Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
Asas hukum dalam ikhtilath antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram adalah dilarang, demikian pula dalam hal bersentuhan antar laki-laki dan perempuan bukan mahram dikarenakan adanya dalil-dalil yang melarangnya.
Dalam Hadits Mi'qool bin Yassaar radhiyallahu anhu, bahwa Nabi SAW bersabda:
" لَأنْ يُطعَنَ في رأسِ رجلٍ بِمِخْيَطٍ من حديدٍ خيرٌ من أن يمَسَّ امرأةً لا تَحِلُّ له ".
“Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi, maka itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR Ath-Thabrani).
[HR. Al-Ruyani dalam ((al-Musnad)) (1283), dan al-Tabarani (20/212) (487), dan al-Bayhaqi sebagaimana dalam ((al-Targhiib wa' at-Tarhiib)) oleh al-Mundhiri (3/26).
Isnadnya dianggap JAYYID oleh al-Albaani dalam As-Silsilah ash-Shahihah no. 226].
Dari Umaimah binti Ruqaiqah radhiyallahu anha, ia berkata;
" جئتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في نِسوةٍ نُبايعُهُ ، فقالَ لَنا: فيما استَطعتُنَّ وأطَقتُنَّ ، إنِّي لا أُصافِحُ النِّساءَ ".
"Aku bersama beberapa wanita lain menemui Nabi untuk berbai'at." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami: 'Apa yang kalian mampu untuk melaksanakannya. Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita.'
[HR. Ibnu Majah no. 2341 dan di shahihkan al-Albaani dalam shahih Ibni Majah no. 2341]
PENGECUALIAN:
Namun ada beberapa hal yang dikecualikan dari larangan tersebut dikarenakan adanya darurat, kebutuhan yang syar'i, atau mashlahat yang syar'i pula, dengan syarat aman dari fitnah syahwat dan tidak berduaan diruang tertutup, dengan tetap berpegang pada adab-adab dan hukum-hukum syar'i yang harus dijalankan oleh seorang wanita dalam hal berkaitan dengan pakaiannya, perkataannya, perhiasannya, pandangannya pada pasien pria yang bukan mahram, dan sebaliknya pandangan pasien pria padanya.
Dan ada syarat lain: yaitu dibolehkannya itu disebabkan tidak adanya perawat laki-laki yang melakukan itu. Maka jika masih ada perawat laki-laki yang bisa merawat pasien laki-laki tersebut, maka sebaiknya diserahkan kepada perawat laki-laki, namun jika memang tidak ada pilihan lain, harus segera ada tindakan, perawat wanita pun diperbolehkan, sesuai batas kebutuhan.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
الضرورات تبيح المحظورات
“Sesuatu yang darurat membolehkan melakukan sesuatu yang dilarang”.
Al-Khothiib asy-Syarbiini berkata:
"اعْلَمْ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ النَّظَرِ وَالْمَسِّ هُوَ حَيْثُ لاَ حَاجَةَ إلَيْهِمَا وَأَمَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ وَالْمَسُّ (مُبَاحَانِ لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلاَجٍ) وَلَوْ فِيْ فَرْجٍ لِلْحَاجَةِ الْمُلْجِئَةِ إلَى ذَلِكَ؛ ِلأَنَّ فِي التَّحْرِيْمِحِيْنَئِذٍ حَرَجًا، فَلِلرَّجُلِ مُدَاوَاةُ الْمَرْأَةِ وَعَكْسُهُ، وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِحَضْرَة مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ، وَهُوَ الرَّاجِحُ “
" Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa yang telah lalu tentang keharaman melihat dan menyentuh, itu adalah ketika tidak ada hajat keperluan untuk melihat dan menyentuh. Adapun ketika ada hajat maka melihat dan menyentuh hukumnya diperbolehkan, contohnya seperti untuk pengobatan al-Fashed [cantuk], al-hijamah [bekam] dan pengobtan lainnya, walaupun pengobatannya pada kemaluan jika dikarenakan adanya hajat yang mendesak untuk itu, karena jika diharamkan dalam kondisi seperti ini maka akan menimbulkan kesulitan.
