HUKUM SEMBARANG MEMVONIS KAFIR ATAU MUSYRIK TERHADAP PELAKU BID’AH
TERTENTU DAN KONSEKWENSINYA
****
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri
==
===***===
PENDAHULUAN
Artikel ini ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan seorang ikhwan
pecinta sunnah Nabi ﷺ -hafidzahullah- yang bertanya
kepada saya:
“Bagaimana hukum menshalati mayit seorang muslim tertentu yang semasa
hidupnya terlibat ritual syirik RUATAN LAUT, namun menjelang ajalnya mau
tiba, saya melihat dia rajin shalat di masjid?"
Lalu ikhwan pecinta sunnah itu meminta jawaban nya yang disertai dengan
uraian dalilnya.
Jawaban penulis adalah sebagai berikut:
“Bismillah, Menetapkan seseorang itu musyrik maka sama saja dengan
menetapakan nya sebagai orang kafir atau murtad. Sebagaimana halnya dengan kata
ungkapan "Kaum Musyrikin Quraisy" pada masa awal Islam dahulu,
yang mana kata ungkapan tersebut sama artinya dengan kata ungkapan "Kaum
Kuffaar Quraisy".
====
LARANGAN SEMBARANG MENTAKFIR (MEMVONIS
KAFIR) SESAMA MUSLIM:
Larngan sembarang memvonis kafir dan musyrik pada seorang muslim
tertentu . Resikonya adalah berkemungkinan vonis kafir tersebut kembali kepada
yang mengatakannya atau yang memvonisnya.
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا
أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa
jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)
Dan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ
كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata:
'Wahai musuh Allah' padahal tidak demikian, kecuali perkataan tersebut akan
kembali kepadanya."” (HR. Muslim no. 61).
Dari Huzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ
الْقُرْآنَ، حَتَّى إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء
الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ،
وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ
بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ:
الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".
“Sesungguhnya di antara hal yang saya takutkan terhadap kalian ialah
seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an, hingga manakala keindahan
Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah sikap dan perbuatannya, lalu
ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka ia tanpa sadar telah melepaskan
diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia lemparkan di belakang punggungnya (tidak
diamalkannya), lalu ia menyerang tetangganya dengan senjata dan menuduhnya
telah musyrik”.
Huzaifah ibnul Yaman bertanya : "Wahai Nabi Allah, manakah di
antara keduanya yang lebih musyrik, orang yang dituduhnya ataukah si
penuduhnya?"
Rasulullah ﷺ menjawab : "Tidak, bahkan si
penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan musyrik)."
[ Abu Ya'la Al-Mausuli dalam Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan
Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175) .
Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma' (1/188): 'Sanadnya hasan.'"
Ibnu Katsir berkata :
"هَذَا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ. وَالصَّلْتُ بْنُ بَهْرَامَ كَانَ
مِنْ ثِقَاتِ الْكُوفِيِّينَ، وَلَمْ يُرْمَ بِشَيْءٍ سِوَى الْإِرْجَاءِ، وَقَدْ
وَثَّقَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ،
وَغَيْرُهُمَا".
Sanad hadis ini berpredikat jayyid. As-Silt ibnu Bahram termasuk ulama
siqah dari kalangan penduduk Kufah, dia tidak pernah dituduh melakukan sesuatu
hal yang membuatnya cela selain dari Irja (salah satu aliran dalam mazhab
tauhid). Imam Ahmad ibnu Hambal menilainya siqah, demikian pula Yahya ibnu
Mu'in dan lain-lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509)
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi ﷺ
bersabda:
"كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ
الْمَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي
ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَر عَلَيَّ رَبِّي
لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ
ذَلِكَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْأَرْضَ فَقَالَ اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ
فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ يَا رَبِّ
خَشْيَتُكَ فَغَفَرَ لَهُ وَقَالَ غَيْرُهُ مَخَافَتُكَ يَا رَبِّ ".
"Ada seseorang yang melampaui batas atas dirinya (banyak dan
berlebihan dalam berbuat dosa) dan ketika kematiannya sudah hampir dekat dia
berpesan kepada anak-anaknya;
"Jika
nanti aku meninggal dunia, bakarlah jasadku lalu tumbuklah menjadi debu
kemudian terbangkanlah pada angin. Demi Allah, seandainya Rabbku telah
menetapkan pasti aku akan disiksa dengan siksaan yang tidak akan ditimpakan
kepada seorangpun".
Ketika orang itu meninggal dunia, perintahnya pun dilaksanakan. Kemudian
Allah memerintahkan bumi dengan berfirman: "Kumpulkanlah apa yang ada
padamu".
Maka bumi melaksanakan perintah Allah dan orang tadi berdiri menghadap,
lalu Allah Ta'ala bertanya kepadanya: "Apa yang mendorongmu melakukan
itu?".
Orang itu menjawab: "Wahai Rabb, karena aku takut kepada-Mu".
Allah Ta'ala pun mengampuninya".
Dan perawi yang lain berkata; "Karena takut kepada-Mu, wahai
Rabb". (menggunakan kata khauf sebagai ganti kata khasyyah). [[HR.
[Bukhori no. 7508 dan Muslim no. 2756]]
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang hadits ini dengan
mengatakan:
“Orang ini meragukan kekuasaan Allah dan ragu bahwa Allah akan
memulihkannya jika jenazahnya tercerai-berai. Bahkan dia berkeyakinan
bahwa dia tidak akan dibangkitkan, yang mana itu adalah merupakan kekufuran
menurut kesepakatan umat Islam. Akan tetapi dia itu bodoh dan tidak tahu
tentang itu. Namun demikian, dia adalah seorang mukmin yang takut bahwa
Allah akan mengazab-nya, maka Allah memaafkannya dan mengampuninya karena
itu.
Dengan demikian: Seorang penta'wil yang memenuhi syarat untuk melakukan
ijtihaad dan dia tulus dalam keinginannya untuk mengikuti Rasul ﷺ maka dia lebih pantas mendapatkan pengampunan daripada orang
seperti dalam hadits itu". [Akhiri kutipan]. (Majmu’ Fataawaa Ibn
Taymiyyah, 3/231)
===
PERINTAH UNTUK SENANTIASA BERPRASANGKA BAIK:
Kita harus berprangka baik terhadap orang yang bersyahadat atau orang
yang mengucapkan: "Laa ilaaha illallaah".
Dari Abu Ma'bad yaitu al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu 'anhu, beliau
berkata:
“قُلْتُ لِرَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وسلَّم: أَرَأَيْتَ
إِنْ لَقِيتُ رَجُلًا مِنْ الْكُفَّارِ فَاقْتَتَلْنَا فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ
بِالسَّيْفِ فَقَطَعَهَا ثُمَّ لَاذَ مِنِّي بِشَجَرَةٍ فَقَالَ أَسْلَمْتُ
لِلَّهِ أَأَقْتُلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ لَا تَقْتُلْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ قَطَعَ إِحْدَى
يَدَيَّ ثُمَّ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَ مَا قَطَعَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَا
تَقْتُلْهُ فَإِنْ قَتَلْتَهُ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ
وَإِنَّكَ بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ كَلِمَتَهُ الَّتِي قَالَ ".
"Saya berkata kepada Rasulullah ﷺ:
“Bagaimanakah
pendapat Engkau, jikalau saya bertemu seorang dari golongan kaum kafir,
kemudian kita BERPERANG, lalu ia memukul salah satu dari kedua tanganku dengan
pedang dan terus memutuskannya. Selanjutnya ia bersembunyi daripadaku di balik
sebuah pohon, lalu ia mengucapkan: "Saya masuk Agama Islam karena
Allah," apakah orang yang sedemikian itu boleh saya bunuh, ya Rasulullah sesudah
ia mengucapkan kata-kata seperti tadi itu?"
Beliau ﷺ menjawab: "Jangan engkau
membunuhnya."
Saya berkata lagi: "Ia sudah menebas salah satu dari kedua
tanganku, kemudian dia mengucapkan nya itu setelah menebasnya."
Rasulullah ﷺ bersabda lagi: "Janganlah
kamu membunuhnya, jika kamu tetap membunuhnya, berarti dia berada di posisimu
ketika kamu belum membunuhnya, sedang kamu berada diposisi dia ketika sebelum
ia mengucapkannya.
(Muttafaq 'alaih. Shahih Bukhori no. 3715, 4019 dan Shahih Muslim no. 95)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الحُرَقَةِ
مِنْ جُهَيْنَةَ، قَالَ: فَصَبَّحْنَا القَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ، قَالَ:
وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلًا مِنْهُمْ، قَالَ: فَلَمَّا
غَشِينَاهُ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: فَكَفَّ عَنْهُ
الأَنْصَارِيُّ، فَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ، قَالَ: فَلَمَّا
قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَقَالَ
لِي: «يَا أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»
قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا، قَالَ:
«أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ» قَالَ: فَمَا زَالَ
يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ، حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ
ذَلِكَ اليَوْمِ
"Rasulullah ﷺ mengirim kami dalam sebuah pasukan ke
daerah Huraqah dari suku Juhainah, maka kami dipagi hari menyerang mereka, dan
kami berhasil mengalahkan mereka.
Saya dan seorang lagi dari kaum Anshar mengejar seorang lelaki dari
golongan mereka -musuh. Setelah kami mengepungnya, maka ia lalu mengucapkan:
" La ilaha illallah".
Orang dari sahabat Anshar itu menahan diri daripadanya -tidak menyakiti
sama sekali-, sedang saya lalu menusuknya dengan tombakku sehingga saya
membunuhnya.
Setelah kami datang -di Madinah-, peristiwa itu sampai kepada Nabi ﷺ, kemudian beliau bertanya padaku: "Hai Usamah,
adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan La ilaha illallah?"
Saya berkata: "Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya untuk
mencari perlindungan diri saja -yakni mengatakan syahadat itu hanya untuk
mencari selamat-, sedang hatinya tidak meyakinkan itu."
Beliau ﷺ bersabda lagi: "Adakah ia engkau
bunuh setelah mengucapkan La ilaha illallah?"
