Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI:
- PERTAMA: BATAS MINIMUM DAN MAKSIMUM MASA HAIDH
- KEDUA: DARAH AL-ISTIHADHOH:
PERBEDAAN ANTARA DARAH HAIDH DAN DARAH ISTIHADHAH:
- KETIGA: CARA MENGETAHUI HAIDH SUDAH SELESAI:
- APAKAH KELUARNYA CAIRAN WARNA COKLAT ATAU KUNING BERARTI HAIDH TELAH SELESAI?
- BOLEHKAH SEORANG WANITA SHALAT JIKA DIA MELIHAT BERCAK SETELAH SELESAI HAIDH?
- FATWA SYEIKH BIN BAAZ: Tentang cairan kekuningan atau kecoklatan
- FATWA SYEIKH IBNU 'UTAIMIN: Tentang cairan kekuningan atau kecoklatan
- HUKUM DARAH HAIDH KELUAR MELEBIHI 15 HARI
بسم الله الرحمن الرحيم
Berikut ini rincian pembahasannya:
PERTAMA: BATAS MINIMUM DAN MAKSIMUM MASA HAIDH
Ketika seorang wanita mengalami menstruasi, haidhnya berakhir ketika darah berhenti, terlepas dari apakah darahnya banyak atau sedikit.
Banyak ahli fikih diantaranya madzhab Syafii dan madzhab Hanbali menyatakan: " bahwa haidh wanita terpendek adalah sehari semalam, dan paling lama adalah lima belas hari". Sementara madzhab Hanafi mengatakan: " minimal 3 hari dan maksimal 10 hari ".
Adapun Syekh al-Islam Ibnu Taymiyah , maka dia menyatakan: "TIDAK ADA BATAS minimum atau maksimum untuk itu ; bila keluar darah dengan ciri-cirinya yang khas, itulah haidh, baik sedikit maupun banyak".
Ini adalah pendapat mazhab Maliki, dan perkataan sebagian para salaf, dan itu adalah pendapat Ibnu al-Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, asy-Syawkani, Bin Baaz, al-Albani, dan Ibnu Utsaimin.
[Referensi: ((Asy-Syarh Al-Kabiir)) karya ad-Dardiir (1/168), ((Syarah Mukhtashar Khalil)) oleh Al-Khurosyi (1/210) , ((al-Iqna')) oleh Ibnu al-Mundzir (1/74) , ((al-Muhallaa)) (1/405), ((Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyyah)) (19/240) , ((I'laam al-Muwaqqi'iin)) (1/297) , ((Ad-Daroorii Al-Mudliyyah)) karya asy-Syaukaani (1/67) , ((Ikhtiyaaroot Sheikh Bin Baaz)) (1/310) , ((Silsilah al-Ahaadiits al-Dho’iifah)) (3/609) dan ((Majmu' Fataawa wa Rosaa'il Syeikh 'Utsaimin)) (11/300)].
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
اسْمُ الْحَيْضِ عَلَّقَ اللَّهُ بِهِ أَحْكَامًا مُتَعَدِّدَةً فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلَمْ يُقَدَّرْ لَا أَقَلُّهُ وَلَا أَكْثَرُهُ وَلَا الطُّهْرُ بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ مَعَ عُمُومِ بَلْوَى الْأُمَّةِ بِذَلِكَ وَاحْتِيَاجِهِمْ إلَيْهِ
“Nama menstruasi (al-haidh): Allah telah melampirkan banyak aturan untuk itu dalam Al-Quran dan Sunnah, tetapi Dia tidak menentukan batas terpendeknya dan tidak batas terpanjangnya , bahkan tidak membatasi pula panjang pendeknya periode suci [thoharah] antara dua periode menstruasi , meskipun untuk mengetahui semua itu sangat dibutuhkan oleh umat.”
Lalu dia berkata:
" وَالْعُلَمَاءُ مِنْهُمْ مَنْ يَحُدُّ أَكْثَرَهُ وَأَقَلَّهُ ثُمَّ يَخْتَلِفُونَ فِي التَّحْدِيدِ. وَمِنْهُمْ مَنْ يَحُدُّ أَكْثَرَهُ دُونَ أَقَلِّهِ وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أَصَحُّ: أَنَّهُ لَا حَدَّ لَا لِأَقَلِّهِ وَلَا لِأَكْثَرِهِ بَلْ مَا رَأَتْهُ الْمَرْأَةُ عَادَةً مُسْتَمِرَّةً فَهُوَ حَيْضٌ".
