DIROSAH HADITS TALQIN MAYIT DAN SEJAK KAPANKAH ADANYA TALQIN ?
Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI :
· *PEMBAHASAN PERTAMA : DIROSAH HADITS TALQIN MAYIT DARI ABU UMAMAH AL-BAAHILY radhiyallaahu 'anhu :
· *PEMBAHASAN KEDUA : SEJAK KAPAN TALQIN MAYIT ITU ADA ?
· *PEMBAHASAN KETIGA : TANGGAPAN PARA ULAMA DARI MADZHAB IMAM AHMAD TENTANG
TALQIN MAYIT :
· *ORANG YANG BARU MENINGGAL MASIH
MENDENGAR SUARA ORANG HIDUP
· *ARTIKEL MEDIS BAHWA MAYIT YANG BARU MENINGGAL MASIH BISA MENDENGAR
===============================
بسم الله الرحمن الرحيم
PEMBAHASAN PERTAMA
DIROSAH
HADITS TALQIN MAYIT DARI ABU
UMAMAH AL-BAAHILY radhiyallaahu 'anhu :
Al-Imam ath-Thabarani meriwayatkan :
"Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aqil Anas bin Salim
Al-Khawlani , telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim bin Al-'Ala'
Al-Himshi , telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyaash, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al-Qurashi, dari Yahya bin Abi
Katsir, dari Sa'id bin 'Abdullah Al-Awdi, dia berkata:
شَهِدْتُ أَبَا
أُمَامَةَ وَهُوَ فِي النَّزْعِ، فَقَالَ : إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نصْنَعَ بِمَوْتَانَا،
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " إِذَا مَاتَ
أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ
أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ
يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي
قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا
رَحِمَكَ اللهُ، وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ. فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ
مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ
نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ
مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ
لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا ". فَقَالَ رَجُلٌ:
يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ: «فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ،
يَا فُلَانَ بْنَ حَوَّاءَ»
Artinya : Saya menyaksikan Abu Umamah ketika dia sedang naza' [
menjelang wafat], dan dia berkata :
“Jika nanti aku mati, lakukan kepadaku seperti yang pernah diperintahkan
Rasulullah ﷺ
kepada kami untuk melakukannya kepada mayit-mayit kami. Beliau memerintahkan
kami dengan sabdanya :
“Jika seorang diantara saudara kalian meninggal dunia, setelah kalian
ratakan tanah di atas kuburannya, seorang diantara kalian hendaklah berdiri di
atas arah kepala mayit, lalu ucapkan : “Hai fulan (sebutkan nama si mayit) bin
fulanah (nama ibunya si mayit)”. Sesungguhnya si mayit mendengar panggilan itu,
tetapi ia tidak mampu menjawabnya.
Kemudian ucapkan lagi : “Hai fulan bin fulanah”. Begitu mendengar
panggilan tersebut, ia langsung duduk. Lantas ucapkan lagi: “Hai fulan bin
fulanah”, maka ia akan bilang : ”Berilah kami pengarahan, semoga Allah
merahmatimu”.
Hanya saja kamu tidak merasa (mendengar jawabannya). Lalu katakan :
“Ingatlah sesuatu ketika kamu keluar dari dunia (mati), yaitu kesaksianmu bahwa
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Bahwa kamu
menerima dengan ridho Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul, serta Al-Qur`an sebagai panutanmu”.
Sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir (begitu mendengar talqin
tersebut), salah seorang diantara keduanya memegang tangan temannya seraya
berkata : “Mari kita pergi dari tempat ini. Tidak ada gunanya duduk di sini”.
Seorang sahabat bertanya : “Ya Rasulullah! Bagaimana jika kita tidak
tahu nama ibunya?”. Jawab beliau : “Kamu sebut saja nama ibu Hawwa`. Hai fulan
bin Hawwa`”
[HR. ath-Thabrani dalam kitabnya “ الدعاء “ no. 1214 dan “ المعجم
الكبير “ no. 7979].
Dari jalur sanad ini telah meriwayatkannya pula para ulama hadits sbb :
1] adl-Dhiyaa’ al-Maqdisi dalam kitabnya al-Ahkaam.
2] Ibrahim al-Harby dalam kitab “اتباع
الأموات”.
3] Abul Hasan al-Khila’iy dalam kitabnya “الخِلَعيات” .
4] Abul Hasan al-Hakkaary dalam Juznya “هدية
الأحياء للأموات” .
5] Abu Abdullah ats-Tsaqofy dalam kitabnya “الأربعين “ .
6] al-Musta’firiy dalam kitabnya “الدعوات “ juga Abu Bakar Ghulaam al-Khollaal dalam
kitabnya “الشافي “
dan Ibn Zabar ar-Rib’iy dalam kitabnya “وصايا
العلماء عند الموت “.
DERAJAT HADITS :
"Hadits ini ada yang mensahihkan dan ada yang mendloifkan bahkan
palsu.
PERTAMA: PARA ULAMA YANG MENSHAHIHKAN HADIS ABU UMAMAH AL-BAAHILY.
Hadits ini di shahihkan oleh beberapa ulama hadits . Diantarnya adalah
sbb :
KE 1 : al-Haafidz Abu
Manshur Abdullah bin al-Waliid al-Hanbaly , beliau menyebutkannya dalam
kitabnya “جامع الدعاء الصحيح “ .
KE 2 : al-Hafidz
al-Mundzir . Beliau mengkhususkan karya tulis satu Juz dari kitabnya untuk
menguatkan hadits tsb dengan menelusuri syahid-syahidnya .
KE 3 : al-Imam Abul
Barkaat ibnu Taimiah al-Hanbaly dalam kitabnya “شرح الهداية “ . Beliau setelah menyebutkan hadits ini
dengan sanad-sanadnya , lalu berkata :
"[في هذِهِ
الأَسَانِيدِ مَقَالٌ، وَأَصْلَحُهَا إِسْنَادُ أَبِي بَكْرٍ فِي "الشَّافِي"..
وَتَعْدُدُ الطُّرُقِ مِمَّا يُغَلِّبُ عَلَى الظَّنِّ صِحَّةَ الْحَدِيثِ] أهـ"
“ Di dalam sanad-sanad hadits ini terdapat kritikan / مقال ,
dan sanad yang terbaik adalah sanadnya Abu Bakar dalam kitabnya " الشافي
" . Dan dengan adanya beberapa jalan sanad yang yang berbeda kemungkinan
besar hadits ini shahih “. ( selesai ) “.
Di nukil dari Risalah "الإيضاح
والتبيين لمسألة التلقين" (ص: 170، ط. دار البشائر) karya al-Haafidz As-Sakhowi .
KE 4 : al-Haafidz Ibnu al-Mulaqqin dalam kitabnya “البدر المنير (5/334، ط. دار الهجرة)“ berkata:
"[إِسْنَادُهُ
لَا أَعْلَمُ بِهِ بَأْسًا، وَذُكِرَهُ الْحَافِظُ أَبُو مَنْصُورٍ فِي "جَامِعِ
الدُّعَاءِ الصَّحِيحِ"] أهـ"
“ Sanadnya setahuku tidak ada masalah , dan hadits ini
disebutkan al-Hafidz Abu Manshur dalam kitab nya “جامع الدعاء
الصحيح / Kumpulan doa yang shahih “.
KE 5 : al-Hafidz Ibnu
Hajar al-‘Asqalaany dalam kitabnya “التلخيص
الحبير “ (2/311 Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah) berkata
:
"[إِسْنَادُهُ
صَالِحٌ، وَقَدْ قَوَّاهُ الضِّيَاءُ فِي "أَحْكَامِهِ"] أهـ."
“Sanadnya sholeh , dan adh-Dhiya’ telah memperkuatnya dalam
kitab Ahkaamnya”.
KE 6 : Murid nomer
wahid Ibnu Hajar , yaitu al-Haafidz As-Sakhowi dalam kitabnya “المقاصد الحسنة” (hal.
265 no. 347) berkata :
"[وَقَوَّاهُ
الضِّيَاءُ فِي أَحْكَامِهِ، ثُمَّ شَيْخُنَا – يَعْنِي: الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرِ الْعَسْقَلَانِيُّ-
مِمَّا لَهُ مِنَ الشَّوَاهِدِ، وَعَزَّى الْإِمَامُ أَحْمَدُ الْعَمَلَ بِهِ لِأَهْلِ
الشَّامِ، وَابْنُ الْعَرَبِيِّ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَغَيْرِهِمَا، كَقُرْطُبَةِ
وَغَيْرِهَا، وَأَفْرَدْتُ لِلْكَلَامِ عَلَيْهِ جُزْءًا] أهـ."
“ Dan adh-Dhiya’ telah memperkuatnya dalam kitab Ahkaamnya .
Kemudian Syeikh kami – yakni al-Haafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolany – beliau juga
memiliki syawahid utk memperkuatnya . Dan al-Imam Ahmad menisbatkan amalan tsb
kepada Ahli Syam. Sementara Ibnu al-‘Araby menisbatkan pula kepada ahli Madinah
dan lainnya , seperti di Cordova dan lainnya , dan beliau secara khusus telah
menulis satu juzz kitab khusus masalah talqin ini “.
Kemudian al-Hafidz as-Sakhowi dalam kitab “الإيضاح
والتبيين بمسألة التلقين “
hal. 265 (Cet. Dar al-Kitab al-'Arabi) menyebutkan syawaahid utk memperkuat
hadits tsb dan keshahihan dalam mengamalkannya , beliau berkata :
"[فَهَذِهِ
أَحَدُ عَشْرٍ عَاضِدًا يُعْتَضَدُ بِهَا حَدِيثُ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
وَتُقُوِّي الاِسْتِدْلاَلَ بِهَا عَلَى اِسْتِحْبَابِ التَّلْقِينِ] أهـ."
“ Maka ini ada sebelas penguat yang menguatkan hadits Abu Umamah
t dan memperkuat dalil akan mustahabnya Talqin “”.
KE 7 : Di shahihkan
pula oleh Al-Imam Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab “المنامات “ .
KE 8 : Oleh Al-Imam
Bahsyal dalam kitabnya “المنامات “ – seperti yang disebutkan oleh al-Haafidz Abdul Haq
al-Esybelley dalam kitabnya " العاقبة في ذكر الموت " hal. 183 (Cet. Maktabah Dar
al-Aqsha) .
