلِ عُمَرَ حُجَّةٌ عَلَى جَمِيعِ
الْأَقْوَالِ. الْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يُقَالَ الصَّحَابَةُ كَانُوا أَطْوَعَ
النَّاسِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
الْوَجْهُ
الثَّالِثُ: أَنْ يُقَالَ الصَّحَابَةُ كَانُوا أَطْوَعَ النَّاسِ لِلَّهِ
وَرَسُولِهِ وَلِهَذَا لَمَّا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ الْخَمْرُ أَرَاقُوهَا فَإِذَا
كَانُوا مَعَ هَذَا قَدْ نُهُوا عَنْ تَخْلِيلِهَا وَأُمِرُوا بِإِرَاقَتِهَا
فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْقُرُونِ أَوْلَى مِنْهُمْ بِذَلِكَ فَإِنَّهُمْ أَقَلُّ
طَاعَةً لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مِنْهُمْ.
“Jika dikatakan: Ini mansukh [hukumnya sudah dihapus] karena itu
berlaku pada awal Islam, maka mereka diperintahkan untuk melakukan hal itu
seperti halnya mereka diperintahkan untuk memecahkan bejana-bejana khamr dan
merobek wadah-wadah khamr dari kulit agar mereka menahan diri dari khamr,
maka jawabannya adalah bahwa ini salah karena beberapa aspek:
Salah satunya:
Bahwa perintah Allah dan Rasul-Nya
tidak dapat dimansukh [dibatalkan] kecuali dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada setelah itu nash yang memansukhnya.
Aspek kedua:
Bahwa Khulafaa Rosyidiin setelah wafat
nya Nabi ﷺ, meraka melakukan ini, sebagaimana terbukti dari Umar ibn
al-Khattab bahwa dia berkata:
“لَا تَأْكُلُوا خَلَّ خَمْرٍ
إلَّا خَمْرًا بَدَأَ اللَّهُ بِفَسَادِهَا وَلَا جُنَاحَ عَلَى مُسْلِمٍ
أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ خَلِّ أَهْلِ الذِّمَّةِ "
“Jangan makan cuka khamr kecuali khamr
yang Allah menghendaki nya jadi cuka. Dan Tidak ada dosa bagi seorang Muslim
untuk membeli cuka dari non muslim ahli dzimmah ".
Maka Ini Umar, dia melarang cuka dari
khamr yang sengaja dirusak agar menjadi cuka, dan dia mengizinkan cuka yang
Allah menghendakinya, dan mengidzinkan pembelian cuka yang asalnya khamr dari
Ahli Kitab, alasannya karena mereka tidak sengaja memproses khamr mereka agar
menjadi cuka, melainkan berubah menjadi cuka tanpa kemauan mereka. Dan dalam
perkataan Umar terdapat argumen atas semua pendapat.
Aspek ketiga:
Dikatakan: Para sahabat adalah orang
yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan itulah sebabnya ketika khamr
diharamkan atas mereka, maka mereka pun menumpahkannya.
Jika mereka para sahabat saja yang
keadaannya seperti ini, mereka dilarang melakukan Takhlil khamr menjadi cuka
dan memerintahkan mereka untuk menumpahkannya, maka orang-orang yang datang
setelah mereka lebih berhak daripada para sahabat, karena mereka ini jika
dibanding dengan para sahabat maka mereka lebih kurang ketaatannya kepada Allah
dan Rasul-Nya daripada mereka. [Majmu’ Fataawa Ibnu Taymiyyah 21/484]
Bantahan:
Bantahan terhadap perkataan Ibnu
taimiyah: " membolehkan pembelian cuka khamr dari Ahli Kitab, karena cuka
dari mereka adalah alami, mereka tidak sengaja merubah khamr mereka agar
menjadi cuka, melainkan berubah menjadi cuka dengan sendirinya tanpa kemauan
mereka".
Jika seandainya benar bahwa cuka yang
dari ahli Kitab itu cuka alami, yaitu dihasilkan dari khamr yang berubah
menjadi cuka dengan sendirinya tanpa rekayasa, maka tentunya stock yang ada
dipasar sangat lah sedikit dan tidak akan bisa mengcover kebutuhan masyarakat.
Sementara kebutuhan terhadap cuka pada masa itu sangat tinngi, sehingga Nabi ﷺ sendiri dalam sehari-harinya senantiasa mengkonsumsi cuka sebagai lauk
pauk, bahkan beliau ﷺ bersabda: " Sebaik-baiknya lauk
pauk adalah cuka '.
Adapun Nabi ﷺ
pada saat itu
melarang para sahabatnya mentakhlil khamr menjadi cuka, maka tujuannya agar
tidak ada khamr [minuman keras] yang tersisa dan tersimpan dirumah-rumah kaum
muslimiin. Apalagi larangan minum keras itu baru saja turun dan berlakukan. Dan
biasanya sangat berat bagi seseorang untuk melepaskan diri dari kecanduan minum
keras. Maka Nabi ﷺ untuk hal ini mengembil sikap tegas
sebagai langkah سَدًّ الذَّرِيُعَة menutup celah agar para
sahabat cepat melupakannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan kapan tahun diharamkannya minuman keras ? Ada yang mengatakan: Pada
tahun ketiga setelah Perang Uhud. Dan Ada yang mengatakan: Tahun penaklukan
kota Mekkah di tahun kedelapan.
Dan Ada yang mengatakan pula: Selain
itu.
Salah satu KISAH pada
masa Nabi ﷺ sebelum diharamkannya MINUMAN KERAS.
Dalam hadits Shahih Bukhori dan Mulim:
Dari Husain bin Ali bahwa Ali radhiyallahu 'anhuma berkata:
"Dahulu saya pernah memiliki
seekor unta dari hasil pembagian harta rampasan perang Badr, pada hari itu pula
Rasulullah ﷺ memberikan seekor unta dari bagian seperlima.
Maka Ketika saya hendak membina rumah
tangga dengan Fatimah -puteri Rasulullah ﷺ- saya telah mengadakan perjanjian
dengan seorang tukang emas dari Bani Qainuqa' untuk pergi bersamaku sambil
membawa idzkhir (semacam tumbuh-tumbuhan) yang akan saya jual, dan uang hasil
penjualan itu dapat saya pergunakan untuk penyelenggaraan pernikahan saya.
Pada saat mempersiapkan barang-barang
bagi keperluan kedua unta tersebut, seperti pelana, karung dan tali. Yang mana
Saat itu kedua unta saya terikat di samping rumah seorang Anshar, dan tiba-tiba
saya mendapati kedua unta saya -setelah mempersiapkan barang-barang yang perlu
dipersiapkan- sudah terpotong-potong punuknya, terbelah perutnya dan telah
terambil hatinya.
Kedua mataku tidak kuasa melihat
pemandangan itu, lalu saya bertanya,
"Siapakah yang melakukan semua
ini?"
Orang-orang menjawab:
فَعَلَهُ حَمْزَةُ
بْنُ عَبْدِ الْمُطّلِبِ. وَهُوَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فِي شَرْبٍ مِنَ الأَنْصَارِ.
غَنّتْهُ قَيْنَةٌ وَأَصْحَابهُ. فَقَالَتْ فِي غِنَائِهَا: أَلاَ يَا حَمْزَ
لِلشّرُفِ النّوَاءِ. فَقَامَ حَمْزَةُ بِالسّيْف. فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا،
وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. فَأَخَذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا.
"Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan
dia sekarang berada di rumah ini bersama-sama dengan orang-orang Anshar yang
suka meminum minuman keras.
[Penyebab Hamzah memotong-motong dua unta tsb] Dia dan
teman-temannya sedang dihibur oleh seorang penyanyi perempuan yang dalam salah
satu nyanyiannya terselip kata-kata:
'Wahai Hamzah, ingatlah pada unta-unta
yang montok.'
Maka Hamzah pun berdiri dengan membawa
pedang terhunus. Lalu dia memotong punuk kedua unta tersebut dan ia belah perut
keduanya kemudian hati keduanya di ambil."
Ali berkata: "Kemudian saya langsung
pergi menemui Rasulullah ﷺ yang pada saat itu beliau sedang duduk
bersama Zaid bin Haritsah."
Ali berkata: "Melihat raut mukaku,
ternyata Rasulullah ﷺ tahu akan peristiwa yang terjadi."
Maka Rasulullah ﷺ bertanya: "Apa yang terjadi denganmu?"
Saya menjawab: "Wahai Rasulullah,
demi Allah belum pernah seumur hidupku melihat kejadian seperti hari ini.
Hamzah telah menyerang kedua untaku, dia telah memotong punuknya dan membelah
isi perutnya. Sekarang dia berada di rumah bersama teman-temannya yang suka
meminum minuman keras."
Ali berkata: "Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil jubahnya. Setelah mengenakannya beliau berangkat ke rumah yang
disebutkannya itu dengan berjalan kaki, sementara saya dan Zaid mengikutinya
dari belakang.
Sesampainya di depan pintu rumah yang
di dalamnya ada Hamzah, Rasulullah ﷺ
meminta izin masuk.
Para penghuni rumah pun memberikan izin masuk. Ternyata mereka adalah para
peminum minuman keras.
Lalu Rasulullah ﷺ mulai mencela Hamzah terhadap apa yang telah diperbuatnya. Pada saat
itu, kedua mata Hamzah memerah dan dia juga mulai mengamati Rasulullah ﷺ dari kedua lutut naik ke pusar dan akhirnya ke wajah beliau.
Kemudian Hamzah berkata:
وَهَلْ أَنْتُمْ
إِلاّ عَبِيدٌ لأَبِي؟
"Kalian ini tidak lain hanyalah
para budak bapakku."
Akhirnya Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa Hamzah sedang mabuk berat.
Lalu beliau mundur ke belakang dan
keluar. Melihat itu kami pun pergi keluar mengikuti beliau." [HR. Bukhori
no. 4003 dan Muslim no. 3661].
Kejadian Hamzah dalam hadits ini
terjadi sebelum perang Uhud karena beliau mati syahid pada waktu perang Uhud.
TARJIIH:
Nampaknya melalui dalil yang disebutkan
oleh masing-masing dari dua pendapat ini, maka dalil-dalil yang melarang itu
lebih kuat, karena itu lebih sesuai dengan nash-nash dalil syar'i, lebih jelas,
dan lebih hati-hati untuk agama.
Namun, ada dua peringatan yang harus
benar-benar diperhatikan:
Yang pertama: Perbedaan antara mereka
yang senantiasa menyimpan khamr untuk dijadikan cuka dan mereka yang tidak.
Yang pertama lebih parah dan lebih pantas dilarang, karena kepemilikan khamr
tidak diperbolehkan dalam keadaan apa pun.
Kedua: Dibedakan antara orang yang
merekayasa khamr menjadi cuka dengan hanya menahannya atau memindahkannya dari
tempat teduh ke bawah terik matahari atau sebaliknya, dengan orang yang
merekayasanya dengan cara memasukkan zat ke dalamnya. Maka rekayasa yang
pertama itu lebih ringan.
Karena yang pertama ini lebih seperti
apa yang terjadi ketika khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, dan kasus
rekayasa yang kedua tidak seperti itu, karena jika khamr dimasukkan ke dalam
sesuatu agar menjadi cuka, maka itu menjadi najis sebelum diproses menjadi
cuka, karena itu ia adalah najis, dan ketika ia berubah setelah itu maka ia
kembali menjadi najis oleh benda yang najis olehnya yang ditempatkan di
dalamnya.
Maka dari sini ada kelaziman: bahwa
jika khamr itu dicampur dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka tidak akan
bisa menghilangkan kenajisan darinya dalam keadaan apa pun walaupun telah
berubah menjadi cuka.
===***===
FATWA KONTEMPORER TENTANG AL-KOHOL, SUCI ATAU NAJIS ???:
Fatwa Syekh Hussamuddin 'Afaanah dalam
" مَا ٱلْفَرْقُ بَيْنَ ٱلْكُحُولِ
وَٱلْخَمْرَةِ؟".
وَأَمَّا ٱلْكُحُولُ
فَهُوَ مُحَرَّمٌ وَلَيْسَ بِنَجِسٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ دَلِيلٌ عَلَىٰ نَجَاسَتِهِ،
وَلَيْسَ كُلُّ مُحَرَّمٍ نَجِسًا، فَٱلْحَرِيرُ مُحَرَّمٌ عَلَى ٱلذُّكُورِ وَلَيْسَ
بِنَجِسٍ، وَٱلسَّمُّ حَرَامٌ وَلَيْسَ بِنَجِسٍ
“Adapun al-Kohol itu haram dan tidak
najis, karena tidak ada dalil yang membuktikan akan kenajisannya, dan tidak
setiap yang haram itu najis. Contohnya: Sutera diharamkan bagi laki-laki, tapi
tidak najis. Dan racun diharamkan, tetapi tidak najis".
Organisasi Islam untuk Ilmu Kedokteran
telah meneliti masalah zat yang diharamkan dalam makanan dan obat-obatan dan
telah memutuskan sebagai berikut:
١] - مَادَّةُ ٱلْكُحُولِ غَيْرُ
نَجِسَةٍ شَرْعًا، بِنَاءً عَلَىٰ مَا سَبَقَ تَقْرِيرُهُ مِنْ أَنَّ ٱلْأَصْلَ فِي
ٱلْأَشْيَاءِ ٱلطَّهَارَةُ، سَوَاءٌ أَكَانَ ٱلْكُحُولُ صِرْفًا أَمْ مُخَفَّفًا بِٱلْمَاءِ۔
وَعَلَيْهِ، فَلَا حَرَجَ شَرْعًا مِنِ ٱسْتِخْدَامِ ٱلْكُحُولِ طِبِّيًّا كَمُطَهِّرٍ
لِلْجِلْدِ - ٱلْجُرُوحِ - وَٱلْأَدَوَاتِ، وَقَاتِلٍ لِلْجَرَاثِيمِ، أَوِ ٱسْتِعْمَالِ
ٱلرَّوَائِحِ ٱلْعِطْرِيَّةِ (مَاءُ ٱلْكُولُونِيَا) ٱلَّتِي يُسْتَعْمَلُ ٱلْكُحُولُ
فِيهَا بِٱعْتِبَارِهِ مُذِيبًا لِلْمَوَادِّ ٱلْعِطْرِيَّةِ ٱلطَّيَّارَةِ، أَوِ ٱسْتِخْدَامِ
ٱلْكِرِيمَاتِ ٱلَّتِي يَدْخُلُ ٱلْكُحُولُ فِيهَا۔ وَلَا يَنْطَبِقُ ذٰلِكَ عَلَى
ٱلْخَمْرِ لِحُرْمَةِ ٱلِٱنْتِفَاعِ بِهِ۔
٢] - بِمَا أَنَّ ٱلْكُحُولَ مَادَّةٌ
مُسْكِرَةٌ وَيَحْرُمُ تَنَاوُلُهَا، وَرَيْثَمَا يَتَحَقَّقُ مَا يَتَطَلَّعُ إِلَيْهِ
ٱلْمُسْلِمُونَ مِنْ تَصْنِيعِ أَدْوِيَةٍ لَا يَدْخُلُ ٱلْكُحُولُ فِي تَرْكِيبِهَا،
وَلَا سِيَّمَا أَدْوِيَةُ ٱلْأَطْفَالِ وَٱلْحَوَامِلِ، فَلَا مَانِعَ شَرْعًا مِنْ
تَنَاوُلِ ٱلْأَدْوِيَةِ ٱلَّتِي تُصْنَعُ حَالِيًّا وَيَدْخُلُ فِي تَرْكِيبِهَا نِسْبَةٌ
ضَئِيلَةٌ مِنَ ٱلْكُحُولِ، لِغَرَضِ ٱلْحِفْظِ، أَوْ إِذَابَةِ بَعْضِ ٱلْمَوَادِّ
ٱلدَّوَائِيَّةِ ٱلَّتِي لَا تَذُوبُ فِي ٱلْمَاءِ، مَعَ عَدَمِ ٱسْتِعْمَالِ ٱلْكُحُولِ
فِيهَا مُهَدِّئًا، وَهٰذَا حَيْثُ لَا يَتَوَافَرُ بَدِيلٌ عَنْ تِلْكَ ٱلْأَدْوِيَةِ،
وَتُوصِي ٱلنَّدْوَةُ ٱلْجِهَاتِ ٱلصِّحِّيَّةَ ٱلْمُخْتَصَّةَ بِتَحْدِيدِ هٰذِهِ
ٱلنِّسَبِ حَسَبَ ٱلْأُصُولِ ٱلْعِلْمِيَّةِ وَدَسَاتِيرِ ٱلْأَدْوِيَةِ۔
٣] - لَا يَجُوزُ تَنَاوُلُ ٱلْمَوَادِّ
ٱلْغِذَائِيَّةِ ٱلَّتِي تَحْتَوِي عَلَىٰ نِسْبَةٍ مِنَ ٱلْخُمُورِ مَهْمَا كَانَتْ
ضَآلَتُهَا، وَلَا سِيَّمَا ٱلشَّائِعَةِ فِي ٱلْبِلَادِ ٱلْغَرْبِيَّةِ، كَبَعْضِ
ٱلشُّوكُولَاتَةِ وَبَعْضِ أَنْوَاعِ ٱلْمُثَلَّجَاتِ (ٱلْآيْسْ كْرِيم، ٱلْجِيلَاتِي،
ٱلْبُوظَةِ)، وَبَعْضِ ٱلْمَشْرُوبَاتِ ٱلْغَازِيَّةِ، ٱعْتِبَارًا لِلْأَصْلِ ٱلشَّرْعِيِّ
فِي أَنَّ مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ، وَلِعَدَمِ قِيَامِ مُوجِبٍ
شَرْعِيٍّ ٱسْتِثْنَائِيٍّ لِلتَّرْخِيصِ بِهَا۔
٤] - ٱلْمَوَادُّ ٱلْغِذَائِيَّةُ
ٱلَّتِي يُسْتَعْمَلُ فِي تَصْنِيعِهَا نِسْبَةٌ ضَئِيلَةٌ مِنَ ٱلْكُحُولِ لِإِذَابَةِ
بَعْضِ ٱلْمَوَادِّ ٱلَّتِي لَا تَذُوبُ بِٱلْمَاءِ، مِنْ مُلَوِّنَاتٍ وَحَافِظَاتٍ
وَمَا إِلَىٰ ذٰلِكَ، يَجُوزُ تَنَاوُلُهَا لِعُمُومِ ٱلْبَلْوَىٰ، وَلِتَبَخُّرِ وَتَلَاشِي
مُعْظَمِ ٱلْكُحُولِ ٱلْمُضَافِ فِي أَثْنَاءِ تَصْنِيعِ ٱلْغِذَاءِ، حَسَبَ دَسَاتِيرِ
وَتَعَالِيمِ هَيْئَاتِ ٱلصِّحَّةِ وَٱلْأَغْذِيَةِ، مَعَ ٱلْحِرْصِ عَلَىٰ ٱسْتِعْمَالِ
ٱلْبَدَائِلِ ٱلْخَالِيَةِ مِنَ ٱلْكُحُولِ تَمَامًا۔
1]- Zat Alkohol tidaklah najis menurut hukum Syar'i, berdasarkan
apa yang telah lalu ketetapannya bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci,
baik alkohol itu murni maupun diencerkan dengan air. Oleh karena itu, tidak ada
salahnya berdasarkan hukum syar'i menggunakan alkohol untuk keperluan medis
seperti untuk desinfektan pada kulit [luka] dan peralatan, dan untuk pembunuh
kuman, atau menggunakannya untuk aroma parfum (air cologne) di mana alkohol
digunakan sebagai pelarut untuk zat aromatik yang mudah menguap, atau
menggunakan krim yang mengandung alkohol. Dan Ini tidak berlaku pada khamr
[Minuman Keras] karena diharamkan menggunakannya.
