Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM GELAR HAJI BAGI YANG TELAH BERHAJI

HUKUM GELAR HAJI BAGI YANG TELAH BERHAJI

Di Tulis Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

*****


====

Ada sebagian ulama kontemporer yang berfatwa bahwa gelar HAJI itu haram dan bid'ah. Diantaranya adalah Syeikh Al-Albaani - rahimahullaah - . Beliau berkata:

(تَلْقِيْبُ مَنْ حَجَّ بِالحَاجِّ : بِدْعَةٌ)

Menggelari orang yang telah berhaji dengan HAJI adalah BID'AH

[Lihat: مُعْجَمُ الْمَنَاهِي اللَّفْظِيَّةِ (223)]

Fatwa bid'ahnya gelar haji ini diikuti pula oleh sebagian para ikhwan dari kalangan para da'i dan para ustadz ditanah air -hafidzohumullah- .

Benarkah bid'ah ? Mari kita kaji bersama !

*****


===

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • KAPAN MULAI MUNCULNYA GELAR HAJI BAGI YANG TELAH BERHAJI?
  • HASAN BIN SA'IID AL-HAJI [wafat 463 H] ORANG PERTAMA YANG DIKETAHUI BERGELAR HAJI:
  • HUKUM GELAR ISTIMEWA BAGI PELAKU AMAL SHALEH, SEPERTI GELAR “ULAMA”, “HAFIDZ” DAN “QORI”.
  • HUKUM MENGGUNAKAN GELAR HAJI BAGI YANG TELAH BERHAJI
  • PERTAMA : PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU
  • KEDUA : FATWA PARA ULAMA KONTEMPORER :
  • MEREBAKNYA PENGGILAN HAJI DI KALANGAN NON MUSLIM :
  • DI AFRIKA GIGI BERLAPIS EMAS ADALAH TANDA SESEORANG TELAH BERHAJI
  • PERTANYAAN : JIKA GELAR HAJI ITU HARAM DAN BID'AH, LALU BAGAIMANA HUKUM GELAR USTADZ DAN KYAI ?
  • LALU BAGAIMANA MEMAHAMI HADIST-HADITS BERIKUT INI ?
  • HADITS-HADIST YANG MELARANG MENJADIKAN ILMU AGAMA UNTUK POPULARITAS :
  • HADITS-HADITS LARANGAN MENCARI POPULARITAS SECARA UMUM
  • ATSAR PARA SAHABAT , TABI’IIN DAN TABI’T TABI’IIN :
  • ROSULULLAH TIDAK SUKA DI PUJI DAN DI SANJUNG
  • ROSULULLAH TIDAK SUKA JIKA ADA ORANG BERDIRI MENGHORMATINYA
  • BERDIRI UNTUK MANUSIA ITU ADA TIGA KATAGORI :
  • KISAH ORANG SHALEH YANG MUSTAJAB DOANYA DIHADAPKAN PADA UJIAN ANTARA IKHLAS DAN POPULARITAS :

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN

Al-Hajj atau Hajji, atau Haji, atau Hajjah , adalah istilah kehormatan yang digunakan untuk menyebut seseorang yang sebelumnya telah menyelesaikan Ibadah haji.

Kata HAJI di sebutkan dalam al-Qur'an:

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Apakah [orang-orang] yang memberi minuman orang yang HAJI dan [orang-orang] yang mengurus Masjidilharam kalian samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. [QS. At-Taubah : 19]

Dan kata ((al-Haajji)) dalam ayat tersebut menunjukkan makna jenis orang-orang yang dalam kondisi sedang menunaikan ibadah haji.

===***===

KAPAN MULAI MUNCULNYA GELAR HAJI BAGI YANG TELAH BERHAJI?

Adapun kata Haji itu sebagai gelar Islam bagi setiap orang yang menunaikan ibadah haji, maka hal ini tidak dikenal pada masa abad-abad yang terbaik , yaitu tiga abad pertama hijriyah .

Namun kapan mulainya gelar haji digunakan bagi yang telah berhaji? Penulis tidak menemukan referensi yang menunjukkan hal itu .

Dulu gelar haji bagi yang telah haji banyak digunakan oleh para dai-dai manca negara yang jauh dari Jazirah Arab , dengan tujuan sebagai penyemangat bagi orang-orang yang telah masuk Islam untuk pergi haji dan sebagai gelar kehormatan baginya. 

Itu disebabkan, karena pada masa dahulu orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dari negeri yang sangat jauh dari Tanah Suci Makkah itu menghadapi banyak rintangan dan penuh perjuangan serta membutuhkan waktu yang sangat lama, karena pada saat itu belum ada transfortasi seperti di masa sekarang .  Kadang karena lamanya waktu perjalanan yang harus di tempuh, sehingga membuat orang-orang yang dikampung halamannya hampir melupakannya.  

Oleh sebab itu, ketika orang yang pergi haji itu pulang kembali, maka serentak orang-orang yang dikampung halamannya memanggilnya “HAJIII” !

Dan oleh sebab itu pula, gelar haji bagi yang telah haji ini marak berlaku hampir merata di seluruh negeri-negeri yang jauh dari Mekkah dan Madinah . Contohnya : di negara-negara Afrika seperti Mesir, Tunisia, Jazaair , Maroko dan lainnya. Juga di negara-negara Asia , seperti : Pakistan , India, Bangladesh , Afgnistan , Malaysia , Brunei dan lainnya . Dan begitu pula di negara-negara Eropa dan lainnya .

====

HASAN BIN SA'IID AL-HAJI [wafat 463 H] ORANG PERTAMA YANG DIKETAHUI BERGELAR HAJI:

Penulis menemukan ada seorang ulama di abad ke 5 H yang bergelar HAJI dalam kitab Ath-Thobaqoot asy-Syafi'iyyah karya Imam as-Subki .

Al-Imam Tajuddin Al-Subki [wafat : tahun 771 H] mengatakan dalam Biografi HASAN BIN SA'IID AL-HAJI [ yang wafat pada tahun 463 H]:

"وَأَمَّا الْحَاجِّي فَلُغَةُ الْعَجَمِ فِي النِّسْبَةِ إِلَى مَنْ حَجَّ، يَقُولُونَ لِلْحَاجِّ إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ: حَاجِّي ".

(Adapun kata "HAJI maka itu adalah bahasa non-Arab yang berkaitan dengan orang telah berhaji. Mereka mengatakan kepada orang yang berhaji ke Baitullah al-Haram : Haji ). [Lihat: Ath-Thobaqoot asy-Syafi'iyyah al-Kubro oleh as-Subki 4/299 no. 377]

Dan Ibnu Katsir [wafat 774 H] dalam kitab "Taarikh-nya" pada pembahasan biografi para ulama yang wafat pada tahun 680 H, di situ adalah pertama halaman di mana kata ( HAJI FULAN ) disebutkan dalam Kitab at-Taarikh ini [Lihat : Taarikh Ibnu Katsir 13/269].

===***===

HUKUM GELAR ISTIMEWA BAGI PELAKU AMAL SHALEH, SEPERTI GELAR “ULAMA”, “HAFIDZ”, “KYAI”, DAN “QORI”.

Gelar istimewa bagi seseorang yang melakukan amal shaleh, misalnya sbb :

1] Seperti gelar ulama, kyai, da’i dan faqih bagi orang yang berilmu yang aktif berdakwah dan beramar ma’ruf nahyi munkar.

2] Atau seperti gelar qori bagi orang yang mahir membaca al-Qur’an, bersuara merdu dan aktif mengajar al-Qur’an.

3] Begitu juga gelar hafidz bagi orang yang hafal al-Qur’an.

Hukum Asal Gelar-Gelar tersebut diatas dan yang semisalnya adalah dilarang dan ancaman neraka bagi siapapun yang menyandang nya jika disertai dengan rasa ria dan niat ingin berbeda, exslusif dan istimewa.

Apalagi dengan gelar tersebut seseorang ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang paling tinggi ilmunya, sangat mulia dan langka.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

“ورَجُلٌ تَعَلَّمَ العِلْمَ، وعَلَّمَهُ وقَرَأَ القُرْآنَ، فَأُتِيَ به فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَها، قالَ: فَما عَمِلْتَ فيها؟ قالَ: تَعَلَّمْتُ العِلْمَ، وعَلَّمْتُهُ وقَرَأْتُ فِيكَ القُرْآنَ، قالَ: كَذَبْتَ، ولَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ العِلْمَ لِيُقالَ: عالِمٌ، وقَرَأْتَ القُرْآنَ لِيُقالَ: هو قارِئٌ، فقَدْ قيلَ، ثُمَّ أُمِرَ به فَسُحِبَ علَى وجْهِهِ حتَّى أُلْقِيَ في النَّارِ”.

Dan [kelak pada hari Kiamat] didatangkan pula seseorang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta membaca al-qur'an. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan [didunia hasil dari gelar dan amalannya itu] sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.

Allah bertanya kepadanya: 'Apa yang telah kamu amalkan dengannya? ' Dia menjawab: 'Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, Dan saya juga membaca Al Qur'an demi untuk Engkau.'

Allah berfirman: 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya agar di sebut 'ALIM [yakni: orang berilmu/ ulama/ Ustadz/ Kyai] serta membaca Al Qur'an agar disebut QORI [atau hafidz]. Dan kini kamu telah mendapatkan sebutan gelar itu".

Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam api neraka. [HR. Muslim no. 1905].

Cinta gelar Istimewa adalah salah satu penyakit cinta popularitas akan keunggulan agamanya dan keilmuan-nya . Ini akan terus berkembang sepanjang zaman. Dan biasanya jika seseorang sudah berhasil menjadi terkenal dan menjadi publik figur; kadang dalam dirinya timbul rasa ujub dan istimewa, lalu dia ingin selalu di istimewakan dan dimuliakan dengan ilmu agamanya.

Pertanyaan :

Lalu bagaimana jika seseorang menyandang gelar-gelar tersebut tanpa disertai dengan rasa ria dan tidak mengharapkan popularitas dan pujian?.

Jawabnya : Saya kira tidak lah mengapa, tapi sebaiknya dihindari, kecuali demi untuk sebuah kemaslahatan yang rajih. Wallahu ‘alam.  

-----

Rosulullah tidak suka gelar dan sebutan exlusive yang mengandung pujian pada dirinya:

Rosulullah pribadi yang tidak suka sanjungan dan pujian, maka beliau menolak ketika ada sebagian para sahabat yang menyebut dirinya dengan sebutan atau gelar yang mengandung pujian, pengagungan dan keekslusifan dirinya.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-:

“أنَّ نَاسًا قَالُوْا: يَا رَسُولُ اللَّه يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا وَيَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّه ﷺ: «ياأيّها النّاسُ قُولُوا بِقولِكُمْ ولا يَسْتَهْوِيَنّكُمْ الشّيْطَانُ ، أنا محمدٌ عَبْد الله وَرَسُولُه ، ما أحِبّ أنْ تَرْفَعُوني فَوْقَ مَنْزِلَتِي التي أنزلني الله عَزّ وَجَلّ».