KE 9 : Oleh Ibnul Qoyyim al-Jauzy al-Hanbaly dalam kitabnya "ar-Ruuh" hal. 13-14 (Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)
KE 10 : Oleh Syamsuddin
al-Jazary dalam kitab " الزهر الفائح في ذكر من
تنزه عن الذنوب والقبائح"
hal. 53 (Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
PENGUAT HADIST ABU UMAMAH AL-BAAHILI :
PENGUAT PERTAMA : al-Haafidz Sa’iid ibnu Manshur dalam kitab Sunan nya
meriwayatkan :
عَنْ رَاشِدِ
بْنِ سَعْدٍ، وَضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ، وَغَيْرِهِمَا قَالُوا: «إذَا سُوِّيَ عَلَى
الْمَيِّتِ قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ، كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ
يُقَالَ لِلْمَيِّتِ عِنْدَ قَبْرِهِ: يَا فُلَانُ قُلْ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ،
قُلْ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قُلْ: رَبِّي اللَّهُ،
وَدِينِي الْإِسْلَامُ، وَنَبِيِّ مُحَمَّدٌ. ثُمَّ يَنْصَرِفُ»
Dari : Rasyid bin Saad , Dhomroh bin Habiib , Hakiim bin ‘Umair – mereka
bertiga adalah para ulama Tabi’iin Senior dari Distrik Himsh – mereka berkata :
“ Jika Mayit sudah di kubur , dan orang-orang beranjak meninggalkan tempat tsb
, mereka meng istihbab kan utk mengatakan kepada mayit yang dikubur : wahai
Fulan , katakanlah : tidak ada tuhan selain Allah , aku bersaksi bahwa tidak
ada tuhan selain Allah , 3x , wahai Fulan , katakanlah : wahai Fulan katakanlah
: Robbku Allah , agamaku Islam dan nabiku Muhammad ﷺ . Kemudian beranjak pulang”.
[ Lihat : al-Badrul Munir oleh Ibnu al-Mulaqqin 5/338 , at-Talkhish
al-Habiir oleh Ibnu Hajar 2/270 (Cet. Qurthubah) , as-Sunan wa al-Ahkaam oleh
Yusuf al-Maqdisi al-Hanbali no. 2964 dan al-Fathurrobbaani Lit Tartiib Musnad Imam Ahmad 8/66 oleh Ahmad
as-Saa'ati ].
Asy-Syaukani dalam Neil al-Awthar 4/109 (Cet. Dar al-Hadits – Mesir) berkata
:
وَالْأَثَرُ
الْمَرْوِيُّ عَنْ رَاشِدٍ وَضَمْرَةَ وَحَكِيمٍ ذَكَرَهُ الْحَافِظُ فِي التَّلْخِيصِ
وَسَكَتَ عَنْهُ، وَرَاشِدٌ الْمَذْكُورُ شَهِدَ صِفِّينَ مَعَ مُعَاوِيَةَ، ضَعَّفَهُ
ابْنُ حَزْمٍ، وَقَالَ الدَّارَقُطْنِيّ: يُعْتَبَرُ بِهِ وَالثَّلَاثَةُ كُلُّهُمْ
مِنْ قُدَمَاءِ التَّابِعِينَ حِمْصِيُّونَ
"Dan atsar yang diriwayatkan dari Rasyid, Dhamrah, dan
Hakim yang disebutkan oleh Al-Hafidz dalam at-Talkhish dan dia [al-Hafidz] tidak
berkomentar tentangnya.
Rasyid tersebut, beliau mati shahid dalam Perang Siffin bersama
Muawiyah. Namun, Ibnu Hazm telah melemahkan riwayatnya. Ad-Daraquthni berkata:
Riwayatnya ini mu'tabar [bisa diterima], dan ketiga orang ini semuanya adalah para
ulama senior dari kalangan tabi'in yang berasal dari Himsh (Himshiyuun)."
Lalu asy-Syaukani menyempulkan :
[ظَاهِرُهُ أَنَّ
الْمُسْتَحِبَّ لِذَلِكَ الصَّحَابَةُ الَّذِينَ أَدْرَكُوهُمْ] اهـ.
“ Yang nampak darinya menunjukkan bahwa yang me-mustahab-kan
amalan talqin itu adalah para sahabat yang mereka jumpai “. [“Neil al-Awthaar “
4/109-110 ].
PENGUAT KE DUA : Ibnu Abi ad-Dunya dalam al-Manaamaat (hal. 20 no. 18) :
Dari Syabiib bin Syaibah , berkata :
" لَمَّا
حَضَرَتْ أُمِّي الْوَفَاةُ دَعَتْنِي فَقَالَتْ: يَا بُنَيَّ إِذَا دَفَنْتَنِي
فَقُمْ عِنْدَ قَبْرِي فَقُلْ: يَا أُمَّ شَيْبَةَ قُولِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
، فَلَمَّا دَفَنْتُهَا اكْتَنَفَتِ الْقَبْرَ النِّسَاءُ ، وَكَانَتِ امْرَأَةٌ قَدْ
حَضَرَتْ وَصِيَّتَهَا مَعَهُنَّ فَقَالَتْ لِلنِّسَاءِ: تَنَحَّيْنَ فَإِنَّ أُمَّهُ
قَدْ أَوْصَتْهُ بِوَصِيَّةٍ ، فَجِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ قَبْرِهَا فَقُلْتُ:
يَا أُمَّ شَيْبَةَ قُولِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، فَلَمَّا كَانَ مِنَ اللَّيْلِ
أَتَتْنِي فِي الْمَنَامِ فَقَالَتْ: يَا بُنَيَّ لَقَدْ حَفِظْتَ وَصِيَّتِي ، فَلَوْلَا
أَنْ تَدَارَكْتَنِي لَقَدْ كِدْتُ أَهْلِكُ ".
“ Ketika ibuku menghadapi sakaratul maut , beliau
memanggilku , maka beliau berkata :
Wahai anakku , jika kalian selesai menguburku , maka kau berdirilah di
sisi kuburanku , maka katakanlah : Wahai Ummu Syaibah, katakanlah : لا إله إلّا الله “.
Maka ketika aku selesai menguburkannya , tiba-tiba para kaum wanita
mengelilingi kuburannya , dan ada seorang wanita yang membawa wasiat ibu ku
datang bersama mereka . Wanita itu berkata kepada mereka : minggirlah, kasih
dia jalan ! sesungguhnya ibu nya dia telah berwasiat kepadanya sebuah wasiat ,
maka aku pun maju dan berdiri di samping kuburannya , maka aku berkata :
Wahai Ummu Syaibah , katakana lah : “لا إله إلا
الله “.
Maka ketika di malam harinya aku bermimpi , ibu ku mendatangi ku , maka
beliau berkata : Wahai anakku , sungguh engkau benar-benar telah menjaga
wasiatku , maka kalo seandainya engkau tidak segera menyusulku , sungguh aku
hampir binasa “.
KEDUA : PARA ULAMA YANG MENDHOIFKAN DAN YANG MENGANGGAP PALSUNYA HADITS TALQIN ABU UMAMAH AL-BAAHILY (RA).
Para ulama Ahli Hadits yang mendhaifkan serta menganggap palsu hadits
Talqin Mayit dari Abu Umamah al-Baahily adalah sbb :
KE 1 : Al-Haitsami
berkata dalam "Majma' Az-Zawa'id" 3/45:
فِي إِسْنَادِهِ جَمَاعَةٌ لَمْ أَعْرِفْهُمْ"
'Dalam sanadnya terdapat sekelompok orang
yang tidak saya ketahui.'"
Berbeda dengan muridnya , yaitu Ibnu Hajar al-‘Asqalaany , maka
berselisih jauh dalam menghukumi hadits tsb , karena dia telah mengatakan dalam
kitabnya “التلخيصِ “ 2/135-136 :
"
إسنادهُ صالحٌ ، وقد قواهُ الضياءُ في أحكامهِ "
“Sanadnya Sholeh , dan Adh-Dhiyaa telah menganggapnya kuat dalam
kitabnya “ al-Ahkaam”.
KE 2 : Syeikh Al-Albaani berkata dalam “الضعيفةِ” (599) tentang hadits Abu Umamah ini :
"مُنْكَرٌ:
أَخْرَجَهُ الْقَاضِي الْخُلَعِيْ فِي "الْفَوَائِدِ" (55/2) عَنْ أَبِي
الدَّرْدَاءِ هَاشِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَنْصَارِيِّ: ثَنَا عُتْبَةُ بْنُ السَّكَنِ،
عَنْ أَبِي زَكَرِيَّا، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَعِيدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ: "دَخَلْتُ
عَلَى أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَهُوَ فِي النَّزْعِ، فَقَالَ لِي: "يَا
أَبَا سَعِيدٍ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتِنَا فَإِنَّهُ قَالَ: " فَذُكِرَهُ..."
“Munkar : Al-Qadhi Al-Khula’i menyusunnya dalam“الفوائدِ
”(55/2) dari Abi Al-Darda 'Hashem Bin Muhammad Al-Ansari: telah bercerita
kepada kami Utbah bin Al-Sakan, dari Abu Zakariya, dari Jabir bin Sa’id
al-Azdiy :
Saya menemui Abu Umaamah al-Bahli ketika dia dalam sakaratulmaut , dan
dia berkata kepada saya:
"Wahai Abu Saeed, jika saya mati, lakukanlah kepada saya
sebagaimana Rasul Allah SWT
memerintahkan kita utk melakukannya kepada orang-orang mati kita, karena
beliau bersabda: " Lalu dia menyebutkannya ….. “.
Lalu Syekh al-Albaani berkata :
"قُلْتُ:
وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ جِدًّا، لَمْ أَعْرِفْ أَحَدًا مِنْهُمْ غَيْرَ عُتْبَةَ
بْنِ السَّكَنِ، قَالَ الدَّارُقُطْنِيُّ: "مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ"، وَقَالَ
الْبَيْهَقِيُّ: "وَاهٍ مَنْسُوبٌ إِلَى الْوَضْعِ"."
Saya berkata: Ini adalah sanad yang sangat lemah. Saya tidak mengenal
mereka selain Utbah bin as-Sakan. Al-Daraqutni berkata: “ Hadisnya adalah
ditinggalkan ( متروك ) ,”
dan Al-Bayhaqi berkata: “Dia lemah ( واهٍ ) dinisbatkan kepada nya sebagai pemalsu
hadits “.
Lalu Syekh al-Albaani berkata :
"وَالْحَدِيثُ
أَوْرَدَهُ الْهَيْثَمِيُّ (3/45) عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَزْدِيِّ قَالَ:
"شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ ... الْحَدِيثِ. وَقَالَ: "رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ
فِي "الْكَبِيرِ" وَفِي إِسْنَادِهِ جَمَاعَةٌ لَمْ أَعْرِفْهُمْ"."
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Haythami (3/45) dari Saeed bin
Abdullah Al-Azdi yang mengatakan: “Saya menyaksikan Abu Umamah ... hadits. .