2]- Karena alkohol adalah zat yang memabukkan dan dilarang untuk
dikonsumsi, dan sambil terus menunggu realisasi dari apa yang dicita-citakan
umat Islam dalam hal pembuatan obat-obatan yang tidak mengandung alkohol,
terutama obat-obatan untuk anak-anak dan wanita hamil, maka tidak ada keberatan
hukum [boleh-boleh saja] untuk menggunakan obat-obatan yang saat ini diproduksi
dan mengandung persentase kecil alkohol dalam komposisinya, untuk tujuan
pengawetan, atau untuk melarutkan beberapa bahan obat yang tidak larut dalam air
jika tanpa menggunakan alkohol di dalamnya sebagai penenang.
Dan ini berlaku disaat tidak ada
alternatif lain untuk obat-obat seperti ini. Dan para peserta simposium atau
seminar ini merekomendasikan lembaga otoritas kesehatan yang kompeten untuk
menentukan proporsi ini sesuai dengan prinsip ilmiah dan farmakope.
3]- Tidak boleh memakan bahan makanan
yang mengandung kadar alkohol sedikit apapun, apalagi yang yang sudah
merajalela di negara Barat, seperti beberapa coklat dan beberapa jenis es krim
(es krim, gelato, Booza), dan beberapa minuman ringan. Mengingat hukum asal
Syariat Islam bahwa apa saja yang memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram.
Dan tidak ada dalil Syar'i yang mengecualikannya untuk mengizinkannya.
Booza [البُوْظَة]
4]- Bahan-bahan makanan yang dalam
pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk melarutkan beberapa zat yang
tidak larut dalam air, seperti pewarna, pengawet, dan lain lain ; maka itu
diperbolehkan untuk dikonsumsi ; dikarenakan itu merupakan kebutuhan publik
yang tidak bisa dihindari dan dikarenakan akan menguap, musnah dan lenyap
sebagian besar alkohol yang ditambahkan selama pembuatan makanan, sesuai dengan
konstitusi dan maklumat lembaga kesehatan dan makanan, sambil terus berusaha
keras untuk mendapatkan penggantinya yang benar-benar bebas dari alkohol dengan
sempurna.
[Lihat: ندوة المواد المحرمة والنجسة.في الغذاء والدواء/المنظمة الإسلامية للعلوم
الطبية.
Yang diselenggarakan di Kuwait pada: 22-24 Dzulhijjah 1415 H/22-24 Mei 1995 M,
di Islamic Organization for Medical Sciences di KUWAIT].
****
KEDUA: AL-ISTIHAALAH DENGAN API [النَّارُ].
Maksudnya: perubahan senyawa atau
transformasi dengan menggunakan panasnya api, umpamanya: di bakar, direbus,
dipanggang dan lain sebagainya
Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat
tentang kesucian benda najis jika diubah dengan cara dibakar dengan api hingga
berubah menjadi asap, abu, atau benda lainnya.
ADA DUA PENDAPAT:
PENDAPAT PERTAMA:
Adalah jika benda najis berubah menjadi
abu atau yang lainnya, maka ia menjadi suci. Ini adalah mazhab Hanafi. Dan
salah satu pandangan [وَجْهٌ] bagi madzhab Syafi'i dan
madzhab Hanbali, dan Qoul bagi madzhab Maliki, dan itu adalah yang mu'tamad
dikalangan Muta'akhiriin Madzhab Maliki.
[Lihat: Badaa' al-Sana'i' 1/85,
al-Fatawa al-Hindiyyah 1/44, Haashiyat al-Dasuqi 1/57-58, Fath al-Aziz 1/62-63,
al-Majmu' 2/ 579, al-Mughni 1/97].
Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa
benda najis jika diubah oleh api menjadi abu atau benda lain, maka hukumnya
suci, mereka berhujjah dengan mengatakan:
“لأن النجاسة لما استحالت
وتبدلت أوصافها ومعانيها خرجت عن كونها نجاسة، لأنها اسم لذات موصوفة، فتنعدم
بانعدام الوصف، وصارت كالخمر إذا تخللت".
“Karena najis itu ketika ia berubah dan
berganti sifat-sifatnya dan makna-maknanya ; maka ia keluar dari kenajisan,
karena ia adalah nama untuk dzat yang disifati, maka menjadi hilang najisnya
dengan hilangnya sifat, sama seperti Khamr [minuman keras] ketika berubah
menjadi cuka ". [Badaa'i ash-Shanaa'i': 1/85]
Dan semisal ini pula Ibnu Hazm adz-Dhohiri
bermadzhab, dan dia berkata:
وَإِذَا أُحْرِقَتْ
الْعَذِرَةُ أَوْ الْمَيْتَةُ أَوْ تَغَيَّرَتْ فَصَارَتْ رَمَادًا أَوْ تُرَابًا،
فَكُلُّ ذَلِكَ طَاهِرٌ، وَيُتَيَمَّمُ بِذَلِكَ التُّرَابِ.
بُرْهَانُ ذَلِكَ
أَنَّ الْأَحْكَامَ إنَّمَا هِيَ عَلَى مَا حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا فِيهِ
مِمَّا يَقَعُ عَلَيْهِ ذَلِكَ الِاسْمُ الَّذِي بِهِ خَاطَبَنَا اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ، فَإِذَا سَقَطَ ذَلِكَ الِاسْمُ فَقَدْ سَقَطَ ذَلِكَ الْحُكْمُ،
وَأَنَّهُ غَيْرُ الَّذِي حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ. وَالْعَذِرَةُ غَيْرُ
التُّرَابِ وَغَيْرُ الرَّمَادِ، وَكَذَلِكَ الْخَمْرُ غَيْرُ الْخَلِّ،
وَالْإِنْسَانُ غَيْرُ الدَّمِ الَّذِي مِنْهُ خُلِقَ، وَالْمَيْتَةُ غَيْرُ
التُّرَابِ
“Jika tinja atau bangkai dibakar, atau berubah menjadi abu atau
debu, maka semua itu adalah suci, dan boleh bertayammum dengan debu itu.
Dalilnya: bahwa hukum-hukum itu
hanyalah berdasarkan apa yang dengannya Allah tetapkan padanya dari apa yang
jatuh padanya nama yang Allah SWT tujukan kepada kita.
Dalilnya adalah bahwa hukum-hukum itu
hanya menurut apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas nama yang Allah
tujukan kepada kita. Jika nama itu disingkirkan, maka batallah hukum itu, dan
itu selain hukum yang diperintah oleh Allah SWT. Dan yang namanya Tinja itu
bukanlah debu dan bukanlah abu. Demikian pula, khamr [miras] bukanlah cuka, dan
manusia bukanlah darah yang darinya ia diciptakan, dan juga bangkai bukanlah
debu ". [al-Muhalla: 1/136]
Dan ini dalam hal kebolehan yang
dijelaskan Ibnu Hazm di atas, maka Ibnu Taimiyyah pun ikut bergabung di
dalamnya, karena ia menganggap bahwa al-Istihaalah [perubahan senyawa] itu
mensucikan najis, termasuk men-takhlil khamr [miras]. Beliau setelah
menyebutkan pendapat para ulama yang membolehkannya, berkata:
فَإِنَّ هَذِهِ الْأَعْيَانَ
لَمْ يَتَنَاوَلْهَا نَصُّ التَّحْرِيمِ لَا لَفْظًا وَلَا مَعْنًى
وَلَيْسَتْ فِي مَعْنَى النُّصُوصِ بَلْ هِيَ أَعْيَانٌ طَيِّبَةٌ
فَيَتَنَاوَلُهَا نَصُّ التَّحْلِيلِ وَهِيَ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْ الْخَمْرِ
الْمُنْقَلِبَةِ بِنَفْسِهَا وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْفَرْقِ بِأَنَّ الْخَمْرَ
نَجُسَتْ بِٱلِاسْتِحَالَةُ فَتَطْهُرُ بِٱلِاسْتِحَالَةُ بَاطِلٌ؛ فَإِنَّ
جَمِيعَ النَّجَاسَاتِ إنَّمَا نَجُسَتْ بِٱلِاسْتِحَالَةُ: كَالدَّمِ فَإِنَّهُ
مُسْتَحِيلٌ عَنْ الْغِذَاءِ الطَّاهِرِ وَكَذَلِكَ الْبَوْلُ وَالْعَذِرَةُ
حَتَّى الْحَيَوَانُ النَّجِسُ مُسْتَحِيلٌ عَنْ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ
وَنَحْوِهِمَا مِنْ الطَّاهِرَاتِ. وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَبَّرَ عَنْ ذَلِكَ
بِأَنَّ النَّجَاسَةَ طَهُرَتْ بِٱلِاسْتِحَالَةُ فَإِنَّ نَفْسَ النَّجِسِ لَمْ
يَطْهُرْ لَكِنْ اسْتَحَالَ وَهَذَا الطَّاهِرُ لَيْسَ هُوَ ذَلِكَ النَّجِسَ
وَإِنْ كَانَ مُسْتَحِيلًا مِنْهُ وَالْمَادَّةُ وَاحِدَةٌ كَمَا أَنَّ الْمَاءَ
لَيْسَ هُوَ الزَّرْعَ وَالْهَوَاءَ وَالْحَبَّ وَتُرَابُ الْمَقْبَرَةِ لَيْسَ
هُوَ الْمَيِّتَ وَالْإِنْسَانُ لَيْسَ هُوَ الْمَنِيَّ. وَاَللَّهُ تَعَالَى
يَخْلُقُ أَجْسَامَ الْعَالَمِ بَعْضَهَا مِنْ بَعْضٍ وَيُحِيلُ بَعْضَهَا إلَى
بَعْضٍ وَهِيَ تُبَدَّلُ مَعَ الْحَقَائِقِ لَيْسَ هَذَا هَذَا. فَكَيْفَ يَكُونُ
الرَّمَادُ هُوَ الْعَظْمَ الْمَيِّتَ وَاللَّحْمَ وَالدَّمَ نَفْسَهُ. بِمَعْنَى
أَنَّهُ يَتَنَاوَلُهُ اسْمُ الْعَظْمِ. وَأَمَّا كَوْنُهُ هُوَ هُوَ بِاعْتِبَارِ
الْأَصْلِ وَالْمَادَّةِ فَهَذَا لَا يَضُرُّ فَإِنَّ التَّحْرِيمَ يَتْبَعُ
الِاسْمَ وَالْمَعْنَى الَّذِي هُوَ الْخَبَثُ وَكِلَاهُمَا مُنْتَفٍ. وَعَلَى
هَذَا فَدُخَانُ النَّارِ الْمُوقَدَةِ بِالنَّجَاسَةِ طَاهِرٌ وَبُخَارُ الْمَاءِ
النَّجِسِ الَّذِي يَجْتَمِعُ فِي السَّقْفِ طَاهِرٌ وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ
الْمَسَائِلِ
Dan ini adalah pendapat yang benar,
karena benda-benda tersebut tidak tercakup dalam nash pengharaman, baik secara
lisan maupun makna, dan tidak termasuk dalam makna nash. Bahkan ia adalah
objek-objek yang baik, maka nash yang menghalalkan mencakupnya, dan ia lebih
pantas mendapatkannya daripada khamr [miras] yang berubah menjadi cuka dengan
sendirinya.
Dan apa yang mereka sebutkan tentang
perbedaan bahwa khamr [miras] menjadi najis melalui al-Istihalah [perubahan
senyawa], maka ia menjadi suci pula melalui al-istihaalah ; maka itu bathil,
karena semua benda-benda najis bisanya menjadi najis karena melalui
al-Istihaalah [perubahan senyawa], seperti darah di mana ia adalah perubahan
dari asupan gizi makanan yang suci.
Demikian juga air kencing dan tinja,
bahkan binatang yang najis, itu semua hasil proses perubahan dari air, tanah,
dan sejenisnya dari benda-benda yang suci. Dan tidak boleh dikatakan bahwa
benda najis bisa berubah menjadi suci melalui proses al-Istihaalah [perubahan
senyawa] ; karena objek benda najis itu sendiri tidak suci, akan tetapi ber
istihaalah.
Dan yang suci ini bukan lah yang najis
itu, meskipun ber istihaalah darinya, dan objek nya satu, sama halnya seperti
air bukanlah tanaman, udara dan biji-bijian. Dan debu kuburan bukanlah mayit.
Dan manusia bukanlah sperma.
Dan Allah SWT menciptakan
jasmani-jasmani alam semesta sebagiannya dari sebagian yang lain, dan merujuk sebagiannya
kepada sebagian yang lain, dan semua itu dengan dengan realitas. Ini bukanlah
ini. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa abu adalah tulang mayit, sedangkan
daging adalah ayahmu sendiri, dalam artian bahwa nama tulang mencakupnya.
Adapun keadaannya itu tergantung pada
asal dan zat ; maka ini tidaklah berpengaruh, karena pengharamannya itu
mengikuti nama dan maknanya, yaitu najis. Dan keduanya tidak ada.
