Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM DEMONSTRASI DAN UNJUK RASA

حُكْمُ المُظَاهَرَةِ

Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

*****

بسم الله الرحمن الرحيم

PENDAHULUAN:

Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.

Demonstrasi adalah fenomena modern yang umumnya terjadi hanya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, oleh karena itu demonstrasi tidak diizinkan dan tidak terjadi pada negara-negara otoriter yang berada dibawah penguasa kerajaan, kekaisaran dan komunisme seperti Arab Saudi, China, Korea Utara, Mesir sebelum revolusi, dan Indonesia pada era pra-reformasi.

I. ATURAN DAN UU DEMONTRASI DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA:

Salah satu ketentuan yang mengatur demonstrasi adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Demonstrasi dapat dilakukan di tempat-tempat terbuka untuk umum. Namun, ada beberapa lokasi yang tidak boleh dijadikan tempat menyampaikan pendapat di muka umum, yaitu:

Lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.

Aksi unjuk rasa pun tidak boleh dilakukan pada hari besar nasional.

Selain itu, demonstrasi juga harus mendapat izin dari kepolisian.

Landasan hukum demonstrasi Sebagai bentuk dari penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan hak legal warga negara yang dijamin negara.

Demonstrasi menjadi perwujudan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Tak hanya itu, sebagai hak asasi manusia, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tentu juga tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 25 UU Nomor 39 Tahun 1999 berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” [Sumber: Kompas.com - 22/04/2022, 00:15 WIB]

II. PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM DEMONTRASI

Perbedaan pendapat terjadi karena perbedaan sistem yang diterapkan pada tiap negara. ADA TIGA PENDAPAT para ulama’ mu’ashirin [kontemporer] terkait hukum demontrasi:

PENDAPAT PERTAMA: ULAMA YANG MELARANG DEMONSTRASI

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh al-Albani, Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh bin Baaz, dan seluruh ulama yang berada jajaran هيىة كبار العلماء atau dewan fatwa tertinggi yang berada di Saudi Arabia adalah yang paling keras dalam pelarangan demonstrasi bahkan mencela perbuatan ini.

(Baca: Mudzaharah Sya’biyah, Dr. Hudzaifah Abud Mahdi As-Samirai, hal. 34. Tahdzir Asy-Syabaab min Fitnah al-Khuruj wa al-Mudzaharat wal-Irhab Muhammad bin Nashir al-Uroini)

Jika ditelusuri, alasan penolakan amar makruf nahi munkar dengan cara unjuk rasa menurut pendapat pertama ini bermuara pada TIGA POINT:

  • Demonstrasi merupakan perkara yang baru (bid’ah). Bila demonstrasi dikategorikan sebagai sarana da’wah, maka harus jelas hujjahnya, karena tidak terjadi pada masa Nabi ﷺ, juga pada masa khulafa’ rasyidun.
  • Demonstrasi merupakan bentuk tasyabuh terhadap orang (adat) kafir, sebab demonstrasi adalah produk barat yang tidak sesuai dan tidak pernah ada pada masa awal islam (generasi salaf).
  • Demonstrasi merupakan sebuah bentuk keluar (pembelotan) atau ketidakpatuhan terhadap pemerintah yang sah, dan hal ini tidak boleh dilakukan kecuali bila telah nampak kekafiran yang diperbuat mereka secara terang-terangan.

Tidak diragukan lagi bahwa aksi demo adalah sebagai pemicu dari kerusuhan yang terjadi selama ini dan berakibat pada kerusakan yang akan meluas. (Baca: Tahdzir Asy-Syabaab min Fitnah al-Khuruj wa al-Mudzaharat wal-Irhab, hal.36).

Kelompok ini berpendapat bahwa bentuk kegiatan meng-ishlah penguasa yang baik adalah dengan cara mendatanginya dan menasehatinya secara empat mata atau diam-diam agar wibawa pemimpin tidak jatuh dimata rakyatnya.

Juga untuk senantiasa mendoakan kebaikan kepadanya agar mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah Azza wa Jalla.

