Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MENGOREKSI SYUBHAT AHLI ZUHUD : "BAHWA DUNIA BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN MELALAIKAN AKHIRAT".

Di susun oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====

DAFTAR ISI:

  • PENDAHULUAN
  • HARTA DAN DUNIA TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT
  • PENGARUH HARTA HALAL & HARAM TERHADAP DITERIMANYA IBADAH
  • NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH
  • PANDANGAN AHLI ZUHUD YANG MENGATAKAN BAHWA ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT [AGAMA] SALING BERTENTANGAN
  • DALIL-DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD YANG LARI DARI DUNIA SERTA BANTAHANNYA:
  • KONSEP MEMAHAMI DALIL YANG BER-TEMAKAN TENTANG HARTA DAN NAFKAH
  • DALIL-DALIL BAHWA DUNIA DAN MENCARI HARTA ITU TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ


*****

PENDAHULUAN

Allah SWT berfirman:

"وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ”

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu". [QS. At Taubah: 105].

Dan Allah SWT berfirman:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.

Dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. [QS. Al-Qoshosh: 77].

Dari Abu Hurairah (ra) bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ.

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.”

Para sahabat bertanya: “Dan engkau sendiri?”. Beliau (SAW) menjawab: ”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath.” [HR Al Bukhari no. 2143.]

[Ukuran Qirath:

إِنَّ القِيرَاطَ الْوَاحِدَ مِنَ الذَّهَبِ يُسَاوِي 0.2 غ. أَمَّا فِي حَالِ رَغِبْتَ فِي التَّحْوِيلِ عَكْسِيًّا مِنَ الْجِرَامِ إِلَى الْقِيرَاطِ، فَإِنَّهُ مِنَ الْمَعْرُوفِ أَنَّ 1 غ = 5 قِرَاطِ.

Satu Qirath emas sama dengan 0,2 gram. Tetapi jika Anda ingin mengubahnya kembali dari gram ke Qirath, maka yang sudah maklum adalah 1 gram = 5 Qirath].

Ibnu Abi Ad-Dunya (w. 281 H) meriwayatkan pula dalam "Ishlaah Al-Maal" (84) dari Al-Muqaddam bin Ma'di Karb radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

(يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَنْفَعُ فِيهِ إِلَّا الدِّينَارُ وَالدِّرْهَمُ).

"Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana yang bermanfaat hanyalah dinar dan dirham [yakni: Uang]."

Dan Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan pula dalam "Ishlaah Al-Maal" (79) dari Sufyan Ats-Tsawri, bahwa beliau berkata:

"الْمَالُ فِي هَذَا الزَّمَانِ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ".

"Harta di zaman ini adalah senjata bagi seorang mukmin."

HARTA DAN DUNIA 
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT

Imam As-Sarkhasi [wafat 490 H] berkata:

"بَيَّنَ مُحَمَّدٌ - رَحِمَهُ اللَّهُ - أَنَّ الْكَسْبَ فِيهِ مَعْنَى الْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْقُرَبِ وَالطَّاعَاتِ أَيَّ كَسْبٍ كَانَ حَتَّى قَالَ: إنَّ كَسْبَ فَتَّالِ الْحِبَالِ وَمُتَّخِذِ الْكِيزَانِ وَالْجِرَارِ وَكَسْبَ الْحَرَكَةِ فِيهِ مُعَاوَنَةٌ عَلَى الطَّاعَاتِ وَالْقُرَبِ، فَإِنَّهُ لَا يَتَمَكَّنُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ إلَّا بِالطَّهَارَةِ وَيَحْتَاجُ ذَلِكَ إلَى كُوزٍ يُسْتَقَى بِهِ الْمَاءُ وَإِلَى دَلْوٍ وَرِشَاءٍ يُنْزَحُ بِهِ الْمَاءُ وَيَحْتَاجُ إلَى سَتْرِ الْعَوْرَةِ لِأَدَاءِ الصَّلَاةِ، وَإِنَّمَا يَتَمَكَّنُ مِنْ ذَلِكَ بِعَمَلِ الْحَرَكَةِ فَعَرَفْنَا أَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْ أَسْبَابِ التَّعَاوُنِ عَلَى إقَامَةِ الطَّاعَةِ وَإِلَيْهِ أَشَارَ عَلِيٌّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - فِي قَوْلِهِ ‌لَا ‌تَسُبُّوا ‌الدُّنْيَا ‌فَنِعْمَ ‌مَطِيَّةُ ‌الْمُؤْمِنِ الدُّنْيَا إلَى الْآخِرَةِ، وَقَالَ أَبُو ذَرٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - حِينَ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ بَعْدَ الْإِيمَانِ فَقَالَ: الصَّلَاةُ وَأَكْلُ الْخُبْزِ فَنَظَرَ إلَيْهِ الرَّجُلُ كَالْمُتَعَجِّبِ فَقَالَ: لَوْلَا الْخُبْزُ مَا عُبِدَ اللَّهُ تَعَالَى يَعْنِي بِأَكْلِ الْخُبْزِ يُقِيمُ صُلْبَهُ فَيَتَمَكَّنُ مِنْ إقَامَةِ الطَّاعَةِ.

ثُمَّ الْمَذْهَبُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ - رَحِمَهُمُ اللَّهُ - أَنَّ الْمَكَاسِبَ كُلَّهَا فِي الْإِبَاحَةِ سَوَاءٌ".

"Muhammad [Bin al-Hasan asy-Syaibaani] - semoga Allah merahmatinya - menjelaskan bahwa KASAB [usaha cari rizki] di dalamnya memiliki makna membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ketaatan. - Artinya, kasab apa saja yang ada -. Bahkan beliau mengatakan:

'Sesungguhnya kasab [usaha cari rizki] yang dihasilkan dari alat tenun benang, alat timbangan, dan alat-alat berat, serta penghasilan dari pergerakan fisik, semuanya itu merupakan hal yang bisa membantu untuk ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena seseorang tidak dapat menunaikan shalat kecuali dengan bersuci terlebih dahulu, dan itu membutuhkan alat seperti tempat air dan ember yang digunakan untuk mengambil air serta membutuhkan pakaian penutup aurat untuk melaksanakan shalat.

Dan seseorang dapat melaksanakan itu semua, harus melalui proses kerja yang membutuhkan gerakan badan. Maka kita mengetahui bahwa semua itu merupakan sebab-sebab untuk membantu dalam melaksakan ketaatan.'

Dan ini adalah yang di isyaratkan oleh Ali (ra) dalam ucapan beliau: 'Janganlah kalian mencaci dunia, karena sesungguhnya dunia adalah tunggangan yang baik bagi seorang mukmin untuk mencapai akhirat.'

Abu Dzar (ra) ketika ditanya tentang amal terbaik setelah iman, beliau menjawab, "Shalat dan makan roti".'

Lalu orang itu terheran-heran, lalu Abu Dzar berkata: 'Andaikata tidak ada roti, maka dia tidak bisa beribadah Allah Ta'ala.' Maksudnya, dengan makan roti, tubuhnya menjadi kuat sehingga dia mampu menunaikan ketaatan."

"Kemudian, pandangan mayoritas ahli fikih - semoga Allah merahmati mereka - adalah bahwa semua kasab [usaha cari rizki] dalam hal yang halal adalah sama". [Baca: Al-Mabsuuth 30/258].

Dan Imam As-Sarkhasi juga berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَافَحَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، فَإِذَا يَدَاهُ قَدْ اكْتَبَتَا فَسَأَلَهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَضْرِبُ بِالْمَرِّ وَالْمِسْحَاةِ لِأُنْفِقَ عَلَى عِيَالِي فَقَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ‌يَدَهُ ‌وَقَالَ ‌كَفَّانِ ‌يُحِبُّهُمَا ‌اللَّهُ تَعَالَى»

Dan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah (SAW) berjabat tangan dengan Saad bin Mu'adz -semoga Allah meridainya- pada suatu hari, dan kulit kedua telapak tangan nya terlihat terkelupas. Rasulullah (SAW) bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu Saad bin Mu'adz menjawab: "Saya memetik kurma dan membersihkannya di kebunku untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya." Rasulullah (SAW) mencium tangan Saad bin Mu'adz dan bersabda: "Dua telapak tangan yang dicintai oleh oleh Allah Ta'ala." [Baca: Al-Mabsuuth 30/245].

Para sahabat Rasulullah (SAW) berdagang di daratan dan menyeberangi lautan, mereka juga bekerja di kebun kurma mereka. Mereka menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Para Anshar adalah orang-orang yang berkebun kurma dan bercocok tanam, sedangkan para Muhajirin berdagang dan melakukan transaksi di pasar. Bahkan para sahabat yang senior juga aktif dalam berdagang.

 'Aisyah Radliallahu 'anha berkata:

لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَئُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ

Ketika Abu Bakar Sh-Shiddiq diangkat menjadi khalifah ia berkata: "Kaumku telah mengetahui akan keahlianku dalam mencari nafkah, sehingga tidak membuatku lemah untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, sementara sekarang aku disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan menggunakan harta ini [Baitul Mal yang telah ditentukan] dan mengabdikan diri kepada kepentingan umat Islam." [HR. Bukhari, no. (2070).]

Umar bin al-Khththab (ra) berkata:

 ألْهانِي الصَّفْقُ بالأسْواقِ. يَعْنِي الخُرُوجَ إلى تِجارَةٍ

"Dagang di pasar benar-benar telah mengalihkan perhatianku" - artinya, sibuk keluar untuk berdagang di pasar. [HR. Bukhari, no (2062), dan Muslim, no (2153).]

Ibnu Abi Dunya (w. 281 H) dalam "Islah al-Maal" (98) meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:

"يَا حَبْذَا الْمَالُ، أَصِلُ مِنْهُ رَحِمِيُّ، وَأَتَقَرَّبُ إِلَى رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ".

"Betapa indahnya harta, aku bisa mempererat tali silaturrahim kerabatku dengan harta tersebut dan aku bisa mendekatkan diri kepada Rabbku Yang Maha Mulia."

Dan Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dalam kitabnya "Ishlaah Al-Maal" (55) dari Sayyid Al-Tabi'in, Sa'id bin Al-Musayyib rahimahullah, bahwa beliau berkata:

"لَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يُرِيدُ جَمْعَ الْمَالِ مِنْ حِلِّهِ، يَكْفُفُ بِهِ وَجْهَهُ عَنِ النَّاسِ، وَيَصِلُ بِهِ رَحِمَهُ، وَيُعْطِي مِنْهُ حَقَّهُ".

"Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak berkeinginan untuk mengumpulkan harta secara halal, yang dengannya dia menjaga dirinya dari minta-minta dari manusia dan dengannya bisa menyambungkan silaturahim, serta memberikan hak-hak darinya."

Shalih putra Imam Ahmad - semoga Allah merahmati keduanya - berkata:

"كانَ أبي ربما أخذَ القَدّومَ وخرجَ إلى دارِ السكنِ يعملُ الشيءَّ بيدِه".

"Ayahku senantiasa mengambil Qodduum [perkakas tukang kayu] dan pergi ke Dar as-Sakan untuk melakukan pekerjaan dengan hasil tangannya sendiri."

[Lihat: al-Hits 'Ala at-Tijaarah karya al-Khollaal hal. 39 no.12 dan Siyar al-A'lam an-Nubalaa 11/209]

Ali bin Al-Fudhail berkata: "Saya mendengar ayahku ketika ia berkata kepada Ibnu al-Mubarak:

"أَنْتَ تَأْمُرُنَا بِالزُّهْدِ، وَالتَّقَلُّلِ، وَالْبَلَاغَةِ، وَنَرَاكَ تَأْتِي بِالْبَضَائِعِ مِنْ بِلَادِ خُرَاسَانَ إِلَى الْبَلَدِ الْحَرَامِ، كَيْفَ ذَا؟"، فَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: "يَا أَبَا عَلِيٍّ إِنَّمَا أَفْعَلُ ذَا، لِأُصَوِّنَ بِهِ وَجْهِي، وَأُكَرِّمُ بِهِ عُرْضِيَّ، وَأَسْتَعِينُ بِهِ عَلَى طَاعَةِ رَبِّي"

 'Engkau menyuruh kami untuk zuhud, merendahkan diri, dan berbicara dengan baik, namun kami melihat engkau berbisnis dengan membawa barang-barang dari Khurasan [Iran] ke kota suci (Makkah). Bagaimana hal itu?'

Ibnul Mubarak menjawab: 'Wahai Abu Ali, aku melakukannya semata-mata untuk menjaga kehormatan wajahku, memuliakan harga diriku, dan aku memanfaatkannya agar aku senantiasa taat kepada Tuhanku.'" [Tarikh Baghdād (10/160)].

Abu Qulabah Al-Bashri berkata kepada seseorang:

لَأَنْ أَرَاكَ تَطْلُبُ مَعَاشَكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَرَاكَ فِي زَاوِيَةِ الْمَسْجِدِ.

"Lebih aku sukai melihatmu mencari nafkahmu daripada melihatmu duduk di sudut masjid." ["Ihya Ulumuddin" 2/942-944]

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata:

لَيْسَ الْعِبَادَةُ عِنْدَنَا أَنْ تُصَفِّ قَدَمَيْكَ، وَغَيْرُكَ يُقَوِّتُ لَكَ، وَلَكِنْ ابْدَأْ بِرَغِيفَيكَ فَأَحْرِزْهُمَا ثُمَّ تَعْبُدْ.

“menurut kami Bukanlah ibadah itu dengan meluruskan shaff kedua telapak kakimu, sedangkan orang lain bekerja untuk memberi makan kamu. Akan Tetapi mulailah dengan menyiapkan dua rotimu, lalu simpanlah keduanya, kemudian beribadahlah." ["Ihya Ulumuddin" 2/942-944]

NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda:

بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَى رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى يَا رَبِّ وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ

"Ketika Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba segerombolan belalang dari emas jatuh di atasnya. Lalu, Ayyub mengumpulkannya ke dalam pakaiannya.

Kemudian, Tuhannya memanggilnya : 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah memberimu kekayaan sehingga kamu tidak memerlukan apa yang kamu lihat ini ?'

 Ayyub menjawab, 'Benar wahai Rabbku, namun saya tidak pernah merasa cukup dari barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 7493]

Dalam salah satu riwayat Bukhori no. 279:

جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ

“Belalang-belalang dari emas”.

Syeikh Alwi Abdul Qodir as-Saqqaaf berkata :

وَفِي ذَلِكَ شُكْرٌ عَلَى النِّعْمَةِ، وَتَعْظِيمٌ لِشَأْنِهَا، وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُفْرٌ بِهَا. وَفِي الْحَدِيثِ: مَشْرُوعِيَّةُ الْحِرْصِ عَلَى الْمَالِ الْحَلَالِ. وَفِيهِ: بَيَانُ فَضْلِ الْغِنَى لِمَنْ شَكَرَ؛ لِأَنَّهُ سَمَّاهُ بَرَكَةً.

"Di dalam hal itu terdapat rasa syukur atas nikmat, dan pengagungan terhadap kedudukannya. Sementara berpaling darinya merupakan bentuk kekufuran terhadap nikmat tersebut. Dalam hadits ini juga terdapat ajaran tentang pentingnya mencari harta yang halal. Selain itu, hadits ini menjelaskan keutamaan kekayaan bagi orang yang bersyukur, karena kekayaan tersebut disebut sebagai berkah."

Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas, dia berkata :

وَفِي رِوَايَةِ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ فَقَالَ وَمَنْ يَشْبَعُ مِنْ رَحْمَتِكَ أَوْ قَالَ مِنْ فَضْلِكَ وَفِي الْحَدِيثِ جَوَازُ الْحِرْصِ عَلَى الِاسْتِكْثَارِ مِنَ الْحَلَالِ فِي حَقِّ مَنْ وَثِقَ مِنْ نَفْسِهِ بِالشُّكْرِ عَلَيْهِ وَفِيهِ تَسْمِيَةُ الْمَالِ الَّذِي يَكُونُ مِنْ هَذِهِ الْجِهَةِ بَرَكَةً وَفِيهِ فَضْلُ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ .

وَاسْتَنْبَطَ مِنْهُ الْخَطَّابِيُّ جَوَازَ أَخْذِ النُّثَارِ فِي الاملاك وَتعقبه بن التِّينِ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ خَصَّ اللَّهُ بِهِ نَبِيَّهُ أَيُّوبَ وَهُوَ بِخِلَافِ النُّثَارِ فَإِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّ فَيُكْرَهُ لِمَا فِيهِ مِنَ السَّرَفِ وَرُدَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ أُذِنَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ الشَّارِعِ إِنْ ثَبَتَ الْخَبَرُ وَيُسْتَأْنَسُ فِيهِ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

"Dan dalam riwayat Basyir bin Nahik disebutkan bahwa Rasulullah berkata: 'Siapa yang bisa merasa puas dengan rahmat-Mu' atau beliau berkata, 'dengan karunia-Mu.'

Dalam hadits ini terdapat kebolehan untuk bersemangat dalam memperbanyak harta yang halal bagi orang yang yakin dirinya mampu bersyukur atasnya. Selain itu, bahwa harta yang diperoleh dari cara tersebut, disebut sebagai berkah.

Hadits ini juga menunjukkan keutamaan orang kaya yang bersyukur.

Al-Khattabi mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang kebolehan mengambil harta yang disebarkan (ditawurkan) dalam acara pernikahan.

Namun Ibnu at-Tiin mengkritiknya dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi-Nya, Ayyub, dan itu berbeda dengan harta yang disebarkan oleh manusia, karena hal tersebut makruh disebabkan adanya unsur pemborosan.

Akan tetap kritikan Ibnu at-Tin ini ditanggapi dengan argumen bahwa hal itu telah diizinkan oleh syariat jika haditsnya sahih, dan kisah ini bisa dijadikan petunjuk. Wallahu a'lam." [Fathul Bari 6/421].

PENGARUH HARTA HALAL & HARAM TERHADAP DITERIMANYA IBADAH

Harta yang diperoleh dengan usaha yang halal sangat berpengaruh terhadap diterimanya ibadah seorang muslim.

Rasulullah (SAW) bersabda:

«طَلَبُ الْحَلَالِ كَمُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ»

'Mencari nafkah yang halal adalah seperti berperang di medan perang. Dan siapa yang terus berusaha mencari nafkah yang halal, maka dia akan meninggal dalam keadaan diampuni dosa-dosanya.' [Dho'if. Lihat Dho'if al-Jami' oleh al-Albaani no. 3621].

Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah (RA), Rosulullah SAW bersabda:

“أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً ، وإنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِينَ. فقالَ تعالى: ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً ) [المؤمنون: 51] ، وقال تعالى: ( يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ) [البقرة: 172]. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أشْعثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، ومَلبسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالْحَرَامِ ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟ ».

“Hai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada Para Rasul.

Allah berfirman: Hai Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang baik. (surat al-Mukminun: 51).

Dan Allah berfirman: "Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian." (al-Baqarah: 172).

Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) 'Ya Robb! Ya Robb'!, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan? ". (HR. Muslim dalam "Shahih"nya no. 1015)

Ayat al-Qur'an dan hadits di atas menunjukkan bahwa: jalan dunia dan akhirat adalah satu jalan. Dan jalan seorang hamba di dunia ini, meskipun dia bekerja untuk dunia, maka pada hakikatnya dia juga sedang bersinggungan dengan urusan akhirat.

Sebagian para ulama salaf berkata:

لَوْ قُمْتَ فِي الْعِبَادَةِ قِيَامَ السَّارِيَةِ مَا نَفَعَكَ حَتَّى تَنْظُرَ مَا يَدْخُلُ بَطْنَكَ حَلالٌ أم حَرامٌ.

"Jika kamu beribadah dengan berdiri sepanjang hari, itu tidak akan bermanfaat bagimu hingga kamu memperhatikan apa yang masuk ke dalam perutmu, halal atau haram". [Lihat: Hilyatul Awliyaa 8/155 karya Abu Nua'im al-Ashbahaani].

Lalu bagaimana dengan ibadah orang yang tidak mau usaha yang riil, sementara makan dan minumnya dari hasil Upah Ceramah Dan dari hasil Mengajar Ilmu Agama atau hasil dari mengemis dan proposal minta?

Karena Bisnis agama itu dilarang, dan begitu juga bisnis proposal minta-minta dan mengemis.

Adapun berkenaan dengan larangan bisnis agama, maka Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitab tafsirnya “أَضْوَاءُ الْبَيَانِ“ ketika menafsiri surat Hud: 29, berkata:

قَوْلُهُ تَعَالَى: { وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ } ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي مُقَابَلَتِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ.

Firman Allah Ta’aalaa: Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah “.

Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh 'alaihis salam, bahwa dia memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah. Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat: bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul 'alaihimus salaam ".

Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita (SAW):

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak minta upah kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).

Setelah menyebutkan ayat-ayat diatas Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi berkata:

وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأَجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ". انتَهَى.

“Diambil dari ayat-ayat luhur ini: kewajiban para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah Azza wa Jalla, begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram “. (Selesai).

Dan dari Ubay bin Ka’ab (ra), dia berkata:

"عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: (إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ) فَرَدَدْتُهَا".

“Aku mengajar al-Qur’an pada seseorang, lalu dia menghadiahkan Busur panah pada ku. Maka aku menceritakannya pada Rosulullah SAW, maka beliau bersabda: “Jika kamu mengambilnya, maka kamu telah mengambil busur dari api neraka “. Lalu Aku mengembalikannya.

(HR. Ibnu Majah No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh al-Baani dalam kitab “ إرواء الغليل “ No. 1493).

Dan dari Abu ad-Dardaa’ (ra) bahwa Rosulullah (SAW) bersabda:

((‌مَنْ ‌أَخَذَ ‌عَلَى ‌تَعْلِيمِ ‌الْقُرْآنِ ‌قَوْساً ‌قَلَّدَهُ ‌الله ‌مَكَانَهَا ‌قَوْساً ‌مِنْ ‌نَارِ ‌جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))

“Barang siapa menerima [imbalan] Busur Panah dari Mengajar al-Qur’an, maka Allah akan mengalungkan sebagai gantinya kelak busur dari api neraka Jahannam pada hari Kiamat “.

(HR.al-Baihaqi 6/126 dan lainnya. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam kitab “صحيح الجامع “ no. 5982 dan dalam kitab “السلسلة الصحيحة “ 1/113 no. 256)

Dan berikut ini kisah Imran bin Hushain (ra):

‏ ‏" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ ‏ ‏يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ‏ ‏يَقُولُ: “‏مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ ".

“Suatu ketika ia melewati seorang qori sedang membaca Al-Qur'an, kemudian setelah membacanya meminta (upah) kepada orang-orang, maka Imran ber istirja’ (Yakni berkata: Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji’uun dan menyuruhnya untuk mengembalikan), dan berkata: Aku mendengar Rosulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah) kepada manusia dengan (bacaan) Al Quran itu ".

(HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau berkata: “Hadits Hasan ". Dan dishahihkan al-Albaani dalam Shahih Targhib 2/80 no. 1433).

Syarah Hadits: Al-Mubaarokfuury dalam syarah Sunan Tirmidzi berkata:

وَقَوْلُهُ: (فَاسْتَرْجَعَ)... لِابْتِلَاءِ الْقَارِئِ بِهَذِهِ الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالْقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عِمْرَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُصِيبَاتِ.

Dan perkataannya: (Maka dia memintanya untuk mengembalikannya).... Dia berkata demikian karena perbuatan itu adalah bala [bencana] yang menimpa Qoori. Atau karena Imran (ra) merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang mana perbuatan tsb merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat. [Baca: Tuhfatul Ahwadzi 8/235].

Dan dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi (ra), dia berkata:

“خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمًا وَنَحْنُ نَقْرَءُ فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، كِتَابُ اللَّهِ وَاحِدٌ، وَفِيكُمُ الْأَحْمَرُ وَفِيكُمُ الْأَبْيَضُ وَفِيكُمُ الْأَسْوَدُ اقْرَؤُوهُ قَبْلَ أنْ يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ ".

“Pada suatu hari Rosulullah SAW keluar menemui kami, dan saat itu kami sedang membaca al-Qur’an, maka beliau SAW bersabda:

“Al-Hamdulillah, Kitab Allah satu, sementara ditengah kalian ada yang berkulit merah, berkulit putih dan berkulit hitam (Yakni ada etnis Arab dan Non Arab), bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an, mereka menetapkan bacaannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka memperbagus bacaannya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat) ".

(HR. Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata: Hasan Shahih).

Muhammad Syamsul haq al-Adziim Aabadi dalam Syarah Sunan Abu Daud berkata:

فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ مَجِيءِ أُقَوَّامٍ بَعْدَهُ يُصَلِّحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ وَيَتَكَلَّفُونَ فِي مَرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ - وَهُوَ السَّهْمُ قَبْلَ أَنْ يُعَمَّلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ - وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ. أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكَرَامُ.. هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا ثَوَابَ قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفَعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ عَلَى الْآجِلَةِ وَيَتَأَكَّلُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ هِجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ.

“Maka sungguh Nabi SAW telah mengkabarkan: bahwa sesudahnya akan munculnya kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya, bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran, seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di pasangkan bulu-bulu dan besi tajam diujungnya.

Maksudnya: Mereka sangat berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia, popularitas, berbangga-banggaan dan ketenaran.

Wahai para ikhwan yang mulia, mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan upah bacaan al-Qurannya di dunia, mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan pahala di akhirat.

Sesungguhnya perbuatan mereka ini adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat, dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la. Dan ini adalah jenis perbuatan meng hajer [MEMBOIKOT] al-Quran yang paling dahsyat, maka ini adalah sebusuk-busuknya yang mereka lakukan".

(Baca: “عون المعبود شرح سنن أبي داود” 3/42).

Dan adapun yang berkaitan dengan larangan minta-minta dan mengemis, maka dalam hadits Abu Hurairah di sebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda:

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar lalu mengangkatnya di atas punggungnya daripada dia meminta-minta (mengemis) kepada orang lain, lalu orang yang dimintainya itu memberinya atau dia menolak untuk memberinya (HR al-Bukhari no. 2374 dan Muslim no. 1042).

Dan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

((مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِر)) ْ

“Barangsiapa yang kebanyakan meminta-minta harta manusia, maka sesungguhnya dia meminta bara api neraka Jahannam, maka (tinggal pilih) mau mempersedikit atau memperbanyak.” (HR. Muslim no. 1041)

Minta-minta berkedok ustadz atau kyai atau proposal atas nama agama dan umat ; maka dosanya berlipat-lipat ; karena telah berdusta mengatas namakan Allah, agama-Nya dan umat Islam. Dan dampaknya sangat buruk terhadap kehormatan agama dan nama baik umat Islam di mata non muslim di seluruh dunia.

Orang yang paling dzalim di sisi Allah SWT adalah orang yang berdutsa mengatas namakan Allah, seperti halnya mengemas kemungkaran dengan kemasan syar'i.

Banyak sekali ayat al-Quran yang mencela dan melaknat perbuatan ini, diantara ayat berikut ini:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ ٱلْأَشْهَٰدُ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ كَذَبُوا۟ عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim [QS. Hud: 18].

PANDANGAN AHLI ZUHUD YANG MENGATAKAN :
BAHWA ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT [AGAMA] SALING BERTENTANGAN

Keyakinan adanya pertentangan antara dunia dan akhirat, serta pemisahan di antara keduanya, telah menjadi problem bagi banyak orang.

Ketika mereka memperhatikan dan memperbandingkan antara tuntunan agama dengan urusan dunia mereka, pekerjaan mereka, jabatan-jabatan mereka, perdagangan mereka, dan pendidikan mereka ; maka sebagian dari mereka merasakan dalam jiwa mereka seperti adanya kontradiksi lalu mereka merasa berdosa karena mereka merasakan adanya pertentangan tersebut.

