KEUTAMAAN SURAT "AL-FATIHAH"
DAN ANJURAN BERTAWASSUL DENGANNYA SAAT BERDOA DAN SAAT ADA HAJAT
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
DAFTAR ISI:
- PENDAHULUAN :
- PERTAMA: AL-FATIHAH ADALAH PEMBUKA AL-QURAN DAN
TERMASUK RUKUN SHALAT
- KEDUA: IA SURAT YANG PALING MULIA YANG TAK
TERGANTIKAN OLEH YANG LAIN
- KETIGA: IA ADALAH AS-SAB'UL MATSAANI (tujuh ayat
yang diulang-ulang)
- KEEMPAT: SURAT AL-FATIHAH MENCAKUP TIGA MACAM TAUHID
- KELIMA: IA MENGANDUNG BANTAHAN PADA AGAMA SESAT
DAN FAHAM SESAT
- KEENAM: AL-FATIHAH ADALAH BACAAN RUQYAH YANG PALING
UTAMA
Hadits ke
1: Dari Abu Sa’id berikut, ia berkata
Hadits ke
2: Dari Abu Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu
Hadits ke
3: Dari Abu Sa'id al-Khudry -radhiyallahu
Hadits ke
4: dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhu
- KETUJUH: SURAT AL-FATIHAH MENGANDUNG OBAT HATI
DAN OBAT BADAN
- PERKATAAN DAN AMALAN PARA ULAMA SALAF
- KEDELAPAN: DI DALAMNYA TERDAPAT ANJURAN
TAWASSUL DENGAN-NYA
Hadits
ke 1: Dari Ibnu Abbas ia berkata
Hadits
ke 2: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
- KESEMBILAN: SURAT AL-FATIHAH ADALAH UNTUK PENGABULAN
DOA
- KESEPULUH: IA ADALAH KUNCI PEMBUKA KEBAIKAN DAN
KEBAHAGIAAN
- KESEBELAS: KEUTAMAAN MEMBACA AL-FATIHAH SETELAH SHALAT JUM'AT .
- KEDUA BELAS: MEMBACA AL-FATIHAH SETELAH SHALAT LIMA
WAKTU DAN SHALAT LAIN-NYA.
- MADZHAB AL-HANAFI
- MADZHAB MALIKI
- MADZHAB ASY-SYAFI'I
- MADZHAB AL-HANBALI
- Dalil-dalil yang Dijadikan Pijakan
- KETIGA BELAS: KEUTAMAAN BACA AL-FATIHAH SAAT PEMAKAMAN
JENAZAH
- KEEMPAT BELAS: DIDALAM AL-FATIHAH TIDAK ADA 7 HURUF [ث ج خ ز ش ظ ف] YANG MENGINDIKASIKAN PELINDUNG DARI API NERAKA
- KELIMA BELAS: MEDAWAMKAN BACA AL-FATIHAH KARENA CINTA,
MAKA KELAK IA AKAN BERSAMANYA
- AMALAN SAHABAT KE 1
- AMALAN SAHABAT KE 2
- MENDAWAMKAN BACAAN TERTENTU SELAIN AL-QURAN
DALAM SHALAT YANG TIDAK ADA CONTOH DARI NABI ﷺ
- PERTAMA: Do’a al-Istiftaah amalan Sahabat
dalam shalat, yang dipuji oleh Nabi ﷺ. Sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma dia berkata
- KEDUA: Do’a al-Istiftaah amalan Sahabat dalam
shalat yang dipuji oleh Nabi ﷺ. Sebagaimana yang
diriwayatkan dari Anas radhiyallahu
‘anhu
- KETIGA: Doa I'tidal amalan Sahabat yang di
puji oleh Nabi ﷺ. Yaitu dari Rifa'ah bin Rafi' Az Zuraqi radhiyallahu ‘anhu
.
- KEEMPAT: Doa dalam Tasyahhud dari
amalan Sahabat yang di taqrir oleh Nabi ﷺ.
- BOLEHKAH BACA AL-QURAN SAAT RUKU DAN SUJUD
DALAM SHALAT
- PERNYATAAN SAHABAT ABU UMAMAH radhiyallahu ‘anhu : TENTANG MENDAWAMKAN
AMAL BAIK YANG TIDAK ADA CONTOH DARI NABI ﷺ
- HATI – HATI JANGAN MUDAH MENGHARAMKAN! DAN
JUGA MENGHALALKAN!
****
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
===*****===
PENDAHULUAN
Surat Al-Fatihah merupakan surah Makkiyah atau surah yang turun di
Makkah sebelum Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah .
Surat ini terdiri dari tujuh ayat, meskipun pendapat mayoritas ulama
Makkah dan Kufah tidak menganggap "Bismillahirrahmanirrahim" sebagai
ayat dari al-Fatihah, melainkan mereka menganggap " Shirothol-ladziina
'an'amta 'Alaihim" salah satu ayat darinya . Sementara pendapat ulama
Madinah, Basrah, dan Syam adalah sebaliknya , yakni berbeda dengan pendapat
yang sebelumnya.
Surat Al-Fatihah memiliki dua puluh lima kata dan seratus dua puluh tiga
huruf.
Surat Al-fatihah mempunyai Keutamaan yang agung dan manfaat yang banyak.
Al-Fatihah disebut istimewa karena merupakan surah pertama dalam Al-Qur'an.
Sementara jika dilihat secara bahasa, kata al-fātihah (الفَاتِحَة) bermakna pembuka. Selain sebagai surat pembuka, surah
Al-Fatihah juga memiliki sejumlah keutamaan, sebagaimana dapat dibaca dalam
sejumlah hadits Nabi Muhammad ﷺ.
Di antara keutamaan-keutamaan dan manfaat-manfaatnya adalah sebagai
berikut:
===***===
PERTAMA: AL-FATIHAH ADALAH PEMBUKA AL-QURAN DAN TERMASUK RUKUN SHALAT
Al-Fatihah dinamakan demikian karena dengan Al-Fatihahlah Al-Quran
dibuka dan Ia adalah Induk al-Kitab.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
“الحمدُ للَّهِ ربِّ العالمينَ
أمُّ القرآنِ، وأمُّ الْكتابِ، والسَّبعُ المثاني ".
“Al-Hamdulillahi Robbil 'aalamiin [al-Fatihah] adalah Ummul Qur'an
[induk Al-Qur'an] dan Ummul Kitaab [induk kitab], dan yang menjadi tujuh
berulang-ulang".
[HR.
Ahmad (9790), Abu Daud no. 1457, Ad-Darimi (3417), dan juga dikeluarkan oleh
Al-Bukhari (4704) dalam bentuk yang serupa. Di shahihkan al-Albaani dalam
shahih Abu Daud no. 1457]
Disebut "Umm al-Kitab" dan "Umm al-Quran", karena ia
adalah inti dari Al-Quran dan inti dari setiap kitab yang pernah diturunkan,
karena mengandung asas-asas ilahi, keimanan kepada hari akhirat, pengakuan
tentang takdir dan ketentuan, kenabian. Atau karena di dalamnya mengandung
esensi dari semua kitab suci langit, dan ini adalah pujian kepada Allah,
keterlibatan dalam pelayanan dan ketaatan, serta hasrat untuk meraih pengalaman
spiritual dan penglihatan, atau karena tujuan dari segala ilmu adalah untuk
mengenali kebesaran Tuhan dan kerendahan diri sebagai hamba-Nya, atau karena ia
adalah salah satu surah terbaik dalam Al-Quran.
Sebagaimana Makkah yang dikenal sebagai "Umm al-Qura" (Ibu
dari Semua Kota), yang merupakan kota yang paling mulia, atau karena ia adalah
akar bagi semua tempat, dari mana kehidupan dimulai.
Dan seperti juga "al-Humma" (demam), disebut "Umm
al-Mildam" karena banyak penyakit dan pendarahan yang terjadi dengannya.
Al-Fatihah adalah pondasi al-Quran: Imam Asy-Sya'bi (wafat thn 100 H)
berkata:
سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: أَسَاسُ الْكُتُبِ الْقُرْآنُ، وَأَسَاسُ
الْقُرْآنِ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَأَسَاسُ الْفَاتِحَةِ "بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"، فَإِذَا اعْتَلَّلْتَ أَوِ اشْتَكَيْتَ فَعَلَيْكَ
بِالْأَسَاسِ تَشْفَى بِإِذْنِ اللَّهِ تَعَالَى.
"Aku mendengar Abdullah bin Abbas berkata: 'Fondasi [dasar] dari
seluruh kitab adalah Al-Quran, dan Fondasi [dasar] dari Al-Quran adalah
pembukaan kitab (Al-Fatihah), dan Fondasi [dasar] dari Al-Fatihah adalah 'بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ', maka jika engkau merasa
tidak enak atau sakit, maka berpeganglah pada Fondasi [dasar] ini, Insya Allah
engkau akan sembuh.'"(Tafsir Al-Qurtubi 1/174).
Begitu pula dalam shalat, al-Fatihah adalah surah al-Quran yang pertama
dibaca sebelum surat lainnya.
Dan perlu dicatat bahwa hukum syar'i dengan jelas menyatakan kewajiban
membaca Surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat wajib dan sunnah. Surat
Al-Fatihah adalah salah satu rukun dalam shalat menurut mayoritas ulama. Selain
itu, hukum syar'i juga memerintahkan untuk membaca Surat Al-Fatihah dalam
shalat jenazah, tapi tidak diperintahkan membaca surat selainnya dari
surat-surat Al-Quran.
Dan semua shalat tidak sah menurut Jumhur kecuali dengan baca
al-Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, no. 756 dan Muslim no. 394
dari 'Ubadah bin Somit radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:
(لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ).
“Tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab
(Al-Fatihah).”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda:
«مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ
يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ» ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ.
”Barang siapa melaksanakan shalat dan di dalam shalat itu ia tidak
membaca Umm Al Quran (Al-Fatihah) maka shalat itu kurang.” Tiga kali. Tidak
sempurna (penjelasan periwayat Hadits). (HR. Muslim: 395, 1/296).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan:
"فِيهِ وُجُوب قِرَاءَة
الْفَاتِحَة وَأَنَّهَا مُتَعَيِّنَة لَا يُجْزِي غَيْرهَا إِلَّا لِعَاجِزٍ
عَنْهَا, وَهَذَا مَذْهَب مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَجُمْهُور الْعُلَمَاء مِنْ
الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدهمْ" انتهى.
“Hadits ini (menunjukkan) wajibnya membaca Al-Fatihah dan itu merupakan
keharusan. Shalat tidak sah kecuali dengan membacanya. Lain halnya, jika orang
tersebut tidak mampu. Ini adalah mazhab Malik, Syafii dan mayoritas para ulama
dari kalangan para shahabat, tabiin dan (generasi) setelahnya."
===***===
KEDUA: IA ADALAH SURAT YANG PALING MULIA YANG TAK TERGANTIKAN OLEH YANG LAIN.
Surat Al-Fatihah adalah surat yang paling utama dan paling mulia dalam
al-Quran, dan ia mengandung semua makna Kitab-kitab yang pernah diturunkan.
(Madaarijus saalikin, 1/95)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepada Ubay bin Ka’b:
أَتُحِبُّ أَنْ
أُعَلِّمَكَ سُورَةً لَمْ يَنْزِلْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا
فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا ؟ قَالَ: نَعَمْ ، يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كَيْفَ تَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ ؟ قَالَ:
فَقَرَأَ أُمَّ الْقُرْآنِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ مَا أُنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي
الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا)
“Apakah engkau suka aku ajarkan kepadamu surat yang belum diturunkan di
Taurat, Injil, Zabur tidak juga dalam Al-Furqan sepertinya?" Dia menjawab,
“Ya. Wahai Rasulullah."
Rasulullah ﷺ bertanya: “Apa yang anda
membaca dalam shalat?" Dia menjawab, “Membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah).”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi jiwaku yang
ada ditangan-Nya. Tidak diturunkan dalam Taurat, Injil, Zabur tidak juga dalam
Al-Furqan (surat) semisalnya.”
(HR. Tirmidzi, no. 2875 dan dishahihkannya. Dan dishahihkan pula oleh
Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)
Keutamaan Surat al-Fatihah tidak tergantikan oleh surat yang lain.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ مِنْ
غَيْرِهَا وَلَيْسَ غَيْرُهَا مِنْهَا عِوَضٌ»
"Ummul Quran (Al-Fatihah) adalah pengganti dari yang lain, dan yang
lainnya tidak bisa menjadi pengganti bagi Al-Fatihah."
Diriwayatkan oleh Ad-Darimi 1/322, Al-Hakim 1/363 nomor 867, dan
Al-Baihaqi dalam "Al-Qira'at" (21) dan dalam kitab
"Al-Khilafiyyat" nomor 2229.
Al-Hakim berkata:
"وَرُوَاةُ هَذَا
الْحَدِيثِ أَكْثَرُهُمْ أَئِمَّةٌ، وَكُلُّهُمْ ثِقَاتٌ عَلَى شَرْطِهِمَا".
"Para perawi hadis ini kebanyakan adalah imam-imam (penghafal
hadis), dan semuanya adalah tepercaya menurut syarat keduanya" (yakni Imam
Bukhari dan Muslim).
===***===
KETIGA: AL-FATIHAH ADALAH AS-SAB'UL MATSAANI
(tujuh ayat yang diulang-ulang).
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
(وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا
مِنْ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ)
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (QS. Al-hijr: 87)
Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 4474 dari Abu Said bin Al-Mualla,
"Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
(لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ
أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ) ثُمَّ
أَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ قُلْتُ لَهُ: أَلَمْ تَقُلْ
لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ ؟ قَالَ:
(الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي ،
وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ).
“Aku akan ajarkan kepadamu suatu surat yang paling agung dalam Al-Qur’an
sebelum engkau keluar dari masjid." Kemudian beliau memegang tanganku.
Ketika ingin keluar (masjid) saya katakan kepada beliau: “Tidakkah
engkau mengatakan kepada saya akan mengajarkan kepadaku surat yang paling agung
dalam Al-Qur’an?"
Beliau menjawab: “Al-Hamdulillahi rabbil’alamin (Al-Fatihah), dia adalah
As-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan Al-Qur’anul Azim yang
diberikannya.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
“اخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتهَا
" مَثَانِي " فَقِيلَ لِأَنَّهَا تُثَنَّى كُلّ رَكْعَة أَيْ تُعَاد ،
وَقِيلَ لِأَنَّهَا يُثْنَى بِهَا عَلَى اللَّه تَعَالَى ، وَقِيلَ لِأَنَّهَا
اُسْتُثْنِيَتْ لِهَذِهِ الْأُمَّة لَمْ تَنْزِل عَلَى مَنْ قَبْلهَا ".
انتهى.
“Ada perbeda dalam maknanya, dikatakan ‘Al-Matsani’ karena diulang pada
setiap rakaat. Ada yang mengatakankarena memuji kepada Allah Ta’ala, atau,
karena dikhususkan untuk umat ini, dimana (tidak diturunkan) pada umat
sebelumnya.’ [Fathul Bari 12/285]
Dalam kitab 'Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Daud 3/391 disebutkan:
وإِنَّمَا قَالَ:
(أَعْظَم سُورَةً) اِعْتِبَارًا بِعَظِيمِ قَدْرِهَا ، وَتَفَرُّدهَا
بِالْخَاصِّيَّةِ الَّتِي لَمْ يُشَارِكْهَا فِيهَا غَيْرُهَا مِنْ السُّوَر،
وَلِاشْتِمَالِهَا عَلَى فَوَائِد وَمَعَانٍ كَثِيرَة ، مَعَ وَجَازَة
أَلْفَاظهَا.
"Adapun sabdanya: 'Al-Fatihah adalah surat yang paling agung;
karena berdasarkan keagungan nilainya, keistimewaannya yang tidak dimiliki oleh
surat-surat lainnya, serta mencakup banyak manfaat dan makna, dengan penggunaan
kata-katanya yang tepat.'"
Al-Khaththabi berkata:
فِي قَوْله "
هِيَ السَّبْع الْمَثَانِي وَالْقُرْآن الْعَظِيم الَّذِي أُوتِيته "
دَلَالَة عَلَى أَنَّ الْفَاتِحَة هِيَ الْقُرْآن الْعَظِيم، كَقَوْلِهِ:
(فَاكِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ) وَقَوْله: (وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ
وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ).
"Dalam sabdanya: 'Ini adalah tujuh ayat yang berulang-ulang,
dan Al-Quran yang agung yang telah diberikan kepadaku,' menunjukkan bahwa
Al-Fatihah adalah Al-Quran yang agung, sebagaimana firman-Nya: 'Buah-buahan
yang berpasangan, pohon kurma dan zaitun.' Dan juga firman-Nya: 'Dan
malaikat-malaikat-Nya, dan rasul-rasul-Nya, dan Jibril, dan Mikail.' [Tafsir
Al-Quran oleh Al-Khaththabidi kutip dari Fath al-Bari - (12 / 285)].
===***===
KEEMPAT: SURAT AL-FATIHAH MENCAKUP TIGA MACAM TAUHID:
Suarat al-Fatihah meskipun pendek, namun surat al-Fatihah ini memuat
tiga macam tauhid, tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah dan tauhid Asma’ was
sifat.
Al-Imam Ibnu al-Qoyyim berkata:
فِي اشْتِمَالِ
هَذِهِ السُّورَةِ عَلَى أَنْوَاعِ التَّوْحِيدِ الثَّلَاثَةِ الَّتِي اتَّفَقَتْ
عَلَيْهَا الرُّسُلُ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ.
التَّوْحِيدُ
نَوْعَانِ: نَوْعٌ فِي الْعِلْمِ وَالِاعْتِقَادِ، وَنَوْعٌ فِي الْإِرَادَةِ
وَالْقَصْدِ، وَيُسَمَّى الْأَوَّلُ: التَّوْحِيدَ الْعِلْمِيَّ، وَالثَّانِي:
التَّوْحِيدَ الْقَصْدِيَّ الْإِرَادِيَّ، لِتَعَلُّقِ الْأَوَّلِ بِالْأَخْبَارِ
وَالْمَعْرِفَةِ، وَالثَّانِي بِالْقَصْدِ وَالْإِرَادَةِ، وَهَذَا الثَّانِي
أَيْضًا نَوْعَانِ: تَوْحِيدٌ فِي الرُّبُوبِيَّةِ، وَتَوْحِيدٌ فِي
الْإِلَهِيَّةِ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ.
فَأَمَّا تَوْحِيدُ
الْعِلْمِ: فَمَدَارُهُ عَلَى إِثْبَاتِ صِفَاتِ الْكَمَالِ، وَعَلَى نَفْيِ
التَّشْبِيهِ وَالْمِثَالِ وَالتَّنْزِيهِ عَنِ الْعُيُوبِ وَالنَّقَائِصِ.
"Dalam
surat ini terdapat tiga bentuk tawhid (peng-esaan Allah) yang telah disepakati
oleh para rasul, semoga rahmat dan salam Allah tercurah atas mereka.
Bentuk pertama dari tawhid ada dalam ilmu dan keyakinan, sementara
bentuk kedua ada dalam niat dan tujuan. Yang pertama disebut sebagai tawhid
ilmi (peng-esaan dalam pengetahuan), sedangkan yang kedua sebagai tawhid qashdi
(peng-esaan dalam tujuan dan niat).
Tawhid ilmi terkait dengan pengakuan dan pengetahuan, sedangkan tawhid
qashdi terkait dengan tujuan dan niat.
Tawhid qashdi juga memiliki dua bentuk, yaitu tawhid dalam rububiyyah
(keesaan dalam kepemilikan) dan tawhid dalam uluhiyyah (peng-esaan dalam
penyembahan).
Tawhid ilmi meliputi pengakuan atas sifat-sifat kesempurnaan Allah dan
menolak segala bentuk penyerupaan, perumpamaan, serta meniadakan segala
kekurangan dan cacat dari-Nya." (Silahkan lihat‘Madirijus salikin, 1/48)
===***===
KELIMA: IA MENGANDUNG BANTAHAN PADA AGAMA SESAT DAN FAHAM SESAT:
Surat Al-Fatihah mengandung bantahan para pemeluk agama-agama yang sesat
dan sekte-sekte sesat. Juga bantahan terhadap ahli bid’ah dan kesesatan pada
umat ini.
Al-Imam Ibnu Qoyyim berkata:
وَهَذَا يُعْلَمُ
بِطَرِيقَيْنِ، مُجْمَلٍ وَمُفَصَّلٍ:
أَمَّا
الْمُجْمَلُ: فَهُوَ أَنَّ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ مُتَضَمِّنٌ مَعْرِفَةَ
الْحَقِّ، وَإِيثَارَهُ، وَتَقْدِيمَهُ عَلَى غَيْرِهِ، وَمَحَبَّتَهُ وَالِانْقِيَادَ
لَهُ، وَالدَّعْوَةَ إِلَيْهِ، وَجِهَادَ أَعْدَائِهِ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ.
وَالْحَقُّ: هُوَ
مَا كَانَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَصْحَابُهُ، وَمَا جَاءَ بِهِ عِلْمًا
وَعَمَلًا فِي بَابِ صِفَاتِ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، وَأَسْمَائِهِ وَتَوْحِيدِهِ،
وَأَمْرِهِ وَنَهْيِهِ، وَوَعْدِهِ وَوَعِيدِهِ، وَفِي حَقَائِقِ الْإِيمَانِ،
الَّتِي هِيَ مَنَازِلُ السَّائِرِينَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، وَكُلُّ ذَلِكَ
مُسَلَّمٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، دُونَ آرَاءِ الرِّجَالِ وَأَوْضَاعِهِمْ
وَأَفْكَارِهِمْ وَاصْطِلَاحَاتِهِمْ
Hal ini dapat diketahui dari dua sisi, secara global dan secara
terperinci.
Adapun secara globalnya adalah bahwa jalan yang lurus (as-sirat
al-mustaqim) meliputi pengenalan terhadap kebenaran, mengutamakan dan
memberikan prioritas kepada-nya, mencintai-nya, tunduk dan patuh kepada-yya,
serta mengajak orang lain kepada-nya. Hal ini juga termasuk berjihad melawan
musuh-musuh-nya sesuai dengan kemampuan yang ada.
Dan Kebenaran itu adalah apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, serta apa yang telah dijelaskan dalam ilmu
dan amal dalam hal sifat-sifat Allah yang Maha Suci, nama-nama-Nya, tauhid-Nya,
perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, serta dalam hal hakikat iman
yang merupakan tingkatan-tingkatan bagi orang-orang yang berjalan menuju Allah
Ta'ala.