Dia berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Tabarani di “المعجم
الكبير” , di dalam sanadnya terdapat
sekelompok perawi yang tidak saya kenali “.
Lalu Syekh al-Albaani berkata :
"قُلْتُ:
فَاخْتَلَفَ اسْمُ الرَّاوِي عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، فَفِي رِوَايَةِ الْخُلَعِيِ أَنَّهُ
جَابِرُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَزْدِيُّ، وَفِي رِوَايَةِ الطَّبَرَانِيِّ أَنَّهُ سَعِيدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَزْدِيُّ، وَهَذَا أَوْرَدَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ
(2/1/76) فَقَالَ: "سَعِيدٌ الْأَزْدِيُّ" لَمْ يُنْسَبْهُ لِأَبِيهِ، وَلَمْ
يَذْكُرْ فِيهِ جَرْحًا وَلَا تَعْدِيلًا، فَهُوَ فِي عَدَادِ الْمَجْهُولِينَ، فَالْعَجَبُ
مِنْ قَوْلِ الْحَافِظِ فِي "التَّلْخِيصِ" (5/243) بَعْدَ أَنْ عَزَّاهُ
لِلطَّبَرَانِيِّ: "وَإِسْنَادُهُ صَالِحٌ، وَقَدْ قَوَاهُ الضِّيَاءُ فِي
"أَحْكَامِهِ"، وَأَخْرَجَهُ عَبْدُ الْعَزِيزِ فِي "الشَّافِي"،
وَالرَّوَايَ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ سَعِيدٌ الْأَزْدِيُّ بَيَّضَ لَهُ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ"!
Saya katakana : Telah terjadi perbedaan tentang Nama perawi dari Abu
Umamah ? maka dalam riwayat Al-Khula'i bahwa dia itu adalah Jabir bin Saeed
Al-Azdi, dan dalam riwayat Al-Tabarani bahwa dia itu adalah Said bin Abdullah
Al-Azdi.
Dan ini disebutkan oleh Ibn Abi Hatim (2/1/76)
maka Dia berkata: “Saeed Al-Azdi” tidak menghubungkannya dengan ayahnya, dan
Dia tidak menyebutkan jarh ( جرح ) dan ta’dil ( تعديل ) tentang dia , oleh karena itu dia
termasuk orang yang tidak diketahui ( مجهول ) , maka sungguh mengherankan apa yang
dikatakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya “التلخيص
الحبير” (5/243)
setelah menisbatkannya kepada Al-Tabarani , beliau berkata : “Sanadnya bagus,
dan adh-Dhiyaa’ sungguh telah memperkuatnya dalam kitabnya “ الأحكام ”.
Dan disebutkan pula oleh Abdul Aziz dalam kitab nya “ الشافي “ .
Dan nama perawi dari Abu Umamah , yaitu Sa’iid al-Azdy tidak Nampak tertulis (بياض)
dalam kitabnya Ibnu Abi Haatim “!.
Lalu Syekh al-Albaani berkata :
"فَأَنَّى
لَهَذَا الإِسْنَادِ الصَّلَاحِ وَالْقُوَّةِ وَفِيهِ هَذَا الرَّجُلُ الْمَجْهُولُ؟
بَلْ فِيهِ جَمَاعَةٌ آخَرُونَ مِثْلُهُ فِي الْجَهَالَةِ كَمَا يُشِيْرُ إِلَى ذَلِكَ
كَلَامُ الْهَيْثَمِيِّ السَّابِقِ، وَهَذَا كُلُّهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي إِسْنَادِ
الطَّبَرَانِيِّ عُتْبَةُ بْنُ السَّكَنِ الْمَتَّهَمُ، وَإِلَّا فَقَدْ سَقَطَ الإِسْنَادُ
بِسَبَبِهِ مِنْ أَصْلِهِ! وَقَدْ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي "الْمَجْمُوعِ"
بَعْدَ أَنْ عَزَّاهُ لِلطَّبَرَانِيِّ: "وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ
الصَّلَاحِ: "لَيْسَ إِسْنَادُهُ بِالْقَائِمِ"."
Jika demikian adanya , kok bisa al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa
sanadnya sholeh dan kuat , sementara ada perawi yang majhul / tidak dikenal
???? Bahkan ada sekelompok perawi lainnya yang semisalnya yaitu majhul . Dan
Ini semua jika di dalam sanad tidak terdapat ‘Utbah bin as-Sakan , dia itu perawi
yang muttaham / tertuduh pemalsu hadits , dan ternyata dia itu ada dalam sanad
tsb , maka otomatis dengan sendirinya nilai sanad tsb jatuh dengan sebab adanya
dia .
Dan al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya “ المجموع “ berkata setelah menisbatkannya
kepada ath-Thabrani : “ Dan Sanadnya Dloiif “. Sementara itu Ibnu Sholah
berkata : “ Sanadnya tidak tegak berdiri ( ليس إسنادهُ
بالقائمِ ) “.
Lalu Syekh al-Albaani berkata :
"وَكَذَلِكَ
ضَعَّفَهُ الْحَافِظُ الْعِرَاقِيُّ فِي "تَخْرِيجِ الْإِحْيَاءِ" (4/420)،
وَقَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي "الزَّادِ" (1/206): "لَا يَصْحُ رَفْعُهُ"."
Dan begitu juga hadits ini di dloifkan pula oleh al-Hafidz al-‘Irooqi
dalam kitabnya “تخريجِ الإحياءِ “ 4/420 . Dan Ibnu Qoyyim dlm kitabnya “ زاد المعاد
“ 1/206
berkata : “ tidak shahih dari Nabi “ ( لا يصح رفعه ).
Kemudian Syeikh al-Albaany mengakhiri perkataanya dengan sebuah
kesimpulan sbb :
"وَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَيْسَ لِلْحَدِيثِ مَا يَشْهَدُ لَهُ، وَكُلُّ مَا ذَكَرَهُ الْبَعْضُ إِنَّمَا
هُوَ أَثَرٌ مَوْقُوفٌ عَلَى بَعْضِ التَّابِعِينَ الشَّامِيِّينَ لَا يُصْلِحُ شَاهِدًا
لِلْمَرْفُوعِ بَلْ هُوَ يُعِلُّهُ، وَيُنَزِّلُ بِهِ مِنَ الرَّفْعِ إِلَى الْوَقْفِ...
وَجُمْلَةُ الْقَوْلِ أَنَّ الْحَدِيثَ مُنْكَرٌ عِنْدِي إِنْ لَمْ يَكُنْ مَوْضُوعًا..."
آهٍ."
Dan Ketahuilah ! bahwa hadits ini sama sekali tidak memiliki apa yang
bisa dijadikan syahid/saksi penguat, dan semua yang disebutkan dari beberapa
orang adalah atsar mauquf “أثر موقوف “ kepada beberapa tabiin dari Ahli Syam , yang mana atsar tsb
tidak bisa utk dijadikan saksi penguat hadits marfu’/ dari Nabi ﷺ ,
bahkan membuatnya cacat riwayat , dan menurunkan derajat hadits dari “ مرفوع “
turun ke “ موقوف “.
Kesimpulannya : Bahwa hadits ini menurutku adalah munkar , jika bukan
Palsu “. [Selesai].
Inilah kutipan dari perkataan Syeikh al-Albaany tentang Hadits tsb .
KE 3 : Syekh Amr Abdul
Mun’iim Salim .
Untuk Melengkapi takhrij hadits Syeikh al-Albaany diatas , akan saya
nukil pula perkataan Syekh Amr Abdul Mun’eim Salim dalam kitabnya “صونِ الشرعِ الحنيفِ ببيانِ الموضوعِ والضعيفِ” (2/232-235 No. 373), beliau berkata tentang hadits diatas :
"مَوْضُوعٌ:
أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ (8/298): حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ أَنَسُ
بْنُ سَلْمٍ الْخَوْلَانِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ
الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ الْأَوْدِيِّ، قَالَ: "شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ فِي النُّزْعِ فَقَالَ:
"إِذَا أَنَا مِتُّ فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ".... فَذَكَرَهُ. وَزَادَ فِي آخِرِهِ: فَقَالَ
رَجُلٌ: "يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟"، قَالَ:
"فَيُنْسِبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلَانَ بْنَ حَوَّاءَ"."
“ Hadits in Palsu , hadits ini disebutkan oleh
Al-Tabarani dalam kitab “ المعجم الكبير” (8/298) , dia berkata : telah bercerita kepada
kami Abu Aqil Anas Bin Salam Al-Khawlani , telah bercerita kepada kami Muhammad
ibn Ibrahim ibn al-'Ala al-Himshi, telah bercerita kepada kami Ismael ibn
Ayyash , telah bercerita kepada kami Abdullah bin Muhammad al-Qurashi , dari
Yahya bin Abi Katsiir, dari Saeed bin Abdullah al-Awadi yang berkata:
“Saya menyaksikan Abu Umamah dalam kondisi sakaratulmaut , dan dia
berkata:“ Jika saya mati, lakukan dengan saya seperti yang kami perintahkan
Rosulullah ﷺ ,
maka beliau berkata: “.... Kemudian dia menyebutkannya.
Ada tambahan kata-kata di akhir hadits : Wahai Rosulullah , bagaimana
kalau tidak ketahui nama ibunya ? Beliau menjawab : “ Nisbatkan lah kepada
Hawaa’ , Ya Fulan bin Hawaa’”. [Selesai]
Kemudian Syekh Amr Abdul Mun’eim Salim berkata :
"فَإِنَّ
هَذَا السَّنَدُ وَاهٍ جِدًّا، بَلْ هُوَ مَوْضُوعٌ، وَكَذَا لَوَائِحُ الْوَضْعِ ظَاهِرَةٌ
عَلَى الْمَتْنِ، بَادِيَةٌ عَلَيْهِ.
وَالْحَمْلُ
فِي هَذَا الْإِسْنَادِ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ الْحِمْصِيِّ
الشَّامِيِّ، فَقَدْ كَذَّبَهُ الدَّارُقُطَّنِيُّ، وَقَالَ ابْنُ حِبَّانٍ:
"يَضْعُ الْحَدِيثَ"، وَقَالَ الْحَاكِمُ وَالنَّقَّاشُ: "رَوَى أَحَادِيثَ
مَوْضُوعَةً"."
Maka yang benar adalah sanad ini lemah sekali “ واهٍ جدا “ ,
bahkan Palsu , begitu juga tanda-tanda kepalsuannya nampak sekali pada matannya
, terlihat jelas sejak awal melihatnya .