Bahwa orang-orang berkata kepada Nabi : Ya Rosulullah, wahai pilihan kami dan putra seorang pilihan kami, wahai sayyiduna (tuan kami) dan putra sayyiduna (putra tuan kami)!.

Maka Rosulullah bersabda: " Wahai para manusia, jagalah perkataan kalian itu, jangan sampai syeitan menggelincirkan kalian, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku tidak suka kalian mengangkatku diatas kedudukanku yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan untukku”.

(HR. Ahmad no. 12573, 13621, 13596, Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Laylah no. 248, 249 dan Ibnu Hibban no. 6240. Hadits ini Shahih.

===****===

HUKUM MENGGUNAKAN GELAR HAJI BAGI YANG TELAH BERHAJI

Terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini. 

Sebagian ulama melarangnya, karena hal itu tidak dikenal sebelumnya dan dapat menyeret kepada riya.

Ibnul Jauzi berkata,

«وَرُبَّمَا حَجَّ بِمَالٍ فِيهِ شُبْهَةٌ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَجِبُ أَنْ يُتَلَقَّى وَيُقَالَ: ٱلْحَاجُّ»

“Mungkin saja seseorang berhaji dengan harta yang mengandung syubhat, dan di antara mereka ada yang mewajibkan untuk disambut dan dipanggil ‘al-Hajj’.” (Talbis Iblis, hlm. 130). Menunaikan kewajiban syariat tidak memberikan nama dan gelar.

Ada pula yang membolehkannya, jika tidak disertai rasa ria. Dalilnya : bahwa Abu Bakar diperbolehkan menyandang gelar ash-Shiddiq. 

Al-Imam An-Nawawi berkata :

«وَٱتَّفَقُوا عَلَى ٱسْتِحْبَابِ ٱللَّقَبِ ٱلَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ، فَمِنْ ذَٰلِكَ أَبُو بَكْرٍ ٱلصِّدِّيقُ، ٱسْمُهُ عَبْدُ ٱللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ، وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ».

“Para ulama sepakat bahwa dianjurkan memberikan julukan yang disukai oleh pemiliknya. Di antaranya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, nama aslinya adalah Abdullah bin Utsman, dan julukannya adalah Atiiq (Sang Pemerdeka para hamba sahaya).” [Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 8/441, cet. al-Maniriyyah].

Dia juga berkata :

«يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِمَنْ حَجَّ: حَاجٌّ بَعْدَ تَحَلُّلِهِ، وَلَوْ بَعْدَ سِنِينَ، وَبَعْدَ وَفَاتِهِ أَيْضًا، وَلَا كَرَاهَةَ فِي ذَٰلِكَ».

“Boleh menyebut orang yang telah berhaji dengan sebutan ‘al-Hajj’ setelah tahallul, meskipun telah berlalu bertahun-tahun, bahkan setelah wafatnya pun tidak makruh.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 8/281, cet. al-Maniriyyah).

Gelar dan Julukan al-Hajj juga terdapat dalam firman Allah:

﴿أَجَعَلْتُمْ ‌سِقَايَةَ ‌الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾

“Apakah kalian menganggap memberi minum para jamaah haji dan memakmurkan Masjidil Haram itu sama dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (At-Taubah: 19).

Ayat ini pada hakikatnya ditujukan kepada orang yang sedang menunaikan haji, bukan kepada gelar.

Maka mereka berpendapat : bahwa gelar ini boleh bagi siapa saja yang terhindar dari riya dan mencari ketenaran.

Dan ungkapan ini sudah menjadi istilah umum di tengah masyarakat. Orang yang shalat atau zakat tidak diberi gelar khusus, karena haji merupakan bentuk penyempurnaan nikmat Allah atas seorang hamba. Maka saat kita berkata: “Haji Fulan,” itu menunjukkan bahwa Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atasnya, dan ia telah menyempurnakan seluruh rukun Islam. Demikian pendapat mereka.

Gelar ini telah digunakan di beberapa negara Islam sebelum munculnya gerakan misionaris.

Seorang sejarawan yang bernama “Skinner” menyebutkan :

«أَنَّ جَمِيعَ ٱلْعَبِيدِ وَٱلْمُسْتَعْبَدِينَ مِنْ أَبْنَاءِ قَبِيلَةِ ٱلنُّوبِيرِ (أَوِ ٱلْمُوسَى) دَخَلُوا ٱلْإِسْلَامَ. وَكَانَ يَكْفِي لِلْمَنْبُوذِ أَنْ يَعْتَنِقَ ٱلْإِسْلَامَ، وَيَذْهَبَ إِلَىٰ مَكَّةَ لِأَدَاءِ فَرِيضَةِ ٱلْحَجِّ، لِيَعُودَ وَقَدْ حَمَلَ لَقَبَ (حَاجٍّ)، وَهٰذَا كَافٍ لِأَنْ يَجْعَلَهُ ذَا صَوْتٍ قَوِيٍّ، يُخِيفُ ٱلسُّلُطَاتِ ٱلْفَرَنْسِيَّةَ ذَاتَهَا».

"Bahwa semua budak dan orang yang diperbudak dari suku Nubir (atau Musa), mereka semua berbondong bondong masuk Islam. 

Pada awalnya mereka adalah para budak yang tersisihkan, tertindas dan terhinakan . Namun setelah mereka memeluk Islam, kemudian jika diantara mereka ada yang pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji, lalu pulang dengan membawa gelar (Haji).

Maka gelar haji ini cukup untuk menjadikannya memiliki suara yang kuat, bahkan menakutkan pemerintah kolonial Prancis itu sendiri".

[Baca : Islam dan Perlawanan terhadap Gerakan Misionaris Eropa di Afrika Barat, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, 12/363 (*Al-Islam wa Muwājahatuh li arakāt at-Tabshīr al-Ūrūbbī fī Gharb Ifrīqiyā. Majallat al-Buḥūts al-Islāmiyyah*)].

Di Maroko, gelar (Haji) telah digunakan bukan hanya untuk orang yang telah berhaji, tapi juga untuk orang lain, bahkan untuk orang tua, baik mereka telah berhaji ataupun belum.

Oleh sebab itu Prof. Dr. Qasim Akhilat (أَكْحِيلَات) dalam “Hukmu Laqob al-jj Liman Hajja” berkata :

وَٱلَّذِي نَرَاهُ جَوَازُ هَذَا ٱللَّقَبِ لِمَنْ حَجَّ وَلِمَنْ لَمْ يَحُجَّ تَفَاؤُلًا بِحَجِّهِ مُسْتَقْبَلًا، وَٱللَّفْظَةُ شَائِعَةٌ عِندَنَا لَا يُرَادُ بِهَا رِيَاءٌ وَلَا سُمْعَةٌ، وَإِنَّمَا يُرَادُ بِهَا تَعْظِيمُ ٱلشَّعِيرَةِ نَفْسِهَا. إِلَّا مَنْ أَرَادَ غَيْرَ ذَٰلِكَ لَمْ يَحِلَّ.

"Pendapat yang kami pilih adalah bolehnya menggunakan gelar ini bagi yang telah berhaji maupun yang belum, sebagai bentuk optimisme akan hajinya di masa depan. 

Ungkapan ini telah menjadi umum di kalangan kami dan tidak dimaksudkan untuk riya atau mencari popularitas, melainkan untuk mengagungkan syiar agama itu sendiri. Kecuali jika dimaksudkan untuk tujuan lain, maka tidak dibolehkan".

*****

PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU TENTANG GELAR HAJI

Penulis belum menemukan kitab-kitab ulama terdahulu yang menyebutkan bahwa ada seorang ulama yang melarang dan membid'ahkan gelar Haji. Mungkin ini disebabkan karena keterbatasan penulis dalam banyak hal, terutama yang berkenaan dengan masalah ini.

Berikut ini sebagian pernyataan para ulama terdahulu tentang gelar HAJI :

Al-Imam an-Nawawi [wafat tahun 676 H] dalam al-Majmu' berkata : 8/281 :

‌يَجُوزُ ‌أَنْ ‌يُقَالَ ‌لِمَنْ ‌حَجَّ ‌حَاجٌّ ‌بَعْدَ ‌تَحَلُّلِهِ ‌وَلَوْ ‌بَعْدَ ‌سِنِينَ ‌وَبَعْدَ ‌وَفَاتِهِ ‌أَيْضًا وَلَا كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ (وَأَمَّا) مَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ (لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي صَرُورَةٌ فَإِنَّ الْمُسْلِمَ لَيْسَ بِصَرُورَةٍ وَلَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي حَاجٌّ فَإِنَّ الْحَاجَّ هُوَ الْمُحْرِمُ) فَهُوَ مَوْقُوفٌ مُنْقَطِعٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

(Diperbolehkan untuk mengatakan kepada orang yang melakukan haji: Haji, setelah dia bertahallul, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian , dan setelah kematiannya juga. Dan tidak ada hukum makruh dalam hal itu.

Adapun apa yang diriwayatkan Al-Bayhaqi dari Al-Qasim bin Abdul-Rahman, dari Ibnu Mas'uud, dia berkata:

((Janganlah ada di antara kalian yang mengatakan: Saya adalah Shoruurah, karena seorang Muslim bukanlah seorang shoruurah. Dan tidak ada di antara kalian yang mengatakan: Saya seorang haji, karena haji adalah orang yang sedang ihram))

Karena hadits ini mauquf dan sanadnya terputus". [ al-Majmu' 8/281]

Al-Haythami berkata dalam Al-Majma’ 3/234 No. 5438:

" رَوَاهُ ٱلطَّبَرَانِيُّ فِي ٱلْكَبِيرِ. وَٱلْقَاسِمُ لَمْ يُدْرِكِ ٱبْنَ مَسْعُودٍ".

Ath-Thabarani meriwayatkan dalam Al-Kabiir. Al-Qasim tidak berjumpa Ibnu Mas'ud.

Al-Khoththobi berkata dalam syarah Sunan Abi Daud :

ٱلصَّرُورَةُ تُفَسَّرُ تَفْسِيرَيْنِ، أَحَدُهُمَا: أَنَّ ٱلصَّرُورَةَ هُوَ ٱلرَّجُلُ ٱلَّذِي ٱنْقَطَعَ عَنِ ٱلنِّكَاحِ وَتَبَتَّلَ. وَٱلْوَجْهُ ٱلْآخَرُ: أَنَّ ٱلصَّرُورَةَ هُوَ ٱلرَّجُلُ ٱلَّذِي لَمْ يَحُجَّ.

Ash-Shoruuroh ditafsirkan dengan dua peafsir :

Salah satunya: bahwa Ash-Shoruuroh adalah laki-laki yang memutuskan diri untuk tidak menikah dan hanya fokus ibadah .

Dan penafsiran lainnya : bahwa Ash-Shoruuroh adalah : orang yang belum menunaikan haji . [Lihat : Haamish Sunan Abi Daud , Tahqiq Syu'aib al-Arna'uth 3/153].

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah [wafat tahun 728 H] tidak mempermasalahkan gelar haji bagi kaum muslimin, namun beliau mempermasalahkan panggilan haji kepada seorang dzimmi (non muslim yang tinggal di negeri Islam).

