Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI:
- HADITS INI PALSU TAPI MAKNANYA SHAHIH
- AGAMA INI ADALAH RAHMAT
- LARANGAN MENCACI ORANG KAFIR, APALAGI SESAMA UMAT ISLAM YANG BEDA PENDAPAT.
- JENIS DAN TINGKATAN MASALAH AGAMA YANG DIPERSELISIHKAN
- HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA
- PERBEDAAN PENDAPAT PADA ZAMAN NABI ﷺ:
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA SAHABAT SETELAH NABI ﷺ WAFAT:
- PERNYATAAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT:
- IMAM MALIK MENOLAK PENYATUAN UMAT ISLAM DENGAN MADZHABNYA
- PERNYATAAN PARA ULAMA: “MESKI BEDA PENDAPAT TAPI HARUS BERSATU”.
- JANGAN BERTENGKAR KARENA BERBEDA PENDAPAT
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
HADITS INI PALSU TAPI MAKNANYA SHAHIH
Nash hadits:
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً
" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat ".
Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar.
Silakan merujuk ke "Al-Maqaasid al-Hasanah" karya al-Sakhowi (hal 26), "Al-Ajwibah al-Murḍhiyyah Fii Mā Su'ila 'Anhu min al-Ahadith al-Nabawiyah" karya (al-Sakhawi) (1/104), "Al-Mu'tabar fi Takhrij Ahadits al-Minhaj wa al-Mukhtashar" karya al-Zarkashi (hal. 227/277), "Ittihaaf as-Saadah al-Muttaqin" karya al-Zubaidi (1/205), "Tamyiz ath-Ṭhoyyib min al-Khabits" (hal. 9), "Kasyf al-Khofaa" karya al-'Ajluni (1/64), "Tadzkirah al-Mawdhu'aat" (hal. 90), dan "Al-Asroor al-Marfū'ah" (hal. 108) karya Mullah Ali al-Qari.
Al-Munawi dalam "Fayd al-Qadir" 1/ 212 berkata:
"قَالَ السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"
"As-Suyuti berkata: Hadits ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih atau yang maudhu' (palsu)."
Sedangkan Syaikh Ahmad bin As-Siddiq al-Ghumari dalam "Al-Madawi" 1/235 setelah mengutip catatan as-Suyuti tentang hadits ini dalam "Al-Jami' Ash-Shaghir" berkata:
"رواه نَصْرٌ المَقدَسِي في الحُجَّة، والبيهقِيّ في الرِسَالَة الأَشْعَرِيَّة بِغَيْرِ سِندٍ، وأَوْرَدَه الحليمِيُّ والقاضِي حُسَيْن وإِمَام الحَرَمَيْن وَغَيْرُهُم، وَلَعَلَّهُ خَرَجَ فِي بَعْضِ كُتُبِ الحَفَّاظِ الَّتِي لَمْ تَصِلْ إِلَيْنَا."
قُلْتُ – يَعْنِي الحَافِظُ أَحْمَدُ بْنُ الصِّدِّيقِ -:
"Nashr al-Maqdisi meriwayatkannya dalam "Al-Hujjah", dan al-Baihaqi dalam "Ar-Risalah al-Asy'ariyyah" tanpa sanad. Hal ini juga disebutkan oleh al-Hulaimi, al-Qadhi Husain, Imam al-Haramain, dan lainnya. Mungkin hadits ini juga terdapat di beberapa kitab para ahli hadits yang belum sampai kepada kita."
Lalu al-Hafidz Ahmad bin Ash-Shiddiq berkata:
"يُعَابُ عَلَى الْمُصَنِّفِ – أَيِ السِّيُّوطِيِّ – إِيْرَادُهُ لِهَذَا الحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ الْبَاطِلِ الَّذِي لَا أَصْلَ لَهُ، مَعَ عَدَمِ وَقُوفِهِ عَلَى مَخْرَجٍ لَهُ، وَمَنِ اعْتَمَدَ عَلَى ذِكْرِهِمْ إِيَّاهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَغْتَرَّ بِهِمْ، فَإِنَّهُمْ قَوْمُ صِنَاعَتِهِمْ الْفِقْهُ، وَلَا دَارِيَّةَ لَهُمْ بِالْحَدِيثِ مُطْلَقًا، بَلْ مِنْهُمْ مَنْ يُوَرِّدُ الْحَدِيثَ الْمَوْضُوعَ مُحْتَجًا بِهِ فِي حُكْمٍ، ثُمَّ يَعْزُوهُ إِلَى الصَّحِيحَيْنِ. وَالْبَيْهَقِيُّ – وَإِنْ كَانَ حَافِظًا – إِلَّا أَنَّ الرُّوحَ الْفِقْهِيَّةَ غَالِبَةٌ عَلَيْهِ مَعَ مِيلٍ وَتَعَصُّبٍ، وَمَا حَمَلَهُ عَلَى إِيْرَادِهِ فِي الرِّسَالَةِ الأَشْعَرِيَّةِ بِدُونِ إِسْنَادٍ إِلَّا ذَلِكَ" انْتَهَى".
"Kita menyalahkan penulis – yaitu as-Suyuti – karena menyebutkan hadits palsu dan bathil ini yang tidak memiliki dasar, tanpa berdiri diatas sumber untuknya. Jika seseorang mengandalkan mereka dalam menyebutkannya, seharusnya dia tidak terpengaruh oleh mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang keahliannya menghasilkan hukum fiqh (ilmu fikih), dan mereka tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang hadits. Bahkan di antara mereka ada yang menyebutkan hadits palsu ini sebagai dalil dalam hukum, kemudian mengaitkannya dengan dua kitab hadits shahih [Bukhori dan Muslim]. Al-Baihaqi, meskipun dia seorang hafidz, namun dipengaruhi oleh jiwa fikih yang dominan padanya dengan adanya kecenderungan dan fanatisme, dan itulah yang mendorongnya untuk menyebutkannya dalam "Ar-Risalah al-Ash'ariyyah" tanpa ada sanad yang menguatkan, tiada lain."- Selesai.
Ali al-Mala’ al-Qoori berkata :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا : " اخْتِلَافُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ".
وَذَكَرَ ابْنُ سَعْدٍ فِي طَبَقَاتِهِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَّمَدٍ قَالَ : "كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحْمَةٌ لِلنَّاسِ".
قُلْتُ وَمَفْهُومُهُ أَنَّ اخْتِلَافَ غَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ رَحْمَة وَنِقْمَةٌ وَمِمَّا يُؤَيِّدُهُ مَعْنًى وَإِنِ اخْتَلَفَ مَبْنًى حَدِيثُ :
" لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ " .
رَوَاهُ ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ فِي السُّنَّةِ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ .
وَرَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ بِلَفْظِ : " لَا يَجْمَعُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا".
وَفِي مُسْتَدْرَكِ الْحَاكِمِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَفَعَهُ : " لَا يَجْمَعُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ ".
وَرَوَاهُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ . وَالطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ عَنْ أَبِي بَصْرَةَ الْغِفَارِيِّ مَرْفُوعًا
Dari Ibnu Abbas secara marfu': "Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian ."
Ibnu Sa'ad dalam kitab Tabaqatnya meriwayatkan dari Al-Qasim bin Muhammad, ia berkata: "Perbedaan pendapat di antara sahabat Muhammad ﷺ adalah rahmat bagi manusia."
Saya katakan, maknanya adalah bahwa perbedaan pendapat di luar umat ini adalah adzab dan siksaan, dan yang mendukung makna tersebut adalah hadis yang berbunyi:
"Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan."
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Asim dalam As-Sunnah dari hadis Anas.
Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadis Ibnu Umar dengan lafadz:
"Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya."
Dan dalam kitab Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas yang marfu':
"Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah."
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dari Abu Bashrah Al-Ghifari secara marfu'. [Lihat : al-Asraar al-Marfuu’ah hal. 86].
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas: Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" ini meski tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar dan shahih.
Untuk menjelaskan kebenaran maknanya, maka perlu memahami makna "al-ikhtilaaf. Karena ada perbedaan antara makna al-ikhtilaaf [الاختلاف] dan al-Khilaaf [الخلاف].
Makna al-ikhtilaaf [الاختلاف]: perbedaan pendapat berdasarkan dalil.
Dan makna al-Khilaaf [الخلاف]: perselisihan pendapat tanpa dalil.
Imam ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya "al-Mufrodaat Fii Ghariib al-Qur'ān" hal. 294 menyatakan:
ٱلْـاخْـتِـلاَفُ وَالْـمُـخَـالَـفَـةُ: أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيقًا غَيْرَ طَرِيقِ الْـآخَـرِ فِي حَالِهِ أَوْ قَوْلِهِ
"Perbedaan dan pertentangan adalah ketika setiap orang mengambil jalan yang berbeda, bukan jalan orang lain dalam keadaan atau perkataannya."
Artinya: masing-masing berjalan diatas jalannya tanpa adanya konflik atau perpecahan, sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Raghib dalam penutup perkataannya, yaitu:
وَلَمَّا كَانَ الِاخْتِلَافُ بَيْنَ النَّاسِ فِي القَوْلِ قَدْ يَقْتَضِي التَّنَازُعَ، اسْتَعِيرَ ذَلِكَ لِلْمُنَازَعَةِ وَالْمُجَادَلَةِ. قَالَ تَعَالَى: (فَٱخْتَلَفَ ٱلْأَحْزَابُ مِن بَيْنِهِمْ)، (وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ....) "انتَهَى".
"Ketika perbedaan pendapat antara manusia dalam perkataan itu terkadang dapat menimbulkan perselisihan, maka istilah ini dipinjam untuk menyebut "perselisihan" dan "perdebatan". Allah berfirman:
(فَٱخْتَلَفَ ٱلْأَحْزَابُ مِن بَيْنِهِمْ)
' Maka golongan-golongan itu saling berbeda pendapat di antara mereka".
[az-Zukhruf: 65].
Dan Allah berfirman:
(وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ....)
"Dan mereka senantiasa berbeda (pendapat)". [Huud: 118] [Kutipan Selesai].
Al-ikhtilaaf [الاختلاف] dalam asal bahasa tidak mangandung arti pertengkaran dan perpecahan, akan tetapi realitas manusia dan jiwa mereka yang tidak mampu menanggung itu, dan dada mereka yang merasa sempit jika terjadi beda pendapat dengan orang lain, maka menjadikan perbedaan pendapat ini sebagai penyebab pertengkaran, perdebatan dan konflik..
Al-Qur'an yang mulia dalam beberapa ayatnya menyinggung makna ini yang terjadi sebagai hasil yang diperoleh. Yakni kata al-ikhtilaaf [الاختلاف] dimaknai dengan perselisihan dan perpecahan.
Abu al-Baqā' al-Kafawī dalam "Al-Kulliyāat" 1/79-80 menjelaskan perbedaan antara al-ikhtilaaf [perbedaan] dan al-Khilaaf [perselisihan]:
ٱلْاخْتِلاَفُ هُوَ أَنْ يَكُونَ ٱلطَّرِيقُ مُخْتَلِفًا، وَٱلْمَقْصُودُ وَاحِدًا، وَٱلْخِلَافُ: هُوَ أَنْ يَكُونَ كِلَاهُمَا – أَيِ ٱلطَّرِيقُ وَٱلْمَقْصُودُ – مُخْتَلِفًا. وَٱلْإِخْتِلَافُ: مَا يَسْتَنَدُ إِلَى دَلِيلٍ. وَٱلْخِلَافُ: مَا لَا يَسْتَنَدُ إِلَى دَلِيلٍ. وَٱلْإِخْتِلَافُ مِنْ ءَاثَارِ ٱلرَّحْمَةِ...، وَٱلْخِلَافُ: مِنْ ءَاثَارِ ٱلْبِدْعَةِ…".
"Al-ikhtilaaf adalah ketika jalannya berbeda, tetapi tujuannya sama, sedangkan perselisihan adalah ketika keduanya – yaitu jalannya dan tujuannya – berbeda.
Al-ikhtilaaf didasarkan pada dalil, sedangkan perselisihan tidak didasarkan pada dalil.
Al-iktilaaf [perbedaan] adalah pengaruh dari RAHMAT…, sedangkan perselisihan adalah dampak dari bid'ah...". [Kutipan selesai]
Yang dimaksud dengan al-ikhtilaaf [perbedaan] dalam hadits ini adalah perbedaan dalam cabang-cabang hukum fiqh [الفروع الفقهية].
Ada banyak sebab dan alasan mengapa terjadi perbedaan? Di antaranya adalah karena karakter pikiran orang-orang mukallaf dan jiwa mereka, tabiat nash-nash taklifi, dan tabiat bahasa Arab yang digunakan dalam nash-nash ini.
ADA ORANG YANG MEMBANTAH HADITS TSB DAN MENGKRITIK MAKNANYA:
Ada sebagian orang mengkriktik, menentang dan membantahnya dengan menyebutkan mafhum mukholafah dari makna hadits tersebut dengan mengatakan:
لَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الِاتِّفَاقُ عَذَابًا.
"Jika perbedaan pendapat itu adalah rahmat, berarti kesepakatan pendapat itu adalah adzab".
Imam al-Khaththabi (wafat 388 H) dalam kitabnya "A'lām al-Hadīts" 1/219-221 menyebutkan adanya kritikan, bantahan dan penentangan terhadap hadits ini dari sebagian orang.
Dan disebutkan juga al-Hāfizh as-Sakhāwī dalam "al-Ajwibah al-Murḍhīyyah" 1/104, juga al-Qasthalānī dalam "al-Mawāhib" 5/391, diikuti oleh al-'Ajlūnī dalam "Kasyf al-Khofā" 1/65, dan 'Alī al-Qārī dalam "al-Asrār al-Marfū'ah" hal. 108, serta yang lainnya.
Mereka mengaitkannya dengan "Gharīb al-Hadīth" karya al-Khaththabi, meskipun perkataan al-Khaththabi itu sebenarnya ada dalam kitabnya Syarah Shahih al-Bukhāri yang disebut "A'lām al-Hadīts".
Imam al-Khaththabi berkata:
أَمَّا قَوْلُ الْقَائِلِ: لَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الِاتِّفَاقُ عَذَابًا، لِأَنَّهُ ضِدُّهُ: فَهَذَا قَوْلٌ لَمْ يَصِدَّ عَنْ نَظَرٍ وَرَوِيَّةٍ، وَقَدْ وُجِدَتْ هَذَا الْكَلَامَ لِرَجُلَيْنِ اعْتَرَضَا بِهِ عَلَى الْحَدِيثِ.
أَحَدُهُمَا: مُغْمُوصٌ عَلَيْهِ فِي دِينِهِ – وَهُوَ عَمْرُو بْنُ بَحْرٍ، الَّذِي يُعْرَفُ بِالْجَاحِظِ –
وَالْآخَرُ: مَعْرُوفٌ بِالسُّخَفِ وَالْخِلَاعَةِ فِي مَذْهَبِهِ، وَهُوَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَوْصُولِيُّ، فَإِنَّهُ لَمَّا وَضَعَ كِتَابَهُ فِي "الْأَغَانِي" وَأَمْعَنَ فِي تِلْكَ الْأَبَاطِيلِ، لَمْ يَرْضَ بِمَا تَزَوَّدَهُ مِنْ إِثْمِهَا حَتَّى صَدَرَ كِتَابُهُ بِذَمِّ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، وَالْحَطَبِ عَلَيْهِمْ، وَزَعَمَ أَنَّهُمْ يَرَوْنَ مَا لَا يَدْرُونَ، وَذَكَرَ بِأَنَّهُمْ رَوَوْا هَذَا الْحَدِيثَ – اِخْتِلَافُ أُمَّتِي – أَوْ أَصْحَابِي رَحْمَةً – ثُمَّ قَالَ: وَلَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الِاتِّفَاقُ عَذَابًا.