Penyebab utama palsunya hadits ini adalah adanya Muhammad bin Ibrahim
bin al-‘Alaa al-Himshy asy-Syaami . Dia ini dianggap pendusta oleh
ad-Daaruquthni . Ibnu Hiban berkata : “Dia pemalsu hadits “. Sementara Imam
al-Hakim dan an-Naqqoosy , mereka berkata : “ Dia itu meriwayatkan
hadits-hadits Palsu “.
Kemudian Syekh Amr Abdul Mun’eim Salim berkata :
"وَشَيْخُ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ هَذَا لَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى تَرْجَمَةٍ، إِلَّا أَنَّ
رِوَايَةَ إِسْمَاعِيلَ عَنْ غَيْرِ الشَّامِيِّينَ ضَعِيفَةٌ، وَهَذِهِ مِنْهَا، وَأَمَّا
سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوْدِيِّ – كَذَا عِنْدَ الطَّبَرَانِيِّ، وَفِي
"التَّلْخِيصِ"، وَ"الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ" الْأَزْدِيِّ –
ذَكَرَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ فِي كِتَابِهِ وَبَيَّضَ لَهُ، وَالْأَقْرَبُ عِنْدِي
أَنَّهُ مَجْهُولُ الْعَيْنِ، قَدْ تَفَرَّدَ بِالرِّوَايَةِ عَنْهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي
كَثِيرٍ، وَلَمْ أَجِدْ عَنْهُ رَاوِيًا عَنْهُ غَيْرَهُ.
وَكَذَلِكَ فَشَيْخُ
الطَّبَرَانِيِّ مَسْتُورٌ، لَمْ يَتَعَرَّضْ لَهُ أَحَدٌ بِجَرْحٍ وَلَا تَعْدِيلٍ،
وَقَدْ تَرْجَمَهُ ابْنُ عَسَاكِرٍ فِي "تَارِيخِ دِمَشْقِ"، وَأَوْرَدهُ
الذَّهَبِيُّ فِي "تَارِيخِ الْإِسْلَامِ"."
Belum lagi di dalam sanadnya terdapat Guru-nya Ismail bin ‘Ayyaasy , untuk
dia ini saya tidak menemukan biografinya . Sudah begitu , ditambah lagi bahwa
riwayat Ismail dari orang-orang selain penduduk Syam itu dianggap lemah , dan
ini salah satu nya .
Dan Adapun perawi yang bernama Sa’iid bin ‘Abdullah al-Awdy – tertulis spt
ini ( الأودي )
dalam kitabnya ath-Thabrani , sementara dlm kitab at-Talkhish karya ibnu Hajar
dan kitab “al-Jarh wat-Ta’diil” karya Ibnu Abi Haatim al-Raazy tertulis “ الأزدي “ -
Ibnu Abi Haatim al-Raazy menyebutkan nya dalam kitabnya dan tidak bicara apa-apa
alias Blank . Dan yang paling tepat menurut saya bahwa dia itu sosok yang tidak
dikenal ( مجهول العين
) . Hanya Yahya bin Ma’in sendirian yang meriwayatkan hadits darinya , dan saya
tidak menemukan selain dia meriwayatkan darinya “.
Dan adalagi , yaitu Guru-nya ath-Thabrani juga tertutup informasi
tentang dirinya ( مستور ) ,
tidak ada orang men jarh dan men ta’dil nya . Ibnu Asaakir telah menulis
biografinya dalam kitabnya “تاريخِ دمشق “ , dan dituturkan oleh adz-Dzahaby dalam kitabnya “تاريخِ الإسلامِ “. [Kutipan Selesai]
Dan saya menemukan jalan sanad yang lain dalam kitab “ الفوائد “
karya al-Khula’iy
[الخلعي
].
Dan Syekh Amr Abdel Mun’iim menukil perkataan Syekh Al-Albani dalam
kitabnya “الضعيفة”
tentang 'Utbah
Ibnu As-Sakan, lalu Amr Abdul Mun'iiim
berkata :
"هَذَا كَافٍ
لِلْحُكْمِ عَلَى حَدِيثِهِ بِالْوَضْعِ، لَا سِيَمَا مَعَ شِدَّةِ نَكَارَةِ الْمَتْنِ،
بَلْ وَالسَّنَدِ، فَإِنَّ الْحَدِيثَ لَا يُعْرَفُ إِلَّا مِنْ طَرِيقِ إِسْمَاعِيلَ
بْنِ عَيَّاشٍ، وَقَدْ رَوَاهُ عَنْهُ ذَلِكَ الْوَضَّاعُ، وَلَا يُسْتَبْعَدُ أَنْ
يَكُونَ أَحَدُ الرَّوَاةِ قَدْ سَرَقَهُ، فَأَنْشَأَ لَهُ هَذَا السَّنَدَ، وَدَلَّسَ
اسْمَ رَاوِيهِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، فَقَالَ: جَابِرُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَزْدِيُّ،
وَهَذَا مُتَاحٌ."
Dengan adanya perawi ini saja sudah cukup untuk menilai hadits tsb palsu
, apalagi terdapat pula kemungkaran dalam matannya yang sangat parah , bahkan
dalam sanadnya juga , karena sesungguhnya haditsnya ini hanya diketahui dari
jalan Ismail bin Ayyash, dan sungguh itu telah meriwayatkan darinya seorang
pemalsu hadits , dan itu tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu dari para
perawinya telah mencurinya, sehingga ia menciptakan sanad ini untuk dia, lalu
men tadlis nama perawinya dari Abu Umamah al-Baahily , lalu dia berkata: Jabir
bin Saeed Al-Azdi, dan ini tersedia ( nyata ). [Selesai]
Kemudian saya menemukan syekh Amr Abdel-Mun'iim رحمه الله , beliau telah menghukumi pada hadits tsb
dengan munkar ( نَكَرَة ) ,
beserta apa yang ada dalam sanad al-Khula'i, namun beliau tidak memperhatikan
alasan yang sebenarnya ( العلةِ الحقيقيةِ ) dalam sanad ath-Thabarani, yaitu terdapat perawi yang bernama
Muhammad bin Ibrahim bin al-‘Alaa’.
Dan untuk hadits tsb terdapat ( متابعةٌ مُعْضَلةٌ ) disebutkan oleh Sa’iid bin Manshur –
seperti yang terdapat dlm kitab “ التلخيص
الحبير “ – dari jalan Rasyid bin
Sa’ad , serta Dhomroh bin Habiib dan lainnya , mereka berkata :
«إذَا سُوِّيَ
عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ، كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ
أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ عِنْدَ قَبْرِهِ: يَا فُلَانُ قُلْ: لَا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ، قُلْ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قُلْ: رَبِّي
اللَّهُ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ، وَنَبِيِّ مُحَمَّدٌ. ثُمَّ يَنْصَرِفُ»
“Jika seorang diantara saudara kalian meninggal dunia, setelah
kalian ratakan tanah di atas kuburannya, dan orang-orang telah beranjak darinya
, mereka memustahbkan untuk mengatakan kepada mayit yang dikubur : Ya
Fulan , katakan : “la ilaha illa Allah“ , katakan : "Ashhadu
an la ilaha illa Allah"
3 x , dan
katakan : Robbku Allah , agamaku Islam dan Nabiku Muhammad , kemudian pergi
pulang “.
Maka syekh Amr Abdul Mun'iiim رحمه الله berkata :
"قُلْتُ: وَهَذَا ظَاهِرُ الإعْضَالِ،
بَلْ هُوَ لَمْ يُرْفَعْهُ لَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَلَا نَسَبَهُ إِلَى أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ." آهٍ.
Saya katakan : “ Dan ini nampak jelas “ مُعْضَل “ nya , bahkan dia tidak memarfu’kannya ,
tidak menyandarkannya kepada sabda Nabi ﷺ dan tidak menisbatkannya kepada
salah seorang dari para sahabat “. Selesai
[ Penulis jelaskan : Hadits mu’dhol ( مُعْضَل ) adalah termasuk hadits munqathi’, yang
terputus sanadnya. Namun, ia memiliki makna lebih khusus. Bukan sekedar
terputus sanad, namun putusnya itu pada 2 atau lebih perawi.
Mutaba’ah ( مُتَابَعَة )
atau disebut juga hadits mutaabi’ adalah suatu hadits yang terdapat unsur
kesamaan dengan hadits yang lain, dalam lafadz atau maknanya, atau rawi
sahabatnya. Jika kesamaannya itu mulai dari permulaan sanad maka disebut
mutaba’ah taammah, dan jika tidak dari permulaan maka disebut mutaba’ah
qashirah.]
KE 4 : Al-Imam Muhammad Amir
ash-Shan’ani berkata dalam kitabnya “ سبلِ
السلامِ “ 2/772
ketika mensyarahi hadits Dhomroh bin Habiib di atas :
“ رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا “
Artinya : Sa’iid bin
Manshur telah meriwayatkannya secara mauquf “.
Kemudian ash-Shan’ani juga mengatakan : “al Haitsami berkata, ‘Hadits
tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam
sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak kukenal’. Dalam catatan kaki
Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi
yang bernama ‘Ashim bin Abdullah dan dia adalah seorang perawi yang lemah.”
Bahkan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalany – seperti yang dinukil oleh
Ibnu ‘Allaan dalam kitabnya " al-Futuuhaat
ar-Rabbaaniyyah" 4/196 :
"هَذَا حَدِيثٌ
غَرِيبٌ، وَسَنَدُ الْحَدِيثِ مِنَ الطَّرِيقَيْنِ ضَعِيفٌ جِدًّا".
“ Ini hadits ghoriib ( asing dan aneh ) , dan sanadnya dari dua
jalur lemah
sekali “.
KE 5 : Sementara al-Imaam
as-Sayuuthy dalam kitabnya “الحاوي “ menghikayatkan kesepakatan para ahli hadits mendloifkan
hadits tsb , maka beliau berkata :
"فَلَأَنَّ
التَّلْقِينَ لَمْ يُثَبَّتْ فِيهِ حَدِيثٌ صَحِيحٌ وَلَا حَسَنٌ بَلْ حَدِيثُهُ ضَعِيفٌ
بِاتِّفَاقِ الْمُحَدِّثِينَ."
“ Maka karena sesungguhnya Talqin itu tidak ada hadits yang
shahih dan tidak ada yang hasan , bahkan hadits tsb dhoif atas kesepakatan para
ulama ahli Hadits “.
KE 6 : Dalam Al Manar Al Munif,
Ibnul Qoyyim mengatakan:
إنَّ
حَدِيثَ التَّلْقِينِ هَذَا حَدِيثٌ لَا يَشُكُّ أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ
بِالْحَدِيثِ فِي وَضْعِهِ ، وَأَنَّهُ أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي
سُنَنِهِ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ أَشْيَاخٍ لَهُ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ
فَالْمَسْأَلَةُ حِمْصِيَّةٌ .