Ucapan itu senantiasa diulang-ulangi oleh Nabi ﷺ,
sehingga saya mengharap-harapkan, bahwa saya belum menjadi Islam sebelum hari
itu -yakni bahwa saya mengharapkan menjadi orang Islam itu mulai hari itu
saja-, supaya tidak ada dosa dalam diriku."
(Muttafaq 'alaih. Shahih Bukhori no. 6872 dan Shahih Muslim no. 96)
Dalam riwayat Muslim no. 96:
فقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: أقالَ لا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ وقَتَلْتَهُ؟ قالَ: قُلتُ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّما قالَها خَوْفًا مِنَ
السِّلاحِ، قالَ: أفَلا شَقَقْتَ عن قَلْبِهِ حتَّى تَعْلَمَ أقالَها أمْ لا؟ فَما
زالَ يُكَرِّرُها عَلَيَّ حتَّى تَمَنَّيْتُ أنِّي أسْلَمْتُ يَومَئذٍ.
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Bukankah ia telah
mengucapkan La ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?"
Saya menjawab: "Ya Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkan itu
semata-mata karena takut senjata."
Beliau ﷺ bersabda: "Mengapa engkau
tidak belah saja hatinya, sehingga engkau dapat mengetahui, apakah
mengucapkannya itu karena takut senjata ataukah tidak -yakni dengan keikhlasan-."
Beliau ﷺ mengulang-ulangi ucapannya itu sehingga
saya mengharap-harapkan bahwa saya masuk Islam mulai hari itu saja".
Dalam Lafadz Jundub bin Abdullah – radhiyallahu 'anhu – dikatakan:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَعَثَ بَعْثًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ إِلَى قَوْمٍ
مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَإِنَّهُمْ الْتَقَوْا فَكَانَ رَجُلٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ
إِذَا شَاءَ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَصَدَ لَهُ فَقَتَلَهُ
وَإِنَّ رَجُلًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَصَدَ غَفْلَتَهُ قَالَ وَكُنَّا نُحَدَّثُ
أَنَّهُ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَلَمَّا رَفَعَ عَلَيْهِ السَّيْفَ قَالَ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَتَلَهُ فَجَاءَ الْبَشِيرُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ
فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ حَتَّى أَخْبَرَهُ خَبَرَ الرَّجُلِ كَيْفَ صَنَعَ
فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ فَقَالَ لِمَ قَتَلْتَهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْجَعَ
فِي الْمُسْلِمِينَ وَقَتَلَ فُلَانًا وَفُلَانًا وَسَمَّى لَهُ نَفَرًا وَإِنِّي
حَمَلْتُ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى السَّيْفَ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَقَتَلْتَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِلَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي قَالَ وَكَيْفَ تَصْنَعُ بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ فَجَعَلَ لَا يَزِيدُهُ عَلَى أَنْ
يَقُولَ كَيْفَ تَصْنَعُ بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ
pernah mengutus
seorang utusan dari kaum muslimin kepada kaum musyrikin. Dan mereka benar-benar
berhadap-hadapan sampai-sampai jikalau ada salah seorang dari kaum musyrikin
yang ingin mengincar salah seorang dari kaum muslimin untuk dibunuh, niscaya
dia bisa membunuhnya, dan demikian pun seorang dari kaum muslimin, dia bisa
mengincarnya saat dia lengah.'
Dia berkata: 'Dan kami saat itu diberitahukan peristiwa Usamah bin Zaid,
yang mana ketika dia telah mengangkat pedangnya, tiba-tiba orang musyrik itu
mengucap:
'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah'.
Namun dia [Usamah] tetap saja membunuhnya. Maka Basyir pun mendatangi
Nabi ﷺ untuk mengadukan dan menanyakan hal itu kepada beliau. Dia
menceritakannya kepada beliau dan apa yang diperbuat oleh lelaki tadi.
Maka beliau pun memanggil Usamah dan menanyainya: 'Kenapa kamu
membunuhnya? '
Dia menjawab: 'Wahai Rasulullah, dia telah melukai kaum muslimin, dia
telah membunuh si fulan dan si fulan, dan dia menyebutkan sebuah nama
kepadanya, dan sungguh telah menyimpan dendam terhadapnya, namun ketika dia
melihat pedangku ini, dia mengucap, 'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Allah'.
Rasulullah ﷺ bertanya lagi: 'Apakah kamu
yang telah membunuhnya? '
Dia menjawabnya, 'Ya.'
Beliau bertanya: 'Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat:
'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah', jika di hari kiamat
kelak kalimat itu datang padamu (untuk minta pertanggung jawaban)? '
Dia berkata: Wahai Rasulullah, mohonkan ampunan untukku.
Beliau bertanya lagi: 'Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat:
'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah', jika di hari kiamat
kelak kalimat itu datang padamu (untuk minta pertanggung jawaban)? '
Beliau hanya berkata begitu, tidak menambahinya terhadap perkataan:
'Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat: 'Tidak ada tuhan (yang
berhak disembah) kecuali Allah', jika di hari kiamat kelak kalimat itu datang
padamu (untuk minta pertanggung jawaban)? ' [HR. Muslim no. 142]
Jangan terburu-buru menghukumi kafir atau musyrik terhadap seorang
muslim yang diduga mendirikan shalat.
Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu berkata:
بَعَثَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اليَمَنِ بِذُهَيْبَةٍ فِي أَدِيمٍ
مَقْرُوظٍ، لَمْ تُحَصَّلْ مِنْ تُرَابِهَا، قَالَ: فَقَسَمَهَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ
نَفَرٍ، بَيْنَ عُيَيْنَةَ بْنِ بَدْرٍ، وَأَقْرَعَ بْنِ حابِسٍ، وَزَيْدِ
الخَيْلِ، وَالرَّابِعُ: إِمَّا عَلْقَمَةُ وَإِمَّا عَامِرُ بْنُ الطُّفَيْلِ،
فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: كُنَّا نَحْنُ أَحَقَّ بِهَذَا مِنْ هَؤُلاَءِ،
قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
«أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِينِي خَبَرُ
السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً».
قَالَ: فَقَامَ رَجُلٌ غَائِرُ العَيْنَيْنِ، مُشْرِفُ
الوَجْنَتَيْنِ، نَاشِزُ الجَبْهَةِ، كَثُّ اللِّحْيَةِ، مَحْلُوقُ الرَّأْسِ،
مُشَمَّرُ الإِزَارِ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ، قَالَ:
«وَيْلَكَ، أَوَلَسْتُ أَحَقَّ أَهْلِ الأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ» قَالَ:
ثُمَّ وَلَّى الرَّجُلُ، قَالَ خَالِدُ بْنُ الوَلِيدِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَلاَ أَضْرِبُ عُنُقَهُ؟ قَالَ: «لاَ، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ يُصَلِّي» فَقَالَ
خَالِدٌ: وَكَمْ مِنْ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ فِي قَلْبِهِ، قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لَمْ أُومَرْ
أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلاَ أَشُقَّ بُطُونَهُمْ» قَالَ:
ثُمَّ نَظَرَ إِلَيْهِ وَهُوَ مُقَفٍّ، فَقَالَ: «إِنَّهُ §يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئِ
هَذَا قَوْمٌ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ رَطْبًا، لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ،
يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ»،
وَأَظُنُّهُ قَالَ: «لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُودَ».
Ali bin Abu Thalib mengirimkan sebatang emas yang belum diangkat dari
cetakannya kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ membagikannya kepada empat orang:
'Uyainah
bin Badr, Aqra bin Habis, Zaid Al Khail, dan yang keempat adalah Alqamah atau
'Amir bin Thufail.
Melihat hal itu, salah seorang sahabatnya berkata; "Kami lebih
berhak atas emas tersebut daripada orang-orang ini."
Ketika kabar itu didengar Rasulullah ﷺ,
Rasulullah ﷺ bersabda: 'Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah
orang yang terpercaya dari langit (surga)? Aku menerima kabar dari langit, pagi
hari maupun sore hari.'
Tiba-tiba seorang laki-laki dengan mata cekung, tulang pipi
cembung, dahi menonjol, berjanggut tipis, berkepala gundul dan menggunakan ikat
pinggang, berdiri dan berkata:
'Ya Rasulullah! Takutlah kepada Allah.'
Nabi ﷺ bersabda: 'Celaka kamu.' Bukankah di muka bumi ini akulah yang
paling takut kepada Allah? '
Orang itu beranjak dari tempat duduknya. Khalid bin Walid berkata; 'Ya
Rasulullah! Izinkan aku menebasnya.
Nabi ﷺ bersabda: Jangan, bisa jadi ia mengerjakan shalat!.
Khalid berkata; Berapa banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya
yang tidak sesuai dengan hatinya.
Rasulullah ﷺ bersabda: Aku tidak
diperintah untuk menyelidiki hati seseorang atau mengetahui isi perutnya.
Kemudian Nabi ﷺ melihat kepada orang itu
ketika hendak pergi, beliau bersabda:
“Sesungguhnya dari keturunannya akan muncul suatu kaum yang membaca
Kitabullah tetapi hanya sampai tenggorokannya saja. Mereka lepas dari agama
sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya".
Aku kira Nabi ﷺ juga berkata ;
"Seandainya aku hadir pada masa itu aku akan membunuh mereka sebagaimana
bangsa Tsamud dibinasakan." [HR. Bukhori no. 7432 dan Muslim no. 1064].
KATA-KATA BIJAK :
Bawalah
perkataan seseorang ke dalam prasangka yang terbaik !!!
Abdul Aziz bin Umar berkata:
Ayahku (Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu) berkata kepadaku:
«يَا
بُنَيَّ إِذَا سَمِعْتَ كَلِمَةً، مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ فَلَا تَحْمِلْهَا
عَلَى شَيْءٍ مِنَ الشَّرِّ مَا وَجَدْتَ لَهَا مَحْمَلًا مِنَ الْخَيْرِ»
“Wahai anakku, jika engkau
mendengar suatu ucapan dari seorang muslim, maka janganlah engkau membawanya
kepada sesuatu yang buruk, selama masih mungkin dibawa kepada makna yang baik”.