ثُمَّ تَكَايَسَ وَتَعَاقَلَ فَأَدْخَلَ نَفْسَهُ فِي جُمْلَةِ الْعُلَمَاءِ، وَشَارَكَهُمْ فِي تَفْسِيرِهِ وَتَأْوِيلِهِ، فَقَالَ: وَإِنَّمَا كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً مَا دَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيًّا بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ، فَإِنَّهُمْ إِذَا اخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ فَأَجَابَهُمْ، وَبَيَّنَ لَهُمْ مَا اخْتَلَفُوا فِيهِ، لَيْسَ فِيمَا يَخْتَلِفُونَ بَعْدَهُ.
وَزَعَمَ أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُونَ وُجُوهَ الْأَحَادِيثِ وَمَعَانِيهَا، فَيَتَأَوَّلُونَهَا عَلَى غَيْرِ جِهَاتِهَا.
"Adapun pernyataaan orang yang mengatakan: 'Jika perbedaan pendapat itu adalah rahmat, maka kesepakatan pendapat akan menjadi adzab,' ini adalah pendapat yang tidak didasarkan pada pengamatan dan pengetahuan.
Saya menemukan perkataan ini berasal dari dua orang yang menentang hadits tersebut:
Salah satunya adalah: Amr bin Bahr, yang dikenal sebagai al-Jāḥidẓ (yang melotot matanya). Dia orang yang tercela dalam agamanya [Dia dari sekte Mu'tazilah]
Dan yang lainnya: orang yang dikenal konyol, lemah akal dan tidak bermoral dalam madzhabnya, dan dia adalah Isḥāq bin Ibrāhīm al-Mawshilī.
Ketika ia [al-Mawshilī] menulis kitabnya "al-Aghānī [Buku kumpulan lagu-lagu dan nyanyian. Dia seorang penyanyi dan pemain musik, dia juga penyair, pencipta lagu dan penata musik]", dia menyebarkan banyak kebid'ahan dalam bukunya.
Dan Ia tidak puas dengan dosa yang sudah ia peroleh dari nyanyian dan musiknya, maka ia menulis kitabnya dengan mencela para ahli hadits dan menghina mereka, sambil mengklaim bahwa mereka [para ahli hadits] meriwayatkan hadits yang mereka sendiri tidak faham, yaitu hadits ini:
اخْتِلَافُ – أَوْ أَصْحَابِي – أُمَّتِي رَحْمَةً
" Perbedaan pendapat dalam umatku – atau para sahabat ku – adalah rahmat ".
Kemudian ia berkata:
لَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الِاتِّفَاقُ عَذَابًا.
"Jika perbedaan pendapat itu adalah rahmat, berarti kesepakatan pendapat itu adalah adzab".
Kemudian ia bikin rekayasa dan mencari patner, maka ia memasukkan dirinya dalam kelompok para ulama, dan ia ikut serta dalam menafsirkan dan menakwilkan hadits-hadits tersebut. Lalu Ia mengklaim dengan mengatakan:
Perbedaan pendapat hanyalah menjadi rahmat selama Rasulullah ﷺ masih hidup di antara mereka. Ketika mereka berselisih, mereka akan bertanya kepadanya dan beliau ﷺ pun akan menjawab mereka. Beliau ﷺ juga akan menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perdebatkan tentangnya selama dirinya masih hidup, namun setelah beliau wafat maka beliau ﷺ tidak bisa menjelaskan lagi apa yang mereka perselisihkan tentangnya.
Dia [Ishaq al-Mawshily] mengklaim bahwa mereka para ahli hadits tidak mengetahui arah tujuan hadits dan artinya [alias bodoh], sehingga mereka menafsirkannya tidak sesuai dengan arah tujuannya ". [Lihat: "A'lām al-Hadīts" 1/219-221]
Lalu Imam al-Khaththabi berkata dalam menanggapi bantahan serta kritikan Al-Jahidz dan Ishaq Al-Mawshili dengan mengatakan:
وَالْجَوَابُ عَمَّا أَلْزَمَانَا مِن ذَلِكَ، يُقَالُ لَهُمَا: إِنَّ الشَّيْءَ وَضْدُهُ يَجْتَمِعَانِ فِي الْحِكْمَةِ، وَيَتَفَقَانِ فِي الْمَصْلَحَةِ ۚ أَلَا تَرَىٰ أَنَّ الْمَوْتَ لَمْ يَكُنْ فَسَادًا، وَإِنْ كَانَتِ الْحَيَاةُ صَلَاحًا، وَلَمْ يَكُنِ السَّقَمُ سُفَهًا، وَإِنْ كَانَتِ الصِّحَّةُ حِكْمَةً، وَلَا الْفَقْرُ خَطَأً إِذَا كَانَ الْغِنَىٰ صَوَابًا. وَكَذَٰلِكَ الْحَرَكَةُ وَالسُّكُونُ، وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، وَمَا أَشْبَهُهَا مِنَ الْأَضْدَادِ. وَقَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ: (وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ) فَسُمِّيَ اللَّيْلُ رَحْمَةً، فَهَلْ أَوْجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّهَارُ عَذَابًا مِنْ قَبْلُ أَنَّهُ ضِدُّهُ.
وَفِي هَٰذَا بَيَانُ خَطَأٍ مَا ادَّعَاهُ هَٰؤُلَاءِ. وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
وَأَمَّا وَجْهُ الْحَدِيثِ وَمَعْنَاهُ: فَإِنَّ قَوْلَهُ: "اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ"، كَلَامٌ عَامٌّ اللَّفْظُ خَاصٌّ المَرَادُ، وَإِنَّ
مَا هُوَ الِاخْتِلَافُ الْمَذْمُومُ فِي إِثْبَاتِ الصَّانِعِ وَوَحْدَانِيَّتِهِ وَهُوَ كُفْرٌ، وَاخْتِلَافٌ فِي صِفَاتِهِ وَمَشِيئَتِهِ وَهُوَ بِدْعَةٌ.
وَكَذَٰلِكَ مَا كَانَ مِنْ اخْتِلَافِ الْخَوَارِجِ وَالرَّوَافِضِ فِي إِسْلَامِ بَعْضِ الصَّحَابَةِ.
وَاخْتِلَافٌ فِي الْحَوَادِثِ مِنْ أَحْكَامِ الْعِبَادَاتِ الْمُحْتَمَلَةِ الْوُجُوهِ، جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَىٰ يُسْرًا وَرَحْمَةً وَكَرَامَةً لِلْعُلَمَاءِ مِنْهُمْ. "انتهى كلام الْخَطَابِيِّ".
Jawaban atas apa yang disebutkan oleh mereka berdua, maka kita katakan pada mereka berdua:
Sesungguhnya sesuatu itu dan kebalikannya kadang dapat bersatu dalam hikmah dan bisa bersama dalam kemashlahatan.
Tidakkah kamu melihat bahwa kematian itu bukanlah berarti keburukan, meskipun kehidupan itu kebaikan? Penyakit itu bukanlah berarti safah [kebodohan], meskipun kesehatan itu hikmah [kecerdesan]? Dan kemiskinan bukanlah kesalahan meskipun kekayaan itu adalah kebenaran?.
Begitu pula dengan "bergerak" dan "diam", "malam" dan "siang", dan segala macam yang serupa dengan itu semua dari lawan-lawannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ
Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam [QS. al-Qashash: 73].
Maka dalam ayat ini: malam disebut sebagai "rahmat", lalu apakah wajib bahwa siang itu menjadi adzab, hanya karena dilihat dari sisi makna bahwa siang itu kebalikannya?
Dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang kesalahan yang mereka klaim. Al-Hamdulillah.
Adapun maksud hadits ini dan maknanya, yaitu hadits "Perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat," maka itu adalah perkataan yang bersifat umum dalam lafadz dan bersifat khusus dalam maksud.
Dan adapun perbedaan pendapat yang tercela maka itu adalah dalam hal yang berkenaan dengan pokok agama contohnya seperti menetapkan tentang adanya Sang Pencipta dan ke-Esaan-Nya, dan itu adalah kekufuran. Serta perbedaan pendapat dalam menetapkan sifat-sifat-Nya dan kehendak-Nya, maka itu adalah bid'ah. Demikian juga perbedaan pendapat yang terjadi antara Khawarij dan Rafidhah dalam hal keislaman sebagian dari para sahabat.
Adapun perbedaan pendapat dalam hal peristiwa-peristiwa dari beberapa hukum ibadah yang mungkin memiliki beberapa interpretasi, maka Allah telah menjadikannya kemudahan, rahmat, dan kemuliaan bagi para ulama di antara mereka." [Sampai di sini perkataan Al-Khaththabi. Lihat: "A'lām al-Hadīts" 1/219-221].
Syeikh Majd Makky dalam artikelnya ما صحة حديث اختلاف أمتي رحمة berkata:
وَقَدْ تَلَقَّى الْعُلَمَاءُ هَذَا الْكَلَامَ مِنَ الْإِمَامِ الْخَطَّابِيِّ بِالرِّضَا وَالتَّسْلِيمِ وَالْقَبُولِ، مِنْهُمْ الْإِمَامُ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي "شَرْحِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ": 91-92، وَصَدَّرَ الْجَوَابَ عَنِ اعْتِرَاضِ الْجَاحِظِ (ت:250)، وَإِسْحَاقِ الْمَوْصُولِيِّ (ت:235) بِقَوْلِهِ: "وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاضِ الْفَاسِدِ: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ الشَّيْءِ رَحْمَةً أَنْ يَكُونَ ضِدُّهُ عَذَابًا، وَلَا يَلْتَزِمُ هَذَا وَيُذَكِّرُهُ إِلَّا جَاهِلٌ أَوْ مُتَجَاهِلٌ..." وَمِنْ بَعْدِ النَّوَوِيِّ: ابْنُ حَجَّرٍ، وَالْقَسْطَلَانِيُّ، وَشَارِحُهُ الزَّرْقَانِيُّ، وَالْعَجْلُونِيُّ، وَمُلاَّ عَلِيُّ الْقَارِيُّ، وَيَنْظُرُ كَلَامُهُمْ فِي "الْمَوَاهِبِ" وَشَرْحِهِ، وَ"كَشْفِ الْخَفَا"، وَ"الْأَسْرَارِ الْمَرْفُوعَةِ".
Sungguh para ulama telah menerima dan menyambut baik perkataan Imam al-Khaththabi ini dengan penuh keridhoan, tasliim, dan qobuul.
Di antara mereka adalah:
Imam al-Nawawi (rahimahullah) dalam "Syarah Sahih Muslim" (91-92), dan menjelaskan jawaban terhadap bantahan al-Jahidz (rahimahullah) (hlm. 250) dan Ishaq al-Mawshili (rahimahullah) (hlm. 235) dengan mengatakan:
"وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاضِ الْفَاسِدِ: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ الشَّيْءِ رَحْمَةً أَنْ يَكُونَ ضِدُّهُ عَذَابًا، وَلَا يَلْتَزِمُ هَذَا وَيُذَكِّرُهُ إِلَّا جَاهِلٌ أَوْ مُتَجَاهِلٌ..."
"Jawaban terhadap bantahan yang faasid ini adalah: Bukan keharusan dari suatu yang memiliki rahmat bahwa lawannya itu adalah adzab. Dan hanya orang yang bodoh atau yang pura-pura bodoh yang mau mengaitkannya..."
Dan setelah al-Nawawi, adalagi di antaranya adalah: Ibnu Hajar [al-'Asqalaani], al-Qasthalani, Pensyarahnya yaitu az-Zarkashi, al-'Ajluni dan Mulla Ali al-Qari.
Dan silahkan merujuk perkataan mereka dalam "al-Mawahib" dan syarahnya, "Kasyf al-Khofa", dan "al-Asroor al-Marfuu'ah".
====
SEKILAS BIOGRAFI AL-JAHIDZ:
Dia salah satu dari dua orang yang pertama kali mengatakan:
لَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الِاتِّفَاقُ عَذَابًا.
"Jika perbedaan pendapat itu adalah rahmat, berarti kesepakatan pendapat itu adalah adzab".
Al-Jahidz Al-Kinani adalah Abu Uthman 'Amr bin Bahr bin Mahbuub bin Fazarah Al-Laitsi Al-Kinani Al-Bashri (159 H-255 H).
Dia lahir di kota Basrah. Dia dibesarkan dalam keadaan miskin dan memiliki penampilan yang buruk dengan kedua mata yang cekung.
Tukang Lawak:
" عُرِفَ عَنْهُ خِفَّةُ الرُّوحِ وَمِيلُهُ إِلَى الْهِزْلِ وَالْفُكَاهَةِ، وَمِنْ ثُمَّ كَانَتْ كِتَابَاتُهُ عَلَى اِخْتِلَافِ مَوَاضِيعِهَا لَا تَخْلُو مِنَ الْهِزْلِ وَالتَّهْكُمِ".
Dia dikenal dengan jiwa yang ceria dan kecenderungannya terhadap lawakan dan lelucon. Karya-karyanya, dalam berbagai topik, tidak lepas dari lawakan dan sindiran.
Dia mencari ilmu dalam usia muda, belajar Al-Quran dan dasar-dasar bahasa dari ulama-ulama kota kelahirannya. Namun, yatim piatu dan kemiskinan menghalangi dia untuk sepenuhnya fokus pada pencarian ilmu. Dia menjual ikan dan roti di siang hari, dan pada malam hari, dia berdagang di toko-toko penjual kertas untuk membaca apa pun yang bisa dia baca.
Dia anti Dalil Naqli:
فَقَدْ كَانَ الْجَاحِظُ لِسَانَ حَالِ الْمُعْتَزِلَةِ فِي زَمَانِهِ، فَرَفَعَ لِوَاءَ الْعَقْلِ وَجَعَلَهُ الْحُكْمَ الْأَعْلَى فِي كُلِّ شَيْءٍ، وَرَفَضَ مِنْ أَسْمَاهُمْ بِالنَّقْلِيِّينَ الَّذِينَ يُلْغُونَ عُقُولَهُمْ أَمَامَ مَا يُنْقِلُونَهُ وَيَحْفَظُونَهُ مِنْ نَصُوصِ الْقَدَمَاءِ، سَوَاءً مَنْ يَنْقُلُونَ عِلْمَ أَرِسْطُو، أَوْ بَعْضٍ مَنْ يَنْقَلُونَ الْحَدِيثِ النَّبَوِيِّ.
Al-Jahidz pada masanya, dia mewakili suara Mu'tazilah, dia mengangkat panji akal dan logika sebagai otoritas tertinggi dalam segala hal, dan menolak apa yang disebut "dalil naqli [Kitab, Sunnah dan lainnya] " yang dianggap bisa memandulkan akal pikiran mereka oleh apa yang mereka nukil [dari Kitab, Sunnah dan Atsar] dan bepegang pada dalil naqli itu akan mengharuskan untuk menghafal dan menjaga teks-teks kuno, baik itu ilmu Aristoteles maupun apa yang dari sebagian orang yang meriwayatkan hadis-hadits nabawi.
===SEKILAS BIOGRAFI ISHAQ AL-MAWSHILY:
Dia salah satu dari dua orang yang pertama kali mengatakan:
لَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الِاتِّفَاقُ عَذَابًا.
"Jika perbedaan pendapat itu adalah rahmat, berarti kesepakatan pendapat itu adalah adzab".
Ishaq bin Ibrahim bin Mahan (atau Maimun) bin Bahman al-Mawshiliy – Mauwla al-Tamimi – al-Arjāni al-Ashl yang dikenal sebagai Ibnu an-Nadiim al-Mawshiliy.
Nadim al-Rasyid, al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq dilahirkan pada tahun 155 H di kota Ar-Ray. Wafat pada tahun 235 H di Bagdad.
Ia pergi bersama ayahnya ke Baghdad dan menerima pendidikannya dari para guru yang terampil, termasuk Haytham bin Bashir al-Kasa'i. Dia belajar dari salah satu murid ayahnya, Mansur Zalzal, dan mempelajari seni bermain alat musik oud serta belajar bernyanyi dari 'Atikah binti Shadha. Dia juga mempelajari sejarah dan sastra Asma'i.