“ Sesungguhnya hadits talqin ini adalah hadits yang tiada
keraguan bagi para ahli hadits akan kepalsuannya “. Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya dari Hamzah bin Habib dari
para gurunya yang berasal dari daerah Himsh (di Suriah, Syam, pent). Jadi
masalah ini adalah masalah orang-orang Himsh.”
KE 7 : Dan Ibnu Quddaamah
al-Maqdisy al-Hanbaly dalam kitabnya al-Mughni 2/377 berkata :
"[ فَأَمَّا
التَّلْقِينُ بَعْدَ الدَّفْنِ فَلَمْ أَجِدْ فِيهِ عَنْ أَحْمَدَ شَيْئًا وَلَا أَعْلَمُ
فِيهِ لِلْأَئِمَّةِ قَوْلًا سَوَى مَا رَوَاهُ الْأَثَرَمُ قَالَ قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ
اللَّهِ : فَهَذَا الَّذِي يَصْنَعُونَ إِذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ ، يَقُفُّ الرَّجُلُ
وَيَقُولُ : يَا فُلَانُ ابْنُ فُلَانٍ اذْكُرْ مَا فَارَقْتَ عَلَيْهِ شَهَادَةَ أَنَّ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟
فَقَالَ : مَا
رَأَيْتُ أَحَدًا فَعَلَ هَذَا إِلَّا أَهْلَ الشَّامِ حِينَ مَاتَ أَبُو الْمُغِيرَةِ
جَاءَ إِنْسَانٌ فَقَالَ ذَلِكَ . قَالَ : وَكَانَ أَبُو الْمُغِيرَةِ يَرْوِي فِيهِ
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَشْيَاخِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ
... ]"
“ Adapun Talqin mayit setelah di kubur , maka saya sama sekali
tidak menemukan dalam hal ini riwayat dari Imam Ahmad dan juga tidak dari
perkataan para imam kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Atsraam, dia berkata
: ‘Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yakni: Ahmad bin Hanbal) : “ Ini apa ,
yang dilakukan oleh banyak orang ketika jenazah telah dimakamkan ada seorang
yang berdiri dan berkata, ‘Wahai fulan bin fulan , ingatlah ketika kamu
meninggalkan dunia syahadat “لا إله إلا الله “ ??? ’.
Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak melihat ada seorang pun yang
melakukannya melainkan para penduduk daerah Syam ketika Abul Mughirah meninggal
dunia , tiba-tiba datang seseorang , maka dia mengatakan itu . Lalu beliau
berkata : Dulu Abul Mughiroh telah meriwayatkannya dari Abu Bakr bin Abi Maryam
dari guru-guru mereka bahwa mereka, para guru, melakukannya”….. ( al-Mughni
2/377).
KE 8 : FATWA SYEIKH BIN BAAZ
Syeikh bin Baaz ketika di Tanya tentang Talqin Mayit setelah di kubur ,
beliau menjawab :
Alhamdulillah.
Para ulama berbeda pendapat tentang talqin, yaitu dengan mengatakan kepada
mayat: ”Wahai fulan, ingatlah ketika anda keluar dari dunia persaksian bahwa
tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah ... sampai akhir.
Telah ada atsar (berita) dari penduduk Syam akan tetapi tidak shahih. Yang benar bahwa talqin adalah bid’ah.
Maka jangan dikatakan: “Wahai fulan, ingatlah apa yang engkau keluar dari
dunia. Persaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utasan
Allah. Dan sesungguhnya engkau telah rela Allah sebagai tuhan, Islam sebagai
agama dan Muhammad sebagai utusan serta Al-Qur’an sebagai imam. Ini tidak ada
asalnya yang dapat dijadikan sandaran. Seharusnya ditinggalkan. Ini yang jadi
pengangan, karena perbutan tersebut tidak ada dalilnya.
Akan tetapi ketika orang-orang sudah selesai menguburkan mayat,
dianjurkan berdiri dan mendoakan memohonkan ampunan dan keteguhan bagi mayat.
Inilah yang dianjurkan. Ketika orang-orang telah selesai menguburkan, hendaklah
berdiri dan berdoa baginya dengan ampunan dan keteguhan.
Biasanya Nabi ﷺ
ketika selesai mayit dikubur, beliau berdiri dan mengucapkan:
اسْتَغْفِرُوا
لأَخِيكُمْ . وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
“Mohonkan ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkan keteghuan
baginya. Karena dia sekarang ditanya.”
Inilah yang sesuai dengan sunnah.”. [Samahatus Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah].
PEMBAHASAN KEDUA :
SEJAK
KAPAN TALQIN MAYIT ITU ADA ?
Talqiin Mayit telah
diamalkan oleh kaum muslimin di Syaam sejak masa salaf generasi pertama .
Ibnu Quddaamah al-Maqdisy al-Hanbaly dalam kitabnya
al-Mughni 2/377 berkata :
" قَالَ
: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا فَعَلَ هَذَا إِلَّا أَهْلَ الشَّامِ حِينَ مَاتَ أَبُو الْمُغِيرَةِ
جَاءَ إِنْسَانٌ فَقَالَ ذَلِكَ . قَالَ : وَكَانَ أَبُو الْمُغِيرَةِ يَرْوِي فِيهِ
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَشْيَاخِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ
... "
Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak melihat ada seorang pun yang
melakukannya melainkan para penduduk daerah Syam ketika Abul Mughirah meninggal
dunia , tiba-tiba datang seseorang , maka dia mengatakan itu . Lalu beliau
berkata : Dulu Abul Mughiroh telah meriwayatkannya dari Abu Bakr bin Abi Maryam
dari syeikh-syeikh mereka bahwa mereka -para syeikh- melakukannya”….. ( al-Mughni 2/377).
Abul Mughirah
adalah : "Imam, ahli hadis yang jujur, Musnid
Himsh, Abu al-Mughira Abdul Qudus bin al-Hajjaj al-Khawlani al-Himshi. Dia
lahir sekitar tahun seratus tiga puluh.
"Imam
al-Bukhari berkata: Abu al-Mughirah meninggal dunia pada tahun 212 H. Dan Ahmad
bin Hanbal mensholati jenazahnya.
Saya [Adzahabi]
berkata: al-Bukhari meriwayatkan dari Abu al-Mughira, dan demikian pula yang
lainnya, mereka meriwayatkan dari seorang yang meriwayatkan darinya." [Baca
: Siyar A'laam an-Nubalaa karya adz-Dzahabi 10/224-225].
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya
Iqtidhaa ash-Shirathal Mustaqiim 2/179 (Cet. Dar Alam al-Kutub) berkata :
"[وَرُوِيَ
فِي تَلْقِينِ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ حَدِيثٌ فِيهِ نَظَرٌ، لَكِنْ عَمِلَ بِهِ
رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ الْأَوَّلِينَ، مَعَ رَوَايَتِهِمْ لَهُ] آهٍ."
Dan telah diriwayatkan dalam masalah talqin mayit setelah dikubur sebuah
hadits , namun hadits tsb perlu نظر ( perlu peninjauan dan pertimbangan ) .
Akan tetapi hadits ini diamalkan oleh Ahli Syam generasi awal , mereka
juga meriwayatkan hadits tsb ".
Dan Ibnu Taimiyah mengatakan pula didalam kitab Majmu' al-Fatawa 24/296,
" هذا
التَلْقِينُ المَذْكُورُ (يعني تلقين المَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ) قَدْ ثُبِّتَ
عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ أَمَرُوا بِهِ كَأَبِي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ".
“ Talqin mayyit ini (yakni menuntun mayit setelah dikubur) ditetapkan
dari sekelompok sahabat seperti Abu Umamah al-Bahili dan lain-lain. Mereka memerintahkan untuk melakukan hal itu".
PEMBAHASAN KETIGA :
TANGGAPAN
PARA ULAMA DARI MADZHAB
IMAM AHMAD TENTANG TALQIN MAYIT:
PERTAMA : TANGGAPAN
IMAM AHMAD TENTANG TALQIN MAYIT :
Al-Hafidz Abu Manshur Abdullah bin Muhammad bin al-Waliid al-Hanbaly
yang bergelar “ Juzairah / جُزَيْرَةَ “ ( wafat 643 H ) dalam kitabnya “جامع الدعاء
الصحيح" [ kumpulan doa shohih] , setelah beliau menuturkan hadist Abu Umamah
al-Baahiliy , beliau berkata :
"[وَقَدْ أَرْخَصَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي تَلْقِينِ الْمَيِّتِ، وَأَعْجَبَهُ ذَلِكَ،
وَقَالَ: أَهْلُ الشَّامِ يَفْعَلُونَهُ]، ثُمَّ قَالَ: [وَهُوَ مِنَ الْقُرُبَاتِ
وَالتَّذْكِيرِ بِاللَّهِ، وَالتَّسَامُحِ فِي ذَلِكَ مَأْثُورٌ عَنِ السَّلَفِ] اهـ.
Dan al-Imam Ahmad bin Hanbal sungguh telah merukhshohkan [ membolehkan] talqin mayit , dan
membuatnya ta’ajub terhadapnya , dan beliau berkata : “ Ahli Syam
mengamalkannya “. Kemudian beliau berkata : “ Dan talqin itu termasuk qurubaat [perbuatan yang
mendekatkan diri kepada Allah] dan mengingatkan kapada Allah , dan bertasaamuh
[bertoleransi] dalam hal talqin ini adalah jejak yang
dicontohkan dari salaf “.
Di nukil dari kitab al-Badrul Muniir 3/335 karya Ibnu Mulaqqin , dan lafadz padanya adalah :
[وَهُوَ مِنَ
الْعَزْمَاتِ]
“ Dan talqin itu termasuk dari amalan-amalan azimah (yakni keharusan) “.