“Sebagian ulama menetapkan maksimum dan minimum, tetapi mereka berbeda pendapat tentang itu, dan sebagian lagi menetapkan panjang maksimum tanpa menetapkan minimum. Pendapat ketiga adalah yang paling benar, yang menyatakan bahwa tidak ada minimum atau maksimum. Bahkan darah yang biasa dilihat seorang wanita selama ini secara teratur dan terus menerus seperti itu , maka itu adalah menstruasi. (Majmu' al-Fatawa, 19/237)
KEDUA: DARAH AL-ISTIHADHOH:
APA ITU ISTIHADHOH?
Ada semacam pendarahan yang disebut “ al-istihadhoh ”, [perdarahan vagina tidak teratur, bukan haidh] yang berbeda dengan pendarahan haidh. Ia memiliki aturan hukum yang berbeda dari hukum-hukam haidh.
PERBEDAAN ANTARA DARAH HAIDH DAN DARAH ISTIHADHAH:
Darah (istihadah) ini dapat dibedakan dari darah haidh sebagai berikut:
- Warna: darah haidh berwarna hitam [merah tua] sedangkan darah istihadah berwarna merah.
- Konsistensi: darah haidh kental tidak encer, sedangkan darah istihadah encer.
- Bau: darah haidh berbau menyengat sedangkan darah istihadah tidak, karena berasal dari pembuluh darah biasa.
Ini adalah ciri-ciri darah haidh, maka jika gambaran ini sesuai dengan darah yang keluar, maka itu adalah hayd (haidh); mandi adalah wajib (wajib) dan darah ini najis (najis), tetapi mandi tidak diperlukan dalam al-istihadhoh.
Ketika seorang wanita sedang haidh, maka dia tidak boleh shalat, tetapi ketika yang keluar itu adalah darah istihadah, maka tidak menghalangi shalat. Tapi dia harus berhati-hati dengan menjaganya agar tidak ada yang menentes dan harus berwudhu untuk setiap shalat jika darah itu mengalir terus hingga shalat berikutnya. Dan jika darah istihadhoh masih terus keluar saat dia shalat, maka itu tidak masalah.
Prinsip dasar mengenai darah yang keluar adalah darah haidh, kecuali jika berlanjut hingga menghabiskan waktu hampir satu bulan, maka ini adalah darah al-Istihadhoh menurut pendapat Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah , atau melebihi sebagian besar masa haidh, yaitu lima belas hari ; maka menurut jumhur ulama , ini adalah darah istihaadhoh.
KETIGA: CARA MENGETAHUI HAIDH SUDAH SELESAI:
Seorang wanita dapat mengetahui bahwa haidhnya telah berakhir dengan dua hal:
- Keluarnya Al-Qoshshoh Al-Baidloo [القصّة البيضاء] , yaitu cairan putih yang keluar dari rahim, merupakan tanda kesucian.
- Kekeringan total, jika seorang wanita tidak memiliki keputihan ini. Dalam hal ini dia dapat mengetahui apakah haidhnya telah berakhir dengan memasukkan sehelai kapas putih atau sejenisnya ke tempat asal darah tersebut; jika keluar dalam keadaan bersih, maka selesailah haidhnya dan dia harus mandi dan shalat. Jika kain yang keluar berwarna merah, kuning atau coklat, maka dia tidak boleh shalat.
Imam Bukhori berkata:
وَكُنَّ نِسَاءٌ يَبْعَثْنَ إِلَى عَائِشَةَ بِالدُّرَجَةِ فِيهَا الكُرْسُفُ فِيهِ الصُّفْرَةُ، فَتَقُولُ: «لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ» تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الحَيْضَةِ وَبَلَغَ بِنْتَ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ: أَنَّ نِسَاءً يَدْعُونَ بِالْمَصَابِيحِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ يَنْظُرْنَ إِلَى الطُّهْرِ، فَقَالَتْ: «مَا كَانَ النِّسَاءُ يَصْنَعْنَ هَذَا وَعَابَتْ عَلَيْهِنَّ»
Dulu para wanita biasanya mengirim wadah kecil yang di dalamnya terdapat kain-kain dengan bekas-bekas kuning di atasnya kepada 'Aisyah, dan dia akan berkata:
"Jangan tergesa-gesa sampai kamu melihat cairan putih."
Maksud beliau dengannya itu adalah suci dari haidh.
Putri Zaid bin Ṡābit mendapat kabar bahwa ada sejumlah wanita mencari lampu-lampu di tengah malam untuk memeriksa kesucian mereka (dari haid). Maka beliau berkomentar dengan mengatakan: “Para wanita (di zaman Nabi ﷺ) tidak ada yang melakukan hal itu". Beliau (putri Zaid bin ṡābit) mengkritik perbuatan mereka.