Semua itu harus disandarkan pada tuntutnan Rasulullah ﷺ, bukan berdasarkan pendapat-pendapat manusia, status sosial
mereka, pemikiran mereka, atau terminologi mereka." (Madaarijus Saalikiin,
1/81)
===***===
KEENAM: AL-FATIHAH ADALAH BACAAN RUQYAH YANG PALING UTAMA:
Ada banyak riwayat hadits dan atsar, diantaranya adalah sbb:
Hadits ke 1: Dari Abu Sa’id berikut, ia
berkata:
انْطَلَقَ نَفَرٌ
مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ
مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ،
فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ
شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ
نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ،
فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ
لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى
تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ،
فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ
فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ،
قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ
بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ
النَّبِيَّ ﷺ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا،
فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ
أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي
مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
“Sebagian sahabat Nabi ﷺ pergi dalam suatu safar yang
mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta
jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya,
lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah
bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh.
Kemudian sebagian mereka berkata: “Bagaimana kalau kalian mendatangi
orang-orang yang singgahitu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai
sesuatu (untuk menyembuhkan)?”
Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata: “Wahai kafilah!
Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari
sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang
di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?”
Lalu di antara sahabat ada yang berkata: “Ya. Demi Allah, saya bisa
meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu
tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk
kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami.”
Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun
pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca: “Al
Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti
baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.
Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian
sebagian sahabat berkata: “Bagikanlah.” Tetapi sahabat yang meruqyah berkata:
“Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi ﷺ
lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang
Beliau perintahkan kepada kita.”
Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah ﷺ
dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda: “Dari mana kalian tahu,
bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?”
Kemudian Beliau bersabda: “Kalian telah bersikap benar! Bagikanlah dan
sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu.” (HR. Bukhari no. 2276 dan
Muslim no. 2201)
Hadits ke 2: Dari Abu Said Al-Khudri
Radliyallahu ‘Anhu:
“أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ ﷺ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ،
فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ
مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ
نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ
الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ،
فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ
النَّبِيَّ ﷺ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ،
خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ ".
Artinya: “ Bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari
beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para
sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut
disengat binatang berbisa, lalu mereka berkata:
‘Apakah
kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’
Para sahabat pun menjawab:
‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya
(mengobatinya) sampai kalian menjanjikan Ju’al (imbalan) pada kami.’ lalu
mereka pun menjanjikan untuk mereka sekawanan kambing sebagai JU’AL (imbalan),
lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya
lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah tsb, dan
mereka memberikan kambing.
Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, hingga kami
bertanya pada Rasulullah.’
Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah,maka
Beliau ﷺtertawa dan berkata: ‘Tahu kah kamu bahwa itu adalah Ruqyah? Ambillah,
dan berilah bagian untukku’.” (HR Bukhari no. 5295)
Hadits ke 3: Dari Abu Sa'id al-Khudry
-radhiyallahu:
أنَّ رسولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بعَثَ سَريَّةً عليها أبو سَعيدٍ، فمَرَّ بقَريةٍ، فإذا
ملِكُ القَريةِ لَديغٌ، فسَألْناهم طَعامًا فلمْ يُطعِمونا ولم يُنزِلونا، فمَرَّ
بنا رَجُلٌ من أهلِ القَريةِ، فقال: يا مَعشَرَ العَرَبِ، هل منكم أحدٌ يُحسِنُ أنْ
يَرقيَ؟ إنَّ الملِكَ يَموتُ، قال أبو سَعيدٍ: فأتَيتُه فقَرَأْتُ عليه فاتحةَ
الكِتابِ؛ فأفاقَ وبرَأَ، فبعَثَ إلينا بالنُّزُلِ وبعَثَ إلينا بالشَّاءِ،
فأكَلْنا الطَّعامَ أنا وأصحابي، وأبَوْا أنْ يَأكُلوا منَ الغَنَمِ حتى أتَيْنا
رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فأخبَرتُه الخَبرَ، فقال: وما يُدريكَ
أنَّها رُقْيةٌ؟ قُلتُ: يا رسولَ اللهِ، شيءٌ أُلقيَ في رُوعي، قال: فكُلوا،
وأطعِمونا منَ الغَنَمِ.
"Rasulullah ﷺ mengutus pasukan kecil yang
dipimpin oleh Abu Sa'id. Mereka melewati sebuah desa di mana pemimpin desa
adalah seorang yang terkenal bernama Digh. Kami meminta makanan kepada mereka,
namun mereka tidak memberi kami makan dan tidak mengizinkan kami bermalam di
sana. Kemudian, datanglah seseorang dari penduduk desa itu dan berkata:
'Hai
orang-orang Arab, apakah di antara kalian ada yang pandai meruqyah (mengobati
dengan bacaan mantera)? Raja kami sedang sakit.'
Abu Sa'id berkata: 'Saya pun datang kepada orang itu, kemudian
membacakan Al-Fatihah untuknya. Dia pun sadar dan sembuh.'
Kemudian, orang tersebut mengirim makanan dan minuman kepada kami. Kami
makan bersama teman-teman saya, namun kami menolak makan daging domba mereka
hingga kami datang ke Rasulullah ﷺ
untuk menanyakan boleh daqn tidaknya. Aku memberitahu beliau tentang peristiwa
tersebut.
Rasulullah ﷺ berkata: 'Bagaimana kamu tahu
bahwa itu adalah ruqyah?'
Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, ada sesuatu yang terbesit dalam jiwaku.'
Beliau bersabda: 'Makanlah dan berikanlah kami sebagian dari domba itu.'
[HR. al-Darimi no. 3037. Di sahaihkan oleh Syu'aib al-Arna'ut dalam
(Takhrij Sunan al-Darimi, no. 3037]
Makna:« أُلْقِيَ في
رُوْعِي
»:
“أي: فِراسةٌ وإلهامٌ مِن اللهِ
تعالَى، وعَمِلْتُ بمُقتضاهُ، وهذا تَوفيقٌ مِن اللهِ تعالَى ".
"Artinya: Firasat dan ilham dari Allah Yang Maha Tinggi, dan aku
bertindak sesuai dengannya. Dan ini adalah taufiq dari Allah Yang Maha
Tinggi."
Hadits ke 4: dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ نَفَرًا مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ
فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ
إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ
فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى
أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا
حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ
اللَّهِ أَجْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Bahwa beberapa sahabat Nabi ﷺ
melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa,
lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang
dan berkata;
"Adakah
di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat
sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa."
Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan
al fatihah dengan upah seekor kambing.
Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa
kambing itu kepada teman-temannya.
Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata;
"Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di
Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas
kitabullah."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya
upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan)
kitabullah."
Hadits ke 5: Dari Khorijah ibnu ash-Sholt, dari pamannya –yaitu: ‘Alaqoh bin
Shuhar radhiyallahu ‘anhu :
« أَنَّهُ مَرَّ بِقَوْمٍ
فَأَتَوْهُ فَقَالُوا: إِنَّكَ جِئْتَ مِنْ عِنْدِ هَذَا الرَّجُلِ بِخَيْرٍ،
فَارِقْ لَنَا هَذَا الرَّجُلَ، فَأَتَوْهُ بِرَجُلٍ مُعْتَوِهٍ فِي الْقِيُودِ،
فَرَقَّاهُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ غَدَوَةً وَعَشِيًّا،
وَكُلَّمَا خَتَمَهَا جَمَعَ بَصَاقَهُ ثُمَّ تَفَلَّ، فَكَأَنَّمَا أَنْشَطَ مِنْ
عُقَالٍ (أَيْ حَلَّ مِنْ وَثَاقٍ). فَأَعْطَوْهُ شَيْئًا فَأَتَى
النَّبِيُّ ﷺ، فَذَكَرَهُ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "كُلْ،
فَلَعَمْرِي لَمَنْ أَكَلَ بَرِقِيَّةً بَاطِلَ لَقَدْ أَكَلْتَ بَرِقِيَّةً
حَقًّا".
“Bahwasanya beliau melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau
seraya berkata:
“Engkau
datang dengan kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi ﷺ),
maka ruqyahlah untuk kami orang ini,” lalu mereka mendatangkan orang yang gila
yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an selama
tiga hari pagi dan sore.
Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah
beliau lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila
tadi terbebas dari ikatan.
Maka mereka memberi beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi ﷺ, seraya menceritakan hal itu.
Maka beliau ﷺ bersabda: “Makanlah
pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan
sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (HR. Abu Dawud
(3420)/shohih)).
Mulla Ali Al Qoriy رحمه الله berkata:
“Dalam sabda beliau: “ada orang memakan dengan ruqyah yang batil”
itu sebagai jawaban sumpah.
Yaitu: “Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil,
seperti menyebut bintang-bintang dan minta tolong pada jin.
Adapun sabdanya “dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar”
yaitu: dengan menyebut nama Allah ta’ala dan firman-Nya. Dan hanyalah
beliau bersumpah dengan umur beliau karena Allah ta’ala bersumpah dengan itu
sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿ لَعَمْرُكَ اِنَّهُمْ لَفِيْ
سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ﴾.
“(Allah berfirman), “Demi umurmu (Muhammad), sungguh, mereka
terombang-ambing dalam kemabukan (kesesatan) yang sangat.”[QS. al-Hijr: 72].
===***===
KETUJUH: SURAT AL-FATIHAH MENGANDUNG OBAT HATI DAN OBAT BADAN:
Dari Jabir bin Abdullah yang meriwayatkan:
“أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - ﷺ -
قَالَ لَهُ: "أَلا أُخْبِرُكَ بِأَخِيرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ؟".
قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "فَاتِحَةُ الْكِتَابِ".
وَأَحْسَبُهُ قَالَ: "فِيهَا شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ".
Bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepadanya:
"Maukah, aku kabarkan padamu surat terakhir dalam Al-Quran?" Aku
berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Al-Fatihah." Dan aku
mengira bahwa beliau berkata: "Di dalamnya terdapat penyembuh dari setiap
penyakit."
[Al-Bayhaqi
meriwayatkannya dalam "Syu'ab al-Iman" 2/449 (2367)]. Sanad
(rantai perawi) dari hadis ini jayyid [baik]". Sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Suyuti dalam "Al-Durr al-Mantsur" 1/22.
Dan Ats-Tsa'labi dalam Tafsirnya 2/502 meriwayatkan dengan sanadnya dari
Abu Sulaiman, berkata:
“مَرَّ أَصْحَابُ النَّبِيِّ - ﷺ
- فِي بَعْضِ غَزْوِهِمْ عَلَى رَجُلٍ قَدْ صُرِعَ، فَقَرَأَ بَعْضُهُمْ فِي
أُذُنِهِ بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَبَرِئَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -:
"هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ شِفَاءٌ مِن كُلِّ دَاءٍ".
Para sahabat Nabi ﷺ melewati seorang pria yang
menderita sawan dalam salah satu ekspedisi perang mereka. Lalu salah seorang
dari mereka membaca surah "Umm al-Kitab" (Surah Al-Fatihah) di
telinganya. Kemudian pria tersebut sembuh dari keadaan sakit sawan-nya. Rasulullah
ﷺ berkata: "Ini adalah Umm al-Kitab (Ibu Al-Quran), dan dia
adalah penyembuh dari setiap penyakit."
Muhaqqiq al-Kitab berkata:
فِي إِسْنَادِهِ
شَيْخُ الْمُصْنَفِ، لَمْ يُذْكَرْ بِجَرْحٍ أَوْ تَعْدِيلٍ وَشَيْخُ شَيْخِهِ
لَمْ أَجِدْهُ.
“Dalam sanadnya, syaikh yang meriwayatkan dalam kitab ini tidak
disebutkan adanya jarh [cacat] atau Ta'diil [pujian] terhadapnya, dan syaikh
dari syaikhnya juga tidak ditemukan".
[Kumpulan
risalah Magister. Cet. Dar at-Tafsir – Jeddah – KSA. Cet. ke1 thn. 2015].
Takhrij (penelusuran sanad):
Al-Suyuti menyebutkan dalam "Al-Durr al-Mantsur" 1/23 dan
menisbatkannya kepada al-Tsa'labi saja. Dan al-Darimi meriwayatkannya dalam
"Sunan"nya (3413) dalam kitab Fadha'il al-Quran, bab keutamaan
Al-Fatihah, serta al-Bayhaqi dalam "Syu'ab al-Iman" 2/450 (2370) dari
jalur Sufyan, dari Abdullah bin Amr, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda tentang Al-Fatihah:
شِفَاءٌ مِن كُلِّ
دَاءٍ
"Ini adalah penyembuh dari setiap penyakit".
Al-Bayhaqi berkata tentangnya: terputus (dha'if).
Al-Suyuti juga menyebutkannya dalam "Al-Durr al-Mantsur"
1/22-23 dan menisbatkannya kepada al-Darimi dan al-Bayhaqi dalam "Syu'ab
al-Iman". Beliau mengatakan:
بِسَندٍ رجَالُه
ثِقَاتٌ
Dengan sanad yang para perawinya tsiqah (tepercaya)
Dan baginya terdapat saksi hadits lain yang disebutkan sesudahnya.
Ibnu Qoyyim rahimahulah berkata:
فَأَمَّا
اشْتِمَالُهَا عَلَى شِفَاءِ الْقُلُوبِ: فَإِنَّهَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَتَمَّ
اشْتِمَالٍ، فَإِنَّ مَدَارَ اعْتِلَالِ الْقُلُوبِ وَأَسْقَامِهَا عَلَى
أَصْلَيْنِ: فَسَادِ الْعِلْمِ، وَفَسَادِ الْقَصْدِ.
وَيَتَرَتَّبُ
عَلَيْهِمَا دَاءَانِ قَاتِلَانِ، وَهُمَا الضَّلَالُ وَالْغَضَبُ، فَالضَّلَالُ
نَتِيجَةُ فَسَادِ الْعِلْمِ، وَالْغَضَبُ نَتِيجَةُ فَسَادِ الْقَصْدِ، وَهَذَانَ
الْمَرَضَانِ هُمَا مِلَاكُ أَمْرَاضِ الْقُلُوبِ جَمِيعِهَا، فَهِدَايَةُ
الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ تَتَضَمَّنُ الشِّفَاءَ مِنْ مَرَضِ الضَّلَالِ،
وَلِذَلِكَ كَانَ سُؤَالُ هَذِهِ الْهِدَايَةِ أَفْرَضَ دُعَاءٍ عَلَى كُلِّ
عَبْدٍ، وَأَوْجَبَهُ عَلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فِي كُلِّ صَلَاةٍ،
لِشِدَّةِ ضَرُورَتِهِ وَفَاقَتِهِ إِلَى الْهِدَايَةِ الْمَطْلُوبَةِ، وَلَا
يَقُومُ غَيْرُ هَذَا السُّؤَالِ مَقَامَهُ.
وَالتَّحَقُّقُ بِ
[إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ] [الفاتحة: 5] عِلْمًا وَمَعْرِفَةً،
وَعَمَلًا وَحَالًا يَتَضَمَّنُ الشِّفَاءَ مِنْ مَرَضِ فَسَادِ الْقَلْبِ
وَالْقَصْدِ.
“Adapun
terkait obat bagi hati, maka sungguh surat ini memiliki kandungan tersebut.
Karena penyakit hati berkisar pada dua sumber.
Rusaknya ilmu dan rusaknya niat yang berdampak pada dua penyakit
mematikan yaitu kesesatan dan kemarahan.
Kesesatan adalah dampak dari rusaknya ilmu. Sementara kemarahan adalah
dampak dari rusaknya niat. Keduanya termasuk unsur pokok semua penyakit hati.
Petunjuk ke jalan yang lurus mengandung obat dari penyakit kesesatan.
Oleh karena itu, permohonan petunjuk termasuk doa wajib bagi setiap hamba dan
harus dilakukan setiap hari pada setiap shalat.
Karena kebutuhan terhadap hidayah yang diinginkan sangat urgen sekali
dan tidak dapat digantikan posisinya oleh permintaan yang lain, sehingga
realisasi dari ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan’ termasuk ilmu, pengetahuan, amal dan berbagai keadaan yang
mengandung obat dari penyakit kerusakan hati dan niat. [Baca: ‘Madirijus
salikin, 1/76)
Lalu Ibnu Qoyyim berkata:
وَأَمَّا
تَضَمُّنُهَا لِشِفَاءِ الْأَبْدَانِ فَنَذْكُرُ مِنْهُ مَا جَاءَتْ بِهِ
السُّنَّةُ، وَمَا شَهِدَتْ بِهِ قَوَاعِدُ الطِّبِّ، وَدَلَّتْ عَلَيْهِ
التَّجْرِبَةُ.
فَأَمَّا مَا
دَلَّتْ عَلَيْهِ السُّنَّةُ: فَفِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ
النَّاجِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ «أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ ﷺ مَرُّوا بِحَيٍّ مِنَ الْعَرَبِ، فَلَمْ يُقْرُوهُمْ، وَلِمَ
يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ الْحَيِّ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: هَلْ
عِنْدَكُمْ مِنْ رُقْيَةٍ، أَوَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّكُمْ
لَمْ تُقِرُّونَا، فَلَا نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا
لَهُمْ عَلَى ذَلِكَ قَطِيعًا مِنَ الْغَنَمِ، فَجَعَلَ رَجُلٌ مِنَّا يَقْرَأُ
عَلَيْهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَقَامَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ قَلْبَةٌ،
فَقُلْنَا: لَا تَعْجَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ ﷺ، فَأَتَيْنَاهُ،
فَذَكَرْنَا لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: مَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ وَلَمْ
يَذْكُرْ نَهْيًا مِنْهُ وَقَالَ كُلُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ »
Adapun bahwa surat ini mengandung obat bagi fisik, kami sebutkan apa
yang ada dalam sunnah. Dan sesuai dengan kaidah kedokteran dan yang telah
dibuktikan.
Dalam sunah, terdapat dalam hadits shahih dari Abu Mutawakil An-Naji
dari Abu Said Al-Khuri:
Bahwasanya Sekelompok orang dari sahabat Nabi ﷺ
melewati suatu daerah di tanah Arab, namun mereka tidak menjamunya. Kemudian
pemimpin daerah tersebut terkena sakit, sehingga mereka mendatangi kami seraya
bertanya: "Apakah kalian mempunyai obat?"
Kami menjawab: "Ya. Akan tetapi kalian tidak memberikan jamuan
untuk kami dan tidak pula menerima kami layaknya seorang tamu. Kami tidak akan
memberikannya hingga kalian memberikan jamuan untuk kami." Lalu merekan
pun memberikan jamuan sepotong daging kambing.
Dan salah seorang dari kami membacakan surat Al Fatihah dan tuan mereka
pun sembuh seketika.
Ketika kami menemui Rasulullah ﷺ,
kami pun menuturkan hal itu, lalu beliau bersabda: "Siapa yang memberitahu
kalian bahwa itu adalah ruqyah?" Saat itu beliau tidak menyebutkan kalimat
larangan. Dan beliau bersabda: "Makanlah daging itu, dan berikanlah satu
bagian untukku." [HR. Bukhari No.4623 dan Muslim No.4081]
Lalu Ibnu Qoyyim berkata:
“فَقَدْ تَضَمَّنَ هَذَا
الْحَدِيثُ حُصُولَ شِفَاءِ هَذَا اللَّدِيغِ بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ عَلَيْهِ،
فَأَغْنَتْهُ عَنِ الدَّوَاءِ، وَرُبَّمَا بَلَغَتْ مِنْ شِفَائِهِ مَا لَمْ
يَبْلُغْهُ الدَّوَاءُ. هَذَا مَعَ كَوْنِ الْمَحَلِّ غَيْرَ قَابِلٍ، إِمَّا
لِكَوْنِ هَؤُلَاءِ الْحَيِّ غَيْرَ مُسْلِمِينَ، أَوْ أَهْلَ بُخْلٍ وَلُؤْمٍ،
فَكَيْفَ إِذَا كَانَ الْمَحَلُّ قَابِلًا ".
“Hadits ini menunjukkan bahwa bacaan surat Al-Fatihah mengandung
kesembuhan dari sengatan binatang, maka cukup dengannya sebagai obat, bahkan
bisa jadi kesembuhannya melebihi obat-obatan lainnya. Padahal penduduk di
tempat (yang dibacakannya Al-Fatihah) bukan orang-orang yang dapat menerima,
mungkin karena penduduk setempat non muslim atau penduduknya kikir dan sering
mencela. Bagaimana halnya jika di daerah yang penduduknya dapat
menerima?". (Madarijus salikin, 1/78-79)
Kemudian beliau menambahkan:
فَإِنَّهُ كَانَ يَعْرِضُ
لِي آلَامٌ مُزْعِجَةٌ، بِحَيْثُ تَكَادُ تَقْطَعُ الْحَرَكَةَ مِنِّي،
وَذَلِكَ فِي أَثْنَاءِ الطَّوَافِ وَغَيْرِهِ، فَأُبَادِرُ إِلَى قِرَاءَةِ
الْفَاتِحَةِ، وَأَمْسَحُ بِهَا عَلَى مَحَلِّ الْأَلَمِ فَكَأَنَّهُ حَصَاةٌ
تَسْقُطُ، جَرَّبْتُ ذَلِكَ مِرَارًا عَدِيدَةً، وَكُنْتُ آخُذُ قَدَحًا مِنْ
مَاءِ زَمْزَمٍ فَأَقْرَأُ عَلَيْهِ الْفَاتِحَةَ مِرَارًا، فَأَشْرَبُهُ فَأَجِدُ
بِهِ مِنَ النَّفْعِ وَالْقُوَّةِ مَا لَمْ أَعْهَدْ مِثْلَهُ فِي الدَّوَاءِ،
وَالْأَمْرُ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ، وَلَكِنْ بِحَسَبِ قُوَّةِ الْإِيمَانِ،
وَصِحَّةِ الْيَقِينِ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
“Pernah terjadi pada diriku sakit yang mengganggu, hampir saja aku tidak
dapat bergerak. Hal itu terjadi saat thawaf dan di tempat lain. Lalu aku segera
bacakan Al-Fatihah dan aku usap di tempat yang sakit, maka bagaikan (ada) batu
yang jatuh (sembuh).
Hal itu telah aku praktekkan berulang-ulang. Aku juga mengambil segelas
air zam zam, lalu aku bacakan Al-Fatihah berkali-kali kemudian aku minum. Aku
merasakan manfaat dan kekuatan yang tidak aku dapatkan seperti itu pada obat
lainnya.
Dan perkara ini adalah lebih besar dari itu semua, namun itu tergantung
pada kekuatan iman dan kekuatan keyakinan. Dan Allah adalah Penolong yang
sebaik-baiknya." (Madarijus salikin, 1/80)
*****
PERKATAAN DAN AMALAN PARA ULAMA SALAF:
"al-'Allaamah Ibnu Hajar al-Haitsami, dalam kitab "Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra" (4/29, Cet. Maktabah al-Islamiyah), menyebutkan:
أَنَّهُ
يَسْتَحِبُّ قِرَاءَةَ الفَاتِحَةِ عِنْدَ وُقُوعِ الطَّاعُونِ؛ لِأَنَّهَا
شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ.