Maka beliau berkata :

(مَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ: يَا حَاجُّ، يُعَزَّرْ، لِأَنَّ فِيهِ تَشْبِيهًا لِقَاصِدِ ٱلْكَنَائِسِ بِقَاصِدِ بَيْتِ ٱللَّهِ، وَفِيهِ تَعْظِيمٌ لِذَٰلِكَ، فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ شَبَّهَ أَعْيَادَهُمْ بِأَعْيَادِ ٱلْمُسْلِمِينَ وَتَعْظِيمِهِمْ. 

وَكَذَا يُعَزَّرُ مَنْ يُسَمِّي مَنْ زَارَ ٱلْقُبُورَ وَٱلْمَشَاهِدَ حَاجًّا، وَمَنْ سَمَّاهُ حَجًّا أَوْ جَعَلَ لَهُ مَنَاسِكَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَ فِي ذَٰلِكَ مَا هُوَ مِنْ خَصَائِصِ حَجِّ ٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ، وَأَنَّهُ مُنْكَرٌ، وَفَاعِلُهُ ضَالٌّ).

" Siapa pun yang berkata kepada orang Kafir Dhimmi : Wahai HAJI , maka dia harus di ta'zir [dipukul yang keras], karena di dalam ucapannya itu terdapat unsur mempersamakan antara orang yang pergi ke gereja dengan orang yang pergi haji ke Baitullah . Hal itu kedudukannya sama saja dengan orang yang mempersamakan hari raya mereka dengan hari raya kaum muslimin serta pengagunganya.

Demikian pula harus di ta'ziir [dihukum dengan pukulan keras] , bagi orang yang menamakan HAJI pada orang yang telah ziarah ke kuburan dan tempat keramat. Dan barangsiapa yang menamakannya ibadah haji atau menjadikan untuknya manasik khusus, maka tidak ada seorangpun yang berhak melakukan apa yang merupakan ciri khas bagi ibadah haji ke Baitul 'Atiiq [Ka'bah]. Dan itu adalah kemungkaran, dan orang yang melakukannya adalah sesat.

[ Baca : Al-Ikhtiyaarat al-Fiqhiyyah 2/872].

Ungkapan Ibnu Taimiyah di atas, juga diungkapkan oleh Ibnu Muflih al-Maqdisy al-Hanbali [wafat 763 H] dalam kitab al-Furuu' 10/120 , dan texs nya sama persis .

Dan juga al-Bahuuti [ wafat 1051 H] dalam kitab "Kasysyaaf al-Qinaa', dia berkata:

(وَكَذَا يُعَزَّرُ مَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ: يَا حَاجُّ؛ لِأَنَّ فِيهِ تَشْبِيهًا لِقَاصِدِ ٱلْكَنَائِسِ بِقَاصِدِ بَيْتِ ٱللَّهِ، وَفِيهِ تَعْظِيمٌ لِذَٰلِكَ، أَوْ سَمَّى مَنْ زَارَ ٱلْقُبُورَ وَٱلْمَشَاهِدَ: حَاجًّا، إِلَّا أَنْ يُسَمَّى ذَٰلِكَ حَجًّا يُقْصَدُ حَجُّ ٱلْكُفَّارِ وَٱلضَّالِّينَ، أَيْ: قَصْدُهُمْ ٱلْفَاسِدُ) اﻫ.

(Demikianlah, berhak mendapat hukuman ta'zir [pukulan keras] bagi orang memanggil orang kafir dzimmi dengan gelar : “Hai HAJI”, karena hal itu sama saja menyamakan orang yang pergi ke gereja dengan orang yang pergi haji ke Baitullah , dan di dalamnya terdapat pengagungan untuknya.

Begitu juga kena hukum ta'zir bagi seseorang yang menyebut orang yang telah berziarah ke kuburan dan tempat-tempat kramat dengan sebutan HAJI, kecuali jika menyebut HAJI nya itu , bermaksud : " HAJI-nya orang-orang kafir dan HAJI-nya orang-orang sesat", Yakni : tujuan mereka yang rusak). [ Baca : Kasysyaaf al-Qinaa' 6/128].

Lihat pula pernyataan yang sama dalam : 1. Neilul Ma'aarib 2/369. 2. Mu'jam al-Mutanaahi al-Lafdziyah hal. 219 ]

*****

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG GELAR HAJI:

Sepengetahun penulis : pada masa-masa sekarang ini lah para ulama kontemporer ramai membahas hukum gelar haji dengan menyebutnya : " Pak Haji , Bu Haji ... dst . 

Dan mereka berbeda pendapat , ada yang memperbolehkan, ada yang mengharamkan dan membid'ahkan dan ada pula yang mengatakan : meninggalkannya itu lebih baik .

====

PENDAPAT PERTAMA : MEMPERBOLEHKAN GELAR HAJI:

Ada sebagian para ulama kontemporer yang membolehkan gelar "haji" selama tidak disertai rasa ria dan tanpa ada keinginan untuk berbangga banggaan dengan gelar tersebut.

Berikut ini diantara para ulama tersebut;

FATWA SYEIKH HATHIIBAH :

Syeikh Ath-Thobiib Ahmad Hathiibah setelah mengutip perkataan Imam an-Nawawi, dia berkata :

 وَكُلُّ ٱلْحَجَّاجِ ٱلْآنَ يُنَادُونَ بَعْضَهُمْ بِهَذَا، فَهَٰذِهِ ٱلْكَلِمَةُ ٱلرَّاجِحُ فِيهَا أَنَّهَا جَائِزَةٌ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَلَىٰ وَجْهِ ٱلِٱفْتِخَارِ، أَوْ عَلَىٰ وَجْهِ ٱلتَّسْمِيعِ بِٱلْعَمَلِ، كَأَنْ يَحُجَّ لِيَقُولَ لَهُ ٱلنَّاسُ: يَا حَاجُّ، بَلْ قَدْ يَغْضَبُ عِندَمَا يُقَالُ لَهُ: يَا فُلَانُ أَوْ نَحْوُهَا، وَهٰذَا غَيْرُ جَائِزٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَطْلُبَ هُوَ مِنَ ٱلنَّاسِ ذَٰلِكَ. لَٰكِنْ إِذَا قِيلَ لِلْحَاجِّ: يَا حَاجُّ دُونَ طَلَبِهِ، فَٱلرَّاجِحُ أَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ فِي ذَٰلِكَ، سَوَاءٌ قِيلَ لَهُ فِي وَقْتِهَا أَوْ بَعْدَ ذَٰلِكَ.

" Dan semua jamaah haji sekarang saling memanggil dengan [gelar haji] ini, maka dalam hal gelar haji ini yang rajih [paling benar] adalah diperbolehkan, kecuali jika bertujuan membanggakan diri , atau dengan tujuan pamer amalan , seperti seseorang menunaikan haji dengan tujuan agar orang-orang mengatakan padanya: " Hai Haji", bahkan kadang dia marah ketika dikatakan padanya : " Hai fulan" atau sejenisnya, dan ini tidak diperbolehkan.

Dan tidak boleh baginya meminta orang untuk itu, akan tetapi jika ada yang mengatakan kepada orang yang telah haji : " Hai Haji !" , tanpa diminta, maka yang rajih [lebih benar] bahwa itu tidak hukumi makruh dalam hal itu  , baik yang dikatakan kepadanya saat dia berhaji atau sesudahnya".

[ Lihat : شرح كتاب الجامع الجامع العمرة والحج والزيارة – حطيبة karya Syeikh Hathibah . Jaami al-Kutubul Islamiyah 26/22].

FATWA PROF. DR. QASIM AKHILAT :

Prof. Dr. Qasim Akhilat (أَكْحِيلَات) dalam “Hukmu Laqob al-jj Liman Hajja” berkata :

وَٱلَّذِي نَرَاهُ جَوَازُ هَذَا ٱللَّقَبِ لِمَنْ حَجَّ وَلِمَنْ لَمْ يَحُجَّ تَفَاؤُلًا بِحَجِّهِ مُسْتَقْبَلًا، وَٱللَّفْظَةُ شَائِعَةٌ عِندَنَا لَا يُرَادُ بِهَا رِيَاءٌ وَلَا سُمْعَةٌ، وَإِنَّمَا يُرَادُ بِهَا تَعْظِيمُ ٱلشَّعِيرَةِ نَفْسِهَا. إِلَّا مَنْ أَرَادَ غَيْرَ ذَٰلِكَ لَمْ يَحِلَّ.

Pendapat yang kami pilih adalah bolehnya menggunakan gelar ini bagi yang telah berhaji maupun yang belum, sebagai bentuk optimisme akan hajinya di masa depan. Ungkapan ini telah umum di kalangan kami dan tidak dimaksudkan untuk riya atau mencari nama, melainkan untuk mengagungkan syiar agama itu sendiri. Kecuali jika dimaksudkan untuk tujuan lain, maka tidak dibolehkan.

FATWA ISLAMWEB.NET .

شَرْطُ جَوَازِ تَلْقِيبِ مَنْ حَجَّ بِٱلْحَاجِّ

Syarat diperbolehkannya orang yang telah berhaji bergelar haji

Nomor fatwa : 45243. Tanggal terbit: Senin 17 Muharram 1425 H - 8/3/2004 M

PERTANYAAN :

هَلْ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِلْحَاجِّ بَعْدَ حَجِّهِ (يَا حَاجُّ - يَا حَاجَّةُ)، وَهَلْ يُؤَدِّي ذَٰلِكَ إِلَى ٱلرِّيَاءِ؟

Apakah boleh orang berhaji setelah hajinya di panggil (Hai ​​Haji – Hai Hajjah ), dan apakah hal itu bisa mengantarkan pada RIYA ?

JAWABAN :

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ وَٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلاَمُ عَلَىٰ رَسُولِ ٱللَّهِ وَعَلَىٰٓ ءَالِهِ وَصَحْبِهِ، أَمَّا بَعْدُ: 

فَتَلْقِيبُ ٱلْإِنسَانِ بِمَا يُحِبُّ مُسْتَحَبٌّ شَرْعًۭا، أَمَّا بِمَا يَكْرَهُ فَمَعْصِيَةٌ، قَالَ ٱلنَّوَوِيُّ رَحِمَهُ ٱللَّهُ تَعَٰلَىٰ فِي ٱلْمَجْمُوعِ: 

ٱتَّفَقَ ٱلْعُلَمَاءُ عَلَىٰ تَحْرِيمِ تَلْقِيبِ ٱلْإِنسَانِ بِمَا يَكْرَهُ سَوَاءٌ كَانَ صِفَةً لَهُ أَوْ لِأَبِيهِ أَوْ لِأُمِّهِ، وَٱتَّفَقُوا عَلَىٰ جَوَازِ ذِكْرِهِ بِذَٰلِكَ عَلَىٰ جِهَةِ ٱلتَّعْرِيفِ لِمَنْ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا بِذَٰلِكَ، وَٱتَّفَقُوا عَلَىٰ ٱسْتِحْبَابِ ٱللَّقَبِ ٱلَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ، فَمِنْ ذَٰلِكَ أَبُو بَكْرٍ ٱلصِّدِّيقُ ٱسْمُهُ عَبْدُ ٱللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ، وَمِنْ ذَٰلِكَ أَبُو تَرَابٍ لَقَبٌ لِعَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَٰلِبٍ. اِنْتَهَىٰ. 