[HR. Al-Bukhari , Bab " إِقْبَالِ المَحِيضِ وَإِدْبَارِهِ" 1/171 Secara Mu'allaq dengan shighat Jazem]
Juga oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa 1/165 no. 163 dengan sanadnya:
حَدَّثَنَا أَبُو مُصْعَبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ، عَنْ أُمِّهِ ، مَوْلَاةِ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلى الله عَلَيه وَسَلم، أَنَّهَا قَالَتْ:........
Abu Mush'ab memberi tahu kami, dia berkata: Imam Malik memberi tahu kami, dari Ali bin Abi Al-Aqmah, dari ibunya, maulah Aisyah , istri Nabi SAW , bahwa dia berkata:..........
[Lihat pula: Ma'rifat as-Sunan wa al-Atsaar oleh al-Baihaqi 2/155 no. 2184]
Makna kata (الدُّرْجة): itu adalah wadah di mana seorang wanita menaruh minyak wangi dan barang-barangnya.
Makna kata (الكُرْسُف): kapas.
Makna kata (القَصَّة): cairan putih yang keluar di masa akhir haid.
Makna kata (الصُّفْرَة): cairan kuning apa saja.
Makna (القَصَّةَ البَيْضَاءَ / Al-Qoshshoh Al-Baidloo'): adalah cairan putih yang di keluarkan oleh rahim ketika haid telah selesai. Dinamakan Qoshshoh karena serupa dengan Al-Qosh yaitu Al Jash atau kapur/gamping yang berwarna putih.
Al-Haafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baary 1/420 berkata:
" أَنَّ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ عَلَامَةٌ لِانْتِهَاءِ الْحَيْضِ وَيَتَبَيَّنُ بِهَا ابْتِدَاءُ الطُّهْرِ وَاعْتُرِضَ عَلَى مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ يُعْرَفُ بِالْجُفُوفِ بِأَنَّ الْقُطْنَةَ قَدْ تَخْرُجُ جَافَّةً فِي أَثْنَاءِ الْأَمْرِ فَلَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى انْقِطَاعِ الْحَيْضِ بِخِلَافِ الْقَصَّةِ وَهِيَ مَاءٌ أَبْيَضُ يَدْفَعُهُ الرَّحِمُ عِنْدَ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ قَالَ مَالِكٌ سَأَلْتُ النِّسَاءَ عَنْهُ فَإِذَا هُوَ أَمْرٌ مَعْلُومٌ عِنْدَهُنَّ يَعْرِفْنَهُ عِنْدَ الطُّهْرِ".
" Keluarnya Al-Qoshshoh Al-Baidloo' [cairan putih] adalah tanda berakhirnya haid dan dimulainya pensucian, dan ini merupakan bantahan terhadap mereka yang mengatakan bahwa suci dari haidh itu di tandai dengan kekeringan , yang diketahui dengan cara menempelkan kapas , lalu keluar kering.
Berbeda dengan Al-Qoshshoh , yaitu air putih yang dikeluarkan rahim pada akhir haid. Imam Malik berkata: Saya bertanya kepada para wanita tentang hal itu, ternyata itu adalah sesuatu yang telah mereka maklumi , mereka mengetahuinya pada saat suci". [Kutipan Selesai].
APAKAH KELUARNYA CAIRAN WARNA COKLAT ATAU KUNING BERARTI HAIDH TELAH SELESAI?
Jika keluar cairan berwarna kuning atau kecokelatan pada seorang wanita yang sedang tidak haidh, hal ini tidak berarti apa-apa dan dia tidak boleh berhenti shalat atau mandi karenanya, karena tidak mengharuskan mandi atau menyebabkan janabah (najis).
Ummu 'Athiyyah (ra dengan dia) berkata:
كُنَّا لا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
"Kami tidak mempedulikan cairan kecoklatan dan kekuningan setelah bersuci sebagai sesuatu”. (HR. Abu Dawud (307), Al-Nasa'i (368), dan Ibnu Majah (647) dengan sedikit perbedaan, Di shahihkan oleh Albani di dalam Shahih Abu Daud.
Dan diriwayatkan pula oleh Imam Bukhori no. 326 dengan redaksi:
كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap cairan kecoklatan dan kekuningan sebagai sesuatu”.
Kata: “Kami tidak mempedulikan” berarti kami tidak mengira itu haidh, tetapi itu adalah najis yang artinya seorang wanita harus membasuhnya dan berwudhu. Namun jika keputihan itu keluar langsung diikuti dengan haidh, maka itu bagian dari haidh.
