Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

6 RESIKO BAGI DA'I & MUBALIG YANG BERNIAT INGIN KONDANG DAN DAPAT BAYARAN.

CUPLIKAN SINGKAT DARI ARTIKEL:

Rasulullah  bersabda :

" فيُلْقَى في النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أقْتَابُهُ في النَّارِ، فَيَدُورُ كما يَدُورُ الحِمَارُ برَحَاهُ"

"Lalu dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar-putar menarik mesin gilingnya". [HR. Muslim]

Dan dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, Rosulullah  bersabda :

 « يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ مَا يُبَالِي الرَّجُلُ مِنْ أَيْنَ أَصَابَ الْمَالَ مِنْ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ ».

 Artinya : " Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang sudah tidak memperdulikan lagi dari mana dia mendapatkan harta , dari yang halal atau dari yang haram". ( HR. Bukhori no. 2059 , 2083 dan Nasaai 7/234 ).

Juga dalam hadits yang di riwayatkan Kaab bin 'Ujroh -radhiyallahu ‘anhu-, Rosulullah  bersabda :

« لَا يدْخُلُ الْجنَّة لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ وكلُّ لحَمْ نبَتَ مِنْ سُحْتٍ فالنَّارُ أوْلى بِه»

 Artinya : " Tidak masuk surga daging yang tumbuh dari yang haram . Dan setiap daging yang tumbuh dari yang haram , maka api neraka lebih berhak dengannya ".

(HR. Tabrany 19/135 , Darimi 2/318 , Ibnu Hibban ( no. 1569 dan 1570 ) , Hakim 4/127 , Baihaqi di Sya'bul Iman 2/172/2 dan Imam Ahmad 3/321 dan 399 ) . Di Shahihkan Al-Albaany dlm Shahih Tirmidzi no. 614 . Dan beliau mengatakan di Silsilah Shahihah 6/108 : Sanadnya Jayyid / bagus sesuai syarat Muslim .

Imam Bukhari telah menyebut dalam kitab Shahih-nya dalam Bab :

[ بَابُ مَا جَاءَ فِيمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ ]

Bab : Apa-Apa yang Datang Seputar Orang yang Menghalalkan Khamr dan Menamainya dengan Nama Lain.

====

===****===

RESIKO BAGI DA'I & MUBALIG YANG BERNIAT INGIN KONDANG DAN DAPAT BAYARAN.  YAITU ADZAB NERAKA & KEHINAAN

*****

Di Tulis Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

=====

DAFTAR ISI:

  • HUKUM ASAL MENCARI SYUHROH [KETENARAN]
  • BERDAKWAH DAN AMAR MA'RUF NAHYI MUNKAR ADALAH IBADAH
  • PAKET LENGKAP RESIKO BAGI DAI DAN MUBALIG YANG SENGAJA MENCARI POPULARITAS DAN BAYARAN:
  • RESIKO KE 1: JIKA NIAT DAN TUJUAN DAI UNTUK POPULARITAS DAN KONDANG:
  • RESIKO KE 2: JIKA DIA INGIN BERBEDA DAN ISTIMEWA DALAM GELAR DAN PANGGILAN:
  • RESIKO KE 3 : JIKA BERNIAT INGIN SYUHROH [MENJADI PUSAT PERHATIAN] DALAM BERPENAMPILAN DAN BERPAKAIAN:
  • RESIKO KE 4: JIKA DIA MINTA BAYARAN ATAS PENYAMPAIAN ILMU AGAMANYA:
  • RESIKO KE 5: JIKA DIA BERAMBISI MENGUASAI MIMBAR-MIMBAR CERAMAH:
  • RESIKO KE 6: JIKA DENGAN AGAMANYA, DIA INGIN DIAGUNGKAN DAN DIMULIAKAN
  • HUKUM MATERI CERAMAH BERISI CERITA BOHONG UNTUK LAWAKAN & MELUCU
  • SIAPAKAH DAI YANG LEBIH BAHAYA DARI PADA DUA SRIGALA KELAPARAN?
  • KONDISI DAI OMDO KELAK KETIKA DALAM API NERAKA.
  • DALAM BERDAKWAH DAN AMAR MAKRUF NAHYI MUNKAR HARUS DISERTAI DENGAN KETELADANAN.
  • PARA SAHABAT NABI SENANTIASA BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN AMAL SHALEHNYA:
  • KISAH ORANG SHALEH KETIKA DIHADAPKAN PADA UJIAN ANTARA IKHLAS DAN POPULARITAS:
  • PERTAMA:Yazid bin Al-Aswad al-Jurosyi.
  • KEDUA: Uwais bin 'Amir Al-Qorni.
  • BOLEH TERKENAL SELAMA TANPA AMBISI & BOLEH SENGAJA TERKENAL JIKA KARENA DARURAT UNTUK KEPENTINGAN AGAMA DAN UMAT
  • FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIIN TENTANG ILMU AGAMA UNTUK HARTA DUNIA
  • HATI-HATI JANGAN MUDAH MENGANGGAP SEPELE!!!
  • BERDAKWAH, AMAR MAKRUF NAHYI MUNKAR DAN BERJIHAD FII SABILILLAH ADALAH TRANSAKSI JUAL BELI DENGAN ALLAH
  • SEBELUM PERGI BERDAKWAH DAN BERJIHAD, SIAPKAN BEKAL !

*****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

HUKUM ASAL MENCARI SYUHROH [KETENARAN]

Syeikh Muhammad Sholeh al-Munajjid berkata:

طَلَب الشّهرة مَذْمُوم بِكُلّ حال، وَالْمُؤْمِن مُخْبِتٌ مَتَوَاضِعٌ، لَا يُحِبّ أَنْ يُشَارَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِع، وَمِنْ أَعْظَم مَا يُفْسِد عَلَى الْمَرْء سَعْيهُ إِلَى رَبّهُ: حُبّهُ لِلشّهْرَة، وَالشّرَف فِي النَّاسِ، وَالرِّئَاسَة عَلَيْهِم.

وَهَذِهِ الْمَحَبّة لِلشّرَف وَالشّهْرَة هِيَ مِنْ الْأَمْرَاض الْخَفِيّة فِي النُّفُوس، وَمَهْلِكَات الْقَلْب الَّتِي لَا يَكَاد يَتَفَطّن إِلَيْهَا الْعَبْد إِلَّا بَعْد أَنْ تَمُضّي بِهِ شَوْطًا بَعِيدًا، يَشُقّ عَلَيْهِ اسْتِدْرَاكهُ، وَإِصْلَاح مَا أَفْسَدْتهُ مِنْهُ.

وَمِنْ أَعْظَم آفَاتِ حُبّ الشّهْرَة وَالشّرَف، وَالتّطَلُّع إِلَيْهَا، أَنْ تَطْلُبَ نَفْسَهُ مَدْح النَّاس لَهُ، بِالْحَقّ أَوْ بِالْبَاطِل.

Mencari syuhroh [ketenaran/ kemasyhuran] adalah perbuatan tercela dalam kondisi apapun. Seorang mukmin itu semestinya adalah orang yang senantiasa tunduk patuh, tawadhu' dan tidak suka ditunjuk oleh jemari-jemari manusia [yakni: ditokohkan atau diidolakan].

Di antara sarana terbesar yang akan merusak jiwa seseorang untuk sampai kepada Rabbnya adalah: menyukai syuhroh [ketenaran], merasa dirinya paling mulia di hadapan manusia dan  berambisi ditokohkan.

Mencintai kemuliaan dan syuhroh [ketenaran] merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam jiwa, menghancurkan hati yang hampir saja tidak menyadarinya kecuali setelah masuk begitu mendalam, sulit dideteksi dan kerusakannya pun sulit diperbaiki.

Di antara bencana terbesar bagi seseorang adalah mencintai syuhroh [ketenaran], kemuliaan dan berusaha mengejarnya. Jiwanya ingin agar semua orang memujinya baik dalam kebenaran maupun kebatilan. [ISLAMQA No. 177655 Tanggal Tayang: 12-10-2016].

Dari Abu Bakrah, Nufai' bin al-Harits -radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata;

أَثْنَى رَجُلٌ علَى رَجُلٍ عِنْدَ النَّبيِّ ﷺ، فَقالَ: ويْلَكَ! قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، مِرَارًا، ثُمَّ قالَ: مَن كانَ مِنكُم مَادِحًا أخَاهُ لا مَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ: أحْسِبُ فُلَانًا، واللَّهُ حَسِيبُهُ، ولَا أُزَكِّي علَى اللَّهِ أحَدًا، أحْسِبُهُ كَذَا وكَذَا، إنْ كانَ يَعْلَمُ ذلكَ منه.

Ada seseorang menyanjung orang lain di hadapan Nabi  maka Beliau berkata:

"Celaka kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah mememggal leher sahabatmu".

Kalimat ini diucapkan oleh Beliau berulang kali, kemudian Beliau bersabda:

"Siapa diantara kalian yang ingin memuji saudaranya tidak pada tempatnya hendaklah ia mengucapkan; Aku mengira si fulan, demi Allah aku menduga dia, dan aku tidak menganggap suci seorangpun di hadapan Allah, aku mengira dia begini begini, sekalipun dia mengetahui tentang diri saudaranya itu". [HR. Bukhori no. 2662 dan Muslim no. 3000].

Al Manawi –rahimahullah- berkata:

المدحُ يورِثُ العَجَبَ وَالكِبْرَ وَهُوَ مَهْلِكٌ كَالذَّبْحِ فَلِذَلِكَ شُبِّهَ بِهِ، قَالَ الْغَزَالِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: فَمَنْ صَنَعَ بِكَ مَعْرُوفًا فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُحِبُّ الشُّكْرَ وَالثَّنَاءَ فَلَا تُمَدِّحْهُ؛ لِأَنَّ قَضَاءَ حَقِّهِ أَنْ لَا تُقَرِّهِ عَلَى الظُّلْمِ وَطَلَبَهُ لِلشُّكْرِ ظُلْمٌ، وَإِلَّا فَأَظْهَرْ شُكْرَهُ لِيَزْدَادَ رَغْبَةً فِي الْخَيْرِ.

“Pujian itu mewarisi rasa takjub pada diri sendiri dan sombong . Dan akan membinasakannya seperti penyembelihan, oleh karenanya diserupakan dengannya.

Imam Al Ghozali –rahimahullah- berkata: “Barang siapa yang telah berbuat baik kepadamu, jika dia termasuk yang menyukai ucapan terima kasih dan pujian maka janganlah kamu memujinya; karena yang menjadi haknya adalah jangan menyetujui kedzaliman, sementara permintaannya ucapan terima kasih dan pujian adalah kedzaliman, atau kalau tidak maka berilah ucapan terima kasih untuk menambahnya mencintai kebaikan”. (Faidhul Qadir: 3/167)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh (W. 187 H) –rahimahullah- berkata:

"إِنْ قَدِرْتَ أَنْ لَا تُعْرَفَ فَافْعَلْ، وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا تُعْرَفَ؟ وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يُثْنَى عَلَيْكَ؟ وَمَا عَلَيْكَ أَنْ تَكُونَ مُذْمَّمًا عِنْدَ النَّاسِ إِذَا كُنْتَ مَحْمُودًا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ؟"

“Jika anda mampu untuk tidak terkenal maka lakukanlah! Kenapa kamu harus tidak terkenal? Kenapa kamu harus tidak dipuji orang?. Karena kamu tidak akan tercela di hadapan manusia jika kamu terpuji di sisi Alloh –‘Azza wa Jalla-”. (At Tawadhu’ wa Al Khumul oleh Abu Bakr Al Qurasyi: 43)

Al-Imam al-Baihaqi berkata:

"فَكُلُّ شَيْءٍ صَيَّرَ صَاحِبَهُ شُهْرَةً فَحَقُّهُ أَنْ يُجْتَنَبَ”.

“Segala sesuatu yang mengantarkan pelakunya pada Syuhroh (ketenaran), maka hak dia adalah dijauhi”. [Lihat: Fathul Bari 10/310 dan 'Aunul Ma'buud 11/131].

*****

BERDAKWAH DAN AMAR MA'RUF NAHYI MUNKAR ADALAH IBADAH

Kaidah umum dalam masalah ini:

الأَصْلُ فِي أَعْمَالِ القُرْبِ كَتَعْلِيمِ العِلْمِ وَالدَّعْوَةِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَنَحْوِهَا أَنْ يُقِيمَ بِهَا الإِنْسَانُ مُحْتَسِبًا مُخْلِصًا لِوَجْهِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُرِيدُ بِذَلِكَ عُرْضًا مِنَ الدُّنْيَا، وَهَذَا هُوَ الأَفْضَلُ بِلَا شَكٍّ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ.

Pada asalnya hukum semua amalan yang diperuntukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti mengajarkan ilmu agama, berdakwah, amar makruf nahyi munkar dan sejenisnya, adalah seseorang melakukannya harus betul-betul ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan tujuan agar mendapatkan pahala dari-Nya. Tidak bertujuan untuk memperoleh dunia, dan Ini adalah yang paling afdlol tidak diragukan lagi, dan itulah yang diamalkan oleh para Sahabat dan Taabi'in

Ringkasnya: menyampaikan ilmu agama serta berdakwah itu masuk dalam katagori IBADAH.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُم مِّنَ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِندَ الْأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إِنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَلَمْ يَكُن فِيهِم مَّن يُعَلِّمُ بِأُجْرَةٍ أَصْلًا. ا.هـ.

Para Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin, dan ulama lainnya yang masyhur akan keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits dan Fikih, sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenal tentang upah dalam berdakwah sama sekali. (Baca: مختصر الفتاوى المصرية hal. 481 dan مجموع الفتاوى jilid 30 hal. 204).

Namun Mayoritas Para Fuqohaa telah sepakat akan bolehnya menerima tunjangan dari baitul maal (Kas Negara) atas pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya .

Akan tetapi ada sebagian para sahabat dan para ulama salaf yang menolak tunjangan mengajar al-Quran dan ilmu agama dari pemerintah, mereka membencinya, diantara mereka adalah : sahabat Abdullah bin Syaqiiq al-Anshari -radhiyallahu ‘anhu-, Sahabat ‘Amr bin Nu’man -radhiyallahu ‘anhu- dan ulama Tabi’i Abdurrahman bin Ma’qil (rahimahullah)  

Dari Abdullah bin Syaqiiq al-Anshori , berkata :

 "يُكْرَهُ أرْشُ المُعَلِّمِ، فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ كَانُوا يَكْرَهُونَهُ وَيَرَوْنَهُ شَدِيدًا"

“ Upah mengajar itu di benci , maka sesungguhnya para sahabat Rosulullah  sangat membencinya , dan sangat keras melarangnya “.

(Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 6/223 no. 884. Lihat juga al-Muhalla 7/20).

Dan di riwayatkan pula dari sahabat lainnya seperti Ubadah dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu Hazem dlm kitabnya al-Muhalla 7/20 no. 1307 telah menyebutkan atsar yang banyak dari para sahabat -radhiyallahu ‘anhu- .

Dan dari Abu Iyyaas , dia berkata :

كُنْتُ نَازِلاً عَلَى عَمْرِو بْنِ النُّعْمَانِ فَأَتَاهُ رَسُولُ مُصْعَبِ ابْنِ الزُّبَيْرِ حِينَ حَضَرَهُ رَمَضَانُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ : إِنَّ الأَمِيرَ يُقْرِئُكَ السَّلامَ وَقَالَ إِنَّا لَمْ نَدَعْ قَارِئًا شَرِيفًا إِلا وَقَدْ وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَّا مَعْرُوفٌ فَاسْتَعِنْ بِهَذَيْنِ عَلَى نَفَقَةِ شَهْرِكَ هَذَا .فَقَالَ : ( أَقْرِئِ الأمِيرَ السَّلامَ وَقُلْ لَهُ إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَرَأْنَا الْقُرْآنَ نُرِيدُ بِهِ الدُّنْيَا وَدِرْهَمَهَا )

Dulu aku pernah singgah di rumah ‘Amr bin Nu’maan . Lalu datanglah kepadanya utusan Mush’ab bin Zubair ketika Bulan Ramadhan tiba sambil membawa uang 2000 dirham , maka dia berkata :

“ Sesungguhnya gubernur kirim salam pada anda , dan dia berkata : Sesungguhnya kami tidak akan membiarkan seorang qoori’ [guru al-Qur’an] yang terhormat kecuali aku mengirim untuknya bantuan kebaikan , maka dengan uang 2000 dirhan ini semoga bisa membantu mu untuk nafkah satu bulan ini “.