Kelompok ini dikenal dengan sebutan:

MUTAZAHHIDAH (مُتَزَهِّدَة) dan MUTAQOSYIFAH (مُتَقَشَّفَة)

[yakni: kelompok ahli zuhud yang berkeyakinan bahwa antara dunia dan agama (akhirat) saling bertentangan, maka dengan demikian menurutnya wajib meninggalkan kesenangan duniawi agar bisa fokus ibadah]

Sebagian dari mereka ada yang bersikeras mengklaim bahwa ibadah itu bertentangan dengan mencari nafkah, seperti bekerja di industri, di perdagangan, di pertanian, di pemerintahan, di lembaga-lembaga dan bidang-bidang lainnya.

Mereka mengatakan:

مَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَلَا بُدَّ أَنْ يَطْلُقَ الدُّنْيَا طَلَاقًا بَاتًا حَتَّى يُصَلِّحَ قَلْبَهُ.

“Bahwa siapa pun yang menginginkan akhirat harus sepenuhnya meninggalkan dunia ini agar hatinya menjadi shaleh dan baik ".

Jadi kelompok ini berpandangan bahwa antara dunia dan akhirat tidak bisa saling bertemu karena berlawanan arah. Ini dikarenakan adanya kesalah fahaman mereka dalam memahami masalah tersebut, baik yang berkaitan dengan dunia maupun yang berkaitan dengan agama.

Orang-orang yang berfaham seperti ini sebaiknya meninjau kembali wawasannya dengan mendalami kembali dalil-dalil Syar'i secara komprehensif serta memahaminya dengan pemahaman yang benar agar kebingungan dan kesalahfahaman mereka segera hilang dari mereka serta agar mereka tidak menderita lagi karenanya.

PENJELASAN IMAM AS-SARKHASHI AL-HANAFI:

Imam As-Sarkhasi [w. 490 H] berkata:

قَالَ بَعْضُ الْمُتَقَشِّفَةِ مَا يَرْجِعُ إلَى الدَّنَاءَةِ مِنْ الْمَكَاسِبِ فِي عُرْفِ النَّاسِ لَا يَسَعُ الْإِقْدَامُ عَلَيْهِ إلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ لِقَوْلِهِ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «إنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ وَيُبْغِضُ سَفْسَافَهَا» وَالسَّفْسَافُ مَا يُدْنِي الْمَرْءَ وَيَبْخَسُهُ

“Orang-orang Mutaqosyyyifiin [yakni: orang-orang yang meninggalkan kesenangan duniawi] mengatakan:

Bahwa kasab [usaha mencari dunia] adalah tergolong dalam perbuatan hina menurut norma masyarakat, maka seharusnya tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi (SAW):

«لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ»

'Seorang mukmin tidak boleh merendahkan dirinya sendiri.' [Al-Albaani berkata: Hasan Ghariib Bighairihi. Haidayatur Ruwaah no. 2437].

Dan beliau juga bersabda:

«إنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ وَيُبْغِضُ سَفْسَافَهَا»

'Sesungguhnya Allah Ta'ala mencintai hal-hal yang mulia dan membenci hal-hal yang kotor.' [Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih al-Jami' no. 1890].

Dan yang dimaksud dengan hal-hal kotor di sini adalah tindakan yang menurunkan martabat dan mengurangi nilai seseorang".

Lalu Imam as-Sarkhasi membantahnya dan meluruskannya dengan mengatakan:

ثُمَّ الْمَذْهَبُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ - رَحِمَهُمُ اللَّهُ - أَنَّ الْمَكَاسِبَ كُلَّهَا فِي الْإِبَاحَةِ سَوَاءٌ......

وَحُجَّتُنَا فِي ذَلِكَ قَوْلُهُ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «إنَّ مِنْ الذُّنُوبِ ذُنُوبًا لَا يُكَفِّرُهَا الصَّوْمُ، وَلَا الصَّلَاةُ قِيلَ: فَمَا يُكَفِّرُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْهُمُومُ فِي طَلَبِ الْمَعِيشَةِ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «طَلَبُ الْحَلَالِ كَمُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الِاكْتِسَابُ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى الْعِيَالِ» مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ بَيْنَ أَنْوَاعِ الْكَسْبِ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ سِوَى التَّعَفُّفِ وَالِاسْتِغْنَاءِ عَنْ السُّؤَالِ لَكَانَ مَنْدُوبًا إلَيْهِ، فَإِنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «السُّؤَالُ آخِرُ كَسْبِ الْعَبْدِ» أَيْ يَبْقَى فِي ذُلِّهِ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ «وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَوْ لِغَيْرِهِ: «مَكْسَبَةٌ فِيهَا نَقْصُ الْمَرْتَبَةِ خَيْرٌ لَك مِنْ أَنْ تَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْك أَوْ مَنَعُوك» ثُمَّ الْمَذَمَّةُ فِي عُرْفِ النَّاسِ لَيْسَتْ لِلْكَسْبِ بَلْ لِلْخِيَانَةِ وَخُلْفِ الْوَعْدِ وَالْيَمِينِ الْكَاذِبَةِ وَمَعْنَى الْبُخْلِ.

"Pandangan mayoritas ahli fikih - semoga Allah merahmati mereka - adalah bahwa semua kasab [usaha cari rizki] dalam hal yang halal adalah sama".

Argumen kami dalam hal ini adalah sabda beliau - shallallahu 'alaihi wa sallam:

«إنَّ مِنْ الذُّنُوبِ ذُنُوبًا لَا يُكَفِّرُهَا الصَّوْمُ، وَلَا الصَّلَاةُ قِيلَ: فَمَا يُكَفِّرُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْهُمُومُ فِي طَلَبِ الْمَعِيشَةِ»

'Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada dosa yang tidak bisa dihapuskan dengan berpuasa atau shalat.' Ketika ditanya: 'Apa yang bisa menghapus dosa tersebut, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Menghadapi kesuliatn-kesulitan dalam mencari nafkah.'

[HR. Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 1/38 no.102, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 6/235, Al Haitsami dalam Majma’u Az-Zawa-id 4/75 no.6239, dan selainnya. Hadits ini derajatnya PALSU (maudhu’)].

Dan beliau (SAW) juga bersabda:

«طَلَبُ الْحَلَالِ كَمُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ»

'Mencari nafkah yang halal adalah seperti berperang di medan perang. Dan siapa yang terus berusaha mencari nafkah yang halal, maka dia akan meninggal dalam keadaan diampuni dosa-dosanya.' [Dho'if. Lihat Dho'if al-Jami' oleh al-Albaani no. 3621].

Dan beliau (SAW) bersabda:

«أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الِاكْتِسَابُ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى الْعِيَالِ»

"Amal terbaik adalah mencari nafkah untuk keluarga".

Tanpa perlu membedakan jenis usaha cari penghasilan [selama itu halal]. Selama tidak ada tujuan lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan harga diri serta menghindari perbuatan meminta-minta, maka itu sudah dianggap sunnah. Sebab Rasulullah (SAW) pernah bersabda:

«السُّؤَالُ آخِرُ كَسْبِ الْعَبْدِ»

"Meminta-minta adalah akhir dari usaha penghasilan seorang hamba". yaitu dia akan tetap merasa rendah diri hingga hari kiamat.

Beliau juga bersabda kepada Hakim bin Hizam (ra) atau orang lain:

«مَكْسَبَةٌ فِيهَا نَقْصُ الْمَرْتَبَةِ خَيْرٌ لَك مِنْ أَنْ تَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْك أَوْ مَنَعُوك»

'Penghasilan halal yang didapatkan dengan pekerjaan yang membuat martabatmu turun adalah lebih baik bagimu daripada meminta pada manusia, baik mereka memberimu atau mereka menolak untuk memberimu '.

Kemudian, yang dicela dalam norma masyarakat bukanlah masalah jenis kasab cari penghasilan, tetapi untuk pengkhianatan, melanggar janji, sumpah palsu, dan perbuatan yang terdapat makna pelit." [Referensi: Al-Mabsuuth 30/258].

DALIL-DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD 
YANG MEMBUAT MEREKA LARI DARI DUNIA 
SERTA BANTAHANNYA:

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD PERTAMA:

Kelompok Mutazahhidan & Mutaqosysyifah [anti dunia] mengatakan: Bahwa dunia itu TERLAKNAT dan TERKUTUK, sebagaiamana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

“أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلا ذكرُ الله وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ"

“Ketahuilah sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat apa saja yang ada didalamnya kecuali dzikir kepada Allah, amalan yang mendekatkan kepada Allah, orang yang berilmu atau orang yang belajar ilmu” [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dihasankan oleh Al Albani dalam Misykah al Mashabih 3/1431] 

Berdasarkan hadits ini, maka umat Islam harus lari meninggalkan harta benda dan kesenangan duniawi.

Jawabannya adalah sbb:

Pertama: penulis kutip penjelasan Syeikh Faishal an-Najdi, dia berkata:

فِيهِ: ذَمُّ مَا أَشْغَلَ مِنَ الدُّنْيَا عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَطَاعَتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ} [المنافقون (9)]، وَأَمَّا مَا أَعَانَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ مِنَ الدُّنْيَا فَلَيْسَ بِمَذْمُومٍ، قَالَ تَعَالَى: {رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ} [النور (37)]، وَفِي حَدِيثٍ مَرْفُوعٍ: «لَا تَسُبُّوا الدُّنْيَا فَنِعْمَ مَطِيَّةُ الْمُؤْمِنِ عَلَيْهَا يَبْلُغُ الْخَيْرَ، وَبِهَا يَنْجُو مِنَ الشَّرِّ»

“Dalam hadis ini, terdapat celaan terhadap dunia yang menyibukkan seseorang dari mengingat Allah dan mentaatinya, sebagaimana firman Allah SWT:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (Surah Al-Munafiqun: 9).

Adapun jika dunia itu membantu dalam ketaatan kepada Allah, maka itu tidak dicela, sebagaimana firman-Nya:

"Orang-orang yang perniagaannya dan jual belinya tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat." (Surah An-Nur: 37).

Dalam hadis yang diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:

“لَا تَسُبُّوا الدُّنْيَا، ‌فَنِعْمَ ‌مَطِيَّةُ ‌الْمُؤْمِنِ ‌عَلَيْهَا ‌يَبْلُغُ ‌الْخَيْرَ، وَبِهَا يَنْجُو مِنَ الشَّرِّ".

"Janganlah kalian mencela dunia, karena sesungguhnya dunia adalah tunggangan yang baik bagi seorang mukmin, dengan dunia itulah ia dapat mencapai kebaikan dan terhindar dari kejahatan." [Lihat: Tathriiz Riyadhush Sholihin hal. 322 no. 477]

Kedua: penulis kutip beberapa hadits nabawi:

Ke 1: Rasulullah (SAW) bersabda:

لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى خَيْرٌ مِنْ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنْ النَّعِيمِ

“Tidaklah mengapa dengan kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Kesehatan itu lebih baik daripada kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Dan jiwa yang baik-baik saja merupakan bagian dari kenikmatan.”

(HR. Ibnu Majah no. 2132, Ahmad no. 22076 dan al-Hakim dalam Mustadrak no. 2131. Di-shahih-kan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dan di-shahih-kan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 174).

Ke 2: Rasulullah (SAW) bersabda:

((نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ)).

"Betapa indahnya harta yang shaleh [baik] milik orang yang shaleh."

[HR. Ahmad (17763) disahihkan oleh Al-Albani dalam Takhrij Misykatil Faqri (19).

Ke 3: Dari Amr bin Ash (ra) bahwa Rosulullah (SAW) bersabda padanya:

يا عَمرُو، إنِّي أُريدُ أن أَبعثَك على جَيشٍ فيُغنِمَك اللهُ، وأَرغَبَ لك رغبةً منَ المالِ صالحةً، قُلتُ: إنِّي لم أُسلِمْ رغبةً في المالِ، إنَّما أَسلَمْتُ رغبةً في الإسلامِ، فَأكونَ معَ رَسولِ اللهِ، فَقال: يا عمرُو،‍ نِعْمَ المالُ الصَّالحُ للمَرءِ الصَّالحِ.

Ya Amr, sesungguhnya aku ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan agar Allah memberikan harta ghanimah [rampasan perang] kepadamu, dan aku mengharapkanmu memiliki keinginan yang shaleh [baik] terhadap harta itu.

Aku berkata: "Aku tidak masuk Islam karena berkeinginan terhadap harta, aku hanya masuk Islam karena berkeinginan terhadap agama Islam, agar aku bisa bersama Rasulullah."

Beliau lantas bersabda: "Ya Amr, betapa indahnya harta yang shaleh [baik] bagi orang yang shaleh."

HR. al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad (299), Al-Hakim (2130), dan Al-Baihaqi dalam kitab "Syu'ab al-Iman" (1248). Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam kitab "Sahih Adab al-Mufrad" no. (229).

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KEDUA:

Mereka mengatakan bahwa harta dunia itu lebih hina dari pada BANGKAI KAMBING yang cacat dan bau busuk. Maka kaum muslimin harus menjauhinya, membuangnya dan meninggalkannya.

Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Abdullah (ra):

“أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا ".

Bahwa Rasulullah (SAW) melintas masuk ke pasar seusai pergi dari tempat-tempat tinggi sementara orang-orang berada disisi beliau. Beliau melintasi bangkai anak kambing dengan telinga melekat, beliau mengangkat telinganya lalu bersabda:

"Siapa diantara kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham?"

Mereka menjawab: Kami tidak mau memilikinya, untuk apa?

Beliau bersabda: "Apa kalian mau (bangkai) ini milik kalian?"

Mereka menjawab: Demi Allah, andai masih hidup pun ada cacatnya karena telinganya menempel, lalu bagaimana halnya dalam keadaan sudah mati?

Beliau bersabda: "Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah melebihi (bangkai) ini bagi kalian." [HR. Muslim no. 5257].

Jawabannya adalah sbb:

Pertama: penulis kutip penjelasan dari ad-Duror as-Saniyah tentang makna hadits ini:

وفي هذا إشارة إلى التَّحذيرِ مِن أنْ يَستغرِقَ المسلِمُ في مَتاعِ الدُّنيا وشَهواتِها؛ فقد خلَق اللهُ الدُّنيا ولَم يَجعَلْ لها وَزنًا، وكانتْ عنده هَيِّنةً.

Dalam hadits ini terdapat peringatan untuk menjaga diri agar seorang Muslim tidak terjebak dan tenggelam dalam kesenangan duniawi dan syahwatnya. Allah menciptakan dunia ini tanpa memberikan bobot atau berat timbangan yang berarti, dan dunia ini di sisi-Nya adalah sesuatu yang mudah ".

Kedua: hadits tersebut hanya sebatas perumpamaan dan nasihat agar kita tidak tenggelam dalam kelezatan dunia yang membuat kita lalai dan lupa terhadap tuntutan agama dan persiapan kehidupan akhirat.

Dan pada realitanya ada perbedaan antara harta benda dan bangkai kambing yang cacat dan busuk. Diantara perbedaannya adalah sbb:

1]- Harta benda termasuk salah satu 5 darurat yang wajib di jaga.

2]- Orang yang terbunuh dalam membela hartanya maka dia mati syahid.

Dari Sa’id bin Zaid (ia meriwayatkan): Aku pernah mendegar Rasulullah  bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Barangsiapa yang terbunuh karena melindungi hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi agamanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi darahnya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi keluarganya maka dia syahid

(HR. An-Nasai no. 4105 dan al-Tirmidzi no. 1421. Di nilai Hasan Shahih oleh At-Tirmidzi, dan dinilai Shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i).

3]- Pencuri harta dunia terkena hukum hadd potong tangan.

4]- Bagi yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah maka dia akan mendapatkan pahala.

5]- Allah SWT melarang kita tabdzir harta dan rizki, bahkan demi untuk menghindari tabdzir rizki dan demi mensyukuri karunia Allah SWT, maka Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk menjilati jari-jari tangan seusai makan. Beliau (SAW) bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ، حَتَّى يَلْعَقَهَا".

“Jika salah seorang dari kalian makan makanan janganlah dia mengusapkan tangannya sampai dia menjilat tangannya terlebih dahulu ". (Muttafaqun 'Alaihi).

Dan dari Anas (ra), dia menceritakan:

“أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ قَالَ وَقَالَ إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمْ الْبَرَكَةُ".

Bahwa Nabi (SAW) apabila selesai makan, dia menjilati ke tiga jari tangannya. Anas berkata; Beliau bersabda:

'Apabila suapan makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkannya dimakan setan."

Dan beliau menyuruh kami untuk menjilati piring. Beliau bersabda: 'Karena kalian tidak tahu makanan mana yang membawa berkah." [HR. Muslim no. 3795].

Itu semua tidak berlaku pada bangkai kambing yang cacat dan membusuk.

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE TIGA:

Mereka mengatakan: Jika seseorang memiliki makanan pokok yang cukup untuk satu hari itu, maka janganlah dia memikirkan rizki hari esok dan jangan pula dia bersusah payah menyibukkan diri mencari rizki untuk hari esok dan sesudahnya!!! Karena rizkinya sudah diatur oleh Allah SWT. Cukup dengan menikmati dan mensyukuri rizki yang ada untuk hari itu! Yang penting pada hari itu dia sehat sejahtera dan aman sentosa.

Mereka berhujjah dengan hadits ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.”

(HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib).

Jawabannya adalah sbb:

Pertama: Penulis kutip penjelasan Al-Munaawi dalam kitabnya “فَيَضُ الْقَدِيرِ” 6/88 tentang maksud hadits tsb, dia berkata:

"يَعْنِي: مَنْ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ بَيْنَ عَافِيَةِ بَدَنِهِ، وَأَمَنَ قَلْبِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَ، وَكَفَافَ عَيْشِهِ بِقُوَّةِ يَوْمِهِ، وَسَلَامَةَ أَهْلِهِ، فَقَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ جَمِيعَ النِّعَمِ الَّتِي مِنْ مَلَكِ الدُّنْيَا لَمْ يَحْصُلْ عَلَى غَيْرِهَا، فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَسْتَقْبِلُ يَوْمَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِشُكْرِهَا، بِأَنْ يُصَرِّفَهَا فِي طَاعَةِ الْمُنْعِمِ، لَا فِي مَعْصِيَّةٍ، وَلَا يَفْتُرُ عَنْ ذِكْرِهِ."

قَالَ نَفْطُوَيْهِ:

إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ مُصَحَّةٍ * وَلَمْ يَخْلُ مِنْ قُوَّتِ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ

فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتَرَفِينَ فَإِنَّهُ * عَلَى حَسْبِ مَا يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلِبُ

Artinya: Barangsiapa orangnya yang Allah telah mengumpulkan untuknya: kesehatan tubuhnya, keamanan hatinya kemanapun dia pergi, tercukupi pangannya untuk kelangsungan hidupnya untuk hari itu, dan keselamatan keluarganya, maka sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya semua kenikmatan seolah-olah dia memiliki dunia semuanya.

Jika demikian, maka dia seharusnya tidak menggunakan hari nya itu kecuali untuk mensyukurinya dan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah Sang Pemberi Nikmat, BUKAN untuk kemaksiatan, dan jangan bosan berdzikir dengan mengingatnya.

Seorang penyair Nafthaweih berkata:

إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ مُصَحَّةٍ * وَلَمْ يَخْلُ مِنْ قُوَّتِ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ

فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتَرَفِينَ فَإِنَّهُ * عَلَى حَسْبِ مَا يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلِبُ

Jika ad-Dahr (masa/waktu) menyelemuti mu dengan baju sehat walafiat *** dan tidak pernah kosong dari makanan, yang manis dan segar.

Maka janganlah kau merasa cemburu terhadap orang-orang yang hidupnya serba mewah, karena sesungguhnya itu semua *** di atas apa yang Ad-Dahr berikan kepada mereka, dan apa saja yang ad-Dahr berikan pasti kelak ia akan mencabutnya kembali“. (SELESAI) [Baca: “فَيَضُ الْقَدِيرِ” 6/88].

Kedua: Penulis kutip pula perkataan Syeikh Sholeh Fauzan al-Fauzan dalam memahami hadits tsb:

فَعَلَيْنَا أَنْ نَشْكُرَ اللَّهَ -عَزَّ وَجَلَّ- بِأَنْ نَسْتَعْمِلَ هَذِهِ النِّعَمَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَلَا نَبْطِرُ نِعْمَةَ اللَّهِ أَوْ نَتَكَبَّرُ أَوْ نَسْتَعْمِلُ هَذِهِ النِّعَمَ فِي مَعْصِيَّةِ اللَّهِ، وَفِي الْإِسْرَافِ وَالتَّبْذِيرِ وَالْبُذْخِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

Artinya: Kita harus bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara menggunakan semua nikmatnya ini dalam ketaatan kepada Allah, dan tidak menyalah gunakan nikmat Allah atau tidak takabur atau tidak menggunakan nikmat-nikmat ini dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan tidak pula untuk pemborosan, tabdzir, gaya hidup glamour, dan lain sebagainya. [فَتَاوَى عَلَى الْهَوَاءِ 20 – 02 – 1437 H].

Ketiga: Penulis sebutkan pula beberapa dalil yang memerintahkan kita untuk mempersiapkan ekonomi masa depan anak dan keluarga. Diantara sbb:

Allah dalam firmanNya:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q.S An-Nisa: 9)

Ayat ini berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan tentang pembagian harta warisan.

Dan berikut ini ada sebuah hadits yang sangat tegas menganjurkan para orang tua sebelum meninggal untuk " MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK ".

Dari Sa'ad bin Abi Waqosh (ra) berkata:

جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا قَالَ يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ لَا قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لَا قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا ابْنَةٌ

Nabi SAW datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah". Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya.

Beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afra'".

Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku". Beliau bersabda: "Jangan".

Aku katakan: "Setengahnya". Beliau bersabda: "Jangan". Aku katakan lagi: "Sepertiganya".

Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.

Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka.

Sesungguhnya apa saja yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun satu suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.

Dan semoga Allah mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat orang-orang yang lainnya".

Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. (HR. Bukhori No. 2537)

Dan Allah SWT melarang para orang tua, penguasa dan lainnya menyerahkan harta kepada para safiih (orang-orang yang belum cerdas dalam mengelola harta), merkipun harta tersebut hak milik para safiih tadi.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)

Artinya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian yang dijadikan Allah sebagai sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa: 5)

Dan dalam Rangka memelihara harta anak Yatim, maka wali anak yatim di wajibkan berusaha mengembangkan hartanya dan mendidik nya agar anak yatim tsb cerdas dalam mengelola hartanya. Tidak boleh menyerahkan hartanya kecuali setelah anak yatim itu lulus uci coba kemampuan.

Allah SWT berfirman:

وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)

Dan kalian ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (memberikannya) sebelum mereka dewasa.

Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu). (QS. An-Nisaa: 6)

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari Kakeknya bahwa Rosulullah SAW bersabda:

“مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“

Artinya “Ketahuilah, barang siapa yang mengasuh anak yatim yang mempunyai harta, maka gunakanlah hartanya untuk berdagang dan jangan didiamkan saja sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Tirmidzi: 641 dan didha’ifkan oleh Albani dalam Dho’if Tirmidzi)

Akan tetapi makna hadits di atas benar; karena harta anak yatim itu sama dengan harta lainnya, jika sudah sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun maka wajib dizakati, dan jika tidak dikembangkan dan diambil zakat setiap tahunnya, maka akan menyebabkannya berkurang.

Sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:

 اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ.

“Kembangkanlah harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi, beliau berkata: “Sanadnya shahih”)

Dan berikut ini hadits yang berisi ancaman bagi orang yang menyerahkan harta kepada pemiliknya yang masih safiih [belum cerdas mengelolanya], meski harta itu hak miliknya:

Dari Abu Musa al-Asy’ry (ra), bahwa Nabi SAW bersabda:

ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ - عز وجل -: ﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾".

"Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak mengabulkannya untuk mereka. yaitu:

Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya;

Dan seorang lelaki yang mempunyai harta pada seorang lelaki lain (menghutangi) namun dia tidak menghadirkan saksi terhadapnya

Dan seorang lelaki yang memberikan kepada orang yang safiih / سفيه (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) hartanya, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 

﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾

Artinya: “'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian' (An-Nisa: 5).

[HR. Al-Hakim dlm al-Mustadrok No. 3181, ath-Thobari dlm Tafsirnya No. 8544 dan ath-Thohawi dlm “شرح مشكل الآثار” No. 2530. Dishahihkan oleh al-Hakim dan Syeikh al-Albaani dlam “صحيح الجامع” No. 3075].

Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir nya:

“Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum cerdas akalnya melakukan tasarruf (mengendalikan dan mengelola) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.

Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya “. (Selesai)

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE EMPAT:

Mereka kelompok Mutazahhidah [anti dunia] menyuruh kaum muslimin untuk fokus ibadah kepada Allah SWT. Adapun yang berkaitan dengan rizki dan nafkah hidup ; maka cukup dengan bertawakkal kepada Allah.

Mereka berkata: jika kita benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT maka Allah akan melimpahkan rizki kepada kita. Sebagaimana dalam hadits Umar Bin Al Khaththob bahwa Nabi SAW bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوا خِمَاصاً وَتَرُوْحُ بِطَاناً

"Sungguh seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizqi sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."

[HR. Al-Tirmidzi (2344) dan lafalnya adalah miliknya, Ibnu Majah (4164), dan Ahmad (205)]. Di Shahihkan al-Albaani dalam Hidayaturruwaah no. 5229.

Penulis Jawab:

Justru sebaliknya, hadits ini menyuruh kita di samping bertawakkal kepada Allah, juga kita harus berusaha semaximal mungkin, seperti burung, ia tidak tinggal diam di sarangnya, melainkan keluar.

Terus kenapa mesti dari pagi sampai sore, bukankah untuk kebutuhan seekor burung agar kenyang itu cukup beberapa saat saja?

Jawabnya: Ini adalah isyarat agar kita berusaha semaximal mungkin meski melibihi kebutuhan dirinya; karena kelebihannya bisa diinfaqkan dan digunakan untuk keperluan yang lain.

Dan kenapa burung itu hanya hingga sore saja, tidak sampai pagi? Karena burung juga harus istirahat dan lagi pula kalo sudah sore jadi gelap, maka sang burung tidak bisa melihat sesuatu di kegelapan malam ; karena burung tiada ada yang punya lampu senter.

Ada penjelasan dari Imam Ahmad tentang hadits ini, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Bakar ad-Dainuury al-Qoodhi al-Maaliki (w. 333 H) dalam kitabnya al-Mujaalasah wa Jawaahir al-Ilmi 3/123 no. 754, dia berkata:

“حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْحُبُلِيُّ؛ قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، فَقُلْتُ: مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ ‌جَلَسَ ‌فِي ‌بَيْتِهِ ‌أَوْ ‌فِي ‌مَسْجِدِهِ ‌وَقَالَ: ‌لَا ‌أَعْمَلُ ‌شَيْئًا ‌حَتَّى ‌يَأْتِيَنِي ‌رِزْقِي؟ فَقَالَ أَحْمَدُ: هَذَا رَجُلٌ جَهِلَ الْعِلْمَ، أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «جَعَلَ اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي» (يَعْنِي: الْغَنَائِمَ) ، وَحَدِيثَهُ الْآخَرَ حِينَ ذَكَرَ الطَّيْرَ، فَقَالَ: «تَغْدُوا خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟»! فَذَكَرَ أَنَّهَا تغدو فِي طَلَبِ الرِّزْقِ. وَقَالَ الله تبارك وتعالى: (وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ) [المزمل: 20]. وَقَالَ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربكم} [البقرة: 198]. وَكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّجِرُونَ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَيَعْمَلُونَ فِي نَخِيلِهِمْ، وَالْقُدْوَةُ بِهِمْ ".

"Diceritakan kepada kami oleh Abu Al-Qasim Al-Hubuliy, dia berkata: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, lalu saya berkata:

“Apa pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di masjidnya, lalu dia berkata: Saya tidak akan melakukan apa pun sampai rezeki saya datang kepada saya?".

Ahmad bin Hanbal menjawab: “Orang ini tidak memiliki ilmu [bodoh]. Bukankah kamu pernah mendengar sabda Nabi (SAW):

“جَعَلَ اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي ".

