Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
HUKUM MAKAN DAN MINUM DENGAN KONDISI BERDIRI TANPA ADA HAJAT KEBUTUHAN:
Telah ada hadits dari Nabi (SAW) larangan minum dalam kondisi berdiri, diantaranya apa yang diriwayatkan Muslim no. 2024 dan 2025 dari Anas, Abi Said Al-Khudri radhiallahu anhuma:
" أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ ( في لفظ: نَهَى) عَنْ الشُّرْبِ قَائِمًا ".
"Sesungguhnya Nabi (SAW) menghardik (redaksi lain melarang) minum sambil berdiri".
Telah ada hadits lain dari Nabi (SAW) yang menunjukkan diperbolehkan minum sambil berdiri. Diantaranya apa yang diriwayatkan Bukhori, (1637) Muslim, (2027) dari Ibnu Abbas radhillahu anhuma berkata:
" سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ ".
“Saya memberi minum kepada Rasulullah (SAW) dari Zam zam kemudian beliau minum dalam kondisi berdiri.
Dan telah ada amalan para sahabat pada masa Nabi (SAW) yang menunjukkan diperbolehkan makan dan minum sambil berdiri. Yaitu hadits Abdullah bin Umar (ra), dia berkata:
كنَّا نأْكلُ على عَهدِ رسولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ونحنُ نمشى ونشربُ ونحنُ قيامٌ
“Kita dahulu pada zaman Nabi (SAW) makan sementara kita dalam kondisi berjalan dan kita minum sementara kita dalam kondisi berdiri".
[Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1880) dengan lafalnya, juga oleh Ibnu Majah (3301), dan Abdullah bin Ahmad dalam "Zawaid Al-Musnad" (5874).
Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Tirmidz dan Shahih Ibnu Majah ].
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata:
وَرُوِيَ الشُّرْبُ قَائِمًا عَنْ جَمْعٍ مِّنَ الصَّحَابَةِ كَعَلِيٍّ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَغَيْرِهِمْ. وَأَحْسَنَ الطُّرُقُ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ النَّصُوصِ فِي هَذَا الْبَابِ: أَن تَحْمِلَ أَحَادِيثَ النَّهْيِ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ وَمَا وَرَدَ مِن فِعْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِذَلِكَ: فَكَانَ لِبَيَانِ الْجَوَازِ.
Diriwayatkan minum sambil berdiri dari sekelompok shahabat seperti Ali, Umar, Utsman dan Aisyah radhiallahu anhum dan selain mereka.
Yang terbaik menggabungkan di antara nash-nash dalam bab ini adalah menjadikan hadits-hadits larangan itu dimaksudkan makruh tanzih (lebih utama ditinggalkan) sementara yang ada dari prilaku Nabi (SAW) itu menjelaskan diperbolehkan. [Islamqa. Fatwa no. 61208]
Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا أَحْسَنُ الْمَسَالِكِ وَأَسْلَمُهَا ، وَأَبْعَدُهَا مِنَ الِاعْتِرَاضِ. وَقَدْ أَشَارَ الْأَثْرَمُ إِلَى ذَلِكَ أَخِيرًا فَقَالَ: إِنْ ثَبَتَتِ الْكَرَاهَةُ حُمِلَتْ عَلَى الْإِرْشَادِ وَالتَّأْدِيبِ ، لَا عَلَى التَّحْرِيمِ.وَبِذَلِكَ جَزَمَ الطَّبَرِيُّ ، وَأَيَّدَهُ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ جَائِزًا ثُمَّ حَرَّمَهُ ، أَوْ كَانَ حَرَامًا ثُمَّ جَوَّزَهُ لَبَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ بَيَانًا وَاضِحًا ؛ فَلَمَّا تَعَارَضَتِ الْأَخْبَارُ بِذَلِكَ: جَمَعْنَا بَيْنَهَا بِهَذَا.