KEDUA : TANGGAPAN
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya
Iqtidhaa ash-Shirathal Mustaqiim 2/179 :
"[وَرُوِيَ
فِي تَلْقِينِ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ حَدِيثٌ فِيهِ نَظَرٌ، لَكِنْ عَمِلَ بِهِ
رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ الْأَوَّلِينَ، مَعَ رَوَايَتِهِمْ لَهُ، فَلِذَلِكَ
اسْتَحَبَّهُ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ. فَهَذَا وَنَحْوُهُ مِمَّا كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ، وَيَأْمُرُ بِهِ
أُمَّتَهُ عِنْدَ قُبُورِ الْمُسْلِمِينَ، عَقِبَ الدَّفْنِ، وَعِنْدَ زِيَارَتِهِمْ،
وَالْمُرُورِ بِهِمْ، إِنَّمَا هُوَ تَحِيَّةٌ لِلْمَيِّتِ، كَمَا يُحَيَّى الْحَيُّ
وَدُعَاءٌ لَهُ كَمَا يُدْعَى لَهُ، إِذَا صَلَّى عَلَيْهِ قَبْلَ الدَّفْنِ أَوْ بَعْدَهُ،
وَفِي ضَمَّنِ الدُّعَاءِ لِلْمَيِّتِ، دُعَاءُ الْحَيِّ لِنَفْسِهِ، وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ،
كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْجَنَازَةِ فِيهَا الدُّعَاءُ لِلْمُصَلِّي، وَلِسَائِرِ
الْمُسْلِمِينَ، وَتَخْصِيصُ الْمَيِّتِ بِالدُّعَاءِ لَهُ، فَهَذَا كُلُّهُ، وَمَا
كَانَ مِثْلَهُ، مِنْ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ،
وَمَا كَانَ عَلَيْهِ السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ، هُوَ الْمَشْرُوعُ لِلْمُسْلِمِينَ
فِي ذَلِكَ.] آهٍ."
Dan telah diriwayatkan dalam masalah talqin mayit setelah dikubur sebuah
hadits , namun hadits tsb perlu نظر ( perlu peninjauan dan pertimbangan ) .
Akan tetapi hadits ini diamalkan oleh Ahli Syam generasi awal , mereka juga
meriwayatkan hadits tsb .
Oleh karena itu sahabat-sahabat kami ( Yakni para ulama Hanbali ) dan
lainnya menganggapnya amalan mustahabb.
Maka yang ini dan yang semisalnya adalah termasuk yang diamalkan oleh
Nabi ﷺ dan
beliau menyuruh umatnya utk melakukannya di sisi kuburan kaum muslimin , yaitu
pada saat selesai penguburannya , pada saat ziarah kuburannya, pada saat
melewati kuburannya .
Yang demikian itu dalam rangka penghormatan kepada mayit , sama seperti
halnya penghormatan terhadap orang yang masih hidup serta mendoakannya , begitu
juga sama halnya kita diperintahkan utk mendoakan mayit ketika sholat jenazaah
, baik disholati nya sebelum di kubur maupun sesudahnya .
Dan yang terkandung dalam doa untuk si mayit , juga ada doa untuk diri
sendiri dan doa utk seluruh umat Islam . Begitu juga dalam sholat mayit
terdapat pula di dalamnya doa untuk dirinya dan seluruh umat Islam .
Dan secara khusus memang sholat mayit itu tujuan utamanya adalah doa
untuk si mayit . Maka semua ini dan yang semisalnya adalah dari sunnah
Rosulullah ﷺ dan
dari amalan yang diamalkan oleh para pendahulu yang terdahulu ( yakni
almuhajiriin dan al-Anshaar ) , dan itu disyariatkan bagi umat Islam “. ( Lihat
: Iqtidhaa ash-Shirathal Mustaqiim 2/179 (Cet. Dar Alam
al-Kutub)
Dan Ibnu Taimiyah mengatakan pula didalam kitab Majmu' al-Fatawa 24/296,
هذا
التَلْقِينُ المَذْكُورُ (يعني تلقين المَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ) قَدْ ثُبِّتَ
عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ أَمَرُوا بِهِ كَأَبِي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ. وَرُوِيَ فِيهِ حَدِيثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنَّهُ مِمَّا لَا يُحْكَمُ بِصَحَّتِهِ وَلَمْ يَكُنْ
كَثِيرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ. فَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنَ الْعُلَمَاءِ: إِنَّ هَذَا التَّلْقِينَ لَا بَأْسَ
بِهِ، فَرُخِّصُوا فِيهِ وَلَمْ يُأْمَرُوا بِهِ. وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ
أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ
وَغَيْرِهِمْ."
“ Talqin mayyit ini (yakni menuntun mayit setelah dikubur)
ditetapkan dari sekelompok sahabat seperti Abu Umamah al-Bahili dan lain-lain.
Mereka memerintahkan untuk melakukan hal
itu.
Dalam masalah Talqin Mayit ini telah diriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ,
namun hadis ini tidak dinilai sebagai hadis shahih dan tidak banyak sahabat
Nabi ﷺ yang
melakukannya. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan sekelompok ulama lainnya
menyatakan, bahwa talqin mayit tidak apa-apa diamalkan. Dalam arti, mereka
hanya merukhshoh kannya dan tidak memerintahkan orang-orang untuk melakukannya.
Namun sekelompok sahabat - sahabat Syafi’iy dan Ahmad memandangnya
mustahab. Sementara sekelompok dari sahabat sahabat Maliki dan ulama`lainnya
memakruhkan nya. (Majmu' al-Fatawa 24/296)
Ketika Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang hukum talqin mayit
setelah dikuburkan, Ibn Taimiyah menjawab dalam kitab (al-Fatawa al-Kubra, 3/24-25):
تَلْقِينُهُ
بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا، بِالْإِجْمَاعِ. وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ
الْمُسْلِمِينَ الْمَشْهُورِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُورٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ
الصَّحَابَةِ ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنْ
الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ اسْتَحَبَّهُ
طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنْ الْعُلَمَاءِ مَنْ
يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيهِ ثَلَاثَةٌ:
الِاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.
“Talqin mayit setelah matinya (di kuburnya), tidak wajib
berdasarkan ijma’, dan tidak termasuk amaliah kaum muslimin yang populer di
masa Nabi ﷺ dan
para khalifahnya. Akan tetapi talqin mayit ma’tsur (diriwayatkan) dari segolongan sahabat seperti Abu Umamah dan
Watsilah bin al-Asqa’.
Dari kalangan para Imam ada yang membolehkannya seperti Imam Ahmad. Ada
pula yang men-sunnahkannya
dari para murid Imam Ahmad dan Imam as-Syafi’i.
Ada pula yang memakruhkannya karena meyakininya sebagai bid’ah.
Ringkasnya, ada tiga pendapat tentang talqin mayit, yaitu sunnah, makruh dan
mubah (boleh), dan ini merupakan pendapat yang paling adil.” (al-Fatawa
al-Kubra, 3/24-25)
KETIGA : TANGGAPAN
IBNU QOYYIM AL-JAUZIYAH :
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “ الروح “ menjadikan hadits talqin di atas sebagai
salah satu dalil bahwa mayit itu mendengar perkataan orang yang hidup di
dekatnya. Terus-menerusnya talqin semacam ini dilakukan dari masa ke masa tanpa
ada orang yang mengingkarinya, menurut Ibnul Qoyyim, sudah cukup untuk
dijadikan dalil untuk mengamalkannya.
Berikut ini text perkataan beliau dalam kitabnya “ar-Ruuh
“ hal. 13 :
"فَصْلٌ:
وَيُدْلِي عَلَى هَذَا أَيْضًا مَا جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ قَدِيمًا وَإِلَى
الْآنَ مِنْ تَلْقِينِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ، وَلَوْلَا أَنَّهُ يَسْمَعُ ذَلِكَ
وَيَنْتَفِعُ بِهِ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَائِدَةٌ وَكَانَ عَبَثًا، وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ فَاسْتَحْسَنَهُ وَاحْتَجَّ عَلَيْهِ بِالْعَمَلِ".
“ PASAL : Dan juga yang menjadi dalil dalam hal ini ( mayit bisa
mendengar ) adalah berkesinambungannya amalan umat Islam mentalqin mayit
di kuburannya sejak dulu hingga sekarang , kalau seandainya mayit tidak
mendengar nya dan tidak mendapatkan manfaat dari talqin tsb , berarti
perbuatannya itu tidak ada faidahnya dan sia-sia .
Al-Imam Ahmad pernah di tanya tentang itu , maka beliau membaguskannya
dan menjadikannya hujjah untuk mengamalkannya ".
Kemudian Ibnu Qoyyim menyebutkan hadits talqin tadi , lalu beliau
berkata :
[فَهَذَا الْحَدِيثُ
وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَاتِّصَالُ الْعَمَلِ بِهِ فِي سَائِرِ الْأَمْصَارِ وَالْأَعْصَارِ
مِنْ غَيْرِ إِنْكَارٍ كَافٍ فِي الْعَمَلِ بِهِ، وَمَا أَجْرَى اللَّهُ سُبْحَانَهُ
الْعَادَةَ قَطُّ بِأَنَّ أُمَّةً طَبَّقَتْ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا وَهِيَ
أَكْمَلُ الْأُمَمِ عُقُولًا وَأَوْفَرُهَا مَعَارِفَ تُطْبَقُ عَلَى مُخَاطَبَةِ مَنْ
لَا يَسْمَعُ وَلَا يَعْقِلُ وَتُسْتَحْسَنُ ذَلِكَ؛ لَا يُنْكَرُهُ مِنْهَا مُنْكِرٌ،
بَلْ سَنَّهُ الْأَوَّلُ لِلْآخِرِ، وَيَقْتَدِي فِيهِ الْآخِرُ بِالْأَوَّلِ، فَلَوْلَا
أَنَّ الْمُخَاطَبَ يَسْمَعُ لَكَانَ ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الْخُطْبَاءِ لِلتُّرَابِ
وَالْخَشَبِ وَالْحَجَرِ وَالْمَعْدُومِ، وَهَذَا وَإِنْ اسْتَحَسَّنَهُ وَاحِدٌ فَالْعُلَمَاءُ
قَاطِبَةً عَلَى اسْتِقْبَالِهِ وَاسْتِهْجَانِهِ] اهـ."
“ Maka hadits ini meskipun tidak autentik , namun dengan adanya kesinambungan orang-orang
mengamalkannya diseluruh pelosok negeri dan di sepanjang zaman , tanpa ada
orang yang mengingkarinya ; maka itu cukup sebagai dalil dalam mengamalkannya .
Dan sebetulnya apa saja yang Allah swt telah
menjadikannya adat , itu saja sudah cukup , karena umat sepakat dari ujung
timur dan ujung barat mengamalkannya .
Dan umat ini adalah umat yang paling sempurna akalnya
, dan yang paling terpenuhi pengetahuannya , sehingga mereka tidak akan
sembarangan untuk berbicara dengan mayit jika benar mayit itu tidak bisa
mendengar dan memahaminya , dan mereka tdk sembarangan untuk menganggapnya
bagus perbuatan tsb.
Masalah bicara dengan mayit dan mereka bisa mendengar dan memahaminya
tidak ada seorang pun yang mengingkarinya . Bahkan sunnah generasi terdahulu adalah untuk generasi yang akhir , karena generasi terdahulu adalah teladan bagi yang akhir.