Oleh karena itu, maka asap api yang
dinyalakan dengan benda najis adalah suci. Dan uap air najis yang terkumpul di
langit-langit adalah suci, dan begitu pula hal-hal yang serupa.” [Baca: Majmu'
Fataawaa Ibnu Taimiyah: 21/610-611]
Dan pembahasan yang luas seperti diatas
juga dilakukan oleh asy-Syawkani. [Lihat: As-Sail Al-Jarraar: 1/52]
Dan pendapat yang menyatakan bahwa
al-Istihalah dengan api itu mensucikan najis adalah pandangan [وَجْهٌ] kedua yang muncul dari madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali,
akan tetapi dirujuk oleh mereka.
Imam al-Haromain mengutip dari Abu Zaid
dan al-Khudhori, salah satu para sahabat madzhab Syafi'i:
أَنَّ كُلُّ عَيْنٍ
نَجِسَةٍ رَمَادُهَا طَاهِرٌ تَفْرِيعًا عَلَى الْقَدِيمِ إذْ الشَّمْسُ
وَالرِّيحُ والنَّارُ تُطَهِّر الأَرْضَ النَّجِسَة
"Bahwa setiap objek yang najis
maka abunya suci, berdasarkan cabang qoul al-qodiim, karena matahari, angin,
dan api mensucikan tanah yang najis ". [al-Majmu': 2/579]
Dan Ibnu Qudamah setelah menetapkan
pendapat yang dzohir dalam Madzhab Hanbali, dia berkata:
ويَتَخرَّجُ أن تطْهُرَ
النجاساتُ كلُّها بٱلِاسْتِحَالَةُ قياسًا علَى الخمرةِ إذا انْقلَبتْ،
وجُلودِ المَيْتَةِ إذا دُبغَتْ، والْجَلَّالةِ إذا حُبِسَتْ. والأوَّلُ ظاهرُ
المذهبِ. وقد نَهَى إمامُنا رحمَه اللَّه عن الْخَبْزِ في تَنُّورٍ شُوِىَ فيه
خِنْزيرٌ
“Dan bisa diambil suatu pendapat bahwa
benda-benda najis semuanya bisa menjadi suci melalui al-Istihaalah [perubahan
senyawa], berdasarkan analogi kepada khamr [miras[ketika telah berubah menjadi
cuka, kulit bangkai jika disamak, dan binatang ternak al-Jallaalah [yang
mengkosumsi pakan najis] jika telah dikarantina. Dan yang pertama adalah yang
tampak dalam madzhab, dan imam kami – rahimahullah - melarang roti dalam oven
di mana ada daging babi dipanggang di dalamya ". [al-Mughni: 1/97].
Adapun dalam madzhab Maliki, mereka
bersama memiliki dua pendapat, akan tetapi apa yang dipelajari dari ungkapan
para al-Mutaakhiriin adalah bahwa pendapat yang mengatakan suci adalah yang
mu'tamad [dapat diandalkan]. Oleh karena itu ketika Khalil menyebutkan dalam
Mukhthasar-nya abu benda najis dan asap nya dikaitkan dengan benda-benda najis,
maka Syeikh Ad-Dardiir mengikutinya dengan mengatakan tentang abu-nya:
"بِنَاءً عَلَىٰ أَنَّ ٱلنَّجَاسَةَ
إِذَا تَغَيَّرَتْ أَعْرَاضُهَا لَا تَتَغَيَّرْ عَنِ ٱلْحُكْمِ ٱلَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ؛
عَمَلًا بِٱلِٱسْتِصْحَابِ۔ وَٱلْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ طَاهِرٌ".
Berdasarkan bahwa benda najis, jika
komponen-komponennya berubah, maka ia tidak berubah dari hukum yang berlaku;
berdasarkan pengamalan kaidah al-ishtishaab [dikembalikan ke hukum asal]. Dan
yang mu'tamad bahwa itu adalah suci ". [Lihat: Haasyiyah ad-Dasuuqi 'alaa
asy-Syarh al-Kabiir 1/57].
Dalam konteks ini, Ad-Dasuuqi mengutip dari Ibnu Marzuq
mengomentari Khalil dengan mengatakan:
"ٱعْتَمَدَ ٱلْمُصَنِّفُ فِيمَا
صَرَّحَ بِهِ مِنْ نَجَاسَةِ ٱلرَّمَادِ عَلَىٰ قَوْلِ ٱلْمَازِرِيِّ أَنَّهُ لَا يَطْهُرُ
عِندَ ٱلْجُمْهُورِ مِنَ ٱلْأَئِمَّةِ، وَمَا كَانَ حَقُّهُ أَنْ يُفْتِيَ فِيهِ إِلَّا
بِمَا ٱخْتَارَهُ ٱللَّخْمِيُّ وَٱلتُّونِسِيُّ وَٱبْنُ رُشْدٍ مِنْ طَهَارَتِهِ، وَأَمَّا
كَلَامُ ٱلْمَازِرِيِّ فَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ بِهِ: ٱلْأَئِمَّةَ مِنْ غَيْرِ مَذْهَبِنَا"
“al-Mushonnif berpegang terhadap apa
yang dia nyatakan tentang kenajisan abu pada perkataan Al-Maaziri bahwa itu
tidak suci menurut mayoritas dari para imam. Dan dia tidak berhak mengeluarkan
fatwa kecuali dengan apa yang dipilih Al-Lakhmi, Al-Tunisi dan Ibnu Rusyd bahwa
itu adalah suci. Adapun kata-kata al-Maaziri, bisa jadi yang dia maksud adalah:
imam-imam dari selain mazhab kita. [Lihat: Haasyiyah ad-Dasuuqi 'alaa asy-Syarh
al-Kabiir 1/57].
Adapun anggapan bahwa asap najis yang
terbakar adalah najis, maka ad-Dardir menganggapnya perkataan yang dhaif
[lemah], dan yang Mu'tamad dalam Madzhab Maliki juga adalah suci. [asy-Syarhul
Kabiir 1/58]
Akan Tetapi Ad-Dasiuki menukil bahwa
Dzoohir al-Madzhab adalah tidak suci, dan itu adalah yang dipilih oleh
Al-Lakhmi, Al-Tunisi, Al-Mazari, Abu Al-Hassan dan Ibn Arafah, seperti yang di
kutipan dari sebagian mereka bahwa itu adalah yang Masyhur.
Adapun Ibnu Rusyd memilih kesuciannya,
sama seperti abu". [Lihat: Haasyiyah ad-Dasuuqi 'alaa asy-Syarh al-Kabiir
1/58]
PENDAPAT KEDUA:
Bahwa segala sesuatu yang najis tidak
bisa disucikan dengan pembakaran atau api. Ini adalah mazhab Syafi'i dan
pendapat yang tampak dari mazhab Hanbali, dan salah satu qoul dari madzhab
Maliki. Dan ini yang dikatakan oleh Abu Yusuf dari madzhab Hanafi.
[Lihat: Badaa' al-Sana'i' 1/85, al-Fatawa
al-Hindiyyah 1/44, Haashiyat al-Dasuqi 1/57-58, Fath al-Aziz 1/62-63, al-Majmu'
2/ 579, al-Mughni 1/97].
Abu Ishaq Al-Shirazi dari Madzhab
Syafi'i berkata:
"وَإِنْ أُحْرِقَ ٱلسِّرْجِينُ
أَوِ ٱلْعَذِرَةُ فَصَارَ رَمَادًا لَمْ يَطْهُرْ؛ لِأَنَّ نَجَاسَتَهَا لِعَيْنِهَا،
وَيُخَالِفُ ٱلْخَمْرَ؛ لِأَنَّ نَجَاسَتَهَا لِمَعْنًى مَعْقُولٍ، وَقَدْ زَالَ"
“Dan jika tinja atau kotoran dibakar
lalu menjadi abu, maka ia tidak menjadi suci, karena najisnya ada pada objeknya
sendiri, dan itu berbeda dengan khmar, karena najisnya memiliki arti yang masuk
akal, dan itu telah dihilangkan”. [al-Muhadzdzab (Majmu' 2/579)].
Dan di dalam hal asap benda najis
menurut mereka (Madzhab Syafi'i) ada dua Qaul, yang paling shahih adalah najis
sebagaimana ditetapkan oleh al-Nawawi (Majmu' 2/579). Dan Ibnu Qudamah berkata:
ظاهرُ المذهبِ، أنه
لا يطْهُر شيءٌ مِن النَّجاساتِ بٱلِاسْتِحَالَةُ، إلِّا الخمرة، إذا
انْقلَبتْ بنفسِها خَلًّا، وما عَدَاهُ لا يطْهرُ؛ كالنجاساتِ إذا احْترقتْ وَصارت
رَمادًا، والخنزيرِ إذا وقَع في المَلَّاحة وصار مِلْحًا، والدُّخَانِ
الْمُتَرَقِّى مِن وَقُودِ النجاسةِ، والبُخارِ المُتصَاعِدِ مِن الماءِ النَّجِسِ
إذا اجْتمعَتْ منه ندَاوةٌ علَى جسمٍ صَقِيلٍ ثم قَطَّر، فهو نَجِسٌ
“Madzhab yang tampak adalah bahwa
sesuatu dari yang najis tidak bisa di sucikan dengan cara al-Itihaalah
[perubahan senyawa], kecuali khmar [minuman keras] jika berubah menjadi cuka
dengan sendirinya. Dan segala sesuatu yang lain tidak bisa suci, seperti segala
sesuatu yang najis jika dibakar menjadi abu...
Dan juga babi, jika jatuh ke dalam
ladang garam dan berubah menjadi garam. Dan juga asap yang mengepul dari bahan
bakar najis. Dan juga uap yang menguap dari air najis, jika terhimpun menjadi
embun darinya yang melekat pada tubuh, kemudian menetes, maka tetesan itu najis
juga. [al-Mughni 1/97]
Dan salah satu pandangan [وَجْه] untuk qaul ini dalam madzhab Syafi'i nampak jelas dalam
perkataan Asy-Syairaazi:
"لأنَّ نَجَاسَتَها
لِعَيْنِها"
"Karena najisnya ada pada
objeknya."
Maknanya: Bahwa tinja itu – misalnya –
ia adalah najis dalam dzatnya dan objeknya sendiri, maka jika ia berubah
menjadi abu atau asap karena api, maka itu tidak mempengaruhinya, karena
objeknya tetap ada meskipun bentuknya berubah.
Dan salah satu pandangan [وَجْه] dalam madzhab Hanbali menyatakan: Bahwa hukum najis pada objek
najis tidak bisa hilang dengan al-Istihalah [perubahan senyawa] maka tidak bisa
menjadi suci dengannya. Tidak seperti anggur, itu tidak murni melalui
transformasi, jadi diperbolehkan untuk memurnikannya. [Al-Mughni: 1/776].
Menurut penalaran Madzhab Hanbali ini,
perlu dibedakan antara najis dan sesuatu yang menjadi najis akibat kena api.
Dan karenanya, objek yang menjadi najis karena bercampur dengan najis, ketika
telah diubah oleh api menjadi abu, asap., atau sesuatu yang lain, maka itu
hukumnya menjadi suci, karena asal mulanya adalah suci dan kemudian menjadi
najis melalui al-istihalah, maka sudah seharusnya menjadi suci olehnya.
=====
CONTOH-CONTOH PERUBAHAN SENYAWA BENDA NAJIS DENGAN API:
- Abu benda najis dan asap nya
jika dibakar.
- Uap air najis yang menguap
karena memasaknya dengan api.
- Tanah liat yang najis
menjadi tembikar karena dibakar dengan api.
- Kismis [anggur kering] yang
najis dan menjadi syrup karena direbus dengan api.
- Adonan roti dipanggang
dengan kayu bakar dari kotoran najis.
******
KETIGA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الاسْتِهْلاَكُ/
PELENYAPAN]
Maksudanya: perubahan senyawa atau
transformasi dengan cara melarutkan dan melenyapkan objek najis ke dalam objek
suci yang jauh lebih banyak kadarnya.
Definisi al-istihlaak [الاسْتِهْلاَكُ]:
"أَنْ تَفْنَىٰ عَيْنُ ٱلنَّجَاسَةِ
فِي مَادَّةٍ طَاهِرَةٍ حَتَّىٰ تَصِيرَ جُزْءًا مِنْهَا، كَوُقُوعِ نَجَاسَةٍ فِي
مِلَاحَةٍ وَٱنْقِلَابِهَا مِلْحًا".
"Melenyapkan objek najis ke dalam
zat suci sehingga berubah menjadi bagian dari zat suci".
Atau dalam definisi lain:
"ٱنْغِمَارُ عَيْنٍ فِي عَيْنٍ
تَزُولُ مَعَهُ صِفَاتٌ وَخَصَائِصُ ٱلْعَيْنِ ٱلْمَغْمُورَةِ، وَلَا يُمْكِنُ تَمْيِيزُهَا
بِوَجْهٍ مِنَ ٱلْوُجُوهِ ٱلْمُخْتَلِفَةِ"۔
“Pembenaman suatu objek ke dalam objek
lain yang menghilangkan sifat-sifat dan karakteristik objek yang terbenam, dan
tidak dapat dibedakan dalam salah satu aspek yang berbeda".
Contoh al-Istihaalah dengan cara [الاسْتِهْلاَكُ]:
1] Objek najis yang jatuh ke dalam
ladang garam dan berubah menjadi garam.
2] Menuangkan air suci yang kadarnya
lebih banyak pada air yang najis.
3] Menguras air sumur atau kolam yang
tertimpa najis
4] air sumur atau kolam yang tertimpa
najis yang berubah dengan sendirinya.
5] air sumur atau kolam yang tertimpa
najis dengan menaburkan debu padanya atau diambil sedikit demi sedikit untuk
menyiram tanaman atau diminum oleh hewan.
Perbedaan pendapat para ulama ahli
fiqih dalam hal ini mendekati perbedaan mereka pada masalah al-istihlak dengan
api, sebagaimana yang telah di sebutkan diatas.
Madzhab Hanafi, dengan pengecualian Abu
Yusuf, menganggapnya Suci dan halal.
Begitu juga yang dikatakan Ibnu Hazm
al-Zahiri, Ibnu Taimiyyah al-Hanbali, dan al-Shawkani.
[Lihat: Bada’i Ash-Shanaa’i’: 1/85,
Al-Muhalla: 1/128, Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah: 21/481, As-Sail Al-Jarraar:
1/52 karya Ibnu Hazm.
Ini adalah wajh mukhorroj dalam madzhab
Syafi'i dan Ahmad. Namun yang shahih dalam madzhab Syafa'i dan yang dzahir
dalam madzhab Hanbali adalah bahwa ini tidak Suci. [Lihat “Al-Majmu”: 2/579 dan
Al-Mughni: 1/89].
Dan menurut Maliki terdapat dua qoul
secara bersamaan, sama seperti dalam hukum al-Istihaalah dengan api.
======
TARJIIH:
YANG MANA YANG RAJIH DAN SEJALAN DENGAN RUH SYARIAH ?
Yang sejalan dengan ruh, semangat dan
tujuan syariat adalah bahwa itu adalah suci disebabkan karena telah berubah
objeknya. Wallahu a'lam.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَتَنَازَعُوا فِيمَا
إذَا صَارَتْ النَّجَاسَةُ مِلْحًا فِي الْمَلَّاحَةِ أَوْ صَارَتْ رَمَادًا
أَوْ صَارَتْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَالصَّدِيدُ تُرَابًا: كَتُرَابِ
الْمَقْبَرَةِ فَهَذَا فِيهِ قَوْلَانِ فِي مَذْهَبِ مَالِكٍ وَأَحْمَد:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ طَاهِرٌ كَمَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَهْلِ
الظَّاهِرِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ نَجِسٌ كَمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ. وَالصَّوَابُ
أَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إذَا لَمْ يَبْقَ شَيْءٌ مِنْ أَثَرِ النَّجَاسَةِ
لَا طَعْمُهَا وَلَا لَوْنُهَا وَلَا رِيحُهَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ
الطَّيِّبَاتِ وَحَرَّمَ الْخَبَائِثَ وَذَلِكَ يَتْبَعُ صِفَاتِ الْأَعْيَانِ
وَحَقَائِقَهَا ، فَإِذَا كَانَتْ الْعَيْنُ مِلْحًا أَوْ خَلًّا دَخَلَتْ فِي
الطَّيِّبَاتِ الَّتِي أَبَاحَهَا اللَّهُ وَلَمْ تَدْخُلْ فِي الْخَبَائِثِ
الَّتِي حَرَّمَهَا اللَّهُ.....