Jika seorang wanita percaya bahwa dia telah menjadi suci, kemudian darah kembali kepadanya, maka itu adalah haid kecuali jika tidak sejalan dengan kebiasaan setiap bulannya pada umumnya.
BOLEHKAH SEORANG WANITA SHALAT JIKA DIA MELIHAT BERCAK SETELAH SELESAI HAIDH?
Jika seorang wanita percaya bahwa haidhnya telah berakhir, lalu dia mulai mengeluarkan darah lagi, jika darahnya memiliki ciri-ciri darah haidh seperti yang dijelaskan di atas, maka ini adalah darah haidh, dan jika selain itu , maka istihadah.
Jika yang pertama, dia tidak boleh shalat. Jika yang terakhir, dia harus berhati-hati dengan menjaganya agar tidak ada yang menentes dan berwudhu untuk setiap shalat, lalu shalat.
Adapun keluarnya cairan berwarna kecokelatan , jika dia melihatnya setelah selesai haidh, maka hukumnya adalah thohirah (dia suci), tetapi dia tetap diwajibkan berwudhu. Akan tetapi jika dia melihatnya pada masa-masa waktu haidh, maka itu termasuk hukum haidh.
Cairan kecoklatan tersebut membatalkan wudhu.
Namun jika anda telah berwudhu’ - untuk shalat subuh umpamanya - setelah keluarnya cairan tersebut, maka shalat anda sah tidak ada konsekuensi apun atas anda.
Akan tetapi jika keluarnya setelah anda berwudhu’ dan sebelum shalat dan anda tidak mengulangi wudhu’nya, maka anda wajib mengulangi shalat tersebut; karena anda telah melakukan shalatnya tanpa berwudhu’.
FATWA SYEIKH BIN BAAZ: Tentang cairan kekuningan atau kecoklatan
Syeikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya di dalam Majmu’at Al Fatawa (10/214):
“Saya perhatikan saat saya mandi besar dari haid, setelah saya mengalaminya sesuai dengan kebiasaan haid saya, yaitu; selama lima hari namun terkadang keluar sangat sedikit sekali, hal itu setelah mandi besar, lalu setelah itu tidak keluar apa-apa lagi, saya tidak tahu apakah saya ambil kebiasaan haid saya saja selama lima hari dan sisanya tidak dihitung, sehingga saya shalat, puasa dan tidak ada konsekuensi apapun bagi saya, atau saya anggap hari tersebut (haari ke enam) termasuk dalam masa haid saya, sehingga saya tidak shalat dan tidak puasa?, agar diketahui juga bahwa hal demikian tidak selalu terjadi namun setiap setelah kira-kira dua atau tiga kali haid?
Beliau menjawab:
“Jika apa yang keluar pada diri anda setelah bersuci adalah cairan kekuningan atau kecoklatan maka hal itu tidak dianggap, akan tetapi hukumnya sama dengan air seni (kencing).
Adapun jika jelas berupa darah maka masih dianggap sebagai haid, dan anda wajib mandi ulang, sebagaimana riwayat Ummu ‘Athiyyah –radhiyallahu ‘anha- beliau termasuk sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:
كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئا اهـ
“Kami tidak menganggap apa-apa cairan kekuningan dan kecoklatan setelah bersuci”.
FATWA SYEIKH IBNU 'UTAIMIN: Tentang cairan kekuningan atau kecoklatan
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya di dalam Fatawa as Shiyam (105):
“Seorang wanita berkata ia sedang datang bulan, darahnya berhenti pada hari ke enam dari waktu maghrib sampai jam 12 malam, ia mandi besar pada hari itu dan berpuasa pada hari berikutnya, kemudian muncul lagi cairan kecoklatan ia telah berpuasa pada hari itu, apakah hal itu masih dianggap sebagai haid, padahal kebiasaan haidnya selama tujuh hari?
Beliau menjawab:
“Cairan kecoklatan tersebut bukan sebagai haid, cairan kecoklatan yang dialami oleh wanita setelah masa suci tidak dianggap apa-apa, Ummu ‘Athiyyah –radhiyallahu ‘anha- berkata:
كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئاً
“Kami tidak menganggap apa-apa cairan kekuningan dan kecoklatan setelah masa suci”.
Dan di dalam riwayat yang lain:
كنا لا نعدها شيئاً
“Kami tidak menganggapnya sebagai apa-apa”.