Kalau seandainya mayit yang diajak bicaranya tidak bisa mendengar maka
sama saja seperti bicara dengan debu , kayu , batu dan sesuatu yang tidak ada .
Jika benar demikian lalu dianggap bagus oleh seseorang , maka akan dianggap
buruk dan sinting oleh seluruh ulama“. ( Baca :
ar-Ruuh ha. 13 . Cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah )
KEEMPAT : IMAM
AL-MARDAWAIH AL-HANBALI :
Salah seorang ulama Madzhab Hanbali Imam Al-Mardawy Al-Hanbaly dalam kitabnya
Al-Insof Fi Ma’rifatil Rojih Minal Khilaf 2 /548-549 menyatakan :
"فَائِدَةٌ
يَسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ دَفْنِهِ عِنْدَ أَكْثَرِ الْأَصْحَابِ".
“ Faidah : Disunatkan talqin mayit setelah usai penguburannya ,
ini menurut pendapat mayoritas sahabat-sahabat [dalam madzhab Hanbali]".
KELIMA : IBNU MUFLIH
AL-HANBALI :
Kemudian ulama hanbali lainnya , yaitu Ibnu Muflih dalam kitabnya
al-Furuu’ berkata :
"[وَأَمَّا
تَلْقِينُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ فَاِسْتَحَبَّهُ الْأَكْثَرُوْنَ "وَ مُشْ"]
اهـ؛ أي: وفقًا لمَالِكٍ والشَّافِعِي".
“ Dan adapun talqin mayit setelah menguburkannya maka mayoritas
menganggapnya mustahab “ . Yakni sesuai dengan madzhab Imam Malik dan Imam
Syafii . ( Lihat : al-Furuu' 3/388 Cet. Muassasah ar-Risaalah )
PEMBAHASAN KEEMPAT ;ORANG YANG BARU MENINGGAL MASIH MENDENGAR SUARA ORANG HIDUP
Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadis, bahwa
Rasulullah saw pernah bersabda :
:إِنَّ العَبْدَ
إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ
قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ
تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ - لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَأَمَّا
المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ:
انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ
الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا - قَالَ قَتَادَةُ: وَذُكِرَ لَنَا: أَنَّهُ يُفْسَحُ
لَهُ فِي قَبْرِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى حَدِيثِ أَنَسٍ - قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ
وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لَا
أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ،
وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ
يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ "
Artinya “Sesungguhnya seorang hamba jika sudah diletakkan didalam
kuburannya dan ditinggal pergi oleh teman-teman yang mengantarkannya, ia
benar-benar mendengar suara gemerisik sandal mereka.
Jika mereka sudah pergi meninggalkan kuburannya, dia didatangi oleh dua
orang malaikat. Dia lantas didudukkan oleh kedua malaikat tersebut seraya
berkata : “Apa pendapatmu tentang seorang lelaki yang bernama Muhammad?”.
Jika ia seorang yang beriman, ia akan menjawab : “Aku bersaksi bahwa dia
adalah hamba dan utusan Allah”. Lantas dikatakan kepadanya, “Lihatlah calon
tempat dudukmu dari neraka. Semoga Allah mengganti tempat dudukmu ini dengan
tempat duduk di surga”.
Orang itu lalu melihat kedua tempat duduk di surga dan neraka
seluruhnya. Jika ia seorang yang kafir dan munafiq, dia akan menjawab : “Aku
tidak tahu, bagaimana aku mengatakan apa yang dikatakan orang-orang
tentangnya”.
Lantas dikatakan kepadanya : “Jadi, kamu tidak tahu dan tidak membaca
(penjelasan Al-Qur`an dan Hadis)”. Lantas dipukullah diantara kedua telinganya
dengan palu besi sekali pukulan dan menjerit dengan suatu jeritan yang mampu
didengar oleh makhluk di sekitarnya, selain jin dan manusia. [HR. Bukhori no.
1374 , Muslim no. 2870 . Ahmad no. 13446 , Abu Daud no. 3231
Hadis di atas selain menjelaskan adanya siksa kubur dan adanya
pertanyaan kubur , juga menjelaskan bahwa orang yang baru meninggal dunia masih
bisa mendengar suara orang hidup .
RATAP TANGIS KELUARGA MEMBUAT MAYIT MENANGIS DAN TERSIKSA ; KARENA DIA
MASIH MENDENGAR
Oleh sebab itu Rosulullah (SAW) melarang meratapi mayit dengan tangisan
, teriak-teriak dan yang semisalnya yang membuat mayit yang baru meninggal
merasa terbebani dengannya hingga membuatnya kesakitan dan tersiksa .
Dalam hadits Qaylah binti Makhramah disebutkan :
أنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَاهَا عَن البُكَاء على ابْنِهَا
وقَالَ : ( أَيُغْلَبُ أَحَدكُمْ أَنْ يُصَاحِب صُوَيْحِبه فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا ، وَإِذَا مَاتَ اِسْتَرْجَعَ ، فَوَاَلَّذِي نَفْس مُحَمَّد بِيَدِهِ
إِنَّ أَحَدكُمْ لَيَبْكِي فَيَسْتَعْبِر إِلَيْهِ صُوَيْحِبه ، فَيَا عِبَاد
اللَّه ، لا تَعَذِّبُوا مَوْتَاكُمْ )
" Bahwa Nabi ﷺ melarangnya menangisi putranya dan
bersabda:
“Jika kamu baik terhadap teman kecilmu di dunia ini , kenapa kamu tidak
bisa mengucapkan Inna Lillaahi wa inna ilayhi raaji'un [Sesungguhnya kita milik
Allah dan kepada-Nya kita kembali] ketika dia meninggal? Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, jika salah seorang di antara kalian
menangis, maka teman kecilnya pun [yang baru meninggal] ikut menitikkan air
mata. Maka wahai hamba Allah, jangan kalian siksa orang-orang mati kalian
[dengan tangisan] !.”
Al-Haafidz Ibnu Hajar berkata: isnaadnya adalah hasan. Al-Haytsami
berkata: orang-orangnya adalah thiqaat (dapat dipercaya).
[Referensi : Syarah
Shahih Muslim karya al-Imam Al-Nawawi 6/229 , Al-Majmu’ 5/309, Futuuhaat
ar-Rabbaaniyyah oleh Ibnu 'Allaan 4/135, Islamqa 5/4756 no. 69931 dan al-Bukaa
Fi al-Kitab wa as-Sunnah karya Ruqoyyah binti Muhammad al-Muhaarib hal. 77].
Dan dalam hadits 'Umar
radliallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
"Mayit akan disiksa didalam kuburnya disebabkan ratapan
kepadanya".
[HR. Bukhori no. 1291 dan Muslim no. 933]
Imam Bukhori berkata
: Hadits ini dikuatkan oleh 'Abdu Al A'laa telah menceritakan kepada kami Yazid
bin Zurai' telah menceritakan kepada kami [Sa'id] telah menceritakan kepada
kami Qatadah dan berkata, Adam dari Syu'bah:
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya
Mayit akan disiksa disebabkan tangisan orang yang masih hidup kepadanya".
[HR. Bukhori no. 1291 dan Muslim no. 927]
TANYA JAWAB IBNU TAIMIYAH :
Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu' al-Fataawa (34/364):
هَلْ
يَتَأَذَّى الْمَيِّتُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ؟
Apakah orang yang meninggal merasa menderita karena tangisan
keluarganya?
Beliau membalas:
هَذِهِ
مَسْأَلَةٌ فِيهَا نِزَاعٌ بَيْنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَالْعُلَمَاءِ .
وَالصَّوَابُ
: أَنَّهُ يَتَأَذَّى بِالْبُكَاءِ عَلَيْهِ كَمَا نَطَقَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ
الصَّحِيحَةُ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : ....
Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan generasi
terdahulu dan generasi selanjutnya serta para ulama.
Pendapat yang benar
adalah : dia menderita akibat tangisan mereka, sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits
shahih yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ….. :
Lalu beliau mengutip beberapa hadits ini, lalu dia berkata:
وَقَدْ
أَنْكَرَ ذَلِكَ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ ، وَاعْتَقَدُوا أَنَّ
ذَلِكَ مِنْ بَابِ تَعْذِيبِ الإِنْسَانِ بِذَنْبِ غَيْرِهِ فَهُوَ مُخَالِفٌ
لقوله تعالى : ( وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ) ثُمَّ تَنَوَّعَتْ
طُرُقُهُمْ فِي تِلْكَ الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ . فَمِنْهُمْ مَنْ غَلَّطَ
الرُّوَاةَ لَهَا كَعُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ وَغَيْرِهِ , وَهَذِهِ طَرِيقَةُ
عَائِشَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِمَا .
وَمِنْهُمْ
مَنْ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى مَا إذَا أَوْصَى بِهِ فَيُعَذَّبُ عَلَى إيصَائِهِ
وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ , كالمزني وَغَيْرِهِ .
وَمِنْهُمْ
مَنْ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى مَا إذَا كَانَتْ عَادَتُهُمْ ، فَيُعَذَّبُ عَلَى
تَرْكِ النَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ , وَهُوَ اخْتِيَارُ طَائِفَةٍ , مِنْهُمْ
جَدِّي أَبُو الْبَرَكَاتِ
.
وَكُلُّ
هَذِهِ الأَقْوَالِ ضَعِيفَةٌ جِدًّا , وَالأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ الصَّرِيحَةُ
الَّتِي يَرْوِيهَا مِثْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِهِ عَبْدِ اللَّهِ
وَأَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ وَغَيْرِهِمْ لا تُرَدُّ بِمِثْلِ هَذَا .
وَاَلَّذِينَ
أَقَرُّوا هَذَا الْحَدِيثَ عَلَى مُقْتَضَاهُ ظَنَّ بَعْضُهُمْ أَنَّ هَذَا مِنْ
بَابِ عُقُوبَةِ الإِنْسَانِ بِذَنْبِ غَيْرِهِ وَأَنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا
يَشَاءُ وَيَحْكُمُ مَا يُرِيدُ , وَاعْتَقَدَ هَؤُلاءِ أَنَّ اللَّهَ يُعَاقِبُ
الإِنْسَانَ بِذَنْبِ غَيْرِهِ
. . . .
واللَّه
تعالى لا يُعَذِّبُ أَحَدًا فِي الآخِرَةِ إلا بِذَنْبِهِ ، ( ولا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى )
.