Maka beliau menjawab : Sampaikan salamku kepada Gubernur , dan tolong sampaikan pula padanya : Demi Allah sesungguhnya kami  membaca al-Qur’an bukan karena dunia dan dirhamnya . ( HR, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 7/164 ).

Dan dari Ubeid bin al-Hasan , berkata :

قَسَمَ مُصْعَبُ بْنُ الزُّبَيْرِ مَالاً فِي قُرَّاءِ أَهْلِ الْكُوفَةِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَبَعَثَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْقِلٍ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ لَهُ اسْتَعِنْ بِهَا فِي شَهْرِكَ هَذَا ، فَرَدَّهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَعْقِلٍ وَقَالَ :{لَمْ نَقْرَأِ الْقُرْآنَ لِهَذَا}

Mush’ab bin az-Zubeir bagi-bagi uang untuk para Qoori’ [guru al-Qur’an] Ahli Kuufah ketika masuk bulan Romadhan , lalu dia mengirim untuk Abdurrahman bin Mi’qool 2000 dirham , dan berkata kepadanya : “ Semoga dengan 2000 dirham ini bisa membantumu untuk satu bulan ini “. Maka Abdurrahman bin Mi’qool menolaknya dan mengambalikannya , sambil berkata : “ Kami membaca al-Qur’an bukan untuk ini “. ( HR. Ad-Daarimii dalam Sunan nya , di Muqoddimah , bab Shiyanatul ilmi 1/152 no. 574 )

====*****====

PAKET LENGKAP RESIKO BAGI DA'I DAN MUBALIG 
YANG SENGAJA MENCARI POPULARITAS DAN BAYARAN:

Di antara bencana yang menimpa pada segelintir dari para dai atau ustdaz atau muballig di belahan dunia adalah hal-hal sbb:

1]- Cinta pada ketenaran dan syuhroh [kemasyhuran].

2]- Ambisi ingin dimuliakan manusia dan berusaha mengejarnya, jiwanya ingin agar semua orang memujinya dan memviralkannya baik dalam kebenaran maupun kebatilan.

3]- Cinta dengan sebutan dan gelar yang exlusif nan istimewa.

4]- Berpenampilan dan berpakaian yang kental dengan nuansa syuhroh yang membuatnya menjadi pusat perhatian.

5]- Merasa apa yang ada pada dirinya adalah sangat istimewa dan bernilai, terutam ilmu agamanya sehingga jika dia diminta mengisi ceramah maka harus dibayar mahal. Tidak bisa bisa dengan bayaran murah, apalagi gratis.

6]- Ada sebagian dai yang sangat berambisi ingin menguasai majlis-majlis ta'lim dan mimbar-mimbar ceramah sebanyak mungkin.

7]- Merasa agung, suci dan sarat dengan keberkahan pada dirinya, sehingga harus disambut dengan sambutan istimewa diluar kebiasaan.

Berikut ini uraian resiko-resiko : yang akan ditanggung oleh para dai atau muballig yang niat dan tujuanya adalah agar dirinya menjadi kondang, mengeruk keuntungan duniawi dan menjadi orang terhormat dengan ilmu agamanya serta berambisi untuk diagungkan.

MINIMAL ADA 6 RESIKO :

******

RESIKO KE 1 :
JIKA NIAT DAN TUJUAN DAI UNTUK POPULARITAS DAN KONDANG:

Kadang ada segelintir dari para dai atau muballigh atau ustadz yang hobi mengejar syuhroh [kemasyhuran], ketenaran dan popularitas, dia terus berjuang agar dirinya manjadi kondang, berkibar namanya dan menjadi pusat perhatian publik alias viral. Dai yang demikin itu biasanya terjangkit penyakit ambisi untuk ditokohkan, diidolakan, dimuliakan, dikultuskan dan diagungkan.

Dalam hal ini Nabi  telah mengancamnya dengan Api Neraka, sebagaimana di sebutkan dalam hadits-hadits berikut ini:

Dari Ka’ab bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah  bersabda:

“مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ"

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya bertujuan untuk menunjukkan kepada para ulama bahwa dirinya lah yang paling berilmu atau bertujuan untuk mendebat orang-orang bodoh atau agar dengan ilmunya tersebut wajah-wajah para manusia tertuju pada dirinya (yakni: supaya terkenal dan menjadi pusat perhatian hati manusia) ; maka Allah akan memasukannya ke dalam api neraka.”

(HR. Tirmidzi no. 2654, AL-‘Uaqaily dlm “الضعفاء الكبير” 1/103 dan Ibnu Hibban dalam “المجروحين”. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih at-Turmudzi no. 2654 bahwa hadits ini hasan. Lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)

Kalau dalam hadits disebutkan masalah ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Itulah maksud dari pujian dan sanjungan ditujukan pada ilmu syar’i. Sebagaimana pujian ini ditujukan pada ahli ilmu sebagai pewaris para nabi,

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Pewaris nabi tentu saja adalah pewaris ilmu diin atau ilmu agama. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

“Ilmu itu dimaksudkan untuk banyak hal. Namun kalau menurut ulama Islam, yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Itulah yang dimaksudkan dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah . Ketika disebut ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 2: 302)

Dan dari Hudzaifah bin al-Yamaan, bahwa Nabi  bersabda:

لا تَعَلَّمُوا العِلْمَ لِتَبَاهَوْا بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِتُمَارِوَا بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِتَصْرِفُوَا وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْكُمْ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ فِي النَّارِ

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, atau denagn ilmunya itu untuk mendebat orang-orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan agar wajah-wajah manusia tertuju pada diri kalian. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah dan di hasankan oleh syeikh al-Baani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 210)

Dan dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi  bersabda:

“مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَهُوَ فِي النَّارِ”.

“Barangsiapa menuntut ilmu agar bisa membanggakannya di depan para ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan wajah manusia agar tertuju pada dirinya, maka dia di neraka.”

[HR. Ibnu Majah no. 253. Dishahihkan al-Albaani dalam shahih al-Jaami' no. 6158 dam Shahih at-Targhiib 1/47]

Dari Mu’awiyah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah  bersabda:

“مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ... وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ، فَإِنَّهُ الذَّبْحُ "

“Siapa saja orangnya, yang Allah menghendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan menganugerahkan fiqih [pemahaman] dalam agama.... Dan jauhilah oleh kalian saling memuji karena hal itu akan menyembelihmu”.

[HR. Ibnu Majah (3743), Ahmad (16460), Ibnu Abi Syaibah (9/5-6), dan ath-Thabrani (19/815-817)." (Dishahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad 28/52 dan oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 2674)]

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah –  – bersabda:

«بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يُشَارَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ فِي دِينٍ، أَوْ دُنْيَا إِلَّا مَنْ عَصَمَ اللَّهُ».

"Cukuplah sebagai keburukan bagi seseorang jika ia ditunjuk dengan jari-jari tangan [ditokohkan dan diidolakan] dalam urusan agama atau dunia, kecuali orang yang dilindungi oleh Allah."

Al-Haitsami dalam al-Majma' 10/296 no. 18131 berkata:

“رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ ، وَفِيهِ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ حُصَيْنٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ".

“Diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam Al-Awsath. Dalam riwayat ini terdapat Abdul Aziz bin Husain, dan ia lemah".

Dari Imran bin Husain, ia berkata: Rasulullah –  – bersabda:

«كَفَى بِالْمَرْءِ مِنَ الْإِثْمِ أَنْ يُشَارَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ " قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ خَيْرًا؟ قَالَ: " وَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَهُو شَرٌّ لَهُ إِلَّا مَنْ رَحِمَ اللَّهُ، وَإِنْ كَانَ شَرًّا فَهُوَ شَرٌّ لَهُ»“.

"Cukuplah sebagai dosa bagi seseorang jika ia ditunjuk dengan jari-jari tangan [ditokohkan]."

Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika dia adalah seorang yang baik?"

Beliau menjawab: "Jika dia adalah seorang yang baik, maka itu adalah keburukan baginya kecuali jika Allah merahmatinya. Jika dia adalah seorang yang jahat, maka itu adalah keburukan baginya."

Al-Haitsami dalam al-Majma' 10/297 no. 18132 berkata:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ: كَثِيرُ بْنُ مَرْوَانَ، وَهُوَ ضَعِيفٌ

“Diriwayatkan oleh At-Tabarani, dan dalam riwayat ini terdapat Kaitsir bin Marwan, dan ia lemah".

Ibrahim bin Adham (W. 162 H) berkata:

“مَا صَدَقَ اللَّهُ عَبْدًا أَحَبَّ الشَّهْرَةَ”.

“Alloh tidak mempercayai seorang hamba yang mencintai ketenaran”. (Al ‘Uzlah wal Infiraad: 126)

Ibrahim An-Nakho’i (W. 96 H) dan Hasan Al-Bashri (W. 110 H) berkata:

“كَفَى فِتْنَةً لِلْمَرْءِ أَنْ يُشَارَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا إِلَّا مَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ.

Cukuplah fitnah bagi seseorang ketika ia ditunjuk dengan jari-jari [terkenal] dalam urusan agama atau dunia, kecuali bagi orang yang dilindungi oleh Allah."(Az Zuhd / karya Ibnu Sirriy: 2/442)

Demikian juga perkataan Muhairiz dalam Tarikh Damaskus (33/18).

Bisyer bin al-Haarits (W. 71 H) berkata:

 «‌مَا ‌اتَّقَى ‌اللَّهُ ‌مَنْ ‌أَحَبَّ ‌الشُّهْرَةَ»

“Seorang hamba yang cinta popularitas, tidaklah bertaqwa kepada Allah”. [Hilyatul Awliyaa 8/346]

Mencari ketenaran adalah tercela dalam kondisi apapun, seorang mukmin itu sebagai orang tunduk patuh dan tawadhu’ tidak menyukai ditunjuk dengan jemari.

Hammaad bin Yazid (wafat 179 H) berkata:

رَجَعْنَا مِنْ جَنَازَةٍ فَدَخَلْنَا عَلَى عَطَاءِ السُّلَيْمِيِّ فَلَمَّا رَآنَا كَأَنَّهُ خَافَ أَنْ يَدْخُلَهُ شَيْءٌ أَيْ لِكَثْرَتِنَا، فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَا تَمْقُتْنَا - أَوِ اللَّهُمَّ لَا تَمْقُتْنِي - ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ جَعْفَرَ بْنَ زَيْدِ الْعَبْدِيِّ يَقُولُ: مَرَّ رَجُلٌ فَجَلَسَ فَأُثْنُوا عَلَيْهِ خَيْرًا فَلَمَّا جَاوَزَهُمْ قَامَ وَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَؤُلَاءِ لَا يَعْرِفُونِي فَأَنْتَ تَعْرِفُنِي

"Kami pulang dari mengurusi jenazah lalu kami bertamu masuk ke dalam rumah 'Atho' Assulaimi. Tatkala dia melihat kami seakan-akan dia ketakutan, yaitu (karena) banyaknya manusia yang menemui dia [karena mengagumi keshalihannya dan keilmuannya]. Maka dia pun berdoa: 'ya Allah, jangan Engkau siksa kami .... ya Allah jangan Engkau siksa kami. (Karena Rasa Ujub).

Kemudian dia [Hammad] berkata: 'Aku mendengar Ja’far bin Yazid berkata: "ada seseorang lewat, lalu dia duduk menemuinya. Orang itu pun memuji-muji dia dengan pujian yang baik. Tatkala orang tersebut berlalu, dia pun berdiri dan berdoa: "ya Allah .... sekiranya saja mereka tidak mengenalku, maka Engkau lebih mengenalku". [Hilyatul Awliya 6/224]

*****

RESIKO KE 2:
JIKA DIA INGIN BERBEDA DAN ISTIMEWA DALAM GELAR DAN PANGGILAN:

Penyakit cinta popularitas dengan agamanya ini akan terus berkembang. Jika dia sudah berhasil menjadi terkenal dan menjadi publik figur ; kadang dalam dirinya timbul rasa ujub dan istimewa, lalu dia ingin selalu di istimewakan dan dimuliakan dengan ilmu agamanya.

Berkeinginan Istimewa dalam gelar, sebutan dan panggilan. Istimewa dalam penampilan dan berpakaian.

Dia ingin dipanggil dengan panggilan, sebutan dan gelar yang berbeda, exslusif dan istimewa. Gelar yang menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang ber-ilmu tingggi, sangat mulia dan langka. Contohnya sebutan: Qori, Alim, orang pinter dan orang alim.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah  bersabda:

“ورَجُلٌ تَعَلَّمَ العِلْمَ، وعَلَّمَهُ وقَرَأَ القُرْآنَ، فَأُتِيَ به فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَها، قالَ: فَما عَمِلْتَ فيها؟ قالَ: تَعَلَّمْتُ العِلْمَ، وعَلَّمْتُهُ وقَرَأْتُ فِيكَ القُرْآنَ، قالَ: كَذَبْتَ، ولَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ العِلْمَ لِيُقالَ: عالِمٌ، وقَرَأْتَ القُرْآنَ لِيُقالَ: هو قارِئٌ، فقَدْ قيلَ، ثُمَّ أُمِرَ به فَسُحِبَ علَى وجْهِهِ حتَّى أُلْقِيَ في النَّارِ”.

Dan [kelak pada hari Kiamat] didatangkan pula seseorang yang BELAJAR ILMU AGAMA dan MENGAJARKAN-NYA, serta MEMBACA AL-QUR'AN. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan [didunia hasil dari gelar dan amalannya itu] sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.

Allah bertanya kepadanya: 'Apa yang telah kamu amalkan dengannya? ' Dia menjawab: 'Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur'an demi untuk Engkau.'

Allah berfirman: 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya agar di sebut 'ALIM [yakni: orang berilmu / ulama / Ustadz / Kyai] serta membaca Al Qur'an agar disebut QORI [Mahir baca al-Qur'an atau hafidz]. Dan kini kamu telah mendapatkan sebutan itu".

Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam api neraka. [HR. Muslim no. 1905].

Rosulullah  tidak suka gelar dan sebutan exlusive yang mengandung pujian pada dirinya:

Rosulullah  pribadi yang tidak suka sanjungan dan pujian, maka beliau  menolak ketika ada sebagian para sahabat yang menyebut dirinya dengan sebutan atau gelar yang mengandung pujian, pengagungan dan keekslusifan dirinya.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-:

“أنَّ نَاسًا قَالُوْا: يَا رَسُولُ اللَّه يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا وَيَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّه ﷺ: « ياأيّها النّاسُ قُولُوا بِقولِكُمْ ولا يَسْتَهْوِيَنّكُمْ الشّيْطَانُ ، أنا محمدٌ عَبْد الله وَرَسُولُه ، ما أحِبّ أنْ تَرْفَعُوني فَوْقَ مَنْزِلَتِي التي أنزلني الله عَزّ وَجَلّ».

Bahwa orang-orang berkata kepada Nabi : Ya Rosulullah, wahai pilihan kami dan putra seorang pilihan kami, wahai sayyiduna (tuan kami) dan putra sayyiduna (putra tuan kami)!.

Maka Rosulullah  bersabda: " Wahai para manusia, jagalah perkataan kalian itu, jangan sampai syeitan menggelincirkan kalian, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku tidak suka kalian mengangkatku diatas kedudukanku yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan untukku”.

(HR. Ahmad no. 12573, 13621, 13596, Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Laylah no. 248, 249 dan Ibnu Hibban no. 6240. Hadits ini Shahih.