وَمِنْ هَٰذَا يَتَّبَيَّنُ جَوَازُ تَلْقِيبِ مَنْ حَجَّ بِٱلْحَاجِّ إِذَا لَمْ يُخَشَّ مِنهُ عَجَبٌ أَوْ رِيَاءٌ. وَٱللَّهُ أَعْلَمُ.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga dan para sahabatnya. Adapun setelah itu :

Menggelari seseorang dengan gelar yang dia sukai , maka itu adalah mustahab dalam syariat Islam, adapun dengan gelar yang dia benci , maka itu adalah perbuatan dosa.

Al-Nawawi rahimaullah berkata dalam Al-Majmu’ :

اتَّفَقَ ‌الْعُلَمَاءُ ‌عَلَى ‌تَحْرِيمِ ‌تَلْقِيبِ ‌الْإِنْسَانِ ‌بِمَا ‌يَكْرَهُهُ ‌سَوَاءٌ ‌كَانَ ‌صِفَةً ‌لَهُ ‌أَوْ ‌لِأَبِيهِ ‌أَوْ ‌لِأُمِّهِ أَوْ غَيْرِهِمَا مِمَّا يَكْرَهُ

‌وَاتَّفَقُوا ‌عَلَى ‌جَوَازِ ‌ذِكْرِهِ ‌بِذَلِكَ ‌عَلَى ‌جِهَةِ ‌التَّعْرِيفِ ‌لِمَنْ ‌لَا ‌يَعْرِفُهُ ‌إلَّا ‌بِذَلِكَ

وَاتَّفَقُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ اللَّقَبِ الَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ فَمِنْ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ ".

"‌ومن ‌ذلك ‌أبو ‌تُرابٍ ‌لقبُ ‌لعليّ ‌بن ‌أبي ‌طالبٍ "

Para ulama sepakat bahwa diharamkan menggelari seseorang dengan gelar yang dibencinya, baik gelar itu berkaitan dengan sifat dirinya, bapaknya, atau ibunya atau lainnya yang dibencinya .

Dan mereka sepakat tentang kebolehan menyebut seseorang dengan gelarnya dengan tujuan untuk mengenalkannya kepada orang-orang yang tidak mengenalnya kecuali dengan itu.

Dan mereka bersepakat tentang dimustahabkannya memanggil dengan gelar yang disukai pemiliknya. Diantara contohnya adalah Abu Bakar Al-Siddiq, namanya Abdullah bin Utsman, dan gelarnya adalah 'Atiiq . [Lihat al-Majmu' 8/441].

Dan contoh lainnya "Abu Turoob" adalah gelar untuk Ali bin Abi Thalib". [SELESAI KUTIPAN . Lihat al-Adzkaar hal. 476 no. 1514].

Dan dari sini menjadi jelas bahwa diperbolehkannya seseorang yang telah menunaikan ibadah haji di panggil HAJI, jika tidak khawatir pada dirinya timbul kesombongan atau RIYA . Wallaahu a'lam".

===

PENDAPAT KEDUA : SEBAIK-NYA TIDAK MENGGUNAKAN GELAR HAJI :

FATWA PARA ULAMA AL-LAJNAH AD-DAAIMAH – SAUDI ARABIA :

Fatwa Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa . Pertanyaan kedua dari Fatwa no. 17797.

PERTANYAAN :

ٱعْتَادَ ٱلنَّاسُ أَنْ يُنَادِيَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِقَوْلِهِمْ: ... (ٱلْحَاجُّ فُلَان) إِذَا حَجَّ بَيْتَ ٱللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ، فَهَلْ مِنْ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ يَتَعَلَّقُ بِهٰذِهِ ٱلْمَسْأَلَةِ؟

Orang-orang biasa saling memanggil dengan mengatakan: (Haji Fulan ) jika dia telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah Subhanahu Wa Ta'aala, apakah ada hukum Syar'i yang terkait dengan masalah ini?

JAWABAN :

أَمَّا مُنَادَاةُ مَنْ حَجَّ بِـ: (ٱلْحَاجِّ) فَٱلْأَوْلَىٰ تَرْكُهَا؛ لِأَنَّ أَدَاءَ ٱلْوَاجِبَاتِ ٱلشَّرْعِيَّةِ لَا يُمْنَحُ أَسْمَاءً وَأَلْقَابًا، بَلْ ثَوَابًا مِّنَ ٱللَّهِ تَعَالَىٰ لِمَنْ تَقَبَّلَ مِنْهُ، وَيَجِبُ عَلَى ٱلْمُسْلِمِ أَلَّا تَتَعَلَّقَ نَفْسُهُ بِمِثْلِ هٰذِهِ ٱلْأَشْيَاءِ، لِتَكُونَ نِيَّتُهُ خَالِصَةً لِوَجْهِ ٱللَّهِ تَعَالَىٰ.

Adapun panggilan orang yang telah berhaji dengan gelar Haji, maka yang lebih utama adalah meninggalkannya, karena dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syariat itu tidak memberikan nama dan gelar, melainkan pahala dari Allah swt kepada siapa yang diterima ibadah darinya, dan wajib bagi seorang muslim untuk tidak melekatkan pada dirinya hal-hal tersebut, agar niat dan tujuannya murni semata-mata karena Allah Ta'aala .

---

Panitia Tetap Riset Ilmiah dan Ifta

Pimpinan : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Anggota : Abdullah bin Ghadian

Anggota: Saleh Al-Fawzan

Anggota: Abdulaziz Al-Sheikh

Anggota: Bakr Abu Zaid

-----

FATWA SYEIKH MUQBIL AL-WAADI'I

حُكْمُ تَلْقِيبِ ٱلشَّخْصِ بَعْدَ رُجُوعِهِ مِنَ ٱلْحَجِّ بِٱلْحَاجِّ

Hukum Menggelari Seseorang Setelah Pulang Haji dengan gelar Haji

Tanggal ditambahkan:15 Rabi` al-Thani 1433 H

----

PERTANYAAN :

مَا حُكْمُ تَلْقِيبِ ٱلشَّخْصِ بَعْدَ رُجُوعِهِ مِنَ ٱلْحَجِّ بِٱلْحَاجِّ؟

Apa Hukum Menggelari Seseorang Setelah Pulang Haji dengan gelar Haji ?

JAWABAN :

هٰذَا تَلْقِيبٌ مَا ثَبَتَ عَلَىٰ عَهْدِ ٱلنَّبِيِّ - صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَسَلَّمَ -، هٰذَا أَمْرٌ. 

أَمْرٌ آخَرُ: ٱسْمُ ٱلْفَاعِلِ يُوصَفُ بِهِ مَنْ كَانَ مُتَلَبِّسًا بِهِ فِي حَالِ أَدَائِهِ ٱلْحَجَّ، يُقَالُ لَهُ: حَاجٌّ، وَأَمَّا بَعْدَ ٱلْحَجِّ فَلَا يُقَالُ لَهُ حَاجٌّ، إِلَّا إِذَا كَانَتْ صِفَةً مُلَازِمَةً لِلشَّخْصِ، مِثْلُ: "وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ" كَانَ ضَرَّابًا لِلنِّسَاءِ، فَلَعَلَّهَا صِفَةٌ كَانَتْ مُلَازِمَةً لَهُ. 

ٱلْمُهِمُّ أَنَّهُ لَا يُقَالُ بِٱسْمِ ٱلْفَاعِلِ إِلَّا فِي حَالِ تَلَبُّسِهِ بِذٰلِكَ ٱلْفِعْلِ.

Ini adalah gelar yang tidak ada ketetapan pada masa Nabi . Ini masalahnya .

Ada masalah lain, yaitu Isim Faa'il [kata benda subjek], yang dengannya orang yang sedang melakukan ibadah haji di sebut HAJI. Adapun jika telah selesai haji, maka dia tidak disebut haji kecuali jika itu adalah kata sifat yang melekat kepada orang tersebut, seperti sabda Nabi :

( أَمَّا أَبُو جَهْمٍ ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ )

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya di pundaknya.”

Karena Dia tukang pukul istri-istrinya, jadi mungkin itu adalah kata sifat yang melekat padanya.

Hal yang penting adalah bahwa itu tidak dikatakan atas nama pelaku kecuali jika dia sedang terlibat dengan pekerjaan itu".

*****

PENDAPAT KETIGA : GELAR HAJI ADALAH HARAM DAN BID’AH SESAT:

====

FATWA SYEIKH AL-ALBAANI :

Syekh al-Albaani rahimahullaah berkata :

(تَلْقِيبُ مَنْ حَجَّ بِٱلْحَاجِّ : بِدْعَةٌ)

Menggelari orang yang telah berhaji dengan HAJI adalah BID'AH

[ Lihat : مُعْجَمُ ٱلْمَنَاهِي ٱلْلَفْظِيَّةِ (223)]

===

FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIIN :

Syekh Ibnu Utsaimin - rahimahullah - ditanya, sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa wa’l-Rasa’il (24/204):

PERTANYAAN:

"فِي كَثِيرٍ مِنَ ٱلدُّوَلِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ، فَوْرَ عَوْدَةِ ٱلْحُجَّاجِ مِنَ ٱلْأَرَاضِي ٱلْمُقَدَّسَةِ بَعْدَ أَدَاءِ ٱلْفَرِيضَةِ، يُلَقَّبُ مَنْ أَدَّى ٱلْفَرِيضَةَ بِلَقَبِ حَاجٍّ، فَيُدْعَى مَثَلًا: ٱلْحَاجُّ مُحَمَّد، ٱلْحَاجُّ أَحْمَد، وَتَظَلُّ مُلَازِمَةً لَهُ دَائِمًا! فَمَا حُكْمُ ذٰلِكَ؟"

Di banyak negara Islam,  setelah jamaah haji kembali dari Tanah Suci setelah menunaikan kewajiban haji, orang yang telah menunaikan ibadah haji ini diberi gelar HAJI. Misalnya, dia disebut: Haji Muhammad, Haji Ahmad, dan gelar itu terus melekat padanya selamanya ! Apa hukumnya?

JAWABAN :

"هٰذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ نَوْعًا مِّنَ ٱلرِّيَاءِ، لَا يَتَلَقَّبُ بِذٰلِكَ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَدْعُوَهُ ٱلنَّاسُ بِذٰلِكَ؛ لِأَنَّهُ مَا كَانَ ٱلنَّاسُ فِي عَهْدِ ٱلرَّسُولِ - ﷺ - يَقُولُونَ لِلْحَاجِّ: أَنْتَ حَاجٌّ."

Ini adalah kesalahan; Karena ada semacam RIYA di dalamnya, dan tidak boleh bergelar demikian. Karena orang-orang pada masa Rasulullah tidak ada yang mengatakan kepada orang yang berhaji  : "Kamu Haji ."