"Allah telah menjadikan rezekiku di bawah panjangnya tombak-ku [yakni Jihad]?".

Dan sabda beliau yang lain ketika menyebutkan rizki BURUNG, beliau berkata:

تَغْدُوا خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟

'Ia [burung] berangkat di pagi hari dan pulang sore dengan perut kenyang?'

Maka beliau (SAW) menyebutkan bahwa burung-burung itu berangkat untuk berusaha mencari rezeki. Dan Allah Ta'ala berfirman:

وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ

'Dan dari mereka ada yang berusaha mencari karunia Allah di bumi'. [QS. Al-Muzammil: 20]

Dan Allah juga berfirman:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربِّكُمْ

'Tidak ada dosa bagi kalian [dimusim haji] jika kalian mencari karunia dari Tuhan kalian'. [QS. Al-Baqarah: 198].

Dan sahabat-sahabat Rasulullah (SAW) berdagang di darat dan laut, dan mereka bekerja di kebun kurma mereka, dan mereka adalah contoh teladan bagi kita semua ".

[Lihat Pula: Talbis Iblis karya Ibnu al-Jauzi hal. 252].

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam "Shahih" nya no. 1523 dari Ibnu Abbas (ra), dia berkata:

كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحْجُونَ، وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ، سَأَلُوا النَّاسَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}.

“Orang-orang Yaman dulu pergi menunaikan ibadah haji, akan tetapi mereka tidak membawa bekal, dan mereka berkata: Kami adalah orang-orang yang bertawakkal, lalu ketika mereka tiba di Makkah, mereka minta-minta kepada manusia “. Maka Allah SWT menurunkan wahyu:

{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}

"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa". (Al-Baqarah: 197)

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE LIMA:

Sebagian kelompok Mutazahhidah berkata: Tidak usah bersusah payah dalam mencari rizki, karena rizki sudah dintentukan, bahkan akan tertunaikan semuanya sebelum ajal tiba, sebagimana dalam hadits Jabir (ra) bahwa Rasulullah (SAW):

“أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ".

“Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan kalian pilihlah cara yang terindah dalam mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kalian kepada Allah dan kalian perindah-lah dalam cara mencari rezeki, kalian ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram”.(HR. Ibnu Majah no. 1756, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Penulis jawab:

Justru hadits ini memerintahkan kita agar berusaha seindah mungkin dalam cara dan strategi mencari rizki. Bahkan dalam riwayat lain, kita diperintahkan mempercanggih profesi dan skill dalam mencari rizki.

Rosulullah SAW bersabda:

إنّ رُوحَ القُدُسِ نَفَثَ في رُوعِي أنّ نَفْساً لنْ تَمُوتَ حَتّى تَسْتَكْمِلَ أجَلَها وَتَسْتَوْعِبَ رِزْقَها، فاتّقُوا الله وأجْمِلُوا في الطَّلبِ [وفي بعض الروايات بعد هذا زيادة: “وَاسْتَجْمِلُوْا مِهَنَكُمْ "] ولا يَحْمِلنَّ أحَدَكُمُ اسْتِبْطاءُ الرِّزْقِ أنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ الله، فإنّ الله تعالى لا يُنالُ ما عِنْدَهُ إلاّ بِطاعَتِهِ

“Sungguh malaikat Jibril telah membisikkan pada hati saya bahwa sebuah jiwa tidak akan mati sampai ajalnya tiba sehingga rezekinya telah sempurna, maka bertakwalah kalian kepada Allah, kalian perindahlah cara mencari rizki itu

[Dalam sebagian riwayat ada tambahan: “dan kalian per-INDAH-lah profesi-profesi (atau skill -skill) kalian]

Dan janganlah salah seorang dari kalian memperlambat datangnya rezeki dengan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang dimiliki oleh Allah tidaklah dapat diraih kecuali dengan taat kepada-Nya”.

Hadits ini diriwayatkan dari tiga Sahabat: 1. Dari Jabir bin Abdullah RA. 2. Abdullah bin Mas’ud (ra). 3. Abdullah bin Umar (ra).

Terjemahan ke bahasa Indonesia dari teks Arab tersebut adalah sebagai berikut:

"HR. Al-Baihaqi dalam "Shu'ab al-Iman" No. 9891, dan juga oleh Al-Baghawi "Sharh as-Sunnah" – No: 4111."

Hadits ini di shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm “Shahih al-Jaami'” No. 2085 “ Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah” No. 2866 dan “مشكلة الفقر” No. 15

Dan dishahihkan pula oleh Syu’eb al-Arna’uth dlm “تخريج زاد المعاد” 1/77.

Perhatikan kata-kata dalam hadits di atas:

“وأجْمِلُوا في الطَّلبِ وَاسْتَجْمِلُوْا مِهَنَكُمْ”

“kalian perindahlah cara mencari rizki itu dan kalian per indah pula profesi-profesi kalian (مِهْنَة) “.

Berikut ini definisi dan makna kata “ مِهْنَة ” jamaknya “ مِهَنٌ ”:

"الْمِهْنَةُ عَلَى أَنَّهَا أَيُّ نَوْعٍ مِنَ الْعَمَلِ الَّذِي يَحْتَاجُ إِلَى تَدْرِيبٍ خَاصٍّ أَوْ مَهَارَةٍ مُعَيَّنَةٍ، وَبِشَكْلٍ أَدْقَ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ مُمَارَسَةٍ تَتَطَلَّبُ مُجْمَوَعَةً مُعَقَّدَةً مِنَ الْمَعْارِفِ وَالْمَهَارَاتِ الَّتِي يُتَمُّ اكْتِسَابُهَا مِنْ خِلَالِ التَّعْلِيمِ الرَّسْمِيِّ وَالْخَبْرَةِ الْعَمَلِيَّةِ ".

Artinya: “Profesi (مِهْنَة) adalah segala jenis pekerjaan yang membutuhkan pelatihan khusus atau keterampilan khusus. Lebih tepatnya, مِهْنَة adalah praktik yang membutuhkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan kompleks yang diperoleh melalui pendidikan formal dan pengalaman kerja “.

Dan dalam hadits lain dari Abu Humaid as-Saa’idy, bahwa Rosulullah SAW bersabda:

“أَجْمِلُوا فِي طَلَبِ الدُّنْيَا فَإِنَّ كُلّاً مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ”

Kalian perindahlah dalam mencari dunia!!!, karena sesungguhnya bagi masing-masing itu telah dimudahkan sesuai dengan apa yang diciptakan untuknya “. (HR. Ibnu Majah No. 2151. Dan di shahihkan oleh Syeikh al-Baany dlm Shahih Ibnu Maajah No. 1755).

Tidak ada keraguan bahwa semuanya sudah diatur oleh Allah SWT, termasuk ajal kita, rizki kita, jodoh kita dan lainnya. Namun itu hanya wajib diimani, akan tetapi kita tetap berkewajiban untuk berusaha semaximal mungkin. Karena hakikat takdir Allah itu sangat dalam dan luas, seperti menyelami samudera yang sangat dalam tanpa batas dan sangat luas tanpa tepi.

Penyair Al-Mutanabbi berkata:

وَإِذَا لَمْ يَكُنْ مِنَ المَوْتِ بُدٌّ *** فَمِنَ العَجْزِ أنْ تَمُوتَ جَبَانَا


"Dan jika kematian itu hal yang pasti **** maka salah satu kelemahan adalah mati sebagai pengecut [lari dari perjuangan dan usaha maksimal]."

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE ENAM:

Mereka juga melarang kaum muslimin berkebun dan bercocok tanam dikarenakan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Allah akan menimpakan kehinaan kepada kaum yang memasukkan alat-alat pertanian ke dalam rumahnya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Umamah Al Bahili (ra):

وَرَأَى سِكَّةً وَشَيْئًا مِنْ آلَةِ الحَرْثِ، فَقَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لاَ يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ»

[Muhammad bin Ziyad Al Alhani] berkata: ketika ia [Abu Umamah] melihat besi mata bajak dan alat-alat pertanian berkata: “Aku pernah mendengar Nabi (SAW) bersabda: “tidaklah alat-alat ini masuk ke dalam rumah suatu kaum kecuali Allah akan masukkan kehinaan kepada mereka“. [HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya (2321)]

Jawabannya:

Pertama: Penulis kutip penjelasan Syeikh bin Baaz tentang makna hadits ini:

"هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ٱلْمُرَادَ بِذَٰلِكَ إِذَا قَصَّرَ فِي ٱلْوَاجِبِ، أَوْ تَوَسَّعَ فِيهِ، فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى شَيْئًا مِنْ آلَةِ ٱلْحَرْثِ قَالَ: مَا دَخَلَ هَٰذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ ٱللَّهُ ٱلذُّلَّ، يُحْمَلُ مِثْلَمَا قَالَ ٱلْمُؤَلِّفُ عَلَى مَا إِذَا كَانَ تَعَاطِي ذَٰلِكَ عَلَى وَجْهٍ يَكُونُ فِيهِ ٱلْإِسْرَافُ وَٱلزِّيَادَةُ، أَوْ ٱلتَّقْصِيرُ عَنِ ٱلْوَاجِبِ، أَوْ ٱلِٱمْتِنَاعُ عَنِ ٱلْوَاجِبِ، أَوْ ٱلشُّغْلُ بِهِ عَمَّا أَوْجَبَ ٱللَّهُ، أَمَّا إِذَا كَانَتِ ٱلزِّرَاعَةُ وَٱلْحَرْثُ لَمْ تَمْنَعْهُ مِمَّا أَوْجَبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ، وَلَمْ تُقَعِّدْهُ عَنِ ٱلْجِهَادِ عِنْدَ ٱلدَّاعِي إِلَيْهِ، وَلَمْ يُسْرِفْ فِيهَا وَيَتَوَسَّعْ حَتَّى تُشْغَلَهُ؛ فَهِيَ مَكْسَبٌ عَظِيمٌ؛ جَمْعًا بَيْنَ ٱلْأَدِلَّةِ ".

Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah ketika seseorang kurang perhatian dalam menjalankan kewajiban atau bermudah-mudahan dengan menyepelekannya.

Karena saat itu beliau (SAW) melihat sesuatu dari alat pertanian, lalu beliau berkata: "Tidaklah sekali-kali alat ini masuk dalam rumah suatu kaum kecuali Allah memasukkan kehinaan kepadanya."

Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh penulis kitab tentang jika seseorang terlibat dalam hal itu dengan cara berlebihan dan melampaui batas, atau mengabaikan kewajiban, atau menolak kewajiban, atau terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak diwajibkan oleh Allah.

Namun, jika pertanian dan pekerjaan pertanian tidak menghalangi mereka dari apa yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan tidak menghalangi mereka dari jihad ketika ada panggilan, dan jika mereka tidak berlebihan dan terlalu sibuk dengan pertanian hingga melupakan tugas-tugas lainnya, maka itu adalah keuntungan besar ; berdasarkan penggabungan berbagai dalil".

Lalu syeikh Bin Baaz berkata:

الضَّابِطُ: أَنَّهَا تُشْغِلُهُ، الضابِطُ: أَنَّهُ يَتَوَسَّعُ تَوْسُّعًا يُشْغِلُهُ، فَالْأَنْصَارُ عِنْدَهُمْ حُقُولٌ كَثِيرَةٌ، وَهُمْ يَخْتَلِفُونَ إِلَيْهَا، وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ عَلَيْهِمْ، وَنَفَعُوا الْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا كَانَتِ الْمَزَارِعُ لَا تُشْغِلُ عَمَّا أَوْجَبَ اللَّهُ، وَلَا تُوقِعُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ، فَهِيَ مَكْسَبٌ طَيِّبٌ، وَصَاحِبُهَا عَلَى خَيْرٍ، وَكُلَّمَا أَخْرَجَ مِنْهَا أَوْ نَقَصَ مِنْهَا فَهُوَ صَدَقَةٌ. إِذَا احْتَسَبَ يَكُونُ الْأَجْرُ أَعْظَمَ، نَعَمْ.

Batasannya: Yaitu Jika itu membuatnya sibuk [sehingga dia lalai dari kewajiban ibadah]. Batasannya: bahwa ia memperluasnya secara luas yang membuatnya sibuk [lalu lupa ibadah]. Karena para sahabat Ansar memiliki ladang yang banyak, dan mereka terpencar mendatangi masing-masing ladangnya. Dan sungguh Allah telah memuji mereka dan mereka juga telah memberi manfaat bagi umat Muslim.

Jika pertanian tidak menghalanginya dari kewajiban yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak melibatkannya dalam yang diharamkan oleh Allah, maka itu adalah penghasilan yang baik, dan pemiliknya dalam kebaikan. Setiap kali dia mengeluarkan atau mengurangi darinya, maka itu menjadi sedekah. Jika dia berniat untuk mendapatkan pahala, maka pahalanya akan menjadi lebih besar. Ya.

[Blog resmi Syeikh Bin Baaz/ Syarah Shahih al-Bukhori/ باب فضل الزرع والغرس إذا أكل منه].

Kedua: Dalam hadits Jabir bin Abdullah (ra) di sebutkan bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً

“Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman, maka apa yang dimakan dari tanaman itu melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan binatang liar melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan burung melainkan menjadi sedekah baginya. Dan tidaklah seseotrang mengambil darinya, melainkah ia menjadi sedekah baginya." (HR. Imam Muslim Hadits no.1552)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimaullah mengatakan:

‌وَفِي ‌الْحَدِيثِ ‌فَضْلُ ‌الْغَرْسِ ‌وَالزَّرْعِ ‌وَالْحَضُّ ‌عَلَى ‌عِمَارَةِ ‌الْأَرْضِ وَيُسْتَنْبَطُ مِنْهُ اتِّخَاذُ الضَّيْعَةِ وَالْقِيَامُ عَلَيْهَا وَفِيهِ فَسَادُ قَوْلِ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ مِنَ الْمُتَزَهِّدَةِ

Dalam hadits ini terdapat fadhilah keutamaan menanam dan menabur benih, dan motivasi untuk memakmurkan lahan tanah. Disimpulkan darinya anjuran mengelola lahan yang terbengkalai dan mengembangkannya.

Dan di dalam hadits ini terdapat petunjuk betapa rusaknya perkataan orang yang mengingkarinya dari MUTAZAHHIDAH [kelompok ahli zuhud yang lari dari harta dunia]". [Fathul Bari 5/4].

DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE TUJUH:

Mereka mengatakan bahwa rizki itu datangnya dari Allah SWT. Jika Allah SWT menghendakinya maka Allah SWT mampu mendatangkan emas tanpa terduga. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

«بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ أَيُّوبُ يَحْتَثِى فِى ثَوْبِهِ، فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ، أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى وَعِزَّتِكَ وَلَكِنْ لاَ غِنَى بِى عَنْ بَرَكَتِكَ»

"Tatkala Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba muncul belalang dari emas. Lalu Ayyub mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam baju. Maka Raabnya memanggilnya: 'Wahai Ayyub, bukankah aku sudah memberimu kecukupan sebagaimana kau lihat? ' Ayyub menjawab, 'Benar, dan demi segala kemuliaan-Mu. Tetapi aku tidak pernah merasa puas dari limpahan barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 279].

Penulis jawab:

Bahwa kisah Ayub ini adalah mu'jizat beliau yang tidak diberikan kepada selainnya. Hanya sesekali terjadi dan tidak berulang. Maka tidak bisa dijadikan standar dalil.

Sama halnya Allah SWT menganugerahi mukjizat kepada Maryam Binti Imran (alaihas salam) berupa makanan di Mihrab-nya. Allah SWT berfirman:

"كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَۙ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۚ قَالَ يٰمَرْيَمُ اَنّٰى لَكِ هٰذَا ۗ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ".

“Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan'. [QS. Ali Imran: 37].

Sementara Nabi Zakariya (alaihis salam) sendiri yang mengasuh Maryam (alaihas salam) beliau bekerja sebagai tukang kayu untuk menafkahi dirinya dan keluarganya. Seperti yang diriwayatkan Imam Muslim no. 2379 dari Abu Hurairah (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

“كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا”

"Dulu Nabi Zakariya (SAW) bekerja sebagai tukang kayu."

Lalu apa pekerjaan Maryam (alaihis salam) setelah punya anak, Isa (alaihis salam)???

DR. Muhammad Minbar al-Janbar dalam artikelnya " قِصَّةُ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمِ (2)" berkata:

وَرُوِيَ أَنْ مَرْيَمَ مَكَثَتْ فِي مِصْرِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً حَتَّى شَابَّ وَلَدُهَا عِيسَى، وَكَانَتْ تَلْتَقِطُ السَّنَابِلَ مِنَ الْأَرْضِ بَعْدَ الْحَصَادِ فَتَجْمَعُ مَا يَتْرُكُهُ النَّاسُ اسْتِقْلَالًا لَهَا وَتُطْعِمُهُ وَلَدُهَا.....

وَلَمَّا ظَهَرَ أَمْرُهُ فِي مِصْرَ وَهُوَ فِي هَذِهِ السِّنَّ خَافَتْ أُمُّهُ عَلَيْهِ، فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى أُمِّهِ أَنْ عُودِيَ بِهِ إِلَى الشَّامِ، وَفِي الشَّامِ مَرَّ بِعَدَدٍ مِنَ الْأَعْمَالِ، فَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ عَمِلَ قَصَّارًا - صَبَّاغًا – لِلثِّيَابِ....

Dan diriwayatkan bahwa Maryam tinggal di Mesir selama dua belas tahun hingga anaknya, Isa, tumbuh dewasa. Mariam (alaihas salam) hidup mandiri, ia biasa mengumpulkan bulir-bulir gandum yang tercecer ditanah setelah panen, mengumpulkan sisa-sisa yang ditinggalkan oleh orang-orang, secara mandiri, dan memberinya makan kepada putranya...

Ketika masalah putranya mulai tersebar di Mesir dan ia berada pada usia pemuda, maka ibunya khawatir padanya. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada ibunya agar membawanya kembali ke Syam. Di Syam, Isa (alaihis salam) melakukan beberapa pekerjaan, dan telah diriwayatkan bahwa Isa (alaihis salam) bekerja sebagai tukang celup warna pakaian".

KONSEP MEMAHAMI DALIL YANG BER-TEMAKAN TENTANG HARTA DAN NAFKAH

Setiap ayat al-Qur'an dan hadits nabawi yang kandungannya berbicara tentang usaha mencari rizki, maka itu semua adalah dalil bahwa bertawakkal kepada Allah SWT itu tidak menghalangi seseorang untuk bekerja dan berusaha mencari harta dunia.

Adapun ayat al-Quran dan hadist nabawi yang kandungannya mencela harta benda dan melaknat kesenangan dunia maka itu dimaksudkan jika usahanya dan hartanya itu bisa menghalangi mereka dari apa yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan menghalangi mereka dari berjihad di jalan Allah ketika ada panggilan jihad.

Muhammad Rasyid Ridho berkata dalam tafsir al-Manaar (4/174):

هَذَا وَإِنَّ كُلَّ مَا وَرَدَ فِي الْكَسْبِ حُجَّةٌ عَلَى كَوْنِ التَّوَكُّلِ لَا يُنَافِي الْعَمَلَ وَالسَّعْيَ لِلدُّنْيَا، وَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُ بَعْضِ الْآيَاتِ فِي ذَلِكَ وَمِنْهَا قَوْلُهُ - تَعَالَى -: هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا [11: 61] وَقَوْلُهُ: وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ [15: 20] وَقَوْلُهُ: وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا [78: 11]

وَمِنَ الْأَحَادِيثِ الشَّرِيفَةِ قَوْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبُ الْعَامِلِ إِذَا نَصَحَ رَوَاهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ حَسَنٍ، والْبَيْهَقِيُّ وَالدَّيْلَمِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ بِلَفْظِ: كَسْبُ يَدِ الْعَامِلِ وَقَالَ الْهَيْثَمِيُّ: رِجَالُهُ ثِقَاتٌ. وَقَوْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: التَّاجِرُ الصَّدُوقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَحَسَّنَهُ. وَلِابْنِ مَاجَهْ وَالْحَاكِمِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا: التَّاجِرُ الْأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ قَالَ الْحَاكِمُ: حَدِيثٌ صَحِيحٌ

"Ini, dan sesungguhnya setiap [ayat dan hadits] yang menyebutkan tentang usaha mencari nafkah adalah argumen [dalil] bahwa bertawakkal kepada Allah SWT tidak menghalangi seseorang untuk bekerja dan berusaha dalam mencari harta dunia.

Telah disebutkan beberapa ayat dalam hal ini, di antaranya adalah firman-Nya - yang artinya –: 'Dia menciptakan kalian dari bumi [tanah] dan menjadikan kalian pemilik dan penguasa di atasnya' (Q.S. Hud: 61).

Dan firman-Nya: "Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepada-Nya. (Q.S. Al-Hijr: 20).

Dan firman-Nya: 'Dan Kami menjadikan siang sebagai sarana mencari penghidupan' (Q.S. An-Naba: 11) ".

Adapun yang dari hadis-hadits yang mulia, maka diantaranya adalah sbb:

Sabda beliau (SAW): "Hasil usaha terbaik adalah hasil usaha dari pekerja yang jujur."

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan, dan juga oleh al-Baihaqi, ad-Dailami, dan Ibn Khuzaimah dengan lafadz: "Hasil usaha yang diperoleh dengan tangan sendiri." Al-Haitsami berkata: "Perawinya adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya)."

Dan sabda beliau (SAW): "Pedagang yang jujur akan dikumpulkan di hari kiamat bersama para nabi, orang-orang shiddiq (yang sangat jujur), dan para syuhada."

Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari hadis Abu Sa'id dan dihasankan olehnya.

Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim dari hadis Ibnu Umar secara marfu': "Pedagang yang amanah, jujur, dan muslim akan berada bersama para syuhada."

Al-Hakim berkata: "Hadis ini sahih." [Kutipan Selesai]

Syeikh Muhammad al-Munajjid berkata:

الكَسْبُ وَالْفَرْقُ فِيهِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْكَفَارِ

مَسْأَلَةُ الْكَسْبِ مَسْأَلَةٌ شَرْعِيَّةٌ.. تَحْصِيلُ الْمَالِ لِإِنْفَاقِهِ عَلَى النَّفْسِ، وَسَدُّ الْحَاجَةِ مَطْلَبٌ شَرْعِيٌّ، وَلَيْسَتْ قَضِيَّةً دُنْيَوِيَّةً بَحْتَةً.. يَرْتَبِطُ بِتَحْصِيلِ الْكَسْبِ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى النَّفْسِ وَسَدِّ الْحَاجَةِ، أَجْرٌ وَثَوَابٌ فِي الْآخِرَةِ، فَهِيَ لَيْسَتْ قَضِيَّةً دُنْيَوِيَّةً مُجَرَّدَةً، وَهَذَا مِنَ الْفُرُوقِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْكَفَارِ؛ فَالْكَفَارُ لَا يُحْتَسَبُونَ -فِي عَمَلِهِمْ لِلدُّنْيَا.. فِي وَظَائِفِهِمْ وَدِرَاسَاتِهِمْ وَأَبْحَاثِهِمْ- أَجْرًا عِنْدَ اللَّهِ، وَإِنْ كَانُوا يَقُولُونَ: إِنَّ ذَهَابَهُمْ إِلَى الْكَنِيسَةِ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَجِدُوا فَائِدَةَ ذَلِكَ بَعْدَ الْمَوْتِ، لَكِنَّهُمْ لَا يُحْتَسَبُونَ فِي أَعْمَالِهِمْ الدُّنْيَوِيَّةِ أَيَّ نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَجْرِ.

وَأَمَّا الْمُسْلِمُونَ: فَانْظُرْ فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَارِجِ مِنْ بَيْتِهِ: (إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعْفُهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخِرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ).

Perbedaan antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir dalam hal kasab [Usaha mencari rizki].

Masalah kasab [Usaha mencari rizki] bagi umat Islam adalah masalah hukum syar'i. Usaha mencari rizki untuk digunakan untuk menafkahi diri sendiri dan memenuhi kebutuhannya adalah sebuah tuntutan yang diperintahkan oleh syari'ah, dan itu bukan sekadar masalah dunia semata.

Terkait dengan kasab [Usaha mencari rizki] untuk menafkahi diri sendiri dan memenuhi kebutuhannya, maka itu akan mendapatkan pahala dan balasan di akhirat, sehingga bukanlah masalah yang bersifat duniawi semata.

Ini adalah salah satu perbedaan antara orang-orang Muslim dan orang-orang kafir.

Orang-orang kafir tidak mengharapkan pahala di sisi Allah dalam pekerjaan mereka untuk dunia, dalam jabatan mereka, studi mereka, dan penelitian mereka. Meskipun mereka mengatakan: bahwa mereka pergi ke gereja dengan tujuan mendapatkan manfaat setelah kematian, akan tetapi mereka tidak mengharapkan pahala dalam urusan duniawinya. [yakni: jenis imbalan amalan yang berbeda].

Sedangkan bagi orang-orang Muslim, maka perhatikan hadis yang sahih berikut ini:

Suatu hari ada seorang lelaki lewat di depan rasulullah SAW, dan para shahabat radhiyallahu `anhu melihat kondisi lelaki tersebut dari kulit tubuhnya dan semangatnya (seperti lelaki pekerja yang tangguh- pen), maka rasulullah SAW berkata:

«إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صَغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعُفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»

 “Jika dia keluar bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia itu FI SABILILLAH [Di Jalan Allah].

Dan jika dia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia itu FI SABILILLAH.

Dan jika dia keluar bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah (menjaga kehormatan diri untuk tidak minta-minta - pen) maka dia itu FI SABILILLAH.

Dan jika keluar dalam rangka riya` dan berbangga diri maka dia terhitung di jalan syaithon.” 

(HR. Ath-Thabrani (13/491) para perawinya tsiqoot / dipercaya). Sanad hadis ini dianggap sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Targhib no. 1959].

[Sumber: التَّوْفِيقُ بَيْنَ عَمَلِ الدُّنْيَا وَعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلشَّيْخِ مُحَمَّدِ المُنْجِدِ]

Begitu pula Masalah rizki yang dihasilkan oleh tanam-tanaman yang ditanam seseorang di tanah, meskipun tampak sebagai masalah duniawi, namun dengan urusan akhirat memiliki kaitan yang erat. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Anas bin Malik (ra) bahwa Rasulullah (SAW):

لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ طَيْرٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

(Tidaklah seorang Muslim yang menanam pohon, atau menabur benih tanaman, kemudian burung, atau manusia, atau binatang memakannya, melainkan itu akan menjadi sedekah baginya) [Al-Bukhari no. 2320 dan Muslim no. 1553].

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimaullah mengatakan:

‌وَفِي ‌الْحَدِيثِ ‌فَضْلُ ‌الْغَرْسِ ‌وَالزَّرْعِ ‌وَالْحَضُّ ‌عَلَى ‌عِمَارَةِ ‌الْأَرْضِ وَيُسْتَنْبَطُ مِنْهُ اتِّخَاذُ الضَّيْعَةِ وَالْقِيَامُ عَلَيْهَا وَفِيهِ فَسَادُ قَوْلِ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ مِنَ الْمُتَزَهِّدَةِ

Dalam hadits ini terdapat fadhilah keutamaan menanam dan menabur benih, dan motivasi untuk memakmurkan lahan tanah. Disimpulkan darinya anjuran mengelola lahan yang terbengkalai dan mengembangkannya.

Dan di dalam hadits ini terdapat petunjuk betapa rusaknya perkataan orang yang mengingkarinya dari kelompok ahli ZUHUD [orang-orang yang lari dari harta dunia]". [Fathul Bari 5/4].