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam
al-Hilyah 5/277. Lihat pula Husnut Tanabbuh karya Najmud Din al-Ghozzy
asy-Syafi’i]
**Membahagiakan
orang beriman dan menghindari mencela serta menyakitinya:**
Yahya bin Mu'adz ar-Razi berkata:
"
ليَكُنْ حَظُّ الْمُؤمِنِ مِنْكَ ثَلَاثةٌ: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلَا تَضُرَّهُ،
وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلَا تَغُمَّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلَا تَذُمَّهُ
"
Hendaknya bagian orang beriman darimu ada tiga:
jika engkau tidak bisa memberinya manfaat, maka jangan
menyakitinya;
jika engkau tidak bisa membuatnya bahagia, maka jangan
membuatnya sedih;
jika engkau tidak bisa memujinya, maka jangan mencelanya.
[Diriwayatkan dengan sanadnya oleh al-Khathib al-Baghdady
dalam az-Zuhud wa ar-Raqa’iq hal. 114
no. 91].
Al-‘Allamah As-Sa'di berkata:
يَنبَغِي إِدْخَالُ السُّرُورِ عَلَى الْمُؤْمِنِ، بِالْكَلَامِ اللَّيِّنِ، وَالدُّعَاءِ
لَهُ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، مِمَّا يَكُونُ فِيهِ طُمَأْنِينَةٌ وَسُكُونٌ لِقَلْبِهِ.
Hendaknya seseorang membahagiakan orang beriman dengan ucapan yang lembut, mendoakannya, dan hal-hal semisal itu, yang dapat memberi ketenangan dan ketenteraman pada hatinya. [Baca : Tafsir as-Sa’dy hal. 350]
===***===
KONSEKWENSI JIKA SESEORANG TELAH DINYATAKAN MUSYRIK DAN KAFIR
Hati-hati dalam menghukumi seorang muslim sebagai orang kafir dan
musyrik ; karena Konsekwensi bagi orang yang dianggap kafir adalah sbb:
Pertama : Berarti orang tersebut sama hukumnya dengan murtad. Hukumannya
adalah penggal lehernya,
Kedua : Seorang muslim atau muslimah tidak boleh menikah dengan orang
musyrik. Karena Allah SWT berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو
إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran. [QS. al-Baqarah: 221].
Ketiga : Tidak shah menjadi wali nikah anak perempuannya yang muslimah.
Keempat : Pernikahannya menjadi Fasakh [batal] dengan sendirinya, jika
salah satu pasangannya tidak shalat.
Kelima : Tidak boleh saling mewarisi antara muslim dan musyrik jika
salah satunya meninggal.
Keenam : Tidak diperbolehkan masuk tanah haram Makkah dan Tanah Haram
Madinah.
Ketujuh : Tidak boleh pergi haji dan umrah.
Kedelapan : Mayatnya tidak boleh dimandikan, di kafani dan di shalati.
Kesembilan : Tidak boleh di kubur di pemakaman kaum muslimin.
Kesepuluh : Tidak boleh menerima zakat.
****
ANTARA UNGKAPAN MUTLAK UMUM DAN UNGKAPAN KHUSUS TERTENTU
Para Ulama yang keilmuannya sangat mendalam, baik di masa lalu maupun di
masa sekarang, mereka membedakan antara hukum perbuatan dan hukum pelaku.
Yakni: antara hukum melaknat, mengkafirkan, memusyrikkan dan
mentabdi'kan pada perbuatan dan antara hukum melaknat, mengkafirkan,
memusyrikkan dan mentabdi'kan pada orang tertentu yang melakukannya.
Mereka melarang vonis hukum tersebut pada orang tertentu yang
melakukannya selama orang tersebut masih bersyahadat dan mengaku muslim.
Contoh ungkapan umum: Barang siapa yang melakukan ruatan adalah musyrik.
Contoh ungkapan khusus dan tertentu: Si Fulan telah menjadi musyrik
karena kemarin dia ikut serta acara ruatan laut. Padahal si fulan itu seorang
muslim.
====
DALIL-DALIL :
Di antara dalil larangan melaknat, mengkafirkan, memusyrikkan dan
mentabdi'kan seorang muslim tertentu adalah sbb:
DALIL KE 1:
Secara umum Rosulullah ﷺ bersabda:
« من تعَلَّق تَمِيمَةً فقد أشْرك »
“Barang siapa yang menggantungkan tamimah maka ia telah berbuat
kesyirikan”.
(Hadits
ini di Shahihkan oleh Al-Hakim dan Syeikh Al-Bany di Shahihah no. 492).
Namun secara khusus dan tertentu Rosulullah ﷺ
tidak memvonis
musyrik terhadap pelakunya. Sebagaiamana Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang laki-laki memakai gelang yang terbuat dari
kuningan, kemudian beliau bertanya:
"مَا هَذِهِ؟" قَالَ: هَذِهِ مِنَ الْوَاهِنَةِ.
فَقَالَ: " انْزِعْهَا ، فَإِنّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاّ وَهْناً ، فإنَّكَ
لوْ مِتَّ وهي عليْك ، ما أَفْلَحتَ أبداً ".
“Apakah itu?”, orang laki-laki itu menjawab: “gelang penangkal penyakit”, lalu
Nabi bersabda: “lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan
menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada
tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya ".
(HR.
Ahmad 4/445, Ibnu Majah no. 3531 dan Ibnu Hibban no. 1410. Hadits ini di
Shahihkan oleh Al-Hakim dan di setujui oleh Adz-Dzahaby
DALIL KE 2:
Kisah tentang seorang laki-laki yang dicambuk oleh Nabi ﷺ, karena minum-minuman keras. Nabi ﷺ
melarang para sahabat
melaknatnya. Padahal Nabi ﷺ secara mutlak melaknat peminum minuman
keras dan orang-orang yang terlibat dalam pengadaan barangnya.
Dalam hadits Anas bin Malik, dia berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا،
وَال ْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا،
وَالْمُشْتَرِي لَهَا، و َالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
'Rasulullah ﷺ melaknat dalam masalah
khamar pada 10 orang: orang yang memerasnya, orang yang meminta diperaskan,
orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang dibawakan padanya,
orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang memakan hasilnya,
orang yang membelikan, dan orang yang dibelikan.'”
[Diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi no. (1295) Ibnu Majah no. (3381) dan Ahmad dalam al-Musnad no.
(2892) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Sahih Ibnu Majah h (2726)].
Ini ungkapan mutlak dan umum, namun Rasulullah ﷺ
melarang laknat pada
pelaku tertentu, sebagaiman dalam hadits Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
“أَنَّ رَجُلًا كَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا ، وَكَانَ يُهْدِي
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعُكَّةَ مِنَ السَّمْنِ ،
وَالْعُكَّةَ مِنَ الْعَسَلِ، فَإِذَا جَاءَ صَاحِبُهَا يَتَقَاضَاهُ جَاءَ بِهِ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَعْطِ هَذَا ثَمَنَ مَتَاعِهِ ، فَمَا يَزِيدُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ يَبْتَسِمَ وَيَأْمُرَ بِهِ فَيُعْطَى ،
فَجِيءَ بِهِ يَوْمًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
وَقَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ ، فَقَالَ رَجُلٌ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ ، مَا أَكْثَرَ
مَا يُؤْتَى بِهِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لَا تَلْعَنُوهُ ؛ فَإِنَّهُ يُحِبُّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ)
“Bahwa seorang pria yang nama panggilannya Himaar [Keldai], dan dia
pernah – ngeprank-memberi hadiah kepada Rasulullah satu 'Ukkah [kantong kulit]
dari minyak Samin, dan satu Ukkah madu.
Lalu datanglah pemilik barang tersebut kepada pria itu [Himar] untuk
menagih pembayaran, maka pria itu [Himar] membawanya menghadap ke Rasulullah ﷺ, dan dia berkata:
“Wahai Rasulullah, bayarlah harga barang tadi! “.
Maka Rasulullah ﷺ hanya tersenyum dan tidak lebih dari
itu. Lalu beliau membayarnya.
Pada suatu hari dia dihadapkan kepada Rosulullah ﷺ kerena dia habis minum minuman keras.
Lalu ada seorang pria berkata: “ Semoga Allah melaknatinya, karena
betapa seringnya dia dihadapkan kepada Rosulullah ﷺ
dan dicambuk karena
habis minum minuman keras “.
Maka Rosulullah ﷺ bersabda: “ Jangan kalian laknati dia,
karena sesungguhnya dia itu mencintai Allah dan Rosul-Nya “.
[HR. Abu Ya'la dalam Musnad (176), Abu Nu'aim dalam “Al-Hilya” (3/228),
dan Ad-Dhiya dalam “Al-Mukhtara” (92)]
Di Shahihkan oleh Abu Nu'aim, al-Bushairi اتحاف الخيرة (3/398) dan al-Haitsami (al-Majma`
(4/148)).
(Note: makna الْعُكَّةَ / Ukkah: ghirbah atau kantong
dari kulit kambing)
Ini adalah seorang sahabat tertentu yang dilarang oleh Rasulullah untuk
dilaknat, padahal beliau ﷺ melaknat para peminum minuman
keras.
Peminum arak dilaknat oleh lisan Nabi ﷺ,
sedangkan Rasulullah ﷺ melarang melaknat pelaku yang
tertentu.
Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah - rahimahullah - berkata:
“فَنَهَى عَنْ لَعْنِهِ مَعَ إصْرَارِهِ عَلَى الشُّرْبِ لِكَوْنِهِ
يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ ﷺ لَعَنَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً:
{لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا
وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إلَيْهِ وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَآكِلَ
ثَمَنِهَا}. وَلَكِنَّ لَعْنَ الْمُطْلَقِ لَا يَسْتَلْزِمُ لَعْنَ الْمُعَيَّنِ
الَّذِي قَامَ بِهِ مَا يَمْنَعُ لُحُوقَ اللَّعْنَةِ لَهُ ".
“Beliau ﷺ melarang melaknatnya meskipun
dia masih kecanduan minum minuman keras; karena dia mencintai Allah dan
Rasul-Nya, meskipun beliau melaknat sepuluh orang yang terlibat dalam minuman
keras: ….