*****

RESIKO KE 3:
JIKA BERNIAT INGIN SYUHROH [MENJADI PUSAT PERHATIAN] DALAM BERPENAMPILAN DAN BERPAKAIAN:

Dai yang suka popularitas, disamping ingin berbeda dan istimewa dalam sebutan dan gelar, dia juga selalu ingin tampil berbeda dengan memakai pakaian yang kental dengan nuansa syuhroh [kemasyhuran]. Dia bersengaja berpakaian dengan pakaian yang menjadi pusat perhatian publik agar nampak berbeda dan istimewa.

Dalam hal ini Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhu- menyebutkan bahwa Nabi  bersabda:

(مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)

“Barang siapa memakai pakaian syuhroh (pakaian yang bisa membuatnya menjadi pusat perhatian ) di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat”.

(HR. Abu Daud No. 4029), an-Nasaa’i dlm “السنن الكبرى” 5/460, Ibnu Majah No. 3606, Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya. Hadits ini di Hasankan oleh Syeikh al-Baani dan al-Arna’uth).

Dari Abu Dzar -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi  bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ لَبِسَ ثَوْبَ شَهْرَةٍ إِلَّا أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى يَنْزَعَهُ ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ حَبِيبًا."

“Tidaklah seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah (ketenaran) kecuali Allah akan berpaling dari manusia tersebut hingga ia melepaskannya, meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya“.

(HR Ibnu Majah, Al Hafizh Al Iraqy dalam takhrij hadits al ihya’ berkata: sanad hadits ini Jayyid (baik), tapi tanpa perkataan: “meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya “

Dan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Nabi  bersabda:

(كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ)

“Makan lah kalian, bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer)”.

(HR. An-Nasaa’i No. 2559. Dan di hasankan oleh Syeikh al-Baani dalam Shahih an-Nasaa’i).

Dan Dari Mu’adz bin Anas -radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Nabi  bersabda:

«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»

Barangsiapa yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya / memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan / pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai”.

(HR. At Tirmidzi no. 2405 9/21, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Jaami’ No. 6145)

Ada seorang sahabat Nabi  yang bernama Buraidah bin al-Hushoib radhiyallahu anhu [W. 63 H], dia berkata:

‌شَهِدْتُ ‌خَيْبَرَ، ‌وَكُنْتُ ‌فِيْمَنْ ‌صَعِدَ ‌الثُّلْمَةَ، ‌فَقَاتَلْتُ ‌حَتَّى ‌رُئِيَ ‌مَكَانِي، ‌وَعَلَيَّ ‌ثَوْبٌ ‌أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ - أَيْ : الشُّهْرَةَ

" Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar, dan aku termasuk orang yang mendaki "الثُّلْمَة" (Takik = celah antara dua dinding pada balkon benteng), lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat karena aku mengenakan baju merah, maka sepengetahuanku tidak ada dosa yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya. Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi terkenal". [ Baca سير أعلام النبلاء 2/470]

Takik / Tsulmah (celah antara dua dinding pada balkon benteng)

ATSAR PARA SAHABAT, TABI’IIN DAN TABI’T TABI’IIN:

Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata:

“كُلْ ‌مَا ‌شِئْتَ ‌وَالْبَسْ ‌مَا ‌شِئْتَ ‌مَا ‌أَخْطَأَتْكَ ‌خَصْلَتَانِ ‌سَرَفٌ ‌وَمَخِيلَةٌ "

“Makan lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu, tidak ada yang menyalahkanmu kecuali dua gaya: berlebihan dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer)”.

[HR. Bukhori secara mu'allq dalam Shahihnya, Kitab al-Libaas (77) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/171 secara maushul].

Dan dari Syahr bin Hausyab (W. 111 H), berkata:

“‌مَنْ ‌رَكِبَ ‌مَشْهُوْراً ‌مِنَ ‌الدَّوَابِّ، ‌وَلَبِسَ ‌مَشْهُوْراً ‌مِنَ ‌الثِّيَابِ، ‌أَعْرَضَ ‌اللهُ ‌عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ كَرِيْماً "

“Barang siapa menunggangi kendaraan masyhur dan pakaian masyhur, maka Allah berpaling darinya meskipun dia seorang yang dermawan”. [Baca (سير أعلام النبلاء)  4/375]

Oleh karenanya Ibrohim bin Adham berkata:

" مَا صَدَقَ اللَّهُ عَبْدًا أَحَبَّ الشَّهْرَةَ ".

“Alloh tidak mempercayai seorang hamba yang mencintai ketenaran”. (Al ‘Uzlah wal Infiraad: 126)

Ibrohim An Nakho’i dan Hasan Al Bashri berkata:

" كَفَى فِتْنَةً لِلْمَرْءِ أَنْ يُشَارَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا إِلَّا مَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ".

Cukuplah fitnah bagi seseorang ketika ia ditunjuk dengan jari-jari [terkenal] dalam urusan agama atau dunia, kecuali bagi orang yang dilindungi oleh Allah."(Az Zuhd / karya Ibnu Sirriy: 2/442)

Demikian juga perkataan Muhairiz dalam Tarikh Damaskus (33/18).

Bisyer bin al-Haarits berkata :

«مَا ‌اتَّقَى ‌اللَّهُ ‌مَنْ ‌أَحَبَّ ‌الشُّهْرَةَ»

“Seorang hamba yang cinta popularitas , tidaklah bertaqwa kepada Allah “. [Hilyatul Awliyaa 8/346]

Mencari ketenaran adalah tercela dalam kondisi apapun, seorang mukmin itu sebagai orang tunduk patuh dan tawadhu’ tidak menyukai ditunjuk dengan jemari.

Di antara sarana terbesar yang akan merusak seseorang untuk sampai kepada Rabbnya adalah: menyukai ketenaran, merasa mulia di hadapan manusia dan kekuasaan.

*****

RESIKO KE 4:
JIKA DIA MENGHARAP BAYARAN ATAS PENYAMPAIAN ILMU AGAMANYA:

Kadang ada seorang dai yang ketika dia telah berhasil memikat dan meyakinkan publik akan kehebatan dan kwalitas dirinya dalam keilmuannya, kesholehannya dan kepiawaian-nya dalam berorasi dan berargumentasi dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits nabawi ; maka dia akan segera menetapkan tarif sangat mahal untuk harga kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Harganya yang disesuikan dengan durasi menit dan jam. Minimal harga jualnya per jam ceramah adalah 10 juta, maka jika 2 jam harganya 20 juta. Tidak termasuk biaya penyambutan, penghormatan, akomodasi, makanan dan minuman. 

Dan terkadang ada sebagian dai yang memaksa untuk menyumbang yayasan miliknya terhadap orang yang booking dirinya untuk ceramah. Dan terkadang, dia sengaja tidak datang, padahal sudah di sumbang dan sudah dibayar deposit bookingan. Lalu depositnya itu dianggap hangus, padahal itu pembatalan spihak. Setelah ditelusuri ternyata dai tersebut sengaja terima double booking, bahkan lebih.

Dulu penulis pernah menyaksikan ada dai yang diundang ceramah 1 jam dengan bandrol 10 juta. Dan luar biasa, dai itu dengan tepat waktu satelah tepat 1 jam ceramah, dia langsung mengucapkan salam lalu turun dari mimbar pidato.

Dalam hal ini Allah swt berfirman Surat Yasin:

“قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ ۝ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ”.

Ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta upah [imbalan] kepad kalian ; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin, 20-21

Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitabnya “ أَضْوَاءُ البَيَانِ “ ketika menafsiri surat Hud: 29, berkata:

"قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ} ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي مُقَابَلَتِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ."

Firman Allah Ta’aalaa: Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”.

Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh alaihis salam, bahwa dia memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah. Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara Cuma-Cuma tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat: bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul ['alaihimus salaam]

Seperti yang Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita :

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).

Kemudian Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi menyebutkan ayat-ayat seperti yang di atas, lalu berkata:

وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ". انتهى.

Diambil dari ayat-ayat luhur ini: Tugas para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara Cuma-Cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah Ta'aala, begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram”. (Selesai perkataan Asy-Syinqiti).

Allah juga berfirman di ayat lain,

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sdikit”. (QS. Al-Maidah: 44)

Dan ayat yang semakna dengan ini ada banyak dalam al-Quran.

Yang dimaksud dengan “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit) atau harga yang murah adalah dunia seisinya.

Ibnu Abi ad-Dunya dalam az-Zuhud hal. 235 no. 561 meriwayatkan dengan sanadnya dari Harun bin Yazid, dia berkata:

سُئِلَ الْحَسَنُ عَنْ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: ‌‌{ثَمَنًا قَلِيلًا} [البقرة: 41] مَا ‌الثَّمَنُ ‌الْقَلِيلُ؟ قَالَ: «‌الدُّنْيَا ‌بِحَذَافِيرِهَا»

Bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang makna firman Allah: “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit). Lalu beliau mengatakan: “At-Tsaman al-Qalil (harga murah) adalah: dunia berikut semua isinya.”

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:

“عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا} يَقُولُ: لَا تَأْخُذُوا عَلَيْهِ أَجْرًا. قَالَ: وَهُوَ مَكْتُوبٌ عِنْدَهُمْ فِي الْكِتَابِ الْأَوَّلِ: يَا ابْنَ آدَمَ عَلِّم مَجَّانا كَمَا عُلِّمت مَجَّانا.

وَقِيلَ: مَعْنَاهُ لَا تَعْتَاضُوا عَنِ الْبَيَانِ وَالْإِيضَاحِ وَنَشْرِ الْعِلْمِ النَّافِعِ فِي النَّاسِ بِالْكِتْمَانِ وَاللَّبْسِ لِتَسْتَمِرُّوا عَلَى رِيَاسَتِكُمْ فِي الدُّنْيَا الْقَلِيلَةِ الْحَقِيرَةِ الزَّائِلَةِ عَنْ قَرِيبٍ”.

"Dari Abu Al-'Aliyah tentang firman-Nya Allah: '{dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah,}' (QS. Al-Baqarah: 41). Dia mengatakan: 'Artinya adalah Janganlah kalian mengambil upah atasnya.'

Lalu dia berkata: 'Dan itu telah tertulis disisi mereka [Ahlul Kitab] dalam kitab yang pertama [Taurat]: 'Wahai anak Adam, ajarkanlah ilmu agama secara gratis sebagaimana kamu diajari secara gratis.'

Dan dikatakan pula maknanya adalah: jangan kalian menukar al-Bayan [keterangan], al-Iidhooh [penjelasan], dan penyeberan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak dengan sembunyi-sembunyi dan terselubung, agar kalian tetap menduduki posisi kepemimpinan kalian dalam dunia yang fana dan sementara ini." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah  bersabada:

(مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا)

“Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala ; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat kelak.

(HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan imam Ahmad no. 8457) Hadits ini di Shahihkan oleh imam an-Nawawi, syeikh bin Baaz dan syeikh al-Baani. Lihat: “رياض الصالحين” [No. 139 & 1620] dan “صحيح الترغيب” no. 105).

Dan Tirmidzy meriwayatkanya dari Ibnu Umar bahwa Nabi  bersabda:

"مَن تعلَّمَ عِلمًا لغَيرِ اللهِ، أو أرادَ به غَيرَ اللهِ، فلْيَتبوَّأْ مَقعَدَه من النَّارِ”.

“Barang siapa yang menuntut Ilmu karena selain Allah, maka dia telah menyiapkan tempat duduk untuk dirinya dari api Neraka”.

(HR. At-Tumudzi no. 2655 dan an-Nasaa’i dlm “السنن الكبرى” no. 5910 dalam hadits yang panjang).

Derajat hadits :

Al-Mizzy berkata dlam kitabnya “تهذيب الكمال”: “ Di dalam sanadnya terdapat Muhammad din ‘Abbaad al-Hannaa’i, telah berkata Abu Hatim: dia itu shoduuq”.

Al-Mubaarokfuuri dlam kitabnya “تحفة الأحوذي” 7/68: Sanadnya terputus”.

Hadits ini di dhoifkan oleh Syeikh al-Baani dlm “ضعيف الترمذي” no. 2655, “السلسلة الضعيفة” no. 5017, “ضعيف الترغيب” no. 85 dan “ضعيف الجامع” no. 1768 dan 5530.

Orang durhaka adalah orang yang makan dan minumnya dari hasil al-Qur'an :

Dari  Abu Sa’id Al-Khudri, dia mengatakan : bahwa ia pernah mendengar Rasulullah  bersabda: 

"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".

قال بَشِيْر  : قُلْتُ للوَلِيْد : مَا هَؤلَاء الثَّلاثةُ؟ قَالَ : المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به، والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ

Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.

Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai membaca Al-Quran, tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.

Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang Mukmin, orang munafiq, dan orang durhaka.

Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga macam orang tersebut : "Siapa sajakah mereka itu?"

Maka Al-Walid menjawab : "Orang Mukmin adalah orang yang beriman kepada Al-Quran , orang Munafiq  adalah orang yang ingkar terhadap Al-Quran , sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran."

[HR. Ahmad no. 11340]. 

Derajat Hadits :

Ibnu Katsir dalam kitab البداية والنهاية  (6/233) berkata :

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ السُّنَنِ

"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab as-Sunan".

Dan Syeikh al-Albaani dalam السِّلْسِلَةُ الصَّحِيحَةُ  (1/520) berkata :

"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".

"Para perawinya tsiqoot [ dipercaya] selain al-Wallid , maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan , dan haditst tsb bagaimana pun juga layak dan baik sebagai syahid ".

******

RESIKO KE 5:
JIKA DIA BERAMBISI MENGUASAI MIMBAR-MIMBAR CERAMAH:

Entah karena faktor ambisi syuhroh dan ketenaran atau karena keserakahan ingin mengeruk pundi-pundi amplop ; maka ada sebagian dai yang sangat bersemangat ingin menguasai majlis-majlis ta'lim dan memonopoli mimbar-mimbar ceramah sebanyak mungkin.

Nabi  telah memperingatkan akan hal ini, sebagaimana dalam sabdanya:

Dari Jabir bin ‘Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, ia berkata, Nabi  bersabda,

“لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ”.

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk mendebat orang-orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan dengan ilmunya itu agar orang-orang memilih dia untuk mengisi di MAJLIS-MAJLISNYA. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah no. 254. Al-Mundziri dalam kitabnya “الترغيب والترهيب” 1/92: “ Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya”. Dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

ATSAR IBNU MAS'UD -radhiyallahu ‘anhu-:

Dari Ibnu Mas'ud -radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata:

"كَيْفَ بِكُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ، يَرْبُو فِيْهَا الصَّغِيْرُ، وَيَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ، وَتُتَّخَذُ سُنَّةً، فَإِنْ غُيِّرَتْ يَوْمًا قِيْلَ: هٰذَا مُنْكَرٌ!.

قيلَ؛ يَا أَبَا عَبْد الرَّحْمن وَمَتَى ذَلَكَ؟

قَالَ إِذَا كَثُرَتْ جُهَّالُكُمْ وَقَلَّتْ عُلَمَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ خُطَباؤُكُمْ، وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَتُفُقِّهَ لغَيْر الدِّينِ، وَالْتُمسَتْ الدُّنْيَا بعَمَل الآخرَةِ"

“Bagaimana dengan kalian jika diliputi oleh fitnah, di mana anak kecil tumbuh besar di dalamnya dan orang tua menjalani masa tua di dalamnya. Dan fitnah itu telah dijadikan sebagai sunnah, jika suatu saat ia diubah, ada yang bilang, 'Ini adalah mungkar.' 

Ada yang bertanya: " Wahai Abu Abdurrahman, 'Kapan itu?" 

Beliau menjawab:

إِذَا كَثُرَتْ جُهَّالُكُمْ وَقَلَّتْ عُلَمَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ خُطَباؤُكُمْ، وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَتُفُقِّهَ لغَيْر الدِّينِ، وَالْتُمسَتْ الدُّنْيَا بعَمَل الآخرَةِ"

1] Ketika jumlah orang bodoh di antara kalian bertambah dan jumlah ulama berkurang.

2] Ketika jumlah para penceramah [yang tidak mendalam ilmu agamanya] meningkat dan jumlah fuqaha [ulama yang mendalam ilmu agamanya] berkurang.