"Bahwasanya dianjurkan untuk membaca Al-Fatihah ketika wabah
penyakit menyebar, karena Al-Fatihah adalah penyembuh dari segala penyakit.
Hal yang sama juga dianjurkan oleh para pengikut mazhab Hanbali. Imam
Ahmad bin Hanbal biasa menggunakan penulisan Al-Fatihah dalam tamimah
syar'iyyah. Ibnu Muflih al-Hanbali dalam kitab "Al-Adab al-Syariyyah"
(2/455-456, Cet. Alam al-Kutub) menyebutkan:
"قَالَ المُرُّوذِيُّ:
شَكَتِ امْرَأَةٌ إِلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهَا مُسْتَوْحَشَّةٌ فِي بَيْتٍ
وَحْدَهَا، فَكَتَبَ لَهَا رَقِيعَةً بِخَطِّهِ: بِسْمِ اللهِ، وَفَاتِحَةِ
الكِتَابِ، وَالمَعُوذَتَيْنِ، وَآيَةِ الكُرْسِيِّ.
وَقَالَ كَتَبَ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مِنْ الْحُمَّى بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ بِسْمِ
اللَّهِ وَبِاَللَّهِ وَمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ. [ يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا
وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ] [الأنبياء: 69] [وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا
فَجَعَلْنَاهُمُ الأَخْسَرِينَ] [الأنبياء: 70] اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ
وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ اشْفِ صَاحِبَ هَذَا الْكِتَابِ بِحَوْلِكَ
وَقُوَّتِكَ وَجَبَرُوتِكَ إلَهَ الْحَقِّ آمِينَ.
وَرَوَى أَحْمَدُ
أَنَّ يُونُسَ بْنَ حَبَّابٍ كَانَ يَكْتُبُ هَذَا مِنْ حُمَّى الرِّبْعِ قَالَ
أَحْمَدُ فِي رِوَايَة مِنْهَا فِي الرَّجُلِ يَكْتُبُ الْقُرْآنَ فِي إنَاءٍ
ثُمَّ يَسْقِيهِ لِلْمَرِيضِ قَالَ لَا بَأْسَ قَالَ مِنْهَا قُلْت لَهُ
فَيَغْتَسِلُ بِهِ قَالَ مَا سَمِعْتُ فِيهِ بِشَيْءٍ.
قَالَ الْخَلَّالُ
إنَّمَا كُرِهَ الْغُسْلُ بِهِ لِأَنَّ الْعَادَةَ أَنَّ مَاءَ الْغُسْلِ يَجْرِي
فِي الْبَلَالِيعِ وَالْحُشُوشِ فَوَجَبَ أَنْ يُنَزَّهَ مَاءُ الْقُرْآنِ مِنْ
ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شُرْبُهُ لِمَا فِيهِ مِنْ الِاسْتِشْفَاءِ" آهـ.
'Al-Marwadzi
berkata: Seorang wanita mengeluh kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad bin Hanbal)
bahwa ia merasa takut sendirian di rumahnya. Maka Imam Ahmad menulis untuknya
pada papan kecil dengan ditulis: "Bismillah, dan Al-Fatihah, dan
al-Mu'awadzataan, serta Ayat al-Kursi".
Dan dia berkata: Abu Abdullah menulis untuk pengobatan demam:
“بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ بِسْمِ اللَّهِ وَبِاَللَّهِ وَمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ. [ يَا
نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ] [الأنبياء: 69] [وَأَرَادُوا
بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الأَخْسَرِينَ] [الأنبياء: 70] اللَّهُمَّ رَبَّ
جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ اشْفِ صَاحِبَ هَذَا الْكِتَابِ
بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ وَجَبَرُوتِكَ إلَهَ الْحَقِّ آمِينَ.
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dengan menyebut nama Allah, dengan Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.
'Wahai api, jadilah engkau dingin dan aman bagi Ibrahim.' [Al-Anbiya: 69] 'Dan
mereka berusaha melancarkan tipu daya tetapi Kami jadikan mereka yang merugi.'
[Al-Anbiya: 70] Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, sembuhkanlah
pemilik tulisan ini dengan kehendak-Mu, kekuatan-Mu, dan kekuasaan-Mu, wahai
Tuhan Yang Maha Benar. Amin."
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Yunus bin Habib biasa menulis ini untuk
Demam ar-Rabi'. Ahmad berkata dalam salah satu riwayat dari Yunus: Tentang
masalah seorang yang menulis Al-Quran dalam bejana, lalu memberikan air itu
untuk diminum kepada orang sakit, dia berkata, 'Tidak masalah.'
Dia (Yunus) berkata: 'Apakah dia (orang sakit) harus mandi dengannya?'
Dia berkata: 'Aku tidak mendengar apapun tentang hal itu.'"
Al-Khallal mengatakan: "Hanya dilarang mandi dengannya karena
kebiasaan bahwa air mandi mengalir pada solokan-solokan dan comberan. Oleh
karena itu, air dari Quran harus dijauhkan dari itu. Tidak dilarang untuk
meminumnya karena mengandung manfaat penyembuhan."
===***===
KEDELAPAN: DI DALAMNYA TERDAPAT ANJURAN TAWASSUL DENGAN-NYA:
Dalam surat al-Fatihah terdapat Anjuran bertawassul dengan membacanya
saat berdoa atau ketika ada hajat agar terpenuhi.
Hadits ke 1: Dari Ibnu Abbas ia
berkata:
بيْنَما جِبْرِيلُ
قَاعِدٌ عِنْدَ النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِن
فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقالَ: هذا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليومَ
لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إلَّا اليَومَ، فَنَزَلَ منه مَلَكٌ، فَقالَ: هذا مَلَكٌ
نَزَلَ إلى الأرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إلَّا اليَومَ، فَسَلَّمَ، وَقالَ:
أَبْشِرْ بنُورَيْنِ أُوتِيتَهُما لَمْ يُؤْتَهُما نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ
الكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ البَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بحَرْفٍ منهما إلَّا
أُعْطِيتَهُ.
”Sewaktu Jibril duduk bersama Rasulullah ﷺ
ia (Jibril) mendengar suara (seperti terbukanya pintu), maka ia pun
menengadahkan kepalanya, lantas berkata:
”Ini
adalah pintu langit dibuka hari ini, ia tidak pernah dibuka sama sekali,
kecuali hari ini.” Lantas turunlah dari pintu itu malaikat.”
Jibril berkata: ”Malaikat ini tidak pernah turun kecuali hari ini.”
Lantas ia malaikat itu pun berkata: ”Aku memberi kabar gembira dengan
dua cahaya yang diberikan kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang
nabi pun sebelum engkau, Fatihah Al Kitab dan penutup surat Al Baqarah. Engkau
tidak akan membaca satu huruf pun dari keduanya, kecuali engkau diberinya.”
(HR. Muslim no. 806).
Hadits ke 2: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
“أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
خَرَجَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَا أُبَيُّ وَهُوَ
يُصَلِّي فَالْتَفَتَ أُبَيٌّ وَلَمْ يُجِبْهُ وَصَلَّى أُبَيٌّ فَخَفَّفَ ثُمَّ
انْصَرَفَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ مَا مَنَعَكَ يَا
أُبَيُّ أَنْ تُجِيبَنِي إِذْ دَعَوْتُكَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
كُنْتُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَمْ تَجِدْ فِيمَا أَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ أَنْ
[ اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ] قَالَ
بَلَى وَلَا أَعُودُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ أَتُحِبُّ أَنْ أُعَلِّمَكَ سُورَةً
لَمْ يَنْزِلْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ
وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا قَالَ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ كَيْفَ تَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ فَقَرَأَ أُمَّ الْقُرْآنِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أُنْزِلَتْ فِي
التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ
مِثْلُهَا وَإِنَّهَا سَبْعٌ مِنْ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي
أُعْطِيتُهُ".
Bahwa Rasulullah ﷺ pergi menemui Ubay bin Ka'ab,
maka Rasulullah ﷺ memanggil: "Hai
Ubay!"
Sementara dirinya tengah mengerjakan shalat, ia menoleh namun tidak
menjawab beliau, dan Ubai tetap melanjutkan shalatnya, ia lalu mempercepat
shalatnya dan langsung menghampiri Rasulullah ﷺ,
Ubay mengucapkan; "ASSALAAMU'ALAIKUM, wahai Rasulullah."
Rasulullah ﷺ menjawab: "WA
'ALAIKASSALAAM, apa yang menghalangimu, wahai Ubay untuk menjawabku saat aku
memanggilmu?"
Ubay menjawab; "Wahai Rasulullah, aku tadi sedang mengerjakan
shalat".
Beliau bertanya: "Apa kau tidak menemukan di antara yang diwahyukan
Allah kepadaku agar kalian memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya bila menyeru
kalian untuk sesuatu yang menghidupkan kalian?"
Ubay menjawab: "Benar, aku tidak akan mengulangi, insya
Allah."
Beliau bersabda: "Maukah aku ajarkan kepadamu satu surat yang tidak
diturunkan di Taurat, Injil dan Zabur, dan dalam al-Qur`an juga tidak ada yang
sepertinya?"
Ubay menjawab: "Tentu, wahai Rasulullah."
Rasulullah ﷺ bersabda: "Bagaimana
kamu membaca saat shalat?" Perawi berkata; "Maka Ubay membaca ummul
al-Qur`an (Al Fatehah).
Rasulullah ﷺ bersabda: "Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah diturunkan di Taurat, Injil, Zabur
dan dalam al-Qur`an seperti itu, sesungguhnya ia adalah tujuh (ayat) yang
diulang-ulang dan al-Qur`an yang agung yang diberikan padaku."
[HR. At-Tirmidzi (2875), dan An-Nasa'i dalam ((As-Sunan Al-Kubra))
(11205), dan Ahmad (9345) dengan sedikit perbedaan, serta At-Tabari dalam
((Tafsir)) (17/139) ".
Abu Isa berkata: "Hadits ini hasan shahih. Dalam hal ini, ada
hadits serupa dari Anas bin Malik dan Abu Sa'id bin Al Mu'alla". Dan di
shahihkan oleh ath-Thabari dalam tafsirnya.
Hadits ke 3: Dari Abu Hurairah ra dari
Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ
يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ» ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ.
فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ:
«اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ»؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: ” قَالَ
اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ،
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: [الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ]. قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:
[الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ]. قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي،
وَإِذَا قَالَ: [مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ]، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ
مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: [إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ]. قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ،
فَإِذَا قَالَ: [اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ]. قَالَ: هَذَا
لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
”Barang siapa melaksanakan shalat dan di dalam shalat itu ia tidak
membaca Umm Al Quran (Al-Fatihah) maka shalat itu kurang.” Tiga kali. Tidak
sempurna (penjelasan periwayat Hadits).
Maka dikatakan kepada Abu Hurairah: ”Sesungguhnya kami berada di
belakang imam.”
Maka Abu Hurairah pun berkata: ”Bacalah Al Fatihah dalam dirimu,
sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
”Allah Ta’ala berfirman:’Aku telah membagi shalat antara Aku dengan
hamba-Ku dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Jika ia berkata: [الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ],
maka Allah berfirman, ”Telah memujiku, hambaku.”
Dan jika ia berkata: [الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ],
Allah Ta’ala berfirman, ”Telah memuji-Ku hamba-Ku.
Jika ia berkata: [مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ],
Allah Ta’ala berfirman,”Telah mengagungkan-Ku hamba-ku.” Dan sekali Ia juga
berfirman, ”Telah menyerahkan kepada-Ku hamba-Ku.”
Dan jika ia berkata: [إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ],
Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku
apa yang ia minta.”
Jika ia berkata:
[اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ]
Maka Allah Ta’ala berfirman: “Ini bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.” (HR. Muslim: 395, 1/296).
Syaikh Ibn Abdul Hadi al-Hanbali dalam risalahnya yang berjudul
'Menggunakan Al-Fatihah untuk Sukses dalam Urusan (جَمْهَرَةُ الْأَجْزَاءِ الْحَدِيثِيَّةِ) hal. 372, Penerbit Maktabah al-Ubaykan) berkata:
إِحْتَجَّ بَعْضُهُم
مِنْ هَذَا الحَدِيث عَلَى أَنَّهُ مَا قَرَأَ أَحَدُ الفَاتِحَة لِقَضَاءِ
حَاجَةٍ وَسَأَلَ حَاجَتَهُ إِلَّا قُضِيَتْ. آ.ه.
'Sebagian para ulama mengambil dalil dari hadis ini bahwa siapa pun yang
membaca Al-Fatihah agar terkabulkan hajatnya dan mengajukan permintaan
hajatnya, maka permintaannya pasti akan dikabulkan.'"
AMALAN SALAF :
Dari Atha` bin Abu Rabaah -rahimahullah -(wafat 114 H), ia berkata:
"إِذَا أَرَدتَ حَاجَةً
فَاقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ حَتَّى تَخْتِمَهَا تُقْضَى إِن شَاءَ
اللَّهُ"
”Jika engkau menginginkan hajat maka bacalah Fatihah Al-Kitab hingga
engkau menyelesaikannya, maka hajatmu akan tertunaikan, dengan izin Allah.”
(Riwayat Abu Asy Syaikh dalam Kitab Ats-Tsawaab.
Atsar 'Atho ini diriwayatkan pula dengan sanad nya oleh Ibnu al-Mubarrad
al-Hanbali dalam kitabnya al-Isti'anah bil Fatihah 'Ala Najaahil Umuur hal. 371
no.1, yaitu sbb:
[أَخْبَرَنَا جَمَاعَةٌ مِنْ
شُيُوخِنَا، أنا ابْنُ الْمُحِبِّ، أنا جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِنَا، أنا ابْنُ
مَكِّيٍّ، أنا جَدِّيَ السِّلَفِيُّ، أنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَأَبُو
الْعَبَّاسِ الصَّالِحَانِيُّ، وَغَيْرُهُمْ قَالُوا: أنا أَبُو نَصْرٍ
الْقَاشَانِيُّ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ
بْنُ أَحْمَدَ بْنِ تَمِيمٍ، ثنا ابْنُ حُمَيْدٍ، ثنا زَيْدٌ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ
عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءً، يَقُولُ: فذكره....].
Syarafuddin Ath Thibi menyatakan: ”Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam
meminta dan menjadikan keduanya (Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah) sebagai
pembantu dengan membacanya maka ia diberi apa yang ia cari.” (Baca: Al Kasyif
'an Haqaiq As Sunan, 5/1646).
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ibnu 'Allan As Siddiqi Asy Syafi'i
dalam kitabnya. (Dalil Al Falihin li Thuruq Riyadh Ash Shalihin, 6/200).
Al-Imam Ibnu Qoyyim berkata tentang Tawassul dengan al-Fatihah:
وَقَدْ جَمَعَتِ
الْفَاتِحَةُ الْوَسِيلَتَيْنِ، وَهُمَا التَّوَسُّلُ بِالْحَمْدِ، وَالثَّنَاءِ
عَلَيْهِ وَتَمْجِيدِهِ، وَالتَّوَسُّلُ إِلَيْهِ بِعُبُودِيَّتِهِ وَتَوْحِيدِهِ،
ثُمَّ جَاءَ سُؤَالُ أَهَمِّ الْمَطَالِبِ، وَأَنْجَحِ الرَّغَائِبِ وَهُوَ
الْهِدَايَةُ بَعْدَ الْوَسِيلَتَيْنِ، فَالدَّاعِي بِهِ حَقِيقٌ بِالْإِجَابَةِ.
وَنَظِيرُ هَذَا
دُعَاءُ النَّبِيُّ ﷺ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ إِذَا قَامَ يُصَلِّي مِنَ
اللَّيْلِ، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ
«اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ
فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيُّومُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ
فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكُ
حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ،
وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ
آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَلَكَ خَاصَمْتُ،
وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا
أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ» فَذَكَرَ
التَّوَسُّلَ إِلَيْهِ بِحَمْدِهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ وَبِعُبُودِيَّتِهِ لَهُ،
ثُمَّ سَأَلَهُ الْمَغْفِرَةَ
"Al-Fatihah
mengandung dua bentuk perantaraan (tawassul), yaitu tawassul melalui pujian,
sanjungan, dan pengagungan kepada Allah, serta tawassul melalui ibadah dan
keesaan-Nya. Setelah itu, disusul dengan permohonan atas perkara yang paling
penting, keberhasilan dan petunjuk yang paling diinginkan setelah dua bentuk
tawassul tersebut.
Dan ini mirip dan sebanding dengan doa Nabi Muhammad ﷺ ketika berdiri shalat malam, yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari hadis Ibnu Abbas:
'Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Engkaulah cahaya langit dan bumi
serta segala isinya. Bagi-Mu segala puji. Engkaulah yang memelihara langit dan
bumi serta segala isinya. Bagi-Mu segala puji. Engkaulah yang hak, janji-Mu
adalah hak, pertemuan dengan-Mu adalah hak, surga adalah hak, neraka adalah
hak, para nabi adalah hak, hari kiamat adalah hak, dan Muhammad adalah hak.
Ya Tuhanku, hanya kepada-Mu aku berserah. Hanya kepada-Mu juga aku
beriman. Kepada-Mu aku pasrah. Hanya kepada-Mu aku kembali. Karena-Mu aku rela
bertikai. Hanya pada-Mu dasar putusanku.
Oleh karenanya maka ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang
terkemudian, dosa yang kusembunyikan dan yang kunyatakan, dan dosa lain yang
lebih Kau ketahui ketimbang aku. Engkau Yang Maha Terdahulu dan Engkau Yang
Maha Terkemudian. Tiada Tuhan selain Engkau. Tiada daya upaya dan kekuatan
selain pertolongan Allah.” [HR. Bukhori no. 1120 dan Muslim no. 769]
Beliau (Nabi Muhammad ﷺ) menyebutkan ungkapan
tawassul melalui pujian, sanjungan, dan pengagungan kepada Allah, serta
tawassul melalui ibadah dan keesaan-Nya, kemudian setelah itu beliau ﷺ memohon pengampunan." [Baca: Madaarijus Saalikiin 1/48
Cet. Al-Kitab al-Arabi].
Kesimpulannya: Bahwa di dalam surat al-Fatihah terdapat penggabungan antara tawassul
kepada Allah Ta’ala dengan pujian dan sanjungan kepada-Nya serta
memuliakan-Nya. Juga bertawasul kepada-Nya dengan ubudiyah dan mentauhidkan
kepada-Nya. Kemudian setelah itu meminta keperluan yang paling penting dan
keinginan yang paling bermanfaat yaitu petunjuk setelah dua wasilah tersebut.
Maka orang yang meminta dengan cara bertwassul seperti itu lebih layak untuk
dikabulkan doanya.
===***===
KESEMBILAN: SURAT AL-FATIHAH ADALAH UNTUK PENGABULAN DOA:
Dalam surat Al-Fatihah terkandung doa yang paling bermanfaat. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“تَأَمَّلْتُ أَنْفَعَ الدُّعَاءِ
فَإِذَا هُوَ سُؤَالُ الْعَوْنِ عَلَى مَرْضَاتِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ فِي
الْفَاتِحَةِ فِي [إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ] "
“Saya renungkan doa yang paling bermanfaat adalah permintaan bantuan
untuk menggapai keridhaan-Nya. Kemudian saya lihat ada pada surat Al-Fatihah
pada ayat "Iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada-Mu kami
beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)" (Madarijus
Salikin, 1/100)
Al-'Allaamah Ibnu Qayyim berkata:
وَمَنْ سَاعَدَهُ
التَّوْفِيقُ، وَأُعِينَ بِنُورِ الْبَصِيرَةِ حَتَّى وَقَفَ عَلَى أَسْرَارِ
هَذِهِ السُّورَةِ، وَمَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنَ التَّوْحِيدِ، وَمَعْرِفَةِ
الذَّاتِ وَالْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ وَالْأَفْعَالِ، وَإِثْبَاتِ الشَّرْعِ
وَالْقَدَرِ وَالْمَعَادِ، وَتَجْرِيدِ تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ
وَالْإِلَهِيَّةِ، وَكَمَالِ التَّوَكُّلِ وَالتَّفْوِيضِ إِلَى مَنْ لَهُ
الْأَمْرُ كُلُّهُ، وَلَهُ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَبِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ،
وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ، وَالِافْتِقَارُ إِلَيْهِ فِي طَلَبِ
الْهِدَايَةِ الَّتِي هِيَ أَصْلُ سَعَادَةِ الدَّارَيْنِ، وَعَلِمَ ارْتِبَاطَ
مَعَانِيهَا بِجَلْبِ مَصَالِحِهِمَا، وَدَفْعِ مَفَاسِدِهِمَا، وَأَنَّ
الْعَاقِبَةَ الْمُطْلَقَةَ التَّامَّةَ، وَالنِّعْمَةَ الْكَامِلَةَ مَنُوطَةٌ
بِهَا، مَوْقُوفَةٌ عَلَى التَّحَقُّقِ بِهَا ؛ أَغْنَتْهُ عَنْ كَثِيرٍ مِنَ
الْأَدْوِيَةِ وَالرُّقَى، وَاسْتَفْتَحَ بِهَا مِنَ الْخَيْرِ أَبْوَابَهُ، وَدَفَعَ
بِهَا مِنَ الشَّرِّ أَسْبَابَهُ.
Dan barangsiapa yang ingin dibantu dengan at-Taufiiq [kesuksesan], dan
diberi cahaya bashirah [penglihatan yang tajam]; maka akan ia dapatkan dengan
memahami rahasia-rahasia dalam surat al-Fatihah ini, serta apa yang dijelaskan
dalamnya tentang tauhid, pengetahuan tentang Zat-Nya, nama-nama, sifat-sifat,
dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta kebenaran hukum, takdir, dan kehidupan
akhirat.
Juga tentang pemurnian tawhid Rububiahan dan ke-Ilahiaan, dan
kesempurnaan tawakkal dan penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya, yang memiliki
kendali atas segala urusan, segala pujian adalah milik-Nya, segala kebaikan ada
di tangan-Nya, dan segala urusan kembali kepada-Nya.
Dan dia merasakan kebutuhannya kepada-Nya dalam mencari petunjuk, yang
menjadi asal dari kebahagiaan di dua dunia, dan dia mengetahui bahwa
makna-makna dalam surat ini terhubung dengan membawa manfaat dan menghindarkan
dari kerugian di dunia dan akhirat.