“Dan mereka memperdebatkan apakah jika
benda najis berubah menjadi garam di ladang garam, atau berubah menjadi abu.
atau mayat, darah dan nanah berubah menjadi debu seperti debu kuburan ?
Ada dua pendapat dalam madzhab Malik
dan Ahmad:
Salah satunya: adalah suci, seperti
Madzhab Abu Hanifah dan madzhab adz-Dzohiri.
Yang kedua adalah najis, seperti mazhab
Syafi'i.
Dan pendapat yang benar adalah bahwa
semuanya itu suci, karena tidak ada yang tersisa dari jejak najis, baik
rasanya, warnanya, maupun baunya. Karena Allah menghalalkan yang baik-baik [الطَّيِّبَاتُ] dan mengharamkan yang buruk dan menjijkan [الخَبَائِثُ], dan itu dengan mengikuti karakteristik objek dan realitasnya.
Maka jika objeknya itu nampak garam atau cuka, maka ia termasuk objek-objek
yang baik [الطَّيِّبَاتُ] yang dihalalkan Allah, dan tidak termasuk objek-objek yang
buruk [الخَبَائِثُ] yang diharamkan Allah…” [Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah
21/481-482].
Dan al-istihaalah dengan cara
al-istihlaak ini dilakukan dengan mencampurkan suatu zat yang haram atau najis
dengan zat lain yang suci, halal yang mendominasi, yang menghilangkan sifat
najis dan diharamkan menurut syariat Islam. Jika sifat zat yang dicampuri dan
terdominasi itu telah hilang dari rasa, warna dan baunya, di mana zat yang
terdominasi ini lenyap oleh zat yang mendominasi ; maka hukumnya ikut yang
mendominasi atau mayoritas. Contohnya:
Contoh pertama:
Lesitin dan kolesterol, yang
diekstraksi dari sumber yang najis, meski tanpa proses al-Istihaalah
[transformasi]; maka dapat digunakan dalam makanan dan obat-obatan dalam jumlah
yang sangat sedikit sekali yang dilarutkan dalam campuran yang suci dan halal.
[Lecithin atau Lesitin: dapat diperoleh
dari kuning telur, minyak biji matahari, lemak hewani, dan yang paling banyak
dari keledai titik dalam pangan, lesitin berfungsi sebagai emulsifier, yaitu
zat yang dapat mencampur minyak dan air.
Digunakan pada sekian banyak produk
pangan misalnya: coklat sama permen susu kopi dan banyak lagi titik kita bisa
mengecek kandungan lesitin melalui daftar komposisi pada bungkus makanan.
Lesitin juga digunakan pada banyak
produk mulai dari cat, bahan anti lengket untuk plastik, suatu aditif
antisludge (anti-lumpur) dalam pelumas motor, zat antigumming dalam bensin dan
pengemulsi, zat penyebaran dan antioksidan pada tekstil, karet, dan industri
lain.
Lesitin dari babi banyak digunakan
karena memiliki hasil yang sangat baik dan harga relatif murah. Bahan utama
pembuatan lesitin dari babi adalah lemak babi titik apabila dalam komposisi
sebuah produk yang tidak berlabel halal terdapat “Lesitin” saja tanpa
penambahan “kedelai” Atau “soya” atau “soy”].
Contoh kedua:
Enzim babi, seperti pepsin dan ragi
pencernaan lainnya dan sejenisnya, digunakan dalam jumlah sangat sedikit dan
sebagian besar dikonsumsi dalam makanan dan obat-obatan.
[Pepsin adalah enzim yang memecah
protein menjadi peptida yang lebih kecil (pepsin merupakan salah satu
protease). Enzim yang diproduksi di lambung dan merupakan salah satu enzim
pencernaan utama dalam sistem pencernaan manusia dan banyak hewan lainnya yang
membantu mencerna protein dalam makanan.
Produk ini adalah pepsin yang
diekstraksi dari mukosa lambung babi, domba atau sapi. Ini memiliki kemampuan
untuk mencerna protein untuk gangguan pencernaan].
[Baca: مَجَلَّةُ مَجْمَعِ الْفِقْهِ الْإِسْلَامِيِّ /Jurnal Akademi Fiqh Islam (2/ 21031-21032)]
Para peserta Simposium memutuskan
sebagai berikut:
"إِنَّ ٱلْمُذِيبَاتِ ٱلصِّنَاعِيَّةَ
وَٱلْمَوَادَّ ٱلْحَامِلَةَ وَٱلدَّافِعَةَ لِلْمَادَّةِ ٱلْفَعَّالَةِ فِي ٱلْعُبُوَّاتِ
ٱلْمَضْغُوطَةِ إِذَا ٱسْتُخْدِمَتْ وَسِيلَةً لِغَرَضٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ مَشْرُوعَةٍ
جَائِزَةٌ شَرْعًا۔ أَمَّا ٱسْتِعْمَالُهَا مِنْ أَجْلِ ٱلْحُصُولِ عَلَىٰ تَأْثِيرِهَا
ٱلْمُخَدِّرِ أَوِ ٱلْمُهَلْوِسِ بِٱسْتِنْشَاقِهَا فَهُوَ حَرَامٌ شَرْعًا ٱعْتِبَارًا
لِلْمَقَاصِدِ وَمَآلَاتِ ٱلْأَفْعَالِ"
"Zat Pelarut Buatan dan zat yang
mengangkut serta mendorong zat aktif dalam kemasan kaleng bertekanan [yakni:
yang mengandung tekanan gas seperti minuman Pepsi kaleng. PEN.], jika digunakan
sebagai sarana untuk tujuan atau manfaat yang syar'i, maka diperbolehkan secara
hukum syar'i.
Adapun menggunakannya untuk mendapatkan
efek narkotik [obat bius] atau halusinogen dengan menghirupnya, maka itu haram
menurut syariat, mengingat akan tujuan dan akibat perbuatannya".
[Sumber: تَوْصِيَات الندوة الفقهية الطبية التاسعة/مَجَلَّةُ ٱلْمَجْمَعِ
ٱلْفِقْهِيِّ
Edisi 10, 2/461-463].
*****
KEEMPAT: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA DIDOMINASI OBJEK SUCI
[ المُكَاثَرَةُ]
Yakni: mencampurkan objek yang kadarnya
jauh lebih banyak ke objek najis yang sedikit.
Adapun makna al-Mukaatsaroh [المُكَاثَرَةُ] adalah:
أَنْ تَخْتَلِطَ نَجَاسَةٌ
قَلِيلَةٌ بِعَيْنٍ طَاهِرَةٍ غَالِبَةٍ عَلَيْهَا
Mencampur objek najis yang sedikit
dengan objek suci yang mendominasi terhadapnya
Yang paling diperdebatkan oleh para
ulama ahli fiqih dalam hal ini adalah masalah benda-benda cair seperti mentega,
minyak samin, susu, cuka, dan yang sejenisnya:
- Maka sebagian mereka ada yang
menjadikannya seperti air, artinya: jika bercampur dengan najis, tidak menjadi
najis kecuali terjadi perubahan. Ini adalah Madzhab Hanafi, dan salah satu qoul
dalam madzhab Maliki dan madzhab Hanbali. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah
21/488 dan sesudahnya, 21/524 dan sesudahnya].
- Dan di antara mereka ada yang
menjadikannya lebih utama dari air dalam arti tidak najis, dan oleh karenanya
maka air tersebut tidak najis jika objek najisnya dihilangkan atau tersembunyi
dan berubah. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/490 dan sesudahnya,
21/524 dan sesudahnya].
- Dan sebagian dari mereka menjadikan
derajatnya dibawah air, artinya: air lebih utama darinya dalam hal ketidak
najisan. Dan oleh karenanya, jika objek najis bercampur dengannya, maka air
tersebut menjadi najis meskipun dalam jumlah banyak. Dan ini adalah Madzhab
Syafi'i, Madzhab Maliki dan madzhab Hanbali dalam perkataan lain yang ada pada
mereka. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/488 dan sesudahnya, asy-Syarh
al-Kabiir karya ad-Dardiir 1/159].
Sebagian para ulama ahli Fiqih
membedakan antara cairan berair, seperti cuka kurma, yang mereka cemplungkan ke
air, dan cairan non-air, seperti cuka anggur, maka ia tidak seperti air. Ini
adalah riwayat ketiga dalam madzahb Hanbali. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu
Taimiyah 21/489 dan sesudahnya]
Dan Imam Ibnu Taimiyyah secara luas
membahas madzhab-madzhab para ulama ahli fiqih dan perkataan mereka dalam hal
ini. Dan dia mentarjih dan lebih memilih SUCI-nya cairan yang bercampur dengan
najis selama tidak berubah dari asalnya. Dan dia menguraikan dalil-dalil
tentang itu dengan melimpah dan untuk membelanya, serta untuk menanggapi dan
membantah mereka yang menyelisihinya dalam hal ini.
Ibnu Taimiyyah berkata:
وَفِي الْجُمْلَةِ
فَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّوَابُ وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَبَائِثَ
الَّتِي هِيَ الدَّمُ وَالْمَيْتَةُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ
فَإِذَا وَقَعَتْ هَذِهِ فِي الْمَاءِ أَوْ غَيْرِهِ وَاسْتُهْلِكَتْ لَمْ يَبْقَ
هُنَاكَ دَمٌ وَلَا مَيْتَةٌ وَلَا لَحْمُ خِنْزِيرٍ أَصْلًا. كَمَا أَنَّ
الْخَمْرَ إذَا اُسْتُهْلِكَتْ فِي الْمَائِعِ لَمْ يَكُنْ الشَّارِبُ لَهَا
شَارِبًا لِلْخَمْرِ
Kesimpulannya, pendapat ini adalah yang
benar, dan itu karena Allah telah mengharamakan segala yang khobits, yaitu
darah, bangkai hewan, babi, dan sejenisnya. Maka jika najis ini jatuh ke dalam
air atau sesuatu yang lain dan lenyap karena larut, maka tidak ada yang tersisa
baik darah, bangkai, atau pun daging babi sama sekali, sebagaimana halnya seperti
ketika khamr [miras[larut dan lenyap dalam cairan; maka orang yang meminumnya
bukanlah meminum al-Khamr [miras]. [Majmu' Fataawaa 21/501-502]
Kemudian Ibnu Taimiyah berkata:
وَهَذِهِ
الْأَدْهَانُ وَالْأَلْبَانُ وَالْأَشْرِبَةُ الْحُلْوَةُ وَالْحَامِضَةُ
وَغَيْرُهَا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَالْخَبِيثَةِ قَدْ اُسْتُهْلِكَتْ
وَاسْتَحَالَتْ فِيهَا فَكَيْفَ يَحْرُمُ الطَّيِّبُ الَّذِي أَبَاحَهُ اللَّهُ
تَعَالَى وَمَنْ الَّذِي قَالَ: إنَّهُ إذَا خَالَطَهُ الْخَبِيثُ وَاسْتُهْلِكَ
فِيهِ وَاسْتَحَالَ قَدْ حَرُمَ؟ وَلَيْسَ عَلَى ذَلِكَ دَلِيلٌ لَا مِنْ كِتَابٍ
وَلَا مِنْ سُنَّةٍ وَلَا إجْمَاعٍ وَلَا قِيَاسٍ
Lemak, susu, minuman manis dan asam
ini, serta lainnya dari yang baik-baik dan yang khobits telah hilang dan
berubah di dalamnya, maka bagaimana mungkin mengharamkan yang baik yang telah
dimubahkan oleh Allah.
Dan siapakah yang mengatakan: Jika yang
khobits bercampur dengan yang thoyib, lalu yang khobits lenyap didalamnya dan
berubah, lalu diharamkan?
Tidak ada dalil untuk itu, baik dari
Kitab, maupun dari As-Sunnah, maupun dari Ijma', dan maupun dari Qiyas
[analogi]. [Majmu' Fataawaa 21/502]
Dari uraian di atas, diketahui bahwa
objek najis menjadi suci dengan al-Istihaalh [transformasi] melalui cara
al-Istihlaak dan al-Mukaatsarah [الاسْتِهْلاَكُ وَالمُكَاثَرَةُ]
; karena dalam kedua cara itu sama-sama kehilangan hakikat dan realitas
aslinya.
Dan itu berubah menjadi objek lain yang
digambarkan sebagai sesuatu yang suci, baik secara syar'i maupun tradisi, maka
harus dinyatakan bahwa itu telah berubah menjadi suci dan diperbolehkan untuk
mengambil manfaat darinya.
====
Berikut ini beberapa contoh praktek
dalam fiqih kontemporer untuk hal ini, yaitu adalah:
Menggunakan sebagian bahan-bahan najis
yang diharamkan, seperti lemak babi atau alkohol, misalnya untuk mengolah makanan
atau obat-obatan. Dan itu dalam kadar jumlah yang sangat sedikit, dengan maksud
untuk mencairkan, membekukan, menguatkan atau mengawetkan semua itu, atau untuk
tujuan lain, baik itu dalam benda-benda cair, padat, kering, atau lainnya, di
mana semua zat najis berubah menjadi zat suci dengan cara melarutkannya di
dalamnya hingga hilang, atau dengan menjadikan yang suci jauh lebih
mendominasi. Maka dari sini menjadi halal thoyyib bisa dimanfaatkan.
-----
SEBAGAI CONTOH: AIR SUMUR YANG TERTIMPA NAJIS ?
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika
sebagian air sumur najis dikeluarkan dari nya, maka itu mensucikan apa yang
tersisa dari air di dalamnya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang kadar
yang harus dikuras atau dikeluarkan agar bisa mensucikan air yang tersisa.
Sementara madzhab Maliki berpendapat
bahwa perubahannya menjadi najis bisa dihilangkan dengan cara memperbanyak apa
saja ke dalamnya atau dengan memmasukan air lain yang suci, dan jika itu hilang
dengan sendirinya, maka yang dzohir hukumnya adalah telah kembali ke keadaan
semula, yaitu kembali suci.
Madzhab Syafi'i dan
Madzhab Hanbali mengklasifikasikan air menjadi tiga kategori:
Salah satunya: jika lebih dari dua
QULLAH, maka disucikan dengan tiga cara: menambahkan air ke dalamnya dengan
kesepakatan, atau dengan menguras, dengan syarat sisanya dua Qullah, sesuai
kesepakatan juga; Atau hilangnya perubahan dengan sendirinya. Dan ini adalah
menurut Madzhab Syafa'i.
Dan yang kedua: jika ada dua Qullah,
maka ia tetap suci dengan semua yang disebutkan di atas kecuali jika diambil
sebagian sehingga menjadi kurang dari dua qullah ; maka ia tidak suci, ini
berdasarkan kesepakatan para ulama.
Dan yang ketiga: jika kurang dari dua
Qullah, lalu ditambahi dengan air hingga mencapai dua qalatin, maka itu menjadi
suci, ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
[Lihat: Bada'i Al-Sana'i 1/84, Mawahib
Al-Jalil 1/84-85, Al-Majmu' 1/183 dan sesudahnya, Al-Mughni 1/35-43, Majallah
Da'wat Al-Haqq Edisi No. 334 S.39 hal./81-83, مجلة البحوث الإسلامية
Edisi 35, hlm. 42-59.
DUA QULLAH:
Ukuran volume dua qullah dalam ukuran
standar besaran international di masa sekarang ini menurut Para ulama
kontemporer kira-kira sejumlah 270 liter. Seperti yang disebutkan oleh Dr.
Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu
*****
KELIMA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PEMBAURAN [الاِخْتِلاَطُ].
Maksudnya adalah:
ٱلِاسْتِحَالَةُ بِٱلِاخْتِلَاطِ
بِٱلْأَرْضِ وَٱلتَّقَادُمِ وَٱلتَّعَرُّضِ لِلْعَوَامِلِ ٱلطَّبِيعِيَّةِ
Artinya: Transformasi atau perubahan
senyawa dengan cara berbaur dengan tanah, lamanya masa berlalu dan terpapar
faktor-faktor alami.
Contohnya adalah sbb:
- Transformasi
atau perubahan senyawa benda najis menjadi debu.
- Tanaman
yang diairi dengan senyawa najis.
- Pohon
dan buah-buahan yang diairi dengan air kotoran najis.
- Lumpur
jalanan yang najis, dan lumpur selokan yang najis jika mengering atau
menjadi kering.