Ia terkenal dalam bidang nyanyian dan musik sehingga menjadi salah satu penyanyi dan musisi terkenal dan mahir pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, dan mendapatkan tempat yang tinggi di hadapan enam khalifah hingga al-Mutawakkil.
Ia memiliki keahlian khusus dalam bidang nyanyian dan musik, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang bahasa, musik, sejarah, ilmu agama, dan ilmu kalam. Ia menghafal puisi, menyimpan berita-berita, dan bahkan menyusun melodi untuk bait-bait puisi yang tidak ada orang berani menyusun ulang pada zamannya, meskipun hal ini umum terjadi pada masa itu.
Ishaq memiliki pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip musik dan rahasia-rahasianya, serta mampu memilih warna nada dan irama yang cocok dengan puisi.
Dikatakan: bahwa ia adalah orang pertama yang mengatur aturan-aturan irama yang membentuk dasar maqam dalam musik Arab, dan ia membedakan di antara aturan-aturan itu dengan perbedaan yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya.
Ishaq al-Mawsuli mengikuti jejak ayahnya dan mendukung aliran lama dalam bidang nyanyian, dan ia selalu berada dalam konflik dengan metode-metode nyanyian modern.
Seorang Penulis lagu mengatakan tentangnya:
" كَانَ الْغَنَاءُ أَصْغَرَ عُلُومِ إِسْحَاقَ وَأَدْنَى مَا يُوسَمُ بِهِ، وَإِن كَانَ الْغَالِبَ عَلَيْهِ وَعَلَى مَا يُحْسِنُهُ. هُوَ الَّذِي صَحَّحَ أَجْنَاسَ الْغَنَاءِ".
"Nyanyian adalah salah satu ilmu kecil yang dimiliki oleh Ishaq, dan meskipun itu yang dominan dan yang paling ia kuasai. Dialah yang memperbaiki jenis-jenis nyanyian."
Al-Ma'mun berkata tentang dia:
"لَوْلَا اشْتِهَارُ إِسْحَاقَ بِالْغَنَاءِ لَوَلَّيْتُهُ الْقَضَاءَ، لَمَا أَعْلَمُ مِنْ عَفَّتِهِ وَنَزَاهَتِهِ وَأَمَانَتِهِ".
"Jika bukan karena reputasi dan ketenaran Ishak sebagai penyanyi, maka saya akan menunjuk dia untuk menjadi hakim. Namun saya tidak menunjuknnya ; karena saya tidak mengetahui kesucian pribadinya, integritasnya, dan kejujurannya."
Al-Watsiq berkata tentangnya:
"مَا غَنَّانِي إِسْحَاقُ قَطُّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنَّهُ زِيْدَ لِي فِي مُلْكِي".
"Ishaq tidak pernah menyanyikan lagu untukku kecuali aku mengira bahwa itu akan menambahkan untukku kekuasaanku".
====
ULAMA PENDUKUNG UNGKAPAN AL-JAHIDZ DAN ISHAQ AL-MAUSHILY DIATAS:
Ibnu Hazm adz-Dzoohiri, semoga Allah merahmatinya, dia adalah orang yang sering mengulang-ulang kembali perkataan kedua orang ini [Ishaaq al-Mawshili dan al-Jahidz] dalam kitabnya "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam" 5/64 di bab ke 25, tentang tercelanya perbedaan pendapat. Dia berkata:
"وَقَدْ غَلَطَ قَوْمٌ فَقَالُوا: 'الِاخْتِلَافُ رَحْمَةٌ'..... وَهَذَا مِنْ أَفْسَدِ قَوْلٍ يَكُونُ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً لَكَانَ الْاتِّفَاقُ سَخَطًا؛ وَهَذَا مَا لَا يَقُولُهُ مُسْلِمٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ إِلَّا اتِّفَاقًا أَوْ اخْتِلَافًا، وَلَيْسَ إِلَّا رَحْمَةً أَوْ سَخَطًا".
"Sebagian orang telah melakukan kesalahan dengan mengatakan: 'Perbedaan pendapat adalah rahmat.' Ini adalah pernyataan yang salah, karena jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Ini bukanlah yang dikatakan oleh seorang Muslim, karena itu hanya merupakan kesepakatan atau perbedaan pendapat, dan itu hanya rahmat atau kemurkaan."
Ini adalah pengulangan dari pernyataan kedua pria tersebut, dan tanggapan terhadap pernyataan mereka telah penulis jawab. Tidak perlu diulang lagi.
Argumen ini juga diulang-ulang oleh Sheikh al-Albani dalam bukunya "Silsilat al-Ahadith al-Da'ifah" no. 57. Dan Dr. Muhammad al-Sabbagh setuju dengannya dalam kitab at-Ta'liiq 'Ala "Mukhtasar al-Maqasid al-Hasanah" karya al-Zarqani, halaman 52.
Mereka berdua senantiasa mengutip perkataan Ibnu Hazm sebagai syahid dan konfirmasi.
KESIMPULAN:
Syeikh Majd Makky dalam artikelnya ما صحة حديث اختلاف أمتي رحمة berkata:
وَالْحَاصِلُ: أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يُثَبَّتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقَرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ الْمُعْتَبَرَةِ.
" KESIMPULANNYA: meskipun hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".
Untuk lebih jelasnya silahkan anda dapat merujuk pada pernyataan para Imam berikut ini!!!:
1] Imam Ibnu al-Arabi dalam "Ahkam al-Quran" 1/291-292.
2] Ibnu Taymiyyah dalam "Majmu' al-Fatawa" 24/242 dan seterusnya.
3] al-Munawi dalam "Faydh al-Qadiir" 1/21.
4] Serta kitab "صَفَحَاتٌ فِي أَدَبِ الرَّأْيِ: أَدَبُ الِاخْتِلَافِ فِي مَسَائِلِ الْعِلْمِ" karya Sheikh Muhammad 'Awamah, di mana beliau menjelaskan alasan-alasan perbedaan pendapat di kalangan ulama, hukum perbedaan pendapat dalam cabang-cabang ilmu, dan syarat-syarat perbedaan pendapat yang disyariatkan. Dia juga membahas hadits ini dengan komprehensif.
*****
AGAMA INI RAHMAT
Di dalam al-Quran surat al-Anbiya 107Allah SWT. Berfirman tentang misi diutusnya Rasulullah ﷺ adalah rahmat bagi alam semesta:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
" Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. al-Anbiya: 107)".
Dan Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
" Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal". [QS. Ali Imran: 159].
Allah SWT berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rosul dari kalanganmu sendiri, berat merasakan olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penuh RAHMAT [penyayang] terhadap orang-orang mukmin ”.
(QS. At Taubah [9]: 128)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Rodhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُحَرِّمْ حُرْمَةً إِلَّا وَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ سَيَطَّلِعُهَا مِنْكُمْ مُطَّلِعٌ أَلَا وَإِنِّي آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ أَنْ تَهَافَتُوا فِي النَّارِ كَتهَافُت ِ الْفَرَاشِ أَوْ الذُّبَابِ
“Sesungguhnya Allah tidak mengharamkan sesuatu yang haram melainkan Allah telah mengetahui ada sekelompok orang dari kalian yang menginginkannya. Ketahuilah sesungguhnya aku (Nabi ﷺ) memegang pinggang kalian agar tidak berjatuhan ke neraka sebagaimana berjatuhannya kupu-kupu ataupun lalat [yang mengerumuni api di malam hari]”.
[HR. Ahmad no. 3704. Hadits yang dinilai hasan oleh Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth Rohimahullah.]
Pernah suatu ketika para sahabat berkata kepada Rasulullah ﷺ, tidakkah engkau mendoakan keburukan untuk orang-orang kafir yang telah menyiksa dan menyakitimu itu, wahai baginda Rasul, maka beliau menjawab sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan sebagai pelaknat.
Dari Abu Hurairah beliau berkata:
" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَال: إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً".
"Bahwa Rasulullah pernah ditanya, wahai baginda rasul, tidakkah engkau mendoakan orang-orang musyrik agar mereka dihancurkan. Rasulullah berkata: Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai pelaknat, akan tetapi diutus sebagai pembawa rahmat (HR. Muslim no. 2599)
Imam al-Nawawi (631-676 H) dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis di atas merupakan bukti bahwa melaknat bukanlah kebiasaan seorang muslim. Sebaliknya, seorang muslim harus senantiasa menebar rahmat dan kasih sayang kepada sesama. Baik sesama muslim ataupun dengan pemeluk agama lain.
Nabi Muhmmad diutus sebagai rahmat yang dikaruniakan kepada sekalian alam semesta.
Dari Abu Hurairah Ra, beliau meriwayatkan dari Nabi Muhmmad ﷺ., bahwasanya beliau telah bersabda:
يا أيُّها النَّاسُ إنَّمَا أنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
" Wahai para manusia, sesungguhnya Aku ini hanya rahmat yang dikaruniakan dan dihadiahkan.
[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/35), Ath-Thabarani dalam Mu'jam Al-Ausat dan Ash-Saghir (8/257), Al-Baihaqi dalam Dalail Al-Nubuwwah (1/58) dan Al-Ramahurmuzi dalam Al-Amtsal (hal. 29)
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/35) berkata: " Shahih sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim". Dan Adz-Dzahabi juga menyetujuinya.
Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar dengan sanad para rawinya adalah rawi yang ada dalam kitab yang sahih. Di Shahihkan pula oleh al-Albaani dalam Hidaayatur Ruwaah no. 5737.
Dan dari 'Umar bin Al Khoththob Rodhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata,
قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِسَبْىٍ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْىِ تَبتَغِى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِى السَّبْىِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَر ْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَة ً وَلَدَهَا فِى النَّارِ. " قُلْنَا لاَ وَاللَّهِ وَهِىَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: " لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَ".
“Rosulullah ﷺ memperoleh banyak tawanan perang. Tiba-tiba ada seorang perempuan dari mereka yang mencari bayinya di kelompok tawanan tersebut. Kemudian dia mengambil bayi itu, memeluknya kemudian menyusuinya.
Rosulullah ﷺ bertanya kepada kami: “Menurut kalian, apakah perempuan ini tega melempar anaknya itu ke api?”
Kamipun menjawab: “Demi Allah, tidak akan melemparkannya ke api selama dia masih mampu untuk tidak melemparnya”.
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda: “ Sungguh RAHMAT [kasih sayang] Allah kepada para hamba Nya melebihi rahmat [kasih sayang] perempuan ini terhadap anaknya ”. [HR. Bukhori no. 5999, Muslim no. 2754].
Dan dari shahabat Anas radhiyallahu 'anhu. Dia berkata:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَصَبِيٌّ فِي الطَّرِيقِ فَلَمَّا رَأَتْ أُمُّهُ الْقَوْمَ خَشِيَتْ عَلَى وَلَدِهَا أَنْ يُوطَأَ فَأَقْبَلَتْ تَسْعَى وَتَقُولُ ابْنِي ابْنِي وَسَعَتْ فَأَخَذَتْهُ فَقَالَ الْقَوْمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُلْقِيَ ابْنَهَا فِي النَّارِ قَالَ فَخَفَّضَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَلَاءُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُلْقِي حَبِيبَهُ فِي النَّارِ
“Nabi ﷺ bersama para shahabat sedang menjenguk sebuah jalan yang di tengahnya ada seorang anak kecil. Ketika ibunya melihat rombongan, dia pun khawatir anaknya terinjak. Maka dia berusaha menyelamatkan anaknya tersebut dan mengatakan: “Anakku… anakku…..”. Kemudian dia pun mengambil anaknya.
Kemudian Dia (Anas) berkata: “Wahai Rosulullah, Ibu ini tidak mungkin melempar anaknya ke api?”
Rosulullah ﷺ pun berusaha menenangkan mereka, lalu bersabda: “Allah 'Azza wa Jalla tidak akan menjerumuskan kekasih-Nya ke dalam neraka”.
[HR. Ahmad no. 12037. Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Syu'aib Al Arna'uth Rohimahullah.]
Dari Aisyah radliallahu 'anha:
" أَنَّ يَهُودَ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَتْ عَائِشَةُ عَلَيْكُمْ وَلَعَنَكُمْ اللَّهُ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ قَالَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ قَالَتْ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ أَوَلَمْ تَسْمَعِي مَا قُلْتُ رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ فَيُسْتَجَابُ لِي فِيهِمْ وَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ فِيَّ ".
bahwa sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi ﷺ sambil berkata; " as-saaamu 'alaika" [artinya: Kebinasaan atasmu]."
Maka Aisyah berkata ; "Semoga atas kalian juga, dan semoga laknat dan murka Allah juga menimpa kalian."
Beliau bersabda: "Tenanglah wahai Aisyah, berlemah lembutlah dan janganlah kamu bersikeras dan janganlah kamu berkata keji."
Aisyah berkata; "Apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan?"
Beliau bersabda: "Tidakkah kamu mendengar apa yang saya ucapkan, saya telah membalasnya, adapun jawabanku akan dikabulkan sementara do'a mereka tidak akan diijabahi." [HR. Bukhori no. 5570].
*****LARANGAN MENCACI ORANG KAFIR, APALAGI SESAMA UMAT ISLAM YANG BEDA PENDAPAT.
Allah SWT berfirman:
" وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ".
“Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’aam (6): 108).
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/314-315 berkata:
Allah SWT melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik, padahal dalam makian itu mengandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari itu.
Kerusakan yang dimaksud ialah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin, yaitu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. (Al-Baqarah: 255)
Seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata:
يَا مُحَمَّدُ، لَتَنْتَهِيَنَّ عَنْ سَبِّكَ آلِهَتَنَا، أَوْ لَنَهْجُوَنَّ رَبَّكَ
"Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu."
Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik.
{ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ}
"Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". (Al-An'am: 108)
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah:
" كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَسُبُّونَ أَصْنَامَ الْكُفَّارِ، فَيَسُبُّ الْكُفَّارُ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ}".
Bahwa dahulu orang-orang muslim sering mencaci maki berhala-berhala orang-orang kafir, maka orang-orang kafir balas mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Oleh sebab itu, turunlah ayat ini.".
Lalu Ibnu Katsir 3/315 berkata:
"Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahat adalah hal yang diperintahkan.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ. pernah bersabda:
"مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
" Terlaknatlah seseorang yang memaki kedua orang tuanya".
Mereka (para sahabat) bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya sendiri?"
Rosululloh ﷺ menjawab: " Dia mencaci ayah seseorang, lalu orang yang mencacinya itu membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencela ibu seseorang, lalu orang yang mencelanya itu balas mencela ibunya".
[HR. Al-Bukhari (5973), Muslim (90) dan Ahmad 11/195].
*****
JENIS DAN TINGKATAN MASALAH AGAMA YANG DIPERSELISIHKAN
Perbedaan pendapat itu bisa terjadi dalam berbagai macam hal, jenis dan tingkatan masalah.
Meskipun kita tidak bisa mengingkari akan adanya perbedaan pendapat antar para ulama dalam banyak hal dalam masalah agama ini, namun kita juga harus melihat-lihat dan memilah-milah macam dan jenis masalah yang diperselisihkan. Tidak semua macam dan jenis yang perselisihkan bisa kita toleransi , melainkan dalam hal ini kita harus memberikan batasan dan klasifikasi . Yaitu sbb :
PERTAMA : Perbedaan pendapat dalam masalah pokok dan pondasi agama :
Yaitu : Perbedaan dalam prinsip dasar dan pokok agama, seperti iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka dalam hal ini tidak boleh dipersesihkan . Bagi yang mengingkarinya adalah sebuah kekufuran dan balasan nya adalah neraka.
KEDUA : Perbedaan pendapat yang bukan pokok dan pondasi agama :
Perbedaan pendapat dalam hal-hal yang merupakan cabang-cabangnya, contohny sbb :
Tentang Nabi Muhammad ﷺ melihat Allah Azza wa Jalla pada malam Isra' dan Mi'raj, ini adalah perbedaan yang telah terjadi pada masa sahabat . Ibnu Abbas menetapkannya, sedangkan Ummul Mukminin Aisyah (ra) menolaknya.