Dia mengerti bahwa kesempurnaan yang mutlak dan anugerah yang sempurna
bergantung pada-Nya, tergantung pada kepastian dan kebenaran-Nya; Maka
al-Fatihah akan membuatnya berlepas diri dari banyak obat dan metode pengobatan
lainnya; karena al-Fatihah telah mencukupinya.
Dia membuka pintu-pintu kebaikan dengan Al-Fatihah ini, dan menghindari
penyebab-penyebab keburukan.
Lalu Al-'Allaamah Ibnu Qayyim berkata:
وَهَذَا أَمْرٌ
يَحْتَاجُ اسْتِحْدَاثَ فِطْرَةٍ أُخْرَى، وَعَقْلٍ آخَرَ، وَإِيمَانٍ آخَرَ،
وَتَاللَّهِ لَا تَجِدُ مَقَالَةً فَاسِدَةً، وَلَا بِدْعَةً بَاطِلَةً إِلَّا
وَفَاتِحَةُ الْكِتَابِ مُتَضَمِّنَةٌ لِرَدِّهَا وَإِبْطَالِهَا بِأَقْرَبِ
الطُّرُقِ، وَأَصَحِّهَا وَأَوْضَحِهَا، وَلَا تَجِدُ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ
الْمَعَارِفِ الْإِلَهِيَّةِ، وَأَعْمَالِ الْقُلُوبِ وَأَدْوِيَتِهَا مِنْ
عِلَلِهَا وَأَسْقَامِهَا إِلَّا وَفِي فَاتِحَةِ الْكِتَابِ مِفْتَاحُهُ،
وَمَوْضِعُ الدِّلَالَةِ عَلَيْهِ، وَلَا مَنْزِلًا مِنْ مَنَازِلِ السَّائِرِينَ
إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ إِلَّا وَبِدَايَتُهُ وَنِهَايَتُهُ فِيهَا
Dan ini adalah perintah yang memerlukan fitrah yang lain, akal yang
lain, dan iman yang lain. Demi Allah, Anda tidak akan menemukan pernyataan yang
salah atau bid'ah yang bathil, kecuali Al-Fatihah adalah yang memberikan
jawaban dan bantahan dengan cara yang paling singkat [simpel], paling shahih
dan paling jelas.
Anda tidak akan menemukan pintu dari pintu-pintu pengetahuan ilahi, dan
amal-amal hati serta obat-obatan bagi penyakitnya dan kesehatannya, kecuali di
dalam Al-Fatihah terdapat kunci segala itu, dan tempat penunjukan dan petunjuk
terhadapnya.
Tidak ada tempat dari tempat-tempat perjalanan bagi mereka yang berjalan
menuju Tuhan semesta alam, kecuali di dalam Al-Fatihah terdapat awal dan
akhirnya." [Zad al-Ma'ad" (4/318-319 Muassasah al-Risalah)]
Dan dapat dijadikan dalil untuk membaca Al-Fatihah dalam doa hajat
melalui hadis Abu Hurairah: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“قَالَ اللهُ تَعَالَى:
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: [الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ]. قَالَ
اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: [الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ].
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: [مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ]، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي،
فَإِذَا قَالَ: [إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ]. قَالَ: هَذَا بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: [اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ]. قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
”Allah Ta’ala berfirman:’Aku telah membagi shalat antara Aku dengan
hamba-Ku dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Jika ia berkata: [الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ],
maka Allah berfirman, ”Telah memujiku, hambaku.”
Dan jika ia berkata: [الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ],
Allah Ta’ala berfirman, ”Telah memuji-Ku hamba-Ku.
Jika ia berkata: [مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ],
Allah Ta’ala berfirman,”Telah mengagungkan-Ku hamba-ku.” Dan sekali Ia juga
berfirman, ”Telah menyerahkan kepada-Ku hamba-Ku.”
Dan jika ia berkata: [إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ],
Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku
apa yang ia minta.”
Jika ia berkata:
[اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ]
Maka Allah Ta’ala berfirman: “Ini bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.” (HR. Muslim: 395, 1/296).
Dan penulis tegaskan bahwa pemberian dari Allah Ta'ala kepada hamba-Nya
dalam memenuhi permintaannya bersifat umum dalam konteks ini, seperti juga
keterkaitan permohonan bantuan yang tersembunyi. Hal ini menyiratkan
keterlibatan yang umum, yang menunjukkan keabsahan niat meminta bantuan kepada
Allah dalam segala hal dengan tawassul membaca Al-Fatihah.
Dan dari Ibnu Abbas ia berkata:
بَيْنَمَا
جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِىِّ ﷺ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ
رَأسَه، فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ، لَمْ يُفْتَحْ
قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى
الأَرْضِ، لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَسَلَّمَ وَقَال: أَبْشِرْ
بِنُورَيْنِ أَوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌّ قَبْلَكَ، فَاتِحَةُ
الكِتَابِ وَخَوَاتِيَمُ سُورَةِ البَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا
إِلا أُعْطِيتَهُ.
”Sewaktu Jibril duduk bersama Rasulullah ﷺ,
ia (Jibril) mendengar suara (seperti terbukanya pintu), maka ia pun menengadahkan
kepalanya, lantas berkata:
”Ini
adalah pintu langit dibuka hari ini, ia tidak pernah dibuka sama sekali,
kecuali hari ini.”
Lantas turunlah dari pintu itu malaikat.” Jibril berkata: ”Malaikat ini
tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lantas ia malaikat itu pun berkata: ”Aku
memberi kabar gembira dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan tidak
pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau, Fatihah Al Kitab dan
penutup surat Al Baqarah. Engkau tidak akan membaca satu huruf pun dari keduanya,
kecuali engkau diberinya.” (Riwayat Muslim).
Syarafuddin Ath Thibi menyatakan: ”Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam
meminta dan menjadikan keduanya (Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah) sebagai
pembantu dengan membacanya maka ia diberi apa yang ia cari.” (dalam Al Kasyif
'an Haqaiq As Sunan, 5/1646).
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ibnu 'Allan As Siddiqi Asy Syafi'i
dalam kitabnya (Dalil Al Falihin li Thuruq Riyadh Ash Shalihin, 6/200), dia
berkata:
"يَجُوز كُونُهَا
لِلاسْتِعَانَةِ؛ أَيْ: (لَنْ تَقْرَأ) مُسْتَعِينًا (بِحَرْفٍ) أَيْ جُمْلَةٍ
(مِنْهُمَا) عَلَى قَضَاءِ غَرَضٍ لَكَ (إِلَّا أُعْطِيتَهُ) كَيْفَ لَا
وَالْفَاتِحَةُ هِيَ الْكَافِيَةُ؟ وَتِلْكَ الْخَوَاتِيمُ لِمَنْ قَرَأَهَا فِي
لَيْلَةٍ كَافِيَةٍ، وَالْمُرَادُ ثَوَابُهُ الْأَعْظَمُ مِنْ ثَوَابِ نَظِيرِهِ
فِي غَيْرِ هَذَيْنِ. أَوْ الْمُرَادُ بِالْحَرْفِ: مَعْنَاهُ اللُّغَوِيُّ وَهُوَ
الطَّرَفُ، وَكُنِّيَّ بِهِ عَنْ كُلِّ جُمْلَةٍ مُسْتَقِلَّةٍ بِنَفْسِهَا؛ أَيْ:
أُعْطِيتَ مَا تَضَمَّنَتْهُ إِنْ كَانَتْ دُعَائِيَّةً كـ(اهْدِنَا) وَ(غُفْرَانَكَ)
الْآيَتَيْنِ، وَثَوَابَهُمَا إِنْ لَمْ يَتَضَمَّنْ ذَلِكَ كَالْمُشْتَمِلَةِ
عَلَى الثَّنَاءِ وَالتَّمْجِيدِ" اهـ.
"Boleh dijadikan sebagai dalil untuk doa mohon pertolongan; yaitu,
(Tidaklah kamu membacanya) untuk memohon pertolongan (dengan al-Harf) yakni
dengan kalimat ini (dari keduanya) agar kebutuhanmu terpenuhi (kecuali kamu
akan diberikan). Bagaimana tidak, sedangkan Al-Fatihah adalah pemberi
kecukupan? Dan penutup-penutup ini bagi siapa yang membacanya pada malam hari;
maka ia akan mencukupinya.
Dan yang dimaksud adalah pahalanya yang lebih besar daripada pahala
bacaan lainnya yang sepadan dengan yang dua ini.
Atau yang dimaksud dengan al-Harf adalah maknanya secara linguistik,
yaitu unsur, dan digunakan untuk menggantikan setiap kalimat yang mandiri
secara tersendiri; artinya, kamu diberikan apa yang terkandung di dalamnya jika
kalimat tersebut bersifat permohonan seperti (اهْدِنَا
= tunjukilah kami) dan (غُفْرَانَكَ = mohon ampunan dari-Mu) dua
ayat tersebut, dan pahala keduanya meskipun tidak termuat didalamnya, sama
seperti kalimat yang mengandung pujian dan pengagungan" [Selesai].
===***===
KESEPULUH: IA ADALAH KUNCI PEMBUKA KEBAIKAN DAN KEBAHAGIAAN:
Membaca Surat Al-fatihah merupakan kunci pembuka semua kebaikan dan
kebahagian di dunia dan akhirat.
Kekhususan membaca Al-Fatihah sebagai tradisi pembuka dalam segala hal
kebaikan, itu dalam rangka meneladani dan mengikuti penulisan surat al-Fatihah
dalam al-Qur'an yang Mulia. Al-Fatihah dinamakan demikian karena dengan
Al-Fatihahlah Al-Quran dibuka. Begitu pula dalam shalat, al-Fatihah adalah
surah al-Quran yang pertama dibaca sebelum surat lainnya.
Dan perlu dicatat bahwa hukum syar'i dengan jelas menyatakan kewajiban
membaca Surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat wajib dan sunnah. Surat
Al-Fatihah adalah salah satu rukun dalam shalat menurut mayoritas ulama. Selain
itu, hukum syar'i juga memerintahkan untuk membaca Surat Al-Fatihah dalam
shalat jenazah, tapi tidak diperintahkan membaca surat selainnya dari
surat-surat Al-Quran.
Dengan demikian maka Al-Fatihah adalah awal dari sesuatu, serta
membacanya pada awal urusan adalah sebagai bentuk permohonan petunjuk dan
pertolongan dari Allah Ta'ala.
Dalam hal ini, al-'Allaamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah
berkata dalam kitabnya "Zad al-Ma'ad" (4/318 Muassasah al-Risalah):
“فَاتِحَةُ الْكِتَابِ: وَأُمُّ
الْقُرْآنِ، وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي، وَالشِّفَاءُ التَّامُّ، وَالدَّوَاءُ
النَّافِعُ، وَالرُّقْيَةُ التَّامَّةُ، وَمِفْتَاحُ الْغِنَى وَالْفَلَاحِ،
وَحَافِظَةُ الْقُوَّةِ، وَدَافِعَةُ الْهَمِّ وَالْغَمِّ وَالْخَوْفِ وَالْحَزَنِ
لِمَنْ عَرَفَ مِقْدَارَهَا وَأَعْطَاهَا حَقَّهَا، وَأَحْسَنَ تَنْزِيلَهَا عَلَى
دَائِهِ، وَعَرَفَ وَجْهَ الِاسْتِشْفَاءِ وَالتَّدَاوِي بِهَا، وَالسِّرَّ
الَّذِي لِأَجْلِهِ كَانَتْ كَذَلِكَ.
وَلَمَّا وَقَعَ
بَعْضُ الصَّحَابَةِ عَلَى ذَلِكَ، رَقَى بِهَا اللَّدِيغَ، فَبَرَأَ لِوَقْتِهِ،
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ».
وَمَنْ سَاعَدَهُ
التَّوْفِيقُ، وَأُعِينَ بِنُورِ الْبَصِيرَةِ حَتَّى وَقَفَ عَلَى أَسْرَارِ
هَذِهِ السُّورَةِ، وَمَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنَ التَّوْحِيدِ، وَمَعْرِفَةِ
الذَّاتِ وَالْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ وَالْأَفْعَالِ، وَإِثْبَاتِ الشَّرْعِ
وَالْقَدَرِ وَالْمَعَادِ، وَتَجْرِيدِ تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ
وَالْإِلَهِيَّةِ، وَكَمَالِ التَّوَكُّلِ وَالتَّفْوِيضِ إِلَى مَنْ لَهُ
الْأَمْرُ كُلُّهُ، وَلَهُ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَبِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ،
وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ، وَالِافْتِقَارُ إِلَيْهِ فِي طَلَبِ
الْهِدَايَةِ الَّتِي هِيَ أَصْلُ سَعَادَةِ الدَّارَيْنِ، وَعَلِمَ ارْتِبَاطَ
مَعَانِيهَا بِجَلْبِ مَصَالِحِهِمَا، وَدَفْعِ مَفَاسِدِهِمَا، وَأَنَّ
الْعَاقِبَةَ الْمُطْلَقَةَ التَّامَّةَ، وَالنِّعْمَةَ الْكَامِلَةَ مَنُوطَةٌ بِهَا،
مَوْقُوفَةٌ عَلَى التَّحَقُّقِ بِهَا، أَغْنَتْهُ عَنْ كَثِيرٍ مِنَ
الْأَدْوِيَةِ وَالرُّقَى، وَاسْتَفْتَحَ بِهَا مِنَ الْخَيْرِ أَبْوَابَهُ،
وَدَفَعَ بِهَا مِنَ الشَّرِّ أَسْبَابَهُ".
“Fatihatul
kitab, Ummul Qur’an, As-Sab’ul Matsani, kesembuhan total, obat yang bermanfaat,
ruqyah sempurna, kunci kekayaan dan kemenangan, penjaga kekuatan, menghilangkan
sedih, gundah, ketakutan, kesedihan,bagi orang yang mengetahui kemuliaannya dan
memberikan haknya serta menempatkan dengan tepat dalam mengobati suatu penyakit,
mengetahui bagaimana cara kesembuhan dan mengetahui rahasia yang terkandung di
dalamnya.
Maka ketika sebagian shahabat mendapatkan kenyataan tersebut, mereka
menjadikannyasebagai ruqyah dengannya dan langsung sembuh. Maka Nabi ﷺ mengatakan kepadanya: “Dari mana kalian tahu bahwa
itu adalah ruqyah”.
Seseorang yang mendapatkan taufiq dengan cahaya pengetahuan, hingga
mendapatkan rahasia surat ini dan kandungan di dalamnya berupa tauhid, mengenal
Dzat, nama, sifat dan perbuatan Allah, lalu meyakini syariat agama, takdir dan
kebangkitan. Juga mengkhususkan tauhid Rububiyah dan Uluhiyyah, bertawakkal
secara sempurna dan berserah diri secara penuh kepada Yang mempunyai semua
urusan dan mempunyai semua pujian.
Meyakini bahwa di tangan-Nya semua kebaikan, dan semua urusan
dikembalian kepada-Nya.
Dirinya merasa kekurangan kepada-Nya untuk meminta hidayah yang menjadi
pokok kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dan mengetahui keterkaitan maknanya dalam mendapatkan kebaikan dan
menolak keburukan dan bahwa kesudahan secara mutlak dan kenikmatan secara
sempurna terkait dengan merealisasikannya, maka dengannya sudah cukup obat dan
ruqyah serta tidak membutuhkan lainnya.
Padanya terbuka pintu kebaikan, dan tertolak sebab-sebab
keburukan." (Zaadul Ma’ad, 4/318)
Penekanan khusus pada Surat Al-Fatihah inilah yang mendorong Abu Sa'id
al-Khudri, semoga Allah meridainya, untuk menggunakannya sebagai sarana
penyembuhan (ruqyah) tanpa izin atau perintah langsung dari Nabi ﷺ. Namun, ketika Nabi ﷺ
mengetahui apa yang telah dilakukannya, beliau tidak menyalahkan atau
menyatakan tindakannya sebagai bid'ah (inovasi dalam agama). Sebaliknya, Nabi ﷺ menganggapnya baik dan mengarahkannya dengan bertanya:
«وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا
رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ
سَهْمًا»
“Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?” Kemudian
Beliau bersabda, “Kalian telah bersikap benar! [HR. Bukhori dan Muslim]
Hal ini disepakati oleh para ulama. Bahkan Nabi ﷺ
memberikan pujian dengan mengatakan kepada mereka: "Kalian telah
benar."
Lebih jelas lagi dalam riwayat lain, Abu Sa'id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu menyatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بعَثَ سَريَّةً عليها أبو سَعيدٍ، فمَرَّ بقَريةٍ، فإذا
ملِكُ القَريةِ لَديغٌ، فسَألْناهم طَعامًا فلمْ يُطعِمونا ولم يُنزِلونا، فمَرَّ
بنا رَجُلٌ من أهلِ القَريةِ، فقال: يا مَعشَرَ العَرَبِ، هل منكم أحدٌ يُحسِنُ
أنْ يَرقيَ؟ إنَّ الملِكَ يَموتُ، قال أبو سَعيدٍ: فأتَيتُه فقَرَأْتُ عليه فاتحةَ
الكِتابِ؛ فأفاقَ وبرَأَ، فبعَثَ إلينا بالنُّزُلِ وبعَثَ إلينا بالشَّاءِ،
فأكَلْنا الطَّعامَ أنا وأصحابي، وأبَوْا أنْ يَأكُلوا منَ الغَنَمِ حتى أتَيْنا
رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فأخبَرتُه الخَبرَ، فقال: وما يُدريكَ
أنَّها رُقْيةٌ؟ قُلتُ: يا رسولَ اللهِ، شيءٌ أُلقيَ في رُوعي، قال:
فكُلوا، وأطعِمونا منَ الغَنَمِ".
"Rasulullah ﷺ mengutus pasukan kecil yang
dipimpin oleh Abu Sa'id. Mereka melewati sebuah desa di mana pemimpin desa
adalah seorang yang terkenal bernama Digh. Kami meminta makanan kepada mereka,
namun mereka tidak memberi kami makan dan tidak mengizinkan kami bermalam di
sana. Kemudian, datanglah seseorang dari penduduk desa itu dan berkata:
'Hai
orang-orang Arab, apakah di antara kalian ada yang pandai meruqyah (mengobati
dengan bacaan mantera)? Raja kami sedang sakit.'
Abu Sa'id berkata: 'Saya pun datang kepada orang itu, kemudian
membacakan Al-Fatihah untuknya. Dia pun sadar dan sembuh.'
Kemudian, orang tersebut mengirim makanan dan minuman kepada kami. Kami
makan bersama teman-teman saya, namun kami menolak makan daging domba mereka
hingga kami datang ke Rasulullah ﷺ
untuk menanyakan boleh daqn tidaknya. Aku memberitahu beliau tentang peristiwa
tersebut.
Rasulullah ﷺ berkata: 'Bagaimana
kamu tahu bahwa itu adalah ruqyah?'
Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, ada sesuatu yang terbesit dalam
benakku'.
Beliau bersabda: 'Makanlah dan berikanlah kami sebagian dari domba itu'.
[HR. al-Darimi no. 3037. Di shahihkan oleh Syu'aib al-Arna'ut dalam
(Takhrij Sunan al-Darimi, no. 3037]
Makna:« أُلْقِيَ في
رُوْعِي »:
“أي: فِراسةٌ وإلهامٌ مِن اللهِ
تعالَى، وعَمِلْتُ بمُقتضاهُ، وهذا تَوفيقٌ مِن اللهِ تعالَى ".
"Artinya: Firasat dan ilham dari Allah Yang Maha Tinggi, dan aku
bertindak sesuai dengannya. Dan ini adalah taufiq dari Allah Yang Maha
Tinggi."
===***===
KESEBELAS: KEUTAMAAN MEMBACA AL-FATIHAH SETELAH SHALAT JUM'AT:
Dikabarkan dari sebagian para sahabat bahwa mereka menganjurkan untuk membaca Al-Fatihah pada beberapa kesempatan tanpa ada teks khusus yang mengatur hal tersebut.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dalam (kitab) al-Mushannaf, 7/98, nomor
hadis 29602, dari Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq, semoga Allah meridhainya
berdua, dia berkata:
«مَنْ قَرَأَ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، و﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾ و﴿قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ
الْفَلَقِ﴾ و﴿قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ﴾ حَفِظَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْجُمُعَةِ».
'Barang siapa membaca setelah shalat Jumat Al-Fatihah, surah "Qul
Huwa Allahu Ahad," surah "Qul a'udhu bi Rabbil Falaq," dan surah
"Qul a'udhu bi Rabbin-nas," maka ia dijaga di antara bacaan tersebut
dan antara shalat Jumat berikutnya.'
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Ibnus Sinni dalam Amalul Yaum wal
Lailah 5/121 dengan sanadnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu .
Dan atsar tentang membaca al-Fatihah setelah shalat Jumat disebutkan
pula dalam al-Jami' ash-Shagfhir dengan nomor 8954, dengan lafadz:
(مَن قَرَأ بَعْدَ صَلاةِ
الْجُمُعَةِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَقُلْ
أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعَادَهُ اللَّهُ بِهَا مِنَ السُّوءِ
إِلَى الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى)
'Barang siapa membaca setelah shalat Jumat surah "Qul Huwa Allahu
Ahad," surah "Qul a'udhu bi Rabbil Falaq," dan surah "Qul
a'udhu bi Rabbin-nas" tujuh kali, Allah akan mengampuni kesalahannya dari
Jumat yang satu hingga Jumat berikutnya.'
Para muhaqqiq kitab Jam'ul Jawami', yaitu Syeikh Mukhtar al-Ha'ij dan
lainnya berkata:
وَعَزَّهُ لِابْنِ
السُّنِّيِّ عَنْ عَائِشَةَ وَرُمِزَ لَهُ بِالْحَسَنِ وَقَالَ الْمُنَاوِيُّ:
قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: سَنَدُهُ عَنْ عَائِشَةَ وَرُمِزَ لَهُ بِالْحَسَنِ وَقَالَ
الْمُنَاوِيُّ: قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: سَنَدُهُ ضَعِيفٌ وَلَهُ شَاهِدٌ مِنْ
مُرْسَلٍ مَكْحُولٍ أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي سُنَنِهِ عَنْ فِرْجِ
بْنِ نَضَّالَهُ وَزَادَ فِي أَوَّلِهِ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقَالَ فِي آخِرِهِ.
كَفَرَ اللَّهُ عَنْهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ، وَفَرْجٌ ضَعِيفٌ. آهٍ.
وَأَخْرَجَهُ حُجَّةُ الْإِسْلَامِ بِقَضِيَّةِ هَذَا الْخَبَرِ وَمَا بَعْدَهُ
فَجَزَمَ بِنَدْبِهِ فِي بِدَايَةِ الْهِدَايَةِ. فَقَالَ: إِذَا فَرَغْتَ
وَسَلَّمْتَ أَيُّ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَاقْرَأِ الْفَاتِحَةَ فِي أَنْ
تَتَكَلَّمَ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَالْإِخْلَاصَ سَبْعًا وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ سَبْعًا
فَذَلِكَ يَعْصِمُكَ مِنْ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَيَكُونُ حِرْزًا مِنَ
الشَّيْطَانِ. آ.هٍ.