- Bangkai
yang jatuh ke dalam sumur dan berubah menjadi lumpur.
BAGAIMANA HUKUM AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PEMBAURAN INI ?
Sebagian besar para ulama ahli Fiqih
mengatakan bahwa jika kenajisan itu berubah dengan cara seperti itu, maka itu
menjadi SUCI.
Al-Kaasani dari ulama madzhab Hanafi
berkata:
"وَلَوْ أَصَابَتِ ٱلنَّجَاسَةُ
ٱلْأَرْضَ فَجَفَّتْ وَذَهَبَ أَثَرُهَا تَجُوزُ ٱلصَّلَاةُ عَلَيْهَا عِندَنَا، وَعِندَ
زُفَرَ لَا تَجُوزُ، وَبِهِ أَخَذَ ٱلشَّافِعِيُّ"
“Dan jika najis menimpa tanah lalu
mengering dan bekasnya hilang, maka diperbolehkan untuk mendirikan shalat
diatasnya – menurut madzhab kami -. Dan menurut pendapat Zufar: tidak
diperbolehkan, dan ini pendapat yang diambil oleh Al-Syafi'i.” [Bada'i
al-Sana'i': 1/85.]
Lalu Al-Kaasani berkata pula:
"ٱلنَّجَاسَةُ إِذَا تَغَيَّرَتْ
بِمَضِيِّ ٱلزَّمَانِ وَتَبَدَّلَتْ أَوْصَافُهَا تَصِيرُ شَيْئًا آخَرَ عِندَ مُحَمَّدٍ
فَيَكُونُ طَاهِرًا...... وَعَلَىٰ هٰذَا ٱلْأَصْلِ مَسَائِلُ....: (مِنْهَا): ٱلْكَلْبُ
إِذَا وَقَعَ فِي ٱلْمِلَاحَةِ، وَٱلْجَمَدُ، وَٱلْعَذِرَةُ إِذَا أُحْرِقَتْ بِٱلنَّارِ
وَصَارَتْ رَمَادًا، وَطِينُ ٱلْبَالُوعَةِ إِذَا جَفَّ وَذَهَبَ أَثَرُهُ، وَٱلنَّجَاسَةُ
إِذَا دُفِنَتْ فِي ٱلْأَرْضِ وَذَهَبَ أَثَرُهَا بِمُرُورِ ٱلزَّمَانِ"
“Jika kenajisan berubah dengan
berlalunya waktu dan deskripsinya berubah, serta menjadi sesuatu yang lain -
menurut Muhammad [Asy-Syaibaani]- maka itu menjadi SUCI…
Berdasarkan asas ini, terdapat beberapa
masalah....:
(Antara lain): anjing jika jatuh ke
ladang garam dan membeku. Kotoran Tinja jika dibakar dan menjadi abu. Lumpur
selokan jika mengering dan hilang bekasnya. Dan benda najis jika terkubur dalam
tanah dan jejaknya hilang seiring berjalannya waktu. [Bada'i al-Sana'i': 1/85].
Dan masih berkaitan dengan masalah
benda-benda yang dianggap suci, Khalil al-Maliki berkata berkata:
"(وَزَرْعٌ بِنَجِسٍ) أَي سُقِيَ،
وَذَكَرَ ٱلدَّسُوقِيُّ صُورَةً أُخْرَىٰ أَغْلَظَ مِنْ هَذِهِ وَحَكَمَ بِطَهَارَتِهَا،
وَهِيَ أَنْ يُزْرَعَ زَرْعٌ نَجِسٌ بِذَاتِهِ، فَإِنَّهُ إِذَا نَبَتَ صَارَ طَاهِرًا".
"(Dan tanaman dengan najis) yakni menyiraminya. Dan
Ad-Dasuuqi menyebutkan bentuk lain yang lebih parah dari ini, namun dia tetap
menganggapnya SUCI, yaitu menanam benih najis dzatnya, jika ia tumbuh, maka
menjadi SUCI". [Haasyiyah Ad-Dasuuqi: 1/52.]
An-Nawawi berkata:
الزَّرْعُ النَّابِتُ
عَلَى السِّرْجِينِ قَالَ الْأَصْحَابُ لَيْسَ هُوَ نَجِسَ الْعَيْنِ
لَكِنْ يَنْجُسُ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ نَجَاسَةً مُجَاوِرَةً وَإِذَا غُسِلَ
طَهُرَ وَإِذَا سَنْبَلَ فَحَبَّاتُهُ الْخَارِجَةُ طَاهِرَةٌ قَطْعًا وَلَا
حَاجَةَ إلَى غَسْلِهَا وَهَكَذَا الْقِثَّاءُ وَالْخِيَارُ وَشَبَهُهُمَا يَكُونُ
طَاهِرًا وَلَا حَاجَةَ إلَى غَسْلِهِ قَالَ الْمُتَوَلِّي وَكَذَا الشَّجَرَةُ
إذَا سُقِيَتْ مَاءً نَجِسًا فَأَغْصَانُهَا وَأَوْرَاقُهَا وَثِمَارُهَا
طَاهِرَةٌ كُلُّهَا لِأَنَّ الْجَمِيعَ فَرْعُ الشَّجَرَةِ وَنَمَاؤُهَا
“Benih yang tumbuh diatas kotoran
tinja, para sahabat [ulama Madzhab Syafi'i] berkata: tidak najis …
Dan jika keluar mayang atau bulir, maka
bulirnya yang keluar itu pasti suci dan tidak perlu dicuci, begitu juga
bonteng, ketimun, dan sejenisnya adalah suci dan tidak perlu mencucinya.
Al-Mutawalli berkata: Demikian juga,
jika pohon disiram dengan air yang najis, maka cabang, daunnya dan buahnya juga
suci semua, karena semuanya adalah dahan dari pohon dan tumbuh berkembang darinya
[al-Majmu' 2/573].
===***===
HADITS-HADIT YANG BERKAITAN DENGAN PEMBAHASAN INI:
Hadits ke 1: “Dari
seorang ibu putera Ibroohim bin 'Abdurrohmaan bin 'Auf
أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ
سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ ﷺ فَقَالَتْ إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى
وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ « يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ ».
Bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu
Salamah radhiyallahu 'anhaa, istri Nabi ﷺ:
“Sesungguhnya saya adalah seorang perempuan yang biasa
memanjangkan pakaianku dan (terkadang) saya berjalan di tempat yang
kotor? ”
Maka jawab Ummu Salamah radhiyallahu
'anhaa, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, “ Tanah
sesudahnya mensucikannya .”
[HR. At-Tirmidzi (143), Abu Dawud (383)
dan Ibnu Majah (531). Hadits tersebut digolongkan sebagai shahih oleh Syekh
al-Albani dalam Shahih al-Tirmidzi. Hadits tersebut dihukumi shahih oleh Syekh
al-Albani dalam Shahih al-Tirmidzi.]
Hadits ke 2: Dari
Abdullah bin Yazid dari Seorang perempuan dari Bani Abdil Asyhal dia berkata;
قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لَنَا طَرِيقًا إِلَى الْمَسْجِدِ مُنْتِنَةً فَكَيْفَ
نَفْعَلُ إِذَا مُطِرْنَا. قَالَ: أَلَيْسَ بَعْدَهَا طَرِيقٌ هِيَ أَطْيَبُ
مِنْهَا ؟ قَالَتْ: قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: " فَهَذِهِ بِهَذِهِ ".
Saya pernah bertanya; Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya jalan kami menuju ke masjid kotor bau busuk, maka bagaimanakah
yang kami lakukan apabila turun hujan? Beliau bersabda: "Bukankah sesudah
jalan (yang kotor bau busuk itu) adalah jalan yang lebih bagus (suci)?"
Saya menjawab: Ya.
Beliau bersabda: "Maka jalan kotor
tadi disucikan oleh tanah jalanan yang suci."
[HR. Abu Daud (384) dan lafalnya adalah
miliknya, Ibnu Majah (533), dan Ahmad (27452) dengan sedikit perbedaan. Di
shahihkan oleh al-Albaani.
Hadits ke 3: Dari Abu
Hurairoh radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ
فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ ﷺ
دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Telah berdiri seorang
Arab Badui di (pojok) di masjid lalu buang air kecil (kencing), maka
kemudian para Shohabat hendak menghentikannya.
Lalu Nabi ﷺ
kepada mereka:
“Biarkan dia (sampai selesai) dan
(kemudian) tuangkanlah diatas urinnya setimba air atau seember air,
karena kalian diutus (ke permukaan bumi) sebagai pemberi kemu-dahan, bukan
diutus untuk menyulit-kan .” [HR. Bukhori no. 220, 6128].
Hadits ke 4: Dari
[Abu Sa'id Al-Khudri] dia berkata;
بَيْنَمَا رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ
يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ
قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ جِبْرِيلَ ﷺ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا
قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ
فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ
وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Tatkala Rasulullah ﷺ mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan
kedua sandalnya lalu meletakkannya di sebelah kirinya. Sewaktu para sahabat
melihat tindakan beliau tersebut, mereka ikut pula melepas sandal mereka.
Maka tatkala Rasulullah ﷺ selesai shalat, beliau bersabda:
"Apa gerangan yang membuat kalian
melepas sandal sandal kalian?"
Mereka menjawab; Kami melihat engkau
melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal sandal kami.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Sesungguhnya Malaikat Jibril 'Alaihis Salam telah datang kepadaku, lalu
memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya."
Selanjutnya beliau bersabda:
"Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka
perhatikanlah, jika dia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran
maka usaplah, dan shalatlah dengan sepasang sandalnya itu."
[HR. Abu Daud (650) dan disahihkan oleh
Al-Albani dalam “Sahih Abi Daud”]
Hadits ke 6: Dari Abu
Hurairah: bahwasanya Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِذَا وَطِئَ
أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
"Apabila salah seorang di antara
kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka debu tanah dapat menjadi
penyuci baginya".
Dan lafadz riwayat lain:
إِذَا وَطِئَ الْأَذَى
بِخُفَّيْهِ فَطَهُورُهُمَا التُّرَابُ
"Apabila di antara kamu menginjak
kotoran dengan dua khufnya [kaos kaki kulit], maka debu tanahlah yang
mensucikan keduanya".
[HR. Abu Daud (385) di shahihkan al-Albaani dalam التعليقة الرضية 1/103].
******
KEENAM: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PENYAMAKAN KULIT [الدَّبْغُ]
Penyamakan kulit adalah suatu proses
mengubah kulit mentah menjadi kulit tersamak (leather). Penyamakan kulit
biasanya digunakan pada hampir semua jenis ternak antara lain kulit sapi,
kerbau, kambing, kelinci, domba, ikan pari dll, bahkan beberapa hewan ekstrim
di antaranya ular, harimau dan buaya.
Penyamakan kulit merupakan cara untuk
mengubah kulit yang bersifat labil dan mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia
dan biologi menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut. Kulit samak
memiliki sifat khusus yang sangat berbeda dengan kulit mentahnya, baik sifat
fisis maupun sifat khemisnya.
Kulit mentah mudah membusuk dalam
keadaan kering, keras, dan kaku. Sedangkan kulit tersamak memiliki sifat yang
awet dan mudah dibentuk menjadi segala jenis kerajinan di antaranya tas, jaket,
sabuk atau gesper, gantungan kunci, cover buku, dompet dan kerajinan
lainnya.
Teknik mengolah kulit mentah menjadi
kulit samak disebut penyamakan. Dengan demikian, kulit hewan yang mudah busuk
dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme.
Prinsip mekanisme penyamakan kulit
adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan serat kulit sehingga menjadi
ikatan kimia antara bahan penyamak dan kulit didalam serat kulit.
====
LOGIKA SUCINYA KULIT BANGKAI SETELAH DI SAMAK.
وَهُوَ أَنَّ
الدَّبْغَ يُزِيل سَبَبَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ الرُّطُوبَةُ وَالدَّمُ، فَصَارَ
الدَّبْغُ لِلْجِلْدِ كَالْغَسْل لِلثَّوْبِ. وَلأَنَّ الدِّبَاغَ يَحْفَظُ
الصِّحَّةَ لِلْجِلْدِ وَيُصْلِحُهُ لِلاِنْتِفَاعِ بِهِ كَالْحَيَاةِ، ثُمَّ
الْحَيَاةُ تَدْفَعُ النَّجَاسَةَ عَنِ الْجُلُودِ فَكَذَلِكَ الدِّبَاغُ
Artinya: Yaitu bahwa penyamakan itu
menghilangkan penyebab najis, yaitu kelembaban dan darah, sehingga penyamakan
kulit menjadi sama seperti mencuci pakaian.
Dan karena penyamakan itu menjaga
kesehatan kulit dan menjadikannya layak untuk digunakan sama seperti ketika
hewannya masih hidup. Kemudian semasa hidupnya hewan itu bisa mengusir najis
dari kulit, maka begitu pula dengan penyamakan.
[Lihat: Ibn Abidin 1/136, Al-Bada'i'
1/85, Al-Binaayah 1/236, 362, Al-Majmu' 1/216 dan seterusnya, Mughni Al-Muhtaaj
1/78, Kashshaaf Al-Qina' 1/54, dan Al-Mughni 1/67.]
----
HADITS-HADITS PENYAMAKAN KULIT BANGKAI:
Hadits ke 1: Dari
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu: bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ
فَقَدْ طَهُرَ
“Jika kulit binatang telah disamak maka
ia menjadi suci.”
[HR. Muslim no. 366]
Hadits ke 2: Dalam
lafadz lain dari Ibnu Abbas, Rosulullah ﷺ
bersabda:
“أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ
طَهُرَ "
“Kulit binatang apapun yang telah
disamak maka ia menjadi suci".
[HR. Muslim (366), Asy-Syafi'i 1/26, Ahmad no. (1895),
Al-Humaidi (486), Ibnu Abi Shaybah 8/378, Ibnu Majah (3609), Al-Tirmidzi
(1728), Al-Nasa'i no. (4241), Abu Ya'la (2385), dan Al-Tabari dalam
"Tahdziib Al-Atsar" 2/809, Abu 'Awaanah 1/212, Al-Thohawi dalam
"Syarh Al-Ma'ani" 1/469, Ibnu Hibban (1288), ath-Thabrani dalam
ash-Shogiir (698), Abu Na'iim dalam al-Hilyah 10/218, dan Al-Baihaqi 1/16]
Di Shahihkan al-Albaani dalam Shahih
an-Nasaa'i no. 4252, Syu'aib al-Arna'uth dan para pentahqiq Musnad Imam Ahmad
3/382 (1895)].
Hadits ke 3: Dari
Maimunah Radliyallaahu 'anhu berkata:
مَرَّ رَسُولُ
الْلَّهِ ﷺ بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟
فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ
Bahwa Rasulullah ﷺ melewati seekor kambing yang sedang diseret orang-orang.
Beliau bersabda: Alangkah baiknya jika
engkau mengambil kulitnya.
Mereka berkata: Ia benar-benar telah
mati?
Beliau bersabda: Ia dapat disucikan
dengan air dan daun qorodz [nama daun yang biasa untuk menyamak kulit].
[Abu Dawud no. 4126 dan Nasa'i. Di
shahihkan al-Albaani dalam shahih Abu Daud].
Hadits ke 4: Dari
Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata:
وَجَدَ النبيُّ ﷺ
شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقالَ
النبيُّ ﷺ: هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بجِلْدِهَا؟ قالوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، قالَ:
إنَّما حَرُمَ أكْلُهَا.
Nabi ﷺ
mendapatkan seekor
kambing yang diberikan oleh seorang sahaya wanita Maimunah sebagai zakatnya
dalam keadaan mati.
Maka Nabi ﷺ
bersabda:
"Kenapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? '.
Orang-orang berkata,: "Kambing itu
sudah jadi bangkai".
Beliau ﷺ
menjawab: "Yang
diharamkan itu memakannya". [HR. Bukhori no. 1492 dan Muslim no. 363].
Hadits ke 5: Dari
Salamah Ibnul Muhabbaq al-Hudzali berkata:
أنَّ رسولَ اللَّهِ
ﷺ في غَزوةِ تبوكَ أتى على بيتٍ ، فإذا قِربةٌ معلَّقةٌ ، فسألَ الماءَ ، فقالوا:
يا رسولَ اللَّهِ ، إنَّها مَيتةٌ ، فقالَ: دباغُها طُهورُها
"Ketika perang Tabuk, Rasulullah ﷺ mendatangi sebuah rumah, lalu beliau menemukan sebuah wadah dari kulit
yang digantung. Beliau kemudian minta diambilkan air dengan wadah tersebut.