وَقِيلَ: إِنَّ النَّهْيَ عَنْ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ مَخَافَةَ وُقُوعِ ضَرَرٍ بِهِ ، فَإِنَّ الشُّرْبَ قَاعِدًا أَمْكَنُ وَأَبْعَدُ مِنَ الشَّرَقِ وَحُصُولِ الْوَجَعِ فِي الْكَبِدِ أَوِ الْحَلْقِ ، وَكُلُّ ذَلِكَ قَدْ لَا يَأْمَنُ مِنْهُ مَنْ شَرِبَ قَائِمًا " انتهى
“Ini metode terbaik dan terbagus, serta paling jauh dari bantahan. Hal itu telah diisyaratkan Atsram pada akhirnya seraya mengatakan: “Kalau telah ada ketetapan makruh maka maksudnya itu untuk petunjuk dan adab bukan ke arah yang diharamkan. Hal itu ditegaskan oleh ath-Thobari, dikuatkan kalau dahulu diperbolehkan kemudian diharamkan atau dahulu diharamkan kemudian diperbolehkan. Pasti Nabi (SAW) menjelaskan hal itu dengan penjelasan yang gamblang. Ketika terjadi pertentangan nash-nash yang ada akan hal itu, maka kita gabungkan diantaranya dengan (metode) seperti ini.
Dikatakan: ”Bahwa larangan akan hal itu dari sisi kedokteran dikhawatirkan terkena celaka dengannya. Karena minum sambil duduk itu lebih pas dan lebih jauh dari tersedak [keselek] dan terkena sakit di lambung atau tenggorokan. Semua itu tidak aman kalau minum sambil berdiri.” Selesai dari ‘Fathul Bari, (10/84).
TIDAK HARAM, TAPI ANTARA MAKRUH DAN MUBAH
Tidak ada perbedaan dikalangan ahli ilmu bahwa tidak diharamkan makan sambil berdiri. Yang menjadi perbedaan dikalangan mereka adalah apakah hal itu makruh atau menyalahi yang lebih utama?
-----
PENDAPAT PERTAMA:
Dimakruhkan makan sambil berdiri tanpa ada kebutuhan . Diqiyaskan (dianalogikan) ke hukum minum.
Dikuatkan dengan penutupan hadits Anas (r.a) larangan minum sambil berdiri. Qatadah berkata kepada Anas:
" قَالَ قَتَادَةُ لأنس: فَقُلْنَا فَالْأَكْلُ، فَقَالَ: "ذَاكَ أَشَرُّ أَوْ أَخْبَثُ ".
“Kita katakan, bagaimana dengan makan. Maka beliau menjawab: “Hal itu lebih jelek dan lebih buruk lagi.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
" قيل وَإِنَّمَا جُعِلَ الْأَكْلُ أَشَرَّ لِطُولِ زَمَنِهِ بِالنِّسْبَةِ لِزَمَنِ الشُّرْبِ " انتهى
“Dikatakan bahwa makan (sambil berdiri) itu lebih buruk ; karena membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan waktu minum.” Selesai dari ‘Fathul Bari, (10/82).
Pendapat ini dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyan. Beliau rahimahullah mengatakan:
وَيُكْرَهُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ قَائِمًا لِغَيْرِ حَاجَةٍ " انتَهَى
“Dimakruhkan makan dan minum sambil berdiri tanpa ada keperluan.” Selesai dari ‘Fatawa Kubro, (5/477).
Pendapat ini juga dipilih oleh Syekh Bin Baaz dan Ibnu Utsaimin rahimahumallah. Silahkan melihat ‘Fatawa Bin Baaz, (25/276) dan Syarah Riyadush Sholihin karangan Ibnu Utsaimin.
------
PENDAPAT KEDUA:
Diperbolehkan makan sambil berdiri tidak dimakruhkan.
Ini adalah pendapat yang nampak pada madzhab Hanbali dan ini pendapat Ibnu Hazm Ad-Dhohiri.