Contoh lainnya adalah : tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya . Maka Ummul Mukminin Aisyah (ra) menolak keyakinan bahwa orang yang meninggal disiksa dengan tangisan keluarganya atasnya. Hal ini ditegaskan oleh sahabat-sahabat lainnya. Lihatlah perkataan Syekh Imam Ibnu Taimiyah dalam "Majmu' al-Fatawa" 12:492 dan 20:33.
Perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama dan hukum-hukumnya, yang memiliki dalil yang jelas dan bukti yang nyata, maka yang menyelisihinya itu adalah kesesatan dan kesalahan. Perbedaan dalam hal ini akan memecah belah kesatuan kaum mukminin, seperti perbedaan pendapat yang muncul dari sekte al-Qadariyah, al-Khawarij, dan ar-Rafidhah, serta sekte-sekte Islam lainnya yang dengan perbedaannya ini menyebabkan mereka keluar dan memisahkan diri dari manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah.
Adapun perbedaan pendapat dalam cabang-cabang yang dapat menampung lebih dari satu pendapat, maka itu pernah terjadi pula pada zaman Rasulullah ﷺ dan pada zaman para sahabat, serta pada masa generasi terbaik umat ini.
Perbedaan ini hampir tidak melebihi batas perbedaan pendapat tentang : “ini yang baik” dan “ini yang buruk” atau “ini dibolehkan” dan “ini dimakruhkan”. Yaitu perbedaan pendapat yang tidak menyebabkan pertengkaran atau konflik ketika ditinjau dengan cara yang arif dan bijak .
Syeikh Thoha Mohammad as-Sakit dalam artikel [مثل من اختلاف الصحابة] berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَخَلَفُهَا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ مَنْ تَرَكَ الْمَنْدُوبَ إِلَى الْمُبَاحِ، كَمَا أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ الْمُجْتَهِدُ إِذَا أَخْطَأَ فِي الِاجْتِهَادِ، فَكَيْفَ تُشَقُّ عَصَا الطَّاعَةِ، وَتُمَزَّقُ وَحْدَةُ الْجَمَاعَةِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الْهِينَاتِ؟!
Para Salaf [pendahulu umat ini] dan khalaf [yang hidup sesudahnya], sepakat dengan ijma' bahwa tidak ada celaan bagi seseorang yang meninggalkan sesuatu yang sunnah beralih menuju yang mubah. Demikian pula, mereka sepakat dengan ijma' bahwa seorang mujtahid tidak dicela jika dia melakukan kesalahan dalam ijtihadnya.
Jadi, bagaimana mungkin tongkat ketaatan dipatahkan, dan persatuan kaum mukminin dirobek hanya karena masalah-masalah yang sepele ini?".
Dalam kesempatan ini penulis sengaja tidak memberikan contoh-contoh, karena contoh-contoh tersebut sudah banyak dan telah dikenal dalam kitab-kitab para ulama. Lihatlah kitab-kitab berikut ini : "I'lam al-Muwaqqi'in" dan "Hujjatullah al-Balighah" dan "Risalah Ibnu Taimiyah fi Ijtihad Ash-Shahabah wal-Tabi'in".
Pemilik kitab "Al-Mizan", Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī (w. 973 H) dalam penjelasan yang panjang menyimpulkan:
لا خِلافَ في الشريعةِ الغَراءِ ألبَتَّة؛ وَإِنَّما هِيَ مُرَاتَبٌ تَرْجِعُ في جُمْلَتِهَا إِلَى الرُخْصَةِ وَالْعَزِيمَةِ، وَالتَّخْفِيفِ وَالتَّشْدِيدِ، وَأَنَّ الْمُخَاطَبَ بِالْأُولَى هُمَ الضُّعَفَاءُ وَالْعَاجِزُونَ، وَالْمُخَاطَبَ بِالثَّانِيَةِ هُمَ الْأَقْوِيَاءُ وَالْقَادِرُونَ؛ وَلَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا بِمَنْزِلَةِ سَوَاءٍ.
Bahwa tidak ada sama sekali perbedaan dalam syariat yang lurus ini, kecuali hanya pada tingkatan-tingkatan tertentu yang secara global dikembalikan pada ruang lingkup rukhshoh [kelonggaran] dan 'Azimah [ketegasan] serta takhfiif [keringanan] dan Tasydiid [tekanan].
Dan bahwa khithob yang pertama [rukhshoh dan takhfiif] ditujukan pada orang yang lebih lemah dan tidak mampu, sedangkan khithob yang kedua ['azimah dan tasydiid] di tujukan pada yang lebih kuat dan mampu. Namun, manusia tidak berada pada posisi dan tingkatan yang sama."
Demikianlah penjelasan yang diberikan oleh Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī dalam bagian awal kitab "Al-Mizan al-Kubra", cetakan dari Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah tahun 1279 H.
****
HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA
Hikmah perbedaan pendapat dalam cabang-cabang masalah agama:
Yang tampak bagi kami adalah bahwa perbedaan semacam ini, seperti yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, serupa dengan perbedaan dalam bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, semuanya diperbolehkan. Meskipun ada sekelompok orang yang memilih sebagian, namun ada sebagian yang lain yang tidak memilihnya. Perbedaan tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan. Rasulullah ﷺ memerintahkan setiap pembaca Al-Qur'an untuk membacanya sebagaimana yang mereka ketahui. Dan beliau ﷺ memperingatkan mereka semua agar tidak jatuh ke dalam jurang perselisihan yang akan menyebabkan mereka binasa seperti orang-orang terdahulu sebelum mereka.
Syeikh Thoha Mohammad as-Sakit dalam artikel [مثل من اختلاف الصحابة] berkata:
وَمِنَ الْحُمْقِ وَالْخِفَّةِ أَنْ تُفَرَّقَ الْكَلِمَةُ وَيَشْتَدَّ الْخِصَامُ فِي جُزْئِيَاتٍ يَسِيرَةٍ، جَعَلَ اللَّهُ التَّوْسِعَةَ فِيهَا يُسْرًا فِي الدِّينِ وَرَحْمَةً لِلْمُسْلِمِينَ.
وَلَوْ أَنْ هَذِهِ الْأُمَّةَ حُمِلَتْ عَلَى طَرِيقَةٍ وَاحِدَةٍ فِي فُرُوعِ الدِّينِ وَلُطَائِفِهِ، لَحَرِجَ صَدْرُهَا، وَضَاقَ ذَرْعُهَا، وَلَذَّاقَتْ عَذَابَ الْإِصْرِ الَّذِي حَمَلَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ الَّتِي قَبْلَهَا، وَلَوْ أَنَّهُمْ حُمِلُوا فِي أُصُولِ الدِّينِ وَقَوَاعِدِهِ عَلَى طَرَائِقَ شَتَّى، لَكَانَ الْبَلَاءُ أَعْظَمَ، وَالْمُصَابُ أَعْمَى، فَسُبْحَانَ مَنْ جَلَّتْ حِكْمَتُهُ، وَوَسَعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَتُهُ!
"Dan termasuk hal yang bodoh dan dungu adalah memecah belah umat dan memperuncing perselisihan dalam hal-hal yang kecil. Padahal Allah telah menjadikan keluasan dalam perbedaan pendapat tersebut sebagai kemudahan dalam agama dan sebagai rahmat bagi umat Islam.
Andai saja umat ini diwajibkan mengikuti satu cara dalam cabang-cabang agama dan detailnya, sungguh dada umat ini akan merasa sempit, dan lengannya akan menjadi pendek, dan mereka akan merasakan azab beban yang pernah Allah timpakan pada umat-umat terdahulu sebelum mereka.
Dan andai saja Ushuluddin [pokok-pokok agama] dan kaidah-kaidahnya diwajibkan atas mereka dalam berbagai macam hal apa saja, maka bencana akan semakin menjadi lebih besar dan dampaknya akan lebih luas".
Maha suci Allah yang hikmah-Nya nampak Agung dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu!".
====PERBEDAAN PENDAPAT PADA ZAMAN NABI ﷺ:
Sabda Nabi ﷺ tentang perbedaan Ijtihad dan contoh-contoh perbedaan pendapat yang pernah terjadi pada masa Nabi ﷺ:
Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ".
“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].
Dan yang sudah dimaklumi adalah: bahwa tidak ada celaan atau dosa bagi mujtahid yang salah jika dia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencapai kebenaran, bahkan dia mendapatkan pahala sesuai dengan nash hadits nabawi.
Dan hal yang sama berlaku bagi yang taklid padanya jika dia bertaklid padanya dengan niat dan tujuan yang benar bukan demi nafsu dan mencari-cari yang ringan.
Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu' al-Fatawa:
وَأَمَّا تَقْلِيدُ الْعَالِمِ حَيْثُ يَجُوزُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ اتِّبَاعِ الْأَدِلَّةِ الْمُتَغَلِّبَةِ عَلَى الظَّنِّ، كَخَبَرِ الْوَاحِدِ وَالْقِيَاسِ، لِأَنَّ الْمُقَلِّدَ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ إصَابَةُ الْعَالِمِ الْمُجْتَهِدِ كَمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ صِدْقُ الْمُخْبِرِ. اهـ.
Adapun taklid terhadap orang yang ber-ilmu, kenapa itu diperbolehkan? Karena kedudukannya sama dengan mengikuti dalil-dalil yang diyakini yang besar kemungkinan adalah benar [غَلَبَةُ الظَّنّ], seperti berdalil dengan hadist ahad [riwayat tunggal] dan qiyas.
Dan karena orang yang bertaklid ini, memiliki prasangka yang kuat [غَلَبَةُ الظَّنّ] bahwa ulama mujtahid yang diikutinya itu benar, sama seperti memiliki prasangka kuat terhadap kejujuran dan kebenaran orang yang membawa kabar berita padanya. [Baca: Majmu' al-Fataawaa 20/17].
Nabi ﷺ kadang salah berpendapat . Sebagaimana dalam hadits Rafi' bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, dia berkata;
قَدِمَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ المَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ، يقولونَ: يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ، فَقالَ: ما تَصْنَعُونَ؟ قالوا: كُنَّا نَصْنَعُهُ، قالَ: لَعَلَّكُمْ لو لَمْ تَفْعَلُوا كانَ خَيْرًا، فَتَرَكُوهُ، فَنَفَضَتْ -أَوْ فَنَقَصَتْ- قالَ: فَذَكَرُوا ذلكَ له، فَقالَ: إنَّما أَنَا بَشَرٌ، إذَا أَمَرْتُكُمْ بشَيءٍ مِن دِينِكُمْ، فَخُذُوا به، وإذَا أَمَرْتُكُمْ بشَيءٍ مِن رَأْيِي، فإنَّما أَنَا بَشَرٌ.
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah, para penduduk Madinah sedang menyerbukkan bunga kurma agar dapat berbuah yang hal itu biasa mereka sebut dengan 'mengawinkan'.
Maka beliaupun bertanya: apa yang sedang kalian kerjakan? Mereka menjawab: Dari dulu kami selalu melakukan hal ini.
Beliau berkata: 'Seandainya kalian tidak melakukannya, niscaya hal itu lebih baik.' Maka merekapun meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok dan berguguran.
Ia berkata: lalu hal itu diadukan kepada beliau dan beliaupun berkata:
'Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan dien (agama) kalian, maka ambillah (laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa”. [HR. Muslim no. 2326]
Dan Nabi ﷺ kadang berbeda pendapat dengan para sahabat dalam beberap hal, dan beliau ﷺ mengalah, sebagaimana yang terjadi pada saat menjelang perang Badar, berbeda pendapat dalam dalam hal penempatan posisi pasukan.
Bagitu pula pada saat menjelang perang Uhud, dalam hal lokasi perang, Nabi ﷺ mengusulkan dalam kota Madinah, sementara para sahabat Anshar menolaknya, mereka mengusulkannya di kaki gunung Uhud.
Dan juga perbedaan pendapat Nabi ﷺ dengan para sahabat Anshar pada saat perang Khandaq dalam hal kesepakatan dengan kabilah Ghathafan. Yang Isinya bahwa Nabi ﷺ akan memberikan kepada Ghathafan sepertiga hasil panen kurma Madinah dengan syarat Ghathafan mau menarik pasukannya dan berjanji untuk tidak lagi menyerang kaum muslimin. Ketika surat perjanjian itu sudah tertulis dan hendak ditanda tangani, tiba-tiba Sa'ad bin Mu'adz dan Sa'ad bin Ubadah menentangnya, maka kesepakatan tersebut gagal.
Pernah terjadi pula perbedaan pendapat antara Nabi Daud dan Nabi Sulaiman alaihimaa assalaam dalam memutuskan sebuah hukum sengketa. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
" بَيْنَمَا امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا ابْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ هَذِهِ لِصَاحِبَتِهَا إِنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِكِ أَنْتِ وَقَالَتْ الْأُخْرَى إِنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِكِ فَتَحَاكَمَتَا إِلَى دَاوُدَ فَقَضَى بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجَتَا عَلَى سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَام فَأَخْبَرَتَاهُ فَقَالَ ائْتُونِي بِالسِّكِّينِ أَشُقُّهُ بَيْنَكُمَا فَقَالَتْ الصُّغْرَى لَا يَرْحَمُكَ اللَّهُ هُوَ ابْنُهَا فَقَضَى بِهِ لِلصُّغْرَى".
"Dahulu ada dua orang wanita yang sedang bermain bersama anak mereka masing-masing. Tiba-tiba datang seekor serigala yang menerkam dan membawa anak salah seorang dari mereka berdua.
[Lalu dua wanita itu berebutan anak yang selamat]
Seorang dari mereka berkata kepada yang lain: 'Sebenarnya yang dimangsa serigala tadi adalah anakmu".
Rupanya wanita yang satunya menyangkal seraya berkata: 'Tidak, yang dimangsa oleh serigala tersebut adalah anakmu'.
Akhirnya kedua wanita meminta keputusan hukum dari Daud. Namun Daud menetapkan bahwa anak yang masih hidup itu milik wanita yang usianya lebih tua.
Kemudian keduanya pergi menemui Sulaiman bin Daud 'alaihima salam, lantas kedua wanita tersebut menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah mendengar ceritanya, Sulaiman berkata: 'Baiklah, sekarang tolong ambilkan aku pisau, aku akan membelah dan membagi dua anak ini untuk kalian berdua'.
Tiba-tiba wanita yang lebih muda berkata: 'Jangan kau lakukan itu!, semoga Allah merahmati anda, berikanlah anak tersebut untuknya ".
Maka Sulaiman pun menetapkan anak itu untuk wanita yang lebih muda umurnya." [HR. Bukhori no. 6271dan Muslim no. 3245].
Dan pernah pula terjadi perbedaan pendapat antar para sahabat pada masa Nabi ﷺ masih hidup, namun perbedaan tersebut tidak membuat mereka saling bermusuhan dan tidak pula saling menganggap sesat yang lain.
CONTOH: Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:
" قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ".
"Nabi ﷺ bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: "Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat 'Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah."
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan.
Sebagian dari mereka berkata: 'Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai tujuan'.
Dan sebagian lain berkata: 'Bahkan kami akan melaksanakan shalat, karena beliau ﷺ tidaklah bermaksud demikian'.
Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." [HR. Bukhori no. 4119 dan Muslim no. 1770].
Contoh Lain: Dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata:
" سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، فَجِئْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا» ".
“Saya mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi ﷺmembaca ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu kepada Nabi ﷺdan memberitahukan kepadanya.
Saya melihat rasa tidak senang di wajah Nabi ﷺdan beliau bersabda: “Kamu berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah berselisih, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu selalu berselisih sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476]
Seperti itulah keadaan para sahabat di masa Nabi ﷺmasih hidup, celah-celah yang bisa menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segera diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.