Maka para sahabat pun berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai!"
Beliau bersabda: "Penyamakannya
telah menjadikan ia suci." [HR. Abu Daud no. 4125. Di Shahihkan oleh
al-Albaani].
Hadits ke 6: Dari
Aisyah Radliyallaahu 'anha, dia berkata:
سُئِلَ رسولُ
اللَّهِ ﷺ عن جُلودِ الميتةِ ؟ فقالَ: دباغُها ذَكاتُها
bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang kulit Bangkai ? Maka beliau menjawab:
“Menyamak nya itu adalah mensucikannya.” [HR. An-Nasaa'i no.
4256. Di Shahihkan oleh al-Albaani]
=====
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA:
Para fuqaha’ memiliki perbedaan yang
luas mengenai kulit bangkai hewan, kulit babi, dan kulit selain hewan ternak
yang dagingnya tidak halal dimakan:
Pendapat pertama:
Sebagian dari mereka mengharamkannya sama sekali.
Pendapat kedua:
Sebagian dari mereka menghalalkannya sama sekali.
Pendapat ketiga:
Sebagian dari mereka ada yang membedakan antara yang telah disamak dan yang
belum disamak.
Dan mereka yang menghalalkan penggunaan
kulit yang disamak, terbagi dua pendapat: Yang pertama: sebagian dari mereka
menghalalkanya secara mutlak, baik dalam keadaan cair maupun kering. Yang
kedua: Sebagian dari mereka membatasi yang halal digunakan itu adalah kulit
yang kering. [Baca: Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd 1/76].
Yang kami pilih dan yakini adalah jika
disamak, maka menjadi suci dan boleh digunakan untuk keperluan-keperluan yang
sudah menjadi tradisi dan kebiasaan seperti untuk wadah dan menampung benda
cair, padat dan kering. Dan juga menggunakannya untuk mantel, sepatu dan
pakaian lainnya.
Dan yang demikian itu karena
berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ:
أيُّما إهابٍ دبغَ
فقد طَهرَ
“Kulit binatang apapun yang telah
disamak maka ia menjadi suci".
[HR. Muslim (366), Asy-Syafi'i 1/26, Ahmad no. (1895),
Al-Humaidi (486), Ibnu Abi Shaybah 8/378, Ibnu Majah (3609), Al-Tirmidzi
(1728), Al-Nasa'i no. (4241), Abu Ya'la (2385), dan Al-Tabari dalam
"Tahdziib Al-Atsar" 2/809, Abu 'Awaanah 1/212, Al-Thohawi dalam
"Syarh Al-Ma'ani" 1/469, Ibnu Hibban (1288), ath-Thabrani dalam
ash-Shogiir (698), Abu Na'iim dalam al-Hilyah 10/218, dan Al-Baihaqi 1/16]
Di Shahihkan al-Albaani dalam Shahih
an-Nasaa'i no. 4252, Syu'aib al-Arna'uth dan para pentahqiq Musnad Imam Ahmad
3/382 (1895)].
Proses Penyamakan kulit yang najis
menjadikannya suci dengan al-Istihaalah [transformasi], oleh sebab itu kami
memasukkannya di sini.
Abu Ishaq Al-Shirazi berkata:
" وَلَا يَطْهُرُ مِنَ ٱلنَّجَاسَاتِ بِٱلِاسْتِحَالَةِ إِلَّا شَيْئَانِ: أَحَدُهُمَا
جِلْدُ ٱلْمَيْتَةِ...".
“Tidak ada kenajisan yang dapat
disucikan dengan transformasi kecuali dua hal: salah satunya adalah kulit
bangkai …”. [al-Muhadzab dengan syarahnya al-Majmu' 572]
******
KETUJUH: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PROSES KIMIA [العَمَلُ الكِيْمَاوِيّ]
Di zaman kita sekarang ini, teknologi
modern untuk memproses pemurnian dan pensucian telah memiliki kemampuan besar
dalam menghilangkan zat-zat terentu dan memurnikannya dari kotoran najis yang
menimpa-nya dan melekat padanya, yang mengantarkan pada pensucian zat-zat ini
dan mentransfomasikannya kembali ke keadaan semula tanpa ada keraguan,
sebagaimana disaksikan dan diputuskan oleh para pakar khusus, yang tidak
diragukan lagi akan pengalamannya dan hasil uji cobanya.
Metode dan sarana penelitian kimia telah
berkembang pesat saat ini, sehingga memungkinkan untuk mentransformasi banyak
zat najis ke zat suci, atau mengembalikan zat najis ke keadaan suci semula.
Dalam semua ini, maka jenis al-Istihaalah [perubahan senyawa] ini bisa merubah
menjadi suci seperti jenis lainnya yang sebelumnya.
di antara contoh-contoh transformasi
melalui proses kimia yang pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu adalah
sbb:
- Transformasi
minyak najis menjadi sabun.
- Minuman
keras menjadi beku, berubah menjadi cuka, atau dirubah menjadi cuka.
- Tulang
bangkai hewan dibuat darinya salep.
[Lihat: أحكام النجاسات في الفقه الإسلامي oleh Abd al-Majid Mahmoud Salaheen 2/495-509, مجلة دعوة الحق Edisi. (334) s39/hal. 76-83, مجلة البحوث الإسلامية
Edisi.35/hal. 35- 59].
===****===
FATWA SIMPOSIUM KE. 9
ORGANISASI ISLAM UNTUK ILMU KEDOKTERAN.
Menyatakan:
ٱلِاسْتِحَالَةُ ٱلَّتِي
تَعْنِي ٱنْقِلَابَ ٱلْعَيْنِ إِلَىٰ عَيْنٍ أُخْرَىٰ تُغَايِرُهَا فِي صِفَاتِهَا
تُحَوِّلُ ٱلْمَوَادَّ ٱلنَّجِسَةَ أَوِ ٱلْمُتَنَجِّسَةَ إِلَىٰ مَوَادَّ طَاهِرَةٍ،
وَتُحَوِّلُ ٱلْمَوَادَّ ٱلْمُحَرَّمَةَ إِلَىٰ مَوَادَّ مُبَاحَةٍ شَرْعًا۔
وَبِنَاءً عَلَىٰ ذٰلِكَ:
* ٱلْجِلَاتِينُ ٱلْمُتَكَوِّنُ
مِنِ ٱسْتِحَالَةِ عَظْمِ ٱلْحَيَوَانِ ٱلنَّجِسِ وَجِلْدِهِ وَأَوْتَارِهِ: طَاهِرٌ
وَأَكْلُهُ حَلَالٌ۔
* ٱلصَّابُونُ ٱلَّذِي يُنْتَجُ
مِنْ ٱسْتِحَالَةِ شَحْمِ ٱلْخِنزِيرِ أَوِ ٱلْمَيْتَةِ يَصِيرُ طَاهِرًا بِتِلْكَ
ٱلِاسْتِحَالَةِ وَيَجُوزُ ٱسْتِعْمَالُهُ۔
* ٱلْجُبْنُ ٱلْمُنْعَقِدُ بِفِعْلِ
إِنْفِحَةِ مَيْتَةِ ٱلْحَيَوَانِ ٱلْمَأْكُولِ ٱللَّحْمِ طَاهِرٌ وَيَجُوزُ تَنَاوُلُهُ۔
* ٱلْمَرَاهِمُ وَٱلْكَرِيمَاتُ
وَمَوَادُّ ٱلتَّجْمِيلِ ٱلَّتِي يَدْخُلُ فِي تَرْكِيبِهَا شَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ لَا
يَجُوزُ ٱسْتِعْمَالُهَا إِلَّا إِذَا تَحَقَّقَتْ فِيهَا ٱسْتِحَالَةُ ٱلشَّحْمِ وَٱنْقِلَابُ
عَيْنِهِ، أَمَّا إِذَا لَمْ يَتَحَقَّقْ ذٰلِكَ فَهِيَ نَجِسَةٌ۔
– ٱلْمَوَادُّ ٱلْمُخَدِّرَةُ مُحَرَّمَةٌ لَا يَحِلُّ
تَنَاوُلُهَا إِلَّا لِغَرَضِ ٱلْمُعَالَجَةِ ٱلطِّبِّيَّةِ ٱلْمُتَعَيِّنَةِ وَبِٱلْمَقَادِيرِ
ٱلَّتِي يُحَدِّدُهَا ٱلْأَطِبَّاءُ، وَهِيَ طَاهِرَةُ ٱلْعَيْنِ۔ وَلَا حَرَجَ فِي
ٱسْتِعْمَالِ جَوْزَةِ ٱلطِّيبِ وَنَحْوِهَا فِي إِصْلَاحِ نَكْهَةِ ٱلطَّعَامِ بِمَقَادِيرَ
قَلِيلَةٍ لَا تُؤَدِّي إِلَى ٱلتَّفْتِيرِ أَوِ ٱلتَّخْدِيرِ۔
Al-Istihaalah [Transformasi], yaitu
berubahnya suatu objek menjadi objek lain dengan sifat-sifat yang berbeda, bisa
mengubah objek najis atau objek yang terkena najis menjadi objek Suci, dan
mengubah objek yang diharamkan menjadi objek yang halal menurut hukum syar'i.
Berdasarkan hal tersebut:
- Gelatin yang terbentuk dari perubahan tulang,
kulit, dan urat hewan najis: adalah suci dan dibolehkan untuk dimakan.
- Sabun yang dihasilkan dari transformasi lemak
babi atau bangkai menjadi murni dengan al-Istihalah [transformasi] ini dan
diperbolehkan untuk menggunakannya.
- Keju yang terbuat dari rennet bangkai hewan
[yang halal jika disembelih secara syar'i] adalah suci dan boleh dimakan.
- Salep,
krim dan kosmetik yang
mengandung lemak babi tidak boleh digunakan kecuali jika telah terbukti
secara medis bahwa lemak tersebut telah terjadi perubahan senyawa
[al-Istihaalh] menjadi zat lain dan berubah bentuk nya. Adapun jika ini
tidak terbukti, maka itu adalah najis.
- Narkotika [obat Bius] diharamkan dan tidak boleh
dikonsumsi kecuali untuk tujuan pengobatan tertentu dan dalam jumlah yang
ditentukan oleh dokter. Namun objeknya adalah Suci.
Dan tidak mengapa menggunakan Pala dan
sejenisnya untuk meningkatkan rasa makanan dengan kadar sedikit yang tidak
menyebabkan disorientasi [teler] atau pembiusan.
[Lihat: تَوْصِيَاتُ ٱلنَّدْوَةِ ٱلثَّامِنَةِ لِلْمُنَظَّمَةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ لِلْعُلُومِ
ٱلطِّبِّيَّةِ / ٱلْفِقْهُ ٱلْإِسْلَامِيُّ وَأَدِلَّتُهُ (9/662-664)]
===****===
RINGKASAN DAN KESIMPULAN:
Pendapat yang paling rajih - menurut
penulis - adalah bahwa al-Istihaalah [perubahan senyawa] memiliki kekuatan dan
berpengaruh untuk mensucikan objek-objek najis. Ini berdasaakan alasan-alasan
sebagai berikut:
Karena hukum Syariah mengatur sifat
najis sesuai dengan hakikat ini. Dan hakikat ini menjadi hilang dengan
hilangnya sebagian dari bagian-bagiannya, lalu bagaimana dengan keseluruhannya?
Maka sesungguhnya garam itu bukanlah tulang dan daging, maka jika berubah jadi
garam, maka harus mengikuti aturan hukum garam.
Penulis telah lihat bahwa para ulama
ahli fiqih telah sepakat bahwa minuman keras bisa menjadi suci jika berubah
dengan sendirinya secara alami menjadi cuka.
Adapun selain itu, dari macam-macam
bentuk al-istihaalah dan jenisnya, memang mereka para ahli fiqih berbeda
pendapat dalam kesuciannya dan kehalalannya sebagaimana yang telah disebutkan
yang lalu. Namun terlepas dari perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal
itu, tidak ada jenis al-istihaalah atau salah satu bentuknya, kecuali Anda
menemukan sebagian para ulama dari masing-masing madzhab ada yang menghukuminya
suci dan halal.
Dan penulis telah melihat para ulama
Madzhab yang paling banyak mempermudah dan memberi keluasan dalam
masalah-masalah ini adalah madzhab Hanafi [kecuali Abu Yusuf], lalu Ibnu Hazm
Al-Zahiri, Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali, dan Al-Shawkani. Dan di antara mereka
yang tengah-tengah adalah Maliki. Dan yang paling keras di antara mereka adalah
madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali.
Dan apa yang penulis simpulkan dari
semua itu adalah:
Bahwa jika kita mengecualikan kasus
khamr [miras] yang sengaja diproses menjadi cuka karena kasus ini lebih
mendekati aspek ta'abbudi [ibadah] dari pada aspek tradisi dan kebiasaan. Jika
demikian adanya maka segala sesuatu selain dari itu jika terjadi transformasi
di dalamnya ; maka bisa dianggap mensucikan, dan juga objek najis yang
bertransformasi manjadi objek lain., bisa dianggap suci dan halal untuk
dimanfaatkan. Dengan alasan sbb:
Ke 1]
Karena Allah Azza Wa Jalla berfirman:
{ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ }
“dan yang menghalalkan segala yang baik
bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka ". [QS.
Al-A'raf: 157]
Benda-benda yang baik dan suci ini,
yang sebelumnya adalah benda-benda najis atau yang terkena najis, lalu berubah
menjadi benda-benda yang baik dan suci, tidak ada seorang pun yang berhak
mengeluarkannya dari yang baik kemudian mengklaimnya sebagai benda-benda yang
khobits buruk dan najis, kecuali dengan adanya dalil, dan tidak ada dalil untuk
itu.
Ke 2]
Karena Allah Azza Wa Jalla berfirman:
{ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا
حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ }
“Padahal Allah telah menjelaskan
kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan
terpaksa ". [QS. Al-An'am: 119].
Objek-objek Najis yang berubah menjadi
ke objek lain tidak termasuk dalam nash yang mengharamkannya dengan
penyelidikan yang maximal.
Ke 3]
Halalnya cuka yang berasal dari khamr
[miras].
Ke 4]
Halalnya memanfaatkan kulit najis jika
telah disamak.
Ke 5]
Halalnya memanfaatkan minyak wangi
kesturi yang berasal dari darah.
Ke 6]
Halalnya memanfaat daging al-Jallalah
[hewan pemakan najis] dan susunya setelah dikarantinakan dengan hanya
mengkonsumsi makanan suci].
Ke 7]
Karena objek najis itu jika telah
bertransformasi maka bukan lagi objek najis, tetapi telah menjadi sesuatu yang
lain, substansi baru yang semisalnya itu disifati suci. Jadi abu, kotoran,
garam, sabun, dan tembikar semuanya suci. Dan apapun yang berubah menjadi
seperti itu juga sama di hukumi suci.
Ke 8]
Alasan dan illat pengharaman sebelum
bertransformasi adalah najis, sementara najisnya telah dihilangkan dengan transformasi. Dan qaidah
menyatakan:
الْحُكْمُ يَدُورُ
مَعَ الْعِلَّةِ وُجُودًا وَعَدَمًا ، فإِذَا زَالَتْ زَالَ
“Hukum itu berkisar pada illat
[penyebab], adanya atau tidak adanya, jika illatnya hilang, maka hilang pula
hukumnya ".
Ke 9]
Salah satu Qaidah Syar'i:
الحَرَجُ
مَرْفُوْعٌ
“Bahwa rasa keberatan dan sempit itu
diangkat ".
Dan di dalam pengharaman benda yang
berasal dari benda najis yang ditransformasikan menjadi benda lain, terdapat
kesulitan [عُسْر] dan kesempitan [حَرَجٌ]
yang tidak bisa ditanggung oleh manusia, sehingga perlu untuk menghilangkannya
dari mereka sejalan dengan tujuan Syariah [مَقَاصِد الشَّرِيْعَة]
yang memperhatikan kebutuhan umum bagi orang-orang mukallaf.
Di antara apa yang telah diputuskan
para ahli fiqih adalah: untuk memaafkan [العَفْو]
dan untuk menghilangkan kesempitan [رَفْعُ الحَرَجِ].