Alasanya ; karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan makan (sambil berdiri). Yang makruh itu ada pada minum (saja). Kalau qiyas (analogi) mereka mengatakan:
إنهُ قياسٌ معَ الفَارِقِ بَيْنَ الأكلِ وَالشربِ، وَاحتِمَالِ الضَّرَرِ فِيهِ غَيْرُ ظَاهِرٍ.
“Qiyas dengan adanya perbedaan antara makan dan minum. Sementara kemungkinan ada doror (celaka) itu tidak nampak.
Al-Mardawai rahimahullah mengatakan:
"قَالَ صَاحِبُ الفُرُوعِ: وَظَاهِرُ كَلَامِهِمْ: لَا يُكْرَهُ أَكْلُهُ قَائِمًا. وَيَتَوَجَّهُ أَنَّهُ كَالشُّرْبِ. وَقَالَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ. قُلْتُ: إِنْ قُلْنَا: إِنَّ الكراهَةَ فِي الشُّرْبِ قَائِمًا لِمَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ الضَّرَرِ، وَلَمْ يَحْصُلْ مِثْلُ ذَلِكَ فِي الأكلِ: امتَنَعَ الإِلْحَاقُ".
“Pemilik kitab ‘al-Furuu’ mengatakan, “Yang nampak dari perkataan mereka tidak dimakruhkan makan sambil berdiri. Dan (makruh itu) ditujukan untuk seperti minum. Ini pendapat Syekh Taqiyudin rahimahullah. Saya katakan, “Kalau dikatakan makruh minum sambil berdiri itu karena ada celaka. Hal itu tidak terjadi pada makan. Sehingga tidak bisa diikutkan (qiyaskan dengan minum). [Selesai dari ‘Al-Inshaf, (8/330)].
Sementara yang ada dari Anas: ذَاكَ أَشَرٌّ أَوْ أَخْبَثُ (itu lebih jelek dan lebih buruk lagi) itu mauquf pada Anas (kabar hanya sampai ke Anas saja).
Ibnu Hazm mengatakan:
"وَلَمْ يَأْتِ فِي الأكلِ نَهْيٌ؛ إِلَّا عَنْ أَنَسٍ مِنْ قَوْلِهِ" انتهى
“Tidak ada larangan dalam makan kecuali dari Anas dari perkataannya.” [Selesai dari ‘Al-Muhalla, (6/230)].
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan:
"مَسْأَلَة: هَلْ يُكْرَهُ الأكلُ وَالشُّرْبُ قَائِمًا، وَمَا الْجَوَابُ عَنْ الأحَادِيثِ فِي ذَلِكَ؟
الجوَاب: يُكْرَهُ الشُّرْبُ قَائِمًا مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ، وَلَا يُحَرَّمُ.
وَأَمَّا الأكلُ قَائِمًا فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ: فَجَائِزٌ.
وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ: فَهُوَ خِلافُ الأفْضَلِ. وَلَا يُقَالُ: إِنَّهُ مَكْرُوهٌ.
وَثَبَتَ فِي صَحِيحِ البُخَارِيِّ مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا: أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ، وَهَذَا مُقَدَّمٌ عَلَى مَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّهُ كَرَّهَهُ.
وَأَمَّا الشُّرْبُ قَائِمًا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهُ، وَفِي صَحِيحِ البُخَارِيِّ وَغَيْرِهِ، أَحَادِيثُ صَحِيحَةٌ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَعَلَهُ. فَأَحَادِيثُ النَّهْيِ تَدُلُّ لِكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ، وَأَحَادِيثُ فِعْلِهِ تَدُلُّ لِعَدَمِ التَّحْرِيمِ." انتهى.
“Masalah : Apakah dimakruhkan makan dan minum sambil berdiri. Dan bagaimana jawaban terhadap hadits tentang hal itu?