Adz-Dzahabi meriwayatkannya dari Ibnu As-Sinni dari Aisyah dan
menandainya dengan derajat 'hasan.' Al-Munawi berkata Al-hafidz Ibnu Hajar
berkata: Sanadnya dari Aisyah menandainya dengan Derajat hasan.
Dan Al-Munawi berkata: Ibnu Hajar berkata, 'Sanad (rantai perawi) hadits
ini dari Aisyah adalah lemah, namun ada tambahan saksi dari Mursal Makhul yang
diriwayatkan oleh Sa'id bin Mansur dalam sunannya dari Farj bin Nadhalah, namun
diawalnya ada tambahan:
(فَاتِحَةَ الْكِتَابِ / Fatihah al-Kitab)
Dan diakhirnya
كَفَرَ اللَّهُ
عَنْهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
Allah menghapus dosa baginya dari antara dua Jumat
Dan perawi yang bernama Farj adalah lemah.
Mengenai masalah atsar ini dan apa yang ada setelahnya diriwayatkan pula
oleh Hujjat al-Islam, sehingga beliau memastikan dalam kitab Bidayah Al-Hidayah
(kitab hadits) bahwa itu disunnahkan, maka dia berkata:
إِذَا فَرَغْتَ
وَسَلَّمْتَ أَيُّ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَاقْرَأِ الْفَاتِحَةَ فِي أَنْ
تَتَكَلَّمَ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَالْإِخْلَاصَ سَبْعًا وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ سَبْعًا
فَذَلِكَ يَعْصِمُكَ مِنْ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَيَكُونُ حِرْزًا مِنَ
الشَّيْطَانِ
'Apabila kamu telah selesai (dari shalat Jumat) dan salam, maka bacalah Al-Fatihah tujuh kali, Al-Ikhlas tujuh kali, dan kedua surah al-Mu'awwidzatain tujuh kali. Dengan demikian, hal itu akan menjaga dirimu dari satu Jumat hingga Jumat berikutnya dan akan menjadi perlindungan dari setan.' [Selesai]." [Hasyiyah Jam'ul Jawami 9/816].
===***===
KEDUA BELAS: MEMBACA AL-FATIHAH SETELAH SHALAT LIMA WAKTU DAN SHALAT LAIN-NYA
Ibnu as-Sinny dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah hal. 111 no. 125 meriwayatkan :
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far bin Bakr, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Zunbur al-Makki, telah menceritakan kepada kami al-Harits bin 'Umair, dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِنَّ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ، وَالْآيَتَيْنِ مِنْ آلِ عِمْرَانَ: {شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ} [آل عمران: 18]، وَ {قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ} [آل عمران: 26] إِلَى قَوْلِهِ: {وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [آل عمران: 27] مُعَلَّقَاتٌ، مَا بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حِجَابٌ، لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُنْزِلَهُنَّ تَعَلَّقْنَ بِالْعَرْشِ، قُلْنَ: رَبَّنَا، تُهْبِطُنَا إِلَى أَرْضِكَ، وَإِلَى مَنْ يَعْصِيكَ. فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: بِي حَلَفْتُ، لَا يَقْرَأُكُنَّ أَحَدٌ مِنْ عِبَادِي دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا جَعَلْتُ الْجَنَّةَ مَثْوَاهُ عَلَى مَا كَانَ مِنْهُ، وَإِلَّا أَسْكَنْتُهُ حَظِيرَةَ الْقُدُسِ، وَإِلَّا نَظَرْتُ إِلَيْهِ بِعَيْنِي الْمَكْنُونَةِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ نَظْرَةً، وَإِلَّا قَضَيْتُ لَهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ حَاجَةً، أَدْنَاهَا الْمَغْفِرَةُ، وَإِلَّا أَعَذْتُهُ مِنْ كُلِّ عَدُوٍّ وَنَصَرْتُهُ مِنْهُ، وَلَا يَمْنَعُهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ ".
“Sesungguhnya al-Fatihah, Ayat Kursi, dan dua ayat dari surat Ali 'Imran: {Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia} (Ali 'Imran: 18), dan {Katakanlah: Wahai Allah, Pemilik kerajaan} (Ali 'Imran: 26) hingga firman-Nya {Dan Engkau memberi rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab} (Ali 'Imran: 27), semuanya tergantung (di langit), antara ayat-ayat itu dengan Allah 'Azza wa Jalla terdapat hijab.
Ketika Allah hendak menurunkannya, ayat-ayat itu bergantung pada 'Arsy dan berkata: ‘Wahai Rabb kami, apakah Engkau akan menurunkan kami ke bumi-Mu, kepada orang-orang yang durhaka kepada-Mu?’
Maka Allah 'Azza wa Jalla berfirman: ‘Demi Aku, tidaklah seorang hamba-Ku membaca kalian setiap selesai salat, kecuali Aku jadikan surga sebagai tempat tinggalnya, apapun keadaannya. Aku tempatkan dia di taman kesucian. Aku pandang dia dengan pandangan rahmat-Ku yang tersembunyi setiap hari sebanyak tujuh puluh kali pandangan. Aku penuhi baginya setiap hari tujuh puluh kebutuhan, yang paling rendah adalah ampunan. Aku lindungi dia dari setiap musuh dan Aku tolong dia darinya. Tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga kecuali kematian.’”
[Diriwayatkan pula oleh al-Hasan al-Khollaal dalam al-Majalis al-‘Asyarah al-Amali hal. 26 no. 14 dan juga oleh al-Baghowi dalam Tafsir-nya 1/427 no. 376].
STATUS HADITS :
Al-Imam al-Baghowi (wafat 516 H) dalam Tafsir-nya 1/427 no. 376 (Cet. Ihya at-Turots) berkata:
رَوَاهُ الْحَارِثُ عَنْ عَمْرٍو وَهُوَ ضَعِيفٌ
“Diriwayatkan oleh al-Harits dari ‘Amr, dan ia (al-Harits) adalah perawi yang lemah”.
Zainuddin al-Iraqi (wafat 806 H) dalam Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin hal. 399 berkata :
وَفِيهِ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَفِي تَرْجَمَتِهِ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي الضُّعَفَاءِ، وَقَالَ: مَوْضُوعٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَالْحَارِثُ يَرْوِي عَنِ الثِّقَاتِ الْمَوْضُوعَاتِ.
قُلْتُ: وَثَّقَهُ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، وَابْنُ مَعِينٍ، وَأَبُو زُرْعَةَ، وَأَبُو حَاتِمٍ، وَالنَّسَائِيُّ، وَرَوَى لَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا.
“Di dalamnya terdapat al-Harits bin ‘Umair. Dalam biografinya, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab *al-Dhu‘afā’* dan berkata, “Hadisnya maudhu‘ (palsu), tidak ada asalnya. Al-Harits meriwayatkan hadis-hadis maudhu‘ dari para perawi yang tsiqah.”
Aku (al-Iraqi) berkata:
Ia (al-Harits) dinyatakan tsiqot (dipercaya) oleh Hammad bin Zaid, Ibnu Ma‘in, Abu Zur‘ah, Abu Hatim, dan an-Nasa’i. Bahkan Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Harits secara mu‘allaq (tanpa sanad lengkap)”. [Lihat pula : Hamisy Ihya Ulumuddin 1/335].
Jika benar bahwa al-Harits ini tsiqoh, maka status hadits tersebut menjadi shahih sanadnya. Akan tetapi Abdur Rozzaq al-Mahdy, ulama kontemporer, Pentahqiq Tafsir al-Baghowi (1/427) berkata :
مَوْضُوعٌ. إِسْنَادُهُ سَاقِطٌ، وَعِلَّتُهُ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ، فَقَدْ قَالَ الْحَاكِمُ كَمَا فِي «الْمِيزَانِ» (١/ ٤٤٠): رَوَى عَنْ جَعْفَرِ الصَّادِقِ أَحَادِيثَ مَوْضُوعَةً، ثُمَّ ذَكَرَ الذَّهَبِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ، وَنَقَلَ عَنْ ابْنِ حِبَّانَ قَوْلَهُ: مَوْضُوعٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَوَافَقَهُ، وَنَصَّ عَلَى وَضْعِ هَذَا الْحَدِيثِ الْأَئِمَّةُ: ابْنُ حِبَّانَ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ الْجَوْزِيِّ، وَالذَّهَبِيُّ لَكِنَّهُ مُوَافَقَةٌ.
وَأَخْرَجَهُ ابْنُ السُّنِّيِّ فِي «عَمَلِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ» (١٢٥) وَابْنُ حِبَّانَ فِي «الْمَجْرُوحِينَ» (١/ ٢٢٣) وَابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي «الْمَوْضُوعَاتِ» (١/ ٢٤٤-٢٤٥) مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ زُنْبُورٍ بْنِ أَبِي الْأَزْهَرِ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عُمَيْرٍ بِهِ.
قَالَ ابْنُ حِبَّانَ: مَوْضُوعٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَالْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ كَانَ يَرْوِي عَنِ الثِّقَاتِ الْأَشْيَاءَ الْمَوْضُوعَاتِ.
وَوَافَقَهُ ابْنُ الْجَوْزِيِّ وَزَادَ: وَقَالَ ابْنُ خُزَيْمَةَ: الْحَارِثُ كَذَّابٌ، وَلَا أَصْلَ لِهَذَا الْحَدِيثِ. اهـ. وَضَعَّفَهُ الْمُصَنِّفُ بِالْحَارِثِ بْنِ عُمَيْرٍ! وَانْظُرْ «تَفْسِيرَ الشَّوْكَانِيِّ» (٤٧٩) بِتَخْرِيجِي، وَهُوَ حَدِيثٌ بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَأَلْفَاظُهُ تَدُلُّ عَلَى وَضْعِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
"Palsu. Sanadnya gugur, dan penyebab kelemahannya adalah al-Harits bin ‘Umair. Al-Hakim berkata sebagaimana disebutkan dalam *al-Mīzān* (1/440): “Ia meriwayatkan dari Ja’far ash-Shadiq hadis-hadis palsu.” Kemudian adz-Dzahabi menyebutkan hadis ini dan menukil perkataan Ibnu Hibban: “Palsu, tidak ada asalnya.” Ia pun menyetujui hal itu. Para imam yang menegaskan bahwa hadis ini palsu adalah: Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jauzi, dan adz-Dzahabi (namun dalam bentuk persetujuan).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu as-Sunni dalam *‘Amal al-Yaum wa al-Laylah* (125), Ibnu Hibban dalam *al-Majruḥīn* (1/223), dan Ibnu al-Jauzi dalam *al-Mawḍū‘āt* (1/244–245) melalui jalur Muhammad bin Zunbur bin Abi al-Azhar, dari al-Harits bin ‘Umair.
Ibnu Hibban berkata: “Palsu, tidak ada asalnya. Al-Harits bin ‘Umair biasa meriwayatkan dari para perawi terpercaya hadis-hadis yang palsu.”
Ibnu al-Jauzi menyetujui hal itu dan menambahkan: “Ibnu Khuzaimah berkata: Al-Harits pendusta, dan hadis ini tidak ada asalnya.” Selesai. Penulis (kitab) ini melemahkannya karena al-Harits bin ‘Umair. Lihat juga *Tafsīr asy-Syaukānī* (hal. 479) dengan takhrij dariku. Hadis ini batil, tidak ada asalnya, dan lafaz-lafaznya menunjukkan bahwa ia buatan. Wallahu a’lam”.
Komentar Penulis terhadap pernyataan Abdur Rozzaq al-Mahdy diatas :
Sayangnya beliau ini kurang bijak dan kurang komprehensif dalam mengutip
pernyataan para pakar jarh wa ta’dil tentang al-Harits bin Umair ini. Beliau
hanya mengutip pernyataan para pakar hadits yang menjarh-nya saja, tanpa
memperhatikan yang menta’dil-nya. Beliau tidak sebijak Zainuddin al-Iraqi yang
mengutip kedua-duanya, sebagaimana yang penulis sebutkan diatas.
Al-Iraqi setelah menyebutkan pernyataan Ibnu Hibban yang menjarh-nya,
lalu al-Iraqi berkata :
قُلْتُ: وَثَّقَهُ حَمَّادُ
بْنُ زَيْدٍ، وَابْنُ مَعِينٍ، وَأَبُو زُرْعَةَ، وَأَبُو حَاتِمٍ، وَالنَّسَائِيُّ،
وَرَوَى لَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا.
“Aku katakan : Ia (al-Harits) dinyatakan tsiqah oleh Hammad bin Zaid, Ibnu Ma‘in, Abu Zur‘ah, Abu Hatim, dan an-Nasa’i. Bahkan Al-Bukhari meriwayatkan darinya secara mu‘allaq (tanpa sanad)”. [Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin hal. 399].
Wallahu a'alm bish showaab.
FIQIH HADITS :
Berdasarkan hadits di atas, sebagian kalangan umat Islam yang biasa menjadikan al-Fatihah sebagai salah satu bacaan dzikir setelah shalat, terutama setelah shalat lima waktu.
MADZHAB HANAFI :
Yang mu'tamad dalam madzhab Hanafi adalah kebolehan membaca Al-Fatihah setelah selesai shalat fardhu lima waktu. al-'Allamah al-Khadimi dalam "Bariqah Mahmudiyyah," 1/98: berkata:
"وَأَمَّا قِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ أَدْبَارَ الْمَكْتُوبَاتِ فَكَثِيرٌ فِيهَا أَقْوَالُ الفُقَهَاءِ:
فَعَنْ "مَعْرَاجِ الدَّرَايَةِ" أَنَّهَا بِدْعَةٌ، لَكِنَّهَا مُسْتَحْسَنَةٌ لِلْعَادَةِ، وَلَا يَجُوزُ الْمَنْعُ. وَعَنْ "فَتَاوَى بَرْهَانِ الدِّينِ" يُكْرَهُ قِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ لِكَفَايَةِ الْمُهِمَّاتِ جَهْرًا وَمُخَافَتَةً. وَعَنْ "فَتَاوَى السُّعَدِيِّ" لَا يُكْرَهُ. وَفِي "التَّتَارِخَانِيَّةِ" وَ"القُنِيَّةِ" وَ"الأَشْبَاهِ": الاشْتِغَالُ بِقِرَاءَةِ الفَاتِحَةِ أَوَّلَى مِنَ الأَدْعِيَةِ الْمَأثُورَةِ فِي أَوْقَاتِهَا، وَمِنَ الْأَوْقَاتِ الْمَأثُورَةِ: أَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ؛ إذْ وُرِدَ أَدْعِيَةٌ كَثِيرَةٌ أَعْقَابَ الصَّلَوَاتِ عَنْ سَيِّدِ السَّادَاتِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَوَاتِ وَأَكْمَلِ التَّحِيَّاتِ.. وَفِي "فَصُولِ الأَسْرَوَشَنِيِّ": وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ أَوَّلَى مِنَ الأَدْعِيَةِ الْمَأثُورَةِ فِي أَوْقَاتِهَا.
وَالَّذِي تَحَرَّرَ مِنْ هَذِهِ النُّقُولِ: تَرْجِيحُ جَانِبِ الجَوَازِ؛ لِكَثْرَةِ قَائِلِهِ، وَأَنَّ البَدْعَةَ الْمُمْنَوعَةَ: مَا لَا يَكُونُ لَهَا إِذْنُ إِشَارَةٍ وَدَلَالَةٍ، وَسُورَةُ الفَاتِحَةِ سُورَةٌ تَعْلِيمٌ طَرِيقِ الدُّعَاءِ، وَسُورَةُ الْمَسْأَلَةِ، وَسُورَةٌ نَزَلَتْ لِبَيَانِ طَرِيقِ الأَفْضَلِ مِنَ الدُّعَاءِ، فَأَفْضَلُ الأَدْعِيَةِ إِنَّمَا يَلِيقُ وَيَجْرِي فِي أَفْضَلِ الأَوْقَاتِ، وَمِنْ أَفْضَلِ الأَوْقَاتِ أَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ، فَلَا كَلَامَ فِي أَصْلِ قِرَاءَتِهَا" اهـ.
"Adapun membaca Al-Fatihah di belakang shalat lima waktu, ada banyak pendapat ulama tentang ini:
Maka disebutkan dalam kitab "Ma'raj al-Darayah" bahwa membacanya dianggap sebagai bid'ah, akan tetapi dianjurkan karena telah menjadi adat, dan tidak boleh diharamkan.
Dan berdasarkan "Fatwa-fawat Burhanud-Din," membaca Al-Fatihah setelah shalat lima waktu dianggap makruh karena kepentingannya sudah terpenuhi [dalam shalat] baik secara jahr maupun tersembunyi.
Berdasarkan "Fataawaa as-Sa'di ": tidak dianggap makruh.
Dalam kitab "Tatarkhaniyah", "Qunyah" dan "Asybah": Lebih baik menyibukkan diri dengan membaca Al-Fatihah daripada membaca doa-doa yang ma'tsur pada waktunya. Salah satu waktu yang ma'tsur adalah di akhir shalat.
Banyak doa-doa yang diajarkan setelah shalat dari Sayyidina al-Saadaat, semoga Allah melimpahkan salawat dan salam atasnya... Dalam "Fusuul al-Asrawshani": Membaca Al-Fatihah lebih baik daripada membaca doa-doa yang ma'tsur pada waktunya.
Dan yang disepakati dari pendapat-pendapat ini: Lebih cenderung mentarjih pada kebolehan; karena banyaknya pendapat yang mendukung dan bahwa bid'ah yang dilarang adalah yang tidak memiliki isyarat atau dalil yang menunjukkannya. Dan Surah Al-Fatihah adalah surah yang mengajarkan cara berdoa, surah permohonan, dan surah yang diturunkan untuk menjelaskan jalan yang terbaik dalam berdoa. Doa yang terbaik hanya sesuai dan tepat pada waktu-waktu yang terbaik, dan salah satu waktu-waktu yang terbaik adalah di setiap akhir shalat. Oleh karena itu, tidak ada dasar yang menghalangi dari membaca Al-Fatihah." (Amin)."
MADZHAB ASY-SYAFI'I
Sedangkan di kalangan ulama Madzhab Syafi’i beberapa ulama menyatakan bolehnya menutup doa dengan Surat Al Fatihah, begitu diakhir do'a setelah shalat.
Di antara mereka adalah: Imam Asy Syihab Ar Ramli dimintai fatwa mengenai hukum membaca Al Fatihah setelah doa setelah melaksanan shalat:
(سُئِلَ) عَنْ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ عَقِبَ الدُّعَاءِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ هَلْ لَهَا أَصْلٌ فِي السُّنَّةِ أَمْ هِيَ مُحْدَثَةٌ لَمْ تُعْهَدْ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ، وَإِذَا قُلْتُمْ مُحْدَثَةٌ فَهَلْ هِيَ حَسَنَةٌ أَوْ قَبِيحَةٌ وَعَلَى تَقْدِيرِ الْكَرَاهَةِ هَلْ يُثَابُ قَائِلُهَا أَمْ لَا؟
"Beliau ditanya tentang membaca Al-Fatihah setelah doa setelah shalat; apakah memiliki dasar dalam Sunnah ataukah itu adalah sesuatu yang baru [مُحْدَثَةٌ] dan tidak dikenal pada awal periode Islam? Dan jika Anda mengatakan bahwa itu baru, apakah itu baik atau buruk? Dan jika diperkirakan makruh hukumnya: apakah orang yang mengucapkannya akan mendapatkan pahala atau tidak?
Maka Imam Ar-Ramli pun menjawab:
(فَأَجَابَ) بِأَنَّ لِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ عَقِبَ الدُّعَاءِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ أَصْلًا فِي السُّنَّةِ، وَالْمَعْنَى فِيهِ ظَاهِرٌ لِكَثْرَةِ فَضَائِلِهَا، وَقَدْ قَالَ - ﷺ - «فَاتِحَةُ الْكِتَابِ مُعَلَّقَةٌ فِي الْعَرْشِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ» وَفِيهَا مِنْ الصِّفَاتِ مَا لَيْسَ فِي غَيْرِهَا حَتَّى قَالُوا إنَّ جَمِيعَ الْقُرْآنِ فِيهَا وَهِيَ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ كَلِمَةً تَضَمَّنَتْ عُلُومَ الْقُرْآنِ لِاشْتِمَالِهَا عَلَى الثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَوْصَافِ كَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَعَلَى الْأَمْرِ بِالْعِبَادَاتِ وَالْإِخْلَاصِ فِيهَا وَالِاعْتِرَافِ بِالْعَجْزِ عَنْ الْقِيَامِ بِشَيْءٍ مِنْهَا إلَّا بِإِعَانَتِهِ - تَعَالَى، وَعَلَى الِابْتِهَالِ إلَيْهِ فِي الْهِدَايَةِ إلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ، وَعَلَى بَيَانِ عَاقِبَةِ الْجَاحِدِينَ، وَمِنْ شَرَفِهَا أَنَّ اللَّهَ - تَعَالَى - قَسَمَهَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَبْدِهِ وَلَا تَصِحُّ الْقِرَاءَةُ فِي الصَّلَاةِ إلَّا بِهَا وَلَا يَلْحَقُ عَمَلٌ بِثَوَابِهَا. وَبِهَذَا الْمَعْنَى صَارَتْ أُمَّ الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَأَيْضًا فَلِكَثْرَةِ أَسْمَائِهَا، وَكَثْرَةُ الْأَسْمَاءِ تَدُلُّ عَلَى شَرَفِ الْمُسَمَّى، وَلِأَنَّ مِنْ أَسْمَائِهَا أَنَّهَا سُورَةُ الدُّعَاءِ وَسُورَةُ الْمُنَاجَاةِ وَسُورَةُ التَّفْوِيضِ وَأَنَّهَا الرَّاقِيَةُ وَأَنَّهَا الشِّفَاءُ وَالشَّافِيَةُ لِقَوْلِهِ - ﷺ - «إنَّهَا لِكُلِّ دَاءٍ» وَقَالُوا إذَا عَلَّلْت أَوْ شَكَيْت فَعَلَيْك بِالْفَاتِحَةِ فَإِنَّهَا تَشْفِي
Bahwa membaca Al-Fatihah setelah doa setelah shalat memiliki dasar dalam Sunnah dan maknanya jelas, karena banyak keutamaan yang terkandung di dalamnya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«فَاتِحَةُ الْكِتَابِ مُعَلَّقَةٌ فِي الْعَرْشِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ»
'Al-Fatihah adalah sesuatu yang tergantung di atas Arasy dan tidak ada hijab di antara Al-Fatihah dan Allah.'