Dalam riwayat al-Hakim: Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- سُورَةَ حم، وَرُحْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ عَشِيَّةً، فَجَلَسَ إِلَيَّ رَهْطٌ، فَقُلْتُ لِرَجُلٍ مِنَ الرَّهْطِ: اقْرَأْ عَلَيَّ، فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ حُرُوفًا لَا أَقْرَؤُهَا، فَقُلْتُ لَهُ: مَنْ أَقْرَأَكَهَا؟ قَالَ: أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-، فَانْطَلَقْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- وَإِذَا عِنْدَهُ رَجُلٌ فَقُلْتُ لَهُ: اخْتَلَفَا فِي قِرَاءَتِنَا، فَإِذَا وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- قَدْ تَغَيَّرَ، وَوَجَدَ فِي نَفْسِهِ، حِينَ ذَكَرْتُ لَهُ الِاخْتِلَافَ، فَقَالَ: " إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمُ الِاخْتِلَافُ " ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ عَلِيٌّ فَقَالَ عَلِيٌّ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ كَمَا عَلِمَ، فَانْطَلَقْنَا وَكُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَقْرَأُ حُرُوفًا لَا يَقْرَؤُهَا صَاحِبُهُ.
"Rasulullah ﷺ membacakan Surah Ha-Mim kepada saya. Kemudian pada malam itu, saya pergi ke masjid dan ada sekelompok orang duduk. Saya berkata kepada salah satu dari mereka: 'Bacakanlah kepada saya!'. Namun, dia membacakan huruf-huruf yang tidak saya kenal.
Saya bertanya kepadanya: 'Siapa yang mengajarkannya kepadamu?' Dia menjawab: 'Rasulullah ﷺ yang mengajarkannya kepadaku.'
Kemudian kami pergi menemui Rasulullah ﷺ, dan di sampingnya ada seorang laki-laki. Saya berkata kepadanya: 'Kami berbeda dalam membaca.'
Tiba-tiba wajah Rasulullah ﷺ berubah dan ia merasakan hal tersebut dalam dirinya ketika saya menyebutkan perbedaan tersebut.
Ia kemudian berkata: 'Sesungguhnya yang menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah perselisihan.'
Kemudian Ali berbisik kepadaku: 'Rasulullah ﷺ memerintahkan kalian untuk membaca sesuai dengan apa yang telah ia ajarkan kepada kalian.'
Kemudian kami pergi dan setiap orang dari kami membaca huruf-huruf yang tidak bisa dibaca oleh pemiliknya." [HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 2/243 no. 2885.
Al-Hakim berkata:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يَخْرُجَاهُ بِهَذِهِ السِّيَاقَةِ.
" Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, dan mereka Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya dalam konteks seperti ini".
Contoh lain: Dari Anas bin Malik (RA):
كَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ فَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ لَهُمْ فِي الصَّلَاةِ فَقَرَأَ بِهَا افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ بِسُورَةٍ أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَقْرَأُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى قَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِهَا فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَهُ أَفْضَلَهُمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلَانُ مَا يَمْنَعُكَ مِمَّا يَأْمُرُ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ أَنْ تَقْرَأَ هَذِهِ السُّورَةَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ
Seorang sahabat Anshar mengimami mereka di Masjid Quba`, setiap kali mengawali untuk membaca surat (setelah al fatihah -pent) dalam shalat, ia selalu memulainya dengan membaca QUL HUWALLAHU AHAD hingga selesai, lalu ia melanjutkan dengan surat yang lain, dan ia selalu melakukannya di setiap rakaat.
Lantas para sahabatnya berbicara padanya, kata mereka: "Kamu membaca surat itu [Qulhuawwallah] lalu menurutmu itu tidak mencukupimu, hingga kamu melanjutkannya dengan surat yang lain. Bacalah surat tersebut [Qulhuawwallah]! Atau tinggalkan itu, lalu bacalah surat yang lain!."
Sahabat Anshar itu berkata: "Aku tidak akan meninggalkannya [Qulhuawwallah], bila kalian ingin aku menjadi imam kalian dengan membacanya, maka aku akan melakukannya. Dan bila kalian tidak suka, maka aku akan meninggalkan kalian."
Sementara mereka menilainya sebagai orang yang paling mulia di antara mereka, maka mereka tidak ingin diimami oleh orang lain.
Saat Nabi ﷺ mendatangi mereka, mereka memberitahukan masalah itu.
Lalu beliau ﷺ bertanya: "Hai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan yang diperintahkan teman-temanmu dan apa yang mendorongmu membaca surat itu disetiap rakaat?"
Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintainya."
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga."
[Al-Bukhari meriwayakannya dalam Shahihnya secara mu'allaq dengan shighat Jazm (774), Dan diriwayatkan secara maushul oleh Tirmidzi no. (2826, 2901), Ahmad (hadis no. 11982 dan 12054) dan al-Darimi (hadis no. 3300).
Contoh lain: Abdullah al-Mawshily al-Hanafi berkata dalam " al-Ikhtiar Li Ta'lil al-Mukhtar" 1/47:
(وَإِنِ اشْتَبَهَتْ عَلَيْهِ الْقِبْلَةُ وَلَيْسَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُ اجْتَهَدَ وَصَلَّى، وَلَا يُعِيدُ وَإِنْ أَخْطَأَ) لِمَا رُوِيَ «أَنَّ جَمَاعَةً مِنَ الصَّحَابَةِ اشْتَبَهَتْ عَلَيْهِمُ الْقِبْلَةُ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ، فَصَلَّى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِلَى جِهَةٍ وَخَطَّ بَيْنَ يَدَيْهِ خَطًّا، فَلَمَّا أَصْبَحُوا وَجَدُوا الْخُطُوطَ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَأَخْبَرُوا بِذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: تَمَّتْ صَلَاتُكُمْ» ، وَفِي رِوَايَةٍ: «لَا إِعَادَةَ عَلَيْكُمْ» ، وَلِأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ التَّوَجُّهُ إِلَى جِهَةِ التَّحَرِّي إِذِ التَّكْلِيفُ بِقَدْرِ الْوُسْعِ
[Orang shalat] Jika arah kiblatnya tidak jelas baginya dan tidak ada orang yang bisa ditanya, maka dia harus berijtihad lalu melakukan shalat. Dan dia tidak harus mengulanginya meskipun dia melakukan kesalahan dalam kiblatnya.
Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan:
Bahwa sekelompok sahabat merasa kebingungan terhadap arah kiblat di malam yang gelap gulita, maka masing-masing dari mereka melakukan shalat ke arah kiblat yang berbeda-beda sesuai hasil ijtihadnya dan membuat garis di hadapannya. Di pagi harinya, mereka menemukan garis-garis tersebut ternyata menghadap ke selain arah kiblat. Lalu mereka memberi tahu Rasulullah ﷺ tentang hal itu.
Beliau ﷺ berkata: " Shalat kalian telah sempurna". Dan dalam sebuah raiwayat: "Kalian tidak perlu mengulanginya".
Dan karena mereka telah berusaha menjalankan kewajiban menghadap ke arah kiblat dengan penuh kehati-hatian ; sementara menjalankan kewajiban itu disesuaikan dengan kadar kemampuan....
Dan dia berkata:
"(وَإِنْ صَلَّى بِغَيْرِ اجْتِهَادٍ فَأَخْطَأَ أَعَادَ) وَكَذَلِكَ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ مَنْ يَسْأَلُهُ فَلَمْ يَسْأَلْهُ ; لِأَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبَ الِاسْتِدْلَالِ بِالتَّحَرِّي وَالسُّؤَالِ".
Dan jika dia shalat tanpa ijtihad, lalu dia melakukan kesalahan, maka dia harus mengulanginya.
Demikian pula, jika di sana ada orang yang bisa dia tanyakan, dan dia tidak menanyakannya, karena dia meninggalkan kewajiban mencari petunjuk dengan cara mengamati dan bertanya.
=====
PERBEDAAN PENDAPAT PARA SAHABAT SETELAH NABI ﷺ WAFAT:
Berikut ini Contoh perbedaan pendapat yang pernah terjadi pada masa para sahabat, namun setelah Rosulullah ﷺ wafat:
CONTOH PERTAMA: PERBEDAAN PENDAPAT PARA SAHABAT TENTANG HADITS MAYIT DISIKSA KARENA TANGISAN KELUARGANYA:
Aisyah (ra) mendo'akan rahmat untuk Umar (ra) saat adanya perbedaan pendapat
Dari 'Abdullah bin 'Ubaidullah bin Abu Mulaikah berkata;
"Telah wafat isteri 'Utsman (ra) di Makkah lalu kami datang menyaksikan (pemakamannya).
Hadir pula Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbas (ra) dan saat itu aku duduk diantara keduanya". Atau katanya: "Aku duduk dekat salah satu dari keduanya". Kemudian datang orang lain lalu duduk di sampingku.
Berkata Ibnu 'Umar (ra) kepada 'Amr bin 'Utsman: "Bukankan dilarang menangis dan sungguh Rasulullah ﷺ telah bersabda:
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya?".
Maka Ibnu 'Abbas (ra) berkata: "Sungguh 'Umar radliallahu 'anhu pernah mengatakan sebagiannya dari hal tadi". Kemudian Ibnu Abbas (ra) menceritakan:
"Aku pernah bersama 'Umar radliallahu 'anhu dari kota Makkah hingga kami sampai di Al Baida, di tempat itu dia melihat ada orang yang menunggang hewan tunggangannya di bawah pohon.
Lalu Umar berkata: "Pergi dan lihatlah siapa yang menunggang hewan tunggangannya itu!". Maka aku datang melihatnya yang ternyata dia adalah Shuhaib. Lalu aku kabarkan kepadanya.
Dia ("Umar) berkata: "Panggillah dia kemari!". Aku kembali menemui Shuhaib lalu aku berkata: "Pergi dan temuilah Amirul Mu'minin".
Esok harinya 'Umar mendapat musibah ditusuk orang, Shuhaib mendatanginya sambil menangisinya sambil terisak berkata: Wahai saudaraku, wahai sahabat".
Maka 'Umar berkata: "Wahai Shuhaib, mengapa kamu menangis untukku padahal Nabi ﷺ telah bersabda:
إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan sebagian tangisan keluarganya ".
Berkata Ibnu 'Abbas (ra): "Ketika 'Umar sudah wafat aku tanyakan masalah ini kepada 'Aisyah (ra), maka dia berkata:
رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ { وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى }
"Semoga Allah merahmati 'Umar. Demi Allah, tidaklah Rasulullah ﷺ pernah berkata seperti itu, bahwa Allah pasti akan menyiksa orang beriman disebabkan tangisan keluarganya kepadanya, akan tetapi yang benar Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah pasti akan menambah siksaan buat orang kafir disebabkan tangisan keluarganya kepadanya". Dan cukuplah buat kalian firman Allah) dalam AL Qur'an (QS. An-Najm: 38) yang artinya: "Dan tidaklah seseorang memikul dosa orang lain".
Ibnu 'Abbas (ra) berkata seketika itu pula:
وَاللَّهُ { هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى }
Dan Allah " Dialah yang menjadikan seseorang tertawa dan menangis" (QS. Annajm 43).
Berkata Ibnu Abu Mulaikah: "Demi Allah, setelah itu Ibnu 'Umar (ra) tidak mengucapkan sepatah kata pun". [HR. Bukhori: 1286 dan Muslim no. 928].
Coba perhatikan!: Aisyah (ra) mendoakan rahmat untuk Umar saat adanya perbedaan pendapat.
CONTOH KEDUA: PERBEDAAN PENDAPAT PARA SAHABAT: APAKAH NABI ﷺ MELIHAT ALLAH SAAT ISRA MI'RAJ?
Pendapat di Kalangan Shahabat Tentang Nabi ﷺ melihat Rabb nya saat Miraj
Dalam hal ini, terangkum tiga pendapat yang beredar di kalangan shahabat
PENDAPAT PERTAMA:
Menetapkan ru’yah (melihat Allah) secara mutlak, bahwa Nabi ﷺ melihat Tuhannya pada malam Isra': ini pendapat Ibnu Abbas, Anas, serta dipilih oleh 'Ikrimah, Al-Hasan, Ar-Rabi' bin Sulaiman, Ibnu Khuzaimah, Ka'ab Al-Ahbar, Az-Zuhri, Urwah bin Az-Zubair, Ma'mar, Al-Ash'ari. Ini adalah salah satu dari dua riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad, dan dianggap lebih kuat menurut Imam An-Nawawi.
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:
أَتَعْجَبُونَ أَنْ تَكُونَ الْخُلَّةَ لِإِبْرَاهِيمَ وَالْكَلَامَ لِمُوسَى، وَالرُّؤْيَةَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Apakah kalian merasa heran apabila al-khullah (kekasih) diperuntukkan bagi Ibraahiim, al-kalaam bagi Muusaa, dan ar-ru’yah bagi Muhammad ﷺ?".
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (1/192), ‘Abdullah bin Al-Imaam Ahmad dalam As-Sunnah (1/299), An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (Tuhfatul-Asyraf, 5/165), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid (no. 272); dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah (no. 1031 dan no. 627)].
Al-Albaaniy berkata: “Sanadnya shahih sesuai persyaratan Al-Bukhaariy”. [As-Sunnah Ibnu Abi ‘Aashim (1/192)].
Dari Anas bin Maalik, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah ﷺ:
«جَبَلَ اللَّهُ الْخُلَّةَ لِإِبْرَاهِيمَ، وَالْكَلَامَ لِمُوسَى، وَالرُّؤْيَةَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Allah menciptakan Al-Khullah (kekasih Allah) untuk Ibraahiim, Al-Kalaam (Yang berbicara Allah) untuk Musa, dan Ar-Ru‘yah (Orang yang melihat Allah) untuk Muhammad ﷺ”.
[HR.Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah (hal. 190 no. 66), Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (1/65). Dan al-Hakim menshahihkannya yang kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabiy.
Al-Hafidz Ibnu Hajar) berkata dalam Al-Fath (8/608): “Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dengan sanad shahih”.
PENDAPAT KEDUA:
Menetapkan ru’yah, namun men-taqyid-nya dengan penglihatan hati (ar-ru’yatul-qalbiyyah). Yakni Nabi ﷺ melihat Rabbnya dengan hatinya.
Diriwayatkan bahwa Abu Dzar berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أرَاهُ
“Aku bertanya kepada Rasulullah (damai dan berkah Allah besertanya), 'Apakah kamu melihat Tuhanmu?' Dia berkata, 'Dia diselubungi oleh Cahaya, bagaimana aku bisa melihat-Nya.'” (HR. Muslim, al-Eeman, 261).
Diriwayatkan bahwa Ibn 'Abbaas berkata:
{ما كَذَبَ الفُؤادُ ما رَأَى} [النجم: 11] {وَلقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى} [النجم: 13]، قالَ: رَآهُ بفُؤادِهِ مَرَّتَيْنِ.
"'Hati (Nabi) tidak mendustakan apa yang dilihatnya" [an-Najm: 11], dan ia telah melihatnya pada kesempatan yang lainnya [an-Najm: 11]. Ibnu Abbas berkata: melihat-Nya dengan hatinya sebanyak dua kali”.” (HR Muslim, al-Eemaan, 258).
PENDAPAT KETIGA: Sebagian besar para Sahabat berpendapat bahwa Nabi ﷺ tidak melihat Allah dengan matanya pada malam Isra dan Miraaj.
Diriwayatkan bahwa 'A'isyah (ra) berkata:
مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ } وَمَنْ حَدَّثَكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ الْغَيْبَ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ لَا يَعْلَمُ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
"Barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa Muhammad ﷺ melihat Tuhannya berarti ia telah dusta, karena Allah berfirman: '(Ia tidak bisa diketahui oleh pandangan)' (Qs. Al An'am: 103). Dan barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa ia tahu yang ghaib, berarti ia telah dusta, sebab Muhammad bersabda: 'Tidak ada yang tahu yang ghaib selain Allah'." (HR. al-Bukhaari, al-Tauhid, 6832).