PENDAPAT KE DUA : YANG MEMBOLEHKAN DEMONSTRASI

Banyak ulama yang membolehkan, di antaranya Syaikh Dr. ‘Ali al-Qardaghi (Ulama ahli maqashid dari Maroko) dan Prof. Dr. Abdurrazaq Abdurrahman As-Sa’diy.

Salah satu ulama yang paling terkenal dalam membela pendapat dibolehkannya demonstrasi adalah Syaikh Yusuf Qardhawi, seperti dalam salah satu fatwanya:

"Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi (aksi damai) adalah sesuatu yang disyariatkan, karena termasuk seruan dan ajakan kepada perubahan (yang lebih baik) serta sebagai sarana untuk saling mengingatkan tentang haq, juga sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar. (www.qaradawi.net) “

Adapun dalil yang membolehkan aksi demo adalah:

DALIL DARI AL-QUR'AN :

{ لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا }

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya [terdzalimi]. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 148)

Dalam tafsirnya, Imam asy-Syaukani berkomentar tentang ayat ini:

واخْتَلَفَ أهْلُ العِلْمِ في كَيْفِيَّةِ الجَهْرِ بِالسُّوءِ الَّذِي يَجُوزُ لِمَن ظُلِمَ، فَقِيلَ: هو أنْ يَدْعُوَ عَلى مَن ظَلَمَهُ، وقِيلَ: لا بَأْسَ أنْ يَجْهَرَ بِالسُّوءِ مِنَ القَوْلِ عَلى مَن ظَلَمَهُ بِأنْ يَقُولَ: فُلانٌ ظَلَمَنِي أوْ هو ظالِمٌ أوْ نَحْوَ ذَلِكَ، وقِيلَ: مَعْناهُ: إلّا مَن أُكْرِهَ عَلى أنْ يَجْهَرَ بِسُوءٍ مِنَ القَوْلِ مِن كُفْرٍ أوْ نَحْوَهُ فَهو مُباحٌ لَهُ، والآيَةُ عَلى هَذا في الإكْراهِ وكَذا قالَ قُطْرُبٌ، قالَ: ويَجُوزُ أنْ يَكُونَ عَلى البَدَلِ كَأنَّهُ قالَ: لا يُحِبُّ اللَّهُ إلّا مَن ظُلِمَ؛ أيْ: لا يُحِبُّ الظّالِمَ بَلْ يُحِبُّ المَظْلُومَ، والظّاهِرُ مِنَ الآيَةِ أنَّهُ يَجُوزُ لِمَن ظُلِمَ أنْ يَتَكَلَّمَ بِالكَلامِ الَّذِي هو مِنَ السُّوءِ في جانِبٍ مِن ظُلْمِهِ

“Para Ulama berbeda pendapat mengenai tatacara ‘al-jahru bi as-suu’ ” (mengungkapkan suatu keburukan seseorang dengan terang-terangan) yang diperbolehkan untuk yang terzholimi.

Ada yang menyatakan: hendaknya mendoakan keburukan atas orang yang mendzaliminya.

Ada juga yang berpendapat: tidak mengapa mengucapkan kepada khalayak bahwa “Fulan telah menzholimi saya.” atau “Si fulan telah berbuat zholim.”, atau ucapan semisalnya.

Dan ada yang mengatakan: Artinya: Kecuali orang yang dipaksa untuk berbicara keras tentang pernyataan yang buruk seperti kekafiran atau sejenisnya, maka dia diperbolehkan untuk melakukannya, dan ayat tentang ini adalah paksaan.

Allah lebih menyukai (berpihak) terhadap orang yang terzholimi dari pada yang pelaku kezholiman.