Dan qaidah-qaidah berikut ini berdasarkan hasil penelusuran dan istiqro':
- [اليُسْر: kemudahan]
- [مَا لاَ يَتَحَرَّزُ مِنْه: Apa yang tidak membuatnya keberatan]
- [مَا تَعُمُّ بِه البَلْوَى: Apa yang menjadi kebutuhan umum]
- [يَعْسُرُ اجْتِنَابُه: Tidak dapat dihindari] dan lain-lain yang semisalnya.
Ke 10]
Hukum asalnya dalam segala sesuatu
adalah suci. Adapun najis adalah perubahan yang datang kemudian. Maka jika
objek najis itu diperbaharui dengan mengubahnya kembali, maka ia kembali ke
asalnya semula, yaitu suci.
Ke 11]
Hukum asalnya dalam segala sesuatu
adalah halal, maka hukum asal ini akan kembali pada benda-benda najis yang diubah
kembali ke asalnya, sampai ada dalil yang sebaliknya, seperti dalam kasus
Takhlil Khamr [yakni: sengaja merubah miras menjadi cuka].
Ke 12]
Para ahli fikih sepakat bahwa salah
satu syarat barang yang diperjual belikan adalah barang suci, maka tidak boleh menjual barang najis
atau barang yang terkena najis yang tidak bisa disucikan lagi, seperti cairan
yang tercampur dengan kenajisan.
Dan diperbolehkan menjual barang najis
yang bisa disucikan, seperti pakaian, jika dijelaskan kepada pembeli. Dan
berdasarkan ini, maka cairan yang terkena najis, jika kenajisan telah
dihilangkan dengan tindakan proses kimia, maka wajib hukumnya menjadi suci dan
halal.
Dan kesimpulan pada prinsip ini: Maka
jika benda najis diubah menjadi zat lain yang dianggap suci, maka itu harus
menjadi suci dan halal pula.
Semua itu adalah dalil-dalil yang
bertebaran - dan saling melengkapi - untuk menetapkan suatu putusan hukum yang
sesuai dengan nash, tujuan dan prinsip syariah, yaitu:
طهارة ما استحالت
إليه النجاسات من أعيان مغايرة، وحلية استعمالها والانتفاع بها.
"Sucinya sesuatu yang telah
berubah dari najis menjadi benda-benda yang berbeda., dan halalnya menggunakan
dan memanfaatkannya".
Wallaahu a'lam.
====****===
FATWA ORGANISASI ISLAM UNTUK ILMU-ILMU KEDOKTERAN ISLAMIC
[ORGANIZATION FOR MEDICAL SCIENCES]
ٱلْمُنَظَّمَةُ ٱلْإِسْلَامِيَّةُ
لِلْعُلُومِ ٱلطِّبِّيَّةِ
Para peserta simposium menyepakati apa
yang tertuang dalam fatwa dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Islamic
Organization for Medical Sciences dalam simposium:
Tentang:
ZAT HARAM DAN NAJIS DALAM MAKANAN DAN
OBAT-OBATAN
[نَدْوَةُ ٱلْمَوَادِّ ٱلْمُحَرَّمَةِ
وَٱلنَّجِسَةِ فِي ٱلْغِذَاءِ وَٱلدَّوَاءِ]
Yang diselenggarakan di Kuwait pada:
22-24 Dzulhijjah 1415 H/22-24 Mei 1995 M, di Islamic Organization for Medical
Sciences di KUWAIT, naskah kesepakatan sebagai berikut:
المبادئ العامة:
1. يجب على كل مسلم الالتزام بأحكام الشريعة
الإسلامية، وخاصة في مجال الغذاء والدواء، وذلك محقق لطيب مطعمه ومشربه وعلاجه،
وإن من رحمة الله بعباده وتيسير سبيل الإتباع لشرعه مراعاة حال الضرورة والحاجة
التي تضمنتها مبادئ شرعية مقررة، منها: أَنَّ ٱلضَّرُورَاتِ تُبِيحُ
ٱلْمَحْظُورَاتِ، وَأَنَّ ٱلْحَاجَةَ تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ ٱلضَّرُورَةِ مَا
دَامَتْ مُتَعَيِّنَةً، وَأَنَّ ٱلْأَصْلَ فِي ٱلْأَشْيَاءِ ٱلْإِبَاحَةُ مَا لَمْ
يَقُمْ دَلِيلٌ مُعْتَبَرٌ عَلَى ٱلْحُرْمَةِ. كَمَا أَنَّ ٱلْأَصْلَ فِي
ٱلْأَشْيَاءِ كُلِّهَا ٱلطَّهَارَةُ، مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ مُعْتَبَرٌ عَلَى
ٱلنَّجَاسَةِ ، ولا يعتبر تحريم أكل الشيء أو شربه حكما بنجاسته شرعاً.
2. مادة الكحول غير نجسة شرعا، بناء على ما
سبق تقريره من أن الأصل في الأشياء الطهارة، سواء أكان الكحول صرفاً أم مخففاً
بالماء. وعليه، فلا حرج شرعا من استخدام الكحول طبيا كمطهر للجلد -الجروح-
والأدوات، وقاتل للجراثيم، أو استعمال الروائح العطرية (ماء الكولونيا) التي
يستخدم الكحول فيها باعتباره مذيبا للمواد العطرية الطيارة، أو استخدام الكريمات
التي يدخل الكحول فيها. ولا ينطبق ذلك على الخمر لحرمة الانتفاع به.
3. بما أن الكحول مادة مسكرة ويحرم تناولها،
وريثما يتحقق ما يتطلع إليه المسلمون من تصنيع أدوية لا يدخل الكحول في تركيبها
ولا سيما أدوية الأطفال والحوامل، فلا مانع شرعا من تناول الأدوية التي تصنع حاليا
ويدخل في تركيبها نسبة ضئيلة من الكحول، لغرض الحفظ، أو إذابة بعض المواد الدوائية
التي لا تذوب في الماء مع عدم استعمال الكحول فيها مهدئا، وهذا حيث لا يتوافر بديل
عن تلك الأدوية، وتوصي الندوة الجهات الصحية المختصة بتحديد هذه النسب حسب الأصول
العلمية ودساتير الأدوية.
4. لا يجوز تناول المواد الغذائية التي
تحتوي على نسبة من الخمور مهما كانت ضآلتها، ولا سيما الشائعة في البلاد الغربية،
كبعض الشوكولاتة وبعض أنواع المثلجات (الآيس كريم، الجيلاتي، البوظة)، وبعض
المشروبات الغـازية، اعتباراً للأصل الشرعي في أن ما أسكر كثيرة فقليله حرام،
ولعدم قيام موجب شرعي استثنائي للترخيص بها.
5. المواد الغذائية التي يستعمل في تصنيعها
نسبة ضئيلة من الكحول لإذابة بعض المواد التي لا تذوب بالماء من ملونات وحافظات
وما إلى ذلك، يجوز تناولها لعموم البلوى ولتبخر وتلاشي معظم الكحول المضاف في
أثناء تصنيع الغذاء، حسب دساتير وتعاليم هيئات الصحة والأغذية مع الحرص على
استعمال البدائل الخالية من الكحول تماماً.
6. المواد الغذائية التي يدخل شحم الخنزير
في تركيبها مثل بعض الأجبان وبعض أنواع الزيت والدهن والسمن والزبد وبعض أنواع
البسكويت والشكولاتة والآيس كريم، هي محرمة ولا يحل أكلها مطلقا، اعتباراً لإجماع
أهل العلم على نجاسة الخنزير وعدم حل أكله، ولانتفاء الاضطرار إلى تناول هذه
المواد.
7. الجيلاتين: يرى المجمع تكليف أمانة
المجمع بمزيد من البحث والدراسة للموضوع.
الهرمونات
والإنزيمات:
- الهرمون: مادة كيميائية تفرز في الدم بواسطة
الغدد الصماء ويقوم بتنظيم كثير من العمليات الحيوية من استقلابية وبنائية
وتأثيره عام على الجسم.
- الإنزيم: جزيء بروتيني يفرز من خلايا الجسم وله
تأثير موضعي يسرع معدل التفاعل الكيميائي في الكائنات الحية دون أن يستهلك.
- الهيبارين المستخرج من الخنزير: لا يجوز
استخدامه إلا في حالة الضرورة وإذا تم تعديله للحصول على هيبارين ذي وزن
جزيئي منخفض، فإن هذه العملية لا تعتبر استحالة كيميائية ينبني عليها حكم
مستقل، وأما الهيبارين المحضر عن طريق الهندسة الوراثية من دون استخدام أجزاء
الخنزير فلا حرج في استخدامه.
- الإنسولين المستخلص من الخنزير لا يجوز استخدامه
الا لضرورة لوجود، البديل الحلال. أما الإنسولين البشري ونظائره المحضر عن
طريق الهندسة الوراثية فإن استخدامه جائز.
- صمامات القلب: الصمامات البديلة إما أن تكون
معدنية أو حيوية (بشرية أو حيوانية) يجوز استخدامها، أما الصمام المأخوذ من
الخنزير فلا يجوز استخدامه إلا في حال الضرورة.
وقررمجلسالمجمع
الآتي:
الجبن المصنع من
الإنفحة:
1. حرمة إنفحة الخنزير ونجاستها.
2. إذا كانت الإنفحة من حيوان مأكول اللحم
مذكى فتعد طاهرة حلالاً.
3. إذا كانت الإنفحة من حيوان غير مذكى أو
من ميتة، فيرى أغلب المشاركين عدم طهارتها وحلها، ويرى بعض المشاركين طهارتها.
4. يجوز استخدام الأنفحة المحضرة بواسطة
الهندسة الوراثية للجين الذي ينتج الأنفحة.
Artinya:
PRINSIP-PRINSIP DASAR UMUM:
1]- Setiap muslim wajib mentaati
ketentuan syariat Islam, khususnya di bidang makanan dan obat-obatan. Hal ini
bisa terpenuhi dengan baik dan halalnya makanan, minuman, dan pengobatannya.
Dan sebagian dari rahmat Allah kepada
hamba-hambanya dan kemudahan jalan untuk mengikuti hukumnya adalah
memperhatikan keadaan-keadaan darurat dan juga hajat kebutuhan yang tercakup
dalam asas-asas hukum yang telah ditetapkan.
di antaranya adalah:
أَنَّ
ٱلضَّرُورَاتِ تُبِيحُ ٱلْمَحْظُورَاتِ
Bahwa darurat itu membolehkan mahdzurat
[larangan]
وَأَنَّ ٱلْحَاجَةَ
تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ ٱلضَّرُورَةِ مَا دَامَتْ مُتَعَيِّنَةً
Dan bahwa hajat kebutuhan itu statusnya
bisa sama seperti status darurat selama ia telah ditentukan.
وَأَنَّ ٱلْأَصْلَ
فِي ٱلْأَشْيَاءِ ٱلْإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ مُعْتَبَرٌ عَلَى
ٱلْحُرْمَةِ،
Dan bahwa hukum dasar dalam segala hal
adalah diperbolehkan selama tidak ada dalil larangan yang signifikan.
كَمَا أَنَّ
ٱلْأَصْلَ فِي ٱلْأَشْيَاءِ كُلِّهَا ٱلطَّهَارَةُ، مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ
مُعْتَبَرٌ عَلَى ٱلنَّجَاسَةِ
Sebagaimana hukum asal segala sesuatu
adalah suci, selama tidak ada dalil kenajisan yang signifikan.
Pengharaman makan sesuatu atau minum
sesuatu tidak bisa dianggap sebagai ketetapan hukum jika hanya berdasarkan pada
pengklaiman hukum najis secara syar'i tanpa dalil.
2]- Zat Alkohol tidaklah najis menurut
hukum Syar'i, berdasarkan apa yang telah lalu ketetapannya bahwa hukum asal
segala sesuatu adalah suci, baik alkohol itu murni maupun diencerkan dengan
air. Oleh karena itu, tidak ada salahnya berdasarkan hukum syar'i menggunakan
alkohol untuk keperluan medis seperti untuk desinfektan pada kulit [luka] dan
peralatan, dan untuk pembunuh kuman, atau menggunakannya untuk aroma parfum
(air cologne) di mana alkohol digunakan sebagai pelarut untuk zat aromatik yang
mudah menguap, atau menggunakan krim yang mengandung alkohol. Dan Ini tidak
berlaku pada khamr [Minuman Keras] karena diharamkan menggunakannya.
3]- Karena alkohol adalah zat yang
memabukkan dan dilarang untuk dikonsumsi, dan sambil terus menunggu realisasi
dari apa yang dicita-citakan umat Islam dalam hal pembuatan obat-obatan yang
tidak mengandung alkohol, terutama obat-obatan untuk anak-anak dan wanita
hamil, maka tidak ada keberatan hukum [boleh-boleh saja] untuk menggunakan
obat-obatan yang saat ini diproduksi dan mengandung persentase kecil alkohol
dalam komposisinya, untuk tujuan pengawetan, atau untuk melarutkan beberapa
bahan obat yang tidak larut dalam air jika tanpa menggunakan alkohol di
dalamnya sebagai penenang.
Dan ini berlaku disaat tidak ada
alternatif lain untuk obat-obat seperti ini. Dan para peserta simposium atau
seminar ini merekomendasikan lembaga otoritas kesehatan yang kompeten untuk
menentukan proporsi ini sesuai dengan prinsip ilmiah dan farmakope.
4]- Tidak boleh memakan bahan makanan yang mengandung kadar alkohol sedikit apapun, apalagi yang yang sudah merajalela di negara Barat, seperti beberapa coklat dan beberapa jenis es krim (es krim, gelato, Booza), dan beberapa minuman ringan. Mengingat hukum asal Syariat Islam bahwa apa saja yang memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram. Dan tidak ada dalil Syar'i yang mengecualikannya untuk mengizinkannya.
Booza [البُوْظَة]
5]- Bahan-bahan makanan yang dalam
pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk melarutkan beberapa zat yang
tidak larut dalam air, seperti pewarna, pengawet, dan lain lain ; maka itu
diperbolehkan untuk dikonsumsi ; dikarenakan itu merupakan kebutuhan publik
yang tidak bisa dihindari dan dikarenakan akan menguap, musnah dan lenyap
sebagian besar alkohol yang ditambahkan selama pembuatan makanan, sesuai dengan
konstitusi dan maklumat lembaga kesehatan dan makanan, sambil terus berusaha
keras untuk mendapatkan penggantinya yang benar-benar bebas dari alkohol dengan
sempurna.
6]- Bahan-bahan Makanan yang mengandung
lemak babi, seperti beberapa jenis keju, beberapa jenis minyak, lemak,
margarin, mentega, beberapa jenis biskuit, coklat dan es krim, maka itu
diharamkan dan tidak boleh dimakan sama sekali, mengingat ijma' para ulama
bahwa babi itu najis dan tidak halal dimakan, dan juga karean tidak ada nya
darurat untuk mengkonsumsi bahan-bahan dari babi ini..
7]- Adapun GELATIN: maka al-Majma' [Kongres Para Ulama] masih mempertimbangkan untuk menugaskan Sekretariat al-Majma' untuk melakukan penelitian dan studi lebih lanjut tentang masalah gelatin ini.
Gelatin Babi
[Gelatin adalah suatu jenis
protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen kulit, tulang atau ligamen
(jaringan ikat) hewan. PEN]
----
HORMON DAN ENZIM:
- Hormon: Zat kimia yang
disekresikan ke dalam darah oleh kelenjar endokrin, yang mengatur banyak proses
vital, termasuk metabolisme dan konstruksi, serta efek umumnya pada tubuh.
- Enzim:
molekul protein yang dikeluarkan dari sel-sel tubuh dan memiliki efek
lokal yang mempercepat laju reaksi kimia pada organisme hidup tanpa
dikonsumsi.
- Heparin
yang diekstraksi dari BABI: Ini tidak boleh digunakan kecuali jika dalam
kondisi gawat darurat. Dan jika telah dimodifikasi untuk mendapatkan
heparin dengan berat molekul rendah, maka proses ini tidak dianggap
sebagai transformasi kimia yang menjadi dasar hukum tersendiri
[independen].
Adapun heparin yang dibuat melalui
rekayasa genetika tanpa menggunakan bagian tubuh babi, maka tidak mengapa
menggunakannya.
[[Heparin dari Babi:Penggunaan ekstrak
babi pada obat heparin sendiri sudah diproduksi sejak awal 1990. Hal ini
berawal dari banyaknya penyakit sapi gila di Inggris pada 1980-an yang
menimbulkan kekhawatiran dari pembuatan heparin menggunakan sapi.