Jadi seorang laki-laki boleh mengobati orang perempuan dan sebaliknya dan hendaknya hal itu dilakukan dihadapan mahram atau suami atau seorang perempuan yang dipercaya jika kita mengikuti pendapat ulama yang membolehkan khalwat satu orang laki-laki dengan dua orang perempuan dan ini pendapat yang rajih”. [Al Mughni al-Muhtaj 4/215].
Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy berkata:
" لا مُحَرَّم مع اضطرار يعبر عنه كثيرمن الفقهاء بقولهم: الضرورات تبيح المحظورات، والمراد بالضرورة ما يلحق العبد ضرر بتركه بحيث لا يقوم غيره مقامه، هذا المراد بالضرورة على الصحيح. بخلاف الحاجة فإن الحاجة هي ما يلحق المكلَّف ضرر بتركه، لكنه قد يقوم غيره مقامه ".
Tidak ada keharaman jika bersamaan dengan darurat [bahaya / emergency] dan banyak dikalangan para fuqoha mengatakan sbb:
Keadaan darurat menghalalkan hal yang haram ". Dan yang dimaskud ad dhoruruh disini adalah apa-apa yang menyebabkan bahaya bagi hamba jika ditingalkan, dimana tidak ada lainnya yang menempati sebagai penganti, inilah yang dimaksud ad dhoruroh.
Berbeda dengan makna al-haajat (kebutuhan /keperluan) maka haajat / kebutuhan maknanya: apa saja yang bisa menyebabkan bahaya bagi seseorang jika meninggalkannya, akan tetapi ada pilihan yang lainnya yang bisa menempatinya sebagai penganti. [Baca: Maktabah Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 12/59].
PERAWAT DAN PASIEN WANITA WAJIB MENUTUP AURAT:
Dan ketahuilah bahwa seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya kepada dokter atau siapa pun yang menggantikannya jika ada pilihan dokter wanita atau perawat wanita yang dapat memenuhi keperluan pengobatannya. Dan jika dia terpaksa memperlihatkan auratnya, maka tidak disyariatkan baginya untuk membuka bagian aurat yang tidak darurat dalam pemeriksaannya, ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Suyuti dan Ibnu Nujaim dalam “Al-Asyabah wa an-Nadzooir”, karena berpegang kepada sebuah Qaidah mengatakan:
« الضَّرُورَاتُ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا »
" Darurat itu disesuaikan dengan kadarnya ".
Dan jika seorang wanita jatuh sakit dengan penyakit yang tidak menyebabkan kematiannya, namun hanya menyebabkan sakit yang parah dan terus-menerus, maka diperbolehkan baginya untuk membuka auratnya kepada dokter wanita atau kepada dokter pria ketika dokter wanita tersebut tidak ada, jika itu telah ada ketentuan untuk proses kesemebuhannya, karena status hajat kebutuhan seperti ini bisa menduduki peringkat darurat, baik secara umum ataupun khusus. Sementara menutupi aurat adalah dalam katagori hajat Tahsiini [تَحْسِيْنِي / hanya sebatas "sebaiknya"].
Karena menghilangkan rasa sakit permanen adalah hajat dalam katagori hajat kebutuhan [حَاجِي]. Dan hajat kebutuhan secara mutlak lebih penting daripada Hajat Tahsiini [Sebaiknya].
Berbeda jika sakitnya ringan dan biasa, maka dia tidak boleh menampakkan auratnya ; karena adanya kesetaraan derajat menolak rasa sakit dengan menutupi aurat, karena keduanya sama-sama dalam katagori Hajat Tahsiini, namun lebih diutamakan menutupi kemaluan ; karena berdasarkan qaidah:
«تَقْدِيمًا لِلْحَاظِرِ عَلَى الْمُبِيحِ»
“Mendahulukan yang dilarang dari pada yang diperbolehkan.”
Hukum wanita berhadapan dengan pria adalah sama dengan pria berhadapan dengan wanita, karena Nabi SAW bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu ’anha:
«إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ»
”Sesungguhnya kaum wanita adalah semisal kaum lelaki.”
[HR Ahmad 26195, Abu Daud 236, Turmudzi 113, dihasankan Syuaib al-Arnauth. Syaikh al-Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis shahih].