Syeikh Muhammad al-Munajjid berkesimpulan:

فَأَمَّا مَا وَرَدَ مِنَ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ عَلَى مَنِ اسْتَكْثَرَ بِهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ أَمْرِ الدِّينِ، وَقَوْلُهُ: "إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"، مُقْتَضَاهُ أَنَّ أَجْرَ ذَلِكَ الْغَرْسِ يَسْتَمِرُّ حَتَّى لَوْ مَاتَ الزَّارِعُ وَالْغَارِسُ وَانْتَقَلَ مِلْكِيَّةُ الزَّرْعِ إِلَى غَيْرِهِ.

Adapun dalil-dalil yang ber-isikan larangan tersebut, maka hal itu berlaku bagi orang yang terlalu berlebihan dalam hal tersebut dan sibuk dengan urusan duniawi sehingga mengabaikan urusan agama.

Dan sabda-nya: "Melainkan itu akan menjadi menjadi pahala sodaqoh baginya hingga hari kiamat." Konsekwensinya adalah bahwa pahala tanaman itu terus berlanjut meskipun petani dan penggarapnya telah meninggal dunia dan kepemilikan tanaman itu berpindah kepada orang lain".

[Sumber: التَّوْفِيقُ بَيْنَ عَمَلِ الدُّنْيَا وَعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلشَّيْخِ مُحَمَّدِ المُنْجِدِ]

PROF. DR. KHALID AS-SABT BERKATA:

قَدْ كَانَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ رضي الله عنهُ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ تَفْرِقِ الْقَلْبِ، فُسِئِلَ عَنْ هَذَا فَقَالَ: "أَنْ يَكُونَ لَهُ بِكُلِّ وَادٍ مَالٌ"، هُنَا مَصْنَعٌ، وَهُنَا مَنْجَرَةٌ، وَهُنَا مَكَانٌ لِلْقُمَاشِ، وَهُنَا مَكَانٌ لِلْأَوْرَاقِ، وَهُنَا مَكَانٌ لِلسِّيَارَاتِ، وَهَكَذَا؛ مِنْ أَجْلِ التَّكَثُّرِ مِنَ الدُّنْيَا، فَمَثَلُ هَذَا لَا يُؤَجَّرُ الْإِنْسَانُ عَلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ شَاغِلًا لَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَسَبَبًا لِانْصِرَافِ قَلْبِهِ عَمَّا هُوَ بِصَدَدِهِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَالِاسْتِقْبَالِ عَلَيْهِ، وَذِكْرِهِ وَحُسْنِ عِبَادَتِهِ، لَكِنْ إِذَا كَانَ الْإِنْسَانُ يَطْلُبُ هَذِهِ الدُّنْيَا مِنْ أَجْلِ أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنِ الْفَقْرِ، يَسْتَغْنِيَ عَنِ النَّاسِ، أَنْ يُغْنِيَ أَهْلَهُ عَنْ هَذَا فَهَذَا يُؤَجَّرُ، وَعَمَلُهُ هَذَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ، وَهَذَا هُوَ الْمَفْهُومُ الْوَاسِعُ لِلْعِبَادَةِ.

"Hudhaifah bin Al-Yaman (ra) berkata:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ تَفْرِقِ الْقَلْبِ، فُسِئِلَ عَنْ هَذَا فَقَالَ: "أَنْ يَكُونَ لَهُ بِكُلِّ وَادٍ مَالٌ"

'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tercerai berai.' Ketika ditanya tentang hal ini, beliau menjawab: 'Yaitu jika seseorang memiliki harta di setiap lembah".

Contohnya adalah seseorang memiliki banyak usaha: Di sini ada tempat produksi, di sini ada tempat pengepakan, di sini ada tempat untuk pabrik kain, di sini ada tempat untuk pabrik kertas, di sini ada tempat untuk prabrik mobil, dan sebagainya.

Semua itu dia lakukan bertujuan murni untuk memperabanyak kekayaan dunia. Maka hal yang seperti ini tidak akan mendatangkan pahala bagi seseorang, malah akan membuatnya terhalang dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan menjadi sebab teralihnya hatinya dari ibadah kepada Allah, dari berdzikir kepada-Nya, dan dari meningkatkan kualitas ibadahnya.

Adapun jika seseorang mencari dunia dengan tujuan untuk menghilangkan kemiskinan, membebaskan keluarganya dari kekurangan, dan mampu menyantuni orang lain, maka ini akan mendatangkan pahala. Tindakan semacam ini termasuk dalam amal-amal terbaik, dan inilah makna yang luas dari ibadah.'"

[Syarah Kitab Riyadhush Sholihin (36) Bab: an-Nafaqoh 'alal Iyaal].

DALIL-DALIL BAHWA DUNIA DAN MENCARI HARTA ITU TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT:

=====

DALIL PERTAMA: PERINTAH BERINFAK ITU BERKONSEKWENSI CARI HARTA

Allah SWT tidak mengatakan: Carilah harta sebanyak-banyaknya, melainkan dengan menyebutkan tujuan utamanya, yaitu: infakkan lah sebagian dari hartamu!

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّاۤ اَخۡرَجۡنَا لَـكُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. [QS. al-Baqarah: 267]

Dan Allah SWT berfirman:

مَثَلُ الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَهُمۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنۡۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِىۡ كُلِّ سُنۡۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ‌ؕ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. [QS. al-Baqarah: 261]

Dan Allah SWT berfirman:

“وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ. الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ ".

Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhan kalian dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,

(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit [QS. Ali Imran: 133 – 134]

DALIL KEDUA: KEUTAMAAN HARTA UNTUK NAFKAH KELUARGA:

HADITS 1: Dari Abu Mas'ud dari Nabi (SAW), beliau bersabda:

“إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَة ".

"Apabila seseorang memberi nafkah untuk keluarganya dengan niat mengharap pahala maka baginya Sedekah". [HR. Bukhori no. 55 dan Muslim no. 1002].

HADITS 2: Dari Abu Hurairah (ra) bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:

 دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ 

“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi)” (HR. Muslim, No. 995).

Lebih dari itu dalam Islam, semua infak itu dibalas oleh Allah dengan pahala yang besar walaupun sekadar menyuapi istri.

HADITS 3: Dari Sa'ad bin Abi Waqqash bahwa Rasulullah (SAW) bersabda 

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari No. 56).

HADITS 4: Dari Abu Qilabah dari Abu Asma dari Tsauban ia berkata; Rasulullah (SAW) bersabda:

"أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ أَبُو قِلَابَةَ: وَبَدَأَ بِالْعِيَالِ. ثُمَّ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ: وَأَيُّ رَجُلٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ رَجُلٍ يُنْفِقُ عَلَى عِيَالٍ صِغَارٍ يُعِفُّهُمْ أَوْ يَنْفَعُهُمْ اللَّهُ بِهِ وَيُغْنِيهِمْ"

"Sebaik-baik dinar (uang atau harta) yang dinafkahkan seseorang, ialah yang dinafkahkan untuk keluarganya, untuk ternak yang depeliharanya, untuk kepentingan membela agama Allah, dan nafkah untuk para sahabatnya yang berperang di jalan Allah."

Abu Qilabah berkata: “Beliau memulainya dengan keluarga."

Kemudian Abu Qilabah berkata: “Dan laki-laki manakah yang lebih besar pahalanya dari seorang laki-laki yang berinfak kepada keluarga kecil, memuliakan mereka yang dengannya Allah memberikan manfaat dan memberikan kecukupan bagi mereka?" [HR. Muslim no. 994].

HADITS 5: Dari Ummu Salamah (ra) ia berkata:

“قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لِي أَجْرٌ فِي بَنِي أَبِي سَلَمَةَ أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ فَقَالَ نَعَمْ لَكِ فِيهِمْ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ ".

Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, mungkinkah aku mendapatkan pahala atas nafkah yang kuberikan untuk mengasuh anak-anak Abu Salamah (anak tiri bagi Ummu Salamah) sehingga mereka tidak tersia-sia, dimana mereka kuanggap seperti anak-anakku sendiri?" Rasulullah (SAW) menjawab: "Ya, kamu dapat pahala atas nafkah yang kamu keluarkan untuk biaya mengasuh mereka." [HR. Bukhori no. 1467 dan Muslim no. 1001].

ATSAR TABI'IN: Ibnu Mubarak رحمه الله berkata:

“لا يَقَعُ مَوْقِعُ الْكَسْبِ عَلَى الْعِيَالِ شَيْءٌ، يَعْنِي يَقُولُ: هُوَ أَفْضَلُ شَيْءٍ، أَنْ تَكْتَسِبَ مِنْ أَجْلِ الْعِيَالِ، قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ".

"Tidak ada yang bisa menandingi keutamaan melakukan usaha (cari pendapatan) untuk keperluan keluarga. - Artinya: Yang paling utama adalah mencari nafkah untuk keperluan keluarga – dan tidak pula jihad fii sabilillaah ".(Baca: Siyar A'lam al-Nubala, 2/626)

NAFKAH BISA MENGHAPUS DOSA:

Memberi nafkah bisa menghapus dosa. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah (saw):

مِنَ الذُّنُوبِ ذُنُوبٌ لَا يُكَفِّرُهَا إِلَّا الهَمُّ بِطَلَبِ الْمَعِيشَةِ

"Dari sekian dosa terdapat jenis dosa yang tidak dapat ditebus kecuali dengan kepedihan dalam mencari penghidupan (nafkah)’.

[HR. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath, dan Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah, dan Al-Khathib dalam kitab At-Talkhis, yang merupakan hadis yang serupa dengan riwayat dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah.

Lihat: al-Mughni 'An Hamlil Asfaar karya al-Iraaqi hal. 468 dan al-Maktabah asy-Syaamilah al-Haditsah 43/186).

TIDAK MEMBERI NAFKAH BISA BERDOSA:

Orang yang tidak memberikan nafkah mendapatkan dosa yang besar, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Khaitsamah, ia berkata:

كُنَّا جُلُوسًا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو إِذْ جَاءَهُ قَهْرَمَانٌ لَهُ فَدَخَلَ فَقَالَ أَعْطَيْتَ الرَّقِيقَ قُوتَهُمْ قَالَ لَا قَالَ فَانْطَلِقْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

Ketika kami sedang duduk (belajar) bersama [Abdullah bin Amr], tiba-tiba datang bendaharanya, lalu masuk dan Abdullah pun bertanya padanya:

"Apakah kamu telah memberikan makan para hamba sahaya?" Sang bendahara menjawab: "Belum tuanku."

Abdullah bin 'Amr (ra) berkata: "Pergilah, dan berilah mereka makan segera." Kemudian beliau berkata: Rasulullah (SAW) bersabda:

"Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa dengan menahan makanan orang yang menjadi tanggungannya". (HR. Muslim No. 996).

Lafadz lain:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”

(HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih. Namun didhaifkan al-Albaani dalam Ghoyatul Maraam hal. 270]

DALIL KE TIGA: ORANG SHALEH KAYA LEBIH BAIK DARI PADA ORANG FASIQ KAYA

HADITS 1: Dari Yasar bin 'Ubaid (ra) bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:

لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى خَيْرٌ مِنْ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنْ النَّعِيمِ

“Tidaklah mengapa dengan kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Kesehatan itu lebih baik daripada kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Dan jiwa yang baik merupakan kenikmatan.”

(HR. Ibnu Majah: 2132, Ahmad: 22076 dari Ubaid bin Mu’adz t, di-shahih-kan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak: 2131 (2/3) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah: 174).

HADITS 2: Dari Amr bin Ash radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ)).

"Betapa indahnya harta yang shaleh [baik] milik orang yang shaleh."

[HR. Ahmad (17763) disahihkan oleh Al-Albani dalam Takhrij Misykatil Faqri (19).

HADITS 3: Dari Amr bin Ash (ra) bahwa Rosulullah (SAW) bersabda padanya:

يا عَمرُو، إنِّي أُريدُ أن أَبعثَك على جَيشٍ فيُغنِمَك اللهُ، وأَرغَبَ لك رغبةً منَ المالِ صالحةً، قُلتُ: إنِّي لم أُسلِمْ رغبةً في المالِ، إنَّما أَسلَمْتُ رغبةً في الإسلامِ، فَأكونَ معَ رَسولِ اللهِ، فَقال: يا عمرُو،‍ نِعْمَ المالُ الصَّالحُ للمَرءِ الصَّالحِ.

Ya Amr, sesungguhnya aku ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan agar Allah memberikan harta ghanimah [rampasan perang] kepadamu, dan aku mengharapkanmu memiliki keinginan yang shaleh [baik] terhadap harta itu.

Aku berkata: "Aku tidak masuk Islam karena berkeinginan terhadap harta, aku hanya masuk Islam karena berkeinginan terhadap agama Islam, agar aku bisa bersama Rasulullah."

Beliau lantas bersabda: "Ya Amr, betapa indahnya harta yang shaleh [baik] bagi orang yang shaleh."

HR. al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad (299), Al-Hakim (2130), dan Al-Baihaqi dalam kitab "Syu'ab al-Iman" (1248).

Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam kitab "Sahih Adab al-Mufrad" no. (229).

DALIL KE EMPAT: LARANGAN MENCACI DAN MENCELA DUNIA:

HADITS: Abdullah bin Mas'ud (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

“لَا تَسُبُّوا الدُّنْيَا، ‌فَنِعْمَ ‌مَطِيَّةُ ‌الْمُؤْمِنِ ‌عَلَيْهَا ‌يَبْلُغُ ‌الْخَيْرَ، وَبِهَا يَنْجُو مِنَ الشَّرِّ".

Jangan mengutuki dunia, karena itu adalah kendaraan yang baik bagi seorang mukmin. Dengan dunia, seseorang dapat mencapai kebaikan dan terhindar dari kejahatan.

[HR. Al-Dailami dalam kitab "Al-Firdaus" (5/10, nomor 7288), Ibnu 'Adiy dalam al-Kaamil 1/502. Lihat pula Kanzul 'Ummaal (3/ 239 No. 6343) dan al-Fahurrobbaani Min Fatwa asy-Syaukaani 4/1814]

Dalam sanadnya terdapat Ismail bin Aban al-Ghanawi al-Kufi. Yahya bin Ma'in mengatakan tentangnya: pendusta, dan Ibnu 'Adi mengatakan tentangnya: mayoritas riwayatnya tidak dapat diikuti baik dari segi sanad maupun teks, maka hadis ini sangat lemah. Dan Hadits ini dianggap Munkar oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal 1/211

DALIL LIMA: PERINTAH ALLAH AGAR TIDAK MELUPAKAN BAGIAN KITA DARI DUNIA.

Allah SWT berfirman:

{ وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ }.

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.

Dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. [QS. Al-Qoshosh: 77].

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 6/253 berkata:

“Maksudnya, gunakanlah harta yang melimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah kepadamu ini untuk bekal ketaatan kepada Tuhanmu dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan berbagai amal pendekatan diri kepada-Nya, yang dengannya kamu akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat.

{وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا}

"Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi". (Al-Qashash: 77)

Yakni yang dihalalkan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena sesungguhnya engkau memiliki kewajiban terhadap Tuhanmu, dan engkau memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri, dan engkau memiliki kewajiban terhadap keluargamu, dan engkau memiliki kewajiban terhadap orang-orang yang bertamu kepadamu, maka tunaikanlah kewajiban itu kepada haknya masing-masing ". [Kutipan Selesai].

Abdullah bin Umar (ra) berkata:

“أَحْرِثْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا ".

“Bercocok tanamlah (bekerjalah) seakan engkau hidup selamanya. Dan amalkanlah akhiratmu (beribadahlah) seakan engkau esok mati”.

[Di riwayatkan dengan sanadnya oleh Ibnu Abid Dunya dalam "Ishlah al-Maal" hal. 34 no. 49. Disebutkan pula oleh al-Qurthubi dalam Tafsirnya 13/314.

DALIL KE ENAM: KEUTAMAAN MANDIRI DALAM EKONOMI DAN USAHA

JAMINAN SYURGA:

Jaminan syurga bagi seoarang muslim yang betul-betul mendiri ekonominya dan tidak menjadi beban bagi orang lain.

Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, beliau berkata: Rasulallah SAW. bersabda,

«مَنْ أَكَلَ طَيِّبًا، وَعَمِلَ فِي سُنَّةٍ، وَأَمِنَ النَّاسُ بَوَائِقَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ» فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ هَذَا اليَوْمَ فِي النَّاسِ لَكَثِيرٌ، قَالَ: «وَسَيَكُونُ فِي قُرُونٍ بَعْدِي

“Barangsiapa memakan makanan yang baik, bekerja sesuai sunnah, dan orang lain merasa aman dari keburukannya ; maka dia masuk Surga.”

Seorang sahabat berkata: Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ini banyak pada ummatmu sekarang.

Rasulallah bersabda: “Mereka akan ada sepeninggalku nanti.” 

(HR. Turmudzy No. 2520, Thabrani dlm “المعجم الأوسط” 2/52, Baihaqi dlm “شعب الإيمان” 7/501, al-Laalakaa’i (اللالكائي) 1/59, al-Haakim 4/117 dan Ibnu Abi ad-Dunya 1/57).

At-Turmudzi berkata: “حسن صحيح غريب”. al-Haakim berkata: “صحيح الإسناد”. Hadits ini di masukkan pula oleh Syeikh al-Baani dlm “Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah”

RIZKI TERBAIK:

Rizki yang terbaik adalah rizki hasil jerih payah sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah (ra), bahwa Rosulullah SAW bersabda:

خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبُ يَدِ الْعَامِلِ إِذَا نَصَحَ

“Usaha cari rizki paling baik adalah usaha yang dihasilkan oleh tangan pekerja (usaha dengan tangan sendiri) apabila ia bersih.” 

(HR. Ahmad, 2/334, No. 8393, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan ad-Dailami. al-haitsami berkata dlm “مجمع الزوائد” 4/461 No. 6213: “رجاله ثقات “. Di hasankan oleh al-Iraqy dlm Takhrij al-Ihya dan al-Baani dlm “صحيح الجامع الصغير”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَمِنْ شَرْطِهِ أَنْ لَا يَعْتَقِدَ أَنَّ الرِّزْق مِنْ الْكَسْبِ بَلْ مِنْ اللَّه تَعَالَى بِهَذِهِ الْوَاسِطَةِ

“Di antara syaratnya tidak berkeyakinan bahwa rizki itu bersumber dari kasab, tapi harus berkeyakinan bersumber dari Allah dengan perantaraan kasab ini.” Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304

Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata pula:

وَمِنْ فَضْلِ الْعَمَلِ بِالْيَدِ الشَّغْلُ بِالْأَمْرِ الْمُبَاحِ عَنْ الْبَطَالَةِ وَاللَّهْوِ وَكَسْرُ النَّفْسِ بِذَلِكَ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذِلَّةِ السُّؤَالِ وَالْحَاجَة إِلَى الْغَيْر

“Di antara keutamaan bekerja hasil jerih payah mandiri:

(1) menyibukan diri dengan perkara yang mubah sehingga terhindar dari pengangguran dan sendagurau, serta mengekang diri dengan itu;

(2) menjaga kehormatan diri dari kehinaan meminta-minta dan bergantung kebutuhan hidupnya kepada orang lain.” [Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304].

KELAK DISYURGA BERSAMA PARA NABI, SHIDDIIQIN DAN SYUHADA:

Dari Abu Said Al-Khudri (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

“Seorang pedagang Muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (di Surga).” [HR. At-Tirmidzi no. (1251)]

Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Bahwa ini adalah Hadits hasan".

Saya katakan: bahwa para perawi dalam sanadnya adalah thiqah (terpercaya), kecuali al-Hasan, dia tidak pernah mendengarnya dari Abu Said Al-Khudri.

Namun hadits ini memiliki beberapa syahid yang menguatkannya, diantaranya:

Syahid Pertama: Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

« التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”

“Seorang pedagang Muslim yang jujur (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama orang-orang yang syahid pada hari kiamat (di Surga).”

HR Ibnu Majah (no. 2139), al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17). al-Hakim berkata: “Hadits Shahih " [Dikutip dari Tafsir al-Manar 4/174].

"Sanadnya hasan karena adanya beberapa shahid.

Kaltsum bin Jausyan al-Qashiri memiliki perbedaan pendapat tentang dirinya. Bukhari dan Ibnu Ma'in menganggapnya tsiqah (terpercaya), sementara Abu Hatim menganggapnya dhaif (lemah). Abu Dawud mengatakan bahwa Haditsnya tidak dapat diterima.

Ibnu Hibban mengangggapnya tsiqot dengan mencantumkannya dalam kitabnya "Ats-Tsiqaat", akan tetapi dalam kitab "Al-Majruhin" beliau menyebutkannya dengan ungkapan:

يَرْوِي الْمَوْضُوعَاتِ عَنِ الْأَثْبَاتِ، لَا يَحِلُّ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ!

"Bahwa ia meriwayatkan Hadits-Hadits mawdu' (palsu) dari para tsiqah (terpercaya), sehingga tidak boleh dijadikan dalil".

Penulis katakan:

Bahwa Haditsnya bisa dianggap hasan dalam hal-hal yang masyhur. Adz-Dzahabi dalam kitab "Al-Mizan" dalam penjelasan tentang Kaltsum dalam Hadits ini mengatakan:

وَهُوَ حَدِيثٌ جَيِّدُ الْإِسْنَادِ، صَحِيحُ الْمَعْنَى، وَلَا يَلْزَمُ مِنَ الْمَعِيَّةِ أَنْ يَكُونَ فِي دَرَجَةِ الْمُتَوَاتِرِينَ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا} [النساء: ٦٩].

Ini adalah Hadits yang sanadnya bagus, maknanya sahih. Tidaklah menjadi keharusan ungkapan kebersamaan berada pada tingkatan yang sama dengan mereka (para Nabi, orang-orang shiddiqin, syuhada', dan orang-orang shalih), sebagaimana firman Allah: 'Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan berada bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, orang-orang shiddiqin, syuhada', dan orang-orang shalih. Dan mereka adalah teman yang sebaik-baiknya' (QS. An-Nisa: 69).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam "Al-Majruhin" (2/230), Ad-Daraquthni (2812), Al-Hakim (6/2), Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" (266/5), dan dalam "Syu'ab Al-Iman" (1230) dan (4855), serta dalam "Al-Adab" (959) melalui jalan Katsir bin Hisyam dengan sanad seperti ini.

Syahid Kedua: Hadits Abu Nadrah Al-Mundzir bin Malik bin Qath'ah Al-'Indii yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (7/271) dan sanadnya adalah hasan, tetapi ia termasuk Hadits mursal (berpangkal dari seorang tabi'in)."

DALIL KE TUJUH: KEMANDIRIAN EKONOMI NABI DAUD PADAHAL DIA SEORANG RAJA:

Dari al-Miqdam radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ))

“Makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dihasilkan oleh usaha tangannya (sendiri). Dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha tangannya (sendiri).” [HR.. al-Bukhari (no. 1966)]

Padahal Nabi Daud عليه السلام adalah seorang raja.

Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya,

(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Saba: 10-11).

Imam Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya ketika menafsiri Firman Allah Swt diatas:

“Al-Hafiz Ibnu Asakir mengatakan dalam biografi Daud a.s. melalui jalur Ishaq ibnu Bisyr yang di dalamnya terdapat kisah dari Abul Yas, dari Wahb ibnu Munabbih, yang kesimpulannya seperti berikut:

أَنَّ دَاوُودَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَانَ يَخْرُجُ مُتَنَكِّرًا، فَيَسْأَلُ الرُّكْبَانَ عَنْهُ وَعَنْ سِيرَتِهِ، فَلَا يَسْأَلُ أَحَدًا إِلَّا أَثْنَى عَلَيْهِ خَيْرًا فِي عِبَادَتِهِ وَسِيرَتِهِ وَمُعَدَّلَتِهِ، صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ.

“Bahwa Daud a.s. keluar dengan menyamar, lalu ia menanyakan tentang dirinya kepada kafilah-kafilah yang datang. Maka tidaklah ia menanyai seseorang, melainkah orang tersebut memujinya dalam hal ibadah dan sepak terjangnya ".

Wahb ibnu Munabbih melanjutkan:

حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ مَلَكًا فِي صُورَةِ رَجُلٍ، فَلَقِيَهُ دَاوُودُ فَسَأَلَهُ كَمَا كَانَ يَسْأَلُ غَيْرَهُ، فَقَالَ: هُوَ خَيْرُ النَّاسِ لِنَفْسِهِ وَلأُمَّتِهِ، إِلَّا أَنَّ فِيهِ خِصْلَةً لَوْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ كَانَ كَامِلًا. قَالَ: مَا هِيَ؟ قَالَ: يَأْكُلُ وَيُطْعِمُ عِيَالَهُ مِنْ مَالِ الْمُسْلِمِينَ، يَعْنِي بَيْتَ الْمَالِ.

فَعِنْدَ ذَلِكَ نَصَبَ دَاوُودُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، إِلَى رَبِّهِ فِي الدُّعَاءِ أَنْ يُعَلِّمَهُ عَمَلًا بِيَدِهِ يَسْتَغْنِي بِهِ وَيُغْنِي بِهِ عِيَالَهُ، فَأَلَّانَ لَهُ الْحَدِيدَ، وَعَلَّمَهُ صَنْعَةَ الدُّرُوعِ، فَعَمِلَ الدُّرْعَ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ عَمِلَهَا، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: "أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ" يَعْنِي مَسَامِيرَ الْحَلْقِ.

قَالَ: وَكَانَ يَعْمَلُ الدُّرْعَ، فَإِذَا ارْتَفَعَ مِنْ عَمَلِهِ درْعٌ باعَهَا، فَتَصَدَّقَ بِثُلُثِهَا، وَاشْتَرَى بِثُلُثِهَا مَا يَكْفِيهِ وَعِيَالَهُ، وَأَمَسَكَ الثُّلُثَ يَتَصَدَّقُ بِهِ يَوْمًا بِيَوْمٍ إِلَى أَنْ يَعْمَلَ غَيْرَهَا.

“Bahwa pada akhirnya Allah mengutus malaikat dalam rupa seorang lelaki. Kemudian lelaki itu dijumpai oleh Daud a.s., lalu Daud menanyakan kepadanya dengan pertanyaan yang biasa ia kemukakan kepada orang lain.

Maka malaikat itu menjawab:

"Dia adalah seorang yang paling baik buat dirinya sendiri dan buat orang lain, hanya saja di dalam dirinya terdapat suatu pekerti yang seandainya pekerti itu tidak ada pada dirinya, tentulah dia adalah seorang yang kamil." Daud bertanya, "Pekerti apakah itu?" Malaikat menjawab, "Dia makan dan menafkahi anak-anaknya dari harta kaum muslim.' yakni baitul mal [Kas Negara].

Maka pada saat itu juga Nabi Daud a.s. menghadapkan diri kepada Tuhannya seraya berdoa, semoga Dia mengajarkan kepadanya suatu pekerjaan yang dilakukan tangannya sendiri sehingga menjadi orang yang berkecukupan dan dapat membiayai anak-anak dan keluarganya. Lalu Allah melunakkan besi baginya dan mengajarkan kepadanya cara membuat baju besi.

Lalu Daud dikenal sebagai pembuat baju besi; dia adalah orang yang mula-mula membuat baju besi.

Allah Swt. telah berfirman: 

{ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ }

“Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya" (Saba: 11)

Yang dimaksud dengan sard ialah pakunya lingkaran besi yang dipakai sebagai anyaman baju besi.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan:

Bahwa Daud bekerja sebagai pembuat baju besi. Apabila telah selesai, maka ia jual; sepertiga dari hasil penjualan itu dia sedekahkan, sepertiganya lagi ia belikan keperluan hidup untuk mencukupi keluarga dan anak-anaknya, sedangkan yang sepertiganya lagi ia pegang untuk ia sedekahkan setiap harinya, hingga selesai dari membuat baju besi lainnya ".

Al-Imam al-Qurthubi dlam tafsir nya berkata:

فِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى تَعَلُّمِ أَهْلِ الْفَضْلِ الصَّنَائِعِ، وَأَنَّ التَّحْرِيفَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ مَنَاصِبِهِمْ، بَلْ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي فَضْلِهِمْ وَفَضَائِلِهِمْ؛ إِذْ يَحْصُلُ لَهُمُ التَّوَاضُعُ فِي أَنْفُسِهِمْ وَالِاسْتِغْنَاءُ عَنْ غَيْرِهِمْ، وَكَسْبُ الْحَلَالِ الْخَالِي عَنِ الْامْتِنَانِ.