Semua produsen heparin pun menarik
dengan sukarela produknya dari pasar AS. Sejak saat itu, babi sepenuhnya
digunakan untuk produksi heparin di AS dan Eropa.
Di Indonesia sendiri, untuk heparin
berat molekul tinggi menggunakan heparin sapi sedangkan heparin berat molekul
rendah berasal dari babi, karena sampai saat ini belum ada alternatif dari
bahan baku halal lain seperti sapi. PEN]]
- Insulin
yang diekstrak dari babi tidak boleh digunakan kecuali untuk kondisi
darurat karena telah ada alternatif yang halal.
Adapun insulin manusia dan analognya
yang dibuat melalui rekayasa genetika, maka penggunaannya halal dan
diperbolehkan.
- Katup
jantung: Katup alternatif yang terbuat dari logam atau makhluk hidup
(manusia atau hewan) boleh digunakan, sedangkan untuk katup yang diambil
dari babi, maka tidak boleh digunakan kecuali jika dalam kondisi darurat
[tidak ada yang halal].
Dewan Majelis juga memutuskan sebagai berikut:
KEJU YANG TERBUAT DARI RENNET:
- Haramnya
dan Najisnya rennet babi.
- Jika rennet berasal dari
hewan yang dagingnya halal dimakan dan disembelihnya sesuai hukum syar'i,
maka dianggap suci dan halal.
- Jika
rennet berasal dari hewan yang tidak disembelih [secara syar'i] atau dari
bangkai hewan, maka sebagian besar peserta kongres menganggap rennet itu
tidak suci dan tidak halal, dan sebagian peserta menganggap rennet
tersebut suci.
- Diperbolehkan
menggunakan rennet yang dibuat dengan rekayasa genetika dari gen penghasil
rennet.
******
FATWA MAJALAH AKADEMI FIQH ISLAM INTERNASIONAL
مَجَلَّةُ مَجْمَعُ ٱلْفِقْهِ ٱلْإِسْلَامِيِّ ٱلدُّوَلِيِّ
Journal of International Islamic Fiqh Academy
------------------
Majalah berkala yang diterbitkan oleh
Akademi Fiqh Islam Liga Dunia Muslim
مَجَلَّةٌ دَوْرِيَّةٌ
يُصْدِرُهَا ٱلْمَجْمَعُ ٱلْفِقْهِيُّ ٱلْإِسْلَامِيُّ بِرَابِطَةِ ٱلْعَالَمِ ٱلْإِسْلَامِيِّ
International Islamic Fiqh Academy [مَجْمَعُ ٱلْفِقْهِ ٱلْإِسْلَامِيِّ
ٱلدُّوَلِيِّ]
didirikan pada Rabi` al-Awwal 1401 H (Januari 1981 M), dan merupakan badan
ilmiah global yang berasal dari Organisasi Kerjasama Islam. warisan Islam dan
terbuka bagi perkembangan pemikiran Islam.
Tentang:
PENGGUNAAN BABI DALAM
PENGOBATAN MEDIS MODERN:
استخدام الخنزير في
الطب الحديث:
“يستخدم الأوربيون وغيرهم الخنزير
في أغراض التداوي لرخص الخنزير وتوفر شحمه ولحمه. وتذكر دائرة المعارف البريطانية
الميكروبيديا 6/48 الطبعة 15 لعام 1982):
أن زيت اللارد (دهن
الخنزير) يستخدم في تغذية المضادات الحيوية Antibiotics
التي تستخرج من أنواع من الفطور fungi وفي الكبسولات التي تحتوي على
المضادات حيث يستخدم الجيلاتين من جلد وعظام وغضاريف الخنزير.
وكان الأنسولين
يستخرج من الخنزير ومن الأبقار ولا يزال. وهناك بعض الأشخاص الذين لا يتحملون
الأنسولين البقري ويحدث لهم حساسية.. وفي هذه الحالة كانوا يحولون إلى الأنسولين
الخنزيري. أما الآن فقد تم تصنيع أنسولين إنساني كيميائيا، وبواسطة هندسة الجينات،
وبالتالي لم تعد هناك حاجة للأنسولين الخنزيري، واختفى نتيجة ذلك من الأسواق. وإن
كان الأنسولين الإنساني أغلى ثمناً من مثيله الحيواني.
وكان الأطباء
يستبدلون الصمامات التالفة بصمامات معدنية أو صمامات حيوانية..
والحيوانية كانت
تعتبر أفضل من المعدنية. ولذا استخدمت صمامات القلب من الأبقار والخنازير، ولكن مع
التقدم السريع في جراحة القلب أمكن إصلاح العطب لهذه الصمامات بدون الحاجة إلى
الاستبدال إلا فيما ندر. وما ندر يمكن استبداله بالصمامات المصنوعة من المواد
الصناعية دون الحاجة للحيوانات
ولا تزال شركات
الأدوية تستخدم الخنزير في تصنيع المواد الهاضمة وفي استخراج بعض الهرمونات، وفي
تنمية المضادات الحيوية، وفي تصنيع الكبسولات.. وهي أمور يمكن تفاديها إذا قامت
صناعة دوائية في البلاد الإسلامية لإمكان استخدام البديل من الأبقار أو غيرها من
المباحات.
ويستخدم الأطباء
جلد الخنزير في بعض الأحيان لمعالجة الحروق المتسعة، وعندما لا يتم توفر جلد
إنساني (من ميت أو حي متبرع).. ولكن التقدم الطبي السريع سيجعل الحاجة لذلك نادرة
جداً حيث أمكن تصنيع جلود بحيث تؤخذ كمية قليلة من جلد المصاب ذاته، ثم تنمى وتوسع
بحيث تكفي للمريض دون الحاجة لأخذ الجلد من إنسان أو حيوان.
وخلاصة الأمر أن
الحاجة الحقيقية لاستخدام الخنزير في التداوي نادرة جداً، ولكن بما أن الدواء
يأتينا في كثير من الأحيان مصنعاً، فإنه في أحيان كثيرة يحتوي على مشتقات خنزيرية مثل
الكبسولات التي تصنع من جيلاتين مختلط نباتي وحيواني.. والحيواني يحتوي على
جيلاتين من الخنزير (من الغضاريف والجلد).. وكما أسلفنا تتم تنمية بعض المضادات
الحيوية في مشتقات خنزيرية.. وتستخدم بعض المواد الهاضمة من بنكرياس الخنزير وكذلك
بعض الهرمونات الأخرى.
والحل الحقيقي هو
إقامة صناعة دوائية في بلاد المسلمين تتجنب استخدام الخنزير ومشتقاته. وهو نفس
الحل لقضية الغول في الدواء.. وقضية الأطعمة التي تأتي من الخارج حيث إن بعض
الأطعمة تحتوي على دهن خنزير كما تذكر ذلك دائرة المعارف البريطانية حيث جاء فيها
أن أنواعاً من البسكويت والشيكولاته والآيس كريم والأجبان تحتوي على دهون الخنزير،
وكذلك يتم استخدام دهن الخنزير في بعض أنواع الصابون وفي مستحضرات التجميل وفي
معجون الأسنان. ويستخدم اللارد (دهن الخنزير) في الطبخ كما يستخدم زيت اللارد Lard oil،
Lard Stearine في تركيب السمن والزيوت الحيوانية Animal Shortening
وأما الذين يعيشون في الغرب فيواجهون مشاكل عديدة؛ إذ إن دهن الخنزير يستخدم في
العديد من الأطعمة والأشربة..
وقد ذكر الدكتور
أحمد حسين صقر في مقاله (ٱلدُّهُونُ فِي ٱلْأَطْعِمَةِ) (2) أسماء لبعض الشركات
التي تستخدم الخنزير، فمثلاً شركة أطعمة المطبخ العامة General Foods Kitchen تحتوي منتوجاتها الجيلاتينية على الجيلاتين المستخرج من جلود
وغضاريف الخنزير والبقر والغنم،
ومعظم الشركات التي
تنتج الهامبرجر والفرانكفورتر يحتوي لحمها على نسبة من لحم الخنزير إلا إذا ذكر
أنه مصنوع من لحم البقر فقط مثل Au beef hambergur أو Au beef Frank furter وهكذا الشركات التي تنتج أغذية بها زيوت حيوانية أو حتى نباتية
ولكنها مخلوطة بشيء من الزيت الحيواني فإنها تحتوي على مشتقات دهون الخنزير ما لم
يكتب صراحة أنها مصنوعة من الزيت النباتي النقي الصافي Pure Vegetable Oil.
ولا شك أن هذه
مشكلة عويصة وخاصة لمن يعيشون في الغرب.. وللعالم الإسلامي الذي يستورد الأطعمة
والصابون وأدوات الزينة والأدوية من الغرب حيث تدخل منتجات الخنزير بشكل أو آخر في
كثير من هذه القوائم. وكذلك الجلود الفاخرة، فكثير منها مصنوع من جلد الخنزير، وجلد
الخنزير لا يطهر بالدباغ عند الشافعية والأحناف والحنابلة.
وعلى الحكومات
الإسلامية أن تراقب هذه الأطعمة وأدوات الزينة والأدوية التي تحتوي على مواد
خنزيرية وتمنعها. أما بالنسبة للفرد المسلم فإن علم أن هذه المادة تحتوي مواد
خنزيرية فعليه أن يتوقاها ويمتنع عن تناولها واستعمالها. وليس عليه أن يبحث، بل
ليس في مقدوره، في أغلب الأحيان، أن يعرف ذلك؛ لأنه مما يحتاج إلى مختبرات متخصصة.
ولا يكتب أهل الغرب في بضائعهم أنها مصنعة من الخنزير ومشتقاته، فتكون الجهالة في
ذلك عذراً.
Artinya :
PENGGUNAAN BABI DALAM PENGOBATAN MEDIS MODERN:
Orang Eropa dan lainnya menggunakan
babi untuk tujuan pengobatan karena babi murah dan stock lemak serta dagingnya
tersedia.
The Encyclopedia Britannica Micropedia
[6/48 Edisi ke-15 1982] menyebutkan:
Bahwa minyak LARD (lemak babi)
digunakan untuk memberi nutrisi antibiotik yang diekstraksi dari jamur [FUNGI]
dan dalam kapsul yang mengandung antibiotik, dimana gelatin digunakan dari
kulit, tulang, dan tulang rawan babi.
Insulin masih diekstraksi dari babi dan
sapi. Ada sebagian orang yang tidak mentolerir insulin sapi dan menjadi alergi
terhadapnya.. Dalam hal ini, mereka beralih ke insulin babi. Tetapi sekarang
insulin manusia telah diproduksi secara kimiawi, dan dengan rekayasa genetika,
dan oleh karena itu insulin babi tidak lagi dibutuhkan, dan akibatnya
menghilang dari pasar. Meskipun insulin manusia lebih mahal daripada insulin
sapi dan babi.
Dokter mengganti katup jantung yang
rusak dengan katup logam atau katup hewani.
Dan bahan hewani dianggap lebih baik
daripada logam. Oleh karena itu, katup jantung dari sapi dan babi digunakan,
tetapi dengan kemajuan pesat dalam operasi jantung, kerusakan pada katup ini
dapat diperbaiki tanpa perlu penggantian, kecuali dalam kasus yang jarang
terjadi. Dan jarang, bisa diganti dengan katup yang terbuat dari bahan sintetis
tanpa membutuhkan bahan hewani
Perusahaan farmasi masih menggunakan
babi dalam pembuatan zat pencernaan, dalam ekstraksi beberapa hormon, dalam
pengembangan antibiotik, dan dalam pembuatan kapsul.... Hal-hal tersebut dapat
dihindari jika industri farmasi didirikan di negara-negara Islam karena dapat
menggunakan penggantinya, seperti dari sapi atau lainnya yang dihalalkan.
Dokter terkadang menggunakan kulit babi
untuk mengobati luka bakar yang luas, dan ketika kulit manusia tidak tersedia
(dari pendonor orang hidup atau orang mati)....
Tetapi kemajuan medis yang pesat akan
membuat kebutuhan akan hal ini menjadi sangat langka, karena dimungkinkan untuk
membuat kulit dengan cara mengambil sejumlah kecil dari kulit pasien itu
sendiri, kemudian ditumbuhkan dan dikembang biakkan sehingga cukup untuk pasien
tanpa perlu mengambil kulit dari manusia lain atau hewan.
Kesimpulannya, sebenarnya kebutuhan penggunaan babi dalam pengobatan sangat jarang, namun karena obat tersebut sering datang kepada kita buatan pabrik, seringkali mengandung turunan babi, seperti kapsul yang terbuat dari campuran sayur dan gelatin hewani..... Dan gelatin hewani mengandung gelatin dari babi (dari tulang rawan dan kulit).. Seperti yang kami sebutkan di atas, beberapa antibiotik dikembangkan dalam turunan babi.. Beberapa zat pencernaan digunakan dari pankreas babi, dan begitu pula beberapa hormon lainnya.
Solusi yang benar adalah mendirikan
industri farmasi di negara-negara Muslim yang menghindari penggunaan daging
babi dan turunannya. Dan itu adalah solusi yang sama untuk masalah alkohol
dalam pengobatan.. dan masalah makanan yang berasal dari luar, karena beberapa
makanan mengandung lemak babi, seperti yang disebutkan oleh Encyclopedia
Britannica (1) Dimana disebutkan bahwa jenis biskuit, coklat, es krim dan keju
mengandung lemak babi.
Dan lemak babi juga digunakan pada
beberapa jenis sabun, kosmetik dan pasta gigi.
Lard (lemak babi) digunakan untuk
memasak, sama seperti minyak Lard dan Lard Stearine digunakan dalam komposisi
ghee hewani dan minyak hewani [Animal Shortening].
Sedangkan bagi mereka yang tinggal di Barat, mereka menghadapi banyak masalah. Lemak babi digunakan dalam banyak makanan dan minuman.
===****===
ISTILAH-ISTILAH LAIN DARI BABI
Ahmad Hussein Saqr menyebutkan dalam
artikelnya “ ٱلدُّهُونُ فِي
ٱلْأَطْعِمَةِ
(Fats in Food)” nama
beberapa perusahaan yang menggunakan daging babi, misalnya perusahaan General
Foods Kitchen yang produk agar-agarnya mengandung gelatin yang diekstraksi dari
kulit dan tulang rawan babi, sapi dan domba, Sebagian besar perusahaan yang
memproduksi hamburger dan frankfurter mengandung daging babi, kecuali
dinyatakan hanya terbuat dari daging sapi, seperti Au beef hamburgur atau Au
beef Frank furter.
Demikian pula perusahaan yang
memproduksi makanan yang mengandung minyak hewani atau bahkan minyak nabati,
tetapi dicampur dengan sedikit minyak hewani, mengandung turunan lemak babi
kecuali jika tertulis secara eksplisit dibuat dari Pure Vegetable Oil [minyak
nabati murni].
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah
masalah yang sulit, terutama bagi mereka yang tinggal di Barat.. dan bagi dunia
Islam yang mengimpor makanan, sabun, perlengkapan mandi, dan obat-obatan dari
Barat, karena produk babi termasuk dalam satu atau lain bentuk. dalam banyak
daftar ini. Seperti halnya kulit halus, banyak yang terbuat dari kulit babi,
dan kulit babi tidak disucikan dengan penyamakan menurut madzhab Syafa’i,
Hanafi dan Hanbali.
Pemerintah Islam harus memantau dan
mencegah makanan, perlengkapan mandi, dan obat-obatan yang mengandung babi.
Adapun bagi seorang muslim, jika dia mengetahui bahwa zat tersebut mengandung
babi, maka dia harus menghindarinya dan menahan diri dari makan dan
menggunakannya. Dia tidak harus meneliti, bahkan itu diluar kemampuannya dalam
kebanyakan kasus, dikarenakan, itu membutuhkan laboratorium khusus. Dan
orang-orang Barat tidak menulis pada barang-barang mereka bahwa barang-barang
tsb terbuat dari daging babi dan turunannya, jadi ketidaktahuan kita akan hal
itu menjadi udzur dan alasan akan kebolehan menggunakannya
[SELESAI. DIKUTIP dari " مَجَلَّةُ مَجْمَعِ الْفِقْهِ
الْإِسْلَامِيِّ
" EDISI 8/1404 – 1406]
0 Komentar