Di dalamnya terdapat sifat-sifat yang tidak ada pada surah lainnya, sehingga ada pernyataan bahwa seluruh Al-Quran terkandung di dalamnya.
Al-Fatihah terdiri dari dua puluh lima kata yang mencakup ilmu-ilmu Al-Quran. Ini termasuk pujian kepada Allah Azza wa Jalla dengan sifat-sifat keagungan dan keindahan-Nya, perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, pengakuan seseorang atas ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal tersebut tanpa pertolongan-Nya yang Maha Tinggi, permohonan kepada-Nya untuk petunjuk menuju jalan yang lurus, dan penjelasan akhirat orang-orang yang ingkar.
Salah satu kehormatannya adalah bahwa Allah Ta'aala membagikannya antara-Nya dan hamba-Nya. Membaca surah ini adalah satu-satunya bacaan yang shah dalam shalat, dan tidak ada amal lain yang dapat menandingi pahalanya.
Dengan makna ini, Al-Fatihah menjadi induk Al-Quran yang agung. Selain itu, karena banyaknya nama-namanya, dan banyaknya nama mengindikasikan kemuliaan yang diberikan pada yang diberi nama. Salah satu nama Al-Fatihah adalah bahwa ia adalah surah doa, surah al-munajat [percakapan langsung dengan Allah], surah at-Tafwidh [penyerahan diri], dan juga surah [Ar-Raaqayah] yang meruqyah. Ia adalah surah penyembuh, dan surah yang memberi kesembuhan.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«إنَّهَا لِكُلِّ دَاءٍ»
'Sesungguhnya Al-Fatihah adalah obat untuk segala penyakit.'
Mereka juga berkata: 'Jika kamu sakit atau merasa tidak enak badan, bacalah Al-Fatihah, karena ia akan menyembuhkan.' Amin." (Baca: Fatawa Al-Allamah Asy-Syihab Ar-Ramli, 1/160-161 cet. al-Makatab al-Islamiyyah).
Pendapat serupa disampaikan oleh Ibnu Allan Ash Shiddiqi Asy Syafi'i dalam kitabnya. (Dalil Al-Falihin li Thuruq Riyadh Ash-Shalihin, 6/200).
----
BACA AL-FATIHAH SETELAH BERDO'A:
Adapun Membaca Surat Al Fatihah setelah berdoa, maka itu merupakan kebiasaan kaum Muslim sejak lama. Sehingga para ulama pun juga telah membahas persoalan ini.
Dan ini adalah yang mu'tamad yang diikuti oleh para pengikut madzhab-madzhab yang banyak dianut.
Demikian juga pandangan para ulama dari berbagai madzhab mengenai hukum
membaca Surat Al Fatihah yang disertakan di saat seorang itu berdoa.
AMALAN SALAF:
Dari Atha` bin Abu Rabaah -rahimahullah -(wafat 114 H), ia berkata:
"إِذَا أَرَدتَ حَاجَةً
فَاقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ حَتَّى تَخْتِمَهَا تُقْضَى إِن شَاءَ
اللَّهُ"
”Jika engkau menginginkan hajat maka bacalah Fatihah Al-Kitab hingga
engkau menyelesaikannya, maka hajatmu akan tertunaikan, dengan izin Allah.”
(Riwayat Abu Asy Syaikh dalam Kitab Ats-Tsawaab.
Atsar 'Atho ini diriwayatkan pula dengan sanad nya oleh Ibnu al-Mubarrad
al-Hanbali dalam kitabnya al-Isti'anah bil Fatihah 'Ala Najaahil Umuur hal. 371
no.1, yaitu sbb:
[أَخْبَرَنَا جَمَاعَةٌ مِنْ
شُيُوخِنَا، أنا ابْنُ الْمُحِبِّ، أنا جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِنَا، أنا ابْنُ
مَكِّيٍّ، أنا جَدِّيَ السِّلَفِيُّ، أنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَأَبُو
الْعَبَّاسِ الصَّالِحَانِيُّ، وَغَيْرُهُمْ قَالُوا: أنا أَبُو نَصْرٍ
الْقَاشَانِيُّ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ
بْنُ أَحْمَدَ بْنِ تَمِيمٍ، ثنا ابْنُ حُمَيْدٍ، ثنا زَيْدٌ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ
عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءً، يَقُولُ: فذكره....].
Syarafuddin Ath Thibi menyatakan: ”Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam
meminta dan menjadikan keduanya (Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah) sebagai
pembantu dengan membacanya maka ia diberi apa yang ia cari.” (Baca: Al Kasyif
'an Haqaiq As Sunan, 5/1646).
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ibnu 'Allan As Siddiqi Asy Syafi'i
dalam kitabnya. (Dalil Al Falihin li Thuruq Riyadh Ash Shalihin, 6/200).
MADZHAB AL-HANAFI:
Al Allamah Mulla Ali Al Qari Al Hanafi berkata mengenai atsar tersebut:
وَهَذَا أَصْلٌ
لِمَا تَعَارَفَ النَّاسُ عَلَيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ الفَاتِحَةِ لِقَضَاءِ
الْحَاجَاتِ وَحُصُولِ الْمُهِمَّاتِ " اهـ.
”Inilah asal bagi apa yang populer bagi manusia dari pembacaan Al
Fatihah dalam rangka agar terkabulkan hajat-hajatnya dan diperolehnya
perkara-perkara penting.”.” (Baca: Al Asrar Al Marfua`ah, hal. 253).
Dan Madzhab al-Hanafiyyah menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah pada
makanan adalah mustahabb. al-'Allamah al-Khadimi al-Hanafi dalam "Bariqah
Mahmudiyyah" saat berbicara tentang tata krama makanan (4/111, Cetakan Dar
Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah) berkata:
"أَمَّا قِرَاءَةُ
الفَاتِحَةِ: فَعَنْ بَعْضِ العُلَمَاءِ عَنْ شَرْحِ مُخْتَصِرِ الإِحْيَاءِ
لِعَلِيِّ القَارِيِّ: وَقَوْلُ قِرَاءَةِ سُورَةِ الفَاتِحَةِ الْمُشْتَمِلَةِ
عَلَى التَّحْمِيدِ وَالدُّعَاءِ بِالاِسْتِقَامَةِ كَمَا هُوَ الْمُتَعَارَفُ
بَيْنَ العَوَامَّةِ مُسْتَحْسَنٌ خِلَافًا لِمَنْ مَنَعَهُ. اِنْتَهَى"
أَهـ.
"Adapun membaca Al-Fatihah: maka menurut sebagain para ulama, dalam
Syarah Mukhtashar al-Ihya' karya Ali al-Qari di sebutkan: dan pendapat membaca
surah Al-Fatihah yang berisi pujian dan doa untuk istiqomah, seperti yang
umumnya diterima oleh kalangan umum, adalah disukai, berbeda dengan pendapat
orang yang melarangnya. Selesai.' Amin."
MADZHAB MALIKI:
"Dan pendapat mazhab Maliki menyatakan bolehnya membaca Al-Fatihah
saat pelepasan atau perpisahan ketika hendak safar /bepergian.
Al-'Allamah ash-Shoowi dalam Haasyiyah-nya pada asy-Syarh ash-Shoghir
(1/487, edisi Dar al-Ma'arif) mengatakan:
وَمَا يَقَعُ مِن
قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ عِندَ الْوِدَاعِ فَأَنكَرَهُ الشَّيْخُ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ التَّاجُورِيُّ وَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يُرَدِّ فِي السُّنَّةِ،
وَقَالَ الْأَجْهُورِيُّ: بَلْ وَرِدَ فِيهَا مَا يُدَلِّ لِجَوَازِهِ، وَهُوَ
غَيْرُ مُنكَرٍ. أَهـ.
'Bacaan Al-Fatihah yang dilakukan saat perpisahan, Sheikh Abdur Rahman
al-Taajuuri mengkritiknya dengan mengatakan bahwa itu tidak ada dalam Sunnah.
Namun, al-Ajhuuri berkata: Bahkan sebaliknya, terdapat dalam Sunnah dalil yang
mengindikasikan kebolehannya, dan ini bukanlah hal yang dipersengketakan.'
[Selesai]."
MADZHAB AL-HANBALI:
Syeikh Yusuf bin Abdil Hadi Al Hanbali yang masyhur dengan sebutan Ibnu
Al Mubarrad (wafat 909 H) menulis sebuah risalah “Istianah bi Al Fatihah 'Ala
Najah Al Umur.” Dalam risalah itu dia mengatakan:
وَقَدْ شَاهَدْتُ
أَنَا مِنْ نَجَاحِ الْأُمُورِ بِهَا أَمْرًا عَظِيمًا، فَقَلَّ حَاجَةٌ مِنَ
الْحَوَائِجِ تَعْرِضُ لِي مِنَ الْحَوَائِجِ الدُّنْيَوِيَّةِ،
وَالْأُخْرَوِيَّةِ، فَأَقْرَؤُهَا عَلَيْهَا، إِلَّا قُضِيَتْ وَنَجَحَ
أَمْرُهَا، وَكَمْ مِنْ حَاجَةٍ تَعَسَّرَتْ وَاسْتَدَّتْ طُرُقُهَا، وَحَالَ
دُونَها الْمَوَانِعُ، فَقَرَأْتُهَا لِنَجَاحِهَا، فَقُضِيَتْ وَعَادَتْ أَتَمَّ
مَا كَانَتْ، وَكَمْ مِنْ أَمْرٍ تَعَسَّرَ، فَقَرَأْتُهَا لَهُ، فَتَقَشَّعَتْ
غُيُومُهُ، وَزَالَتْ سُحُبُهُ، وَأَنَارَتْ شُمُوسُهُ.
وَكَمْ مِنْ أَمْرٍ
أَهَمَّنَا تَنَاوُلُهُ، فَأَنْسَتِ الْمَقَادِيرُ قِرَاءَتَهَا لِتَنَاوُلِهِ
بَعْدَ أَنْ مُدَّتِ الْيَدُ لِأَخْذِهِ، حَالَتِ الْحُجُبُ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ،
وَاخْتُطِفَ بَعْدَ أَنْ تَوَصَّلَ إِلَى الْيَدِ، فَأَصْبَحَ لَا يُرَى لَهُ
أَثَرٌ، وَلَا يُدْرَى كَيْفَ ذَهَبَ.
وَهِيَ سُورَةٌ
عَظِيمَةٌ، فَعَلَيْكَ رَحِمَكَ اللَّهُ بِالْإِكْثَارِ مِنْهَا عَلَى أُمُورِكَ،
وَحَوَائِجِكَ، وَأَدْوَائِكَ، وَمُهِمَّاتِكَ، وَكُلِّ مَا عَرَضَ لَكَ،
وَتَأَمَّلْ ذَلِكَ تَجِدْ مِنْهُ مَا يَظْهَرُ لَكَ.
وَهِيَ سُورَةٌ
فَضَائِلُهَا كَثِيرَةٌ، وَأَسْرَارُهَا لَا تُحْصَى، وَإِنَّمَا يُعْرَفُ
الْجَوْهَرَ أَرْبَابُهُ، وَالْمَسْكَنَ أَصْحَابُهُ، وَالْمَعْلَمَ طُلَّابُهُ،
وَبِاللَّهِ الِاسْتِعَانَةُ، وَهُوَ وَلِيُّ التَّوْفِيقِ
"Aku
sendiri telah menyaksikan bahwa dari keberhasilan dalam berbagai urusan, yang
dengannya terdapat pengaruh yang besar. Maka tidaklah ada satu kebutuhan pun
dari kebutuhan dunia dan akhirat yang datang kepadaku, aku membacakan
Al-Fatihah di atasnya, kecuali hampir semua perkara tersebut terpenuhi dan
berhasil.
Dan betapa banyak kebutuhan yang sulit dan jalan-jalannya terhalang,
hambatan-hambatan berdiri di hadapannya, maka aku membacakan Al-Fatihah untuk
kesuksesannya, maka kebutuhan tersebut dipenuhi dan ia mencapai tujuannya.
Dan berapa banyak permasalahan yang rumit, maka aku membacakan
Al-Fatihah untuknya, maka awan-awan kelabunya mereda, awan-awan berlalu, dan
sinar-sinar menjadi terang benderang.
Serta berapa banyak perkara yang penting bagi kami, lalu takdir-takdir
telah membuat kami lupa untuk membaca Al-Fatihah demi untuk mengambilnya, maka
saat tangan telah terulur untuk mengambilnya, tiba-tiba hambatan-hambatan pun
muncul di antara diri kami dan perkara tersebut, dan ia tersambar dan
menghilang ketika tangan hampir meraihnya, lalu ia tidak meninggalkan jejak
yang terlihat dan tidak diketahui bagaimana hilangnya.
Al-Fatihah ini adalah surah yang agung, oleh karena itu, hendaknya
engkau, semoga Allah merahmatimu, banyak membacanya dalam semua urusanmu,
kebutuhanmu, pengobatanmu, tugas-tugasmu, dan semua yang menimpa engkau.
Surah ini memiliki banyak keutamaan dan rahasia-rahasianya yang tak
terhitung. Hakikatnya hanya dikenal oleh para pemiliknya, tempat kediamannya
hanya dikenal oleh para penghuninya, dan hanya diketahui oleh orang-orang yang
mencarinya. Dan hanya dengan pertolongan Allah, dan Dia adalah Wali yang
memberi petunjuk."
(Baca: Isti'anah bi Al Fatihah 'Ala Najah Al Umur, hal. 375, diterbitkan
dalam Jamharah Al-Ajza' Al-Haditsiyah).
===
DALIL-DALIL YAN DI JADIKAN PIJAKAN :
Para ulama menyatakan bolehnya mengawali doa dengan membaca Al Fatihah
menggunakan beberapa dalil, di antaranya adalah:
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda:
«مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ
يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ» ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ.
فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ:
«اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ»؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: ” قَالَ
اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ،
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: [الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ]. قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:
[الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ]. قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي،
وَإِذَا قَالَ: [مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ]، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ
مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: [إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ]. قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ،
فَإِذَا قَالَ: [اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ]. قَالَ: هَذَا
لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
”Barang siapa melaksanakan shalat dan di dalam shalat itu ia tidak
membaca Umm Al Quran (Al-Fatihah) maka shalat itu kurang.” Tiga kali. Tidak
sempurna (penjelasan periwayat Hadits).
Maka dikatakan kepada Abu Hurairah: ”Sesungguhnya kami berada di
belakang imam.”
Maka Abu Hurairah pun berkata: ”Bacalah Al Fatihah dalam dirimu,
sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
”Allah Ta’ala berfirman:’Aku telah membagi shalat antara Aku dengan
hamba-Ku dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Jika ia berkata: [الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ],
maka Allah berfirman, ”Telah memujiku, hambaku.”
Dan jika ia berkata: [الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ],
Allah Ta’ala berfirman, ”Telah memuji-Ku hamba-Ku.
Jika ia berkata: [مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ],
Allah Ta’ala berfirman,”Telah mengagungkan-Ku hamba-ku.” Dan sekali Ia juga
berfirman, ”Telah menyerahkan kepada-Ku hamba-Ku.”
Dan jika ia berkata: [إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ],
Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku
apa yang ia minta.” Jika ia berkata: [اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ], Allah Ta’ala berfirman: “Ini bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.” (HR. Muslim: 395, 1/296).
Syeikh Ibnu Abdil Hadi Al Hanbali berkata:
”Sebagian dari mereka (para ulama) berhujjah dengan hadits ini bahwa
tidak seorang pun membaca Al Fatihah dengan diniatkan untuk tertunaikannya
hajat dan ia memohon hajatnya kecuali ia akan tertunaikan.” (Al Isti'anah bi Al
Fatihah 'ala Najah Al Umur, hal. 372).
Sedangkan hadits lain yang dijadikan para ulama sebagai dalil dalam
masalah ini adalah hadits berikut:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
ia berkata:
بَيْنَمَا
جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِىِّ ﷺ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ
رَأسَه، فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ، لَمْ يُفْتَحْ
قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى
الأَرْضِ، لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَسَلَّمَ وَقَال: أَبْشِرْ
بِنُورَيْنِ أَوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌّ قَبْلَكَ، فَاتِحَةُ
الكِتَابِ وَخَوَاتِيَمُ سُورَةِ البَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا
إِلا أُعْطِيتَهُ.
”Sewaktu Jibril duduk bersama Rasulullah ﷺ,
ia (Jibril) mendengar suara (seperti terbukanya pintu), maka ia pun
menengadahkan kepalanya, lantas berkata:
”Ini
adalah pintu langit dibuka hari ini, ia tidak pernah dibuka sama sekali,
kecuali hari ini.”
Lantas turunlah dari pintu itu malaikat.” Jibril berkata: ”Malaikat ini
tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lantas ia malaikat itu pun berkata: ”Aku
memberi kabar gembira dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan tidak
pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau, Fatihah Al Kitab dan
penutup surat Al Baqarah. Engkau tidak akan membaca satu huruf pun dari
keduanya, kecuali engkau diberinya.” (Riwayat Muslim).
Syarafuddin Ath Thibi menyatakan: ”Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam
meminta dan menjadikan keduanya (Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah) sebagai
pembantu dengan membacanya maka ia diberi apa yang ia cari.” (dalam Al Kasyif
'an Haqaiq As Sunan, 5/1646).
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ibnu 'Allan As Siddiqi Asy Syafi'i
dalam kitabnya. (Dalil Al Falihin li Thuruq Riyadh Ash Shalihin, 6/200).
===***===
KETIGA BELAS: KEUTAMAAN BACA AL-FATIHAH SAAT PEMAKAMAN JENAZAH:
Dari 'Abd ar-Rahmaan ibn al-'Alaa' ibn al-Lajlaaj, dari ayahnya yang
berkata:
“إِذَا أَنَا مُتُّ، فَضَعْنِي
فِي اللَّحْدِ، وَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ،
وَسُنَّ عَلَيَّ التُّرَابَ سَنًّا، وَاقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ، وَأَوَّلِ الْبَقَرَةِ، وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ هَذَا "
Ketika aku meninggal, maka tempatkan aku di lahd (ceruk kubur) dan
katakan: Dengan nama Allah dan sesuai dengan agama Rasulullah. Kemudian
isi kubur, lalu bacakan di kepalaku Pembukaan Kitab (al-Fatihah), dan awal dan
akhir al-Baqarah, karena aku mendengar 'Abdullah ibn 'Umar mengatakan itu.
[Diriwayatkan
oleh al-Bayhaqi (7068), oleh al-Khallaal dalam al-Amr bi'l-Ma'ruuf wa'n-Nahyi'
'anil-Munkar (hal. 87), dan oleh ad-Daynuri dalam al- Mujaalasah (757)].
Dan Ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabiir (491) meriwayatkan 'Abd
ar-Rahmaan ibn al-'Alaa' ibn al-Lajlaaj, dari ayahnya yang berkata:
“قَالَ لِي أَبِي: " يَا
بُنَيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي، فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَحْدِي
فَقُلْ: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ، ثُمَّ سُنَّ عَلَيَّ
الثَّرَى سَنًّا، ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ
وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ ذَلِكَ".
Ayahku berkata kepadaku: Wahai anakku, ketika aku mati, maka kuburkan
aku, dan ketika kamu menempatkan aku di lahd (ceruk kubur) ku, katakanlah:
Dengan nama Allah dan sesuai dengan agama Rasulullah. Kemudian isi kubur,
lalu bacakan di kepalaku awal dan akhir Surat al-Baqarah, karena aku mendengar
Rasulullah (berkah dan damai Allah besertanya) mengatakan itu.
Al-Haitsami dalam al-Majma' mengatakan: " Para perawinya adalah
orang-orang yang dipercaya".
Yang benar Atsar Ini adalah dha'if (lemah) isnadnya . Karena 'Abd
ar-Rahmaan ibn al-'Alaa' ibn al-Lajlaaj adalah majhuul (tidak
diketahui). Adz-Dhahabi berkata dalam al-Mizaan (2/579):
ما روى عنه سوى
مبشر بن إسماعيل " انتهى
Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Mubashshir ibn
Ismail. [Akhiri kutipan].
Mereka yang menshahihkan riwayat ini hanya mengandalkan fakta bahwa Ibn
Hibbaan menganggap 'Abd ar-Rahmaan ini adalah tsiqah (dapat dipercaya), tetapi
Ibn Hibbaandikenal terlalu lunak dalam mentawtsiq perawi, terkadang dia
memasukkan di antara orang yang dapat dipercaya adalah seorang perawi yang tidak
diketahui siapa dia, dan tidak diketahui siapa ayahnya.
Oleh karena itu al-Hafidz mengatakan dalam biografinya tentang 'Abd
ar-Rahmaan ini dalam at-Taqreeb (hal. 348): "Maqbuul [Riwayat-riwayatnya
boleh diterima] ". Yakni jika ada riwayat-riwayat yang menguatkan, jika
tidak maka riwayatnya dianggap sebagai layyin (semacam hadis dhaif),
sebagaimana disebutkan dalam al-Muqaddimah.
Riwayat yang shahih dari Ibnu 'Umar adalah yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi (1046) melalui Naafi', dari Ibn 'Umar:
“أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ
إِذَا أُدْخِلَ المَيِّتُ القَبْرَ، قَالَ: (بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ، وَعَلَى
مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ)".
“Bahwa Nabi ﷺ ketika memasukkan mayit ke
dalam kuburan, senantiasa mengucapkan: "Bismillah wa billah wa 'ala
millati Rasuilillah (Dengan nama Allah, dengan bantuan Allah, dan sesuai dengan
agama Rasulullah)".
Lalu at-Tirmidzi berkata:
“هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الوَجْهِ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، وَرَوَاهُ أَبُو الصِّدِّيقِ النَّاجِيُّ،
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي الصِّدِّيقِ
النَّاجِيِّ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا أَيْضًا " انتهى.
Hadits ini hasan ghariib dengan isnad ini. Hadits ini diriwayatkan
dengan isnad lain dari Ibnu 'Umar, dari Nabi ﷺ. Diriwayatkan
oleh Abu's-Siddeeq an-Naaji, dari Ibnu 'Umar, dari Nabi ﷺ. Dan juga diriwayatkan dari Abu's-Siddeeq an-Naaji, dari
Ibnu 'Umar, dalam sebuah riwayat yang mawquf. [Akhiri kutipan].
Hadits ini dishahihkan oleh al-Albaani di Shahih at-Tirmidzi.