Dalam ayat ini, terdapat bukti bahwa orang-orang yang berbudi luhur telah mempelajari tehnik-tehnik industri, dan bahwa bekerja mencari nafkah dengan keahliannya tidak mengurangi kedudukan mereka, melainkan meningkatkan pahala dan keutamaan mereka.

Karena mereka mencapai kerendahan hati dalam diri mereka sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, dan mendapatkan rizki yang halal yang bebas dari minta-minta belas kasihan kepada manusia ".

Dan al-Hafidz Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah SWT:

وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ

“dan kami telah melunakkan besi untuknya. (Saba: 10)

Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Al-A'masy, dan lain-lainnya mengatakan bahwa untuk melunakkan besi bagi Nabi Daud tidak perlu memasukkannya ke dalam tungku api, dan tidak perlu palu untuk membentuknya, tetapi Daud dapat memintalnya dengan tangannya seperti halnya memintal kapas untuk menjadi benang. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:

أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ

“Buatlah baju besi yang besar-besar. (Saba: 11)

Yaitu baju-baju besi yang dianyam lagi besar-besar.

Qatadah mengatakan bahwa Daud adalah orang yang mula-mula membuat baju besi dengan dianyam. Dan sesungguhnya sebelum itu baju besi-hanya berupa lempengan-lempengan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sama'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Damrah, dari Ibnu Syauzab yang mengatakan bahwa Daud a.s. setiap hari dapat membuat sebuah baju besi, lalu ia menjualnya dengan harga enam ribu dirham; dua ribu untuk dirinya dan keluarganya, sedangkan yang empat ribu dia belikan makanan pokok untuk memberi makan kaum Bani Israil.

Dan firman Allah SWT:

وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ

“Dan ukurlah anyamannya. (Saba: 11)

Ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. kepada Daud dalam mengajarinya cara membuat baju besi.

Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan ukurlah anyamannya. (Saba: 11): “Janganlah kamu menjadikan pakunya kecil karena akan membuatnya longgar pada lingkaran. Jangan pula kamu menjadikannya besar karena mengalami keausan, tetapi pakailah paku yang berukuran sedang.

Al-Hakam ibnu Uyaynah mengatakan, bahwa janganlah engkau memakai paku yang besar karena akan aus, jangan pula memakai paku kecil karena longgar. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan as-sard ialah lingkaran besi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa bila dikatakan baju besi yang dianyam, istilah Arabnya ialah dar'un masrudah.

Sebagai dalilnya ialah ucapan seorang penyair yang mengatakan:

وَعَليهما مَسْرُودَتَان قَضَاهُما... دَاودُ أَوْ صنعَ السَّوابغ تُبّعُ...

“Keduanya memakai baju besi yang dianyam, sebagaimana baju besi buatan Nabi Daud atau baju besi yang biasa dipakai oleh Tubba' (buatan negeri Yaman) ".

[Lalu Allah Swt mengingatkan kita agar jangan lupa dengan beramal shaleh dengan firman nya:]

وَاعْمَلُوا صَالِحًا

dan kerjakanlah amalan yang saleh. (Saba: 11) Artinya, gunakanlah nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadamu untuk mengerjakan amal saleh.

إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (Saba: 11)

Yakni mengawasi kalian dan melihat semua amal perbuatan dan ucapan kalian, tiada sesuatu pun darinya yang samar bagi Allah Swt. [SELESAI KUTIPAN DARI IBNU KATSIR].

PERTANYAAN: SEKARANG SIAPAKAH ORANG YANG MELANJUTKAN USAHA NABI DAUD INI????

Apakah mereka itu adalah orang-orang yang menguasai hizib-hizib atau orang-orang yang memproduksi senjata militer dan jet tempur? Apakah mereka itu adalah orang-orang Yang membisniskan agama atau orang-orang yang memproduksi kendaraan dan lain-lain?

DALIL KE DELAPAN:BEKERJA CARI NAFKAH ITU BAGIAN DARI BERSYUKUR KEPADA ALLAH.

Allah Swt berfirman:

﴿اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ﴾

“Bekerjalah, hai keluarga Daud, untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur ". (Saba: 13)

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:

“Yakni dan Kami katakan kepada mereka, "Bekerjalah sebagai ungkapan rasa syukur yang telah dilimpahkan Allah kepada kalian untuk kepentingan agama dan dunia kalian."

Syukran adalah bentuk masdar tanpa fi'il, atau menjadi maf'ullah. Berdasarkan kedua hipotesis ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa syukur itu adakalanya dengan perbuatan, adakala­nya pula dengan lisan dan niat, sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang penyair:

أفَادَتْكُمُ النّعْمَاء منِّي ثَلاثةً:... يدِي، ولَسَاني، وَالضَّمير المُحَجَّبَا...

Telah kulimpahkan tiga macam nikmat dariku kepada kalian (sebagai rasa terima kasihku), yaitu melalui tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak kelihatan.

Abu Abdur Rahman As-Sulami telah mengatakan bahwa shalat adalah ungkapan rasa syukur, puasa juga ungkapan rasa syukur, serta semua amal kebaikan yang engkau kerjakan karena Allah Swt. merupakan ungkapan rasa syukurmu (kepada-Nya).

Dan Ibnu Katsir berkata:

“Hal ini merupakan berita tentang kenyataannya". [Kutipan Selesai].

Penulis katakan:

Bekerja mencari nafkah itu sendiri adalah bentuk ungkapan rasa syukur. Tidak cukup hanya sekadar menikmati anugerah dan mengucap syukur kepada Allah. Yang lebih besar dan lebih mulia dari itu adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk kepentingan manusia, dan itu adalah sabiilillah / jalan Allah.

Bahkan para nabi dan raja pun tidak meninggalkan pekerjaan mencari nafkah, dan tidak bergantung pada Baitul Maal [Kas Negara]. Mereka semua di jadikan sebagai contoh dan teladan dalam hal itu bagi para penguasa dan pemimpin, bukan saja hanya untuk para generasi bangsa mereka dan rakyat mereka, bahkan untuk para raja dan penguasa sepanjang zaman.

Kemandirian ekonomi bagi penguasa dengan tidak memakan uang negara atau tidak pilih kasih dan tidak mementingkan dirinya ; itu adalah merupakan pelajaran terpenting yang bisa di ambil dari amalan Nabi Daud 'alaihis salaam.

Dan bekerja itu sendiri merupakan sebuah nilai prestasi. Rosulullah SAW bersabda:

 وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ

Barangsiapa yang lambat dalam bekerja, sungguh nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. muslim no. 2699)

Tidaklah cukup bagi seorang anak untuk bergantung pada kekayaan seseorang atau kekayaan ayahnya atau reputasi ayahnya atau kemuliaannya atau kehormatan garis keturunannya. Sebaliknya, dia harus bangkit dengan pekerjaannya, karena dia sendiri yang dianggap sebagai orang yang terhormat.

Ada pepatah yang di nisbatkan kepada Ali, tersebar dalam kitab-kitab Syi'ah:

الشَّرَفُ عِندَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِحُسْنِ الْأَعْمَالِ لَا بِحُسْنِ الْأَقْوَالِ.

“Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang baik, bukan hanya dengan kata-kata yang baik saja ".

KENAPA BEKERJA CARI NAFKAH ITU DIKATAKAN SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR KEPADA ALLAH???

JAWABANNYA ADALAH SBB:

Pertama:

يَعْنِي – فِي مَا يَعْنِيهِ – أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَاهِبُ (النِّعَم) وَ(الْأَدَوَات) الَّتِي بِهَا تُسْتَحْصَلُ (تُكْتَسَبُ) تِلْكَ النِّعَم، فَالْمُتَفَضِّلُ فِي كَسْبِهَا وَاِسْتِحْصَالِهَا هُوَ وَاهِبُ الْمُمَكِّنَاتِ مِنْ ذَلِكَ، وَشُكْرُ الْيَدِ عَمَلَهَا، كَمَا أَنَّ شُكْرَ الرَّجُلِ السَّعْيَ فِي مَا يَرْضِي اللَّهَ تَعَالَى مِنْ أَعْمَالِ صَالِحَةٍ، وَهَكَذَا فِي كُلِّ عَضُوٍّ وَجَارِحَةٍ، وَيَبْقَى شُكْرُ اللَّهِ مَعَ ذَلِكَ يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ، فَكُلَّمَا قُلْنَا بِعَمَلِنَا شُكْرًا، وَجَبَ أَنْ نَقُولَ لِلَّهِ عَلَى تَوْفِيقِنَا إِلَى ذَلِكَ شُكْرًا.

Yakni - dalam artian - bahwa Allah Ta'aala adalah Pemberi (segala nikmat) dan (segala alat / anggota tubuh) yang dengannya nikmat-nikmat itu bisa (diperoleh).

Jadi yang memberi kemampuan anggota tubuh untuk bekerja dan memperoleh kenikmtan-kenikmatan tsb adalah dia pula yang menganugerahi keeuksesan-kesuksean dari semua itu.

Dan cara mensyukuri nikmat tangan adalah dengan menggunakannya untuk bekerja. Demikian juga, seseorang mensyukuri nikmat Kaki dengan berjalan diatas apa yang diridhai Allah SWT dari pekerjaan-pekerjaan yang baik.

Hal yang sama berlaku untuk setiap anggota badan dan panca indra kita.

Dan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat yang ada dlam tubuh kita meskipun senantiasa harus ada, namun perlu adanya tambahan rasa syukur. Yaitu setiap kali kita bersyukur atas nikmat kemampuan anggota tubuh kita untuk bekerja, namun kita juga harus besyukur kepada Allah atas keberhasilan kita dalam hal itu.

Kedua:

الْعَمَلُ شُكْرًا يَعْنِي تَوْظِيفَ النِّعْمَةِ فِي الْمَكَانِ الصَّحِيحِ، فَلَيْسَ كُلُّ عَمَلِ الْيَدِ شُكْرًا، بَلْ إِنَّ الْأَعْمَالَ الْمُنْكَرَةَ وَالْمُسْتَنْكَرَةَ وَالْمُسْتَقْبِحَةَ الَّتِي تَقُومُ بِهَا الْيَدُ مِنْ قَتْلٍ وَبَطْشٍ وَسَرِقَةٍ وَتَزْوِيرٍ وَتَحْرِيفٍ وَصَنَاعَةِ أَدَوَاتِ الْقَتْلِ وَالتَّدْمِيرِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُشِينُ النِّعْمَةَ وَيُشَوِّهُهَا هُوَ كُفْرٌ بِالنِّعْمَةِ، وَلِذَلِكَ قَالَ مُوسَى فِي تَوْظِيفِ نِعْمَةٍ وَقُوَّةِ الْفَتْوَةِ الَّتِي كَانَ يَتَمَتَّعُ بِهَا: "رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ" (القصص: 17).

Pekerjaan sebagai ungkapan rasa syukur, berarti menggunakan nikmat pada tempat yang shahih / benar, karena tidak semua pekerjaan tangan sendiri [mandiri] adalah sebagai ungkpan rasa syukur. Melainkan ada pekerjaan dan perbuatan tercela, munkar dan buruk yang dilakukan dengan tangan, seperti pembunuhan, kekejaman, pencurian, pemalsuan, penyelewengan, dan pembuatan alat untuk membunuh, menghancurkan dan selain dari itu yang menodai nikmat dan mendistorsinya, itu adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat.

Itulah sebabnya Musa mengatakan dalam hal menggunakan rahmat dan kekuatan masa muda yang dia nikmati:

﴿قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ﴾

Musa berkata: Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (QS. Al-Qoshosh 17).

DALIL KE SEMBILAN: BEKERJA MENCARI NAFKAH HALAL ITU BAGIAN DARI JIHAD FI SABILILLAH:

Allah SWT berfirman dalam surat al-Muzammil:

 وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “dan (para sahabat) yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [QS. Al-Muzzammil: 20]

Imam Qurthubi berkata:

سوىَ اللَّهِ تَعَالَى في هَذِهِ الآيَةِ بَيْنَ دَرَجَةِ المُجَاهِدِينَ وَالمُكْتَسِبِينَ الْمَالَ الْحَلَالَ لِلنَّفَقَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ وَالْإِحْسَانِ وَالْإِفْضَالِ فَكَانَ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ كَسْبَ الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ الْجِهَادِ، لِأَنَّهُ جَمَعَهُ مَعَ الْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.

Allah SWT dalam ayat ini telah mensejajarkan antara derajat mujahidin dan mereka yang berjuang mencari harta yang halal untuk menafkahi dirinya sendiri, keluarganya dan untuk beramal kebajikan. Itu menunjukkan bahwa mencari harta tsb berkedudukan seperti jihad, karena Allah SWT menggabungkannya dengan jihad fii Sabiilillah “. (Baca: “الجامع لأحكام القرآن ” 21/349. Tahqiq DR. Abdullah at-Turki).

Muhmmad bin Hasan asy-Syaibani [Wafat. 189 H. Beliau sahabat Abu Hanifah] menyebutkan dalam "Kitab al-Kasab " hal. 33:

وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْدِمُ دَرَجَةَ الْكَسْبِ عَلَى دَرَجَةِ الْجِهَادِ فَيَقُولُ لِأَنَّ أَمُوتَ بَيْنَ شُعْبَتَيْ رَحْلِيَّ أَضْرِبُ فِي الْأَرْضِ أَبْتَغِي مِنْ فَضْلِ اللَّهِ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقْتُلَ مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْمَ الَّذِينَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى الْمُجَاهِدِينَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: "وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ".

Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, dahulu lebih mendahulukan derajat kasab (mencari nafkah) di atas derajat jihad, dan beliau berkata:

Sungguh aku mati di antara dua kaki hewan tungganganku saat berjalan di muka bumi dalam rangka mencari sebagian karunia Allah (rizki) ; lebih aku cintai daripada aku terbunuh sebagai seorang mujahid di jalan Allah ; karena Allah SWT dalam firmannya lebih mendahulukan orang-orang berjalan di muka bumi dalam rangka mencari sebagian karunia Allah dari pada para mujaahid, berdasarkan firman-Nya:

 وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “dan (para sahabat) yang lain berjalan di bumi mencari sebagian rizki / karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [Surat Al-Muzzammil: 20]

Abdullah bin Umar (ra) menyebutkan: bahwa Nabi SAW bersabda:

طَلَبُ الحَلالِ جِهادٌ

Mencari rizki yang halal itu adalah Jihad.

(HR. Ahmad dan Ibnu ‘Adiy dlm “الكامل في الضعفاء” 6/263. Imam Ahmad berkata:
“ Hadits ini Mungkar “. Lihat “: تهذيب التهذيب” 9/437

Dari Ka’ab bin ‘Ujroh:

مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَأَى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلْدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا رَأَوْا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صَغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعُفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»

Suatu hari ada seorang lelaki lewat di depan rasulullah SAW, dan para shahabat radhiyallahu `anhu melihat kondisi lelaki tersebut dari kulit tubuhnya dan semangatnya (seperti lelaki pekerja yang tangguh- pen), maka rasulullah SAW berkata:

 “Jika dia keluar bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia itu DI JALAN ALLAH [Fii Sabiilillah].

Dan jika dia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia itu DI JALAN ALLAH.

Dan jika dia keluar bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah (menjaga kehormatan diri untuk tidak minta-minta - pen) maka dia itu DI JALAN ALLAH.

Dan jika keluar dalam rangka riya` dan berbangga diri maka dia terhitung di jalan syaithon.” 

(HR. Ath-Thabrani (13/491) para perawinya tsiqoot / dipercaya). Sanad hadis ini dianggap shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Targhib no. 1959.

Dari Anas (ra) bahwa Nabi SAW bersabda:

أَمَّا إِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.

Adapun jika dia bekerja cari rizki untuk kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, maka dia itu DI JALAN ALLAH (Fi Sabilillah), dan jika dia bekerja untuk dirinya sendiri maka dia itu DI JALAN ALLAH".

(HR. Baihaqi 7/787 No. 13112 & 15754). Lihat pula: al-Jami' ash-Shaghiir wal Jaami' al-Kabiir 2/165 No. 4603.

Dari Abu Hurairah (ra): bahwa Rasulullah SAW bersabda (Dalam lafadz lain):

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا شَابٌّ مِنَ الثَّنِيَّةِ فَلَمَّا رَأَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا قُلْنَا: لَوْ أَنَّ هَذَا الشَّابَ جَعَلَ شَبَابَهُ وَنَشَاطَهُ وَقُوَّتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ فَسَمِعَ مَقَالَتَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ:« وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلاَّ مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيُعِفَّهَا فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ الشَّيْطَانِ

Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang pemuda dari arah jalan bukit. Ketika dia nampak di hadapan kami, maka kami berkata: Duhai seandainya pemuda ini memanfaatkan masa muda, semangat, dan kekuatannya di jalan Allah!

Rasulullah (SAW) mendengar perkataan kami. Lalu Beliau bersabda:

“Apakah di jalan Allah itu hanya untuk orang yang terbunuh saja?

Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk kedua orangtuanya, maka dia di jalan Allah.

Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk keluarganya, maka dia di jalan Allah.

Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk dirinya (dalam rangka menjaga kehormatannya agar tidak meminta-minta. pen), maka dia di jalan Allah.

Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk berbanyak-banyakan harta (semata), mka dia berada di jalan syaithan

Dalam lafadz lain:

وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلَّا مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ.

“Apakah di jalan Allah itu hanya untuk yang terbunuh saja?

Siapa yang berusaha mencari nafkah untuk menghidupi orang tuanya maka dia di jalan Allah, siapa yang berkerja untuk menghidupi keluarganya maka dia di jalan Allah, tapi siapa yang bekerja untuk berbanyak-banykan harta semata maka dia di jalan thaghut.”

(H.R al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, Ath-Thabrani “المعجم الأوسط” 5/119 dan Abu Nu’aim al-Ashfahaani “حلية الأولياء وطبقات الأصفياء” hal. 197). Dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadits as-Shahihah no 2232) 

Dari Sa’d bin Abu Waqash bahwasanya dia mengabarkan, bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

“Sesungguhnya, tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu". [HR. Bukhori no. 56].

Dan Dari 'Aisyah (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah sesuatu menimpa kepada seorang muslim dari kesusahan, rasa sakit, rasa gelisah, rasa sedih, sesuatu yang menyakitkan, dan rasa gundah, hingga duri yang mengenai dirinya kecuali Allah menjadikannya sebagai penghapus atas kesalahan-kesalahannya”(HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573).

DALIL KE SEPULUH: DOA MINTA KAYA & DILINDUNGI DARI KEMISKINAN:

HADITS 1: Dari Abdullah bin Mas’ud (ra) bahwa Rasulullah (SAW) berdo’a:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah (menjaga diri dari perkara haram), dan kekayaan.”

(HR. Muslim: 4898, At-Tirmidzi: 3411 dan Ibnu Majah: 3822).

HADITS 2: Dari Ummul Mukminiin Ummu Salamah (ra):

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلمَ كان يقولُ إذا صلَّى الصبحَ حين يُسَلِّمُ: اللهم إني أسألُكَ علمًا نافعًا ، ورزقًا واسعًا ، وعملًا مُتَقَبَّلًا

Bahwa Nabi (SAW) dulu jika selesai shalat Shubuh saat salam, beliau mengucapkan doa: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rizqi yang luas, dan amal perbuatan yang diterima.

[HR. Ibnu Majah no. 762. Di Hasankan oleh al-Albaani dalam Tamamul Minnah no. 233 dan dishahihkan di Shahih Ibnu Majah no. 762].

HADITS 3: Dari Abu Hurairah (ra): Bahwa Nabi (SAW) senantiasa berdo’a::

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefaqiran, sedikit harta benda, dan kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu daripada menzhalimi orang lain atau dizhalimi.”

(HR. Abu Dawud: 1320, An-Nasa’i: 5365, Ahmad: 7708 dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 1287).

Rasulullah berpesan kepada umatnya, agar menghindari dari kefaqiran, dan untuk hal itu beliau mengajarkan doa, sebagaimana bunyi hadits diatas.

HADIS KE 4: Doa Minta Kaya dan Agar Bisa Membayar Hutang. Dari Ali -raḍiyallāhu 'anhu-:

أنَّ مُكاتبًا جاءَهُ فقالَ: إنِّي قد عَجزتُ عَن مكاتبتي فأعنِّي ، قالَ: ألا أعلِّمُكَ كلِماتٍ علَّمَنيهنَّ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ لو كانَ عَليكَ مثلُ جَبلِ صيرٍ دينًا أدَّاهُ اللَّهُ عَنكَ ، قالَ: قُل: اللَّهمَّ اكفني بِحلالِكَ عن حرامِكَ ، وأغنِني بِفَضلِكَ عَمن سواكَ

Bahwa seorang budak mukātab datang kepadanya lalu berkata: "Aku tidak sanggup melunasi cicilan (kemerdekaanku), maka bantulah aku!" 

Ia berkata: "Maukah kamu diajarkan beberapa kalimat yang telah diajarkan Rasulullah (SAW) padaku yang seandainya engkau memiliki utang sebesar gunung pasti Allah melunasinya? Ucapkan:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

 "Ya Allah, cukupilah aku dengan rezeki-Mu yang halal hingga aku terhindar dari yang Engkau haramkan. Ya Allah kayakanlah aku dengan karunia-Mu hingga aku tidak minta kepada selain Engkau".

(HR. Turmudzi no. 3563. Di Hasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Futuuhat ar-Robaaniyyah 4/29 dan al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi no. 3563]

ATSAR: Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dalam kitabnya "Ishlaah Al-Maal" (60) dari Sayyid Atba' Al-Tabi'in, Sufyan Ats-Tsawri rahimahullah, beliau berdoa:

(اللَّهُمَّ زَهِّدْنَا فِي الدُّنْيَا، وَوَسِّعْ عَلَيْنَا مِنْهَا، وَلَا تَزْوِهَا عَنَّا فَتُرْغِبَنَّا فِيهَا).

"Dalam doa mereka ada permohonan: 'Ya Allah, jadikanlah kami zuhud dalam dunia, luaskanlah rezeki kami darinya, dan janganlah Engkau menjadikan dunia sebagai kerinduan bagi kami.'"

DALIL KE 11: RIZKI HEWAN DARI HASIL USAHA KITA BERPAHALA SHODAQOH.


Dari Jabir bin Abdullah (ra) dia bercerita bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً

“Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman, maka apa yang dimakan dari tanaman itu melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan binatang liar melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan burung melainkan menjadi sedekah baginya. Dan tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkah ia menjadi sedekah baginya." (HR. Imam Muslim Hadits no.1552)

Dari Anas bin Malik (ra) bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌإِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon, tidak pula bercocok tanam tanaman kemudian dari tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)

Dari Jabir bin Abdullah (ra) dia berkata, telah bersabda Rasulullah (SAW):

فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim hadits no.1552(10))

DALIL KE 12: ALLAH MEMUJI PEMBISNIS YANG TIDAK LALAI DARI MENGINGATNYA

Allah SWT berfirman:

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءِ الزَّكٰوةِ ۙيَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُ ۙ

Orang-orang yang perniagaannya dan berjual belinya tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat) [QS. an-Nuur: 37]

Hushaim berkata: Dari Sayyar, ia berkata: Aku diberitahu dari Ibnu Mas'ud:

أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا مِنْ أَهْلِ السُّوقِ، حَيْثُ نُودِيَ بِالصَّلَاةِ، تَرَكُوا بِيَاعَاتِهِمْ وَنَهَضُوا إِلَى الصَّلَاةِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: هَؤُلَاءِ مِنَ الَّذِينَ ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ: {رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}

Bahwa ia melihat sekelompok orang dari penduduk pasar, ketika adzan berkumandang untuk shalat, mereka meninggalkan perdagangan mereka dan beranjak ke shalat.

Abdillah berkata: Mereka termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah dalam kitab-Nya:

{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}

"Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah". (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya 18/113).

Dan demikian pula diriwayatkan oleh Amr bin Dinar Al-Qahramani dari Salim, dari Abdullah bin Umar, radhiallahu 'anhuma:

أَنَّهُ كَانَ فِي السُّوقِ فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَأَغْلَقُوا حَوَانِيتَهُمْ وَدَخَلُوا الْمَسْجِدَ، فَقَالَ ابْنُ عمر: فيهم نَزَلَتْ: {رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}.

Bahwa ia berada di pasar ketika shalat diadakan. Mereka menutup toko-toko mereka dan masuk ke masjid. Ibnu Umar berkata: Ayat ini diturunkan tentang mereka, "Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah" (Tafsir Ath-Thabari 18/113).

Dan Ibnu Abi Hatim berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Bakr As-Sanaani, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, budak Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Bujair, telah menceritakan kepada kami Abu Abdurrahman berkata: Abu Ad-Darda' radhiallahu 'anhu berkata,

إِنِّي قُمْتُ عَلَى هَذَا الدَّرَجِ أُبَايِعُ عَلَيْهِ، أَرْبَحُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثَمِائَةِ دِينَارٍ، أَشْهَدُ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ يَوْمٍ فِي الْمَسْجِدِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ: "إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحَلَالٍ" وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ مِنَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ: {رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}

"Sesungguhnya aku naik ke tangga ini untuk berjualan atasnya. Aku mendapatkan keuntungan tiga ratus dinar setiap hari, namun aku selalu shalat berjemaah setiap hari di masjid. Aku tidak mengatakan: 'Sungguh ini tidak halal', tetapi aku ingin menjadi salah satu dari orang-orang yang disebut oleh Allah:

{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}

'Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah'" (Tafsir Ibnu Katsir 6/69).

Amru bin Dinar Al-A'war berkata:

كُنْتُ مَعَ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَنَحْنُ نُرِيدُ الْمَسْجِدَ، فَمَرَرْنَا بِسُوقِ الْمَدِينَةِ وَقَدْ قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ وخَمَّروُا مَتَاعَهُمْ، فَنَظَرَ سَالِمٌ إِلَى أَمْتِعَتِهِمْ لَيْسَ مَعَهَا أَحَدٌ، فَتَلَا سَالِمٌ هَذِهِ الْآيَةَ: {رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ} ثُمَّ قَالَ: هُمْ هَؤُلَاءِ.

Aku berada bersama Salim bin Abdullah ketika kami hendak pergi ke masjid. Kami melewati pasar kota, dan orang-orang telah bangkit untuk shalat, mereka menutup dagangan mereka dan masuk ke masjid. Salim melihat barang dagangan mereka yang ditinggalkan tanpa ada yang menjaganya. Kemudian Salim membaca ayat ini:

{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}

"{Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah}".

Lalu dia berkata, "Mereka adalah orang-orang ini."

Said bin Abi Al-Hasan dan Ad-Dahhak juga mengatakan:

لَا تُلْهِيهِمُ التِّجَارَةُ وَالْبَيْعُ أَنْ يَأْتُوا الصَّلَاةَ فِي وَقْتِهَا.

Bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli sehingga mereka datang untuk shalat tepat waktu.

Mathar Al-Warraq mengatakan:

كَانُوا يَبِيعُونَ وَيَشْتَرُونَ، وَلَكِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ وميزانُه فِي يَدِهِ خَفَضَهُ، وَأَقْبَلَ إِلَى الصلاة.

Bahwa mereka masih berjualan dan membeli, tetapi ketika mereka mendengar panggilan adzan dan timbangan dagangan mereka berada di tangan mereka, mereka menurunkannya dan menuju ke shalat. (Tafsir Ibnu Katsir 6/69).

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas:

{لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ} يَقُولُ: عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.

"Bahwa ayat ini berbicara tentang shalat yang diwajibkan".

Al-Rabi' bin Anas dan Muqatil bin Hayyan juga berpendapat seperti itu. (Tafsir Ibnu Katsir 6/69).

Al-Suddi mengatakan:

عَنِ الصَّلَاةِ فِي جَمَاعَةٍ.