Menurut Ibnul Atsir Rahimahullah (w. 606 H) maksud wanita seperti laki-laki, seolah para wanita saudara bagi laki-laki, karena Hawa diciptakan dari Adam ‘Alaihissalam.”[Lihat: Tuhfah al-Ahwadzi, 1/312].
Kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya.
Syeikh Ahmad al-Ghomidi berkata:
جواز الاختلاط لا يحل المحرمات: والقول بجواز الاختلاط لا يعني تسويغ ما حرمه الله من تبرج النساء وإظهارهن زينتهن بل الواجب عليهن إدناء جلابيبهن عليهن وغض البصر وحفظ الفروج والابتعاد عن الفتنة ومواطن التهم والتباعد عن مجامع الرجال إلا لحاجة كما أن على الرجال غض أبصارهم وحفظ فروجهم والتباعد عن الفتنة واجتناب إيذاء المسلمين في أعراضهم....... إلى آخره.
" Di bolehkannya ikhtilaath bukan berarti menghalalkan segala sesuatu yang diharamkan:
Pendapat yang mengatakan bahwa ikhtilath itu diperbolehkan bukan berarti menganggap wajar seseorang melakukan apa yang diharamkan oleh Allah SWT seperti membuat wanita bebas bertabarruj dan memamerkan dandanannya, akan tetapi wajib atas mereka untuk melandaikan jilbabnya, menundukkan pandangan, menjaga kemaluannya, menjauhkan diri dari fitnah dan dari tempat- tempat yang menimbulkan tuduhan, dan menjauhi tempat-tempat berkumpul kaum lelaki kecuali jika ada kebutuhan.
Begitu juga kaum pria wajib atas mereka untuk merundukkan pandangan mereka, menjaga kemaluannya, menjauhkan diri dari fitnah syahwat, dan menghindarkan diri dari menyakiti kaum Muslimin dalam hal yang berkaitan dengan kehormatan dan nama baiknya........ dst".
=====
DALIL-DALIL YANG MEMBOLEHKAN PERAWAT WANITA MERAWAT PASIEN PRIA
PERTAMA: HADITS TEAM WANITA RELAWAN PERANG PADA ZAMAN NABI SAW:
Tindakan-tindakan pelayanan dan pertolongan yang berkaitan dengan jihad fii sabiilillah, demi tercapainya mashlahat syar'iyyah, maka Syariah telah membolehkan kaum wanita untuk melakukannya, meskipun mereka harus bercampur baur dengan kaum pria.
Berikut ini hadits-haditsnya:
Hadits ke 1: Dari Seorang Sahabat Wanita yang bernama Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz -radhiyallahu 'anha ia berkata:
«كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِينَةِ »
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dalam satu peperangan), memberi minum, mengobati orang-orang yang terluka, serta memulangkan jenazah ke Madinah” [HR. Al-Bukhaariy no. 2882].
Hadits ke 2: Dari Anas bin Malik -radhiyallahu 'anha - dia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَةٍ مِنْ الأَنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِينَ الْمَاءَ وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى»
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berperang bersama-sama dengan Ummu Sulaim dan beberap wanita Anshar, ketika perang berkecamuk, mereka memberi minum dan mengobati tentara yang terluka." [HR. Muslim no. 3375]
Hadits ke 3: Dari Anas radliallahu 'anhu berkata:
لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ، انْهَزَمَ النَّاسُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ عَائِشَةَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، وَأُمَّ سُلَيْمٍ وَإِنَّهُمَا لَمُشَمِّرَتَانِ، أَرَى خَدَمَ سُوقِهِمَا تَنْقُزَانِ القِرَبَ، وَقَالَ غَيْرُهُ: تَنْقُلَانِ القِرَبَ عَلَى مُتُونِهِمَا، ثُمَّ تُفْرِغَانِهِ فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ، ثُمَّ تَرْجِعَانِ فَتَمْلَآَنِهَا، ثُمَّ تَجِيئَانِ فَتُفْرِغَانِهَا فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ "
Ketika perang Uhud, orang-orang terpukul mundur dan lari meninggalkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Dia [Anas] berkata: "Sungguh aku melihat 'Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim berjalan dengan cepat hingga terlihat gelang kaki keduanya sambil membawa qirab (wadah air terbuat dari kulit).