Akan tetapi pelaknatan mutlak tidak mengharuskan melaknat orang
tertentu, yang melakukan apa yang mencegahnya dari pelaknatan.” [Majmu’ al-Fatawa
(10/329)]
DALIL KE 3:
Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
"Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji
mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". [HR. Bukhori no. 32]
Namun secara khusus pada pelaku tertentu tidak diperbolehkan dikatakan:
Si Fulan Munafiq karena telah berbohong.
DALIL KE 4:
Secara umum Allah menyatakan bahwa penghuni api neraka yang paling bawah
adalah Orang Munafiq, dengan ciri-ciri sbb: 1. Shalatnya tidak khusyu' dan
tidak semangat. 2. Riya. 3. Jarang berdzikir dan mengingat Allah. 4. Imannya
dalam keraguan.
Namun secara khusus pada pelaku tertentu tidak diperbolehkan dikatakan:
Si Fulan Munafiq karena shalatnya tidak khusyu'.....
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ
تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (145).
“Sungguh orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
penolongpun bagi mereka". [QS. An-Nisaa: 145].
Ciri-ciri orang munafik yang kelak di neraka paling dasar, di jelaskan
pada ayat sebelumnya, yaitu:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا
قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا
يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا مُذَبْذَبِينَ (142) بَيْنَ ذلِكَ لَا إِلى
هؤُلاءِ وَلا إِلى هؤُلاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلا
(143)
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri
dengan malas [SHALATNYA TIDAK KHUSYU']. Mereka bermaksud RIYA (dengan shalat)
di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut dan mengingat Allah kecuali
sedikit sekali [JARANG BERDZIKIR].
Mereka DALAM KERAGUAN antara yang demikian (iman atau kafir); tidak
masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada
golongan itu (orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu
sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya ".
[QS. An-Nisaa: 141-142].
Rosulullah ﷺ bersabda:
«إِنِ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَبْدِ إِلَى الْجَنَّةِ فِيمَا
يَبْدُو لِلنَّاسِ وَيُعْدَلُ بِهِ إِلَى النَّارِ»
“Sungguh akan ada seorang hamba yang nampak pada manusia di dunianya
bahwa Allah akan memasukannya ke dalam surga, akan tetapi Allah membelokkannya
ke dalam neraka". [HR. Bukhori no. 2898 dan Muslim no. 112].
*****
NABI ﷺ
BERISTIGHFAR UNTUK
SEORANG GEMBONG MUNAFIQ DAN MENSHALATI MAYATNYA PADAHAL ITU SEMUA DILARANG.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ
قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ
فَٰسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati
di antara mereka [orang-orang munafiq], dan janganlah kamu berdiri (mendoakan)
di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka mati dalam keadaan fasik". [QS. At-Taubah: 84].
سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ
لَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
Sama saja bagi mereka [orang-orang munafiq], kamu mintakan ampunan atau
tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik. [QS. Al-Munafiqun: 6].
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ
سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
"Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun
bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka
tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada
mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik". [QS.
At-Taubah: 80].
Rosulullah ﷺ tidak pernah mengatakan kata
"MUNAFIQ" kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, meskipun dia itu sangat
jelas akan kemunafikannya. Kecuali sebagian para Sahabat seperti Umar bin
Khoththob, beliau mengatakannya di hadapan Rosulullah ﷺ.
Padahal masalah kemunafikan Abdullah bin Ubay bin Sallul itu sdh
diketahui secara nash dalam al-Quran dan juga diketahui oleh seluruh sahabat
Nabi ﷺ, termasuk putranya Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salull,
bahkan putranya ini pernah menghadap kepada Rosulullah ﷺ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُرِيدُ قَتْلَ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أبَيّ فِيمَا بَلَغَكَ عَنْهُ، فَإِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَمُرْنِي
بِهِ، فَأَنَا أَحْمِلُ إِلَيْكَ رَأْسَهُ، فَوَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمَتِ
الْخَزْرَجُ مَا كَانَ لَهَا مِنْ رَجُلٍ أَبَرَّ بِوَالِدِهِ مِنِّي، إِنِّي
أَخْشَى أَنْ تَأْمُرَ بِهِ غَيْرِي فَيَقْتُلَهُ، فَلَا تَدَعُنِي نَفْسِي
أَنْظُرُ إِلَى قَاتِلِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ يَمْشِي فِي النَّاسِ،
فَأَقْتُلُهُ، فَأَقْتُلُ مُؤْمِنًا بِكَافِرٍ، فَأَدْخُلُ النَّارَ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "بَلْ نَتَرَفَّقُ بِهِ وَنُحْسِنُ
صُحْبَتَهُ، مَا بَقِيَ مَعَنَا
Ya Rasulullah, telah sampai kepadaku kabar bahwa engkau ingin membunuh
Abdullah bin Ubay karena adanya kabar yang sampai kepada engkau tentang dia.
Jika engkau hendak melakukan itu, maka serahkanlah kepada ku, dan aku
akan membawa kepalanya kepada engkau ; karena demi Allah, sungguh orang-orang
Kabilah al-Khazraj tahu bahwa tidak ada seorangpun dari mereka yang lebih
berbakti kepada kedua orang tuanya yang melebihi aku.
Saya khawatir engkau menugaskan orang lain, lalu dia membunuhnya, maka
jiwaku tidak bisa mencegah diriku ketika melihat pembunuh Abdullah bin Ubay
berjalan di antara manusia, lalu aku membunuhnya, maka dengan demikian aku
membunuh seorang mukmin karena seorang kafir, akhirnya aku masuk api neraka.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak, bahkan
sebaliknya, kami akan bersikap lembut padanya dan bersikap baik kepadanya,
selama dia masih bersama kami ".
[Baca: السيرة النبوية (2/292) dan Tafsir Ibnu Katsir, surat
al-Munaafiquun ayat 5 – 8].
Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata;
لَمَّا تُوُفِّيَ عبدُ اللَّهِ بنُ أُبَيٍّ، جاءَ ابنُهُ عبدُ اللَّهِ بنُ
عبدِ اللَّهِ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَسَأَلَهُ أنْ
يُعْطِيَهُ قَمِيصَهُ يُكَفِّنُ فيه أباهُ، فأعْطاهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ أنْ
يُصَلِّيَ عليه، فَقامَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ لِيُصَلِّيَ
عليه، فَقامَ عُمَرُ فأخَذَ بثَوْبِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ،
فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، تُصَلِّي عليه وقدْ نَهاكَ رَبُّكَ أنْ تُصَلِّيَ
عليه؟! فقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إنَّما خَيَّرَنِي
اللَّهُ فقالَ: {اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً} [التوبة: 80]، وسَأَزِيدُهُ علَى
السَّبْعِينَ، قالَ: إنَّه مُنافِقٌ! قالَ: فَصَلَّى عليه رَسولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عليه وسلَّمَ، فأنْزَلَ اللَّهُ: {وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ
مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ} [التوبة: 84].
"Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia. anak
laki-lakinya -yaitu Abdulah bin Abdullah- datang kepada Rasulullah ﷺ seraya memohon kepada beIiau agar sudi memberikan baju beliau
kepada Abdullah untuk kain kafan ayahnya, Abdullah bin Ubay bin Salul. Lalu
Rasulullah ﷺ memberikan bajunya kepada Abdullah. Setelah itu, Abdullah juga
memohon Rasulullah agar beliau berkenan menshalati jenazah ayahnya.
Kemudian Rasulullah pun bersiap-siap untuk menshalati jenazah Abdullah
bin Ubay, hingga akhirnya Umar berdiri dan menarik baju Rasulullah seraya
berkata:
“يا رَسولَ اللَّهِ، تُصَلِّي عليه وقدْ نَهاكَ رَبُّكَ أنْ
تُصَلِّيَ عليه؟! ".
"Ya Rasulullah, apakah engkau akan menshalati jenazah Abdullah bin
Ubay sedangkan Allah telah melarang untuk menshalatinya?"
Rasulullah ﷺ menjawab: "Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan pilihan kepadaku." Lalu beliau
membacakan ayat yang berbunyi;
{ اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ }
"Kamu memohonkun ampun bagi orang-orang munafik atau tidak kamu
mohonkan ampun bagi mereka, maka hal itu adalah sama saja. sekalipun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali (Qs. At-Taubah 9: 80)".
Oleh karena itu, aku akan menambah istighfar lebih dari tujuh puluh kali
untuknya."
Umar bin Khaththab berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Ia adalah
orang munafik?." Tetapi, rupanya Rasulullah ﷺ
tetap saja menshalatinya, hingga Allah menurunkan ayat Al Qur'an:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ
قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ
فَٰسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati
di antara mereka [orang-orang munafiq], dan janganlah kamu berdiri (mendoakan)
di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka mati dalam keadaan fasik". (QS. At-Taubah: 84). [HR. Bukhori no.
4670 dan Muslim no. 2774]
Sebagian para Ulama berkata:
إِنَّمَا صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بِنَاءٍ
عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ لَفْظِ إِسْلَامِهِ. ثُمَّ لَمْ يَكُنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
لِمَا نَهَى عَنْهُ.
Rasulullah ﷺ menshalatkannya ketika itu karena
memperlakukannya secara zahir, yaitu pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia
seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan ummatnya untuk memperlakukan manusia
sesuai dengan kondisi zahirnya, urusan hati dan batinnya adalah kewenangan
Allah SWT.
Setelah turun ayat itu Nabi ﷺ
tidak lagi menshalati orang yang di duga sabagai orang munafiq, namun demikian
beliau ﷺ tidak menghalangi para sahabatnya untuk menshalati nya. Mungkin
larangan tersebut khusus untuk Nabi ﷺ
; karena khithob dalam ayat larangan tersebut tunggal kepada Nabi ﷺ, yaitu " وَلَا تُصَلِّ". Adapun bagi umat nya
hanya sebatas dianjurkan untuk tidak menshalatinya. Wallahu 'alam.