Bahwa itu berarti mereka tidak dilalaikan oleh perdagangan dari kehadiran shalat secara berjamaah.

Muqatil bin Hayyan mengatakan:

لَا يُلْهِيهِمْ ذَلِكَ عَنْ حُضُورِ الصَّلَاةِ، وَأَنْ يُقِيمُوهَا كَمَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ، وَأَنْ يُحَافِظُوا عَلَى مَوَاقِيتِهَا، وَمَا اسْتَحْفَظَهُمُ اللَّهُ فِيهَا.

“Bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perdagangan dari mendirikan shalat sebagaimana Allah perintahkan dan menjaga waktunya sebagaimana yang Allah jaga di dalamnya". (Tafsir Ibnu Katsir 6/69).

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata:

وَقَوْلُهُ: {يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ} أَيْ: يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِي تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ، أَيْ: مِنْ شِدَّةِ الْفَزَعِ وَعَظَمَةِ الْأَهْوَالِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى {وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ} [غَافِرٍ: 18] ، وَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ}

Dalam ayat "{Mereka takut pada hari ketika hati-hati dan penglihatan berbalik}" artinya adalah hari kiamat ketika hati dan mata berbalik-balik, yaitu karena ketakutan yang sangat hebat dan kengerian yang besar, sebagaimana yang Allah katakan "{Dan beri peringatan kepada mereka tentang hari yang dekat ketika hati-hati berada di tenggorokan mereka, tertekan}" (QS. Ghafir: 18), dan Allah juga berfirman "{Sesungguhnya Dia hanya menunda mereka untuk hari yang matanya terbelalak}"

(Tafsir Ibnu Katsir 6/69).

JIKA SELESAI SHALAT, SEGERALAH MENYEBAR CARI RIZKI

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوۡا فِى الۡاَرۡضِ وَابۡتَغُوۡا مِنۡ فَضۡلِ اللّٰهِ وَاذۡكُرُوا اللّٰهَ كَثِيۡرًا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ

Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. [QS. Al-Jumu'ah:10].

DALIL KE 13: PEKERJAAN HALAL NAMPAK HINA LEBIH MULIA DARI PADA MINTA-MINTA

Nabi SAW memerintahkan umatnya agar mandiri dalam berekonomi dan menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri. Beliau (SAW) melarang umatnya mengemis, meminta-minta dan mengharapakan pemberian dari manusia, apalagi sampai berjualan agama. Pendapatan dari pekerjaan yang nampak hina tapi halal, itu lebih baik dari pada minta-minta.

Dalam hadits Abu Hurairah di sebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda:

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya daripada dia meminta-minta (mengemis) kepada orang lain, lalu orang itu memberinya atau dia menolak untuk memberinya (HR al-Bukhari no. 2374 dan Muslim no. 1042).

Umar bin Al-Khattab, semoga Allah meridainya, berkata:

“مَكْسَبَةٌ فِيهَا دُنَاءَةٌ خَيْرٌ مِنْ سُؤَالِ النَّاسِ، وَإِنِّي لَأَرَى الرَّجُلَ يُعَجِّبُنِي شَكْلُهُ، فَإِذْ سَأَلْتُ عَنْهُ فُقِيلَ لِي: لَا عَمَلَ لَهُ، سَقَطَ مِنْ عَيْنِي".

"Hasil Usaha yang memalukan tetapi halal itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain. Dan sungguh jika saya melihat seseorang yang penampilannya mengesankan saya, tetapi ketika saya menanyakan tentangnya, lalu dikatakan kepadaku bahwa dia tidak memiliki pekerjaan. Maka ia langsung kehilangan nilai di mata saya." [Lihat: Fiqhul Islam karya az-Zuhaily 7/5011 dan at-Tafsir al-Wasith karya Thonthowi 15/441].

Dari Sahl bin Sa'ad Al-Saa'idi bahwa Nabi (SAW) bersabda:

جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ فَإِنَّكَ مَفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ. ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ.

Jibril ('alaihis salam) datang menemui Nabi SAW lalu berkata (kepada beliau):

“Wahai Muhammad, hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati,

Cintailah siapa saja yang engkau cintai (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan berpisah dengannya,

Dan berbuatlah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya benar-benar engkau akan menerima balasan dari apa yang engkau perbuat”,

Lalu dia berkata lagi:

“Wahai Muhammad, kemuliaan seorang mu’min terletak pada shalat malam dan KEHORMATANNYA terletak pada KETIDAK BUTUHANNYA kepada BANTUAN MANUSIA“

[HR. ath-Thabarani dalam "al-Mu'jam al-Awsat" (4278), dan al-Hakim (7921) dengan sedikit perbedaan. Lafadh ini berdasarkan periwayatan Al Hakim Di Hasankan oleh syeikh al-Baani].

Dan dari Anas bin Malik (ra):

أنَّ رجلًا منَ الأنصارِ أتى النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يسألُهُ فقال: أما في بيتِكَ شيءٌ. قال: بلى حِلسٌ نلبسُ بعضَهُ ونبسُطُ بعضَهُ وقَعبٌ نشربُ فيهِ منَ الماءِ. قال: ائتني بِهِما. قال: فأتاهُ بِهِما فأخذَهُما رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بيدِهِ وقال: من يشتري هذَين؟ قالَ رجلٌ: أَنا آخذُهُما بدِرهمٍ. قال: من يزيدُ على درهمٍ؟ مرَّتينِ أو ثلاثًا قالَ رجلٌ: أَنا آخذُهُما بدِرهَمين. فأعطاهما إيَّاهُ وأخذَ الدِّرهمينِ وأعطاهما الأنصاريَّ وقال: اشترِ بأحدِهِما طعامًا فانبذهُ إلى أَهْلِكَ واشترِ بالآخرِ قدومًا فأتني بِهِ. فأتاهُ بِهِ فشدَّ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ عودًا بيدِهِ ثمَّ قالَ لَهُ: اذهب فاحتطِب وبع ولَا أرينَّكَ خمسةَ عشرَ يومًا. فذَهَبَ الرَّجلُ يحتطِبُ ويبيعُ فجاءَ وقد أصابَ عشرةَ دراهمَ فاشترى ببعضِها ثوبًا وببعضِها طعامًا. فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّه عليه وسلَّم: هذا خيرٌ لَكَ من أن تجيءَ المسألةُ نُكْتةً في وجهِكَ يومَ القيامةِ إنَّ المسألةَ لَا تصلحُ إلَّا لثلاثةٍ لذي فَقرٍ مدقعٍ أو لذي غُرمٍ مُفظعٍ أو لذي دمٍ موجعٍ".

“Bahwa ada seorang lelaki Anshar datang menemui Nabi (SAW) dan dia meminta sesuatu kepada Nabi (SAW). Nabi pun bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?”

Lelaki itu menjawab, ”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk minum air.”

Nabi (SAW) berkata: ”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku”. Lelaki itu datang membawanya. Nabi pun bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?”

Salah seorang sahabat beliau menjawab: ”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.”

Nabi (SAW) bertanya lagi: ”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih?”

Nabi (SAW) menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata, ”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.”

Maka Nabi (SAW) memberikan dua barang itu kepadanya dan mengambil uang dua dirham itu serta memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut seraya bersabda:

“Belilah makanan seharga satu dirham dengan uang itu, dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham, dan bawa kapak itu kepadaku!”

Dia pun melakukan perintah Rasulullah (SAW). Kemudian Rasulullah memasang gagang pada kapak tersebut dengan tangannya kemudian bersabda: “Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali kepadaku setelah lima belas hari.”

Lelaki Anshar itu pun melaksanakan perintah nabi kemudian datang lagi dengan membawa sepuluh dirham. Sebagian hasilnya dia belikan baju dan sebagian lagi ia belikan makanan.

Rasulullah bersabda kepadanya:

“Usaha itu lebih baik bagimu daripada engkau datang dengan noda hitam di wajahmu pada hari Kiamat disebabkan meminta-minta. Meminta-minta hanya boleh bagi tiga macam orang (yaitu): orang yang sangat fakir, orang yang tertimpa beban hutang yang sangat berat, atau orang yang terbebani diyat (tebusan) yang menyulitkan.”

[HR. Abu Daud no. 1641, Ibnu Majah no. 2198 dan Tirmidzi no. 1218.

Di hasankan oleh Tirmidzi. Namun di dhaifkan oleh al-Albanni dalam Dhaif Abu Daud no. 1641 karena di dalam sanadnya terdapat Abu Bakar al-Hanafi. al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya: Laa yu'rof haaluhu (tidak dikenal kondisinya).

Syeikh Abdul Karim al-Khudhair berkata:

وَعَلَى كُلِّ حَالٍ الْحَدِيْثُ مَعْنَاهُ صَحِيْحٌ، وَإِنْ كَانَ فِيْ سَنَدِهِ ضَعِيْفٌ.

"Bagaimanapun juga, makna hadits ini shahih, meskipun ada kelemahan dalam sanadnya." [Barnamij Fatwa Nur 'Alaa ad-Darb no. Fatwa: 24802].

CONTOH BISNIS SAHABAT YANG NAMPAK HINA, TAPI SUKSES.

Ada salah seorang sahabat yang sukses berbisnis limbah sampah dan rongsokan, beliau meraup keuntungan yang fantastis, sehingga membuat dirinya menjadi salah seorang yang terkaya di Kuufah – Irak. Berikut ini riwayat kisahnya:

Dari Urwah bin Abul Ja'ad Al Bariiqi (ra) ia berkata:

“دَفَعَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا لِأَشْتَرِيَ لَهُ شَاةً فَاشْتَرَيْتُ لَهُ شَاتَيْنِ فَبِعْتُ إحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجِئْتُ بِالشَّاةِ وَالدِّينَارِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ لَهُ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِهِ فَقَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي صَفْقَةِ يَمِينِكَ فَكَانَ ‌يَخْرُجُ ‌بَعْدَ ‌ذَلِكَ ‌إلَى ‌كُنَاسَةِ ‌الْكُوفَةِ ‌فَيَرْبَحُ ‌الرِّبْحَ ‌الْعَظِيمَ ‌فَكَانَ ‌مِنْ ‌أَكْثَرِ ‌أَهْلِ ‌الْكُوفَةِ ‌مَالًا ".

“Rasulullah (SAW) memberikan kepadaku satu dinar untuk membeli seekor kambing untuknya, maka aku pun dengan satu dinar itu membelikan dua ekor kambing. Lalu aku menjual salah satu dari keduanya seharga satu dinar. Dan aku menemui Nabi (SAW) dengan membawa satu ekor kambing dan satu dinar".

Lalu ia menceritakan kepada beliau tentang apa yang ia perbuat, maka beliau (SAW) pun bersabda: "Semoga Allah memberkahi transaksi jual belimu".

Setelah itu ia pergi merantau ke Kufah singgah di suatu tempat pembuangan limbah, lalu ia mendapatkan laba yang sangat banyak sehingga ia menjadi salah seorang dari penduduk kufah yang paling kaya raya.

[HR. Abu Daud no. 3384, Tirmidzi no. 1258 dan Ibnu Majah no. 2513. Di shahihkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu' 9/262 dan oleh al-Albaani dalam al-Irwa 5/129.

MAKNA: al-Kunaasah [الكُنَاسَة]. Yaquut al-Hamawi [w. 623 H] dalam Mu'jam al-Buldan 4/181 berkata:

“الكُنَاسَةُ: بِالضَّمِّ، وَالْكَنْسُ: كَسْحُ مَا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مِنَ الْقُمَامَةِ، وَالْكُنَاسَةُ مَلْقَى ذَلِكَ: وَهِيَ مَحَلَّةٌ بِالْكُوفَةِ ".

Al-Kunasah berasal dari kata "al-kans" yang berarti menyapu atau menghilangkan limbah [sampah] yang ada di permukaan bumi. Al-Kunaasah adalah tempat pembuangan limbah dan sampah. Dan itu adalah tempat di Kufah ".

LAFADZ RIWAYAT LAIN:

Dari jalur lain yang ma'ruf tentang Urwah, melalui jalur Said bin Zaid, dari Az-Zubair bin Al-Khurayt, dari Abu Lubaid, dari Urwah bin Abi Al-Ja'd al-Baariqi (ra) dia berkata:

"عُرِضَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلْبٌ، فَأَعْطَانِي دِينَارًا، وَقَالَ: أَيُّ عُرَوَةِ اِئْتِ الْجَلْبَ، فَاشْتَرِ لَنَا شَاةً! [كَأَنَّهَا أُضْحِيَّةٌ]، فَأَتَيْتُ الْجَلْبَ، فَسَاوَمْتُ صَاحِبَهُ فَاشْتَرَيْتُ مِنْهُ شَاتَيْنِ بِدِينَارٍ فَجِئْتُ أُسَوِّقُهُمَا، أَوْ قَالَ: أُقَدِّهُمَا، فَلَقِيَنِي رَجُلٌ، فَسَاوَمَنِي فَأَبَيْعُهُ شَاةً بِدِينَارٍ، فَجِئْتُ بِالدِّينَارِ، وَجِئْتُ بِالشَّاةِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا دِينَارُكُمْ، وَهَذِهِ شَاتُّكُمْ، قَالَ: وَصَنَعْتَ كَيْفَ؟ قَالَ: فَحَدَّثْتُهُ الْحَدِيثَ فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَارَكَ لَهُ فِي صَفْقَةِ يَمِينِهِ، فَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَقِفُّ بِكُنَاسَةِ الْكُوفَةِ، فَأَرْبَحُ أَرْبَعِينَ أَلْفًا قَبْلَ أَنْ أَصِلَ إِلَى أَهْلِي، وَكَانَ يَشْتَرِي الْجَوَارِي وَيَبِيعُ"

"Ada JALAB [pedagang hewan dari luar (import)] yang menawarkan kepada Nabi (SAW, lalu beliau memberikan satu dinar kepadaku, dan beliau berkata:

'Wahai Urwah, pergilah ke al-Jalab itu dan belilkanlah untuk kami seekor kambing'. [sepertinya untuk keperluan hewan kurban"]

Maka aku pergi mencari al-jalab tersebut, kemudian aku bernegosiasi dengan pemiliknya dan membeli dua ekor kambing dengan satu dinar. Setelah itu, aku kembali untuk menjualnya", atau dikatakan: “aku membawa dua kambing itu.

Kemudian aku bertemu dengan seseorang yang menawar harga kambing yang ada padaku, lalu dia membeli dari ku kambing tersebut dengan harga satu dinar.

Maka Aku datang dengan satu dinar tersebut dan membawa satu ekor kambing tersebut, lalu aku berkata: 'Wahai Rasulullah, ini dinar antum dan ini kambing antum'.

Beliau bertanya: 'Bagaimana cara kamu melakukannya?'

Aku menceritakan kejadian tersebut kepadanya, maka beliau bersabda: 'Ya Allah, berkahilah transaksi tangan kanannya.'

Sesungguhnya aku melihat diriku merantau ke Kufah dan singgah cari rizki di tempat pembuangan limbah dan aku sukses meraup keuntungan empat puluh ribu sebelum aku sampai kepada keluargaku. Dan aku pun membeli budak-budak wanita dan menjualnya."

[HR. Ahmad (19367), Tirmidzi (1/237), Ibnu Majah (2402), Ad-Daraqutni (2825), dan Al-Baihaqi (6/112)]

Al-Mundziri dan An-Nawawi mengatakan: "Sanadnya hasan shahih." [Lihat Irwa al-Gholil 5/120].

Di hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Shahih Dalaail an-Nubuwwah (273) dan Syu'aib al-Arn'auth dalam Takhrij al-Musnad 32/110]

MAKNA al-Jalab [الجَلَب]:

مَا يُؤْتَى بِهِ مِن بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ مِنْ عُرُوضِ التِّجَارَةِ

Artinya: "Barang-barang dagangan yang dibawa dari satu negeri ke negeri lain [komoditi import]".

LAFADZ RIWAYAT BUKHORI:

Dari Syabib bin Gharfadah berkata, aku mendengar orang-orang dari qabilahku yang bercerita dari 'Urwah al-Baariqi (ra):

أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي له به شَاةً، فَاشْتَرَى له به شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إحْدَاهُما بدِينَارٍ، وجَاءَهُ بدِينَارٍ وشَاةٍ، فَدَعَا له بالبَرَكَةِ في بَيْعِهِ، وكانَ لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.

“Bahwa Nabi (SAW) memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Maka beliau mendoa'akan dia keberkahan dalam jual belinya itu". Sungguh dia apabila BERDAGANG DEBU sekalipun, pasti mendapatkan untung". 

Dia Syabib berkata:

وَقَدْ رَأَيْتُ فِي دَارِهِ سَبْعِينَ فَرَسًا

"Sungguh aku telah melihat di rumahnya ada tujuh puluh ekor kuda" [HR. Bukhori no. 3642].

DALIL KE 14: PERINTAH CARI NAFKAH AGAR TIDAK MENGHARAPKAN PEMBERIAN MANUSIA.

Dalam hadits Sahl bin Sa'ad Al-Saa'idi di sebutkan bahwa Malaikat Jibril (AS) berkata:

“يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ".

“Wahai Muhammad, kemuliaan seorang mu’min terletak pada shalat malam dan KEHORMATANNYA terletak pada KETIDAK BUTUHANNYA kepada BANTUAN MANUSIA“

[HR. ath-Thabarani dalam "al-Mu'jam al-Awsat" (4278), dan al-Hakim (7921) dengan sedikit perbedaan. Lafadh ini berdasarkan periwayatan Al Hakim Di Hasankan oleh syeikh al-Baani.

Dan Rosulullah SAW bersabda Umar (ra):

“وَما جَاءَكَ مِن هذا المَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَما لَا، فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ ".

“Apabila kamu diberi orang sesuatu pemberian tanpa kamu mengharap-harapkan pemberian [mengidam-idamkannya] dan tanpa meminta-minta, terimalah pemberian itu. Tetapi ingat, sekali-kali jangan mengharap-harap pemberian dan meminta-minta."

Lengkapnya hadits: Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma:

“أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يُعْطِي عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عنْه العَطَاءَ، فيَقولُ له عُمَرُ: أَعْطِهِ، يا رَسولَ اللهِ، أَفْقَرَ إلَيْهِ مِنِّي، فَقالَ له رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ، أَوْ تَصَدَّقْ به، وَما جَاءَكَ مِن هذا المَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَما لَا، فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. قالَ سَالِمٌ: فَمِنْ أَجْلِ ذلكَ كانَ ابنُ عُمَرَ لا يَسْأَلُ أَحَدًا شيئًا وَلَا يَرُدُّ شيئًا أُعْطِيَهُ ".

Bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan suatu pemberian kepada Umar bin Al Khaththab, maka Umar pun berkata: "Wahai Rasulullah, berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku."

Maka Rasulullah SAW pun bersabda kepadanya: "Ambil dan pergunakanlah untuk keperluanmu, atau sedekahkan! Apabila kamu diberi orang sesuatu pemberian tanpa kamu mengharap-harapkan pemberian [mengidam-idamkannya] dan tanpa meminta-minta, terimalah pemberian itu. Tetapi ingat, sekali-kali jangan mengharap-harap pemberian dan meminta-minta".

Salim berkata: "Oleh karena itu, Ibnu Umar tidak pernah meminta apa saja kepada seseorang, dan tidak pula menolak apa yang diberikan orang kepadanya." [HR. Muslim no. 1045]

Dan Rosulullah (SAW) bersabda:

إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

“Sesungguhnya harta ini hijau lagi manis, barangsiapa yang mengambilnya dengan murah hati (penuh qona’ah), maka baginya keberkahan di dalamnya.

Dan barangsiapa yang mengambilnya penuh dengan ketamakan [jiwanya selalu mengharapkannya], maka dia tidak mendapat keberkahan di dalamnya, seperti orang makan yang tidak pernah kenyang, dan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhori no. 1379 dan Muslim no. 1717)

Makna "إِشْرَافِ نَفْسٍ": “jiwanya selalu menanti-nanti pemberian, menampakkannya kepadanya, dan berharap kepadanya."

ATSAR: Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab "Al-Mustadrak" (6565) dari sahabat yang mulia, Qais bin 'Ashim Al-Munqari radhiyallahu 'anhu, beliau berkata kepada anak-anaknya:

"عَلَيْكُمْ بِإِصْلَاحِ الْمَالِ؛ فَإِنَّهُ مَنْبَهَةٌ لِلْكَرِيمِ، وَيُسْتَغْنَى بِهِ عَنِ اللَّئِيمِ ".

"Hendaklah kalian memperbaiki harta kekayaan, karena harta itu menjadi peringatan bagi orang berjiwa mulia dan itu membuatnya merasa cukup dan tidak membutuhkan sesuatu dari orang yang berjiwa rendah."

ATSAR: Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dalam kitabnya "Ishlaah Al-Maal" (55) dari Sayyid Al-Tabi'in, Sa'id bin Al-Musayyib rahimahullah, beliau berkata:

"لَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يُرِيدُ جَمْعَ الْمَالِ مِنْ حِلِّهِ، يَكْفُفُ بِهِ وَجْهَهُ عَنِ النَّاسِ، وَيَصِلُ بِهِ رَحِمَهُ، وَيُعْطِي مِنْهُ حَقَّهُ".

"Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak berkeinginan untuk mengumpulkan harta secara halal, yang dengannya dia menjaga dirinya dari minta-minta dari manusia dan dengannya bisa menyambungkan silaturahim, serta memberikan hak-haknya."

DALIL KE 15: ANCAMAN NERAKA BAGI YANG SUKA NUMPANG DAN TIDAK MAU USAHA:

Dari Iyadl bin Khammar al-Mujasyi'ii (ra) menyebutkan: Bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersabda di dalam khutbah beliau:

أَلَا إِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمَنِي يَوْمِي هَذَا:........

قَالَ: وَأَهْلُ النَّارِ خَمْسَةٌ الضَّعِيفُ الَّذِي لَا زَبْرَ لَهُ الَّذِينَ هُمْ فِيكُمْ تَبَعًا لَا يَبْتَغُونَ أَهْلًا وَلَا مَالًا ، وَالْخَائِنُ الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ ، وَرَجُلٌ لَا يُصْبِحُ وَلَا يُمْسِي إِلَّا وَهُوَ يُخَادِعُكَ عَنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، وَذَكَرَ الْبُخْلَ أَوْ الْكَذِبَ ، وَالشِّنْظِيرُ الْفَحَّاشُ

"Ingatlah! Sesungguhnya Rabb-ku telah menyuruhku untuk mengajarkan kalian semua tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui, yang diajarkan Allah kepadaku seperti pada hari ini....................................

Allah berfirman: “Dan penghuni neraka itu ada lima macam:

 1]. Seorang lelaki yang lemah yang tidak menggunakan akalnya [yang bisa dipergunakan untuk menahan diri dari hal yang tidak pantas].

Mereka itu adalah orang yang hanya menjadi pengikut di antara kalian [yakni: hidupnya bisanya hanya numpang dan jadi beban kalian].

Mereka tidak berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga dan tidak pula mencari harta [untuk membangun ekinomi].

2]. Pengkhianat yang memperlihatkan sifat rakusnya, sekalipun dalam hal yang samar.

3]. Seorang lelaki yang pagi dan petang selalu memperdayamu (melakukan tipu muslihat) dari keluargamu dan hartamu.

4]. Lalu Allah menyebutkan sifat bakhil dan sifat dusta.

5]. Dan Orang yang akhlaknya buruk." (HR. Muslim No. 5109)

Dalam Hadits Abu Hurairah, disebutkan bahwasanya Nabi SAW bersabda:

لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ ‏"‏ ‏.‏ قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ قَالَ: ‏"‏الَّذِي لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلاَ يَقُومُ فَيَسْأَلَ النَّاسَ ‏"‏

“Bukanlah yang dimaksud orang miskin itu yang keliling ke orang-orang untuk mendapatkan sesuap dan dua suap, atau satu biji kurma atau dua biji kurma.”

Para sahabat bertanya: Jadi apa yang dimaksud dengan orang miskin itu, wahai Rasulullah?

Beliau menjawab: “Orang yang tidak pernah merasa cukup, tidak cerdik atau tidak mau berfikir, maka dia mengharapkan sedekah atau pemberian, dia tidak mau kerja dan berusaha, maka dia meminta-minta kepada orang-orang.”

(HR. Bukhory No. 1479, Muslim No. 1039 dan an-Nasaa'i no. 2572)

DALIL KE 16: JIKA INGIN PERGI HAJI, MAKA HARUS PUNYA BEKAL!

Jika seorang muslim dan muslimah berkeinginan melaksanakan ibadah haji, maka ia harus mempersiapkan biaya perjalanan dan bekal, agar ketika hajian tidak menjadi pengemis dan agar tidak mengharapkan pemberian manusia dan belas kasihannya.

Allah Swt berfirman:

{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa “. (Al-Baqarah: 197)

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam "Shahih" nya no. 1523 dari Ibnu Abbas (ra), dia berkata:

كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحْجُونَ، وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ، سَأَلُوا النَّاسَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}.

“Orang-orang Yaman dulu pergi menunaikan ibadah haji, akan tetapi mereka tidak membawa bekal, dan mereka berkata: Kami adalah orang-orang yang bertawakkal, lalu ketika mereka tiba di Makkah, mereka minta-minta kepada manusia “. Maka Allah SWT menurunkan wahyu:

{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Ini adalah riwayat yang paling Shahih berkaitan dengan sebab Turunnya ayat tsb.

Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bin Hibban, yang berkata:

“لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: { وَتَزَوَّدُوا } قَامَ رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نَجِدُ زَادًا نَتَزَوَّدُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَزَوَّدُوا مَا تُكْفِيهِ وَجْهَكُمْ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ الْتَّقْوَى".

Ketika ayat ini diturunkan: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”, maka berdirilah seorang pria dari orang-orang muslim yang fakir, lalu berkata: “Ya Rasulullah, kami tidak memilika sesuatu yang bisa kami jadikan bekal untuk kami “.

Rasulullah SAW berkata:

"تَزَوَّدْ مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ التَّقْوَى".

“Berbekal lah dengan sesuatu yang bisa menjaga kehormatan wajah mu dari meminta-minta kepada manusia, dan sebaik-baik bekal adalah takwa”. [HR. Abu Hatim (Tafsir Ibnu Katsir 1/549) dan ad-Durr al-Mantsuur 1/532)].

Dalam hadits ini Rosulullah SAW tetap mengaharuskan pria tsb bawa bekal.

Sebagian para ulama berkata:

وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ جَاءَتْ مُطْلَقَةً حَتَّى مِنْ مُطْلَقِ السَّفَرِ بِحَيْثُ تَشْمَلُ الْمُقِيمَ غَيْرَ الْمُسَافِرِ.

Riwayat ini mutlak sehingga mencakup semua jenis safar, begitu juga termasuk orang yang tinggal di rumahnya tidak melakukan safar.

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/547 berkata: “Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas:

كَانَ أُنَاسٌ يَخْرُجُونَ مِنْ أَهْلِيهِمْ لَيْسَتْ مَعَهُمْ أزْودة، يَقُولُونَ: نَحُجُّ بَيْتَ اللَّهِ وَلَا يُطْعِمُنَا.. فَقَالَ اللَّهُ: تَزَوَّدُوا مَا يَكُفُّ وُجُوهَكُمْ عَنِ النَّاسِ

ada orang-orang yang berangkat meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan:

"Kami akan melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?" (yakni niscaya Allah memberi kami makan).

Maka turunlah ayat ini yang maknanya " "Berbekallah kalian untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain."

Ibnu Abu Hatim mengatakan:.... dari Ikrimah:

“إِنَّ نَاسًا كَانُوا يَحُجُّونَ بِغَيْرِ زَادٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} ".