3] Ketika jumlah pemimpin [yang tidak amanah] bertambah dan jumlah orang yang dapat dipercaya berkurang.

4] Dan ketika ilmu fikih [ilmu agama yang mendalam] dipelajari bukan untuk tujuan agama. Dan dunia dicari dengan berkedok amalan akhirat' ”.

Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf no. 20742, Ma'mar dalam "Jami'" (20742) dari riwayat Abdul Razzaq, Ad-Darimi 1/64 (cetakan Dar Al-Fikr), Al-Hakim 4/514, dan Abu Nuaim dalam "Al-Hilyah".

Dan Al-Hakim tidak memberikan komentar apa pun. Al-Dhahabi berkata dalam kitab "Takhli": "Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim."

Qodhi 'Alaudin Ibnu Al-Lahhaam [Al-Ba'li yang terkenal dengan penulis kitab al-Iktiyaraat wal Qawaa’id] - semoga Allah merahmatinya – berkata :

ذُكِرَ لَنَا مَرَّةَ الشَّيْخُ [ابنُ رَجَب] مَسْأَلَةً فَأَطْنَبَ فِيهَا، فَعَجِبْتُ مِنْ ذَلِكَ، وَمِنْ إِتْقَانِهِ لَهَا، فَوَقَعْتُ بَعْدَ ذَلِكَ فِي مَحْضَرٍ مِنْ أَرْبَابِ الْمَذَاهِبِ، وَغَيْرِهِمْ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ فِيهَا الْكَلِمَةَ الْوَاحِدَةَ! فَلَمَّا قَامَ قُلْتُ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ تَكَلَّمْتَ فِيهَا بِذَلِكَ الْكَلَامِ؟! قَالَ: إِنَّمَا أَتَكَلَّمُ بِمَا أَرْجُو ثَوَابَهُ، وَقَدْ خِفْتُ مِنَ الْكَلَامِ فِي هَذَا الْمَجْلِسِ، أَوْ مَا هَذَا مَعْنَاهُ.

"Suatu ketika disebutkan kepada kami tentang kepiawaian ilmu Ibnu Rajab, bahwa pernah ditanyakan kepadanya suatu masalah maka dia bisa menjelaskannya panjang lebar, maka aku pun merasa takjub dengan hal itu ; karena penguasaan beliau terhadapnya.

Kemudian, saya menghadiri majlis yang dihadiri oleh para ahli mazhab dan yang lainnya, namun beliau [Ibnu Rajab] tidak berbicara sepatah katapun tentangnya! Setelah majlis itu selesai, saya berkata padanya: "Bukankah Anda sudah pernah berbicara tentang masalah itu?" Dia menjawab: "Aku hanya berbicara dengan apa yang aku harapkan pahalanya, dan aku khawatir [ujub] untuk berbicara dalam majlis ini”, atau kata-kata yang semakna dengan itu." (Dzail Ibnu Rajab 'ala Tabaqat al-Hanabilah: Hal. 39)

******

RESIKO KE 6:
JIKA DENGAN AGAMANYA, DIA INGIN DIAGUNGKAN DAN DIMULIAKAN

Ketika seorang da’i dengan agamanya dan ilmunya sudah menggapai semua yang tersebut diatas, maka setelah itu ada sebagian para dai yang sangat bernafsu untuk disambut dengan penuh pengagungan dan penghormatan pada dirinya. Ini adalah merupakan pertanda adanya kesombongan dan kecongkakan yang paling busuk pada diri-nya.

Al Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :

وَأَشْرَ الْكِبْرَ الَّذِي فِيهِ مَنْ يَتَكَبَّرُ عَلَى الْعِبَادِ بِعِلْمِهِ وَيَتَعَاظَمُ فِي نَفْسِهِ بِفَضِيلَتِهِ فَإِنْ هَذَا لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ فَإِنَّ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلْآخِرَةِ كَسَرَهُ عِلْمُهُ وَخَشِعَ قَلْبُهُ وَاسْتَكَانَتْ نَفْسُهُ وَكَانَ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمِرْصَادِ فَلَا يَفْتَرُ عَنْهَا بَلْ يُحَاسِبُهَا كُلَّ وَقْتٍ وَيَتَفَقَّدُهَا فَإِنْ غَفَلَ عَنْهَا جُمِحَتْ عَنِ الطَّرِيقِ الْمُسْتَقِيمِ وَأَهْلَكَتْهُ وَمَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلْفَخْرِ وَالرِّيَاسَةِ وَبَطَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَتَحَامَقَ عَلَيْهِمْ وَازْدَرَاءَهُمْ فَهَذَا مِنْ أَكْبَرِ الْكِبْرِ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ.

“Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri di hadapan manusia dengan ilmunya, merasa dirinya besar dengan kemuliaan yang dia miliki. Maka yang demikian itu menunjukkan bahwa ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya.

Karena ciri orang yang menuntut ilmu demi untuk akhirat; maka ilmunya itu akan mendobrak hatinya menjadi khusyuk serta membuat jiwanya menjadi tenang. Dan dia akan senantiasa mengawasi dirinya dan tidak pernah bosan untuk terus mengontrolnya dan memperhatikannya, bahkan setiap saat dia selalu introspeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, maka ini menunjukkan bahwa dia telah menyimpang dari jalan yang lurus dan itu akan membinasakan dirinya.

Dan barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri dan meraih kedudukan, serta memandang remeh kaum muslimin yang lainnya, menganggap bodoh dan merendahkan mereka, maka hal ini merupakan KESOMBONGAN yang PALING BESAR.

Tidak akan bisa masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar dzarrah (biji Sawi). Laa haula wa laa quwwata illaa billah.” (Al Kabaa’ir karya adz-Dzahabi hal. 78).

Dan yang pernah terjadi, ada sebagian dai salafi yang protes ketika dijemput untuk ngisi ceramah dengan mobil avanza. Padahal Avanza jauh lebih nyaman dari pada kendaraan onta yang biasa dikendarai oleh Nabi  dan pada para ulama salaf dahulu.

Ini adalah penyakit gila hormat. Dan ini merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam jiwa seseorang, menghancurkan hatinya yang hampir saja dia tidak menyadarinya kecuali setelah masuk begitu mendalam, sulit dideteksi dan kerusakannya pun sulit diperbaiki.

"Dari Ibnu Muhairiz, dia berkata:

صَحِبْتُ فُضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ – ﷺ – فَقُلْتُ: أَوْصِنِي رَحِمَكَ اللَّهُ، قَالَ: أَحْفَظْ عَنِّي ثَلَاثَ خِصَالٍ، يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِنَّ؛ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَعْرِفَ وَلَا تُعْرَفَ فَافْعَلْ، ‌وَإِنِ ‌اسْتَطَعْتَ ‌أَنْ ‌تَسْمَعَ ‌وَلَا ‌تَتَكَلَّمَ ‌فَافْعَلْ، ‌وَإِنِ ‌اسْتَطَعْتَ ‌أَنْ ‌تَجْلِسَ وَلَا يُجْلَسَ إِلَيْكَ فَافْعَلْ”.

Aku pernah bersama dengan Fudalah bin 'Ubaid – semoga Allah meridainya – yang merupakan sahabat Rasulullah . Aku berkata: 'Berilah aku nasihat, semoga Allah merahmatimu.'

Dia menjawab: 'Ingatlah tiga hal dariku yang akan memberikan manfaat kepadamu jika engkau melakukannya:

1]- Jika engkau bisa mengenal seseorang tanpa membuatmu terkenal, maka lakukanlah!.

2]- Jika engkau bisa mendengarkan tanpa berbicara, maka lakukanlah itu.

3]- Jika engkau bisa duduk sendiri tanpa disiapkan orang duduk disampingmu sebagai bentuk penghormatan, maka lakukanlah itu.' [Baca : Hilyatul Awliyaa 5/141]."

Al-Haitsami dalam al-Majma' 10/297 no. 18133 berkata:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

“Di riwayatkan ath-Thabarani, dan para perawinya tsiqoot [dipercaya]".

Ibrahim At-Taimi (wafat 92 H) - seorang muhaddits tsiqot - berkata :

مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا لِيَجْلِسَ إِلَيْهِ فَلَا تَجْلِسُوا إِلَيْهِ.

"Barangsiapa yang duduk di majelis agar orang-orang duduk kepadanya maka janganlah kalian duduk kepadanya". [Baca : Hilaytul Awliyaa 4/225].

Rosulullah  tidak suka jika ada seseorang berdiri hanya karena untuk menghormati diri-nya:

Imam Bukhory dalam kitab Adabul Mufrod meriwayatkan dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata:

“لَمْ يَكُنْ شَخْص أَحَبّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنْ رَسُول اللَّه ﷺ ، وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لَهُ ، لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَته لِذَلِكَ "

Tidak ada sosok manusia yang lebih di cintai oleh para sahabat untuk dilihatnya selain terhadap Rosulullah, dan mereka para sahabat jika melihat beliau datang, mereka tidak berdiri menyambutnya, karena mereka tahu jika beliau membencinya untuk diperlakukan seperti itu.

(Sanadnya sahih sesuai syarat Imam Muslim. Dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Turmudzi, dan Abu Isa Turmudzi berkata: Hadits Hasan Sahih Ghorib. Lihat Tahdzib Sunan Abu Daud 2/482).

Dari Jabir -radhiyallahu ‘anhu-: Bahwasannya ketika para sahabat shalat di belakang Nabi  dalam kondisi berdiri, sementara Rosulullah  duduk (karena saat itu beliau sedang sakit keras menjelang wafatnya), maka beliau memberi isyarat agar mereka juga duduk, maka merekapun duduk. Setelah beliau salam beliau bersabda:

« إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ فَلَا تَفْعَلُوا »

“Sungguh barusan hampir saja kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi, mereka berdiri terhadap raja-rajanya sementara para rajanya duduk, maka janganlah kalian lakukan itu”. [HR. Muslim no. 1-(413)]

Dari Abu Mijlaz, dia berkata: Suatu ketika Khalifah Muawiyah keluar, maka Abdullah bin Zubair dan Ibnu Sofwan berdiri ketika melihatnya, lalu Mu'awiyah berkata: Kalian berdua duduklah, aku telah mendengar Rosulullah  bersabda:

« مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّل لَهُ الرِّجَال قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَده مِنْ النَّار »

Barang siapa yang merasa bangga atau senang jika ada orang-orang berdiri untuk menyambutnya maka tempatilah tempat duduknya dari api neraka".

(HR. Ahmad 4/91, Bukhori di Adabul Mufrod no. 977 dan Turmudzi no. 2755, dia berkata: Hadits Hasan).

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

كَثِيرًا مَا يُخَالِطُ النُّفُوسَ مِنْ الشَّهَوَاتِ الْخَفِيَّةِ مَا يُفْسِدُ عَلَيْهَا تَحْقِيقَ مَحَبَّتِهَا لِلَّهِ وَعُبُودِيَّتِهَا لَهُ وَإِخْلَاصِ دِينِهَا لَهُ كَمَا قَالَ شَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ: يَا بَقَايَا الْعَرَبِ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ ، قِيلَ لِأَبِي دَاوُد السجستاني: وَمَا الشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ ؟ قَالَ: حُبُّ الرِّئَاسَةِ "

“Banyak syahwat tersembunyi yang bercampur dengan jiwa, akan tetapi dengan merealisasikan cinta kepada Alloh, beribadah kepada-Nya, ikhlas dalam beragama tidak akan mampu merusaknya, seperti halnya perkataan Syaddad bin Aus:

“Wahai sisa-sisa orang Arab, sesungguhnya yang paling aku takutkan kepada kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi”.

Ditanyakan kepada Abu Daud As Sajastani: “Apa yang dimaksud dengan syahwat yang tersembunyi?”. Dia berkata: “Cinta menjadi tokoh [pemimpin]”. (Majmu’ Fatawa: 10/214-215)

Abu Nu’aim al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanad nya dari seorang pria, dia berkata :

أَتَيْنَا عَلَى ابْنِ بَكَّارٍ، فَقُلْنَا لَهُ: حُذَيْفَةُ الْمَرْعَشِيُّ يَقْرَؤُ عَلَيْكَ السَّلَامَ، قَالَ: وَعَلَيْهِ، إِنِّي لَأَعْرِفُهُ بِأَكْلِ الْحَلَالِ مِنْذُ ثَلَاثِينَ سَنَةً، وَلَئِنْ أَلْقَى الشَّيْطَانُ عَيْنًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَاهُ، قُلْتُ لَهُ فِي ذَلِكَ، قَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ أَتَصَنَّعَ لَهُ، فَأَتَزَيَّنُ لِغَيْرِ اللَّهِ، فَأَسْقُطَ مِنْ عَيْنِ اللَّهِ.

Kami mendatangi Ibnu Bakkaar, lalu kami berkata padanya: "Hudzaifah al-Mar’asyi menyampaikan salam kepadamu!"

Dia menjawab : 'Wa'alaihis salaam, Sesungguhnya aku benar-benar mengenal-nya, di makan dari yang halal sejak 30 tahun. Sungguh seandainya aku bertemu setan di depan mata lebih aku cintai daripada aku bertemu dia atau dia bertemu aku'.

Aku bertanya: 'Mengapa demikian?'

Dia menjawab: "aku takut untuk berbuat sesuatu semata-mata karena dia, lalu aku membagus -baguskan diri dihadapannya karena untuk selain Allah. Sehingga kedudukanku jatuh di sisi Allah". [Hilyatul Awliyaa 4/204].

ROSULULLAH SENDIRI TIDAK SUKA DI PUJI DAN DI AGUNG-AGUNGKAN:

Rosulullah pribadi yang tidak suka sanjungan dan pujian, bahkan beliau melarang umatnya memuji-memuji dan mengagung-agungkan dirinya .

Di riwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu :

" أنَّ نَاسًا قَالُوْا : يَارَسُولُ اللَّه يَاخَيْرَنَا وَابْن َخَيْرِنَا وَيَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّه ﷺ : « ياأيّها النّاسُ قُولُوا بِقولِكُمْ ولا يَسْتَهْوِيَنّكُم ْالشّيْطَانُ ، أنا محمدٌ عَبْد الله وَرَسُولُه ، ما أحِبّ أنْ تَرْفَعُوني فَوْقَ مَنْزِلَتِي التي أنزلني الله عَزّ وَجَلّ »

Bahwa orang-orang berkata kepada Nabi : Ya Rosulullah , wahai pilihan kami dan putra seorang pilihan kami , wahai sayyiduna ( tuan kami ) dan putra sayyiduna ( putra tuan kami ) ! .

Maka Rosulullah bersabda : " Wahai para manusia , jagalah perkataan kalian itu , jangan sampai syeitan menggelincirkan kalian , aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya , aku tidak suka kalian mengangkatku diatas kedudukanku yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan untukku ".

( HR. Ahmad no. 12573 , 13621 , 13596 , Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Laylah no. 248 , 249 dan Ibnu Hibban no. 6240 . Hadits ini di sahihkan oleh Ibnu Hibban , Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 5L179 , syueib Al-Arnauth dlll ).

RASULULLAH MELARANG MEMUJI SESEORANG DENGAN REDAKSI YANG MEMASTIKAN.

Dalam hadits Abu Bakroh di ceritakan : ada seseorang memuji-muji seseorang lainnya di sisi Rosulullah , maka beliau berkata padanya :

«وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ» مِرَارًا ، ثُمَّ قَالَ : «مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ ، لاَمَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلاَنًا وَاللهُ حَسِيبُهُ وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذلِكَ مِنْه».

“Celakalah kamu, kamu telah memotong leher sahabatmu , kamu telah memotong leher sahabatmu !”. (beliau mengatakannya berulang-berulang)

Kemudian beliau berkata : " Jika ada di antara kalian mau memuji saudaranya yang tidak boleh tidak , maka katakanlah : Aku kira si Fulan , dan hanya Allah lah yang membuat perkiraan atau perhitungan terhadap segala sesuatu , dan kepada Allah aku tidak berhak menyatakan bahwa seseorang itu bersih dan terpuji , ( akan tetapi ) aku kira seseorang itu begitu dan begitu , meskipun dia tahu persis orang itu seperti yang dia kira ". ( HR. Bukhory no. 2662, 6061 dan Muslim no. 3000 ).