Maka jawabnya adalah dimakruhkan minum sambil berdiri tanpa ada keperluan dan tidak diharamkan. Semenatara kalau makan sambil berdiri, kalau ada keperluan diperbolehkan. Kalau tidak ada keperluannya maka itu menyalahi yang lebih utama tidak dikatakan hal itu makruh. Telah ada ketetapan dalam Shohih Bukhori dari riwayat Ibnu Umar radhiallahu anhuma : bahwa mereka melakukan hal itu. Dan ini lebih didahulukan dibanding apa yang ada di Shahih Muslim dari Anas bahwa beliau memakruhkannya.
Sementara minum sambil berdiri dalam Shahih Muslim sesungguhnya Nabi (SAW) melarang hal itu. Dan dalam Shahih Bukhori dan lainnya hadits-hadits Shahih bahwa Nabi (SAW) melakukannya. Maka hadits-hadits larangan itu menunjukkan makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan) sementara hadits prilaku beliua menunjukkan tidak diharamkan.” [Selesai dari ‘Fatawa Nawawi, 105].
-----
PERHATIAN:
Perkataan Nawawi rahimahullh dalam hadits Ibnu Umar ‘telah ada ketetapan dalam Bukhori’ begini…. Saya belum menemukannya. Dan belum mengatahui ada orang yang menyebutkan di Bukhori. Cuma ada di Sunan Tirmidzi dan lainnya, di dalamnya masih ada pembahasan panjang.
KESIMPULANNYA:
Permasalahan makan sambil berdiri adalah tempat ijtihad diantara ahli ilmu. Yang lebih utama bagi seseorang agar tidak makan dan tidak minum kecuali dia dalam kondisi duduk.
Kalau dibutuhkan makan atau minum sambil berdiri, maka suatu kebutuhan dapat menghilangkan sesuatu yang makruh. Kalau tidak ada kebutuhan, hendaknya makan dan minum dalam kondisi duduk. Karena ia lebih tenang, lebih enak dan lebih menyehatkan untuk tubuh.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan:
"أَمَّا الشُّرْبُ: وَهُوَ قَائِمٌ فَإِنَّهُ صَحَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ ذَلِكَ، وَسُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنِ الأكلِ، قَالَ: ذَاكَ أَشَرٌّ وَأَخْبَثُ يَعْنِي..: أَنَّهُ إِذَا نَهَى عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا فَالأكلُ قَائِمًا مِنْ بَابِ أَوْلَى.
لَكِنَّ فِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ، قَالَ: كُنَّا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَأْكُلُ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قَائِمٌ.
فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ لَيْسَ لِلتَّحْرِيمِ، وَلَكِنَّهُ لِتَرْكِ الأوَّلَى، بِمَعْنَى أَنَّ الأَحْسَنَ وَالأكْمَلَ أَنْ يَشْرَبَ الإِنْسَانُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَأَنْ يَأْكُلَ وَهُوَ قَاعِدٌ." انتهى
“Kalau minum, sementara dia dalam kondisi berdiri telah ada hadits Shahih dari Nabi (SAW) bahwa beliau melarang hal itu. Anas bin Malik ketika ditanya tentang makan, beliau menjawab, “Itu lebih jelek dan lebih buruk". Maksudnya....: Kalau beliau melarang minum sambil berdiri, maka larangan makan sambil berdiri lebih utama lagi.
Akan tetapi dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dinyatakan shohih berkata:
كُنَّا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَأْكُلُ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قَائِمٌ.
“Kita dahulu pada zaman Nabi (SAW) makan sementara kita dalam kondisi berjalan dan kita minum sementara kita dalam kondisi berdiri".
Hal ini menunjukkan bahwa larangan bukan sesuatu yang haram. Akan tetapi meninggalkan yang lebih utama. Maksudnya yang lebih baik dan lebih sempurna itu seseorang minum dalam kondisi duduk dan makan dalam kondisi duduk".
[Selesai dari ‘Syarkh Riyadus Solihin, hal. 862 dengan penomoran Syamilah].
0 Komentar