Bahwa orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa membawa bekal. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai:.... dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas:

كَانَ نَاس يَحُجُّونَ بِغَيْرِ زَادٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}

Bahwa ada orang-orang yang menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) [as-Sunan al-Kubro oleh an-Nasaa'i no. 11033]

Adapun hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr, dari Syababah. [SELESAI PERKATAAN IBNU KATSIR]

Sebagian ulama mengatakan:

وَظَاهِرُ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، وَمَا جَاءَ فِي سَبَبِ نَزُولِهَا يُفِيدُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْآيَةِ، حَثُّ مَنْ عَزِمَ عَلَى سَفَرٍ وَحَجٍّ أَنْ يَتَزَوَّدَ بِأَسْبَابِ الْحَيَاةِ الْمَادِيَّةِ مِنْ طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَكِسَاءٍ وَنَحْوِهَا مِنَ الضُّرُورَاتِ الَّتِي لَا تَسْتَقِيمُ حَيَاةُ النَّاسِ إِلَّا بِهَا، وَهَذَا حَقٌّ لَا رَيْبَ فِيهِ، وَالْآيَةُ دَالَّةٌ عَلَيْهِ بِظَاهِرِهَا.

Makna yang tampak dari ayat yang mulia ini, dan apa yang disebutkan dalam Asbabun Nuzuul ayat tersebut menunjukkan bahwa makna ayat tersebut adalah untuk menghimbau orang yang hendak bepergian / safar dan berangkat haji agar menyiapkan bekal dengan segala macam kebutuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, dan sejenisnya dari kebutuhan-kebutuhan darurat yang mereka akan tidak bisa bertahan hidup tanpa itu semua.

Ini adalah sebuah kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi, dan dzohir ayat tsb sangat jelas menunjukkan hal itu.

SOLUSI LAIN bagi yang tidak punya bekal haji, yaitu:Berhaji sambil usaha:

Allah SWT berfirman:

{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ م ِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإ ِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198) }

Tidak ada dosa bagi kalian mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian [di waktu hajian]. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat ". [QS. Al-Baqarah: 198]

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, berkata:

كَانَت عُكاظُ وَمِجَنَّةُ ، وَذو المجَازِ أَسْواقاً في الجَاهِلِيَّةِ ، فَتَأَثَّمُوا أن يَتَّجرُوا في الموَاسِمِ ، فَنَزَلتْ: { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أن تَبْتَغُوا فَضلاً مِن رَبِّكُم } [البقرة: 198]في مَوَاسِم الحَجِّ.

‘”Ukadz, Mijannah dan Zulmajaz adalah merupakan pasar-pasar di zaman Jahiliyah, namun orang-orang [pada masa Jahiliyah] merasa berdosa jika berdagang pada musim-musim haji, kemudian turunlah ayat - yang artinya-:

“Tidak ada dosanya atas kalian jika kalian mencari anugerah rezeki dari Tuhan kalian,” -yakni berdagang dalam musim-musim haji-. (HR. Imam Bukhari no. 2050)

DALIL KE 17: BAGI HENDAK PERGI BERJIHAD HARUS SIAP KENDARAAN PERENGAN DAN BEKAL

Seorang muslim yang hendak ikut pergi berjihad di jalan Allah, maka ia harus menyiapkan untuk dirinya bekal dan kendaraan perang. Jika dia tidak mampu menyiapkan semua itu, maka dia tidak berhak untuk ikut serta dalam berjihad, meski dia merengek, bahkan menangis bercucuran air mata. Kecuali jika ada pihak lain yang siap memfasilitasinya dan mendanainya.

Allah SWT berfirman:

وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (92)

“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian, " niscaya mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah: 92)

Ayat ini menunjukkan bahwa jihad itu bukan hanya dengan fisik saja, melainkan dengan harta, senjata dan armada kendaraan perang.

Dan Islam melarang para lelaki muslim untuk ikut serta dalam jihad fii sabiliilah meski mereka merengek dan menangis, meski mereka memiliki fisik yang kuat selama mereka tidak memiliki bekal, senjata dan kendaraan perang. Kecuali ada pihak lain yang menyiapkan semua itu seperti penguasa atau lainnya.

Dan ini semua menunjukkan bahwa dunia dan akhirat itu bisa sejalan.

Sementara harta dunia yang halal tidak bisa didapatkan kecuali dengan kerja dan usaha.

TAFSIR IBNU KATSIR:

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini:

وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم أمرَ النَّاسَ أَنْ يَنْبَعِثُوا غَازِينَ مَعَهُ، فَجَاءَتْهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُغَفَّل الْمُزَنِيُّ (3) فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، احْمِلْنَا. فَقَالَ لَهُمْ: "وَاللَّهِ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ". فَتَوَلَّوْا وَلَهُمْ بُكَاءٌ، وعزَّ عَلَيْهِمْ أَنْ يَجْلِسُوا عَنِ الْجِهَادِ، وَلَا يَجِدُونَ نَفَقَةً وَلَا مَحْمَلًا. فَلَمَّا رَأَى اللَّهُ حرْصَهم عَلَى مَحَبَّتِهِ وَمَحَبَّةِ رَسُولِهِ أَنْزَلَ عُذْرَهُمْ فِي كِتَابِهِ، فَقَالَ: {لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ} إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {فَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ}

Bahwa demikian itu terjadi ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang-orang untuk berangkat berperang bersama­nya. Lalu datanglah segolongan orang dari kalangan sahabat, antara lain Abdullah ibnu Mugaffal ibnu Muqarrin Al-Muzani.

Mereka berkata: ''Wahai Rasulullah, bawalah kami serta."

Rasulullah Saw bersabda kepada mereka: "Demi Allah, aku tidak menemukan kendaraan untuk membawa kalian." 

Maka mereka pulang seraya MENANGIS. Mereka menyesal karena hanya bisa duduk, tidak dapat ikut berjihad karena mereka tidak mempunyai biaya, tidak pula kendaraan untuk itu. Ketika Allah melihat kesungguhan mereka dalam cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menurunkan ayat yang menerima uzur (alasan mereka), yaitu firman-Nya: 

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ اِذَا نَصَحُوْا لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ

Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (At-Taubah: 91)

Sampai pada firman-Nya: 

اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَسْتَأْذِنُوْنَكَ وَهُمْ اَغْنِيَاۤءُۚ رَضُوْا بِاَنْ يَّكُوْنُوْا مَعَ الْخَوَالِفِۙ وَطَبَعَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ ۔

“Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) itu, hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berperang), padahal mereka orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci hati mereka, sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka). “. (At-Taubah: 93)

Muhammad ibnu Ka'b mengatakan:

Bahwa jumlah mereka ialah tujuh orang, dari Bani Amr ibnu Auf adalah Salim ibnu Auf, dari Bani Waqif adalah Harami ibnu Amr, dari Bani Mazin ibnun Najjar adalah Abdur Rahman ibnu Ka'b yang dijuluki Abu Laila, dari Banil Ma'la adalah Fadlullah, dan dari Bani Salamah adalah Amr Ibnu Atabah dan Abdullah ibnu Amr Al Muzani.

Muhammad ibnu Ishaq dalam konteks riwayat mengenai Perang Tabuk mengatakan:

Bahwa ada segolongan kaum lelaki datang meng­hadap Rasulullah Saw. seraya MENANGIS, mereka ada tujuh orang yang terdiri atas kalangan Ansar dan lain-lainnya. [Tafsir Ibnu Katsir 4/199].

DALIL KE 18: JIKA INGIN MENIKAH, MAKA HARUS SIAP MAHAR DAN NAFKAH

Seorang muslim jika dia berkehendak menikahi seorang wanita, maka dia harus mampu mempersiapkan mahar dan nafkah hidup berumah tangga. Jika dia belum mampu, maka hendaknya menikahi budak wanita miliknya. Dan jika tidak punya budak wanita, maka berpuasa lah terus menerus hingga bisa menetralkan syahwatnya.

Allah SWT berfirman:

وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۚ 

Dan barangsiapa di antara kalian tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dianjurkan menikahi budak perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kalian milik [QS. An-Nisaa: 25].

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/260 berkata:

“يَقُولُ تَعَالَى وَمَنْ لَمْ يَجِدْ {طَوْلا} أَيْ: سَعَةً وَقُدْرَةً {أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ} أَيِ الْحَرَائِرَ ".

"Allah berfirman, 'Dan barangsiapa yang tidak memiliki (thaul), maksudnya: kelapangan rizki dan kemampuan finansial (untuk menikahi wanita mu'minah yang muhshonah), yakni wanita merdeka."

SOLUSI LAIN:

Bagi seorang pria muslim yang tidak memiliki finansial untuk menikah dan tidak memiliki budak wanita miliknya ; maka solusinya adalah dengan berpuasa, dan terus berpuasa hingga syahwatnya menjadi reda dan dingin.

Dari Abdullah bin Mas'ud (ra) bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»

"Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah mampu [secara finansial], maka hendaklah ia menikah, dan siapa yang belum mampu finansial, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu menjadi benteng baginya.”

[HR. Bukhori no. 5065 dan Muslim (1400)]

MAHAR NIKAH YANG SESUAI SUNNAH NABI SAW:

Ada sebuah hadits: Dari Abu Salamah Ibnu Abdurrahman (ra) berkata:

سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ: كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا قَالَتْ: أَتَدْرِي مَا اَلنَّشُّ? قَالَ: قُلْتُ: لَا قَالَتْ: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ, فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِأَزْوَاجِهِ

Aku bertanya kepada 'Aisyah (r.a): Berapakah maskawin Rasulullah (SAW)?

Aisyah (r.a) berkata: Maskawin beliau kepada istrinya ialah dua belas uqiyyah dan nasy [Rp. 158.737.500.]

A'isyah (r.a) bertanya: Tahukah engkau apa itu nasy? Ia berkata: Aku menjawab: Tidak.

'Aisyah (r.a) berkata: “Setengah uqiyyah, jadi semuanya lima ratus dirham. Inilah maskawin Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada para istrinya. [HR. Muslim no. 1426].

Penjelasan nya:

فيكون مجموع مهر نساء النبي صلى الله عليه وسلم البالغ (500) درهم ما يعادل أربعين دينارا ونصف (41,6) تقريباً، وهو يساوي - من الجرامات -: (176,375) جراماً.

Jadi total mahar masing-masing istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berjumlah (500) dirham sama dengan sekitar empat puluh satu setengah (41,6) dinar, yang jika di gram kan setara dengan (176.375) gram emas.

Penulis katakan:

Maka jika sekarang harga emas murni 24 karat Rp. 900.000, berarti mahar yang Nabi SAW berikan pada para istrinya adalah: 176,375 gram x Rp. 900.000 = Rp. 158.737.500.

MAHAR UMAR (R.A) KETIKA MENIKAHI UMMU KULTSUM:

Syaakir an-Naabulsi dalam المال والهلال [الموانع والدوافع الاقتصادية لظهور الإسلام] berkata:

عُمَرُ بْنُ الْخَطَابِ:... أَنَّهُ دَفَعَ مَهْرَ زَوْجَتِهِ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِيٍّ بِنِ أَبِي طَالِ عَشَرَةِ آلافِ دِينَارٍ ذَهَبِيٍّ، كَمَا يَقُولُ الْمُؤَرِّخُ الْيَعْقُوبِيُّ فِي تَارِيخِهِ.

وَمِنَ الْمُؤَرِّخِينَ - كَابِنُ قَدَّامَةَ - مَنْ يَقُولُ: بِأَنَّ عُمَرَ قَدْ دَفَعَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ دِينَارٍ فِي هَذَا الْمَهْرِ.

كَذَلِكَ: فَإِنَّ عُمَرَ قَدْ تَزَوَّجَ تِسْعَ نِسَاءٍ، بَعْضُهُنَّ مِنْ فُروعٍ عَالِيَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، مَثَلَ فَكْهِيَّةَ مِنْ آلِ الْمُغِيرَةِ.

كَمَا أَوَصَى عُمَرُ لِأُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ بِأَرْبَعَةِ آلافِ دِينَارٍ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ".

Umar Ibn Al-Khattab:... bahwa ia membayar mahar istrinya Umm Kultsum binti Ali bin Abi Talib sepuluh ribu dinar emas, seperti yang dikatakan sejarawan Al-Ya'qubi dalam kitab Taarikhnya 2/150.

[NOTE: 1000 Dinar = Rp. 3.825.000.000. Ini jika harga pergram emas murni 24 karat 900 ribu rupiah. Karena 1 Dinar emas = 4,25 gram].

Di antara para sejarawan - seperti Ibn Qudamah - mengatakan bahwa Umar membayar empat puluh ribu dinar dalam mas kawin ini.

Juga: Umar menikahi sembilan wanita, beberapa di antaranya berasal dari keturunan bangsawan petinggi Quraisy, seperti Fakhiah dari keluarga Al-Mughirah.

Umar RA juga menulis wasiat untuk para ummul walad [para budak wanita yang beliau gauli lalu melahirkan anak untuk beliau], 4000 dinar (15 milyar 300 juta rupiah) untuk masing-masing dari mereka".

Referensi:

Ke 1: الخراج والنظم المالية للدولة الإسلامية Karya DR. Muhammad Dhiyauddin ar-Rais hal. 360-361.

Ke 2: معيار عمر بن الخطاب في سعر صرف الدينار بالدرهم karya DR. Nuri Abdussalam Baryuun.

Ke 3. شذور العقود Karya al-Muqraizi hal. 19.

TIDAK ADA BATASAN MAKSIMAL MAHAR DALAM NIKAH

Allah SWT berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدالَ زَوْجٍ مَكانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20)

“Dan jika kalian ingin mengganti isteri kalian dengan isteri yang lain, sedang kalian telah memberikan kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?". [QS. An-Nisaa: 20]

Ibnu Katsir berkata:

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْإِصْدَاقِ بِالْمَالِ الْجَزِيلِ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نَهَى عَنْ كَثْرَةِ الْإِصْدَاقِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bolehnya memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak. Akan tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang mengeluarkan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian beliau mencabut kembali larangannya itu. [Tafsir Ibnu Katsir 2/243].

Dari Abul Ajfa As-Sulami bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah berkata:

أَلَا لَا تُغْلُوا فِي صَداق النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَا نَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أصْدَقَ رسولُ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصدِقَت امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِه ِ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّة، وَإِنْ كَانَ الرَّجُلُ ليُبْتَلَى بصَدُقَةِ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَكُونَ لَهَا عَدَاوَةٌ فِي نَفْسِهِ، وَحَتَّى يَقُولَ: كَلِفْتُ إِلَي ْكِ عَلَق القِرْبة

"Ingatlah, janganlah kalian [wahai para lelaki] berlebihan dalam memberi mahar kepada para wanita, seandainya hal itu adalah sebuah kemuliaan di dunia atau sebagai bentuk ketakwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling dahulu melakukannya adalah Nabi (SAW), tidaklah Rasulullah (SAW) memberikan mahar kepada salah seorang dari isteri-isteri beliau, dan tidak juga diberikan kepada puteri-puteri beliau jumlah mahar yang melebihi dua belas uqiyah".

[Riwayat ini disebutkan dalam Abu Dawud (2106) dengan redaksi yang sama, dan juga dalam Tirmidzi (1114), An-Nasai (3349), Ibnu Majah (1887), dan Ahmad (340)].

Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih Ibnu Majah.


Jalur yang lain dari Umar bin Khaththab (ra):

Al-Hafidz Abu Ya'la meriwayatkan dengan sanadnya dari Masruq yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab menaiki mimbar Rasulullah (Saw), kemudian berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ، مَا إِكْثَارُكُمْ فِي صُدُق النِّسَاءِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه وإنما الصدقات فِيمَا بَيْنَهُمْ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَمَا دُون َ ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ الْإِكْثَارُ فِي ذَلِكَ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ أَوْ كَرَامَةً لَمْ تَسْبِقُوهمْ إِلَيْهَا. فَلا أعرفَنَّ مَا زَادَ رَجُلٌ فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ: ثُمَّ نَزَلَ فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ أَنْ يَزِيدُوا النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَع ِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا } [النساء: 20] قال: فقال: اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ. ثُمَّ رَجَعَ فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّساءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ.

"Hai manusia, mengapa kalian berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita, padahal dahulu Rasulullah Saw.dan para sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama mereka hanya empat ratus dirham atau kurang dari itu.Seandainya memperbanyak maskawin merupakan ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian tidak akan dapat menyembunyikan mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan mempermaklumatkan, perlombaan seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham."

Masruq melanjutkan kisahnya:

“Bahwa setelah itu Khalifah Umar turun dari mimbarnya, tetapi ada seorang wanita dari kalangan Quraisy mencegatnya dan mengatakannya:

"Wahai Amirul Mu'minin, kenapa melarang orang-orang melebihi empat ratus dirham dalam maskawin mereka?"

Khalifah Umar menjawab: "Ya."

Wanita itu berkata: “Tidakkah Anda mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an?" 

Khalifah Umar bertanya, "Ayat manakah yang Anda maksudkan?" 

Wanita itu menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman: 

{ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20)}

“Dan kalian telah memberikan kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?". [QS. An-Nisaa: 20]

Maka Khalifah Umar berkata: "Ya Allah, ampunilah aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada Umar." 

Kemudian Khalifah Umar kembali menaiki mimbar, dan berkata:

“إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّسَاءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ".

“Hai manusia sekalian. sesungguhnya aku telah melarang kalian melebihi empat ratus dirham dalam membayar maskawin wanita. Sekarang barang siapa yang ingin memberi mahar dari hartanya menurut apa yang disukainya, dia boleh melakukannya."

Abu Ya'la mengatakan: "Aku mengira, Umar (ra) mengatakan:

"فَمَنْ طَابَتْ نَفْسُهُ فَلْيَفْعَلْ".

'Barang siapa yang suka rela (memberi mahar dalam jumlah yang lebih dari empat ratus dirham), maka silahkan melakukannya'."

Ibnu Katsir berkata:

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ

"Sanad atsar ini dinilai jayyid (baik) lagi kuat". [Tafsir Ibnu Katsir 2/244].

Atsar ini terdapat dalam "Abi Ya'la Al-Kabir" seperti yang disebutkan oleh Al-Haitsami dalam "Majma' Az-Zawaid" (4/284) dan Al-'Ajluuni dalam "Kashf Al-Khafa" (2/154). Akan tetapi, hadis ini tidak terdapat dalam kitab "Musnad" yang diterbitkan.


Namun atsar ini diriwayatkan pula oleh Sa'id bin Mansur dalam kitab Sunan dengan nomor (598) "Al-Azhimiy", dan juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan Al-Kubra (7/233).

Lihat: Irwa'ul Ghaliil (6/348) oleh Syaikh Nashir Al-Albani, dia telah menjelaskan kelemahan riwayat ini dan perbedaannya dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab hadis.

Ibnul Mundzir meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Abdur Rahman As-Sulami bahwa Khalifah Umar Ibnu Khattab pernah mengatakan:

“لَا تُغَالُوا فِي مُهُورِ النِّسَاءِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: لَيْسَ ذَلِكَ لَكَ يَا عُمَرُ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: "وَآَتيْتُم ْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ". قَالَ: وَكَذَلِكَ هِيَ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: "فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا" فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ امْرَأَةً خَاصَمَتْ عُمَرَ فَخَصَمَ تْهُ ".

"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam membayar maskawin wanita." 

Lalu ada seorang wanita berkata: “Tidaklah demikian, hai Umar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: 

"وَآَتيْتُم ْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ".

'Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka berupa harta yang melimpah dari emas ' (An-Nisa: 20).” 

Yang dimaksud dengan qintaryaitu emas yang banyak. Abu Abdur Rahman As-Sulami berkata: "Demikian pula menurut qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yakni seqintar emas.

"فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا"

“Maka janganlah kalian mengambil kembali barang sedikit pun darinya." 

Kemudian Khalifah Umar berkata: “Sesungguhnya seorang wanita telah mendebat Umar, ternyata wanita itu dapat mengalahkannya.”

[Diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dalam kitab "Al-Musannaf" dengan nomor (10420) melalui jalur Qais bin Rabi'ah.

Sheikh Nasser Al-Albani dalam "Irwa' Al-Ghalil" (1/348) menyatakan: "Sanadnya lemah dengan dua kelemahan:

Pertama, ada putusnya jalur sanad, karena Abu Abdul Rahman As-Sulami, yang nama aslinya adalah Abdullah bin Habib bin Rabi'ah, tidak pernah mendengar dari Umar seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ma'in.

Kedua, Qais bin Rabi'ah memiliki kelemahan dalam menghafal hadis."

MAHAR FANTASTIS BAGI UMMU KULTSUM MANTAN ISTRI UMAR (RA)

Adz-Dzahabi dlam Siyar al-A'laam an-Nubalaa 3/446-447 menyebutkan:

ابن سعد: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن مُحَمَّدٍ، عَنْ يَزِيدَ بنِ عِيَاضٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ أَبِي بَكْرٍ بنِ حَزَمٍ، قَالَ: خَطَبَ سَعِيدُ بنُ الْعَاصِ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عَلِيٍّ بَعْدَ عُمَرَ، وَبَعَثَ إِلَيْهَا بِمِائَةِ أَلْفٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَخُوهَا الْحُسَيْنُ، وَقَالَ: لَا تَزَوَّجِيهِ. فَقَالَ الْحَسَنُ: أَنَا أَزَوَّجُهُ. وَاتَّعَدُّوا لِذَلِكَ، فَحَضَرُوا.

فَقَالَ سَعِيدٌ: وَأَيْنَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ: سَأَكْفِيكَ. قَالَ: فَلَعَلَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ كَرِهَ هَذَا. قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: لَا أَدْخُلُ فِي شَيْءٍ يَكْرَهُهُ. وَرَجَعَ، وَلَمْ يَأْخُذْ مِنَ الْمَالِ شَيْئًا.

قَالَ سَعِيدُ بنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الدِّمَشْقِيُّ: إِنَّ عَرَبِيَّةَ الْقُرْآنِ أُقِيمَتْ عَلَى لِسَانِ سَعِيدِ بنِ الْعَاصِ، لِأَنَّهُ كَانَ أَشْبَهَهُمْ لَهْجَةً بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم.

Ibnu Sa'ad berkata: telah menceritkan kepada kami Ali bin Muhammad, dari Yazid bin 'Iyaadh, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm, yang berkata:

Sa'id bin Al-'Aash, melamar Umm Kultsum, putri Ali, setelah Umar wafat. Dan dia mengirimnya uang seratus ribu [100 ribu dirham = Rp. 31.875.000.000], hingga saudaranya al-Husain masuk padanya dan berkata: “Jangan menikah dengannya".

Al-Hasan berkata: “Aku yang akan menikahkan mu dengannya".

Dan mereka telah bersiap-siap untuk itu, lalu mereka pun datang.

Sa'iid bertanya: "Dimana Abu Abdullah? " [Yakni al-Husein].

Al-Hassan berkata: “Aku akan mencukupimu ".

Dia berkata: “Mungkin Abu Abdullah membenci pernikahan ini ".

Al-Hasan berkata: Ya.

Sa'id berkata: “Saya tidak mau masuk dalam sesuatu yang dia benci".

Lalu Sa'iid pulang, dan dia tinggalkan uang tsb tidak mengambil nya kembali sepeser pun ".

[Note: Pada masa Nabi SAW 12 Dirham setara dengan 1 dinar. Dan Satu dinar pada masa itu setara dengan 4,25 gram emas murni.

Jadi uang 100 ribu dirham Said diatas, setara dengan 8.334 dinar. Jika dirupiahkan: 8.334 dinar x 4,25 gram x Rp. 900.000 = Rp. 31.875.000.000. PEN]

SIAPA ITU SAID BIN AL-'AASH?

Said bin Abdul Aziz Al-Dimashqi berkata:

Bahasa Arab Al-Qur'an telah ditegakkan kembali pada lidah Sa'iid bin Al-Aash, karena dia itu yang paling mirip dengan dialek Rasulullah SAW..

DALIL KE 19: AMPUNAN DARI ALLAH BAGI YANG SUKA MEMAAFKAN HUTANG ORANG LAIN

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

“إِنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ وَكَانَ يُدَايِنُ النَّاسَ، فَيَقُولُ لِرَسُولِهِ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ، وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ، وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَلَمَّا هَلَكَ. قَالَ لَهُ اللَّه - عز وجل -: هَلْ عَمِلْتَ خَيْرًا قَطُّ؟، قَالَ: لَا، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ لِي غُلَامٌ وَكُنْتُ أُدَايِنُ النَّاسَ، فَإِذَا بَعَثْتُهُ لِيَتَقَاضَى، قُلْتُ لَهُ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ اللَّهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا. قَالَ اللَّه تَعَالَى: قَدْ تَجَاوَزْتُ عَنْكَ ".

"Sesungguhnya terdapat seorang laki-laki yang belum pernah berbuat kebaikan sama sekali, dan dia biasa memberikan hutang kepada orang-orang. Kemudian dia berkata kepada utusannya (penagih hutang) ;

“Ambillah apa yang mudah (orang yang mudah membayarnya) dan tinggalkan apa yang sulit dan maafkan semoga Allah ta'ala mengampuni kita!!!."

Kemudian tatkala dia meninggal, Allah 'azza wajalla berfirman kepadanya: "Apakah engkau pernah mengerjakan kebaikan?"

Dia berkata; "Tidak, hanya saja saya memiliki seorang pembantu dan saya biasa memberikan hutang kepada orang-orang kemudian apabila saya mengutusnya untuk menagih hutang, saya katakan kepadanya; 'Ambillah apa yang mudah dan tinggalkan apa yang sulit dan maafkan, semoga Allah memaafkan kita."

Allah ta'ala berfirman: sungguh Aku telah memaafkanmu."

(HR. Bukhori No. 2078, Muslim No. 1562 dan Nasaa’i No. 4694

DALIL KE 20: PARA SAHABAT NABI (SAW) BERBISNIS DAN MEREKA BENCI PENGANGGURAN

Dan As-Sarkhosi berkata dalam al-Mabsuuth dan Syarah al-Kasab:

"ودعواهم أَن الْكِبَار من الصَّحَابَة رضوَان الله عَلَيْهِم كَانُوا لَا يكتسبون دَعْوَى بَاطِل.

فقد رُوِيَ أَن أَبَا بكر الصّديق رَضِي الله عَنهُ كَانَ بزازا وَعمر رَضِي الله عَنهُ كَانَ يعْمل الْأدم وَعُثْمَان رَضِي الله عَنهُ كَانَ تَاجِرًا يجلب إِلَيْهِ الطَّعَام فيبيعه وَعلي رَضِي الله عَنهُ كَانَ يكْتَسب على مَا رُوِيَ أَنه أجر نَفسه غير مرّة حَتَّى آجر نَفسه من يَهُودِيّ فِي حَدِيث فِيهِ طول".

Dan dakwaan dan klaiman mereka bahwa para sahabat senior (ra) tidak bekerja mencari nafkah adalah dakwaan palsu dan bathil.

Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq (ra) bekerja sebagai saudagar pakaian dan kain, Umar (ra) memproduksi penyamakan kulit hewan, Utsman, (ra) menjadi seorang pengimport sembako dan menjualnya, dan Ali, (ra) mendapatkan penghasilan dengan cara menjadi buruh kuli pada seorang Yahudi sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis yang panjang. [Baca: “المبسوط” 30/248 dan Syarah al-Kasab hal. 41]

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

“كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ… ".

Para Sahabat Rasulullah SAW adalah para pekerja untuk diri mereka sendiri…. (HR. Imam al-Bukhari No. 2071).

Para sahabat tidak menyukai dan membenci para pengangguran yang hidupnya banyak dihabiskan untuk duduk-duduk di rumah, menjadi beban orang lain.

Sebagaimana yang dikatakan seorang sahabat Thalhah bin Ubaidillah (ra) berkata:

إِنَّ أَقَلَّ الْعَيْبِ عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَجْلِسَ فِي دَارِهِ.

Aib [perbuatan tercela] yang paling terendah bagi seseorang adalah dia hanya duduk-duduk di rumahnya.

[Di riwayatkan oleh Muhammad bin Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra 3/166 cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah dengan sanadnya: Telah memberi tahu kami Yazid bin Harun, dia berkata: Telah memberi tahu kami Ismail dari Qais, dia berkata...]