Dan Imam Ahmad (16460) telah meriwayatkan dari Mu’awiyah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa dia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda:

" إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ "

“Jauhilah oleh kalian saling memuji karena hal itu akan menyembelihmu”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 2674)

Al Manawi –rahimahullah- berkata:

المدحُ يورِثُ العَجَبَ وَالكِبْرَ وَهُوَ مَهْلِكٌ كَالذَّبْحِ فَلِذَلِكَ شُبِّهَ بِهِ، قَالَ الْغَزَالِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: فَمَنْ صَنَعَ بِكَ مَعْرُوفًا فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُحِبُّ الشُّكْرَ وَالثَّنَاءَ فَلَا تُمَدِّحْهُ؛ لِأَنَّ قَضَاءَ حَقِّهِ أَنْ لَا تُقَرِّهِ عَلَى الظُّلْمِ وَطَلَبَهُ لِلشُّكْرِ ظُلْمٌ، وَإِلَّا فَأَظْهَرْ شُكْرَهُ لِيَزْدَادَ رَغْبَةً فِي الْخَيْرِ.

“Pujian itu mewarisi takjub dan sombong dan akan membinasakan seperti sembelihan, oleh karenanya diserupakan dengannya.

Al Ghozali –rahimahullah- berkata: “Barang siapa yang telah berbuat baik kepadamu, jika dia termasuk yang menyukai ucapan terima kasih dan pujian maka janganlah kamu memujinya; karena yang menjadi haknya janganlah menyetujui kedzaliman, dia meminta ucapan terima kasih dan pujian adalah kedzaliman, atau kalau tidak maka berilah ucapan terima kasih untuk menambahnya mencintai kebaikan”. (Faidhul Qadir: 3/167)

====

SOMBONG, UJUB DAN MERASA SUCI ADALAH DOSA PERTAMA IBLIS :

Sebagian para ulama salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Tentang ayat ini Qotaadah berkata :  

“Iblis hasud terhadap Adam ‘alaihis salaam atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada nya. Iblis berkata : “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi. Iblis merasa sombong dengan tidak mau bersujud kepada Adam ‘alaihis salaam” (Tafsir Ibnu Katsir 1/114)

Dan Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

“Maukah kalian aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Termasuk kesomongan dan kecongkakan seseorang adalah memastikan dirinya sebagai orang shaleh dan ahli surga. Sementara Allah SWT berfirman :

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

“Maka janganlah kalian mengatakan bahwa diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. ( QS. An-Najm : 32 )

Rasulullah  bersabda,

((لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ، أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ !)).

“Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu”. (HR. Muslim no. 2142).

Seseorang tidak boleh memastikan siapapun sebagai ahli surga ; karena, ini masuk dalam ranah ghaib, yang hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya, kecuali jika ada keterangan wahyu dari Allah yang diturunkan pada Rasul-Nya.

Contohnya : 1] adanya nash hadits yang menetapkan 10 sahabat yang dipastikan masuk syurga, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zubair ... dst . 2] Pasukan Badar. 3] Para Syuhada Uhud .

Jika tidak ada nash dan dalil maka siapapun tidak boleh memastikan sesorang sebagai ahli syurga, akan tetapi cukup berhusnudz dzon (berprasangka baik) dan berharap sebagai ahli syurga.

Maka barang siapa mengklaim bahwa si fulan ahli syurga tanpa dalil, maka dia telah melangkahi Allah dan Rasul-Nya. Dan itu di larang .

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Hujurat: 1]

Dan tidak boleh pula ngalap berkah atau bertabarruk pada seseorang atau suatu benda, kecuali syarat-syaratnya terpenuhi . Ada tiga syarat :

Syarat pertama : ada keterangan dari Allah dan Rasulnya bahwa orang tersebut atau benda tersebut diberkahi oleh Allah SWT.

Syarat kedua : ada izin atau perintah dari Allah dan Rasul-Nya untuk ngalap berkah dan bertabrruk dengan-nya .

Syarat ketiga : berkeyakinan bahwa hakikat keberkahan itu dari Allah SWT semata.

Contohnya tabarruk dan ngalap berkah yang disyariatkan adalah bertabarruk dengan fisik Nabi  dan juga bertabarruk dengan air zamzam.

Namun Nabi  tidak pernah mengizinkan ngalap berkah dengan para sahabatnya dan sanak keluarganya . Lalu bagaimana dengan air ludah para kyai dan ustdaz ?

Begitu pula Nabi  tidak pernah mengizinkan ngalap berkah dengan bebatuan tanah haram Makkah, padahal al-Qur’an menyatakan bahwa Tanah Haram Makkah itu di berkahi .

﴿إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ﴾

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. [QS. Al Imran: 96]

===*****===

HUKUM MATERI CERAMAH BERISI
CERITA BOHONG UNTUK LAWAKAN & LELUCON

Rasulullah  bersabda,

ﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻠَّﺬِﻯ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓَﻴَﻜْﺬِﺏُ ﻟِﻴُﻀْﺤِﻚَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ

“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia .”

[Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4990), At-Tirmidzi (2315) dengan sanad yang dipilih oleh At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i dalam "As-Sunan Al-Kubra" (11126). Ahmad juga meriwayatkannya dalam Musnad-nya (20046). Di Hasankan oleh Tirmidzi dan Syeikh al-Albaani].

Dari Abu Al Ahwash bahwa Abdullah memarfu'kan hadits kepada Nabi , beliau bersabda:

إِنَّ شَرَّ الرَّوَايَا رَوَايَا الْكَذِبِ وَلَا يَصْلُحُ مِنْ الْكَذِبِ جِدٌّ وَلَا هَزْلٌ وَلَا يَعِدُ الرَّجُلُ ابْنَهُ ثُمَّ لَا يُنْجِزُ لَهُ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّهُ يُقَالُ لِلصَّادِقِ صَدَقَ وَبَرَّ وَيُقَالُ لِلْكَاذِبِ كَذَبَ وَفَجَرَ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا وَإِنَّهُ قَالَ لَنَا هَلْ أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ وَإِنَّ الْعَضْهَ هِيَ النَّمِيمَةُ الَّتِي تُفْسِدُ بَيْنَ النَّاسِ

"Sesungguhnya cerita yang paling buruk adalah cerita dusta, dan sebagian dusta itu tidak pantas dijadikan sesuatu yang serius dan canda. Seorang laki-laki tidak boleh berjanji kepada anaknya kemudian ia tidak menunaikan janjinya itu. Sesungguhnya kebenaran itu membimbing kepada kebajikan dan kebajikan itu membimbing ke surga. Sesungguhnya dusta itu menunjukkan pada kedurhakaan dan kedurhakaan itu membimbing ke neraka. Sesungguhnya akan dikatakan kepada orang yang jujur; Ia jujur dan bajik. Dan akan dikatakan kepada orang yang berdusta; Ia berdusta dan durhaka. Sesungguhnya seseorang akan berlaku jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur dan berlaku dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."

Beliau bersabda kepada kami: "Maukah aku beritahukan kepada kalian apa itu Al 'Adlhu itu? Sesungguhnya Al 'Adl-hu adalah mengadu domba yang akan menghancurkan antara manusia."

[HR. Ad-Daarimi 3/1783 no. 2757. Dishahihkan sanadnya oleh Pentahqiqnya Husein Asiid]

Dan diriwayatkan pula oleh Imam Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod hal. 153 dengan sanad mauwquf dari Abdullah bin Mas’ud . Dan dishahihkan al-Albaani dalam shahih al-Adab al-Mufrod 387/299.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Huroiroh RA bahwa Rasulullah  bersabda :

" لا يُؤْمِنُ العَبْدُ الإيمانَ كُلَّه حتى يَتْرُكَ الكذِبَ فِي المِزَاِح ".

"Tidak beriman seorang hamba dengan keimanan yang menyeluruh, hingga ia meninggalkan dusta, sekalipun bercanda ".

(HR. Ahmad no. 8428, 8566, ath-Tabrani dalam al-Awsath no. 5245 dan Ibnu Abid Dunya dalam Makarim al-Akhlaq no. 134 . Didhoifkan sanadnya oleh Ibnu Muflih dalam al-Adab asy-Syar’iyyah 1/45 dan Syaikh Syu’aib Arnauth. Akan tetapi al-Albaani berkata dalam Shahih at-Targhiib : “ Shahih Lighoirihi”).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fataawaa 32/160 menjelaskan bahwa dusta tidak diperbolehkan baik dalam hal serius maupun bercanda, Beliau menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

"لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جدٍّ وَلَا هَزْلٍ".

“Sesungguhnya berdusta tidak boleh baik dalam keadaan serius maupun bercanda”.[Shahih]

Beliau menjelaskan lagi bahwa hukumannya lebih berat jika sampai menimbulkan permusuhan dan persengketaan di antara manusia bahkan menimbulkan bahaya bagi agama. Beliau berkata,

وَأَمَّا إِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ مَا فِيهِ عُدْوَانٌ عَلَى مُسْلِمٍ وَضَرَرٌ فِي الدِّينِ؛ فَهُوَ أَشَدُّ تَحْرِيمًا مِنْ ذَلِكَ. وَبِكُلِّ حَالٍ: فَفَاعِلُ ذَلِكَ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوبَةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي تَرْدَعُهُ عَنْ ذَلِكَ.

“Apabila hal tersebut (dusta) menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin dan menimbulkan madharat bagi agama, maka ini lebih terlarang lagi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman syar’i yang bisa membuatnya jera.”

*****

SIAPAKAH DA’I YANG LEBIH BAHAYA DARI PADA DUA SRIGALA KELAPARAN?

Di antara sarana terbesar yang akan merusak seseorang untuk sampai kepada Rabbnya adalah: seseorang dengan agamanya sengaja bertujuan untuk mengeruk keuntungan duniawi dan menggapai kemuliaan di dunia.

Orang seperti ini lebih buruk dan lebih merusak dari pada dua ekor serigala kelaparan yang dilepas dikawanan kambing. Sebagaimana di sebutkan dalam hadits Ka’ab bin Malik bahwa: “Rasulullah –- bersabda:

(مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ)

‘Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas kepada kawanan kambing, tidak lebih besar kerusakan yang dibuatnya dibandingkan dengan kerusakan agama seseorang akibat ketamakannya terhadap harta dan ambisi kehormatan dengannya’.

[HR. Ahmad no. 15794, Tirmidzi (2376), Nasaa'i dalam al-Kubra no. 11796, Ibnu Abi Syaibah no. 34380 dan ad-Daarimi no. 2772. Abu Isa Turmudzi berkata: " Hadits Hasan Shahih".

(Dishahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad no. 15794 dan al-Albani dalam Shahih Al Jami’: 5620)

Syeikh Islam –rahimahullah- berkata:

“فَبَيَّنَ ﷺ أَنَّ الْحِرْصَ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ فِي فَسَادِ الدِّينِ لَا يَنْقُصُ عَنْ فَسَادِ الذِّئْبَيْنِ الْجَائِعَيْنِ لِزَرِيبَةِ الْغَنَمِ وَذَلِكَ بَيِّنٌ ؛ فَإِنَّ الدِّينَ السَّلِيمَ لَا يَكُونُ فِيهِ هَذَا الْحِرْصُ وَذَلِكَ أَنَّ الْقَلْبَ إذَا ذَاقَ حَلَاوَةَ عُبُودِيَّتِهِ لِلَّهِ وَمَحَبَّتِهِ لَهُ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ أَحَبَّ إلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ حَتَّى يُقَدِّمَهُ عَلَيْهِ وَبِذَلِكَ يُصْرَفُ عَنْ أَهْلِ الْإِخْلَاصِ لِلَّهِ السُّوءُ وَالْفَحْشَاءُ ".

“Maka Rasulullah  telah menjelaskan bahwa ketamakan mengejar harta dan kemuliaan dalam kerusakan agamanya, tidak kurang dari kerusakan dua srigala yang sedang lapar masuk ke kandang kambing, hal itu begitu nyata; sungguh selamatnya agama tidak memerlukan kerakusan duniawi tersebut; karena jika hati sudah merasakan manisnya beribadah dan cinta kepada Alloh, maka tidak ada lagi sesuatu yang lebih ia cintai yang mengalahkan ibadahnya, oleh karena itu bagi mereka yang ikhlas akan dipalingkan dari keburukan dan kekejian”. (Majmu’ Fatawa: 10/215)

*****

KONDISI DA'I OMDO, KELAK KETIKA BERADA DALAM API NERAKA

Dari Usamah bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah  bersabda:

يُجَاءُ بالرَّجُلِ يَومَ القِيَامَةِ فيُلْقَى في النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أقْتَابُهُ في النَّارِ، فَيَدُورُ كما يَدُورُ الحِمَارُ برَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أهْلُ النَّارِ عليه فيَقولونَ: أيْ فُلَانُ، ما شَأْنُكَ؟ أليسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بالمَعروفِ وتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟! قالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بالمَعروفِ ولَا آتِيهِ، وأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وآتِيهِ.

Pada hari qiyamat akan dihadirkan seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar-putar menarik mesin gilingnya.

Maka penduduk neraka berkumpul mengelilinginya seraya berkata; "Wahai fulan, apa yang terjadi denganmu?. Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat ma'ruf dan melarang kami berbuat munkar?".

Orang itu berkata; "Aku memang memerintahkan kalian agar berbuat ma'ruf tapi aku sendiri tidak melaksanakannya dan melarang kalian berbuat munkar, namun malah aku mengerjakannya". [HR. Bukhori No. 3267 dan Muslim no. 2989].

Dari Jundub bin Abdullah al-Azdi, sahabat Nabi , ia berkata: Rasulullah  bersabda:

مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ ويَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ ويَحْرِقُ نَفْسَهُ

"Perumpamaan seorang alim (ahli ilmu) yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain dan melupakan dirinya sendiri, seperti perumpamaan lampu yang menerangi orang lain dan membakar dirinya sendiri."

(HR. At-Tabarani dalam "Al-Mu'jam Al-Kabir" 2/165-166, dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam "Shahih At-Targhib wa At-Tarhib" 1/164).

*****

DALAM BERDAKWAH DAN AMAR MAKRUF NAHYI MUNKAR HARUS DISERTAI DENGAN KETELADANAN

Allah Ta'ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ۞ه

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]:44)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۞ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۞ه

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf [61]:2-3)

AYAT DAN HADITS INFAQ BUKAN UNTUK KEPENTINGAN OKNUM DA’I PEMBURU INFAQ :

Salah satu bentuk omdo sebagian para dai dan para muballigh adalah menyampaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berisi perintah berinfaq harta ditujukan oleh da'i tersebut kepada orang-rang selain dirinya agar mereka mau berinfaq pada dai tersebut, yang mana hasi dari infaq tersebut dia gunakan untuk kepentingan pribadinya dan keluarganya, bukan untuk umat dan bukan pula untuk orang yang berhak menerima infaq. Seakan-akan ayat infaq itu adalah firman atau wahyu yang diturunkan untuk kepentingan dirinya. Ini sama saja dengan memperalat ayat al-Quran untuk kepentingan pribadinya dan kerakusannya.

Mestinya seorang dai itu harus jadi teladan bagi umat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Quran, termasuk dalam berinfaq.

Nabi  sang penerima wahyu, telah memberikan teladan pada umatnya sebagai ahli infaq, lalu beliau  mengharamkan dirinya dan keluarganya menerima zakat, sedekah dan infaq, kecuali hadiah.

Dan beliau  mengharamkan umat-nya minta-minta kecuali karena darurat atau hajat mendesak .

Dan beliau  juga mengharamkan menerima pemberian atau hadiah yang diberikan oleh seseorang karena malu atau terpaksa. 

Para sahabat -radhiyallahu 'anhum- terkenal sebagai pembisnis dan ahli infaq. Dengan infaq-nya, mereka berhasil meng-Islamkan banyak orang kafir dan Islam menyebar ke seluruh dunia. 