Demikian pula perkataan Quthrub, dia berkata:... seolah-olah dia berkata: Allah tidak mencintai kecuali orang-orang yang teraniaya [terdzalimi]; Yakni, dia tidak mencintai penindas [yang dzalim], tetapi dia mencintai yang tertindas [terdzalimi], dan makna yang tampak dari ayat tersebut adalah bahwa orang yang tertindas dibolehkan mengungkapkan kata-kata yang buruk dalam aspek penindasannya dan kedzalimannya. (Baca: Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani (Darul Ma’rifah, Beirut 1/677 - cet-3 tahun -1997)

DALIL DARI AS-SUNNAH:

Di antara dalil yang digunakan oleh kelompok yang membolehkan demonstrasi adalah:

Hadits dari Abu Hurairah:

" جاءَ رجلٌ إلى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يَشكو جارَهُ ، فقالَ: اذهَب فاصبِر فأتاهُ مرَّتينِ أو ثلاثًا، فقالَ: اذهَب فاطرَحْ متاعَكَ في الطَّريقِ فطرحَ متاعَهُ في الطَّريقِ، فجعلَ النَّاسُ يَسألونَهُ فيُخبِرُهُم خبرَهُ، فجَعلَ النَّاسُ يلعنونَهُ: فعلَ اللَّهُ بِهِ، وفَعلَ، فجاءَ إليهِ جارُهُ فقالَ لَهُ: ارجِع لا تَرى منِّي شيئًا تَكْرَهُهُ ".

" Suatu hari seorang laki-laki pernah mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadukan tetangga yang sering mengganggunya.

Rasulullah SAW kemudian berkata: “Pergilah dan bersabarlah!” 

Dia lakukan bolak balik mengadu ke Rosulullah SAW dua kali atau tiga kali. 

Maka pada akhirnya Rasulullah SAW bersabda: “Keluarkan barang-barangmu, lalu letakkan di jalan!” 

Laki-laki itu pulang ke rumahnya dan melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW. Ia mengeluarkan semua barang perbotannya dan meletakkannya di tengah jalan. Tentu saja banyak orang yang berkumpul ingin mengetahui apa yang terjadi.

Mereka pun bertanya padanya tentang apa yang terjadi pada nya. Maka dia mengkabarkan pada mereka bahwa dirinya punya tetangga yang selalu mengganggunya. 

Maka, orang-orang pun melaknati si tetangga usil itu dan mereka berkata: Allah akan menimpakan hukuman padanya dan menimpakan keburukan padanya ".

Ketika si tetangga yang usil itu mengetahui apa yang terjadi, dia segera menemui laki-laki yang sering dia sakiti dan berkata: “Kembalilah pulang! engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang engkau benci dari ku!”.

[[HR. Abu Dawud (5153), Abu Ya’la (6630), dan Ibnu Hibban (520) dengan sedikit perbedaan. Ibnu Muflih dalam al-Aadaab asy-Syar'iyyah 2/16 berkata: “Sanadnya Jayyid". Dan berkata muhaqqiq Shahih Ibnu Hibbaan, Syaikh Syu’aib al-Arnauth: “Sanadnya kuat.” Dan Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abu Daud (5153): Hasan Shahih]].

PENDAPAT KE TIGA: YANG MERINCI HUKUM DEMONSTRASI.

Ini adalah pendapat mufti Irak Syeikh Dr. Abdul Malik As-Sa’di. Telah banyak pertanyaan yang diajukan kepada beliau mengenai hukum berunjuk rasa, terutama dengan realita yang menimpa kaum muslimin.

Beliau berkata: “Fatwa bolehnya unjuk rasa secara mutlak adalah salah, juga fatwa yang melarangnya secara mutlak pun salah, yang benar adalah merincinya.”

Perinciannnya sebagai berikut:

Di bawah ini adalah alasan-alasan yang menjadikan DEMONSTRASI HARAM:

  • Jika tujuan demonstrasi untuk mengokohkan atau membela kezholiman seseorang, dan membelanya agar tidak diturunkan dari jabatannya.
  • Jika hanya membela kepentingan suatu golongan tertentu saja dengan menjatuhkan golongan yang lain.
  • Jika tidak ada sebab yang mendesak atau tanpa alasan yang dibenarkan.
  • Jika demo dimaksudkan untuk menyerang penguasa hingga menyebabkan kacaunya stabilitas ekonomi bahkan tertumpahnya darah dari para demonstran.