Dari Abi Qatadah radhiyallaahu 'anhu ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا دُعِيَ لِجِنَازَةٍ سَأَلَ عَنْهَا، فَإِنْ
أُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرًا قَامَ فَصَلَّى عَلَيْهَا، وَإِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا
غَيْرَ ذَلِكَ قَالَ لِأَهْلِهَا: "شَأْنُكُمْ بِهَا"، وَلَمْ يُصَلِّ
عَلَيْهَا
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika diundang untuk menghadiri
jenazah, beliau akan menanyakan tentang jenazah tersebut. Jika ada pujian yang
baik tentang jenazah tersebut, maka beliau akan berdiri dan shalat jenazah
atasnya. Namun, jika tidak ada pujian yang baik, beliau akan berkata kepada
keluarganya: "Ini urusan kalian dengannya". Dan beliau tidak
akan shalat jenazah atasnya."
[HR.
Ahmad 5/299. No. 22608, al-Hakim no. 1348, Ibnu Hibbaan no. 3057]. Di Shahihkan
al-Albaani dalam Sahih al-Targhiib wa'l-Tarhiib: 3517, Ahkam al-Jana'iz,
hal.84, dan Sheikh Shuaib Al-Arna'oot berkata: "Sanadnya Shahih".
Al-Haitsami dalam al-Majma' 3/4 no. 3960 berkata:
رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ
“Di riwayatkan Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi kitab hadits
Shahih".
Para ulama berkesimpulan:
"وفي الحديث دليلٌ على عدم استحباب الصلاة على الفَسَقة
والمنافقين ".
“Dalam hadits, terdapat dalil bahwa shalat mayit tidak dianjurkan bagi
orang ahli maksiat dan orang munafik". [Lihat Hamisy al-Jaami' ash-Shahih
lis- Sunan wal Massanid 10/24].
Ibnu katsir berkata:
“وَلَمَّا نَهَى اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، عَنِ الصَّلَاةِ عَلَى
الْمُنَافِقِينَ وَالْقِيَامِ عَلَى قُبُورِهِمْ لِلِاسْتِغْفَارِ لَهُمْ، كَانَ
هَذَا الصنيعُ مِنْ أَكْبَرِ القُرُبات فِي حَقِّ الْمُؤْمِنِينَ، فَشَرَعَ ذَلِكَ
".
"Ketika Allah Azza wa Jalla melarang shalat atas orang munafik dan
berdiri di atas kuburan mereka untuk memohonkan ampunan bagi mereka, maka
perbuatan ini merupakan salah satu ibadah yang paling agung dalam hal kebaikan
terhadap orang-orang mukmin. Maka Hal tersebut disyariatkan." [Tafsir Ibnu
Katsir 4/196]
===****===
APAKAH BERTAWASSUL DENGAN ORANG MATI DAN YANG SEMISALNYA ITU MUSYRIK?
Ada dua katagori orang yang berdoa kepada Allah SWT dengan cara
bertawassul dengan orang mati:
PERTAMA: Bertawassul dengan orang mati hanya sebagai sebab tanpa ada
keyakinan bahwa orang mati tsb memiliki kemampuan dan kekuasaan seperti yang
Allah miliki atau sebagian yang Allah miliki.
KEDUA: Berkeyakinan bahwa orang mati yang di tawasulinya memiliki
kemampuan dan kekuasaan seperti yang Allah miliki atau sebagian yang Allah
miliki.
Apakah tawassul jenis pertama itu adalah perbuatan syirik serta boleh
menghukumi kafir dan musyrik terhadap pelakunya?
Bukanlah termasuk perbuatan syirik jika seseorang bertawassul dengan
orang yang sudah mati dengan anggapan hanya sebatas sebagai sebab tanpa
dibarengi dengan keyakinan bahwa orang mati tsb memiliki kemampuan mendatangkan
manfaat dan menghilangkan madlorot bagi yang bertawassul dan lainnya.
Syeikh Ibnu Taimiah setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah
tawassul jenis ini beliau berkata:
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إنَّ مَنْ قَالَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَقَدْ
كَفَرَ وَلَا وَجْهَ لِتَكْفِيرِهِ فَإِنَّ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ خَفِيَّةٌ لَيْسَتْ
أَدِلَّتُهَا جَلِيَّةً ظَاهِرَةً وَالْكُفْرُ إنَّمَا يَكُونُ بِإِنْكَارِ مَا
عُلِمَ مِنْ الدِّينِ ضَرُورَةً أَوْ بِإِنْكَارِ الْأَحْكَامِ الْمُتَوَاتِرَةِ
وَالْمُجْمَعِ عَلَيْهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَاخْتِلَافُ النَّاسِ فِيمَا يُشْرَعُ
مِنْ الدُّعَاءِ وَمَا لَا يُشْرَعُ كَاخْتِلَافِهِمْ هَلْ تُشْرَعُ الصَّلَاةُ
عَلَيْهِ عِنْدَ الذَّبْحِ ؛ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ مَسَائِلِ السَّبِّ عِنْدَ أَحَدٍ
مِنْ الْمُسْلِمِينَ.
“Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat pertama
ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini adalah
masalah yang samar-samar, dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran
hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum
(diketahui) secara darurat merupakan bagian dari agama secara pasti atau
mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma') atau semisal itu.
Dan perbedaan manusia tentang cara berdoa yang di syariatkan dan yang
tidak di syariatkan, sama seperti perbedaan mereka tentang hukum membaca
sholawat kepada Nabi ﷺ ketika menyembelih binatang sembelihan.
dan itu bukan termasuk dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
mencaci maki salah seorang dari kaum muslimin. " (Majmu' Fatawa 1/106)
****
FATWA SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH TENTANG HAL-HAL SBB:
- MELAKNAT
ORANG TERTENTU
- MENGANGGAP
KAFIR ORANG TERTENTU
- MENGANGGAP
MUSYRIK ORANG TERTENTU
- MENGECAP
AHLI BID'AH ORANG TERTENTU
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah hukum melaknat
seseorang yang ditentukan orangnya:
وَلَكِنَّ لَعْنَ الْمُطْلَقِ لَا يَسْتَلْزِمُ لَعْنَ الْمُعَيَّنِ
الَّذِي قَامَ بِهِ مَا يَمْنَعُ لُحُوقَ اللَّعْنَةِ لَهُ وَكَذَلِكَ
"التَّكْفِيرُ الْمُطْلَقُ" و"الْوَعِيدُ الْمُطْلَقُ".
وَلِهَذَا كَانَ الْوَعِيدُ الْمُطْلَقُ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَشْرُوطًا
بِثُبُوتِ شُرُوطٍ وَانْتِفَاءِ مَوَانِعَ".
“Akan tetapi adanya dalil laknat mutlak tidak
mengharuskan bolehnya melaknat pada orang tertentu yang
melakukan perbuatan yang dilaknat. Begitu juga takfir muthlak dan ancaman
adzab yang mutlak. Oleh karena itu ancaman adzab mutlak dalam al-Quran
dan as-Sunnah di syaratkan terpenuhinya syarat-syarat dan tidak adanya
rintangan-rintangan “. [Majmu' al-Fataawaa 10/329-330].
Penulis katakan: Mengklaim seseorang itu musyrik adalah termasuk
menciptakan dalil ancaman [نَصّ الوَعِيْد], sebagaimana yang nampak
jelas.
Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“وَمَنْ قَالَ: إنَّ الثِّنْتَيْنِ وَالسَّبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكْفُرُ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنْ الْمِلَّةِ فَقَدْ خَالَفَ
الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ
أَجْمَعِينَ بَلْ وَإِجْمَاعَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِ الْأَرْبَعَةِ
فَلَيْسَ فِيهِمْ مَنْ كَفَّرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ الثِّنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَإِنَّمَا يُكَفِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِبَعْضِ الْمَقَالَاتِ".
Dan barang siapa mengatakan: Sesungguhnya 72 firqoh itu masing-masing di
hukumi kafir keluar dari agama Islam, maka dia telah menyelisihi al-Quran,
as-Sunnah dan Ijma’ para sahabat, bahkan menyelisihi ijma’ madzhab yang empat
dan madzhab-madzhab lainnya, tidak ada di kalangan mereka yang mengkafirkan
masing-masing dari 72 firqoh tsb. Hanya saja sebagian mereka mengkafirkan sebagian
yang lain dalam beberapa perkataan-perkataan tertentu “. [Majmu' al-Fataawaa
7/218].
Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وَلَوْ كَانَ كُلُّ ذَنْبٍ لُعِنَ فَاعِلُهُ، يُلْعَنُ الْمُعَيَّنُ
الَّذِي فَعَلَهُ؛ لَلُعِنَ جُمْهُورُ النَّاسِ. وَهَذَا بِمَنْزِلَةِ الْوَعِيدِ
الْمُطْلَقِ، لَا يَسْتَلْزِمُ ثُبُوتَهُ فِي حَقِّ الْمُعَيَّنِ إِلَّا إِذَا
وُجِدَتْ شُرُوطُهُ وَانْتَفَتْ مَوَانِعُهُ، وَهَكَذَا اللَّعْنُ ".
“Kalau seandainya setiap perbuatan dosa yang dilaknat, kemudian
seseorang di bolehkan untuk melaknat para pelakunya, maka dia boleh melaknat
jumhur umat Islam. Ini sama kedudukannya dengan ancaman adzab muthlak yang
tidak mesti berlaku pada orang tertentu kecuali jika telah terpenuhi
syarat-syarat nya dan tidak ada lagi penghalang untuk menyatakan bahwa dia
berhak untuk diancam dengan adzab, begitu juga dengan masalah laknat“.
[Lihat
“Minhaj Al-Sunnah” (4/573), “Raf'u Al-Malaam” (120), “Al-Masaa'il
Al-Maaridiniyah” hal.(66/76) dan “Majmu' Al-Fatawa ” (4/474)].