*****

PARA SAHABAT NABI SENANTIASA BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN AMAL SHALEH-NYA:

Contohnya adalah sbb:

Pertama: Az-Zubair bin al-'Awwaam -radhiyallahu ‘anhu-.

Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi  yang senantiasa berusaha menyembunyikan amal kebajikannya. Dia memiliki sebuah pepatah tentang hal itu, yaitu perkataannya:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ خَبِيءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ

“Barang siapa di antara kalian yang mampu menyembunyikan amal sholehnya, maka lakukanlah".

Kedua: Saad bin Abi Waqqash -radhiyallahu ‘anhu-:

Saad -radhiyallahu ‘anhu- termasuk seorang mujahid dan dai dari kalangan sahabat yang terkenal, terutama dikenal karena kepemimpinannya dalam pertempuran al-Qodisiyyah dan kunjungannya ke Tiongkok pada tahun 651 M. Dan beliau termasuk salah satu dari 10 sahabat yang dijamin masuk syurga.

Bukair bin Mismar meriwayatkan dari Amir bin Sa'ad, dia berkata:

كَانَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فِي إِبِلِهِ فَجَاءَهُ ابْنُهُ عُمَرُ فَلَمَّا رَآهُ سَعْدٌ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ هَذَا الرَّاكِبِ فَنَزَلَ فَقَالَ لَهُ أَنَزَلْتَ فِي إِبِلِكَ وَغَنَمِكَ وَتَرَكْتَ النَّاسَ يَتَنَازَعُونَ الْمُلْكَ بَيْنَهُمْ فَضَرَبَ سَعْدٌ فِي صَدْرِهِ فَقَالَ اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

Sa'ad bin Abi Waqqash tengah mengurus untanya lalu putranya Umar mendatanginya, saat Sa'ad melihatnya, dia berkata: Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini.

Putranya turun ldari untanya lalu berkata pada Sa'ad, dia berkata: " Apakah engkau sibukkan diri engkau dengan mengurus unta dan kambing engkau sementara engkau membiarkan orang-orang saling memperebuatkan kekuasaan diantara mereka?

Sa'ad memukul dadanya lalu berkata: " Diam, aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

"Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, kaya [tidak mengharapkan pemberian manusia] dan tersembunyi." [HR. Muslim no. 2965 dan Ahmad (1441)]

Dalam lafadz riwayat lain: "Dari Amir bin Saad:

أَنَّ أَخَاهُ عُمَرَ أَتَى إِلَى سَعْدٍ فِي غَنَمٍ لَهُ خَارِجًا مِنَ الْمَدِينَةِ فَلَمَّا رَآهُ سَعْدٌ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ هَذَا الرَّاكِبِ فَلَمَّا أَتَاهُ قَالَ يَا أَبَهُ أَرَضِيتَ أَنْ تَكُونَ أَعْرَابِيًّا فِي غَنَمِكَ وَالنَّاسُ يَتَنَازَعُونَ فِي الْمُلْكِ بِالْمَدِينَةِ فَضَرَبَ سَعْدٌ صَدْرَ عُمَرَ وَقَالَ اسْكُتْ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْتَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

“Bahwa saudaranya, Umar, datang kepada Saad yang sedang menggembalakan kambingnya keluar dari Madinah. Ketika Saad melihatnya, ia berkata: 'Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan pengendara ini.'

Ketika Umar mendekatinya, ia berkata: 'Wahai ayah, apakah engkau senang menjadi seorang Badui dengan kambing-kambingmu sedangkan orang-orang berselisih dalam kekuasaan di Madinah?'

Saad kemudian memukul dada Umar dan berkata: 'Diamlah! Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa, kaya, dan tersembunyi.'" [HR. Al-Baihaqi dalam Sy'ab al-Iiman 7/3354 dan menshahihkannya].

Jika kita sudah mengetahui tentang larangan niat ingin terkenal, maka tidak diragukan lagi bahwa keselamatan seseorang adalah dengan memilih merendah dan tawadhu’ kepada Rabb-nya dan meninggalkan upaya mencari ketenaran dan kemuliaan, meskipun hal itu berkaitan dengan perkara mubah dari urusan dunia, apalagi dengan urusan agama dan ibadah sperti berdakwah.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

"الخَفِيّ: هُوَ الَّذِي لَا يَظْهَرُ نَفْسَهُ، وَلَا يَهْتَمُّ أَنْ يَظْهَرَ عِنْدَ النَّاسِ أَوْ يُشَارَ إِلَيْهِ بِالْبَنَانِ أَوْ يَتَحَدَّثُ النَّاسُ عَنْهُ، تَجِدُهُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَمِنْ مَسْجِدِهِ إِلَى بَيْتِهِ، وَمِنْ بَيْتِهِ إِلَى أَقَارِبِهِ وَإِخْوَانِهِ، يَخْفِي نَفْسَهُ."

“Al Khofiy adalah orang yang tidak menampakkan dirinya sendiri, dia juga tidak memperhatikan apakah akan dikenal di masyarakat atau ditunjuk dengan jemari (ditokohkan) atau diperbincangkan banyak orang, dia berjalan dari rumahnya ke masjid, dari masjid ke rumahnya, dari rumahnya menuju kerabatnya dan saudara-saudaranya, dia menyembunyikan dirinya”. (Syarh Riyadhus Shalihin: 629)

Ketiga: Buraidah bin al-Hushoib radhiyallahu anhu

Seorang sahabat Buraidah bin al-Hushoib radhiyallahu anhu [W. 63 H] berkata:

شَهِدْتُ ‌خَيْبَرَ، ‌وَكُنْتُ ‌فِيْمَنْ ‌صَعِدَ ‌الثُّلْمَةَ، ‌فَقَاتَلْتُ ‌حَتَّى ‌رُئِيَ ‌مَكَانِي، ‌وَعَلَيَّ ‌ثَوْبٌ ‌أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ – أَيْ: الشُّهْرَةَ

“Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar, dan aku adalah salah satu dari mereka yang menaklukkan benteng itu, lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat [oleh orang-orang] karena aku mengenakan BAJU MERAH, maka sepengatahuanku tidak ada dosa dalam Islam yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya". Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi pusat perhatian dalam medan jihad. [Baca : سير أعلام النبلاء  (2/470)]

Adz-Dzahabi berkata:

قُلْتُ: بَلَى، جُهَّالُ زَمَانِنَا يَعْدُّونَ الْيَوْمَ مِثْلَ هَذَا الْفِعْلِ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ، وَبِكُلِّ حَالٍ فَالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَلَعَلَّ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَازَدْرَائِهِ عَلَى نَفْسِهِ، يَصِيرُ لَهُ عَمَلُهُ طَاعَةً وَجِهَادًا! وَكَذَلِكَ يَقَعُ فِي الْعَمَلِ الصَّالِحِ، رُبَّمَا افْتَخَرَ بِهِ الْغِرُّ وَنَوَّهَ بِهِ، فَيَتَحَوَّلُ إِلَى دِيْوَانِ الرِّيَاءِ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا} [الفُرْقَانِ: 23].

"Aku berkata: Ya, orang-orang bodoh zaman kita ini menganggap perbuatan seperti ini sebagai salah satu dari bentuk jihad yang paling agung.

Namun, segala amal perbuatan bergantung pada niat. Mungkin Buraidah -radhiyallahu ‘anhu- dengan kerendahan hatinya berharap agar amal perbuatannya menjadi ketaatan dan jihad. Begitu juga yang harus terjadi dalam amal perbuatan yang shaleh. Seringkali ada orang yang tergoda yang ketika melihat dirinya menonjol, lalu dia berubah menjadi ingin pamer dan riya'. Maka Allah Ta'ala berfirman:

{وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا}

'Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (QS. Al-Furqan: 23)”. [Siyaar al-A'lam an-Nubalaa 4/91]

Al-Fudhail bin ‘Iyadh (W. 187 H) –rahimahullah- berkata:

"إِنْ قَدِرْتَ أَنْ لَا تُعْرَفَ فَافْعَلْ، وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا تُعْرَفَ؟ وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يُثْنَى عَلَيْكَ؟ وَمَا عَلَيْكَ أَنْ تَكُونَ مُذْمَّمًا عِنْدَ النَّاسِ إِذَا كُنْتَ مَحْمُودًا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ؟"

“Jika anda mampu untuk tidak dikenal maka lakukanlah! Kenapa kamu harus tidak terkenal? Kenapa kamu harus tidak dipuji orang?. Karena kamu tidak akan tercela di hadapan manusia jika kamu terpuji di sisi Alloh –‘Azza wa Jalla-”. (At Tawadhu’ wa Al Khumul / Abu Bakr Al Qurasyi: 43)

******

KISAH ORANG SHALEH KETIKA DIHADAPKAN PADA UJIAN ANTARA IKHLAS DAN POPULARITAS:

Mari kita perhatikan sebagian kisah orang-orang saleh dari kalangan salaf yang dinyatakan do'anya mustajab, bagaimana usaha mereka untuk menyembunyikan amal salehnya dan bagaimana sikap mereka terhadap popularitas? Kemudian kita bandingkan dengan diri kita masing-masing serta orang-orang zaman sekarang yang sengaja mencari popularitas dengan ibadahnya atau kemustajabannya dalam berdo'a.

====

PERTAMA: Yazid bin Al-Aswad al-Jurosyi.

Beliau adalah seorang tabii mukhodlrom, hidup sezaman dengan Nabi  namun belum pernah bertemu. Beliau sempat menyaksikan masa-masa jahiliyah, beliau tinggal di negeri Syam, perkampungan Zabdiin, beliau wafat pada tahun 58 H, pada masa khilafah Mu'awiyah bin Abi Sufyan

Telah berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr:

خَرَجَ الضَّحَاكُ بْنُ قَيْسٍ فَاسْتَسْقَى بِالنَّاسِ وَلَمْ يُمْطِرُوا وَلَمْ يَرَوْا سَحَابًا، فَقَالَ الضَّحَاكُ: أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ (وَفِي رِوَايَةِ عَلِيّ بْن أَبِي جَمْلَةَ: فَقَالَ أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ الْجُرَشِيُّ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ الْجُرَشِيُّ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الْأَسْوَدِ الْجَرْشِيُّ عَزَمْتُ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ يَسْمَعُ كَلَامِي) فَقَالَ: هَذَا أَنَا قَالَ: قُمْ فَاسْتَشْفِعْ لَنَا إِلَى اللَّهِ أَنْ يُسْقِينَا (وَفِي رِوَايَةٍ: قُمْ يَا بَكَّاء) فَقَامَ فَعَطَفَ بُرْنَسَهِ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّ عِبَادَكَ هَؤُلَاءِ اسْتَشَفَعُوا بِي إِلَيْكَ فَمَا دَعَا إِلَّا ثَلَاثًا حَتَّى أَمْطَرُوا مَطَرًا كَادُوا يَغْرُقُونَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا شَهَرَنِي فَأَرِحْنِي مِنْهُ فَمَا أَتَتْ بَعْدَ ذَلِكَ جُمعَةٌ حَتَّى مَاتَ (وَفِي رِوَايَةٍ: قُتِلَ).

“Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama orang-orang untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan.

Maka beliau bertanya: " Dimana Yazid bin Al-Aswad al-Jurosyi? "

(Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: " Dimana Yazid bin Al-Aswad al-Jurosyi?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri! ").

Maka berkata Yazid:”Saya di sini!”.

Berkata Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!” (Dalam riwayat yang lain: Berdirilah, wahai tukang nangis!).

Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banju burnus nya lalu berdoa:

”Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”.

Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya.

Kemudian dia [Yazid] berkata: ”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”.

Dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.”

Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihqi dalam Syu'ab al-Iman 9/223 no. 6577. Ibnu Asakir di Tarikh Damaskus 65/112, Dzahabi di Siyar A'lam Nubala 4/137 dan Ibnul Jauzy di Sofwatus Shofwah 4/202. Kisah ini di sahihkan sanadnya oleh Al-Albaany dalam kitab Tawassul hal. 42.

====

KEDUA: Uwais bin 'Amir Al-Qorni.

Beliau adalah penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, beliau seorang Tabii mukhodlrom, hidup sezaman dengan Nabi  tapi belum pernah ketemu.

Disebutkan bahwasanya ia meninggal bersama Ali bin Abi Tholib dalam perang siffin (Al-Minhaj 16/94, Faidhul Qodir 3/451), sebagaimana perkataan Yahya bin Ma’in, “Uwais terbunuh dihadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Tholib tatkala perang Siffin” (Al-Mustadrok 3/455 no 5716).

Nabi  menyebutkan tentang keutamaan Uwais, padahal beliau  belum pernah bertemu dengannya, sebagaimana sabda Nabi  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1968 no 2542) dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah bersabda:

« إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ ، وَلَهُ وَالِدَة...”.

“Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu…".

Subhanallah, beliau adalah Tabiin yang terbaik, padahal beliau bukan seorang ulama yang menguasai banyak keilmuan tentang agama.

Berkata imam An-Nawawi:

“Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya adalah: maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir, hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdholan di sisi Allah” (Al-Minhaj 16/95)

Imam Muslim dalam Sahihnya no. 2542 meriwayatkan dari Usair bin Jabir, dia berkata:

كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أُمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ: أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ؟ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ، فَقَالَ: أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: مَنْ مُرَادُ، ثُمَّ مَنْ قَرَن؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأَتْ مِنْهُ، إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: لَكَ وَالدَةٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أُمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ، ثُمَّ مَنْ قَرَنٍ، وَكَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ، إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ، لَهُ وَالدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ"، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ، فَاسْتَغْفِرْ لِي، فَاسْتَغْفَرَ لَهُ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: "أَيْنَ تُرِيدُ؟"، قَالَ: الْكُوفَةَ، قَالَ: أَلَا أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا؟ قَالَ: أَكُونُ فِي غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيَّ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقَبَّلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ، فَوَافَقَ عُمَرُ، فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ، قَالَ: تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ، قَلِيلَ الْمِتَاعِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أُمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ، مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مَنْ قَرَنٍ، كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ، لَهُ وَالدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ"، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ، فَأَتَى أُوَيْسًا، فَقَالَ: اسْتَغْفِرْ لِي، قَالَ: أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ، فَاسْتَغْفِرْ لِي، قَالَ: اسْتَغْفِرْ لِي، قَالَ: أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ، فَاسْتَغْفِرْ لِي! قَالَ: لَقِيتَ عُمَرَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَاسْتَغْفَرَ لَهُ، فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ، فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ، قَالَ أُسَيْر: وَكُسُوتُهُ بُرْدَةٌ، فَكَانَ كُلَّمَا رَآهُ إِنْسَانٌ، قَالَ: مِنْ أَيْنَ لأُوَيْس هَذِهِ الْبُرْدَة؟.

“Telah ada Umar bin Al-Khotthob jika datang kepadanya amdad (pasukan perang penolong yang datang untuk membantu pasukan kaum muslilimin dalam peperangan) dari negeri Yaman maka Umar bertanya kepada mereka:

“Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”.

Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod, kemudian dari Qoron?”. Ia berkata, “Benar”.

Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit kulit memutih (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?”. Ia berkata, “Benar”.

Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”,

Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah  bersabda:

((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit kulit memutih (albino) kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah))”.

Lalu Umar berkata: " oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!".

Maka Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar.

Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”.

Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka (pemuka penduduk Yaman) dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais.

Orang itu berkata: “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta”.

Umar berkata: “Aku mendengar Rasulullah  bersabda,

((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit kulit memutih (albino) kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)).

Maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya: “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”.

Uwais berkata: “Engkau ini baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka (mestinya) engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”,

Orang itu berkata: “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”,

Uwais berkata: “Engkau ini baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka (mestinya) engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”,

Orang itu berkata: “Engkau bertemu dengan Umar?”,

Uwais menjawab: “Iya”. Orang itu berkata: “Mohon ampunlah kepada Allah untuk Umar”.

Lalu orang-orangpun menjadi tahu apa yang terjadi. Maka iapun pergi (menyembunyikan diri).