(Baca: مظاهرة شعبية hal.43)

Kemudian beliau menjelaskan alasan tentang syarat DIBOLEHKANNYA melakukan demonstrasi atau unjuk rasa bisa menjadi suatu hal yang wajib dilakukan, di antaranya:

  • Apabila orang-orang kafir memerangi atau menggugat syariat Allah, maka hukumnya menjadi wajib.
  • Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak rakyat terutama yang menyangkut LIMA DARURAT / ضروية الخمسة.
  • Apabila seorang hakim lebih mengutamakan dan lebih mementingkan kaumnya, madzhabnya, atau bahkan partainya dalam perkara hak dan kewajiban.
  • Apabila pemerintah lemah dalam kepemimpinannya, terkhusus dalam urusan darah (jiwa) seseorang.
  • Menelurkan kebijakan guna melanggengkan kursi kekuasaannya.
  • Memimpin untuk mengenyangkan perut semata.
  • Penguasa membiarkan, bahkan menyuruh perangkat pemerintahan untuk mengaganggu atau meneror rakyat.
  • Menghendaki negara lain (Negara Islam) agar tunduk pada hegemoni penjajah atau barat. (Baca: مظاهرة شعبية, hal.43)

III. Coba kita perhatikan point ke 2 di atas!:

Yaitu: “Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak rakyat terutama yang menyangkut LIMA DARURAT / ضروية الخمسة".

APA ITU 5 DARURAT? BERIKUT INI URUTAN DAN TINGKATANNYA:

Yaitu meliputi penjagaan terhadap:

  1. dîn (agama),
  2. jiwa,
  3. keturunan,
  4. akal,
  5. harta.

Ada dua keutamaan bagi orang yang mempertahankan 5 darurat di atas:

Keutamaan pertama: Mati syahid jika terbunuh dalam mempertahankannya:

Rosulullah SAW bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ.

Artinya: “Barang siapa yang gugur / terbunuh karena mempertahankan hartanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan darahnya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan agamanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena membela keluarganya, ia syahid.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi).

Keutamaan kedua: Yang Haram menjadi Halal.

Ada sebuah Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “.

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syairnya,

وَلاَ مُحَرَّمٌ مَعَ اِضْطِرَارٍ

Tidak ada yang diharamkan di saat darurat.

Para fuqoha lainnya mengungkapkan kaidah di atas dengan perkataan,

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

" Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang".

IV. DALIL-DALIL QAIDAH 
"Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang". 

Adalah sbb:

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 173).

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al An’am: 119).

Ayat pertama, berkaitan dengan makanan. Ayat kedua, sifatnya lebih umum.

SYARAT QAIDAH:

Sebagian orang mencari keringanan dalam hukum syar’i dengan mengakal-akali kaidah ini. Padahal ada syarat-syarat yang mesti diperhatikan.

Syarat-syarat tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'adiy dalam syarah Mandzumah al-Qowaa'id al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut:

Syarat pertama:

أن تكون الضرورة تندفع بفعل المحظور. فإن لم تندفع، لم يجز فعل المحظور. ومثلوا له بالظمآن الذي لا يجد إلا ماء خمر، الذي لا يجد إلا الخمر، فهذا لا يجوز له تناول الخمر؛ لأن الخمر لا يبعد الظمأ، وإنما يزيد الإنسان ظمأً إلى ظمئه. فالمحظور هنا زاد الضرورة، ولم يدفعها.

Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram.

Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr.

Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror (bahaya).

Syarat kedua:

ألا يوجد طريق آخر تندفع به الضرورة. إن وجد، لم يجز -حينئذ- فعل المحظور. مثال ذلك: طبيبة مسلمة، وطبيب رجل، وعندنا امرأة مريضة، يمكن دفع الضرورة بكشف المرأة الطبيبة

Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror.

Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.