Riawayat lain: Dari [Masruq] dia berkata, "Ketika aku duduk bersandar di samping [Aisyah], maka dia berkata:
'Wahai Abu Aisyah (Masruq)! Ada tiga perkara, barangsiapa yang memperbincangkan salah satu darinya, berarti dia telah melakukan pembohongan yang amat besar terhadap Allah.'
Aku bertanya: 'Apakah tiga perkara itu? '
Aisyah menjawab: 'Pertama, barangsiapa mengklaim bahwa Muhammad ﷺ melihat Tuhannya maka sungguh dia telah membesarkan kebohongannya terhadap Allah.'
Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata:
'Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman:
{ وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ }
'(Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain) ' (Qs. Al Takwir: 23).
Dan Firman Allah lagi:
{ وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى }
'(Dan sungguh Muhammad telah melihat 'dia' dalam bentuk rupanya yang asal sekali lagi) ' (Qs. An Najm: 13).
Maka Aisyah menjawab:
"أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنْ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ".
'Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau ﷺ telah menjawab dengan bersabda:
"Yang dimaksud 'dia' dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.'
Kemudian Aisyah berkata lagi:
أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ } أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }
'Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa Allah:
'(Dia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya) ' (Qs. Al An'am: 103).
Atau, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah:
'(Dan tidaklah layak bagi seorang manusia, bahwa Allah mengajaknya berbicara kecuali berupa wahyu (dengan diberi mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja) atau dengan mengutuskan utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana) '. (Qs. Asy Syura: 51).….. dst. [HR. Muslim No. 259].
Perkataan Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu:
Dari Zirr bin ‘Abdillah bin Hubaisy, dari ‘Abdullah bin Mas’uud (ra):
فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى} [النجم: 13]، قَالَ: "رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِبْرِيلَ فِي صُورَتِهِ، لَهُ سِتُّمَائَةِ جَنَاحٍ".
Tentang firman-Nya ta’ala: ‘Dan sesungguhnya ia (Muhammad) telah melihatnya pada waktu yang lain’ (QS. An-Najm: 53), ia berkata: “Rasulullah ﷺ melihat Jibriil dalam bentuknya (yang asli) yang mempunyai 600 sayap”. [HR. Bukhori no. 3232 dan Muslim no. 431].
Perkataan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:
Dari ‘Athaa’, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
"فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى} [النجم: 13]، قَالَ: "رَأَى جِبْرِيلَ "
" Tentang firman-Nya ta’ala: ‘Dan sesungguhnya ia (Muhammad) telah melihatnya pada waktu yang lain’ (QS. An-Najm: 53), ia berkata: “Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibriil”. [HR. Muslim no. 434].
Dari yang mendukung bahwa Nabi tidak melihat Tuhan-Nya dengan mata-Nya sendiri pada malam Isra', adalah hadits Abu Musa, ini bisa menjadi bukti.
Dari Abu Musa (ra) dia berkata: "Rasulullah ﷺ berdiri menerangkan kepada kami lima perkara dengan bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّورُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ النَّارُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
"Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia berkuasa menurunkan timbangan amal dan mengangkatnya. Kemudian akan diangkat kepada-Nya (maksudnya dilaporkan) segala amalan pada waktu malam sebelum (dimulai) amalan pada waktu siang, dan begitu juga amalan pada waktu siang akan diangkat kepadaNya sebelum (dimulai) amalan pada waktu malam. Hijab-Nya adalah Cahaya-menurut riwayat Abu Bakar: 'Api' –. Andaikata Dia menyingkapkannya, pasti keagungan Wajah-Nya akan membakar makhluk yang dipandang oleh-Nya." [HR. Muslim no. 179].
CONTOH KETIGA: PERBEDAAN PENDAPAT SAHABAT: TENTANG SHALAT JENAZAH DI MASJID?
Ada dua pendapat antar para sahabat tentang hukum shalat Jenazah di Masjid. Sebagain melarangnya. Dan sebagian yang lain membolehkannya:
HADITS YANG MELARANG SHALAT JENAZAH DI MASJID:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3191), Ibnu Majah (1517), Ahmad (9437), Ath-Thayalisi dalam "Musnad" (2429), dan Abdul Razzaq dalam "Al-Musannaf" (6579) dari jalur Ibnu Abi Dzi'b, dia mengabarkan kepada kami Salih, Mawla At-Taw'amah, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
(مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا شَيْءَ لَه)
"Barangsiapa yang shalat jenazah di masjid, maka tidak ada kebaikan baginya [tidak diterima sholatnya]."
Dan lafazh Abu Dawud:
(مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ)
"Barangsiapa yang shalat jenazah di masjid, maka tidak ada dosa baginya."
Lafazh pertama yang valid dan otentik, dan hal ini ditunjukkan oleh riwayat At-Thayalisi, di dalamnya Shalih berkata:
" وَأَدْرَكْتُ رِجَالًا مِمَّنْ أَدْرَكُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ إِذَا جَاءُوا فَلَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يُصَلُّوا فِي الْمَسْجِدِ رَجَعُوا فَلَمْ يُصَلُّوا".
"Aku bertemu dengan beberapa orang yang pernah bertemu dengan Nabi ﷺ dan Abu Bakr, ketika mereka datang dan tidak menemukan apa-apa kecuali hanya bisa shalat (jenazah) di masjid, maka mereka kembali dan tidak mau melaksanakan shalat (jenazah di mesjid)." Referensi: " [[As-Silsilah Ash-Shahihah" karya al-Albaani (5/462-463)]].
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ حَسَنٌ ؛ فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْهُ ، وَسَمَاعُهُ مِنْهُ قَدِيمٌ قَبْلَ اخْتِلَاطِهِ ، فَلَا يَكُونُ اخْتِلَاطُهُ مُوجِبًا لِرَدِّ مَا حَدَّثَ بِهِ قَبْلَ الِاخْتِلَاطِ " انتهى
"Hadits ini adalah hadits hasan, karena ia diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dhi'b dari beliau (Abu Hurairah), dan pendengarannya dari beliau (Abu Hurairah) adalah sejak zaman dahulu sebelum ia (Ibnu Abi Dzi'b) ikhtilath [kacau balau hafalannya]. Oleh karena itu, ikhtilath-nya [kacau balau hafalannya] tidak membatalkan apa yang telah diberitakan sebelum ikhtilath." Referensi: "Zaad Al-Ma'ad" (1/482).
HADITS YANG MEMBOLEHKAN SHALAT JENAZAH DI MASJID:
Dari Abbad bin Abdullah bin Zubair:
" أَنَّ عَائِشَةَ أَمَرَتْ أَنْ يَمُرَّ بِجَنَازَةِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فِي الْمَسْجِدِ فَتُصَلِّيَ عَلَيْهِ فَأَنْكَرَ النَّاسُ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ مَا أَسْرَعَ مَا نَسِيَ النَّاسُ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ الْبَيْضَاءِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ ".
Bahwa Aisyah –radhiyallahu 'ahnha- menyuruh orang-orang agar membawa jenazah Sa'd bin Abu Waqash ke Masjid untuk dishalatkan di situ. Tetapi mereka tidak mengindahkan perintah tersebut, maka Aisyah pun berkata:
"Alangkah cepatnya orang lupa, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menshalatkan Suhail bin Baidla` di Masjid."
Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman:
أَنَّ عَائِشَةَ لَمَّا تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَتِ ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّىَ عَلَيْهِ. فَأُنْكِرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ. قَالَ مُسْلِمٌ: سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ.
Bahwa ketika Sa’d bin Abu Waqash meninggal, Aisyah berkata: “Masukkanlah ia ke dalam masjid hingga aku bisa menshalatkannya”.
Namun mereka tidak menyetujuinya, maka ia 'Aisyah (ra) pun berkata:
“Demi Allah, sungguh Rasulullah ﷺ telah menshalatkan jenazah dua orang putra Baidla` di dalam masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.” Muslim berkata; “Suhail bin Da’d adalah Ibnul Baidla`, dan ibunya adalah Baidla". (HR Muslim no. 1617)
*****PERNYATAAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT:
Ada riwayat dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia pernah mengatakan:
" مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ".
"Tidaklah membuat hatiku senang jika para sahabat Muhammad ﷺ tidak pernah berbeda pendapat. Karena jika mereka tidak pernah berbeda pendapat, maka tidak akan pernah ada rukhshoh [kelonggaran dalam berijtihad]. ".
Riwayat ini juga diceritakan oleh beberapa salaf dengan makna yang sama.
Lihatlah kitab "Kashf al-Khafaa" (Thaha), serta lihat juga "Al-Maqasid al-Hasanah" dan "Al-Jami' al-Saghir" beserta penjelasannya, dan masih banyak lagi.
Juga perhatikan perkataan Imam al-Khatib – semoga Allah merahmatinya – dalam "A'lam al-Hadits" (1:219-221).
****IMAM MALIK MENOLAK PENYATUAN UMAT ISLAM DENGAN MADZHABNYA
Sikap dan pendirian Imam Malik menolak permintahan dari tiga khalifah, Abu Ja'far, al-Ma'mun dan Harun al-Rasyiid agar kitab al-Muwaththa dan kitab-kitab lainnya karya Imam Malik di jadikan sebagai rujukan bagi seluruh kaum muslimin, dan melarang mereka berpatokan pada selainya. Tujuan tiga khalifah tersebut dalam rangka untuk menyatukan kaum muslimin.
===
PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH HARUN AR-RASYID [W. 193 H]:
Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:
أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إنَّ اخْتِلَافَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ، كُلٌّ يَتْبَعُ مَا صَحَّ عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى
" Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil manfaat darinya."
Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala."
Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).
Dan dari Abdullah bin Abdul Hakim, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata:
" شَاوَرَنِي هَارُونُ الرَّشِيدُ فِي ثَلَاثٍ فِي أَنْ يُعَلِّقَ الْمُوَطَّأَ فِي الْكَعْبَةِ وَيَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَا فِيهِ، وَفَى أَنْ يَنْقُضَ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجْعَلَهُ مِنْ جَوْهَرٍ وَذَهَبٍ وَفِضَّةٍ وَفَى أَنْ يُقَدِّمَ نَافِعَ بْنَ أَبِي نُعَيْمٍ إِمَامًا يُصَلِّي فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَمَّا تَعْلِيقُ الْمُوَطَّأِ فِي الْكَعْبَةِ فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي الْفُرُوعِ وَتَفَرَّقُوا فِي الْآفَاقِ وَكُلٌّ عِنْدَ نَفْسِهِ مُصِيبٌ، وَأَمَّا نَقْضُ مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتِّخَاذُكَ إِيَّاهُ مِنْ جَوْهَرٍ وَذَهَبٍ وَفِضَّةٍ فَلَا أَرَى أَنْ تَحْرِمَ النَّاسَ أَثَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَّا تَقْدِمَتُكَ نَافِعًا إِمَامًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ نَافِعًا إِمَامٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَلَا يُؤْمَنُ أَنْ تَنْدُرَ مِنْهُ نَادِرَةٌ فِي الْمِحْرَابِ فَتُحْفَظَ عَلَيْهِ، قَالَ: وَفَّقَكَ اللهُ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ".
Harun Al-Rasyid mengajak bermusyawarah dengan saya tentang tiga hal;
1] Tentang kitab al-Muwaththa digantung di Ka'bah dan membawa orang-orang untuk mengikuti apa yang ada di dalamnya.
2] Tentang mimbar Nabi ﷺ untuk dihancurkan lalu dibuatkan untuknya dari permata, emas dan perak.
3] Dan tentang Naafi' bin Abi Nua'im agar ditunjuk sebagai imam shalat di masjid Rasulullah ﷺ.
Aku berkata: Wahai Amirul Mukminin; Adapun untuk menggantungkan al-Muwaththa di Ka'bah, maka para sahabat Rasulullah ﷺ telah berbeda-beda dalam cabang-cabang agama dan mereka telah terpencar di segala penjuru negeri, dan masing-masing yang ada pada diri mereka adalah benar.
Adapun untuk menghancurkan mimbar Rasulullah ﷺ lalu membuatkan untuknya dari permata, emas dan perak, maka saya berpandangan tidak boleh mengharamkan manusia untuk menjaga peninggalan Nabi ﷺ.
Adapun pengangkatan anda terhadap Nafi' sebagai imam shalat di masjid Rasulullah ﷺ, maka Nafi' adalah seorang imam dalam qira'ah, tidak perlu khawatir dia akan jarang di mihrab, maka dengan demikian akan terjaga dengan baik.
Lalu dia [Harun ar-Rasyid] berkata: " Semoga Allah memberimu taufiq, wahai Abu Abdullah".
[Lihat: Hilyatul Awliyaa 6/332 dan (Tahdzib nya) 2/ 360].
====
PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH ABU JA'FAR [WAFAT 158 H]:
Ibnu Abdil-Barr berkata:
" وَذَكَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ قَالَ نَا يَحْيَى بْنُ مِسْكِينٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالا سَمِعْنَا مَالِكًا يَذْكُرُ دُخُولَهُ عَلَى أَبِي جَعْفَرٍ وَقَوْلَهُ فِي انْتِسَاخِ كُتُبِهِ فِي الْعِلْمِ وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَيْهَا قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ رَسَخَ فِي قُلُوبِ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ مَا اعْتَقَدُوهُ وَعَمِلُوا بِهِ وَرَدُّ الْعَامَّةِ عَنْ مِثْلِ هَذَا عَسِيرٌ ".
“Dan al-Zubayr bin Bakkaar menyebutkan, dia berkata: Yahya bin Miskiin dan Muhammad bin Maslamah memberi tahu kami, mereka berkata: Kami mendengar Malik menyebutkan kisah dirinya masuk ke Khalifah Abu Ja'far, dan perkataannya tentang pemyalinan kitab-kitabnya dalam ilmu [hadits, atsar dan fiqih] dan menyuruh orang-orang agar berpatokan hukum padanya:
Malik berkata: Aku berkata kepadanya: Wahai Amirul Mukminin, apa yang mereka yakini dan mereka amalkan telah tertanam kuat di hati para penduduk masing-masing daerah, dan sulit bagi masyarakat umum untuk berpaling dari hal seperti itu". [al-Intiqoo Fi Fadholi ats-tsalatash al-Aimmah karya Ibnu Abdil Barr hal. 41].
Dan ada pula riwayat lain yang menunjuk ke arah yang sama.
Ibnu Asaakir meriwayatkan dari jalur “Khalid bin Nizaar Al-Aylii, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas, rahimahullah, berkata:
" دَعَانِي أَبُو جَعْفَرٍ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ لِي يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَكْتُبَ إِلَى الْآفَاقِ فَأَحْمِلُهُمْ عَلَى كِتَابِ الْمُوَطَّإِ حَتَّى لَا يَبْقَى أَحَدٌ يُخَالِفُكَ فِيهِ قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفَرَّقُوا فِي الْبُلْدَانِ وَاتَّبَعَهُمُ النَّاسُ فَرَأَى كُلُّ فَرِيقٍ أَنْ قَدِ اتَّبَعَ مَتْبَعًا".
Abu Jaafar Amirul Mukminin memanggil saya, lalu dia berkata kepada saya: Wahai Abu Abdullah [Imam Malik], saya ingin memperbanyak salinan kitab al-Muwaththa dan menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri, dan menggiring orang-orang ke kitab Muwaththa, hingga tidak ada lagi satu pun orang yang berbeda pendapat dengan Anda di dalamnya.