Usair berkata: " Aku memberinya kain Burdah untuk menutupi tubuhnya. Maka setiap ada orang yang melihatnya ia berkata: Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?".

Dalam riwayat Al-Hakim (Al-Mustadrok 3/456 no 5720):

قَالَ: مَا أَنَا بِمُسْتَغْفِرٍ لَكَ حَتَّى تَجْعَلَ لِي ثَلَاثًا. قَالَ: وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: لَا تُؤْذِينِي فِيمَا بَقِيَ، وَلَا تُخْبِرْ بِمَا قَالَ لَكَ عُمَرُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ، وَنَسِيَ الثَّالِثَة.

Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”. Ia berkata, “Apa itu?”. Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini. Dan janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga.

Dalam Musnad Ibnul Mubarok 1/19 no. 34:

“فَلَمَّا فُشِيَ الْحَدِيثُ هَرَبَ فَذَهَبَ".

“Tatkala tersebar berita (perkataan Umar tentang Uwais) maka iapun lari dan pergi”, yaitu karena orang-orang pada berdatangan memintanya untuk beristigfar kepada Allah bagi mereka sebagaimana dalam musnad Abu Ya’la Al-Maushili (1/188)

Dalam Tarikh Dimashqi karya Ibnu Asaakir 9/443:

«لَمَّا لَقِيَهُ وَظَهَرَ عَلَيْهِ هَرَبَ فَمَا رُؤِيَ حَتَّى مَاتَ ». قَالَ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ صَاعِدٍ: أَسَانِيدُ أَحَادِيثِ أُوَيْسٍ صَحِيحَةٌ رَوَاهَا الثِّقَاتُ عَنِ الثِّقَاتِ وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْهَا.

“Setelah Umar menemuinya, dan beritanya muncul dipermukaan, iapun kabur dan tidak pernah kelihatan lagi hingga ia wafat”.

Abu Muhammad bin Shaid berkata: " semua sanad hadits Uwais adalah sahih, para perawin tsiqoot telah meriwayatkannya dari para perawi tsiqoot juga”. (Lihat: Tarikh Dimashqi karya Ibnu Asaakir 9/443).

Rosulullah  menyatakan bahwa Uwais adalah sebaik-baiknya Tabiin, artinya beliau mengakui akan kesalihannya.

Rosulullah  mengkabarkan bahwa doa Uwais mustajab, sabda beliau ini umum artinya doa apa saja, akan tetapi beliau menyuruh Umar -radhiyallahu ‘anhu- jika bertemu dengannya hanya dianjurkan agar ia memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Dan Umar pun melakukannnya sesuai pesan Nabi , yaitu hanya memintakan ampunan. Begitu pula yang dilakukan oleh selain Umar setelah mendengar informasi darinya. Tidak ada riwayat yang menyebutkan ada seseorang yang minta didoakan selain ampunan.

Keikhlasan Uwais dalam beribadah kepada Allah I tidak ada manusia yang mengetahuinya kecuali Rosulullah  setelah Allah SWT mewahyukan padanya. Uwais kabur dan menyembunyikan diri ketika dirinya mulai di kenal dan orang-orang mulai berdatangan karena ingin didoakan ampunan kepada Allah.

Uwais tidak suka popularitas karena itu akan merusak keikhlasannya dalam beribadah kepadaNya. Maka orang yang betul-betul ikhlas membenci popularitas.

Dengan kisah dua orang saleh di atas semoga bisa di jadikan teladan bagi kita semua di dalam mengikhlaskan amal saleh kita, dan semoga kita semua di beri oleh Allah Ta'ala kekuatan dan kemampuan dalam menapak tilasinya. Amiiin!

*****

BOLEH TERKENAL SELAMA TANPA AMBISI
&
BOLEH SENGAJA TERKENAL JIKA KARENA DARURAT UNTUK KEPENTINGAN AGAMA DAN UMAT.

Jika telah ditakdirkan bahwa seorang hamba telah mencari kebaikan dalam masalah agama atau dunia kemudian menjadi terkenal tanpa dia inginkan dan tanpa berusaha untuk mendapatkannya; maka hal itu tidak masalah, akan tetapi dia harus selalu memperbaiki niatnya dalam mencari kebaikan dan setelah itu jangan memperdulikannya, masa bodoh, baik dirinya akan menjadi terkenal setelah itu atau tidak..

Meski tidak diperbolehkan adanya keinginan untuk meraih ketenaran, dan tidak boleh hatinya terkait dengannya, namun demikian pada moment-moment tertentu dan kondisi tertentu wajib atau dianjurkan bagi para ulama dan tokoh masyarakat dalam masalah agama dan dunia untuk melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi terkenal, jika itu sangat dibutuhkan oleh agama dan umat ; karena melihat situasi, keadaan, kepentingan, jabatan dan kedudukan.

Contohnya: seorang ulama atau seorang yang bijak yang hendak mencalonkan dirinya menjadi anggota dewan atau gubernur atau presiden dengan niat dan tujuan untuk menyelamatkan agama dan umat agar kekuasaan tidak jatuh pada orang fasik atau pada non muslim yang dikhawatirkan kelak akan berlaku dzalim terhadap Islam dan umatnya.

Jika demikian kondisinya dan niatnya karena itu ; maka bukanlah termasuk hal yang bijak, juga bukan termasuk hal yang disyari’atkan jika dia meninggalkan langkah-langkah yang bisa membuat dirinya menjadi terkenal. Karena ketenaran dia dalam kondisi tersebut, merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk umat dan agamanya. Maka bisa jadi wajib, bisa jadi Sunnah dan bisa jadi pula mubah, tergantung pada tingkat kebutuhannya. Namun niatnya harus tetap benar-benar murni semata karena Allah.

Jika dengan ketenarannya bermaksud untuk mencari jabatan dan pekerjaan yang halal, maka saya kira hukumnya itu hanya sebatas mubah. Wallahu A'lam

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

إِذَا دَارَ الْأَمْرُ بَيْنَ أَنْ يَلْمِعَ نَفْسَهُ وَيَظْهَرَ نَفْسَهُ وَيُبِينَ نَفْسَهُ، وَبَيْنَ أَنْ يَخْفِيَهَا، فَحِينَئِذٍ يَخْتَارُ الْخَفَاءَ. أَمَّا إِذَا كَانَ لَا بُدَّ مِنْ إِظْهَارِ نَفْسِهِ، فَلَا بُدَّ أَنْ يُظْهِرَهَا وَذَلِكَ عَنْ طَرِيقِ نَشْرِ عِلْمِهِ فِي النَّاسِ وَإِقَامَةِ دُروسِ الْعِلْمِ وَحَلَقَاتِهِ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَكَذَلِكَ عَنْ طَرِيقِ الْخُطَابَةِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَهَذَا مِمَّا يُحِبُّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Jika perkara itu setara berkisar antara yang akan melambungkan dirinya, memunculkan dirinya dan menjadi terkenal, dengan yang akan menjadikan dirinya tersembunyi ; maka pada saat itu hendaknya memilih yang menjadikan dirinya tersembunyi.

Sedangkan jika mengharuskan dirinya untuk menampakkannya; maka dia harus menampakkannya. Hal itu contohnya seperti dengan cara menyebarkan ilmunya di masyarakat dan dengan cara mengadakan pengajian dan halaqah ilmu di setiap tempat.

Demikian juga dengan cara khutbah melalui mimbar jum’at dan hari raya dan lain sebagainya, maka hal ini termasuk yang dicintai oleh Alloh -‘Azza wa Jalla-“. (Syarh Riyadhus Shalihin: 629)

Seorang dai hendaknya berusaha mengontrol hatinya dan meluruskan niatnya, dan hendaknya menjadikan amalnya hanya untuk Alloh semata, adapun jika terjadi banyaknya perhatian orang kepadanya maka ini merupakan perkara yang telah ditakdirkan, ini tidaklah mengapa ; dikarenakan dia tidak pernah berharap dan tidak berusaha meraihnya, tidak ada perhatian hatinya kepadanya, juga tidak merasa senang dengan banyaknya orang yang melihat dan membicarakan kebaikannya. Namun demikian hendaknya dia terus berusaha menjadikan semua itu karena Alloh dengan terus memperbaiki niatnya, dan tidak lalai karenanya.

Sufyan Ats Tsauri –rahimahullah- berkata:

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا عَلَيَّ أَشَدُّ مِنْ نِيَّتِي، إِنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ.

“Saya tidak mengobati sesuatu dengan sangat (sulit) kecuali mengobati niatku, karena niat itu berubah-rubah di dalam diri saya”. [Baca: Maqooshid al-Mukallifiin karya Umar al-Asyqar al-Utaibi hal. 360 dan Nidaa ar-Rayyaan karya Abut Turoob al-'Afaani 1/14].

******

FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIIN TENTANG ILMU AGAMA UNTUK HARTA DUNIA ADALAH SYIRIK KECIL:

هَلْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِأَجْلِ الدُّنْيَا شِرْكٌ أَصْغَرُ؟

Apakah mencari ilmu syar'i demi dunia termasuk syirik yang kecil?

PERTANYAAN:

الآن يُقَالُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ: إِذَا أَرَادَ إِنْسَانٌ بِعِلْمِهِ ابْتِغَاءَ الدُّنْيَا فَقَطْ لَا يُرِيدُ الْآخِرَةَ فَهَذَا شِرْكٌ، فَهَلْ الْمَقْصُودُ بِالشِّرْكِ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ أَمْ الشِّرْكُ الْأَكْبَرُ؟

Sekarang ini dikatakan oleh sebagian para ulama: Jika seseorang dengan ilmu [agama] nya berkeinginan untuk mencari dunia saja dan tidak menginginkan akhirat, maka ini adalah syirik.

Namun apakah yang dimaksud dengan syirik di sini syirik kecil atau syirik besar?

JAWABAN :

شِرْكٌ أَصْغَرُ، وَلَهَذَا جَعَلُوا عَلَى مَنْ طَلَبَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهَ اللَّهِ لَا يُرِيدُ إِلَّا أَنْ يَنَالَ عَرْضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. أَمَّا عُلُومُ الدُّنْيَا فَلَا بَأْسَ كَالْهِنْدَسَةِ وَالصِّنَاعَةِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، لَكِنَّ عِلْمَ الشَّرِيعَةِ لَا تُنَوِّي بِهِ إِلَّا حِفْظَ الشَّرِيعَةِ.

Itu adalah Syirik kecil. Oleh karena itu mereka [para ulama] telah menetapkan terhadap orang yang mencari ilmu agama yang fungsinya untuk menghadap wajah Allah, lalu dia mencarinya tidak bertujuan kecuali untuk mendapatkan materi dari dunia ; maka dia tidak akan pernah mencium aroma surga.

Adapun ilmu-ilmu duniawi, maka tidak ada masalah dengannya [yakni ; tidak mengapa bertujuan mencari dunia] seperti ilmu teknik, industri, dan sejenisnya.

Berbeda dengan ilmu syariat, maka tidak boleh punya maksud dan tujuan kecuali untuk memelihara dan menjaga syariat.

Sumber: Syekh Ibnu Utsaimin dari " لقاءات الباب المفتوح", pertemuan No. (213)

******

HATI-HATI JANGAN MUDAH MENGANGGAP SEPELE!!!

Kebanyakan manusia menyepelekan perkataan dirinya serta menganggap tidak berdampak apa-apa, padahal di sisi Allah Ta'aala bisa jadi perkara yang luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,

{وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ}

“Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur: 15).

Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah  bersabda,

((إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ))

“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah mengapa, padahal dia akan dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun perjalanan karenanya.”

(HR. Tirmidzi no. 2314. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib)

Dan dalam riwayat lain, masih dari Abu Hurairoh -radhiyallahu ‘anhu- berkata: ” Saya mendengar Rasululloh  bersabda: 

((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا ، يَزِلُّ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ والمَغْرِبِ))

“Seorang hamba berbicara dengan sesuatu kalimat yang tidak ada kejelasan di dalamnya yang membuat nya terprosok masuk kedalam neraka yang jaraknya antara timur dan barat ” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Juga masih dari hadist Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ ».

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan ucapan (yang mengandung) keridhaan Allah, ia tidak memperdulikannya, maka niscya Allah akan mengangkat derajatnya disebabkannya, dan Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan ucapan (yang mengandung) kemurkaan Allah, yang ia tidak perdulikan, niscaya akan menceburkannya ke dalam neraka Jahannam.” HR. Bukhari.

Alqamah meriwayatkan dari Bilal bin Al Harits Al Muzani radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah  bersabda:

"إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ تَعَالَى مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ, يَكْتُبُ اللَّهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ, وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ تَعَالَى مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ, يَكْتُبُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ" فَكَانَ عَلْقَمَةُ يَقُولُ: كَمْ مِنْ كَلَامٍ قَدْ مَنَعَنِيهِ حَدِيثُ بِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ.

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan ucapan (yang mengandung) keridhaan Allah, ia tidak mengira akan sampai sebegitu tinggi, niscya Allah Ta'aala menuliskan keridhaannya sampai hari kiamat. Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan ucapan (yang mengandung) kemurkaan Allah, ia tidak mengira akan sampai sebegitu tinggi, niscya Allah Ta'aala menuliskan kemurkaannya sampai hari kiamat.”

‘Alqamah sering berkata: “ Berapa banyak perkataan, akan tetapi hadits Bilal bin Al Harits telah mencegahku (untuk mengucapkannya).” [HR. Ahmad. Di Shahihkan al-Albaani dalam ash-Shahihah no. 888].

Bukan hal yang mustahil jika ada seseorang karena lisannya bisa terjerumus dalam jurang kebinasaan. Dlm hadist Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah  bersabda:

((أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ. قُلْتُ بَلَى يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ))

“Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.” 

Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda: “Jagalah ini”. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” 

Maka beliau bersabda: “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?”

(HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih. Namun di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi no. 2616, akan tetapi dihasankan olehnya dalam Hidayaturruwaah hal. 28).

*****

BERDAKWAH, AMAR MAKRUF NAHYI MUNKAR DAN BERJIHAD FII SABILILLAH ADALAH TRANSAKSI JUAL BELI DENGAN ALLAH

Orang-orang beriman rela mengorbankan hartanya bahkan jiwanya demi untuk berdakwah, ber amar ma'ruf nahyi munkar, mengembara atau bersafari untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya:

{ اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ وَالْقُرْاٰنِۗ وَمَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ مِنَ اللّٰهِ فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهٖۗ وَذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ % اَلتَّاۤىِٕبُوْنَ الْعٰبِدُوْنَ الْحٰمِدُوْنَ السَّاۤىِٕحُوْنَ الرّٰكِعُوْنَ السّٰجِدُوْنَ الْاٰمِرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّاهُوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحٰفِظُوْنَ لِحُدُوْدِ اللّٰهِ ۗوَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ}

Artinya: " Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik jiwa raga mereka mau-pun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.

Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah?

Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.

Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi untuk mendakwahkan agama ini), rukuk, sujud, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.

Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman! ". [QS. At-Taubah: 111-112]

Dan Allah SWT berfirman pula:

{ وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قٰتَلَۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ.

وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ اِلَّآ اَنْ قَالُوْا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَاِسْرَافَنَا فِيْٓ اَمْرِنَا وَثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ.

فَاٰتٰىهُمُ اللّٰهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْاٰخِرَةِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ.}

“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.”

Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. [QS. Ali Imran: 147-149]

Bagaimana Para sahabat, para tabi'in, tabi'iin dan orang-orang yang beriman yang datang sesudahnya dalam mengamalkan ayat-ayat tersebut diatas?

Mereka dalam berdakwah dan berjihad tidak menerima upah, melainkan mereka menggunakan harta sendiri, bahkan diantara mereka ada yang rela menjual semua asetnya demi untuk bekal berdakwah dan berjihad fi sabilillah, mereka rela meninggalkan kampung halamannya bersama keluarganya untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah sambil berdagang, mereka tidak mau pulang ke kampung halamannya hingga akhir hayatnya. Mereka berkeinginan menjual jiwanya, hartanya dan keluarganya kepada Allah SWT dengan harapan dibayar dengan syurga kelak.