===****===

MEREBAKNYA PENGGILAN HAJI DI KALANGAN NON MUSLIM :

Dalam Fatwa Islam.Web di sebutkan no. 72611:

وَلَقَبُ الحَاجِّ قَدْ يُطْلَقُ فِي بَعْضِ المُجْتَمَعَاتِ الإِسْلَامِيَّةِ عَلَى كِبَارِ السِّنِّ عُمُومًا مِنْ بَابِ التَّوْقِيرِ وَالاحْتِرَامِ، لَكِنِ الَّذِي يَنْبَغِي هُوَ عَدَمُ إِطْلَاقِهِ عَلَى مَنْ لَمْ يَحُجَّ، لِأَنَّ الحَجَّ اصْطِلَاحٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِ مَا وُضِعَ لَهُ شَرْعًا.

وَأَمَّا الكَافِرُ فَلَا يَجُوزُ تَلْقِيبُهُ بِذَلِكَ، لِأَنَّ الحَجَّ عِبَادَةٌ وَطَاعَةٌ لِلَّهِ تَعَالَى مِثْلُهُ مِثْلُ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ العِبَادَاتِ، فَلَا يَجُوزُ وَصْفُ الكَافِرِ بِهَا، فَضْلًا عَنْ تَلْقِيبِهِمْ بِذَلِكَ، وَيَسْتَعْمِلُ الأَعَاجِمُ المُسْلِمُونَ لَفْظَهُ (حَجِّي) بَدَلًا مِنْ (الحَاجِّ) وَقَدِ انْتَقَلَ ذَلِكَ إِلَى بَعْضِ العَرَبِ أَيْضًا، وَيَنْطَبِقُ عَلَيْهَا مَا سَبَقَ مِنَ الكَلَامِ عَلَى لَفْظِ (الحَاجِّ).

Gelar "haji" kadang digunakan dalam sebagian masyarakat Islam kepada orang-orang yang sudah lanjut usia secara umum meski belum pernah ibadah haji sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan.

Namun, yang seharusnya dilakukan adalah tidak memberikan gelar haji ini kepada orang yang belum menunaikan ibadah haji, karena haji adalah istilah syar’i yang tidak boleh digunakan kecuali pada tempat yang telah ditetapkan oleh syariat.

Adapun orang kafir, maka sama sekali tidak boleh diberi gelar tersebut, karena haji adalah ibadah dan bentuk ketaatan kepada Allah Ta'ala, sama seperti shalat, zakat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Maka tidak boleh menyifati orang kafir dengan ibadah tersebut, apalagi memberinya gelar tersebut. Kaum muslimin non-Arab menggunakan istilah "hajii" (ajīi) sebagai pengganti dari "al-ḥājj" (الحاج), dan penggunaan ini juga telah menyebar ke sebagian orang Arab. Hukum penggunaannya tetap sama seperti yang telah dijelaskan tentang kata haji ("al-ḥājj)".

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

(مَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ: يَا حَاجُّ، يُعَزَّرْ، لِأَنَّ فِيهِ تَشْبِيهًا لِقَاصِدِ ٱلْكَنَائِسِ بِقَاصِدِ بَيْتِ ٱللَّهِ، وَفِيهِ تَعْظِيمٌ لِذَٰلِكَ، فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ شَبَّهَ أَعْيَادَهُمْ بِأَعْيَادِ ٱلْمُسْلِمِينَ وَتَعْظِيمِهِمْ. 

وَكَذَا يُعَزَّرُ مَنْ يُسَمِّي مَنْ زَارَ ٱلْقُبُورَ وَٱلْمَشَاهِدَ حَاجًّا، وَمَنْ سَمَّاهُ حَجًّا أَوْ جَعَلَ لَهُ مَنَاسِكَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَ فِي ذَٰلِكَ مَا هُوَ مِنْ خَصَائِصِ حَجِّ ٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ، وَأَنَّهُ مُنْكَرٌ، وَفَاعِلُهُ ضَالٌّ).

" Siapa pun yang berkata kepada orang Kafir Dhimmi : Wahai HAJI , maka dia harus di ta'zir [dipukul yang keras], karena di dalam ucapannya itu terdapat unsur mempersamakan antara orang yang pergi ke gereja dengan orang yang pergi haji ke Baitullah . Hal itu kedudukannya sama saja dengan orang yang mempersamakan hari raya mereka dengan hari raya kaum muslimin serta pengagunganya.

Demikian pula harus di ta'ziir [dihukum dengan pukulan keras] , bagi orang yang menamakan HAJI pada orang yang telah ziarah ke kuburan dan tempat keramat. Dan barangsiapa yang menamakannya ibadah haji atau menjadikan untuknya manasik khusus, maka tidak ada seorangpun yang berhak melakukan apa yang merupakan ciri khas bagi ibadah haji ke Baitul 'Atiiq [Ka'bah]. Dan itu adalah kemungkaran, dan orang yang melakukannya adalah sesat.

[ Baca : Al-Ikhtiyaarat al-Fiqhiyyah 2/872].

Ungkapan Ibnu Taimiyah di atas, juga diungkapkan oleh Ibnu Muflih al-Maqdisy al-Hanbali [wafat 763 H] dalam kitab al-Furuu' 10/120 , dan texs nya sama persis .

Dan juga al-Bahuuti [ wafat 1051 H] dalam kitab "Kasysyaaf al-Qinaa', dia berkata:

(وَكَذَا يُعَزَّرُ مَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ: يَا حَاجُّ؛ لِأَنَّ فِيهِ تَشْبِيهًا لِقَاصِدِ ٱلْكَنَائِسِ بِقَاصِدِ بَيْتِ ٱللَّهِ، وَفِيهِ تَعْظِيمٌ لِذَٰلِكَ، أَوْ سَمَّى مَنْ زَارَ ٱلْقُبُورَ وَٱلْمَشَاهِدَ: حَاجًّا، إِلَّا أَنْ يُسَمَّى ذَٰلِكَ حَجًّا يُقْصَدُ حَجُّ ٱلْكُفَّارِ وَٱلضَّالِّينَ، أَيْ: قَصْدُهُمْ ٱلْفَاسِدُ) اﻫ.

(Demikianlah, berhak mendapat hukuman ta'zir [pukulan keras] bagi orang memanggil orang kafir dzimmi dengan gelar : “Hai HAJI”, karena hal itu sama saja menyamakan orang yang pergi ke gereja dengan orang yang pergi haji ke Baitullah , dan di dalamnya terdapat pengagungan untuknya.

Begitu juga kena hukum ta'zir bagi seseorang yang menyebut orang yang telah berziarah ke kuburan dan tempat-tempat kramat dengan sebutan HAJI, kecuali jika menyebut HAJI nya itu , bermaksud : " HAJI-nya orang-orang kafir dan HAJI-nya orang-orang sesat", Yakni : tujuan mereka yang rusak). [ Baca : Kasysyaaf al-Qinaa' 6/128].

Lihat pula pernyataan yang sama dalam : 1. Neilul Ma'aarib 2/369. 2. Mu'jam al-Mutanaahi al-Lafdziyah hal. 219 ]

===***===

DI AFRIKA GIGI BERLAPIS EMAS ADALAH TANDA SESEORANG TELAH BERHAJI


ٱلسِّرُّ وَرَاءَ حِرْصِ ٱلْحُجَّاجِ ٱلْأَفَارِقَةِ عَلَىٰ تَرْكِيبِ سِنٍّ "ذَهَبٍ" أَثْنَاءَ زِيَارَةِ ٱلْمَدِينَةِ!

Rahasia di balik kegigihan para jemaah haji Afrika untuk memasang gigi “emas” saat ziarah ke Madinah

يَحْرِصُ ٱلْحُجَّاجُ ٱلْأَفَارِقَةُ مِنَ ٱلْجِنْسَيْنِ عَلَىٰ تَلْبِيسِ إِحْدَىٰٓ أَسْنَانِهِمْ بِٱلذَّهَبِ، وَيُعْتَقَدُونَهَا "عَلاَمَةً ذَهَبِيَّةً" عَلَىٰ أَدَاءِ فَرِيضَةِ ٱلْحَجِّ، مُعْتَقِدِينَ أَنَّ فَرَحَتَهُمْ بِٱلْفَرِيضَةِ لَا تَكْمُلُ دُونَ تِلْكَ ٱلسِّنِّ.

وَاصْطَفَّ عَدَدٌ مِنَ ٱلْحُجَّاجِ ٱلْأَفَارِقَةِ عَلَىٰ عِيَادَاتِ ٱلْأَسْنَانِ فِي ٱلْمَدِينَةِ ٱلْمَنَوَّرَةِ لِتَلْبِيسِ أَسْنَانِهِمْ بِٱلذَّهَبِ، رَافِضِينَ ٱلْعَوْدَةَ إِلَىٰ بِلَادِهِمْ مِنْ دُونِهِ، مُعْتَقِدِينَ أَنَّ فَرَحَتَهُمْ بِٱلْفَرِيضَةِ لَا تَكْمُلُ دُونَ ذَٰلِكَ. 

وَيُشِيرُ ٱلْمُؤَرِّخُونَ إِلَىٰ أَنَّ تَرْكِيبَ ٱلْأَسْنَانِ ٱلذَّهَبِيَّةِ ٱنتَشَرَ فِيٓ أَكْثَرِ بِلَادِ ٱلْعَالَمِ وَمِنْهَا ٱلْمَمْلَكَةُ، وَكَانَ ٱلْغَرَضُ مِنْهَا ٱلْإِشَارَةَ لِلثَّرَاءِ عِندَ ٱلرِّجَالِ، وَٱلزِّيْنَةَ لِلْنِّسَاءِ، غَيْرَ أَنَّ تَعَارُضَ تِلْكَ ٱلْعَادَةِ مَعَ ٱلشَّرْعِ ٱلَّذِي يَمْنَعُ إِسْتِخْدَامَ ٱلذَّهَبِ لِلرِّجَالِ جَعَلَهَا مُسْتَهْجَنَةً وَغَيْرَ مَقْبُولَةٍ. 

وَنَتِيجَةَ عَدَمِ ٱلْمُوَاظَبَةِ عَلَيْهَا ٱنْدَثَرَتْ عَادَةُ تَلْبِيسِ ٱلسِّنِّ بِٱلذَّهَبِ، إِلَّا أَنَّهَا عَادَتْ مَرَّةً أُخْرَىٰ عَنْ طَرِيقِ ٱلْحُجَّاجِ ٱلْأَفَارِقَةِ مُنْذُ ٤٠ سَنَةً بِمُعْتَقَدٍ وَعَادَاتٍ جَدِيدَةٍ، خَاصَّةً أَنَّ حَجَّ ٱلْفَرِيضَةِ لَدَىٰ ٱلْحُجَّاجِ ٱلْأَفَارِقَةِ لَا يَأْتِيٓ إِلَّا بَعْدَ عُمْرٍ طَوِيلٍ.

Para jemaah haji Afrika dari kedua jenis kelamin tertarik untuk melapisi salah satu gigi mereka dengan emas, dan mereka menganggap bahwa "TANDA EMAS " itu adalah simbol telah menunaikan Ibadah haji, mereka berkeyakinan bahwa kegembiraan mereka dalam menunaikan kewajiban haji tidak bisa sempurna tanpa gigi itu.