Dan berkata perawi lain: mengangkut qirab, dengan selendang keduanya lalu menuangkan ke mulut para pasukan. Kemudian keduanya kembali untuk mengisi air kedalam qirab kemudian kembali datang menuangkan air ke mulut pasukan". [HR. Bukhori no. 2667, 3527]
Hadits ke 4: Dari Yazid bin Harmuz, ia mengatakan:
" أَنَّ نَجْدَةَ، كَتَبَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ يَسْأَلُهُ، عَنْ خَمْسِ خِلَالٍ، فَقَالَ: ابْنُ عَبَّاسٍ: لَوْلَا أَنْ أَكْتُمَ عِلْمًا مَا كَتَبْتُ إِلَيْهِ، كَتَبَ إِلَيْهِ نَجْدَةُ: أَمَّا بَعْدُ، فَأَخْبِرْنِي هَلْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِالنِّسَاءِ؟....
فَكَتَبَ إِلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَتَبْتَ تَسْأَلُنِي هَلْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِالنِّسَاءِ؟ " وَقَدْ كَانَ يَغْزُو بِهِنَّ، فَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى،.... ".
Bahwasanya Najdah menulis surat kepada Ibnu Abbas untuk menanyakan lima persoalan. Maka Ibnu Abbas mengatakan:
“Seandainya bukan karena takut menyembunyikan ilmu, saya tidak akan menulis surat kepadanya. Dalam surat Najdah tersebut tertulis: Amma ba’du; beritahukanlah kepadaku apakah Rosululloh saw, membawa perempuan dalam berperang ……. ".
Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: ‘Kamu menulis surat dan menanyakan kepadaku apakah Rosululloh berperang bersama wanita ?. Sesungguhnya beliau berperang bersama para wanita, mereka mengobati orang-orang yang terluka dan memungut ghonimah ….” [HR. Muslim no. 1812]
Hadits ke 5: Dari Tsa'labah bin Abu Malik, dia berkata:
إِنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَسَمَ مُرُوطًا بَيْنَ نِسَاءٍ مِنْ نِسَاءِ المَدِينَةِ، فَبَقِيَ مِرْطٌ جَيِّدٌ، فَقَالَ لَهُ بَعْضُ مَنْ عِنْدَهُ: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، أَعْطِ هَذَا ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي عِنْدَكَ، يُرِيدُونَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِيٍّ، فَقَالَ عُمَرُ: «أُمُّ سَلِيطٍ أَحَقُّ، وَأُمُّ سَلِيطٍ مِنْ نِسَاءِ الأَنْصَارِ، مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» ، قَالَ عُمَرُ: «فَإِنَّهَا كَانَتْ تَزْفِرُ لَنَا القِرَبَ يَوْمَ أُحُدٍ»
Sesungguhnya Umar Ibnul Khothob ra., membagi pakaian-pakaian [dari woll atau sutra] pada wanita-wanita di Madinah. Lalu tersisalah satu pakaian yang bagus. Maka beberapa orang yang bersamanya mengatakan:
“Wahai amirul mukminin, berikanlah pakaian ini kepada putri Rosululloh saw., yang bersamamu!” Yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum binti Ali.
Umar menjawab: “Ummu Sulaith lebih berhak. Ummu Sulaith adalah salah seorang wanita Anshor yang telah berbai’at kepada Rosululloh saw.” Umar berkata lagi: “Dia pada waktu perang Uhud membawakan untuk kami qirab [wadah air dari kulit].”[HR. Bukhori no. 2881]
FIQIH HADITS:
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَفِيهِ جَوَازُ مُعَالَجَة الْمَرْأَة الْأَجْنَبِيَّة الرَّجُل الْأَجْنَبِيّ لِلضَّرُورَةِ
“Dalam hadits ini terdapat pembolehan seorang wanita ajnabiyyah (bukan mahram) mengobati laki-laki ajnabiy (bukan mahram) dalam keadaan darurat. [Fathul-Baariy, 6/80].
Dan ketika seorang wanita mengobati orang yang terluka dalam peperangan, tentunya ada hal-hal yang susah di hindari, diantaranya adalah saling bersentuhan.