Bahkan ada diantara para sahabat Nabi dan para tabi'iin yang sempat menceraikan istri-istrinya demi untuk pergi merantau untuk berdakwah dan berjihad fii sabilillah seumur hidupnya hingga wafat diperantauan, namun Rosulullah  melarang umat nya melakukan semua itu jika harus menceraikan istrinya, meski tujuannya agar fokus dalam berdakwah dan berjihad.

Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya meriwayatkan dari Sa’ad ibnu Hisyam:

أنَّه طَلَّقَ امرأتَه، ثم ارتَحَلَ إلى المدينةِ لِيَبيعَ عَقارًا له بها، ويَجعَلَه في السِّلاحِ والكُراعِ، ثم يُجاهِدَ الرُّومَ حتى يموتَ.

فلَقِيَ رَهْطًا من قَومِه، فحَدَّثوه أنَّ رَهْطًا من قَومِه سِتَّةً أرادوا ذلك على عهدِ رسولِ اللهِ ﷺ، فقال: أليس لكم فيَّ أُسْوةٌ حَسَنةٌ؟ فنَهاهم عن ذلك، فأشهَدَهم على رَجْعَتِها. ثم رَجَعَ إلينا، فأخبَرَنا.....

“Bahwa ia (Sa’ad bin Hisyam. Pen) menceraikan istrinya (karena dia ingin fokus dan menghabiskan usianya untuk berdakwah dan Ribaath di perbatasan Romawi, yakni: standby untuk berjihad Pen.). Kemudian dia berangkat ke Madinah untuk menjual propertinya yang ada di Madinah, lalu ia akan menggunakannya untuk keperluan jihad dengan membeli perlengkapan dan senjata untuknya, kemudian ia hendak berjihad melawan orang-orang Romawi hingga akhir hayatnya.

Kemudian dalam perjalanan ia berjumpa dengan sekelompok orang-orang dari kaumnya yang menceritakan kepadanya: bahwa sebelum dia pernah ada pula enam orang dari kalangan kaumnya mempunyai keinginan yang sama untuk melakukan hal tersebut di masa Rosulullah SAW. Maka Rosulullah  bersabda (kepada enam orang tsb):

“Bukankah pada diriku terdapat suri teladan yang baik bagi kalian?” Rosulullah  melarang mereka melakukan perceraian itu.

Maka Sa’ad ibnu Hisyam menjadikan mereka (sekelompok dari kaumnya yang ia jumpai) sebagai saksi bahwa dirinya merujuk kembali kepada istrinya.

Setelah itu ia kembali kepada kami dan menceritakan kepada kami......

(HR. Muslim (746), Abu Dawud (1343), an-Nasa'i (1601), dan Ahmad (24269), dan lafadz di atas adalah lafadz Imam Ahmad. Syu’aib al-Arna’uth berkata dlam “تخريج المسند” no. 24269: Sanadnya shahih sesuai standar Bukhori dan Muslim.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara lengkap, dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya telah mengetengahkan hadits ini dengan lafaz yang semisal.

Diantara harapan dan doa mereka yang pergi meninggalkan kampung halaman nya untuk berdakwah dan berjihad adalah bisa meninggal di jalan Allah di medan dakwah atau di medan jihad, jauh dari kampung halamannya. Bahkan mereka tidak suka meninggal dunia dikampung halamannya. Karena khawatir transaksi jual beli nya dengan Allah SWT kurang sempurna.

Oleh sebab itu Nabi  mendoakan para sahabatnya yang hijrah agar Allah SWT tidak mewafatkan mereka di kampung asalnya. Dan Nabi  bersedih hati ketika sahabat Sa'ad bin Khaulah wafat di Makkah.

Begitu juga Sa'ad bin Abi Waqqoosh radhiyallahu 'anhu, dia sangat khawatir jika dirinya meninggal dunia di kampung halamannya.

Dalam hadits Sa'ad bin Abi Waqqoosh di sebutkan:

 عَادَنِي النَّبيُّ ﷺ عَامَ حَجَّةِ الوَدَاعِ مِن مَرَضٍ أشْفَيْتُ منه علَى المَوْتِ، فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، بَلَغَ بي مِنَ الوَجَعِ ما تَرَى، وأَنَا ذُو مَالٍ، ولَا يَرِثُنِي إلَّا ابْنَةٌ لي واحِدَةٌ، أفَأَتَصَدَّقُ بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فأتَصَدَّقُ بشَطْرِهِ؟ قَالَ: الثُّلُثُ يا سَعْدُ، والثُّلُثُ كَثِيرٌ، إنَّكَ أنْ تَذَرَ ذُرِّيَّتَكَ أغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِن أنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، ولَسْتَ بنَافِقٍ نَفَقَةً تَبْتَغِي بهَا وجْهَ اللَّهِ، إلَّا آجَرَكَ اللَّهُ بهَا، حتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا في فِي امْرَأَتِكَ. قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، أُخَلَّفُ بَعْدَ أصْحَابِي؟ قَالَ: إنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بهَا وجْهَ اللَّهِ، إلَّا ازْدَدْتَ به دَرَجَةً ورِفْعَةً، ولَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حتَّى يَنْتَفِعَ بكَ أقْوَامٌ، ويُضَرَّ بكَ آخَرُونَ، اللَّهُمَّ أمْضِ لأصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، ولَا تَرُدَّهُمْ علَى أعْقَابِهِمْ، لَكِنِ البَائِسُ سَعْدُ ابنُ خَوْلَةَ. يَرْثِي له رَسولُ اللَّهِ ﷺ أنْ تُوُفِّيَ بمَكَّةَ. [وفي رِوايةٍ]: أنْ تَذَرَ ورَثَتَكَ.

"Nabi  menjengukku pada waktu hajji wada' ketika aku sakit yang tidak menyebabkan kematian.

Aku berkata; "Wahai Rasulullah, aku rasakan sakitku semakin parah. Begaimana pendapat anda, aku memiliki banyak harta namun aku tidak memiliki orang yang akan mewarisinya kecuali satu anak perempuanku. Apakah aku boleh mensedekahkan dua pertiga hartaku?".

Beliau menjawab: "Tidak".

Dia berkata; "Apakah boleh aku bersedekah seperduanya?".

Beliau menjawab: "Sepertiga, wahai Sa'ad. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keturunanmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, lalu mereka mengemis meminta-minta kepada manusia. Dan tidaklah kamu menafkahkan suatu nafaqah (harta) semata-mata mencari wajah (ridla) Allah melainkan Allah pasti akan memberimu balasannya, sekalipun satu suap makanan yang kamu berikan pada mulut istrimu."

Aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah aku diberi umur panjang setelah shahabat-shahabatku?.

Beliau bersabda:

"Tidaklah sekali-kali engkau diberi umur panjang lalu kamu beramal shalih melainkan akan bertambah derajat dan kemuliaanmu. Dan semoga kamu diberi umur panjang sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat dari dirimu dan juga mungkin dapat mendatangkan madlorot bagi kaum yang lain.

Ya Allah sempurnakanlah pahala hijrah shahabat-shahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang [ke tempat asalnya sebelum hijrah]."

[Sa'ad bin Abi Waqqaash berkata]: Namun Sa'ad bin Khaulah membuat Rasulullah  bersedih karena dia meningal di Makkah.

[HR. Bukhori no. 4409, 6373 dan 1295]

******

SEBELUM PERGI BERDAKWAH DAN BERJIHAD, SIAPKANLAH BEKAL !

Dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi  berkata:

(جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ)

"Berjihadlah kalian menghadapi orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidah kalian." [HR. Abu Daud no. 2504] Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud,

Syekh Muhammad bin Ibrahim Al al-Syaikh - semoga Allah merahmatinya – berkata:

وَها هُنَا أَمْرٌ هَامٌ يَصِحّ أَنْ يُصَرَّفَ فِيهِ مِنَ الزَّكَاةِ، وَهُوَ إِعْدَادُ قُوَّةٍ مَالِيَّةٍ لِلدَّعْوَةِ إِلَى اللَّهِ، وَلِكَشْفِ الشُّبُهَ عَنِ الدِّينِ، وَهَذَا يَدْخُلُ فِي الْجِهَادِ، هَذَا مِنْ أَعْظَمِ سَبِيلِ اللَّهِ.

"Dan di sini ada perkara penting yang menunjukkan diperbolehkan untuk menyalurkan zakat untuk kepentingan dakwah, yaitu untuk mempersiapkan kekuatan finansial untuk menyebarkan dakwah kepada Allah dan untuk mengungkapkan kebenaran agama. Hal ini termasuk dalam bentuk jihad, dan ini adalah termasuk yang paling agung dalam berjuang fii sabilillah". [Diambil dari "Majmu' Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrahim Al al-Syaikh" (4/142)].

Seorang muslim yang hendak ikut pergi berjihad di jalan Allah, maka ia harus menyiapkan untuk dirinya bekal dan kendaraan perang. Jika dia tidak mampu menyiapkan semua itu, maka dia tidak berhak untuk ikut serta dalam berjihad, meski dia merengek, bahkan menangis bercucuran air mata. Kecuali jika ada pihak lain yang siap memfasilitasinya dan mendanainya.

Allah SWT berfirman:

وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (92)

“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian, " niscaya mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah: 92)

Ayat ini menunjukkan bahwa jihad itu bukan hanya dengan fisik saja, melainkan dengan harta, senjata dan armada kendaraan perang.

Dan Islam melarang para lelaki muslim untuk ikut serta dalam jihad fii sabiliilah meski mereka merengek dan menangis, meski mereka memiliki fisik yang kuat selama mereka tidak memiliki bekal, senjata dan kendaraan perang. Kecuali ada pihak lain yang menyiapkan semua itu seperti penguasa atau lainnya.

Dan ini semua menunjukkan bahwa dunia dan akhirat itu bisa sejalan.

Sementara harta dunia yang halal tidak bisa didapatkan kecuali dengan kerja dan usaha.

TAFSIR IBNU KATSIR:

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini:

وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أمرَ النَّاسَ أَنْ يَنْبَعِثُوا غَازِينَ مَعَهُ، فَجَاءَتْهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُغَفَّل الْمُزَنِيُّ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، احْمِلْنَا. فَقَالَ لَهُمْ: "وَاللَّهِ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ". فَتَوَلَّوْا وَلَهُمْ بُكَاءٌ، وعزَّ عَلَيْهِمْ أَنْ يَجْلِسُوا عَنِ الْجِهَادِ، وَلَا يَجِدُونَ نَفَقَةً وَلَا مَحْمَلًا. فَلَمَّا رَأَى اللَّهُ حرْصَهم عَلَى مَحَبَّتِهِ وَمَحَبَّةِ رَسُولِهِ أَنْزَلَ عُذْرَهُمْ فِي كِتَابِهِ، فَقَالَ: {لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ} إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {فَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ}

Bahwa demikian itu terjadi ketika Rasulullah  memerintahkan kepada orang-orang untuk berangkat berperang bersama¬nya. Lalu datanglah segolongan orang dari kalangan sahabat, antara lain Abdullah ibnu Mugaffal ibnu Muqarrin Al-Muzani.

Mereka berkata: ''Wahai Rasulullah, bawalah kami serta."

Rasulullah  bersabda kepada mereka: "Demi Allah, aku tidak menemukan kendaraan untuk membawa kalian."

Maka mereka pulang seraya MENANGIS. Mereka menyesal karena hanya bisa duduk, tidak dapat ikut berjihad karena mereka tidak mempunyai biaya, tidak pula kendaraan untuk itu. Ketika Allah melihat kesungguhan mereka dalam cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menurunkan ayat yang menerima uzur (alasan mereka), yaitu firman-Nya:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ اِذَا نَصَحُوْا لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ

Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (At-Taubah: 91)

Sampai pada firman-Nya:

اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَسْتَأْذِنُوْنَكَ وَهُمْ اَغْنِيَاۤءُۚ رَضُوْا بِاَنْ يَّكُوْنُوْا مَعَ الْخَوَالِفِۙ وَطَبَعَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ ۔

“Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) itu, hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berperang), padahal mereka orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci hati mereka, sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka). “. (At-Taubah: 93)

Muhammad ibnu Ka'b mengatakan:

Bahwa jumlah mereka ialah tujuh orang, dari Bani Amr ibnu Auf adalah Salim ibnu Auf, dari Bani Waqif adalah Harami ibnu Amr, dari Bani Mazin ibnun Najjar adalah Abdur Rahman ibnu Ka'b yang dijuluki Abu Laila, dari Banil Ma'la adalah Fadlullah, dan dari Bani Salamah adalah Amr Ibnu Atabah dan Abdullah ibnu Amr Al Muzani.

Muhammad ibnu Ishaq dalam konteks riwayat mengenai Perang Tabuk mengatakan:

Bahwa ada segolongan kaum lelaki datang meng¬hadap Rasulullah Saw. seraya MENANGIS, mereka ada tujuh orang yang terdiri atas kalangan Ansar dan lain-lainnya. [Tafsir Ibnu Katsir 4/199].

Allah SWT memerintahkan masing-masing kaum muslimin untuk menginfakkan apa saja yang mereka mampu, diantaranya adalah ilmu agamanya; karena itu adalah inti dari tujuan berjihad.

Allah SWT berfirman:

﴿ وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ﴾

Artinya: “Dan berinfaqlah kalian dijalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik “. (QS. Al-Baqarah: 195).

Di dalam firman-Nya: " berinfaqlah kalian dijalan Allah ", tidak disebutkan jenis infaq tertentu. Ini mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan infaq di sini bukan sekedar infaq harta, melainkan meninfaqkan segala macam kemampuan yang ada pada diri masing-masing individu muslim, termasuk ilmu agamanya, dan juga teruama menginfaqkan hartanya, sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Katsir dlm Tafsir nya (1/228) ketika menafsiri ayat ini dengan mengatakan:

وَمَضْمُون الْآيَة الْأَمْر بِالْإِنْفَاقِ فِي سَبِيل اللَّه فِي سَائِر وُجُوه الْقُرُبَات وَوُجُوه الطَّاعَات وَخَاصَّة صَرْف الْأَمْوَال فِي قِتَال الْأَعْدَاء وَبَذْلهَا فِيمَا يَقْوَى بِهِ الْمُسْلِمُونَ عَلَى عَدُوّهُمْ وَالْإِخْبَار عَنْ تَرْك فِعْل ذَلِكَ بِأَنَّهُ هَلَاك وَدَمَار لِمَنْ لَزِمَهُ وَاعْتَادَهُ ثُمَّ عَطَفَ بِالْأَمْرِ بِالْإِحْسَانِ وَهُوَ أَعْلَى مَقَامَات الطَّاعَة فَقَالَ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّه يُحِبّ الْمُحْسِنِينَ.

Ayat ini mengandung perintah berinfak di jalan Allah Ta’ala dalam BERBAGAI MACAM segi amal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan dalam segi ketaatan, terutama membelanjakan dan menginfakkan harta kekayaan untuk membangun kekuatan berperang melawan musuh serta memperkuat kaum Muslimin atas musuh-musuhnya“. (Selesai perkataan Ibnu Katsir).

Adapun ayat infaq yang khusus berkaitan dengan harta benda saja, diantaranya adalah firman-Nya:

﴿ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS. Al-Baqarah: 274)

Dan Ibnu Katsir dlm Tafsir nya (1/228) berkata:

“Ibnu Wahab meriwayatkan dari Abdullah bin Iyasy, dari Zaid bin Aslam mengenai firman Allah Ta’ala ini bahwa artinya: ada beberapa orang yang pergi bersama dalam delegasi yang diutus Rasulullah  tanpa membawa bekal (nafkah), lalu Allah Ta’ala memerintahkan mereka mencari bekal (nafkah) dari apa yang telah dikaruniakan-Nya serta tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan. Kebinasaan berarti seseorang mati karena lapar dan haus atau (keletihan) berjalan “.

Dan Firman-Nya:

﴿ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ﴾

“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". [195] (Selesai perkataan Ibnu Katsir)

 


Posting Komentar

0 Komentar