Dan beliau Ibnu Taimiyah berkata:
“وَإِذَا عُرِفَ هَذَا فَتَكْفِيرُ " الْمُعَيَّنِ "
مِنْ هَؤُلَاءِ الْجُهَّالِ وَأَمْثَالِهِمْ - بِحَيْثُ يُحْكَمُ عَلَيْهِ
بِأَنَّهُ مِنْ الْكُفَّارِ - لَا يَجُوزُ الْإِقْدَامُ عَلَيْهِ إلَّا بَعْدَ
أَنْ تَقُومَ عَلَى أَحَدِهِمْ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي يَتَبَيَّنُ
بِهَا أَنَّهُمْ مُخَالِفُونَ لِلرُّسُلِ وَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الْمَقَالَةُ لَا
رَيْبَ أَنَّهَا كُفْرٌ. وَهَكَذَا الْكَلَامُ فِي تَكْفِيرِ جَمِيعِ "
الْمُعَيَّنِينَ " مَعَ أَنَّ بَعْضَ هَذِهِ الْبِدْعَةِ أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ
وَبَعْضُ الْمُبْتَدِعَةِ يَكُونُ فِيهِ مِنْ الْإِيمَانِ مَا لَيْسَ فِي بَعْضٍ
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يُكَفِّرَ أَحَدًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ أَخْطَأَ
وَغَلِطَ حَتَّى تُقَامَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ وَتُبَيَّنَ لَهُ الْمَحَجَّةُ.
وَمَنْ ثَبَتَ إيمَانُهُ بِيَقِينِ لَمْ يَزُلْ ذَلِكَ عَنْهُ بِالشَّكِّ؛ بَلْ
لَا يَزُولُ إلَّا بَعْدَ إقَامَةِ الْحُجَّةِ وَإِزَالَةِ الشُّبْهَةِ. وَهَذَا
الْجَوَابُ لَا يَحْتَمِلُ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا".
“Dan jika sudah tahu ini, maka pengkafiran terhadap orang tertentu yang
dilakukan oleh mereka orang-orang yang bodoh dan yang semisalnya, janganlah
diterima, kecuali setelah tegak nya hujjah rosaliyah [wahyu] terhadap mereka
yang membuatnya nampak jelas bahwa mereka menyelisihi para Rasul, meskipun
perkataan nya tsb tidak ada keraguan bahwa itu perkataan kekafiran [yang
membuatnya kafir] “.
Dan begitu juga pembicaraan yang berkaitan dengan pengkafiran semua
orang-orang yang tertentu, apalagi ada sebagian ahli bid’ah yang lebih dahsyat
dari pada yang lainnya, dan terkadang ada sebagian ahli bidah yang memiliki
tingkat keimanan yang tidak dimiliki oleh sebagian lainnya.
Tidak seorang pun berhak menghukumi seorang muslim sebagai orang kafir,
meskipun dia melakukan kesalahan dan kekeliruan sampai dia mendapatkan hujjah
lalu dijelaskan padanya bahwa inilah jalan yang lurus dan benar.
Dan siapa yang terbukti keimanannya dengan yakin, maka imanya itu tidak
bisa dianggap hilang darinya dengan keraguan; bahkan, imannya itu tidak
dianggap hilang kecuali jika hujjah telah ditegakkan dan kesyubhatan telah
dihilangkan.
Dan jawaban ini tidak bisa lebih memungkinkan dari ini. [Majmu
al-Fataawaa 12/500-501].
Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmatinya) berkata dalam "Majmu'
al-Fatawa" (23/349):
"فَالْإِمَامُ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ
تَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ (يَعْنِي الْخُلَفَاءَ الَّذِينَ تَأَثَّرُوا بِمَقَالَةِ
الْجَهْمِيَّةِ الَّذِينَ زَعَمُوا الْقَوْلَ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ، وَنَصَرُوهُ)
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ، لِعِلْمِهِ بِأَنَّهُ لَمْ يَتَبَيَّنْ لَهُمْ أَنَّهُمْ
مُكَذِّبُونَ لِلرَّسُولِ، وَلَا جَاحِدُونَ لِمَا جَاءَ بِهِ، وَلَكِنْ
تَأَوَّلُوا فَأَخْطَأُوا، وَقَلَّدُوا مَنْ قَالَ ذَلِكَ لَهُمْ" انتهى.
"Imam Ahmad (semoga Allah merahmatinya) mendo'akan rahmat untuk
para khalifah yang terpengaruh oleh paham Jahmiyyah, (yaitu mereka yang
mengklaim bahwa Al-Qur'an itu makluk [diciptakan] dan mendukungnya) dan ia
memohonkan ampunan untuk mereka. Hal ini karena dia tahu bahwa mereka tidak
menemukan kejelasan sehingga mereka tanpa sadar sedang mendustakan Rasul dan
mereka tidak bermaksud menolak apa yang beliau bawa. Akan tetapi, mereka salah
dalam memahami dan bertaqlid pada orang-orang yang menyebarkan keyakinan
tersebut kepada mereka."
Syeikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu' al-Fatawa 12/180 oleh
Ibnu Qasim:
“وَأَمَّا التَّكْفِيرُ فَالصَّوَابُ أَنَّ مَنِ اجْتَهَدَ مِنْ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَصَدَ الْحَقَّ
فَأَخْطَأَ لَمْ يُكَفَّرْ، بَلْ يُغْفَرُ لَهُ خَطَؤُهُ، وَمَنْ تَبَيَّنَ لَهُ
مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ، فَشَاقَ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَاتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ فَهُوَ كَافِرٌ، وَمَنْ
اتَّبَعَ هَوَاهُ وَقَصَرَ فِي طَلَبِ الْحَقِّ وَتَكَلَّمَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَهُوَ عَاصٍ مُذْنِبٌ، ثُمَّ قَدْ يَكُونُ فَاسِقًا. وَقَدْ يَكُونُ لَهُ
حَسَنَاتٌ تَرَجَّحُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ.
Berkenaan dengan takfeer (menghakimi seseorang sebagai kafir), pandangan
yang benar adalah bahwa seorang umat Muhammad ﷺ
yang telah berusaha untuk mencapai kebenaran tentang suatu masalah, tetapi
mencapai yang salah. Kesimpulannya, tidak dianggap kafir, melainkan diampuni
kesalahannya. Tetapi orang yang memahami pesan yang dibawa oleh Rasul,
tetapi dia dengan sengaja menentang jalan Rasulullah ﷺ
setelah jelas baginya petunjuk yang benar, dan mengikuti jalan selain jalan
orang-orang beriman ; maka dia adalah kafir.
Orang yang menuruti hawa nafsunya dan tidak mau mencari kebenaran dan
berbicara tanpa ilmu, maka dia adalah orang yang maksiat, dan mungkin faasiq,
tetapi dia mungkin memiliki beberapa amal kebaikan yang melebihi perbuatan
buruknya". [Kutipan berakhir].
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata pula:
“هَذَا مَعَ أنَّي دَائماً وَمَنْ جَالَسَنِي يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنِّي:
أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ
إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ
عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسَّالِيَة الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً
وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ
غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا: وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ
الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ. وَمَا زَالَ
السَّلَفُ يَتَنَازَعُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ، وَلَمْ يَشْهَدْ
أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أَحَدٍ لَا بِكُفْرٍ وَلَا بِفُسُوقٍ وَلَا بِمَعْصِيَةٍ.
“Ini sikapku yang selalu bersamaku. Siapa pun yang duduk dengan aku
pasti dia tahu tentang aku: bahwa aku adalah salah satu dari orang-orang keras
dalam melarang pentakfiran, pentafsiqkan dan mengecap ahli maksiat yang
ditujukan pada orang tertentu, kecuali setelah diketahui bahwa “al-hujjah
ar-rosaaliyah” telah disampaikan padanya.
Siapapun yang menentangnya, maka terkadang dia kafir, terkadang fasiq,
dan terkadang pelaku maksiat.
Dan saya menyatakan bahwa Allah telah mengampuni umat ini atas
kesalahannya. Ini meliputi semua kesalahan, dalam masalah kabar ucapan dan
masalah-masalah amaliyah.
Dan para ulama Salaf masih terus memperdebatkan dalam banyak dari
masalah ini, akan tetapi tidak ada satupun dari mereka yang memberi kesaksian
bahwa orang yang menyelisinya itu adalah kafir atau faasiq atau maksiat.
(Majmu’ Fataawaa Ibn Taymiyyah, 3/229).
Makna “al-hujjah ar-rosaaliyah” adalah: dalil syar’i yang di bawa oleh
Nabi ﷺ.
Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah - rahimahullah - menyebutkan beberapa
contoh, lalu dia berkata:
“وَكُنْت أُبَيِّنُ لَهُمْ أَنَّمَا نُقِلَ لَهُمْ عَنْ السَّلَفِ
وَالْأَئِمَّةِ مِنْ إطْلَاقِ الْقَوْلِ بِتَكْفِيرِ مَنْ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا
فَهُوَ أَيْضًا حَقٌّ، لَكِنْ يَجِبُ التَّفْرِيقُ بَيْنَ الْإِطْلَاقِ
وَالتَّعْيِينِ ".
Dan aku juga menjelaskan bahwa apa yang telah diriwayatkan dari para
salaf dan para imam, yang menyatakan bahwa orang yang mengatakan ini dan itu
adalah kafir, juga benar, akan tetapi harus membedakan antara perkataan
perbuatan umum [mutlak dan perkataan pada pelaku tertentu
[Ta'yiin]. (Majmu’ Fataawaa Ibn Taymiyyah, 3/230)
Hingga pada perkataan beliau berikut ini:
“وَالتَّكْفِيرُ هُوَ مِنْ الْوَعِيدِ. فَإِنَّهُ وَإِنْ كَانَ
الْقَوْلُ تَكْذِيبًا لِمَا قَالَهُ الرَّسُولُ، لَكِنْ قَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ
حَدِيثَ عَهْدٍ بِإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بِبَادِيَةِ بَعِيدَةٍ. وَمِثْلُ هَذَا
لَا يَكْفُرُ بِجَحْدِ مَا يَجْحَدُهُ حَتَّى تَقُومَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ. وَقَدْ
يَكُونُ الرَّجُلُ لَا يَسْمَعُ تِلْكَ النُّصُوصَ أَوْ سَمِعَهَا وَلَمْ تَثْبُتْ
عِنْدَهُ أَوْ عَارَضَهَا عِنْدَهُ مُعَارِضٌ آخَرُ أَوْجَبَ تَأْوِيلَهَا، وَإِنْ
كَانَ مُخْطِئًا، وَكُنْت دَائِمًا أَذْكُرُ الْحَدِيثَ الَّذِي فِي
الصَّحِيحَيْنِ فِي الرَّجُلِ الَّذِي قَالَ: " {إذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي
ثُمَّ اسْحَقُونِي، ثُمَّ ذروني فِي الْيَمِّ فَوَاَللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ
عَلَيَّ لَيُعَذِّبَنِي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ،
فَفَعَلُوا بِهِ ذَلِكَ فَقَالَ اللَّهُ لَهُ: مَا حَمَلَك عَلَى مَا فَعَلْت.