Sejumlah jemaah haji Afrika antri berbaris di klinik gigi di Madinah al-Munawwarah untuk melapisi gigi mereka dengan emas, mereka menolak untuk kembali ke negara mereka tanpa itu, percaya bahwa kegembiraan mereka dalam shalat wajib tidak lengkap tanpa itu. Mereka berkeyakinan bahwa kegembiraan mereka dalam menunaikan kewajiban haji tidak bisa sempurna tanpa gigi itu.

Para Sejarawan menunjukkan bahwa pemasangan gigi emas tersebar di sebagian besar negara di dunia, termasuk di Kerajaan Arab Saudi , dan pada awalnya tujuannya adalah untuk menunjukkan kekayaan bagi kaum pria , dan perhiasan bagi kaum wanita , akan tetapi kebiasaan itu bertentangan dengan Syariah yang melarang penggunaan emas untuk laki-laki. , yang membuatnya tercela dan tidak dapat diterima.

Akibat kurangnya perhatian terhadapnya, maka kebiasaan melapisi gigi dengan emas menghilang.

Namun pelapisan gigi emas ini kembali lagi menjamur melalui para haji Afrika sejak 40 tahun yang lalu dengan keyakinan dan tradisi baru, terutama karena orang melaksanakan haji fardhu dari Afrika ini tidak ada yang datang kecuali yang sudah berumur.

[ Sumber : Blog. صحيفة عين الحقيقة https://goo.gl/nGjPvD ]

====****====

PERTANYAAN : JIKA GELAR HAJI ITU HARAM DAN BID'AH, LALU BAGAIMANA HUKUM GELAR USTADZ DAN KYAI ?

Jika seandainya kita sependapat dengan yang menyatakan : bahwa gelar haji bagi yang telah berhaji itu haram hukumnya dan bid'ah , lantas bagaimanakah dengan hukum gelar al-Ustadz, al-Kyai , asy-Syeikh, al-'Allaamh , al-Muhaddits, az-Zaahid , al-'Arif Billah dan lainnya yang menunjukkan bahwa dirinya adalah orang pilihan , orang shaleh , orang berilmu , ahli zuhud , ahli makrifat dan ahli ibadah???

Dan biasanya gelar-gelar tersebut telah melekat di hati masyarakat sebagai bentuk pengakuan dan legitimasi akan keshalehan mereka dan keilmuan mereka , bahkan ada sebagian dari mereka yang dikultuskan , dan bahkan ada yang harus berjalan merangkak serta merunduk dihadapannya .

JAWABANNYA :

Tentu atau mungkin jawabannya adalah tidaklah mengapa dengan melekatkan gelar-gelar keshalehan tersebut pada orang yang layak dengan itu semua , selama tidak ada unsur RIYA , tidak ada kesombongan dalam dirinya dan tidak berniat untuk popularitas atau agar keshalehannya menjadi kondang . Dan juga tidak menjadikan gelar-gelar keshalehan ini untuk kepentingan duniawi dan posisi atau sumber mata pencaharian . 

===***===

LALU BAGAIMANA MEMAHAMI HADIST-HADITS BERIKUT INI ?

****

HADITS-HADIST YANG MELARANG MENJADIKAN ILMU AGAMA UNTUK POPULARITAS :

Silahkan simpulkan sendiri pemahamannya setelah membaca hadits-hadits Nabi berikut ini !!!

HADITS KE 1:

Dari Ka’ab bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda,

" مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ "

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya bertujuan untuk menunjukkan kepada para ulama bahwa dirinya lah yang paling berilmu atau bertujuan untuk mendebat orang-orang bodoh ( yakni : sehingga membuat orang awam tergaum-kagum. pen. ) atau agar dengan ilmunya tersebut wajah-wajah para manusia tertuju pada dirinya ( yakni : supaya semua orang jadi pengikutnya, pen.), maka Allah akan memasukannya ke dalam api neraka.”

(HR. Tirmidzi no. 2654 , AL-‘Uaqaily dlm “الضعفاء الكبير” 1/103 dan Ibnu Hibban dalam “المجروحين” . Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih at-Turmudzi no. 2654 bahwa hadits ini HASAN. Lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)

HADITS KE 2 :

Dari Jabir bin ‘Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, ia berkata, Nabi  bersabda,

" لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ ".

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk mendebat orang-orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan dengan ilmunya itu agar orang-orang memilih dia untuk mengisi di majelis-majlis . Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah no. 254.  Al-Mundziri dalam kitabnya “الترغيب والترهيب” 1/92 :

إسناده صحيح أو حسن أو ما قاربهما

Artinya : “ Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.

Dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

HADITS KE 3 :

Dari Hudzaifah bin al-Yamaan , bahwa Nabi bersabda :

لا تَعلَّموا العِلمَ لتباهوا بهِ العلماءَ أو لتُماروا بهِ السُّفَهاءَ أو لتصرِفوا وجوهَ النَّاسِ إليكم فمَن فعلَ ذلِكَ فَهوَ في النَّارِ

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk mendebat orang-orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan agar wajah-wajah manusia tertuju pada diri kalian . Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya .”

( HR. Ibnu Majah dan di hasankan oleh syeikh al-Baani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 210 )

****

HADITS-HADITS LARANGAN MENCARI POPULARITAS SECARA UMUM

HADITS KE 1 :

Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi bersabda : 

( مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )

“Barang siapa memakai pakaian syuhroh ( pakaian yang bisa membuatnya terkenal ) di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat “.

( HR. Abu Daud No. 4029 ) , an-Nasaa’i dlm “السنن الكبرى” 5/460 , Ibnu Majah No. 3606 , Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya . Hadits ini di Hasankan oleh Syeikh al-Baani dan al-Arna’uth ).

Al-Imam as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya “المبسوط” 30/268 berkata :

"وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ ٱلْحُسْنِ وَٱلْجَوْدَةِ فِي ٱلثِّيَابِ عَلَىٰ وَجْهِ يُشَارُ إِلَيْهِ بِٱلْأَصَابِعِ، أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ ٱلثِّيَابِ ٱلْخَلِقِ – ٱلْقَدِيمِ ٱلْبَالِيِ – عَلَىٰ وَجْهِ يُشَارُ إِلَيْهِ بِٱلْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إِلَىٰ ٱلْإِسْرَافِ وَٱلْآخَرِ يَرْجِعُ إِلَىٰ ٱلتَّقْتِيرِ، وَخَيْرُ ٱلْأُمُورِ أَوْسَطُهَا." ٱنتَهَىٰ

“Dan yang di maksud  adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya . Atau memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan  agar jari-jari manusia menunjukkan padanya . Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan , sementara yang kedua karena terlalu pelit , dan sebaik-baiknya semua perkara adalah tengah-tengahnya “ . (Selesai)

HADITS KE 2 :

Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash , bahwa Nabi bersabda :

( كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ )

“ Makan lah kalian , bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias pamer ) “.

( HR. An-Nasaa’i No. 2559 . Dan di hasankan oleh Syeikh al-Baani dalam Shahih an-Nasaa’i ).

HADITS KE 3 :

Dari Abu Dzar رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, dari Nabi bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ إِلَّا أَعْرَضَ ٱللَّهُ عَنْهُ حَتَّىٰ يَنْزِعَهُ، وَإِنْ كَانَ عِندَهُ حَبِيبًا."

“Tidaklah seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah ( ketenaran ) kecuali Allah akan berpaling dari manusia tersebut hingga ia melepaskannya , meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya“.

(HR Ibnu Majah, Al Hafizh Al Iraqy dalam takhrij hadits al ihya’ berkata:

" بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ دُونَ قَوْلِهِ «وَإِنْ كَانَ عِندَهُ حَبِيبًا»".

Dengan sanad Jayyid (baik) , tapi tanpa perkataan : “meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya “.

[ Lihat : al-Mughni 'An Hamlil Asfaar hal. 1588 no. 4 dan lihat pula Hamish Ihya Ulumuddiin 4/232].

HADITS KE 4 :

Dari Mua’adz bin Anas رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, bahwasanya Nabi bersabda:

«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»

Barangsiapa yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya / memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan / pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai” .

(HR. At Tirmidzi no. 2405 9/21, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Jaami’ No. 6145)

ATSAR PARA SAHABAT , TABI’IIN DAN TABI’IT TABI’IIN :

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

" ‌كُلْ ‌مَا ‌شِئْتَ ‌وَالْبَسْ ‌مَا ‌شِئْتَ ‌مَا ‌أَخْطَأَتْكَ ‌خَصْلَتَانِ سَرَفٌ وَمَخِيلَةٌ "

“Makan lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu , tidak ada yang menyalahkanmu kecuali dua gaya : berlebihan dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias pamer ) “ .

( Di Riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/171 .

Al-Bukhari menyebutkannya secara Mu'allaq [tanpa Sanad] dalam Sahihnya di kitab al-Libaas, dan dia berkata : dan Ibnu Abbas berkata... lalu dia menyebutkannya

Hal yang sama diriwayatkan dengan sanadnya marfu' kepada Nabi :  dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, yang mengatakan bahwa Rasulullah berkata:

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَٱلْبِسُوا مَا لَمْ يُخَالِطْهُ إِسْرَافٌ وَمَخِيلَةٌ.

“Makan lah , minumlah , bersedekahlah dan berpakaianlah sesukamu , selama tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias pamer ) “ .

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dalam Kitab al-Ath'imah, dan dia mengatakan :

صَحِيح الْإِسْنَاد وَلم يخرجَاهُ

Sanadnya Shahih, dan mereka berdua tidak meriwayatkannya.

[ Lihat : Takhriij Ahaadiits al-Kasyaaf karya az-Zaila'iy 1/459]

Dari Buraidah bin al-Hushoib , berkata :

"‌شَهِدْتُ ‌خَيْبَرَ، ‌وَكُنْتُ ‌فِيْمَنْ ‌صَعِدَ ‌الثُّلْمَةَ، ‌فَقَاتَلْتُ ‌حَتَّى ‌رُئِيَ ‌مَكَانِي، وَعَلَيَّ ثَوْبٌ أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ - أَيْ: الشُّهْرَةَ".

“ Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar , dan aku termasuk orang yang mendaki “الثُّلْمَة” (tempat yang retak-retak) , lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat karena aku mengenakan baju merah , maka sepengatahuanku tidak ada dosa yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya . Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi terkenal “.

[ Siyaar al-A'laam an-Nubalaa 4/470 dan Taarikh al-Islam 2/386 ]

DAN BERIKUT INI ATSAR PARA TABI'IIN:

1]. Dari Syahr bin Hausyab , berkata :

" ‌مَنْ ‌رَكِبَ ‌مَشْهُوْراً ‌مِنَ ‌الدَّوَابِّ، ‌وَلَبِسَ ‌مَشْهُوْراً ‌مِنَ ‌الثِّيَابِ، ‌أَعْرَضَ ‌اللهُ ‌عَنْهُ، ‌وَإِنْ ‌كَانَ ‌كَرِيْماً "

“ Barang siapa menunggangi kendaraan masyhur dan pakaian masyhur , maka Allah berpaling darinya meskipun dia seorang yang dermawan “. [ Siyaar al-A'laam an-Nubalaa 4/375]

Al-Imam al-Baihaqi berkata :

"كُلُّ شَيْءٍ صَارَ صَاحِبَهُ شُهْرَةً، فَحَقُّهُ أَنْ يُجْتَنَبَ."