وَأَمَّا
تَعْذِيبُ الْمَيِّتِ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ، فَهُوَ لَمْ يَقُلْ : إنَّ
الْمَيِّتَ يُعَاقَبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ , بَلْ قَالَ : ( يُعَذَّبُ )
وَالْعَذَابُ أَعَمُّ مِنْ الْعِقَابِ ، فَإِنَّ الْعَذَابَ هُوَ الأَلَمُ ،
وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ تَأَلَّمَ بِسَبَبٍ كَانَ ذَلِكَ عِقَابًا لَهُ عَلَى ذَلِكَ
السَّبَبِ ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( السَّفَرُ قِطْعَةٌ
مِنْ الْعَذَابِ , يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ) فَسَمَّى
السَّفَرَ عَذَابًا ، وَلَيْسَ هُوَ عِقَابًا عَلَى ذَنْبٍ , وَالإِنْسَانُ
يُعَذَّبُ بِالأُمُورِ الْمَكْرُوهَةِ الَّتِي يَشْعُرُ بِهَا مِثْلَ الأَصْوَاتِ
الْهَائِلَةِ وَالأَرْوَاحِ الْخَبِيثَةِ وَالصُّوَرِ الْقَبِيحَةِ فَهُوَ
يَتَعَذَّبُ بِسَمَاعِ هَذَا وَشَمِّ هَذَا وَرُؤْيَةِ هَذَا وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ
عَمَلا لَهُ عُوقِبَ عَلَيْهِ , فَكَيْفَ يُنْكَرُ أَنْ يُعَذَّبَ الْمَيِّتُ
بِالنِّيَاحَةِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ النِّيَاحَةُ عَمَلا لَهُ يُعَاقَبُ عَلَيْهِ ؟
وَلَا نَحْكُمُ
عَلَى كُلِّ مَن نَاحَ عَلَيْهِ أَهْلُهُ أَنَّهُ يُعَذَّبُ بِذَلِكَ.
Hal ini diingkari oleh sebagian kelompok SALAF dan KHALAF, karena mereka
berkeyakinan bahwa ini berarti seseorang diadzab karena dosa orang lain, yang
bertentangan dengan ayat yang difirmankan Allah : “Dan
orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [al-An'aam :164].
Kemudian mereka berbeda-beda dalam mengomentari hadits-hadits shahih
tersebut.
Ada yang mengatakan bahwa perawi seperti 'Umar ibn al-Khattaab dan
lain-lain, telah melakukan kesalahan; ini adalah metode 'Aisyah, asy-Syaafa'i
dan lain-lain.
Ada pula yang mengarahkan maknanya pada kasus dimana almarhum telah
memerintahkan agar hal itu dilakukan, sehingga dia dihukum atas
instruksinya. Demikian pandangan sejumlah orang seperti al-Muzani dan
lain-lain.
Ada pula yang mengarahkan maknanya pada perkara yang menjadi adat
kebiasaannya, sehingga ia dihukum karena dia tidak melarang suatu perbuatan
munkar. Ini adalah pandangan sejumlah orang seperti kakek saya [yaitu,
Ibnu Taimiyah], Abu'l-Barakaat.
Semua pendapat ini sangat lemah.
Hadits-hadits yang jelas dan shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang
seperti 'Umar ibn al-Khattaab, putranya 'Abd-Allaah, Abu Musa al-Asy'ari dan
lain-lain tidak dapat bisa disangkal dengan argumen seperti itu.
Orang-orang yang menerima hadits ini apa adanya berpendapat , maka
sebagian mereka mengatakan bahwa hadits ini termasuk dalam BAB mengadzab
seseorang karena dosa orang lain, dan bahwa Allah melakukan apa yang Dia
kehendaki dan mengatur apa yang Dia kehendaki, sehingga mereka berkeyakinan :
bahwa Allah mengadzab seseorang karena dosaorang lain.
Sementara Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak akan mengadzab siapa
pun di akhirat kecuali karena dosanya sendiri , sebagaimana dalam firman-Nya :
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. [al-An'aam :164].
Adapun orang yang meninggal disiksa karena tangisan keluarganya, maka kata
yang digunakan dalam bahasa Arab adalah "yu'adzdzab", bukan yu'aqqab
[dihukum atau dibalas dengan siksaan]. Sementra makna 'Adzaab
lebih umum dibandingkan 'iqaab [hukuman atau siksaan].
Makna Adzaab mengacu pada rasa sakit . Dan tidak semua orang yang
menderita sakit itu adalah 'iqoob [balasan] baginya karena sebab tersebut . Nabi
ﷺ
bersabda :
" السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ ،
يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ".
“Pergi Safar [Perjalanan Jauh] adalah 'Adzaab (sejenis
siksaan); dikarenakan safar itu menghalangi salah seorang dari kalian dari
makanan dan minumannya.” [HR. Bukhori no. 1804 dan Muslim no. 1927]
Maka beliau menyebut perjalanan itu sebagai siksaan ('adzaab), namun itu
bukanlah 'iqoob [hukuman atau balasan] atas dosa apa pun. Seseorang
mungkin ter'adzaab [tersiksa] oleh hal-hal yang tidak menyenangkan yang
dirasakannya, seperti suara-suara yang mengkhawatirkan, bau-bauan yang tidak
sedap, dan gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan, sehingga ia ter'adzaab [tersiksa]
dengan mendengarnya, menciumnya, atau melihatnya, tetapi ini tidak berarti
bahwa ia di 'iqoob [dihukum] karena suatu perbuatan. Bagaimana kita bisa
mengingkari bahwa mayit mungkin ter'adzaab [tersiksa] oleh ratapan keluarganya
?
Kita tidak bisa memutuskan bahwa setiap orang yang diratapi keluarganya
sedang tersiksa karenanya".
ARTIKEL MEDIS BAHWA MAYIT YANG BARU MENINGGAL MASIH BISA MENDENGAR
"دراسة: المَيِّتُ يَسْمَعُ وَيَفْهَمُ
كُلَّ شَيْءٍ يَحِيطُ بِهِ"
Studi: Orang yang Baru Meninggal Masih Bisa
Mendengar dan Memahami Semua yang Terjadi di Sekitarnya
Di Terjemahkan
oleh Abu Haisam Fakhri
وقالت إينغا
كاردوشينا -في تقرير لها نشره موقع "آف بي.ري" الروسي في سبتمبر/ايلول
2019- إن العلماء قضوا الكثير من الوقت في محاولة العثور على إجابة عن مدى صحة
المعتقد القائل إن هناك حياة بعد الموت. ويؤكد العلماء أن الميت يسمع ويفهم كل شيء
يحيط به.
وأفادت بأن
باحثين أميركيين بمركز لانجون الطبي بجامعة نيويورك NYU Langone Medical Center -التي تعد
واحدة من أكبر المؤسسات البحثية والطبية بالولايات المتحدة، بقيادة البروفيسور سام
بارنيا- حاولوا لعدة سنوات دراسة ما يحدث لجسم الإنسان ووعيه بعد وفاته لتفسير مدى
صحة خوف الإنسان من الموت. ...
وتجدر
الإشارة إلى أن أعضاء فريق البحث أجروا مقابلات مع عدد كبير من الأشخاص الذين
عادوا من "العالم الآخر" بعد وفاة سريرية أو غيبوبة، واكتشفوا أن الموت
ليس النهاية ....
في الساعات الأخيرة من موت الدماغ،
يشعر الإنسان خلال هذه المدة الوجيزة أنه سجين داخل جسده ويسمع ويشعر بكل شيء من
حوله (بيكسابي)
وفي الحقيقة، يبدأ نشاط الدماغ في
التقلص ويحدث الانفصال تدريجيا. وتبدأ الأقسام المختلفة بالدماغ في التوقف عن
العمل بشكل فردي ومتتال. لذلك، قد يبقى دماغ الإنسان على قيد الحياة على مدى عدة
ساعات.
وأوردت الكاتبة أن الوعي يستمر بعد
توقف قلب الإنسان على العمل، إذ يستمر في إدراك كل ما يجري حوله، وإن لم يعد
باستطاعته القيام بأية إشارة تعبر عن حياته. وفي الوقت نفسه، يؤكد العلماء أن
الميت يسمع ويفهم كل ما يحيط به.
Mrs. Inga Kardoshina
- dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh situs "AFP.RI" Rusia
pada September 2019 - mengatakan bahwa para ilmuwan telah menghabiskan banyak
waktu mencoba menemukan jawaban tentang sejauh mana kebenaran keyakinan bahwa
ada kehidupan setelah kematian. Para ilmuwan mengkonfirmasi bahwa orang yang
meninggal mendengar dan memahami segala sesuatu di sekitarnya.
Dia melaporkan bahwa
peneliti Amerika di Pusat Medis NYU Langone - salah satu lembaga penelitian dan
medis terbesar di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Profesor Sam Barnia -
telah berusaha selama beberapa tahun untuk mempelajari apa yang terjadi pada
tubuh dan kesadaran manusia setelah kematiannya untuk menjelaskan sejauh mana
ketakutan manusia terhadap kematian tersebut .....
Perlu dicatat bahwa
anggota tim penelitian melakukan wawancara dengan sejumlah besar individu yang
kembali dari "dunia lain" setelah kematian klinis atau koma, dan
mereka menemukan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya .....
Penulis juga
menyebutkan bahwa setelah jantung berhenti berdetak, otak manusia terus
berfungsi selama periode hingga sepuluh menit. Namun, ketika mencapai menit
ke-15, jumlah sel yang mati meningkat, sehingga membuatnya menjadi tidak
mungkin untuk menghidupkan kembali pikiran tersebut. Namun, para ilmuwan di
Pusat Medis Langone telah membantah pandangan-pandangan ini.
Bukankah itu suatu
perubahan? Penulis mencatat bahwa menurut ilmu fungsi organ, kita bisa
mendapatkan pemahaman tentang apa yang terjadi pada seseorang setelah kematian.
Secara umum, otak manusia bertahan lebih lama daripada yang banyak orang duga.
Dalam jam-jam
terakhir sebelum kematian otak, seseorang merasa selama periode singkat ini
bahwa mereka terperangkap dalam tubuh mereka dan mendengar serta merasakan
segala sesuatu di sekitarnya.
Sebenarnya, aktivitas
otak mulai menyusut dan terjadi pemisahan secara bertahap. Berbagai bagian otak
mulai berhenti bekerja secara individual dan berurutan. Oleh karena itu, otak
manusia dapat tetap hidup selama beberapa jam.
Penulis mencatat
bahwa kesadaran tetap ada setelah berhentinya kerja jantung, yang berarti
seseorang tetap menyadari segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya, meskipun
tidak lagi mampu memberikan tanda-tanda kehidupan. Para ilmuwan juga
mengkonfirmasi bahwa orang yang baru meninggal masih dapat mendengar dan
memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
[ Sumber : Al
Jazeera . https://www.aljazeera.net › ]
Semoga bermanfaat
0 Komentar