Malik berkata: Maka aku berkata: Wahai Amirul Mukminin, para sahabat Rasulullah ﷺ tersebar di penjuru negeri-negeri, dan orang-orang mengikuti mereka, dan masing-masing kelompok melihat bahwa dirinya telah mengikuti orang yang berhak untuk diikuti [yakni sahabat Nabi]. [Kasyful Mughoththo karya Ibnu Asaakir hal. 27 dan al-Muwaththa, riwayat Yahya 1/80. Tahqiiq al-A'dzomi]
Dan dalam riwayat lain: Imam Malik berkata:
لَمَّا حَجَّ أَباُ جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ دَعَانِي فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَحَادَثْتُهُ وَسَأَلَنِي فَأَجَبْتُهُ فَقَالَ إِنِّي عَزَمْتُ أَنْ آمُرَ بِكُتُبِكَ هَذِهِ الَّتِي قَدْ وَضَعْتَ يَعْنِي الْمُوَطَّأَ فَتُنْسَخَ نُسَخًا ثُمَّ أَبْعَثُ إِلَى كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ مِنْهَا نُسْخَةً وَآمُرُهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِمَا فِيهَا وَلا يَتَعَدَّوْهَا إِلَى غَيْرِهَا وَيَدَعُوا مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ هَذَا الْعِلْمِ الْمُحْدَثِ فَإِنِّي رَأَيْتُ أَصْلَ الْعِلْمِ رِوَايَةَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَعِلْمَهُمْ قَالَ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَفْعَلْ هَذَا فَإِنَّ النَّاسَ قَدْ سَبَقَتْ إِلَيْهِمْ أَقَاوِيلُ وَسَمِعُوا أَحَادِيثَ وَرُوُّوا رِوَايَاتٍ وَأَخَذَ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا سبق إِلَيْهِمْ وَعَمِلُوا بِهِ وَدَانُوا بِهِ مِنَ اخْتِلافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَغَيْرِهِمْ وَإِنَّ رَدَّهُمْ عَمَّا اعْتَقَدُوهُ شَدِيدٌ فَدَعِ النَّاسَ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ وَمَا اخْتَارَ أَهْلُ كُلِّ بَلَدٍ لأَنْفُسِهِمْ فَقَالَ لَعَمْرِي لَوْ طَاوَعْتَنِي عَلَى ذَلِكَ لأَمَرْتُ بِهِ
Ketika Abu Ja`far al-Mansur berangkat haji, dia mengundang ku. Maka aku masuk padnya, lalu aku berbincang-bincang dengannya. Dan dia bertanya padaku, maka aku jawab. Lalu dia berkata:
Saya berkeinginan untuk menulis kitab-kitab Anda ini yang telah anda susun, yakni al-Muwaththa – dalam bentuk salinan, dan kemudian saya mengirimkan salinannya ke semua daerah kaum Muslimin, memerintahkan mereka untuk bertindak dan beramal sesuai dengan itu. Dan tidak boleh melampauinya dari selain ilmu yang diperbarui ini, karena saya melihat bahwa asal usul ilmu agama itu berasal dari riwayat penduduk Madinah dan amalan mereka."
Aku [Malik] berkata: " Wahai Amirul Mukminin! Jangan engkau lakukan itu, karena sebelum mereka lahir perbedaan pendapat itu telah ada. Mereka telah mendengar hadits-hadits dan riwayat-riwayat. Dan masing-masing orang telah mengambil apa yang telah ada dan mereka telah terbiasa mengamalkannya.
Dan perbedaan-perbedaan itu mereka ambil dari para sahabat Rasulullah ﷺ yang berdekatan dan juga dari yang lainnya.
Sesungguhnya mengalihkan mereka dari apa yang telah mereka yakini itu sesuatu yang berat. Maka biarkanlah orang-orang itu dengan keadaannya dan biarkanlah apa yang dipilih oleh setiap penduduk negeri untuk diri mereka sendiri."
Dia [Khalifah Abu Ja'far] berkata: " Dan sungguh usiaku sebagai tebusannya, Jika saja Anda menyutujui saya dalam hal itu, maka saya akan memerintahkannya".
[al-Muwaththa, riwayat Yahya 1/80. Tahqiiq al-A'dzomi, al-Intiqoo ha. 41, Tarikh ath-Thobari 11/660 dan Al-Madaarik oleh al'Iyaadh 1/191]
Kisah tersebut di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani rahimahullah, dan dia berkata:
"وَأَقُولُ: إِنَّ هَذِهِ الْقِصَّةُ مَعْرُوفَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللَّهُ".
" Dan saya katakan: Kisah ini terkenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah". [Sifatusholatin Nabi ﷺ hal. 63].
Abu Suleiman Al-Jundi Al-Atsari berkata:
" الرِّوَايَةُ صَحِيحَةٌ وَثَابِتَةٌ عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللَّهُ، حَيْثُ وَرِدَ فِي كِشْفِ الْمُغْطَى فِي فَضْلِ الْمُوطَأِ (ص ٦) لِابْنِ عَسَاكِرَ، وَكَذَلِكَ فِي تَذْكِرَةِ الْحَفَاظِ لِلْإِمَامِ الذَّهَبِيِّ (١/١٩٥)، وَكَذَلِكَ فِي الِانْتِقَاءِ لِابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ (ص ٤١).
Riwayat ini shahih dan terbukti dari Imam Malik – rahimahullah -, di mana disebutkan dalam Kasyf al-Mughothaa fi Fadhel al-Muwaththa ((hal. 6)) oleh Ibn Asaker. Demikian juga dalam Tadhkirat al-Hafiz karya Imam al-Dhahabi – 1/195. Begitu juga – Al-Intiqaa – oleh Ibn Abd al-Barr (hal. 41)
[Lihat: Multaqoo Ahlil hadits – al-Maktabah asy-Syaamilah al-Hadiitsah 71/342].
Al-Muhaddits Al-A'dzomi berkata:
خلاصة البحث: نَرَى في رَوَايَةِ مَعْنِ بْنِ عِيسَى، وَالْوَاقِدِيّ، وَيَحْيَى بْنِ مَسْكِينٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمَةَ، وَخَالِدِ بْنِ نَزَارِ الْأَيْلِيّ، وَعُتْبَةِ بْنِ حَمَّادِ الْقَارِئِ الدَّمَشْقِيِّ، كُلُّ هَؤُلَاءِ، يَرْوُونَ عَنْ مَالِكٍ مَا مَفَادُهُ: أنَّ أبا جَعْفَرِ المَنْصُورِ طَلَبَ مِنَ الإمامِ مَالِكٍ كِتَابَهُ، فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ، ثُمَّ أَثْنَى عَلَيْهِ، وَأَبْدَى رَغْبَتَهُ فِي نَشْرِهِ فِي الْعَالَمِ الْإِسْلَامِيِّ حِينَذَاكَ، وَقَدْ عَارَضَ مَالِكُ رَحِمَهُ اللَّهُ – لِلَّهِ دَرَّهُ – هَذِهِ الرَّغْبَةَ مِنَ الْخَلِيفَةِ، وَبَيَّنَ السَّبَبَ، وَطَلَبَ مِنْهُ أَنْ يَدَعَ النَّاسَ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ، وَمَا اخْتَارَ أَهْلُ كُلِّ بَلَدٍ لِأَنْفُسِهِمْ.
فَلَيْتَنَا نَتَعَظُ مِنْ كَلَامِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَسُلُوكِهِ، لَا سِيمَا مَنْ يُرِيدُ أَنْ يُصْبِغَ الْعَالَمَ كُلَّهُ بِفِقْهِهِ، مُسَبِّبًا الْفِرْقَةَ وَالْانِشِقَاقَ وَالْفِتَنَ.
Ringkasan pembahasan: Kita melihat dalam riwayat Ma'an bin Iisaa, Al-Waqidi, Yahya bin Miskin, Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Nizaar Al-Ayli, dan Utbah bin Hammad, qoori Damaskus, semuanya, mereka meriwayatkan dari Malik sebagai berikut:
Bahwa Abu Ja'far al-Mansur meminta kepada Imam Malik untuk memberikan kitabnya, lalu dia membacanya, kemudian memujinya, dan menyatakan keinginannya untuk menerbitkannya dan menyebarkannya pada dunia Islam pada waktu itu.
Imam Malik – rahimahullah- menolak keinginan khalifah ini, menjelaskan alasannya, dan memintanya agar membiarkan orang-orang dengan apa yang telah terbiasa mereka amalkan, dan dengan apa yang telah dipilih oleh masing-masing daerah untuk diri mereka sendiri.
Marilah kita belajar dari perkataan dan perilaku Imam Malik ini, khususnya bagi orang yang bernafsu ingin mengemas dan mewarnai seluruh dunia dengan karya fikihnya, sehingga menimbulkan banyak perpecahan, perselisihan dan fitnah.
[al-Muwaththa, riwayat Yahya 1/80. Tahqiiq al-A'dzomi]
====
PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH AL-MA'MUUN [W. 198 H]:
Dari Abu Mushir, dia berkata:
" سَأَلَ الْمَأْمُونُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ هَلْ لَكَ دَارٌ؟ فَقَالَ: لَا، فَأَعْطَاهُ ثَلَاثَةَ آلَافِ دِينَارٍ وَقَالَ: اشْتَرِ لَكَ بِهَا دَارًا قَالَ: ثُمَّ أَرَادَ الْمَأْمُونُ الشُّخُوصَ وَقَالَ لِمَالِكٍ: تَعَالَ مَعَنَا فَإِنِّي عَزَمْتُ أَنْ أَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى الْمُوَطَّأِ كَمَا حَمَلَ عُثْمَانُ النَّاسَ عَلَى الْقُرْآنِ فَقَالَ لَهُ: مَا لَكَ إِلَى ذَلِكَ سَبِيلٌ، وَذَلِكَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقُوا بَعْدَهُ فِي الْأَمْصَارِ فَحَدَّثُوا فَعِنْدَ كُلِّ أَهْلِ مِصْرٍ عِلْمٌ وَلَا سَبِيلَ إِلَى الْخُرُوجِ مَعَكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ». وَقَالَ: «الْمَدِينَةُ تَنْفِي خَبَثَهَا كَمَا ينْفَى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ» وَهَذِهِ دَنَانِيرُكُمْ فَإِنْ شِئْتُمْ فَخُذُوهُ وَإِنْ شِئْتُمْ فَدَعُوهُ".
Al-Ma'mun bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullah: Apakah kamu punya rumah? Dia berkata: Tidak". Lalu dia memberinya tiga ribu dinar dan berkata: Belikan rumah untukmu dengan itu.
Dia [Abu Mushir] berkata: Kemudian Al-Ma'mun menginginkan orang-orang. Dia berkata kepada Malik, "Ikutlah dengan kami, karena aku bertekad membuat orang-orang mengikuti Muwaththa' sebagaimana Utsman membawa orang-orang ke Al-Qur'an [Mushaf Utsmani]."
Dia berkata kepadanya: Tidak ada jalan untuk itu, karena para sahabat Nabi – radhiyallahu 'anhum – terebar setelah dia ke kota-kota yang berbeda, lalu mereka menyampaikan hadits-hadits, maka penduduk masing-masing kita memiliki ilmu tertentu, dengan demikian maka tidak jalan untuk keluar bersama anda.
Nabi ﷺ bersabda: ((Dan Madinah lebih baik bagi mereka jika mereka hanya tahu))
Dan beliau juga bersabda: ((Madinah menghilangkan kotorannya seperti las pendai besi menghilangkan karat dari besi))
Dan ini adalah dinar Anda, jika Anda mau, ambillah, dan jika Anda mau, tinggalkan!". [Lihat: Hilyatul Awliyaa 6/331 dan (Tahdzib nya) 2/ 359].
*****
PERNYATAAN PARA ULAMA: " MESKI BEDA PENDAPAT TAPI HARUS BERSATU".
Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam.
Berdakwah dan beramar nahyi munkar adalah fardhu kifayah, sementara menjaga persatuan umat Islam adalah fardhu 'ain. Dan berpecah belah itu diancam dengan adzab yang pedih, Sebagaimana yang disebutkan dalam dua ayat dibawah ini. Ayat perintah berdakwah dan ayat larangan berpecah belah itu berurutan dan bergandengan, yaitu sbb:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat [QS. Ali Imran: 104-105]
Al-Imam asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris berkata kepada Abu Musa:
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?”. [Baca: “سير أعلام النبلاء” 10/16].
Al-Imam Yahya bin Ma’iin(wafat 158 H) berkata:
((مَا رَأَيْتُ عَلَى رَجُلٍ قَطُّ خَطَأً إِلَاّ سَتَرْتُهُ وَأَحْبَبْتُ أَنْ أُزَيِّنَ أَمْرَهُ، وَمَا اسْتَقْبَلْتُ رَجُلاً فِي وَجْهِهِ بِأَمْرٍ يَكْرَهُهُ، وَلَكِنْ أُبَيِّنُ لَهُ خَطَأَهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، فَإِنْ قَبِلَ ذَاكَ وَإِلَاّ تَرَكْتُهُ))
“Tidaklah aku lihat kesalahan seseorang (saudara se-Islam), kecuali aku menutupinya,aku senang untuk memperindah urusan dirinya.
Tidaklah aku menjumpai seseorang dengan hal yang dia benci di hadapannya, kecuali aku jelaskan kesalahannya (secara sembunyi-sembunyi), hanya antara aku dan dia.
Jika dia menerima penjelasanku (maka itu lebih baik), dan jika dia tidak menerima ucapanku, maka aku membiarkannya
(Lihat: ath-Thuyuuriyaat 4/1372 no. 1292, Siyar A’lamin Nubala’ 11/83, 93, Tarikh Baghdad 14/183)
Al-Ajurry dalam " ذكر الأغلوطات وتعقيد المسائل " berkata:
وَلَيْسَ هَذَا طَرِيقُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ، مَا كَانَ يَطْلُبُ بَعْضُهُمْ غَلَطَ بَعْضٍ، وَلَا مَرَادُهُمْ أَنْ يَخْطِئَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، بَلْ كَانُوا عُلَمَاءً عَقَلَاءَ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ مُنَاصَحَةً وَقَدْ نَفَعَهُمُ اللَّهُ بِالْعِلْمِ.
[Mencari-cari Kesalahan Orang dalam berpendapat], Ini bukanlah cara yang dilakukan oleh para salafus shaleh, tidak ada sebagian dari mereka yang suka mencari-cari kesalahan satu sama lain, dan tujuan mereka bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain. Sebaliknya, mereka adalah para ulama yang berakal sehat, mereka jika berbicara berdasarkan ilmu dengan tujuan untuk saling bernasihat dan dinasihati. Dan Allah swt telah menjadikan ilmu mereka bermanfaat “. [Baca: Aklaaqul 'Ulamaa hal. 87].
Imam Abdullah bin Al-Mubarak [W. 181 H]- rahimahullah – berkata:
«كَانَ الرَّجُلُ إِذَا رَأَى مِنْ أَخِيهِ مَا يَكْرَهُ، أَمَرَهُ فِي سِتْرٍ، وَنَهَاهُ فِي سِتْرٍ، فَيُؤْجَرُ فِي سِتْرِهِ، وَيُؤْجَرُ فِي نَهْيِهِ، فَأَمَّا الْيَوْمُ فَإِذَا رَأَى أَحَدٌ مِنْ أَحَدٍ مَا يَكْرَهُ اسْتَغْضَبَ أَخَاهُ، وَهَتَكَ سِتْرَهُ »
“Dulu jika seseorang melihat sesuatu dari saudaranya yang tidak disukainya, maka dia memerintahkannya dengan cara tertutup [tidak terbuka], dan mencegahnya dengan cara tertutup, maka dia akan diberi pahala karena menutupinya., dan dia akan diberi pahala karena mencegahnya.
Adapun sekarang, jika seseorang melihat dari saudaranya sesuatu yang dia benci ; maka dia melakukan sesuatu yang membuat saudaranya menjadi marah dan merobek penutup aibnya”.