Hadits diatas diriwayatkan juga oleh at-Tabaraani dalam al-Mu'jam
al-Kabeer (13613) dan al-Bayhaqi dalam ash-Shu'ab (8854), melalui Yahya ibn
'Abdillah al-Baablutti: Ayyuub ibnu Nahiik mengatakan kepada kami: Saya
mendengar 'Athaa' ibn Abi Rabaah berkata: Saya mendengar Ibn 'Umar berkata:
Saya mendengar Nabi ﷺ bersabda:
(إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلَا
تَحْبِسُوهُ، وَأَسْرِعُوا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ، وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ الْبَقَرَةِ فِي
قَبْرِهِ).
“Ketika salah satu dari kalian meninggal, janganlah kalian tunda
[penguburannya], kalian segerakanlah ke kuburnya dan hendaklah dibacakan
di kepalanya Fatihatul-Kitab (al-Fatihah) dan di kakinya akhir surat
al-Baqarah, ketika dia telah ditempatkan di kuburnya.
Sanadnya di hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath. Namun
Al-Albaani mengatakan dalam adh-Dha'iifah (4140): Hadits yang sangat lemah
(dha'if jiddan).
Karena di dalam sanadnya terdapat Ayyub ibnu Nahiik, dia
digolongkan sebagai perawi dha'iif (lemah) oleh Abu Haatim dan
lainnya. Al-Azdi berkata: Dia matruuk (ditolak). [Baca: Mizaan al-I'tidaal
(1/294)].
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar sendiri berkata:
والبَابْلُتَّي:
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: يَأْتِي عَنِ الثِّقَاتِ بِأَشْيَاءِ مُعَضَّلَةٍ ،
يَهْمِ فِيهَا ، فَهُوَ سَاقِطُ الاحتِجَاجِ فِيمَا انفَرَدَ بِهِ ، وَقَالَ ابْنُ
عَدِيٍّ: أَثَرَ الضَّعْفُ عَلَى حَدِيثِهِ بَيِّنٌ
Mengenai al-Baablutti, Ibnu Abi Haatim berkata: Dia meriwayatkan
riwayat-riwayat bermasalah dari perawi-perawi yang dapat dipercaya di mana dia
tampak bingung, sehingga riwayat-riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah jika
dia sendirian. Ibn 'Adiyy berkata: Dampak kelemahan pada hadisnya jelas.
[Tahdziib at-Tahdziib (11/211)].
Silakan lihat pula Ahkaam al-Janaa'iz (1/192) karya al-'Allaamah
al-Albaani!.
===***===
KEEMPAT BELAS: DIDALAM AL-FATIHAH TIDAK ADA 7 HURUF [ث ج خ ز ش ظ ف] YANG MENGINDIKASIKAN PELINDUNG DARI API NERAKA
Salah satu keutamaan surat al-Fatihah, di dalam nya tidak terdapat 7
huruf Hijaiyyah, yaitu: 1. "Tsa" (ثاء).
2.
"Jim" (جيم).
3.
"Kho" (خاء)
4.
"Zaa" (زاء).
5.
"Syin" (شين).
6.
"Dzo" (ظاء).
7.
"Fa" (فاء).
Nidzomud-din an-Naisaabuuri dalam Tafsirnya Gharaa'ib al-Qur'an wa
Raghaa'ib al-Furqan mengatakan:
وَمِن فَضَائِلِ
هَـٰذِهِ السُّورَةِ أَنَّهُ لَمْ يُوجَد فِيهَا الثَّاءُ وَهُوَ الثُّبُورُ (لَا
تَدْعُوا الْيَوْمَ ثُبُورًا وَاحِدًا وَادْعُوا ثُبُورًا كَثِيرًا) [الفرقان: 14]
وَالْجِيمُ وَهُوَ جَهَنَّمُ (وَإِن جَهَنَّمَ لَمَوْعِدُهُمْ أَجْمَعِينَ)
[الحجر: 43] وَالْخَاءُ وَهُوَ الْخِزْيُ (يَوْمَ لَا يَخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ) [التَّحْرِيم: 8] وَالزَّاءُ وَهُوَ الزَّفِيرُ
وَالزَّقُومُ. وَالشِّينُ وَهُوَ الشَّهِيقُ (لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ)
[هُود: 106]
وَالظَّاءُ وَهُوَ
لَظَىٰ (كَلَّا إِنَّهَا لَظَىٰ) [المَعَارِج: 15] وَالْفَاءُ وَهُوَ الْفِرَاقُ
(وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُومَئِذٍ يَّتَفَرَّقُونَ) [الرُّوم: 14] فَلَمَّا
أَسْقَطَ اللَّهُ تَعَالَىٰ مِنَ الْفَاتِحَةِ هَذِهِ الْحُرُوفَ الدَّالَّةَ
عَلَى الْعَذَابِ وَهِيَ بِعِدَّدِ أَبْوَابِ جَهَنَّمَ لِقَوْلِهِ تَعَالَىٰ:
(لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ لِّكُلِّ بَابٍ مِّنْهُمْ جُزْءٌ مَّقْسُومٌ) [الحِجْر:
44] غَلَبَ عَلَى الظَّنِ أَنَّ مَن قَرَأَ الْفَاتِحَةَ نَجَا مِن جَهَنَّمَ وَدُخُولِ
أَبْوَابِهَا وَتَخْلِيصٍ مِّن دَرَكَاتِ النَّارِ وَعَذَابِهَا.
Artinya: " Salah satu keutamaan dari surat ini adalah bahwa di
dalamnya tidak terdapat huruf "Tsa" (ثاء) yang merupakan simbol dari kehancuran, seperti dalam ayat:
(لَا تَدْعُوا
الْيَوْمَ ثُبُورًا وَاحِدًا وَادْعُوا ثُبُورًا كَثِيرًا) [الفرقان: 14]
"Janganlah kamu mengundang pada hari ini kehancuran yang satu saja,
tetapi undanglah kehancuran yang banyak" [Al-Furqan: 14].
Juga tidak terdapat huruf "Jim" (جيم) yang melambangkan neraka, seperti dalam ayat:
(وَإِن جَهَنَّمَ
لَمَوْعِدُهُمْ أَجْمَعِينَ) [الحجر: 43]
"Dan sesungguhnya neraka Jahannam itu benar-benar tempat perjumpaan
mereka semuanya" [Al-Hijr: 43].
Tidak ada pula huruf "Kho" (خاء) yang melambangkan kehinaan, seperti dalam ayat:
(يَوْمَ لَا يَخْزِي اللَّهُ
النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ) [التَّحْرِيم: 8]
"Hari Allah tidak akan menghina Nabi dan orang-orang yang beriman
bersama dengan dia" [At-Tahrim: 8].
Tidak ada "Zaa" (زاء) yang melambangkan nafas yang
panjang dan penyiksaan dalam neraka, seperti dalam ayat yang menyebutkan Zafiir
dan Zaqquum.
Juga tidak ada "Syin" (شين) yang melambangkan nafas berat,
seperti dalam ayat:
(لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ
وَشَهِيقٌ) [هُود: 106]
“Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)".
[Hud: 106].
Tidak ada "Dzo" (ظاء) yang melambangkan bara dan nyala
api, seperti dalam ayat:
(كَلَّا إِنَّهَا لَظَىٰ)
[المَعَارِج: 15]
"Bahkan sesungguhnya dia berada dalam bara api" [Al-Ma'arij:
15].
Dan tidak ada "Fa" (فاء) yang melambangkan pemisahan,
seperti dalam ayat:
(وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ
يُومَئِذٍ يَّتَفَرَّقُونَ) [الرُّوم: 14]
"Dan pada hari kiamat, pada hari itu mereka terpisah"
[Ar-Rum: 14].
Ketika Allah Ta'ala menghilangkan huruf-huruf ini dari dalam Al-Fatihah,
huruf-huruf yang menunjukkan adanya siksaan dan bencana, yang jumlahnya sama
dengan jumlah pintu-pintu neraka sebagaimana firman-Nya:
(لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ
لِّكُلِّ بَابٍ مِّنْهُمْ جُزْءٌ مَّقْسُومٌ) [الحِجْر: 44]
"Sesungguhnya neraka Jahannam mempunyai tujuh pintu; tiap-tiap
pintu mempunyai golongannya sendiri-sendiri" [Al-Hijr: 44].
Maka kuat dugaan bahwa orang yang membaca Al-Fatihah akan
selamat dari neraka, masuk ke dalam pintu-pintunya, serta terhindar
dari azab dan siksaan neraka.
[Baca: Tafsiir an-Naisaabuuri, dalam Tafsir al-Fatihah].
===***===
KELIMA BELAS: MEDAWAMKAN BACA AL-FATIHAH KARENA CINTA, MAKA KELAK IA AKAN BERSAMANYA
Seorang muslim atau muslimah yang senantiasa baca surat al-Quran
terntentu seperti surat al-Fatihah dan al-Ikhlash, baik membacanya ketika di
dalam shalat maupun di luar shalat, dan dia mendawamkannya secara terus
menerus, yang mana dia lakukan itu karena menyukai kandungan makna yang
terdapat di dalamya atau karena adanya keterangan tentang fadhilah-fadhilah
didalamnya; maka orang tersebut kelak akan bersama bacaan tersebut. Meskipun
Nabi ﷺ sendiri tidak mencontohkannya dan tidak memerintahkannya. Dan
meskipun dilakukan dalam shalat, apalagi di luar shalat. Selama dia tidak
meyakini bahwa itu dari sunnah Nabi ﷺ,
melainkan karena dia menyukainya atau menginginkannya yang timbul dari dirinya.
===
DALILNYA:
Berikut ini adalah contoh bacaan sahabat dalam shalat yang dibenarkan
Nabi ﷺ. Padahal itu dilakukan dalam shalat, apalagi diluar shalat.
Sementara Nabi ﷺ pernah bersabda:
“صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ".
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(HR.
Al-Bukhari no. 6008 dan Muslim no. 674).
Diantaran bacaan sahabat tersebut adalah sebagai berikut:
AMALAN SAHABAT KE 1:
Bacaan surah al-Quran yang didawamkan sahabat dalam shalat yang di
benarkan bahkan dipuji oleh Nabi ﷺ
padahal bacaan tersebut bukan dari Nabi ﷺ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
:
أنَّ رجلًا كانَ
يلزَمُ قراءةَ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ في الصَّلاةِ في كلِّ سورةٍ وَهوَ يؤمُّ
أصحابَهُ ، فَقالَ لَهُ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّه عليهِ وعلَى آلِهِ وسلَّمَ: ما
يُلزِمُكَ هذِهِ السُّورةَ ؟ قالَ: إنِّي أحبُّها. قالَ: حبُّها أدخلَكَ الجنَّةَ.
Bahwa seorang pria bermulazamah [membiasakan] membaca: " Qul
Hualloohu Ahad" dalam sholat pada setiap selesai baca surat, dan dia
menjadi imam shalat para sahabatnya.
Maka Rosulullah ﷺ bertanya kepada nya: "
Apa yang mendorongmu untuk bermulazamah membaca surat ini? ".
Dia menjawab: " Sesungguhnya aku mencintainya ".
Lalu Beliau ﷺ bersabda: " Kecintaan-mu
pada nya akan memasukanmu ke dalam syurga".
[Hadits ini di hasankan oleh al-Waadi'i dalam ash-Shahih al-Musnad no.
87].
Riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ رَجُلٌ مِنْ
الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ فَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ
سُورَةً يَقْرَأُ لَهُمْ فِي الصَّلَاةِ فَقَرَأَ بِهَا افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ بِسُورَةٍ أُخْرَى مَعَهَا
وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا
إِنَّكَ تَقْرَأُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى
تَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا
وَتَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى قَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ
أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِهَا فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا
يَرَوْنَهُ أَفْضَلَهُمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ
النَّبِيُّ ﷺ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلَانُ مَا يَمْنَعُكَ مِمَّا
يَأْمُرُ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ أَنْ تَقْرَأَ هَذِهِ السُّورَةَ فِي
كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ
Seorang sahabat Anshar mengimami mereka di Masjid Quba`, setiap kali
mengawali untuk membaca surat (setelah al fatihah -pent) dalam shalat, ia
selalu memulainya dengan membaca QUL HUWALLAHU AHAD hingga selesai, lalu ia
melanjutkan dengan surat yang lain, dan ia selalu melakukannya di setiap
rakaat.
Lantas para sahabatnya berbicara padanya, kata mereka: "Kamu
membaca surat itu [Qulhuawwallah] lalu menurutmu itu tidak mencukupimu, hingga
kamu melanjutkannya dengan surat yang lain. Bacalah surat tersebut
[Qulhuawwallah]! Atau tinggalkan itu, lalu bacalah surat yang lain!."
Sahabat Anshar itu berkata: "Aku tidak akan meninggalkannya
[Qulhuawwallah], bila kalian ingin aku menjadi imam kalian dengan membacanya,
maka aku akan melakukannya. Dan bila kalian tidak suka, maka aku akan
meninggalkan kalian."
Sementara mereka menilainya sebagai orang yang paling mulia di antara
mereka, maka mereka tidak ingin diimami oleh orang lain.
Saat Nabi ﷺ mendatangi mereka, mereka memberitahukan
masalah itu.
Lalu beliau ﷺ bertanya: "Hai fulan,
apa yang menghalangimu untuk melakukan yang diperintahkan teman-temanmu dan apa
yang mendorongmu membaca surat itu disetiap rakaat?"
Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukainya."
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya
mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga."
[Al-Bukhari meriwayakannya dalam Shahihnya secara mu'allaq dengan
shighat Jazm (774), Dan diriwayatkansecara maushul oleh Tirmidzi no. (2826,
2901), Ahmad (hadis no. 11982 dan 12054) dan al-Darimi (hadis no. 3300).
Abu Isa at-Tirmidzy berkata;
Hadits ini hasan gharib, shahih dari jalur ini dari hadits 'Ubaidullah
bin Umar dari Tsabit. [Mubarak bin Fadlalah] meriwayatkan dari [Tsabit] dari
[Anas] bahwa seseorang berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
menyukai surat ini, yaitu QUL HUWALLAAHU AHAD." Beliau bersabda:
"Sesungguhnya mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga."
AMALAN SAHABAT KE 2:
Sama seperti di atas, yaitu Taqrir Nabi ﷺ
terhadap seorang imam shalat yang selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan
"Qul Huwallahu Ahad."
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu :
أنَّ النبيَّ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ
لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا
ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ
يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ: لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا
أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرُوهُ
أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ.
"Bahwa Rasulullah ﷺ mengutus seorang lelaki dalam
suatu sariyyah (pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu).
Laki-laki tersebut ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri
bacaan suratnya dengan "Qul Huwallahu Ahad."
Ketika mereka pulang, disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda: "Tanyakanlah kepadanya kenapa ia
melakukan hal itu?"
Lalu merekapun menanyakan kepadanya. Ia menjawab, "Karena
didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan aku senang untuk selalu
membacanya."
Mendengar itu Rasulullah ﷺ
bersabda: "Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga
mencintainya." (HR. Bukhori no. 7375 dan Muslim no. 813).
===***===
MENDAWAMKAN BACAAN TERTENTU SELAIN AL-QURAN DALAM SHALAT YANG TIDAK ADA CONTOH DARI NABI ﷺ
Ada sebagian para sahabat Nabi ﷺ
yang mendawamkan bacaan terntentu secara terus menerusdalam shalat, yang mana
bacaan tersebut bukan dari Nabi ﷺ.
Diantaranya adalah sbb:
****
PERTAMA: Do’a al-Istiftaah amalan Sahabat dalam shalat, yang dipuji oleh
Nabi ﷺ. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma
dia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ
نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللَّهُ
أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً
وَأَصِيلًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَنْ الْقَائِلُ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ
رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ
لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ
سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
"Ketika kami sedang shalat bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan;
اللَّهُ أَكْبَرُ
كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
(Maha Besar Allah, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, dan
Maha suci Allah di pagi dan sore hari)
Lantas Rasulullah ﷺ bertanya: "Siapa yang
mengatakan demikian dan demikian?".
Lelaki tersebut menjawab: "Saya ya Rasulullah."
Maka Rasululah ﷺ bersabda: "Aku merasa
kagum terhadapnya, karena dengannya pintu-pintu langit telah di buka."
Ibu Umar berkata: "Oleh karena itu, aku tidak pernah
meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah ﷺ." (HR. Muslim No. 601, Ahmad 8/79 no. 4399 dan Turmudzi
No. 3516)
Abu Isa at-Turmudzi berkata;
هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَحَجَّاجُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ
هُوَ حَجَّاجُ بْنُ مَيْسَرَةَ الصَّوَّافُ وَيُكْنَى أَبَا الصَّلْتِ وَهُوَ
ثِقَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ
"Hadits ini derajatnya hasan gharib melalui jalur ini, Dan Hajjaj
bin Abu Utsman adalah Hajjaj bin Maisarah Ash Shawwaf yang di juluki dengan Abu
Shalt menurut ahli hadits, ia adalah seorang yang tsiqah (dapat
dipercaya)."
****
KEDUA: Do’a al-Istiftaah amalan Sahabat dalam shalat yang dipuji oleh
Nabi ﷺ. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu :
“أَنَّ رَجُلًا جَاءَ ،
فَدَخَلَ الصَّفَّ وَقَدْ حَفَزَهُ النَّفَسُ ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ
حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ ﷺ
صَلَاتَهُ ، قَالَ: (أَيُّكُمُ الْمُتَكَلِّمُ بِالْكَلِمَاتِ ؟) ، فَأَرَمَّ
الْقَوْمُ – يعني: سكتوا - ، فَقَالَ: (أَيُّكُمُ الْمُتَكَلِّمُ بِهَا ؟
فَإِنَّهُ لَمْ يَقُلْ بَأْسًا) ، فَقَالَ رَجُلٌ: جِئْتُ وَقَدْ حَفَزَنِي
النَّفَسُ فَقُلْتُهَا ، فَقَالَ: (لَقَدْ رَأَيْتُ اثْنَيْ عَشَرَ مَلَكًا
يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَرْفَعُهَا)
“Bahwa seorang laki-laki datang dan masuk shaff (barisan) sementara
nafasnya masih terengah-engah, lalu mengucapkan:
“الْحَمْدُ لِلَّهِ
حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ "
Artinya: (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, lagi
penuh berkah di dalamnya).”
Seusai shalat, Rasulullah ﷺ
bertanya: “Siapakah Di antara kalian yang mengucapkan kalimat tadi?” Para
sahabat terdiam.
Beliau mengulangi pertanyaannya; “Siapakah yang mengucapkan kalimat
tadi, karena hal itu tidak masalah baginya.”
Lantas seorang sahabat berkata; “Aku tadi datang, sementara napasku
masih terengah-engah, maka kuucapkan kalimat itu.”
Beliau bersabda: “TADI AKU MELIHAT DUA BELAS MALAIKAT BEREBUT MENGANGKAT
UCAPAN ITU”.
(HR. Muslim no. 600 dan an-Nasaa’i no. 901)
****
KETIGA: Doa I'tidal amalan Sahabat yang di puji oleh Nabi ﷺ. Yaitu dari Rifa'ah bin Rafi' Az Zuraqi radhiyallahu ‘anhu
berkata:
“كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي
وَرَاءَ النَّبِيِّ ﷺ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، قَالَ: سَمِعَ
اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ
الْمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: أَنَا، قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا
يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ "
"Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi ﷺ. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan:
سَمِعَ اللَّهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ
(Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) '.
Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca;
رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
(Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang
banyak, yang baik dan penuh berkah) '."
Selesai shalat beliau bertanya: "Siapa orang yang membaca kalimat
tadi?"
Orang itu menjawab: "Saya." Beliau bersabda: "Aku melihat
lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu
untuk menuliskan kalimat tersebut."
(HR. Bukhori no. 757 dan Muslim no. 617)
PERHATIAN:
Kami mendengar dari banyak jamaah, ketika bangun dari rukuk, mengatakan:
(رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ
والشُّكْرُ)
(Tuhan kami bagi-Mu, pujian dan syukur)
Dan setelah pencarian yang panjang, kami menemukan bahwa riwayat bangun
dari rukuk terkait dengan zikir ini adalah sebagai berikut:
(رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ)
(Ya Tuhan kami, segala puji bagi-Mu)
(رَبَّنَا وَلَكَ
الحَمْدُ)
(Ya Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji)
(اللَّهُمَّ
رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ)
(Ya Allah). Ya Tuhan kami, segala puji bagi-Mu)
(اللَّهُمَّ
رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ)
(Ya Allah, Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji)
Penulis katakan:
Yang lebih afdlol dan lebih baik adalah tanpa mengucapkan kata “وَالشُّكْرُ” setelah mengatakan: “رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ”;
Karena kata (“وَالشُّكْرُ”dan terima kasih) setelah
mengatakan: “رَبَّنَا لَكَ
الحَمْدُ”
adalah tambahan yang tidak disebutkan dalam Sunnah, dan yang utama adalah
meninggalkannya.
Syeikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, berkata:
“لا شك أن التقيّد بالأذكار
الواردة هو الأفضل، فإذا رفع الإنسان من الركوع فليقل: "ربنا ولك
الحمد"، ولا يزد والشكر لعدم ورودها ".
“Tidak ada keraguan bahwa berpegang dengan mengamalkan dzikir-dzikir
yang terdapat dalam hadits-hadits adalah yang terbaik, Jadi jika seseorang
bangun dari ruku’, maka dia ucapkanlah: “رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ”.
Tanpa menambahi kata “وَالشُّكْرُ” karena tidak ada dalilnya.”
PERHATIAN:
Bahwa siapa pun yang membacanya dengan tambahan (“وَالشُّكْرُ”dan terima kasih) “, kami tidak mengatakan tentang orang tsb
bahwa dia melakukan amalan yang diharamkan atau bid’ah mungkaroh atau melakukan
sesuatu yang membatalkan sholatnya, tetapi lebih afdhol membatasi dirinya pada
apa yang disebutkan dalam Sunnah.
Syeikh Bin Baaz, semoga Allah merahmatinya, berkata:
"الأفْضَلُ أنْ يَقُوْلَ:
"رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ"، وَيَكْفِي وَلَا يَزِيدُ
"وَالشُّكْرُ"، وَإِن زَادَ كَلِمَةٌ (وَالشُّكْر) لَا يَضُرُّهُ،
وَيُعَلِّمُ أَنَّهُ غَيْرُ مَشْرُوعٍ".
"Lebih baik baginya untuk mengatakan: “رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ
/ Tuhan kami, segala puji bagi-Mu”, dan itu cukup dan tidak menambah (“وَالشُّكْرُ”dan terima kasih).
Dan jika kata “وَالشُّكْرُ” ditambahkan itu tidak
membahayakannya, dan dikasih tahu bahwa itu tidak disyariatkan”.
*****
KEEMPAT: Doa dalam Tasyahhud dari amalan Sahabat yang di taqrir
oleh Nabi ﷺ.