Syarat ke tiga:

أن يكون المحظور أقل من الضرورة. فإن كانت الضرورة أعظم، لم يجز. مثال ذلك: إذا اضطر إلى قتل غيره لبقاء نفسه، كما في مسألة الإكراه السابقة، فهنا الضرورة أقل من المحظور. المحظور هو قتل الغير، والضرورة هو أنه سيُقتل الإنسان، بعد تهديده بالقتل. قيل له: أقتل غيرك، وإلا قتلناك.

Hendaknya hal yang haram tersebut lebih sedikit dari dhorurah (bahaya) maka jika dhorurotnya (bahayanya) lebih besar maka tidak boleh.

Misalnya: jika bahayanya adalah menghilangkan nyawa orang lain agar dirinya selamat sebagaimana dalam misal paksaan (dalam qaidah) disini dhorurah lebih sedikit dibanding hal yang diharamkan yaitu membunuh orang lain sedang dhorurotnya (bahayanya) ancaman manusia kepada dirinya akan dibunuh, dengan ucapan mereka: bunuh orang lain jika tidak maka kami akan membunuhmu, maka ini tidak boleh dituruti.

[Baca: شرح منظومة القواعد الفقهية oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 1/55-56]

RINGKASNYA:

  1. Haram hukumnya: Jika yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
  2. Haram hukumnya: Jika yakin akan adanya dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau perkiraan yang nantinya terjadi.

Perlu di perhatikan perkataan syeikh as-Sa'diy:

أنه إذا زالت الضرورة، زال حكم استباحة المحظور. ولا يجوز للإنسان أن يتوسع في المحظور، بمقدار لا تندفع به الضرورة.

Artinya ; jika hilang bahaya tersebut (setelah melakukan hal yang dilarang) maka hilang lah hukum halal untuk melakukan hal yang dilarang tersebut, (artinya tidak boleh menambah lebih banyak hal yang di haramkan) dan tidak boleh bagi manusia untuk menambah lebih banyak dalam melakukan hal yang dilarang tersebut, hanya sekedar hal yang bahaya tersebut bisa hilang. [Baca: شرح منظومة القواعد الفقهية oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 1/56]

Dan ini akan di jelaskan oleh As-Syeikh As-Sa’di dalam qaidah berikutnya, yaitu:

وإذا زالت الضرورة لم يجز فعل المحظور

“dan jika hilang bahaya (dhorurot) nya maka tidak boleh melakukan hal yang di larang, “

Untuk itu jika melihat air maka tayamumnya menjadi batal, dan dalam hak ini para ulama’ mengatakan:

ما جاز لعذر بطل بزواله

artinya: apa saja yang yang dibolehkan karena adanya udhur maka batallah dhorurah tersebut jika sdh hilang udzur tsb.

[Baca: شرح منظومة القواعد الفقهية oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 1/56]

BEDAKAN ANTARA DARURAT DAN HAJAT!

Al-Muharram [yang diharamkan]: yang disebutkan dalam kaidah di atas adalah suatu yang dilarang oleh syari’at.

Sedangkan yang dimaksud dengan “dhorurot” atau darurat adalah suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Inilah yang dimaksud dengan darurat menurut pendapat yang tepat.

Sedangkan ada pula istilah “hajat”, yang dimaksud adalah sesuatu yang bila ditinggalkan, maka bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain.

CONTOH DHORUROT:

Jika seseorang terpaksa harus makan dan tidak ada makanan selain bangkai. Seandainya ia tidak makan bangkai, ia bisa terkena bahaya dan tidak ada pengganti kala itu.

CONTOH HAJAT:

Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi SAW pernah menambah bejana (wadah) dengan perak.

Padahal bisa saja wadah tersebut ditambal dengan besi atau kuningan dan lainnya. Beliau melakukan seperti itu karena adanya hajat.

Jadi, kaidah yang berlaku adalah “keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang”, sedangkan keadaan hajat tidak demikian kecuali jika ada dalil.

SELESAI AL-HAMDULILLAH



Posting Komentar

0 Komentar