PERKATAAN UMAR BIN AL-KHOTHTHOB: Tentang orang yang sibuk dengan ibadah tapi tidak mau berusaha mencari rizki dengan alasan cukup bertwakkal:

Al-Imam As-Sarkhosi [w. 490 H] berkata dalam al-Mabsuuth dan Syarah al-Kasab:

وَرُوِيَ أنَّ عُمَرَ مَرَّ بِقَومٍ مِنَ القُرَّاءِ فَرَآهُمْ جُلُوسًا قَدْ نَكَسُوا رُؤُوسَهُمْ، فَقَالَ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هُمُ المُتَوَكِّلُونَ، فَقَالَ: كَلاَّ، وَلَكِنَّهُمُ المُتَأكِّلُونَ، يَأكُلُونَ أموَالَ النَّاسِ. ألا أُنَبِّئكُمْ مَنِ المُتَوَكِّلُونَ؟ فَقِيلَ: نَعَمْ. فَقَالَ: هُوَ الَّذِي يُلقِي الحَبَّ فِي الأرْضِ، ثُمَّ يَتَوَكَّلُ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى عَنْهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ ارْفَعُوا رُءُوسَكُمْ وَاكْتَسِبُوا لِأَنْفُسِكُمْ

Diriwayatkan bahwa Umar melewati beberapa Qori (para guru dan pembaca al-Quran) dan melihat mereka duduk dan menundukkan kepala, Lalu beliau berkata: Siapa mereka ini?

Dijawab: Mereka adalah orang-orang yang ahli tawakkal.

Maka beliau berkata: Tidak, tetapi mereka pemakan harta para manusia. Mau kah saya memberi tahu kepada kalian tentang siapakah para ahli tawakkal itu?

Dijawab: Ya. Beliau berkata: “Dialah yang menaburkan benih di ladang, kemudian dia bertawakkal kepada Rabbnya, Azza wa Jalla “.

Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Wahai para Qori, angkat kepala kalian dan cari lah mata pencaharian untuk diri kalian “.

[Di sebutkan oleh As-Sarkhosy dlm “المبسوط” 30/248 dan Syarah al-Kasab hal. 41]

BAHKAN SEBAGIAN PARA ISTRI SAHABAT ADA YANG IKUT KERJA BANTU SUAMI

Contohnya: Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq, istri Az-Zubair bin al-'Awaam radhiyallahu 'anhum:

Dari Asma’ binti Abu Bakr radliallahu ‘anhuma berkata:

تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُ وَمَا لَهُ فِي الْأَرْضِ مِنْ مَالٍ وَلَا مَمْلُوكٍ وَلَا شَيْءٍ غَيْرَ نَاضِحٍ وَغَيْرَ فَرَسِهِ فَكُنْتُ أَعْلِفُ فَرَسَهُ وَأَسْتَقِي الْمَاءَ وَأَخْرِزُ غَرْبَهُ وَأَعْجِنُ وَلَمْ أَكُنْ أُحْسِنُ أَخْبِزُ وَكَانَ يَخْبِزُ جَارَاتٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ وَكُنَّ نِسْوَةَ صِدْقٍ.

وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَأْسِي وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ فَرْسَخٍ فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي فَلَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ إِخْ إِخْ لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ وَكَانَ أَغْيَرَ النَّاسِ فَعَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي قَدْ اسْتَحْيَيْتُ فَمَضَى.

فَجِئْتُ الزُّبَيْرَ فَقُلْتُ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى رَأْسِي النَّوَى وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَأَنَاخَ لِأَرْكَبَ فَاسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ وَعَرَفْتُ غَيْرَتَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَحَمْلُكِ النَّوَى كَانَ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ رُكُوبِكِ مَعَهُ قَالَتْ حَتَّى أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ بَعْدَ ذَلِكَ بِخَادِمٍ تَكْفِينِي سِيَاسَةَ الْفَرَسِ فَكَأَنَّمَا أَعْتَقَنِي

Az Zubair bin Awwam menikahiku. Saat itu, ia tidak memiliki harta dan tidak juga memiliki budak serta tidak memiliki apa-apa kecuali alat penyiram lahan dan seekor kuda. Maka akulah yang memberi makan dan minum kudanya, menjahit timbanya serta membuatkan adonan roti. Padahal aku bukanlah seorang yang pandai membuat roti. Karena itu, para tetanggaku dari kaum Anshar-lah yang membuatkan roti.

“Aku biasa membawa benih biji kurma di atas kepalaku dari kebun milik Az-Zubair yang diberi oleh Rasulullah SAW. Kebun itu jaraknya dari (rumah) ku dua pertiga farsakh [3,219 KM] ”.

Suatu hari aku berjalan sementara biji kurma ada di atas kepalaku. Lalu aku berjumpa dengan Rasulullah (SAW) yang sedang bersama beberapa orang dari kaum Anshar.

Beliau kemudian memanggilku dan berkata: ‘Ikh, ikh” (menderumkan ontanya) – agar aku naik ke atas unta beliau dan memboncengkanku di belakangnya. Namun aku malu berjalan bersama para lelaki dan aku ingat akan kecemburuan Az-Zubair, karena ia seorang laki-laki yang paling pencemburu.

Maka Rasulullah (SAW) pun tahu bahwa aku malu, hingga beliau pun berlalu.

Setelah itu, aku pun menemui Az Zubair dan aku berkata: "Rasulullah (SAW) berjumpa denganku sementara di atas kepalaku ada biji kurma. Sedangkan beliau sedang bersama beberapa orang dari kalangan Anshar, lalu beliau mempersilahkan agar aku naik kendaraan, namun aku malu dan aku juga tahu akan kecemburuanmu."

Maka Az Zubair pun berkata: "Demi Allah, kamu membawa biji kurma itu adalah lebih memberatkan hatiku daripada engkau naik kendaraan bersama beliau."

Akhirnya Abu Bakar pun mengutuskan seorang khadim [pembantu pria] yang dapat mencukupi pekerjaanku untuk mengurusi kuda. Dan seolah-olah ia telah membebaskanku.

[HR. Bukhori no. 5224 dan Muslim no. 2182]

1 Farsakh = 4.828 Kilo Meter.

Setelah itu Zubair bin Awaam juga biasa berbisnis seperti Elaf Quraisy, di antaranya ke Syam [perbatasan Eropa] sebagaimana yang diisyarakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath 9/323, dia berkata:

“وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي حَدِيثِ الْهِجْرَةِ ‌أَنَّ ‌الزُّبَيْرَ ‌لَاقَى ‌النَّبِيَّ ‌صَلَّى ‌اللَّهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ ‌وَأَبَا ‌بَكْرٍ ‌رَاجِعًا ‌مِنَ ‌الشَّامِ ‌بِتِجَارَةٍ ‌وَأَنَّهُ ‌كَسَاهُمَا ‌ثِيَابًا قَوْلُهُ وَلَمْ أَكُنْ أُحْسِنُ أَخْبِزُ فَكَانَ يَخْبِزُ جَارَاتٌ لِي فِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَكَانَ يَخْبِزُ لِي ".

“Dan sebelumnya disebutkan dalam hadis al-Hijrah bahwa Zubair bertemu dengan Nabi (SAW) dan Abu Bakar ketika dia [Zubair] pulang kembali dari Syam setelah melakukan perdagangan, dan dia memberi mereka berdua oleh-oleh pakaian".

DALIL KE 21: HARTA TERMASUK 5 DARURAT YANG HARUS DI JAGA.

Dari Jabir (ra), ia berkata; Rasulullah (SAW) bersabda:

"أُمِرتُ أن أقاتلَ النَّاسَ حتَّى يقولوا لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ فإذا قالوها عصموا منِّي دماءَهم وأموالَهم إلَّا بحقِّها وحسابُهم على اللَّهِ ثمَّ قرأَ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ".

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah, apabila mereka mengucapkannya maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali karena ada alas an yang dibenarkan, dan perhitungannya atas Allah." Kemudian beliau membaca ayat: Berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (QS. Al-ghasyiyah 21-22). [HR. Tirmidzi no. 3341]

Abu Isa berkata: “Hadits ini adalah hadits hasan". Sementara syeikh al-Albaani berkata: "Shahih Mutawaatir".

Dan dalam Shahih Bukhori no. 4406 dan Mulim no. 1679, Nabi SAW bersabda dalam khotbah Haji Wada':

((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ))

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram (wajib dijaga kehormatannya) atas kalian".

Untuk menjaga harta, Syariat Islam telah menetapkan hal-hal sebagai berikut:

PERTAMA: GELAR SYAHID BAGI YANG TERBUNUH DALAM MELINDUNGI HARTANYA:

Dari Sa'id bin Zaid (ra) bahwa Rosulullah SAW bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ.

"Barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan darahnya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan agamanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena membela keluarganya, ia syahid.”

[HR. Ath-Thoyalisy no. 230, At-Tirmidzi (1421), Abu Dawud (4772), Ahmad (1652), At-Tirmidzi (1421), dan An-Nasai (4105, 4106). Abu Isa Tirmidzy berkata: “Hasan Shahih".

Di shahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad 1/191 dan al-Albaani dlam Shahih Tirmidzi no. 1421]

KEDUA: HUKUM POTONG TANGAN BAGI PENCURI:

Allah SWT berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. [QS. al-Maidah: 38].

KETIGA: LARANGAN TABDZIR dan MURKA ALLAH SWT BAGI PENTABDZIR:

Islam telah memerintahkan kepada umat-nya agar pandai mengatur keuangan dan agar tidak menghambur-hamburkan harta. Termasuk dalam berinfaq: Dalam Q.S Al-Isra’ ayat 26:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan ; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”

Allah murka kepada orang-orang yang sering membuang-buang hartanya. Karena sejatinya perilaku tabzir merupakan salah satu saudaranya syaithan.

Sebagaimana Q.S Al-Isra’ ayat 27:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Dalam hadis dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi (SAW) bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Sesungguhnya Allah membenci 3 hal untuk kalian:

[1] menyebarkan berita burung (katanya-katanya);

[2] menyia-nyiakan harta.

[3] banyak bertanya. (HR. Bukhari 1477 & Muslim 4582).

KEEMPAT: PERINTAH DAN ANJURAN UNTUK HIDUP HEMAT & EKONOMIS:

Allah SWT menyebutkan salah satu ciri dari ciri-ciri hamba Ar-Rahman adalah hemat dan tidak boros dalam membelanjakan hartanya. Begitu pula ketika bersedakah dan berinfaq.

Dalam surat al-Furqon, Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67).

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [QS. Al-Furqon: 67]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata:

“Yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi.

Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir ".

Dan dalam surat al-Isra, Allah SWT berfirman:

{ وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [QS. Al-Isra: 29].

Ibnu Katsir berkata:

"Allah Swt. memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) agar bersikap ekonomis dalam kehidupan, dan mencela sifat kikir; serta dalam waktu yang sama melarang sifat berlebihan"/ [Selesai].

Dan Allah SWT berfirman:

{ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ }

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. [QS. Al-A'raf: 31].

HADITS DAN ATSAR TENTANG PERINTAH UNTUK HIDUP HEMAT & EKONOMIS:

Pertama: Dari Ibnu 'Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

إِنَّ الْهَدْيَ الصَالِحَ، وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ، وَالِاقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةِ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ.

Sesungguhnya jalan hidup yang Shaleh, penampilan yang shaleh, dan hidup ekonomis adalah bagian dari dua puluh lima bagian dari kenabian.

[HR. Ahmad no. 2698 dan Abu Daud no. 4776. Di Hasankan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud no. 4776]

Kedua:Dari Abu Darda, bahwa Nabi Saw bersabda:

"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".

Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya. [HR. Ahmad no. 20706]

Ibnu Katsir berkata: "Akan tetapi, mereka (para penulis kitab Sunan) tidak ada yang mengetengahkannya".

Hadits Dho'if. Syeikh al-Albaani berkata:

ثُمَّ هُوَ مُنْقَطِعٌ لِأَنَّ ضَمَّرَةً لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ كَمَا أَفَادَهُ الذَّهَبِيُّ.

“Kemudian sanadnya terputus karena Dhomroh tidak mendengar dari Abu al-Darda' sebagaimana yang dinyatakan al-Dhahabi tentang dirinya". [Lihat Dha'if al-Jaami' ash-Shaghiir 1/767 no. 5308].

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata:

هَذَا الْحَدِيثُ رُوِيَ مَرْفُوعًا، لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَهُوَ مَوْقُوفٌ مُحْتَمَلٌ لِلتَّحْسِينِ.

“Hadits ini diriwayatkan secara marfu' dari Nabi SAW, akan tetapi lemah. Dan itu mauquf yang mungkin pada derajat Hasan ".

Adapun riwayat mauquf, yaitu:

Dari Salim bin Abi Al-Ja'ad bahwa seorang pria naik ke Abu Al-Darda' - ketika dia berada di kamarnya - dan dia memungut biji yang tercecer, maka Abu ad-Dardaa' berkata:

"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".

Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya.

Ketiga:Dari Abdullah ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"مَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ"

Seseorang yang berlaku ekonomis tidak akan miskin. [HR. Ahmad]

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah no. 26081, ath-Thabrani dalam al-Awsath no. 5251 dan laiinya.

Ibnu Katsir berkata: "Mereka (para penulis kitab Sunan) tidak ada yang mengetengahkan hadis ini".

Dan diriwayatkan pula dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ، وَلَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ، وَلَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ.

Tidak akan gagal orang yang beristikharah, tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah, dan tidak akan miskin orang yang hemat.

HR. Al-Tabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsat (6627), Al-Qudha'i dalam "Musnad Al-Shihab" (774), dan Al-Daylami dalam "Al-Firdaus" (6230). Riwayat ini dianyatakan Palsu oleh syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dhai'iifah no. 611.

Keempat:Dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَا أَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْعِبَادَةِ"

Betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan kaya, dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan faqir. Dan betapa baiknya sikap ekonomis [pertengahan] dalam [hal] Ibadah ". [HR. Abu Bakr Al-Bazzaar dlam Musnadnya البحر الزخار no. 2584].

Di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Muhammad Al Kindi, dia itu Hadits nya Munkar.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui hadis Huzaifah r.a.

Kelima:Dari Sahabat Anas dan lainnya: Bahwa Rosululloh (SAW) bersabda:

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ وثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا

“Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri sendiri.

Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak, hemat dan hidup sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha.”

[HR. al-Bazzar ("Kasyf al-Astār 'an Zawā'id al-Bazzār"1/59 no. 80, al-'Uqaily dalam adh-Dhu'afaa al-Kabiir3/447, Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliyaa 2/343 dan al-Qudho'i dalam Musnad asy-Syihaab 1/214] dan Abu Bakar ad-Dainury al-Maliki dalam al-Mujaalasah 3/256 no. 899.

Abu 'Ubaidah Aali Salman pentahqiq al-Mujaalasah berkata: “Hadits Dhaif Sekali".

Keenam: Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:

"إِنَّ مِنْ أَحَبِّ الْأَمْرِ إِلَى اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - الْقَصْدَ فِي الْغِنَى وَالْعَفْوَ فِي الْمُقَدِّرَةِ."

"Sesungguhnya Orang yang lebih dicintai oleh Allah - Yang Maha Kuasa - adalah hemat saat kaya dan memaafkan meski dia punya kuasa." [مجموع رسائل ابن أبي الدنيا / إصلاح المال (2/99 no. 329) dan ميزان الحكمة / تأليف محمد الريشهري 3/2557].

Ketujuh: Dari Hasan al-Bashri beliau berkata:

"إِنَّ مِنْ عَلَامَةِ الْمُؤْمِنِ: قُوَّةً فِي دِينٍ، وَحِزْمًا فِي لِينٍ، وَإِمَامًا فِي يَقِينٍ، وَحِلْمًا فِي عِلْمٍ وَكِيسًا فِي مَالٍ، وَإِعْطَاءً فِي حَقٍّ، وَقَصْدًا فِي غَنَى، وَتَجَمُّلاً فِي فَاقَةٍ، وَإِحْسَانًا فِي قُدْرَةٍ."

“Di antara ciri-ciri orang beriman adalah kuat dalam agamanya, teguh dalam kelembutan, imam dalam keyakinan, sabar dalam ilmu, pandai dalam mengelola harta, menunaikan hak, hemat ketika kaya, berprilaku indah dalam kemiskinan, berbuat baik meskipun punya kuasa ". [مجموع رسائل ابن أبي الدنيا / إصلاح المال (2/100 no. 335)]

DALIL KE 22: PERINTAH MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK KETURUNAN.

Allah SWT berfirman:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya: “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang tepat [benar]” (Q.S An-Nisa: 9)

Menurut sebagian para ahli tafsir: kata " ذُرِّيَّةً ضِعٰافًا " pada ayat diatas mencakup makna yang luas. Kata “lemah” pada ayat di atas bisa dimaknai lemah dalam sisi aqidah, agama, ekonomi, sosial, keilmuan dan lainnya.

Maka dengan demikian dalam ayat di atas, Allah memerintahkan para orang tua untuk mempersiapkan generasi setelah mereka. Jangan sampai generasi–generasi di bawah mereka menjadi generasi yang lemah.

Lemah di sini seperti yang di sebutkan diatas, maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat tersebut adalah makna yang mutlak dan umum. Baik berkaitan dengan kelemahan aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya

Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh.

Abdul Lathif Al-Khatib dalam Audhah Al-tafasir menyebutkan:

“نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي الْأَوْصِيَاءِ وَالْمَعْنَى: تَذَكَّرْ أَيُّهَا الْوَصِيُّ ذُرِّيَّتَكَ الضَّعَافَ مِنْ بَعْدِكَ؛ وَكَيْفَ يَكُونُ حَالُهُمْ بَعْدَ مَوْتِكَ؛ وَعَامِلِ الْيَتَامَى الَّذِينَ وَكَّلْتَ إِلَيْكَ أَمْرَهُمْ وَتَرَبَّوْا فِي حَجْرِكَ؛ بِمَثَلِ مَا تُرِيدُ أَنْ يُعَامَلَ أَبْنَاءُكَ بَعْدَ فَقْدِكَ".

“Ayat ini diturunkan kepada para pelaksana / pengemban wasiat, dan artinya: Wahai pelaksana wasiat, ingatlah akan anak keturunanmu yang lemah. Dan bagaimana kelak keadaan mereka setelah kematianmu?

Dan perlakukanlah pula para anak yatim yang dititipkan kepadamu. Didiklah mereka dalam asuhanmu. Samakan seperti halnya kamu berkeinginan dalam memperlakukan anak-anak mu setelah kehilanganmu."

Berikut ini ada sebuah hadits yang sangat tegas menganjurkan para orang tua sebelum meninggal untuk MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK.

Nasihat Nabi SAW kepada Sa'ad bin Abi Waqosh (ra):

“إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ ".

“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan AHLI WARISMU dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka.

Sesungguhnya apa saja yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun SATU SUAPAN yang kamu masukkan ke dalam MULUT ISTRIMU.

Dan semoga Allah mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat orang-orang yang lainnya". (HR. Bukhori No. 2537)

Coba perhatikan sabda Beliau SAW: “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka".

DALIL KE 23: [حَجْرُ مَال السَّفِيْه] DILARANG MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH

(Penahanan harta milik orang yang belum cerdas mengelola-nya)

"Hikmah di syariatkannya حَجْرُ المَال [Hajr /Karantina / pengamanan harta]:

Allah Ta'ala memerintahkan untuk menjaga harta benda, dan menjadikan karantina harta Safiih sebagai salah satu cara untuk melindungi mereka yang tidak mampu mengelola kekayaannya dengan baik seperti orang gila, atau mereka yang berpotensi menghamburkan hartanya seperti anak kecil, atau mereka yang cenderung menghamburkan secara sembrono, atau mereka yang berpotensi merugikan hak orang lain seperti orang yang terlilit hutang.

Allah telah memberlakukan karantina [Hajr] sebagai bentuk perlindungan terhadap harta mereka, untuk melindungi kepentingan orang yang dikarantina dengan menjaga harta dan hak-haknya, serta untuk menghindari kerugian bagi orang lain dan melindungi hak-hak mereka.

Ibnu Mundhir berkata:

‌أكْثَرُ ‌عُلمَاءِ ‌الأمْصارِ ‌من ‌أهْلِ ‌الحِجَازِ، ‌والعِرَاقِ، ‌والشَّامِ، ‌ومِصْرَ، ‌يَرَوْنَ ‌الحَجْرَ على كل مُضَيِّعٍ لِمَالِه، صَغِيرًا كان أو كَبِيرًا.

“Sebagian besar ulama dari Hijaz, Irak, Syam, dan Mesir melihat bahwa karantina harta berlaku bagi setiap orang yang ceroboh dalam mengelola hartanya, baik itu jumlahnya sedikit atau banyak". [Lihat: al-Mughni karya Ibnu Quddaamah 6/595].

Jenis-jenis Hajr [Karantina harta]:

Hajr [Karantina harta] terbagi menjadi dua jenis:

Pertama: Karantina untuk melindungi hak pribadi sesesorang, seperti karantina terhadap harta anak yang masih kecil, orang yang ceroboh, orang yang boros, dan orang yang gila, demi menjaga harta mereka.

Kedua: Karantina untuk melindungi hak orang lain, seperti karantina harta terhadap orang yang terlilit hutang demi melindungi kreditor, dan karantina terhadap orang yang sakit parah yang berpotensi meninggal dunia demi melindungi ahli warisnya."

Allah SWT melarang para orang tua, para wali anak yatim dan penguasa menyerahkan harta kepada para safiih (orang-orang yang belum cerdas dalam mengelola harta), merkipun harta tersebut hak milik para safiih tadi. Dan tidak boleh membiarkan orang yang safiih mengelola hartanya, meski sudah berada ditangannya.

Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian syariat Islam dalam menjaga serta melindungi harta umatnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)

Artinya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian yang dijadikan Allah sebagai sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa: 5)

TERUTAMA PARA WALI ANAK YATIM TERHADAP HARTA ANAK YATIM:

Dalam Rangka untuk memelihara harta anak Yatim, maka wali anak yatim di wajibkan berusaha mengembangkan hartanya dan mendidik nya agar anak yatim tsb cerdas dalam mengelola hartanya. Tidak boleh menyerahkan hartanya kecuali setelah anak yatm itu lulus uci coba kemampuan.

Dan Allah SWT melarang atas wali anak yatim yang ekonominya berkecukupun mengambil upah dalam mengembangkan hartanya, kecuali jika walinya itu seorang fakir miskin.

Allah SWT berfirman:

وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)

Dan kalian ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu). (QS. An-Nisaa: 6)

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari Kakeknya bahwa Rosulullah SAW bersabda:

“مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“

Artinya “Ketahuilah, barang siapa yang mengasuh anak yatim yang mempunyai harta, maka gunakanlah hartanya untuk berdagang dan jangan didiamkan saja sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Tirmidzi: 641 dan didha’ifkan oleh Albani dalam Dho’if Tirmidzi)

Akan tetapi makna hadits di atas benar; karena harta anak yatim itu sama dengan harta lainnya, jika sudah sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun maka wajib dizakati, dan jika tidak dikembangkan dan diambil zakat setiap tahunnya, maka akan menyebabkannya berkurang.

Sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:

 اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ.

“Kembangkanlah harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi, beliau berkata: “Sanadnya shahih”)

ANCAMAN BAGI ORANG YANG MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH, MESKIPUN HARTA ITU HAK MILIK SAFIH TSB

Dari Abu Musa al-Asy’ry, bahwa Nabi SAW bersabda:

ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ - عز وجل -: ﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾"[44].

"Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak mengabulkannya untuk mereka. yaitu:

Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya;

Dan seorang lelaki yang mempunyai harta pada seorang lelaki lain (menghutangi) namun dia tidak menghadirkan saksi terhadapnya

Dan seorang lelaki yang memberikan kepada orang yang safiih / سفيه (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) hartanya, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 

﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾

Artinya: “'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian' (An-Nisa: 5).

(HR. Al-Hakim dlm al-Mustadrok No. 3181, ath-Thobari dlm Tafsirnya No. 8544 dan ath-Thoawi dlm “شرح مشكل الآثار” No. 2530. Dishahihkan oleh al-Hakim dan Syeikh al-Albaani dlam “صحيح الجامع” No. 3075. Tpi Menurut imam ad-Dahabi: “Hadits ini Munkar”)


Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir nya:


“ Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum cerdas akalnya melakukan tasarruf (mengendalikan dan mengelola) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.


Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya “. (Selesai)

DALIL KE 24: LARANGAN MENGEMIS DAN MEMINTA-MINTA TANPA DARURAT

Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat

Dari Abu Hurairah (ra) bahwa Rasulullallah (SAW) bersabda:

"والذي نَفْسِي بيَدِهِ، لَأَنْ يَأْخُذَ أحَدُكُمْ حَبْلَه، فيَحْتَطِبَ علَى ظَهْرِه؛ خَيْرٌ له مِن أنْ يَأْتيَ رَجُلًا، فيَسْأَلَه، أعْطاهُ أوْ مَنَعَه".

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh seseorang diantara kalian membawa talinya lalu menggendong kayu bakar di atas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada ia datang kepada seseorang, lalu meminta-minta pada nya, baik orang tersebut memberinya atau menolaknya”. [HR. Bukhori no. 1470].

Dan dari Abu Kabsyah Al-Anmary, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

ثلاثٌ أُقسِمُ عليهِنَّ: - فذكرها ، منها -: ولا فتَحَ رجلٌ على نفسِهِ بابَ مَسألةٍ يَسألُ الناسَ إلا فتَحَ اللهُ عليه بابَ فقْرٍ

"Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya": - Lalu beliau menyebutkannya, yang ketiga adalah -:

“Tidak sekali-kali seorang hamba membuka pintu meminta-minta, di mana ia meminta-minta kepada manusia, kecuali Allah akan membuka baginya pintu kefakiran.”

[HR. Imam Ahmad no. 1674, al-Bazzaar no. 1032 dan Abu Ya'laa no. 849] Di Shahihkan oleh al-Baani dlm Shahih al-Jaami' no. 3025.

Diriwayatkan dari 'A'idh bin 'Amr:

أنَّ رجلًا أتى النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فسألَهُ فأعطاهُ فلمَّا وضعَ رجلَهُ على أسْكُفَّةِ البابِ قالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ لو تعلَمونَ ما في المسألَةِ ما مَشى أحدٌ إلى أحَدٍ يسألُهُ شيئًا

bahwa: seorang pria datang kepada nabi dan memintanya maka beliau SAW memberikannya.

Lalu ketika pria itu meletakkan kakinya di ambang pintu, Rasulullah berkata:

«لَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِي الْمَسْأَلَةِ، مَا مَشَى أَحَدٌ إِلَى أَحَدٍ يَسْأَلُهُ شَيْئًا»

“Seandainya kalian tahu (dosa) yang ada pada (perbuatan) meminta-minta, maka tidak akan ada seorangpun mau berjalan menuju orang yang lain untuk meminta sesuatu darinya.”

HR. An-Nasa'i (5/94) no. (2586), dan kata-katanya miliknya, dan Ibnu Abi 'Aashim dalam ((Al-Aahad wa Al-Matsaani)) (2/328) dengan sedikit perbedaan, dan al-Thabari dalam “Tahdziib al-Atsaar” (1/31) dan kata-katanya juga miliknya.

Sanadnya dishahihkan oleh Ibnu Jarii ath-Thobari dalam Musnad 'Umar 1/31.

Dan di hasankan oleh al-Albaani dlm shahih an-Nasaa'i no. 2585. Namun didha’ifkan oleh Al-Albaniy dalam ad-Dha’iifah (4355) dan Dha’iif al-Jaami’ (4818)

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

((مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِر)) ْ

“Barangsiapa yang kebanyakan meminta-minta harta manusia, maka sesungguhnya dia meminta bara api neraka Jahannam, maka (tinggal pilih) mau mempersedikit atau memperbanyak.” (HR. Muslim no. 1041)

Posting Komentar

0 Komentar