Dari Abu Shalih dari sebagian para sahabat Nabi ﷺ,
mereka berkata:
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ
لِرَجُلٍ كَيْفَ تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ النَّارِ أَمَا إِنِّي لَا
أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ حَوْلَهَا
نُدَنْدِنُ
Nabi ﷺ pernah bertanya kepada seorang laki-laki: "Bagaimana kamu
berdo'a dalam shalat?"
Laki-laki tersebut menjawab; "Aku membaca tasyahhud dan
mengucapkan;
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ النَّارِ
“Ya Allah, aku memohon kepada Engkau surga dan berlindung kepada Engkau
dari api neraka.
Kami tidak bisa memperbagus senandung doa (merangkai kata-kata yang
bagus dalam berdo'a) seperti senandung Engkau dan senandung Mu’adz ".
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda: "Seputar
itulah kami bersenandung (dalam berdo’a)".
(HR. Ahmad No. 15333 dan Abu Daud No. 672 dan di shahihkan oleh Syeikh
al-Albaani).
Lalu Abu Daud menyebutkan riwayat lain dengan sanadnya: dari Jabir RA
-dia menyebutkan kisahnya Mu'adz- dengan mengatakan;
وَقَالَ يَعْنِي
النَّبِيَّ ﷺ لِلْفَتَى كَيْفَ تَصْنَعُ يَا ابْنَ أَخِي إِذَا صَلَّيْتَ قَالَ
أَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَأَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ
مِنْ النَّارِ وَإِنِّي لَا أَدْرِي مَا دَنْدَنَتُكَ وَلَا دَنْدَنَةُ مُعَاذٍ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنِّي وَمُعَاذًا حَوْلَ هَاتَيْنِ أَوْ نَحْوَ هَذَا
“Nabi ﷺ bertanya kepada seorang
pemuda: "Wahai anak saudaraku, apa yang kamu perbuat (baca) ketika
mengerjakan shalat?"
Pemuda itu menjawab; "Aku membaca surat Al Fatihah dan memohon
surga-Nya Allah dan berlindung dari api nerakanya Allah, sesungguhnya aku tidak
bisa memperbagus senandung doa (merangkai kata-kata yang bagus dalam berdo'a)
seperti senandung Engkau dan senandung Mu’adz.
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda:"Sesungguhnya
aku dan Mu'adz (juga berdo'a) sekitar dua hal itu “. Atau kata-kata yang
semisalnya. (HR. Abu Daud no. 792).
Dalam riwayat Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
لِرَجُلٍ مَا تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَتَشَهَّدُ ثُمَّ أَسْأَلُ اللَّهَ
الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ أَمَا وَاللَّهِ مَا أُحْسِنُ
دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ فَقَالَ حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ
Rasulullah ﷺ bertanya kepada seorang
laki-laki:" Apa yang engkau baca dalam sholat?
Laki-laki itu menjawab:
Aku bertasyahhud kemudian memohon kepada Allah Surga dan berlindung
kepada-Nya dari Api Neraka.
Aku tidak bisa merangkai untaian kata-kata dalam doa dengan baik seperti
untaian doa anda dan untaian doa Muadz.
Maka Nabi ﷺ bersabda: Berkisar pada
itulah tujuan kami merangkai untaian kata-kata dalam doa(yakni: permohonan
Surga dan berlindung dari Neraka)
(H.R Abu Dawud no. 792 dan Ibnu Majah no. 898)
Di Shahihkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagaimana dalam الفتوحات الربانية 3/17 dan dishahihkan pula oleh
al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 792.
===****===
BOLEHKAH BACA AL-QURAN SAAT RUKU DAN SUJUD DALAM SHALAT?
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat:
Mayoritas para ulama mengatakan makruh membaca Al-Quran ketika Ruku dan
Sujud, adapun di selain keduanya adalah mubah, mereka berhujjah dengan hadits
Ali radhiyallahu ‘anhu dan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu .
Sementara Imam Bukhori berpendapat lain, yaitu boleh baca al-Quran
ketika Ruku, Sujud dan lainnya, sebagaimana yang di kutip oleh Ibnu Rusyd dlam
kitab “بداية المجتهد”, beliau berkata:
اتَّفَقَ الجمهورُ
عَلَى مَنْعِ قِرَاءَةِ القرآنِ فِي الرُّكوعِ وَالسُّجودِ لِحَدِيثِ عليٍّ فِي
ذَلِكَ، قَالَ: "نَهَانِي حِبِّي صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، أَنْ أَقْرَأَ
رَاكِعًا، أَوْ سَاجِدًا". قَالَ الطَّبَرِيُّ: وَهُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ،
وَبِهِ أَخَذَ فُقَهَاءُ الْأَمَصَّارِ. وَصَارَ قَوْمٌ مِنَ التَّابِعِينَ إلَى
جَوَازِ ذَلِكَ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْبُخَارِيِّ، لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ
الْحَدِيثُ عِنْدَهُ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Artinya: Mayoritas para ulama sepakat bahwa dilarang membaca Al-Qur’an
ketika ruku’ dan sujud, berdasarkan hadits Ali tentang hal itu, beliau ﷺ bersabda:
“نَهَانِي حِبِّي
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، أنْ أقْرَأَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا ".
"Kekasihku ﷺ melarangku membaca (al-Quran) ruku'
atau sujud" [HR. Muslim no.480]
Ath-Thabari berkata: Ini adalah hadits shahih, dan para ahli fiqih di
seluruh pelosok negeri mengamalkannya.
Namun ada satu kaum dari kalangan para tabi’iin yang membolehkan baca
al-Quran ketika ruku dan sujud. Dan ini adalah MADZHAB IMAM AL-BUKHORI,
alasannya karena hadits larangan baca al-Quran ketika ruku dan sujud menurutnya
adalah tidak shahih “.
(Lihat Kitab “بداية المجتهد” karya Ibnu Rusyd 3/46, di
cetak bersama “الهداية في تخريج
البداية”
karya al-Muhaddits Ahmad al-Ghumaari al-Hasani).
Sementara dalam riwayat lain larangan tersebut hanya saat sedang ruku
saja:
Dari 'Ali - radhiyallahu anhu- berkata:
“نَهَانِي النَّبِيُّ ﷺ عَنْ
الْقَسِّيِّ وَالْحَرِيرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ
وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى وَأَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا".
"Rasulullah ﷺ melarangku memakai pakaian
sutra, kain sutra, dan cincin emas, serta melarang membaca (Al Qur'an) saat
ruku.
Dia berkata lagi: " Dan beliau melarangku membaca (Al Qur'an) saat
ruku'."
[HR. An-Nasaa'i no. 1040] Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih
an-Nasaa'i no. 1040
SAYA KATAKAN (Penulis):
Pertama: Hadits Ali dan Ibnu Abbaas tentang larangan baca Al-Quran
ketika Ruku dan Sujud, dua-duanya shahih, di riwayatkan imam Muslim, imam
Ahmad, Daud, Turmudzi, Nasai dan lain lain.
Kedua: Kalau seandainya benar bahwa hadits larangan tersebutlemah atau
dhaif, lalu dalil yang di jadikan imam Bukhori itu apa, sehingga beliau
membolehkan baca al-quran ketika sujud dan ruku????
Jawabannya adalah: keumuman dari firman Allah swt tentang bacaan
al-Quran dalam shalat:
فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
Artinya: “ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran “
(QS. Al-Muzammil: akhir ayat)
Dan Sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ هَذِهِ
الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ هَذَا إِنَّمَا هِيَ
التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
"Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada sesuatu kata-kata orang
pun didalamnya, shalat hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al Quran (HR.
Muslim).
NOTE:
Dalam pemaparan di atas, ada yg perlu perhatikan, Yaitu sbb:
Pertama:
Antara Imam Bukhori dengan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang
keshahihan hadits larangan baca Al-Quran ketika Ruku dan sujud.
Kedua:
Ada riwayat shahih lainnya yg menyatakan bhw yang dilarang baca Quran
itu hanya ketika Ruku Saja.
Ketiga:
Imam Bukhori memboleh kan baca al-Quran ketika Ruku dan Sujud berdalil
dengan dalil yang kandungannya umum. Karena imam Bukhori hanya berdalil dgn
mengatakan bhw hadits larangan tersebut Dho'if. Maka beliau berdalil dengan
mengembalikannya ke hukum asal atau dalil umum. Yaitu menurut madzhab Imam
Bukhori bahwa dalam shalat secara mutlak boleh baca alquran, dzikir dan
Tasbiih.
=====
PERNYATAAN SAHABAT ABU UMAMAH radhiyallahu ‘anhu :
TENTANG MENDAWAMKAN AMAL BAIK YANG TIDAK ADA CONTOH DARI NABI ﷺ:
Muhammad bin Nasher al-Marwazi (w. 294 H) meriwayatkan dari Abu Umamah
radhiyallaahu 'anhu:
“إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ
صِيَامَ رَمَضَانَ وَلَمْ يَكْتُبْ قِيَامَهُ ، وَإِنَّمَا الْقِيَامُ شَيْءٌ
أَحْدَثْتُمُوهُ فَدُومُوا عَلَيْهِ وَلَا تَتْرُكُوهُ فَإِنَّ نَاسًا مِنْ
بَنِي إِسْرَائِيلَ ابْتَدَعُوا بِدْعَةً لَمْ يَكْتُبْهَا اللَّهُ عَلَيْهِمُ
ابْتَغَوْا بِهَا رِضْوَانَ اللَّهِ فَلَمْ يَرْعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
فَعَابَهُمُ اللَّهُ بِتَرْكِهَا ، فَقَالَ: [وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا
كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا
حَقَّ رِعَايَتِهَا] [الحديد: 27]".
“Allah mewajibkan puasa Ramadhan pada kalian, dan Dia tidak mewajibkan
shalat qiyamullail nya [Tarawihnya]. Dan adapun shalat qiyamullail adalah
sesuatu yang baru yang kalian ada-adakan, maka kalian harus mendawamkannya
[memeliharanya] dan janganlah kalian meninggalkannya; karena dulu ada
segolongan manusia dari Bani Israil mengada-adakan amalan bid'ah yang tidak
pernah diperintahkan Allah atas mereka, yang mana mereka melakukan semua itu
dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah dengannya.
Namun ternyata mereka itu tidak memeliharanya sebagaimana mestinya, maka
Allah SWT mencela mereka karena meninggalkannya, dan Allah SWT berfirman:
وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ
فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
Dan mereka mengada-adakan bid'ah rahbaniyah, padahal Kami tidak
mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya. [QS. Al-Hadiid: 27]
[Lihat
مختصر قيام الليل وقيام رمضان وكتاب
الوتر 1/23
karya Muhammad bin Nasher al-Marwazi]
Apa yang dikatakan sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu ini ada kemiripan dengan kewajiban menunaikan
amalan nadzar:
Contohnya taqriir Nabi ﷺ terhadap amalan sahabat yang
bernadzar menyembelih kurban di sebuah tempat diluar Hari Raya Idul Adlha dan
ada pula yang nadzar berjalan.
Ada beberapa riwayat:
Ke 1: Dari Tsabit bin Adh-Dhahak Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
نَذَرَ رَجُلٌ
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَنْحَرَ إِبِلاً
بِبُوَانَةَ, فَأَتَى رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَسَأَلَهُ:
فَقَالَ: هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ يُعْبَدُ?قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ كَانَ
فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ? فَقَالَ: لَا. فَقَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ;
فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اَللَّهِ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ
رَحِمٍ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ اِبْنُ آدَمَ".
Pada zaman Rasulullah ﷺ ada
seorang laki-laki yang bernadzar bahwa dia akan berqurban Unta di Buwanah. Lalu
dia mendatangi Rasulullah ﷺ.
Lalu nabi pun bertanya kepadanya: “Apakah di sana ada berhala yang
disembah?” Beliau menjawab: ” Tidak.”
Nabi bertanya lagi: “Apakah di sana dirayakah salah satu hari raya
mereka?” Beliau menjawab: “Tidak.”
Lalu nabi bersabda: “Penuhilah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh
memenuhi nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, nadzar untuk memutuskan
silaturahim, dan tidak pula nadzar pada harta yang tidak dimiliki manusia.”
(HR. Abu Daud no. 3313 dan ini adalah lafadznya.Di riwayatkan pula oleh
Ath-Thabarani no. 2/76 no. 1341 dan al-Baihaqi no. 20634.
Di Shahihkan isnadnya oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Buluughul Maram
dan oleh al-Jawroqooni dalam al-Abaathiil wal Manaakiir 2/202 dan al-Albaani
dalam al-Misykaah no. 3437)
Ke 2: Dalam Sunan Abu Daud No. 3314. Dari Maimunah binti Kardam, ia
berkata:
خَرَجْتُ مَعَ
أَبِي فِي حِجَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتُ النَّاسَ
يَقُولُونَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلْتُ
أُبِدُّهُ بَصَرِي فَدَنَا إِلَيْهِ أَبِي وَهُوَ عَلَى نَاقَةٍ لَهُ مَعَهُ
دِرَّةٌ كَدِرَّةِ الْكُتَّابِ فَسَمِعْتُ الْأَعْرَابَ وَالنَّاسَ يَقُولُونَ
الطَّبْطَبِيَّةَ الطَّبْطَبِيَّةَ فَدَنَا إِلَيْهِ أَبِي فَأَخَذَ بِقَدَمِهِ
قَالَتْ فَأَقَرَّ لَهُ وَوَقَفَ فَاسْتَمَعَ مِنْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ وُلِدَ لِي وَلَدٌ ذَكَرٌ أَنْ أَنْحَرَ عَلَى رَأْسِ
بُوَانَةَ فِي عَقَبَةٍ مِنْ الثَّنَايَا عِدَّةً مِنْ الْغَنَمِ قَالَ لَا
أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهَا قَالَتْ خَمْسِينَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ بِهَا مِنْ الْأَوْثَانِ شَيْءٌ قَالَ لَا قَالَ
فَأَوْفِ بِمَا نَذَرْتَ بِهِ لِلَّهِ قَالَتْ فَجَمَعَهَا فَجَعَلَ يَذْبَحُهَا
فَانْفَلَتَتْ مِنْهَا شَاةٌ فَطَلَبَهَا وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَوْفِ عَنِّي
نَذْرِي فَظَفِرَهَا فَذَبَحَهَا
Aku keluar bersama ayahku dalam haji yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, lalu aku melihat Rasulullah ﷺ
dan aku mendengar orang-orang berkata: "Rasulullah."
Pandanganku terus mengikuti Rasulullah, lalu ayahku mendekatinya dalam
keadaan berkendaraan onta dan membawa cambuk seperti cambuk para juru tulis.
Aku mendengar orang-orang badui dan yang lain berkata: "Pembawa
cambuk! Pembawa cambuk!".
Ayahku mendekati Rasulullah lalu memegang kakinya.
Maimunah melanjutkann kisahnya:
Kemudian ayahku mengakui (risalah Rasulullah ﷺ)
dan berdiri mendengarkannya. Setelah itu ayahku berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar, jika mempunyai anak
laki-laki, aku akan menyembelih beberapa kambing di atas Gunung Buwanah, yaitu
di jalan tanjakan gunung."
-Perawi hadits berkata: Aku tidak tahu kecuali perempuan (Maimunah) itu
mengucapkan lima puluh (50) ekor kambing -
Rasulullah ﷺ bertanya: "Apakah
di sana ada berhalanya?" Ayahku menjawab, "Tidak."
Rasulullah ﷺ bersabda, "Tepatilah
apa yang kamu nadzarkan itu karena Allah.'"
Maimunah melanjutkan kisahnya:
Kemudian ayahku mengumpulkan kambing-kambing itu dan menyembelihnya.
Akan tetapi ada satu kambing yang terlepas, lalu ayahku mengejarnya dan berdoa:
"Ya Allah, tepatilah dariku nadzarku."
Maka kambing yang terlepas itu tertangkap lalu disembelih ayahku.
(Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 3314 dan Ibnu
Majah no. 2131).
Ke 3: Dalam Sunan Abu Daud No. 3315. Dari Maimunah binti Kardam bin
Sufyan dari ayahnya... seperti hadits di atas.
قَالَ هَلْ بِهَا
وَثَنٌ أَوْ عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ لَا قُلْتُ إِنَّ أُمِّي
هَذِهِ عَلَيْهَا نَذْرٌ وَمَشْيٌ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا وَرُبَّمَا قَالَ ابْنُ
بَشَّارٍ أَنَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah
di sana ada berhalanya atau ada hari raya Jahiliyah?"Ayahku menjawab,
'Tidak."
Aku berkata: "Sesungguhnya ibuku mempunyai nadzar BERJALAN, apakah
aku menunaikan nadzar ibuku itu?"
-Terkadang Ibnu Basyar (perawi) meriwayatkan: Apakah kami yang
menunaikan nadzar ibuku itu?—
Rasulullah ﷺ
bersabda: "Ya."
(Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2131).
Adapun Nadzar yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum
dan hak syar'i, maka itu dilarang dan tidak boleh dilaksanakan. Sebagaimana
yang terjadi pada nadzarnya seorang wanita muslimah yang lari dari tawanan para
perampok:
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran bin Hushain
radhiyallahu ‘anhu , dia berkata:
وَأُسِرَتِ
امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي
الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ
فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا
دَنَتْ مِنَ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ
فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ
زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ –
قَالَ - وَنَذَرَتْ
لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ
الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ . فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم . فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ
عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا . فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ .
فَقَالَ "
سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ
عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ
يَمْلِكُ الْعَبْدُ " .
“Ada
seorang wanita Anshar tertawan (para perampok) bersama dengan unta beliau ﷺ yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar tersebut dalam
keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah
beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan
persinggahan-persinggahan mereka.
Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan
segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk
dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga ia temui
unta 'adlba'. Jadilah ia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di
bagian belakangnya. Lalu ia menghardiknya hingga berlari kencang.
Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar
tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.
Wanita itu sempat bernadzar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia
akan sembelih unta 'adlba' itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat
unta tersebut, lalu mereka berkata, Ini adalah Al Adlba', unta Rasulullah ﷺ!.
Wanita itu berkata (dengan redaksi): "Apabila Allah
menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya".
Lalu orang-orang menemui Rasulullah ﷺ
dan memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.
Maka Rasulullah ﷺ berkomentar: "
Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan ia kepadanya, ia bernadzar kepada
Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka ia akan menyembelihnya, tidak ada
kewajiban melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula
terhadap sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang hamba".[HR. Muslim
no. 3099]
===****===
HATI – HATI JANGAN MUDAH MENGHARAMKAN! DAN JUGA MENGHALALKAN!
Jangan membikin-bikin hukum Halal dan
Haram dengan berdusta mengatas namakan Allah!.
Allah SWT berfirman:
[ وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى
اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا
يُفْلِحُونَ ]
Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh
lidah kalian secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesung guhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan ter hadap Allah tiadalah beruntung. [QS an-Nahl:116]
Ibnu al-Jawzi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam tafsirnya
(Zaad al-Masiir fi 'Ilmi at-Tafsir):
"وقَد ذَهَبَ طائفَةٌ مِنَ
العُلَمَاءِ: إلَى أَنَّ الكَذِبَ عَلَى اللَّهِ وَعَلَى رَسُولِهِ كُفْرٌ، وَلا
رِيبَ أَنَّ الكَذِبَ عَلَى اللَّهِ وَعَلَى رَسُولِهِ مُتَعَمِّدًا فِي
تَحَلِّيلِ حَرَامٍ، أَوْ تَحْرِيمِ حَلَالٍ - كُفْرٌ مُحَضٌ" اهـ.
“Sekelompok ulama telah sampai pada kesimpulan bahwa berbohong terhadap
Allah dan Rasul-Nya adalah kafir. Dan tidak ada keraguan bahwa berbohong
terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan disengaja dalam menghalalkan yang haram,
atau mengharamkan yang mubah – adalah murni kafir.”
Dan dosa paling besar adalah mudah menghukumi haram. Maka berhati-hati
dan berwaspada lah bagi orang mudah memfatwakan hukum haram, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits Sa’d ibnu Abi Waqaash: bahwa Nabi ﷺ berkata:
[ إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ
جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ
مَسْأَلَتِهِ ]
Sesungguhnya (seseorang dari) kaum Muslim yang paling besar dosanya
adalah yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut
diharamkan karena pertanyaannya. (HR. Bukhory no. 6745)
Para Ulama Salaf dahulu, mereka takut sekali dan tidak berani
sembarangan mengatakan: "Ini Halal dan ini Haram ".
Imam Malik, semoga Allah merahmatinya, berkata:
"لَمْ يَكُنْ أَسْلَافُنَا
يَقُولُونَ: هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ، مَا كَانُوا يَجْتَرِئُونَ عَلَى
ذَلِكَ، وَإِنَّمَا كَانُوا يَقُولُونَ: نَكْرَهُ هَذَا، وَنَرَى هَذَا حَسَنًا،
وَنَتَقِي هَذَا، وَلَا نَرَى هَذَا، فَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ:[قُلْ
أَرَأَيْتُمْ مَا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ]
[يونس: 59]، الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَهُ
اللَّهُ". اهـ.
Para Salaf kami tidak berani mengatakan: Ini halal dan ini haram. Mereka
tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu, akan tetapi mereka biasa
mengatakan: " Kami membenci ini,kami menganggap ini adalah baik, kami
takut akan ini, dan kami tidak berpendapat ini. Karena Allah SWT berfirman:
[ قُلْ
أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ
حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ]
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan
Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal."
Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan
itu) atau kalian mengada-adakan kebohongan saja terhadap Allah?" (QS
Yunus: 59).
Yang Halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah, dan yang haram adalah
apa yang diharamkan oleh Allah.”
(Baca:" جامع بيان العلم
وفضله
" dan " إعلام الموقعين "[38/1]).
Dengan demikian, berbohong kepada Allah Ta'aala mensyariatkan suatu
perkara yang tidak diizinkan oleh Allah Ta'aala.
Dan Allah SWT berfirman:
﴿ قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا
قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ. وَمَا ظَنُّ
الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ
لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ ﴾
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan
Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal."
Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan
itu) atau kalian mengada-kan kebohongan saja terhadap Allah?" (QS Yunus:
59).
Dan apa dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
pada hari kiamat?
Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas
manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).(QS Yunus: 60)
Dan Firman Allah SWT:
[ قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا
قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ ]
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.”
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau
kamu mengada-adakan saja terhadap Allah.” [QS Yūnus (10):59]
Dan Firman Allah SWT:
[ قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ]
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi -karena
sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” [QS al-An'am (6):145]
Dan Firman Allah SWT:
[ قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ
اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ
لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ
كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ]
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.”
Demikianlah Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui". [QS al-A'rāf: 32]
0 Komentar