“ Segala sesuatu yang mengantarkan dirinya pada pada Syuhroh ( terkenal ) , maka hak dia adalah dijauhi “.

2]. Dari Sufyan ats-Tsaury , berkata :

" ‌إِيَّاكَ ‌وَالشُّهْرَةَ، ‌فَمَا ‌أَتَيْتُ ‌أَحَداً ‌إِلَاّ ‌وَقَدْ ‌نَهَى ‌عَنِ ‌الشُّهرَةِ ".

" Waspadalah terhadap popularitas , maka tidak sekali-kali aku mendatangi seseorang kecuali dia telah melarang popularitas “. [ Siyaar al-A'laam an-Nubalaa 7/260 dan Fashlul Khithoob 1/833]

3]. Ibrahim bin Adham berkata :

" ‌مَا ‌صَدَقَ ‌اللهَ ‌عَبْدٌ ‌أَحَبَّ ‌الشُّهْرَةَ "

“Seorang hamba yang cinta popularitas , tidak percaya Allah “. [ Siyaar al-A'laam an-Nubalaa 7/393 dan Taarikh Damasqus 6/317].

4]. Ayyub as-Sakhtiyani berkata :

«‌مَا ‌صَدَقَ ‌عَبْدٌ ‌قَطُّ، ‌فَأَحَبَّ ‌الشُّهْرَةَ»

“ Tidak sekali-kali seorang hamba tidak percaya kepada Allah , maka dia mencintai popularitas“. [Musnad Ibnu Ja'ad hal. 190 no. 1248 dan Siyaar al-A'laam an-Nubalaa 6/20]

5]. Bisyer bin al-Haarits berkata :

 «‌مَا ‌اتَّقَى ‌اللَّهُ ‌مَنْ ‌أَحَبَّ ‌الشُّهْرَةَ»

“Seorang hamba yang cinta popularitas , tidaklah bertaqwa kepada Allah “. [ Shofwatush Shofwah 1/473 , Hilyatul Awliyaa 8/346 dan Siyaar al-A'laam an-Nubalaa 10/476]

*****

ROSULULLAH TIDAK SUKA DI PUJI DAN DI SANJUNG.

Rosulullah pribadi yang tidak suka sanjungan dan pujian , bahkan beliau melarang umatnya memuji-memuji dan mengagung-agungkan dirinya .

 

Di riwayatkan dari Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْه :

" أنَّ نَاسًا قَالُوْا : يَارَسُولُ اللَّه يَاخَيْرَنَا وَابْن َخَيْرِنَا وَيَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّه ﷺ : « ياأيّها النّاسُ قُولُوا بِقولِكُمْ ولا يَسْتَهْوِيَنّكُم ْالشّيْطَانُ ، أنا محمدٌ عَبْد الله وَرَسُولُه ، ما أحِبّ أنْ تَرْفَعُوني فَوْقَ مَنْزِلَتِي التي أنزلني الله عَزّ وَجَلّ».

Bahwa orang-orang berkata kepada Nabi : Ya Rosulullah , wahai pilihan kami dan putra seorang pilihan kami , wahai sayyiduna ( tuan kami ) dan putra sayyiduna ( putra tuan kami )!.

Maka Rosulullah bersabda :

" Wahai para manusia , jagalah perkataan kalian itu , jangan sampai syeitan menggelincirkan kalian , aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya , aku tidak suka kalian mengangkatku diatas kedudukanku yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan untukku ".

( HR. Ahmad no. 12573 , 13621 , 13596 , Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Laylah no. 248, 249 dan Ibnu Hibban no. 6240 . Hadits ini di sahihkan oleh Ibnu Hibban , Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 5L179 , Syu'eib Al-Arnauth dan lainnya ).

Dalam hadits Abu Bakroh di ceritakan : ada seseorang memuji-muji seseorang lainnya di sisi

Rosulullah , maka beliau berkata padanya :

« وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ » مِرَارًا ، ثُمَّ قَالَ : « مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ ، لاَمَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلاَنًا وَاللهُ حَسِيبُهُ وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذلِكَ مِنْه» .

Celakalah kamu , kamu telah memotong leher sahabatmu , kamu telah memotong leher sahabatmu ! ( beliau mengatakannya berulang-berulang )

Kemudian beliau berkata : " Jika ada di antara kalian mau memuji saudaranya yang tidak boleh tidak , maka katakanlah : Aku kira si Fulan , dan hanya Allah lah yang membuat perkiraan atau perhitungan terhadap segala sesuatu , dan kepada Allah aku tidak berhak menyatakan bahwa seseorang itu bersih dan terpuji , ( akan tetapi ) aku kira seseorang itu begitu dan begitu , meskipun dia tahu persis orang itu seperti yang dia kira ". ( HR. Bukhory no. 2662, 6061 dan Muslim no. 3000 ).

****

ROSULULLAH TIDAK SUKA JIKA ADA ORANG BERDIRI MENGHORMATINYA

Rosulullah tidak suka jika ada seseorang berdiri hanya karena untuk menghormatinya :

Imam Bukhory dalam kitab Adabul Mufrod meriwayatkan dari Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْه , dia berkata :

" لَمْ يَكُنْ شَخْص أَحَبّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنْ رَسُول اللَّه ﷺ ، وَكَانُوا إِذَارَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لَهُ ، لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَته لِذَلِكَ "

Tidak ada sosok manusia yang lebih di cintai oleh para sahabat untuk dilihatnya selain terhadap Rosulullah , dan mereka para sahabat jika melihat beliau datang , mereka tidak berdiri menyambutnya , karena mereka tahu jika beliau membencinya untuk diperlakukan seperti itu.

( Sanadnya sahih sesuai syarat Imam Muslim . Dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Turmudzi  , dan Abu Isa Turmudzi berkata : Hadits Hasan Sahih Ghorib . Lihat Tahdzib Sunan Abu Daud 2/482 ).

Imam Muslim dalam sahihnya no. 1-(413) meriwaytkan dari Jabir رَضِيَ اللَّهُ عَنْه :

Bahwasannya ketika para sahabat shalat di belakang Nabi dalam kondisi berdiri, sementara Rosulullah duduk ( karena saat itu beliau sedang sakit keras menjelang wafatnya ) , maka beliau memberi isyarat agar mereka juga duduk , maka merekapun duduk , setelah beliau salam beliau bersabda :

« إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوم ِيَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُم ْقُعُودٌ فَلَا تَفْعَلُوا»

" Sungguh barusan hampir saja kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi , mereka berdiri terhadap raja-rajanya sementara para rajanya duduk , maka janganlah kalian lakukan itu " . 

Dari Abu Mijlaz , dia berkata :

Suatu ketika Khalifah Muawiyah keluar , maka Abdullah bin Zubair dan Ibnu Sofwan berdiri ketika melihatnya , lalu Mu'awiyah berkata : Kalian berdua duduklah , aku telah mendengar Rosulullah bersabda :

« مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّل لَهُ الرِّجَال قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأ ْمَقْعَده مِنْ النَّار»

" Barang siapa yang merasa bangga atau senang jika ada orang-orang berdiri untuk menyambutnya maka tempatilah tempat duduknya dari api neraka" .

( HR. Ahmad 4/91 , Bukhori di Adabul Mufrod no. 977 dan Turmudzi no. 2755 , dia berkata : Hadits Hasan ).

Dalam Musnad Imam Ahmad , Sunan Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah di riwayatkan dari Abu Umamah al-Baahily رَضِيَ اللَّهُ عَنْه dia berkata :

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا فَقُمْنَا إِلَيْهِ فَقَالَ : « لاَ تَقُومُوا كَمَا تَقُومُ الأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهَا بَعْضًا».

" Telah keluar Rosulullah mendatangi kami sambil bersandar pada tongkat , lalu kami pun berdiri menyambutnya , maka beliau berkata :

" Janganlah kalian berdiri seperti halnya orang-orang ajam ( non arab ) berdiri , sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain ".

[Al-Mundziry dalam At-Targhib wat Tarhib berkata : Sanadnya Hasan ". Dan di dlaifkan oleh Syeikh Al-Albaani ].

Akan tetapi terkadang Nabi dan mereka para sahabat berdiri menyambut kedatangan seseorang yang lama tidak bertemu karena memang mereka bermaksud menjumpainya , seperti yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berdiri menyambut Ikrimah رَضِيَ اللَّهُ عَنْه . 

Dan Nabi pernah berkata kepada para sahabat Al-Anshar ketika Saad bin Mu'adz datang :

 

«قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ»

" Berdirilah kalian kepada sayyid kalian ! ".

Saat itu Saad bin Muadz dalam keadaan lemah dan sakit karena terluka dalam perang khandak, dan beliau di undang atas pemintaan Yahudi Bani Quraidhoh untuk menghakimi diri mereka atas pengkhiyanatannya terhadap kaum muslimin dalam perang Ahzb .

( Lihat Sahih Bukhory no. 6262 dan Sahih Muslim no. 1768 . Dan lihat : Al-Iidloh wat- Tabyiin 1/171karya Hamuud At-Tuwaijry ).

Kemudian dalam Hadits Aisyah yang menceritakan berdirinya Nabi terhadap putrinya Fatimah radliyallahu anha ketika dia masuk ke rumah beliau , dan juga berdirinya Fatimah kepada beliau ketika beliau memasuki rumah putrinya .

Dalam Sunan Turmudzi no. 2732 diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau berkata:

قَدِم َزَيْدٌ بْنُ حَارِثَة الْمَدِينَةَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي بَيْتِي فَأَتَاهُ ، فَقَرَعَ الْبَابَ , فَقَامَ إِلَيْهِ النَّبِيّ ﷺ يَجُرُّ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ

Telah tiba Zaid bin Haritsah di Madinah , saat itu Rosulullah di rumahku , maka dia mendatanginya , lalu mengetuk pintu , maka Rosulullah berdiri untuk menjumpainya sambil menyeret bajunya , maka beliau memeluknya dan menciumnya " .

( Abu Isa Turmudzi berkata : Hadits ini hasan ghorib " . Namun hadits ini di dlaifkan oleh banyak ulama diantaranya oleh syeikh Al-Albaani ).

===***===

BERDIRI UNTUK MANUSIA ITU ADA TIGA KATAGORI :

Pertama :

Berdiri karena menghormati seseorang , sementara yang di hormatinya duduk manis , seperti berdirinya para prajurit dan ajudan terhadap para raja dan penguasa . Ini adalah yang dilarang, tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama akan kemakruhan atau larangan perbuatan tsb .

Kedua :

Berdiri menghormati orang yang masuk rumah atau semisalnya sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan , bukan karena ada maksud hendak menyalaminya atau memeluknya . Yang demikian ini telah ada perbedaan pendapat antar ulama akan kemakruhan dan larangan perbuatan ini , yang sahih adalah di larang .