قَالَ خَشْيَتُك: فَغَفَرَ لَهُ} ". فَهَذَا رَجُلٌ شَكَّ فِي قُدْرَةِ
اللَّهِ وَفِي إعَادَتِهِ إذَا ذُرِّيَ، بَلْ اعْتَقَدَ أَنَّهُ لَا يُعَادُ،
وَهَذَا كُفْرٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ، لَكِنْ كَانَ جَاهِلًا لَا يَعْلَمُ
ذَلِكَ وَكَانَ مُؤْمِنًا يَخَافُ اللَّهَ أَنْ يُعَاقِبَهُ فَغَفَرَ لَهُ
بِذَلِكَ. وَالْمُتَأَوِّلُ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ الْحَرِيصُ عَلَى
مُتَابَعَةِ الرَّسُولِ أَوْلَى بِالْمَغْفِرَةِ مِنْ مِثْلِ هَذَا".
Dan takfir [mengecap kafir] adalah sejenis peringatan [الوَعِيْد] ; meskipun kata-katanya mungkin merupakan penolakan atau
mendustakan terhadap apa sabda Rasulullah ﷺ,
akan tetapi orang itu mungkin masih baru dalam agama Islam, atau dia mungkin
tumbuh besar di daerah terpencil. Orang seperti itu tidak dapat diputuskan
sebagai kafir, tidak peduli apa yang dia ingkari, kecuali ada bukti yang kuat
terhadapnya. Orang itu mungkin tidak pernah mendengar tentang nash-nash
itu, atau dia mungkin pernah mendengarnya tetapi itu tidak valid menurutnya,
atau dia mungkin memiliki beberapa gagasan yang bertentangan dengan apa yang
dia dengar, yang membuatnya salah menafsirkan nash tersebut.
Saya selalu ingat hadits dalam dua kitab Hadits Shahih, yang berbicara
tentang orang yang berkata:
“إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي ثُمَّ
ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي
عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ فَأَمَرَ
اللَّهُ الْأَرْضَ فَقَالَ اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ فَإِذَا هُوَ
قَائِمٌ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ
فَغَفَرَ لَهُ ".
"Jika nanti aku meninggal dunia, bakarlah jasadku lalu
tumbuklah menjadi debu kemudian terbangkanlah pada angin. Demi Allah,
seandainya Rabbku telah menetapkan pasti aku akan disiksa dengan siksaan yang
tidak akan ditimpakan kepada seorangpun. Ketika orang itu meninggal dunia,
perintahnya pun dilaksanakan.
Kemudian Allah memerintahkan bumi dengan berfirman: "Kumpulkanlah
apa yang ada padamu".
Maka bumi melaksanakan perintah Allah dan orang tadi berdiri menghadap,
lalu Allah Ta'ala bertanya kepadanya: "Apa yang mendorongmu melakukan
itu?".
Orang itu menjawab: "Wahai Rabb, karena aku takut kepada-Mu".
Allah Ta'ala pun mengampuninya". [Bukhori no. 7508 dan Muslim no. 2756]
Orang ini meragukan kekuasaan Allah dan ragu bahwa Allah akan
memulihkannya jika jenazahnya tercerai-berai. Bahkan dia berkeyakinan
bahwa dia tidak akan dibangkitkan, yang mana itu adalah merupakan kekufuran
menurut kesepakatan umat Islam. Akan tetapi dia itu bodoh dan tidak tahu
tentang itu. Namun demikian, dia adalah seorang mukmin yang takut bahwa
Allah akan mengazab-nya, maka Allah memaafkannya dan mengampuninya karena
itu.
Pentakwil yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihaad dan dia tulus
dalam keinginannya untuk mengikuti Rasul ﷺ
maka dia lebih pantas mendapatkan pengampunan daripada orang seperti dalam
hadits itu. [Akhiri kutipan]. (Majmu’ Fataawaa Ibn Taymiyyah, 3/231)
****
SIKAP IBNU TAIMIYAH TERHADAP PELAKU BID'AH:
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“وَكَثِيرٌ مِنْ مُجْتَهِدِي السَّلَفِ وَالْخَلَفِ قَدْ قَالُوا
وَفَعَلُوا مَا هُوَ بِدْعَةٌ وَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ بِدْعَةٌ إمَّا
لِأَحَادِيثَ ضَعِيفَةٍ ظَنُّوهَا صَحِيحَةً وَإِمَّا لِآيَاتِ فَهِمُوا مِنْهَا
مَا لَمْ يُرَدْ مِنْهَا وَإِمَّا لِرَأْيٍ رَأَوْهُ وَفِي الْمَسْأَلَةِ نُصُوصٌ
لَمْ تَبْلُغْهُمْ. وَإِذَا اتَّقَى الرَّجُلُ رَبَّهُ مَا اسْتَطَاعَ – يعني: من
هؤلاء العلماء الذين أخطؤوا - دَخَلَ فِي قَوْلِهِ: {رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا
إنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا} ، وَفِي الصَّحِيحِ أَنَّ اللَّهَ قَالَ: "
قَدْ فَعَلْت".
“Banyak mujtahid Salaf dan Kholaf telah berpendapat dan melakukan apa
yang merupakan bid'ah, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah bid'ah,
Entah karena dha’ifnya hadits yang mereka anggap shahih, atau karena ayat-ayat
yang mereka pahami yang tidak ada keterangan yang sampai kepadanya tentang
makna ayat-ayat tsb, atau karena pendapat yang mereka lihat, padahal dalam hal
itu ada nash yang belum sampai kepada mereka.
Dan jika ada seseorang yang berusaha semampunya agar bisa bertakwa
kepada Rabbnya ; maka dia masuk dalam katagori firman Allah SWT: ”
[رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا]
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah”
Dan dalam hadits Shahih, Allah telah berfirman: Aku telah melakukan.
[Majmu’ al-Fataawaa: 19/191-192].
****
FATWA SYEIKH AL-UTSAIMIIN:
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
وَالْأَصْلُ فِي الْمُسْلِمِ الظَّاهِرِ الْعَدْلُ بَقَاءُ إِسْلَامِهِ
وَبَقَاءُ عَدَالَتِهِ، حَتَّى يَتَحَقَّقَ زَوَالُ ذَلِكَ عَنْهُ بِمُقْتَضَى
الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ. وَلَا يَجُوزُ التَّسَاهُلُ فِي تَكْفِيرِهِ أَوْ
تَفْسِيقِهِ؛ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ مُحَذَّرَيْنِ عَظِيمَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: افْتِرَاءُ الْكَذِبِ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الْحُكْمِ،
وَعَلَى الْمَحْكُومِ عَلَيْهِ فِي الْوَصْفِ الَّذِي نَبَذَهُ بِهِ.
الثَّانِي: الْوَقُوعُ فِيمَا نَبَذَ بِهِ أَخَاهُ إِنْ كَانَ سَالِمًا
مِنْهُ.
فِي صَحِيحَيِ الْبُخَارِيِّ (6104) وَمُسْلِمٍ (60) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا
أَحَدُهُمَا" وَفِي رِوَايَةٍ: "إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا
رَجَعَتْ عَلَيْهِ"
Prinsip dasar pada seorang muslim yang secara lahiriahnya tampak bijak
dan berakhlak baik adalah tetap dianggap sebagai seorang Muslim yang bijak dan
berakhlak baik, sampai betul-betul terbukti hilangnya semua itu berdasarkan
tuntutan dalil Syar'i.
Tidak boleh menganggap enteng soal menilai seseorang sebagai kafir atau
faasiq, karena hal tersebut menyangkut dua hal yang sangat serius:
Pertama: Ini berarti mengarang kebohongan terhadap Allah sehubungan
dengan keputusan ini, dan mengarang kebohongan terhadap orang yang
diadili.
Kedua: Jatuh ke dalam apa yang dituduhkan kepada saudaranya, jika dia
itu ternyata bebas dari tuduhan tersebut.
Dalam Shahih al-Bukhaari (6104) dan Shahih Muslim (60) diriwayatkan dari
'Abd-Allaah ibn 'Umar (ra dengan dia) bahwa Nabi (damai dan berkah Allah
besertanya) mengatakan:
"Jika seorang laki-laki menyatakan saudaranya kafir, maka itu
berlaku bagi salah seorang dari mereka.”
Menurut riwayat lain: "Iya, jika itu seperti yang dia katakan, tapi
jika tidak, maka itu akan kembali padanya.". [Baca: al-Qawaa'id al-Mutslaa
hal. 87 dan Majmu' Fatawa wa Rosaail Ibnu Utsaimin 3/342].
===
FATWA SYEIKH AL-MUNAJJID:
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid dalam Blog Islam Soal Jawab 1/88 no.
85102:
وَمِنَ الْمَوَانِعِ أَنْ يَكُونَ مُتَأَوِّلًا: يَعْنِي أَنْ تَكُونَ
عِنْدَهُ بَعْضُ الشُّبُهَاتِ الَّتِي يَتَمَسَّكُ بِهَا وَيَظُنُّهَا أَدِلَّةَ
حَقِيقِيَّةً، أَوْ يَكُونَ لَمْ يَسْتَطِعْ فَهْمَ الْحُجَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
عَلَى وَجْهِهَا، فَالتَّكْفِيرُ لَا يَكُونُ إِلَّا بِتَحْقِيقِ تَعَمُّدِ الْمُخَالَفَةِ
وَارْتِفَاعِ الْجَهَالَةِ.