Ada sebuah Qaidah mengatakan:
« الضَّرُورَاتُ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا »
" Darurat itu disesuaikan dengan kadarnya ".
KEDUA: HADITS WANITA MENJADI PELAYAN DALAM ACARA WALIMAHAN:
Terkadang acara hajatan, walimahan dan sebuah kepentingan dapat mendorong terjadinya ikhtilath campur baur antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka untuk melayani para tamu, hal tersebut diperbolehkan sebagaimana tertuang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari:
Dari Abu Hazim dari Sahl ia berkata:
" لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلَا قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلَّا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ بَلَّتْ تَمَرَاتٍ فِي تَوْرٍ مِنْ حِجَارَةٍ مِنْ اللَّيْلِ فَلَمَّا فَرَغَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الطَّعَامِ أَمَاثَتْهُ لَهُ فَسَقَتْهُ تُتْحِفُهُ بِذَلِكَ".
"Ketika Abu Sa'id As Sa'idi mengadakan acara walimahan, ia mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, namun mereka tidak membuat jamuan makanan untuk mereka dan tidak pula menyuguhkan sesuatu, kecuali istrinya yaitu Ummu Usaid yang menumbuk kurma dalam bejana kecil yang terbuat dari batu, dan telah dibuatnya di malam hari.
Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam usai menyantap makanan, maka ia pun menumbuknya halus untuk beliau. Akhirnya wanita itu pun mempersembahkan minuman itu untuk beliau. [HR. Bukhori no. 5182
KETIGA: HADITS WUDHU BERSAMA, LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM SATU WADAH:
1]: Hadits Abdullah bin ‘Umar, bahwa dia berkata:
أَنَّهُ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
"Sesungguhnya dulu pada zaman Rasulullah SAW, para lelaki dan para wanita berwudhu’ secara bersama-sama.” (HR. Al-Bukhari No. 193)
2]: Hadits Abdullah bin ‘Amr, dia berkata:
كان الرجالُ والنساءُ يتوضَّؤون في زمنِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في الإناءِ الواحدِ جميعًا
“Dulu para laki-laki dan para wanita berwudhu’ pada zaman Rasulullah SAW, dalam satu wadah secara bersama-sama.”
(HR. Ibnu Qoththoon dalam “أحكام النظر” No. 169. Dan Ibnu Qoththon menshahihkannya)
Dalam riwayat lain:
كُنَّا نَتَوَضَّأُ نَحْنُ وَالنِّسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نُدْلِي فِيهِ أَيْدِيَنَا
“Dulu kami dan para wanita berwudhu’ pada zaman Rasulullah SAW, dari satu wadah, kami mengulurkan tangan kami masing-masing ke dalam wadah tsb.”
(HR. Abu Daud No. 73, Ibnu Majah No. 381 dan Ibnu Qoththoon dalam “أحكام النظر” No. 169. Dan Ibnu Qoththon menshahihkannya).
4]: Hadits Ummu Shubaiyyah Al Juhaniyyah ia berkata;
رُبَّمَا اخْتَلَفَتْ يَدِي وَيَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوُضُوءِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
"Kadang-kadang tanganku dan tangan Rasulullah SAW saling beradu saat wudlu dalam satu bejana." (HR. Abu Daud no. 71 Dan Ibnu Majah no. 376. Syeikh al-Albaani berkata: “Hasan Shahih”.
Abu Abdullah Ibnu Majah berkata; Aku mendengar Muhammad berkata; "Ummu Shubaiyyah adalah Khaulah binti Qais." Lalu hal itu aku tanyakan kepada Abu Zur'ah, maka ia menjawab; "Benar."
Al-Iraaqi berkata: “وليست أم صبية هذه زوجة ولا محرما” artinya: Dan Ummu Shobiyyah ini bukan istri (Nabi SAW) dan bukan Mahramnya”.
5]: Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dengan sanadnya dari jalur Mu’tamar dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar RA:
أنه أبصر النبي وأصحابه يتطهرون والنساء معهم من إناء واحد كلهم يتطهر منه
Bahwa dia melihat Nabi SAW dan para sahabat nya bersuci, sementara kaum wanita juga ikut serta bersamanya bersuci dari satu bejana, semuanya bersuci darinya “.
0 Komentar