Ia tidak menyebutkan kalimat “setelah masa suci”, haid itu darah bukan cairan kecoklatan dan kekuningan, atas dasar itulah maka puasa wanita tersebut adalah sah, baik pada hari di mana ia belum melihat cairan kecoklatan tersebut atau hari di mana ia telah melihat cairan tersebut; karena cairan kecoklatan tersebut bukanlah darah haid”.
Lajnah Daimah pernah ditanya (10/158) tentang wanita yang telah memasuki masa suci pada bulan Ramadhan sebelum terbit fajar, lalu ia pun berpuasa pada hari itu, kemudian masuk waktu zhuhur ia pun mau shalat lalu ia melihat ada cairan kekuningan, apakah puasanya benar?
Mereka menjawab:
“Jika masa suci terjadi sebelum terbit fajar lalu ia berpuasa maka puasanya sah, dan cairan kekuningan tersebut tidak ada pengaruhnya setelah ia memastikan masa suci sebelumnya, berdasarkan ucapan Ummu ‘Athiyyah –radhiyallahu ‘anha-:
كنا لا نعد الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئا
“Kami tidak menganggap cairan kekuningan dan kecoklatan setelah masa suci sebagi apa-apa”.
HUKUM DARAH HAIDH KELUAR MELEBIHI 15 HARI
PERTANYAAN KEPADA SYEIKH UTSAIMIN:
Darah Yang Keluar Melebihi 15 Hari Dari Hari Kebiasaannya, Apakah Dianggap Haidh Atau (Boleh Terus) Berpuasa?
JAWABAN BELIAU:
Dalam syariat, tidak ada dalil yang kuat tentang masa minimal atau maksimal waktu haidh.
Dan Syekh Ibnu Utsaimin ditanya: “Apakah (masa) haidh ada batasan hari minimal atau maksimalnya?
Beliau menjawab:
" ليس لأقل الحيض ولا لأكثره حدٌّ بالأيام على الصحيح ؛ لقول الله عز وجل: (وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) البقرة/222. فلم يجعل الله غاية المنع أياماً معلومة ، بل جعل غاية المنع هي الطهر ، فدل هذا على أن علة الحكم هي الحيض وجوداً أو عدماً ، فمتى وجد الحيض ثبت الحكم ، ومتى طهرت منه زالت أحكامه ، ثم إن التحديد لا دليل عليه ، مع أن الضرورة داعية إلى بيانه ، فلو كان التحديد بسنٍّ أو زمن ثابتاً شرعاً لكان مبيَّناً في كتاب الله وسنة رسوله عليه الصلاة والسلام ، فبناء عليه: فكل ما رأته المرأة من الدم المعروف عند النساء بأنه حيض فهو دم حيض من غير تقدير ذلك بزمن معين ، إلا يكون الدم مستمراً مع المرأة لا ينقطع أبداً ، أو ينقطع مدة يسيرة كاليوم واليومين في الشهر ، فإنه حينئذٍ يكون دم استحاضة ".
“Tidak ada batasan hari untuk menetapkan (masa) haidh terpendek atau terpanjang menurut pendapat yang kuat. Berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla:
(وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (SQ. Al-Baqarah: 222)
Allah tidak menjadikan akhir larangan adalah hari-hari tertentu, akan tetapi menjadikan bersih sebagai akhir larangan. Hal ini menunjukkan bahwa illat (sebab adanya) hukum adalah haidh, dalam hal adanya maupun tidak adanya. Kapanpun terlihat haidh, maka hukum menjadi tetap. Dan kapanpun dia bersih maka hukum-hukumnya hilang.
Kemudian penentuan waktu itu tidak ada dalilnya, padahal penjelasan sangat dibutuhkan waktu itu. Kalau sekiranya penentuan (baik lewat) usia atau waktu itu ditetapkan dalam agama, pasti telah dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan pemahaman ini, manakala seorang wanita melihat darah yang dia kenal sebagai darah haidh, maka hukumnya adalah darah haidh tanpa ditentukan dengan waktu tertentu. Kecuali kalau darah keluar terus menerus tanpa henti atau terhenti sebentar sehari atau dua hari dalam sebulan. Maka ketika itu adalah darah istihadhah." (Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 11/271)
Dari sini, maka anda tidak diperkenankan menunaikan shalat kecuali setelah berhenti kebiasaan bulanan (haidh) dan mandi dari haidh. Berhentinya darah haidh diketahui dengan salah satu diantara dua tanda. (Bisa diketahui) dengan keluarnya lendir putih –yaitu lendir putih yang keluar dikala selesai haidh- atau (diketahui) dengan keringnya darah secara sempurna.
0 Komentar