قَالَ تَعَالَى: "وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم
بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَّحِيمًا" الْأَحْزَابِ/٥
“Salah
satu penghalang [bagi kita untuk mengkafirkan seseorang] adalah jika orang
tersebut memiliki pentakwilan lain: Yakni apabila seseorang memiliki beberapa
syubah [sisi kebenaran] yang ia pegang teguh dan menganggapnya sebagai dalil
yang hakiki, atau jika ia tidak mampu memahami dalil syar'i secara tepat pada
sasaran ; maka pemberian label kafir (mengkafirkan) tidak boleh dilakukan
kecuali setelah terbukti adanya kesengajaan darinya untuk menyelisihi kebenaran
dan dia telah mengetahui kebenaran itu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan tidak ada dosa atas kalian
terhadap kesalahan yang kalian perbuat yang tidak disengaja, tetapi apa yang
disengaja oleh hati kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Al-Ahzab/33:5)".
****
PENUTUP:
Sebagai penutup artikel ini, penulis katakan: bahwa orang-orang munafiq
yang paling jahat dan keji terhadap Rosulullah ﷺ
adalah mereka yang
dengan sengaja merencanakan pembunuhan terhadapnya. Yaitu dengan cara hendak
melemparkan beliau ﷺ dari atas gunung ke jurang
saat perang Tabuk, mereka berjumlah 12 orang dengan memakai cadar, agar tidak
dikenal. Namun dengan pertolongan Allah SWT, rencana mereka gagal, dan
wajah-wajah mereka diperlihatkan oleh Allah SWT kepada Rosulullah ﷺ.
Dan beliau pun merahasiakan mereka semua, kecuali kepada sahabat
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu 'anhu. Dan Hudzaifah juga dibai'at untuk
tidak menceritakannya kepada siapapun.
Nabi ﷺ juga tidak menyuruh para sahabat untuk mentahdzir dan menghajer mereka,
padahal mereka itu sangat berbahaya bagi Nabi ﷺ
dan umat Islam. Kalo
saja Allah SWT tidak menggagalkan, tentunya mereka telah berhasil membunuh
beliau ﷺ. Wallaahu a'lam.
Bukankah dengan merahasikannya itu akan menyebabkan umat Islam
menshalati mayat mereka ketika mereka wafat? Jika seandainya menshalati nya itu
diharamkan, maka dengan demikian Rosululhah ﷺ
telah membiarkan para
sahabatnya berbuat dosa ketika orang-orang munafiq itu mati lalu para sahabat
menshalatinya.
Berikut ini kisah tentang 12 orang munafiq yang berkehendak membunuh
Nabi ﷺ. Di kutip dari Tafsir Ibnu Katsir:
Allah swt berfirman:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ
وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا
إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا
يَكُ خَيْرًا لَهُمْ ۖ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا
أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ
وَلَا نَصِيرٍ
Artinya: “ Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah
menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat
mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena
Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.
Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika
mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di
dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan
tidak (pula) penolong di muka bumi. [QS. At-Taubah: 74]
Firman Allah Swt.:
وَهَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا
“dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya. (At-Taubah:
74)”
Di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ada sejumlah orang munafik yang
berniat hendak membunuh Nabi ﷺ. dalam Perang Tabuk, yaitu di
suatu malam ketika Rasulullah ﷺ. masih berada dalam
perjalanan menuju ke arahnya. Mereka terdiri atas belasan orang lelaki.
Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka.
Hal ini jelas disebutkan dalam riwayat Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di
dalam kitab Dalailun Nubuwwah melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari
Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Huzaifah ibnul Yaman
radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan,
كُنْتُ آخِذًا بِخِطَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَقُودُ بِهِ،
وَعَمَّارٌ يَسُوقُ النَّاقَةَ -أَوْ أَنَا: أَسُوقُهُ، وَعَمَّارٌ يَقُودُهُ
-حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْعَقَبَةِ فَإِذَا أَنَا بِاثْنَيْ عَشَرَ رَاكِبًا قَدِ
اعْتَرَضُوهُ فِيهَا، قَالَ: فَأَنْبَهْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ [بِهِمْ] فَصَرَخَ
بِهِمْ فَوَلَّوْا مُدْبِرِينَ، فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "هَلْ
عَرَفْتُمُ الْقَوْمَ؟ قُلْنَا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ كَانُوا
مُتَلَثِّمِينَ، وَلَكُنَّا قَدْ عَرَفْنَا الرِّكَّابَ. قَالَ: "هَؤُلَاءِ
الْمُنَافِقُونَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَهَلْ تَدْرُونَ مَا أَرَادُوا؟
" قُلْنَا: لَا. قَالَ: "أَرَادُوا أَنْ يَزْحَمُوا رَسُولَ اللَّهِ فِي
الْعَقَبَةِ، فَيُلْقُوهُ مِنْهَا". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوَ لَا
تَبْعَثُ إِلَى عَشَائِرِهِمْ حَتَّى يَبْعَثَ إِلَيْكَ كُلُّ قَوْمٍ بِرَأْسِ
صَاحِبِهِمْ؟ قَالَ: "لَا أَكْرَهُ أَنْ تَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ بَيْنَهَا
أَنَّ مُحَمَّدًا قَاتَلَ بِقَوْمٍ حَتَّى [إِذَا] أَظْهَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ
أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ يَقْتُلُهُمْ"، ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ ارْمِهِمْ
بِالدُّبَيْلَةِ". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الدُّبَيْلَةُ؟
قَالَ: "شِهَابٌ مِنْ نَارٍ يَقَعُ عَلَى نِيَاطِ قَلْبِ أَحَدِهِمْ
فَيَهْلِكُ"
"Saya memegang tali kendali unta Rasulullah ﷺ. seraya menuntunnya, sedangkan Ammar menggiring unta itu; atau
Ammar yang menuntunnya, sedangkan saya yang menggiringnya.
Ketika kami sampai di' Aqabah, tiba-tiba kami bersua dengan dua belas
lelaki penunggang kuda yang datang menghalangi jalan Rasulullah ﷺ. ke medan Tabuk.
Maka saya mengingatkan Rasul ﷺ.
akan sikap mereka itu, lalu Rasulullah ﷺ.
meneriaki mereka, dan akhirnya mereka lari mundur ke belakang.
Rasulullah ﷺ. bersabda kepada
kami, 'Tahukah kalian siapakah kaum itu?'
Kami menjawab, 'Tidak, wahai Rasulullah, karena mereka memakai cadar.
Tetapi kami mengenali mereka dari pelana-pelananya.'
Rasulullah ﷺ. bersabda, 'Mereka
adalah orang-orang munafik sampai hari kiamat. Tahukah kalian apakah yang
hendak mereka lakukan?'
Kami menjawab, 'Tidak tahu.'
Rasulullah ﷺ. menjawab, 'Mereka
bermaksud mendesak Rasulullah ﷺ. di 'Aqabah. Dengan demikian,
maka mereka akan menjatuhkannya ke Lembah "Aqabah.'
Kami (para sahabat) berkata. 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami
mengirimkan orang kepada keluarga mereka sehingga masing-masing kaum
mengirimkan kepadamu kepala teman mereka itu?'
Rasulullah ﷺ. bersabda, 'Jangan, aku
tidak suka bila kelak orang-orang Arab mempergunjingkan di antara sesama mereka
bahwa Muhammad telah berperang bersama suatu kaum, tetapi setelah Allah
memberikan kemenangan kepadanya bersama mereka, lalu ia berbalik memerangi mereka.'
Kemudian Rasulullah ﷺ. berdoa, 'Ya Allah,
lemparlah mereka dengan Dubailah' Kami bertanya, 'Wahai Rasulullah,
apakah Dubailah itu?'
Rasul ﷺ menjawab, 'Bara api yang mengenai
bagian dalam hati seseorang di antara mereka, lalu ia binasa. (SELESAI)
Penulis katakan: Berkenaan dengan hadits ini salah seorang ulama
mengatakan:
وَبَالرَّغْمِ مِنْ وُضُوحِ هَذِهِ الْجَرِيمَةِ الْغَادِرَةِ، تَجَلَّى
مَوْقِفُ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْعَظِيمُ تَجَاهَ
هَؤُلَاءِ النَّفَرِ، بِالتَّسَامُحِ وَالْعَفْوِ عَنْهُمْ، وَذَلِكَ حِفَاظًا
عَلَى سِمَعَةِ الْفِئَةِ الْمُؤْمِنَةِ، وَمَخَافَةً أَنْ يَقُولَ النَّاسُ:
إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ.
Terlepas dari kejelasan kejahatan pengkhianatan ini, telah nampak sikap
agung Nabi ﷺ terhadap orang-orang ini dalam bentuk tasaamuh dan pemaafan bagi mereka.
Yang demikian itu beliau ﷺ
lalukan untuk menjaga
reputasi atau nama baik orang-orang beriman, dan untuk menjaga jangan sampai
orang-orang berkata: Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.
Ibnu katsir berkata:
وَكَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لَا يُصَلِّي عَلَى جِنَازَةِ مَنْ جُهِل
حَالُهُ، حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهَا حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ
يَعْلَمُ أَعْيَانَ مُنَافِقِينَ قَدْ أَخْبَرَهُ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ؛
وَلِهَذَا كَانَ يُقَالُ لَهُ: "صَاحِبُ السِّرِّ" الَّذِي لَا يَعْلَمُهُ
غَيْرُهُ أَي مِنَ الصَّحَابَةِ
"Umar bin Khattab tidak akan shalat atas jenazah seseorang yang
keadaannya tidak diketahui, sampai Hudhaifah bin Yaman mau menshalatinya. Hal
ini karena Hudzaifah mengetahui identitas orang-orang munafik yang telah
diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya. Oleh
karena itu, dia dikenal sebagai 'Shohib As-Sirr', yaitu orang yang mengetahui
rahsaia yang tidak orang lain tidak mengetahuinya, yakni dari kalangan para
Sahabat." [Tafsir Ibnu Katsir 4/195]
0 Komentar