Ketiga :

Berdiri untuk menyambut orang yang baru tiba dengan maksud untuk menyalaminya atau memeluknya atau membantu menurunkannya dari kendaraan atau semisalnya dengan tujuan-tujuan yang di bolehkan dalam syariat , maka hukumnya boleh-boleh saja . Wallahu a'lam .

===****===

KISAH ORANG SHALEH YANG MUSTAJAB DOANYA DIHADAPKAN PADA UJIAN ANTARA IKHLAS DAN POPULARITAS :

Mari kita perhatikan sebagian kisah orang-orang saleh dari kalangan salaf yang dinyatakan do'anya mustajab , bagaimana usaha mereka untuk menyembunyikan amal salehnya dan bagaimana sikap mereka terhadap popularitas ? Kemudian kita bandingkan dengan diri kita masing-masing serta orang-orang di zaman sekarang yang sengaja mencari popularitas dengan ibadahnya atau doanya yang mustajab .

****

PERTAMA : Yazid bin Al-Aswad al-Jurosyi .

Beliau adalah seorang tabii mukhodlrom , hidup sezaman dengan Nabi namun belum pernah bertemu . Beliau sempat menyaksikan masa-masa jahiliyah , beliau tinggal di negeri Syam , perkampungan Zabdiin , beliau wafat pada tahun 58 H , pada masa khilafah Mu'awiyah bin Abi Sufyan .

Telah berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr :

خَرَجَ الضَّحَّاكُ بْنُ قَيْسٍ فَاسْتَسْقَىٰ بِالنَّاسِ وَلَمْ يُمْطِرُوا وَلَمْ يَرَوْا سَحَابًا، فَقَالَ الضَّحَّاكُ: "أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ؟" (وَفِي رِوَايَةٍ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي جُمَلَةٍ: فَقَالَ: "أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ الْجُرَشِيُّ؟" فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَ: "أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ الْجُرَشِيُّ؟ عَزَمْتُ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ يَسْمَعُ كَلَامِي.") فَقَالَ: "هَذَا أَنَا." قَالَ: "قُمْ فَاسْتَشْفَعْ لَنَا إِلَىٰ اللَّهِ أَنْ يُسْقِينَا." (وَفِي رِوَايَةٍ: "قُمْ يَا بُكَاء!") فَقَامَ فَعَطَفَ بَرْنِسَهُ عَلَىٰ مَنْكِبَيْهِ وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ، فَقَالَ: "اللَّهُمَّ إِنَّ عِبِيدَكَ هَؤُلَاءِ اسْتَشْفَعُوا بِي إِلَيْكَ." فَمَا دَعَا إِلَّا ثَلاثًا حَتَّىٰ أَمْطَرُوا مَطَرًا كَادُوا يَغْرَقُونَ مِنْهُ. ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا شَهَّرَنِي فَارْحَمْنِي مِنْهُ." فَمَا أَتَتْ بِعَذَٰلِكَ جُمُعَةٌ حَتَّىٰ مَاتَ. (وَفِي رِوَايَةٍ: "قُتِلَ.")

" Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama orang-orang untuk sholat istisqo ( sholat untuk minta hujan ) , namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan.

Maka beliau bertanya : " Dimana Yazid bin Al-Aswad ? "

( Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: " Dimana Yazid bin Al-Aswad ?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri ! ").

Maka berkata Yazid :”Saya di sini!”.

Berkata Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!” ( Dalam riwayat yang lain : Berdirilah , wahai tukang nangis ! ) .

Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banju burnus nya lalu berdoa :

”Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”.

Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya.

Kemudian dia [ Yazid ] berkata : ”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini.

Dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal .”

Kisah ini diriwayatkan Ibnu Asakir di Tarikh Damaskus 65/112 , Dzahabi di Siyar A'lam Nubala 4/137 dan Ibnul Jauzy di Sofwatus Shofwah 4/202 . Kisah ini di sahihkan sanadnya oleh Al-Albaany dalam kitab Tawassul hal. 42.

****

KEDUA : Uwais bin 'Amir Al-Qorni .

Beliau adalah penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron , beliau seorang Tabii mukhodlrom , hidup sezaman dengan Nabi tapi belum pernah ketemu .

Disebutkan bahwasanya ia meninggal bersama Ali bin Abi Tholib dalam perang siffin (Al-Minhaj 16/94, Faidhul Qodir 3/451), sebagaimana perkataan Yahya bin Ma’in, “Uwais terbunuh dihadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Tholib tatkala perang Siffin” (Al-Mustadrok 3/455 no 5716).

Nabi menyebutkan tentang keutamaan Uwais  , padahal beliau belum pernah bertemu dengannya , sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1968 no 2542) dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata :

“Aku mendengar Rasulullah  bersabda :

«  إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ : أُوَيْسٌ ، وَلَهُ وَالِدَة ... » .

" Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu…".

Berkata imam An-Nawawi :

“Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdholan di sisi Allah” (Al-Minhaj 16/95)

Imam Muslim dalam Sahihnya no. 2542 meriwayatkan dari Usair bin Jabir , dia berkata: 

كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ: أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ؟ حَتَّىٰ أَتَى عَلَىٰ أُوَيْسٍ، فَقَالَ: أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: مِنْ مُرَادٍ، ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ، إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: لَكَ وَالِدَةٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ، ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ، وَكَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ، لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ، فَاسْتَغْفِرْ لِي. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: الْكُوفَةَ، قَالَ: أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَىٰ عَامِلِهَا؟ قَالَ: أَكُونُ فِي غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيَّ. قَالَ: فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ، فَوَافَقَ عُمَرَ، فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ، قَالَ: تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ، كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ، لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ، فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ: اسْتَغْفِرْ لِي. قَالَ: أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِي. قَالَ: لَقِيتَ عُمَرَ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ، فَانْطَلَقَ عَلَىٰ وَجْهِهِ. قَالَ أُسَيْرٌ: وَكُسْوَتُهُ بُرْدَةٌ، فَكَانَ كُلَّمَا رَآهُ إِنْسَانٌ قَالَ: مِنْ أَيْنَ لِأُوَيْسٍ هَذِهِ الْبُرْدَةُ؟

“ Telah ada Umar bin Al-Khotthob jika datang kepadanya amdad ( pasukan perang penolong yang datang untuk membantu pasukan kaum muslilimin dalam peperangan ) dari negeri Yaman maka Umar bertanya kepada mereka :

“Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”.

Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod , kemudian dari Qoron ?”. Ia berkata, “Benar”.

Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit kulit memutih (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?”. Ia berkata, “Benar”.

Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”,

Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda :

(( Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit kulit memutih ( albino ) kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham , ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia ( berdoa kepada Allah dengan ) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah )) ".

Lalu Umar berkata : " oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku !".

Maka Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar .

Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”.

Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka (pemuka penduduk Yaman) dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais .

Orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta”.

Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,

((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit kulit memutih ( albino ) kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia ( berdoa kepada Allah dengan ) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah )) .

Maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya : “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”.

Uwais berkata : “Engkau ini baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka ( mestinya ) engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”,

Orang itu berkata : “Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”,

Uwais berkata, “Engkau ini baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka (mestinya) engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”,

Orang itu berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”,

Uwais menjawab, “Iya”, orang itu berkata, “Mohon ampunlah kepada Allah untuk Umar” .

Lalu orang-orangpun menjadi tahu apa yang terjadi . Maka iapun pergi (menyembunyikan diri).

Usair berkata : " Aku memberinya kain Burdah untuk menutupi tubuhnya . Maka setiap ada orang yang melihatnya ia berkata : Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?".

Dalam riwayat Al-Hakim (Al-Mustadrok 3/456 no 5720) :

قَالَ: مَا أَنَا بِمُسْتَغْفِرٍ لَكَ حَتَّىٰ تَجْعَلَ لِي ثَلاَثًا. قَالَ: وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: لَا تُؤْذِينِي فِيمَا بَقِيَ، وَلَا تُخْبِرْ بِمَا قَالَ لَكَ عُمَرٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ، وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ.

Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara” . Ia berkata, “Apa itu?”. Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini , janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga.

Dalam Musnad Ibnul Mubarok 1/19 no. 34 :

" فَلَمَّا فَشِيَ الْحَدِيثُ هَرَبَ فَذَهَبَ".

“Tatkala tersebar berita ( perkataan Umar tentang Uwais ) maka iapun lari dan pergi”, yaitu karena orang-orang pada berdatangan memintanya untuk beristigfar kepada Allah bagi mereka sebagaimana dalam musnad Abu Ya’la Al-Maushili (1/188)

Dalam Tarikh Dimashqi karya Ibnu Asaakir 9/443 :

« لَمَّا لَقِيهُ وَظَهَرَ عَلَيْهِ هَرَبَ فَمَا رُؤِيَ حَتَّى مَاتَ ». قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ بْنُ صَاعِدٍ: أَسَانِيدُ أَحَادِيثِ أُوَيْسٍ صِحَاحٌ رَوَاهَا الثِّقَاتُ عَنْ الثِّقَاتِ وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْهَا.

"Setelah Umar menemuinya , dan beritanya muncul dipermukaan , iapun kabur dan tidak pernah kelihatan lagi hingga ia wafat ".

Abu Muhammad bin Shaid berkata : " semua sanad hadits Uwais adalah sahih , para perawin tsiqoot telah meriwayatkannya dari para perawi tsiqoot juga ". ( Lihat : Tarikh Dimashqi karya Ibnu Asaakir 9/443 ).

Kesimpulan :

Rosulullah menyatakan bahwa Uwais adalah sebaik-baiknya Tabiin , artinya beliau mengakui akan kesalihannya .

Rosulullah mengkabarkan bahwa doa Uwais mustajab , sabda beliau ini umum artinya doa apa saja , akan tetapi beliau menyuruh Umar t jika bertemu dengannya hanya dianjurkan agar ia memintakan ampunan kepada Allah untuknya . Dan Umar pun melakukannnya sesuai pesan Nabi , yaitu hanya memintakan ampunan . Begitu pula yang dilakukan oleh selain Umar setelah mendengar informasi darinya . Tidak ada riwayat yang menyebutkan ada seseorang yang minta didoakan selain ampunan .

Keikhlasan Uwais dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla tidak ada manusia yang mengetahuinya kecuali Rosulullah setelah Allah Azza wa Jalla mewahyukan padanya . Uwais kabur dan menyembunyikan diri ketika dirinya mulai di kenal dan orang-orang mulai berdatangan karena ingin didoakan ampunan kepada Allah .

Uwais tidak suka popularitas karena itu akan merusak keikhlasannya dalam beribadah kepadaNya . Maka orang yang betul-betul ikhlas membenci popularitas .

Dengan kisah dua orang saleh di atas semoga bisa di jadikan teladan bagi kita semua di dalam mengikhlaskan amal saleh kita , dan semoga kita semua di beri oleh Allah Ta'ala kekuatan dan kemampuan dalam menapak tilasinya . Amiiin !

 


 

 

Posting Komentar

0 Komentar