[Baca: Raudhatul 'Uqolaa wa Nuzhatul Fudholaa karya Abu Hatim ad-Daarimi hal. 197 dan Fashlul Khithob fi Az-Zuhd oleh Muhammad 'Uwaidhoh 10/231]
Al-Imam Al-Dzahabi rahimahullah berkata:
" وَلَوْ أَنَّ كُلَّ مَنْ أَخْطَأَ فِي اجْتِهَادِهِ - مَعَ صِحَّةِ إِيْمَانِهِ، وَتَوَخِّيْهِ لاتِّبَاعِ الحَقِّ - أَهْدَرْنَاهُ، وَبَدَّعنَاهُ، لَقَلَّ مَنْ يَسلَمُ مِنَ الأَئِمَّةِ مَعَنَا، رَحِمَ اللهُ الجَمِيْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ ".
“Dan jika setiap orang yang salah dalam ijtihadnya dengan kebenaran imannya, dankeinginannya yang kuat untuk mengikuti kebenaran, lalu kami menyia-nyiakannya, dan kami menganggapnya AHLI BID'AH ; maka jika demikian, sangat sedikit orang yang selamat dari kalangan para imam yang bersama kami.
Semoga Allah merahmati semua orang dengan rahmat dan kemurahan-Nya”
[Baca: “سير أعلام النبلاء” 14/376].
Dan di halaman lain Al-Dzahabi rahimahullah juga berkata:
" وَلَوْ أَنَّا كلَّمَا أَخْطَأَ إِمَامٌ فِي اجْتِهَادِهِ فِي آحَادِ المَسَائِلِ خَطَأً مَغْفُوراً لَهُ، قُمْنَا عَلَيْهِ، وَبدَّعْنَاهُ، وَهَجَرْنَاهُ، لَمَا سَلِمَ مَعَنَا لَا ابْنَ نَصْرٍ، وَلَا ابْنَ مَنْدَةَ -هؤلاء من الكبار-وَلَا مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْهُمَا، وَاللهُ هُوَ هَادِي الخَلْقِ إِلَى الحَقِّ، وَهُوَ أَرحمُ الرَّاحمِينَ، فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الهوَى وَالفظَاظَةِ".
" Dan jika semua kesalahan yang dilakukan seorang imam dalam ijtihadnya pada masalah-masalah tertentu, kesalahan yang dimaafkan, lalu kami bangkit menyalahkannya, membid’ahkannya, dan mengucilkannya (meng hajernya) ; maka tidak akan ada yang selamat orang – orang yang bersama kami, tidak pula ulama sekelas Ibnu Nasher dan tidak pula sekelas Ibnu Mandah – mereka berdua adalah para ulama besar – bahkan tidak akan selamat pula para ulama yang lebih besar dari keduanya.
Dan Allah adalah Pemberi Hidayah makhluk kepada kebenaran, dan Dia adalah Maha Penyayang dari semua penyayang, maka Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan bercerai berai / pecah belah “. [Baca: “سير أعلام النبلاء” 14/40].
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid berkata:
لا نَرَى أَن يَتَعَامَلَ الْمُسْلِمُ مَعَ الْمَسَائِلِ الِاجْتِهَادِيَّةِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِمِثْلِ هَذِهِ الْحِسَاسِيَّةِ فَيَجْعَلُ مِنْهَا سَبَبًا لِحُصُولِ الْفِرْقَةِ وَالْفِتْنَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ.
Kami berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh sensitif dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah dengan menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam. [ISALMQA: no. 9036 Publikasi: 09-10-2002].
Syeikh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) mengatakan, ketika melihat runcingnya perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang rakaat tarawih, dia berkata:
وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي الْأُمَّةِ الْإِسْلَامِيَّةِ الْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يَسُوغُ فِيهَا الْخِلَافُ، فَتَجْعَلُ الْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِاخْتِلَافِ الْقُلُوبِ، فَالْخِلَافُ فِي الْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ الصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَلِكَ بَقِيَتْ قُلُوبُهُمْ مُتَفَقِّةً.
فَالْوَاجِبُ عَلَى الشَّبَابِ خَاصَّةً، وَعَلَى كُلِّ الْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمُ الدَّوَائِرُ.
“Sangat menyedihkan bagi kami bahwa kami menemukan di antara umat Islam banyak kelompok yang berselisih tentang hal-hal di mana perbedaan pendapat dapat diterima, dan mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sarana untuk menyebabkan perpecahan.
Padahal perbedaan-perbedaan dalam ummat ini telah ada pada masa Sahabat, namun mereka tetap bersatu.
Para pemuda khususnya dan semua yang berkomitmen pada Islam harus tetap bersatu, karena diluar sana ada banyak musuh umat Islam yang terus memantau.” (Al-Sharh al-Mumti' 4/225)
Dan Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) juga berkata:
وَهُنَا نَقُولُ: لَا يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَغْلُوَ أَوْ نَفْرِطَ، فَبَعْضُ النَّاسِ يَغْلُو مِنْ حَيْثُ تَزَامُ السُّنَّةِ فِي الْعَدَدِ، فَيَقُولُ: لَا تَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَى الْعَدَدِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ، وَيُنْكِرُ أَشَدَّ النَّكِيرِ عَلَى مَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ، وَيَقُولُ: إِنَّهُ آثِمٌ عَاصٍ.
“Di sini kami mengatakan bahwa kami tidak boleh bertindak ekstrem atau berlebihan.
Ada sebagian orang yang terlalu ekstrim dalam berpegang teguh jumlah rakaat tarawih yang disebutkan dalam Sunnah, dan mengatakan bahwa tidak boleh melakukan lebih dari jumlah yang disebutkan dalam Sunnah, dan mereka secara agresif mencela mereka yang melakukan lebih dari itu, dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa dan maksiat".[Al-Sharh al-Mumti' 4/73-75]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
" وَكَثِيرٌ مِنْ مُجْتَهِدِي السَّلَفِ وَالْخَلَفِ قَدْ قَالُوا وَفَعَلُوا مَا هُوَ بِدْعَةٌ وَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ بِدْعَةٌ إمَّا لِأَحَادِيثَ ضَعِيفَةٍ ظَنُّوهَا صَحِيحَةً وَإِمَّا لِآيَاتِ فَهِمُوا مِنْهَا مَا لَمْ يُرَدْ مِنْهَا وَإِمَّا لِرَأْيٍ رَأَوْهُ وَفِي الْمَسْأَلَةِ نُصُوصٌ لَمْ تَبْلُغْهُمْ. وَإِذَا اتَّقَى الرَّجُلُ رَبَّهُ مَا اسْتَطَاعَ– يعني: من هؤلاء العلماء الذين أخطؤوا – دَخَلَ فِي قَوْلِهِ: {رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا} ، وَفِي الصَّحِيحِ أَنَّ اللَّهَ قَالَ: " قَدْ فَعَلْت".
“Banyak mujtahid Salaf dan Kholaf telah berpendapat dan melakukan apa yang merupakan bid'ah, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah bid'ah, Entah karena dha’ifnya hadits yang mereka anggap shahih, atau karena ayat-ayat yang mereka pahami yang tidak ada keterangan yang sampai kepadanya tentang makna ayat-ayat tsb, atau karena pendapat yang mereka lihat, padahal dalam hal itu ada nash yang belum sampai kepada mereka.
Dan jika ada seseorang yang berusaha semampunya agar bisa bertakwa kepada Rabbnya ; maka dia masuk dalam katagori firman Allah SWT: ”
[رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا]
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”
Dan dalam hadits Shahih, Allah telah berfirman: Aku telah melakukan. [Majmu’ al-Fataawaa: 19/191-192].
Penulis katakan:
Beliau mengisyaratkan pada hadits Ibnu Abbas (r.a), dia berkata,
"لَمَّا نَزَلَتْ هذِه الآيَةُ: {وَإنْ تُبْدُوا ما في أنْفُسِكُمْ أوْ تُخْفُوهُ يُحاسِبْكُمْ به اللَّهُ} [البقرة: 284]، قالَ: دَخَلَ قُلُوبَهُمْ مِنْها شيءٌ لَمْ يَدْخُلْ قُلُوبَهُمْ مِن شيءٍ، فقالَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ:
قُولوا: سَمِعْنا وأَطَعْنا وسَلَّمْنا
قالَ: فألْقَى اللَّهُ الإيمانَ في قُلُوبِهِمْ، فأنْزَلَ اللَّهُ تَعالَى: {لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَها لها ما كَسَبَتْ وعليها ما اكْتَسَبَتْ رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إنْ نَسِينا، أوْ أخْطَأْنا}. قالَ: قدْ فَعَلْتُ
{رَبَّنا ولا تَحْمِلْ عليْنا إصْرًا كما حَمَلْتَهُ علَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنا}. قالَ: قدْ فَعَلْتُ.
{واغْفِرْ لنا وارْحَمْنا أنْتَ مَوْلانا} قالَ قدْ فَعَلْتُ ".
ARTINYA: "Ketika turun ayat:
{وَإنْ تُبْدُوا ما في أنْفُسِكُمْ أوْ تُخْفُوهُ يُحاسِبْكُمْ به اللَّهُ}
'(Dan jika kamu melahirkan sesuatu yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu) ' (Qs. Albaqarah: 284).
Ibnu Abbas berkata: "Maka masuklah suatu kesedihan darinya ke dalam hati mereka yang mana belum pernah masuk ke dalam hati mereka sedikit pun sebelumnya."
Maka Nabi ﷺ bersabda: "Katakanlah, 'Saya mendengar dan saya menaati serta saya menyerahkan diri'."
Ibnu Abbas berkata: "Lalu Allah meletakkan iman pada hati mereka, yang kemudian menurunkan ayat:
{لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَها لها ما كَسَبَتْ وعليها ما اكْتَسَبَتْ رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إنْ نَسِينا، أوْ أخْطَأْنا}
'(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), 'Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah) ' (Qs. Al Baqarah: 286),
Allah berfirman: "Sungguh aku telah melakukannya."
{رَبَّنا ولا تَحْمِلْ عليْنا إصْرًا كما حَمَلْتَهُ علَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنا}
'(Wahai Rabb kami, dan janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami) ' (Qs. Al baqarah: 286).
Allah berfirman: "Aku telah melakukanya."
{واغْفِرْ لنا وارْحَمْنا أنْتَ مَوْلانا}
'(Wahai Rabb kami, Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami) '
Allah berfirman: "Aku telah lakukan." [HR. Muslim 1/116 no. 200/126].
Dan Ibnu Taymiyyah berkata dalam "Majmu' al-Fatawa" (23/349):
"فَالْإِمَامُ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ تَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ (يَعْنِي الْخُلَفَاءَ الَّذِينَ تَأَثَّرُوا بِمَقَالَةِ الْجَهْمِيَّةِ الَّذِينَ زَعَمُوا الْقَوْلَ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ، وَنَصَرُوهُ) وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ، لِعِلْمِهِ بِأَنَّهُ لَمْ يَتَبَيَّنْ لَهُمْ أَنَّهُمْ مُكَذِّبُونَ لِلرَّسُولِ، وَلَا جَاحِدُونَ لِمَا جَاءَ بِهِ، وَلَكِنْ تَأَوَّلُوا فَأَخْطَأُوا، وَقَلَّدُوا مَنْ قَالَ ذَلِكَ لَهُمْ" انتهى.
"Imam Ahmad (semoga Allah merahmatinya) mendo'akan rahmat untuk para khalifah yang terpengaruh oleh paham Jahmiyyah, (yaitu mereka yang mengklaim bahwa Al-Qur'an itu makluk [diciptakan] dan mendukungnya) dan ia memohonkan ampunan untuk mereka. Hal ini karena dia tahu bahwa mereka tidak menemukan kejelasan sehingga mereka tanpa sadar sedang mendustakan Rasul dan mereka tidak bermaksud menolak apa yang beliau bawa. Akan tetapi, mereka salah dalam memahami dan bertaqlid pada orang-orang yang menyebarkan keyakinan tersebut kepada mereka."
JANGAN BERTENGKAR KARENA BERBEDA PENDAPAT
Dari Ibnu Abu Mulaikah dia berkata:
كَادَ الْخِيرَانِ أَن يَهْلِكَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، رَفَعَا أَصْوَاتَهُمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدَّمَ عَلَيْهِ رُكْبُ بَنِي تَمِيمٍ، فَأَشَارَ أَحَدُهُمَا بِالْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخَيْ بَنِي مَجَّاشِعَ، وَأَشَارَ الْآخَرُ بِرَجُلٍ آخَرَ، قَالَ نَافِعٌ: لَا أَحْفَظُ اسْمَهُ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، مَا أَرَدْتُ إِلَّا خِلَافِي، قَالَ: مَا أَرَدْتَ خِلَافَكَ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا فِي ذَلِكَ فَأَنزَلَ اللَّهُ تَعَالَىٰ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ}.
قالَ ابنُ الزُّبَيْرِ: فَما كانَ عُمَرُ يُسْمِعُ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بَعْدَ هذِه الآيَةِ حتَّى يَسْتَفْهِمَهُ. ولَمْ يَذْكُرْ ذلكَ عن أبِيهِ. يَعْنِي أبَا بَكْرٍ.
Hampir saja dua orang terbaik [dari umat ini] binasa, yaitu Abu Bakar dan 'Umar radliallahu 'anhuma, keduanya [berselisih pendapat] dengan meninggikan suara mereka di hadapan Nabi ﷺ.
Yaitu tatkala datang kepada Nabi ﷺ utusan Bani Tamim. salah satu dari keduanya [Abu Bakar dan Umar] menunjuk Al Aqra' bin Habis Al Hanzhali, saudara Bani Mujasyi', dan yang lain menunjuk pada yang lainnya.
Maka Abu Bakar berkata: "Engkau ini tidak lain kecuali bersikap berbeda denganku." Umar menjawab, "Aku tidak berniat berbeda denganmu."
Maka suara keduanya meninggi kuat sekali memperdebatkan hal tersebut, lalu sehubungan dengan peristiwa itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَرْفَعُوَاْ أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النّبِيّ وَلاَ تَجْهَرُواْ لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (Al-Hujurat: 2)
Ibnuz Zubair (ra) mengatakan bahwa sesudah turunnya ayat ini Umar r.a. tidak berani lagi angkat bicara di hadapan Rasulullah ﷺ. melainkan mendengarnya lebih dahulu sampai mengerti. Akan tetapi, Ibnuz Zubair tidak menyebutkan dari ayahnya tentang Abu Bakar r.a. [[HR. Bukhori no. 4845 dan 7302].
Riawayat lain: Dari Ibnu Abu Mulaikah bahwa 'Abdullah bin Az Zubair telah mengabarkan kepada mereka:
أَنَّهُ قَدْمَ رُكْبٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "أَمَرَ الْقَعْقَاعُ بْنُ مَعْبَدٍ"، وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "بَلْ أَمَرَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ"، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "مَا أَرَدْتُ إِلَّا خِلَافِي"، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "مَا أَرَدْتَ خِلَافَكَ"، فَتَمَارَيَا حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا فَنَزَلَتْ فِي ذَلِكَ {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْدَمُوا بَيْنَ يَدَيْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ} حَتَّى انْقَضَتِ الْآيَةُ {وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ}.
Serombongan dari bani Tamim datang kepada Nabi ﷺ. Abu Bakar berkata, "Angkatlah Al Qa'qa' bin Ma'bad bin Zurarah." Sedangkan Umar radliallahu 'anhu berkata, "Angkatlah Al Aqra' bin Habis."
Maka Abu Bakar (ra) berkata, "Angkatlah Al-Qa'qa' ibnu Ma'bad sebagai pemimpin mereka " Dan Umar (ra) berkata, "Angkatlah Al-Aqra' ibnu Habis sebagai pemimpin mereka."
Maka Abu Bakar (ra) berkata, "Tiada lain tujuanmu hanya menentangku." Umar berkata: "Aku tidak bermaksud menentangmu." Akhirnya keduanya perang mulut hingga suara mereka gaduh di hadapan Nabi ﷺ.
Maka turunlah firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu. mendahului Allah dan Rasul-Nya”. (Al-Hujurat: 1)
sampai dengan firman Allah SWT: " Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka". (Al-Hujurat: 5), hingga akhir ayat. [HR. Bukhori no. 4019].
0 Komentar